BAB II MEKANISME / CARA LEMBAGA ADAT ACEH (LAA) MENYELESAIKAN SENGKETA
A. Masyarakat Hukum Adat Pada Umumnya Masyarakat hukum adat secara umum dapat diartikan sebagai kelompok manusia yang mendiami wilayah tertentu, mempunyai pemimpin, dan mempunyai norma-norma hukum sendiri yang mereka taaati bersama. Gambaran yang lebih lengkap tentang masyarakat hukum adat dikemukakan oleh Hazairin yang mengatakan: Masyarakat-masyarakat Hukum Adat seperti di desa di Jawa, marga di Sumatera Selatan, Nagari di Minangkabau, kuria di Tapanuli, wanua di Sulawesi Selatan, adalah kesatua-kesatuan masyarakat yang mempunyai kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya… Bentuk hukum kekeluargaannya (patrilineal, matrilineal, atau bilateral) mempengaruhi sistem pemerintahannya dan sistem umum kemasyarakatannya. Sistem perekonomiannya terutama berlandaskan atas pertanian, peternakan, perikanan dan pemungutan hasil hutan dan hasil air, ditambah sedikit dengan perburuan binatang liar, pertambangan dan kerajinan tangan. Semua anggotanya sama dalam hak dan kewajibannya. Penghidupan mereka berciri komunal, dimana gotong royong, tolong menolong, serasa dan semalu, mempunyai peranan yang besar.27 Sementara Ter Haar, yang menggunakan istilsh persekutuan, memberikan rumusan sebagai berikut: “gerombolan yangt teratur bersifat tetap dengan mempunyai kekuasaan sendiri, pula kekayaan sendiri berupa benda yang kelihatan dan tidak kelihatan mata”.
27
Soerjono Soekanto, 2005, Hukum Adat Indonesia,, Jakarta, Raja Grafindo Persada, h.93
30 Universitas Sumatera Utara
Secara garis besar, masyarakat hukum adat yang ada di Indonesia dapat dikelompokkan dalam tiga bentuk yaitu genelogis, territorial dan campuran (genekologis dan territorial). Masyarakat hukum adat yang genelogis (tribal constitution) adalah kesatuan masyarakat yang anggotanya berasal dari satu garis keturunan yang sama. Masyarakat hukum genelogis ini dibedakan menjadi : 1. Masyarakat hukum patrilineal adalah masyarakat yang garis keturunannya mengikuti garis bapak (laki-laki), seperti masyarakat Batak, Lampung, Nias, Sumba dan Bali. 2. Masyarakat hukum matrilineal adalah masyarakat yang garis keturunannya mengikuti garis ibu (perempuan), seperti masyarakat Minangkabau. 3. Masyarakat hukum parental adalah masyarakat yamg garis keturunannya mengikuti garis kedua orangtua secara bersama-sama (bapak dan ibu), seperti masyarakat Jawa, Aceh. B. Deskripsi Masyarakat Aceh Propinsi Naggroe Aceh Darussalam merupakan salah satu propinsi yang letaknya di kawasan bagian barat wilayah Republik Indonesia atau pada penghujung bagian utara pulau Sumatera. Propinsi ini terletak pada garis 2°LU - 6°LU dan 98°BT, yang terhampar di atas areal seluas 55.390 km2. Bila diperhatikan dengan seksama terlihat area daratan propinsi daerah Istimewa Aceh terbaring membujur dari arah barat laut ke tenggara. Titik paling utara dan barat terletak di pulau Weh. Titik paling selatan tcrletak di pulau Banyak, titik paling timur terletak tidak berapa jauh di sebelah sungai Tamiang dan Singkil. Dengan demikian dapat ditetapkan batas propinsi Daerah istimewa Aceh, yaitu
Universitas Sumatera Utara
sebelah utara dengan Selat Malaka, sebelah selatan dengan lautan Hindia, sebelah timur dengan propinsi Sumatera Utara dan Selat Malaka, dan sebelah barat dengan lautan Hindia.28 Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terhampar di atas area seluas 55.390 km2, sebagian besar terdiri dari daratan persambungan pulau Sumatera dan ditambah dengan beberapa pulau kecil lainnya yang terletak di bagian barat laut dan selatan daratan tersebut (daratan Aceh). Yang terbesar di antara pulau pulau itu adalah P. Siemeulu, P. Weh, P. Nasi, P. Tuangku dan P. Batu di P. Banyak.29 Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam terdiri atas sembilan suku, yaitu Aceh (mayoritas), Tamiang (Kabupaten Aceh Timur Bagian Timur), Alas (Kabupaten Aceh Tenggara), Aneuk Jamee (Aceh Selatan), Naeuk Laot, Semeulu dan Sinabang (Kabupaten Semeulue). Masing-masing suku mempunyai budaya, bahasa dan pola pikir masing-masing. Bahasa yang umum digunakan adalah Bahasa Aceh. Di dalamnya terdapat beberapa dialek lokal, seperti Aceh Rayeuk, dialek Pidie dan dialek Aceh Utara. Sedangkan untuk Bahasa Gayo dikenal dialek Gayo Lut, Gayo Deret dan Gayo Lues.30 Tiap perkampungan ditandai oleh adanya meunasah, andaikata tak diketemukan mesjid. Meunasah berfungsi sebagai tempat anak-anak belajar mengaji (Al-Quran), melakukan shalat berjemaah (kecuali shalat Jumat), tempat tidur
28
Ibid, hal. 11 Ibid 30 http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=6082&temid =1808, Sosial Budaya Provinsi Nanggoe Aceh Darussalam, diakses tanggal 12 Juni 2010 29
Universitas Sumatera Utara
pemuda, dan pusat aktifitas perkampungan, di samping itu kadang kala dipergunakan sebagai sarana untuk menyampaikan instruksi-instruksi oleh pimpinan kampung. Dengan kata lain meunasah ini mengandung fungsi sosial dan keamanan. Di daerah adat Aneuk Jamee diketemukan pula suatu bangunan yang hampir mirip dengan meunasah disebut surau atau dayah. Beda antara surau dengan meunasah terletak pada si pemakainya, di mana pada lembaga yang terakhir ini dipergunakan juga untuk kaum wanita untuk menyelenggarakan shalat berjemaah.31 Masyarakat adat Aceh, Aneuk Jamee, Tamiang, Gayo dan Alas mengenal keluarga batih atau rumah tangga, sebagai kelompok keluarga yang terkecil. Di antara masyarakat adat di atas, masyarakat adat Gayo mempunyai istilah tersendiri untuk keluarga batih, yaitu "sara barine" : Keluarga batih atau rumah tangga terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang belum dewasa. Di daerah adat Aceh, Aneuk Jamee dan Tamiang termasuk juga ke dalamnya anak perempuan beserta suaminya, yang belum dipisahkan "dapur" (di daerah adat Aceh disebut "peumeukleh ", di daerah adat Aneuk Jamee disebut "paasieng paasieng pariuk", di daerah adat Tamiang disebut "peumeukleh" juga. Kadang kala terdapat juga keluarga batih poligami. Bentuk keluarga batih yang terakhir hanya terdapat pada seseorang yang mempunyai isteri lebih dari satu. 32
31
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Istimewa Aceh, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1978/1979, h. 14-15 32 Ibid, hal. 15
Universitas Sumatera Utara
Keluarga batih merupakan kesatuan ekonomi dan kesatuan adat, dalam hal ini laki-laki lebih dititikberatkan tanggung jawabnya dalam usaha perekonomian, hubungan pemerintahan dan kemasyarakatan. Sedangkan kaum wanita di samping bertugas membantu kaum laki-laki dalam berbagai usaha, juga peranannya lebih dituntut untuk mengurus rumah tangga dan pengasuhan anak. Semua masyarakat adat di daerah Aceh, anak lelaki peranannya sangat penting, dalam sistem kekerabatannya. Penempatan anak lelaki pada tempat yang penting bisa dipahami, karena anak lelaki sebagai penerus keturunan dan gelar kebangsawan (termasuk "belah" di daerah adat Gayo dan "marge" di daerah adat Alas), di samping erat hubungannya dengan agama Islam. 33 Seperti diketahui agama Islam menempatkan anak lelaki pada tempat yang penting seperti tercermin dalam hukum perkawinan dan perwalian. Penempatan anak lelaki pada tempat yang penting, toh tidak berarti anak perempuan dikurangi harkatnya. Semua masyarakat adat mengakui eksistensi anak pcrempuan sebagai makhluk yang diperlukan perlindungan. Bahkan di daerah Aneuk Jamee, anak perempuan mempunyai tempat tersendiri dalam kerangka adat perkawinan. Di daerah tersebut terdapat kecenderungan mewarisi rumah kepada anak perempuan. Maksud yang tersimpul dalam pewarisan yang semacam itu, disebabkan adanya tertanam suatu anggapan bahwa, rumah yang didiami oleh anak perempuan itu merupakan tempat saudara lelakinya berteduh, apabila terjadi percekcokan dengan isterinya.
33
Ibid, hal. 16
Universitas Sumatera Utara
Keluarga luas sebagai kelompok kekerabatan hanya terdapat pada masyarakat adat Gayo di Aceh Tengah dan adat Alas di Aceh Tenggara. Ukuran masyarakat luas dalam masyarakat adat Gayo ditentukan oleh tinggal mereka dalam satu rumah besar yang berbentuk panggung. Rumah besar yang berbentuk panggung itu disebut dengan Umah limeu ruang. Umah limeu ruang pada mulanya merupakan milik sebuah sara barine. Apabila salah seorang anggota sara barine melangsungkan perkawinan, maka ia beserta keluarga sara barinenya yang baru menempati sebuah bilik yang merupakan bagian dari umah limeu ruang tadi. Begitulah seterusnya tiap anggota keluarga yang sudah kawin, akibatnya terbentuk rumah panjang yang tiap bilik dihuni oleh satu keluarga sara barine. Perlu diketahui bahwa masing-masing sara barine di dalam umah limeu ruang itu mempunyai dapur tempat memasak sendiri-sendiri. Kesatuan dari beberapa sara barine di daerah adat Gayo disebut dengan sedere, di daerah adat Alas disebut Umah mbelen. Perkembangan sedere di dalam umah limeu ruang tidak sama dengan perkembangan warga adat dalam rumah Gadang di Minangkabau. Umah limeu ruang di daerah adat Gayo didasarkan atas tali perhubungan darah yang murni, bukan berdasarkan pada kegiatan adat sebagai tempat upacara perkawinan dan pertemuan kepala-kepala keluarga. Karena kegiatan adat bagi masyarakat adat Gayo, di samping kegiatan sedere, terdapat pula kegiatan kuru (klen kecil). Sedangkan kuru tidak bertempat tinggal bersama-sama dalam umah limeu ruang.
Universitas Sumatera Utara
Bersama dengan arus modernisasi yang semakin meluas ke daerah pedesaan di daerah adat Gayo menyebabkan timbul gejala berkurangnya umah limeu ruang. Akibat dari pengaruh tersebut terdapat kecenderungan pada sebagian keluarga sara barine untuk membangun rumah mereka, dengan meniru rumah modern dewasa ini. Kelompok kekerabatan dalam bentuk klen kecil di daerah adat Gayo dan Alas adalah hasil perkembangan dari sedere. Apabila umah limeu ruang tak bisa lagi menampung keluarga sara barine yang baru kawin, maka dia terpaksa membangun rumah untuk tempat tinggal yang lain. Rumah yang dibangun untuk tempat tinggal yang baru ini, lama kelamaan menjadi umah limeu ruang lagi. Walaupun dalam kenyataan timbul pemisahan tempat tinggal antara satu rumah dengan rumah yang lain, namun antara mereka masih terikat oleh pertalian sedere. Dari ikatan itu terbentuklah klen kecil yang disebut "kuru ". Dalam masyarakat adat Gayo dan Alas, suatu kuru mungkin saja bertempat tinggal di dalam beberapa desa. Hal ini disebabkan oleh pemisahan tempat tinggal tadi, atau disebabkan oleh suatu perkawinan eksogami antara satu kuru dengan kuru yang lain. Karena pada masyarakat Gayo dan Alas perkawinan indogami dalam keluarga kuru dilarang oleh adat. Perkembangan klen kecil atau kuru dalam masyarakat adat Gayo hampir mirip dengan perkembangan timbulnya "kewom" di daerah adat Aceh, kaum di daerah adat Aneuk Jamee, dan "kaum biak" di daerah masyarakat adat Tamiang. Bedanya hanya klen kecil yang terbentuk pada masyarakat-masyarakat adat yang
Universitas Sumatera Utara
akhir-akhir ini tidak melalui rumah besar seperti umah limeu ruang yang terdapat di daerah masyarakat adat Gayo dan juga tidak melalui perkawinan eksogami. Klen besar sebagai kelompok kekerabatan, hanya dikenal pada masyarakat adat Gayo dan dalam masyarakat adat Alas. Klen besar sebagai kelompok kekerabatan yang terdapat pada masyarakat adat Gayo dan masyarakat adat Alas ini, muncul sebagai akibat perkembangan lebih lanjut dari kuru. Perkembangan itu bisa saja terjadi lewat perpindahan anggota atau perkawinan. Tetapi mereka masih merasa dirinya mempunyai suatu keturunan yang sama, atau masa lampau yang sama dan satu teritorial yang sama. Dari rasa kesatuan ini mereka terikat dalam suatu klen besar, dan di daerah adat Gayo disebut "merge". Dengan demikian timbullah belah-belah dan merge-merge di kedua daerah itu, di antaranya adalah belah Cik, belah bukit, belah hakim, belah jalil di daerah adat Gayo, merge selean, dan merge deski di daerah adat Alas. Seperti halnya dengan kuru, perkawinan sesama anggota belah (indogami belah) dilarang oleh adat. Masyarakat adat Aceh, Aneuk Jamee, dan Tamiang menganut prinsip kekeluargaan bilateral dan parental. Mengingat demikian maka jarak jauh dekat seseorang anak dengan saudara-saudara lelaki ayahnya dan saudara lelaki ibunya berlangsung berdasarkan sistem parental atau bilateral. Dalam hubungan hukum seperti terlihat dalam segi hukum perkawinan dan per"walian" si anak lebih dekat kepada saudara laki laki pihak ayahnya atau disebut wali. Sebaliknya dalam segi adat dan kanun demikian juga pergaulan si anak lebih dekat dengan saudara lakilaki pihak ibunya yang sering disebut "karong":
Universitas Sumatera Utara
Masyarakat adat Aceh demikian juga masyarakat adat Aneuk Jamee, Tamiang, Gayo dan Alas mengenal suatu kerangka istilah kekerabatan dalam hubungan antar diri (inter personal relationship). Kerangka istilah kekerabatan itu mencakup perbedaan jenis kelamin, umur, dan status dalam kekeluargaan yang mencerminkan sopan santun dalam interaksi antara anggota kekeluargaan, prinsip-prinsip tersebut dipelihara baik dalam suatu sistem tutur keluarga. Pola kehidupan masyarakat Aceh diatur oleh hukum adat yang berdasarkan kaidah-kaidah hukum agama Islam. Adapun susunan masyarakat adalah sebagai berikut : 1. Golongan Rakyat Biasa; yang dalam istilah Aceh disebut Ureung Le (orang banyak). Disebut demikian karena golongan ini merupakan golongan yang paling banyak (mayoritas) dalam masyarakat adat Aceh. 2. Golongan Hartawan; yaitu golongan yang bekerja keras dalam mengembangkan ekonomi pribadi. Dari pribadi-pribadi yang sudah berada itulah terbentuknya suatu golongan masyarakat. Karena keberadaannya sehingga mereka menjelma menjadi golongan hartawan. Golongan ini cukup berperan dalam soal-soal kemasyarakatan khususnya sebagai penyumbang-penyumbang dana. 3. Golongan ulama/cendikiawan; umumnya mereka berasal dari kalangan rakyat biasa yang memiliki ilmu pengetahuan yang menonjol. Sehingga mereka disebut orang alim dengan gelar Teungku. Mereka cukup berperan dalam masalah-masalah agama dan kemasyarakatan. 4. Golongan kaum bangsawan; termasuk didalamnya keturunan Sultan Aceh yang bergelar "Tuanku" keturunan "Uleebalang" yang bergelar "Teuku" (bagi laki-laki) dan "Cut" (bagi perempuan).34
Selain pembagian susunan masyarakat tersebut di atas, sistem kesatuan masyarakat Aceh, merupakan perwujudan dari beberapa buah keluarga inti, yang
34
http://students.ukdw.ac.id/~22012697/adat.html, Adat dan Budaya Aceh, diakses tanggal 2
Juni 2010
Universitas Sumatera Utara
menjadi suatu kelompok masyarakat; yang disebut "Gampong" (Kampung). Sistem sosial pada masyarakat Aceh berpedoman pada keluarga inti. Setiap perbuatan yang dilakukan sebuah keluarga inti akan memberi pengaruh kepada keluarga lainnya. Dengan demikian hubungan antara satu keluarga inti dengan keluarga inti lainnya cukup erat. C. Hukum Adat Masyarakat Aceh Kata adat berarti aturan baik berupa perbuatan ataupun ucapan yang lazim diturut dan dilakukan sejak dahulu kala. Kata adat ini sering disebut beriringan dengan kata istiadat, sehingga menjadi adat istiadat. Adat istiadat berarti tata kelakuan yang kekal dan turun temurun dari generasi ke generasi lain sebagai warisan, sehingga kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat.35 Dalam praktiknya, istilah adat istiadat mengandung arti yang cukup luas, mencakup semua hal di mana suatu masyarakat atau seseorang menjadi terbiasa untuk melakukannya.36 Menurut A.G. Pringgodigdo, adat ialah aturan-aturan tentang beberapa segi kehidupan manusia yang tumbuh dari usaha orang dalam suatu daerah tertentu di Indonesia sebagai kelompok sosial untuk mengatur tata tertib tingkah laku anggota masyarakat. Di Indonesia, aturan mengenai kehidupan manusia tersebut dipertahankan oleh masyarakat karena dianggap patut. Oleh karena itu, aturan dan tindakan yang dianggap patut itu mengikat para penduduk, dan konsekuensinya aturan itu dipertahankan oleh Kepala Adat dan petugas hukum lainnya. Di sinilah letaknya aturan adat bersifat hukum.Konsep hukum adat Van Vollenhoven menggambarkan hukum adat Indonesia sebagai hukum asli penduduk yang pada umumnya masih tidak tertulis (jus non-scriptum) dan ketentuan hukum agama yang sebagian besar sudah tertulis (jus scriptum). Pandangan inilah yang dijadikan dasar dalam merumuskan definisi hukum adat pada Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional di Yogyakarta 35
Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hal. 5-6. Syahrial, 2004, Hukum Adat dan Hukum Islam Indonesia : Refleksi terhadap Beberapa Bentuk Integrasi Hukum dalam Bidang Kewarisan di Aceh, Yayasan Nadiya, Banda Aceh, h. 63 36
Universitas Sumatera Utara
pada tanggal 15-17 Januari 1975. Seminar tersebut menyimpulkan bahwa hukum adat adalah hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan Republik Indonesia yang di sana sini mengandung unsur agama. 37 Pengertian hukum adat menurut Soepomo adalah sebagai hukum nonstatutair yang sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil hukum Islam.38 Maksud hukum non-statutair adalah hukum yang tidak tertulis di dalam peraturanperaturan legislatif (unstatutory law). Meskipun demikian, hukum adat adalah hukum yang hidup, karena ia menjelma sebagai perasaan hukum yang nyata dari rakyat
39
Hukum yang terdapat di setiap masyarakat, betapapun sederhana dan kecilnya masyarakat itu, maka hukum itulah yang menjadi cerminnya, karena tiap masyarakat, tiap rakyat, mempunyai kebudayaan sendiri, dengan corak dan sifatnya sendiri.40 Adat berasal dari bahasa Arab “a‟dadun” artinya berbilang, mengulang, berulang-mengulang dilakukan sehingga menjadi suatu kebiasaan. Sesuatu kebiasaan yang terus menerus dilkukan dalam tatanan perilaku masyarakat Aceh dan berlaku tetap sepanjang waktu, disebut dengan adat. Misalnya adat khanduri maulid Nabi Muhammad SAW, sepanjang bulan Rabi‟ul Awal dan Jumadil Akhir. Adat khanduri menyambut Nuzulul Qur‟an pada bulan Ramadhan. Adat juga pada umumnya bersifat upacara/seremonial, bahkan bernilai ritualitas yang yang disebut dengan adat istiadat. Misalnya pada upacara perkawinan, peusunteing darabaro dan linto, khanduri blang,
37
Ibid, h. 63-64 R. Soepomo, 1996, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 3 39 Ibid, h. 3-4 40 Bushar Muhammad, 2006, Asas-asas Hukum Adat : Suatu Pengantar, Cetakan ke-13, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 42 38
Universitas Sumatera Utara
khanduri laot, mee-bu/ meulineum. Adat istiadat yang bernilai agama, misalnya upacara khitan sunnah rasul, hakikah, qurbeun, khatam Qur‟an dan lain-lain. Adat istiadat sebagai reusam yang melahirkan aneka apresiasi / kreasi, upacara/ seremonial ritualitas, aneka seni tarian, etika, estetika, modifikasi pakaian dan makanan serta produk keindahan fisik yang monumental, cagar budaya dan ornamen-ornamen spesifik lainnya yang umumnya mengandung nilai-nilai komersial untuk dipasarkan. Adat bermakna dengan dengan adat istiadat, juga merupakan norma, kaidah yang mengandung nilai-nilai hukum. Bagi masyarakat adat, sulit memisahkan pengertian adat yang bersifat hukum (hukum adat) dengan pengertian yang bersifat perbuatan perilaku yang tetap / tradisional. Namun kejelasan itu akan terlihat dalam penyelesaian permasalahan bila ada kasus-kasus adat yang terjadi dalam masyarakat. Adat / hukum adat suatu norma yang mengandung sifat dan nilai-nilai hukum dalam tatanan perilaku kehidupan masyarakat, dipanuti, dipatuhi untuk ketertiban, kerukunan dan kesejahteraan masyarakat, dimana bagi siapa yang melanggar adat (hukum adat) akan diberikan sanksi hukum. Hukuman yang dijatuhkan oleh pimpinan adat / ketua adat, berdasarkan hasil keputusan musyawarah, berdasarkan nilai-nilai kepatutan, kelayakan-kelayakan dan keseimbangan dengan mendahulukan prinsip-prinsip damai suatu sebagai suatu landasan mekanisme untuk mewujudkan keadilan. Misalnya dalam hal persengketaan harta milik (perbuatan perdata), ataupun pembunuhan, penganiayaan dan pertengkaran (perbuatan pidana) dapat diselesaikan dengan cara-cara damai melalui peradilan adat, yang terdapat di gampong-gampong dan Mukim. Prinsip utama yang digunakan adalah “damai” untuk membangun keseimbangan (equilibrium) dalam
Universitas Sumatera Utara
masyarakat, beralaskan nilai-nilai konpensasi luka ta sipat, dara ta suka dan narit maja Kiwing ateung beuneung peuteupat, kiwing ureung adat peuteupat. Ada juga yang menyebut dengan “kiwing ureung peudeung peuteupat” dalam makna peudeung adalah kiasan dari kekuasaan yang hal ini dimaksudkan dengan hukum adat. Adat sebagai norma / kaidah hukum diaktualkan dalam sistem penyelesaian berbagai persengketaan dalam masyarakat melalui lembaga penegakan hukum adat / peradilan adat/ lembaga damai yang mengandung sanksi di Gampong-gampong dan Mukim (asas: cepat, murah, dan sederhana). Kedua makna adat itu, dalam realitas kehidupan sosiologis masyarakat Aceh di Gampong-gampong dan Mukim menjadi pilar dalam penegakan norma-norma adat dalam simbol peukong pageu gampong. Adat Aceh mengacu pada empat sumber (Klasifikasi Adat) , yaitu: 1. Adatullah, yairtu hukum adat yang bersumber hampir seluruhnya (mutlak) pada hukuman Allah (al-Qur‟an dan al- hadist). 2. Adat Tunnah, yaitu adat istiadat sebagai manifestasi dari Qanun dan Reusam yang mengatur kehidupan masyarakat. 3. Adat Muhakamah, yaitu hukum adat yang dimanifestasi pada asas musyawarah dan mufakat. 4. Adat Jahiliyah, yaitu adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang kadang-kadang tidak sesuai dengan ajaran Islam, namun masih ada yang digemari oleh masyarakat. Dalam masyarakat aceh dapat ditemukan dua komunitas perkembangan penduduk, yaitu Gampong, merupakan kesatuan masyarakat hukum yang merupakan
Universitas Sumatera Utara
organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Mukim yang menempati wilayah tertentu, dipimpin oleh Geuchik dan yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri. Geuchik adalah Kepala Badan Eksekutif Gampong dalam Penyenggaraan Pemerintahan Gampong. Dengan demikian Gampong merupakan kawasan pertumbuhan, pembinaan dan pengembangan adat budaya, dimana pusat pengendaliannya ada pada fungsi Meunasah, karena itu dapat dikatakan bahwa Meunasah adalah lambang/ logonya budaya adat Aceh. Gampong dipimpin oleh Geuchik / Datuk Penghulu atau nama lain, yang dipilih oleh rakyat Gampong. Geuchik dibantu oleh : 1. Imeum Meunasah / Tgk. Sagoe, yang mengurus bidang agama. 2. Tuha Peut dan Tuha Lapan, sebagai pembantu, perencana, pelaksana, pengawas. 3. Sekretaris Gampong, pelaksana dan pelayan administrasi. Kata adat berarti aturan baik berupa perbuatan ataupun ucapan yang lazim diturut dan dilakukan. Pada masyarakat Aceh adat hadih maja yang sampai saat ini masih dipegang oleh masyarakat Aceh yaitu : Adat Bak Po teu Meurehom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putro Phang, Reusam bak Laksamana. Bunyi hadih maja ini, tidak bisa lekang dari keseharian masyarakat Aceh. Kalimat ini adalah bagian yang melekat dalam kehidupan adat di Aceh. Adat istiadat merupakan seperangkat nilai-nilai dan keyakinan sosial yang tumbuh dan berakar dalam kehidupan masyarakat Aceh. Muhammad Hakim Nyak Pha mengatakan bahwa adat istiadat adalah tata kelakuan atau tata tindakan atau tata perbuatan yang selanjutnya merupakan kaedah-
Universitas Sumatera Utara
kaedah yang bukan saja dikenal, diakui dan dihargai, akan tetapi juga ditaati oleh sebahagian besar warga masyarakat yang bersangkutan. Adat istiadat tersebut telah memberikan sumbangan yang sangat berharga terhadap kelangsungan kehidupan masyarakat.41 Selanjutnya menurut Muhammad Hakim Nyak Pha : “Adat dan hukum adat merupakan salah satu “alat penunjuk arah” dalam menentukan sikap dan tingkah laku dalam pergaulan sehari-hari. Atau bahkan dapat dikatakan bahwa orang Aceh akan selalu bersikap dan bertingkah laku dalam batas-batas yang telah dibenarkan oleh adat dan hukum adat mereka”.42 Fungsi umum adat istiadat adalah mewujudkan hubungan yang harmonis dalam kehidupan masyarakat. Di Aceh sendiri, menurut Ketua Bidang Adat Istiadat Majelis Adat Aceh, adat dan proses hukum nyaris tidak bisa dipisahkan.43 Oleh karenanya dalam setiap kumpulan masyarakat yang hidup dalam satu komunitas atau yang dikenal dengan gampong (istilah untuk desa), masyarakat harus memiliki satu lembaga adat, yang terdiri dari unsur pemerintahan, pemuka agama dan kaum penasihat.44 Dalam Pasal 1 ayat (5) Perda No. 7 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat, disebutkan bahwa Lembaga Adat adalah suatu organisasi kemasyarakatan adat yang dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu, 41
www.idlo.int/docNews/213DOC1.pdf, Lembaga Adat Sebagai Lembaga Penyelesaian Sengketa, diakses tanggal 2 Juni 2010 42 ibid 43 Wawancara dengan Abdurrahman S.H, M.Hum, Ketua Bidang Adat Istiadat MAA, tanggal 15 Juni 2010, pukul 14.00 WIB 44 Ibid
Universitas Sumatera Utara
mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak dan berwenang untuk mengatur dan mengurus serta menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat Aceh. Berbicara mengenai adat Aceh, tidak bisa terlepas dari hukom, kanun dan reusam. Hukom merupakan jiwa bagi adat, sedangkan kanun merupakan kelengkapan adat dan reusam adalah isi dari adat Aceh.45 a. Hukom Hukum (hukom) dalam adat Aceh adalah Hukum Islam. Pemberian dasar hukum Islam kepada adat menghasilkan Adat Tunah yang ditetapkan oleh para ulama. Suatu adat kebiasaan belum dapat dinatakan menjadi adat yang berlaku umum bagi seluruh masyarakat sebelum diberi dasar hukumnya. Itulah sebabnya antara hukum dengan adat tidak dapat dipisahkan, ibarat zat dengan sifat. Yang menjadi zat dari adat itu adalah Hukum Islam yang sufaatnya tidak berubah, sedangkan adat itu sendiri adalah sebagai sifat (pola-pola kelakuan) yang pada dasarnya dapat berubah. Adat dan hukum yang menyatu merupakan nilai-nilai budaya (kebudayaan idiil) yang menjadi pedoman dalam berperilaku. Kuatnya kedudukan adat dan hukum itu tercermin dalam hadih maja berikut : Adat meukoh reubong, Hukom meukoh purieh, Adat hanjeut beurangho takhong, Hukom hanjeut beurangho takieh. Maksudnya yaitu adat bersifat berubah dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, ibarat tunas bambu muda atau reubongs yang lunak, dan sedang dalam prose menjadi bambu. Akan tetapi adat tidak saja dengan mudah diubah atau dilanggar (hanjeut beurangho takhong). Sedangkan sifat hukum adalah ibarat purieh yaitu bambu tua yang sudah sangat kering yang biasa dipakai sebagai tangga untuk memanjat pohon. Purieh itu sangat keras, tidak 45
Wawancara dengan Ishak S.H, Dosen Fakultas Hukum Unsyiah, Banda Aceh, tanggal 17 Juni 2010 pukul 11.30 WIB
Universitas Sumatera Utara
mudah dipotong, dan ia tidak berubah lagi. Demikian juga hukum itu tidak dapat berubah dan tidak sembarangan dapat diberikan kias padanya walaupun kias (kieh) itu termasuk salah satu dasar hukum Islam.46 b. Kanun Kanun adalah undang-undang dan peraturan-peraturan. Dalam hubungan dengan adat Aceh, Kanun merupakan segala peraturan pelaksanaan yang berkenaan dengan adat reusam atau kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan masyarakat Aceh. Peraturan-peraturan itu dibuat oleh Mahkamah (badan legislatif) dan produknya Adat Mahkamah. Apabila adat reusam sudah diatur dalam Kanun, maka adat itu telah dengan jelas memperlihatkan batas-batas antara yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk, yang boleh dengan yang berpedoman yang harus diikuti atau dipedomani ketika menerapkan adat itu dalam kehidupan. c. Reusam Reusam adalah kebiasaan-kebiasaan yang terdapat dalam suatu masyarakat setempat yang berbeda-beda antara satu saerah dengan daerah lainnya. Reusam ini merupakan adat karena itu disebut adat reusam. Adat reusam itu bertingkat-tingkat (meutangga-tangga) yang maksudnya bahwa adat kebiasaan setempat ada yang brsifat sederhana, dan ada yang lebih kompleks serta ada yang sesuai untuk kelompok masyarakat biasa dan ada pula yang hanya cocok untuk orang bangsawan atau rajaraja.
46
Wawancara dengan T.M Ali, tanggal 24 Juni 2010, pukul 09.00 WIB
Universitas Sumatera Utara
Pengertian bertingkat dari adat reusam berkaitan dengan kedudukan reusam sebagai isi dari adat Aceh. Sebagai suatu kebiasaan dalam masyarakat setempat, maka reusam belum tentu telah memiliki peraturan pelaksanaan (kanun) yang dapat dipedomani, apalagi memiliki dasar hukumnya (hukom) dan yang akhirnya baru dapat disebut sebagai adat Aceh. D. Mekanisme / Cara LAA Menyelesaikan Sengketa Aceh adalah salah satu provinsi di Indonesia yang sangat menjunjung tinggi adat istiadat dalam masyarakatnya. Hal ini terlihat dengan masih berfungsinya institusi-institusi adat di tingkat gampong atau mukim. Hukum adat di Aceh tetap masih memegang peranan dalam kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat Aceh yang sangat senang menyebut dirinya dengan Ureueng Aceh terdapat institusi-institusi adat di tingkat gampong dan mukim. Institusi ini juga merupakan lembaga pemerintahan. Jadi, setiap kejadian dalam kehidupan bermasyarakat, Ureueng Aceh selalu menyelesaikan masalah tersebut secara adat yang berlaku dalam masyarakatnya. Semua lembaga ini berperan di posnya masing-masing sehingga pengelolaan sumberdaya alam di gampong terpelihara. Misalnya, Panglima Laot yang bertugas mengelola segala hal berkaitan dengan laut dan hasilnya. Tentunya semua hal berkaitan dengan laut diatur oleh lembaga tersebut. Begitu pun dengan lembaga lainnya. Lembaga-lembaga adat itu sekarang terkesan hilang dalam masyarakat Aceh, karena derasnya arus globalisasi dan westernisasi yang mencoba merobah peradaban masyarakat Aceh. Padahal, jika
Universitas Sumatera Utara
lembaga-lembaga adat tersebut dihidupkan pada suatu gampong, kampung tersebut akan tetap kokoh seperti jayanya masa-masa kesultanan Aceh. Tak pernah terjadi kericuhan dalam masyarakatnya, sebab segala macam kejadian, sampai pada pembagian bantuan pun masyarakat percaya penuh kepada lembaga adat yang sudah terbentuk. Nilai musyawarah dalam masyarakat adat memegang peranan tertinggi dalam pengambilan keputusan. Ini merupakan bukti kokohnya masyarakat yang menjunjung tinggi adat istiadat yang berlaku. Mereka tidak memerlukan polisi dalam menyelesaikan masalah sehingga segala macam bentuk masalah dapat diselesaikan dengan damai tanpa dibesar-besarkan oleh pihak luar. Dalam hukum adat semua jenis pelanggaran memiliki jenjang penyelesaian yang selalu dipakai dan ditaati masyarakat. Hukum dalam adat Aceh tidak langsung diberikan begitu saja meskipun dalam hukum adat juga mengenal istilah denda. Dalam hukum adat jenis penyelesaian masalah dan sanksi dapat dilakukan terlebih dahulu dengan menasihati. Tahap kedua teguran, lalu pernyataan maaf oleh yang bersalah di hadapan orang banyak (biasanya di meunasah / mesjid), kemudian baru dijatuhkan denda. Artinya, tidak langsung pada denda sekian rupiah. Jenjang penyelesaian ini berlaku pada siapa pun, juga perangkat adat sekalipun.47
47
Wawancara dengan Azhar Ismail (Geuchik Gampong Bakoy), 21 Juni 2010, pukul 09.00
WIB
Universitas Sumatera Utara
Apabila pelaksanaan hukum adat dikaitkan sebagai hubungan benang merah dengan kondisi Aceh, dimana landasan-landasan hukum adat telah mampu memecahkan berbagai bentuk sengketa yang muncul dalam masyarakat, dengan menyelesaikannya pada pengadilan adat. Sengketa-sengketa kecil atau pelanggaranpelanggaran ringan diselesaikan oleh Geuchik dengan didampingi seorang tetua di bidang keagamaan (Teungku Meunasah). Sengekat-sengketa itu diselesaikan melalui keputusan oleh apa yang dinamakan “hukum kebaikan / peujroh gob”. Bahkan pencurian-pencurian kecil diselesaikan secara demikian. Barang-barang curian di kembalikan kepada pemiliknya atau menggantikan harga dan yang bersangkutan meminta maaf. Demikian juga terhadap tagihan bidang perdata pun, dapat dilakukan melalui permintaan maaf secara damai.
Universitas Sumatera Utara