Citra Pendudukan Jepang di Indonesia dalam Beberapa Karya Novel : Antara Kekalahan dan Pemberontakan* Koh Young Hun**
Such cruelties and brutalities thus became, for the first time in my life, part of the data accumulated within myself, and they aroused feelings of hatred, loathing, and revulsion, so intense that they often surface in my consciousness to this very day. The power of time has proved incapable of erasing them.1
I. Pendudukan Jepang di Indonesia Karya sastra dapat dilihat sebagai dokumen sosial budaya, yang mencatat kenyataan sosial budaya sesuatu masyarakat pada suatu masa tertentu. Ia mencerminkan nilai-nlai seperti yang dimaksudkan oleh penulis. Oleh karena karya sastra menggambarkan perasaan, harapan dan aspirasi manusia, maka ia menjadi suatu pengukur yang mengesankan untuk melihat tindak tanduk manusia terhadap tekanan sosial. Dalam pada itu, karya sastra perlu dilihat sebagai suatu keseluruhan. Kalau ia hanya tertarik *
This work was supported by Hankuk University of Foreign Studies Research Fun d of 2012. ** Professor of Indonesia literature, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul. 1 Pramoedya Ananta Toer, 1983, "Perburuan 1950 and Keluarga Gerilya 1950" in Indonesia, No.46, hlm. 32.
pada unsur-unsur sosial budaya yang dilihat sebagai unsur-unsur yang dilepas dari kesatuan karya, dan hanya mendasasr pada cerita tanpa mempersoal sturukur karya, maka tidak ada perbedaan antara karya yang berdaya imaginasi tinggi dengan yang rendahnya. Karya sastra tidak dapat dilihat sebagai sarana yang mencerminkan realitas seperti cermin yang membalikkan citra objek yang terletak di depannya. Karya sastra adalah pengetahuan tentang realitas, dan pengetahuan ini bukanlah hal yang sama seperti membuat persamaan antara benda-benda di dalam dan di luar dunia dengan gagasan-gagasannya. Sebenarnya realitas sudah wujud di luar sebelum kita mengetahuinya dalam pikiran, tetapi realitas mempunyai bentuk(form), suatu bentuk yang disifatkan sebagai keseluruhan dialektik dengan semua bagian yang berada dalam keadaan bergerak dan bertelingkah. Untuk memungkinkannya tercermin dalam karya sastra, realitas perlu disalurkan dalam karya penulis yang bersifat kreatif, yang memberikan bentuk. Karya yang terbentuk dengan betul dapat menghasilkan bentuk karya sastra yang mencerminkan bentuk dunia nyata.2 Jepang datang dan menduduki pulau Jawa pada tanggal 2 Maret 1942.
2
Pramoedya merupakan salah seorang novelis yang mencerminkan kehidupannya dalam karya sastranya. Sebagian besar karya novelnya berlatarbelakangkan pengalaman dirinya sendiri. Misalnya, antara lain, perselisihan keluarga yang berasal dari kemiskinan tercermin dalam Kemudian Lahirlah Dia(1950), suasana keluarga pada masa kecil dapat kita lihat dalam Yang Sudah Hilang(1950), keadaan dan suasana keluarga waktu ibunya meninggal muncul dalam Dia Yang Menyerah(1950), pemberontakan Peta dan suasana menjelang kemerdekaan dapat dilihat dalam Perburuan(1950), pengalaman sebagai tentara digambarkan dalam Keranji Bekasi Jatuh (1947), pengalaman kecelakaan kereta api dilukiskan dalam Kemelut(1950), pengalaman dimasukkannya penjara Bukit Duri dijelaskan dalam Mereka Yang Dilumpuhkan (1951), dan suasana meninggalnya ayah Pramoedya diceritakan dalam Bukan Pasar Malam (1951).
412 東南亞硏究 22 권 3 호
Pendudukan Jepang di pulau Jawa ini berarti berakhirnya kekuasaan Belanda yang begitu lama menguasai wilayah Nusantara. Pada awal pendudukannya di Indonesia, Jepang memberi kesan yang baik, karena mereka dianggap sudah membebaskan Indonesia dengan mengusir pihak penjajah Belanda. Pasukan Jepang mendarat di Indonesia dengan semboyan "Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya". Jepang mencoba mengelabuhi rakyat dengan propaganda ini, dan membangkitkan kebencian terhadap kuasa Barat. Oleh yang demikian, Indonesia menyambut baik kedatangan Jepang. Namun, tidak lama lagi, Jepang mulai menganiayai rakyat Indonesia, karena memangnya mereka bertujuan hanya untuk mempergunakan sumber-sumber Indonesia yang kaya untuk kemenangan perang Pasifik. Dari negara diduduki itu, Jepang mengeruk banyak kekayaan dengan alasan
untuk
kepentingan
perang,
demi
semboyan
"Lingkungan
Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya" tersebut. Pramoedya sendiri pernah mengatakan bahwa dia menyaksikan penganiayaan pasukan Jepang terhadap masyarakat Indonesia, antara lain, merogol wanita, merampas harta orang-orang Indonesia, dan mengenakan kerja paksa. Malahan lagi, sukarnya hubungan laut dan udara menyebabkan balatentara Jepang tidak lagi bisa mendatangkan wanita penghibur dari Jepang, China, dan Korea. Sebagai penggantinya, para gadis Indonesia dikirimkan ke garis terdepan sebagai penghibur(Pramoedya 2001:2). Jepang memberi janji indah kepada para gadis Indonesia, misalnya mereka akan disekolahkan di Jepang. Jepang membujuk masyarakat Indonesia dengan dalih bahwa dalam usaha mempersiapkan rakyat Indonesia ke arah kemerdekaan nanti sesuai dengan kehendak Jepang, generasi muda Indonesia dididik supaya bisa mengabdikan dalam kemerdekaan.
Sebagai
tanggapannya,
masyarakat
Indonesia
tidak
mengambil peduli dan hanya mencibir saja. Tetapi nampaknya pihak Citra Pendudukan Jepang di Indonesia dalam Beberapa Karya Novel : Antara Kekalahan dan Pemberontakan 413
Jepang berhasil mengangkut para perawan itu. Alasannya adalah, pertama, gadis-gadis yang hatinya penuh berisikan cita-cita mulia untuk maju dan berbakti pada masyarakat dan bangsanya, bila tidak mengindahkan kenyataan yang berlaku, akan lebih mudah terpikat. Kedua, keadaan hidup yang mencekik memudahkan orang untuk melarikan diri pada khayalan, sehingga mudah masuk perangkap. Ketiga, ini yang lebih penting, adalah orang tua yang bekerja mengabdi pada Jepang(Pramoedya 2001: 10). Mengingat sifat karya sastra yang mencerminkan gejala masyarakat tertentu sebagai dokumen sosial, tidak dapat dinafikan bahwa karya-karya sastra Indonesia yang berlatarbelakangkan zaman pendudukan Jepang pasti memaparkan aspek soaial yang tersebut di atas. Dengan perkataan lain, karya-karya sastra seperti itu mendedahkan atau menyiratkan tanggapan masyarakat Indonesia terhadap seluk-beluknya kebijakan pihak penjajah Jepang. Karena sastra merupakan refleksi kenyataan zaman tertentu, maka sedikit banyak apa yang tergambar dalam karya sastra itu tentu saja merefleksikan kenyataan dan keadaan. Maka, apa yang dirasakan dan dialami tokoh-tokoh dalam karya seperti ini, sedikit banyak juga mencerminkan keadaan yang terjadi pada masa pendudukan Jepang. Dalam pada itu, karya-karya novel yang menceritakan masa pendudukan Jepang, yang dihasilkan sesudah kemerdekaan juga tidak kalah kuat menanggapi masa penjajahan itu. Malahan lagi, dibandingkan dengan karya-karya novel yang diciptakan pada masa pendudukan Jepang, yaitu mulai tahun 1942 sampai dengan 1945, yang terpaksa mengambil perhatian kepada aspek-aspek sensor dan propaganda pihak Jepang, hasil karya sesudah kemerdekaan ini jauh lebih terus terang sifatnya dalam penyampaian tanggapannya. Karya-karya novel yang dapat dimasukkan dalam golongan ini adalah antara lain Perburuan oleh Pramoedya Ananta Toer, Kalah dan Menang
414 東南亞硏究 22 권 3 호
oleh Sutan Takdir Alihsjahbana, Perang Pun Usai oleh Ismail Marahimin, Pulang oleh Toha Mohtar, Kadarwati Wanita dengan Lima Nama oleh Pandir Kelana, Solo di Waktu Malam oleh Kamajaya, Para Priyayi oleh Umar Kayam dan beberapa novel yang dihasilkan oleh Nugroho Notosusanto. Karya-karya novel seperti ini masing-masing mendedahkan ketidakadilan dan kekejaman pihak penjajah Jepang. Namun, perlu diingatkan bahwa kekalahan mereka, yaitu keadaan seperti itu sedikit sebanyak berpunca dari kelemahan pihak yang dijajah sendiri.
II. Citra Jepang dalam Sastra Indonesia 1. Ketidakadilan dan Kezaliman Sastra yang baik dapat mencipta kembali rasa kehidupan, bobot, dan susunannya. Ia mencipta kembali keseluruhan hidup yang dihayati, kehidupan emosi, kehidupan budi, individual maupun sosial, dunia yang penuh mengandungi objek. Hal ini diciptakannya bersama-sama dan secara saling berjalinan, seperti yang terjadi dalam kehidupan yang kita hayati sendiri. Sastra yang baik menciptakan kembali desakan hidup(Hoggart 1966: 226-227). Dengan berpegang teguh kepada prinsip ini, novelisnovelis yang dibahas dalam makalah ini berusaha mengingatkan para pembaca bahwa kuasa penjajahan Jepang telah menindas masyarakat Indonesia dengan kejam. Kekejaman ini tersirat dalam tidak sedikit karya-karya novel yang berlatarbelakangkan pendudukan Jepang di Indonesia. Pengalaman masyarakat Indonesia pada waktu itu jauh lebih berbeda dengan kuasakuasa asing yang lain. Sebagian besar kuasa asing yang pernah menduduki kepulauan Indonesia masuk dengan agama atau perdagangan. Tetapi, Citra Pendudukan Jepang di Indonesia dalam Beberapa Karya Novel : Antara Kekalahan dan Pemberontakan 415
Jepang langsung masuk dengan bertujuan mengeksploitasi pribumu. Misalnya, mereka mengerah gadis-gadis dan menjadikannya mangsa seksual untuk pasukannya, sebagaimana yang dilaksanakan di Korea oleh penjajah Jepang. Pada mulanya para remaja betul-betul tertarik, bersemangat, bergairah, karena yang dipropagandakan pemerintah Jepang sesuai dengan harapan mereka. Gadis-gadis seperti ini ditipu Jepang, yang katanya akan disekolahkan ke Jepang. Ternyata mereka dibawa ke garis depan untuk dijadikan pelacur guna melayani serdadu Jepang. Sebenarnya pihak Jepang merencanakan Koreanisasinya Indonesia. Ini bermaksud bahwa cara-cara efisien untuk menjajah Indonesia diambil dari pengalaman penjajahan mereka di Korea yang berlangsung selama lebih dari 30 tahun pada waktu itu. Pramoedya menguraikannya seperti berikut; At first Jakarta felt calm, safe, and pleasant, but as time passed I became more and more convinced that no place under the control of Japanese militarism was any longer safe. - - - - torture, often to death, of people accused of quite minor offenses; a large-scale massacre of everyone with an elementary education on up, in West Borneo, to permit the region “Koreanization.” - - - - The thought, of course, occurred to me: what kind of people are they really? Their behavior doesn’t simply aroused hatred – but utter loathing.(Pramoedya 1983: 30-31).
Kalau Jepang hanya hendak menggantikan imperialis Barat di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia, dan tingkat peradabannya setara dengan Belanda,
barangkali
masyarakat
Indonesia
tidak
menyangsikan
pendudukan pasukan Jepang. Tetapi watak fasisme-militerisme Jepang telah menyebarkan penderitaan berlebihan di setiap jengkal tanah. Teror
416 東南亞硏究 22 권 3 호
merupakan sistem untuk menundukkan rakyat, sedang kerakusan berlebihan menjadi tujuan dari pendudukan itu(Pramoedya 2001: 22). Novel Kadarwati Wanita dengan Lima Nama karya Pandir Kelana mempersoalkan kelicikan dan kebiadaban Jepang terhadap wanita. Kadarwati, tokoh utama dalam novel tersebut, adalah seorang wanita yang bukan saja berparas cantik, melainkan juga mempunyai tubuh yang seksi. Hal itu sangat disadari oleh Kadarwati sendiri. Suatu ketika Kadarwati yang sehari-hari bekerja di sebuah farmasi di Semarang tertarik tawaran pemerintah
untuk
mengikuti
peperiksaan
masuk
Sekolah
Tinggi
Kedokteran di Shonanto, Singapura. Karena cerdas, dia dinyatakan lulus atau memenuhi syarat untuk menempuh pendidikan itu. Kemudian Kadarwati mengalami bermacam-macam kesengsaraan yang sebenarnya berpunca dari penjajahan Jepang. Novel ini lebih banyak berbicara tentang perjalanan hidup seorang wanita yang hidup dalam masa-masa sulit, ketika Jepang datang di Indonesia sampai akhirnya kalah perang dan disusul dengan kembalinya Belanda ke Indonesia. Namun, dari kisah hidup itu terlukis betapa Jepang telah melakukan kejahatan di Indonesia. Pelukisan tentang banyaknya perempuan yang dipaksa melayani Jepang telah berlaku kasar dan kejam terhadap perempuan Indonesia. Dalam kondisi perang memang segalanya dapat terjadi. Akan tetapi, dari lukisan dalam novel ini pencerita hendak menekankan bahwa korban yang paling menderita karena perang dan kebiadaban Jepang adalah para perempuan. Memang lewat pencerita ditunjukkan juga bahwa ada orang Jepang yang berlaku baik kepada perempuan, seperti Harada yang berlaku sopan terhadap Kadarwati. Akan tetapi, kebaikan Harada tidak bisa menghapus kezaliman manusia Jepang lain yang berlaku kasar terhadap perempuan. Pribadi Harada yang sempat merebut hati dan menaklukkan pertahanan Kadarwati hampirhampir tidak punya makna sebab sebaik apa pun pribadi itu akhirnya akan Citra Pendudukan Jepang di Indonesia dalam Beberapa Karya Novel : Antara Kekalahan dan Pemberontakan 417
terlindas oleh sistem atau kebijakan yang berlaku secara umum. Sebaik apa pun pribadi Harada pada akhirnya tidak sanggup menjawab masalah sepele yang dikeluhkan dan dipertanyakan Kadarwati, misalnya pertanyaan mengapa Kadarwati tidak diberi kebebasan untuk sekadar sedikit keluar dari area yang ditetapkan Dinas Rahasia Jepang ketika ia berada di rumah tempat Harada bertugas. Niat Harada untuk membebaskan Kadarwati dari tangan Yamaguci pun akhirnya tak punya arti apa-apa atau sia-sia belaka sebab ujung-ujungnya Kadarwati jatuh ke pelukan orang Jepang juga, ibarat terlepas dari mulut harimau masuk ke mulut buaya. Hubungan Kadarwati dengan Harada yang dilandasi rasa cinta dan rasa saling
menginginkan
tetaplah
diwarnai
ketidakseimbangan
sebab
Kadarwati tetaplah seorang pelayan yang melayani tuan, sementara Harada seorang tuan yang dilayani pelayan. Dengan demikian, citra bahwa Jepang penindas dan perampas hak asasi manusia, khususnya manusia Indonesia, lebih khusus lagi perempuan Indonesia, tetap terlihat. Kebaikhatian Harada pada Kadarwati tidak bisa membersihkan noda yang ditorehkan JepangJepang lain(Sunu 2005 12-13). Novel Perburuan oleh Pramoedya juga merupakan salah satu karya yang mendedahkan kekejaman tentara Jepang di Indonesia. Novel ini diilhamkan oleh pemberontakan pasukan Peta(Pembela Tanah Air) di bawah pimpinan Supriyadi terhadap Jepang di Blitar, Kediri, Jawa Timur pada tanggal 14 sampai dengan 15 Februari 1945, enam bulan sebelum merdeka. 3 Peta
3
Pemberontakan itu berhasil dipatahkan Jepang. Sebelum para pemberontak menyerah, terjadi proses perundingan yang a lot. Untuk meyakinkan Muradi, Jepang membawa serta Mulyono (ayah Muradi), Mbah Kasan Bendo (guru kebatinan Muradi dan Supriyadi), dan Shimizu Hitoshi (seorang propagandis ulung yang dapat berbahasa Jawa). Namun, Shodanco Muradi bersitahan pada prinsipnya: ia ingin berunding langsung dengan Katagiri. Keinginan Muradi dipenuhi Jepang dan tercapailah kesepakatan antara Muradi dan pihak Jepang.
418 東南亞硏究 22 권 3 호
dibentuk pada awal bulan Oktober 1943. Meskipun Peta berada di bawah pengawasan Jepang, dan meskipun persenjataannya berada di bawah kontrol ketat Jepang, para perwira Indonesia dan pimpinannya dipilih dari para
intelektual
Indonesia
yang
bersemangat
nasional.
Dalam
perkembangannya ternyata tentara Peta di beberapa Daidan anggotanya merasa kecewa terhadap Jepang. Kekecewaan di kalangan Peta, terutama para perwira juga timbul terhadap para bintara dam tamtama Jepang. Mereka merasa bahwa status mereka direndahkan daripada prajurit-prajurit Jepang yang berpangkat bukan perwira. Kekecewaan mereka sudah dimulai dalam tahun 1944, bahkan menimbulkan beberapa pemberontakan. Di antaranya yang terbesar adalah pemberontakan Peta Blitar pada tanggal 14 Februai 1945, yang dipimpin oleh Supriyadi dan Moeradi. Pemberontakan pasukan Peta ini memberi kesan yang luar biasa kepada Pramoedya yang menyimpan inferiority complex terhadap sejarah bangsanya sendiri. Anderson menyifatkan pemberontakan ini sebagai serangan tunggal yang paling serius terhadap kuasa Jepang selama penjajahan(Anderson 1961: 47). Novel ini melukiskan nasib dan situasi tujuh orang, yang bertaut penghidupannya sejak senja 16 Agustus sampai dengan waktu zohor 17 Agustus, hari proklamasi kemerdekaan Indonesia. Tokoh utama Hardo digambarkan sebagai shodanco(小團長) pasukan Peta, yang merencanakan
Kesepakatan itu antara lain menyebutkan bahwa para pemberontak tidak dilucuti dan tidak dikenakan sanksi hukum. Untuk meyakinkan Muradi, Jepang melalui katagiri--menyerahkan samurai kepada Muradi sebagai simbol bahwa pihak Jepang menjamin dipatuhinya kesepakatan itu. Namun, setelah dia menyerah, ternyata Jepang berkhianat: pihak militer tetap melakukan pelucutan senjata terhadap para pemberontak. Yang lebih menyakitkan lagi ialah bahwa pihak militer Jepang melakukan penyiksaan secara keji terhadap Shodanco Muradi dna para anggotanya. Citra Pendudukan Jepang di Indonesia dalam Beberapa Karya Novel : Antara Kekalahan dan Pemberontakan 419
pemberontakan terhadap Jepang bersama Dipo dan Karmin, didorong oleh semangat patriotisme. Tujuannya adalah turut mempercepat proses runtuhnya Jepang di Indonesia umumnya dan di daerah Blora khususnya. Tetapi, rencana pemberontakan ini gagal, karena Karmin mengkhianatinya dan melaporkan rencana itu kepada pihak penjajah Jepang. Oleh karena itu, Hardo dan Dipo diburu-buru oleh tentara Jepang. Gara-gara gagalnya rencana pemberontakan ini, ayah Hardo akhirnya dipecat dari jabatan wedana Karangjati oleh pihak Jepang. Malah ibu Hardo juga meninggal dunia karena terpukul dan sakit setelah diperintah Jepang untuk mengikut mengepung anak kandungnya sendiri. Kezaliman penjajah Jepang dapat dilihat melalui tanggapan tokoh-tokoh yang muncul dalam novel ini. Hardo menganggap bahwa pemerintahan penjajah Jepang sebagai sejenis perampok besar seperti yang dipaparkan berikut. "Dan di mana-mana ada perampokan, sekalipun ada pemerintahan, dan ada juga pembunuhan keji. Dan apakah gunanya pemerintah sebagai itu? Rakyat seorang-seorang perampok kecilnya dan pemerintah perampok besarnya. Dan engkau? - engkau juga perampok!"(Perburuan: 21).
Perlu dinyatakan bahwa beberapa antagonis seperti lurah Kaliwangan, mertuanya Hardo, yang bekerja untuk pemerintahan Jepang, juga menganggap pemerintahan Jepang itu tidak menguntungkannya. Dia menunjukkan sikap itu antara lain seperti, "Rupa-rupanya isi zaman ini tak lain daripada keong racun dan kere."(Perburuan: 9), "Sudah tahu hasil tanahnya dirampok Jepang - walau tak seorang Nipponpun ada di kota ini tak mau mereka merampok kembali."(Perburuan: 10), "Samurai Nippon itu bisa menceraikan kepala dari lehernya."(Perburuan: 11), atau
420 東南亞硏究 22 권 3 호
"Kemudian dipukulnya leher sendiri dengan pinggir tangannya. Katanya lagi, 'Kempei, ya? Kempei, ya? Kenal Kempei?' Aku mengangguk ---Bagus, katanya. Potong, ya?"(Perburuan: 16). Dalam novel ini dapat dilihat juga perjuangan hidup yang berupa penentangan terhadap penjajahan, pelepasan diri dari kekejaman musuh yang merupakan perkosaan kemanusiaan. Dan kesemuanya ini dilingkungi oleh keadaan tertentu. Ia dilingkungi oleh suasana pengkhianatan terhadap perjuangan dan kemanusiaan dan juga oleh suasana kepentingan keselamatan diri sendiri atau pangkat sendiri(Umar Junus 1974: 42). Di sini Pramoedya mengemukakan masalah-masalahnya melalui beberapa orang tokoh, termasuk masalah kemanusiaan, yang paling menonjol dalam dalam novel ini. Walaupun novel ini berlatarbekakangkan zaman penjajahan Jepang, dan nampaknya semangat anti-Jepang dan patriotisme pemuda terhadap tanah airnya itu menonjol, namun benang merah yang dapat menghubungkaitkan pemikiran Pramoedya dalam karya ini adalah tidak lain dari kemanusiaan. Pada bagian akhir novel ini Hardo menunjukkan sikap toleransi terhadap Karmin yang mengkhianatinya. Hardolah yang mencegah Dipo dan temantemannya yang bersenjata bambu runcing ketika hendak menyerang Karmin. Teeuw juga berpendapat bahwa Hardo tahu Karmin tidak melakukan pilihan yang salah pada dasarnya, dan bahwa teman-temannya harus membantunya melawan kelemahan kemanusiaannya; sesungguhnya pada akhir buku ini Hardo menyelamatkan nyawa Karmin(Teeuw 1980: 232-233). Kesalahan Karmin bagi Hardo tidak merupakan suatu alasan untuk
menjadi
marah
dan
menyalahkannya,
melainkan
untuk
menyayangkan ketololannya dengan sikap toleransi, yang berasal dari kemanusiaan. Sikap Hardo ini dapat dilihat dalam beberapa bagian dalam novel ini, sebagaimana yang disiratkan “Dan engkau, Karmin – engkau harus kembali padaku, Tidak – aku takkan membalas dendam oleh Citra Pendudukan Jepang di Indonesia dalam Beberapa Karya Novel : Antara Kekalahan dan Pemberontakan 421
pengkhianatan itu.”(Perburuan: 10), “Anggaplah dia sebagai orang sakit, Dipo! Dan karena itu segala tindakannya adalah tindakan sakit. Dan karena tindakan sakit maka engkau tak boleh menghukum atau membencinya.” (Perburuan: 65). Selain Perburuan, beberapa novel lain juga menunjukkan ketidakadilan dan kekejaman pihak penjajah Jepang secara langsung atau secara menyindir. Dalam novel Pulang yang dihasilkan Toha Mohtar, misalnya, Tamin yang berada dalam posisi yang berseberangan dengan kawan-kawan sekampungnya tersiksa batinnya sehingga mengalami kesulitan ketika dia hendak hidup kembali di desanya setelah tujuh tahun meninggalkan kampung halamannya karena perang. Tamin meninggalkan desanya ketika pemerintah di bawah kekuasaan Jepang, memanggilnya untuk masuk heiho(兵補). Oleh pemerintah pendudukan ia dikirim ke Burma untuk membantu perang. Di Burma bahkan ia sempat menikahi gadis Burma. Sayang, gadis yang dinikahinya akhirnya meninggal dalam usia muda. Tamin memutuskan untuk pulang ke tanah air untuk bertani setelah Jepang menyerah kepada Sekutu. Namun, sampai di Indonesia, ia, karena ketidaktahuannya, terkena bujuk rayu dan tipu daya Belanda, ia justru memerangi para pejuang Indonesia. Jadilah Tamin bermusuhan dengan para pejuang bangsanya sendiri. Setelah keadaan reda, ia kembali ke kampung halamannya untuk menggarap sawah. Akan tetapi, ternyata sawah yang hendak digarap sudah tergadaikan ketika orang tuanya dihimpit kesusahan saat Jepang hendak meninggalkan Indonesia. Meski akhirnya sawah itu dapat dia tebus kembali, Tamin masih dihadapkan pada persoalan yang mahaberat, yakni persoalan posisi dia di masa lalu sewaktu revolusi berkecamuk. Ia baru tahu dan menyadari bahwa dirinya berada dalam posisi salah selama revousi pecah di Indonesia ketika di desanya diadakan perayaan untuk mengenang para pejuang di kampungnya, yakni Gamik, yang gugur di medan pertempuran. Orang-
422 東南亞硏究 22 권 3 호
orang yang selama ini dia anggap sebagai penjahat itu ternyata adalah para pejuang yang bertempur untuk mengusir penjajah. Yang lebih membuat batin Tamin tersiksa adalah bahwa di tengah rasa bersalah itu, orang-orang sekampungnya justru memahlawankan Tamin. Maka ketika Tamin diminta untuk menceritakan pengalaman bertempurnya, ia terpaksa berbohong demi menyenangkan orang kampung. Kenyataan ini amat menyiksa batin Tamin sehingga ia memutuskan untuk pergi dari desanya. Meskipun akhirnya Tamin bersedia pulang setelah dibujuk Pak Banji, di dasar hatinya tetap ada perasaan bersalah. Karena itu, batinnya tetap tersiksa dan dirundung kegelisahan. Dapat ditarik kesimpulan bahwa rasa bersalah, ketersiksaan jiwa Tamin, dan penderitaan keluarga Tamin tidak terlepas dari sebat awal: kedatangan Jepang. Kedatangan militer Jepanglah yang menyebabkan Tamin memasuki heiho sehingga ia terbawa sampai di Burma untuk sesuatu yang tidak jelas. Keluarga yang ditinggalkannya jatuh miskin. Tanah yang bagi orang Jawa, khususnya petani, adalah harta tak ternilali yang harus dibela mati-matian terpaksa digadaikan. Tanah bagi petani mempunyai nilai ekonomis dan sosial karena terkait dengan seumber penghidupan dan stratifiksai sosial. Betapa tanah itu memiliki nilai tinggi dapat disimak dari ungkapan Jawa yang berbunyi, "Dengan taruhan nyawa sekalipun, tanah sejengkal apa pun harus dipertahankan." Tanah menjadi soal hidup mati seseorang dan menyatu dengan peluh sehingga demi tanah orang rela menumpahkan darah (Radjagukguk, 1979:3). Tamin gagal mewujudkan impiannya: mencari ketenangan dan ketenteraman di kampung sendiri. Siksa batin yang disebabkan oleh rasa bersalah dan "keharusan" untuk berbohong guna menutupi kesalahan dan memenuhi harapan orang lain merupakan siksa pedih yang tidak mudah untuk dihilangkan. Sekalipun secara keseluruhan novel ini lebih menyoroti atau berbicara tentang konflik batin seorang bekas serdadu heiho yang Citra Pendudukan Jepang di Indonesia dalam Beberapa Karya Novel : Antara Kekalahan dan Pemberontakan 423
mencoba kembali ke habitat semula (kampung) setelah gegap gempita revolusi berakhir, tak pelak secara tersirat ada yang ingin terkatakan di sini, yakni bahwa bagaimanapun kehadiran Jepang dengan pembentukan heihonya sedikit sebanyak mempunyai andil dalam proses penyengsaraan masyarakat, khususnya para petani yang tinggal di desa(Sunu 2005: 8). Dalam novel Kalah dan Menang oleh Sutan Takdir Alisjahbana terdapat tiga cerita yang saling berhubungan, yaitu cerita keluarga Hidayat, cerita Elisabeth Hauser dan cerita Lien Venedal. Ketiga tokoh ini mempunyai jalan hidup sendiri-sendiri dan kebetulan saling bertemu dalam satu kampung di zaman pendudukan Jepang di Jakarta. Elisabeth bersama suaminya datang ke Indonesia untuk meneliti sejarah dan kebudayaan bangsa Indonesia. Mereka berekenalan dengan Hidayat, seorang intelektual. Kemudian pecah perang dunia kedua. Jepang berhasil menduduki Indonesia setelah bertempur dengan mudah melawan angkatan perang Belanda dan Sekutu di sekitar pulau Jawa. Karena suaminya Elisabeth gugur dalam perang laut Jawa, dia terpaksa hidup sendirian sebagai janda. Ia bertempat tinggal di dekat rumah Hidayat. Di kampung itu tinggal juga Lien yang ditinggal mati oleh suaminya dibunuh tentara Jepang. Pada zaman yang sukar itu Hidayat bekerja di kantor pusat bahasa. Karena pikirannya yang liberal dan individual berbau Barat, dia ditahan pihak penjajah Jepang. Adanya perubahan keadaan dan politik Jepang, akhirnya dia dibebaskan. Sementara itu Lien jatuh cinta pada seorang Jepang bernama Anami. Elisabeth juga bercintaan dengan seorang perwira Jepang bernama Katsuhiko Okuta. Ketika Jepang kalah, Elisabeth kehilangan kekasihnya, begitu juga Lien kehilangan kekasihnya, karena Anami dibunuh oleh para pemuda setelah Jepang menyerah. Takdir berhasil memaparkan motivasi gerakan Jepang dan kemenangankemenangannya di Asia dalam perang dunia kedua. Perbenturan paham antara paham modern Barat melawan paham fascis militer Jepang
424 東南亞硏究 22 권 3 호
digambarkan secara luas dan mendalam lewat dialog tokoh-tokohnya. Selain itu, Takdir menggambarkan pihak Jepang yang hendak menguasai Indonesia sebagai kuasa penjajah yang tamak, sebagaimana yang dipaparkan berikut. "Pada pikiran saya bagi orang yang berpikir dengan tenang, tak ada jalan yang lain. Hanya soal waktu saja Jepang akan menyertai peperangan. Pen-dudukan Indonesia yang kaya ini telah lama menjadi sasaran mereka yang penting. ---- Mereka berbuat dan berbicara seolah-olah sudah berkuasa di negeri ini(Kalah dan Menang: 11).
Penggambaran penderitaan orang Indonesia terlihat juga pada novel Para Priyayi karya Umar Kayam. Novel ini memang tidak secara khusus berbicara tentang kehidupan dan situasi Indonesia di masa pendudukan Jepang di Indonesia, tetapi dalam bagian tertentu yang berbicara tentang masa awal kedatangan Jepang di Indonesia dikisahkan tentang kekesalan watak Sastrodarsono terhadap ketentuan yang diberlakukan Jepang mengenai sekolah, khususnya sekolah yang dipimpin Sastraodarsono di Karangdempol. Pada intinya Sastrodarsono menolak ketentuan Jepang yang mengubah tata cara yang berlaku di sekolah. Kewajiban yang diberlakukan pada guru untuk setiap pagi menghadap ke utara dan membungkuk guna menghormati Tenno Heika, kaisar Jepang yang konon diyakini
orang
Jepang
sebagai
keturunan
dewa,
ditentang
oleh
Sastrodarsono. Ketentuan lain, seperti kewajiban menggunduli rambut anak-anak sekolah dan kewajiban guru untuk belajar dan menggunakan bahasa Nippon sesegera mungkin dinilai Sastrodarsono sebagai tindakan yang tidak tepat. Sebagai bentuk ketidaksetujuan, ia mengajukan penen saja Citra Pendudukan Jepang di Indonesia dalam Beberapa Karya Novel : Antara Kekalahan dan Pemberontakan 425
sebagai guru. Namun, beberapa hari kemudian datanglah orang Jepang bernama Sato, pejabat daerah setempat, ke rumah untuk menyatakan rasa ketidaksukaan dia terhadap Sastrodarsono. Dalam situasi yang tidak memungkinkan komunikasi berlangsung baik, karena faktor kesukaran bahasa dan faktor amarah Sato yang mendapat laporan dari seseorang tentang pemberontakan Sastrodarsonon, Sato melakukan tindak kekerasan terhadap Sastrodarsono. Ia menampar kepala Sastrodarsono. Jelas tindakan Sato merupakan penghinaan yang tidak terlukiskan dan tidak termaafkan bagi Sastrodarsono. Dalam budaya Jawa kepala tidak hanya dipandang sebagai salah satu organ tubuh semata. Letak kehormatan seseorang bagi orang Jawa terletak di kepala. Karena itu, hanya diri orang yang mempunyai kepala atau orang yang sangat teristimewa, biasanya karena terkait dengan kedekatan hubungan tertentu (asmara) dan hubungan darah, seperti ibu atau ayah dengan anak, yang bisa atau boleh mengeluselus kepala. Memegang kepala seseorang tanpa suatu sebab atau dasar pembenaran yang bisa diterima merupakan tindak penghinaan dan pelecehan yang tak termaafkan. Karena itu, tindakan Sato terhadap Sastrodarsono yang guru, priyayi, dan sangat senior itu tidak dapat diberi toleransi dengan alasan apa pun. Tindakan itu merupakan kejahatan besar. Hal itu menandakan bahwa Sato adalah orang yang tidak tahu adat. Jika kelakuan Sato dipandang mewakili kelakuan orang Jepang pada umumnya, maka dapat dikatakan bahwa orang Jepang jahat dan tidak tahu adat istiadat. Itulah sebabnya setelah ditampar Jepang, Sastrodarsono digambarkan menangis tersedu-sedu seperti anak kecil. Ini dapat dapat ditafsirkan bahwa dia benar-benar merasa sakit hati yang tak terperi. Dalam konteks itu, sekali lagi bahwa kasar, tidak tahu adat, bengis, dan biadab itulah citra Jepang di mata Sastrodarsono. Dapat dikatakan bahwa watak fasisme-militerisme Jepang telah menyebarkan penderitaan berlebihan di setiap jengkal tanah. Teror
426 東南亞硏究 22 권 3 호
merupakan sistem untuk menundukkan rakyat, sedang kerakusan berlebihan menjadi tujuan dari pendudukan itu. Orang-orang Jepang yang melaksanakan tugasnya tidak segan-segan mendemonstrasikan kekejaman, kekejian dan kerakusan, dan kekerasannya yang sungguh memuakkan. Jelas
mengherankan
bahwa
Jepang
yang
semasa
kekuasaannya
mengajarkan semangat satria, semangat bushido(武士道), dalam praktek tidak berani bertanggungjawab menerima akibat perbuatan sendiri (Pramoedya 2001: 11, 22). Memang mengherankan kalau diingat bahwa Jepang untuk waktu lama telah mengimpikan menguasai Nusantara, tetapi tidak memperlihatkan perbuatan yang simpatik.4
2. Kekalahan dan Pemberontakan Masyarakat Indonesia tidak menerima ketidakadilan dan kekejaman dengan begitu sahaja, walaupun ada yang terpaksa menjadi kolaborator untuk propaganda pihak penjajah. Mereka memberi tanggapan yang berarti kepada ketidakadilan dan kekejaman tersebut. Tanggapan ini dapat
4
Sekitar awal abad ke-20 Jepang telah mencoba membuat jembatan untuk menguasai Indonesia. Orang takkan melupakan usahanya untuk menghubungi keturunan Adityawarman, Kaisar Minangkabau. Utusan-utusan yang dikirimkan memang gagal. Keturunan dinasti Adityawarman telah lebih dahulu dipunahkan kaum Padri. Pernah diberitakan bahwa salah seorang keturunannya ialah Sultan Alam Bagagar Syah, tetapi ia telah ditawan oleh Belanda, dibuang ke Batavia, dan wafat di Tanah Abang pada 21 Maret 1849. Tapi itu sudah jauh berlalu. Keturunan terkahir, Putri Reno Sumpu, karena seorang putri, tidak memenuhi selera Jepang. Bahwa Jepang berusaha untuk menguasai Indonesia bukan saja nampak dari persiapannya memiliterisasikan warganegaranya yang ada di Indonesia setelah Nederland jatuh ke tangan Nazi Jerman pada tahun 1939, tetapi juga dari pengiriman para dutanya untuk membikin Hindia-Belanda menyeah tanpa perang. Pertama, adalah para duta yang dikirimkanoleh Menteri Kobayashi pada tahun 1940, kemudian perutusan yang dipimpin oleh Yoshizawa pada tahun 1941. Dan, semua usaha ini gagal(Lihat Pramoedya 2001: 21). Citra Pendudukan Jepang di Indonesia dalam Beberapa Karya Novel : Antara Kekalahan dan Pemberontakan 427
dikatakan sebagai salah satu tipe pemberontakan. Secara harfiah 'pemberontakan' bermaksud tindak balas atau reaksi yang berlawanan antara satu pihak dengan lain. Dari itu 'pemberontakan' dapat ditafsirkan sebagai 'tantangan terhadap orde atau nilai yang sudah ada', 'reaksi terhadap rangsangan', atau 'kesadaran menentang ketidakadilan'. Penjelasan ini dapat diandaikan sebagai pertentangan antara pihak yang memerintah dengan pihak yang diperintah. Pemberontakan berasal dari rasa kekalahan. Bila seseorang diperlakukan secara tidak adil atau dicabuli hak kemanusiaannya, dia merasakan hendak memberontak. Dalam pada itu, jelas dilihat bahwa sebelum memberontak dia merasa kalah(Koh Young Hun 1990: 45-47). Maka, perasaan ini mendesaknya supaya memberontak terhadap pihak yang menekannya, yaitu pihak yang menyebabkan dia merasa kalah itu. Selain itu, ketika dia melihat orang lain diperlakukan secara tidak adil, dia juga turut merasa memberontak terhadap keadaan tersebut. Ini bermaksud bahwa tindakan memberontak bukanlah tindakan yang memikirkan kepentingan diri saja(Camus 1969: 22). Dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa pemberontakan merupakan satu sikap bersama(common attitide) untuk memberi makna kepada kewujudan manusia. Dengan demikian, Camus berpendapat bahwa justru manusia wujud, karena dia dapat memberontak (Camus 1969: 29). Dalam novel Dan Perang Pun Usai, Ismail Marahimin menceritakan usaha pelarian serombongan tawanan Jepang yang terdiri dari orang-orang Belanda yang harus bekerja membangun jalan kereta api di daerah Pekanbaru, Sumatra. Niat melarikan diri mendapat tantangan dari sebagian tawanan Belanda, meskipun usaha dan kerja sama seorang romusha Jawa bernama Kliwon. Pada hari menjelang pelarian, kepala kamp tawanan mendapatkan berita bahwa perang sudah usai. Sebelum sempat mengadakan tindakan-tindakan berhubung dengan menyerahnya Jepang,
428 東南亞硏究 22 권 3 호
para tawanan justru melarikan diri. Tindakan kepala kamp, letnan Ose, adalah menembak mereka dalam pengejaran. Tetapi sebelas orang Belanda berhasil lolos di daerah rawa-rawa, kecuali seorang dan dua sejoli Indonesia, yaitu Kliwon dan kekasihnya Lena. Jelas bahwa novel ini berkisah tentang sejumlah tokoh manusia. Lebih dari itu, Ismail mau berkisah tentang nasib manusia yang tidak mampu mengelak dari keadaan. Pengarang berhasil menarik simpati pembacanya nasib buruk perempuan Satiyah sejak Jepang menduduki Indonesia: suaminya yang impoten karena disiksa Jepang, pengalamannya melayani mandor Jepang dan akhirnya diperkosa oleh seorang perwira Jepang dalam perjalanan kapal ke Sumatra. Dapat dikatakan Satiyah menjadi mangsa kekejaman perang dan kuasa kolonial. Dia sebenarnya seorang wanita yang berpegang teguh kepada percayaan dan filsafat hidupnya, sebagaimana yang diuraikan berikut. Perempuan itu rasanya yang paling tepat mendampinginya di negeri yang jauh ini. Dan, bagi Ose sebenarnya tidak terlalu sukar. Dia tinggal melang-kah saja ke kamar perempuan itu, dan pasti tidak akan ditolak. Tetapi tidak. Satiyah begitu patuh beragama. Ose tidak mengerti perempuan itu harus menahan lapar seharian penuh, namun di samping heran, hatinya juga dirasuki kekaguman. Dan rasanya dia mengerti mengapa Satiyah mencoba bunuh diri ketika Shinji mencoba memperkosanya(Dan Perang Pun Usai: 81-82).
Namun, sebagai seorang pribumi negara dijajah yang tidak berkuasa dia menyerah kepada keadaannya saja. Jakob Sumardjo menjelaskan bahwa sikap pasrah wanita Jawa dalam menerima keadaan buruk dan selalu belajar mengambil segi kebaikan dari setiap kemalangan dengan baik diwujudkan dalam tokoh Satiyah(Jakob 1991: 237). Kalau ditinjau dari segi Citra Pendudukan Jepang di Indonesia dalam Beberapa Karya Novel : Antara Kekalahan dan Pemberontakan 429
ini, dapat dimengerti bahwa sikap Satiyah ini tidak berhubungan dengan citra kekalahan yang berpunca dari kelemahan bangsa sendiri. Pramoedya sendiri menggambarkan Hardo sebagai seorang pemberontak yang memberontakan terhadap keadaan zaman yang tidak patut itu. Hardo digambarkan: "Ia hanya bercawat kuning kumal. Seluruh pahanya kelihatan. Hanya kemaluannya saja yang tak nampak. Dalam keadaannya sebagai itu nyata betul ia memberontak terhadap keadaan dan zamannya"(Perburuan: 26). Situasi ini dihubungkaitkan dengan penjajahan Jepang, dan Hardo mencurahkan citra pemberontakannya seperti berikut. Katanya dalam kepala. "Alangkah bagus jagung di sini." Ia berjalan terus menuju ke gubuk. Berkata lagi ia dalam kepalanya. "Tapi, kalau sudah sampai waktunya, Nippon menerima yang dua pertiga. Kakinya yang sebagai sepasang tongkat carang dan bergembung pada buku-bukunya terus jua berayun. Sampailah ia ke pintu gubuk yang ternganga itu. Ber-kata sekali lagi ia dalam otaknya. "Petani takkan mungkin menerbitkan susah."(Perburuan: 26).
Pramoedya mengajukan citra kekalahan tokoh-tokohnya sebagai salah satu punca pemberontakannya. Citra kekalahan tokoh-tokoh yang muncul dalam novel ini sebenarnya adalah kekalahan bangsa sendiri. Kekalahan yang menonjol dalam karya ini diakibatkan dari sikap pegawai negeri(atau pryiayi) yang negatif. Pramoedya memandang berat sikap golongan pegawai negeri yang tidak membantu dalam kemerdekaan bangsanya. Hakikat ini menunjukkan bahwa penilaiannya terhadap golongan priyayi adalah negatif. Ini dapat dikatakan karena pihak pemerintah penjajahan mengukuhkan kekuasaannya dengan kesetiaan pembesar-pembesar pribumi. Dengan perkataan lain, mereka lebih membantu pihak penjajah untuk memerintah rakyat jelata dengan efektif. Malahan juga raja-raja pribumilah
430 東南亞硏究 22 권 3 호
yang aktif menghukum mati bangsanya sendiri dalam zaman kolonial itu(Lihat Kahin 1980: 5). Berhubungan dengan itu, Umar Kayam juga berpendapat bahwapara pendiri gerakan-gerakan penting dalam sejarah Indonesia adalah bukan golongan priyayi, melainkan mereka datang dari latar belakang santri dan pedagang yang sama sekali tidak berorientasikan etos priyayi. Anderson juga memberi pandangan yang sama seperti berikut. After 1830, the only Javanese who clashed physically with the colonialists were small clusters of Haji(returned pilgrims from Mecca), local toughs, peasants and other elements of the common people. The Javanese upper class became the pliant tool of the Dutch in erecting the ruthlessly exploita-tive Cultuurstelsel, in facilitating the depredations of private agrarian capitalism in the Liberal era and so on till the close of the colonial age(Anderson 1990: 200-201).
Kekalahan ini, walaupun pihak kuasa penjajah mengadudombakan bangsanya, bebanyakan berpunca dari kelemahan budaya bangsa yang di antaranya ketamakan raja-raja dan golongan priyayi sendiri. Pramoedya menegaskan bahwa budaya bangsanya tidak mampu menghadapi pengembangan anasir kegiatan Barat. Dan, dijelaskannya juga bahwa kelemahan budaya bangsa ini terlihat dari sifat mentalitas bangsanya yang ternampak masih terjajah. Ini dapat dikatakan karena mentalitas yang demikian akan melahirkan corak budaya dan kehidupan yang lemah dan pasif(Pramoedya 1982: 32). Dalam konteks ini, Pramoedya memberi tanggapannya terhadap sikap pegawai negeri yang lebih mementingkan pamrih saja daripada tugas yang harus dilaksanakannya dalam karya Perburuan. Hardo bersembunyi ke gubuk ladang jagungnya, yang merupakan tempat tinggap ayahnya, Mohamad Kasim yang menjadi sengsara dan setengah gila gara-gara pemberontakan anaknya. Pramoedya Citra Pendudukan Jepang di Indonesia dalam Beberapa Karya Novel : Antara Kekalahan dan Pemberontakan 431
mengajukan pandangan terhadap golongan priayi melalui dialog antara Hardo dan Mohamad Kasim. "Dulu, kawan, kalau ada datang mobil ke kewedanan, alangkah senang. Aku selalu gembira kalau menerima tamu-tamu Nippon itu. Karena, engkau mesti tahu sendiri - harapan kenaikan gaji dan pangkat! Ya, engkau mesti tahu, karena engkau bukan kere. Aku tak percaya, engkau seorang kere. Kawan, harapan pegawai hanyalah dua: kenaikan gaji dan kenaikan pangkat. (Perburuan: 34-35).
Seperti dijelaskan di atas, walaupun Pramoedya memberi tanggapan terhadap kekejaman kuasa penjajah Jepang, di sisi yang lain dia memandang berat juga terhadap warisan budaya bangsa yang dianggapnya sebagai salah satu hambatan dalam usaha kemajuan bangsanya. Maka, menurutnya penting juga melepaskan unsur-unsur warisan budaya bangsa yang negatif ini, kecuali warisan budaya yang waras, bagi mewujudkan semula bangsa yang unggul dan maju. Selain itu, pemberontakan yang dipantulkan dalam karya ini dapat dikatakan pemberontakan metafisikal. Ini dapat dikatakan karena pemberontakan metafisikal merupakan pemberontakan terhadap keadaan dan segala ciptaan(Camus 1969: 29). Demikian, maka ditimbulkan berbagai citra kekalahan dan pemberontakan yang berakarkan unsur-unsur tersebut melalui tokoh-tokoh dalam karya novel Perburuan ini.
III. Kesimpulan Walaupun sedikit banyak berbeda taraf kelantangan dalam pendedahan ketidakadilan dan kekejaman antara satu sama lain, karya-karya novel
432 東南亞硏究 22 권 3 호
tersebut memaparkan kesan-kesan yang buruk terhadap pasukan penjajahan Jepang dalam novel masing-m asing. Para novelis tidak gagal menunjukkan betapa kejamnya pihak Jepang waktu mereka menjajah Indonesia. Segala propaganda Jepang yang kosong sebenarnya mengakibatkan bencana yang menyedihkan bagi rakyat Indonesia. Keterbelakangan budaya dan kebiadaban Jepang membuat mereka terpukul dan menyengsarakan. Tidak dapat dinafikan pula bahwa pihak Jepang pernah menganiayai negeri-negeri tetangga untuk kepentingan diri Jepang. Tidak masuk akal juga seandainya ada yang berpendapat bahwa pendudukan kuasa kolonial Jepang bermanfaat bagi modernisasi masingmasing negeri yang pernah dijajah olehnya. Dalam konteks ini, kemungkinan besar ada peranan penting dari kalangan sastrawan dan budayawan setempat untuk memperbaiki penjungkirbalikan fakta sejarah yang berkaitan dengan pendudukan kuasa Jepang di masing-masing negeri. Dalam pada itu, sastrawan-sastrawan yang pernah menulis untuk kepentingan propaganda pihak penjajah di Indonesia, walaupun tidak dapat dikatakan kolaborator, tidak disalahkan oleh masyarakat pada masa itu ataupun sekarang. Hakikat ini jauh berbeda dengan kedudukan sastrawan Korea yang menghasilkan karya yang berkecenderungan memihak pihak Jepang akhirnya dicap dan dituduh sebagai kolaborator.
Citra Pendudukan Jepang di Indonesia dalam Beberapa Karya Novel : Antara Kekalahan dan Pemberontakan 433
Anderson, Benedict R. O'G. 1961. Some Aspects of Indonesian Politics Under the Japanese Occupation: 1944-1945. Uthaca: Cornell University. Bahrum Rangkuti. 1963. Pramoedya Ananta Toer dan Karya Seninya. Jakarta: Gunung Agung. Camus, Albert. 1969. The Rebel. Anthony Bower(trans.) Middlesex: Penguin Books. Erman Radjagukguk. 1979. “Pemahaman Rakyat tentang Hal atas Tanah”, dalam Prisma 9, Hoggart, Richard. 1966. "Literature and Society" dalam Mckenzie(ed.). A Guide to the Social Science. Ismail Marahimin. 1979. Dan Perang Pun Usai. jakarta: Pustaka Jaya. Jakob Sumardjo. 1991. Pengantar Novel Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. Koh Young Hun. 1996. Pemikiran Pramoedya Ananta Toer dalam NovelNovel Mutakhirnya. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Koh Young Hun. 1990. "Mitos Kelahan dan Imej-imej Pemberontakan dalam Drama Moden Malaysia". MA thesis. Kuala Lumpur: University of Malaya. Lukcs, Georg. 1971. The Theory of the Novel. Massachusetts: The MIT Press. Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Pramoedya Ananta Toer. 2001. Cerita Dari Blora. Jakarta, Jakarta: Hasta Mitra. Pramoedya Ananta Toer. 2001. Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer.
434 東南亞硏究 22 권 3 호
Jakarta: KPG. Pramoedya Ananta Toer. 1983. “Perburuan 1950 and Keluarga Gerilya 1950” dalam Indonesia No.46. Ithaca: Cornell University. pp.25-48. Pramoedya Ananta Toer. 1950. Perburuan. Jakarta: Balai Pustaka. Sartre, J. P. 1970. What Is Literature? Bernard Frechtman(trans.). London: Methuen. Sutan Takdir Alisjahbana. 1981. Kalah dan Menang. Jakarta: Dian Rakyat. Teeuw, A. 1997. Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer. Jakarta: Pustaka Jaya. Teeuw, A. 1995. “Revolusi Indonesia dalam Imajinasi Pramoedya Ananta Toer” dalam Jurnal Kalam No. 6. pp. 4-47. Teeuw, A. 1978. Sastra Baru Indonesia. Ende: Nusa indah Toha Mohtar. 1957. Pulang. Jakarta: Pustaka Jaya. Umar Junus. 1974. Perkembangan Novel-Novel Indonesia. Kuala Lumpur: University of Malaya.
Citra Pendudukan Jepang di Indonesia dalam Beberapa Karya Novel : Antara Kekalahan dan Pemberontakan 435
국문요약
인도네시아 소설에 나타난 일본 식민통치군의 이미지 : 패배와 저항 고영훈 (한국외대)
'대동아공영권'을 기치로 한 1942 년 3 월 일본군의 인도네시아 진주 는 초기 인도네시아인들의 환영을 받았지만 이후 일본의 야욕을 목격 한 대부분 인도네시아인들에게 부담을 주는 식민통치로 이어졌다. 한 국, 대만 등에서 30 년 이상 식민통치의 노하우를 축적한 일본은 인도 네시아를 효과적으로 수탈하고 태평양전쟁의 군수물자 기지화하였다. 문학이 당대의 사회를 반영한다는 문학사회학적인 입장에서 일본식 민통치 시기의 소설에 투영된 일본군의 이미지를 탐구해보는 것은 의 미 있는 일이다. 이와 같은 맥락에서 본 논문에서는 쁘라무디아, 알리 샤바나, 또하 모흐따르 등의 작품에 투영된 일본군의 이미지를 분석하 였으며 그 결과 인도네시아 작가들의 식민통치당국에 대한 적개심과 분노를 표출함과 동시에 그와 같은 상황을 초래케 한 피식민통치국의 나약함에 대한 반성도 엿볼 수 있다. 또한 이들 작가들은 일본식민통 치 당국에 대한 저항의식 이전에 자신들의 패배의식을 느끼는 과정을 거치는 것을 발견할 수 있다. 이는 저항의식과 패배의식이 전혀 동떨 어진 것이 아니고 서로 상관관계에 있다는 것을 반증하는 것이다. 빤디르 끌라나의 <다섯개 이름을 가진 까다르와띠>에서는 일본군 의 여성에 대한 학대, 1945 년 2 월에 발생한 조국방위군 간부들의 반 란을 모델로 그린 쁘라무디아의 <도망자>에서는 일본군의 착취와 자 국인의 열등감, 또하 모흐따르의 <귀향>에서는 일본군의 지원군에 차
436 東南亞硏究 22 권 3 호
출됨으로써 겪는 내면적 괴로움, 알리샤바나의 <패배와 승리>에서는 일본군의 진주로 인한 삶의 부정적 변화 등 일본군의 착취에 대한 구 체적인 반응을 그리고 있다. 일본군의 식민통치에 대한 반응의 정도가 작가마다 서로 변별적이지만 그들에 대한 부정적인 경향이 주류인 것 은 부인할 수 없다. 이들 작가들은 ‘대동아공영권’이 얼마나 허울좋은 구실이엇는가하는 것을 그들의 작품을 통해 드러내보이고 있다. 아울 러 그들은 일본의 진주가 인도네시아군도에 도래한 다른 외부세력과 다르다는 점, 즉 미개하고 착취적이라는 점을 부각시키려하고 있다. 주제어: 인도네시아 소설, 일본식민통치, 대동아공영권, 패배, 저항
▸ 논문접수일 2012. 12. 03 ▸ 논문심사일 2012. 12. 18 ▸ 게재확정일 2013. 01. 07
Citra Pendudukan Jepang di Indonesia dalam Beberapa Karya Novel : Antara Kekalahan dan Pemberontakan 437
438 東南亞硏究 22 권 3 호