REHABILITASI HUTAN DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM SEKTOR KEHUTANAN DI SULAWESI UTARA Forest Rehabilitation and Forestry Climate Change Mitigation in North Sulawesi Oleh/by: Nurlita Indah Wahyuni BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MANADO Jl. Raya Adipura Kel. Kima Atas Kec.Mapanget Kota Manado Telp : (0431) 3666683 Email :
[email protected]
ABSTRAK Indonesia sebagai negara kepulauan lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim yang berakibat pada perubahan cuaca dan bencana alam. Namun hal ini tidak menyurutkan komitmen Indonesia untuk menurunkan tingkat emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada berbagai sektor termasuk kehutanan. Walaupun terbukti memiliki peran sebagai penyerap GRK, kehutanan berhadapan dengan isu emisi akibat deforestasi dan degradasi hutan. Peran hutan dalam mitigasi perubahan iklim adalah mengurangi emisi dan meningkatkan serapan GRK terutama CO2 melalui proses fotosintesis. Penyerapan CO2 lebih banyak terjadi pada hutan yang sedang berada dalam fase pertumbuhan. Mitigasi perubahan iklim yang dapat dilaksanakan pada tingkat sub nasional adalah rehabilitasi hutan. Luas lahan yang tergolong dalam tingkat kritis dan sangat kritis di Provinsi Sulawesi Utara mencapai 16,14% dan jika ditanam kayu pertukangan dengan riap 6-10 ton biomasa/tahun maka total biomasa yang terserap sebesar 16.515,13-27.525,22 Ton CO2e/tahun. Pelaksanaan mitigasi ini memerlukan sinergi antar pihak dalam suatu kebijakan multisektoral sehingga upaya penurunan emisi ini tidak mengganggu pelaksanaan pembangunan. Kata kunci: rehabilitasi, mitigasi, perubahan iklim, kehutanan, Sulawesi Utara
I. PERUBAHAN IKLIM DAN KEHUTANAN Perubahan iklim yang sedang berlangsung saat ini telah banyak dikaji oleh berbagai pihak karena dampak yang ditimbulkan nyata dirasakan. Iklim dapat menembus batas geografis dan tidak membedakan negara maju dan negara berkembang. Isu yang pertama kali dibahas dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro pada tahun 1992, disebabkan oleh peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer. Pada KTT tersebut, terdapat 154 negara yang sepakat untuk mengadopsi Konvensi Kerangka Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Perubahan Iklim (United Nations Frameworks Convention on Climate Change, UNFCCC). Indonesia sendiri telah meratifikasi UNFCCC melalui Undang-Undang No.6 Tahun 1994 tentang Perubahan Iklim. Tujuan utama UNFCCC adalah menstabilkan emisi GRK di atmosfer sehingga tidak berdampak buruk terhadap iklim di bumi. Jumlah GRK yang terlalu banyak di atmosfer bumi telah memicu ketidakstabilan suhu bumi dan hal ini berdampak pada seluruh aspek kehidupan.
49
Sebagai tindak lanjut dari UNFCCC tersebut, sejak tahun 1995 negara- negara para pihak yang terdiri dari Annex I (negara industri yang berkomitmen untuk mengembalikan emisi GRK ke tingkatan tahun 1990 pada tahun 2000), Annex II (negara yang mempunyai kewajiban untuk menyediakan sumberdaya finansial dan memfasilitasi transfer teknologi untuk negara berkembang) dan non Annex I (negara berkembang yang telah menyetujui UUNFCCC dan tidak termasuk dalam Annex I) bertemu setiap tahun melalui Konferensi Para Pihak (Conference on Parties, COP) untuk menerapkan UNFCCC. Pada CoP ke 3 tahun 1997 di Kyoto, dihasilkan suatu aturan hukum mengikat (legally binding) yaitu Protokol Kyoto yang bertujuan untuk mengurangi emisi GRK bagi negara Annex I sedikitnya 5% dibandingkan tingkat GRK pada tahun 1990 dan hal ini harus dicapai pada tahun 2008-1012 (Ginoga et al,. 2008) Terdapat tiga mekanisme untuk mencapai target penurunan emisi GRK, yaitu Joint Implementation (JI), Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism, CDM) dan Perdagangan Emisi (Emission Trading, ET). Sebagai negara berkembang, Indonesia hanya bisa berpartisipasi dalam CDM melalui pengurangan emisi yang disertifikasi (Certified Emission Reduction, CER) yang dapat dilaksanakan melalui kegiatan pembangunan kehutanan (Aforestation/ Reforestation). Mekanisme Pembangunan Bersih ini dipayungi oleh Peraturan Menteri Kehutanan No.P.14/Menhut-II/2004 tentang Tata Cara Aforestasi dan Reforestasi dalam Kerangka Pembangunan Bersih (A/R CDM). Aforestasi didefinisikan sebagai penanaman pohon pada areal yang 50 tahun sudah tidak berhutan. Sedangkan Reforestasi adalah penanaman pohon pada areal yang sejak 31 Desember 1989 bukan merupakan hutan. Salah satu syarat diterimanya hasil A/R CDM adalah kegiatannya terukur dan termasuk dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Ukuran mitigasi yang digunakan adalah ton setara CO2 untuk dibuat ke dalam sertifikat penurunan emisi (CER). Dalam pelaksanaannya, A/R CDM ini dilaksanakan pada lahan-lahan kritis yang membutuhkan upaya rehabilitasi. II. KEBIJAKAN INDONESIA DALAM PERUBAHAN IKLIM DUNIA Indonesia sebagai negara kepulauan lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim dan berdasarkan peristiwa beberapa tahun ini, nampaknya Indonesia tidak cukup siap menghadapi bencana alam yang terjadi akibat perubahan iklim. Namun pada pertemuan G-20 di Pittsburgh tahun 2009, Indonesia menyatakan komitmennya untuk menurunkan tingkat emisi GRK sebanyak 26% pada tahun 2020 dengan skenario Business As Usual (tanpa ada rencana aksi) dan sebanyak 41% dengan dukungan internasional pada sektor energi dan penggunaan lahan termasuk kehutanan. Walaupun terbukti memiliki peran sebagai penyerap GRK, kehutanan berhadapan dengan isu emisi akibat deforestasi dan degradasi hutan. Panel Antar Pemerintah untuk Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change, IPCC) dalam salah satu laporannya menyebutkan bahwa deforestasi berkontribusi sebanyak 17% terhadap total emisi GRK global dibandingkan dengan sumber emisi lainnya. Namun di lain pihak vegetasi dan tanah menyimpan CO2 dua kali lebih besar dibandingkan CO2 di atmosfer (Masripatin, 2008). Tantangan yang dihadapi Indonesia sebagai negara berkembang adalah bagaimana cara menekan deforestasi dan degradasi hutan namun tetap dapat memenuhi kebutuhan pembangunan. Second National Communication (2009) menyebutkan bahwa sektor Perubahan Penggunaan Lahan dan Kehutanan (Land Use Change and Forestry, LUCF)
50
berkontribusi sebganyak 47% atau 649.254 Giga CO2e terhadap total emisi GRK Indonesia (Gambar 1). Total emisi seluruh sektor serta besar emisi pada masing- masing sektor tersaji dalam Tabel 1. Tabel 1. Emisi CO2 pada seluruh sektor (Giga CO2e) Sektor
Emisi CO2
Energi Industri
280.938 42.814
Pertanian
75.420
Perubahan Penggunaan Lahan dan Kehutanan (LUCF)
649.254
Kebakaran Gambut
172.000
Limbah
157.328
TOTAL
1.377.754
Sumber: Second National Communication (2009)
Limbah 11%
Energi 20%
Kebakaran Gambut 13%
Industri 3%
Pertanian 6%
LUCF 47% Gambar 1. Persentase emisi GRK pada seluruh sektor (SNC, 2009) III. PERAN PENTING KEHUTANAN DAN PILIHAN MITIGASI Mitigasi perubahan iklim adalah usaha pengendalian untuk mencegah terjadinya perubahan iklim melalui kegiatan yang dapat menurunkan emisi atau meningkatkan penyerapan gas rumah kaca dari berbagai sumber emisi (Perpres RI No 46/2008). Secara sederhana, peran hutan dalam mitigasi perubahan iklim adalah mengurangi emisi dan meningkatkan serapan GRK melalui proses fotosintesis (penyerapan CO2) vegetasi hutan. Atau dengan kata lain, mitigasi perubahan iklim oleh hutan adalah melalui fungsi ekologis hutan untuk menstabilkan iklim. Hasil fotosintesis tersimpan dalam bentuk biomasa saat pertumbuhan vegetasi berlangsung. Penyerapan CO2 lebih banyak terjadi pada hutan yang sedang berada dalam fase pertumbuhan. Sehingga kegiatan penanaman vegetasi pada lahan yang kosong atau merehabilitasi hutan yang rusak akan membantu menyerap kelebihan CO2 di atmosfer. Selain sebagai penyerap, hutan dapat dikategorikan sebagai penghasil emisi akibat konversi hutan atau deforestasi. Deforestasi dapat didefiniskan sebagai perubahan penutupan lahan
51
dari hutan menjadi bukan hutan. Asumsi yang digunakan adalah berkurangnya luasan hutan akan mengurangi potensi penyerapan CO2 dari atmosfer. Begitu pentingnya kegiatan mitigasi ini hingga Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.70/Menhut-II/2009 memasukkan Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Kehutanan ke dalam salah satu dari delapan kebijakan prioritas pembangunan kehutanan tahun 2009-2014. Kebijakan dalam rangka mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan adalah kebijakan yang mengarah pada pengelolaan hutan lestari. Kegiatan dalam sektor kehutanan terkait mitigasi perubahan iklim dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu peningkatan serapan karbon (penanaman), konservasi karbon hutan (mempertahankan cadangan karbon yang ada pada hutan dari kehilangan akibat deforestasi, degradasi dan akibat lain dari praktek pengelolaan hutan), dan memanfaatkan biomasa sebagai pengganti bahan bakar fosil secara langsung melalui produksi energi biomasa atau secara tidak langsung melalui substitusi bahan yang industrinya menggunakan bahan bakar fosil. Cara yang paling mudah untuk meningkatkan cadangan karbon adalah dengan menanam dan memelihara pohon. Sehingga untuk dapat mencapai target mitigasi perubahan iklim, pelaksanaan penyerapan karbon tidak hanya dilaksanakan dalam kawasan hutan negara, namun bisa juga dilaksanakan di luar kawasan hutan. Secara umum, kegiatan yang dapat mendukung mitigasi adalah kegiatan yang berhubungan dengan penambahan stok karbon dengan cara penanaman. Berbagai kegiatan penanaman telah dilakukan di Indonesia, antara lain melalui kegiatan rehabilitasi dan reforestasi, misalnya Gerakan Penghijauan Nasional (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan), Gerakan Penanaman Pohon Satu Orang Satu Pohon (One Man One Tree, OMOT), Gerakan Menanam Satu Milyar Pohon (One Billion Indonesian Trees, OBIT), pembangunan Hutan Rakyat (HR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Kegiatan- kegiatan tersebut mampu meningkatkan kapasitas lahan untuk menyerap dan menyimpan emisi terutama di luar kawasan hutan atau di kawasan hutan yang berstatus lahan kritis. IV. REHABILITASI HUTAN SEBAGAI PILIHAN MITIGASI Dalam kajian yang dilaksanakan oleh Ditjen Planologi Kementrian Kehutanan pada tahun 2010 tentang penentuan Tingkat Emisi Referensi (Reference Emission Level, REL), Sulawesi Utara berada pada urutan ke-26 dari 33 provinsi di Indonesia. Sulawesi Utara dapat berkontribusi dalam penurunan emisi sebesar 0,46% atau 18.892.216 Ton CO2e dari total target penurunan emisi Indonesia sampai tahun 2020 melalui skenario Business As Usual atau tanpa ada rencana aksi. Bila dibandingkan dengan provinsi lainnya, nilai ini tergolong kecil karena di Sulawesi Utara tidak terdapat lahan gambut yang merupakan penyumbang emisi terbesar dari sektor berbasis lahan jika terjadi konversi. Dinas Kehutanan Sulawesi Utara mencatat luas kawasan hutan di provinsi ini adalah sebesar 788,602.99 Ha (49,54%) dan Areal Penggunaan Lain sebesar 803,093.00 Ha (50,46%). Secara rinci, luas masing- masing fungsi hutan pada kabupaten/kota di Sulawesi Utara disajikan dalam Tabel 2. Berdasarkan status kawasan, kegiatan mitigasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pada kawasan hutan negara dan pada hutan hak. Pada hutan negara, dapat dilakukan kegiatan konservasi karbon hutan atau mencegah dan mengendalikan agar cadangan karbon yang tersimpan dalam hutan tidak lepas ke atmosfer. Kegiatan konservasi karbon dapat berupa pencegahan deforestasi dan degradasi
52
hutan, penetapan kawasan konservasi dan lindung, pembangunan HTI, serta penerapan teknik silvikultur intensif. Sedangkan pada hutan hak dapat dilaksanakan melalui agroforestri, hutan rakyat dan hutan kemasyarakatan. Tabel 2. Luas kawasan hutan dan areal penggunaan lain di Sulawesi Utara (Ha) No
Kabupaten / Kota
1
Bolaang Mongondow
2
Fungsi Kawasan Hutan
APL
-
343.975,47
222.073,73
566.049,20
HPK
Total
HSA/KPA
HL
HP
157.019,20
63.299,09
43.976,51
Bolaang Mongondo w Utara
34.112,75
30.414,63
6.332,95
86.116,58
14.643,00
171.619,91
52.797,61
224.417,52
3
Kepulauan Sangihe
-
12.349,59
-
-
-
12.349,59
51.145,73
63.495,32
4
Kepulauan Talaud
24.405,62
11.998,92
-
2.457,23
-
38.861,77
65.462,05
104.323,82
5
Kota Bitung
8.561,63
4.476,99
-
-
-
13.038,62
23.405,86
36.444,48
6
Kota Kotamobagu
102,94
-
-
-
-
102,94
6.331,99
6.434,93
7
Kota Manado
67.583,81
272,48
-
-
-
67.856,29
15.143,03
82.999,32
8
Kota Tomohon
91,54
511,96
-
269,29
-
872,79
14.587,28
15.460,07
9
Minahasa
3.216,57
7.962,27
-
5.053,08
-
16.231,92
100.475,01
116.706,93
10
Minahasa Selatan
22.506,98
21.538,67
14.696,67
11.401,17
-
70.143,49
100.135,24
170.278,73
11
Minahasa Tenggara
-
3.985,68
2.417,87
14.718,43
-
21.121,98
53.526,31
74.648,29
12
Minahasa Utara
2.851,96
15.938,27
-
10.427,54
-
29.217,77
78.095,67
107.313,44
13
Sitaro
-
3.210,45
-
-
-
3.210,45
19.913,49
23.123,94
320.453,00
175.959,00
67.424,00
210.123,99
14.643,00
788.602,99
803.093,00
1.591.695,99
Total
HPT
Kawasan Hutan
79.680,67
Sumber: Statistik Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2008 Keterangan: HSA/ KPA = Hutan Suaka Alam/ Kawasan Pelestarian Alam, HL=Hutan Lindung, HP=Hutan Produksi, HPT=Hutan Produksi Terbatas,HPK=Hutan Produksi Konversi, APL=Area Penggunaan Lain
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) merupakan salah satu kegiatan prioritas pembangunan nasional dalam Kabinet Indonesia Bersatu II (2009-2014), ditargetkan rehabilitasi seluas 2,5 juta Ha dalam jangka waktu 5 tahun. Seperti disebutkan dalam Permenhut RI No. P.14/ Menhut-II/ 2012 tentang Pedoman Penyelenggaraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun 2012, bahwa kegiatan RHL merupakan salah satu upaya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK). Sejalan dengan Permenhut di atas, maka mitigasi perubahan iklim di Sulawesi Utara dapat dilaksanakan dengan cara rehabilitasi lahan kritis terutama pada lahan dengan status sangat kritis dan kritis dengan total luas 270.362 Ha atau 16,14% (Tabel 3 dan Tabel 4).
53
Tabel 3. Rekapitulasi data lahan kritis di Provinsi Sulawesi Utara (Ha) Tingkat Kekritisan Lahan Arahan Fungsi Lahan
Fungsi Hutan
Sangat Kritis
Luas (Ha)
Kritis
Agak Kritis
Potensial Kritis
Tidak Kritis
217.457
418
749.672
Budidaya Pertanian
APL
8.870
179.904
343.023
Hutan Lindung
HL
10.685
22.972
45.623
83.568
13.066
175.914
1.922
7.825
33.608
127.694
79.814
250.863
12.607
30.797
79.231
211.262
92.880
426.777
2.454
22.565
55.980
121.164
7.871
210.034
HP
2.250
8.086
24.552
32.142
393
67.423
HPK
1.129
1.700
3.765
8.049
-
14.643
5.833
32.351
84.297
161.355
8.264
292.100
27.310
243.052
506.551
590.074
101.562
1.468.549
HSA&KPA Sub Total Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan
HPT
Sub Total TOTAL LUAS (Ha)
Sumber: Statistik Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2008 Keterangan: HSA/ KPA = Hutan Suaka Alam/ Kawasan Pelestarian Alam, HL=Hutan Lindung, HP=Hutan Produksi, HPT=Hutan Produksi Terbatas,HPK=Hutan Produksi Konversi, APL=Area Penggunaan Lain
Sasaran kegiatan rehabilitasi lahan adalah hutan konservasi dan lindung, serta lahan kritis di luar kawasan yang nantinya bisa berupa hutan rakyat dan hutan kemasyarakatan. Rehabilitasi ini dapat dilakukan secara kolaboratif antara pemerintah dengan masyarakat. Menurut kajian yang dilakukan oleh Wibowo et al (2010), pada hutan rakyat dan hutan kemasyarakatan dapat dikembangkan jenis kayu pertukangan yang memiliki riap 6-12 ton biomasa/ha/tahun. Jika penanaman tersebut dilaksanakan pada lahan sangat kritis dan kritis, maka dapat terserap biomasa sebesar 9.574,54 - 15.957,57 Giga Ton biomasa/tahun atau setara dengan 16.515,13-27.525,22 Ton CO2e/tahun. Selain manfaat penyerapan karbon, manfaat lain yang dapat diperoleh dari penanaman lahan kritis adalah hasil kayu pada akhir daur pohon. Apabila masyarakat menerapkan sistem agroforestri pada hutan rakyat dan hutan kemasyarakatan, maka diperoleh juga manfaat ekonomi berupa hasil dari tanaman semusim.
Tabel 4. Rekapitulasi luas lahan kritis tiap fungsi lahan di Sulawesi Utara(%) Tingkat Kekritisan Lahan Arahan Fungsi Lahan
Sangat Kritis
Agak Kritis
Kritis
Potensial Kritis
Tidak Kritis
Total Luas (%)
Budidaya Pertanian
1,18
24,00
45,76
29,01
0,06
100
Hutan Lindung
2,95
7,22
18,56
49,50
21,76
100
Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan
2,00
11,08
28,86
55,24
2,83
100
Rata-rata luas
2,04
14,10
31,06
44,58
8,22
100
Sumber: Statistik Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2008
Upaya nyata mitigasi perubahan iklim yang telah mengintegrasikan isu perubahan iklim dalam kebijakan pembangunan daerah telah dilaksanakan oleh Kalimantan Timur. Pada tahun 2010, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur beserta Pemerintah Kabupaten/Kota di Kalimantan Timur,
54
Masyarakat, Perguruan Tinggi dan Pihak Swasta bersama-sama menyepakati “Deklarasi Kalimantan Timur Hijau” (Kadin Kaltim, 2010). Konsep yang diusung adalah “Pertumbuhan Rendah Karbon (Low Carbon Emission Development). Dalam konsep ini, Wibowo et al,. (2010) menjelaskan pertumbuhan ekonomi diarahkan pada pengurangan eksploitasi sumberdaya alam berlebihan (over exploitation), pengembangan ekonomi berdasar sumberdaya alam yang bisa diperbaharui, pengembangan diversifikasi produk (product diversity), pengembangan ekowisata dan jasa lingkungan (ecotourism and environmental services), bioteknologi (misalnya pengembangan obat dari tumbuhan hutan), serta pengembangan usaha skala kecil (small scale enterprise). Sulawesi Utara dapat mengadaptasi kebijakan yang telah diambil oleh Kalimantan Timur. Apalagi dengan status MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition atau Pertemuan, Insentif, Konvensi, dan Pameran) yang dimiliki oleh kota Manado sebagai ibukota Provinsi Sulawesi Utara, seiring dengan visi Kota Model Ekowisata yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi melalui jasa lingkungan untuk pariwisata (Kompas, 2012). Serta dengan berbagai potensi sumberdaya alam terutama keberadaan berbagai kawasan konservasi, mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan layak dilaksanakan oleh Sulawesi Utara. V. KESIMPULAN Mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan dapat dilaksanakan secara sederhana yaitu dengan cara penanaman terutama pada lahan kritis yang perlu direhabilitasi. Dalam pelaksanaannya, diperlukan sinergi antar pihak dalam suatu kebijakan multisektoral sehingga upaya penurunan emisi ini tidak mengganggu pelaksanaan pembangunan dan tetap mendukung perekonomian masyarakat. Pelaksanaan pembangunan rendah karbon dalam rangka mitigasi perubahan iklim ini memerlukan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) serta kerjasama yang baik antar pemangku kepentingan terutama pada sektor berbasis lahan yang seringkali berbenturan dengan kehutanan.
DAFTAR PUSTAKA Boer, R. 2002.Opsi Mitigasi Perubahan Iklim di Sektor Kehutanan dan Aspek Metodologi Proyek Karbon Kehutanan. Semiloka Regional Kalimantan: Proyek Karbon Hutan. Dinas Kehutanan Sulawesi Utara. 2008. Statistik Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2008. Ginoga, et al. 2008. Isu Pemanasan Global, UNFCCC, Kyoto Protocol dan Peluang Aplikasi A/R CDM di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Kamar Dagang Indonesia Kalimantan Timur. 2010. Deklarasi Kalimantan Timur Hijau. http://www.kadinkaltim.com/?p=781 (diakses pada tanggal 7 Maret 2012) Kompas. 2012. ATF Mantapkan Manado sebagai Kota MICE. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/01/11/06051116/ATF.Mantapkan.Manado.se bagai.Kota.MICE (diakses tanggal 2 Maret 2012) Masripatin, N. 2008. Apa Itu REDD? Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.70/Menhut-II/2009 tentang 8 (Delapan) Kebijakan Prioritas Bidang Kehutanan Dalam Program Pembangunan Nasional Kabinet Indonesia Bersatu II.
55
Peraturan menteri Kehutanan Nomor P.14/ Menhut-II/2012 tentang Pedoman Penyelenggaraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun 2012. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 46 Tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim. Second National Communication. 2009. Summanr for Policy Makers: Indonesia Second National Communication Under The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Jakarta. Kementrian Lingkungan Hidup Wibowo et al. 2010. Kajian Kontribusi Kehutanan dalam Penurunan 26% Emisi Gas Rumah Kaca Indonesia. Laporan Akhir Program Insentif Terapan. Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.
56