CERPEN 1 “PASIR” Juara 1 Blog Writing Competition ‘Letter of Happiness’ atas kerjasama Penerbit Nulis Buku dan The Bay, Bali MARET 2014
PASIR Hasdevi Agrippina Dradjat
Nusa Dua, Bali, Maret 2014 Kapan kamu mau pulang, Kak? Papa nyariin kamu. Sudah sepuluh kali aku membaca pesan singkat yang dikirimkan oleh adikku, Aya, pagi ini. Sudah dua jam yang lalu sejak pesan singkat itu terkirim. Namun, belum juga aku memiliki nyali untuk membalas pesan singkat itu. Sudah sebulan berlalu semenjak pertama kali aku menginjakkan kaki di pulau dewata ini. Siapa yang tidak mengenal Bali dengan segala keindahan pantainya. Ombaknya yang lembut menyentuh butiran pasir pantai. Aku dapat merasakan deru angin sepoi-sepoi menyentuh lembut kulitku. Sejauh mata memandang, aku melihat hamparan air laut yang berwarna biru bening yang menyejukkan mata. Tempat ini memang menyajikan sebuah pemandangan magis yang begitu indah. Bali memang terkenal sebagai tempat yang sering kali dicari oleh para wisatawan untuk sekedar berkunjung dan mencicipi keindahannya. Tetapi banyak pula wisatawan
yang
datang
untuk
mencari
sebuah
kedamaian
yang
menenangkan. Seperti juga aku. Itulah yang aku cari di sini. Sebuah ketenangan. Sebuah kepasrahan. Seperti pasir yang akan selalu membiarkan air laut menyeretnya kemana saja. Mungkin terkadang hidup seharusnya seperti itu, menikmati masa kini dan membiarkan waktu menyeret kita kemana saja. *
Tempat ini adalah tempat yang selalu ingin kudatangi semenjak pertama kali menginjakkan kaki di pulau dewata. Sebuah restoran dengan beberapa patung dan elemen air khas Bali modern yang menghiasi bagian welcome area-nya. Restoran ini terletak di Pantai Nusa Dua yang menyajikan pemandangan laut yang begitu indah. Tapi, tetap saja, pasir pantainya lah yang aku cari. ... Pasir. Tentu saja. Aku pernah memiliki seorang teman yang begitu jatuh cinta pada pasir. Ia sangat mencintai pantai hingga bercita-cita untuk pergi mengelilingi pantai-pantai di Indonesia dengan menggunakan mobil landover miliknya yang ia beli dari hasil tabungannya sendiri. Kecintaannya pada pasir, begitu membuatku kagum. Yogyakarta, Desember 2012 “I don’t know you, who is standing next to me...” Bibirku ikut bergumam mengikuti alunan lagu favorit yang mengalun indah di dalam mobil berwarna cokelat ini. Sebuah lagu milik duo Endah ‘n Rhesa yang berjudul Baby It’s You. Lagu ini sepertinya menjadi pelengkap manis perjalanan liburanku kali ini.
“Aku lupa,” katanya setengah berteriak sambil menepuk jidatnya yang sudah dipenuhi peluh karena letih menyetir melalui medan menanjak menuju ke sebuah pantai indah di kawasan Gunung Kidul, Yogyakarta. Hari itu, ia memintaku untuk menemaninya menuju pantai indah itu dengan mobil Land Rover keluaran tahun 1969-nya. “Lupa? Kamu lupa apa?” aku bertanya sambil mengernyitkan dahiku. “Aku lupa bawa botol,” ia berkata dan menunjukkan ekspresi sedihnya karena lupa membawa botol. Kupikir ia lupa membawa hal lain yang lebih penting. Tapi, kenapa botol? “Memangnya di sana susah sekali untuk buang air kecil?” aku bertanya dengan lugunya. Seketika tawanya meledak. Kulihat bahunya bergerak naik turun kala tertawa. Seolah-olah kalimat yang baru saja aku lontarkan adalah kalimat terlucu yang pernah ia dengar, “Bukan buat buang air kecil, Ivana.” “Lalu, untuk apa?” aku bertanya lagi dengan lugunya. “Aku ingin mengumpulkan pasir.” ia bercerita dengan penuh semangat, “Kamu tau pasir di setiap pantai itu berbeda-beda. Gunung Kidul memiliki banyak pantai, namun pasirnya berbeda-beda. Entahlah. Aku seringkali mengumpulkan pasir dari setiap pantai yang kudatangi, sekadar untuk mengingatkanku bahawa aku pernah ke sana.” Aku
mendengarkannya
dengan
seksama.
Bahkan,
ketika
ia
menceritakan tentang pasir seolah-olah ia seperti menceritakan tentang sosok yang begitu membuatnya jatuh cinta. Matanya berbinar-binar dan senyumnya merekah. Seperti halnya seorang anak kecil yang begitu bahagia menceritakan tentang cokelat kesukaannya. Seperti itulah lelaki ini pada pasirnya.
“Matur nuwun, nggih, Bu.” ia berkata dengan sopan sambil mengambil dua botol air mineral berukuran 330 ml dari seorang ibu tua dan menyerahkan salah satunya kepadaku. Ibu tua itu terlihat begitu bahagia ketika temanku ini menyerahkan selembar uang sepuluh ribuan dan mengatakan agar sang ibu mengambil utuh kembaliannya. “Fajar...” aku bergumam. “Minum, Ivana. Kamu pasti haus.” ia tersenyum. Lalu dengan cepat menghabiskan air mineral yang sedari tadi digenggamnya. Mungkin perjalanan menuju pantai ini terlalu melelahkan untuknya. Beberapa detik kemudian,
ia membuka tutup botol
itu
dan
mengambil beberapa genggam pasir di pantai ini serta membiarkannya masuk ke dalam botol tersebut. Matanya berbinar-binar saat melakukan hal tersebut. Persis seperti saat ia menceritakan tentang pasir di mobil tadi. “Kenapa kamu suka sekali dengan pasir?” aku bertanya ingin tahu. Aku mengenal Fajar sejak kecil namun baru kali ini aku melihatnya sangat menyukai sesuatu. “Kamu pernah dengar filosofi pasir?” tanya Fajar, “Makin digenggam, ia akan semakin keluar melalui sela-sela jari. Tetapi bila genggamannya dilepas, ia akan diam bertahan di atas telapak tangan kita. Manusia seharusnya menggenggam seperti pasir, jangan menggenggam sesuatu terlalu
erat,
dan
mengetahui
kapan
waktunya
untuk
melepaskan
genggaman itu.” Aku terdiam. Kupandangi sosok Fajar yang bertaut 10 cm lebih tinggi dariku. Bola matanya yang berwarna hitam menatapku dengan teduh dan tenang. Kurasakan ketenangan dari setiap kalimat yang diucapkannya barusan. Seolah kalimat-kalimat tersebut adalah kalimat yang berasal dari relung
hatinya yang terdalam. Baru kali ini kulihat Fajar menampilkan sisi lain dari dirinya. “Yang ini pasir buat kamu saja.” Fajar tersenyum dan memberikan botol berisi pasir itu padaku. ... “Agar suatu hari kamu ingat bahwa kita pernah pergi ke Pantai Baron di Gunung Kidul.” * Jakarta, Februari 2014 “Papa pengen kamu melanjutkan Master di Australia, lanjutkan bisnis Papa.” Aku terhenyak dan menatap Papa. Bagaimana pun, keputusan terkait dengan masa depan memang akan selalu terdengar sulit. “Aku butuh waktu untuk berfikir, Pa. Papa tahu sendiri aku mencintai dunia lanskap lebih dari apa pun. Bagaimana bisa aku mengkhianati diriku menuruti kemauan Papa.” aku menjawab Papa dengan napas yang sedikit tercekat. “Kamu lihat sekeliling kamu. Gedung-gedung bertingkat. Gedunggedung pencakar langit. Semua orang tengah berusaha dan berlombalomba untuk meningkatkan bisnisnya masing-masing.” Papa berkata kemudian berdeham panjang. “Papa nggak tahu kan, bahwa setiap tahunnya ruang terbuka hijau di bumi kita mengalami penurunan yang disebabkan oleh alih fungsi lahan. Kalau terus-menerus seperti ini, manusia akan menangis ketika sudah tidak ada lagi ruang terbuka hijau dan pada detik itu mereka akan menyadari bahwa uang tidak dapat membeli oksigen di bumi ini,” aku membuka
argumenku pada Papa. Bagaimana pun, pembicaraan tentang topik masa depan ini tidak akan ada habisnya. “Tapi, Papa pengen kamu menjalankan bisnis Papa.” Papa berkata pelan namun tajam. Dapat kurasakan penekanan pada setiap kata yang keluar dari mulut Papa. Tanda Papa serius mengucapkannya. “Apa Papa akan selalu seperti ini? Menekan setiap kemauan Papa tanpa ingin mendengar opini dari pihak lain,” aku berdalih sengit. Entahlah angin dari mana yang mampu membuatku berkata sedemikian tegas pada Papaku. “Papa sudah menuruti kemauan kamu dengan membiarkan kamu mengambil jurusan itu pada tingkat sarjana kamu. Setelah penelitian skripsi terasering di Tegalalang, Ubud, Papa mau kamu tetap melanjutkan bisnis Papa.” Papa berkata lebih tajam. Dapat kurasakan Papa lebih menekan setiap kata yang dikeluarkannya barusan. “Pa, aku...” Prang! Aku mendengar Papa membanting sendok dan garpu miliknya. Papa kemudian melihat ke arahku, “Tidak ada penawaran lain, Ivana, pulang dari Bali kamu segera apply beasiswa Master di Australia.” ... Aku menatap Mama dan Aya yang hanya tertunduk dan berpurapura
terlihat
sibuk
dengan
makanan
di
hadapan
mereka.
Tanpa
mengucapkannya pun, aku merasa yakin bahwa Mama dan Aya sama terkejutnya dengan diriku. ...
Aku mengenal Papaku sebagai pribadi yang tenang dan jarang sekali mengeluarkan amarahnya. Namun, kali ini terlihat berbeda. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa Papa benar-benar marah kepadaku. * Nusa Dua, Bali, Maret 2014 “Bebek
bengil
dan
sambal
matahnya,”
seorang
pramusaji
menghampiriku dengan ramah. Aku melihat ke arah piringku. Sepotong bebek goreng separuh ekor disajikan bernama nasi putih. Di atas piring tersedia juga sambal matah (sambal mentah). Bebek goreng itu terlihat gurih dan renyah dengan kulit yang digoreng berwarna cokelat kekuningan. Di sebelah piring itu terdapat kelapa muda yang disajikan secara utuh. Tetapi, ada hal lain yang lebih mencuri perhatianku. Sebuah botol berisi pasir putih diletakkan persis di sebelah piring milikku. “Memangnya The Bay selalu menyediakan pasir Pantai Nusa Dua bagi setiap pengunjung yang datang?” aku bertanya bingung sambil terus memperhatikan botol berisi pasir itu. “Tidak, Mbak. Yang ini khusus untuk Mbak saja, dari Bli itu...” ucap si pramusaji sambil mengarahkan ibu jarinya ke arah jarum panjang angka delapan, persis di belakangku. Di sana, aku melihatnya. Ia yang sedang tersenyum ke arahku. “Fajar?” aku bertanya sambil setengah mati menahan senyumku. Bagaimana mungkin teman masa kecilku yang kutahu pasti berkuliah di sebuah universitas negeri di Yogyakarta dapat serta merta berada di hadapanku sekarang. Di Pantai Nusa Dua. Fajar menghampiriku sambil tersenyum dan duduk di hadapanku. “Kadang, hidup itu seperti pasir yang terseret terbawa ombak laut, menjadi basah, lalu melarutkan setiap butirnya ke berbagai tempat.”
“Iya, tapi kamu lagi ngapain di sini?” tanyaku sambil tersenyum, “Aku lagi penelitian tentang terasering di Tegalalang, Ubud.” “Haha aku juga,” Fajar tertawa, “Tapi penelitianku tentang efektivitas kinerja tenaga kerja di sebuah bank konvensional di Denpasar.” Aku menghela napas. Semacam penelitian yang diinginkan Papa. “Itu tadi pasir Pantai Nusa Dua. Biar kamu ingat kalau kamu pernah menginjakkan kaki di sini.” Fajar berkata dengan tenang. Aku melihat ada sebuah senyum tersungging di bibirnya, “Nggak nyangka yah, dulu kita pernah bareng di Pantai Baron dan sekarang di Nusa Dua.” Aku melepaskan alas kakiku, merasakan sedikit banyak pasir Pantai Nusa Dua yang dengan lembut menyentuh jari-jari kakiku, “Bukan hanya ingat dengan Pantai Nusa Dua, aku juga akan ingat bagaimana rasanya menyentuh pasir di pantai ini.” ... “Ada
kalanya
hidup
itu
memang
seperti
pasir.
Coba
ambil
segenggam pasir dengan tanganmu. Biarkan yang berlebih keluar perlahan melalui sela-sela jarimu. Tapi, kamu jangan lupa, kamu masih punya pasir di genggaman tanganmu.” Fajar tersenyum, “Begitu pula dengan hidup, ada kalanya kita harus berhenti mencari untuk mengapresiasi apa yang kita punya.” Aku tersenyum pada Fajar. Pria pasir itu. “Nggak selamanya kita bisa hidup sendiri. Terkadang, hal yang selama ini kita cari justru ternyata telah kita miliki. Kadang kebahagiaan yang nyata itu bukannya dicari, tapi justru berada di dekat kita.” Fajar tersenyum penuh arti.
“Apa kita harus membiarkan kebahagiaan kita ditentukan oleh orang lain?” aku bertanya pada Fajar. Jika Fajar memang telah dewasa, seharusnya ia juga sudah cukup dewasa untuk menjawab pertanyaanku ini. “Aku
mengenalmu
sebagai
sosok
yang
pengasih
dimana
kebahagiaanmu tercipta jika orang di sekelilingmu bahagia. Karena terkadang apa yang baik menurut kita belum tentu adalah yang terbaik untuk kita,” Fajar tersenyum lagi. Seolah-olah mengerti dengan persoalanku saat ini. Aku teringat sesuatu. Sedetik kemudian, aku meraih ponselku lalu mengetik sebuah pesan singkat dengan cepat. Menekan kontak Aya lalu mulai mengetik pesan singkat itu. Aku akan pulang besok, Kak. Sayup-sayup aku mendengar alunan suara Endah sang vokalis Endah ‘n Rhesa mulai terdengar dari dalam restoran The Bay. Sebuah lagu yang diputar untuk mempermanis suasana kali di restoran ini. Aku ingat sekali dengan lagu ini. Baby It’s You yang dulu juga menemani perjalananku bersama Fajar menuju Pantai Baron. “Kadang kebahagiaan itu tidak memerlukan sesuatu yang megah, pertemuan sederhana dengan kamu pun sudah memiliki arti dan cukup membuatku bahagia.” aku tersenyum.
CERPEN 2 “LANSKAP IBUKOTA” Juara 1 Short Story Competition ‘Himasiera Olah Talenta’ Himpunan Mahasiswa Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (Himasiera) Institut Pertanian Bogor NOVEMBER 2012
LANSKAP IBUKOTA Hasdevi Agrippina Dradjat
Rasanya ini masih seperti mimpi. Mimpi yang dulu menyeret khayalan-khayalan Faikar untuk menjadi nyata. Tentang estetika. Tentang konstruksi. Tentang tanaman. Tentang Ruang Terbuka Hijau. Tentang tapak1. Tentang arsitektur lanskap. Sebuah dunia yang dulunya memang hanya tersimpan di dalam angannya belaka. Bahwa sekarang akhirnya ia mendapat kesempatan untuk magang di sebuah biro konsultan arsitek dan arsitek lanskap ternama di Jakarta. * “Selamat pagi, Archiscape Corp. Ada yang bisa saya bantu?” Faikar bertanya ketika ada telepon masuk. “Saya ingin berbicara dengan Pak Doni.” Sebuah suara serak menjawab di seberang sana mencari pimpinan biro konsultan ini. “Maaf, Pak Doni sedang tidak ada di tempat. Ada pesan untuk Pak Doni, Pak?” Faikar bertanya sopan. “Apakah Pak Doni sudah menerima email dari saya? Saya Tedjo Wibowo.” Tangan Faikar dengan cekatan melihat beberapa e-mail yang masuk ke e-mail perusahaan. Salah satunya dari Tedjo Wibowo, pemilik Wibowo Group.
1
Lokasi yang akan direncanakan atau didesain. Bisa berukuran mikro, meso atau makro.
Faikar menatap e-mail yang dikirim oleh kliennya itu, seorang pengusaha terkenal yang namanya sering menghiasi headline majalah bisnis di Jakarta. Faikar dengar semua perusahaan yang dipimpinnya sukses hingga ia kini berniat untuk mengembangkan usahanya di Jakarta. “Tolong sampaikan dengan Pak Doni, saya sudah melihat lokasi yang kemarin dicari oleh anak buah saya. Jujur, saya suka sekali dengan lokasi tersebut. Letaknya strategis dan mudah dijangkau oleh masyarakat. Bisnis saya untuk membangun mall tentu dapat berkembang dengan lebih pesat lagi,” jelas pengusaha itu lewat telepon. … Faikar ingat dengan proyek ini. Kebetulan beberapa hari yang lalu, ia sempat ikut dengan tim untuk meninjau ke lokasi tapak untuk feel of the land2. “Mengenai masalah biaya, tenang saja. Berapa pun biaya yang diminta untuk membangun perusahaan saya yang baru ini, akan saya penuhi.” … Faikar menghela napas panjang. * “Pak Doni, tadi pagi ada telepon dari Pak Tedjo Wibowo. Beliau menanyakan tentang kelanjutan pembangunan perusahaannya.” Faikar berkata di tengah rapat mingguan perusahaan. “Pembangunan mall di salah satu sudut kota yang strategis itu?” Pak Doni bertanya sambil membetulkan letak kacamatanya. Faikar mengangguk. 2
Kegiatan pengambilan data di lokasi. Contohnya arah angin, arah matahari, identifikasi vegetasi, good view dan bad view.
“Kalau saya lihat, Pak Doni, sepertinya lokasi tersebut memang strategis untuk dibangun mall. Apalagi jika kita mampu membuat mall dengan arsitektural yang unik dan iconic, saya yakin kantor tersebut juga dapat menjadi focal point dan diingat oleh masyarakat karena berbeda dari mall kebanyakan di Jakarta.” Bu Diva, arsitek lulusan luar negeri itu mulai angkat bicara. “Jika
tidak
ada
masalah
secara
finansial,
maka
kita
dapat
menggunakan bahan baku bangunan dengan kualitas paling tinggi, Pak. Mungkin dapat menggunakan beton dan batako yang paling bagus, Pak.” Pak Angga, insinyur sipil ganti berbicara. … Faikar merasa ada yang salah. Entahlah. Ia merasa ada yang salah dengan proyek ini jika dilanjutkan sebagaimana keinginan klien. Mall di salah satu sudut kota bukankah hanya menambah keramaian kota dan kepenatan pikiran masyarakat yang harus rela mengantri berjam-jam karena macet. Lagipula, Jakarta sudah terlalu penuh dengan bangunan bernama mall itu. Beberapa tahun lagi, bisa saja ia sudah menjadi kota sejuta mall. “Bagaimana—“ “Pak, saya boleh bicara?” Faikar terkejut sendiri ketika mendapati dirinya spontan berceletuk kecil. “Iya, ada apa Mas Faikar?” Pak Doni bertanya. “Menurut saya—“ Faikar menghela napas panjang. Sial, sudah terlanjur basah. Faikar sudah terlanjur berbicara tadi. “Bagaimana, Mas Faikar?” “Tapak ini rupanya dekat sekali dengan sungai, Pak. Seperti yang dapat dilihat di peta ini, di sekitar sungai sudah dipenuhi dengan jalan raya
yang setiap hari dipenuhi oleh jutaan kendaraan bermotor yang melintas. Saya sejujurnya khawatir, jika tapak ini dibangun bangunan seperti mall, malah akan semakin memperburuk situasi…” Faikar memulai penjelasannya. … “Jakarta sebenarnya memerlukan lebih banyak ruang terbuka hijau dan daerah resapan air, apalagi tapak ini berlokasi dekat sekali dengan sungai. Saya mengusulkan, bagaimana jika tapak ini dibuat taman saja. Mungkin bisa dipergunakan untuk rekreasi masyarakat, dilengkapi dengan taman bermain anak dan fasilitas lainnya. Namun fungsi sebenarnya untuk ruang terbuka hijau sekaligus daerah resapan air. Kita dapat menanam vegetasi penyerap polutan sebagai vegetasi utama di taman itu seperti bogenvil atau lollipop,” Faikar menjelaskan panjang lebar. … “Tapi, Mas Faikar, tapak tersebut sangat besar jika ingin didesain menjadi taman. Tapak itu memiliki ukuran yang sebanding dengan mall,” ujar Bu Diva, “Lagipula jika dilihat dari segi ekonomis, tentu akan lebih banyak orang yang memilih untuk pergi ke mall dibandingkan taman.” “Mas Faikar, jika kita melihat perkembangan taman di Indonesia sekarang ini, jarang sekali taman dipergunakan sebagaimana fungsinya. Contoh sederhananya, kita ingin membuat taman untuk rekreasi. Tapi lihatlah, banyak keluarga yang lebih memilih untuk menghabiskan akhir pekan mereka untuk pergi ke mall dibandingkan dengan ke taman,” Pak Angga ikut menimpali. Faikar menghela napas panjang. Menghadapi
arsitek
dan
insinyur
sipil
professional
memang
membutuhkan usaha ekstra, apalagi mengingat Faikar masih berstatus mahasiswa yang gelar sarjana pun belum punya.
“Itu hanya masalah maintenance-nya saja. Kita bisa memilih elemenelemen taman yang tidak terlalu membutuhkan high maintenance.” Sahut Faikar,
“Lagipula,
masyarakat
terkadang
jenuh
jika
terus-menerus
mendapatkan hiburan hanya dari mall.” “Setahu saya, Pak Tedjo sudah suka sekali dengan tapak ini dan hanya ingin membangun mall di tempat ini.” Bu Diva berbicara sinis, “Pak Doni, jika kita mampu menyelesaikan proyek ini, maka kita akan dapat meningkatkan kualitas perusahaan sebagai salah satu biro konsultan arsitektur terbaik di Jakarta.” “Saya setuju dengan Bu Diva, Pak.” Sahut Pak Angga, “Kita bisa mencari konsep mall yang unik dan berbeda dari yang lain.” Mereka masih saja bersikeras dengan argumen masing-masing, namun semuanya
berpola
sama:
setuju
untuk
mengambil
proyek
itu
dan
membangun mall di sana. Deg. Baiklah. Faikar harus memutar otak. “Kalau bukan dimulai dari kita, siapa lagi yang akan peduli dengan lingkungan Jakarta, Pak. Saya lihat lahan ini juga memiliki tingkat kesuburan yang tinggi.” Faikar berkata lagi, mencoba memperkuat argumennya di hadapan Pak Doni. Pak Doni membetulkan letak kacamatanya. Kemudian segera mengangkat ponselnya dan menghubungi seseorang. … “Selamat siang, Pak Tedjo. Kami bersedia untuk mengambil proyek Pak Tedjo…” Faikar menggeleng lemah. Argumentasinya terpatahkan.
“Tetapi mungkin kami akan mencari tapak lain yang lebih mendukung. Tapak yang kemarin rupanya belum cukup mendukung karena tapak tersebut akan lebih baik jika digunakan untuk taman. Secepatnya kami akan mencari tapak lain untuk mall Bapak.” Pak Doni menutup ponselnya. “Faikar, coba kamu bikin desain tentang ide kamu tadi. Saya akan mencari klien yang bersedia mendanai proyek taman tersebut.” Faikar membelalakkan matanya tidak percaya. “Saya ingin minggu depan, semua data untuk desain itu sudah siap. Walaupun kamu baru magang di sini, tapi saya percaya dengan kamu. Tolong jangan kecewakan saya.” “Terima kasih, Pak.” Faikar menganggukkan kepalanya. Entahlah. Jakarta tidak butuh mall. Jakarta hanya butuh lebih banyak tempat untuk “bernapas”.
CERPEN 3 “SOMEDAY BUT I’M AFRAID NOT NOW” Ditulis dalam Kumpulan Cerpen ‘Dear Papa’ yang diterbitkan oleh Penerbit Nulis Buku
FEBRUARI 2011
Someday but (I’m afraid) Not Now Hasdevi Agrippina Dradjat
Monday, February 7th, 2011 Dear Daddy, this is a simple ritual for you…. Hari sudah malam ketika Ayahku pulang. Setiap hari. Setiap malam. Ketika itu, Adikku hampir selalu telah tertidur. Maka, aku akan berlari menuruni tangga untuk menyambutnya dan Ibuku. Mereka terlihat sangat lelah. Tapi, tidak sedikit pun aku mendengar mereka mengeluh. Hanya ada senyum yang terlukis di sana—di bawah kumis ayahku yang tebal. Aku mencium pipinya. Sebuah ritual sederhana yang seringkali aku lakukan. Hahaha, entahlah mungkin kalian akan mengatakan ini konyol kan? Tapi, aku memang selalu melakukannya. Setelah itu, Ayahku akan bertanya bagaimana hariku. Bagaimana sekolahku. Bagaimana kuliahku. Bagaimana ujianku. Percaya atau tidak, aku selalu
kesulitan
untuk
menjawab
pertanyaan
apakah
aku
dapat
menyelesaikan ujian Fisika-ku dengan baik? Atau apakah aku mampu menjawab semua pertanyaan kuis Matematika-ku? Lalu aku akan selalu hampir berbohong mengatakan aku bisa atau sekadar senyum. Semua ini aku lakukan hanya karena aku tidak ingin membuatnya pusing memikirkan betapa sulitnya aku mengingat rumus persamaan Bernoulli atau menuliskan rumus Trigonometri di kertas ujian. Urusan pekerjaan dan keuangan tentu sudah cukup membuat pikirannya tersita. Dear Daddy, thank you for being our Super-Coin-man. You could be so angry on one side and ZAP! You could be so nice on the other side…. Aku ingat hari itu.
Entah apa masalahnya, Ayahku memarahiku dengan hebat. Aku masih ingat kata-kata beliau, “Kalau kamu anak laki-laki pasti sudah Dad pukul!” Kata-kata
itu
menamparku
dengan
keras.
Aku
merasa
telah
melakukan yang sungguh keterlaluan. Aku bergidik ngeri dan hanya bisa menangis. Baru kali itu aku merasa Ayahku benar-benar marah padaku. Beberapa tahun berlalu. Hari itu, aku memutuskan untuk mendaftar jalur masuk kuliah dengan metode penyeleksian rapor di sebuah perguruan tinggi. Perguruan tinggi itu memang bukan mimpi tertinggiku—tapi, aku tahu Ayah dan Ibuku sangat ingin agar aku kuliah disana. Bulan demi bulan berlalu. Ayahku selalu menanyakan kabar terbaru tentang kelanjutan jalur masuk kuliah tersebut. Aku selalu angkat bahu. Sampai tiba saat itu. Aku
mendengar
sebagian
teman-temanku
menjerit
bahagia
mendengar kabar bahwa mereka lulus! Tanpa menunggu, aku segera berlari menuju ruang BK. Tidak sabar rasanya melihat kertas itu. Melihat dengan mata kepalaku sendiri tentang berita ini. Jariku mulai menari di atas kertas itu. Aku menelusuri setiap nama di kertas itu dengan tekun. Ah, tidak, mungkin aku salah lihat. Aku mengulanginya lagi. Berdasarkan nomor, berdasarkan absen…. Tapi, tidak. Jawabannya tetap sama. Aku—ya, aku tidak menemukan namaku di sana. Aku tidak sanggup berkata-kata. Tangisku pecah. Sial, aku bahkan sudah lupa sedang dimana diriku dan mau ditaruh dimana wajahku. Teman-temanku berdiri di sana, mencoba menenangkanku. Tapi aku terus-menerus menyalahkan diriku atas semua ini—atas kenyataan bahwa raporku tidak diterima. Aku hanya bisa membayangkan wajah Ayahku. Ya, betapa beliau sangat mengharapkanku. Setengah jam kemudian, Ayahku menelepon.
Suaranya terdengar panik saat aku berkata aku tidak lulus seleksi itu. Ia hanya berkata, “Dad akan ke sekolah sekarang.” Tapi, beliau tidak pernah memarahiku karena kejadian ini. Not even a single word. Bukannya ungkapan amarah, yang kudengar hanyalah, “Tenang, Nak. Duniamu belum berakhir sampai di sini.” Dear Daddy, I always wondering why you love this idea….. Aku pernah berbisik sambil tertawa pada ibuku, “Kalau mau belajar menjadi orang yang punya muka badak, belajar aja sama Daddy!” Suatu hari, aku pergi menemani Ayah dan Ibuku ke sebuah mall di kotaku. Kami tak sengaja melihat sebuah pameran dispenser masa kini; dimana dispenser tersebut dapat mensterilkan air yang hendak kita minum— sekalipun air tersebut berasal dari air mentah. “Jadi, kalau mau beli dispenser ini harus beli keempat saringannya?” Ayahku bertanya dengan nada serius. “Tidak, Pak. Semuanya sudah ada di dalam dispenser ini.” Mas-mas dispenser memberitahu kami, lengkap dengan senyuman lebar. “Hmmm…” Ayahku mengangguk-angguk sambil memperhatikan produk itu. Aku dan ibuku saling lirik: Apakah Dad sedang berencana membeli dispenser baru? “Bagaimana, Pak?” tanya si Mas-mas penuh harap. “…..” “Kalau bapak mau, ini sudah ready stock.” lanjut si Mas-mas lagi. Aku kembali menatap Dad. Wajahnya masih serius. “….” “….” “Saya boleh minta minumnya, Mas? Saya haus sekali.” kata Ayahku enteng. GUBRAK! Rasanya aku ingin sekali mencubit pinggang ayahku. Kupikir ia akan serius membeli dispenser itu atau apalah, tapi ternyata… “Saya minta brosurnya dulu ya, Mas. Saya mau lihat-lihat dulu.”
Dear Daddy, I really miss these…. Aku dan Adikku tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya memakan gulai kepala ikan kakap tanpa Ayahku. Pada kali pertama, kami nyaris tidak akan memakannya seandainya tidak melihat Dad memakan kepala ikan malang itu dengan lahap—bahkan Dad sampai menghisap bagian bola matanya. Aku bergidik. Tapi, Ayahku berhasil meyakinkanku untuk memakannya. Beliau menyuapkan potongan daging itu ke lidahku. Rasanya? Fantastis! Aku begitu merindukan makan kepala ikan kakap itu akhir-akhir ini. Tapi, Ayahku sudah mulai mengurangi memakan makanan itu untuk alasan kesehatan. Sedih rasanya ketika mendengar Ayahku selalu berkata, “Kamu boleh makan itu tapi Dad nggak boleh. Dulu waktu Dad muda, Dad senang sekali memakan makanan itu.” Hal itu, tentu saja, sukses membuatku tidak memakan kepala ikan kakap itu. Aku kangen sekali menonton Srimulat bersama dengan Ayahku tepat pukul 11 malam lengkap dengan semangkuk panas mie instan buatan Ayahku dan kami akan bersama-sama menonton tayangan tersebut hingga berakhir. Aku kangen sekali menonton pertandingan sepakbola Arsenal atau pun pertandingan internasional di malam hari bersama Ayahku. Aku kangen sekali sarapan nasi uduk setiap pagi bersama Ayah, Ibu dan Adikku yang kali ini tidak bisa sesering mungkin aku lakukan karena terbentur dengan jadwal kuliah yang begitu padat. Tapi, Ayahku sudah mengganti Srimulat dan pertandingan bola dengan film-film action yang ada di HBO (Kami masih bisa menonton bersama di malam hari karena Ibuku pasti akan lebih tertarik menonton infotainment dibanding film-film ini) dan membawakanku sekotak nasi timbel untuk makan malam sebagai ganti nasi uduk di pagi hari.
Thanks a lot, Dad! Dear Daddy, I’m really sorry about this…. Aku begitu terkejut mendengar kabar dari Ibuku bahwa Ayahku akan memasukkanku ke sekolah kepribadian pada hari itu. Ada apa? Apa ada yang salah denganku? Aku marah. “Pokonya nggak mau!” “Kamu jangan langsung nggak mau-nggak mau aja, Nak. Kamu juga harus tahu apa itu sekolah kepribadian.” Ibuku berkata sambil tetap berkonsentrasi pada kemudi mobil. “Pokoknya nggak mau! Kenapa sih apa ada yang salah?” Aku tetap bersikeras. Aku merasa tidak ada yang salah dengan diriku saat itu. “Dad bilang, kalau kamu kerjaannya marah terus begini…. Bisa-bisa nggak ada anak cowok yang mau main sama kamu.” DEG! Perkataan itu terasa begitu menusukku. Jadi-aku-nggak---? Aku marah. Marah sekali pada Ayahku. Aku bahkan nyaris tidak peduli dengan kata-kata lanjutan yang Ibuku katakan. Semua karena mood-ku yang berantakan beberapa hari yang lalu. Aku marah. Aku kecewa. Aku kesal. Sudah bertahun-tahun aku menjalani program belajar menyetir. Sudah
bertahun-tahun
pula
aku
nyaris
muak
karena
tidak
mendapatkan kepercayaan penuh untuk menyetir mobil. Tidak, aku tidak berharap mendapatkan mobil baru seperti saudara-saudaraku atau temantemanku. Aku hanya ingin menyetirkan Ayah, Ibu dan Adikku ketika kami pergi berbelanja atau sekadar makan siang. Aku hanya ingin tidak merepotkan mereka. Aku selalu sedih ketika mendengar Ayahku mengeluh tentang kakinya, betapa beliau mengatakan betapa linu kakinya. Hal itu hampir selalu terjadi di malam hari—ketika kami masih harus menempuh perjalanan sekitar 20 menit untuk menuju rumah. Apa itu salah?
Aku kecewa saat itu. Lagi-lagi rencanaku dengan meminta tolong Adikku mengutarakannya pada Ayahku gagal. Alih-alih bisa menyetirkan mobil untuk Ayahku, Adikku malah memarahiku. Entahlah. Aku merasa gagal. Mungkin saatnya aku berhenti. Aku tidak ingin merongrong Ayahku lagi. Aku akan mencoba menyerahkan sepenuhnya pada Ayahku. Walaupun sekian banyak pelatih menyetirku mengatakan bahwa aku telah sanggup menyetir, tapi tetap saja…semua keputusan ada di tangan Ayahku. Entahlah. Aku hanya ingin mengatakan maaf, Dad. Maaf sudah sering membuatmu repot karena hal ini. Maaf karena sudah membuatmu kesal. Maaf sudah membuatmu marah. Dear Daddy, you know how much I love you…. And I know how much you love us too. Beliau mungkin tidak akan mengatakannya sesering Ibuku. Tapi aku tahu, aku tahu bahwa setiap kali Beliau mengatakannya, hal itu adalah tulus dan benar adanya. I’m sorry, Dad. Maaf kalau selama ini aku belum menjadi anak perempuan yang cukup baik untukmu. Tapi aku akan terus berusaha. Aku ingin membuatmu bangga. Someday, but (I’m afraid) not now. PS: Maafin Sister ya, Dad kalau nilai IP semester ini belum begitu bagus. Belum bisa ngasih nilai mirip kerucut semua. Hehehehe
Love you, Daddy Bambang Dradjat.
Sumber: www. google.com
CERPEN 4 “MY FIRST WET DREAM” Ditulis bersama rekan-rekan Youth Advisory Panel UNFPA Indonesia dengan judul Kumpulan Cerpen ‘Berbeda dan Berwarna’ OKTOBER 2009
My First Wet Dream Hasdevi Agrippina Dradjat “Happy birthday to you…. Happy birthday to you….” Rion mengucek matanya sebentar. Sedetik kemudian dia melirik jam yang ada di kamarnya. Pukul 00.00. “Rion, happy birthday ya, Sayang.” Mama memeluk Rion sambil mengecup dahinya penuh sayang. Papanya yang berdiri di samping Mama ikut duduk di sebelah Rion. “Happy birthday, jagoan Papa! Sekarang kamu tiup lilinnya ya, Ri….. Oh iya, sebelumnya kamu make a wish dulu.” Papa tersenyum sambil menyodorkan kue black forest pada Rion. Ah, aku sangat ingin menjadi dewasa, pekik Rion dalam hati. “Satu…. Dua…. Tiga….. Selamat ulang tahun ke 13 ya, Rion!” Papa dan Mama berteriak bahagia sambil mengusap-usap kepalanya penuh sayang. “Makasih ya, Mama, Papa…” Rion tersenyum bahagia sambil memeluk Papa dan Mama bergantian. “Hmm.. hmm… Hai, Ri!” Rion menghentikan tawanya sejenak dan menoleh ke arah sumber suara yang tadi memanggilnya. Sepertinya dia kenal suara ceria itu. “Happy Birthday ya, Ri! I wish you all the best.” Tika tersenyum lebar sambil mencium pipi Rion friendly. Rion tercengang. Wajahnya memerah seketika. Ada perasaan senang, terkejut dan semuanya bercampur menjadi satu. Ini adalah kali pertama untuknya. Inikah rasanya menjadi dewasa? * “Yo.. Rion bangun dong! Jangan molor terus dong, ga asik dong! Malu dong sama matahari dong! Yo what’s up cikicik buuubh ah.”
Rion mengerling sebentar. Ponselnya sudah berbunyi dan bergetar sambil mengeluarkan suara aneh seperti tadi. Rion hafal betul, itu suara Erick, teman sekelasnya yang sedang menyukai kegiatan ber-beatbox ria. Ia tidak menyangka Erick begitu berniat membangunkannya dengan cara merekam suaranya di ponsel Rion dan menyetel suara itu sebagai alarm Rion. “Erick berisik parah lo, Rick! Hmmmm….” Alih-alih bangun dari tempat tidur dan segera berpakaian, Rion malah kembali melanjutkan tidurnya. “Yo.. Rion bangun dong! Jangan molor terus dong, ga asik dong! Malu dong sama matahari dong! Yo what’s up cikicik buuubh ah.” Ponsel Rion
bergetar dan berdering lagi mengeluarkan
bunyi
alarmnya. Rion menyerah dan membuka matanya berat. “Jam berapa nih?” Rion bertanya pada dirinya sendiri sambil melihat ke arah jam tangan Arsenal favoritnya yang tergantung di dinding. “Wah, udah jam setengah tujuh! Gawaaaaaat!” Rion berteriak hingga terloncat
dari tempat
tidurnya.
Seperti tersetrum
saking
terkejutnya
mendapati bahwa ia nyaris saja terlambat jika membiarkan dirinya kembali asyik tidur. * “Bi Inem, Mama Papa mana, Bi?” tanya Rion cepat-cepat sambil membetulkan letak tali sepatunya. “Masih di Singapura, Mas. ’Kan Mama dan Papanya Mas Rion masih ada kerjaan di sana. Mas Rion mau sarapan roti dulu?” Rion tercekat. Mama dan Papa masih di Singapura? Jadi yang tadi itu hanya mimpi? Hanya bullshit? “Mas? Mas Rion?” tanya bi Inem khawatir. “Eh? Bi Inem… Gak perlu, Bi. Nanti aku makan di kantin aja, Bi. Aku pergi dulu ya takut terlambat..” * “Menyelesaikan persamaan kuadrat berarti mencari harga x yang
memenuhi persamaan kudrat (PK) yang disebut akar persamaan kuadrat. Suatu bilangan disebut akar dari suatu persamaan berarti bilangan tersebut memenuhi persamaan..” Rion menoleh ke luar jendela, menikmati pemandangan lapangan sekolahnya
yang
sepi.
Angin
sepoi-sepoi
meniup
daun-daun
yang
berguguran di pinggir lapangan. Jadi, ulang tahun tahun ini tanpa Mama dan Papa lagi? batin Rion. “Andaikan x1 dan x2 adalah akar-akar persamaan kuadrat, maka x1 dan x2 dapat ditentukan dengan cara….” Rion masih saja melamun, tanpa memedulikan perkataan Pak Budi. Pikirannya masih terbang melayang, membawanya jauh pada saat terakhirnya bertemu dengan Mama dan Papa. “Mungkin Arion Dewanto bisa menjelaskan?” tanya Pak Budi sambil membetulkan letak kacamatanya yang turun. Rion bergeming. Sebenernya Mama Papa tuh ngapain aja siih…… “Psst..
Ri?
Rion?”
Tika,
teman
sebangku
Rion,
berbisik
sambil
menyenggol tangan Rion. Sedetik kemudian, dicubitnya lengan Rion dengan gemas karena kesal Rion tak juga kembali ke alam sadarnya. “AAAOW!” Rion menjerit kesakitan dan membuat perhatian seluruh kelas sontak tertuju hanya padanya. “Jadi apa, Rion?” tanya Pak Budi lagi. “Apanya yang apa, Pak? Tika mencubit saya dan sakit banget barusan, Pak.” Rion berkata polos sambil mengelus-elus lengannya yang masih sakit karena cubitan Tika. Seluruh kelas tertawa mendengarnya. Rion yang masih tidak sadar menaikkan alis matanya sebelah dan menoleh pada Erick seolah ingin berkata ‘Ada-apaan-sih-Rick? Ada-yang-salah?’ “FOKUS, ARION! Sekali lagi saya tahu kamu melamun, sebaiknya kamu keluar dari kelas saya ya.” Pak Budi kemudian berdehem keras dan kembali menerangkan. Kalau keluar dari kelas Bapak bisa membuat Mama dan Papa saya pulang, akan saya lakukan, Pak……
* “Rion?! Gila, kenapa sih lo hari ini?” Erick bertanya bingung ketika berhasil menyamai langkah Rion yang tergesa-gesa. “Gue nggak kenapa-napa, Rick. Lo kali tuh yang gila. Beatbox sembarangan
di
ponsel
gue..”
Rion
berkata
cuek
sambil
tertawa
menyeringai. “Itung-itung promosi kali, Sob! Nanti kalo gue udah jadi beatboxer internasional, lo ga akan segampang ini dapet kenang-kenangan dari gue,” Erick tertawa santai. Sedetik kemudian wajahnya tiba-tiba berubah serius, “Lo kenapa sih, Ri? Ngapain coba lo keluar dari kelasnya Pak Budi? Tiga hari lagi kita ulangan, malah bikin masalah lo, Ri.” “Boring, Sob!” Rion berkata pendek. “Oh, lo boring? Gue punya ide cemerlang! Main ke rumah gue yuk, Ri, sekarang!” Erick tersenyum sumringah sambil menarik tangan Rion penuh semangat. “Iya, tenang kali, Rick! Belanda masih jauh….” kata Rion sambil tertawa, tiba-tiba tawanya terhenti sejenak saat melihat sosok yang sedang memperhatikannya dari jauh. Sepertinya ia kenal dengan sosok itu. Tika, si gadis dengan kuncir kuda, sedang tersenyum padanya. Rion terdiam dan tidak membalas senyuman Tika. Ada perasaan aneh menjulur di dada dan pikirannya. Tidak seperti biasanya ia bersikap secuek ini pada Tika. * “Eh, ada Rion! Hai, Ri. Apa kabar?” tanya Edwin, kakak Erick yang sudah berusia dua puluh tahunan sambil tersenyum sumringah pada Rion. “Baik, Kak. Iseng nih, Kak, main ke sini. Kata Erick ada fi lm seru..” kata Rion sambil tersenyum friendly. “Oh, fi lm seru, Ri? Ada kok! Ambil aja di kamar gue, Rick. Yang di tumpukan meja belajar gue paling atas ya.. Filmnya tentang bajak laut gitu,
Ri. Seru parah deh. Eh gue tinggal dulu ya…” kata Edwin sambil menepuk bahu Rion dan Erick kemudian pergi meninggalkan mereka berdua. “Oke deh, Ka! Gue ambil ya!” Erick meloncat bahagia sambil segera berlari menuju kamar Edwin. “Rion, ini Tante bikinin pisang goreng sama susu.. Biasanya Erick sama Edwin paling doyan ngemil ini kalau udah nonton DVD,” kata Mama Erick hangat sambil menaruh piring berisi pisang goreng dan dua gelas susu putih di meja dekat televisi. “Wah, Tante… Jadi ngerepotin. Makasih, Tan.” Rion berkata se-relax mungkin. “Nggak ngerepotin, Ri. Kamu itu ’kan temen deketnya Erick, udah kaya anak Tante sendirilah.. Dimakan ya pisangnya. Tante tinggal dulu ya,” ujar Mama Erick tersenyum ramah sambil beranjak meninggalkan Rion. Rion tersenyum hambar. Ia ingat Mama-nya. Senyum Mama. Ia bahkan sudah lupa kapan terakhir kali melihat senyum Mamanya. Tidak lama kemudian, Erick kembali dari kamar Edwin sambil membawa satu DVD dengan sampul kapal perompak lengkap dengan kaptennya yang bertangan besi dan bermata satu. “Film ini kayanya seru nih, Bos!” Erick berkata santai sambil menyalakan DVD player dan duduk di sebelah Rion. Film pun dimulai. Ada seorang wanita dan pria sedang bercakapcakap serius di tengah derasnya hujan di pinggir sebuah kedai kopi. “Rick, ajarin gue beatbox dong! Kayanya seru banget!” kata Rion sambil mengambil es jeruk yang disiapkan Erick tadi. Erick bergeming. Dia menyaksikan fi lm itu dengan serius. Adegan berlanjut, sekarang wanita dan pria itu tengah berjalan beriringan berdua. “Sejak kapan sih, Rick, lo suka beatbox?” tanya Rion lagi. “Ntar dulu, Ri! Ini kayanya seru gila fi lmnya, Ri!” kata Erick sambil tetap memperhatikan dengan serius fi lm itu.
“Seru gimana, Rick? Dari tadi ngobrol aja gitu..” kata Rion sambil membolak-balik majalah automotif yang ada di hadapannya. “Seru parah! Ih lo nonton kali, Ri? Kok malah ngga jelas gitu?” kata Erick sambil nyengir kuda. “Emang serunya gima−HAAAAAH? WAH, GILA!” Rion berteriak terkejut saat kembali berkonsentrasi pada fi lm itu. Film itu sedang memutar adegan pria dan wanita yang sedang…. “Ada apaan sih ribut-ribut? WAH, KENAPA FILMNYA JADI KAYA GINI?! Hei, stop-stop! WAH, INI FILM TUJUH BELAS TAHUN KE ATAS! Gila, lo berdua kenapa jadi nonton kayak gini?! Wah ini pasti kerjaan temen gue menaruh DVD kaya beginian di DVD gue!” Edwin terkejut dan segera mematikan DVD player itu. Erick dan Rion saling bertatapan sambil tertawa terbahak-bahak, “Wah, Kak Edwin sukanya nonton yang kaya begini yaaaaa… HAHAHA.” * Rion menendang kerikil yang ada di hadapannya secara perlahan. Sial, kenapa gue jadi mikir adegan fi lm itu tadi sih? Tiba-tiba, ponsel Rion berdering. Dari Mama. “Halo, Rion?” tanya Mama di seberang sana. “Ya, Ma?” Rion menjawab malas. “Ri, Mama sama Papa sepertinya belum bisa pulang hari ini ya, Ri… Mama sama Papa masih ada kerjaan di Singapura dan ternyata−“ Suara Mama semakin lama semakin menghilang karena Rion tidak lagi fokus mendengarkannya. Fine, just go ahead with your own business! Rion menutup panggilan Mama dengan kecewa. * “Yo.. Rion bangun dong! Jangan molor terus dong, ga asik dong! Malu dong sama matahari dong! Yo what’s up cikicik buuubh ah.” Suara beatbox
Erick kembali sukses membangunkannya, persis seperti kemarin. Tapi, kali ini beda.. kali ini suara alarm Erick justru menjadi penyelamat Rion dari mimpi “aneh”-nya. “Errghh, hah.. Haaah? Hah heh heh heh,” Rion mengusap keringat di pelipisnya perlahan. Mimpi apaan nih? Detik itu, Rion merasa sangat aneh. Mimpi yang dia rasakan barusan sangat berbeda dengan mimpinya biasa.. Tapi mimpi apa? Mengapa bisa seaneh itu? Mengapa pula dia merasa mimpi itu begitu… ‘berbeda’? Tiba-tiba, tangan Rion meraba-raba sesuatu di atas kasurnya. Basah. Kenapa kasurnya bisa basah? Apa tadi malam hujan? Atau… ia baru saja…. mengompol? Sambil mengatur ritme nafasnya, Rion melemparkan pandangannya menuju ke meja belajarnya. Tiba-tiba, sepasang manik matanya tertuju pada benda bertuliskan angka-angka di mejanya. Kalender. 11 Oktober. Hari ulang tahunnya. * Tiba-tiba ponsel Rion berdering. Mama. “Rion? Kamu sudah bangun, Sayang? Mama dan Papa khawatir banget sama kamu, Sayang. Eh, kamu mau dibawain oleh-oleh apa, Nak? Sepatu sports terbaru?” tanya Mama di seberang sana. “…” Rion terdiam, tidak mengeluarkan sepatah kata pun. “Kamu nggak suka yah sepatu sports? Atau mau Mama beliin laptop baru, Sayang? Just say something, please?” tanya Mama lagi. Sedetik kemudian, Rion mendengar Mama menjauhkan ponselnya dari telinganya dan berbisik, “Okay, just wait for a minute. I am talking to my son right now.” “…” “Rion? Atau mungkin kamu mau ulang tahun kamu minggu depan kita rayain di Singapura? Kamu bisa ajak teman-teman kamu, Sayang… Atau mungkin kamu mau main di Uni−“
“Ma, aneh, Ma… Masa aku−“ Rion mencoba menjelaskan sesuatu yang aneh di pagi ini pada Mama, namun perkataannya dipotong Mama. “Atau kamu mau kita keliling dunia aja, Sayang?” tanya Mama lagi. “MA, STOP!” Rion berkata dengan suara yang sedikit meninggi dan keras. Rion mendengar Mama berhenti berbicara dan tidak melanjutkan kalimatnya. Sepertinya, Mama menunggu Rion berbicara lagi. “Aku nggak mau itu semua, Ma! Kapan Mama pulang? Kapan aku ketemu Papa? Mama dan Papa terlalu sibuk sampai-sampai ulang tahun aku aja Mama bisa lupa…” Rion menggigit bibir bawahnya. “…” “Kapan aku bisa pulang ke rumah dan ngeliat Mama ada di depan televisi? Atau di dapur lagi ngebuatin pisang goreng dan susu putih buat aku? Kapan aku bisa nonton sepakbola bareng lagi sama Papa? Aku bahkan udah lupa kapan terakhir kali kita makan malam bersama di meja makan….” Rion menghela napas. “…” “Aku−Mama diundang rapat di sekolah minggu depan.” ucap Rion asal. Bahkan untuk mengucapkan kata ‘Aku-kangen-Mama’ saja, ia tidak sanggup. Ia merasa berat dan malu. “Sayang, Mama nggak bisa. Mama harus rapat sekarang. Nanti kita bicarain lagi ya.. See you.” Klik. Telepon dimatikan. Rion melemparkan pandangannya lurus ke arah jendela, melihat matahari yang masih malu-malu menampakkan dirinya di pagi ini. Ingin rasanya ia keluar dan berteriak sekeras-kerasnya di hadapan matahari. * “Jadi, ada pertanyaan?” tanya Pak Budi pada anak-anak sekelas. Rion mengacungkan tangan. “Apa… Bapak masih mengompol di tempat tidur pada usia belasan tahun?”
Seluruh kelas tertawa mendengar pertanyaan Rion. Erick melirik Rion aneh dengan tatapan Ri-lo-itu-bodoh-sinting-atau-polos? “Pertanyaan macam apa itu, Rion? Sekarang juga kamu keluar dari kelas saya!” kata Pak Budi sambil menggerak-gerakan kumis tebalnya. * “Ri, lo ngapain sih bikin masalah lagi sama Pak Budi? Gila yah, good boy udah mulai berubah jadi bad boy kayaknya.” Erick mendekati Rion sambil menggeleng-gelengkan kepalanya bingung. “None of your business.” Rion menjawab singkat sambil memasukkan pulpen ke dalam tasnya. “Us us us, kok lo jadi galak gini sih, Ri? Ada masalah? Cerita kali sama gue..” kata Erick lagi sambil tertawa, mencoba membawa suasana agar menjadi lebih santai. “Nggak ada masalah, Rick.” kata Rion, “Hmm, oke gue bohong, Rick. Hari ini hari ulang tahun gue, tapi orangtua gue nggak ada dan bahkan lupa, Rick sama ulang tahun gue. Gue bikin masalah pun kayaknya mereka sama sekali nggak peduli.” “Jadi, gara-gara itu lo sama Pak Budi−“ “Udah, Rick. Gak usah dibahas. Sekarang temenin gue jalan-jalan. Kata lo ada tempat main game yang asik?” tanya Rion sambil tersenyum penuh harap. “Lo mau kesana? Oke deh yuk! Gue juga males nih di rumah, ntar si Kak Edwin muterin fi lm yang aneh-aneh lagi hahahaha,” kata Erick sambil tertawa. “Hahaha, tapi lo suka kan, Rick?” kata Rion tertawa sambil melenggang ke luar kelas bersama Erick tanpa menyadari bahwa ada sepasang mata yang sedang mengamati mereka. * Klik.
Rion membuka pintu perlahan sambil memasukkan kepalanya lewat celah pintu. Ia bermaksud untuk mengintip. Gelap. Tidak ada cahaya sama sekali. Apa listriknya sedang mati? Kenapa Bi Inem tidak menyalakan lilin sama sekali? “Bi Inem?” teriak Rion. Hening. Tidak ada jawaban. Tidak ada suara. Rion memutar kepalanya. Mencari-cari Bi Inem atau sedikit jejak yang bisa membawanya pada Bi Inem. Sudah tiga belas tahun tapi masih saja ia takut akan gelap. Bi Inem mungkin− “Happy birthday, Rion! Happy birthday, Rion.” Lampu tiba-tiba menyala dan Rion melihat ada sosok-sosok yang begitu ia kenal muncul dari ruang tengah. Mereka membawa kue black forest kesukaan Rion. “Happy birthday, Sayang! Ayo tiup lilinnya. Jangan lupa make a wish ya!” kata Mama. Rion meniup tiga belas lilin di depannya. Di setiap lilin, Rion menebarkan permintaannya dengan sungguh-sungguh, persis seperti di mimpinya: Ah-Aku-sa-ngat-i-ngin-men-ja-di-de-wa-sa! “Mama dan Papa bawain kamu hadiah yang−“ kata Mama sambil tersenyum. “Ma, aku kan udah bilang nggak u−“ Rion berkata tapi kemudian dia mendapati sesuatu yang membuatnya tercengang. “Happy birthday, Ri! Ponsel kamu ketinggalan tadi di kelas.. terus Mama kamu nelpon, aku yang angkat dan aku ceritain semuanya.” kata Tika sambil menggigit bibirnya dan menyerahkan ponsel itu pada Rion, “Mereka sayang banget, Ri, sama kamu makanya mereka langsung pulang dan ngebatalin meeting-meeting mereka di Singapura.” Rion terdiam. “Maafi n Mama sama Papa ya, Ri..” Papa berkata lirih sambil mengacak-acak rambut Rion playful.
“Semua orang berhak dapet kesempatan kedua, Ri..” kata Tika sambil memegang tangan Rion, “Semua orang pernah punya salah..” Rion melirik Tika lirih. Ada perasaan aneh menjalar di sekujur tubuhnya saat Tika dengan refleks memegang tangan Rion. “Aku juga, Ma−“ “Bu… Ibu, Mas Rion masih ngompol, Bu!” kata Bi Inem sambil tersenyum-senyum dan membawa sprai ke ruang tengah. “Rion? Kamu masih ngompol?” Papa tertawa halus. “Ngga, Ma.. Itu aku… aku…” Rion berkata kikuk, tidak tahu harus memberi alasan apa. “Anak Mama udah besar yaaaa, it’s your fi rst wet dream! Kamu udah besar ya, Ri, sekarang…” “Sama siapa, Ri? Jangan-jangan…..? Hahahaha.” Papa tertawa puas meledeK Rion yang wajahnya memerah. “Sst apa sih, Pa? Aku tuh baru mau nanya sama Mama kemaren di telepon tapi nggak sempet.. Jadinya yaaaaa… hahaha.” Rion tertawa kikuk. … Malam itu, di satu sudut rumahnya, Rion membuka laptopnya dan mengetik: Jakarta, 11 Oktober. Thanks to my first wet dream.
HASDEVI AGRIPPINA DRADJAT, SP Alamat Bumi Ciluar Indah blok B III/12 a Bogor 16156, Jawa Barat, Indonesia No. Handphone 081311210168 Twitter account @hasdevidradjat Facebook Hasdevi Agrippina Dradjat
PROFIL Hasdevi A. Dradjat adalah seorang Sarjana Pertanian Arsitektur Lanskap Institut Pertanian Bogor tahun 2010 yang telah menekuni hobi menulis cerpen sejak kecil. Ia pernah terpilih menjadi salah satu finalis Coaching Cerpen yang diselenggarakan oleh Majalah Kawanku tahun 2009. Tahun 2014, cerita pendek “Pasir” miliknya terpilih menjadi Juara 1 Blog Competition yang diselenggarakan oleh Nulis Buku. Tahun 2012, cerita pendek “Lanskap Ibukota” miliknya terpilih menjadi Juara 1 Short Story Competition yang diselenggarakan oleh Himasiera IPB. Tahun 2010, cerpennya yang berjudul “My First Wet Dream” turut dibukukan dalam sebuah kumcer terkait isu kesehatan reproduksi remaja, Berbeda dan Berwarna, yang ditulis bersama rekan-rekan dari Youth Advisory Panel UNFPA Indonesia. Masih di tahun yang sama, cerpennya yang berjudul “Someday but I’m Afraid Not Now” juga turut dibukukan dalam buku Dear Papa yang diterbitkan oleh @nulisbuku.