9
2. BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Empiris Pada penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa penelitian terkait dengan penelitian yang sebelumnya pernah di lakukan yang menjadi tinjauan studi, yakni sebagai berikut: a. Iris Localization using Gradient Magnitude and Fourier Descriptor (Stewart Sentanoe, 2014) Dalam penelitian ini dilakukan proses penentuan lokasi iris mata dengan menggunakan Gradient Magnitude dengan bantuan Fourier Descriptor untuk mendapatkan batas antara iris mata denga pupil mata dimana menghasilkan akurasi sebesar 71%. Cara yang di gunakan pada penelitian ini dengan mendilatasi daerah sekitar iris dan pupil hingga terjadi perubahan nilai piksel yang sangat signifikan untuk mendapatkan batas iris mata tetapi nilai piksel terutama iris mata memiliki nilai yang hampir sama dengan scelera mata
b. Sistem Pengenalan Iris Mata Manusia Menggunakan Transformasi Wavelet (Maimunah, 2007) Pada penelitian ini iris mata manusia dikenali dengan menggunakan transformasi wavelet, dimana untuk mendapatkan lokasi iris mata dengan menggunakan deteksi tepi
canny dan transformasi hough
yang
menghasilkan tingkat akurasi sebesar 35,29%. Proses pengujian pada penelitian ini mendapatkan hasil yang kurang baik, karena proses deteksi tepi maupun transformasi hough kurang menghasilkan lokasi iris yang baik sehingga berpengaruh pada prose pengenalan iris mata manusia.
c. Segmentasi Iris Mata Menggunakan Metode Deteksi Tepi dan Operasi Morfologi (Karmilasari, 2009)
10
Penelitian ini membahas mengenai prose segmentasi iris mata dengan menggunakan metode deteksi tepi canny dengan melakukan operasi morfologi seperti operasi dilatasi, erosi, pembukaan, penutupan dan pengisian. Pada penelitian ini menghasilkan tingkat akurasi 35% untuk citra yang berhasil di kenali dan 50% untuk citra yang hampir berhasil di kenali. Tingkat keberhasilan citra yang sebesar 35% bisa terjadi karena proses pendeteksi tepi yang kurang maksimal selain itu operasi morfologi juga berpengaruh untuk mendapatkan hasil deteksi yang lebih baik.
d. Iris Localization Scheme Based on Morphology and Gaussian Filtering (Feng Gui, 2008) Pada penelitian ini melakukan perbandingan metode untuk mendapatkan titik tengah dan jari-jari dari iris mata yakni metode Daugman, metode Wilde dan metode yang dikembangkan dengan morfologi dan tapis Gaussian. Penelitian ini menghasilkan titik tengah dengan koordinat x dan y yang serupa dengan kedua metode sebelumnya tetapi dengan konsumsi waktu proses yang paling cepat jika dibandingkan dengan kedua metode yang lain.
Dalam beberapa penelitian tentang penentuan lokasi iris mata yang telah dilakukan sebelumnya, beberapa penelitian kurang melakukan tahap pre-processing citra sebelum menerapkan proses selanjutnya, hal ini bisa menjadi masalah yang cukup besar karena nilai piksel yang dimiliki oleh iris mata memiliki nilai yang hampir mirip jika dibandingkan dengan nilai piksel disekitar nya, hal ini tentu akan menggangu saat proses deteksi tepi, dimana proses deteksi tepi akan melihat perubahan nilai piksel yang cukup signifikan, sehingga banyak proses penentuan lokasi iris mata dan pengenalan iris mata terhalang dengan masalah ini. Sehingga di banyak penelitian hasil maksimal yang di dapatkan hanya sebesar 75% saja, hal ini akan sangat berpengaruh jika nantinya citra hasil penentuan lokasi akan digunakan dalam melakukan pengenalan iris mata.
11
Tinjauan Teoritis 2.2.1 Iris Mata Manusia Iris adalah organ internal pada mata manusia yang sangat jelas apabila jika di lihat dari secara langsung, karena terletak pada bagian luar mata yang tetap terbungkus oleh kelopak mata. Iris mata merupakan bagian yang penting yang dapat mengatur pupil untuk membesar maupun mengecil demi mendapatkan jumlah cahaya yang masuk ke dalam mata secukupnya, jika cahaya yang datang cukup banyak, pupil akan menjadi lebih kecil dan sempit untuk mengurangi cahaya yang masuk, sedangkan ketika cahaya yang datang jumlah nya sedikit, pupil akan menjadi cukup besar dan lebar untuk menerima jumlah cahaya yang masuk sebanyak mungkin. Setiap iris mata manusia adalah unik, dimana struktur dari iris mata tidak akan sama antara satu individu dengan individu lain walaupun mereka memiliki hubungan sebagai seorang saudara kembar. Iris mata dapat di dijadikan sebagai refrensi kesehatan seseorang, karena iris mata menyimpan informasi lebih banyak sehingga keakuratan yang didapatkan lebih baik dari melakukan tes DNA karena tingkat keacakan dari struktur iris bersifat tetap dan akan terus sama seumur hidup (Ommy, 2008).
Gambar 2.1. Bagian-bagian Iris Mata
2.2.2 Biometrik Biometrik adalah bagaimana seseorang dikenali dengan berdasarkan pada karakter fisik maupun perilaku dimana karakter fisik susah untuk di hilangkan maupun di pindah kepada orang lain sehingga menjadikan karakter fisik sulit untuk di ubah tetapi untuk karakter perilaku sangat mudah berubah tergantung pada
12
kondisi psikologis manusia. Jenis-jenis karakter fisik yang termasuk di dalam biometrik, antara lain Iris mata, Sidik jari, Geometri tangan, suara, dan DNA (Ommy, 2008). Untuk termasuk sebagai biometrik, karakter fisik memiliki empat persyaratan yang harus dipenuhi, antara lain: a. Universal, artinya karakteristik tersebut dapat di temukan pada semua orang b. Unik, artinya karakter antara satu orang dengan orang lain berbeda c. Permanen, artinya karakter fisik tersebut akan tersimpan seumur hidup dan susah untuk di ubah maupun di hilangkan d. Dapat di ukur secara kuantitatif
Gambar 2.2. Perbandingan Metode Biometrik. High, Medium, dan Low dinyatakan sebagai H,M,L (Jain, 2004)
Berdasarkan gambar 2.2, pengenalan iris mata memiliki tingkat keragaman yang tinggi sebanding dengan pengenalan dengan retina maupun suhu wajah. Memiliki tingkat kekhasan dan ketetapan serta kemampuan yang tinggi pula, tetapi memiliki tingkat penerimaan dan tingkat penipuan yang rendah karena untuk mendapatkan citra iris mata harus menggunakan kamera inframerah khusus yang dapat
13
menangkap pola dari iris mata yang ada, dan memiliki tingkat koleksi yang sedang (Jain, 2004).
2.2.3
Computer Vision Computer vision merupakan sejumlah proses yang terintegrasi secara
otomatis yang diperuntukan sebagai persepsi visual, seperti akuisisi citra, pengolahan citra, pengenalan, dan pembuatan keputusan. Computer vision mempunyai tujuan untuk meniru atau menjelaskan mengenai cara kerja sistem visual manusia. Hal yang ingin ditiru oleh computer vision adalah cara kerja dimana mata manusia menangkap objek dan merepresentasikan objek tersebut menuju retina, yang kemudian retina akan merubah objek tersebut menjadi sinyal-sinyal yang dimengerti oleh otak dan pada akhirnya otak akan memutuskan untuk mengenali objek apakah yang ditangkap oleh mata (Munir, 2004). Computer vision terdiri dari teknik-teknik untuk mengestimasi ciri-ciri objek yang terdapat dalam citra, geometri objek yang berkaitan dengan pengukuran ciri yang kemudian menginterpretasi informasi yang dapat diambil dari geometri tersebut (Munir, 2004). Computer vision memiliki tiga buah aktivitas proses yang meliputi: 1. Memperoleh atau mengakuisisi citra digital; 2. Melakukan teknik komputasi untuk memperoses dan memodifikasi data citra (operasi-operasi pengolahan citra); 3. Menganalisis dan menginterpretasi citra menggunakan hasil pemrosesan untuk tujuan tertentu. Jika proses-proses didalam computer vision di klasifikasikan maka akan terbentuk hirarki sebagai berikut:
14
Gambar 2.3. Hirarki Dari Computer Vision
Dari gambar diatas, pengolahan citra dan pengenalan pola merupakan salah satu hirarki yang merupakan bagian dari computer vision, tetapi untuk menlakukan pengolahan citra maupun pengenalan pola, terlebih dahulu citra harus melalui tahap awal (preprocessing) pada computer vision. Untuk mengenali jenis dari objek yang ditangkap oleh komputer, maka komputer harus melakukan proses pengenalan pola yang merupakan teknik yang penting yang ada didalam computer vision (Munir, 2004).
2.2.4
Pengolahan Citra Citra (image) adalah gambar pada bidang dwimantra (dua dimensi) yang
mana merupakan fungsi menerus (continue) yang diperoleh dari intensitas cahaya pada bidang dwimatra. Pada dasarnya untuk mendapatkan sebuah citra, sumber cahaya akan menerangi objek kemudian objek akan memantulkan cahaya yang mengenainya yang selanjutnya akan ditangkap oleh alat-alat optik seperti mata manusia, kamera, pemindai (scanner). Citra dibagi menjadi dua jenis, yaitu citra diam (still image) yang mana berarti citra tunggal yang tidak bergerak dan citra bergerak (moving images) yang mana merupakan rangkaian citra diam yang ditampilkan secara berurutan (sekuensial) sehingga mata manusia menangkap citra tersebut bergerak (Munir, 2004).
15
Adakalanya citra yang didapatkan mengalami penurunan mutu (degradasi) karena mengandung cacat atau derau (noise), warna yang terlalu kontras, kurang tajam, kabur (blurring), dan beberapa penurunan lainnya, sehingga citra yang didapatkan berkurang informasi yang dapat diinterpretasi. Agar citra yang didapatkan tidak mengalami gangguan dan penurunan kualitas sehingga lebih mudah untuk diinterpretasi maka citra tersebut perlu di manipulasi yang biasa disebut dengan pengolahan citra (image processing). Pengolahan citra (image processing) merupakan sebuah sistem dengan input berupa citra dengan output yang sama yaitu berupa citra. Proses pre-prosesing citra merupakan proses yang pertama kali di lakukan sebelum melanjutkan pada proses selanjutnya (Ommy, 2008).
Operasi-operasi yang dapat diterapkan dalam pengolahan citra terjadi jika: 1. Perbaikan atau memodifikasi citra perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas citra dan menonjolkan beberapa aspek penting yang memuat informasi yang dibutuhkan dalam citra tersebut, 2. Elemen di dalam citra perlu dikelompokan, dicocokkan atau diukur, 3. Sebagian atau seluruh citra perlu digabung dengan citra yang lain baik yang memiliki hubungan maupun tidak dengan citra yang digabung.
Gambar 2.4. Alur Pengolah Citra (Munir, 2004)
Umumnya, terdapat beberapa operasi yang dilakukan dalam pengolahan citra, yaitu (Munir, 2004): 1. Perbaikan kualitas citra (image enhancement). Operasi perbaikan kualitas citra bertujuan untuk memperbaiki citra yang ada dengan cara memanipulasi parameter-parameter citra seperti perbaikan kontras gelap/terang, perbaikan tepian objek (edge enhancement),
16
penajaman (sharpening), pemberian warna semu (pseudocoloring) dan penapisan derau (noise filtering). 2. Pemugaran citra (image restoration). Operasi
pemugaran
citra
bertujuan
untuk
menghilangkan/meminimumkan cacat yang terdapat pada citra. Pada dasarnya pemugaran citra memiliki tujuan yang hampir sama dengan perbaikan kualitas citra hanya saja masalah yang menyebabkan citra cacat telah diketahui seperti penghilangan kesamaran (deblurring) dan penghilangan derau (noise removing). 3. Pemampatan citra (image compression). Pada dasarnya pemampatan citra bertujuan untuk mengurangi penggunaan memori sehingga citra menjadi lebih kompak dan diharapkan memiliki kualitas yang lebih baik dari citra sebelumnya. 4. Segmentasi citra (image segmentation). Operasi segmentasi citra bertujuan untuk memecah citra ke dalam beberapa segmen yang lebih kecil dengan harapan dapat mempermudah proses yang akan dilakukan pada citra tersebut. 5. Pengorakan citra (image analysis) Operasi ini bertujuan menghitung besaran kuantitatif dari citra yang berguna dalam mengidentifikasi objek. Beberapa operasi dari pengorakan citra meliputi pendeteksian tepi objek (edge detection), ekstraksi batas (boundary) dan representasi daerah (region). 6. Rekonstruksi citra (image reconstruction). Objek-objek hasil proyeksi yang sebelumnya terpisah dapat dibentuk ulang dengan operasi rekonstruksi citra, dimana operasi ini banyak digunakan dalam dunia medis.
2.2.5 Pengolahan Warna a. Citra RGB Citra yang merupakan model RGB merupakan citra yang terdiri dari tiga buah bidang yang saling lepas dimana masing-masing bidang memiliki
17
warna tersendiri yaitu merah, hijau dan biru. Suatu citra dibentuk dari kombinasi antara tiga buah bidang ini, yang membawa nilai masing-masing. Gambar menunjukan bentuk geometri yang dibentuk oleh model warna RGB yang digunakan untuk merepresentasikan warna pada masing-masing bidang dalam bidang Cartesian.
Gambar 2.5. Citra RGB Dalam Bidang Cartesian
Masing-masing warna memiliki spektrum masing yang akan membentuk suatu warna baru yang merupakan campuran antar masingmasing spektrum warna, dimana warna campuran itu terdiri dari putih (merah+hijau+biru), kuning (merah+hijau), cyan (biru+hijau), dan magenta (merah+biru). Warna-warna gabungan ini disebut warna sekunder sedangkan warna dasar merupakan warna utama. Model warna RGB ini banyak diterapkan pada monitor, televisi, kamera digital, maupun proyektor.
Gambar 2.6. Model Warna RGB
b. Citra GrayScale
18
Aras keabuan (grayscale) adalah citra yang pada masing-masing pikselnya hanya terdiri dari intensitas warna hitam dan putih serta intensitas warna yang berada diantara hitam maupun putih. Aras keabuan umumnya disebut citra monokromatik karena tidak ada warna lain selain warna hitam, putih, dan warna disekitar hitam dan putih tersebut. Format warna yang dipakai pada citra grayscale didalam pengolahan citra memiliki rentang antara nol sampai 255 yang mana nol merupakan warna minimal (hitam) dan 255 warna maksimal (putih) (Ridwan, 2007).
Gambar 2.7. Tingkat Keabuan Citra grayscale
Untuk menghitung nilai aras keabuan dapat dilakukan dengan rumus: = 0.299
Ket:
+ 0.587
Lo
: nilai aras keabuan
R
: nilai warna merah
G
: nilai warna hijau
B
: nilai warna biru
+ 0.144
(1)
c. Citra Biner Citra yang merupakan model warna biner merupakan citra yang hanya mempunyai dua buah nilai piksel yaitu hitam dan putih. Walaupun citra rgb dan citra keabuan sangat berkembang, tetapi citra biner mempunyai kegunaan antara lain sebagai citra kode batang (barcode) yang biasanya digunakan sebagai label untuk barang. Citra biner hanya memiliki dua buah nilai derajat keabuan, yakni nilai 1 untuk warna putih dan 0 untuk warna hitam. Umumnya, pada citra biner, latar belakang biasanya berwarna putih dan objek biasanya berwarna hitam. Beberapa keuntungan yang dimiliki
19
oleh citra biner jika dibandingkan dengan citra berwarna dan citra keabuan antara lain (Ridwan, 2007): 1. Kebutuhan memori yang digunakan tergolong kecil karena nilai derajat keabuan yang terkandung hanya terepresentasi 1 bit. Kebutuhan memori citra biner dapat makin berkurang dengan memanfaatkan metode run-length encoding (RLE) yang digunakan untuk pemampatan citra 2. Waktu pemrosesan citra biner lebih cepat jika dibandingkan dengan citra keabuan dan citra berwarna karena operasi logika (AND, NOT, OR) dapat dilakukan pada citra biner sedangkan pada citra berwarna maupun keabuan harus dilakukan operasi aritmatika bilangan bulat. Proses untuk mengkonversi dari citra berwarna atau citra keabuan menjadi citra biner dapat dilakukan dengan operasi pengambangan (thresholding). Proses untuk mengkonversi citra biner adalah sebagai berikut (Ridwan, 2007):
(, )=
1, 0,
(,
(2)
Ket: fB(i,j) : nilai piksel citra biner koordinat i,j fg(i,j) : nilai piksel citra berwarna pada koordinat i,j T
: pengambangan (threshold)
(Sumber : Munir, 2004)
2.2.6
Teori Dasar Segmentasi Segmentasi citra merupakan proses memecah citra menjadi komponen yang
lebih kecil dimana bagian kecil ini merupakan bagian pembentuk yang dapat memudahkan proses pengamatan terhadap citra yang berakibat pada dapat
20
dibedakannya bagian-bagian lain pada citra berdaasarkan pada persamaan maupun kemiripan dengan citra lain. Pendekatan algoritma segmentasi didasarkan pada dua jenis (Ommy, 2008): a. Discontinuity yaitu adanya terjadinya perubahan pada warna maupun piksel yang secara mendadak yang terjadi pada tepi maupun garis dari suatu citra b. Similarity yaitu pengelompokan distribusi piksel warna yang secara region memiliki persamaan karakteristik yang sama pada suatu area. Dengan pengelompokan pixel ini dapat digunakan untuk menentukan luasan dari suatu area sampai terbentur pada ditemukan nya tepi atau perubahan pixel yang drastic.
2.2.7
Segmentasi Iris Merupakan proses awal dalam proses pengolah citra digital menjadi banyak
bagian dari piksel. Tujuan dari segmentasi adalah mendeteksi bagian dari gambar yang membentang dari dalam limbus (batas antara sclera dan iris) menuju bagian luar dari pupils. Dengan kata lain sangat mungkin untuk menemukan objek dan batas (garis maupun kurva) di dalam citra iris mata. Proses segmentasi pada penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan bagian pada citra iris mata dari citra iris mata yang asli yang mana memerlukan pengaturan ulang untuk ukuran citra dan pemotongan citra yang akan di gunakan dalam proses selanjutnya. Untuk melalukan proses ini, terlebih dahulu akan di lakukan proses deteksi tepi dengan menggunakan algoritma deteksi tepi yang akan menentukan letak dari batas lingkaran iris mata. Untuk mendapatkan batas lingkaran iris mata di gunakan metode Sobel (Maimunah, 2007).
2.2.8
Wavelet Gelombang (wave) adalah sebuah fungsi yang bergerak naik turun ruang dan
waktu secara periodik (Gambar 2.8a). Sedangkan wavelet merupakan gelombang yang dibatasi atau terlokalisasi (Sripathi, 2003) (Gambar 2.8b). Atau dapat dikatakan sebagai gelombang pendek. Wavelet ini menkonsentrasikan energinya
21
dalam ruang dan waktu sehingga cocok untuk menganalisis sinyal yang sifatnya sementara saja.
Gambar 2.8. Gelombang (wave), (b) wavelet
Wavelet pertama kali digunakan dalam analisis dan pemrosesan digital dari sinyal gempa bumi, yang tercantum dalam literatur oleh A. Grossman dan J. Morlet (Kiselev, 2007). Penggunaan wavelet pada saat ini sudah semakin berkembang dengan munculnya area sains terpisah yang berhubungan dengan analisis wavelet dan teori transformasi wavelet. Dengan munculnya area sains ini wavelet mulai digunakan secara luas dalam filterasi dan pemrosesan data, pengenalan citra, sintesis dan pemrosesan berbagai variasi sinyal, kompresi dan pemrosesan citra, dll.
2.2.9
Wavelet Haar Transformasi sinyal merupakan bentuk lain dari penggambaran sinyal yang
tidak mengubah isi infomasi dalam sinyal tersebut. Transformasi wavelet (wavelet transform) menyediakan penggambaran frekuensi waktu dari sinyal. Pada awalnya, transformasi wavelet digunakan untuk menganalisis sinyal bergerak (non-stationary signals). Sinyal bergerak ini dianalisis dalam transformasi wavelet dengan menggunakan teknik multi-resolution analysis. Secara umum teknik multiresolution analysis adalah teknik yang digunakan untuk menganalisis frekuensi dengan cara frekuensi yang berbeda dianalisis menggunakan resolusi yang berbeda. Resolusi dari sinyal merupakan ukuran jumlah informasi di dalam sinyal yang dapat berubah melalui operasi filterisasi (Polikar, 1998).
22
Transformasi wavelet memiliki dua seri dalam pengembangannya yaitu Continous Wavelet Transform (CWT) dan Discrete Wavelet Transform (DWT). Semua fungsi yang digunakan dalam transformasi CWT dan DWT diturunkan dari mother wavelet melalui translasi/pergeseran dan penskalaan/kompresi. Mother wavelet merupakan fungsi dasar yang digunakan dalam transformasi wavelet. Karena mother wavelet menghasilkan semua fungsi wavelet yang digunakan dalam transformasi melalui translasi dan penskalaan, maka mother wavelet juga akan menentukan karakteristik dari transformasi wavelet yang dihasilkan. Oleh karena itu, perlu pencatatan secara teliti terhadap penerapan wavelet dan pemilihan yang tepat terhadap mother wavelet harus dilakukan agar dapat menggunakan transformasi wavelet secara efisien. Fungsifungsi yang termasuk di dalam keluarga wavelet dipaparkan pada Gambar 2.9.
Gambar 2.9. Keluarga Wavelet (a)Haar, (b)Daubechies, (c)Coiflet, (d)Symlet, (e)Meyer, (f)Morlet, (g)Mexican Hat. Dengan sumbu x merupakan waktu, t dan sumbu y merupakan (t)
Seri pengembangan Continous Wavelet Transform (CWT) dipaparkan pada persamaan 3. ( , )=
| |
( )
x(t) merupakan sinyal yang akan dianalisis, dasar yang dipilih.
(3) (t) adalah mother wavelet atau fungsi
merupakan parameter translasi yang berhubungan dengan
informasi waktu pada transformasi wavelet. Parameter skala s didefinisikan sebagai |1/frekuensi| dan berhubungan dengan informasi frekuensi. Dengan adanya
23
penskalaan ini sinyal dapat diperbesar atau dikompresi. Penskalaan besar (frekuensi rendah) menyebabkan sinyal diperbesar dan dapat memberikan informasi detil yang tersembunyi
di
sinyal,
sedangkan
penskalaan
kecil
(frekuensi
tinggi)
menyebabakan kompresi sinyal dan memberikan informasi global dari sinyal. Seri pengembangan kedua dari transformasi wavelet adalah Discrete Wavelet Transform (DWT). Seri pengembangan ini merupakan seri CWT yang didiskritkan. Dengan pendiskritan CWT ini maka perhitungan dalam CWT dapat dibantu dengan menggunakan komputer.
2.2.10 Penyamaan Histogram Penyamaan histogram merupakan metode yang digunakan untuk mengatur intensitas pada citra yang berguna untuk perbaikan kontras pada citra tersebut. Didefinisikan f pada citra yang direpresentasikan dalam mr oleh mc yang merupakan matriks intensitas bilangan bulat yang mempunyai rentang antara 0 sampai L-1, dimana L merupakan nilai yang mungkin untuk nilai intensitas yang biasanya bernilai 256. Nilai p mengacu pada histogram f yang ternormalisasi untuk setiap nilai intensitas yang mungkin, sehingga hal ini dijelaskan pada persamaan berikut (R. C. Gonzalez, 2008):
=
= 0,1, … ,
1
(4)
Sehingga persamaan untuk penyamaan histogram adalah sebagai berikut (R. C. Gonzalez, 2008):
=
((
1)
,
Ket: gij
: fungsi penyamaan histogram
(L-1) : rentang intensitas piksel fi,j
: matriks citra
(5)
24
Pn
: nilai yang mengacu pada histogram f yang ternormalisasi untuk
setiap nilai intensitas floor
: pembulatan kebawah nilai bilangan bulat
Persamaan sebelumnya yang berguna untuk mentransformasi intensitas piksel f dengan k akan sama dengan persamaan sebagai berikut (R. C. Gonzalez, 2008): ( )=
Ket: T(k)
((
1)
(6)
: fungsi transformasi intensitas piksel
(L-1) : rentang intensitas piksel k
: intensitas piksel
Pn
: nilai yang mengacu pada histogram f yang ternormalisasi untuk
setiap nilai intensitas floor
: pembulatan kebawah nilai bilangan bulat
Gambar 2.10. Penyamaan Histogram (Histogram Equalization) (R. C. Gonzalez, 2008)
25
2.2.11 Penjarangan Citra Penjarangan citra (thinning) merupakan salah satu algoritma perubahan operasi morpologi pada citra dengan menggunakan citra biner dengan tujuan menampilkan batas-batas objek yang hanya setebal satu piksel. Penjarangan citra ini secara iterative akan menghapus piksel-piksel pada citra biner dimana transisi yang terjadi antar nilai 0 ke 1 dan sebaliknya dilakukan sampai terpenuhi keadaan dimana satu himpunan dengan lebar hanya satu piksel terhubung menjadi satu garis. Pada proses penjarangan citra ini akan melibatkan proses hit-or-miss transform (Zurnawita, 2009). Jika dilihat lebih jauh, sepintas penjarangan citra dengan deteksi tepi memiliki hasil yang sama jika dilihat dari citra yang dihasilkan dimana kedua proses ini sama-sama hanya menampilkan batas objek yang terdapat pada citra. Namun secara prinsip kedua proses ini memiliki perbedaan cara kerja, yaitu (Zurnawita, 2009): Deteksi tepi merubah citra keabuan dan citra berwarna menjadi citra yang hanya menampilkan batas-batas (boundary) yang didapatkan berdasarkan tingkat kontras dan kecerahan dari suatu nilai piksel yang terdapat dalam citra. Penjarangan citra lebih mengarah pada pengurangan / mereduksi piksel objek pada citra biner menjadi piksel yang memiliki nilai yang sama dengan nilai piksel pada latar belakang sehingga diharapkan objek hanya memiliki batas-batas yang hanya memiliki ketebalan satu piksel. Penjarangan citra merupakan metode yang banyak dimanfaatkan dalam aplikasi pengenalan pola (Zurnawita, 2009). Salah satu kegunaan yang umumnya menggunakan penjarangan citra adalah untuk mengurangi citra yang memiliki garis lebih dari satu piksel dan biasanya citra ini dihasilkan dari deteksi tepi dengan operator sobel. Algoritma sederhana yang diterapkan dalam proses penjarangan citra adalah: Pertimbangkan semua piksel yang berada pada wilayah batas citra dengan asumsi bahwa setidaknya suatu wilayah batas memiliki satu buah piksel latar belakang yang bertetangga. Hapus beberapa titik yang memiliki lebih dari satu
26
tetangga selama proses penghapusan tersebut tidak memutus daerah secara local semisal dengan tiba-tiba membagi wilayah menjadi dua wilayah akibat penghapusan titik. Lakukan proses ini sampai konvergen atau tidak ditemukan lagi batas yang memiliki lebih dari satu piksel.
Gambar 2.11. Proses Penjarangan Citra (Image Thinning)
2.2.12 Tapis Gaussian Tapis Gaussian adalah tapis yang umumnya digunakan untuk mengaburkan citra dan mengurangi derau. Tapis gaussian merupakan tapis rendah yang tidak seragam dimana maksud dari tapis rendah adalah tapis dengan sinyal yang memiliki frekuensi dibawah dari frekuensi yang telah ditentukan. Koefisien dari kernel dikurangi dengan meningkatkan jarak dari pusat kernel menuju batas kernel, hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan koefisien yang besar maka ukuran kernel yang digunakan semakin kecil (Patrice, 2015).
Pada dimensi satu, fungsi Gaussian sebagai berikut:
Dimana
( )=
(10)
adalah standar deviasi pada sebaran piksel. Semakin besar nilai
maka tingkat pengaburan citra semakin besar dimana besar kernel akan mempengaruhi nilai Nilai
yang akan turut mempengaruhi tapis alami dari Gaussian.
sangat berpengaruh dalam menentukan koefisien dari Gaussian kernel.
27
Sebaran ini diasumsikan memiliki nilai rata-rata 0, sehingga fungsi sebaran Gaussian memiliki grafik seperti berikut (Patrice, 2015):
Gambar 2.12. Grafik Tapis Gaussian
2.2.13 Gradient Magnitude Tepi merupakan ketidaksinambungan intensitas pada suatu arah, dimana terjadi perubahan nilai piksel pada titik tertentu yang sangat signifikan dibandingnkan dengan piksel-piksel yang bertetanggan. Piksel tepi selalu merupakan lokal maksimum yang dimiliki oleh gradient magnitude. Gradient dihitung menggunakan konvolusi dengan turunan dari Gaussian. Arah gradient selalu tegak lurus dengan arah tepi. Pelebaran kontur ini memiliki persamaan (Sentanoe, 2014): (11) Dimana pelebaran ini akan lakukan perhitungan pada kontur dari gambar menggunakan gradient magnitude dengan menggunakan konvolusi Sobel. Konvolusi adalah operasi yang penting pada pemrosesan citra maupun sinyal. Untuk mengaplikasikan konvolusi pada citra 2 dimensi, citra dan kernel harus dalam bentuk fungsi 2 dimensi atau dalam bentuk matriks. Untuk konvolusi 2 dimensi kernel digeser mengikuti setiap piksel yang ada pada citra, mengalikan setiap piksel yang ada dengan kernel dan kemudian menambahkan dengan nilai piksel awal sehingga didapatkan citra dengan hasil baru yang telah diterapkan proses konvolusi (Cornell, 2013). Contoh dari penggunaan konvolusi adalah sebagai berikut:
28
Gambar 2.13. Proses Konvolusi untuk Gradient Magnitude (Cornell, 2013)
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, metode gradient magnitude ini menerapkan konvolusi dari Sobel pada koordinat x dan koordinat y adalah sebagai berikut:
(12)
(13) Pupil dan iris memiliki perbedaan pada pixel dimana pupil memiliki pixel yang lebih gelap dari iris sehingga besarnya gradient dapat digunakan untuk mendapatkan transisi intensitas anatara pixel iris dan pixel pada pupil (Sentanoe, 2014) (14) Jika besarnya pixel gradient lebih kecil dari ambang batas atau threshold yang telah didapatkan sekaligus pada proses menentukan region of interest, maka proses pelebaran akan dihentikan (Sentanoe, 2014)
29
2.2.14 Region of Interest Region of interest merupakan satu fitur yang memungkinkan untuk dilakukannya pengkodean secara berbeda pada area tertentu secara digital, sehingga terjadi perubahan pada daerah tersebut. Langkah untuk menentukan region of interest pada proses ini melibatkan penjumlahan pada sebaris piksel horizontal maupun vertical sampai mencapai ketinggian gambar maksimum maupun lebar gambar maksimum, jumlah intensitas piksel yang tinggi ini akan menjadi dasar penentuan Region of Interest dari pupil maupun iris mata. Gambaran proses penentuan Region of Interest dijelaskan melalui gambar 2.14 dan 2.15.
Gambar 2.14. Proses Penentuan Region Of Interest dari Pupil Mata
30
Gambar 2.15. Proses Penentuan Region Of Interest dari Iris Mata
Dua buah persamaan yaitu persamaan dan diperlukan untuk menghitung jumlah pixel pada koordinat x dan y. ( )=
( , )
(15)
( )=
( , )
(16)
W merupakan lebar gambar, sedangkan H adalah ketinggian gambar dan I(x,k), adalah intensitas pixel pada koordinat I(x,k), dan I(k,y) adalah intensitas pixel pada koordinat I(k,y). Lokasi dari Region of Interest ditentukan dari didapatkannya jumlah intensitas pada pixel horizontal maupun vertical yang memiliki nilai intensitas yang bukan nol karena piksel yang berwarna putih memiliki nilai piksel
31
satu sedangkan piksel yang berwarna hitam memiliki nilai piksel nol berdasarkan model warna biner sehingga untuk mendapatkan region of interest dari pupil dan iris mata maka T(x) dan T(y) harus memiliki jumlah yang lebih besar dari nol, sehingga titik-titik tersebut dapat menunjukan keberadaan dari pupil maupun iris yang akan didapatkan titik tengah maupun jari-jari pupil maupun iris (Sentanoe, 2014).