PENDULUM ROMANTIK DALAM SASTRA KITA *) (Romantic Pendulum in Our Literature) Oleh/By Teguh Supriyanto Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang Gedung B, Kampus Sekaran, Gunung Pati, Semarang Pos-el:
[email protected] *) Diterima: 1 Maret 2017, Disetujui: 11 April 2017
ABSTRAK Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan apakah ideologi romantisisme muncul dalam sastra Indonesia karena pengaruh dari pemikiran Barat serta tecermin dari karya sastra Barat? Penelitian ini difokuskan pada karya sastra: (1) Indonesia klasik (sastra daerah), (2) karya sastra populer tahun 1970-an, dan (3) karya tahun 2000-an. Pertanyaan penelitian tersebut muncul karena adanya kenyataan bahwa ideologi romantik masuk dalam babakan sejarah sastra Indonesia jauh sebelum sastra Indonesia lahir, yaitu muncul dalam sastra Jawa Kuno (abad ke-9—14) berlanjut pada abad ke-19. Selanjutnya, romantisisme muncul dalam karya sastra tradisi Balai Pustaka tahun 1920—1945. Oleh karena itu, peneliti mengambil ruang kosong untuk melengkapi penelitian sebelumnya sehingga diketahui perjalanan ideologi romantik sebagai pandangan dunia dalam khazanah sastra Indonesia dari klasik sampai tahun 2000-an. Data penelitian ini diambil secara random. Melalui metode struktural-semiotik serta dialektik didapatkan hasil penelitian sebagai berikut. Karya sastra di luar tradisi Balai Pustaka terutama tahun 1920-an didominasi ideologi realisme. Karya sastra tahun 1970-an, terutama sastra populer, sekilas romantisisme, tetapi kenyataannya adalah romantisisme palsu atau semu. Dalam karya tahun 2000-an romantisisme justru dipermainkan, ditekuk, dan dibentuk ulang dengan bahasa yang seolah-olah romantik, tetapi sebenarnya dijadikan semacam pendulum yang dapat dipermainkan para pengarang dan penyair. Kata kunci: ideologi, realisme, romantisisme.
ABSTRACT The purpose of this study to describe whether the ideology of romanticism emerged in Indonesian literature because of the influence of Western thought and reflected from the work of Western literature? This study focused on literary works: (1) classical Indonesia (regional literature), (2) popular literary works of the 1970s, and (3) works of the 2000s. The question of the research arose because of the fact that romantic ideology entered into Indonesian literary history long before Indonesian literature was born, which appeared in Ancient Javanese literature (9th—14th century) continued in the 19th century. Furthermore, romanticism emerged in the literature of Balai Pustaka tradition in 1920—1945. Therefore, the researchers took the empty space to complete the previous study so that the journey of romantic ideology as a world views in the Indonesian literature from classical until the 2000s. The data were taken by using random sampling. Through structural-semiotic and dialectical methods, the following research results are obtained. Literary works non-tradition of Balai Pustaka especially in the 1920s is dominated by the ideology of realism. Literary works of the 1970s, especially popular literature is a glimpse of romanticism, but the reality is false or pseudo romanticism. In the 2000s romanticism has been mocked, bent, and reshaped in an ostensibly romantic language, but it is actually a kind of pendulum that can be played by authors and poets. Keywords: ideology, realism, romanticism.
1
Pendulum Romantik dalam Sastra Kita (Teguh Supriyanto)
1
PENDAHULUAN Ideologi romantik dalam khazanah sastra Indonesia pernah diperdebatkan antara Sutan Takdir Alisyahbana (disingkat STA) dan para sastrawan yang kemudian sering dihakimi sebagai aliran kiri (sosialis/realis) seperti Pram, meskipun sebenarnya mereka tidak sendirian. STA sangat kebarat-baratan yang pada era Balai Pustaka sangat dipengaruhi oleh paham romantisisme dari Barat. Memang, beberapa karya sastra terbitan pemerintah kolonial (baca: Balai Pustaka) pada waktu itu sangat romantik, misalnya Siti Nurbaya, Layar Terkembang, Belenggu, Salah Asuhan, dan beberapa novel tradisi Balai Pustaka lainnya (Faruk, 2002). Istilah romantik merujuk pada konsep ideologi atau pandangan dunia yang lebih menekankan penyatuan antara yang ideal dan yang nyata yang diakibatkan oleh struktur ruang artistik yang didominasi oleh arkasemem oposisi berpasangan antara yang ideal dan yang nyata (Supriyanto, 2008). Namun demikian, konsep romantik ini tidak mampu melepaskan diri dari jeratan historis aliran romantisisme yang pada abad pertengahan mulai muncul di Inggris dan Prancis. Menurut Furs (1976:12; lihat pula Faruk, 2002:39) romantik atau romantisisme berasal dari kata romance, yaitu (nama bahasa rakyat yang dipertentangkan dengan bahasa latin pada abad pertengahan). Dalam sastra Prancis kuno, roman merupakan genre sastra istana yang sebagian besar mengandung cerita tentang cinta, petualangan, sedangkan di Inggris kata itu merujuk pada genre sastra yang menceritakan kisah para kesatria yang meluapkan perasaan yang kuat yang serba tidak mungkin, berlebihan, tidak
2
realis, yang dipertentangkan dengan hidup yang rasional dan seadanya. Penelitian Supriyanto (2010) mengenai sastra populer, baik sastra Indonesia maupun sastra daerah (sastra Jawa) yang berjudul “Genetika Roman Panglipur Wuyung” menunjukkan hasil yang berbeda dari simpulan penelitian Faruk (2002) dalam Novel-novel Indonesia: Tradisi Balai Pustaka 1920— 1942. Supriyanto (2010) menunjukkan bahwa romantisisme yang muncul dalam sastra populer ternyata bersifat semu atau palsu. Antara yang ideal dan yang nyata sebenarnya merupakan kepalsuan yang dicipta pengarang tradisi Roman Panglipur Wuyung dalam sastra daerah dan sastra picisan dalam sastra Indonesia modern. Dalam bukunya, Faruk (2002:227) secara gamblang merentang sejarah sastra Indonesia yang dalam periode Balai Pustaka pengarang terbelenggu oleh aliran dan ideologi romantik. Faruk menyimpulkan penelitiannya sebagai berikut. perkembangan novel-novel Indonesia tradisi Balai Pustaka bahwa novelnovel itu mengekspresikan pandangan dunia romantik yang berpusat pada ketegangan antara dunia ideal dengan dunia nyata
Pada kasus-kasus tradisi di luar Balai Pustaka ternyata berbeda seperti kasus Nyai Dasima dan tetralogi Bumi Manusia. Meskipun Nyai Dasima (Bandel, 2006:31—44) diceritakan dengan gaya ironi (ia mati sia-sia). Namun, berbeda dengan Layar Terkembang karya Alisyahbana, yang menggambarkan tokoh Maria yang dipertentangkan dengan tokoh yang diciptakan sebagai kakaknya, yaitu
ALAYASASTRA, Vol. 13, No. 1, Mei 2017, hlm. 1—12
Tuti. Maria mati dengan penuh makna. Dasima adalah sosok perempuan yang menjadi korban alam lingkungannya, sedangkan Maria justru menyatu dengan lingkungannya. Dalam Layar Terkembang, Tuti dan Maria sebenarnya berada di dua kutub yang berbeda. Maria sangat senang dan menikmati lingkungan alam sekitarnya, sebaliknya Tuti hidup dalam pribadinya sehingga di alam sekitarnya ia menjadi terasing. Namun, di akhir cerita Maria terkalahkan oleh penyakit yang dideritanya. Ia menyatukan kekasihnya, Yusuf, dengan kakaknya (hlm.135). Dengan keputusan yang demikian, Maria mati tidak dengan melepaskan dunia. Ia merasa menyatu dengan dunia Tuti dan Yusuf di alam nyata (Faruk, 2002:161). Sementara itu, Pram (2011) mencipta tokoh Nyai Ontosoroh yang sadar akan dirinya. Ia tidak mau menjadi korban lingkungannya sebagaimana yang digambarkan dalam Nyai Dasima. Pram membangun ideologi realisme untuk menunjukkan kenyataan sosial kepada kaum kolonial. Penelitian ini difokuskan pada bagaimana sebenarnya ideologi romantik atau romantisisme itu diterima sastra Indonesia (dalam pengertiannya yang luas, termasuk sastra Indonesia klasik, dalam hal ini sastra daerah) sampai pada karya sastra Indonesia kurun 2000-an. Apakah ideologi romantisisme sebagai pandangan dunia dalam sastra Indonesia merupakan ideologi yang dipengaruhi dari pemikiran Barat atau diadopsi dari sastra Barat, atau sebaliknya, apakah pandangan romantik itu universal sehingga dapat ditemukan di sastra belahan dunia mana pun?
HASIL DAN PEMBAHASAN Pandangan dunia romantik sebenarnya bukan hal baru di dunia sastra Indonesia. Gambaran romantisisme itu dapat dilihat pada teks-teks sastra klasik. Misalnya, karya Yosodipuro Serat Rama (abad ke-19) yang digubah dari karya sastra Jawa Kuno Ramayana sekitar abad ke-9. Salah satu bait puisi tradisional yang bermetrum tembang macapat dapat dijelaskan berikut. Anoman malumpat sampun Prapteng witeng nagasari Mulat mangandhap katingal Wanodyayu kurung aking Gelung rusak worlan kisma Kang iga-iga kaeksi
Terjemahan bebas: ‘Anoman melompat sudah Sampai pohon nagasari Melihat ke bawah kelihatan Perempuan cantik sangat kurus Dandanan rambut rusak bercampur tanah Tulang-tulang iga kelihatan’
Untuk melihat pandangan dunia romantik, pertama dianalisis melalui kode bahasa karena puisi tradisional di atas ditulis dalam bahasa Jawa baru yang sulit dipahami anak zaman sekarang. Bentuk puisi tradisional di atas jika dilihat dari kode bahasa dapat dijelaskan berikut. Larik pertama, yaitu: Anoman malumpat sampun susunan kalimatnya diubah supaya sesuai dengan kaidah kebahasaan sehingga menjadi Anoman sampun malumpat (‘Anoman sudah melompat’). Larik berikutnya, prapteng witeng sebenarnya berasal dari kata prapta+ ing dan wit+ing yang memiliki arti ‘sampai, datang, di sebuah pohon
Pendulum Romantik dalam Sastra Kita (Teguh Supriyanto)
3
nagasari’. Larik berikutnya, mulat mangandhap katingal berasal dari um +ulat mangandhap katingal berarti ‘melihat ke bawah terlihat’. Selanjutnya, wanodyayu kuru aking berasal dari wanodya + ayu yang berarti ‘perempuan cantik’, kuru aking yang berarti ‘kurus sekali’. Kata aking berarti ‘kering seperti ranting pohon’. Kata itu sering dipakai untuk menggambarkan keadaan badan atau tangan yang sangat kurus. Sebaliknya, untuk menggambarkan tangan wanita yang bagus digambarkan seperti sebuah gendewa panah pindho gendewa pinenthang (‘seperti sebuah gendewa yang direntangkan’). Larik selanjutnya, gelung rusak wor lan kisma berasal dari kata gelung rusak awor lan kisma yang berarti ‘dandanan gelung sangat rusak bercampur tanah’. Kata kisma memiliki padanan banyak sekali seperti lemah, bantala, bumi, pratala, pertiwi. Larik terakhir berbunyi kang iga-iga kaeksi semestinya kaeksi kang iga berarti ‘tulang iganya terlihat’. Dengan demikian, dari kode bahasa yang sudah diselesaikan, bait itu menjadi sebagai berikut. Anoman sampun malumpat prapta ing wit ing nagasari ma ulat mangandhap katingal wanodya ayu kuru aking gelung rusak awor lan kisma kaeksi kang iga
Jika dirangkai menjadi Anoman sudah melompat ke pohon nagasari lalu melihat ke bawah ada perempuan cantik yang kurus kering, dandanan rambutnya rusak bercampur tanah, tulang iganya kelihatan. Setelah dicermati analisis struktural yang lebih menekankan segi bahasa (kode bahasa) ternyata belum menyelesaikan masalah. Kita hanya
4
paham sepotong informasi tentang Anoman yang melompat di pohon dan melihat perempuan cantik dan kurus. Menurut Teeuw, pemahaman tersebut harus ditingkatkan ke kode sastra dan kode budaya. Marilah kita melihat melalui kode sastra. Jika diamati, ternyata puisi tradisional tersebut bermetrum tembang kinanthi yang sangat terikat dengan jumlah guru wilangan (suku kata) dan guru lagu (rima/ bunyi akhir). Tembang kinanthi berpola metrum 8-u, 8-i, 8-a, 8-i, 8-a, 8-i sehingga larik Anoman malumpat sampun sudah benar menurut kode sastra karena di larik ini rima harus jatuh u, selanjutnya kata prapteng witeng nagasari juga sudah benar karena memenuhi syarat jumlah suku kata. Demikian juga larik-larik seterusnya sudah benar karena sesuai dengan tuntutan jumlah suku kata dan rima akhir. Inilah letak keindahan sebuah karya sastra. Istilah kaum formalis karya sastra ini menggunakan sarana-sarana sastra yang salah satunya digunakan penyimpangan bahasa (deotomatisasi). Untuk mengetahui makna puisi tradisional tersebut harus sampai pada taraf kode sosial budaya. Dalam masyarakat Jawa dikenal cerita Ramayana. Bagian tembang tersebut diambil dari kisah Anoman yang diperintah Rama untuk menengok Sinta di Alengka, negeri asal Rahwana yang menculik Sinta (dalam tradisi Ramayana disebut Sita). Sinta sangat menderita karena dijauhkan dengan Rama sang suami. Ia digambarkan sangat kurus dan tidak pernah mengatur diri apalagi bersolek. Gambaran ini terlihat jelas melalui larik gelung rusak wor lan kisma. Wanita zaman dahulu menganggap rambutnya sebagai mahkota sehingga
ALAYASASTRA, Vol. 13, No. 1, Mei 2017, hlm. 1—12
selalu dijaga dan dirias. Manakala keadaan rambut (gelung) dibiarkan, hal itu menunjukkan wanita tersebut sudah putus asa. Gambaran ini dipertegas dengan gambaran larik berikut kang igaiga kaeksi ‘tulang dadanya kelihatan’ dan larik sebelumnya wanodyayu kuru aking ‘wanita cantik tetapi sangat kurus’. Sampai di sini kita menjadi memahami puisi tradisional di atas. Cuplikan puisi tradisional di atas sebenarnya mengisahkan perjuangan penyatuan antara yang ideal dan yang nyata. Sinta adalah istri Rama sehingga idealnya mereka bersatu. Namun, mereka dipisahkan oleh Rahwana. Sinta diculik dan diboyong ke Alengka, sebuah negeri yang jauh serta dipisahkan oleh laut yang luas. Kondisi cerita ini sangat mirip dengan cerita Layar Terkembang karya Alisyahbana. Tokoh Maria karena sakit harus berada di Desa Pacet, sementara Yusuf (kekasihnya) berada di jarak yang sangat jauh. Ia berada di Martapura nun di seberang lautan. Dalam teks India, Sita akhirnya tidak dapat dipersatukan di dunia nyata. Ia diragukan kesuciannya oleh suaminya. Ia berputus asa dan mati di pelukan bumi pertiwi. Dalam pewayangan dan sastra klasik Jawa, Sita dipersatukan baik di dunia ideal maupun di dunia nyata. Romantisisme di dunia Barat tumbuh mulai abad pertengahan. Sementara di dunia kita (Indonesia yang berjarak ribuan kilometer) sudah mulai tumbuh pada sekitar abad ke-9 dengan kemunculan kakawin Ramayana dan Arjunawiwaha pada abad ke-10 di Jawa. Marilah kita lihat romantisisme dalam puisi Jawa modern tahun 1970-an karya R. Intoyo. Hal ini dipaparkan untuk membuktikan bahwa romantisisme
masih beroperasi dalam karya sastra daerah di Indonesia. Dayaning Sastra Tembung kang ginantha lelarikan, Tinata binaries kadya bata, Sinambung pinetung manut ukuran, Dene banjur kasinungan daya, Kumpule bata dadi yayasan, Aweh nggon apik, brukut, santosa, Ngepenakake wong urip bebrayan, Samana dayane bata tinata. Gegodhongan tembung kang mawa isi, Katiyasane ngungkul-ungkuli, Wohing laku, pamikir, lan pangrasa, Para empu, pujangga, sarjana. Simpen, ginebeng ing gugubahan, Mewindu-windu dadi turutan. (Dikutip dari: Telaah Kasusastraan Jawa Modern, 1975:27)
Puisi R. Intoyo, pertama-tama akan dibaca dengan pembacaan heuristik, yang didasarkan pada konvensi bahasa sehingga bersifat mimetik dan karenanya membangun arti yang beragam. Frase dayaning sastra berarti ‘kekuatan sastra’. Sastra juga berarti ‘tulisan’. Dalam Bausastra, sastra mempunyai arti ‘layang, kawruh, tulisan, gegaman’. Dalam hal ini, dayaning sastra diartikan ‘kekuatan dari tulisan’ (lihat telaah Sadi Hutomo, 1975:27). Secara mimesis, frase itu membayangkan adanya “kekuatan” yang mampu berbuat sesuatu, entah membangun, entah merusak, entah memfitnah, entah mengangkat sesuatu, entah orang. Yang jelas pastilah kata “tulisan” mampu berbuat sesuatu kepada manusia. Larik pertama, yaitu tembung kang ginantha lelarikan, berhubungan dengan judul, yaitu dayaning sastra.
Pendulum Romantik dalam Sastra Kita (Teguh Supriyanto)
5
Kata tembung (kata) berhubungan dengan sastra (tulisan). Larik itu bersifat deskriptif dari judul dan masih berlanjut pada larik berikutnya, yaitu tinata binaries kadya bata. Kata yang tersusun menjadi baris-baris itu diumpamakan seperti batu bata. Larik berikutnya, yaitu sinambung, pinetung, manut ukuran. Kata-kata yang tersusun menjadi baris-baris itu akibat dari kata yang satu disambungkannya dengan kata yang lain, begitu seterusnya dengan memperhatikan “bentuk” (pinetung manut ukuran) sebagaimana halnya susunan batu bata. Larik berikutnya adalah dene banjur kasinungan daya. Larik tersebut adalah penjelasan dari larik sebelumnya, bahwa kata-kata yang tersusun dan tersambung menurut bentuk (baca: fungsi) mempunyai kekuatan. Secara mimesis, kata-kata yang tersusun menjadi kalimat berbarisbaris itu memiliki arti, entah apa, dan kepada siapa. Di bait kedua, R. Intoyo membandingkan susunan kata-kata itu (baca: struktur) seperti batu bata. Marilah kita ikuti bait berikut. Larik pertama adalah kumpule bata dadi yayasan. Jika bata yang terkumpul dan tersusun akan menjadi bentuk bangunan. Sampai di sini, penyair ingin memberikan informasi lebih detail daripada bait sebelumnya, terutama larik kedua: tinata binaris kadya bata. Larik berikutnya pada bait kedua adalah aweh nggon apik, brukut, santosa. Larik ini merujuk kepada manfaat dari batu bata itu, bahwa bentuk bangunan bata akan memberikan tempat yang baik dan kuat. Secara mimesis, larik itu mengacu kepada manusia. Secara struktural, kata brukut dipilih karena prinsip ekuivalensi dan berhubungan dengan
6
kata berikutnya, yaitu sentosa. Efek pemilihan kata brukut dan sentosa adalah efek estetis (bunyi) yaitu /t/. Larik kedua ini berhubungan dengan larik keempat yaitu semono dayane bata tinata. Larik ketiga, ngepenakake wong urip bebrayan merupakan akibat dari larik pertama sehingga larik ini berhubungan (relasi). Sampai di sini dapat diketahui arti dari bait kedua, bahwa bata yang tersusun berdasar perhitungan ukuran akan menjadi bentuk bangunan yang baik dan kuat sehingga bermanfaat bagi manusia yang hidup berkeluarga. Itulah kekuatan dari batu bata yang tersusun. Bait ketiga dimulai dari larik pertama yang memberikan informasi, sedangkan larik berikutnya (kedua) merupakan penjelas dari informasi itu. Dengan demikian, larik pertama dan kedua ada relasi. Kedua larik itu juga ditandai oleh persajakan yang sama pada bagian akhir, yaitu bunyi i. Larik pertama itu adalah gegodhongan tembung kang mawa isi, berlanjut dengan larik berikutnya: katiyasane ngungkul-ungkuli. Kata gegodohongan berasal dari kata dasar godhong (‘daun’). Secara referensial, kata ini mengacu pada bentuk daun yang tersusun di tangkai daun. Arti dari larik ini adalah ‘tersusunnya kata yang mengandung isi’ (dalam hal ini: arti), mempunyai kekuatan (katyasane) melebihi. Yang dimaksud adalah melebihi kekuatan susunan batu bata (bangunan) sekalipun bermanfaat bagi keluarga. Larik ketiga adalah wohing laku, pamikir lan pangrasan dan larik keempat para empu, pujangga, sarjana. Kedua larik ini berhubungan dan merupakan sebab munculnya larik pertama dan kedua sebelumnya. Arti dari bait ini bahwa susunan kata yang merupakan
ALAYASASTRA, Vol. 13, No. 1, Mei 2017, hlm. 1—12
buah karsa (laku), cipta (pamikir), dan rasa (pangrasa) dari empu, pujangga, atau sarjana itu mempunyai kekuatan yang melebihi kekuatan bangunan bata. Bait terakhir merupakan informasi bait sebelumnya, yaitu bait ketiga. Larik pertama adalah simpen, ginebeng ing gegubahan. Larik berikut sebagai penjelas larik pertama yaitu mewinduwindu dadi turutan. Arti bait ini menjelaskan bait ketiga yaitu bahwa susunan kata-kata yang mengandung arti karena hasil olah cipta rasa karsa dari manusia pandai itu, yang mempunyai kekuatan lebih itu disimpan dalam bentuk gubahan dan bertahun-tahun menjadi sumber teladan (turutan). Dari hasil pembacaan secara kode bahasa dapat diketahui bahwa buah cipta rasa dan karsa manusia pandai itu mengandung arti (isi) dan tersimpan dalam bentuk karangan yang dijadikan sumber teladan, entah oleh siapa, setiap saat. Bait-bait puisi tersebut ternyata saling berhubungan, begitu juga antarlariknya. Konvensi sastra tradisional, yaitu yang berhubungan dengan periodisitas maupun korespondensi masih tampak. Persoalan yang muncul pada bait pertama, yaitu siapakah yang menyusun kata-kata itu, ternyata terjawab pada bait ketiga larik terakhir, yaitu orang pandai (empu, pujangga, sarjana). Sekilas puisi tersebut berbentuk diafan karena mudah dicerna. Marilah kita lanjutkan analisis puisi itu untuk memperoleh makna secara utuh. Caranya melalui pembacaan hermeneutik sebagaimana disarankan Riffaterre (1978). Frase dayaning sastra dalam judul puisi itu mengimplikasikan suatu informasi dari manusia kepada manusia, yaitu dari penulis kepada
pembaca. Sampai di sini, judul itu memberikan pasangan oposisional, yaitu penulis – pembaca. Selanjutnya, pada larik berikutnya: tembung kang ginantha lelarikan, tinata baris kadya bata bergaya kias simile, yaitu tembung diperbandingkan seperti bata. Pada larik itu juga terjadi perulangan secara semantis, yaitu pada judul, sastra diulang dengan kata tembung. Dengan demikian, kata tembung dihadirkan untuk menegaskan kata sastra. Implikasi berikutnya tampak pada gaya persejajaran, yaitu sastra yang tersusun disejajarkan dengan bata yang tersusun. Mengapa bata? Bata adalah sebuah batu yang terbuat dari tanah yang dibakar sehingga mudah patah. Bagaimana dengan sastra atau tembung? Apakah juga mudah patah? Ternyata tidak. Jawabannya ada di baris terakhir: mawindu-windu dadi turutan (bertahun-tahun menjadi pedoman atau teladan). Larik-larik itu menghasilkan oposisi baru, yaitu mudah patah atau retak-ulet dilawankan dengan kata kuat. Larik terakhir di bait pertama menunjukkan bahwa sastra (sesuatu) yang disusun itu mempunyai kekuatan. Bait kedua merupakan persejajaran dari bait pertama. Kumpulan batu bata merupakan bangunan yang bagus, kuat, dan memberikan arti bagi keluarga, itulah kekuatan bata. Mengapa demikian? Kesenangan? Sesuatu yang bersifat fisik (bangunan) sekalipun sebenarnya memiliki kerapuhan (seperti bata) ternyata mampu menimbulkan kesenangan bagi keluarga. Implikasi bait ini adalah kesenangan lahiriah. Sebaliknya kekuatan sastra terletak pada makna (spirit) yang bersifat batiniah. Sampai di sini timbul oposisi baru yaitu lahir – batin. Bait ketiga menyiratkan
Pendulum Romantik dalam Sastra Kita (Teguh Supriyanto)
7
penjelasan dari bait pertama. Bahwa kekuatan sastra yang tersusun (sesuatu) itu melebihi kekuatan bata yang tersusun karena berisi sesuatu yang merupakan hasil dari proses cipta, rasa, dan karsa dari manusia pandai. Apakah itu? Pertanyaan ini terjawab pada bait terakhir, yaitu sesuatu yang tersimpan dan terikat dalam bentuk gugubahan itu bertahun-tahun akan menjadi pedoman hidup. Melalui hipogram potensial di atas, pembacaan hermeneutik ini telah berhasil mendapatkan kesatuan dunia imajiner puisi, yang dalam pembacaan heuristik terkesan beraneka ragam dan terpecah. Puisi itu merupakan “pesan” penulis kepada pembaca tentang sastra, yaitu sesuatu yang mempunyai kekuatan. Sesuatu yang ulet dan tidak mudah patah. Sesuatu itu merupakan hasil dari buah manusia yang suka berolah cipta, rasa, dan karsa. Oleh karena itu, buah perilaku cipta, rasa, dan karsa itu bertahan sampai bertahun-tahun dan dijadikan teladan atau pedoman hidup. Sebaliknya, sesuatu yang bersifat fisik (bangunan/ wadag) itu mudah patah (rusak) sehingga bersifat sementara sungguhpun memberikan kesenangan (bermanfaat) lahir. Akan tetapi, bangunan dunia imajiner ini belum sepenuhnya utuh dan belum membentuk satu kesatuan makna yang menjadi pusatnya yang dalam teori Riffaterre disebut matriks. Matriks teridentifikasi dalam bentuk model karena model merupakan aktualisasi pertama darinya. Model biasanya dapat dirunut melalui kata, frase, atau kalimat tertentu yang bersifat puitis sehingga berbeda dengan kata, frasa, atau kalimat yang lain. Sebuah tanda dikatakan puitis jika tanda itu bersifat hipogramatik. Inilah yang
8
menjadikan tanda puitis itu bersifat monumental (Faruk, 1996). Ada dua tanda yang tampak monumental dalam puisi itu, yaitu frasa dayaning sastra dan frasa binaris kadya bata. Frasa pertama, yaitu dayaning sastra bertolak dari wacana batin (tidak tampak) mengenai kekuatan dari hasil olah pikir, rasa, dan karsa manusia. Wacana batin ini jelas berasal dari budaya Jawa, yang lebih mengutamakan hal yang bersifat batin, halus, dan ulet, dalam hubungannya dengan lingkungannya. Frase kedua, yaitu binaris kadya bata bersandar pada wacana yang berbeda, yaitu wacana yang mengutamakan bentuk lahir, wadag, dan nyata (objektif). Wacana ini mampu memberikan kesenangan. Dalam pandangan Jawa, wacana lahir bersifat kadunyan sehingga bersifat sementara, sedangkan wacana batin bersifat religius dan transenden serta kekal. Yang pertama melahirkan kelanggengan (tahan lama) karena didasarkan kepada kemuliaan manusia yang mau berolah pikir, rasa, dan karsa di hadapan Tuhan, sedangkan yang kedua menyiratkan keterbatasan makhluk yang bernama manusia dalam hubungannya dengan hukum Tuhan. Kedua model itu mana yang lebih kuat dan puitis? Riffaterre menyatakan bahwa sebuah tanda dalam puisi haruslah dipertimbangkan tidak hanya dalam hubungannya dengan hipogramatik nontekstual, melainkan juga dalam hubungannya dengan matriks keseluruhan teks (Faruk, 1996:33). Kedua frasa itu sebenarnya merupakan dua sisi dari “satu mata uang” yang sama. Frasa pertama adalah sisi positif, sementara itu frasa kedua merupakan sisi negatif. Dalam kebudayaan Jawa kedua sisi tersebut dapat dibaca sebagai loroloroning atunggal (dua sebenarnya satu).
ALAYASASTRA, Vol. 13, No. 1, Mei 2017, hlm. 1—12
Kedua sisi itu saling melengkapi seperti daun sirih yang berbeda rupa lembar atas dan bawahnya, tetapi jika digigit memiliki rasa yang sama dan menjadi hidup. Oposisi tersebut sebenarnya berupa ajakan yang mengarah kepada terbentuknya kebiasaan manusia sebagai makhluk untuk melaksanakan amanah memayu hayuning bawana (berkehendak membuat sejahtera dunia sekitarnya) dengan dilandasi sikap yang mengutamakan olah kejiwaan (cipta rasa karsa). Frasa kedua merupakan alat sehingga bersifat sementara, serba menarik dalam bahasa kebudayaan disebut kadunyan. Melalui pemahaman demikian, tampaklah bahwa kedua sisi model itu sebenarnya berasal dari matriks yang sama, yaitu eling ingat kepada tugas sebagai manusia di muka bumi untuk selalu berkeinginan memayu hayuning bawana atau berkemauan. Dengan negasi (pengingkaran), orang dapat membangun sebuah dunia baru untuk menuju kesejahteraan dunia lahir batin. Matriks ini penting karena berakar dan reproduksi dari wacana religius Jawa yang masih terus hidup. Sebagai perbandingan saya paparkan spirit dari kebudayaan Cina yang dapat disejajarkan dengan budaya Jawa. Yang di dalam bergerak dan bekerja dikendalikan oleh kekuasaan Sumbernya maka tak terbatas kekuatannya. Yang di luar bergerak dan bekerja dikendalikan hati akal pikirannya maka amat terbatas kekuatannya Karena itu menyerah kepada Sumbernya
pasti akan mendapat bimbingan-Nya! (Kho Ping Hoo, 1975).
Bagaimana pandangan romantik dalam sastra Indonesia masa kini? Untuk jelasnya dapat disimak puisi tahun 2000-an karya Suminto A Sayuti (2013) berikut ini. “Dari Bangsal Sri Manganti, Keraton Yogyakarta, Suatu Hari” selesai Sembur Adas lalu Pathetan engkau pun ke pentas untuk sebuah peran hidup digelar lewat seblak sampur dalam irama Sampak dan kadang Tlutur (orang-orang berjajar sekeliling bangsal ada Jawa, Cina, Belanda, dan Portugal ada sorjan, celana pendek, dan T-Skirt kumal ada wajah majikan, ada pula wajah gedibal) engkau pun memintal jarak lewat untaian gerak makna pun terurai dalam langkah-langkah gemulai cinta-birahi dan rindu-dendam kemanusiaan terhidang di tengah bingkai keindahan alun gending dan lembut tarian semua atas nama peradaban selesai Agun-agun lalu sembahan engkau pun turut bagi sebuah penantian sepotong kehidupan selesai dipanggungkan lalu Gangsaran... (di ruang ganti itu engkau bertanya: manakah yang lebih indah, lakon pethilan dan karawitan atau paha terbuka dan dada tanpa beha)
Untuk menjelaskan puisi ini saya gunakan teori strata norma dari Roman Ingarden, salah seorang tokoh New Criticism. Puisi bagi Ingarden diandaikan seperti kue lapis. Lapis pertama disebut lapis bunyi. Puisi di atas tergelar dari permainan bunyi yang sangat serasi.
Pendulum Romantik dalam Sastra Kita (Teguh Supriyanto)
9
Ada aliterasi, asonansi yang harmonis antara kombinasi vokal konsonan dalam kemanusiaan, keindahan, tarian, peradaban, sembahan, penantian, dipanggungkan, gangsaran, pethilan, karawitan. Bunyi-bunyi tersebut masih dikombinasikan dengan vokal konsonan ur (sampur, tlutur) sehingga vitalitas puisi ini menjadi lentur seperti seorang penari yang melenggang. Kesan pertama dari puisi ini seolah bergerak mengikuti irama. Lapis ke dua, yaitu lapis arti dapat dilihat melalui pilihan penyair terhadap penentuan diksi yang digunakan. Pilihan kata selesai, sembur adas, kemudian pada larik berikutnya kita bertemu diksi engkau pun, ke pentas, selanjutnya peran, seblak sampur, sampak, dan tlutur bukan saja menimbulkan efek estetis pada setiap larik, terutama pada perulangan bunyi yang indah, tetapi juga meneguhkan arti gemulainya seorang penari. Lebih dari itu, pilihan diksi pada setiap larik ternyata mampu menjadikan puisi tersebut tergelar ke dalam enam bait. Bait pertama mengisyaratkan pembuka pada pagelaran tari, bait ketiga dan keempat adalah isi, sementara bait kelima berisi tarian penutup. Entah disengaja, penyair menutup pada bait kelima dengan pilihan kata lalu gangsaran. Diksi gangsaran untuk menandakan jenis gamelan yang sering digunakan untuk menutup sebuah pertunjukan wayang atau tarian yang menggambarkan pertempuran brubuh untuk menentukan kebenaran sebagai pemenang. Ternyata penyair memang sengaja memilih diksi gangsaran untuk membuka pertanyaan “nakal” dari penyair pada bait akhir (di ruang ganti itu engkau bertanya: manakah yang lebih
10
indah, lakon pethilan dan karawitan atau paha terbuka dan dada tanpa beha). Lapis ketiga disebut lapis objek. Pada puisi tersebut objek yang dibicarakan adalah perempuan, penari, penonton, dan bangsal. Meskipun perempuan secara eksplisit tidak ditampakkan dalam larik, kepiawaian penyair mampu mengangkat daya khayal pembaca untuk membayangkan kehadiran penari wanita. Lapis keempat adalah lapis dunia, dalam hal ini puisi tersebut terbangun dari gelaran dunia tarian yang dipentaskan di sebuah bangsal keraton yang agung. Lapis terakhir disebut lapis metafisik dan inilah sebenarnya pusat pemaknaan sebuah puisi. Ideologi apa yang ingin disampaikan penyair dapat dirunut di lapis ini. Sampai di sini penjelasan mengenai puisi menjadi gelap. Namun, bagi yang suka membaca puisi ada bantuan (deiksis) sebagai penunjuk jalan. Makna puisi tidak hanya ditentukan oleh larik-larik, tetapi juga kesatuan semua yang tersaji. Judul dan larik penutup puisi tersebut jika diperhatikan sekilas menumbuhkan keanehan. Riffaterre (1978) menyatakan bahwa sesuatu yang disebut aneh dalam puisi biasa disebut sebagai sesuatu yang “mencurigakan” dan fenomenal. Dalam judul “Dari Bangsal Sri Manganti, Keraton Yogyakarta, Suatu Hari” memunculkan daya khayal yang luar biasa, agung, dan sakral. Namun, frase suatu hari memunculkan pertanyaan yang nyleneh, ada apa gerangan? Keraton merupakan sumber budaya yang penuh norma dan tatanan rumit. Tidak ada pikiran dan kesan celelekan. Namun demikian, di sebuah ruang ganti (maksudnya bagian dalam keraton) ada peristiwa yang membuat kita menjadi
ALAYASASTRA, Vol. 13, No. 1, Mei 2017, hlm. 1—12
mafhum bahwa persoalan manusia sebenarnya sama. (di ruang ganti itu engkau bertanya: manakah yang lebih indah, lakon pethilan dan karawitan atau paha terbuka dan dada tanpa beha)
Dunia serba teratur, yang ideal dan yang nyata, yang tertib adalah ciri romantik. Akan tetapi, larik penutup membuyarkan romantisisme. Ideologi tersebut oleh penyair dipermainkan. Bagi penyair, romantik menjadi semacam pendulum.
SIMPULAN Sebagai penutup, dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa (1) pandangan dunia romantik sebenarnya sudah mulai beroperasi sebelum sastra atau seni Barat masuk ke Indonesia pada zaman kolonial, (2) ideologi romantisisme pada era sekarang justru dipermainkan oleh situasi kekinian yang cenderung longgar terhadap tradisi-tradisi adi luhung. Implikasi dari paparan ini menggugah kesadaran kita bahwa harmoni di antara kita memang sudah ada dari sono-nya sehingga memang perlu diteguhkan melalui berbagai wacana seperti wacana sastra. Ideologi romantik ada dalam setiap karya seni termasuk seni sastra dan seni lukis. Implikasi lain, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlu dilihat genre sastra lainnya seperti novel sastra Indonesia tahun 1970-an dan 80-an, apakah genre sastra tersebut juga terbelenggu pandangan dunia romantik? Atau jangan-jangan kesadaran para pengarang pada periode tersebut sudah muncul untuk meretas belenggu pandangan dunia romantik.
DAFTAR PUSTAKA Alisyahbana, Sutan Takdir. 1988. Layar Terkembang. Jakarta: Balai Pustaka. Ananta Toor, Pramudya. 2013. Bumi Manusia. Cetakan ke-13. Jakarta: Lentera Dipantara. Bandel, Katrin. 2006. “Cerita Nyai Dasima dan Nyai Ontosoroh: Sebuah Intertekstualitas Pascakolonial” dalam Sastra, Perempuan, Seks. Yogyakarta: Jalasutra. Faruk.1996. “Aku dalam Semiotika Riffaterre, Semiotika Riffaterre dalam Aku” dalam Humaniora No. III 1996. Yogyakarta: Fak. Sastra UGM. Faruk. 2002. Novel-novel Indonesia Tradisi Balai Pustaka 1920-1945. Yogyakarta: Gama Media. Furst, Lilian R. 1976. Romanticism. Second edition. London: Mathuen & Co.Ltd. Kho Ping Hoo, Asmaraman S. 1975. Pedang Kayu Harum. Surakarta: Gema Riffaterre, Micael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington: Colombia University Press. Sadi Hutomo, Suripan. 1975. Telaah Kesusastraan Jawa Modern. Jakarta: Pusat Bahasa. Sayuti, Suminto A. 2013. Bangsal Sri Manganti. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Supriyanto, Teguh. 2008. Teks dan Ideologi. Semarang: Unnes Press. _______. 2010. “Genetika Roman Panglipur Wuyung”. Laporan Penelitian (belum diterbitkan). Semarang: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Unnes.
Pendulum Romantik dalam Sastra Kita (Teguh Supriyanto)
11
_______. 2011. “Genetika Roman Panglipur Wuyung” dalam jurnal terakreditasi Atavisme. Surabaya: Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur. Yosodipuro, R. Ng. tth. Serat Rama. Surakarta: Perpustakaan Radya Pustaka. Zoetmulder, PJ. 1984. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan.
12
ALAYASASTRA, Vol. 13, No. 1, Mei 2017, hlm. 1—12