CHICHA
MARA
Penerbit NulisBuku.Com
MARA Oleh: CHICHA Copyright © 2013 by Chicha
Penerbit NulisBuku.Com www.nulisbuku.com
Desain Sampul: MARCEL AULIA
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
2
Ucapan Terimakasih:
Terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang membuat segala hal menjadi mungkin, my everything. Terima kasih kepada Ibu saya, my personal angel. Terima kasih kepada suami saya, my partner in life. Terima kasih kepada puteri saya, my reason to live. Terima kasih kepada Ayah saya, my dark side, with love, may you rest in peace.
3
Catatan Penulis:
Gangguan Bipolar adalah sebuah kondisi di mana penyandangnya mengalami perubahan suasana hati dari sangat baik menjadi sangat buruk dan depresi. Perubahan ini terjadi dalam waktu yang sangat cepat. Ada dua jenis gangguan Bipolar, yaitu Bipolar tipe I dan Bipolar tipe II, di mana Bipolar tipe II adalah jenis yang lebih ringan. Penyandang Bipolar tipe II masih bisa menjalani hidup sehari-hari dengan normal dan tidak pernah kehilangan kontak dengan realitas. Gejala dari gangguan Bipolar tipe II antara lain, bersemangat, penuh energi, kreatif, cepat marah, tampak gembira, kebutuhan seks yang tinggi, dan aktif. Periode ini bergantian dengan episode depresi dan suasana hati normal. Gejala tersebut bisa muncul dalam bentuk pikiran yang bertubi-tubi, kegelisahan, insomnia, atau semuanya sekaligus. Penyandang Bipolar tipe II berisiko tinggi untuk melakukan bunuh diri, dan bisa meningkat lebih parah menjadi Bipolar tipe I. (Diringkas dari berbagai sumber – Wikipedia, PsychEducation.org, dll)
4
Love is a serious mental disease – Plato
5
Satu Rumah itu lebih mirip benteng. Besar dan kokoh. Pagar yang sangat tinggi berjejer menantang seakan mengatakan, “Kau tidak bisa masuk ke sini tanpa izin!” Keindahannya membuat mereka yang melintas merasa kagum. Kemewahannya yang angkuh membuat mereka yang tidak berkepentingan merasa minder. Gedung rumah itu sendiri hampir tak kelihatan dari luar karena tertutup pagar. Jauh di dalam, berdirilah tembok-tembok beton yang melindungi para penghuninya dari cuaca, polusi, orang-orang jahat, dan mungkin ledakan granat. Seperti rumah-rumah megah pada umumnya, suasananya sepi. Rumah seluas ribuan meter tentu mampu meredam semua suara penghuninya dan seluruh staf nya yang hanya segelintir orang. Seakan mereka lenyap tertelan kemegahan rumah itu. Senyap dan dingin, hanya kesan itu yang tertangkap dari dekat. Jika dibandingkan dengan rumah yang seperti ini, Niko merasa lebih baik akan masa kecilnya di panti asuhan. Walau dibuang oleh 6
orang tua kandungnya, kehidupan di panti pastilah lebih baik daripada hidup bersama manusia biadab yang melahirkannya ke dunia. Tak ada bedebah yang harus ia panggil Ayah, tak ada sundal yang harus ia sebut Ibu. Tak ada penganiayaan batin dari orang-orang yang tak bahagia akan hidupnya sendiri. Lima belas menit sudah ia berdiri di teras rumah itu, namun rasanya seperti dua jam. Yang terngiang hanya suara Mba Mela “Jangan titipkan obat-obatan itu pada satpam atau pembantu di rumah itu, berikan langsung pada pasiennya.” Mara Sagita, 22 tahun, Bipolar tipe II – hypomania. Hanya itu yang sempat ia baca pada folder Dr. Aswanda tentang pasien di klinik kejiwaannya itu. Enam tahun lebih muda dari dirinya. Apa yang terjadi padanya? Ia mulai kesal menunggu karena Jero dan Julie sudah menantinya di “Night Shift”, tapi membantu Kak Aswanda adalah prioritasnya sebagai balas budi atas semua bantuannya selama ini. Pintu utama dibuka perlahan, membuatnya menoleh mencari wajah seseorang di baliknya. Dua bola mata yang sendu menatapnya, dua lingkaran gelap di bawah kedua matanya tampak sangat kentara. Wajah pucat dari seorang wanita muda yang kurus tinggi, menyambutnya dengan malas dari balik pintu.
7
“Aku mengantarkan tebusan resep dari Dr. Aswanda untuk Mara Sagita,” Niko menyampaikan tujuannya. “Oh… itu aku,” gadis itu mengulurkan jemarinya yang bercat kuku hitam. Gelang-gelang kulit yang semrawut menutupi pergelangan tangannya. Setelah Niko memberikan amplop berisi obatobatan itu, ia memperhatikan sosok wanita muda yang memeriksa isi amplop dengan gerakan yang lemah tak bersemangat. Anting-anting menghiasi seluruh telinga kirinya dan satu anting menyembul di bawah bibirnya yang tebal. Sebuah tato bunga mawar berbuntut iblis melingkar dari balik telinga kanan ke lehernya. Rambut hitam pekat yang bergelombang diikat ke atas menyerupai konde yang berantakan. Pakaian yang sangat minim menunjukkan bahwa ia pasti beranjak dari tempat tidurnya langsung ke pintu depan. Puting susunya menerawang dari balik tank top putih yang tipis. Ia menghela nafas panjang dan terlihat kesal “Obatnya kurang,” katanya. “Errh…apa kau yakin?” Niko memastikan. “I need double dose of Lithium. Katakan saja pada Dr. Aswanda, perubahan mood-ku belakangan ini…mematikan,” ia menambahkan dengusan sinis di akhir pernyataannya itu. Mereka terdiam sejenak, Niko tak tahu harus bagaimana menanggapinya. “Bisakah kau mengantarkannya lagi besok?” kedua bola mata sendu itu berubah memelas. “Tentu,” ujarnya tanpa berpikir panjang. Mara 8
melirik ke halaman depan rumahnya di mana Niko memarkir vespa kuningnya. Sebuah senyum merekah di wajah pucatnya, senyum yang sangat manis di mata Niko. “Woow…vespa-mu keren sekali!” dan mata-mata itu pun tampak sedikit lebih hidup. Ada sesuatu yang bergejolak dalam dada Niko yang tak dapat ia jelaskan. Ia tersipu namun tak mampu memalingkan pandangannya dari wajah Mara yang menjadi sangat familiar setelah tersenyum dengan kerlingan matanya yang indah. “Erhh… ya itu motor kesayanganku sejak kuliah, …mungkin karena hasil kerjaku yang pertama,” ia menjelaskan untuk menutupi kekikukannya. Mara menghampiri motor itu dan membelainya seakan vespa itu adalah seekor kuda poni yang menggemaskan. Mulus dan sangat terawat. Kuning seperti buah timun suri yang sudah matang. “Siapa namamu?” tanya Mara. Bahasa tubuhnya mensinyalir ketidaknyamanannya, namun ia segera mengulurkan tangannya, “Nikolas, panggil saja Niko”. Sebuah senyum kembali muncul di bibirnya. “Niko, boleh aku menaiki motormu, kapan-kapan?” Lelaki berperawakan tinggi dan gagah itu berubah seperti ayam yang canggung dan menganggukangguk. Tiba-tiba mereka mendengar suara wanita memanggil dari dalam rumah. “Itu ibuku, sebaiknya aku kembali ke dalam,” Niko kembali mengangguk setuju. “Jadi, besok kau akan ke sini lagi?” Pria malang itu masih mengangguk, “Ya, aku akan 9
mengantarkan obatmu yang kurang.” Hening. “Baiklah, terima kasih ya,” katanya, lalu menghilang ke dalam rumah raksasa itu. Dalam keheningan yang singkat itu, dan setelah Mara tak lagi dalam jarak pandangnya, ia bisa mendengar detak jantungnya yang menjadi lebih cepat dari biasanya. Denyutnya terasa hingga ke telinganya. Mengapa wanita itu tiba-tiba tampak sangat familiar? Dan hatinya pun setuju, Mara terasa begitu dekat. Ia tak habis pikir, mengapa ia menyetujui untuk kembali keesokan harinya untuk mengantarkan obatnya, karena sebenarnya ia sudah terlanjur mempunyai janji temu dengan vendor di “Night Shift”. Yang lebih memusingkan lagi, mengapa ia tak bisa berhenti tersenyum sepanjang perjalanannya ke “Night Shift” dan satu hal terus berulang dalam benaknya, “Mara Sagita, ada sesuatu tentangmu yang sangat kukenal.” Dibesarkan di panti asuhan tak selamanya merupakan sesuatu yang buruk. Ia tumbuh bersama teman-teman yang senasib dengan dirinya, termasuk Kak Aswanda yang juga penghuni Panti Pelita Hati. Mereka termasuk beruntung karena panti membiayai sekolah hingga tingkat SMA. Selebihnya, Kak Aswanda banyak membantu Niko selama kuliah hingga ia mampu mencari uang dan menabung, bahkan kini mencoba membuka usaha dengan dua sahabatnya ketika kuliah dulu.
10
Mengenang masa lalu kadang membawanya pada lamunan yang panjang, bila pertanyaanpertanyaan tentang hidup mulai mencuat “Siapa orang tuaku?” “Mengapa mereka menelantarkan aku?” “Di mana mereka sekarang?” maka ia langsung mengalihkan pikirannya pada hal-hal lain. Ia lebih suka mengenang masa ketika bekerja di kapal pesiar di mana ia mampu mengumpulkan banyak uang yang bisa ia gunakan untuk berbisnis saat ini, dan tempattempat yang ia singgahi selama bekerja di sana. Ia merasa sangat beruntung telah mendapat kesempatan melihat dunia melalui pekerjaannya. Ia juga sering kembali ke masa kuliahnya ketika berteman dengan Jero dan Julie. Mereka seperti malaikat pelindungnya, dan persahabatan mereka sangat ia junjung tinggi, lebih dari apa pun. Begitu juga Kak Aswanda, orang yang seumur hidupnya akan selalu ia anggap sebagai ‘saudara’nya. Satu hal yang selalu ia impikan karena tumbuh di panti asuhan adalah merasa diterima, tempat yang bisa ia sebut ‘rumah’, orang-orang yang bisa ia percaya, pengisi kekosongan yang orang awam menyebutnya dengan ‘keluarga’. Sedikit banyak, kenyataan tentang orang tuanya kerap membuatnya pahit getir memandang kehidupan, namun ketegarannya mampu membawa Niko pada titik ini dalam hidup. Mengantongi gelar sarjana bidang pariwisata, pengalaman bekerja di hotel berbintang dan kapal pesiar, tabungan yang cukup untuk memulai usaha gabungan dengan dua 11
sahabat yang kebetulan bernasib jauh lebih beruntung daripada dirinya. Jero dan Julie adalah kakak beradik dari keluarga yang sangat mampu. Orang tua mereka kaya, namun mereka dididik untuk tidak mengandalkan kekayaan orang tua. Itu juga salah satu sebab mengapa Niko bisa bersahabat dengan mereka. Kebanyakan anak-anak yang tumbuh dengan latar belakang seperti itu hanya memandang Niko sebelah mata. Anak-anak borju yang manja dan hanya menghabiskan harta orang tua alih-alih mencari pekerjaan dan bekerja keras untuk kehidupannya sendiri. Siang itu, ia masih harus menyelesaikan beberapa pekerjaan cat, instalasi toilet dan selang air di kamar kecil, serta pekerjaan tukang lainnya yang ia kerjakan sendiri. Itu adalah salah satu kontribusi yang bisa ia berikan dalam bisnis gabungannya karena tabungannya terbilang kecil untuk bisnis yang cukup ambisius. Sementara kedua sahabatnya lebih banyak berkontribusi secara finansial, ia memberikan segala kemampuan dan waktunya untuk keberhasilan bersama. Terang, terang, terang. Apa yang ia harapkan dari hidup ini adalah terang. Jalan yang terang, harapan yang menerangi masa depan, dan pikiran yang terang untuk menggapai impian. Karena bila ia selalu melihat ke belakang, hanya redup yang menatapnya.
12
Julie sedang sibuk menghitung dan membenahi arsip-arsip calon pegawai, kontrak, purchase order, dan sebagainya. Ia bukan hanya sekedar sahabat, namun seperti adik bersama. Wanita yang cerdas, anggun dan rendah hati. Walau tumbuh sebagai Tuan Puteri di keluarganya, ia adalah wanita yang peka dan peduli pada lingkungan dan orangorang di sekitarnya. Jari-jarinya yang lentik sibuk mencatat, menekan kalkulator, menari-nari di atas kertas dan wajahnya yang sejuk tampak serius menekuni apa yang sedang dikerjakannya. Suatu pertanda bahwa dari sisi administrasi dan keuangan, semuanya akan baik-baik saja di tangan Julie. Jero berada di kantor, ia belum meletakkan gagang telpon sejak pagi. Dengan sebuah pena diselipkan di telinga, sesekali ia gunakan untuk menulis, menggigitnya ketika menunggu telpon tersambung, atau mengetuk-ngetukannya di meja sambil berbicara. Wajahnya lelah namun selalu ceria dan penuh semangat. Ia pria yang selalu tahu harus mengatakan apa dalam situasi apa pun, itu sebabnya semua urusan promosi, pemasaran dan kerjasama dilimpahkan kepadanya. Niko menggamit gitar akustik yang bersanding di tepi panggung, lalu ia duduk di kursi bundar di depan sebuah mic. Salah satu tugasnya adalah memastikan sound system di area panggung bekerja dengan baik karena nantinya para pengunjung bisa menyumbangkan lagu dengan diiringi oleh home band. Niko adalah seorang 13
penyanyi ‘kamar mandi’ yang tidak jelek, ia juga mampu memainkan gitar yang ia pelajari secara otodidak di panti asuhan. Tatanan lampu telah ia perbaiki, sinar redup menyorot ke panggung. Nuansa remang yang hangat cocok untuk tema “Night Shift” yang dikhususkan untuk tempat kumpul para sahabat yang ingin menikmati keakraban dengan makan, minum dan musik. Half of what I say is meaningless But I say it just to reach you, Julia Lagu itu selalu berhasil membuat Julie tersenyum. Segera saja ia terusik dari pekerjaannya dan meletakkan semua arsip-arsipnya untuk memusatkan perhatiannya ke panggung. Julia, Julia, Ocean child, calls me So I sing the song of love, Julia Julia, seashell eyes, windy smile, calls me So I sing a song of love, Julia Sesekali Niko melihat apakah senandungnya yang pas-pas-an mampu membuat Julie tersipu menyimak lagu The Beatles kesukaannya. 14
Her hair of floating sky is shimmering Glimmering…in the sun Julie, Julia, morning moon, touch me So I sing a song of love, Julia Sayup-sayup Jero mendengar alunan gitar dan nyanyian Niko, ia pun memutuskan untuk meletakkan penanya dan meregangkan kedua lengannya ke atas. Sepertinya, pertunjukkan kecilnya menjadi alaram bagi semua untuk rehat sejenak dan bersantai sesuai misi dari bisnis mereka itu sendiri. When I cannot sing my heart I can only speak my mind, Julia Julia, sleeping sand, silent cloud, touch me So I sing a song of love, Julia Hum hum hum hum, calls me So I sing a song of love, Julia, Julia, Julia
15