BUPATI BANGKA TENGAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH, Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 29 ayat (2) huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan;
Mengingat
1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
:
2. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 217, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4033); 3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Bangka Selatan, Kabupaten Bangka Tengah, Kabupaten Bangka Barat dan Kabupaten Belitung Timur di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4268);
1
4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4301); 5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan pendidikan (Lembaran Negara Tahun 2010 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5105) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan (Lembaran Negara Tahun 2010 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5157);
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH dan BUPATI BANGKA TENGAH
MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN.
2
PENGELOLAAN
DAN
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan: 1. Daerah adalah Kabupaten Bangka Tengah. 2. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 3. Bupati adalah Bupati Bangka Tengah. 4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 5. Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Bupati dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang terdiri dari Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah, dan Kecamatan, di Kabupaten Bangka Tengah. 6. Dinas adalah Dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan. 7. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara yang diselenggarakan di Kabupaten Bangka Tengah. 8. Pengelolaan pendidikan adalah pengaturan kewenangan dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, penyelenggara pendidikan yang didirikan masyarakat, dan satuan pendidikan agar proses pendidikan dapat berlangsung sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. 9. Penyelenggaraan pendidikan adalah kegiatan pelaksanaan komponen sistem pendidikan pada satuan atau program pendidikan pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan agar proses pendidikan dapat berlangsung sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. 10. Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan. 11. Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan.
3
12. Jenis pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan. 13. Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelengggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. 14. Pendidikan anak usia dini yang selanjutnya disingkat PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. 15. Taman kanak-kanak selanjutnya disingkat TK adalah salah satu bentuk satuan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak usia 4 (empat) tahun sampai dengan 6 (enam) tahun. 16. Raudhatul Athfal selanjutnya disingkat RA adalah salah satu bentuk satuan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang menyelenggarakan program pendidikan agama Islam bagi anak usia 4 (empat) tahun sampai dengan 6 (enam) tahun. 17. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar dan pendidikan menengah. 18. Pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan pada jalur pendidikan formal yang melandasi jenjang pendidikan menengah, yang diselenggarakan pada satuan pendidikan berbentuk Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah atau bentuk lain yang sederajat serta menjadi satu kesatuan kelanjutan pendidikan pada satuan pendidikan yang berbentuk Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah, atau bentuk lain yang sederajat. 19. Sekolah Dasar yang selanjutnya disingkat SD adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang pendidikan dasar. 20. Madrasah Ibtidaiyah yang selanjutnya disingkat MI adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan dasar di dalam binaan kementerian agama. 21. Sekolah Menengah Pertama yang selanjutnya disingkat SMP adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang pendidikan dasar sebagai lanjutan dari SD, MI atau bentuk lain yang sederajat. 4
22. Madrasah Tsanawiyah yang selanjutnya disingkat MTs adalah adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan dasar sebagai lanjutan dari SD, MI atau bentuk lain yang sederajat. 23. Pendidikan menengah adalah jenjang pendidikan lanjutan pada jalur pendidikan formal yang merupakan lanjutan pendidikan dasar, berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang sederajat. 24. Sekolah Menengah Atas yang selanjutnya disingkat SMA adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat. 25. Madrasah Aliyah yang selanjutnya disingkat MA adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs atau bentuk lain yang sederajat di dalam binaan kementerian agama. 26. Sekolah Menengah Kejuruan yang selanjutnya disingkat SMK adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat. 27. Madrasah Aliyah Kejuruan yang selanjutnya disingkat MAK adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat di dalam binaan. 28. Standar Nasional Pendidikan yang selanjutnya disingkat SNP adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. 29. Standar Pelayanan Minimal yang selanjutnya disingkat SPM adalah kriteria minimal berupa nilai kumulatif pemenuhan Standar Nasional Pendidikan yang harus dipenuhi oleh setiap satuan pendidikan. 30. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan. 31. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. 5
32. Kelompok belajar adalah satuan pendidikan nonformal yang terdiri atas sekumpulan warga masyarakat yang saling membelajarkan pengalaman dan kemampuan dalam rangka meningkatkan mutu dan taraf kehidupannya. 33. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat yang selanjutnya disingkat PKBM adalah satuan pendidikan nonformal yang menyelenggarakan berbagai kegiatan belajar sesuai dengan kebutuhan masyarakat atas dasar prakarsa dari, oleh, dan untuk masyarakat. 34. Pendidikan berbasis keunggulan lokal adalah pendidikan yang diselenggarakan setelah memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan keunggulan kompetitif dan/atau komparatif daerah. 35. Pendidikan unggulan daerah adalah pendidikan yang diselenggarakan dengan menggunakan standar pendidikan nasional yang diperkaya dengan standar pendidikan negara maju. 36. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan/atau sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. 37. Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. 38. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. 39. Organisasi profesi adalah kumpulan anggota masyarakat yang memiliki keahlian di bidang pendidikan yang berbadan hukum dan bersifat nonkomersial. 40. Dewan Pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli pendidikan di Daerah. 41. Komite Sekolah/Madrasah yang selanjutnya disebut Dewan Sekolah/Madrasah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah/madrasah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan. 42. Warga masyarakat adalah penduduk Daerah, penduduk luar Daerah, dan warga negara asing yang tinggal di Daerah. 43. Masyarakat adalah kelompok warga masyarakat nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan. 44. Budaya belajar adalah kebiasaaan warga masyarakat yang menggunakan sebagian waktunya sehari-hari secara tepat guna untuk belajar guna meningkatkan pengetahuan.
6
45. Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan kegiatan usaha yang bersifat tetap, berkelanjutan, didirikan, bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Republik Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba.
BAB II MAKSUD DAN TUJUAN Pasal 2 (1) Pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan dimaksudkan untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas, berakhlak mulia, dan berkepribadian Indonesia. (2) Pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada masing-masing satuan pendidikan. Pasal 3 Pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan bertujuan untuk menjamin: a. akses masyarakat atas pelayanan pendidikan yang mencukupi, merata, dan terjangkau; b. mutu dan daya saing pendidikan serta relevansinya dengan kebutuhan dan/atau kondisi masyarakat; dan c. efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas pengelolaan pendidikan.
BAB III PRINSIP Pasal 4 Prinsip penyelenggaraan pendidikan: a. pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kearifan lokal dan kemajemukan bangsa; b. pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistematik dengan sistem terbuka dan multi makna;
7
c. pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat; d. pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun karakter bangsa, mengembangkan kreativitas, kemandirian dan jiwa wirausaha peserta didik dalam proses pembelajaran; e. pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, berhitung dan budaya kreatif bagi segenap warga masyarakat; f. pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan; g. pendidikan diselenggarakan berdasarkan prinsip nirlaba; dan h. pendidikan diselenggarakan dengan senantiasa memperhatikan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
BAB IV PENGELOLAAN PENDIDIKAN Bagian Kesatu Umum Pasal 5 Pengelolaan pendidikan di Daerah dilaksanakan oleh: a. Pemerintah Daerah; b. Penyelenggara Satuan Pendidikan yang didirikan Masyarakat; dan c. Satuan Pendidikan. Bagian Kedua Pengelolaan Pendidikan oleh Pemerintah Daerah Pasal 6 Pemerintah Daerah bertanggung jawab mengelola sistem pendidikan nasional di daerah dan merumuskan serta menetapkan kebijakan daerah pada bidang pendidikan sesuai kewenangannya.
8
Pasal 7 (1) Kebijakan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 merupakan penjabaran dari kebijakan pendidikan nasional, serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (2) Kebijakan bidang pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam: a. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD); b. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD); c. Rencana Stategis Pendidikan Daerah; d. Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD); e. Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan Daerah; f. Peraturan Daerah pada bidang pendidikan; dan g. Peraturan Bupati pada bidang pendidikan. (3) Kebijakan Daerah bidang pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan pedoman bagi: a. semua jajaran pemerintah daerah; b. penyelenggara pendidikan yang didirikan masyarakat; c. satuan atau program pendidikan; d. dewan pendidikan; e. dewan sekolah; f. peserta didik; g. orang tua/wali peserta didik; h. pendidik dan tenaga kependidikan; i. masyarakat; dan j. pihak lain yang terkait dengan pendidikan. Pasal 8 (1) Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya program wajib belajar 12 (dua belas) tahun. (2) Setiap orang tua/wali peserta didik wajib melaksanakan program wajib belajar 12 (dua belas) tahun. (3) Pelaksanaan program wajib belajar 12 tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan mengoptimalkan pelaksanaan jenjang pendidikan SMA/SMK/MA/MAK/atau program Paket C. (4) Pelaksanaan program wajib belajar 12 (dua belas) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati. 9
Pasal 9 (1) Pemerintah daerah dan DPRD mengalokasikan anggaran pendidikan agar sistem pendidikan nasional di Daerah dapat dilaksanakan secara efektif, efisien, dan akuntabel sesuai dengan kebijakan daerah bidang pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. (2) Anggaran pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan paling sedikit 20 % (dua puluh persen) dari jumlah APBD. (3) Alokasi anggaran pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak termasuk gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan. Pasal 10 (1) Pemerintah daerah mengarahkan, membimbing, menyupervisi, mengawasi, mengoordinasikan, memantau, mengevaluasi, dan mengendalikan penyelenggara satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sesuai dengan kebijakan nasional bidang pendidikan dan kebijakan daerah bidang pendidikan dalam kerangka pengelolaan sistem pendidikan nasional. (2) Pemerintah daerah dapat bekerja sama dengan pihak dunia usaha dan dunia industri untuk mengembangkan mekanisme pendidikan yang relevan dan bersinergi, serta meningkatkan kapasitas peserta didik pada jenjang sekolah menengah. Pasal 11 (1) Pemerintah Daerah menetapkan target tingkat partisipasi pendidikan pada semua jenjang dan jenis pendidikan yang harus dicapai. (2) Target tingkat partisipasi pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipenuhi melalui jalur pendidikan formal dan nonformal. (3) Dalam memenuhi target tingkat partisipasi pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah mengutamakan perluasan dan pemerataan akses pendidikan melalui jalur pendidikan formal. 10
Pasal 12 (1) Pemerintah Daerah menetapkan target tingkat pemerataan partisipasi pendidikan pada tingkat Kabupaten berdasarkan: a. kecamatan; b. desa/kelurahan; c. usia; dan d. jenis kelamin. (2) Untuk menjamin pemerataan partisipasi pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan bagi peserta didik yang orang tua/walinya tidak mampu membiayai pendidikan, peserta didik pendidikan khusus layanan khusus memperoleh akses pelayanan pendidikan. (3) Penetapan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati. Pasal 13 Pemerintah Daerah melaksanakan dan mengoordinasikan standar pelayanan minimal bidang pendidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 14 (1) Pemerintah daerah melakukan dan/atau memfasilitasi penjaminan mutu pendidikan dengan berpedoman pada kebijakan nasional pendidikan, kebijakan provinsi bidang pendidikan, dan Standar Nasional Pendidikan. (2) Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah berkoordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Pemerintah Pusat yang melaksanakan tugas penjaminan mutu pendidikan. (3) Dalam rangka penjaminan mutu pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah daerah memfasilitasi: a. akreditasi program pendidikan; b. akreditasi satuan pendidikan; c. sertifikasi kompetensi peserta didik; d. sertifikasi kompetensi pendidik; dan/atau e. sertifikasi kompetensi tenaga kependidikan. 11
Pasal 15 (1) Pemerintah daerah mengakui, memfasilitasi, membina dan melindungi program dan/atau satuan pendidikan keunggulan daerah. (2) Pemerintah daerah melaksanakan dan/atau memfasilitasi perintisan program dan/atau satuan pendidikan yang sudah atau hampir memenuhi Standar Pendidikan Nasional untuk dikembangkan menjadi program dan/atau satuan pendidikan keunggulan daerah. (3) Pemerintah daerah memfasilitasi akreditasi internasional program dan/atau satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). (4) Pemerintah daerah memfasilitasi sertifikasi internasional pada program dan/atau satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). Pasal 16 (1) Pemerintah daerah melakukan pembinaan berkelanjutan kepada peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mencapai prestasi puncak pada tingkat satuan pendidikan, kecamatan, kabupaten, provinsi, nasional, dan internasional. (2) Untuk menumbuhkan iklim kompetitif yang kondusif bagi pencapaian prestasi puncak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah menyelenggarakan dan/atau memfasilitasi secara teratur dan berjenjang kompetisi di bidang: a. ilmu pengetahuan; b. teknologi; c. keagamaan; d. seni budaya; dan/atau e. olahraga. (3) Pemerintah daerah memberikan penghargaan kepada peserta didik yang meraih prestasi puncak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
12
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pembinaan berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta penyelenggaraan dan fasilitas kompetisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati. Pasal 17 (1) Dalam menyelenggarakan dan mengelola sistem pendidikan nasional di daerah, pemerintah daerah mengembangkan dan melaksanakan sistem informasi pendidikan daerah berbasis teknologi informasi dan komunikasi. (2) Sistem informasi pendidikan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan subsistem dari sistem informasi pendidikan Nasional. (3) Sistem informasi pendidikan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) memberikan akses informasi administrasi pendidikan dan akses sumber pembelajaran kepada satuan pendidikan pada semua jenjang, jenis, dan jalur pendidikan sesuai kewenangan pemerintah daerah. Bagian Ketiga Pengelolaan Pendidikan oleh Penyelenggara Satuan Pendidikan yang Didirikan Masyarakat Pasal 18 Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat bertanggung jawab mengelola sistem pendidikan nasional serta merumuskan dan menetapkan kebijakan pendidikan pada tingkat penyelenggara satuan. Pasal 19 (1) Kebijakan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 merupakan penjabaran dari kebijakan pendidikan nasional, provinsi, daerah serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Kebijakan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam peraturan penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat.
13
(3) Kebijakan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan pedoman bagi: a. penyelenggara pendidikan yang didirikan masyarakat yang bersangkutan; b. satuan atau program pendidikan yang terkait; c. lembaga representasi pemangku kepentingan satuan atau program pendidikan yang terkait; d. peserta didik di satuan atau program pendidikan yang terkait; e. orang tua/wali peserta didik di satuan atau program pendidikan yang terkait; f. pendidik dan tenaga kependidikan di satuan atau program pendidikan yang terkait; dan g. pihak lain yang terikat dengan satuan atau program pendidikan yang terkait. (4) Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat mengalokasikan anggaran pendidikan agar sistem pendidikan nasional pada tingkat satuan atau program pendidikan yang terkait dapat dilaksanakan secara efektif, efisien, dan akuntabel. Pasal 20 Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat mendukung terselenggaranya program wajib belajar 12 (dua belas) tahun. Pasal 21 Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat mengarahkan, membimbing, menyupervisi, mengawasi, mengoordinasi, memantau, mengevaluasi, dan mengendalikan satuan atau program pendidikan yang terkait sesuai dengan kebijakan pendidikan yang ditetapkan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah dan oleh penyelenggara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 22 Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat menetapkan kebijakan untuk menjamin peserta didik memperoleh akses pelayanan pendidikan dan bagi peserta didik yang orang tua/walinya tidak mampu membiayai pendidikan, peserta didik pendidikan khusus, atau peserta didik pada keadaan khusus. 14
Pasal 23 Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat menjamin pelaksanaan standar pelayanan minimal pendidikan pada satuan atau program pendidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 24 (1) Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat melakukan dan/atau memfasilitasi penjaminan mutu pendidikan di satuan atau program pendidikan dengan berpedoman pada kebijakan pendidikan yang terkait sesuai dengan kebijakan pendidikan yang ditetapkan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah dan oleh penyelenggara, serta Standar Nasional Pendidikan. (2) Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat menyelenggarakan satuan dan/atau program pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan/atau pendidikan menengah bekerja sama dengan unit pelaksana teknis Pemerintah yang melaksanakan tugas penjaminan mutu pendidikan. (3) Dalam rangka penjaminan mutu pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat memfasilitasi: a. akreditasi program pendidikan; b. akreditasi satuan pendidikan; c. sertifikasi kompetensi peserta didik; d. sertifikasi kompetensi pendidik; dan/atau e. sertifikasi kompetensi tenaga kependidikan. Pasal 25 (1) Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat memfasilitasi, membina, dan melindungi satuan atau program pendidikan unggulan daerah dan/atau berbasis keunggulan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
15
(2) Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat melaksanakan dan/atau memfasilitasi satuan atau program pendidikan yang sudah atau hampir memenuhi Standar Nasional Pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan atau program pendidikan unggulan daerah dan/atau berbasis keunggulan lokal. (3) Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat memfasilitasi akreditasi internasional satuan atau program pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). (4) Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat memfasilitasi sertifikasi internasional pada satuan atau program pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). Pasal 26 (1) Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat memfasilitasi pembinaan berkelanjutan kepada peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mencapai prestasi puncak pada tingkat satuan pendidikan, kecamatan, daerah, provinsi, nasional, dan internasional. (2) Untuk menumbuhkan iklim kompetitif yang kondusif bagi pencapaian prestasi puncak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat menyelenggarakan dan/atau memfasilitasi secara teratur kompetisi di satuan atau program pendidikan dalam bidang: a. ilmu pengetahuan; b. teknologi; c. keagamaan; d. seni budaya; dan/atau e. olahraga. (3) Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat memberikan penghargaan kepada peserta didik yang meraih prestasi puncak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
16
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pembinaan berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta penyelenggaraan dan fasilitasi kompetisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat. Pasal 27 Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat menetapkan kebijakan tata kelola pendidikan untuk menjamin efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas pengelolaan pendidikan yang merupakan pedoman bagi: a. penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat yang bersangkutan; b. satuan dan/atau program pendidikan; c. lembaga representasi pemangku kepentingan pendidikan pada satuan dan/atau program pendidikan; d. peserta didik satuan dan/atau program pendidikan; e. orang tua/wali peserta didik di satuan dan/atau program pendidikan; f. pendidik dan tenaga kependidikan di satuan dan/atau program pendidikan; dan g. pihak lain yang terikat dengan satuan atau program pendidikan. Pasal 28 (1) Dalam menyelenggarakan dan mengelola sistem pendidikan nasional di satuan atau program pendidikan, penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat mengembangkan dan melaksanakan sistem informasi pendidikan penyelenggara atau satuan pendidikan yang didirikan masyarakat berbasis teknologi informasi dan komunikasi. (2) Sistem informasi pendidikan penyelenggara atau satuan pendidikan yang didirikan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan subsistem dari sistem informasi pendidikan nasional. (3) Sistem informasi pendidikan penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) memberikan akses informasi administrasi pendidikan dan akses sumber pembelajaran kepada satuan dan/atau program pendidikan.
17
Bagian Keempat Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan Pendidikan Pasal 29 Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah. Pasal 30 Satuan pendidikan wajib bertanggung jawab mengelola sistem pendidikan nasional di satuan atau program pendidikannya serta merumuskan dan menetapkan kebijakan pendidikan sesuai dengan kewenangannya. Pasal 31 (1) Kebijakan pendidikan sebagaimana 30 merupakan penjabaran dari nasional, provinsi, kabupaten dan pendidikan serta sesuai dengan perundang-undangan.
dimaksud dalam Pasal kebijakan pendidikan penyelenggara satuan ketentuan peraturan
(2) Kebijakan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh satuan pendidikan anak usia dini, satuan pendidikan dasar, dan satuan pendidikan menengah dituangkan dalam: a. rencana kerja tahunan satuan pendidikan; b. anggaran pendapatan dan belanja tahunan satuan pendidikan; dan c. peraturan satuan atau program pendidikan. (3) Kebijakan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengikat bagi: a. satuan pendidikan yang bersangkutan; b. lembaga representasi pemangku kepentingan satuan pendidikan yang bersangkutan; c. peserta didik di satuan pendidikan yang bersangkutan; d. orang tua/wali peserta didik di satuan pendidikan yang bersangkutan; e. pendidik dan tenaga kependidikan di satuan pendidikan yang besangkutan; dan f. pihak lain yang terikat dengan satuan pendidikan yang bersangkutan.
18
(4) Kebijakan satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan penjabaran dan selaras dengan: a. kebijakan pemerintah; b. kebijakan pemerintah provinsi; c. kebijakan pemerintah daerah; dan d. kebijakan penyelenggara pendidikan yang didirikan masyarakat. (5) Satuan pendidikan mengalokasikan anggaran pendidikan agar sistem pendidikan nasional di satuan dan/atau program pendidikan yang bersangkutan dapat dilaksanakan dengan efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. Pasal 32 Satuan pendidikan mengelola pendidikan sesuai dengan kebijakan pendidikan nasional, provinsi, daerah dan penyelenggara satuan pendidikan serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 33 Satuan pendidikan sesuai dengan kewenangannya wajib menetapkan kebijakan untuk menjamin peserta didik memperoleh akses pelayanan pendidikan bagi peserta didik yang orang tua/walinya tidak mampu membiayai pendidikan, peserta didik pendidikan khusus layanan khusus. Pasal 34 Satuan pendidikan wajib menjamin pelayanan minimal bidang pendidikan.
terpenuhinya
standar
Pasal 35 (1) Satuan pendidikan wajib melakukan penjaminan mutu pendidikan dengan berpedoman pada kebijakan pendidikan nasional, provinsi, daerah, dan penyelenggara satuan pendidikan serta Standar Nasional Pendidikan. (2) Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, atau pendidikan menengah bekerja sama dengan unit pelaksana teknis pemerintah yang melaksanakan tugas penjaminan mutu pendidikan. 19
(3) Dalam rangka penjaminan mutu pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), satuan pendidikan, harus mengikuti: a. akreditasi program pendidikan; b. akreditasi satuan pendidikan; c. sertifikasi kompetensi peserta didik; d. sertifikasi kompetensi pendidik; dan/atau e. sertifikasi kompetensi tenaga kependidikan. Pasal 36 (1) Satuan pendidikan yang telah atau hampir memenuhi Standar Nasional Pendidikan dapat merintis dirinya untuk dikembangkan menjadi satuan atau program pendidikan unggulan daerah dan/atau berbasis keunggulan lokal. (2) Satuan pendidikan yang telah atau hampir memenuhi Standar Nasional Pendidikan dapat mengikuti akreditasi dan/atau sertifikasi internasional satuan atau program pendidikan. Pasal 37 (1) Satuan pendidikan wajib melakukan pembinaan berkelanjutan kepada peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mencapai prestasi puncak pada tingkat satuan pendidikan, kecamatan, daerah, provinsi, nasional, dan internasional. (2) Untuk menumbuhkan iklim kompetitif yang kondusif bagi pencapaian prestasi puncak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), satuan dan/atau program pendidikan melakukan secara teratur kompetisi di satuan pendidikan dalam bidang: a. ilmu pengetahuan; b. teknologi; c. keagamaan d. seni budaya; dan/atau e. olahraga. (3) Satuan pendidikan memberikan penghargaan kepada peserta didik yang meraih prestasi puncak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan peraturan satuan pendidikan.
20
Pasal 38 Satuan pendidikan wajib menetapkan kebijakan tata kelola pendidikan untuk menjamin efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas pengelolaan pendidikan yang mengikat: a. satuan atau program pendidikan yang bersangkutan; b. lembaga representasi pemangku kepentingan pendidikan pada satuan pendidikan yang bersangkutan; c. peserta didik di satuan pendidikan yang bersangkutan; d. orang tua/wali peserta didik di satuan pendidikan yang bersangkutan; e. pendidik dan tenaga kependidikan di satuan atau program pendidikan yang besangkutan; dan f. pihak lain yang terikat dengan satuan atau program pendidikan yang bersangkutan. Pasal 39 (1) Dalam menyelenggarakan dan mengelola pendidikan, satuan pendidikan mengembangkan dan melaksanakan sistem informasi pendidikan berbasis teknologi informasi dan komunikasi. (2) Sistem informasi pendidikan satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan subsistem dari sistem informasi pendidikan nasional. (3) Sistem informasi pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) memberikan akses informasi administrasi pendidikan dan akses sumber pembelajaran kepada pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik.
BAB V PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN FORMAL Bagian Kesatu Umum Pasal 40 Penyelenggaraan pendidikan formal meliputi: a. pendidikan anak usia dini; b. pendidikan dasar; dan c. pendidikan menengah.
21
Pasal 41 (1) Kurikulum dalam penyelenggaraan pendidikan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan.
formal
(2) Kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah muatan lokal pada setiap jenjang pendidikan formal. (3) Kurikulum muatan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati. Bagian Kedua Pendidikan Anak Usia Dini Paragraf 1 Fungsi dan Tujuan Pasal 42 (1) Pendidikan anak usia dini berfungsi membina, menumbuhkan, dan mengembangkan seluruh potensi anak usia dini secara optimal sehingga terbentuk perilaku dan kemampuan dasar sesuai dengan tahap perkembangannya agar memiliki kesiapan untuk memasuki pendidikan selanjutnya. (2) Pendidikan anak usia dini bertujuan: a. membangun landasan bagi berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkepribadian luhur, sehat, berilmu, cakap, kritis, kreatif, inovatif, mandiri, percaya diri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab; dan b. mengembangkan potensi kecerdasan spiritual, intelektual, emosional, kinestetis, dan sosial peserta didik pada masa pertumbuhannya dalam lingkungan bermain yang edukatif dan menyenangkan. Paragraf 2 Bentuk dan Jenis Satuan Pendidikan Pasal 43 (1) Pendidikan usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk TK, RA, atau bentuk lain yang sederajat.
22
(2) TK, RA, atau bentuk lain yang sederajat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki program pembelajaran 1 (satu) tahun atau 2 (dua) tahun. Paragraf 3 Penerimaan Peserta Didik Pasal 44 Peserta didik TK, RA atau bentuk lain yang sederajat berusia 4 (empat) tahun sampai dengan 6 (enam) tahun. Pasal 45 (1) Penerimaan peserta didik pada satuan pendidikan anak usia dini dilakukan secara objektif, transparan, dan akuntabel. (2) Penerimaan peserta didik pada satuan pendidikan anak usia dini dilakukan tanpa diskriminasi kecuali bagi satuan pendidikan yang secara khusus dirancang untuk melayani peserta didik dari kelompok gender atau agama tertentu. (3) Keputusan penerimaan calon peserta didik menjadi peserta didik dilakukan secara mandiri oleh rapat dewan guru yang dipimpin oleh kepala satuan pendidikan. Pasal 46 (1) Satuan pendidikan anak usia dini dapat menerima peserta didik pindahan dari satuan pendidikan anak usia dini lain. (2) Syarat-syarat dan tata cara penerimaan peserta didik pindahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh satuan pendidikan yang bersangkutan. Paragraf 4 Program Pembelajaran Pasal 47 (1) Program pembelajaran TK, RA, dan bentuk lain yang sederajat dikembangkan untuk mempersiapkan peserta didik memasuki SD, MI, atau bentuk lain yang sederajat.
23
(2) Program pembelajaran TK, RA, dan bentuk lain yang sederajat dilaksanakan dalam konteks bermain yang dapat dikelompokkan menjadi: a. bermain dalam rangka pembelajaran agama dan akhlak mulia; b. bermain dalam rangka pembelajaran sosial dan kepribadian; c. bermain dalam rangka pembelajaran cinta lingkungan hidup; d. bermain dalam rangka pembelajaran orientasi dan pengenalan pengetahuan dan teknologi; e. bermain dalam rangka pembelajaran estetika; dan f. bermain dalam rangka pembelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan. (3) Semua permainan pembelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dirancang dan diselenggarakan: a. secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan mendorong kreativitas serta kemandirian; b. sesuai dengan tahap pertumbuhan fisik dan perkembangan mental anak serta kebutuhan dan kepentingan terbaik anak; c. dengan memperhatikan perbedaan bakat, minat, dan kemampuan masing-masing anak; d. dengan mengintegrasikan kebutuhan anak terhadap kesehatan, gizi, dan stimulasi psikososial;dan e. dengan memperhatikan latar belakang ekonomi, sosial, dan budaya anak. Bagian Ketiga Pendidikan Dasar Paragraf 1 Fungsi dan Tujuan Pasal 48 (1) Pendidikan pada SD/MI dan SDLB atau bentuk lain yang sederajat berfungsi: a. menanamkan dan mengamalkan nilai-nilai keimanan, akhlak mulia, dan kepribadian luhur; b. menanamkan dan mengamalkan nilai-nilai kebangsaan, cinta tanah air dan cinta lingkungan hidup; c. memberikan dasar-dasar kemampuan intelektual dalam bentuk kemampuan dan kecakapan membaca, menulis, dan berhitung;
24
d. memberikan pengenalan ilmu pengetahuan dan teknologi; e. melatih dan merangsang kepekaan dan kemampuan mengapresiasi serta mengekspresikan keindahan, kehalusan, dan harmoni; f. menumbuhkan minat pada olahraga, kesehatan, dan kebugaran jasmani; dan g. mengembangkan kesiapan fisik dan mental untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat. (2) Pendidikan pada SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat berfungsi: a. mengembangkan, menghayati, dan mengamalkan nilainilai keimanan, akhlak mulia, dan kepribadian luhur yang telah dikenalinya; b. mengembangkan, menghayati, dan mengamalkan nilainilai kebangsaan dan cinta tanah air yang telah dikenalinya serta cinta lingkungan hidup; c. mempelajari dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi; d. melatih dan mengembangkan kepekaan dan kemampuan mengapresiasi serta mengekspresikan keindahan, kehalusan, dan harmoni; e. mengembangkan bakat dan kemampuan di bidang olahraga, baik untuk kesehatan dan kebugaran jasmani maupun prestasi; dan f. mengembangkan kesiapan fisik dan mental untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan menengah dan/atau untuk hidup mandiri di masyarakat. (3) Pendidikan dasar bertujuan membangun landasan bagi berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang: a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan berkepribadian luhur; b. berilmu, cakap, kritis, kreatif, dan inovatif; c. sehat, mandiri, dan percaya diri; dan d. toleran, peka sosial, demokratis, dan bertanggung jawab. Paragraf 2 Bentuk Satuan Pendidikan Pasal 49 (1) SD, MI, atau bentuk lain yang sederajat terdiri atas 6 (enam) tingkatan kelas, yaitu: a. kelas 1 (satu); b. kelas 2 (dua); c. kelas 3 (tiga); 25
d. kelas 4 (empat); e. kelas 5 (lima); dan f. kelas 6 (enam). (2) SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat terdiri atas 3 (tiga) tingkatan kelas, yaitu: a. kelas 7 (tujuh); b. kelas 8 (delapan); dan c. kelas 9 (sembilan). Paragraf 3 Penerimaan Peserta Didik Pasal 50 (1) Peserta didik pada SD/MI atau bentuk lain yang sederajat paling rendah berusia 6 (enam) tahun. (2) Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan atas dasar rekomendasi tertulis dari psikolog profesional. (3) Dalam hal tidak ada psikolog profesional, rekomendasi dapat dilakukan oleh dewan guru satuan pendidikan yang bersangkutan, sampai dengan batas daya tampungnya. (4) SD/MI atau bentuk lain yang sederajat wajib menerima warga negara berusia 7 (tujuh) tahun sampai dengan 12 (dua belas) tahun sebagai peserta didik sampai dengan batas daya tampungnya. (5) Penerimaan peserta didik kelas 1 (satu) SD/MI atau bentuk lain yang sederajat tidak didasarkan pada hasil tes kemampuan membaca, menulis, dan berhitung, atau bentuk tes lain. (6) SD/MI atau bentuk lain yang sederajat wajib menyediakan akses bagi peserta didik berkelainan. Pasal 51 (1) Dalam hal jumlah calon peserta didik melebihi daya tampung satuan pendidikan, maka pemilihan peserta didik pada SD/MI berdasarkan pada usia calon peserta didik dengan prioritas dari yang paling tua.
26
(2) Jika usia calon peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sama, maka penentuan peserta didik didasarkan pada jarak tempat tinggal calon peserta didik yang paling dekat dengan satuan pendidikan. (3) Jika usia dan/atau jarak tempat tinggal calon peserta didik dengan satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sama, maka peserta didik yang mendaftar lebih awal diprioritaskan. Pasal 52 (1) Peserta didik pada SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat sudah menyelesaikan pendidikannya pada SD, MI, Paket A, atau bentuk lain yang sederajat. (2) Peserta didik yang beragama Islam pada SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat harus memiliki sertifikat lulus dari Taman Pendidikan Al-qur’an atau memiliki surat keterangan sedang mengikuti Pendidikan Al-qur’an. (3) Peserta didik yang beragama selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat harus memiliki surat keterangan sebagai jemaat dari lembaga keagamaan sesuai agama yang dianutnya. (4) SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat wajib menerima warga negara berusia 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun sebagai peserta didik sampai dengan batas daya tampungnya. (5) SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat menyediakan akses bagi peserta didik berkelainan.
wajib
Pasal 53 (1) SD/MI dan SMP/MTs yang memiliki jumlah calon peserta didik melebihi daya tampung wajib melaporkan kelebihan calon peserta didik tersebut kepada pemerintah daerah. (2) Pemerintah daerah wajib menyalurkan kelebihan calon peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada satuan pendidikan dasar lain.
27
Pasal 54 (1) Peserta didik jalur nonformal dan informal dapat diterima di SD, MI, atau bentuk lain yang sederajat tidak pada awal kelas 1 (satu) setelah lulus tes kelayakan dan penempatan yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan formal yang bersangkutan. (2) Peserta didik jalur nonformal dan informal dapat diterima di SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat sejak awal kelas 7 (tujuh) setelah lulus ujian kesetaraan Paket A. (3) Peserta didik jalur nonformal dan informal dapat diterima di SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat tidak pada awal kelas 7 (tujuh) setelah memenuhi persyaratan: a. lulus ujian kesetaraan Paket A; dan b. lulus tes kelayakan dan penempatan yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan formal yang bersangkutan. (4) Peserta didik pendidikan dasar setara SD di negara lain dapat pindah ke SD, MI, atau bentuk lain yang sederajat di Indonesia setelah memenuhi persyaratan lulus tes kelayakan dan penempatan yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan. (5) Peserta didik pendidikan dasar setara SMP di negara lain dapat pindah ke SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat di Indonesia setelah memenuhi persyaratan: a. menunjukkan ijazah atau dokumen lain yang membuktikan bahwa yang bersangkutan telah menyelesaikan pendidikan dasar setara SD; dan b. lulus tes kelayakan dan penempatan yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan. (6) Peserta didik pendidikan dasar setara SD yang mengikuti sistem dan/atau standar pendidikan negara lain dapat diterima di SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat pada awal tahun kelas 7 (tujuh) dengan menunjukkan ijazah atau dokumen lain yang membuktikan bahwa yang bersangkutan telah menyelesaikan pendidikan dasar yang memberikan kompetensi lulusan setara SD.
28
(7) SD, MI, SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat memberikan bantuan penyesuaian akademik, sosial, dan/atau mental yang diperlukan oleh peserta didik berkelainan dan peserta didik pindahan dari satuan pendidikan formal lain atau jalur pendidikan lain. Pasal 55 (1) Penerimaan peserta didik pada satuan pendidikan dasar dilakukan secara objektif, transparan dan akuntabel. (2) Penerimaan peserta didik pada satuan pendidikan dasar dilakukan tanpa diskriminasi kecuali bagi satuan pendidikan yang secara khusus dirancang untuk melayani peserta didik dari kelompok gender atau agama tertentu. (3) Keputusan penerimaan calon peserta didik menjadi peserta didik dilakukan secara mandiri oleh rapat dewan guru yang dipimpin oleh kepala satuan pendidikan. (4) Seleksi penerimaan peserta didik baru di kelas 7 (tujuh) pada satuan pendidikan dasar setingkat SMP didasarkan pada hasil ujian nasional, kecuali bagi peserta didik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (6). (5) Di samping memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), satuan pendidikan dapat melakukan tes bakat skolastik untuk seleksi penerimaan peserta didik baru di kelas 7 (tujuh). Pasal 56 (1) Satuan pendidikan dasar dapat menerima peserta didik pindahan dari satuan pendidikan dasar lain. (2) Satuan pendidikan dapat menetapkan tata cara dan persyaratan tambahan penerimaan peserta didik pindahan selain persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dan Pasal 51 dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
29
Bagian Keempat Pendidikan Menengah Paragraf 1 Fungsi dan Tujuan Pasal 57 (1) Pendidikan menengah umum berfungsi: a. meningkatkan, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai keimanan, akhlak mulia, dan kepribadian luhur; b. meningkatkan, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai kebangsaan, cinta tanah air dan cinta lingkungan hidup; c. mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi; d. meningkatkan kepekaan dan kemampuan mengapresiasi serta mengekspresikan keindahan, kehalusan, dan harmoni; e. menyalurkan bakat dan kemampuan di bidang olahraga, baik untuk kesehatan dan kebugaran jasmani maupun prestasi; dan f. meningkatkan kesiapan fisik dan mental untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan tinggi dan/atau untuk hidup mandiri di masyarakat. (2) Pendidikan menengah kejuruan berfungsi: a. meningkatkan, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai keimanan, akhlak mulia, dan kepribadian luhur; b. meningkatkan, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai kebangsaan dan cinta tanah air; c. membekali peserta didik dengan kemapuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kecakapan kejuruan/vokasi pada profesi sesuai dengan kebutuhan masyarakat; d. meningkatkan kepekaan dan kemampuan mengapresiasi serta mengekspresikan keindahan, kehalusan, dan harmoni; e. menyalurkan bakat dan kemampuan di bidang olahraga, baik untuk kesehatan dan kebugaran jasmani maupun prestasi; dan f. meningkatkan kesiapan fisik dan mental untuk hidup mandiri di masyarakat dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan tinggi.
30
Pasal 58 Pendidikan menengah bertujuan membentuk peserta didik menjadi insan yang: a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan berkepribadian luhur; b. berilmu, cakap, kritis, kreatif, dan inovatif; c. sehat, mandiri, dan percaya diri; dan d. toleran, peka sosial, demokratis, dan bertanggung jawab. Paragraf 2 Bentuk Satuan Pendidikan Pasal 59 (1) Pendidikan menengah berbentuk SMA, MA, SMK, dan MAK, atau bentuk lain yang sederajat. (2) SMA dan MA terdiri dari 3 (tiga) tingkatan kelas, yaitu: a. kelas 10 (sepuluh); b. kelas 11 (sebelas); dan c. kelas 12 (dua belas). (3) SMK dan MAK dapat terdiri atas 3 (tiga) tingkatan kelas, yaitu: a. kelas 10 (sepuluh); b. kelas 11 (sebelas); dan c. kelas 12 (dua belas). (4) SMK dan MAK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan tuntutan kurikulum dan dunia kerja dapat juga terdiri atas 4 (empat) tingkatan kelas, yaitu: a. kelas 10 (sepuluh); b. kelas 11 (sebelas); kelas 12 (dua belas); dan c. kelas 13 (tiga belas). Pasal 60 (1) Penjurusan pada SMA, MA atau bentuk lain yang sederajat berbentuk program studi yang memfasilitasi kebutuhan pembelajaran serta kompetensi yang diperlukan peserta didik untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi.
31
(2) Program studi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. program studi ilmu pengetahuan alam; b. program studi ilmu pengetahuan sosial; c. program studi bahasa; d. program studi keagamaan; dan e. program studi lain yang diperlukan masyarakat. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penjurusan dan program studi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 61 (1) Penjurusan pada SMK, MAK, atau bentuk lain yang sederajat berbentuk kompetensi keahlian. (2) Setiap bidang studi keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terdiri atas 1 (satu) atau lebih program studi keahlian. (3) Setiap program studi keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat terdiri atas 1 (satu) atau lebih kompetensi keahlian. (4) Bidang studi keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. bidang studi keahlian teknologi dan rekayasa; b. bidang studi keahlian kesehatan; c. bidang studi keahlian seni, kerajinan, dan pariwisata; d. bidang studi keahlian teknologi informasi dan komunikasi; e. bidang studi keahlian agribisnis dan agroteknologi; f. bidang studi keahlian bisnis dan manajemen; dan g. bidang studi keahlian lain yang diperlukan masyarakat. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penjurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
32
Paragraf 3 Penerimaan Peserta Didik Pasal 62 (1) Peserta didik pada SMA, MA, SMK, MAK, atau bentuk lain yang sederajat harus menyelesaikan pendidikannya pada SMP, MTs, Paket B, atau bentuk lain yang sederajat. (2) Peserta didik jalur nonformal dan informal dapat diterima di SMA, MA, SMK, MAK, atau bentuk lain yang sederajat sejak awal kelas 10 (sepuluh) setelah lulus ujian kesetaraan Paket B. (3) Peserta didik yang beragama Islam pada SMA, MA, SMK, MAK atau bentuk lain yang sederajat harus memiliki sertifikat lulus dari Taman Pendidikan Al-qur’an atau memiliki surat keterangan sedang mengikuti Pendidikan Al-qur’an. (4) Peserta didik yang beragama selain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pada SMA, MA, SMK, MAK atau bentuk lain yang sederajat harus memiliki surat keterangan sebagai jemaat dari lembaga keagamaan sesuai agama yang dianutnya. (5) Peserta didik jalur nonformal dan informal dapat diterima di SMA, MA, SMK, MAK, atau bentuk lain yang sederajat sesudah awal kelas 10 (sepuluh) setelah: a. lulus ujian kesetaraan Paket B; dan b. lulus tes kelayakan dan penempatan yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan formal yang bersangkutan. (6) Peserta didik pendidikan dasar setara SMP yang mengikuti sistem dan/atau standar pendidikan negara lain dapat diterima di SMA, MA, SMK, MAK, atau bentuk lain yang sederajat pada awal tahun kelas 10 (sepuluh) dengan menunjukkan ijazah atau dokumen lain yang membuktikan bahwa yang bersangkutan telah menyelesaikan pendidikan dasar yang memberikan kompetensi lulusan setara SMP. (7) Peserta didik pendidikan menengah setara SMA atau SMK di negara lain dapat pindah ke SMA, MA, SMK, MAK, atau bentuk lain yang sederajat di Indonesia dengan syarat: a. menunjukkan ijazah atau dokumen lain yang membuktikan bahwa yang bersangkutan telah menyelesaikan pendidikan dasar setara SMP; dan 33
b. lulus tes kelayakan diselenggarakan oleh bersangkutan.
dan satuan
penempatan pendidikan
yang yang
(8) SMA, MA, SMK, MAK, atau bentuk lain yang sederajat wajib menyediakan akses bagi peserta didik berkelainan. (9) Satuan pendidikan SMA, MA, SMK, MAK, atau bentuk lain yang sederajat memberikan bantuan penyesuaian akademik, sosial, dan/atau mental yang diperlukan oleh peserta didik berkelainan dan peserta didik pindahan dari satuan pendidikan formal lain atau jalur pendidikan lain. Pasal 63 (1) Penerimaan peserta menengah dilakukan akuntabel.
didik pada satuan pendidikan secara objektif, transparan, dan
(2) Penerimaan peserta didik pada satuan pendidikan menengah dilakukan tanpa diskriminasi kecuali bagi satuan pendidikan yang secara khusus dirancang untuk melayani peserta didik dari kelompok gender atau agama tertentu. (3) Keputusan penerimaan calon peserta didik menjadi peserta didik dilakukan secara mandiri oleh rapat dewan guru yang dipimpin oleh kepala satuan pendidikan. (4) Seleksi penerimaan peserta didik baru di kelas 10 (sepuluh) pada satuan pendidikan menengah didasarkan pada hasil Ujian Nasional, kecuali bagi peserta didik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (5), dan ayat (6). (5) Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), satuan pendidikan dapat melakukan tes bakat skolastik untuk seleksi penerimaan peserta didik baru di kelas 10 (sepuluh). Pasal 64 (1) Peserta didik satuan pendidikan menengah dapat pindah ke: a. jurusan yang sama pada satuan pendidikan lain; b. jurusan yang berbeda pada satuan pendidikan yang sama; atau c. jurusan yang berbeda pada satuan pendidikan lain.
34
(2) Satuan pendidikan dapat menetapkan tata cara dan persyaratan tambahan selain persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dan Pasal 63 dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
BAB VI PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN NONFORMAL Bagian Kesatu Umum Pasal 65 (1) Penyelenggaraan pendidikan nonformal penyelenggaraan satuan pendidikan dan pendidikan nonformal.
meliputi program
(2) Penyelenggaraan satuan pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi satuan pendidikan: a. lembaga kursus dan lembaga pelatihan atau bentuk lain yang sejenis; b. kelompok belajar serta bentuk lain yang sejenis; c. pusat kegiatan belajar masyarakat atau bentuk lain yang sejenis; d. majelis taklim atau bentuk lain yang sejenis; dan e. pendidikan anak usia dini jalur nonformal. (3) Satuan pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, menyelenggarakan pendidikan bagi warga masyarakat untuk: a. memperoleh keterampilan kecakapan hidup; b. mengembangkan sikap dan kepribadian profesional; c. mempersiapkan diri untuk bekerja; d. meningkatkan kompetensi vokasional; e. mempersiapkan diri untuk berusaha mandiri; dan/atau f. melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. (4) Satuan pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c menyelenggarakan pendidikan bagi warga masyarakat untuk: a. memperoleh keterampilan kecakapan hidup; b. memperoleh pengetahuan dan keterampilan; c. mengembangkan sikap dan kepribadian profesional; d. mempersiapkan diri untuk berusaha mandiri;dan/atau e. melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.
35
(5) Penyelenggaraan program pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pendidikan kecakapan hidup; b. pendidikan anak usia dini; c. pendidikan kepemudaan; d. pendidikan pemberdayaan perempuan; e. pendidikan keaksaraan; f. pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja; dan g. pendidikan kesetaraan. Pasal 66 (1) Kurikulum dalam penyelenggaraan pendidikan nonformal ditambah muatan lokal pada setiap jenjang pendidikan nonformal yang memuat materi sejarah Daerah dan kewirausahaan sesuai dengan visi. (2) Bobot kurikulum muatan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan kesiapan setiap jenjang. Pasal 67 Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal. Bagian Kedua Fungsi dan Tujuan Pasal 68 (1) Pendidikan nonformal berfungsi: a. sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal atau sebagai alternatif pendidikan; dan b. mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan ketrampilan fungsional, serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. (2) Pendidikan nonformal bertujuan membentuk manusia yang memiliki kecakapan hidup, keterampilan fungsional, sikap dan kepribadian profesional, dan mengembangkan jiwa wirausaha yang mandiri, serta kompetensi untuk bekerja dalam bidang tertentu, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional. 36
(3) Pendidikan nonformal diselenggarakan berdasarkan prinsip dari, oleh, dan untuk masyarakat. Bagian Ketiga Satuan Pendidikan NonFormal Paragraf 1 Lembaga Kursus dan Pelatihan Pasal 69 (1) Lembaga kursus dan pelatihan menyelenggarakan program pelatihan kerja dan pelatihan lain untuk meningkatkan kompetensi kerja bagi pencari kerja dan pekerja. (2) Lembaga kursus dan pelatihan yang terakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal dan/atau lembaga akreditasi lain dapat menyelenggarakan uji kompetensi kepada peserta didik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Lembaga kursus dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memberikan sertifikat kompetensi kepada peserta didik yang lulus uji kompetensi. Paragraf 2 Kelompok Belajar Pasal 70 (1) Peserta didik yang telah menyelesaikan kegiatan pembelajaran di kelompok belajar dapat mengikuti ujian kesetaraan hasil belajar dengan pendidikan formal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Peserta didik yang telah menyelesaikan kegiatan pembelajaran di kelompok belajar dan/atau lulus dalam ujian kesetaraan hasil belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperoleh ijazah sesuai dengan program yang diikutinya.
37
Paragraf 3 PKBM Pasal 71 (1) PKBM yang terakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal dapat menyelenggarakan uji kompetensi kepada peserta didik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) PKBM yang terakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal memberikan sertifikat kompetensi kepada peserta didik yang lulus uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Peserta didik yang telah menyelesaikan kegiatan pembelajaran di PKBM dapat mengikuti ujian untuk mendapatkan pengakuan kesetaraan hasil belajar dengan pendidikan formal sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan. (4) Peserta didik yang telah memenuhi syarat dan/atau lulus dalam ujian kesetaraan hasil belajar dengan pendidikan formal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memperoleh ijazah sesuai dengan program yang diikutinya. Paragraf 4 Majelis Taklim Pasal 72 (1) Majelis taklim atau bentuk lain yang sejenis dapat meyelenggarakan pendidikan bagi warga masyarakat untuk: a. memperoleh pengetahuan dan keterampilan; b. memperoleh keterampilan kecakapan hidup; c. mengembangkan sikap dan kepribadian professional; d. mempersiapkan diri untuk berusaha mandiri; dan/atau e. melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. (2) Majelis taklim atau bentuk lain yang sejenis dapat menyelenggarakan program: a. pendidikan keagamaan Islam; b. pendidikan anak usia dini; c. pendidikan keaksaraan; d. pendidikan kesetaraan; e. pendidikan kecakapan hidup; f. pendidikan pemberdayaan perempuan; g. pendidikan kepemudaan; dan/atau h. pendidikan nonformal lain yang diperlukan masyarakat. 38
(3) Peserta didik yang telah menyelesaikan kegiatan pembelajaran di majelis taklim atau bentuk lain yang sejenis dapat mengikuti ujian kesetaraan hasil belajar dengan pendidikan formal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Peserta didik yang telah memenuhi syarat dan/atau lulus dalam ujian kesetaraan hasil belajar dengan pendidikan formal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memperoleh ijazah dengan program yang diikutinya. Paragraf 5 Satuan PAUD Pasal 73 (1) Satuan PAUD pada jalur pendidikan nonformal berbentuk kelompok bermain, taman penitipan anak, dan satuan PAUD yang sejenis. (2) Kelompok bermain, taman penitipan anak, dan satuan PAUD yang sejenis menyelenggarakan pendidikan dalam konteks: a. bermain sambil belajar dalam rangka pembelajaran agama dan akhlak mulia; b. bermain sambil belajar dalam rangka pembelajaran sosial dan kepribadian; c. bermain sambil belajar dalam rangka pembelajaran estetika; d. bermain sambil belajar dalam rangka pembelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan;dan e. bermain sambil belajar dalam rangka merangsang minat kepada ilmu pengetahuan, teknologi, dan cinta lingkungan hidup. (3) Peserta didik kelompok bermain, taman penitipan anak, dan satuan PAUD jalur pendidikan nonformal yang sejenis dapat dievaluasi perkembangannya tanpa melalui proses yang bersifat menguji kompetensi.
39
Bagian Keempat Program Pendidikan Nonformal Paragraf 1 Pendidikan Kecakapan Hidup Pasal 74 (1) Pendidikan kecakapan hidup merupakan program pendidikan yang mempersiapkan peserta didik pendidikan nonformal dengan kecakapan personal, kecakapan sosial, kecakapan estetis, kecakapan kinetis, kecakapan intelektual, dan kecakapan vokasional yang diperlukan untuk bekerja, berusaha, dan/atau hidup mandiri di tengah masyarakat. (2) Pendidikan kecakapan hidup bertujuan meningkatkan kecakapan personal, kecakapan sosial, kecakapan estetis, kecakapan kinetis, kecakapan intelektual dan kecakapan vokasional untuk menyiapkan peserta didik agar mampu bekerja, berusaha, dan/atau hidup mandiri di tengah masyarakat. (3) Pendidikan kecakapan hidup dapat dilaksanakan secara terintegrasi dengan program pendidikan nonformal lain atau tersendiri. (4) Pendidikan kecakapan hidup dapat dilaksanakan oleh lembaga pendidikan nonformal bekerja sama dengan lembaga pendidikan formal. (5) Pendidikan kecakapan hidup dapat dilaksanakan secara terintegrasi dengan program penempatan lulusan di dunia kerja, baik di dalam maupun di luar negeri. Paragraf 2 Program PAUD Pasal 75 (1) Program PAUD jalur pendidikan nonformal merupakan program yang diselenggarakan secara fleksibel berdasarkan tahap pertumbuhan dan perkembangan anak.
40
(2) Program PAUD jalur pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berfungsi menumbuhkembangkan dan membina seluruh potensi anak sejak lahir sampai dengan usia anak 6 (enam) tahun sehingga terbentuk perilaku dan kemampuan dasar sesuai dengan tahap perkembangannya dalam rangka kesiapan anak memasuki pendidikan lebih lanjut. (3) Program PAUD jalur pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), lebih memprioritaskan pelayanan pendidikan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 4(empat) tahun. (4) Program PAUD jalur pendidikan nonformal bertujuan: a. membangun landasan bagi berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkepribadian luhur, sehat, berilmu, cakap, kritis, kreatif, inovatif, mandiri, percaya diri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab; dan b. mengembangkan potensi kecerdasan spiritual, intelektual, emosional, estetis, kinetis, dan sosial peserta didik pada masa pertumbuhannya dalam lingkungan bermain yang edukatif dan menyenangkan. (5) Program PAUD jalur pendidikan nonformal dirancang dan diselenggarakan: a. secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan mendorong kreativitas kemandirian; b. sesuai dengan tahap pertumbuhan fisik dan perkembangan mental anak serta kebutuhan dan kepentingan terbaik anak; c. dengan memperhatikan perbedaan bakat, minat, dan kemampuan tiap-tiap anak; dan d. dengan mengintegrasikan kebutuhan anak terhadap kesehatan, gizi, dan stimulasi psikososial. (6) Pengembangan program PAUD jalur pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) didasarkan pada: a. prinsip bermain sambil belajar dan belajar seraya bermain b. memperhatikan perbedaan bakat, minat, dan kemampuan masing-masing peserta didik; c. memperhatikan latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya peserta didik; dan d. memperhatikan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat.
41
(7) Pengelompokkan peserta didik untuk program pendidikan pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan nonformal disesuaikan dengan kebutuhan, usia, dan perkembangan anak. (8) Penyelenggaraan program PAUD jalur pendidikan nonformal dapat diintegrasikan dengan program lain yang sudah berkembang di masyarakat sebagai upaya untuk memperluas pelayanan PAUD kepada seluruh lapisan masyarakat. Paragraf 3 Pendidikan Kepemudaan Pasal 76 (1) Pendidikan kepemudaan merupakan pendidikan yang diselenggarakan untuk mempersiapkan kader pemimpin bangsa. (2) Program Pendidikan kepemudaan berfungsi mengembangkan potensi pemuda dengan penekanan pada: a. penguatan nilai keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia; b. penguatan wawasan kebangsaan, cinta tanah air dan cinta lingkungan hidup; c. penumbuhkembangan etika, kepribadian, dan estetika; d. peningkatan wawasan dan kemampuan di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga; e. penumbuhan sikap kewirausahaan, kepemimpinan, keteladanan, dan kepeloporan; dan f. peningkatan keterampilan vokasional. (3) Program pendidikan kepemudaan memberikan pelayanan pendidikan kepada warga masyarakat yang berusia antara 16 (enam belas) tahun sampai dengan 30 (tiga puluh) tahun. (4) Pendidikan kepemudaan dapat berbentuk pelatihan dan bimbingan atau sejenisnya yang diselenggarakan oleh: a. organisasi keagamaan; b. organisasi pemuda; c. organisasi kepanduan /kepramukaan; d. organisasi palang merah; e. organisasi pecinta alam dan lingkungan hidup; f. organisasi kewirausahaan; g. organisasi masyarakat; h. organisasi seni dan olahraga; dan i. organisasi lain yang sejenis. 42
Paragraf 4 Pendidikan Pemberdayaan Perempuan Pasal 77 (1) Pendidikan pemberdayaan perempuan merupakan pendidikan untuk meningkatkan harkat dan martabat perempuan. (2) Program pendidikan pemberdayaan perempuan berfungsi untuk meningkatkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara melalui: a. peningkatan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia; b. penguatan wawasan kebangsaan, cinta tanah air dan cinta lingkungan hidup; c. penumbuhkembangan etika, kepribadian, dan estetika; d. peningkatan wawasan dan kemampuan di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga; e. penumbuhan sikap kewirausahaan, kepemimpinan, keteladanan, dan kepeloporan; dan f. peningkatan keterampilan vokasional. (3) Pendidikan pemberdayaan perempuan bertujuan: a. meningkatkan kedudukan, harkat, dan martabat perempuan hingga setara dengan laki-laki; b. meningkatkan akses dan partisipasi perempuan dalam pendidikan, pekerjaan, usaha, peran sosial, peran politik, dan bentuk amal lain dalam kehidupan; dan c. mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang melekat pada perempuan. Paragraf 5 Pendidikan Keaksaraan Pasal 78 (1) Pendidikan keaksaraan merupakan pendidikan bagi warga masyarakat yang buta aksara latin agar mereka dapat membaca, menulis, berhitung, berbahasa Indonesia dan berpengatahuan dasar, yang memberikan peluang untuk aktualisasi potensi diri. (2) Pendidikan keaksaraan berfungsi memberikan kemampuan dasar membaca, menulis, berhitung, dan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia, serta pengetahuan dasar kepada peserta didik yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. 43
(3) Program pendidikan keaksaraan memberikan pelayanan pendidikan kepada warga masyarakat usia 15 (lima belas) tahun ke atas yang belum dapat membaca, menulis, berhitung dan/atau berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. (4) Pendidikan keaksaraan meliputi pendidikan keaksaraan dasar, pendidikan keaksaraan lanjutan, dan pendidikan keaksaraan mandiri. (5) Penjaminan mutu akhir pendidikan keaksaraan dilakukan melalui uji kompetensi keaksaraan. (6) Peserta didik yang telah lulus uji kompetensi keaksaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberi surat keterangan melek aksara. (7) Peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat diarahkan untuk mengikuti pendidikan kesetaraan.
(6)
Paragraf 6 Pendidikan Keterampilan dan Pelatihan Kerja Pasal 79 (1) Pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja ditujukan bagi peserta didik pencari kerja atau yang sudah bekerja. (2) Pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk: a. meningkatkan motivasi dan etos kerja; b. mengembangkan kepribadian yang cocok dengan jenis pekerjaan peserta didik; c. meningkatkan wawasan tentang aspek lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan pekerjaan; d. meningkatkan kemampuan keterampilan fungsional sesuai dengan tuntunan dan kebutuhan pekerjaan; e. meningkatkan kemampuan membangun jejaring pergaulan sesuai dengan tuntutan pekerjaan; dan f. meningkatkan kemampuan lain sesuai dengan tuntutan pekerjaan. (3) Kemampuan keterampilan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi keterampilan vokasional, keterampilan manajerial, keterampilan komunikasi, dan/atau keterampilan sosial.
44
(4) Pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja dapat dilaksanakan secara terintegrasi dengan: a. program pendidikan kecakapan hidup; b. program pendidikan kesetaraan Paket B dan Paket C; c. program pendidikan pemberdayaan perempuan; dan/atau d. program pendidikan kepemudaan. Paragraf 7 Pendidikan Kesetaraan Pasal 80 (1) Pendidikan kesetaraan merupakan program pendidikan nonformal yang menyelenggarakan pendidikan umum setara SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA yang mencakupi program Paket A, Paket B, dan Paket C serta pendidikan kejuruan setara SMK/MAK yang berbentuk Paket C Kejuruan. (2) Pendidikan kesetaraan berfungsi sebagai pelayanan pendidikan nonformal pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. (3) Peserta didik program Paket A adalah anggota masyarakat yang memenuhi ketentuan wajib belajar setara SD/MI melalui jalur pendidikan nonformal. (4) Peserta didik program Paket B adalah anggota masyarakat yang memenuhi ketentuan wajib belajar setara SMP/MTs melalui jalur pendidikan nonformal. (5) Program Paket B sebagaimana dimaksud pada ayat (4) membekali peserta didik dengan keterampilan fungsional, sikap dan kepribadian profesional yang memfasilitasi proses adaptasi dengan lingkungan kerja. (6) Persyaratan mengikuti program Paket B adalah lulus SD/MI, program Paket A, atau yang sederajat. (7) Peserta didik program Paket C adalah anggota masyarakat yang menempuh pendidikan menengah umum melalui jalur pendidikan nonformal. (8) Peserta didik program Paket C Kejuruan adalah anggota masyarakat yang menempuh pendidikan menengah kejuruan melalui jalur pendidikan nonformal.
45
(9) Program Paket C sebagaimana dimaksud pada ayat (7) membekali peserta didik dengan kemampuan akademik dan keterampilan fungsional, serta sikap dan kepribadian profesional. (10) Program Paket C Kejuruan sebgaimana dimaksud pada ayat (8) membekali peserta didik dengan kemampuan akademik, ketrampilan fungsional, dan kecakapan kejuruan para profesi, serta sikap dan kepribadian profesional. (11) Persyaratan mengikuti program Paket C dan Paket C kejuruan adalah lulus SMP/MTs, Paket B, atau yang sederajat. (12) Program pendidikan kesetaraan dapat dilaksanakan terintegrasi dengan: a. program pendidikan kecakapan hidup; b. program pendidikan pemberdayaan perempuan;dan/atau c. program pendidikan kepemudaan. Paragraf 8 Penyetaraan Hasil pendidikan Pasal 81 (1) Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil pendidikan formal setelah melalui uji kesetaraan yang memenuhi Standar Nasional Pendidikan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangan masing-masing, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Uji kesetaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Program Paket A, Program Paket B, Program Paket C, dan Program Paket C Kejuruan dilaksanakan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan. (3) Uji kesetaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk program kecakapan hidup dapat dilaksanakan untuk: a. memperoleh pengakuan kesetaraan dengan kompetensi mata pelajaran vokasi pada jenjang pendidikan menengah; atau b. memperoleh pengakuan kesetaraan dengan kompetensi mata kuliah (jurusan) keahlian vokasi pada jenjang pendidikan tinggi.
46
(4) Uji kesetaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dapat dilaksanakan oleh SMK atau MAK yang paling rendah berakreditasi B dari Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah. (5) Uji kesetaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat dilaksanakan oleh suatu perguruan tinggi melalui program studi vokasinya paling rendah berakreditasi B dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi. (6) Peserta didik yang lulus uji kesetaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diberi sertifikat kompetensi. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai uji kesetaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VII PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INFORMAL Pasal 82 Pendidikan informal dilakukan oleh keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Pasal 83 (1) Hasil pendidikan informal dapat dihargai setara dengan hasil pendidikan nonformal dan formal setelah melalui uji kesetaraan yang memenuhi Standar Nasional Pendidikan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangan masing-masing, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Uji kesetaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui: a. uji kesetaraan yang berlaku bagi peserta didik pendidikan nonformal sebagaimana diatur dalam Pasal 81; dan b. uji kesetaraan mengacu pada peraturan perundangundangan yang berlaku.
47
BAB VIII PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN KHUSUS Bagian Kesatu Umum Pasal 84 Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Pasal 85 Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah yang mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi. Bagian Kedua Pendidikan Inklusi Paragraf 1 Pendidikan Khusus bagi Peserta Didik Berkebutuhan Khusus Pasal 86 (1) Pendidikan khusus bagi peserta didik berkebutuhan berfungsi memberikan pelayanan pendidikan bagi didik yang memiliki kesulitan dalam mengikuti pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, intelektual, dan/atau sosial.
khusus peserta proses mental,
(2) Pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik secara optimal sesuai kemampuannya. (3) Peserta didik berkebutuhan khusus terdiri dari: a. tunanetra; b. tunarungu; c. tunawicara; d. tunagrahita; e. tunadaksa; f. tunalaras; g. berkesulitan belajar; h. lamban belajar;
48
i. autis; j. memiliki gangguan motorik; k. menjadi korban penyalahgunaan terlarang, dan zat adiktif lain; dan l. memiliki kebutuhan khusus lainnya.
narkotika,
obat
(4) Kebutuhan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat juga berwujud gabungan dari 2 (dua) atau lebih jenis kebutuhan khusus, yang disebut tunaganda. Pasal 87 (1) Pendidikan khusus bagi peserta didik berkebutuhan khusus dapat diselenggarakan pada semua jalur dan jenis pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. (2) Penyelenggaraan pendidikan khusus dapat dilakukan melalui satuan pendidikan khusus, satuan pendidikan umum, satuan pendidikan kejuruan, dan/atau satuan pendidikan keagamaan. Pasal 88 (1) Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya pendidikan khusus pada satuan pendidikan umum dan satuan pendidikan kejuruan sesuai dengan kebutuhan peserta didik. (2) Penjaminan terselenggaranya pendidikan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menetapkan paling sedikit 1 (satu) satuan pendidikan umum dan 1 (satu) satuan pendidikan kejuruan yang memberikan pendidikan khusus pada tiap kecamatan. (3) Dalam menjamin terselenggaranya pendidikan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah daerah menyediakan sumber daya pendidikan yang berkaitan dengan kebutuhan peserta berkebutuhan khusus. Pasal 89 Pendidikan khusus bagi peserta didik berkebutuhan khusus pada jalur formal diselenggarakan melalui satuan PAUD, satuan pendidikan dasar, dan satuan pendidikan menengah.
49
Pasal 90 (1) Satuan pendidikan khusus formal bagi peserta didik berkebutuhan khusus untuk PAUD berbentuk taman kanak-kanak luar biasa atau sebutan lain untuk satuan pendidikan yang sejenis dan sederajat. (2) Satuan pendidikan khusus bagi peserta didik berkebutuhan khusus pada jenjang pendidikan dasar terdiri atas: a. sekolah dasar luar biasa atau sebutan lain untuk satuan pendidikan yang sejenis dan sederajat; dan b. sekolah menengah pertama luar biasa atau sebutan lain untuk satuan pendidikan yang sejenis dan sederajat. (3) Satuan pendidikan khusus bagi peserta didik berkebutuhan khusus pada jenjang pendidikan menengah adalah sekolah menengah atas luar biasa, sekolah menengah kejuruan luar biasa, atau sebutan lain untuk satuan pendidikan yang sejenis dan sederajat. (4) Penyelenggaraan satuan pendidikan khusus dapat dilaksanakan secara terintegrasi antar jenjang pendidikan dan/atau antar jenis kelainan. (5) Pendidikan khusus bagi peserta didik berkebutuhan khusus dapat diselenggarakan oleh satuan pendidikan pada jalur pendidikan nonformal. Paragraf 2 Pendidikan Khusus bagi Peserta Didik yang Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa Pasal 91 (1) Pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa berfungsi mengembangkan potensi keunggulan peserta didik menjadi prestasi nyata sesuai dengan karakteristik keistimewaanya. (2) Pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa bertujuan mengaktualisasikan seluruh potensi keistimewaannya tanpa mengabaikan keseimbangan perkembangan kecerdasan spiritual, intelektual, emosional, sosial, estetik, kinestik, dan kecerdasan lain.
50
Pasal 92 (1) Pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa dapat diselenggarakan pada satuan pendidikan formal TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat. (2) Program pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa dapat berupa: a. program percepatan; b. program pengayaan; dan/atau c. program pengembangan bakat. (3) Program percepatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan syarat: a. peserta didik memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa yang diukur dengan tes psikologi; b. peserta didik memiliki potensi akademik tinggi dan/atau bakat istimewa di bidang seni dan/atau olahraga; dan c. satuan pendidikan penyelenggara telah memenuhi Standar Nasional Pendidikan. (4) Program percepatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan dengan menerapkan sistem kredit semester sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Penyelenggaraan program pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dalam bentuk: a. kelas biasa; b. kelas khusus; atau c. satuan pendidikan khusus. Pasal 93 (1) Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menyelenggarakan pendidikan layanan khusus. (2) Ketentuan lebih lanjut tentang penyelenggaraan pendidikan layanan khusus mengacu pada peraturan perundangundangan.
51
BAB IX SATUAN PENDIDIKAN UNGGULAN DAERAH Pasal 94 Satuan pendidikan unggulan daerah merupakan satuan pendidikan yang telah memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan standar pendidikan negara maju. Pasal 95 (1) Pemerintah daerah menyelenggarakan paling sedikit 1 (satu) SD, SMP, SMA dan SMK unggulan daerah dan/atau memfasilitasi penyelenggaraan paling sedikit 1 (satu) SD, SMP, SMA dan SMK unggulan daerah yang diselenggarakan masyarakat. (2) Penyelenggaraan pendidikan pada SD, SMP, SMA dan SMK yang dikembangkan menjadi satuan pendidikan unggulan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan secara parsial menurut rombongan belajar atau mata pelajaran. (3) Penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memenuhi penjaminan mutu SD, SMP, SMA dan SMK unggulan daerah mengacu pada peraturan perundangundangan. (4) Pengembangan SD, SMP, SMA dan SMK menjadi satuan pendidikan unggulan daerah dilaksanakan paling lama 2 (dua) tahun setelah peraturan daerah ini diundangkan. Pasal 96 (1) Satuan pendidikan dasar dan menengah yang dikembangkan menjadi unggulan daerah melakukan penjaminan mutu pendidikan sesuai dengan penjaminan mutu sekolah unggulan daerah yang mengacu pada peraturan perundang-undangan. (2) Pemerintah Daerah atau masyarakat dapat mendirikan sekolah baru unggulan daerah dengan persyaratan harus memenuhi: a. Standar Nasional Pendidikan sejak sekolah berdiri;dan b. pedoman penjaminan mutu sekolah unggulan daerah mengacu pada peraturan perundang-undangan.
52
Pasal 97 (1) Pemerintah Daerah atau masyarakat dapat menyelenggarakan satuan pendidikan khusus dan satuan atau program pendidikan nonformal unggulan daerah. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai satuan pendidikan khusus dan satuan atau program pendidikan nonformal unggulan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada peraturan perundang-undangan. Pasal 98 (1) Penyelenggara dan satuan pendidikan dilarang menggunakan kata unggulan daerah untuk nama satuan pendidikan, program, kelas, dan/atau mata pelajaran kecuali mendapatkan penetapan atau izin dari pejabat yang berwenang. (2) Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Bupati.
BAB X SATUAN PENDIDIKAN BERBASIS KEUNGGULAN LOKAL Pasal 99 Satuan pendidikan berbasis keunggulan lokal merupakan satuan pendidikan yang telah memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan keunggulan kompetitif dan/atau komparatif daerah. Pasal 100 (1) Pemerintah Daerah mengelola dan menyelenggarakan paling sedikit 1 (satu) satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang berbasis keunggulan lokal. (2) Pemerintah Daerah memfasilitasi penyelenggaraan satuan pendidikan berbasis keunggulan lokal pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang diselenggarakan masyarakat.
53
Pasal 101 (1) Keunggulan lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 dikembangkan berdasarkan keunggulan Daerah di bidang niaga dan jasa berbasis industri kreatif, kewirausahaan dan bidang lain sesuai perkembangan daerah. (2) Satuan pendidikan dasar dan menengah yang dikembangkan menjadi berbasis keunggulan lokal harus diperkaya dengan muatan pendidikan kejuruan yang terkait dengan keunggulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 102 (1) Satuan pendidikan dasar dan menengah yang dikembangkan menjadi satuan pendidikan berbasis keunggulan lokal melakukan penjaminan mutu pendidikan sesuai dengan penjaminan mutu sekolah berbasis keunggulan lokal mengacu pada peraturan perundangundangan. (2) Pemerintah Daerah atau masyarakat dapat mendirikan sekolah baru yang berbasis keunggulan lokal dengan persyaratan memenuhi: a. Standar Nasional Pendidikan sejak sekolah berdiri; dan b. pedoman penjaminan mutu sekolah berbasis keunggulan lokal yang ditetapkan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku sejak sekolah berdiri. Pasal 103 (1) Pemerintah daerah atau masyarakat dapat menyelenggarakan satuan atau program pendidikan nonformal berbasis keunggulan lokal. (2) Ketentuan labih lanjut mengenai satuan atau program pendidikan nonformal berbasis keunggulan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada peraturan perundang-undangan.
54
BAB XI KERJASAMA LEMBAGA PENDIDIKAN ASING DENGAN SATUAN PENDIDIKAN Bagian Kesatu Kerja Sama Penyelenggara Pendidikan Pasal 104 (1) Lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat menyelenggarakan pendidikan di Daerah. (2) Penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan bekerja sama dengan lembaga pendidikan di Indonesia pada tingkat program studi atau satuan pendidikan. (3) Penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat: a. memperoleh izin Menteri; b. mengikuti Standar Nasional Pendidikan; c. mengikuti ujian nasional bagi peserta didik pendidikan dasar dan menengah warga negara Indonesia; d. mengikuti akreditasi oleh badan akreditasi nasional; dan e. mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada pendidikan anak usia dini, dan jenjang pendidikan dasar dan menengah bekerja sama dengan satuan pendidikan di daerah yang berakreditasi A atau yang setara dari Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah atau dari Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal. (5) Kepemilikan lembaga asing dalam program atau satuan pendidikan yang diselenggarakan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (6) Program atau satuan pendidikan yang diselenggarakan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2) wajib mengikutsertakan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) pendidik dan 80% (delapan puluh persen) tenaga kependidikan warga negara Indonesia.
55
Pasal 105 (1) Program atau satuan pendidikan yang diselenggarakan bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (2) merupakan program atau satuan pendidikan unggulan daerah atau satuan pendidikan berbasis keunggulan lokal. (2) Program atau satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menerapkan sistem remunerasi yang berkeadilan bagi semua pendidik dan tenaga kependidikan. Bagian Kedua Kerja Sama Pengelolaan Pendidikan Pasal 106 (1) Satuan pendidikan anak usia dini, satuan pendidikan dasar, dan menengah di daerah dapat bekerja sama dalam bidang akademik dengan satuan pendidikan asing dalam pengelolaan pendidikan. (2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan: a. meningkatkan mutu pendidikan; b. memperluas jaringan kemitraan; dan/atau c. menyelenggarakan satuan pendidikan atau program studi unggulan daerah atau berbasis keunggulan lokal. (3) Kerjasama akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk: a. pertukaran pendidik dan/atau tenaga kependidikan; b. pertukaran peserta didik; c. pemanfaatan sumber daya; d. penyelenggaraan program kembaran; e. penyelenggaraan kegiatan ekstrakurikuler; dan/atau f. kerja sama lain yang dianggap perlu. Pasal 107 (1) Satuan pendidikan non formal dapat menjalin kerja sama akademik dan/atau non akademik dengan lembaga pendidikan negara lain. (2) Kerja sama satuan pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan/atau memperluas jaringan kemitraan untuk kepentingan satuan pendidikan nonformal.
56
(3) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh satuan pendidikan nonformal terakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal yang memilki izin pendirian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan bentuk kerja sama pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada peraturan perundang-undangan.
BAB XII HAK DAN KEWAJIBAN PESERTA DIDIK Bagian Kesatu Hak Peserta Didik Pasal 108 (1) Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: a. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama; b. mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya; c. mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya; d. mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya; e. pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara; dan f. menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan. (2) Warga negara asing dapat menjadi peserta didik pada satuan pendidikan yang diselenggarakan di Daerah. (3) Ketentuan mengenai hak peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh satuan pendidikan yang bersangkutan.
57
Bagian Kedua Kewajiban Peserta Didik Pasal 109 (1) Peserta didik berkewajiban: a. mengikuti proses pembelajaran sesuai peraturan satuan pendidikan dengan menjunjung tinggi norma dan etika akademik; b. mengikuti proses pembelajaran agama dan peningkatan keimanan, ketaqwaan sesuai dengan agama yang dianut peserta didik; c. menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang dianutnya dan menghormati pelaksanaan ibadah peserta didik yang beragama lain; d. menghormati pendidik dan tenaga kependidikan; e. memelihara kerukunan dan kedamaian untuk mewujudkan harmoni sosial; f. mencintai keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara, serta menyayangi sesama peserta didik; g. mencintai dan melestarikan lingkungan; h. ikut menjaga dan memelihara sarana dan prasarana, kebersihan, keamanan, dan ketertiban satuan pendidikan; i. ikut menjaga dan memelihara sarana dan prasarana, kebersihan, keamanan, dan ketertiban umum; j. menanggung biaya pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, kecuali yang dibebaskan dari kewajiban; k. menjaga kewibawaan dan nama baik satuan pendidikan yang bersangkutan; dan l. mematuhi semua peraturan yang berlaku. (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di bawah bimbingan dan keteladanan pendidik dan tenaga kependidikan, serta pembiasaan terhadap peserta didik. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh satuan pendidikan yang bersangkutan.
58
BAB XIII PENDIDIKAN AGAMA Pasal 110 (1) Pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antar umat beragama. (2) Pendidikan agama bertujuan untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Pasal 111 Setiap satuan pendidikan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan wajib menyelenggarakan pendidikan agama. Pasal 112 (1) Pendidikan agama pada pendidikan formal dan program pendidikan kesetaraan sekurang-kurangnya diselenggarakan dalam bentuk mata pelajaran agama. (2) Setiap satuan pendidikan menyediakan menyelenggarakan pendidikan agama.
tempat
(3) Satuan pendidikan yang tidak dapat menyediakan tempat menyelenggarakan pendidikan agama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat bekerja sama dengan satuan pendidikan yang setingkat atau penyelenggara pendidikan agama di masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan agama bagi peserta didik. (4) Setiap satuan pendidikan menyediakan tempat dan kesempatan kepada peserta didik untuk melaksanakan ibadah berdasarkan ketentuan agama yang dianut oleh peserta didik. (5) Tempat melaksanakan ibadah agama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa ruangan di dalam atau di sekitar lingkungan satuan pendidikan yang dapat digunakan peserta didik menjalankan ibadahnya.
59
Pasal 113 (1) Kurikulum pendidikan agama dilaksanakan sesuai Standar Nasional Pendidikan. (2) Pendidikan agama diajarkan sesuai perkembangan kejiwaan peserta didik.
dengan
tahap
(3) Pendidikan agama mendorong peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan agama sebagai landasan etika dan moral dalam kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (4) Pendidikan agama mewujudkan keharmonisan, kerukunan, dan rasa hormat di antara sesama pemeluk agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain. (5) Pendidikan agama membangun sikap mental peserta didik untuk bersikap dan berperilaku jujur, amanah, disiplin, bekerja keras, mandiri, percaya diri, kompetitif, kooperatif, tulus, dan bertanggung jawab. (6) Pendidikan agama menumbuhkan sikap kritis, inovatif, dan dinamis, sehingga menjadi pendorong peserta didik untuk memiliki kompetensi dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga. (7) Pendidikan agama diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, mendorong kreativitas dan kemandirian, serta menumbuhkan motivasi untuk hidup sukses. (8) Satuan pendidikan dapat menambah muatan pendidikan agama sesuai kebutuhan. (9) Muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dapat berupa tambahan materi, jam pelajaran, dan kedalaman materi. Pasal 114 (1) Pendidik pendidikan agama pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah disediakan oleh pemerintah daerah sesuai ketentuan Peraturan Perundangundangan.
60
(2) Pendidik pendidikan agama pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat disediakan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan atau dengan satuan pendidikan lainnya.
BAB XIV PENDIDIKAN KEAGAMAAN Pasal 115 (1) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. (2) Pendidikan keagamaan bertujuan untuk terbentuknya peserta didik yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia. Pasal 116 Pendidikan keagamaan diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. Pasal 117 (1) Pendidikan keagamaan menyelenggarakan pendidikan ilmuilmu yang bersumber dari ajaran agama. (2) Penyelenggaraan pendidikan ilmu yang bersumber dari ajaran agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memadukan ilmu agama dan ilmu umum/keterampilan terutama bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik pindah pada jenjang yang sama atau melanjutkan ke pendidikan umum atau yang lainnya pada jenjang berikutnya.
61
Pasal 118 (1) Peserta didik pada pendidikan keagamaan jenjang pendidikan dasar dan menengah yang terakreditasi berhak pindah ke tingkat yang setara di SD, MI, SMP, MTs, SMA, MA, SMK, atau bentuk lain yang sederajat setelah memenuhi persyaratan. (2) Hasil pendidikan keagamaan nonformal dan/atau informal dapat dihargai sederajat dengan hasil pendidikan formal keagamaan/umum/kejuruan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi yang ditunjuk oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah. (3) Peserta didik pendidikan keagamaan formal, nonformal, dan informal yang memperoleh ijazah sederajat pendidikan formal umum/kejuruan dapat melanjutkan ke jenjang berikutnya pada pendidikan keagamaan atau jenis pendidikan yang lainnya. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerimaan peserta didik baru dan perpindahan peserta didik pendidikan keagamaan pada pendidikan umum, diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 119 Pemerintah daerah dapat memberi bantuan sumber daya pendidikan kepada pendidikan keagamaan.
Pasal 120 (1) Pendidikan keagamaan program pendidikan.
dapat
berbentuk
satuan
atau
(2) Pendidikan keagamaan dapat didirikan pemerintah daerah dan/atau masyarakat sesuai peraturan perundangundangan.
62
(3) Syarat pendirian satuan pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. isi pendidikan/kurikulum; b. jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan; c. sarana dan prasarana yang memungkinkan terselenggaranya kegiatan pembelajaran; d. sumber pembiayaan untuk kelangsungan program pendidikan sekurang-kurangnya untuk 1 (satu) tahun pendidikan/akademik berikutnya; e. sistem evaluasi; dan f. manajemen dan proses pendidikan.
BAB XV PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN Bagian Kesatu Umum Pasal 121 Pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan dan program pendidikan merupakan pelaksana dan penunjang penyelenggaraan pendidikan. Bagian Kedua Jenis, Tugas, dan Tangung Jawab Pasal 122 (1) Pendidik merupakan tenaga kependidikan yang berkualifikasi guru, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilisator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. (2) Pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas dan tanggung jawab selaku: a. guru sebagai pendidik profesional mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah; b. konselor sebagai pendidik profesional memberikan pelayanan konseling kepada peserta didik di satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi; 63
c. pamong belajar sebagai pendidik profesional mendidik, membimbing, mengajar, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik, dan mengembangkan model program pembelajaran, alat pembelajaran, dan pengelolaan pembelajaran pada jalur pendidikan nonformal; d. widyaiswara sebagai pendidik profesional mendidik, mangajar, dan melatih peserta didik pada program pendidikan dan pelatihan prajabatan dan/atau dalam jabatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah; e. tutor sebagai pendidik profesional memberikan bantuan belajar kepada peserta didik dalam proses pembelajaran jarak jauh dan/atau pembelajaran tatap muka pada satuan pendidikan jalur formal dan nonformal; f. instruktur sebagai pendidik profesional memberikan pelatihan teknis kepada peserta didik pada kursus dan/atau pelatihan; g. fasilisator sebagai pendidik profesional melatih dan menilai pada lembaga pendidikan dan pelatihan; h. pamong pendidikan anak usia dini sebagai pendidik profesional mengasuh, membimbing, melatih, menilai perkembangan anak usia dini pada kelompok bermain, penitipan anak dan bentuk lain yang sejenis pada jalur pendidikan nonformal; i. guru pembimbing khusus sebagai pendidik profesional membimbing, mengajar, menilai, dan mengevaluasi peserta didik berkelainan pada satuan pendidikan umum, satuan pendidikan kejuruan, dan/atau satuan pendidikan keagamaan; dan j. nara sumber teknis sebagai pendidik profesional melatih keterampilan tertentu bagi peserta didik pada pendidikan kesetaraan. Pasal 123 (1) Guru harus memiliki kualifikasi akademik, sertifikasi dan kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (2) Kualifikasi akademik dan kompetensi guru pada satuan pendidikan formal harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Kualifikasi akademik dan kompetensi pendidik selain guru mengacu pada paraturan perundang-undangan.
64
(4) Kualifikasi akademik dan kompetensi pendidik pada jalur pendidikan nonformal diatur dengan Peraturan Bupati. Pasal 124 (1) Tenaga kependidikan selain pendidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 mencakup pengelola satuan pendidikan, penilik, pengawas, peneliti, pengembang, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, teknisi sumber belajar, tenaga administrasi, psikolog, pekerja sosial, terapis, tenaga kebersihan dan keamanan, serta tenaga dengan sebutan lain yang bekerja pada satuan pendidikan. (2) Tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas dan tanggung jawab selaku: a. pengelola satuan pendidikan mengelola satuan pendidikan pada pendidikan formal atau nonformal; b. penilik melakukan pemantauan, penilaian, dan pembinaan pada satuan pendidikan nonformal; c. pengawas melakukan pemantauan, penilaian, dan pembinaan pada satuan pendidikan formal anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah; d. peneliti melakukan penelitian di bidang pendidikan pada satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi, serta pendidikan nonformal; e. pengembang atau perekayasa melakukan pengembangan atau perekayasaan di bidang pendidikan pada satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi, serta pendidikan nonformal; f. tenaga perpustakaan melaksanakan pengelolaan perpustakaan pada satuan pendidikan; g. tenaga laboratorium membantu pendidik mengelola kegiatan praktikum di laboratorium satuan pendidikan; h. teknisi sumber belajar mempersiapkan, merawat, memperbaiki sarana dan prasarana pembelajaran pada satuan pendidikan; i. tenaga administrasi menyelenggarakan pelayanan administratif pada satuan pendidikan; j. psikolog memberikan pelayanan bantuan psikologpedagogis kepada peserta didik dan pendidik pada pendidikan khusus dan pendidikan anak usia dini; k. pekerja sosial pendidikan memberikan layanan bantuan sosiologis-pedagogis kepada peserta didik dan pendidik pada pendidikan khusus atau pendidikan layanan khusus;
65
l.
terapis memberikan pelayanan bantuan fisiologiskinesiologis kepada peserta didik pada pendidikan khusus; dan m. tenaga kebersihan dan keamanan memberikan pelayanan kebersihan lingkungan dan keamanan satuan pendidikan. Bagian Ketiga Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pasal 125 Pemerintah Daerah merencanakan kebutuhan pendidik dan tenaga kependidikan yang memenuhi SNP berdasarkan perencanaan kebutuhan yang mengacu pada peraturan perundang-undangan. Pasal 126 (1) Pengangkatan, penempatan, pemindahan, dan pemberhentian pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Pengangkatan, penempatan, pemindahan, dan pemberhentian pendidik dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam rangka perluasan dan pemerataan akses pendidikan serta peningkatan mutu, daya saing, dan relevansi pendidikan. (3) Pengangkatan, penempatan, pemindahan, dan pemberhentian pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat dilakukan oleh penyelenggara pendidikan yang didirikan masyarakat berdasarkan perjanjian kerja dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
66
Bagian Keempat Pembinaan Karier, Promosi, dan Penghargaan Paragraf 1 Pembinaan Karier Pasal 127 (1) Pemerintah Daerah wajib melakukan pembinaan karier pendidik dan tenaga kependidikan sesuai dengan pola pembinaan karier mengacu pada peraturan perundangundangan. (2) Penyelenggara pendidikan yang didirikan masyarakat wajib melakukan pembinaan karier pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakannya sesuai dengan pola pembinaan karier sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pembinaan karier pendidik dilaksanakan dalam bentuk peningkatan kualifikasi akademik dan/atau kompetensi sebagai agen pembelajaran dengan mengacu pada SNP. (4) Pembinaan karier tenaga kependidikan dilaksanakan dalam bentuk peningkatan kualifikasi akademik dan/atau kompetensi manajerial dan/atau teknis sebagai tenaga kependidikan dengan mengacu pada SNP. Paragraf 2 Promosi dan Penghargaan Pasal 128 Promosi dan penghargaan bagi pendidik dan tenaga kependidikan dilakukan berdasarkan latar belakang pendidikan, pengalaman, kemampuan, dan prestasi kerja dalam bidang pendidikan. Pasal 129 (1) Promosi bagi pendidik dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 diberikan dalam bentuk kenaikan pangkat/golongan, kenaikan jabatan, dan/atau bentuk promosi lain yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
67
(2) Promosi bagi pendidik dan tenaga kependidikan bukan Pegawai Negeri Sipil pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat dilaksanakan sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga penyelenggara pendidikan serta ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 130 (1) Penghargaan bagi pendidik dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 diberikan oleh: a. Bupati pada tingkat Kabupaten; b. Camat pada tingkat Kecamatan; dan c. Kepala satuan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan. (2) Penghargaan bagi pendidik dan tenaga kependidikan dapat diberikan oleh masyarakat dan organisasi profesi pada tingkat internasional, nasional, provinsi, kabupaten, kecamatan, dan/atau tingkat satuan pendidikan. (3) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dalam bentuk: a. tanda jasa; b. promosi; c. piagam; d. uang; dan/atau e. bentuk penghargaan lainnya. Pasal 131 Pemerintah Daerah memberikan penghargaan kepada: a. pendidik dan/atau tenaga kependidikan berdedikasi yang bertugas di daerah perbatasan dengan daerah lain, daerah yang mengalami bencana alam, bencana sosial, daerah terpencil, atau daerah yang berada dalam keadaan darurat lain. b. Pendidik dan/atau tenaga kependidikan yang tewas dalam melaksanakan tugas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
68
Bagian Kelima Larangan Pasal 132 Pendidik dan/atau tenaga kependidikan, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang: a. menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakain seragam di satuan pendidikan; b. memungut biaya dalam memberikan bimbingan belajar atau les kepada peserta didik di satuan pendidikan; c. melakukan segala sesuatu baik secara langsung maupun tidak langsung yang menciderai integritas evaluasi hasil belajar peserta didik; dan/atau d. melakukan pungutan kepada peserta didik baik secara langsung maupun tidak langsung yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XVI PENDIRIAN DAN PENGEMBANGAN SATUAN PENDIDIKAN Bagian Kesatu Satuan Pendidikan Formal Pasal 133 (1) Pendirian dan pengembangan satuan pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah atau yang sederajat, wajib memperoleh izin dari Pemerintah Daerah. (2) Izin pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat diberikan setelah memenuhi SPM sampai dengan SNP.
(1)
(3) Izin pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi satuan pendidikan berbasis keunggulan lokal diberikan setelah memenuhi SNP. (4) Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pemberian izin pendirian dan pengembangan satuan pendidikan formal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Bupati.
69
Pasal 134 (1) Syarat pendirian satuan pendidikan meliputi isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses pendidikan. (2) Syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada ketentuan dalam SNP. (3) Selain syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian satuan pendidikan harus melampirkan: a. hasil studi kelayakan tentang prospek pendirian satuan pendidikan formal dari segi tata ruang, geografis, dan ekologis; b. hasil studi kelayakan tentang prospek pendirian satuan pendidikan formal dari segi prospek pendaftar, keuangan, sosial, dan budaya; c. data mengenai perimbangan antara jumlah satuan pendidikan formal dengan penduduk usia sekolah di wilayah tersebut; d. data mengenai jarak satuan pendidikan yang diusulkan di antara gugus satuan pendidikan formal sejenis; e. data mengenai kapasitas daya tampung dan lingkup jangkauan satuan pendidikan formal sejenis yang ada; dan f. data mengenai pembiayaan untuk kelangsungan pendidikan paling sedikit untuk 1 (satu) tahun akademik berikutnya. Bagian Kedua Satuan Pendidikan Nonformal Pasal 135 (1) Pendirian dan pengembangan satuan pendidikan nonformal wajib memperoleh izin dari Pemerintah Daerah. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat pendirian dan tata cara pemberian izin satuan pendidikan dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
70
BAB XVII PERAN SERTA MASYARAKAT Bagian Kesatu Umum Pasal 136 Masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan pendidikan melalui berbagai komponen masyarakat, pendidikan berbasis masyarakat, Dewan Pendidikan, dan Dewan Sekolah. Pasal 137 (1) Masyarakat berperan serta dalam pelaksanaan wajib belajar 12 tahun. (2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa: a. menciptakan situasi yang kondusif bagi pengokohan budaya belajar khususnya untuk para pelajar; b. mendorong setiap pelajar untuk berada di sekolah pada jam sekolah. c. mematikan alat hiburan/permainan maupun sarana komunikasi yang dapat mengganggu efektivitas belajar pada pukul 18.00 hingga 20.00, kecuali pada hari libur; d. melarang anak berada di luar rumah pada malam hari; dan e. penyediaan sumber-sumber belajar masyarakat. Bagian Kedua Fungsi Pasal 138 Peran serta masyarakat dan perusahaan dalam pendidikan berfungsi memperbaiki akses, mutu, daya saing, relevansi, tata kelola, dan akuntabilitas pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan.
71
Bagian Ketiga Komponen Peran Serta Masyarakat Pasal 139 (1) Peran serta masyarakat meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan lainnya dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjadi sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan dalam bentuk: a. penyediaan sumber daya pendidikan; b. penyelenggaraan satuan pendidikan; c. penggunaan hasil pendidikan; d. pengawasan penyelenggaraan pendidikan; e. pengawasan pengelolaan pendidikan; f. pemberian pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada pemangku kepentingan pendidikan pada umumnya; dan/atau g. pemberian bantuan atau fasilitas kepada satuan pendidikan dan/atau penyelenggara satuan pendidikan dalam menjalankan fungsinya. (3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dan huruf e tidak termasuk pemeriksaan yang menjadi kewenangan otoritas pengawasan fungsional. (4) Peran serta masyarakat secara khusus dalam pendidikan dapat disalurkan melalui: a. Dewan Pendidikan; b. Dewan Sekolah; dan/atau c. organisasi representasi pemangku kepentingan satuan pendidikan. (5) Organisasi profesi dapat berperan serta dalam pendidikan melalui: a. pengendalian mutu pendidikan profesi; b. pemberian pertimbangan kurikulum program studi sarjana atau diploma empat yang lulusannya berpotensi melanjutkan pada pendidikan profesi; c. pemberian pertimbangan kurikulum program studi kejuruan atau vokasi yang relevan; d. uji kompetensi dan sertifikasi kompetensi yang dilaksanakan oleh satuan pendidikan; e. akreditasi program studi atau satuan pendidikan; dan/atau f. peran lain yang relevan dengan keprofesiannya. 72
Bagian Keempat Pendidikan Berbasis Masyarakat Pasal 140 (1) Pendidikan berbasis masyarakat dapat dilaksanakan pada satuan pendidikan formal dan/atau nonformal pada semua jenjang dan jenis pendidikan. (2) Masyarakat dapat menyelenggarakan satuan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan/atau nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat. Pasal 141 (1) Kurikulum satuan pendidikan berbasis masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 memenuhi SNP. (2) Satuan pendidikan berbasis masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 dapat mengembangkan kurikulum sesuai dengan kekhasan agama atau lingkungan sosial dan budaya masing-masing. Pasal 142 (1) Pengelolaan dan penyelenggaraan satuan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penyelenggara satuan pendidikan berbasis masyarakat dapat mengembangkan pola penyelenggaraan satuan pendidikan sesuai dengan kekhasan agama atau sosial budaya masing-masing. (3) Penyelenggara satuan pendidikan berbasis masyarakat dapat mengembangkan pola pengelolaan satuan pendidikan sesuai dengan kekhasan agama atau sosial budaya masingmasing.
73
Bagian Kelima Dewan Pendidikan Pasal 143 (1)
Dewan Pendidikan berfungsi dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan.
(2)
Dewan Pendidikan menjalankan fungsinya secara mandiri dan profesional.
(3)
Dewan Pendidikan bertugas menghimpun, menganalisis, dan memberikan rekomendasi kepada Bupati terhadap keluhan, saran, kritik, dan aspirasi masyarakat dalam bidang pendidikan.
(4)
Dewan Pendidikan melaporkan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada masyarakat melalui media cetak, elektronik, laman, pertemuan, dan/atau bentuk lain sejenis sebagai pertanggungjawaban publik.
(5)
Dewan Pendidikan beranggotakan tokoh yang berasal dari: a. pakar pendidikan; b. penyelenggara pendidikan; c. pengusaha; d. organisasi profesi; e. pendidikan berbasis kekhasan agama atau sosialbudaya; f. pendidikan unggulan daerah; g. pendidikan berbasis keunggulan lokal; dan/atau h. organisasi sosial kemasyarakatan.
(6)
Dewan Pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berpendidikan paling rendah SMA.
(7)
Rekrutmen calon anggota Dewan Pendidikan dilaksanakan melalui pengumuman di media cetak, elektronik, dan laman.
(8)
Masa jabatan keanggotaan Dewan Pendidikan adalah 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
74
(9)
Anggota Dewan Pendidikan dapat diberhentikan apabila: a. mengundurkan diri; b. meninggal dunia; c. tidak dapat melaksanakan tugas karena berhalangan tetap; atau d. dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai Dewan Pendidikan yang meninggal dunia sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf b diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Dewan Pendidikan. (11) Susunan kepengurusan Dewan Pendidikan terdiri atas ketua, sekretaris, dan anggota. (12) Anggota Dewan Pendidikan berjumlah gasal. (13) Ketua dan sekretaris atau pengurus lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dipilih dari dan oleh para anggota secara musyawarah mufakat atau melalui pemungutan suara. (14) Pendanaan Dewan Pendidikan dapat bersumber dari: a. Pemerintah; b. Pemerintah daerah; c. masyarakat; d. bantuan pihak asing yang tidak mengikat; dan/atau e. sumber lain yang sah. Pasal 144 (1) Dewan Pendidikan berkedudukan di ibukota Daerah. (2) Anggota Dewan Pendidikan berjumlah paling banyak 11 (sebelas) orang. (3) Anggota Dewan Pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Bupati atas dasar usulan dari panitia pemilihan anggota Dewan Pendidikan. (4) Tata cara dan mekanisme pemilihan anggota Dewan Pendidikan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
75
Bagian Keenam Dewan Sekolah Pasal 145 (1) Dewan Sekolah berfungsi dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan. (2) Dewan Sekolah menjalankan fungsinya secara mandiri dan profesional. (3) Dewan Sekolah memperhatikan dan menindaklanjuti terhadap keluhan, saran, kritik, dan aspirasi masyarakat terhadap satuan pendidikan. (4) Dewan Sekolah dibentuk untuk 1 (satu) satuan pendidikan atau gabungan satuan pendidikan formal pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. (5) Satuan pendidikan yang memiliki peserta didik kurang dari 200 (dua ratus) orang dapat membentuk Dewan Sekolah gabungan dengan satuan pendidikan lain yang sejenis. (6) Dewan Sekolah berkedudukan di satuan pendidikan. (7) Pendanaan Dewan Sekolah dapat bersumber dari: a. Pemerintah; b. Pemerintah daerah; c. masyarakat; d. bantuan pihak asing yang tidak mengikat; dan/atau e. sumber lain yang sah. Pasal 146 (1) Anggota Dewan Sekolah berjumlah paling banyak 15 (lima belas) orang, terdiri atas unsur: a. orang tua/wali peserta didik paling banyak 50% (lima puluh persen); b. tokoh masyarakat paling banyak 30% (tiga puluh persen); dan c. pakar pendidikan yang relevan paling banyak 30% (tiga puluh persen). (2) Masa jabatan keanggotaan Dewan Sekolah adalah 3 (tiga) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. 76
(3) Anggota Dewan Sekolah dapat diberhentikan apabila: a. mengundurkan diri; b. meninggal dunia;atau c. tidak dapat melaksanakan tugas karena berhalangan tetap; d. dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (4) Susunan kepengurusan Dewan Sekolah terdiri atas ketua, sekretaris, dan anggota. (5) Kepengurusan Dewan Sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) melalui rapat orangtua/wali peserta didik satuan pendidikan. (6) Ketua dan sekretaris Dewan Sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dipilih dari dan oleh anggota secara musyawarah mufakat atau melalui pemungutan suara. (7) Kepengurusan Dewan satuan pendidikan.
Sekolah
ditetapkan
oleh
kepala
Bagian Ketujuh Larangan Pasal 147 Dewan Pendidikan dan/atau Dewan Sekolah, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang: a. menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan; b. memungut biaya bimbingan belajar atau les dari peserta didik atau orang tua/walinya di satuan pendidikan; c. mencederai integritas evaluasi hasil belajar peserta didik secara langsung atau tidak langsung; d. mencederai integritas seleksi penerimaan peserta didik baru secara langsung atau tidak langsung; dan/atau e. melaksanakan kegiatan lain yang mencederai integritas satuan pendidikan secara langsung atau tidak langsung.
77
BAB XVIII PERAN SERTA PERUSAHAAN Pasal 148 (1) Setiap Perusahaan berperan serta dalam penyelenggaraan pendidikan. (2) Peran serta perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pemberian dana kepedulian perusahaan yang menjadi kewajibannya. (3) Besaran dana kepedulian perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang diperuntukkan bagi penyelenggaraan pendidikan diatur lebih lanjut oleh Bupati.
BAB XIX PENGAWASAN Pasal 149 (1) Pengawasan pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan dilakukan oleh Pemerintah Daerah, Dewan Pendidikan, dan Dewan Sekolah. (2) Pengawasan pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 150 (1) Pengawasan pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan mencakup pengawasan administratif dan teknis edukatif yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Pemerintah Daerah melaksanakan pengawasan terhadap pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal.
78
Pasal 151 (1) Pemerintah Daerah menindaklanjuti pengaduan masyarakat tentang penyimpangan di bidang pendidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk klarifikasi, verifikasi, atau investigasi apabila: a. pengaduan disertai dengan identitas pengadu yang jelas; dan b. pengadu memberi bukti adanya penyimpangan. Pasal 152 (1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 dapat dilakukan dalam bentuk pemeriksaan umum, pemeriksaan kinerja, pemeriksaan khusus, pemeriksaan tematik, pemeriksaan investigasi, dan/atau pemeriksaan terpadu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan kepada instansi atau lembaga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan oleh lembaga pengawasan fungsional yang memiliki kewenangan dan kompetensi pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 153 Dalam melaksanakan klarifikasi, verifikasi, atau investigasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 ayat (1) Pemerintah Daerah dapat menunjuk lembaga pemeriksaan independen. Pasal 154 (1) Dewan Pendidikan melaksanakan pengawasan terhadap pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan. (2) Hasil pengawasan kepada Bupati.
79
oleh
Dewan
Pendidikan
dilaporkan
Pasal 155 (1) Dewan Sekolah melaksanakan pengawasan terhadap pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan. (2) Hasil pengawasan oleh Dewan Sekolah dilaporkan kepada rapat orang tua/wali peserta didik yang diselenggarakan dan dihadiri kepala satuan pendidikan dan dewan guru.
BAB XX SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 156 Penyelenggaraan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat yang melalaikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3), Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (1), Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis pertama, kedua, dan ketiga dan apabila tidak diindahkan dilakukan pembekuan oleh Pemerintah Daerah. Pasal 157 Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat memberikan sanksi administratif berupa peringatan, penggabungan, penundaan atau pembatalan pemberian sumber daya pendidikan kepada satuan pendidikan, pembekuan, penutupan satuan pendidikan dan/atau program pendidikan melaksanakan pendidikan dan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 37, dan Pasal 38. Pasal 158 Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat memberikan sanksi administratif berupa peringatan, penggabungan, penundaan atau pembatalan pemberian sumber daya pendidikan kepada satuan pendidikan, pembekuan, penutupan satuan pendidikan dan/atau program pendidikan yang melaksanakan pendidikan yang tidak sesuai dengan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), Pasal 52 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 53, dan Pasal 62 ayat (8). 80
Pasal 159 Perseorangan, kelompok, atau organisasi yang menyelenggarakan pendidikan nonformal yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 81 dapat dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, penggabungan, pembekuan, dan/atau penutupan oleh pemerintah daerah. Pasal 160 (1) Satuan pendidikan yang melanggar ketentuan tentang penyelenggaraan pendidikan unggulan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) dan Pasal 98 dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis pertama, kedua dan ketiga, penundaan atau penghentian subsidi hingga pencabutan izin oleh Pemerintah Daerah. (2) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah diadakan pembinaan paling lama 3 (tiga) tahun oleh Pemerintah Daerah. Pasal 161 (1) Satuan pendidikan yang melanggar ketentuan tentang penyelenggaraan pendidikan unggulan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (2) dan Pasal 102 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis pertama, kedua dan ketiga, penundaan atau penghentian subsidi hingga pencabutan izin oleh Pemerintah Daerah. (2) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah diadakan pembinaan paling lama 3 (tiga) tahun oleh Pemerintah Daerah. Pasal 162 (1) Satuan pendidikan negara lain yang menyelenggarakan pendidikan bekerja sama dengan satuan pendidikan di Indonesia yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, pembekuan dan/atau penutupan satuan pendidikan oleh Bupati.
81
(2) Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat memberikan sanksi administratif berupa peringatan, penggabungan, penundaan atau pembatalan pemberian sumber daya pendidikan kepada satuan pendidikan, pembekuan, penutupan satuan pendidikan dan/atau program pendidikan yang melaksanakan pendidikan yang tidak sesuai dengan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (2). (3) Satuan pendidikan yang melaksanakan kerjasama pengelolaan dengan satuan pendidikan negara lain yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, pembekuan dan/atau penutupan satuan pendidikan oleh Bupati. Pasal 163 Peserta didik yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa peringatan, skorsing dan/atau dikeluarkan dari satuan pendidikan oleh satuan pendidikan. Pasal 164 (1) Satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan agama tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, dan Pasal 113 dikenakan sanksi administratif berupa peringatan sampai dengan penutupan setelah diadakan pembinaan/pembimbingan oleh pemerintah daerah. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk: a. satuan pendidikan dasar dan menengah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah dilakukan oleh Bupati setelah memperoleh pertimbangan dari Kepala Kantor Kementerian Agama Daerah; b. satuan pendidikan dasar dan menengah yang diselenggarakan oleh masyarakat dilakukan oleh Kepala Dinas setelah memperoleh pertimbangan dari Kepala Kantor Kementerian Agama Daerah.
82
Pasal 165 (1) Pendidik yang melalaikan tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (2) tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Tenaga kependidikan yang melalaikan tugas dan/atau kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (2) tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Pendidik atau tenaga kependidikan bukan pegawai negeri sipil yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (3) dikenai sanksi sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama dan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Seseorang yang mengangkat, menempatkan, memindahkan, atau memberhentikan pendidik atau tenaga kependidikan yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 tanpa alasan yang sah, dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, penundaan kenaikan gaji berkala, penundaan kenaikan pangkat, pembebasan dari jabatan, pemberhentian dengan hormat, dan/atau pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatannya. (5) Pendidik atau tenaga kependidikan pegawai negeri sipil yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 166 Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat memberikan sanksi administratif berupa peringatan, penggabungan, penundaan atau pembatalan pemberian sumber daya pendidikan kepada satuan pendidikan, pembekuan, penutupan satuan pendidikan dan/atau program pendidikan yang melaksanakan pendidikan yang tidak sesuai dengan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134.
83
Pasal 167 (1) Anggota dewan pendididkan atau Dewan Sekolah yang menjalankan tugasnya melampaui fungsi dan tugas Dewan Pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (1) dan ayat (3) dan Pasal 145 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis oleh Pemerintah Daerah. (2) Anggota Dewan Pendidikan atau Dewan Sekolah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis oleh Pemerintah Daerah.
BAB XXI KETENTUAN PIDANA Pasal 168 Tindak pidana di bidang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan oleh satuan atau program pendidikan, orang tua/wali peserta didik, Lembaga Pendidikan Asing, Tenaga kependidikan, Dewan Pendidikan, diancam dengan hukuman pidana sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
BAB XXII KETENTUAN PENUTUP Pasal 169 Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya, akan diatur lebih lanjut oleh Bupati.
84
Pasal 170 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan Pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Bangka Tengah.
Ditetapkan di Koba pada tanggal 7 Mei 2014
BUPATI BANGKA TENGAH, Cap/dto ERZALDI ROSMAN
Diundangkan di Koba pada tanggal 7 Mei 2014 SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH, Cap/dto IBNU SALEH LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH TAHUN 2014 NOMOR 189
NOMOR REGISTER PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG (4.5/2014)
85
PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN I. UMUM Bahwa sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi, serta menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. Penyelenggaraan pembangunan bidang pendidikan menjadi sebuah prioritas yang selalu diupayakan perbaikan dari tahun ke tahun, hal tersebut selain sebagai pemenuhan hak asasi setiap warga negara Indonesia, juga dimaksudkan agar penyelenggaraan pendidikan di Indonesia juga semakin baik. Tidak hanya sekedar mencerdaskan dari segi penguasaan akademis namun diimbangi dengan peningkatan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta beraklaq mulia Dari segi peran serta masyarakat dalam mendukung lancarnya proses belajar mengajar juga harus dipertegas mekanismenya, agar pemberian kontribusi bagi pembangunan sektor pendidikan tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara transparan. Memperhatikan kewenangan yang dimiliki maka Pemerintah Kabupaten Bangka Tengah berkewajiban menyelenggarakan dan mengelola bidang pendidikan sebaik mungkin, agar semuanya dapat berjalan beriringan saling mendukung dalam mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan. Disinilah letak urgennya pengelolaan dan penyelenggaraan diformalkan dalam bentuk Peraturan Daerah. Sehubungan dengan hal tersebut dengan berpedoman pada seluruh peraturan perundang-undangan perlu disusun Peraturan Daerah baru demi yang mengatur tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan di Kabupaten Bangka Tengah.
86
Dalam Peraturan Daerah ini mengatur tentang berbagai hal yang berkaitan dengan pengelolaan pendidikan, penyelenggaraan pendidikan, kerja sama lembaga pendidikan, kewajiban peserta didik, pendidik dan tenaga pendidik, pendirian satuan pendidikan, peran serta masyarakat, Dewan Pendidikan, pengawasan dan sanksi. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Huruf a Maksud dari pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa yaitu melalui penguatan nilai keagamaam dalam rangka realisasi visi RPJMD Kabupaten Bangka Tengah. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Huruf f Cukup jelas Huruf g Cukup jelas Huruf h Cukup jelas Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas
87
Pasal 7 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Bukan bagi orang tua memiliki keterbatasan Ayat 3 Cukup jelas Ayat 4 Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Alokasi anggaran belanja fungsi pendidikan di APBD meliputi belanja modal, belanja barang, belanja pegawai, belanja bantuan sosial, belanja bantuan keuangan dan belanja hibah. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Ayat (1) Penetapan target tingkat partisipasi berdasarkan target tingkat partisipasi partisipasi nasional. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas
88
pendidikan dilakukan provinsi dan tingkat
Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Cukup jelas Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Cukup jelas Pasal 30 Cukup jelas
89
Pasal 31 Cukup jelas Pasal 32 Cukup jelas Pasal 33 Cukup jelas Pasal 34 Cukup jelas Pasal 35 Cukup jelas Pasal 36 Cukup jelas Pasal 37 Cukup jelas Pasal38 Cukup jelas Pasal 39 Cukup jelas Pasal 40 Cukup jelas Pasal 41 Cukup jelas Pasal 42 Cukup jelas Pasal 43 Cukup jelas Pasal 44 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “bentuk lain yang sederajad” dalam ketentuan ini antara lain Bustanul Athfal (BA), Tarbiyatul Athfal (TA), Taman Kanak-kanak Al Qur’an (TKA), dan Taman Pendidikan Al Qur’an (TPQ).
90
Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 45 Cukup jelas Pasal 46 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Bentuk diskriminasi antara lain pembedaan atas dasar pertimbangan gender, agama, etnis, status sosial, kemampuan ekonomi, dan kondisi fisik atau mental anak. Ayat (3) Pasal 47 Cukup jelas Pasal 48 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Program pembelajaran agama dan akhlak mulia pada TK, RA atau bentuk lain yang sederajad dimaksudkan untuk peningkatan potensi spiritual peserta didik melalui contoh pengamalan dari pendidik agar menjadi kebiasaan sehari-hari, baik di dalam maupun di luar sekolah sehingga menjadi bagaian dari budaya sekolah. Huruf b Program pembelajaran sosial dan kepribadian pada TK, RA atau bentuk lain yang sederajad dimaksudkan untuk pembentukan kesadaran dan wawasan peserta didik atas hak dan kewajibannya sebagai warga masyarakat dan adalan interaksi sosial serta pemahaman terhadap diri dan peningkatan kualitas diri sebagai masunia sehingga memiliki rasa percaya diri. Huruf c Program Pendidikan cinta lingkungan hidup adalah upaya mengubah perilaku dan sikap yang dilakukan oleh peserta didik yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kesadaran peserta didik tentang nilai-nilai lingkungan dan isu permasalahan lingkungan yang pada akhirnya dapat menggerakkan keselamatan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang. 91
Huruf d Program pembelajaran orientasi dan pengenalan pengetahuan dan teknologi pada TK,RA atau bentuk lain yang sederajad dimakukan untuk mempersiapkan peserta didik secara akademik memasuki SD, MI atau bentuk lain yang sederajad dengan menekankan pada penyiapan kemampuan berkomunikasi dan berlogika melalui berbicara, mendengarkan, para membaca, para menulis dan para berhitung yang harus dilaksnakan secara hati-hati, tidak memekasa, dan menyenangkan sehingga anak menyukai belajar. Huruf e Program, pembelajaran estetika pada TK, RA atau bentuk lain yang sederajad dimaksudkan untuk meningkatkan sensivitas, kemampuan mengekspresikan diri dan kemampuan mengapresiasi keindahan dan harmoni yang terwujud dalam tingkah laku keseharian. Huruf f Program pembelajaran jasmani, olah raga dan kesehatan pada TK, RA atau bentuk lain yang sederajad dimaksudkan untuk meningkatkan potensi fisik dan menanamkan sportivitas serta kesadaran hidup sehat dan bersih. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Yang dimaksud dengan “stimulasi psikososial” dalam ketentuan ini adalah rangsangan pendidikan yang menumbuhkan kepekaan memahami dan bersikap terhadap lingkungan sosial sekitarnya. Misalnya memahami dan bersikap sopan kepada orang tua, saudara dan teman. Huruf e Cukup jelas Pasal 49 Cukup jelas Pasal 50 Ayat (1) Bentuk lain yang sederajad dengan SD dan MI antara lain Paket A, pendidikan diniyah dasar, dan sekolah dasar teologi Kristen (SDTK).
92
Ayat (2) Bentuk lain yang sederajad dengan SMP dan MTS antara lain Paket B, pendidikan diniyah menegah pertama, dan sekolah menegah pertama teologi Kristen (SMTK). Pasal 51 Cukup jelas Pasal 52 Cukup jelas Pasal 53 Cukup jelas Pasal 54 Cukup jelas Pasal 55 Cukup jelas Pasal 56 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Yang dimaksud “tes bakat skolastik (scholastic aptitude tes)” merupakan tes kemampuan umum anak. Pasal 57 Cukup jelas Pasal 58 Cukup jelas Pasal 59 Tujuan pendidikan menegah dalam ketentuan ini dimaksudkan dalam rangka mengantarkan peserta didik agar mampu hidup produkstif dan beretika dalam masyarakat majemuk, serta menjadi warga negara yang taat hukum dalam konteks kehidupan global yang senantiasa berubah.
93
Pasal 60 Ayat (1) Bentuk lain sederajad dengan SMA dan MA antara lain Paket C, pendidikan diniayah menegah atas, dan sekolah menegah teologi Kristen (AMATK). Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 61 Cukup jelas Pasal 62 Ayat (1) Penjurusan pada SMK, MAK atau bentuk lain yang sederajad akan menentukan cakupan mata pelajaran pada setiap jenis bidang studi keahlian. Bentuk bidang studi keahlian merupakan unit akademik terkecil dalam pendidikan kejuruan. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 63 Cukup jelas Pasal 64 Cukup jelas Pasal 65 Cukup jelas Pasal 66 Cukup jelas Pasal 67 Cukup jelas Pasal 68 Cukup jelas Pasal 69 Cukup jelas 94
Pasal 70 Ayat (1) Pendidikan nonformal berfungsi sebagai penanti, penambah dan pelengkap pendidikan formal bagi peserta didik yang karena berbagai hal tidak dapat mengikuti kegiatan pembelajaran pada satuan pendidikan formal atau peserta didik memilih jalur pendidikan nonformal untuk memenuhi kebutuhan belajarnya. Jenis-jenis pendidikan nonformal yang mempunyai fungsi penanti pendidikan formal adalah Program Paket A setara SD, Program Paket B setara SMP dan Program paket C setara SMA serta kursus dan pelatihan. Pendidikan non formal berfungsi sebagai penambah pada pendidikan formal apabila pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang diperoleh peserta didik pada satuan pendidikan formal dirasa belum memadai. Pendidikan nonformal berfungsi sebagai pelengkap apabila peserta didik pada satuan pendidikan formal merasa perlu untuk menambah pengetahuan, ketrampilan, dan sikap melalui jalur pendidikan non formal. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 71 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “lembaga akreditasi lain” seperti lembaga Akreditasi, Lembaga pelatihan Kerja dan Lembaga Sertifikasi Profesi. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 72 Cukup jelas Pasal 73 Cukup jelas Pasal 74 Cukup jelas
95
Pasal 75 Ayat (1) Yang dimaksud dengan :kelompok bermain” adalah salah satu bentuk satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan nonformal yang menyelenggarakan program pendidikan dalam bentuk bermain sambil belajar bagai anak usia 2 (dua) sampai 6 (enam) tahun dengan prioritas 2 (dua) sampai 4 (empat) tahun yang memperhatikan aspek kesejahteraan sosial anak. Yang dimaksud dengan “taman penitipan anak “ adalah salah satu bentuk satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan nonformal yang menyelenggarakan program pendidikan dalam bentuk bermain sambil belajar bagi anak usia 0 (nol) sampau 6 (enam) tahun yang memperhatikan aspek pengasuhan dan kesejahteraan sosial anak. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan “satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan nonformal yang sejenis” adalah salah satu bentuk satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan nonformal yang menyelenggarakan program pendidikan dalam bentuk bermain sambil belajar bagi anak usia 0 (nol) sampai 6 (enam) tahun yang dapat diselenggarakan dalam bentuk program secara mandiri atau terintegrasi dengan berbagai layanan anak usia dini dan di lembaga keagamaan yang ada di masyarakat. Pasal 76 Ayat (1) Kecakapan personal mencakupi kecakapan dalam melakukan ibadah sesuai dengan agama yang dianutnya, kecakapan dalam pengenalan terhadap kondisi dan potensi diri, kecakapan dalam melakukan koreksi diri, kecakapan dalam memilih dan menentukan jalan hidup pribadi, percaya diri, kecakapan dalam menghadapi tantangan dan problema serta kecakapan dalam mengatur diri. Kecakapan sosial mencakupi kecakapan dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, kecakapan bekerja sama dengan sesama, kecakapan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan, empati atau tenggang rasa, kepemimpinan dan tanggung jawab sosial. Kecakapan estetis mencakupi kecakapan dalam meningkatkan sensitifitas, kemampuan mengekspresikan, dan kemampuan mengapresiasi keindahan dan harmoni.
96
Kecakapan kinestetis mencakupi kecakapan dalam meningkatkan potensi fisik untuk mempertajam kesiapan, gerakan terbimbing, gerakan refleks, gerakan yang kompleks, dan gerakan improvisasi individu. Kecakapan intelektual mencakupi kecakapan terhadap penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau seni sesuai dengan bidang yang dipelajari, berpikir kritis dan kreatif, kecakapan melakukan penelitian dan percobaan-percobaan dengan pendekatan ilmiah.
Ayat Ayat Ayat Ayat
Kecakapan vokasional mencakupi kecakapan dalam memilih bidang pekerjaan, mengelola pekerjaan, mengembang profesionalitas dan produktivitas kerja dan kode etik bersaing dalam melakukan pekerjaan. (2) Cukup jelas. (3) Cukup jelas. (4) Cukup jelas. (5) Cukup jelas.
Pasal 77 Cukup jelas Pasal 78 Cukup jelas Pasal 79 Cukup jelas Pasal 80 Cukup jelas Pasal 81 Cukup jelas Pasal 82 Ayat (1) Program Paket C Kejuruan merupakan program pendidikan nonformal yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan setara SMK atau MAK Ayat (2) Cukup jelas
97
Ayat (3) Cukup Ayat (4) Cukup Ayat (5) Cukup Ayat (6) Cukup Ayat (7) Cukup Ayat (8) Cukup Ayat (9) Cukup Ayat (10) Cukup Ayat (11) Cukup Ayat (12) Cukup
jelas jelas jelas jelas jelas jelas jelas jelas jelas jelas
Pasal 83 Cukup jelas Pasal 84 Cukup jelas Pasal 85 Cukup jelas Pasal 86 Cukup jelas Pasal 87 Cukup jelas Pasal 88 Cukup jelas Pasal 89 Cukup jelas Pasal 90 Cukup jelas
98
Pasal 91 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “menjamin” adalah: a. membantu tersedianya sarana dan prasarana serta pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan oleh peserta didik berkelainan;atau b. memberi sanksi administratif kepada satuan pendidikan yang memiliki sumber daya yang tidak menerima peserta didik berkelainan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 92 Cukup jelas Pasal 93 Ayat (1) Sebutan lain yang sejenis dan sederajat untuk taman kanak-kanak luar biasa, antara lain, taman kanak-kanak khusus, atau taman kanak-kanak istimewa. Ayat (2) Huruf a Sebutan lain yang sejenis dan sederajat untuk sekolah dasar luar biasa, antara lain, sekolah dasar khusus atau sekolah dasar istimewa. Huruf b Sebutan lain yang sejenis dan sederajat untuk sekolah menengah pertama luar biasa, antara lain, sekolah menengah pertama khusus atau sekolah menengah pertama istimewa. Ayat (3) Sebutan lain yang sejenis dan sederajat untuk sekolah menengah atas luar biasa, antara lain, sekolah menengah atas khusus atau sekolah menengah atas istimewa. Sebutan lain yang sejenis dan sederajat untuk sekolah menengah kejuruan luar biasa, antara lain, sekolah menengah kejuruan khusus atau sekolah menengah kejuruan istimewa. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas.
99
Pasal 94 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan manusia untuk memahami dan melaksanakan ajaran agama. Kecerdasan intelektual merupakan kecerdasan manusia yang terutama digunakan manusia untuk berhubungan dengan mengelola alam. Kecerdasan emosional merupakan kecerdasan manusia yang terutama digunakan untuk mengelola emosi diri sendiri dan hubungan dengan orang lain dan masyarakat dengan sikap empati. Kecerdasan sosial merupakan kecerdasan manusia yang terutama digunakan untuk berhubungan dan bekerja sama dengan orang lain dan masyarakat serta hubungan antar manusia. Kecerdasan estetik merupakan kecerdasan manusia berhubungan dengan rasa keindahan, keserasian, keharmonisan.
yang dan
Kecerdasan kinestetik merupakan kecerdasan manusia yang berhubungan dengan koordinasi gerak tubuh seperti yang dilakukan penari dan atlet. Pasal 95 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Program percepatan adalah program pembelajaran yang dirancang untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik mencapai standar isi dan standar kompetensi lulusan dalam waktu yang lebih singkat dari waktu belajar yang ditetapkan. Misalnya, lama belajar 3 (tiga) tahun pada SMA dapat diselesaikan kurang dari 3 (tiga) tahun. Huruf b Program pengayaan adalah program pembelajaran yang dirancang untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik guna mencapai kompetensi lebih luas dan/atau lebih dalam dari pada standar isi dan standar kompetensi lulusan. Misalnya, cakupan dan urutan mata pelajaran tertentu diperluas atau diperdalam dengan menambahkan aspek lain seperti moral, etika, aplikasi, dan saling keterkaitan dengan materi lain yang memperluas dan/atau memperdalam bidang ilmu yang menaungi mata pelajaran tersebut.
100
Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 96 Cukup jelas. Pasal 97 Yang dimaksud dengan “negara maju “ adalah negara yang mempunyai keunggulan di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni tertentu. Pasal 98 Cukup jelas Pasal 99 Cukup jelas Pasal 100 Cukup jelas Pasal 101 Cukup jelas Pasal 102 Cukup jelas Pasal 103 Cukup jelas Pasal 104 Cukup jelas Pasal 105 Cukup jelas Pasal 106 Cukup jelas Pasal 107 Cukup jelas Pasal 108 Cukup jelas
101
Pasal 109 Cukup jelas Pasal 110 Cukup jelas Pasal 111 Cukup jelas Pasal 112 Cukup jelas Pasal 113 Cukup jelas Pasal 114 Cukup jelas Pasal 115 Cukup jelas Pasal 116 Cukup jelas Pasal 117 Cukup jelas Pasal 118 Cukup jelas Pasal 119 Cukup jelas Pasal 120 Cukup jelas Pasal 121 Cukup jelas Pasal 122 Cukup jelas Pasal 123 Cukup jelas Pasal 124 Cukup jelas
102
Pasal 125 Cukup jelas Pasal 126 Cukup jelas Pasal 127 Cukup jelas Pasal 128 Cukup jelas Pasal 129 Cukup jelas Pasal 130 Cukup jelas Pasal 131 Ayat (1) Sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya antara lain pamong pendidikan anak usia dini, guru pembimbing khusus, dan narasumber teknis. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Konselor dalam ketentuan ini termasuk guru bimbingan dan konseling. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas.
103
Pasal 132 Cukup jelas Pasal 133 Cukup jelas Pasal 134 Cukup jelas Pasal 135 Cukup jelas Pasal 136 Cukup jelas Pasal 137 Cukup jelas Pasal 138 Cukup jelas Pasal 139 Cukup jelas Pasal 140 Cukup jelas Pasal 141 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Apabila pendidik merasa bahwa peserta didik memerlukan pembelajaran tambahan, dengan kebutuhan itu dipenuhi melalui program remedial sesuai ketentuan kurikulum yang berlaku. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 142 Cukup jelas Pasal 143 Cukup jelas Pasal 144 Cukup jelas
104
Pasal 145 Cukup jelas Pasal 146 Cukup jelas Pasal 147 Cukup jelas Pasal 148 Cukup jelas Pasal 149 Cukup jelas Pasal 150 Cukup jelas Pasal 151 Ayat (1) Masyarakat yang berperan serta, antara lain, orang tua atau wali peserta didik, keluarga peserta didik, komunitas di sekitar satuan pendidikan, organisasi profesi pendidik, organisasi orang tua atau wali peserta didik, organ representasi pemangku kepentingan satuan pendidikan seperti dewan sekolah/komite madrasah dan majelis wali amanah perguruan tinggi, dewan pendidikan, organisasi profesi lain, lembaga usaha, organisasi pemasyarakatan, serta orang, lembaga, atau organisasi lain yang relevan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 152 Cukup jelas. Pasal 153 Ayat (1) Cukup jelas.
105
Ayat (2) Satu satuan pendidikan dapat memiliki kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya sekaligus. Kekhasan agama satuan pendidikan dapat berupa pendidikan umum yang diselenggarakan oleh kelompok agama tertentu; pendidikan umum yang menyelenggarakan pendidikan umum dan ilmu agama seperti MI, MTs, dan MA; atau pendidikan keagamaan seperti pendidikan diniyah, pesantren, dan bentuk lain yang sejenis. Pendidikan dengan kekhasan lingkungan sosial dan budaya merupakan muatan pendidikan dan/atau pendekatan pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi sosial dan budaya setempat. Pasal 154 Cukup jelas Pasal 155 Cukup jelas Pasal 156 Cukup jelas Pasal 157 Cukup jelas Pasal 158 Ayat (1) Komposisi keanggotaan dewan sekolah/komite madrasah, misalnya, perwakilan orang tua/wali peserta didik, hanya memenuhi 40% (empat puluh persen), sehingga unsur perwakilan tokoh masyarakat berjumlah 30% (tiga puluh persen) dan pakar pendidikan berjumlah 30% (tiga puluh persen). Apabila perwakilan orang tua/wali peserta didik sudah memenuhi 50% (lima puluh persen), unsur perwakilan tokoh masyarakat dapat berjumlah 25% (dua puluh lima persen) dan pakar pendidikan berjumlah 25% (dua puluh lima persen), atau tokoh masyarakat berjumlah 30% (tiga puluh persen) dan pakar pendidikan berjumlah 20% (dua puluh persen), atau tokoh masyarakat berjumlah 20% (dua puluh persen) dan pakar pendidikan berjumlah 30% (tiga puluh persen).
106
Ayat (2) Cukup Ayat (3) Cukup Ayat (4) Cukup Ayat (5) Cukup Ayat (6) Cukup Ayat (7) Cukup
jelas. jelas. jelas. jelas. jelas. jelas.
Pasal 159 Cukup jelas Pasal 160 Cukup jelas Pasal 161 Cukup jelas Pasal 162 Cukup jelas Pasal 163 Cukup jelas Pasal 164 Cukup jelas Pasal 165 Cukup jelas Pasal 166 Cukup jelas Pasal 167 Cukup jelas Pasal 168 Cukup jelas
107
Pasal 170 Cukup jelas Pasal 171 Cukup jelas Pasal 172 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH TAHUN 2014 NOMOR 1
108