CLS di Zaman Kerajaan Mataram Oleh : Suprio Guntoro POLA pertanian CLS (Crop Livestock System) yakni integrasi antara tanaman pangan dengan temak merupakan salah satu bentuk pola usaha tani yang saat ini diintroduksikan oleh Badan Litbang Pertanian sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi lahan, biaya dan tenaga kerja serta optimalisasi pemanfaatan sumber daya lokal. Sesungguhnya pola CLS ini sudah ada sejak abad ke-17 yakni di zaman Mataram. Hanya saja teknologi yang diterapkan masih tradisional, belum intensif serta hanya menekankan pada tanaman padi dan ternak kerbau. Ada baiknya kita simak pola pertanian abad-17 ini guna melihat berbagai keunggulan dan kelemahannya. Mencita-citakan "Majapahit Baru" Menurut sejarawan, Dr. Ong Hok Ham, sejak berdirinya Kerajaan Mataram yang diprakarsai oleh Panembahan Senopati hingga Hamengku Buwono IX, maka Sultan Agung lah raja terbesar. Di antara raja-raja yang pernah hidup di Nusantara, barangkali Sultan Agung lah yang paling "fanatik" dengan padi. Raja yang memerintah Kerajaan Mataram tahun 16131645 itu telah menyadari betapa strategisnya peran komoditi beras. la tidak hanya menjadikan beras sebagai sarana untuk memakmurkan rakyatnya tapi juga memanfaatkannya untuk memperluas pengaruh dan wilayahnya. Agar senantiasa Mataram "surplus" beras, ia menerapkan program dan rekayasa sosial untuk melaksanakan intensifikasi tanaman padi. Kerjasama antara petani dan antar kelompok tani amat kuat, baik dalam tertib pola tanam, penggunaan air irigasi, pengendalian hama dan penyakit, penggunaan peralatan maupun dalam panen dan lain-lain. Lokasi "intensifikasi" setiap tahun bisa berpindah-pindah, sesuai dengan rencana ke arah mana prajurit Mataram akan bergerak, karena produksi padi tersebut di samping untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat setempat juga untuk kebutuhan pangan tentara yang jumlahnya amat besar. Ketika akan berperang melawan VOC yang bercokol di Batavia (Jakarta sekarang) Sultan Agung mengetatkan program intensifikasi tanaman padi di jalur "Pantura" (pantai utara) Jawa. Sebagai komandan "Opsus" Pantura tersebut, ditunjuk Bupati Tegal, Tumenggung Bahureksa.
Cucu Panembahan Senopati ini di samping memiliki karisma besar, cerdas dan bercitacita tinggi. la bercita-cita mewujudkan Mataram sebagai "Majapahit Baru" yang menguasai seluruh Nusantara dan Malaka. Begitu naik tahta ia langsung melirik kerajaan-kerajaan di Jawa Timur dan Jawa Tengah di bagian utara. Kerajaan-kerajaan kecil di sekitar Mataram segera disisir dan dianeksasi sebagai wilayah Mataram. Setelah sebagian besar Jawa Tengah dikuasai, ia segera menaklukkan Surabaya, kemudian terus ke timur menguasai Blambangan. Berhasil mencengkeram kerajaan-kerajaan di Jawa Timur, Sultan Agung lantas menoleh ke Jawa Barat, menaklukkan Sumedang, Ukur, dan lain-lain. Selanjutnya ia mengincar Banten di bagian barat dan Madura di timur. CLS Menurut Van Surk tentara Sultan Agung sebagian besar memiliki "dwifungsi". Pertama sebagai prajurit, kedua sebagai motor pelaksanaan intensifikasi padi. Pada musim hujan, tentara-tentara desa tersebut menggerakkan kelompoknya untuk bekerja di sawah, menanam dan memelihara padi, apakah dalam pelaksanaan tertib pola tanam, pembagian air, pengendalian hama dan penyakit, panen serta penyimpanan hasil. Demikian pula dalam pemanfaatan sarana, seperti penggunaan kerbau untuk membajak, antara petani bisa saling meminjam. Dalam mengelola pesawahan, Kerajaan Mataram sudah menerapkan pola integrasi antara padi dengan ternak yakni kerbau. Peternakan kerbau digalakkan di samping sebagai tenaga angkut pertengkapan perang, kerbau juga difungsikan sebagai tenaga pengolah tanah. Di samping itu kotorannya dijadikan pupuk pada lahan sawah. Sebaliknya limbah-limbah pertanian, seperti "damen" (jerami padi) dan "titen" (jerami palawija) sudah biasa dimanfaatkan untuk pakan kerbau, terutama di musim kernarau ketika rum put sulit didapat. Jadi, di abad ke17 itu sesungguhnya di Jawa telah diterapkan pola CLS (Crop Live stock System) hanya saja teknologi yang diterapkan masih tradisional dan sederhana. Pada musim kemarau di mana sebagian besar hasil gabah telah masuk di lumbung, sebagian besar petani akan bergabung dengan tentara inti untuk bergerak ke daerahdaerah yang akan ditaklukkan. Gabah-gabah yang disimpan di lumbung yang dimiliki kerajaan dari pungutan pajak, dimanfaatkan sebagai bahan makanan bagi tentara Mataram. Karena itu kawasan CLS senantiasa diprogramkan sesuai dengan rencana ke arah mana tentara Sultan Agung akan digerakkan.
Forum Komunikasi Untuk mensukseskan program intensifikasi dan wajib militer maka di berbagai tingkatan wilayah dibentuk "forum komunikasi" sebagai wadah pembinaan bagi para petani/ prajurit. Menurut JK. De Jonge (Intisari ed. Juni 1990) untuk mengumpulkan para petani pada forum tingkat rendah (beberapa desa) maka digunakan "bende". Bende tersebut ditempatkan di setiap perempatan jalan. Bila alat ini dibunyikan maka para petani (prajurit) segera berkumpul di suatu tempat semacam Pas Komando. Kemudian untuk kepentingan pertemuan pada forum yang lebih tinggi (tingkat kabupaten ke atas) penggunaan bende dianggap tidak efektif, karena itu digunakan meriam besar made in Mataram yang terkenal dengan nama Kyai Sapu Jagad. Sekali meriam ini berdentum akan berkumpullah puluhan ribu orang. Dalam forum-forum seperti ini dibicarakan berbagai kebijakan kerajaan, terutama masalah pertanian, dan strategi pertahanan keamanan. Tidak jarang dalam kesempatan seperti ini dibicarakan kerjasarna para petani dalam mengelola lahan, tertib pola tanam serta penggunaan modal. Untuk kepentingan modal usaha tani, setiap tahun pemerintah banyak mernbantu berupa dana. Tulisan Van Goens dalam bukunya "De Vijtgezant Schaparcizenaar Het Hot Mataram" menyebutkan, pada tahun 1626 Sultan Agung mengumpulkan dana sebesar 12.000 real. Uang itu untuk pembangunan pedesaan terutama untuk intensifikasi padi. Dengan pelaksanaan aturan yang ketat dan dipatuhi oleh para petani Mataram senantiasa surplus beras. Banyak kerajaan-kerajaan di sekitamya yang untuk memenuhi kebutuhan pangannya harus mengimpor dari Mataram. Keberhasilan ini tidak disia-siakan Sultan Agung. Dengan beras ia dapat memo perkuat pengaruhnya pada kerajaankerajaan di sekitamya bahkan mampu merebut beberapa wilayah kerajaan di Jawa Timur, Jawa Barat dan Kalimantan Selatan. Jalur Pantura Untuk mewujudkan ambisinya menjadikan Mataram sebagai "Majapahit Baru" ia berniat menguasai seluruh Jawa. Tantangan yang paling berbahaya untuk mewujudkan impiannya adalah VOC (Belanda) yang saat itu telah mencengkeram Batavia yang jaraknya amat jauh dari pusat Kerajaan Mataram. Agar berhasil mendupak VOC, diamdiam ia mengatur siasat dengan melancarkan "Opsus" intensifikasi padi di jalur Pantura (Pantai Utara Jawa) suatu jalur perjalanan yang mesti ditempuh prajurit Sultan Agung untuk menuju Batavia. Program ini mendapat dukungan penuh dari para Bupati Pesisir Utara Jawa dan sebagai Komandan "Opsus" tersebut ditunjuk Bupati Tegal, Tumenggung Bahureksa yang terkenal amat loyal pada Sultan Agung. Untuk menyukseskan program ini maka jauh
sebelum penyerangan ke Batavia dimulai, para petani di pesisir utara sibuk memperbaiki atau membuat saluran irigasi baru. Kerbau-kerbau yang berfungsi untuk mengolah tanah dan sumber pupuk banyak didrop ke utara (harap dimaklumi populasi kerbau di Jawa Utara hingga kini paling tinggi). Bahkan para petanipun dari selatan dikonsentrasikan ke utara untuk mendukung "Opsus" Pantura. Alokasi anggaran "proyek"pun di kabupatenkabupaten pesisir utara dilipatgandakan untuk pengadaan benih serta sarana produksi lain. Setelah berhasil dalam satu musim panen dan stok gabah di lumbung dianggap memadai, maka Sultan Agung secara rahasia mengirimkan pasukan Para ke Batavia di bawah pimpinan Kyai Rangga serta Tumenggung Bahureksa sendiri. Rombongan pertama yang dipimpin Kyai Rangga bertugas menyelidiki suasana dan berhasil menemui Gubemur Jenderal Jan Piterson Coen dengan alasan hendak minta bantuan untuk menyerbu Banten. Menurut Hj. Degraaf, rombongan prajurit Para ini dimaksudkan untuk membuka jalan bagi pasukan inti. Sayang dalam pertempuran mereka dapat dipatahkan oleh VOC yang memiliki persenjataan jauh lebih canggih. Menurut catatan seorang Belanda, sebanyak 13.000 prajurit Mataram gugur termasuk Kyai Rangga dan Bahureksa. Strategi VOC Mungkin karena beratnya penyiksaan temadap para tawanan, maka dari mereka, VOC banyak memperoleh informasi tentang strategi dan rencana serbuan dari Mataram. Itu sebabnya VOC sempat menyusun strategi secara matang. Bila benar-benar perang secara frontal, sulit bagi VOC untuk menang karena jumlah pasukan Mataram yang demikian banyaknya, lebih banyak dari jumlah stok peluru yang dimiliki VOC. Sedangkan untuk menghadapi pasukan Para yang berjumlah belasan ribu saja VOC sudah kewalahan dan menderita rugi besar. Karena itu dalam strateginya VOC memilih jalan ovensif dari pada devensif. Tapi VOC bukannya menyerang prajurit Mataram, melainkan menyerang lumbung serta areal pertanian. Secara rahasia Jan Piterson Coen mengirimkan tentaranya dengan perlengkapan canggih menuju "jalur Pantura". Dengan cara gerilya mereka membakar lumbung-lumbung, tanaman padi serta merusak saluran irigasi. Dengan hancurnya cadangan pangan dan sarana produksi, untuk jangka pendek maupun jangka panjang rencana Sultan Agung untuk menaklukkan Batavia gagal. Memang, tentara tidak mundur tapi lumpuh total. Dan selanjutnya tentara Sultan Agung bukan saja harus melawan serangan VOC, tapi yang lebih berat lagi mereka harus melawan kelaparan, serta berjangkitnya berbagai macam penyakit. Kelaparan hebat bukan saja terjadi di jalur "Pantura", juga di daerah-daerah lain yang terlalu lama ditinggalkan para petaninya yang turut bergabung dengan rekan- rekannya di kawasan Pantai Utara. Kondisi pertanian dan perekonomi Mataram kian memburuk, namun tidak membuat Sultan Agung putus asa. la kembali menyusun kekuatan
tentaranya dan berupaya memperbaiki areal-areal pertanian yang rusak untuk mewujudkan kekuatan baru guna menghalau Belanda dari Nusantara. Sayang sebelum impiannya terwujud, Raja Mataram tersebut meninggal dunia. Kelemahan Bila dianalisa, sesungguhnya kekalahan Mataram oleh VOC bukan semata karena kekuatan tentara dan kecanggihan peralatan perang VOC, melainkan lebih banyak karena kelemahan kebijakan dalam negeri Mataram. Kekalahan prajurit Mataram belum bisa dikatakan karena kalah perang melawan VOC, tapi lebih banyak disebabkan kalah melawan kelaparan. Kelemahan-kelemahan itu antara lain karena, belum dimanfaatkannya tenaga wanita pedesaan secara optimal untuk dapat menggantikan tenaga pria di daerah-daerah yang ditinggalkan petani pria pada saat musim perang. Di samping itu, belum diterapkannya program diversifikasi pangan, sehingga kebutuhan pokok untuk pangan hanya bergantung beras. Di musim kemarau, masih banyak sawah yang diberakan, tanpa ditanami palawija. Bila kedua hal tersebut sudah mendapat perhatian yang layak, barangkali paceklik hebat tidak sampai melanda Mataram, sehingga Sultan Agung tidak terlalu lama untuk memobilisasi kembali kekuatan tentaranva.
Suprio Guntoro Penulis adalah peneliti pada BPTP Bali Dimuat pada Tabloid Sinar Tani, 21 April 2004