i
BUKU AJAR KEHUTANAN MASYARAKAT: DARI TRADISI, DISKURSUS HINGGA PRAKTEK
Muhammad Alif K. Sahide Universitas Hasanuddin
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Kuasa. Salam dan shalawat kepada utusanNya dan seluruh guru kehidupan bagi alam semesta. Dengan berkah dan kasih sayang-Nya, naskah buku ini telah terselesaikan tepat waktu mengingat tugas utama bagi seorang dosen adalah mengoptimalkan fungsi dan perannya sebagai tenaga pendidik dan salah satunya adalah menyediakan buku ajar sesuai dengan bidang ilmu penulis yakni
kehutanan
masyarakat. Walaupun pengguna buku ini dikhususkan kepada kalangan mahasiswa, namun tidak menutup kemungkinan buku ini sangat bermanfaat buat para penggiat kehutanan masyarakat seperti pendamping masyarakat, penyuluh kehutanan, LSM lokal, Dinas yang mengurusi bidang kehutanan. Penulis mendapatkan momentum yang tepat untuk menuliskan berbagai pengalaman riset yang selama ini dilakukan, serta merangkum hasil riset dan pengabdian masyarakat rekan sejawat lainnya dan mengemasnya dalam paket buku bahan ajar ini Buku ini ditulis berdasarkan beberapa pengalaman penulis dalam penelitian dan pengabdian masyarakat di bidang kehutanan masyarakat. Beberapa hasil penelitian dan dokumen laporan pengabidam masyarakat tersebut penting untuk dikemas sebagai hasil pembelajaran dalam paket buku ajar kehutanan masyarakat di Pendidikan Tinggi Kehutanan di Indonesia. Kasus-kasus kehutanan masyarakat di buku ini banyak berlokasi di Provinsi Sulawesi Selatan serta beberapa hasil penelitian rekan sejawat dan penggiat kehutanan masyarakat (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan aktifitas penulis sebagai fasilitator wilayah Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) Wilayah Sulawesi Selatan, serta menjadi anggota Dewan Pembina pada Tim Layanan Kehutanan Masyarakat (TLKM) Universitas Hasanuddin Struktur buku ini dimulai dengan prolog terkait kebutuhan program studi Kehutanan Universitas Hasanuddin. Bahasan pertama dimulai dari situasi atau realitas carut marut persoalan kehutanan nasional dan lokal kemudian di konstruksi menjadi teori yang sifatnya filosofis. Dari teori-teori tersebut bahasan selanjutnya kemnbali ke alam realitas dengan pertanyaan yang perlu dijawab “apakah teori-teori pengelolaan hutan tersebut dapat diimplementasikan di masyarakat?”. Bahasan dvolusi, teori kelembagaan dan konsep tenurial didalam kehutanan masyarakat diulas untuk melengkapi abstraksi teori yang mendasari KM tadi. Buku ini dilengkapi dengan ragam ilustrasi, seperti kotak ilustrasi, ilustrasi kartun, gambar, flow chart, serta tabel. Contoh-contoh kasus berasal dari hasil penelitian penulis serta kutipan dari hasil penelitian penulis lainnya yang relevan. Demikian struktur bahan ajar
iii
ini dibuat dan terbuka akan kritikan dan masukan untuk perbaikan proses pembelajaran mata kuliah ini di masa yang akan datang. Gaya penulisan buku ini juga beragam, terkadang dialogis, juga terkadang sangat normative dalam menampilkan fakta-fakta hasil penelitian. Ragam gaya penulisan ini sengaja dilakukan untuk memenuhi ragam penerimaan dari pembaca, terutama dikalangan mahasiswa. Pesan khusus penulis kepada pengguna utama buku ini (terutama mahasiswa kehutanan strata 1) bahwa penulis telah berusaha menyajikan metodologi dan pendekatan yang partisipatif dengan berbasis pada pendekatan orang dewasa, sehingga buku ini diharapkan bersesuaian dengan ruh mata kuliah kehutanan masyarakat itu sendiri yang berbasis pada masyarakat dengan salah satu prinsip dasar adalah partisipasi. Modul dan bahan ajar ini hanyalah salah satu pelengkap dari proses pembelajaran mata kuliah kehutanan masyarakat di Jurusan Kehutanan Universitas Hassanuddin khususnya pada minat kebijakan kehutanan atau sosial ekonomi kehutanan. Penulis tentu mengharapkan interaksi pembaca agar melengkapinya Pesan khusus penulis kepada segmen pembaca pengggiat KM (selain mahasiswa), bahwa buku ini perlu diterjemahkan atau dikontekstualisasi didalam kerja-kerja pemberdayaan petani hutan, dan tidak semua kasus dalam buku ini mewakili kompleksitas persoalan hutan dan kehutanan di Indonesia. Contoh kasus banyak diambil di provinsi Sulawesi Selatan dan sekitarnya serta referensi buku ini masih terbatas, sehingga penulis terbuka akan pengayaan dan bahkan diskusi dengan penulis sangat dibutuhkan Penulis menghaturkan ucapan terima kasih kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) karena telah aktif mendorong dosen dalam menulis bahan ajar sebagai salah satu kewajiban dalam menjalankan fungsinya pada Tri dharma Perguruan Tinggi. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Rektor Universitas Hasanuddin dan Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin atas motivasinya. Ucapan yang sama diucapkan kepada Kepala Laboratorium Kebijakan dan Kewirausahaan Kehutanan Universitas Hasanuddin atas diskusi dan perannya dalam mendorong penyelesaian buku ajar ini. Akhirnya ucapan terima kasih, penulis ucapkan kepada seluruh penggiat kehutanan masyarakat baik dari pemerintah, pemerintah daerah, LSM, kepala desa, kepala dusun, masyarakat kampung yang selama ini memberikan bantuan, motivasi dan saransarannya. Penulis mengucapkan ucapan terima kasih secara khusus kepada keluarga, Ibunda tercinta atas cintanya yang tulus, Istri tersayang atas kesabaran, dan kedua putraku atas hiburan dan pelajaran otentiknya, dan semua pihak yang tak dapat saya tuliskan semua di lembar yang terbatas ini.
iv
Sekali lagi, penulis menyadari akan banyaknya kesalahan dan kekurangan buku ini. Sehingga penulis terbuka terhadap kritikan, saran dan masukan untuk memperbaiki buku ini. Penulis mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya jika pembaca berkenan menyampaikan saran dan kritikan tersebut, sehingga buku ini dapat dioptimalkan fungsinya. Pembaca dapat melakukan interaksi dengan menghubungi penerbit dan atau email penulis di
[email protected]. Terima kasih
.
Penulis
v
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ ii DAFTAR ISI........................................................................................................................................... v DAFTAR TABEL.................................................................................................................................. ix DAFTAR GAMBAR .............................................................................................................................. x DAFTAR ILUSTRASI .......................................................................................................................... xi P R O L O G.......................................................................................................................................... xii I.
Gambaran umum profil lulusan program studi kehutanan Universitas Hasanuddin ............... xii
II.
Kompetensi Lulusan Program Studi Kehutanan Universitas Hasanuddin ............................ xiii
III.
Analisis Kebutuhan Pembelajaran ...........................................................................................xiv
IV. GBRP Kuliah Kehutanan Masyarakat ..................................................................................... xv BAB I. REALITAS PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA ...................................................... 1 PENDAHULUAN .............................................................................................................................. 1 I.
Tujuan Instruksional ............................................................................................................... 1
II.
Proses pembelajaran................................................................................................................ 1
BAHAN PEMBELAJARAN .............................................................................................................. 3 I.
Analisis Situasi Pengelolaan Hutan : Tinjauan sekilas............................................................ 3
II.
Kemisikian Masyarakat di Dalam dan Sekitar Hutan ............................................................. 7
III. Kesalahan Berpikir : Antara Krisis Paradigma, Hambatan Psikologis dan Struktural, Serta Mitos............................................................................................................................ 19 IV. Benang Kusut Konflik : Dari Kebijakan Hingga Implementasi ........................................... 25 PENUTUP ........................................................................................................................................ 29 I.
Penugasan ............................................................................................................................. 29
II.
Strategi merespon penugasan ................................................................................................ 29
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................................... 29 BAB II. FILOSOFI, KONSEPSI DAN VARIAN KEHUTANAN MASYARAKAT ........................ 31 PENDAHULUAN ............................................................................................................................ 31 BAHAN PEMBELAJARAN ............................................................................................................ 32 I.
Sejarah konsepsi KM ............................................................................................................ 32
II.
Kehutanan Masyarakat : Proyek, Metode atau Paradigma ................................................... 35
III. Prinsip-prinsip kehutanan masyarakat dan ideologi Pancasila ............................................. 37 IV. Mengisi Kesenjangan Kebijakan .......................................................................................... 41 V.
Ragam Konsepsi KM : Berbagi Tautan Konsepsi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat .............................................................................................................................................. 43
vi PENUTUP ........................................................................................................................................ 62 I.
Penugasan ............................................................................................................................. 62
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................................... 62 BAB IV. KONSEP DEVOLUSI, TENURIAL DAN KELEMBAGAAN KEHUTANAN MASYARAKAT .................................................................................................................................. 65 PENDAHULUAN ............................................................................................................................ 65 I.
Tujuan Instruksional ............................................................................................................. 65
II.
Proses pembelajaran.............................................................................................................. 65
BAHAN PEMBELAJARAN ............................................................................................................ 66 I.
Konsep Devolusi Pengelolaan Hutan .................................................................................... 66
II.
Konsep Tenurial .................................................................................................................... 75
III. Kelembagaan......................................................................................................................... 81 PENUTUP ........................................................................................................................................ 88 Penugasan ..................................................................................................................................... 88 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................................... 88 BAB V. KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN DAN KEHUTANAN MASYARAKAT ............. 91 PENDAHULUAN ............................................................................................................................ 91 I.
Tujuan Instruksional ............................................................................................................. 91
II.
Proses pembelajaran.............................................................................................................. 91
BAHAN PEMBELAJARAN ............................................................................................................ 92 I.
Penugasan ........................................................................................................................... 107
II.
Strategi merespon penugasan .............................................................................................. 107
BAB V. ANALISIS USAHA KEHUTANAN MASYARAKAT ...................................................... 109 PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 109 I.
Tujuan Instruksional ........................................................................................................... 109
II.
Proses pembelajaran............................................................................................................ 109
BAHAN PEMBELAJARAN .......................................................................................................... 110 I.
Pendahuluan ........................................................................................................................ 110
II.
Analisis Kebijakan yang Terkait Pengembangan Kehutanan Masyarakat.......................... 112
III. Analisis potensi lahan usaha Kehutanan Masyarakat ......................................................... 114 IV. Analisis Faktor Pendukung Lain Berkembangnya Kehutanan Masyarakat ........................ 118 V.
Analisis Potensi Kelembagaan Masyarakat ........................................................................ 121
VI. Saluran Pemasaran .............................................................................................................. 122 VII. Konsep Pengembangan Usaha Kehutanan Masyarakat ...................................................... 123
vii VIII. Pengembangan Jejaring dan Kemitraan Bisnis ................................................................... 128 PENUTUP ...................................................................................................................................... 130 I.
Penugasan ........................................................................................................................... 130
II.
Strategi merespon penugasan .............................................................................................. 130
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................... 131 BAB VI. MANAJEMEN KONFLIK PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN ....................... 132 PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 132 I.
Tujuan Instruksional ........................................................................................................... 132
II.
Proses pembelajaran............................................................................................................ 132
BAHAN PEMBELAJARAN .......................................................................................................... 133 I.
Konflik (Pengantar) ........................................................................................................... 133
II.
Kenapa Konflik terjadi ? ..................................................................................................... 135
III. Pilihan-pilihan dasar dalam Manajemen Konflik ............................................................... 138 IV. Siapa aktor-aktor kunci ? ................................................................................................... 139 V.
Eskalasi-deskalasi konflik : Analisis Trend ....................................................................... 139
VI. Transformasi Konflik dan KM ............................................................................................ 140 VII. Beberapa Kasus Konflik ..................................................................................................... 141 PENUTUP ...................................................................................................................................... 151 I.
Penugasan ........................................................................................................................... 151
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................... 152 BAB VII. PRAKTEK-PRAKTEK KEHUTANAN MASYARAKAT.............................................. 154 PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 154 I.
Tujuan Instruksional ........................................................................................................... 154
II.
Proses pembelajaran............................................................................................................ 154
BAHAN PEMBELAJARAN .......................................................................................................... 154 1.
Kondisi Hutan desa bantaeng ...................................................................................................... 158 PENUTUP ...................................................................................................................................... 168 Penugasan ................................................................................................................................... 168 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................... 168
BAB VIII. INTERVENSI SOSIAL DALAM PRAKTEK DAN DISAIN PROGRAM KEHUTANAN MASYARAKAT ................................................................................................................................ 170 PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 170 I.
Tujuan Instruksional ........................................................................................................... 170
II.
Proses Pembelajaran ........................................................................................................... 170
viii BAHAN PEMBELAJARAN .......................................................................................................... 171 I.
Intervensi Sosial .................................................................................................................. 171
II.
Riset Aksi Partisipatif ......................................................................................................... 172
III. Fasilitasi dan Partisipatif ..................................................................................................... 173 IV. Alat-Alat Analisis ............................................................................................................... 182 PENUTUP ...................................................................................................................................... 198 Penugasan ................................................................................................................................... 198 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................... 199 GLOSARIUM ..................................................................................................................................... 201 INDEKS .............................................................................................................................................. 202
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Tingkat Ketergantungan Masyarakat Desa Kasintuwu terhadap Kawasan Hutan ....... 8 Tabel 2. Faktor Pembeda Kelompok Petani Subsisten, Komersil dan Kapitalis di Sub DAS Minraleng Hulu (Sumber: Dassir (2007)) ....................................................................... 12 Tabel 3. Tingkat Ketergantungan Masyarakat terhadap Lahan di Dalam Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung ................................................................................................ 16 Tabel 4. Deskripsi Pendapatan Masyarakat Desa Labuaja .......................................................... 16 Tabel 5. Ragam Peristilahan KM .................................................................................................... 33 Tabel 6. Varian Kehutanan Masyarakat ......................................................................................... 54 Tabel 7. Implikasi dari Masing-Masing Opsi Bentuk Desentralisasi dan Devolusi (Sumber: Ekawati, dkk (2010)) ......................................................................................................... 71 Tabel 8. Tahapan Fasilitasi dalam Devolusi Pembangunan HTR di Sulawesi Selatan ........... 73 Tabel 9. Hak dan Kewajiban Pelaku Kelembagaan Penguasaan Lahan Teseng .................... 77 Tabel 10. Hak dan Kewajiban Sistem Tenurial Sanra.................................................................. 78 Tabel 11. Deskripsi Kelembagaan Adat Negeri Liang .................................................................. 87 Tabel 12. Desa-Desa pada Wilayah BKPH Lantebong Kabupaten bantaeng ........................... 99 Tabel 13. Wilayah BKPH Biyangloe Kabupaten Bantaeng ......................................................... 99 Tabel 14. Hubungan kelembagaan antara Dinas Kehutanan dan Perkebunan ........................ 104 Tabel 15. Road Map Pembangunan KPH Kabupaten Bantaeng ................................................ 105 Tabel 16. Pengelolaan Unit Usaha Kehutanan pada Setiap Wilayah KPH .............................. 106 Tabel 17. Rangkuman Panduan Analisis dan Pengembangan Pasar (APP) ............................. 111 Tabel 18. Matriks Peluang Usaha Pemanfaatan Hutan untuk Pemberdayaan Masyarakat Lokal ................................................................................................................................ 113 Tabel 19. Kondisi Penutupan Hutan Produksi Sulawesi Selatan .............................................. 115 Tabel 20. Luas Indikatif Kawasan Hutan Produksi Sasaran Rehabilitasi ............................ 117 Tabel 21. Transek Sejarah Pemanfaatan Hutan Lindung Kontu Kontu ................................... 148 Tabel 22. Bentuk Larangan Negeri Liang ..................................................................................... 164 Tabel 23. Tingkat Konsumsi Kayu Bakar Rumah Tangga per Kapita di Kecamatan Pujananting (Sumber: Bachtiar, 2010) .................................................................. 166 Tabel 24. Jenis-jenis Kayu yang Dipakai sebagai Bahan Bakar Kayu Bakar dalam Rumah Tangga di Kecamatan Pujananting Kabupaten Barru ........................................... 167 Tabel 25. Sumber Asal Kayu Bakar Rumah Tangga di Kecamatan Pujananting Kabupaten Barru (Sumber: Bachtiar, 2010) ................................................................................... 168 Tabel 26. Perbedaan antara RRA dan PRA (dari ragam sumber).............................................. 179 Tabel 27. Hasil Analisis 3 R dalam Pembangunan HTR di Sulawesi Selatan ........................ 190 Tabel 28. Contoh Tabel SWOT Peningkatan Usaha Masyarakat Sekitar Hutan Produksi ... 197
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 5. Gambar 4. Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8.
Analisis Situasi Pengurusan dan Pengelolaan Hutan .............................................. 3 Kehidupan masyarakat, tampak menujukkan hasil buruan babi hutan ................... 9 Persentase Tingkat Kebutuhan Masyarakat (Sumber: Hasanudin, 2011) ............. 10 Warga Miskin Yg Belum Tersentuh Dgn Bantuan Sosial ................................... 13 Potensi Hasil Hutan Gula Merah di salah satu Desa di Kabupaten Maros .......... 15 Ilustrasi Konflik Tenurial Sektor Kehutanan ........................................................ 25 Sketsa Aliran Hidrologi dua DAS Mikro di Kabupaten Bantaeng ....................... 45 Contoh lahan dengan pola agroforestry, Hutan Kemiri yang Dikelola Secara Tumpangsari (Foto: Supratman) .......................................................................... 48 Gambar 9. Empat Tahapan Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan (Sumber: RUPES) .. 53 Gambar 11. Sampul Buku Peraturan Daerah Kabupaten Maros No. 05 Tahun 2009 Tentang Kehutanan Masyarakat ......................................................................................... 69 Gambar 12. Ragam Faktor Terhadap Pilihan Skema KM ....................................................... 70 Gambar 13. Tahap Devolusi Pembangunan Kehutanan Masyarakat ..................................... 72 Gambar 14. Potensi Hutan Jati Rakyat di Pegunungan Desa Batu Putih .............................. 84 Gambar 15. Struktur Kelembagaan Adat Negeri Liang (Sumber: Muarapey, 2010) ............. 86 Gambar 16. Pewilayahan Lembaga KPH Lindung (Sumber : Ekawati, dkk, (2011)) ........... 94 Gambar 17. Struktur Organisasi KPH lantebong Kabupaten Bantaeng ................................ 100 Gambar 18. Skema Saluran Pemasaran Kayu Jati (Sumber: Alam, 2009) ............................ 122 Gambar 19. Skema Saluran Pemasaran Produk kayu Pertukangan )..................................... 123 Gambar 20.Praktek Penggalian Informasi dan Mediasi di Level Komunitas Praktek/kunjungan lapangan membantu mereka mengaktualisasikan kemampuan memediasi kepentingan masyarakat dan kepentingan stakeholder .................... 136 Gambar 21. Bawang Konflik (Sumber : Engel dan Korf (2005))........................................ 137 Gambar 22. kategorisasi/segitiga konflik (Sumber : Engel dan Korf (2005)) ..................... 138 Gambar 23. Contoh kondisi psikologis dan situasi masyarakat dalam eskalasi konflik (dari konflik laten, konfllik di permukaan, dan konflik terbuka) ............................... 139 Gambar 24. Hutan Kemiri Rakyat di Salah satu sudut Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung di Kecamantan Mallawa Kabupaten Maros (Foto : Supratman) ... 142 Gambar 25. Grafik Eskalasi Konflik Pengelolaan Hutan Kontu ........................................... 147 Gambar 26. Kondisi Hutan Pinus di Sulawesi Selatan .......................................................... 161 Gambar 27. Bangunan Fasilitasi Pembangunan Hutan Desa, Hasil Pembelajaran di Kabupaten Bantaeng. (Sumber : Sahide, 2011) ................................................ 174 Gambar 28. Suasana Pelatihan Partisipatif difasiltasi oleh RECOFTC kerjasama Fakultas Kehutanan UNHAS ............................................................................................ 177 Gambar 29. Foto Ilustrasi Robert Chambers ......................................................................... 178 Gambar 31. Tangga Partisipasi Arnstein (1969).................................................................... 180 Gambar 32. Analisis Masalah Pembangunan HTR di Sulawesi Selatan ............................. 185 Gambar 33. Contoh Bagan Hubungan Kelembagaan/Diagram Venn ................................... 188
xi
DAFTAR ILUSTRASI
Kotak 1. Masalah Sistemik ....................................................................................................... 8 Kotak 2. Kesalahan Berpikir dan Perubahan Sosial ................................................................ 19 Kotak 3. Prinsip Kepelbagaian dalam KM .............................................................................. 38 Kotak 4. Ragam Tautan Konsepsi dalam KM ......................................................................... 43 Kotak 5. Indikator Lokal dalam Perubahan Iklim ................................................................... 49 Kotak 6. Persoalan Kelembagaan KM ..................................................................................... 82 Kotak 7. Ilustrasi Struktur KPH ............................................................................................... 92 Kotak 8. Perlunya Insentif buat Pengelola KM ..................................................................... 119
xii
PROLOG
I. Gambaran umum profil lulusan program studi kehutanan Universitas Hasanuddin Perkembangan Ilmu Pengetahuan di bidang kehutanan dalam membangun peradaban kehidupan manusia menuntut dunia pendidikan untuk berbenah. Persoalan pembangunan kehutanan yang semakin kompleks, menuntut kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia yang semakin bervariasi. Pada tahun 1966, jumlah sarjana kehutanan di Indonesia tercatat 6500 orang dan diperkirakan sampai tahun 2010 jumlah sarjana kehutanan sudah 15.000 orang. Jika dibandingkan dengan luas hutan Indonesia, ratio antara sarjana kehutanan dan luas lahan adalah 1 : 12.000 artinya setiap luasan areal hutan 12.000 ha terdapat satu sarjana kehutanan. Ini menunjukkan bahwa jumlah sarjana kehutanan yang ada saat ini masih sangat kurang bila dibandingkan dengan luas wilayah hutan yang dikelola. Untuk kondisi saat ini, pengelolaan hutan berbasis masyarakat seperti skema-skema program yang ditawarkan pemerintah antara lain Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Adat (HA) dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) membutuhkan ratio antara sarjana kehutanan dan luas hutan yang diusahakan sekitar 1 : 5.500, pengelolaan Kawasan taman nasional membutuhkan ratio 1 : 2.500,
Sehubungan dengan ratio tersebut,
pengusahaan hutan (IPHHK) seluas 68 juta hektar membutuhkan tenaga sarjana kehutanan sebanyak 18.000 orang, pengelolaan kawasan Taman Nasional seluas 8 juta hektar membutuhkan tenaga sarjana kehutanan sebanyak 5.700 orang. Pengelolaan hutan dengan skema-skema Kehutanan Masyarakat (KM) membutuhkan tenaga sarjana kehutanan sekitar 6.8000 orang.
Secara keseluruhan, jumlah sarjana kehutanan yang dibutuhkan untuk
mengurusi secara langsung sumberdaya hutan sebanyak 24.500 orang.
Jumlah tersebut
belum termasuk kebutuhan sarjana kehutanan yang tidak secara langsung mengurusi sumberdaya hutan. Pasar penyerapan tenaga kerja kehutanan pada dasarnya dibedakan menjadi pasar primer dan pasar sekunder. Pasar primer yaitu seluruh bidang pekerjaan yang langsung mengurusi sumberdaya hutan seperti perencana, pelaksanaan, maupun pengawasan, termasuk dalam upaya pemanfaatan pembangunan hutan tanaman industri, reboisasi, pengelolaan DAS (Daerah aliran Sungai), penangkaran satwa, perlindungan hutan, penelitian dan pengembangan, dan lain-lain. Pasar sekunder yaitu seluruh bidang pekerjaan yang tidak langsung mengurusi sumberdaya hutan akan tetapi dang pekerjaan tersebut mendukung atau
xiii
dipengaruhi oleh pasar primer.
Bidang pekerjaan yang dikategorikan ke dalam pasar
sekunder adalah jasa konsultasi, industri pengolahan kayu, perbankan, pemerintah daerah, pendidikan (kursus, pelatihan, SKMA, perguruan tinggi dan departemen terkait lainnya) Penyerap tenaga sarjana kehutanan terbanyak dalam pasar sekunder adalah bidang pendidikan dan indutri pengolahan kayu.
Jumlah tenaga sarjana kehutanan yang dapat
diserap melalui pasar sekunder diperkirakan sekitar 20% dari jumlah yang diserap melalui pasar primer.
Dengan demikian jumlah sarjana kehutanan yang dibutuhkan saat ini
seharusnya sekitar 29.000 orang. Jumlah tenaga sarjana kehutanan yang dapat diserap melalui pasar sekunder diperkirakan sekitar 20% dari jumlah yang dapat diserap pasar primer. Dengan demikian jumlah sarjana kehutanan yang dibutuhkan saat ini seharusnya sekitar 29.000 orang. Jumlah tenaga sarjana kehutanan yang ada saat ini baru sekitar 9.000 orang, berarti masih kekurangan sekitar 20.000 orang.
II. Kompetensi Lulusan Program Studi Kehutanan Universitas Hasanuddin Kompetensi utama mata kuliah kehutanan masyarakat terkait dengan kompetensi yang akan dicapai oleh mahasiswa fakultas kehutanan UNHAS antara lain adalah (1) Memahami prinsip-prinsip manajemen hutan berbasis masyarakat
(2) Mampu meningkatkan
produktivitas dan nilai ekonomi sumberdaya hutan dan hasil hutan secara lestari (3) Mampu merumuskan, merancang dan melaksanakan penelitian dan pengabdian pada masyarakat dalam bidang kehutanan masyarakat, serta (4) Senantiasa peka dan peduli terhadap isu-isu dan permasalahan kehutanan dan lingkungan . Begitupun dengan kompetensi pendukung antara lain ; (1) memiliki tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan dan (2) mampu mengembangkan kapasitas masyarakat.
Kompetensi Lainnya
yang akan dicapai adalah
mampu berkomunkasi, bermitra dan bersinergi dengan masyarakat Adapun sasaran belajar
mata kuliah kehutanan masyarakat adalah kemampuan
mahasiwa menjelaskan dari multi perspetif (kebijakan, aspek teknis, politis, ekonomi, sosial, dll) tentang konsep kehutanan masyarakat serta menganalisis program pembangunan kehutanan masyarakat
xiv
III. Analisis Kebutuhan Pembelajaran Reforma/pembaharuan agraria di sektor kehutanan telah menjadi salah satu bagian pengarusuatamaan program oleh banyak pihak termasuk pemerintah. Banyaknya konflik tenurial antara masyarakat didalam maupun sekitar hutan dengan pemerintah
membuat
banyak pihak mendorong penuntasan reforma agraria secara menyeluruh di sektor kehutanan. KM dipandang sebagai salah satu program yang dapat mentransformasi konflik tenurial menuju tata kelola pembangunan yang lebih adil terhadap masyarakat dan lingkungan. Mata kuliah ini mengambarkan berbagai konsepsi dan praktek terkait kehutanan masyarakat atau pengelolaan hutan berbasis maysrakat. Konsepsi ini dilihat dari ragam sudut pandang antara lain prinsip-prinsip utama, teori-teori tenurial, kelembagaan lokal serta perspektif sosial, politik, budaya dan ekonomi lainnya. Kehutanan masyarakat akhirnya banyak mengalami evolusi dari proyek-proyek pemerintah, kemudian menjadi metodologi pengelolaan dan akhirnya menjadi prinsip pengelolaan hutan lestari. Evolusi ini juga akhirnya kebijakan pemerintah mengalami devolusi dalam kewenangan pengelolaan dari domain pemerintah pusat ke struktur yang berada dibahwahnya yakni pemerintah daerah, pemerintah desa dan mayarakat lokal. Kebijakan skema kehutanan masyarakat yang ditawarkan pemerintah juga mengalami diskursus bagik dari segi konsep, prosedur dan prakteknya. Mata kuliah kehutanan masyarakat adalah salah satu mata kuliah pilihan pada minat sosial dan kebijakan kehutanan. Mata kuliah kehutanan masyarakat hadir untuk merespon kebutuhan dunia kehutanan atas paradigma dan konsepsi pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Mata kuliah ini termasuk mata kuliah tingkat akhir dengan asumsi peserta mata kuliah/mahasiswa telah menguasai mata kuliah dasar seperti manajemen hutan, dan silvikultur. Mata kuliah ini juga dapat paralel dengan mata kuliah kebijakan kehutanan serta ekonomi kehutanan. Dengan demikian diharapkan dengan mengambil mata kuliah ini, mahasiswa dapat memberikan konstribusi dalam memperkaya konsep dan praktek pengelolaan hutan berbasis masyarakat di Indonesia
xv
IV. GBRP Kuliah Kehutanan Masyarakat Matriks GBRP Mata Kuliah Kehutanan Masyarakat Minggu
Kemampuan akhir yang diharapkan
Materi Pembelajaran
Kriteria Penilaian (Indikator)
Bobot Nilai (%)
(6)
(7)
Terbentuknya kontrak perkuliahan dan Kelompok Diskusi Kuis dan Keaktifan
-
Unit Tugas Mahasiswa
(1)
(2)
1
Menyepakati kontrak belajar dan mengerti ruang lingkup mata kuliah
(1) Kontrak Belajar
(1) Ice breaking (2) diskusi
2-4
Menjelaskan realitas dan situasi pengelolaan hutan berbasis masyarakat 1. Mampu menjelaskan Filosofi, Konsepsi dan Varian Kehutanan masyarakat 2. Memahami Prinsip-prinsip kunci dalam sistem pengelolaan hutan berbasis masyarakat
Analisis Situasi dan Sejarah perkembangan kehutanan masyarakat 1. Konsepsi kehutanan masyarakat 2. Prinsip-prinsip kunci dalam sistem pengelolaan hutan berbasis masyarakat
Discovery Learning Small Group Discussion
membentuk kelompok memilih bahan diskusi presentasikan paper dan mendiskusikan di kelas
Kerja sama Berfikir kritis Kreatif Komunikasi berargumentasi Kuis
10
6-8
1. Menjelaskan konsep devolusi pengelolaan hutan 2. Menjelaskan konsep tenurial 3. Menjelaskan konsep kelembagaan pengelolaan kehutanan masyarakat
Konsep Devolusi, Tenurial dan Kelembagaan Pengelolaan Hutan dalam Kehutanan Masyarakat
Small Group Discussion
Kerja sama Berfikir kritis Kreatif Komunikasi berargumentas i
20
9-10
1.Mahasiswa mampu
Analisis Pengelolaan usaha dalam Kehutanan Masyarakat
Case Study
membentuk kelompok memilih bahan diskusi presentasikan paper dan mendiskusikan di kelas membentuk kelompok memilih kasus menganalisis kasus mempresentaseka n hasil analisis
Menjelaskan Tata Kelola Konflik Pengelolaan Sumberdaya Hutan
Konsep dan Prinsip Tata Kelola Konflik Pengelolaan Hutan
Small Group Discussion
Kerja sama Berfikir kritis Kreatif Komunikasi berargumentasi
20
Menganalisis konflik pengelolaan hutan
Alat-Alat Konflik
Self Directed Learning
membentuk kelompok memilih bahan diskusi presentasikan paper dan mendiskusikan di kelas Memilih alat analis konflik Mengeskpolorasi cara menggunakan alat analisis konflik
4-5
menganalisis konsep kebijakan (peraturan) yang mendukung berkembangnya usaha kehutanan masyarakat 2.Mahasiswa mampu menganalisis potensi lahan usaha masyarakat dalam kawasan hutan 3.Mahasiswa mampu menganalisis faktor pendukung yang mendorong berkembangnya usaha KM (usaha masyarakat dalam kawasan hutan, sosial budidaya masyarakat dan pasar hasil hutan.
11-13
(3)
Strategi Pembelajaran (4)
Analisis
(5) -
Menerapkan alat analisis konflik
Berfikir kritis Kreatif
Komunikasi
berargumentas i
-
xvi dalam simulasi
14
Menjelaskan Prinsip Mediasi Konflik Pengelolaan Hutan
Prinsip-Prinsip Mediasi Konflik Pengelolaan Hutan
Role Play
mempelajari dan menjalankan suatu peran-peran dalam mediasi konflik
1. Menjelaskan dan menganalisis ProgramProgram kehutanan di negara lain
1. Analisis ProgramProgram kehutanan Masyarakat di negara lain (India, Pilipina dan negara lainnya) 2.Praktek-praktek kehutanan masyarakat. a) Praktek kehutanan masyarakat di hutan produksi b) Praktek kehutanan masyarakat di hutan lindung c) Praktek kehutanan masyarakat di hutan konservasi d) Praktek kehutanan masyarakat di hutan rakyat e) praktek pengelolaan hutan adat
Guided Discovery Learning
Mencari dan Merangkum Sumber Bacaan serta Jurnal
Project Based Learning
Mengerjakan tugas (berupa proyek) yang telah dirancang secara sistematis. Menunjukan kinerja dan mempertanggung jawabkan hasil kerjanya di forum
Analisis situasi dan disain program kehutanan masyarakat a) Teknik-teknik mendiaknosis permasalahan dimasyarakat (Need assesment, RRA, PRA, SWOT) b) Mendesain program kehutanan masyarakat
Contextual Learning (Kunjungan Lapangan)
Membahas konsep (teori) kaitannya dengan situasi nyata • Melakukan studi lapang/ terjun di dunia nyata untuk mempelajari kesesuaian teori.
2. Menjelaskan dan menganalisis Praktekpraktek kehutanan masyarakat.
15 - 16
1. Mahasiswa mampu mengenali alatalat/metode pengambilan data RRA dan PRA 2. Mahasiswa mampu mendisain program kehutanan masyarakat
Kerjasama Keunikan gagasan Berpikir kritis kreatif (1) Kekayaan Sumber, (2) berbasis jurnal penelitian
20
• Kreatifitas • Inisiatif •Bertanggung jawab •Berfikir komprehensif
• Analisis• Percaya diri• Berfikir kritis• Sensitif / kepekaan• Pengalaman
30
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 1 BAB I. REALITAS PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA
PENDAHULUAN I. Tujuan Instruksional
1. Mampu menjelaskan realitas situasi dan permasalahan pengelolaan hutan aktual 2. Mampu menganalis kesalahan berpikir/fallacy dalam pengelolaan hutan di Indonesia II. Proses pembelajaran Pada pembelajaran ini akan dipakai metode discovery learning dengan fokus mahasiswa diharapkan mencari temuan-temuan permasalahan mendasar dalam pengelolaan hutan dalam menjawab tantangan terhadap kemiskinan masyarakat disekitar hutan dan laju degradasi hutan yang tinggi Pada Tahap pertama; a. Dosen meminta satu persatu mahasiswa untuk mengungkapkan secara ringkas satu isuisu atau permasalahan kehutanan baik di tingkat nasional, tingkat regional maupun lokal (sesuai hasil penugasan pada pertemuan sebelumnya) b. Dosen menerangkan salah satu kasus pengelolaan hutan di tingkat lapangan yang menggambarkan situasi secara umum terkait persoalan kemiskinan, pelayanan publik kehutanan dan kerusakan hutan. c. Dosen merangkum hasil eksplorasi mahasiswa dengan memaparkan point-point penting mencari isu-isu atau permasalahan kehutanan baik di tingkat nasional, tingkat regional maupun lokal. d. Dosen mengumpulkan hasil tugas individu mahasiswa berupa klipping atau potonganpotongan berita, artikel, jurnal, dan makalah ilmiah terkait fakta pengelolaan hutan di Indonesia (sesuai hasil penugasan pada pertemuan sebelumnya)
Pada Tahap kedua; a. Dosen memfasilitasi mahasiswa untuk membuat beberapa kelompok berdasarkan issu-issu utama dalam analisis situasi persoalan kehutanan, antara lain (sebagai contoh); perambahan liar, degradasi hutan dan lahan, kekosongan pelayanan publik kehutanan (pengurusan dan pengelolaan hutan) di tingkat tapak, otonomi daerah di sektor kehutanan,
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 2 kemiskinan masyarakat didalam dan sekitar kawasan hutan, konflik antara masyarakat dan pemangku kawasan hutan, dll (kegiatan ini dapat dilakukan selama 2 menit) b. Dosen mengarahkan kelompok-kelompok mahasiswa agar mampu mencari persoalan substantif dari rangkaian masalah tersebut (mencari akar permasalahan) dengan metode pohon masalah. Sebelumnya dosen memperkenalkan metode pohon masalah dan cara menggunakannya. c. Dosen meminta kelompok mempresentasikan hasil diskusinya, setiap mahasiswa dalam kelompok diharuskan memberikan paling tidak sekali kesempatan menyajikan argumennya didepan kelas. d. Dosen mencatat proses pembelajaran antara lain keaktifan mahasiswa baik individual maupun kelompok Pada Tahap ketiga; a.
Dosen memberikan evaluasi terhadap hasil diskusi kelompok dan menghubungkannya dengan sejarah pengelolaan hutan berbasis masyarakat, akar persoalan dan proses-proses transformasi pengelolaan hutan dalam kehutanan masyarakat
b.
Dosen membagikan handout tentang filosofi, konsepsi dan varian kehutanan masyarakat untuk dibaca dirumah, dosen meminta mahasiswa agar membaca dan mencari pointpoint penting dalam proses pembelajaran
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 3 BAHAN PEMBELAJARAN
I.
Analisis Situasi Pengelolaan Hutan : Tinjauan sekilas
Kondisi Hutan
A
Kondisi Masyarakat di dalam dan sekitar Hutan
x B
C
Kondisi Penyelenggara, Pengurus dan Pengelola hutan
Gambar 1. Analisis Situasi Pengurusan dan Pengelolaan Hutan
Menganalisis situsi pengelolaan hutan memerlukan pengetahuan yang utuh tentang keadaan kekinian baik di ranah masyarakat, kondisi hutan, maupun penyelenggara, pengurus dan pengelolaa hutan. Salah satu alat yang sederhana yaitu
situational analysis yang
didaptasi dari RECOFTC (Stephen dan Triraganon, 2006) Dengan alat tadi, kita dapat melihat kesenjangan kondisi hutan aktual dengan penyelenggara, pengurus dan pengelolaa hutan. Kita juga dapat menelisik lebih dalam konsisi sosio-ekonomi-budaya masyarakat dengan kondisi hutan, serta kondisi masyarakat dan pengelola hutan. Pada akhirnya kita dapat melihat kesenjangan diantara ketiganya. Kesenjangan-kesenjagan tadi secara umum salah satunya dapat dilihat dari Awang (2011) bahwa realitas yang cukup memperihatinkan terkait pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia saat ini adalah: 1) paling sedikit ada 45 juta ha lahan kritis, akibat dari sistem pengelolaan hutan yang tidak benar; 7 2) ada fenomena penebangan liar yang terorganisir rapi di dalam kawasan hutan negara dan tidak mampu diselesaikan oleh pemerintah;
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 4 3) rendahnya rasa memiliki dari warga masyarakat terhadap hutan negara, karena manfaat nyaris kecil sekali bagi mereka; 4) para pengusaha yang selama ini mendapat keberuntungan dari model HPH / HTI sangat kapitalis dan tidak peduli dengan masyarakat; 5) banyak muncul konflik sumberdaya alam hutan antara pemerintah dan kelompok masyarakat adat; 6) otonomi daerah terhadap sistem pengelolaan SDH; 7) eksistensi sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang di inisiasi oleh masyarakat (bukan program pemerintah) ” sangat sulit ” untuk diakui oleh pemerintah, karena ada persoalan status lahan yang di klaim milik negara; dan 8) sebagian besar lahan hutan yang diklaim milik negara ternyata tidak dapat “diamankan” batasnya oleh pemerintah, dan justru menjadi “arena” konflik sosial, politik dan budaya yang mengancam keutuhan negara Dalam buku saku FKKM mengungkapkan bahwa banyak penelitian melaporkan sesungguhnya sumber daya hutan Indonesia yang memiliki tingkat keragaman hayati tinggi telah sejak lama dikelola oleh beragam sistem pengelolaan tradisional oleh rakyat. Buku Sejarah Kehutanan Indonesia yang dikeluarkan Kementerian Kehutanan (waktu itu masih bernama Departemen Kehutanan pada tahun 1987)
menyebutkan bahwa para peneliti
Belanda pada akhir abad 18 telah melaporkan tentang keberadaan hutan damar rakyat di Krui, Lampung, hutan kemenyan di Sumatra Utara dan Sumatra Selatan, hutan jati rakyat di Palembang, hutan jati rakyat di Sulawesi dan hutan tengkawang yang dikelola rakyat di Kalimantan Barat. Sistem-sistem tersebut dipengaruhi oleh situasi ekologis dan geografis serta kondisi sosial-budaya. Laporan tentang keberadaan sistem pengelolaan sumberdaya hutan oleh rakyat terus bertambah. Saat ini diketahui bahwa sistem ini telah lama tumbuh dan berkembang secara mandiri di hampir seluruh wilayah Indonesia. Para peneliti melaporkan bahwa sistem ini bukan saja menjamin kelestarian ekosistem sumberdaya hutan, namun juga berperan penting dalam mendukung sistem sosial budaya masyarakat, bahkan perekonomian tingkat lokal dan regional. Sebagai contoh, ekspor damar dari hutan damar rakyat di Krui diketahui memberikan kontribusi terhadap devisa negara. Walaupun demikian, sistem ini terus mengalami proses peminggiran (marjinalisasi) struktural akibat kebijakan pembangunan dan kebijakan kehutanan yang berbasis pada cara pandang kontrol dan dominasi negara dan cara pandang penambangan kayu. Menurut Leslie (1989) dalam Santoso (2011) model kehutanan seperti ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru, sejak berabad-abad pengelolaan hutan ditujukan untuk memenuhi
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 5 berbagai kebutuhan manusia atau seharusnya memiliki dimensi yang bersifat sosial. Adalah ironis kalau kemudian muncul pengertian baru yang bernama “kehutanan masyarakat”. Akan tetapi pada realitasnya, kehutanan masyarakat memiliki pengertian berbeda dibandingkan dengan kehutanan yang selama ini dipahami (kehutanan industri). Kehutanan masyarakat – Westoby sering menyebutnya sebagai people centre forestry –, menurut Leslie (1989), adalah pengelolaan hutan yang lebih mengutamakan kepentingan kelompok masyarakat tertentu, khususnya mereka-mereka yang memiliki posisi ekonomi dan politik lemah. Sementara itu kehutanan industri (sering juga disebut kehutanan konvensional), sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama, biasanya cenderung melakukan hal yang sebaliknya Pada tahun 1984, Pemerintah melakukan penataan kawasan hutan dengan kegiatan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Secara yuridis penataan hutan memang cukup sah dan mendapatkan pengakuan secara legal dari Kepala Desa, Camat, Bupati dan Gubernur dengan tanda tangan pada berita acara tentang kawasan hutan. Namun secara prosedural, sama sekali dalam melakukannya tidak partisipatif, masyarakat desa tidak terlibat dalam membangun tata ruang kawasan hutan secara partisipatif di seluruh tahapan. Masyarakat desa hanya dipekerjakan sebagai buruh pemasang patok pal batas kawasan hutan. Sementara itu masyarakat desa memiliki kriteria tata ruang tersendiri. Pemerintah memiliki kriteria fisik dalam menentukan tata ruang kawasan hutan, yakni curah hujan, kelerengan, jenis tanah dan ketinggian. Akhirnya, kriteria pemerintah berbenturan dengan kriteria masyarakat desa yang sangat berdampak pada pengaturan tata ruang pedesaan. Konflik tenurial mulai dirasakan mengalami eskalasi yang menaik sampai sekarang. Data dari Kementerian Kehutanan Tahun 2010 bahwa dari 31.864 jumlah desa, terdapat 16.760 desa (52,60%) berada dalam kawasan hutan antara lain dalam hutan lindung terdapat 6.243 desa, Hutan produksi 7.467 desa, Hutan Produksi terbatas 4.744 desa dan Hutan Produksi Konversi 3.848 desa dan Hutan Konservasi sebanyak 2.270 desa. Dari jumlah peduduk 21.563.447 Kepala Keluarga, terdapat 448.630 KK (2,08%) dalam kawasan hutan dan 3.956.748 KK (18,35%) di tepi kawasan hutan. Dari data diatas menunjukkan bahwa Desa sangat bersinggungan dengan kawasan hutan. Kata salah seorang masyarakat desa “yang mana sesungguhnya benar, desa yang masuk hutan atau hutan yang masuk desa ?” (Praktek hutan desa akan dibahas secara detail pada Bab Praktek-Praktek Kehutanan Masyarakat) Dalam buku saku FKKM (2010) mengungkapkan bahwa banyak penelitian melaporkan sesungguhnya sumber daya hutan Indonesia yang memiliki tingkat keragaman hayati tinggi telah sejak lama dikelola oleh beragam sistem pengelolaan tradisional oleh
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 6 rakyat. Buku Sejarah Kehutanan Indonesia yang dikeluarkan Kementerian Kehutanan (waktu itu masih bernama Departemen Kehutanan pada tahun 1987) menyebutkan bahwa para peneliti Belanda pada akhir abad 18 telah melaporkan tentang keberadaan hutan damar rakyat di Krui, Lampung, hutan kemenyan di Sumatra Utara dan Sumatra Selatan, hutan jati rakyat di Palembang, hutan jati rakyat di Sulawesi dan hutan tengkawang yang dikelola rakyat di Kalimantan Barat. Sistem-sistem tersebut dipengaruhi oleh situasi ekologis dan geografis serta kondisi sosial-budaya. Laporan tentang keberadaan sistem pengelolaan sumberdaya hutan oleh rakyat terus bertambah. Saat ini diketahui bahwa sistem ini telah lama tumbuh dan berkembang secara mandiri di hampir seluruh wilayah Indonesia. Para peneliti melaporkan bahwa sistem ini bukan saja menjamin kelestarian ekosistem sumberdaya hutan, namun juga berperan penting dalam mendukung sistem sosial budaya masyarakat, bahkan perekonomian tingkat lokal dan regional. Sebagai contoh, ekspor damar dari hutan damar rakyat di Krui diketahui memberikan kontribusi terhadap devisa negara. Walaupun demikian, sistem ini terus mengalami proses peminggiran (marjinalisasi) struktural akibat kebijakan pembangunan dan kebijakan kehutanan yang berbasis pada cara pandang kontrol dan dominasi negara dan cara pandang penambangan kayu. Menurut Leslie (1989) dalam Santoso (2011) model kehutanan seperti ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru, sejak berabad-abad pengelolaan hutan ditujukan untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia atau seharusnya memiliki dimensi yang bersifat sosial. Adalah ironis kalau kemudian muncul pengertian baru yang bernama “kehutanan masyarakat”. Akan tetapi pada realitasnya, kehutanan masyarakat memiliki pengertian berbeda dibandingkan dengan kehutanan yang selama ini dipahami (kehutanan industri). Kehutanan masyarakat – Westoby sering menyebutnya sebagai people centre forestry –, menurut Leslie (1989), adalah pengelolaan hutan yang lebih mengutamakan kepentingan kelompok masyarakat tertentu, khususnya mereka-mereka yang memiliki posisi ekonomi dan politik lemah. Sementara itu kehutanan industri (sering juga disebut kehutanan konvensional), sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama, biasanya cenderung melakukan hal yang sebaliknya Pada tahun 1984, Pemerintah melakukan penataan kawasan hutan dengan kegiatan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Secara yuridis penataan hutan memang cukup sah dan mendapatkan pengakuan secara legal dari Kepala Desa, Camat, Bupati dan Gubernur dengan tanda tangan pada berita acara tentang kawasan hutan. Namun secara prosedural, sama sekali dalam melakukannya tidak partisipatif, masyarakat desa tidak terlibat dalam membangun tata ruang kawasan hutan secara partisipatif di seluruh tahapan. Masyarakat desa hanya dipekerjakan sebagai buruh pemasang patok pal batas kawasan hutan. Sementara itu
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 7 masyarakat desa memiliki kriteria tata ruang tersendiri. Pemerintah memiliki kriteria fisik dalam menentukan tata ruang kawasan hutan, yakni curah hujan, kelerengan, jenis tanah dan ketinggian. Akhirnya, kriteria pemerintah berbenturan dengan kriteria masyarakat desa yang sangat berdampak pada pengaturan tata ruang pedesaan. Konflik tenurial mulai dirasakan mengalami eskalasi yang menaik sampai sekarang. Data dari Kementerian Kehutanan Tahun 2010 bahwa dari 31.864 jumlah desa, terdapat 16.760 desa (52,60%) berada dalam kawasan hutan antara lain dalam hutan lindung terdapat 6.243 desa, Hutan produksi 7.467 desa, Hutan Produksi terbatas 4.744 desa dan Hutan Produksi Konversi 3.848 desa dan Hutan Konservasi sebanyak 2.270 desa. Dari jumlah peduduk 21.563.447 Kepala Keluarga, terdapat 448.630 KK (2,08%) dalam kawasan hutan dan 3.956.748 KK (18,35%) di tepi kawasan hutan. Dari data diatas menunjukkan bahwa Desa sangat bersinggungan dengan kawasan hutan. Kata salah seorang masyarakat desa “yang mana sesungguhnya benar, desa yang masuk hutan atau hutan yang masuk desa ?” (Praktek hutan desa akan dibahas secara detail pada Bab Praktek-Praktek Kehutanan Masyarakat)
II. Kemisikian Masyarakat di Dalam dan Sekitar Hutan 1. Persoalan kembar: kemiskinan dan degraassi hutan Persoalan kembar pengelolaan hutan di Indonesia adalah kerusakan hutan dan kemiskinan merupakan lingkaran persoalan yang cukup sistemik, sehingga mesti juga dikelola dengan sistemik pula. Menurut Hariyadi, dkk (seperti dikutip Santoso, 2011: 44), dua persoalan ini saling mempengaruhi, hingga dalam tingkat tertentu akan membentuk semacam lingkaran setan yang tidak berujung-pangkal dan sulit dipecahkan. Karena tingkat sistemik persoalannya, kita sudah tidak bisa lagi dengan serta menentukan, mana yang menjadi penyebab maupun akibat, apakah degradasi hutan yang menyebabkan kemiskinan, ataukah sebaliknya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2003 tercatat sekitar 48,8 juta jiwa atau 22 persen dari 219,9 juta penduduk Indonesia yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, 10,2 juta jiwa di antaranya masuk dalam klasifikasi penduduk miskin. Dari data tersebut diketahui sekitar 6 juta jiwa penduduk memiliki mata pencaharian langsung dari hutan dan sekitar 3,4 juta jiwa di antaranya bekerja di sektor swasta kehutanan.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 8 Kotak 1. Masalah Sistemik Contoh kasus ketika kita berada di desa-desa hutan, kita bisa bertanya kepada petani hutan, kenapa hutan di desa anda rusak?, dengan seksama mereka jawab “karena kami mengganti pohon dengan menanam kacang, jagung dan sayuran dalam kebun dan hutan”. Kenapa menanam sayuran? dijawabnya “karena kami butuh hasil yang cepat dijual untuk pemenuhan kebutuhan”. Kenapa tidak mengusahakan tanaman kayu?, dijawabnya karena lama hasil panennya dan membutuhkan biaya perizinan yang ribet, “walaupun kayu itu di lahan kami sendiri”. Kalau begitu, kenapa tidak mencari pekerjaan yang lain saja?, dijawabnya “karena hanya ini yang kami bisa”. Kenapa tidak memiliki keterampilan yang lain?, dijawabnya “karena kami tidak punya pendidikan dan pengalaman”. Kenapa tidak punya pendidikan?, dijawabnya “karena kami tidak punya biaya untuk sekolah. Kenapa tidak punya biaya? , karena kami punya keterbatasan pekerjaan. Pertanyaan ini cukup berputar-putar. Sehingga kategori miskin pada kasus ini adalah kategori sistemik Salah satu contoh kasus dapat kita lihat pada salah satu dusun hutan di Desa Kasintuwu Luwu Timur yang berada didalam kawasan hutan lindung. Besarnya tingkat ketergantungan masyarakat Kasintuwu atas kawasan hutan dianalisis dengan membandingkan pendapatan mereka dari kawasan hutan dengan dari luar kawasan hutan, seperti disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Tingkat Ketergantungan Masyarakat Desa Kasintuwu terhadap Kawasan Hutan
Responden
Penerimaan dalam Kawasan Hutan (Rp/Tahun)
Pendapatan Diluar Kawasan Hutan (Rp/tahun)
Pendapatan Total (Rp/tahun)
Tingkat Ketergantungan Terhadap Hutan (%)
Responden 1
1.300.000
1.200.000
2.500.000
52,00
Responden 2
2.500.000
1.200.000
3.700.000
67,57
Responden 3
2.000.000
1.200.000
3.200.000
62,50
Responden 4
3.600.000
6.000.000
9.600.000
37,50
Rata-Rata
2.350.000
2.400.000
4.750.000
49,47
Data pada Tabel 1 menunjukkan pendapatan total masyarakat relatif rendah yakni rata-rata sebesar Rp. 4.750.000,-/KK/tahun atau rata-rata sebesar Rp. 950.000,-/kapita/ tahun (berdasarkan data rata-rata jumlah anggota keluarga resonden sebanyak 5 orang/KK). Angka
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 9 ini termasuk katagori miskin apabila menggunakan standar kemiskinan yakni dari FAO yaitu sebesar US $ 10/kapita/hari atau setara dengan Rp. 3.060.000,-/kapita/tahun. Pendapatan masyarakat Desa Kasintuwu bersumber dari dalam kawasan hutan ratarata sebesar Rp. 2.350.000,-/KK/tahun dan dari luar kawasan hutan rata-rata sebesar Rp. 2.400.000,-/KK/tahun. Hal ini menunjukkan tingkat ketergantungan masyarakat terhadap kawasan hutan relatif tinggi yakni rata-rata sebesar 49,47% pada kisaran antara 37,50% sampai 67,57%. Dengan demikian, menghilangkan akses masyarakat terhadap kawasan hutan tanpa menciptakan alternatif sumber mata penaharian akan berdampak kepada terjadinya peningkatan kemiskinan masyarakat. Terbatasnya lahan di luar kawasan hutan yang dapat dikelola oleh masyarakat, merupakan faktor penyebab utama tingginya ketergantungan masyarakat terhadap kawasan hutan.
Gambar 2. Kehidupan masyarakat, tampak menujukkan hasil buruan babi hutan
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 10 Hasil analisis kelayakan hidup (lifelihood analysis) diketahui besarnya pendapatan minimal rumah tangga untuk dapat hidup secara layak di Desa Kasintuwu adalah sebesar 3 (tiga) kali lipat dari pendapatan rata-rata pada sat ini. Dapat pula dikatakan bahwa, untuk dapat hidup secara layak, pendapatan rata-rata rumah tangga harus ditingkatkan menjadi ratarata sebesar Rp. 14.250.000,-/KK/tahun. Hal ini berarti bahwa masih terdapat selisih antara pendapatan total rata-rata masyarakat pada saat ini dengan kebutuhan pendapatan untuk dapat hidup layak sebesar Rp. 9.500.000,-/KK/tahun. Dapat pula dikatakan bahwa, untuk dapat hidup layak, pendapatan rata-rata masyarakat Desa Kasintuwu harus ditingkatkan 66,66% dari pendapatan rata-rata pada saat ini. Contoh lainnya adalah Desa Labuaja yang sebagian wilayahnya berada di dalam kawasan Taman Nasional bantimurung Bulusaraung. Menurut Hasanuddin, 2011 bahwa ratarata pengeluaran rumah tangga masyarakat petani Desa Labuaja pada setiap tahun untuk kebutuhan pangan sebesar Rp.10.301.538,-/tahun/KK, untuk kebutuhan dalam hal bahan bakar
sebesar
Rp.3.050.807,-/tahun/responden
dan
kebutuhan
pelengkap
sebesar
Rp.876.846,-/tahun/KK. Pengeluaran untuk bahan bakar setiap KK sedikit karena rata-rata masyarakat di Desa Labuaja menggunakan kayu bakar. Total rata-rata pengeluaran rumah tangga sebesar Rp.14.229.192,-/tahun/KK. Lebih jelasnya persentase tingkat kebutuhan masyarakat di perlihatkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Persentase Tingkat Kebutuhan Masyarakat (Sumber: Hasanudin, 2011)
Pada Gambar 3 menunjukkan bahwa dari ketiga kebutuhan pokok masyarakat, tingkat kebutuhan akan pangan paling tinggi yaitu sebesar 72,40 %, kemudian diikuti oleh kebutuhan bahan bakar sebesar 21,44 %, dan kebutuhan pelengkap hanya sebesar 6,16 % dari total kebutuhan masyarakat. Tingginya kebutuhan akan pangan di sebabkan oleh besarnya tanggungan dalam setiap keluarga. Jika dikaitkan dengan tingkat ketergantungan masyarakat terhadap kawasan TN Babul maka hal ini menunjukkan bahwa masyarakat sekitar TN Babul
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 11 sangat tergantung pada keberadaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, dimana semua aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat di dalam kawasan khususnya pemanfaatan areal semua di lakukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pangan, bahan bakar, dan kebutuhan pelengkap. Selain itu tingginya ketergantungan masyarakat terhadap TN Babul dipengaruhi oleh jenis mata pencaharian masyarakat, dimana 75,12% dari total penduduk Desa Labuaja umumnya bermata pencaharian sebagai petani sehingga semua pendapatan diperoleh dari lahan pertanian dan perkebunan, baik pertanian lahan kering, sawah tadah hujan maupun pertanian irigasi. Umumnya areal pertanian dan perkebunan masyarakat berada di dalam dan sekitar Taman Nasional Bantimurung Bulusraung. Hal senada di kemukakan oleh Sumedi dan Simon (2000), menyatakan bahwa tingginya ketergantungan masyarakat terhadap hutan karena secara fungsional hutan menjadi sumber pangan, sumber kayu untuk bangunan, sumber kayu bakar, bahkan secara sosiologis, hutan telah menjadi sumber ekspresi kebudayaan yang dominan. Di berbagai daerah dalam hubungannya yang teramat panjang dengan masyarakat hutan telah menjadi satu-satunya alternatife bagi kelangsungan hidup mereka. Hal ini kemudian di perkuat oleh pernyataan yang dikemukakan oleh Soemarwoto dkk (1992), bahwa masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar hutan, menjadikan hutan sebagai sumber kehidupan bagi mereka, sebab mampu memberikan segala aspek yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup. Dari hutan, masyarakat mendapatkan lahan untuk berusaha dan atau berladang sayur, buah-buahan, pakan ternak, obat-obatan, ikan dan juga binatang buruan sebagai sumber protein hewani yang diperoleh dari hutan. Dari hutan pula, masyarakat dapat mengambil kayu untuk bahan bangunan tempat tinggal di samping hasil hutan non kayu seperti rotan, bambu, dammar dan lain-lain yang dapat dijual sebagai sumber pemenuhan kebutuhan pokok dan tambahan penghasilannya. 2. Tujuan keuangan petani hutan: antara subsisten dan komersil Tentu tidak semua petani hutan hidup dalam kemiskinan, banyak petani yang sukses dalan berusaha disektor kehutanan khususnya hutan rakyat. Secara umum ada dua tipe masyarakat dalam sudut pandang pemenuhan kebutuhan sehari-harinya. Ketika pendapatan masyarakat itu hanya bisa maksimal memenuhi kebutuhan sehari-hari/domestiknya, maka disebut subsisten. Tetapi ketika petani itu telah mampu memenuhi kebutuhan domestiknya dan juga telah mampu memenuhi kebutuhan sekunder dan bahkan untuk bisa menabung maka dapat dikategorikan sebagai komersil
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 12 Hasil penelitian Dassir (2007) bahwa faktor pembeda kelompok petani subsisten, komersil dan kapitalis di sub DAS minraleng hulu (Kabupaten Maros). Hak ini dapat dilihat pada Tabel 2 sebagai berikut; Tabel 2. Faktor Pembeda Kelompok Petani Subsisten, Komersil dan Kapitalis di Sub DAS Minraleng Hulu (Sumber: Dassir (2007)) No
Ffaktor
Variabel imigrasi keluar desa
1
Demografi
Jumlah Anggota keluarga membantu Wanatani Luas lahan wanatani total luas lahan milik dan sakap Jumlah komoditas tanaman yang diusahakan
2
Teknologi
Jenis pupuk dan pestisida yang digunakan Jumlah pupuk yang di gunakan Jenis dan jumlah peralatan yang digunakan pada budidaya wanatani Jenis dan jumlah Mesin pengolah hasil pertanian yang dimiliki Iklim
4
Biofisik
Topografi Jumlah bulan Ketersediaan air untuk lahan Jarak lahan dengan pasar
5
Infrastruktur
Jumlah Jenis angkutan hasil wanatani Akses responden ke pedagang untuk pemasaran hasil Akses responden ke pedagang untuk penyediaan saprodi
Hasanuddin (2011) melakukan analisis tujuan keuangan yang dilakukan di Desa Labuaja. Apabila penghasilan mengalami surplus berarti tujuan keuangannya untuk menambah kekayaan. Sedangkan bila kebutuhan penghasilan mengalami defisiensi maka tujuan keuangannya untuk menutupi kebutuhan pangannya. Hasil penelitian Hasanuddin (2011) menunjukkan bahwa jumlah rata-rata pengeluaran rumah tangga di Desa Labuaja untuk kebutuhan pangan sebesar Rp. 10.301.538,/tahun/responden, sementara jumlah rata-rata pengeluaran yang sebetulnya dibutuhkan untuk kebutuhan pangan sebesar Rp.13.239.230,-/tahun/responden. Hal ini berarti bahwa untuk
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 13 memenuhi kebutuhan pangan yang sebenarnya maka setiap responden harus mencari pendapatan tambahan sebesar Rp.2.937.692,-/tahun/responden. Hasanuddin (2011) lebih lanjut mengungkapkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan yang sebenarnya maka setiap responden harus mencari pendapatan tambahan sebesar Rp.5.250.886,-/tahun/KK. Dari hasil selisih tersebut, maka tujuan keuangan responden mengelolah usaha di dalam baik dalam kawasan hutan maupun di luar adalah untuk menutupi kebutuhan pangan. Agar responden mencapai jumlah kebutuhan pangan/ harapan jumlah penghasilan yang ideal, maka responden harus meningkatkan jumlah penghasilan melalui usaha baru. Hal ini juga bersesuaian dengan hasil penelitian Rositah (2005) yang mengambil sampel penelitian di Desa Sebinuang dan Metut, Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur. Rositah (2005) menemukan bahwa kekurangan pangan paling banyak dikaitkan dengan kondisi kemiskinan oleh kedua desa. Kekurangan pangan dimaksud dalam hal ini bukan saja terpenuhinya kebutuhan makan setiap hari, tetapi juga berkaitan dengan kualitas (gizi), variasi makanan (menu) dan kontinuitas. Pakaian yang dimiliki sangat terbatas, dalam pengertian hampir tidak ada peruntukkan pakaian khusus untuk aktivitas tertentu. Kondisi rumah tempat tinggal juga dipandang tidak jauh berbeda oleh responden.
Gambar 4. Warga Miskin Yg Belum Tersentuh Dgn Bantuan Sosial (Foto : Safri Mustakim, 2012)
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 14
Lebih lanjut Rositah (2005) menemukan fakta bahwa kemiskinan masyarakat bersifat multidimensi dengan faktor penyebab yang kompleks. Kemiskinan komunitas Punan di kedua desa penelitian secara historis telah berlangsung lama dan terus berada dalam lingkaran kemiskinan meski Otonomi Daerah telah diimplementasikan. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, secara umum penyebab kemiskinan masyarakat di dua desa tersebut dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan eksternal. Faktor internal antara lain (1) Sumber daya manusia rendah, (2) Budaya masyarakat (3) Motivasi lemah, (4) Pola hidup konsumtif, dan (5)Jumlah penduduk terlalu sedikit. Rendahnya sumberdaya masyarakat lokal turut mengkondisikan kehidupan sosial ekonomi
masyarakat
setempat.
Meski
secara
historistradisional
mereka
memiliki
ketangguhan untuk bertahan hidup di tengah hutan lengkap dengan kemampuan meramu pengalaman menjadi sebuah kearifan lokal dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya hutan di lingkungannya, belum cukup menjadikan mereka kuat menghadapi berbagai intervensi pihak luar yang memanfaatkan kekayaan sumber daya alam di sekitarnya. Akibatnya, desa yang tidak memiliki lahan pertanian dan hutan lagi, seperti di lokasi Sebinuang, menjadi semakin terdesak. 3. Kemisikinan ditengah kekayaan sumberdaya lahan Hubungan sumberdaya hutan dan atau sumberdaya alam terhadap persolan pokok kemiskinan dapat kita lihat pada contoh di Desa Labuaja, Kabupaten Maros, Propinsi Sulawesi Selatan. Sebagian besar desa ini berada didalam kawasan konservasi Taman Nasional (TN) Bantimurung Bulusaraung. Supratman dan Oka (2009) melaporkan bahwa sampai saat ini belum ada dilaporkan adanya potensi sumberdaya alam mineral di wilayah Desa Labuaja. Sumberdaya alam yang paling menonjol bagi penghidupan masyarakat Desa Labuaja adalah sumberdaya lahan, dimana masyarakat melakukan kegiatan bercocok tanam. Lahan pertanian di Desa ini umumnya merupakan lahan pertanian tadah hujan, sehingga kegiatan pertanian hanya dapat dilakukan sekali setahun. Diantara kegiatan pemanfaatan lahan yang dilakukan masyarakat yang paling umum adalah sawah, dimana mereka menanam padi, jagung, serta kacang tanah sesuai dengan musim. Beberapa jenis komodits pertanian lainnya yang juga mereka kembangkan adalah sayur-sayuran, lamtoro, serta umbi-umbian. Beberapa masyarakat juga ada yang mengembangkan tanaman aren untuk diambil niranya sebagai bahan baku pembuatan gula merah. Selain bertani, terdapat pula beberapa masyarakat yang memelihara ternak sapi, namun pada umumnya ternak tersebut tidak dikandangkan,
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 15 melainkan dilepas di dalam hutan. Jenis mata pencaharian utama sebagian besar masyarakat Desa Labuaja adalah petani. Mereka memanfaatkan lahan-lahan yang ada untuk ditanami padi, jagung, kacang tanah, umbi-umbian, pisang, sayur-sayuran dan lain-lain. Mereka juga memanen pohon aren untuk diambil niranya sebagai bahan untuk membuat gula merah, mengambil tire, madu hutan, menggembala sapi dan lain-lain.Selain sebagai petani, terdapat juga beberapa orang yang memelihara ternak sapi. Sebagian kecil masyarakt memiliki mata pencaharian sebagai pegawai negeri dan pedagang.
Gambar 5. Potensi Hasil Hutan Gula Merah di salah satu Desa di Kabupaten Maros (Foto : Muhammad Gusti Zainal)
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 16
Ketergantungan masyarakat Desa Labuaja terhadap kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung direfleksikan oleh berbagai aktivitas pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan serta aktivitas pemanfataan kawasan hutan. Tingkat ketergantungan masyarakat atas lahan di dalam kawasan taman nasional relatif tinggi, yakni sebesar 75% lahan yang mereka kelola berada di dalam kawasan tamam nasional, bahkan hasil wawancara kepada 30 orang responden di ketahui bahwa lahan kebun yang mereka dikelola semuanya berada di dalam kawasan tamanan nasional. Tabel 3. Tingkat Ketergantungan Masyarakat terhadap Lahan di Dalam Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Katagori Ketergantungan Jumlah Responden Persentase (%) tidak tergantung
2
6,7
tergantung
4
13,3
24
80,0
sangat tergantung Sumber : Supratman dan Oka (2009)
Hasil wawancara juga menunjukkan bahwa sebanyak 80% responden memiliki kategori sangat tergantung terhadap kawasan taman nasional, dan hanya sebanyak 6,7% responden yang termasuk katagori tidak tergantung. . Sebanyak 50% dari total respnden dengan katagori sangat tergantung terhadap lahan taman nasional tidak memiliki lahan usaha tani dan sumber mata pencaharian dari luar areal taman nasonal. Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap kawasan taman nasional juga direfleksikan dari proporsi pendapatan masyarakat dari dalam dan dari luar kawasan taman nasional (Tabel 3). Tabel 4. . Deskripsi Pendapatan Masyarakat Desa Labuaja Deskripsi Nilai Pendapatan (Rp/tahun)
Sumber Pendapatan Menurut Status Lahan (Rp/tahun) Di dalam TN
Di luar TN
Minimum
7.680.000
0
Maksimum
32.290.000
20.490.000
Rata-rata
15.834.566
4.294.820
Pendapatan Rata-rata Total
20.129.836
Sumber : Supratman dan Oka (2009) Pendapatan rata-rata total responden sebesar Rp. 20.129.836,-/tahun pada kisaran pendapatan minimum sebesar Rp. 7.680.000,-/tahun dan pendapatan maksimum sebesar Rp.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 17 32.290.000,-/tahun. Proporsi pendapatan rata-rata total responden terdiri atas sebesar Rp. 15.834.566,-/tahun atau sebesar 78,7% berasal dari dalam kawasan taman nasional dan sebesar Rp. 4.294.820,-/tahun atau sebesar 21,3% dari luar kawasan taman nasional. Proporsi ini menunjukkan tingkat ketergantungan masyarakat yang relatif sangat tinggi terhadap kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Proporsi pendapatan tersebut belum termasuk potensi pendapatan dari pemanfaatan hasil hutan kayu gmelina yang telah ditanam oleh masyarakat di dalam kawasan taman nasonal (yaitu pada areal HKM OECF) dengan potensi nilai kayu pada saat ini sebesar Rp. 150.000,-/pohon. 4.
Kemiskinan: masalah personal? atau masalah sosial? Untuk kasus desa Kasintuwu diatas, menurut anda apa solusi yang harus diambil oleh
pemerintah?. Jawabannya mungkin beragam ada yang mengusulkan agar pemerintah menyiapkan modal, ada yang mengusulkan diberikan penyuluhan tentang intensifikasi dan ekstensifikasi lahan usahataninya, ada yang mengusulkan memberikan bantuan bibit kehutanan dan bibit buah-buahan, bahkan mungkin ada yang mengusulkan agar direlokasi saja ketempat yang memiliki pekerjaan yang lebih layak. Sering sekali seseorang jika ditanya “apakah rumah tangga miskin yang berada didalam dan sekitar hutan itu masalah sosial atau individual?”, dengan lantang dijawabnya masalah sosial, tetapi kita ditanya bentuk solusi mengatasi kemiskinan tidak lah mencerminkan bentuk solusi tersebut sebagai solusi sosial. Kira-kira menurut anda, apakah masalah desa KaasintuwuMisalnya (siapaun dia) memandang
persoalan kemiskinan sebagai masalah
individual. Umumnya pandangan seperti ini tidak secara sengaja mereka yakini. Rahmat (2009) mengungkapkan bahwa seharusnya kita harus mengidentifikasi dulu apakah kemiskinan itu masalah sosial atau masalah individual. Sebagai contoh, sering kita dapatkan pengalaman dari lapangan, ada asumsi yang beredar bahwa orang miskin di sekitar hutan itu perlu penyuluhan, perlu bantuan bibit, perlu bantuan modal sehingga program pemerintah diarahkan kesana. Sebagai contoh, program GERHAN selama ini dikatakan salah satu program yang dapat mengatasi kemiskinan karena para petani diberikan upah untuk menanam pohon baik dalam kawasan hutan maupun di areal kebun petani sendiri. Betulkah demikian? Kalau ada sepuluh orang miskin disekitar hutan mungkin itu adalah masalah individu seperti kemalasan untuk bekerja, tetapi kalau ada 10 juta orong miskin disekitar hutan, apakah itu masalah individu?. Kalau ada 3 orang yang diidentifikasi malas dan menjadi pengangguran, mungkin itu masalah pribadi, sehingga diperlukan kursus kepribadian. Tetapi
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 18 kalau satu kampung semuanya mayoritas malas, pasti ada system, kelembagaan ataupun pranata sosial yang bermasalah baik dari segi penyebabnya maupun efek yang ditimbulkannya. Pertanyaan yang penting untuk dijawab bagi seluruh pemerintah maupun lembaga lainnya yang melakukan intervensi sosial penanggulangan kemiskinan masyarakat hutan adalah, apakah program-program tersebut menyentuh akar persoalan kemiskinan didaerah itu?. Sebagai contoh sederhana, program bantuan bibit kepada petani dan atau kelompok tani hutan, nyatanya memang bermanfaat, tetapi apakah dengan serta merta mereka akan menanam dan memelihara pohon dari bibit tersebut?, banyak laporan yang mengungkapkan bahwa setelah bibit ditanam dan pemeriksaan oleh pengawas telah dilakukan, bibit itu kemudian rusak dengan berbagai alasan seperti dimakan ternak liar, kebakaran, dll. Tetapi alasan yang paling miris ketika petani dengan sengaja merusak tanaman agar mengharapkan proyek rehabilitasi tetap ada di lahan mereka. Sampai disini kembali penulis bertanya, apakah bantuan bibit itu solusi personal atau solusi sosial?. Penanda kemiskinan masyarakat sebagai persoalan kemiskinan yang sifatnya structural, bahwa baik penyebab kemiskinan maupun akibat yang ditimbulkannya sangat kompleks. Mari kita melihat tiga rekomendsi dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Rositah (2005)., bahwa (1) pemerintah Kabupaten Malinau hendaknya memformulasi kebijakan kehutanan yang dapat member konstribusi terhadap pembangunan daerah sekaligus melindungi hak-hak tanah dan sumberdaya hutan masyarakat
tradisional di sekitarnya, (2) Komite
Penanggulangan Kemiskinan (KPK) Daerah Kabupaten Malinau seharusnya mulai membangun komitmen yang kuat terhadap upaya penanggulangan kemiskinan di daerah dan merangkul stakeholders non pemerintah yang diharapkan dapat memberikan inisiatif yang kreatif, inovatif dan adoptif terhadap perumusan dan pelaksanaan program, dan (3) diperlukan sinkronisasi program penanggulangan kemiskinan masyarakat dengan kebutuhan spesifik wilayah/desa melalui proses perencanaan secara
partisipatif dan proses
pendampingan masyarakat dalam pelaksanaannya oleh pihak-pihak terkait dan memiliki komitmen terhadap upayapenanggulangan kemiskinan. Dari ketiga rekomendasi yang disuulkan semuanya membutuhkan keterlibatan dengan ragam pihak dan ragam sektor atau bidang, hal inilah yang menjadikan issu kemiskinan sangat penting menjadi perhatian dalam pengelolaan hutan di Indonesia
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 19 III. Kesalahan Berpikir : Antara Krisis Paradigma, Hambatan Psikologis dan Struktural, Serta Mitos Kesalahan berpikir dalam ilmu mantik atau ilmu logika sangat penting untuk dikenali. Kesalahan berpikir ini disebut sebagai fallacy. Banyak kategori fallacy ini seperti overgeneralisasi, berpikir berputar-putar, dll. Dalam dunia Kehutanan Masyarakat. Dalam teori perubahan sosial dikemukanan bahwa mustahil aka nada perubahan sosial sebelum kesalahan berpikir yang diidap oleh masyarakat tidak diretas. Kotak 2. Kesalahan Berpikir dan Perubahan Sosial Rakhmat (2009) mengungkapkan bahwa mustahil akan ada perubahan sosial sebelum kesalahan berpikir diretas. Rakhmat lebih lanjut mengemukakan bahwa diperlukan upaya pelurusan kesalahan berpikir dalam melakukan perubahan sosial? Pengacauan intelektual yang masif dan intensif pada masa Orde Baru (bahkan sampai kini), merupakan hambatan terbesar dalam upaya melakukan rekayasa sosial. Buku ini bermaksud memberikan wacana besar bagi perubahan untuk Indonesia Baru. Seorang politikus atau pejuang apapun yang memiliki komitmen mestilah memahami masalah mendasar ini. Biasanya para pendamping atau fasilitator masyarakat dapat memulai aktifitasnya dengan melihat kesalahan berpikir yang berkembang dikalangan masyarakat dan merumuskan strategi dalam menghadapi kesalahan berpikir tersebut Pada konteks tertentu, kesalahan berpikir diidentikkan dengan mitos. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa sesuatu yang dianggap mitos bisa saja menjadi ilmu pengetahuan disuatu saat nanti. Untuk mengeksplorasi kesalahan berpikir ini, kita dapat menggunakan banyak metodologi, seperti ilmu mantik atau ilmu logika. Namun secara sosiologis, kesalahan berpikir ini juga dapat dieksplorasi secara mendalam, karena terkadang masyarakat lokal “sengaja”mencipatakan mitos untuk kepentingan kearifan bahkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Kebalikannya, masyarakat modern yang sangat percaya dengan sains ilmu pengetahuan, namun terkadang juga berakhir pada mitos. Pilih yang mana, dari mitos ke logos, atau dari logos ke mitos. Beberapa kesalahan berpikir yang penulis kumpulkan, walaupun sebenarnya beberapa diantaranya adalah hal yang betul (bukan mitos). Hal itu terjadi karena beberapa hambatan structural yang dihadapi. Tetapi sebagaiannya adalah mitos.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 20 a.
Ketakuatan terhadap hak akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan “Masyarakat tidak diberi akses saja, mereka merusak apatah lagi jika diberikan ijin
pengelolaan”, demikian kalimat yang cukup sering penulis dapatkan dari aparat pemerintahan kita di lapangan. Sementara itu, keamanan hak dalam pengelolaan sumberdaya dalam berbagai sudut pandang adalah menjadi syarat dalam kelesetarian dan keberlanjutan pengelolaan. Dalam sudut padang ekonomi sumberdaya mengungkapkan bahwa barang publik biasanya cenderung rusak ketimbang barang yang memikiki kejelasan hak dan penguasaan. Sederhananya, motor mana yang lebih terawat, moto Dalam sudut pandang ilmu sosial, keamanan hak terhadap sumberdaya akan membuat kohesivitas sosial masyarakat cenderung merasa terlindungi, kepastian akses dan penguasaan sumberdaya akan berdampak pada kuatnya kelembagaan masyarakat yang selama ini memiliki tradisi dan kearifan lokal dalam mengelola sumberdaya alam. Dalam sudut pandang filosofis, hak adalah suatu esensi sekaligus eksistensi baik bagi suatu makhluk sebagai personal maupun sebagai komunal. b.
Ketakutan/keengannan berkolaborasi. Pengaruh demokratisasi dan keterbukan membuat penyakit ketakutan berkolaborasi
terutama di kalangan pemerintah udah mulai menurun. Walaupun demikian, dalam konteks pengelolaan KM masih sering kita temukan kendala untuk kesusahan dalam berkolaborasi. Kolaborasi disini diartikan sebagai Keenganan berkolaborasi bukan hanya berpotensi diidap oleh kalangan birokrasi. Kalangan penelitipun demikian. Suatu hari salah satu lembaga riset terpercaya dan telah mendapatkan donor dari lembaga internasional mengunjungi sebuah Kabupaten untuk membincangkan proyek Riset. Sang Bupatipun menawarkan sekertariat untuk dipakai lembaga tersebut dalam beraktifitas, dengan nyamannya lembaga riset tersebut menolak disaaat itu juga. Kolaborasi membutuhkan proses, mungkin pada awalnya sangat formal kemudian menjadi lembaga yang formal, atau juga mungkin kolaborasi itu diolah secara formal. Mungkin pada awalnya kolaborasi hanyalah semacam wadah konsultasi, dan dapat berujung pada tindakan atau aksi kolektif. Sahide (2010) meberikan contoh pada tangal 26 Desember 2010, sebuah forum rembug hutan desa Bantaeng dideklarasikan oleh Bupati Bantaeng di Kantor Desa Labbo yang pada awalnya sangat formal dimana anggota tim teknisnya kebanyakan pejabat atau kebanyakan para kepala Dinas di Kab. Bantaeng. Sehingga forum
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 21 ini kemudian seakan tidak aktif, namun penngiak Kehutanan Masyarakat dari unsur LSM kemudian mendinamisasinya Sekali lagi, kita tidak mungkin membiarkan masyarakat bekerja sendiri, dibutuhkan keberpihakan semua stakeholder. Selama jangka waktu 2008 – 2010, RECOFTC (dengan dukungan The Ford Foundation) telah ikut berperan aktif bersama stakeholder lainnya dalam proses penguatan kapasitas masyarakat lokal dan Pemerintah Kabupaten melalui sebuah program yang terencana sesuai dengan hasil asesment kebutuhan para pihak. Tentunya program pendampingan terhadap masyarakat mesti terus dilajutkan dalam ragam aktifitas sesuai dengan posisi dan peran stakeholder, antara lain payung kebijakan, pendanaan, dan sistem pengolahan hasil hutan, serta mendekatkan pasar kepada produk masyarakat. Yang menarik dari pernyataan Bupati Bantaeng yang disampaikan secara terbuka pada saat peresmian forum rembuk hutan desa, ”meski program RECOFTC telah berakhir di Bantaeng, beliau siap mendukung penganggaran pembangunan hutan desa melalui dana APBD”. Menurut Yuliani dan Tadjuddin (2006) bahwa pendekatan multipihak dapat menjadi ruang dalam proses komunikasi dalam tata kelola konflik pengelolaan sumberdaya hutan. Konflik pengelolaan hutan adalah sebuah keniscayaan yang mesti terkeloa. Tidak boleh ada ruang pembiaran oleh pihak yang mempunyai otoritas dalam hal ini pemerintah. c.
Kemiskinan adalah takdir, tak dapat dituntaskan Sepanjang sejarah peradaban manusia, kemiskinan pasti selalu ada. Kemiskinan adalah
takdir Tuhan sebagaimana takdir atas kekayaan. Jika tidak ada orang miskin, siapa yang akan mengerjakan pekerjaan kasar?. Siapa yang akan menjadi buruh?. Argumentasi diatas, seakan-akan argumentasi kokoh sehingga tibalah kesimpulan kita bahwa kemiskinan adalah takdir sehingga orang dan atau masyarakat miskin itu penting untuk dilestarikan. Kontra argumentasi diatas juga dapat kita jabarkan bahwa sesunggguhnya kemiskinan adalah penyakit sosial dan karena miskin adalah penyakit dan dapat disembuhkan. Banyak kisah sukses masyarakat dalam mengentaskan kemiskinan, banyak kota dan desa tanpa masyarakat miskin Walaupun fakta ini jarang kita temui, namun bahwa kemiskinan dapat diatasi adalah suatu fakta keras pula. Hal yang paling substantial untuk mengatasi kemiskinan adalah mengurai akar masalah kemiskinan tersebut. Setelah menemukan akarnya maka para pihak kemudian dapat
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 22 mengambil aksi
intervensi sosial sesuai dengan tanggungjawab dan perannya masing-
masing. d.
Petani selalu dianggap objek penyuluhan Pendekatan penyuluhan dsektor pengelolaan sumberdaya sebenarnya telah banyak
mengalami kemajuan dengan memasukkan pendekatan partisipatif sebagai metodologi dan perbaikan gaya komunikasi penyuluh. Namun yang dirasakan belum optimal adalah pengelolaan pengetahuan di tingkat petani belumlah maksimal. Seringkali, petani masih dianggap sebagai objek yang harus mengikuti pola pengelolaan sumberdaya secara modern. Akibatnya pengetahuan dan kearifan lokal petani dalam mengelola sumberdaya hutan misalnya mengalami degradasi. Hal lain yang lebih penting adalah pengelolaan pengetahuan di tingkat petani belumlah maksimal, seharusnya petani dapat mengelola pengetahuannya sendiri dan membagikannya kepada petani yang lain. Hal ini berbeda dengan yang diungkap oleh Mahbub (2007) bahwa sebaiknya penyuluhan didekati dengan partisipatif yakni model penyluhan yang melibatkan para petani pada keseluruhan proses pengambilan keputusan mulai dari pengumpulan dan analisis data, identufikasi masalah, analisa kendala dan penerapan, pemantauan dan evaluasi.Peran penyuluh dalam hal ini adalah memperkuat kemampuan-kemampuan dan potensi para petani untuk memperbaiki uasaha mereka dalam mengelola uasaha tani dan memanfaatkan hutan. Lebih lanjut lagi Mahbub (2007) menyatakan bahwa pendekatan penyuluhan partisipatif dapat dilakukan dengan petani secara perorangan maupun kelompok. Dalam pelaksanaannya, penyuluhan partisipatif ini diarahkan kepada masyarakat yang tingkat pengetahuannya telah maju. Sedangkan untuk masyarakat yang tingkat pengetahuannya rendah, penyuluhan dilaksanakan dengan pendekatan kovensional seperti sistem latihan dan kunjungan (LAKU). Penyuluhan oartisipatif terutama diterapkan pada penyulah dengan materi-materi yang bersifat pengembangan teknologi terapan atau dalam upaya transformasi teknologi kepada petani. e.
Proyek infrastukrur dapat menyelesaikan segalanya Proyek-proyek infrastruktur adalah program pemerintah yang tidak dapat dipungkiri
sangat dibutuhkan masyarakat seperti pengadaan jalan, instalasi air bersih, jembatan, pengadaan peralatan pertanian, dll. Namun masyarakat dan bahkan pemerintah terkadang menganngap program pengadaan infrsatruktur ini sebagai prioritas utama tanpa analisis yang lebih dalam pada suatu wilayah. Hal ini penulis terkadang jumpai dalam program PNPM
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 23 (program nasional pemberdayaan masyarakat) yang isinya terkadang semuanya adalah proyek infrastruktur atau proyek pisik tanpa memperhatikan sisi kelembagaan masyarakat. f.
Bantuan permodalan melalui lembaga keuangan lokal tanpa pendampingan dan pemandirian kelembagaan Program yang paling sering muncul ditengah masyarakat jika ditawari bantuan adalah
permohonan akan bantuan permodalan dan atau mengaktifkan lembaga keuangan lokal seperti koperasi untuk membantu siklus permodalan kalangan petani. Menarik mencermati apa yang dilakukan peraih nobel perdamaian Professor Muhammad Yunus dari Bangladesh dengan mendirikan Grameen Bank untuk kaum miskin. Ada dua unsur profesional yang utama pada institusi Grameen Bank yakni unsur akuntan bankir yang profesional dan unsur fasilitasi kepada kaum miskin yang konsisten. Mari kita lihat banyaknya kasus kredit macet dari bantuan sosial dan atau program sosial baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun yang difasilitasi oleh lembaga donor. Hal ini terjadi karena fasilitasi lembaga keuangan mikro skala lokal tidak mempertimbangkan kedua unsur seperti yang dimiliki oleh Grameen Bank. Terkadang unsur fasilitasi sudah kuat, namun tidak memiliki jasa akuntan yang profesional, begitupun sebaliknya. g.
Kelembagaan kuat jika telah ada struktur dan aturan Terkadang jika masyarakat ditanya apakah kelembagaan lokal bapak/ibu sudah kuat?
Apa penandanya?, mereka akan menjawab bahwa kelembagaan mereka kuat karena sudah ada struktur dan aturan yang tertulis yang tersimpan. Jika kita melihat dokumen proyek yang ditempatkan di desa, banyak diantara dokumen tersebut
mengamanahkan
pembentukan
dan
atau
pembinaan
kelembagaan.
Tapi
pertanyaannya kenapa kelembagaan lokal di desa malah semakin tidak mandiri?, Jika semua intansi pemerintah diamanahkan untuk membentuk kelompok, maka kita dapat menyisakan ada banyak sekali kelompok tani di desa. Ada kelompok tani hutan, ada kelompok tani ternak, ada kelompok tani pengelola kredit, ada kelompok tani pengelola air, ada kelompok tani kakao, dll. Tak jarang kelompok-kelompok tersebut beranggotakan yang sama dan terkadang tumpang tindih, dan memiliki benturan kepentingan. Akhirnya tak jarang kelompok tani akhirnya hanya menjadi lembaga semu dan menjadi penghias administratif dari sebuah proyek. Hal ini tidak hanya dilakukan pemerintah, lembaga non pemerintah pun terkadang melakukannya.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 24 h. Pemerintah meragukan dampak ekonomi KM Suatu waktu, Menteri Kehutanan ingin mengevaluasi HKm dan HD di seluruh Indonesia, bagaimana perkembangannya pasca pemberian izin, apakah memiliki dampak ekonomi secara langsung kepada masyarakat atau tidak. Kepada seluruh pegang ijin HKm dan HD ditanyakan, apa manfaat ekonominya? Berapa uang yang telah didapatkan?. Melihat dampak ekonomi pasca pemberian hak kelola “secara formal”, harus dihitung secara menyeluruh. Deskalasi konflik yang menurun, dimulainya proses komunikasi kelembagaan lokal dalam pengelolaan adalah dampak sosial yang sangat bermanfaat dan mesti divaluasi (dinilai secara ekonomi) jika memang harus dihitung dampak ekonominya, bukan hanya dampak financial dan atau konstribusi pendapatan semata. Memberikan tambahan pendapatan bagi masyarakat lokal sebesar 10% saja akibat hak kelola KM merupakan dampak ekonomi awal yang luar biasa jika itu mampu dicapai. Para pihak mesti tidak terburu-buru dalam mengevaluasi perkembangan pasca ijin formal tersebut. i.
Elit masyarakatlah yang diuntungkan dengan KM Kolusi di antara pemimpin masyarakat untuk mendapatkan keuntungan sering dijadikan
argumentasi untuk menilai kegagalan pemberian hak formal kelola sumberdaya hutan kepada masyarakat lokal oleh para pihak. Proses pemusatan kekuasaan dan penumpukkan aset di tangan segelintir orang adalah sangat memungkinkan terjadi jika proses fasilitasi pembentukan KM mengalami cacat proses, terburu-buru dan hanya melibatkan sebgaian kaum elit lokal saja. Menciptakan mekanisme kelembagaan lokal yang adil mesti digali dari kearifan lokal masing-masing komunitas. Hasil pembelajaran pembangunan KM
di Sulawesi Selatan,
memang ditemukan bahwa dalam diskusi dengan masyarakat sebagain elit lokal terkadang mendominasi perdebatan, dan terkadang kelompok masyarakat lainnya seperti kaum perempuan terkadang pasif. Sehingga jika proses ini dilanjutkan tanpa melakukan intervensi proses yang lebih adil kepada semua golongan memang dapat menguntungkan sebagaian elit lokal saja. Walaupun demikian kalangan pemimpin lokal biasanya memperjuangkan hak-hak kalangan marjinal juga, namun dalam ruang diskusi perlu melihat lebih jernih aspirasi mereka bukan hanya terkait kebenaran suatu issu, tetapi dampak partisipasi masyarakat akan terganggu jika dibiarkan. Beberapa jalan keluar bagi masalah tersebut yang terinspirasi dari kebijakan pemerintah bisa jadi bukanlah hal mudah khususnya ketika ada suatu keinginan kuat untuk tidak melakukan campur-tangan terhadap urusan-urusan internal masyarakat. Mekanisme
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 25 penyelesaian konflik dapat dibuat atau dipromosikan tetapi umumnya masyarakat harus mengambil keputusan secara demokratis bagaimana cara untuk menangani konflik-konflik yang dihadapi. Program untuk meningkatkan transparansi proses pengambilan keputusan dan menginformasikan kepada masyarakat tentang hak-hak mereka serta konsekuensi dari keputusan-keputusan tersebut akan membantu upaya mempromosikan tata pemerintahan masyarakat yang lebih baik. IV. Benang Kusut Konflik : Dari Kebijakan Hingga Implementasi
Mari kita Kami hanya mengelola lahan dari orangtua dan leluhur kami.., kami akan jaga… sampai mati…
Kami hanya menengakkan aturan pak, bapak harus kami proses…
negosiasikan kebutuhan kita masing-masing….
Gambar 6. Ilustrasi Konflik Tenurial Sektor Kehutanan
Ada banyak fakor yang menyebabkan konflik pengelolaan hutan, namun penulis hanya akan memaparkan beberapa penyebab substantial terjadinya konflik. Pengelolaan konflik sendiri akan menjadi tema khusus pada bab tertentu di Buku ini.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 26 1. Kebijakan yang dipaksakan tanpa partisipasi lokal Sebagaimana bahasan sebelumnya bahwa kesalahan berpikir juga terjadi pada proses pengambilan kebijakan di sektor kehutanan. Paling tidak proses tersebut terjebak pada kesalahan overgeneralisasi. Seringkali pemerintah menetapkan sebuah kebijakan dengan asumsi sampel wilayah sama dengan selurug wilayah di Indonesia, sementara entitas lokal begitu beragam dan sangat kaya akan perbedaan. Perbendaan-perbedaan tersebut penting untuk digali sebelum kebijakan ditetapkan. Seringkali kebijalkan dikeluarkan dengan kesan uji coba, sementara dampak kebijakan yang dikeluarkan sangat merugikan publik. Perbedaan-perbedaan entitas tadi semestinya harus dikonsultasikan kepada pengguna kebijakan atau objek kebijakan tersebut. Partisipasi masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan harus dimaksimalkan. Di negara Republik Indonesia sebagai bangsa yang demokratis semestinya institusi-institusi perwakilan rakyat mesti berperan dalam menjaring partisipasi lokal ini, namun kenyataannya lembaga perwakilan dari yang paling terkecil seperti BPD, DPRD dan DPR seringkali kehilangan kepercayaan publik dalam menyuarakan aspirasi substantial mereka, khususnya dalam bidang pengelolaan hutan. Tidak jarang lembaga-lembaga masyarakat sipil seperti LSM menjadi sasaran alternatif dan bahkan yang utama dalam menyuarakan kepentingan masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan. Isu-isu substantial yang disuarakan seringkali terbentur dalam kepenti ngan politik, sehingga ketika disuarakan melalui lembaga formal mendapatkan hambatan. Persoalan komunikasi dan koordinasi pemerintahan di level kabupaten/kota juga menjadi salah satu hambatan utama dalam mendukung program dan atau kegiatan kehutanan masyaraka 2. Konflik Kebijakan Konflik pengelolaan hutan
juga terjadi karena ada persoalan inkonsistensi dan
pertentangan kebijakan dalam hirarki perundang-undangan, seringsekali dalam satu objek urusan Undang-Undang yang berlaku terkadang tumpang tindih. Sering juga kran partisipasi masyarakat dalam mengelola hutan telah dibuka, namun pemerintah dilevel impelemntasi masih membutuhkan peraturan penjelas, karena ketakutan akan
melanggar
aturan.
Sebagai
contoh
pada
Peraturan
Menteri
Kehutanan
Nomor: P.56/Menhut-II/2006 Tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Dalam kebijakan ini telah memuat konsep sona khusus dan zona pemanfaatan tradisional dalam kawasan Taman Nasional, namun dilevel manajemen pengelola Taman seringkali kebingungan dalam mengimplemntasikan zona tersebut. Bukan pada meletakkan
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 27 zona tradisonal tersebut, tetapi mereka membutuhkan aturan yang lebih detail lagi tentang prekspripsi pengelolaan atau detail aktifitas masyarakat didalam zona tersebut. Belum lagi kawasan konservasi bukan hanya dipayungi oleh Undang Undang Kehutanan (UU No. 41/1999) tetapi juga Undang-Undang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU No. 5/1990) serta Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 23/1997). Sering sekali dalam mengimplementasikannya ditemukan benturan-benturan dilevel Undang-Undang tersebut, terlepas dari ragam penafsirannya
UU bilangnya tidak boleh nebang kayu …. Kata Peraturan Menteri boleh saja yang penting permisi dulu…., Kata Bupati tidak boleh.. Kata ketua adat kami boleh saja……
Gambar 7. Ilustrasi kebingunan masyarakat terhadap ragam kebijakan
3. Kebijakan Kelola Adat : Antara Mandat Konstitusi, Ambiguitas Undang-Undang dan Ragam Kepentingan Pada berita resmi Mahkamah Konstitusi tahun 2012 dikabarkan bahwa Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengajukan gugatan untuk menguji UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya Pasal 1 angka (6), Pasal 4 ayat (3), dan Pasal 5 ayat (1), (2), dan (3) terhadap UUD 1945. Menurut AMAN bahwa Ketentuan UU Kehutanan No. 41/1999, khususnya Pasal 1 angka (6), menurut para Pemohon, Inkonstitusional sepanjang tidak dibaca “hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.” Dan Pasal 4 ayat (3), Inkonstitusional sepanjang tidak dibaca “penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada. Dan, Pasal terakhir adalah Pasal 5 ayat (1), (2), dan (3), menurut para Pemohon, Inkonstitusional sepanjang tidak dibaca ayat (1) “Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: a. hutan negara,
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 28 dan b. hutan hak, dan hutan adat. Ayat (2) Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1).” Menurut AMAN dalam pelaksanaannya UU Kehutanan ini telah digunakan untuk menggusur dan mengusir kesatuan masyarakat hukum adat dari kawasan hutan adat mereka, yang merupakan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mereka,” Seringkali kebijakan memiliki ambiguitas, antara filosofi kebijakan dan keadaan sosiologis dilapangan, hingga implementasi yang bertentangan dengan substansi konstitusi atau dalam hal ini mengalami ambiguitas. 4. Identifikasi yang lemah dan konsultasi yang tidak cukup dengan para pihak Mencari akar persoalan adalah esensial dalam menyusun sebuah kebijakan, proses pencarian masalah tersebut juga mesti melibatkan para pihak yang terkait. Kebijakan pengelolaan hutan sangat erat kaitannya dengan banyak kepentingan, sehingga kepentingankepentingan tersebut mesti dikonsultasikan. Seperti yang diulas pada bahasan sebelumnya bahwa para pihak sering sekali terjebak pada kesalahan berpikir keenganan untuk berkolaborasi. Kecurigaan diantara para pihak adalah sesuatu yang wajar, karena semua pihak memiliki persepsi, posisi dan kepentingan dan yang berbeda. Namun dalam perspektif pengelolaan konflik, berkolaborasi adalah wadah yang sangat penting dalam mepertemukan posisi dan kepentingan tersebut. Sering sekali dalam konsultasi pra pihak dan atau proses-proses kolaboratif ditemukan kesamaam kebutuhan dan mencoba menginisiasi agenda-agenda bersama 5. Kekosongan tata kelola konflik Paradigma pengelolaan hutan yang menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama membutuhkan dukungan tata kelola konflik yang kuat di semua level pemerintahan dan juga lembaga masyarakat sipil lainnya. Pada tingkat pusat, konsistensi kebijakan dan infrastruktur sangat perlu dibuka. Seringkali ruang kebijakan telah dibuka, namun tidak didukung oleh politik anggaran dan mobilisasi sumberdaya. Dari sini juga, sering terjadi konflikt. Instiusi pemerintahan sering terjebak pada keenganan merespon konflik yang terjadi secara cepat karena isu struktural dan menghindari kesalahan mandate institusi. Sehingga banyak kesan yang muncul bahwa seringkali peran fasilitator konflik “diambil alih” oleh LSM (lembaga swadaya masyarakat). Dekade terakhir telah melihat minat yang tumbuh dalam peran pemerintahan dalam mendorong tata kelola konflik. Organisasi sektor swasta semakin banyak terlibat dalam
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 29 menangani konflik, baik yang terkait langsung dengan kepentingannya ataupun bagian dari kegiatan sosial mereka. Masyarakat lokal juga memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam tata kelola konflik ini, namun seringkali kehilangan arah dan terkadang menyuarakan kepentingannya secara demonstratif.
PENUTUP I.
Penugasan
a. Analisis kondisi pengelolaan hutan di daerah anda masing-masing ! b. Dari hasil analisis diatas, temukan akar masalah serta pihak-pihak yang terlibat dan yang saling mempengaruhi? c. Sebutkan hubungan kesalahan berpikir dengan pengentasan kemiskinan dan pengelolaan sumberdaya hutan? Tugas untuk bab selanjutnya : Dosen membagikan handout tentang filosofi, konsepsi dan varian kehutanan masyarakat untuk dibaca dirumah, dosen meminta mahasiswa agar membaca dan mencari point-point penting dalam proses pembelajaran
II. Strategi merespon penugasan Mahasiswa mencari kasus-kasus atau fakta-fakta pengelolaan hutan secara umum yang ditemukan dalam berbagai lapran penelitian, laporan pendampingan.
DAFTAR PUSTAKA
Awang S. Afri, 2011. Hutan Desa Realitas Tidak Terbantahkan Sebagai Alternatif Model Pengelolaan Hutan di Indonesia. http://sanafriawang.staff.ugm.ac.id/hutandesa-realitas-tidak-terbantahkan-sebagai-alternatif-model-pengelolaan-hutan-diindonesia.html, akses 2 November 2011 Badan Pusat Statistik. 2003 Dassir. M. 2007. Dinamika Tenur Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Pada Sub Das Minraleng Hulu Kabupaten Maros. Jurnal Hutan dan Masyarakat Volume II. No. 1 (Mei) 2007. Halaman 151-167
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 30
Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (2010). Buku Saku FKKM. Bogor Hasanuddin, 2011. Model Pengelolaan Hutan Kemitraan pada Areal Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (Studi Kasus di Desa Labuaja Kecamatan Cenrana Kabupaten Maros). Thesis. Pascasarjana Universitas Hasanuddin Mahbub. A.S., 2007. Penyuluhan Kehutanan Partisipatif. Jurnal Hutan dan Masyarakat, Vol. II. No. 3 (Desember): Halaman 313-318 Mahkamah Konstitusi, 2012. MK Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Gugat UU Kehutanan.http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInt ernalLengkap&id=6637. Diakses tangggal 20 Maret 2012 Sahide M. Alif K, 2009. Analisis Situasi dalam Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Pada Level Komunitas di Sulawesi Selatan. Jurnal Hutan dan Masyarakat. Vol. IV. No. Tahun 2009. Hal 62-68. Laboratorium Kebijakan dan Kewirausahaan Kehutanan Universitas Hasanuddin. Sahide M. Alif K, 2011. Kehutanan Masyarakat Pengalaman dari Lapangan, Mengatasi Masalah Global lewat Tradisi Masyarakat Lokal. Diterbitkan oleh FKKM (Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat). ISBN 978-602-19799-0-7. Hal 155-163 Supratman dan Oka Ngakan Putu. 2009. Model Pengelolaan Zona Khusus Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung di Sulawesi Selatan: Dengan Referensi Khusus di Desa Labuaja. Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin Makassar (Tidak dipublikasikan) Stephen Peter dan Triraganon Ronnakorn (2006). Strengthening Voices for Better Choices: Enhancing Forest Governance in Six Key Tropical Forest Countries in Asia, Africa and South America. IUCN EU Funded Project. RECOFTC. Bangkok Rakhmat Jalaluddin. 1999. Rekayasa Sosial - Reformasi, Revolusi, atau Manusia Besar?. Rosdakarya Rositah Erna. 2005. Kemiskinan Masyarakat Desa Sekitar Hutan dan Penanggulangannya Studi Kasus di Kabupaten Malinau. Governance Brief. Agustus 2005 No. 14. CIFOR, Bogor. http://www.cifor.org/publications/pdf_files/govbrief/GovBrief0602.pdf akses tanggal 5 Maret 2012 Yuliani LY , Tadjuddin D. 2006. Memfasilitasi sebuah Perubahan. dalam Kehutanan Multipihak Langkah Menuju Perubahan. CIFOR.Hlm 1-8.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 31 BAB II. FILOSOFI, KONSEPSI DAN VARIAN KEHUTANAN MASYARAKAT
PENDAHULUAN I. Tujuan Instruksional 1. Mampu menjelaskan filosofi, konsepsi dan varian kehutanan masyarakat 2. Memahami prinsip-prinsip kunci dalam sistem pengelolaan hutan berbasis masyarakat
II. Proses pembelajaran
Pada pembelajaran ini akan dipakai metode Small Group Discussion dengan fokus pada kelompok-kelompok kecil mahasiswa yang akan fokus mendiskusikan realitas pengelolaan hutan di Indonesia untuk diabstraksi pada konsep kehutanan masyarakat sebagai salah satu pendekatan Tahap pertama; a. dosen mengulas ulang secara singkat materi sebelumnya terkait realitas pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia dan di level provinsi dan lokal dengan melemparkan beberapa pertanyaan kunci kepada mahasiswa Tahap kedua; a. dosen memfasilitasi mahasiswa untuk membuat beberapa kelompok berdasarkan issu-issu utama dalam analisis situasi persoalan kehutanan, antara lain (sebagai contoh) ; perambahan liar, degradasi hutan dan lahan, kekosongan pelayanan publik kehutanan (pengurusan dan pengelolaan hutan) di tingkat tapak, otonomi daerah di sektor kehutanan, kemiskinan masyarakat didalam dan sekitar kawasan hutan, konflik antara masyarakat dan pemangku kawasan hutan, dll (kegiatan ini dapat dilakukan selama 2 menit) b. dosen mengarahkan kelompok-kelompok mahasiswa agar mampu ; - mencari persoalan substantif dari rangkaian masalah tersebut (mengeksplorasi akar permasalahan) - mengeksplorasi posisi masyarakat dalam alternatif pengelolaan sumberdaya hutan berdasarkan masalah-masalah tersebut Kegiatan ini dilakukan melalui kegiatan diskusi kelompok dan dilakukan selama 40-60 menit dengan sebelumnya membagikan handout tentang filosofi, konsepsi dan varian
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 32 kehutanan masyarakat sebagai bahan diskusi. Dosen mencatat semua aktifitas diskusi dan mengevaluasi kaktifan mahasiswa. Tahap ketiga; a. dosen memberikan evaluasi terhadap hasil diskusi kelompok dan menghubungkannya dengan teori filosofi, konsepsi dan varian kehutanan masyarakat seperti yang termaktub dalam hand out yang telah dibagikan, b. dosen memberikan tes kuis
BAHAN PEMBELAJARAN
I.
Sejarah konsepsi KM Fakta keras yang dapat dengan mudah kita temui bahwa, pengelolaan hutan oleh
masyarakat di beberapa tempat masih cukup eksis dan memberikan konstribusi bagi sosialbudaya, ekonomi dan ekologi. Kisah sukses masyarakat mengelola hutan ini telah banyak didokumentasikan oleh banyak pihak baik akademisi maupun LSM yang sangat peduli pada bidang ini. Beberapa bentuk pengelolaan hutan berbasis pengelolaan dan pengetahuan masyarakat seperti hutan kemiri rakyat, hutan adat kajang, rimbo puako, hompongan dan lain-lain menunjukkan adanya konflik pengelolaan hutan dengan negara dan perusahaanperusahaan. Dalam bab sebelumnya telah kita bahas adanya mitos atau kesalahan berpikir yang tidak mempercayai hak kelola rakyat. Dan telah kita bahsa pula kontra argumentasi bahwa jika ruang dan akses bagi masyarakat diberikan terhadap pengelolaan sumberdaya hutan mereka, maka masyarakat dengan sistem alami dan kohesi sosialnya akan bergerak mengelola dan mempertahankan hutan secara arif dan bijaksana. Pada sekitar dasa warsa 70-an hingga 80-an gagasan-gagasan kehutanan yang lebih menfokuskan diri pada aspek sosial. pertama sekali muncul pada kongres Kehutanan se-dunia di Jakarta Tahun 1978 dengan thema” forest for people”. Kegiatan ini menjadi momentum bagi para pihak yang hadir pada kongres itu, dan kemudian menyebar kemana-mana. Selanjutnya kongres kehutanan masih mengangkat tema sosial: “Forest for Socio-Economic Development” (Buenos Aires, 1972) dan “Forest for People” (Jakarta, 1978). Berdasarkan catatan Westoby Sejak saat itu, berbagai fakultas kehutanan mulai menyelenggarakan kursus dan pelatihan yang terkait dengan isu-isu sosial. Santoso (2011) lebih lanjut menambahkan
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 33 bahwa ragam istilah bermunculan kemudian seperti community forestry, social forestry, farm forestry, forestry for community development, village forestry, community based forest management, dan lain sebaginya, yang semuanya menyampaikan satu pesan: bangkitnya kesadaran dalam penyelenggaraan kehutanan (Santoso, 2011). Tabel 5. Ragam Peristilahan KM Peristilahan KM
Pemerintah
Masyarakat
Bisnis/Industri
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat
Perhutani
Pembinaan Desa Hutan
HPH
Pengelolaan Kolaboratif dan Pengelolaan berbasis zonasi
Balai Taman Nasional (Pengelola Kawasan Konservasi)
Tembawang
Kalimantan,
Mukim
Aceh
Parak
Sumbar
Repong
Lampung
Tombak
Sumut
Alas
Jawa
Rimbo Puako
Jambi, Riau
Hutan Kemasyarakatan
Kemenhut, Dirjen Perhutanan Sosial
Hutan Desa
Kemenhut, Dirjen Perhutanan Sosial
Hutan Kemitraan
Kemenhut, Dirjen Perhutanan Sosial
Hutan Rakyat
Tanaman Kemenhut, Dirjen Produksi Hutan
Perhutanan Sosial
Kemenhut, Dirjen Perhutanan Sosial
Konsepsi KM dalam aspek defenisi memiliki perbedaan, dan juga banyak kesamaankesamaan. Keragaman tersebut bukan hanya diataran perbedaan posisi dan kepentingan
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 34 seperti kalangan akademis, swasta dan masyarakat sipil, tetapi juga dikalangan sesama akademisi, atau kalangan sesama penggiatpun memiliki perbedaan-perbedaan. Paling tidak ada tiga peristilahan kategori berdasarkan sumbernya yakni istilah dari pemerintah, dari masyarakat dan dari pengusaha. Banyak hasil laporan penelitian mengungkapkan kisah sukses masyarakat lokal dalam mengelola hutan, dan atau pengelolaan hutan yang lestari telah menjadi adat istiadat pada suatu lokasi. Namun konsep pengelolaan tradisional tersebut tidak menjadi konsep utama dalam pembangunan kehutanan dan cenderung terabaikan. Sejak alur reformasi menguat pada tahun 1998, maka memperkenalkan gagasan bahwa masyarakat lokal sebagai subjek utama dalam pengelolaan hutan mendapatkan momentum yang cukup baik.
Lembaga masyarakat sipil terutama LSM telah memulai
banyak beraktifitas di issu ini, kalangan akademisi juga telah banyak bertransformasi dalam melakukan penelitian dan pendidikan terkait tema Kehutanan Masyarakat. Praktek KM di kawasan hutan di pulau Jawa yang dikelola oleh Perum Perhutani dinamakan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Program PHBM tersebut telah diterapkan di Perhutani sejak tahun 2001. Tergerus oleh zamankah kelembagaan lokal mengelola hutan sehingga mereka tak berdaya? Sering sekali kearifan lokal masyarakat mengelola hutan dianggap sebagai mitos, dalam sudut pandang agama-agama bahkan terkadang dianggap menyimpang atau dengan penamaan “bid‟ah”. Kearifan lokal memang belum dapat disebit menjadi pengetahuan jika belum dikaji dan didalam secara ilmu pengetahuan modern, namun beberapa kajian mutakhir, kearifan lokal banyak memiliki relevansi pengetahuan yang sangat valid Dikalangan
akademisi
sendiri
juga
terkadang
memiliki
perbedaan
dalam
memunculkan peristilahan, namun pada dasarnya memiliki substansi yang sama. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat, social forestry, atau kehutanan masyarakat. Menurut Efendi (2010) bahwa Social Forestry adalah sistem pengelolaan sumberdaya hutan pada kawasan hutan negara dan atau hutan hak, yang memberikan kesempatan kepada masyarakat setempat sebagai pelaku dan atau mitra utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya dan mewujudkan kelestarian hutan. Pemerintah memperkenalkan secara luas melalui kebijakan Permenhut No. 37/2007 dengan mengambil defenisi HKm (Hutan Kemasyarakatan) adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat. Fakultas Kehutanan UNHAS yang waktu itu masih Jurusan Kehutanan juga menamakan mata kuliahnya dengan Hutan Kemasayarakatan, setelah mengalami perubahan kurikulum, mata kuliah tersebut diganti dengan Kehutanan Masyarakat, untuk memperluas
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 35 spektrum dan jangkauan sistem-sistem pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang dikandung didalamnya. II. Kehutanan Masyarakat : Proyek, Metode atau Paradigma Kehutanan masyarakat memiliki ragam perspektif atau pemaknaan terhadap defenisi dan konsep kehutanan masyarakat. Awang, 2002 mengungkapkan bahwa kehutanan masyarakat atau community forestry (CF) pada praktek-praktek pengelolaan hutan atau pohon-pohon, dimana perencanaan dan pelaksanaan dilakukan bekerjasama dengan anggota masyarakat desa baik pada lahan komunal atau lahan negara yang dialokasikan untuk kegiatan yang berkaitan dengan hutan dan kehutanan. Santoso (2011) mengemukakan bahwa ada tiga perspektif dalam memandang kehutanan masyarakat 1.
Kehutanan masyarakat sebagai proyek Santoso (2011) mengungkapkan bahwa justru proses kelahiran gagasan kehutanan
masyarakat berorientasi pada proyek, sebagaimana yang kita ketahui bersama, umur kehutanan masyarakat - sebenarnya ada banyak istilah untuk gagasan yang serupa, taruhlah seperti people center forestry, social forestry, farm forestry, dan lain sebagainya - belumlah terlalu matang. Gagasan ini baru muncul ke permukaan pada dasa warsa 70 an, bersamaan dengan merebaknya krisis energi, termasuk di dalamnya krisis kayu bakar. Kalangan pemerhati kehutanan, salah satunya Jack Westoby, kemudian mencoba mengembangkan berbagai macam proyek, yang pada awalnya hanya sebatas menjawab kebutuhan kayu bakar masyarakat di sekitar hutan. Dalam perkembangannya, gagasan ini memang meluas, paling tidak isunya bukan sekedar kayu bakar, akan tetapi juga penghasilan dan kebutuhan kayu pertukangan, disamping tentu saja kelestarian sumber daya hutan. Maka dikembangkanlah berbagi proyek kehutanan masyarakat di berbagai tempat, dengan berbagai model, dan berbagai motif dan tujuan - salah satunya adalah JFM (Joint Forest Management) di India dan CF (Community Foretsry) di Nepal. Pada tahun 1986 mulai dibangun pilot proyek Pembangunan Hutan Kemasyarakatan yang melibatkan masyarakat sebagai tenaga kerja. Pelaksanaan pilot proyek ini didukung oleh Keputusan Menteri Kehutanan nomor 1031/Menhut/1994 dan Keputusan Menteri Kehutanan nomor 372/Kpts-II/1996 yang menempatkan Badan Usaha Milik Negara sebagai pelaksana kegiatan rehabilitasi lahan, sedangkan masyarakat hanya sebagai tenaga kerja yang diupah.. Partisipasi mereka dalam pilot proyek pembangunan hutan kemasyarakatan antara tahun 1986 sampai dengan tahun 1997.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 36 Berdasarkan pengalaman ini Menteri Kehutanan menerbitkan Keputusan Menteri Kehutanan nomor 622/Kpts-II/1995 tentang Pedoman Hutan Kemasyarakatan dimana masyarakat diberi akses berupa izin untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu. Operasionalisasi keputusan Menteri Kehutanan ini dilengkapi dengan: Keputusan Direktur Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan nomor 95/Kpts/II/1997 tentang Tata Cara Permohonan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu pada areal hutan kemasyarakatan, Keputusan Direktur Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan nomor 96/Kpts-/V/1997 tentang tata cara penetapan kawasan hutan untuk areal hutan kemasyarakatan, Keputusan Direktur Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Hutan nomor 97/Kpts/IV/1997 tentang penunjukan peserta, pemberian izin dan pembuatan perjanjian pengusahaan hutan kemasyarakatan, Keputusan Direktur Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan nomor 98/Kpts/V/1997 tentang petunjuk teknis pemilihan jenis tanaman serbaguna dan pola tanam dalam hutan kemasyarakatan. Awang (2002) mengungkapkan bahwa biasanya tujuan proyek KM adalah untuk memberikan manfaat kepada anggota masyarakat yang terlibat dalam kegiatan rehabilitasi lahan, konservasi lahan dan kegiatan yang berkaitan dengan hutan lainnya Tapi bagaimanapun, bukan berarti kehutanan masyarakat tidak kita perlukan. Karena memang tak selamanya proyek adalah kotor dan nista. Sejauh itu dikelola dengan baik dan transparan, proyek juga bisa memiliki nilai guna yang tinggi. Kehutanan masyarakat tak akan banyak memiliki arti kalau kinerja proyeknya amburadul 2.
Kehutanan masyarakat sebagai metode Sebagian penggiat kehutanan masyarakat memiliki pahaman bahwa salah tafsir baru
kehutanan masyarakat bahwa khutanan masyarakat hanyalah sekedar alat, atau paling jauh metode. Kehutanan masyarakat adalah piranti yang kira-kira fungsinya tidak berbeda jauh dengan pisau cukur. Sehingga dapat dikatakan bahwa kehutanan masyarakat adalah metode yang bisa saja salah. Sebagai sebuah alat atau metode, kehutanan masyarakat tentu akan mengalami tambal sulam, pembaruan, ketinggalan jaman, untuk tidak mengatakan usang, dan berbagai sifat keterbatasan lainnya - sesuatu yang tidak pernah akan terjadi pada ideologi (Santoso, 2011). 3.
Kehutanan masyarakat sebagai paradigma pengelolaan Kebijakan ini tidak begitu dianggap membawa perubahan karena posisi masyarakat
masih sebatas peserta program atau proyek. Pada era reformasi yang dimulai tahun 1997 kebijakan kehutanan diarahkan kepada pengembangan ekonomi rakyat. Tanggapan
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 37 Pemerintah cq Departemen Kehutanan atas tuntutan reformasi ditandai dengan munculnya sejumlah kebijakan dan pergeseran paradigma pengelolaan hutan yaitu : Dari timber management menuju pengelolaan yang berorientasi pada seluruh potensi sumberdaya kehutanan dan berbasis masyarakat. Beberapa penggiat kehutanan masyarakat mengatakan bahwa kehutanan masyarakat adalah sebuah sistem kehutanan yang sama sekali berbeda dengan sistem kehutanan yang selama ini dikenal: kehutanan industri. Kehutanan masyarakat sangat memperhatikan aspekaspek lokal daripada isu-isu industri. Bukan hanya sekedar paradigma praktis tetapi beberapa penggiat kehutanan masyarakat juga berpedapat bahwa KM adalah sebuah paradigm ideologis. KM harus dikerangkakan pada tingkatan yang paling tinggi dalam urut-urutan sistem nilai kehutanan. Menurut pendapat ini selayaknya kehutanan masyarakat adalah sebuah nilai yang akan membingkai seluruh aturan-aturan yang ada di dalamnya. Dengan demikian kehutanan masyarakat tidak hanya sekedar menyangkut rehabilitasi lahan dan sistem pembuatan tanaman. Kehutanan masyarakat juga tidak sekedar menyangkut isu-isu konservasi lahan dan keanekaragaman hayati. Kehutanan masyarakat juga tidak hanya menyangkut hal-hal yang terkait dengan perencanaan, pengamanan, pemanenan, dan pemasaran. Kehutanan masyarakat akan menyangkut seluruh aspek kehutanan yang ada. Kehutanan masyarakat adalah sebuah nilai yang sudah dengan sendirinya melekat dengan sistem kehutanan. KM sebagai gerakan paradigmatik telah melahirkan beberapa kekuatan masyarakat sipil yang konsisten mengusung nilai ini. Seperti FKKM (forum komunikasi kehutanan masyarakat) merupakan lembaga multipihak yang mendorong semua kalangan yang terkait baik pengusaha, pemerintah, masyarakat lokal, akedemisi dan LSM mengakselerasi pengembangan sistem hutan berbasis masyasrakat sesuai dengan kewenangan dan peran merka masing-masing
III. Prinsip-prinsip kehutanan masyarakat dan ideologi Pancasila Beberapa
penggiat
kehutanan
masyarakat
baik
secara
individual
maupun
kelompok/lembaga paling tidak menempatkan beberapa prinsip dasar dalam dunia kehutanan masyarakat antara lain; a.
Kesetaraan
b.
Kebersamaan
c.
Partispasi dan pemberdayaan masyarakat lokal
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 38 d.
Transparansi/keterbukaan
e.
Kepelbagaian/pluralisme
f.
Membangun kepercayaan (trust-building)
g.
Saling menghargai
h.
Kesetaraan gender Prinsip-prinsip diatas dibangun dari teori filsafat etika semata, tetapi berdasarkan
realitas, dan konsensus-konsensus para pihak praktisi dalam mendorong system pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Sehingga walaupun prinsip ini sangat universal namun dalam perkembangannya masih terbuka akan banyak perubahan dan dinamika-dimanika di masa yang akan datang. Nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi Bangsa Indonesia sebenarnya sangat mendukung prinsip-prinsip KM ini, sehingga ketika KM dihubungkan dengan semangat nasionalisme secara hakikat sangat bisa dipertemukan karena bersesuaian. Perjuangan hak masyarakat adat dalam menuntut hak pengelolaan sumberdaya dan menegakkan aturan adat mereka seringkali disalah tafsirkan sebagai anti nasionalisme karena ingin mengganti sistem legal hukum nasional. Secara khusus penulis hanya akan mencoba mencermati dua prinsip yakni prinsip kepelbagaian/pluralisme dan prinsip kesetaraan gender. Karena kedua prinsip ini tidak jarang disalah pahami dan terkadang memandangnya dari sisi etis pengamat. Bukan berarti prinsip yang lain tidak penting, namun prinsip lainnya telah banyak dikemukakan oleh beragam buku teks terkait teta tersebut. 1.
Prinsip Kepelbagaian/pluralisme Berikut adalah, contoh desa hutan yang syarat mengandung nilai-nilai kepelbagaian
dalam hubungan mereka dengan sumberdaya alam dan interaksi sosial mereka. Kotak 3. Prinsip Kepelbagaian dalam KM Prisip kepelbagaian dapat dilihat pada sistem kelembagaan adat Pammona masih diakui dan dipertahankan secara sosial dalam tata kehidupan masyarakat baik oleh masyarakat Pammona maupun masyarakat pendatang. Kerukunan antar umat beragama adalah salah satu contoh bagaimana kelembagaan adat berperan dalam mempertahankan hubungan kekeluargaan baik sesama penduduk asli maupun pendatang. Ketika terjadi konflik bernuansa SARA di Poso, masyarakat desa ini mampu menjadi benteng penyangga agar eskalasi konflik tidak meluas ke Sulawesi Selatan. Masyarakat Desa Kasintuwu menempatkan kelembagaan adat sebagai institusi uatama dalam mengatur kehidupan sosial mereka, seperti pernikahan, perselishian dan lain-lain.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 39
Penduduk asli Desa Kasintuwu adalah suku Pammona. Mereka tersebar di seluruh wilayah desa, tetapi paling banyak berdomisili di Dusun Sampuraga dan Dusun Tawi Baru. Masyarakat suku Pammona terbuka menerima pendatangdi desa ini. Hal ini dapat dilihat dari sebagian penduduk desa ini adalah masyarakat pendatang dari suku Toraja dan Bugis dan Makassar. Hal ini menyebabkan penduduk desa ini sangat plural, bukan hanya dari segi suku tetapi juga agama dan kepercayaan. Mayoritas suku Pamona dan masyarakat pendatang dari suku Toraja beragama Kristen, sedangkan masyarakat suku Bugis dan Makassar mayoritas beragama Islam. Jumlah penduduk Desa Kasintuwu sebanyak 3.343 jiwa, terdiri atas sebanyak 1.748 jiwa penduduk laki-laki dan sebanyak 1.595 jiwa penduduk perempuan, serta terdiri atas sebanyak 886 kepala keluarga. Jumlah penduduk usia kerja sebanyak 1.377 jiwa, maka tibgkat ketergantung (dependency ratio) penduduk relatif rendah yakni sebesar 1,4. Hal ini berarti bahwa setiap satu orang penduduk usia kerja menanggung sebanyak rata-rata 2 orang penduduk di luar usia kerja. Aktifitas masyarakat adat suku Pammona di dalam kawasan hutan pada mulanya lebih banyak berupa aktifitas memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu. Namun demikian, kehadiran suku Toraja dan Bugis-Makassar di desa ini telah merubah aktivitas masyarakat adat Pammona yaitu mereka mulai mempraktekkan sistem pertanian yang intensif seperti berkebun kakao dan tidak lagi berladang berpindah-pindahdi dalam kawasan hutan. Masyarakat pendatang yang akan memanfatkan lahan di dalam kawasan hutan menghubungi tokoh adat untuk minta izin menggarap lahan. Tokoh adat menyampaikan aturan-aturan adat dalam mengelola lahan dan meminta biaya pemanfaatan lahan kepada masyarakat pendatang. Besarnya biaya pemanfaatan lahan bervariasi bergantung luas lahan dan posisi lokasi. Dari hasil wawancara dengan responden belum terlihat adanya sitem bagi hasil dan sistem pembagian pengelolaan lahan yang terbangun antara pemerintah setempat/pemangku adat atau lembaga lokal yang terkait ketika mereka telah mengelola lahan. Hasil pertanian dan perkebunan mereka sepenuhnya menjadi milik petani pengelola lahan. 2.
Prinsip Kesetaraan Gender Prinsip kesetaraan gender dalam KM ini sering disalah tafsirkan sebagai pemberian
peran perempuan semata. Ketika sebuah organisasi ditanyakan tentang prinsip ini, terkadang jawaban secara langsung yang kita dapatkan adalah tentang komposisi jumlah perempuan yang ada di lembaga mereka. Jawaban ini tidak salah, tetapi tidak hanya itu. Indriatmoko, dkk
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 40 (2007) mengemukakan bahwa gender adalah konsep tentang peran dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki yang kemudian terkonstruksi dan dikonstruksikan oleh masyarakat. Hasil konstruksi Peran dan tanggung jawab tadi seringkali tidak adil. Fakta yang banyak ditemukan bahwa seringkali posisi perempuan berada dalam posisi yang sulit. Perempuan masih sering termaginalkan dalam pengelolaan kekayaan alam dan hutan, padahal kehidupan perempuan terutama di pelosok-pelosok, sangat erat hubungannya dengan kehidupan alam. Perempuan bahkan dapat berperan lebih efektif dalam tahapan reboisasi, diantaranya dalam kegiatan persemaian bibit tanaman sebelum dipindah ke hutan. Oleh sebab itu, diperlukan berbagai upaya untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan. Wiliam-de Vries, (2006) Dalam masyarakat tradisional-patriarkhi (yaitu masyarakat yang selalu memposisikan laki-laki lebih tinggi kedudukan dan perannya dari perempuan) kita dapat melihat dengan jelas adanya pemisahan yang tajam bukan hanya pada peran Gender tetapi juga pada sifat Gender. Misalnya, laki-laki dituntut untuk bersifat pemberani dan gagah perkasa sedangkan perempuan harus bersifat lemah lembut dan penurut. Padahal, laki-laki maupun perempuan adalah manusia biasa, yang mempunyai sifat-sifat tertentu yang dibawanya sejak lahir. Sifat lemah lembut, perasa, pemberani, penakut, tegas, pemalu dan lain sebagainya, bisa ada pada diri siapapun, tidak peduli apakah dia perempuan atau lakilaki. Sayangnya, konstruksi sosial di masyarakat merubah pandangan „netral‟ pada sifatsifat Gender tersebut. Lebih lanjut lagi Indriatmoko, dkk (2007) mengungkapkan pentingnya melaksanakan analisis gender dalam pengelolaan hutan oleh masyarakat, sebagai contohnya kita dapat mengetahui apakah perempuan dan laki-laki dapat memperoleh akses partisipasi, pengambilan keputusan, kontrol dan manfaat pada sumberdaya alam serta pengelolaan kekayaan alam yang sama atau tidak. Informasi ini penting baik bagi masyarakat lokal maupun lembaga yang bekerja dalam masyarakat lokal dalam melakukan perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi pengelolaan kekayaan alam yang responsif gender secara efektif. Wiliam-de Vries, (2006) menegaskan habwa kelompok perempuan secara alami mempunyai ikatan yang lebih kuat dibandingkan dengan kelompok laki-laki. Hal ini disebabkan karena ketergantungan antar individu perempuan dengan perempuan lainnya mempunyai ikatan emosional yang lebih kuat dibandingkan dengan lakilaki. Untuk itulah kelompok perempuan biasanya lebih homogen dari kelompok laki-laki. Jumlah kelompok perempuan yang terlibat dalam kegiatan sosial lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki, dan karena kegiatan aksi kolektif mengelola sumberdaya alam termasuk kategori kegiatan
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 41 sosial (tidak memberikan nilai ekonomi langsung secara material) maka lebih cenderung dapat berjalan dalam kelompok perempuan. Oleh karena itu, Gender awareness merupakan komponen yang sangat penting dalam memfasilitasi kelompok perempuan yang terlibat dalam aksi kolektif, untuk lebih meningkatkan kapasitas kelompoknya dan kualitas individuindividu yang tergabung di dalamnya. Hal ini sejalan dengan yang dicontohkan oleh Professor Muhammad Yunus peraih nobel perdamaian dari Bangladesh yang mendirikan Grameen Bank, Bank untuk kaum miskin, dengan kelompok perempuan sebagai pelaku utama dengan pertimbangan kohesifitas kelompok perempuan dalam menjalankan misi dan aksi bersama cebderung lebih setia dan lebih aktif. IV. Mengisi Kesenjangan Kebijakan Junus, dkk (2010) mengungkapkan bahwa tidak dapat disangkal bahwa belum pernah dalam sejarah Indonesia tersedia banyak peraturan perundang-undangan yang saling mendukung untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari berbasis masyarakat oleh masyarakat setempat, seperti sekarang ini. Namun tidak dapat disangkal pula bahwa masih terdapat gap atau kesenjangan antara tujuan yang ingin dicapai peraturan perundangundangan tersebut dengan kenyataan bahwa masyarakat setempat masih dinilai melakukan aktivitas illegal dalam kawasan hutan. Peraturan perundang-undangan yang saling mendukung untuk mewujudkan pengelolaan hutan berbasis masyarakat oleh masyarakat setempat adalah antara lain :
UU No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan
PP No.44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan
PP No.6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan
PP No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daeah Kabupaten/Kota
Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. P.23 / Menhut-II/2007 tentang Tata Cara Permohonan Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman
Permenhut No. P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan.
Permenhut No. P.9/Menhut-II/2008 tentang Persyaratan Kelompok Tani Hutan untuk Mendapatkan Pinjaman Dana Bergulir Pembangunan Hutan
Permenhut No. P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 42
Permenhut No. P.6/Menhut-II/2009 tentang Pembentukan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan. Lebih lanjut Junus, dkk (2010) menambahkan bahwa peraturan perundang-undangan
pada tingkat Pemerintah (Pusat) sudah mulai bagus. Argumen-argumen yang dipakai peraturan perundang-undangan tersebut kuat. Banyak yang mengkritik tentang prosedur perizinan yang ketat dan rumit di dalam kebijakan-kebijakan pemerintah pusat tersebut. Menurut Junus, dkk (2010) bahwa prosedur yang dipakai memang mesti ketat karena persoalan yang ingin diselesaikan adalah persoalan hukum. Sebenarnya, prosedurnya tidak rumit, sepanjang ada kemauan untuk mewujudkan pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang baik atau lestari dan sepanjang mengacu pada peraturan perundang-undangan. Hasil Baseline Survay yang dilakukan oleh RECOFTC di Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten Maros dalam Junus, dkk (2010) ditemukan kesenjangan-kesenjangan (gap) di dalam pelaksanaan kebijakan pengelolaan hutan berbasis masyarakat yaitu:
Kesenjangan antara kebijakan pemerintah pusat (permenhut) dengan kebijakan daerah tentang seikat hak-hak (a bundle of rights) masyarakat mengelola sumberdaya hutan. Kebijakan pemerintah tidak didukung oleh kebijakan mikro Pemerintah Kabupaten tentang hak-hak (a bundle of rights) masyarakat setempat untuk mengelola sumberdaya hutan
Kesenjangan antara pelayanan publik yang seharusnya disediakan oleh pemerintah kabupaten dan pemerintah desa dengan pelayanan publik yang sedang berlangsung pada saat ini. Pelayanan publik kehutanan pada saat ini belum merupakan pelayanan publik pengelola hutan berbasis masyarakat
Kesenjangan struktur pengurusan dan pengelolaan hutan pada tingkat tapak yang seharusnya sudah ada dan beroperasi untuk memberi pelayanan publik agar hak-hak masyarakat dapat diterima, namun saat ini
struktur tersebut belum ada. Struktur
pengurusan dan struktur pengelolaalan hutan berbasis masyarakat belum terbangun saat ini pada tingkat tapak.
Unit pengelolaan hutan (KPH) yang sesuai dengan keadaan geografis, sosial, ekonomi, dan lingkungan lokal belum terbangun. Wujud KPH yang dapat memberi pelayanan publik dan pengelolaan pada tingkat tapak perlu dicari dan ditemukan agar wujud KPH tersebut lebih sesuai dengan keadaan geografis, sosial, ekonomi dan lingkungan lokal.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 43 V. Ragam Konsepsi KM : Berbagi Tautan Konsepsi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Kotak 4. Ragam Tautan Konsepsi dalam KM Tautan konsep kehutanan masyarakat ada pada berbagai macam konsepsi pengelolaan. Konsep pengelolaan agroforestry, pengelolaan DAS maupun manajemen kolaborasi sesungguhnya memuat muatan pengelolaan Kehutanan Masyarakat. KM dapat berupa aktifitas, metodologi, walau disetiap konsep pengelolaan memiliki modus tersendirngi. Konsep tersebut tidak mesti harus dipertentangkan namun yang paling penting adalah bagaimana para pihak memiliki kesamaan pandangan dalam mengimplementasi setiap konsep tersebut
1. Konsep Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Modus pengelolaan DAS adalah dasar teori hidrologi yang berfokus pada manajemen daerah aliran sungai. Sungai mempunyai alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa jaringan pengaliran air mulai dari hulu baik yang ada mata air maupun tidak ada mata air sampai muara di laut, dengan dibatasi kanan dan kiri di sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan. Menurut Dunne dan Leopold (1978) dalam Soepijanto (2002), defenisi umum tentang daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu hamparan wilayah yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsure hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada titik-titik outlet. Soepijanto (2002) lebih lanjut mengungkapkan bahwa dengan defenisi ini berkonstribusi pada makna bahwa manajemen DAS melibatkan suatu proses yang sangat kompleks dan memakan waktu yang cukup lama. Sehingga
pengelolaan
DAS
memerlukan
implementasi
manajemen
yang
membutuhkan bukan hanya sumberdaya fisik semata tetapi juga sumberdaya sosial, termasuk ragam institusi yang berperan baik didarah hulu, bagian tengah, dan bagian hilir.Untuk mengembanngkan keterpaduan lintas lembaga/instusi, dianjurkan untuk melakukan uapayaupaya sebagai berikut : a. Menghindarkan langkah-langkah kerja yang berwawasan egosektoral b. Mengembangkan koordinasi lintas lembaga/instansi melalui penjabaran apa, bagaimana, kapan dan dengan siapa keterlibatan tersebut perlu ditangani
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 44 c. Menciptakan system perangsang yang menarik bagi berbagai lembaga/instansi sekaligus memecahkan masalah dan kendala yang dihadapi guna mewujudkan timbulnya “built in incentive” yang menggairahkan semua pihak. Sehingga dapat tercipta keseimbangan antara beban-beban (cost) yang harus ditanggung oleh setiap lembaga/instansi dengan manfaat (outcome) yang akan diperolehnya. Sebagai contoh penganggaran yang memadai untuk pelaksanaan kegiatan yang bersifat terpadu, atau publikasi secara transparan atas peranan suatu lembaga/instansi dan sebagainya. Supratman (2009) meneliti di wilayah catchment area PLTA Karebbe melaporkan bahwa kondisi lahan usahatani masyarakat umumnya marginal untuk mengembangkan komoditi pertanian dan berada di dalam kawasan hutan lindung yang peka terhadap erosi. Hal ini menyebabkan produktivitas usahatani masyarakat relatif rendah, cenderung bersifat ekstensif, serta banyak mengalami kegagalan. Masyarakat tidak dapat melakukan pengelolaan usahatani secara intensif karena pengetahuan teknik budidaya yang relatif rendah serta tidak tersedia modal yang cukup. Usahatani kebun kakao masyarakat pada saat ini banyak mengalami kegagalan karena rendahnya pengetahuan teknis budidaya. Pada saat ini masyarakat mengelola lahan usahatani di dalam kawasan hutan rata-rata seluas 1,0 sampai 3,0 ha/KK. Komoditi yang dikembangkan adalah kakao dan merica. Supratman (2009) lebih lanjut menjelaskan bahwa kondisi usahatani masyarakat seperti diuraikan di atas menyebabkan masyarakat cenderung melakukan ekstensifikasi lahan usahatani ke dalam kawasan hutan. \Sehingga diperlukan upaya penanganan yang lebih komprehensif dengan menempatkan masyrakat lokal sebagai subjek utama, atau melakukan program-program KM Atas dasar persoalan-persoalan yang terjadi baik di daerah hulu maupun jilir suatu DAS, maka Balai pengelolaan DAS Kementerian Kehutanan juga menjadikan program KM sebagai program utama UPT ini, terkhusus pada skema Hutan Desa dan Hutan Kemasyarakatan, serta Hutan Kemitraan 2. Kehutanan Masyarakat dan DAS Mikro Seingkali
program
pengembangan
pembangunan
pengelolaan
hutan
berbasis
masyarakat menjadi tonggak dalam pengelolaan daerah aliran sungai baik di wilayah hulu, bagian tengah maupun diwilayah hilir. Wilayah DAS dalam alienasinya juga sering menjadi tarik ulur dalam menetukan intervensi kegiatan, banyak pihak memiliki perbedaan pandangan dalam menentukan wilayah DAS, terutama dalam skala. Sebagai contoh pada wilayah DAS Jeneberang Walanae yang meliputi 8 Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan. Untuk menntukan
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 45 preskrpisi Kehutanan
Masyarakat di wilayah kabupaten Bantaeng, apakah harus
mempertimbangkan wialyah DAS tersebut yang sangat besar?, sementara dalam kabupaten Bantaeng sendiri terdapat dua DAS kecil (dapatr dilihat pada Gambar …). Tim kajian Fakultas Kehutanan UNHAS melalui dukungan Pemerintah Kabupaten Bantaeng akhirnya memutuskan bahwa dalam wilayah Kabupaten Bantaeng juga memiliki DAS yang selanjutnya disebut DAS Mikro, yaitu DAS Lantebong dan DAS Biangloe. Dalam wilayah DAS mikro inillah preskripis pengelolaan KM diletakkan. Sehingga secara detail tidak akan terlalu sulit melihat keterhubungan ekologi dan sosial antara masyarakat hulu dan masyarakat di hilir. Bahasan ini akan lebih dieksplorasi pada Bab Kesatuan Pengelolaan Hutan dan Kehutanan Masyarakat
Gambar 7. Sketsa Aliran Hidrologi dua DAS Mikro di Kabupaten Bantaeng
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 46 3. Pengelolaan Agroforestry Di dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa, Pasal 23, 24, 25, dan Pasal 26 disebutkan sejumlah hak-hak yang dapat diperoleh oleh pemegang Hak Pengelolaan Hutan Desa yang areal kerjanya berada di dalam kawasan hutan lindung sebagai berikut:
Pemanfaatan kawasan, dilakukan antara lain melalui kegiatan usaha: budidaya tanaman obat, budidaya tanaman hias, budidaya jamur, budidaya lebah, penangkaran satwa liar, atau budidaya hijauan makanan ternak.
Pemanfaatan jasa lingkungan, dilakukan antara lain melalui kegiatan usaha: pemanfaatan
jasa
aliran
air,
pemanfaatan
air,
wisata
alam,
perlindungan
keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan, atau penyerapan dan/atau penyimpanan karbon.
Pemungutan hasil hutan bukan kayu, dilakukan antara lain melalui kegiatan usaha: rotan, madu, getah, buah, jamur, atau sarang walet. Sejumlah hak-hak tersebut di atas tidak menyebutkan secara tersurat jenis kopi sebagai
salah satu jenis tanaman yang dapat dibudidayakan di dalam pemanfaatan kawasan hutan lindung. Namun demikian, kata “antara lain” pada pasal-pasal tersebut mengisyaratkan bahwa tidak menutup peluang pemanfaatan kawasan hutan lindung untuk kegiatan usaha budidaya selain yang telah disebutkan pada pasal-pasal tersebut. Oleh karena itu, budidaya kopi dengan pola-pola agroforestry tertentu berpotensi untuk dikembangkan di dalam pengelolaan hutan lindung (termasuk pada pengelolaan hutan desa di Kabupaten Bantaeng) sepanjang budidaya tersebut tidak mengganggu fungsi lindung kawasan hutan. Umar, dkk (2010) mengungkapkan bahwa penelitian secara ilmiah menunjukkan bahwa pandangan yang menyudutkan kebun kopi sebagai pemicu terjadinya erosi dan fungsi-fungsi DAS adalah pandangan yang tidak sepenuhnya memahami isu-isu mendasar tentang kontribusi tanaman kopi dalam memulihkan kondisi lahan yang telah mengalami degradasi. Hasil penelitian ICRAF (Suyanto, 2002) menunjukkan bahwa penanaman kopi multistrata di kawasan hutan lindung tidak hanya merupakan sumber mata pencaharian penduduk tetapi juga dapat mengendalikan erosi karena fungsi penutupan kanopinya yang menyerupai hutan alam. Sistem penanaman kopi multi strata mempunyai kanopi yang kompleks sehingga mampu melindungi permukaan tanah dan mengendalikan erosivitas air hujan. Kombinasi berbagai jenis pohon dalam sistem agroforestry berbasis kopi dengan karakteristik sistem perakaran yang berbeda antara satu dengan lainnya mampu memberikan kontribusi untuk
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 47 menstabikan tebing-tebing sungai (river banks). Mekanisme ini terjadi karena sistem kopi multistrata mempunyai kanopi kompleks yang melindungi permukaan tanah dari pukulan curah hujan yang tinggi dan juga mengembalikan serasah dalam jumlah besar di permukaan tanah sehingga mengurangi pengaruh erosivitas air hujan. Selain itu, percampuran berbagai jenis pohon dalam sistem agroforestry berbasis kopi dengan kedalaman perakaran yang bervariasi memberikan sinergitas terhadap peningkatan agregasi tanah sehingga tidak mudah terdispersi. Perpaduan antara jenis pohon berakar dalam yang perakarannya mampu menjangkar (anchored) dengan tanaman bawah yang mempunyai kerapatan akar (root density) yang tinggi sangat efektif memberikan perlindungan terhadap pergerakan massa tanah (mass movement). Kebijakan pembangunan kehutanan di Indonesia dewasa ini diarahkan kepada peningkatan upaya pengelolaan hutan terpadu, pelestarian hutan, dan pembangunan hutan tanaman penghasil kayu. Namun demikian, sampai sejauh ini,pelibatan masyarakat setempat dalam proyek-proyek hutan tanaman penghasil kayu, program-program pelestarian hutan, dan diversifikasi pola kehutanan untuk pengelolaan ekosistem hutan yang serba guna dan berkesinambungan, ternyata belum menunjukkan keberhasilan. Agroforestry
merupakan
suatu sistem pengelolaan hutan tepat guna, yang sesuai dengan kebutuhan petani dan yang tumbuh di masyarakat setempat. Oleh karena itu, bagi kalangan kehutanan, agroforestry perlu dijadikan bentuk pendekatan baru dalam kerangka pelestarian hutan dan pembangunan untuk wilayah-wilayah di mana perlindungan hutan secara total tidak mungkin bisa dilakukan (Mihon dan De Foresta). Hasil penelitian terkini ICRAF/CIFOR di Trimulyo, Lampung Barat (Suyanto et al., 2002) menunjukkan masyarakat
bahwa
penguatan penguasaan lahan di hutan lindung oleh
berdampak pada perubahan sistem pertanian yang lebih sehat. Lahan yang
sebelumnya tergolong kritis pembudidayaan kopi
dan ditumbuhi alang-alang
telah berhasil diatasi dengan
multisrata. Keberhasilan ini didukung oleh penguatan penguasaan
lahan yang diklaim oleh masyarakat. Selanjutnya dikemukakan bahwa pada saat penelitian dilaksanakan, sekitar 88 % dari 96% areal yang tadinya kritis telah ditanami dengan kopi multisrata. Namun demikian konsep pengelolaan agroforestry memiliki modus yang spesifik yakni pada modus penggunaan lahan terpadu atau bisa juga pada segmen landscape. Sehingga aspek sosial ekonomi bahkan politik mesti menjadi bahan yang penting dalam mendiskursuskan pengelolaan agroforestry sama halnya dengan konsep KM.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 48
Gambar 8. Contoh lahan dengan pola agroforestry, Hutan Kemiri yang Dikelola Secara Tumpangsari (Foto: Supratman)
4. Perubahan Iklim, REDD+ dan Kehutanan Masyrakat Perubahan iklim sesuatu yang nyata atau ilusi Sahide (2011) menuliskan bahwa di Desa Labbo terdapat seorang tokoh bernama Daeng Cimba dan di Desa Pattaneteang bernama puang Muhamma‟ memiliki kitab klasik yakni kita‟ pitika atau sura‟ riolo dengan kitab itu mereka dapat meramalkan kejadian dan juga terkait iklim, pantangan-pantangan, hari baik dalam bercocok tanam. Salah satu hal yang menarik tokoh tersebut meramalkan iklim dengan sistem perbintangan, dan peredaran bulan. Bapak Pudding salah seorang warga Desa Labbo begitu serius ketika menceritakan cara kerja mereka dalam meramalkan iklim. Namun kegelisahan beliau adalah tokoh tersebut sudah tua dan cenderung masyarakat sudah melupakan kearifan seperti itu. Kegelisahan Bapak Pudding juga bahwa iklim di daerah mereka cenderung sudah tidak bisa diprediksi selama 2 – 3 tahun terakhir ini. Jumlah hari hujan semakin bertambah dan hal itu membuat masyarakat cenderung merubah pola jenis tanaman yang mereka usahakan. Tapi belum bisa dipastikan apakah perubahan iklim sekarang dapat diprediksi oleh kearifan lokal seperti yang dimiliki Daeng Cimba dan Puang Muhamma‟. Lebih lanjut lagi Sahide (2011) menuliskan bahwa salah seorang penggiat KM di Kabupaten Bantaeng mengungkapkan bahwa dahulu waktu dia masih kecil (sekitar 20 tahun lalu), masih dengan sangat mudah dia menemukan sarang laba-laba putih (sarang laba-laba
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 49 ini terbuat dari embun pagi) pada rumput di kebun, bahkan di halaman rumah. Sarang labalaba embun ini diyakini sebagai “cenning rara” (pengasih), jika diusapkan kemuka dan dibacakan shalawat diyakini wajah seseorang akan cerah sepanjang hari. Namun sekarang ini, sudah sangat susah menemukannya, karena cuaca sudah mulai memanas. Mungkin inilah salah satu pertanda adanya perubahan iklim versi masyarakat lokal Kotak 5. Indikator Lokal dalam Perubahan Iklim Sahide (2011) mengungkapkan bahwa sebenarnya masyarakat lokal memiliki indikator tersendiri dalam merasakan bahwa perubahan iklim adalah sesuatau yang memang sedang berlangsung. Yang perlu memiliki keterhubungan adalah bagaimana system lokal dapat sinergis dengan antisipasi global dalam menghadapi perubahan iklim dan mewujud dengan tindakan nyata dan berguna bagi masyarakat lokal itu sendiri. Dalam situs web REDD-Indonesia (http://www.redd-indonesia.org) mengungkapkan bahwa perubahan iklim dalam perpektif ilmu pengetahuan telah menunjukkan beberapa validitas dari ratusan hasil studi dari seluruh dunia, para ahli yang tergabung dalam Intergovernmental Panel on Climate Change pada tahun 2007 sepakat bahwa kegiatan manusia merupakan penyebab utama pemanasan global. Faktor alam semata tidak cukup kuat untuk menjelaskan pemanasan secepat ini. Kenaikan suhu bumi tidak boleh melampaui 2 derajat pada tahun 2025 untuk membatasi akibat buruknya bagi hidup manusia. Lebih lanjut dalam situs web REDD-Indonesia mengungkapkan bahwa REDD+, singkatan dari Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation, merupakan suatu mekanisme global yang bertujuan untuk memperlambat perubahan iklim dengan memberikan kompensasi kepada negara berkembang untuk melindungi hutannya. Skema ini mulai menjadi perdebatan yang hangat sejak Papua Nugini dan Kosta Rika menjabarkan proposal pengurangan emisi deforestasi pada diskusi perubahan iklim pada tahun 2005. Indonesia maju untuk memperjuangkan REDD pada konvensi perubahan iklim di Bali tahun 2007, di mana ide tersebut telah berkembang dengan mengikutsertakan isu „degradasi hutan‟. Berbagai usul penambahan isu tentang agroforestri dan pertanian juga muncul. REDD berkembang lebih jauh lagi -- tanda „plus‟ di belakangnya menambahkan konservasi dan pengelolaan hutan secara lestari, pemulihan hutan dan penghutanan kembali, serta peningkatan cadangan karbon hutan. Jika kita melihat prinsip distribusi pembayaran REDD, antara lain (a) Dana REDD diterima oleh mereka yang berhak (efisiensi dan pro-poor), (b) Sederhana dan fleksibel, (c)
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 50 Sejalan dengan desentralisasi, (c) transparan dan akuntabel, (d) meningkatkan ke-REDD-an nasional dan lokal, dan (e) ada ruang untuk pembelajaran, maka kita akan melihat relevansi yang kuat dengan KM terutama prinsip pro poor atau masyarakat lokal yang selama ini termarjinalkan dan memberikan substansi dalam pengelolaan hutan yang lestari Hasil diskusi dengan penggiat KM Andri Santosa
(Sekertariat nasional Forum
Komunikasi Kehutanan Masyarakat/FKKM) bahwa dalam diskursus pada progam Laboratorium Kehutanan Masyarakat & Perubahan Iklim bahwa perjuangan KM sangatlah berat, walau demikian komunitas lokal yang mendapatkan izin areal HKm & HD (IUPHHKm & HPHD) menjadi tonggak sendiri dalam pencapaian hak kelola KM dan dapat mecoba skema REDD ini. Peluang dana melalui skema REDD ini akan tetap menjadi diskursus dalam pengembangan isu KM, bahwa dana REDD dapat dipandang sebagai bonus dari upaya-upaya yang para pihak lakukan dan lalui dalam memperjuangkan KM, bukan menjadi tumpuan harapan satu-satunya. Tentu saja pemahaman yang baik akan REDD dan skema lainnya sangat penting bagi komunitas lokal ketika akan memasuki skema ini. Pengusahaan hutan olem masyarakat lokal adalah bagian dari isu global sehingga kita tadak dapat melepaskan diri sepenuhunya terhadap upaya ini. Mengutip FAO (2010) bahwa hutan tentunya tidak dikelola hanya untuk perubahan iklim, tetapi untuk multiguna, biasanya complementary untuk ragam tujuan, konservasi keanekaragaman hayati, memprodduksi barang, melindungi tanah, air dan jasa lingkungan lainnya, provisi jasa-jasa sosial budaya, dukungan kehidupan dan penanggulangan kemiskinan. Accordingly, usaha-usaha adaptasi dan mitigasi perubahan iklim seharusnya menyediakan sinergisasi dan keseimbangan dengan level nasional dan lokal pengelolaan hutan lainnya 5.
Pembayaran Jasa Lingkungan dan Kehutanan Masyarakat Perubahan paradigma dari pengelolaan berbasis kayu menjadi berbasis sumber daya
sehingga memberi peluang bagi pemanfaatan jasa lingkungan hutan. Agus (2004) mengemukakan bahwa jasa lingkungan adalah sumbangan yang diberikan kepada masyarakat luas secara cuma-cuma oleh petani yang pada umumnya merupakan lapisan masyarakat yang termiskin dan terpinggirkan. Terdapat berbagai disinsentif dalam berusahatani seperti kegagalan pasar (market failures), biasnya kebijaksanaan terhadap nonpertanian, tidak tersedianya atau tidak sanggupnya petani memperoleh sarana pertanian oleh, serta berbagai masalah prasarana dan pemasaran. Petani juga sering mengalami kesulitan disebabkan keadaan cuaca yang sulit diprediksi serta masalah hama dan penyakit tanaman. Jasa
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 51 lingkungan hutan yang sudah dikenal : perlindungan dan pengaturan tata air, konservasi keanekaragaman hayati, penyerapan dan penyimpanan karbon, dan penyediaan keindahan bentang alam. Sedangkan bentuk pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung dan hutan produksi : air, aliran air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan, serta penyerapan dan penyimpanan karbon Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam Kementerian Kehutanan mengungkapkan bahwa Pemanfaatan jasa lingkungan hutan bertujuan memperoleh manfaat optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Kompensasi Jasa Lingkungan (KJL) dapat juga diistilahkan dengan Payment for Environmental Service (PES) yang secara popular diterjemahkan dengan pembayaran jasa lingkungan. PES dimaksud dengan pemberian pembayaran secara langsung dari penerima manfaat jasa kepada penyedia jasa. Dalam pendekatan PES, penerima jasa lingkungan, seperti air dan keindahan alam, memberikan kompensasi maupun produk non-finansial (bukan uang) kepada penyedia jasa (KLA, 2009). Menurut hasil penelitian Sahide, dkk (2010) dengan studi Hutan Tanaman Rakyat di Sulawesi Selatan, mengungkapkan bahwa, dalam konteks pembangunan KM, Pembayaran jasa lingkungan penting untuk dikaji karena dapat menjadi alternatif modus pengelolaan. Dalam perspektif rasional ekonomi petani, jika mengandalkan produk langusng dari hutan terkadang tidak menarik, karena secara finansial produk KM bersaing dengan komoditi sektor pertanian dan perkebunan yang lebih menguntungkan dalam sistem pasar yang berlangsung pada saat ini. Oleh karena itu, untuk menjadikan pembangunan KM menarik secara ekonomi (economically atractive) bagi petani maka diperlukan valuasi ekonomi total dari produk KM. Konsekwensinya adalah produk-produk KM yang tidak ternilai dalam mekanisme pasar pada saat ini harus dikompensasikan kepada petani pengelola KM melalui mekanisme insentif dan disinsentif. Insnetif tersebut dapat berupa skema PES PES tidak dapat berdiri sendiri dan dilaksanakan secara ekslusif. Implementasi sebuah program PES memerlukan dukungan regulasi dan pendekatan-pendekatan lain. Menurut KLA (2009) bahwa persayaratan agar PES dapat berjalan: a. Ada mekanisme yang jelas antara supply dan demand atas jasa lingkungan. persyaratan ini meliputi: b. Ada pasar yang jelas. pasar merupakan tempat bertemunya permintaan dan penawaran. keberadaan pasar jasa lingkungan ini dapat dirunut dengan identifikasi ataupun study keberadaan peminat dan penyedia. Keberadaan peminat jauh lebih penting dari pada penyedia.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 52 c. Cakupan wilayah dan skala pelayanan. Hal krusial adalah isu seberapa luas sumberdaya lingkungan yang ada dan seberapa luas jasa ataupun pelayanan lingkungan yang diberikan. Bagaimana tata waktu pelayanan yang diberikan. Apakah sepanjang tahun? Berdasarkan musim? Langsung saat sebuah proyek dilaksanakan atau 2-4 tahun kemudian? d. Dukungan Pengambil Keputusan Puncak. e. Pengambil keputusan puncak (top decision maker) dapat berupa Bupati / walikota (untuk kabupaten/kota, Gubernur untuk tingkat provinsi, maupun Menteri terkait. Dukungan yang ada harus diwujudkan dengan sebuah regulasi kebijakan. f. Dukungan Organisasi Perantara.Institusi tersebut dapat berupa NGO, lembaga lingkungan di bawah PBB, maupun lembaga riset. Lembaga perantara memainkan peran utama sebagai agen penelitian, monitoring, dan kampanye untuk mencari pembeli. Dalam Gambar 9., Leimona (2008) mengemukakan bahwa terdapat 4 tahapan dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan, tahapan tersebut memiliki prisip-prinsip reallistik, kesukarelaan, keberpihakan terhadap masyarakat miskin, kejelasan kontrak, serta skema yang berkelanjutan dan kesetaraan untuk seluruh para pihak. Menurut Danny, 2008, bahwa kendala pemanfaatan jasa lingkungan hutan antara lain; a.
Belum tersedianya peraturan perundangan secara khusus mengatur
pengendalian
pemanfaatan jasa lingkungan hutan. b.
Jasa lingkungan hutan masih dianggap sebagai komoditi hasil hutan yang relatif baru.
c.
Data jenis, sebaran, dan potensi pemanfaatan yang ada belum tersedia secara menyeluruh.
d.
Metoda valuasi untuk menentukan besarnya potensi nilai ekonomi belum tersedia.
6.
Varian Kehutanan Masyarakat dalam Perkembangan Kebijakan Terkini Empat Tahap dalam
(Sumber: RUPES)
Pengembangan Mekanisme Pembayaran Jassa Lingkungan
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 53
Gambar 9. Empat Tahapan Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan (Sumber: RUPES) Titik awal pergeseran paradigma pengelolaan hutan yang berpihak kepada kesejahteraan masyarakat lokal tercermin dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 (UU 41/1999) tentang Kehutanan. Poin penting ini tercantum dalam penjelasan umum dari undang-undang tersebut yang bunyinya ”Dilihat dari sisi fungsi produksinya, keberpihakan kepada rakyat banyak merupakan kunci keberhasilan pengelolaan hutan. Oleh karena itu praktek-praktek pengelolaan hutan yang hanya berorientasi pada kayu dan kurang memperhatikan hak dan melibatkan masyarakat, perlu diubah menjadi pengelolaan yang berorientasi pada seluruh potensi sumberdaya kehutanan dan berbasis pada pemberdayaan
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 54 masyarakat”. Junus, dkk (2010) mengungkapkan bahwa
masyarakat setempat memiliki
sejumlah atau seikat hak-hak (a bundle of rights) untuk mengelola hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi (kecuali pada cagar alam, zona rimba, zona inti dalam taman nasional). Hak-hak ini telah dibuka melalui kran kebijakan nasional, namun kenyataannya di lapangan masyarakat setempat belum atau tidak memiliki hak-hak tersebut di atas. Tindaklanjut dari UU 41/1999 adalah dengan disahkannya Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 (PP 6/2007) jo Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2008 (PP 3/2008) tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan. Aturan kebijakan yang lebih operasional juga telah dibuat dalam rangka implementasi Peraturan Pemerintah tersebut yaitu dengan di sahkannya Peraturan Menteri Kehutanan No P.37/Menhut-II/2007 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan dan Peraturan Menteri Kehutanan P 49/Menhut-II/2009 tentang Hutan Desa. Perkembangan terakhir kebijakan pengelolaan HKm telah disempurnakan dengan disahkannya Permenhut No P 13/Menhut-II/2010, dan kebijakan pengelolaan Hutan Desa dengan Permenhut No. P 14/Menhut-II/2010, perubahan kebijakan tersebut menitikberatkan kepada proses penetapan areal kerja yang di lakukan melalui koordinasi awal dengan antara pemerintah daerah melalui proses identifikasi dan inventarisasi potensi lokasi. Melalui proses koordinasi ini diharapkan proses penetapan areal kerja dapat dilakukan dengan lebih cepat dan tepat. Tabel 6. Varian Kehutanan Masyarakat No.
Varian Kehutanan Masyarakat
1 2 3
Hutan Kemasyarakatan Hutan Desa Hutan Kemitraan
Landasan Operasional (Kebijakan) P.37/Menhut-II/2007 P. 49/Menhut-II/2009 PP 6/2007
4 5
Hutan Tanaman Rakyat Hutan Adat
P. 23/ Menhut 2007 RPP Hutan Adat
6
Hutan Rakyat
Ragam perda
Keterangan
Belum ada aturan teknis (masih uji coba) Dalam proses diskursus dan pembahasan
a. Hutan Desa Semenjak republik ini merdeka, maka konsep wilayah desa mengikuti konsep kesatuan NKRI dengan nama Desa sebagai unit pemerintahan terkecil dan terdekat dengan masyarakat, istilah ini berasal dari Jawa (dari kata deso), namun penerapan istilah desa tetap
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 55 mengacu pada wilayah yang sudah eksis pada masyarakat yang ada di nusantara. Walaupun usaha mengembalikan istilah lokal mengalami momentumnya pada masa reformasi, seperti kembalinya Lembang di Tana Toraja dan Nagari di Sumatera Barat. Penyeragaman bukan hanya pada peristilahan, namun juga berubahnya struktur dan kewenangan. “Konfigurasi penyeragaman seperti terlihat dalam UU No. 5 tahun 1974 yang disusul pelemahan desa menjadi hanya sekedar wilayah administrasi terkecil dibawah Kecamatan yang tidak mempunyai kekuasaan mengatur diri sendiri, mengakibatkan berubahnya struktur, posisi, bahkan wilayah desa. Terjadi banyak pemekaran dan atau penggabungan desa-desa yang sering kali tidak memandang faktor asal usul dan kesejarahan, sehingga praktis identitas desa asal sebagai suatu wilayah otonom menjadi kabur dan bahkan hilang”. Desa, kampong, nagari, lembang (di Tana Toraja) atau nama lainnya, merupakan suatu kesatuan wilayah yang sangat erat kaitannya dengan sumberdaya hutan. Sumberdaya tersebut dikelola baik sebagai sumber pendapatan ekonomi, perlindungan hutan, maupun sebagai penanda desa. Menurut Awang (2011) bahwa terdapat beberapa pengertian hutan desa yang dapat dikategorisasi menjadi tiga bagian antara lain ; 1. aspek teritorial, hutan desa adalah hutan yang masuk dalam wilayah administrasi sebuah desa definitif, dan ditetapkan oleh kesepakatan masyarakat 2. aspek status, hutan desa adalah kawasan hutan negara yang terletak pada wilayah administrasi desa tertentu, dan ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan desa. 3. aspek pengelolaan, hutan desa adalah kawasan hutan milik rakyat dan milik pemerintah yang terdapat dalam satu wilayah adminstrasi desa tertentu, dan ditetapkan secara bersama-sama antara pemerintah daerah dan pemerintah sebagai hutan desa yang dikelola oleh organisasi masyarakat desa. Lebih lanjut Awang (2011) menganalisis bahwa jika dilihat dari perspektif UU No.41/99 tentang kehutanan, khususnya pada penjelasan pasal 5 ayat (1) hutan desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa. Pengertian ini dekat dengan katagori pengertian butir (2) di atas. Pasal ini memang sangat “state based perspective”, walaupun tidak realistik untuk menyelesaikan persoalan SDH di tingkat lapangan. Tulisan ini selanjutnya memilih alternatif katagori ke (3) sebagai basis bergerak mengembangkan konsep-konsep hutan desa. Damar (1999) mengungkapkan bahwa pada awal menggulirkan konsep hutan desa mendefinisikan hutan desa sebagai kawasan hutan negara yang masuk dalam wilayah desa tertentu dan dikelola oleh masyarakat desa tertentu. Satu definisi yang masih umum dan cenderung mengikuti bahasa undang-undang. Dalam perjalananannya ketika berinteraksi
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 56 langsung di lapangan, membicarakan pengelolaan hutan di desa memang harus holistik dan integrasi dengan pembangunan pedesaan. Sebagai satu kesatuan wilayah maka dari aspek status pengelolaan hutan desa harus mencakup status hutan negara dan hutan rakyat yang ada di desa tersebut. Lembaga dan aktor pengelola akan tergantung pada kesiapan dan kondisi masing-masing lokasi. Yang pasti masyarakat desalah sebagai aktor utama pengelola, meskipun nantinya berbentuk kelompok tani, badan hukum perkumpulan, koperasi, dan lain sebagainya. Sementara itu Alam (2003) mendefinisikan hutan desa sebagai kawasan hutan negara, hutan rakyat, dan tanah negara yang berada dalam wilayah administrasi desa yang dikelola oleh lembaga ekonomi yang ada di desa, antara lain rumah tangga petani, usaha kelompok, badan usaha milik swasta, atau badan usaha milik desa yang khusus dibentuk untuk itu, dimana lembaga desa memberikan pelayanan publik terkait dengan pengurusan dan pengelolaan hutan. Definisi dari Universitas Hasannudin ini bahkan sudah menyebutkan kelembagaan dan aktor pengelolaannya, yang tentu saja akan tergantung pada kondisi lokal tiap-tiap desa. Hasil wawancara dengan beberapa masyarakat lokal di Sulawesi Selatan bahwa sebenarnya hutan desa memiliki sejarah yang kuat di Sulawesi Selatan khususnya didaerah suku bugis-makassar dengan penamaan dan konsepsi yang beragam anatara lain „tana bengko‟. Tana bengko dan atau hutan desa dialokasikan kepada siapapun kepala desa atau kepala kampung yang terpilih untuk dikelola dengan tujuan agar kehidupan kepala desa terjamin sehingga dapat fokus dalam menjalankan kewajiban selaku kepala kampung. Tamutamu desa atau kampung dapat dijamu dari sumberdaya hutan desa tersebut, sehingga tradisi menghormati tamu melalui sajian terbaik desa dapat dilestarikan Secara sosiologis hutan desa itu eksis secara sosiologis, baik itu berada dalam kawasan hutan (atau hutan Negara) maupun berada di luar kawasan (atau hutan hak/rakyat). Seperti halnya tanah bengkok, tanah kas desa, atau sebutan lainnya telah mengalami penurunan fungsi semenjak tata ruang kawasan hutan oleh Negara. Praktek-praktek tradisional masyarakat dalam membangun hutan di desa mereka mengalami evolusi dari desa ke pemerintah.
b. Hutan Kemasyarakatan Konsep hutan kemasyarakatan (forest community) atau disingkat HKm pertama kali diperkenalkan oleh pemerintah pada tahun 1995 dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 622/Kpts-II/1995, kemudian direvisi dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 57 Perkebunan No. 677/Kpts-II/1998, kemudian direvisi lagi dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 865/Kpts-II/1999, dan revisi terakhir adalah Keputusan Menteri Kehutanan No. 31/Kpts-II/2001. Intisari konsep kehutanan masyarakat dari beberapa keputusan menteri tersebut adalah membangun sistem pengelolaan hutan negara yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat tanpa mengganggu fungsi pokok hutannya. Tahap-tahap pelaksanaan hutan kemasyarakatan 1. Pencadangan areal hutan kemasyarakatan. Dapat dicadangkan pada kawasan hutan produksi, kawasan lindung, dan pada pelestarian alam pada zona pemanfaatan 2. Penyiapan kondisi masyarakat. Merupakan kegiatan awal yang penting dilaksanakan sebelum pemberian Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan 3. Terbentuknya kelembagaan masyarakat berdasarkan aspirasi dan inisiatif masyarakat itu sendiri dalam mengelola hutan secara lestari. Penyiapan kondisi masyarakat dilakukan melalui penyebarluasan informasi tentang kebijakan dan peraturan hutan kemasyarakatan 4. Perencanaan. Rencana pengembangan hutan kemasyarakatan diawali dengan diperolehnya hak pengusahaan hutan kemasyarakatan, koperasi masyarakat lokal wajib menyusun Rencana Induk Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan(RPHKm), Rencana Lima Tahunan Hutan Kemasyarakatan (RKLHKm) 5. Pelaksanaan. Hutan kemasyarakatan dikelola oleh koperasi masyarakat lokal sebagai pemegang hak pengusahaan hutan kemasyarakatan 6. Pemantauan dan evaluasi di lapangan. Sebagai pemegang hak pengusahaan hutan kemasyarakatan, koperasi memantau sendiri kegiatan pengelolaan hutan kemasyarakatan c.
Hutan Tanaman Rakyat (HTR) HTR merupakan hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh perorangan
atau kelompok masyarakat dan koperasi untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan. Pola HTR terdiri dari: a. HTR Pola Mandiri adalah HTR yang dibangun oleh Kepala Keluarga pemegang IUPHHK-HTR. b. HTR Pola Kemitraan adalah HTR yang dibangun oleh Kepala Keluarga pemegang IUPHHK-HTR bersama dengan mitranya berdasarkan kesepakatan bersama dengan difasilitasi oleh pemerintah agar terselenggara kemitraan yang menguntungkan kedua pihak.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 58 c. HTR Pola Developer adalah HTR yang dibangun oleh BUMN atau BUMS dan selanjutnya diserahkan oleh Pemerintah kepada Kepala Keluarga pemohon IUPHHKHTR dan biaya pembangunannya menjadi tanggung jawab pemegang ijin dan dikembalikan secara mengangsur sejak Surat Keputusan IUPHHK-HTR diterbitkan. Menurut Emila dan Suwito (2007) bahwa konsep pemberian akses yang lebih luas kepada masyarakat dalam pembangunan hutan tanaman, disusun dari proses pembelajaran Departemen Kehutanan atas program maupun proyek Pemberdayaan Masyakat yang selama ini ada, misalnya
program Bina Desa, program kemitraan seperti Pengelolaan Hutan
Bersama Masyarakat (PHBM)/Mengelola Hutan Bersama Masyarakat (MHBM)/Hutan Rakyat Pola Kemitraan (HRPK) oleh HPH/IUPHHK-HA/HT, proyek -proyek kerjasama teknik luar negeri seperti Social Forestry Dephut-GTZ di Sanggau Kalimantan Barat, Multistakeholders Forestry Programme Dephut-DFID dan beberapa proyek pemberdayaan masyarakat yang ada di Departemen Kehutanan. Hasil pembelajaran tersebut memberikan kerangka filosofis atas pemberdayaan ekonomi masyarakat untuk mengatasi kemiskinan melalui pemberian akses yang lebih luas ke hukum (legalitas), ke lembaga keuangan dan ke pasar. Selain kerangka filosofisnya, diperoleh pula prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat (the principles) yaitu : a. Prinsip pertama adalah masyarakat mengorganisasikan dirinya berdasarkan kebutuhannya (people organized themselves based on their necessity) yang berarti pemberdayaan hutan beserta masyarakatnya ini bukan digerakkan oleh proyek ataupun bantuan luar negeri karena kedua hal tersebut tidak akan membuat masyarakat mandiri dan hanya membuat “kebergantungan” masyarakat. b. Prinsip kedua adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat harus bersifat padat karya (labor-intensive) sehingga kegiatan ini tidak mudah ditunggangi pemodal (cukong) yang tidak bertanggung jawab. c. Prinsip ketiga adalah Pemerintah memberikan pengakuan/rekognisi dengan memberikan aspek legal sehingga kegiatan masyarakat yang tadinya informal di sektor kehutanan dapat masuk ke sektor formal ekonomi kehutanan/ekonomi lokal, nasional dan global sehingga bebas dari pemerasan oknum birokrasi dan premanisme pasar. Menurut Supratman, dkk (2006) Tolak ukur untuk menilai keberhasilan program pembangunan HTR terbagi ke dalam 6 sub elemen yaitu, (1) rehabilitasi hutan produksi pola HTR, (2) adanya Peraturan Daerah HTR, (3) terbangunnya kelembagaan unit pengelolaan HTR, (4) sektor kehutanan sebagai sektor basis di desa hutan, (5) menurunnya tingkat pengangguran, (6) investasi masyarakat, pemerintah, swasta membangun HTR dan industri
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 59 hasil hutan kayu. Sub elemen yang menjadi kunci dari elemen tolak ukur untuk menilai keberhasilan program pembangunan HTR adalah sub elemen (6) yaitu investasi masyarakat, pemerintah, dan swasta membangun HTR dan industri hasil hutan kayu. Tabel 1. Daftar Realisasi Pencadangan Areal HTR sampai dengan November 2010 di Sulawesi Selatan No.
Kabupaten
SK Menteri
Tanggal
1
Sidrap
SK 277/Menhut-VI/2008
8 Agustus 2008
2.749
2
Palopo
SK 274/Menhut-VI/2008
8 Agustus 2008
80
3
Takalar
SK 269/Menhut-VI/2008
8 Agustus 2008
1.900
4
Pangkep
SK 275/Menhut-VI/2008
8 Agustus 2008
960
5
Maros
SK 274/Menhut-VI/2008
8 Agustus 2008
8.580
6
Barru
SK 271/Menhut-VI/2008
8 Agustus 2008
5.240
7
Enrekang
SK 270/Menhut-VI/2008
8 Agustus 2008
2.575
8
Tana Toraja
SK 270/Menhut-VI/2008
8 Agustus 2008
142
9
Soppeng
SK 270/Menhut-VI/2008
8 Agustus 2008
3.736
10
Luwu Utara
SK 392/Menhut-II/2008
10 November 2010
11
Pinrang
SK 279/Menhut-II/2009
13 Mei 2009
Jumlah
Luas (Ha)
473 8.100 34.535
d. Hutan Adat Ragan perspektif terkait hutan adat ini, negara dalam hal ini UUK pada pasal 1 Huruf (e) berbunyi “Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.” Sehingga dari sini hutan adat adalah kawasan hutan negara, namun realitasnya bahwa banyak komunitas adat tidak mengakui kawasan hutan negara, dan juga banyak kawasan hutan adat berada di luar kawasan hutan negara. Dalam UUK juga mengamantkan agar salah satu bentuk legalitas yang harus dimiliki oleh komunitas adat adalah adanya pengakuan melalui Peraturan Daerah di Kabupaten. Untuk itu Firdaus (2010) mengemukakan bahwa Situasi ini mendorong sejumlah Pemerintahan Daerah melakukan terobosan hukum untuk mengakui keberadaan masyarakat adat dan hutan adatnya melalui Peraturan Daerah (Perda) maupun Surat Keputusan (SK) Kepala Daerah, misalnya Perda Baduy di Kabupaten Lebak Propinsi Banten, SK Bupati Merangin dan SK Bupati Bungo di Propinsi Jambi. Sejumlah Perda dan SK tersebut secara sosiologis dianggap sebagai tindakan responsif terhadap tuntutan masyarakat adat.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 60
e.
Pengelolaan Kolaboratif dalam Kawasan Konservasi Paradigma lama pengelolaan
kawasan konservasi memang cenderung eksklusif
dengan penekanan pada perlindungan sistem penyangga kehidupan, tanpa menyentuh aspek pemanfaatan lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Praktek pemikiran inilah menyebabkan rencana pengelolaan tidak mengakomodasi berbagai kepentingan masyarakat yang hidup di sekitar taman nasionl sehingga sering memicu konflik dan tekanan terhadap keberadaan taman nasional. Sedangkan paradigma baru pengelolaan kawasan konservasi sangat berbeda, sistem pengelolaan harus terintegrasi dan mengakomodir berbagai kepentingan yang terkait, khususnya menyangkut kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan. Sumberdaya alam di taman nasional dipandang sebagai sebuah kekayaan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya yang dapat memberikan manfaat yang nyata baik bagi masyarakat sekitar maupun pihak-pihak lain yang terkait. Dengan paradigma baru pengelolaan kawasan konservasi maka akan melibatkan partisipasi aktif berbagai stakeholder. Jusuf, dkk (2010) mengemukakan bahwa manajemen kolaboratif adalah suatu bentuk manajemen yang mengakomodasikan kepentingan-kepentingan seluruh stakeholder secara adil, dan memandang harkat setiap stakeholder sebagai entitas yang sederajat sesuai dengan tata nilai yang berlaku dalam mencapai tujuan bersama. Kemitraan merupakan persetujuan diantara para stakeholder yang memiliki kepentingan bersama untuk menjalin kerjasama yang saling menguntungkan, saling memperkuat dan saling memerlukan. Kolaborasi sebagai media untuk mewujudkan suatu tujuan yang sulit dilakukan sendiri sehingga memerlukan komitmen tinggi dan tanggungjawab serta sikap saling menghormati antar pihak yang terlibat. Lebih lanjut Jusuf, dkk (2010) mengemukakan bahwa kolaborasi mensyaratkan adanya pertukaran informasi, perubahan aktivitas, dan pengkontribusian sumberdaya, serta mencakup peningkatan kapasitas pihak lainnya guna keuntungan bersama dan dalam rangka mencapai tujuan bersama. Kontribusi sumberdaya mencakup SDM, finansial, teknis, pengetahuan, tenaga kerja, benda/barang, dan akses ke masyarakat. Dalam pengelolaan kolaborasi terdapat peran yang setara diantara para stakeholders sehingga masing-masing stakeholders memberi kontribusi, memikul tanggungjawab dan menerima manfaat yang proporsional. Masyarakat lokal mampu berkontribusi dalam hal kearifan lokal, norma, kelembagaan lokal, penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam. Supaya masyarakat dapat berperan setara dengan stakeholder lain dalam pengelolaan sumberdaya hutan, maka
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 61 pemberdayaan masyarakat desa sekitar taman nasional merupakan syarat perlu agar pengelolaan kolaboratif dapat terselenggara dengan baik. Stakeholder tersebut memiliki kepentingan yang beragam, ada yang sejalan dengan upaya konservasi namun ada pula yang berseberangan. Oleh karena itu diperlukan komitmen bersama dan sikap saling menghormati antar pihak yang terlibat. Agar kolaborasi bisa berjalan baik, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1. Kolaborasi memerlukan kerjasama yang saling menguntungkan, saling memperkuat dan saling memerlukan.Tanpa pemahaman yang sama diantara para stakeholder, maka kolaborasi tidak akan bertahan. Komitmen bersama para pihak, yang dukung oleh political will yang kuat dan konsisten dari pemerintah mutlak diperlukan. 2. Menfasilitasi terciptanya ruang kolaborasi bagi masyarakat lokal sekitar TN Babul melalui eksprimen kerja kolaboratif secara berkelanjutan. 3. Kolaborasi harus dapat beradaptasi terhadap perubahan, baik perubahan, ekonomi, maupun situasi politik. Kolaborasi harus memiliki suatu alat untuk mengadakan negosiasi ulang di masa mendatang, agar dapat bertahan meski terjadi perubahan, seperti dalam bentuk kesepakatan bagi hasil, komposisi pemanfaatan lahan, dan lain-lain yang telah disepakati bersama.
f.
Hutan Hak/Hutan Rakyat Ragam perspektif terkait hutan rakyat, namun pada bahasan ini kita akan memakai
istilah hutan rakyat pada lahan-lahan hutan masyarakat yang berada di luar kawasan hutan atau biasa disebut dengan hutan hak. Hal ini dipertegas dengan SK Menhut No. 49/KptsII/1997 tentang pendanaan dan usaha hutan rakyat, pengertian hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0,25 ha dengan penutupan tajuk tanaman kayukayuan dan atau jenis lainnyalebih dari 50% dan atau tanaman sebanyak minimal 500 tanaman tiap hektar. Hutan rakyat merupakan budidaya pertanian turun-temurun di desa-desa yang telah berlangsung sejak puluhan tahun yang lalu. Hutan rakyat dalam pemahaman mereka berarti sebagai sumberdaya yang bisa bermanfaat bagi pertanian secara umum dan dalam praktek kehidupan sehari-hari.
Dengan pemilikan lahan yang sempit maka dalam konteks
pertanian/budidaya hutan rakyat tidak dikenal sistem monokultur tetapi berupa kebun campuran. Komposisi seperti itu saling melengkapi baik dari segi ekologi maupun ekonomi. Karena budidaya hutan rakyat merupakan kebiasaan turun-menurun maka para petani sudah
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 62 terbiasa melakukan rehabilitasi dalam arti setiap pemanenan komoditi yang ditanam di atas lahan miliknya segera disusul dengan penanaman kembali. Hal ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat karena mereka telah merasakan hasil yang diperoleh dari budidaya hutan rakyat. Pengelolaan hutan rakyat tersebut sampai saat ini praktis tidak ada perubahan baik ditinjau dari segi manajemennya, teknik budidaya sampai pemasarannya, Trison S dan Hero Y (2011). Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1998 tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan di bidang kehutanan kepada daerah, maka pengurusan pengelolaan hutan rakyat telah diserahkan kepada DATI II yang mencakup pembinaan kegiatan penanaman pohon-pohonan, pemeliharaan, pemanenan, pemanfaatan, pemasaran dan pengembangan.
PENUTUP
I. Penugasan Pertanyaan-pertanyaan kunci yang dikemas melalui diskusi maupun kuis kepada mahasiswa a. Jelasakan secara ringkas analisis situasi pengelolaan hutan di Indonesia b. Bagaimana konsepsi kehutanan masyarakat dapat berperan dalam pengelolaan hutan berkelanjutan c. Jelaskan beragam perspektif tentang konsepsi kehutanan masyarakat d. Jelaskan prinsip-prinsip kunci kehutanan masyarakat berupa contoh-contoh kasus
DAFTAR PUSTAKA
Agus F. 2004. Jasa Lingkungan Pertanian dan Praktek Petani yang Layak Menerima Imbalan. Hal 39-53. Prosideing Dampak Hidrologis Hutan, Agroforestri, dan Pertanian Lahan Kering sebagai Dasar Pemberian Imbalan kepada Penghasil Jasa Lingkungan di Indonesia. ICRAFT, RUPES Awang, S.A. Perkembangan Kehutanan Sosial dan Kehutanan Masyarakat di Indonesia: Kegagalan, Keberhasilan, atau Frustasi, Makalah disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Nasional tentang Metodologi Penelitian Partisipasi dalam PSDAM, Bandung, 2002 Danny Wilistra 2008. Kebijakan dan Strategi Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan. Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam Direktorat Jenderal
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 63 Perlindungan Hutan Dan Konservasi Alam. Departemen Kehutanan. Makalah Tidak Dipublikasikan Efendi R. 2010. Rantai Pasar Produk Social Forestry. Hal 109-119 dalam . Social Forestry Menuju Restorasi Pembangunan Kehutanan Berkelanjutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Kementerian Kehutanan Emila dan Suwito, 2007. Hutan Tanaman Rakyat (HTR) Agenda baru untuk pengentasan kemiskinan?. Warta Tenure Nomor 4 - Februari 2007 FAO, 2010. Managing forests for climate change. FAO, working with countries to tackle climate change through sustainable forest management Firdaus A. Y. HUTAN ADAT: Tersandera Politik Kehutanan. Jurnal Kehutanan Masyarakat Vol. 3.No.1. Hal 53-78. Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat Indriatmoko.Y. E., Yuliani L, Tarigan Y., Gaban F., Maulana F.,Munggoro D.W.,, Lopulalan . D., Adnan H. 2007. Dari Desa ke Desa Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam. CIFOR Junus M., Supratman. Sahide, M.A.K. 2009. Kesenjangan Hak-Hak Masyarakat Setempat dengan Pelaksanaan Pembangunan Kehutanan Berbasis Masyarakat. OPINION BERIEF No. ECICBFM II-2009.01. RECOFTC Jusuf Y., Supratman., Sahide, M.A.K. 2010. Pendekatan Kolaborasi dalam Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung : Strategi Menyatukan Kepentingan Ekologi dan Sosial Ekonomi Masyarakat. OPINION BERIEF No. ECICBFM II2010.02. RECOFTC
KLA.
2009. Kompensasi Jasa Lingkungan (Artikel). Diposkan oleh KLA di http://lingkunganaceh.blogspot.com/2009/09/kompensasi-jasa-lingkungan. html . Diakses pada 13/12/2011
Leimona Beria. 2008. Imbal Jasa Lingkungan Prinsip, kriteria dan indicator. RUPES Program – ICRAF SEA. Makalah Presentase pada Pelatihan Pembayaran Jasa Lingkungan di Kawasan Konservasi Hotel Ria Diani (Puncak, Bogor) – 11/12 Juni 2008 REDD-Indonesia http://www.redd-indonesia.org diakses tanggal 18 Maret 2012 Sundawati L., Nurrochmat D. R., Setyaningsih L., Puspitawati H., Trison S. 2008. Pemasaran Produk-Produk Agroforestry. Fakultas Kehutanan – Institut Pertanian Bogor (IPB) dan World Agroforestry Centre (ICRAF) Sahide, M. A. K., Supratman. , Dassir M., Junus M., Mahbub A.S., Makkarennu, 2010. Studi Implementasi Program Hutan Tanaman Rakyat di Sulawesi Selatan. Balai Penelitian dan Pengembangan propinsi Sulawesi Selatan
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 64
Santoso H. 2011. Hutan Kemasayarakatan dan Hutan Desa: Tafsir Setengah Hati Pengelolaan Human Berbasis Masyarakat Versi Kementrian Kehutanan RI. Jurnal Kehutanan Masyarakat Vol. 3.No.1. Hal 53-78. Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat Santoso H, 2011. Kehutanan Masyarakat adalah Proyek: Sebuah Pemanasan untuk Munas FKKM 2011. Blog FKKM. https://www.facebook.com/notes/herysantoso/kehutanan-masyarakatkm-adalah-proyek-sebuah-pemanasan-untuk-munasfkkm-2011/10150279050383512 akses tanggal 18 November 2011 Supratman. 2009. Model Pengelolaan Hutan Catchment Area PLTA Karebbe, di Luwu Timur. Jurnal Hutan dan Masyarakat Vol. IV No. 3, Desember 2009 : 124-136 Suyanto, dkk. 2002. Pertanian Sehat: Pandangan Dari Aspek Ekonomi. http//www. WorldAgroforestryCentre.org/Sea/Publication/files/Journal/JA0026-04.Pdf. Diakses November 2010 Soepijanto, B. Pengembangan Community Forestry Berdasarkan Sistem Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Jurnal Hutan Rakyat. Volume IV No. 3 Tahun 2002. Hlm 1-15. Pusat Kajian Hutan Rakyat, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Trison S dan Hero. 2011. Hutan Rakyat Di Indonesia, Tinjauan Aspek Sosial, Kebijakan dan Tenurial. Jurnal Kehutanan Masyarakat Vol. 3.No.1. Hal 79-92. Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat Wiliam-de Vries, D. 2006. Gender bukan tabu: catatan perjalanan fasilitasi kelompok perempuan di Jambi. Bogor, Indonesia: Center for International Forestry Research (CIFOR)
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 65 BAB IV. KONSEP DEVOLUSI, TENURIAL DAN KELEMBAGAAN KEHUTANAN MASYARAKAT
PENDAHULUAN
I.
Tujuan Instruksional
1. Mahasiswa mampu menjelaskan konsep devolusi pengelolaan hutan 2. Mahasiswa mampu menjelaskan konsep tenurial 3. Mahasiswa mampu menjelaskan konsep kelembagaan pengelolaan kehutanan masyarakat II. Proses pembelajaran Pada pembelajaran ini akan dipakai metode small group discussion dengan fokus pada kelompok-kelompok kecil mahasiswa yang akan mendiskusikan konsep devolusi, tenurial dan kelembagaan dalam kehutanan masyarakat. Pada tahap pertama; Dosen mengulas ulang secara singkat materi sebelumnya terkait filosofi, konsepsi dan varian
kehutanan masyarakat dengan melemparkan beberapa pertanyaan kunci kepada
mahasiswa antara lain seperti; - Jelaskan sejarah ringkas tentang munculnya konsepsi kehutanan masyarakat ? - Sebutkan tiga kategori dalam memaknai kehutanan masyarakat - Jelaskan konsep dasar/filosopi kehutanan masyarakat - Jelaskan uraian kehutanan masyarakat sebagai metodologi? - Jelaskan uraian kehutanan masyarakat sebagai proyek? Pada tahap kedua; a. Dosen memfasilitasi mahasiswa untuk membuat beberapa kelompok berdasarkan konsep bahasan yang akan diulas yakni tenurial dalam kehutanan masyarakat, serta isu-isu lainnya terkait tema tersebut seperti pemaharuan agrarian di sektor kehutanan. b. Kegiatan ini dilakukan melalui kegiatan diskusi kelompok dan dilakukan selama 40-60 menit dengan sebelumnya membagikan handout tentang konsep tenurial, dalam kehutanan masyarakat sebagai bahan diskusi. Dosen mencatat semua aktifitas diskusi dan mengevaluasi keaktifan mahasiswa. Pada tahap ketiga;
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 66 a. Dosen memfasilitasi mahasiswa untuk membuat beberapa kelompok berdasarkan konsep bahasan yang akan diulas yakni konsep devolusi, serta isu-isu lainnya terkait tema tersebut antara lain desentralisasi di sektor kehutanan b. Kegiatan ini dilakukan melalui kegiatan diskusi kelompok dan dilakukan selama 40-60 menit dengan sebelumnya membagikan handout tentang konsep devolusi, tenurial dan kelembagaan dalam kehutanan masyarakat sebagai bahan diskusi. Dosen mencatat semua aktifitas diskusi dan mengevaluasi keaktifan mahasiswa. Pada tahap keempat; a. Dosen memfasilitasi mahasiswa untuk membuat beberapa kelompok berdasarkan konsep bahasan yang akan diulas yakni konsep kelembagaan dalam kehutanan masyarakat, serta isu-isu lainnya terkait tema tersebut antara lain transformasi kearifan lokal masyarakat dalam membangun kelembagaan lokal b. Kegiatan ini dilakukan melalui kegiatan diskusi kelompok dan dilakukan selama 40-60 menit dengan sebelumnya membagikan handout tentang konsep kelembagaan dalam kehutanan masyarakat sebagai bahan diskusi. Dosen mencatat semua aktifitas diskusi dan mengevaluasi keaktifan mahasiswa. Pada tahap kelima; a. Dosen memberikan evaluasi terhadap hasil diskusi kelompok dan menghubungkannya dengan konsep devolusi, tenurial dan kelembagaan dalam kehutanan masyarakat seperti yang termaktub dalam hand out yang telah dibagikan dengan melemparkan pertanyaanpertanyaan kunci b. Dosen memberikan tes kuis
BAHAN PEMBELAJARAN I.
Konsep Devolusi Pengelolaan Hutan Secara bahasa kata devolusi atau devolution dapat kita lihat terjemahan pada kamus
wordweb yang berarti proses menurun dari yang lebih tinggi ke tingkat yang lebih rendah dari daya yang efektif atau vitalitas atau kualitas esensial, selanjutnya juga dapat diartikan
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 67 sebagai delegasi otoritas (terutama dari pusat ke pemerintah daerah)." Kamus elektronik wordweb.1 Jika kata devolusi tersebut kita kaitkan dengan kehutanan atau kehutanan masyarakat maka dapat kita uraikan bahwa devolusi kehutanan adalah proses pemberian otoritas kewenangan pengelolaan dari strata atau level pusat dalam hal ini Kementerian Kehutanan kepada level dibawahnya seperti pmerintah lokal (kabupaten, desa) bahkan kepada tingkat komunitas.Sehingga berdasarkan hal tersebut diatas, maka program pengelolaan hutan berbasis masyarakat atau kehutanan masyarakat adalah bagaian dari konsepsi devolusi kehutanan. Fisher (1999, 2000) dalam Suharjito (2009) memberikan devolusi didefinisikan sebagai pelimpahan kekuasaan (power) dari (pemerintah) pusat kepada unit kerja yang lebih rendah. Ini berbeda dengan desentralisasi yang didefinisikan sebagai pelimpahan fungsi-fungsi administrative dari pemerintah) pusat kepada unit kerja yang lebih rendah (pemerintah provinsi dan atau kabupaten, bahkan desa), yang tidak perlu melibatkan perubahan lokus pengambilan keputusan atau melimpahkan kekuasaan (Fisher 1999, 2000). Lebih lanjut Fisher (1999, 2000) dalam Suharjito (2009) mengungkapkan perlunya membedakan tipe pelimpahan fungsi dan atau kekuasaan, yaitu: (1) pelimpahan dari birokrasi pusat kepada birokrasi provinsi atau kabupaten; (2) pelimpahan dari birokrasi pusat kepada struktur politik lokal atau pemerintah lokal (pemerintah desa); (3) pelimpahan kepada masyarakat lokal atau para pengguna sumber daya alam (hutan). Tipe pertama dinilainya hanya sebagai wujud desentralisasi, sedangkan tipe kedua dan ketiga dinilainya sebagai wujud desentralisasi dan devolusi. Devolusi memberikan kekuasaan kepada unit kerja yang lebih rendah untuk merencanakan tujuan, mengambil keputusan secara independen, bahkan melakukan tindakan di luar apa yang sudah dirancang oleh pemerintah pusat, bukan hanya melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan yang sudah dirancang oleh pusat. Suhardjito (2009) dalam membandingkan devolusi Pengelolaan Hutan di Indonesia dan Philipina bahwa devolusi pengelolaan sumberdaya hutan diharapkan dapat mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari, lebih memberikan keadilan (equity) kepada masyarakat, dan lebih efisien. Implikasi dari program terhadap kelestarian sumberdaya hutan belum nyata, bahkan terkesan sebaliknya bahwa HKm mendorong degradasi dan deforestasi. Hal itu terjadi karena areal-areal hutan yang dijadikan HKm pada awalnya adalah areal hutan yang digarap 1 Kamus elektronik word web, devolution is: “1. the process of declining from a higher to a lower level of effective power or vitality or essential quality. 2 The delegation of authority (especially from a central to a regional government)”, http://wordweb.info/free/, diakses dan dioperasikan pada tanggal 3 November 2011
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 68 oleh masyarakat untuk pertanian atau kebun dalam situasi nasional mengalami krisis moneter, ekonomi, dan politik. 1. Devolusi dan Otonomi Daerah Tjong (2010) mengungkapkan bahwa bagi sebagian kelompok organisasi masyarakat sipil dan masyarakat lokal (adat), revisi Undang-Undang Pokok Kehutanan No.5 tahun 1967 menjadi Undang-Undang Kehutanan No.41 tahun 1999 sebagai satu pereda ketegangan antara negara-rakyat (devolusi) berkenaan dengan pelaksanaan kehutanan di masa lalu yang banyak menuai kerusakan dan penyusutan hutan, konflik pengusaan dan pengelolaan hutan, dan konflik sumberdaya alam. Lebih lanjut Tjong (2010) mengatakan bahwa walau sebagian besar masyarakat adat menolak Undang-Undang Kehutanan karena tidak ada substansi yang mengukuhkan „hak kepemilikan ulayat‟ dalam kehutanan di Indonesia, devolusi terjadi di tingkat hak kelola masyarakat atas kawasan hutan. Salah satu contoh bentuk dukungan kebijakan di level politik lokal Kabupaten adalah Peraturan Daerah No 05 Tahun 2009 tentang Kehutanan Masyarakat di Kabupaten Maros. Melalui proses yang cukup dinamis, FKKM Wilayah Sulsel beserta Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin berhasil mendorong perda ini. Perda ini memuat lengkap tentang dukungan skema-skema kehutanan masyarakat yang ditawarkan oleh pemerintah (pusat). Bahkan pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang berbasis masyarakat juga diulas di Perda ini, namun implementasi terhadap Perda ini belum maksimal, bahkan tahapan sosialisasi ke pengguna kebijakan belum seluruhnya tersampaikan. Konflik pengelolaan hutan di Desa Samangki yang sebagian dusunnya berada dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung belum menggunakan Perda ini sebagai salah satu basis pijakan pengelolaan konflik oleh para pihak. Pelajaran yang dapat dipetik dari sini adalah bahwa bukan hanya isi dan kebutuhan akan Perda yang mesti diperhatikan dalam inisisi kebijakan lokal, tetapi juga memperluas keterlibatan para pihak dan mensosialisasikan kebijakan dalam momentum yang tepat mesti menjadi bahan pertimbangan
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 69
Gambar 10. Sampul Buku Peraturan Daerah Kabupaten Maros No. 05 Tahun 2009 Tentang Kehutanan Masyarakat
2. Devolusi Kehutanan dalam Kemasan Skema Kehutanan Masyarakat Tjong (2010) mengungkapkan bahwa pilihan-pilihan masyarakat lokal mengajukan hak kelola atas kawasan hutan melalui HKm, Hutan Desa, HTR dan Kemitraan (Peraturan Pemerintah No.3/2008) adalah pelaksanaan devolusi kehutanan. Pemerintah menyediakan kawasan hutan untuk masyarakat pinggir hutan berpartisipasi dalam pelaksanaan devolusi kehutanan. Semangat devolusi yang dibawa dalam pelaksanaan Undang-Undang Kehutanan tahun 1999, melihat tidak mulusnya dekonsentrasi penguasaan hutan dan kawasan hutan
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 70 dalam proses otonomi daerah dan pemahaman para pemangku kebijakan di daerah, dekonsentrasi berwajah devolusi. Termasuk gagasan memasukkan perkebunan sawit dalam kehutanan.
Otoritas Pengelola
Jenis Otoritas
Ecologi
Penanaman
Agroforestri (Kakao, Kopi)
Kelompok Tani Hutan
Lembaga Adat
Kelompok binaan Perusahaan
Pemelihara an
Hutan Alam
Pemanenan
Hutan Tanaman
Biofisik
Kondisi Tanah
Mitra Utama dan Pendukung
Mandiri
Hutan Kemasyara katan Kondisi Geologi
Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Pusat
LSM
Kebun intensif
Hutan Kemitraan Hutan Desa
Tutupan lahan Teknologi
Skema KM
Hutan Tanaman Rakyat
kelerengan
Lembaga Desa
Industri
Kelembagaan
PHBM dll
Curah Hujan
Gambar 11. Ragam Faktor Terhadap Pilihan Skema KM
Kemasan Kehutanan Masyarakat adalah momentum yang cukup baik bagi para pihak dalam memastikan hak kelola masyarakat. Untuk sampai pada tujuan kemandirian masyarakat dalam otoritas mereka mengelola hutan, berbagai kasus pengelolaan hutan berbasis masyarakat menunjukkan perbedaan-perbedaan faktor yang menentukan. Faktor sosial seperti kelembagaan masyarakat, serta jenis otoritas baik yang terberi maupun diberikan oleh pemerintah, serta faktor pisik serta kelembagaan mitra utama dan pendukung adalah pertimbangan para pihak dalam menentapkan skema kehutanan masyarakat
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 71 Tetapi yang perlu juga dipertimbangkan tidak semua bentuk pengelolaan hutan atau yang mengatasnamakan skema kehutanan masyarakat, apapun namanya, jika otoritas hak kelola yang dimiliki oleh masyarakat terlalu kecil. Kasus seperti ini banyak dijumpai dijaman hak penguasaan hutan (HPH) yang mengatasnamakan Bina Desa, namun hanya menempatkan masyarakat sebagai buruh dan sangat kecil otoritas kelola hutan yang diberikan. Perlu adanya kajian yang lebih lanjut tentang persentase otoritas ini. 3. Level Devolusi : Antara Provinsi dan Kabupaten Menarik apa yang dibahas oleh Ekawati, dkk bahwa terdapat diskursus dimana level devolusi itu semestinya diletakkan. Level Tabel 7.Implikasi dari Masing-Masing Opsi Bentuk Desentralisasi dan Devolusi (Sumber: Ekawati, dkk (2010))
No.
Implikasi yang harus disiapkan
Bentuk Desentralisasi
1
Dekonsentrasi
2
Delegasi
3
Devolusi di level provinsi
4
Devolusi di level Kabupaten
5
privatisasi
1. Urusan kehutanan ditarik ke pemerintah pusat 2. Perlu dibentuk unit pelaksana teknis di seluruh wilayah hutan 1. Urusan kehutanan ditarik kepemerintah puswat, tanggung jawab dan pendanaan oleh pemerintah pusat 2. Pelaksanan urusan diserahkan ke pemerintah daerag 3. Diperlukan bimbingan dan monev dari pemerintah pusat yang lebih intensif 1. Urusan kehutanan ditarik ke pemerintah provinsi 2. Perlu pengaturan kembali dana bagi hasil dari sumberdaya hutan 1. Penguatan peran pemerintah provinsi melalui dana dekonsentrasi 2. Kewenangan mengatur (pemerintah provinsi) dan kewenangan mengurus (pemerintah Kabupaten) Tidak direkomendasikan untuk desentralisasi pengelolaan hutan lindung
4. Fasilitasi adalah bagian penting dari Devolusi Menurut Devkota, Maryudi dan Krott (2010) bawa proses devolusi pembangunan kehutanan masyar\akat ditentukan oleh kuatnya proses fasilitasi oleh pemerintah atau lembaga fasilitasi lainnya. Hasil kajian Sahide, dkk (2010) dalam menilai proses pembangunan Hutan Tanaman Rakyat di Provinsi Sulawesi Selatan adalah
bahwa
stakeholder lebih didominansi dari outshpere stakeholders atau stakeholder luar. Stakeholder luar yang sangat berperan dalam hal ini adalah Pemerintah Kabupaten dan BP2HP. Sedangkan inside stakeholder adalah petani, Kelompok Tani Hutan, dan atau Koperasi sebagai pihak pengguna yang siap diberdayakan baik dari sisi pengetahuan, keahlian dan
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 72 sikapnya. Keberhasilan pemberdayaan masyarakat/petani hutan sangat tergantung dengan komitmen dan dukungan fasilitasi dari pihak luar. Lebih lanjut lagi Devkota, Maryudi dan Krott (2010) membagi empat tahapan dalam proses devolusi pembangunan kehutanan masyarakat. Tahapan tersebut antara lain, tahap inisiasi, tahap pemicu, tahap adimistratif dan tahap pengelolaan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 12. Tahap Devolusi Pembangunan Kehutanan Masyarakat (Diadopsi dari Model Devkota, dkk, 2010)
Sahide, dkk (2010) mengemukakan bahwa model ini dapat kita jadikan dasar dalam proses pembangunan Hutan Tanaman Rakyat di Sulawesi Selatan. Setiap tahapan tersebut diperlukan kejelasan aktifitas, jenis fasilitasi, fasilitator dan ouput fasilitasi. Model Devkota tadi juga dapat kita lihat dari peraturan yang ada, masyarakat berhak untuk mendapatkan fasilitasi dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten, serta lembaga pendukung lainnya seperti LSM, perguruan tinggi. Beberapa fasilitasi yang dibutuhkan tersebut selama satu siklus pembangunan HTR disajikan pada Tabel 4.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 73 Tabel 8.Tahapan Fasilitasi dalam Devolusi Pembangunan HTR di Sulawesi Selatan Tahapan Inisiasi
Formal Handover dan Administrasi
Aktivitas Sosialisasi
Jenis Fasilitasi Alokasi areal HTR
Bupati, Lembaga Swadaya Masyarakat yang ada di Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota penyuluh kehutanan, penyuluh pertanian, atau pejabat yang ditunjuk oleh Bupati/Walikota.
Output Fasilitasi Kesepahaman Para Pihak dapat berupa MOU, Surat Persetujuan untuk Fasilitasi
Pengusulan IUPHHK-HTR
Sketsa areal
Verifikasi
Verifikasi
Kepala Desa, BP2HP, BPKH
Peta
Pengukuran dan perpetaan
Pengukuran dan perpetaan
BPKH, pihak ketiga/konsultan yang bergerak di bidang kehutanan, atas perintah Kepala Badan Planologi Kehutanan.
Peta
Kelembagaan
Membentuk kelompok
penyuluh kehutanan atau penyuluh pertanian di tingkat desa
Terbentuknya Kelompok, aturan kelompok
Bupati, Camat, dan Kepala Desa dapat bekerja sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat.
Kemampuan berwirausaha secara bersama, penguatan pasar, serta berjejaring (Pelatihan, Penyuluhan dan Jejaring )
BLU, Dana Mitra
Modal Usaha
penguatan kelembagaan dan peningkatan kapasitas Pengelolaan
Fasilitator
Surat Pengusulan dan Sketsa Peta
Pembiayaan
Pembiayaan
Pembinaan teknis pelaksanaan pembangunan HTR
Direktur Jenderal
pengawasan dan pengendalian pelaksanaan pembangunan HTR
pengawasan dan pengendalian pelaksanaan pembangunan HTR
Kepala Dinas Provinsi dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota
Kontrol dan Saran terhadap RKU dan RKT
pengendalian dan evaluasi penggunaan dana pinjaman pembangunan HTR
pengendalian dan evaluasi penggunaan dana pinjaman pembangunan HTR
Kepala BP2HP
Kesepahaman investasi dan komitmen pengembalian pinjaman
pengawasan pelaksanaan kegiatan pembangunan HTR
pengawasan pelaksanaan kegiatan pembangunan HTR
Kepala Desa
Kesepahaman investasi dan komitmen pengembalian pinjaman
RKU dan RKT
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 74 Dalam kebijakan pengelolaan Hutan Desa dan Hutan Kemasyarakatan Fasilitasi diartikan sebagai upaya membuat sesuatu hal menjadi lebih mudah. Fasilitasi kepada kelompok masyarakat dan atau lembaga pengelola (institusi lokal) dilakukan melalui proses pendampingan artinya pemberi fasilitasi hidup bergaul erat dengan masyarakat yang difasilitasinya. Dalam Hand Out Kebijakan Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan/Hutan Desa (Kementerian Kehutanan, 2010) Fasilitasi tersebut bertujuan untuk: a. Meningkatkan kemampuan masyarakat setempat dalam mengelola organisasi kelompok, b. Membimbing masyarakat mengajukan permohonan izin sesuai ketentuan yang berlaku, c. Meningkatkan kemampuan masyarakat setempat dalam menyusun rencana kerja pemanfaatan hutan kemasyarakatan, d. Meningkatkan kemampuan masyarakat setempat dalam melaksanakan budidaya hutan melalui pengembangan teknologi yang tepat guna dan peningkatan nilai tambah hasil hutan, e. Meningkatkan
kualitas
sumberdaya
manusia
masyarakat
setempat
melalui
pengembangan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan, f. Memberikan informasi pasar dan modal dalam meningkatkan daya saing dan akses masyarakat setempat terhadap pasar dan modal, g. Meningkatkan kemampuan masyarakat setempat dalam mengembangkan usaha pemanfaatan hutan dan hasil hutan. Jenis fasilitasi yang dilakukan minimal meliputi (1). pengembangan kelembagaan kelompok masyarakat setempat/lembaga desa, (2) pengajuan permohonan izin, (3) penyusunan rencana kerja hutan kemasyarakatan, (4) teknologi budidaya hutan dan pengolahan hasil hutan, (5) pendidikan dan latihan, (6). akses terhadap pasar dan modal, dan (7) pengembangan usaha. Fasilitasi
tersebut wajib dilakukan oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota yang dapat dibantu oleh Pemerintah dan Pemerintah Provinsi. Pelaksanaan fasilitasi dapat dibantu oleh pihak lain, antara lain perguruan tinggi/lembaga penelitian dan pengabdian masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, lembaga keuangan, Koperasi dan BUMN/BUMD/BUMS. Walaupun fasilitasi tersebut telah terjabarkan secara ringkas dalam beberapa kebijakan (level kementerian kehutanan, permenhut dan perdirjen) namun multiinterpretasi terkait fasilitasi masih tetap terjadi. Beberapa praktisi terutama pemerintah daerah mengartikan fasilitasi dalam wujud yang sangat sektoral. Jika bukan berada dalam otoritas kewenangannya secara normative, tidak akan menjadi fokus perhatian. Bahkan beberapa klausul fasilitasi tidak memiliki output yang jelas dalam melaksanakaanya di lapangan.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 75 II. Konsep Tenurial Tenurial sumberdaya menurut Lorenzo dkk (2009) dalam Cotula dan Mayers (2009) diterminologikan sebagai suatu sistem hak, aturan-aturan, institusi dan proses dalam mengatur akses dan penggunaan sumberdaya sebagai kunci utama untuk mendistribusikan resiko, biaya dan manfaat. Ketika tenurial bersifat tidak aman kondisi tersebut membuat masyarakat setempat menjadi rentan sementara nilai lahan terus meningkat. Tenurial yang aman akan memberi pengaruh bagi mereka dalam hubungannya dengan pemerintah dan sektor swasta. Hak sumber daya yang terkontestasi dapat meningkatkan resiko investor, resiko reputasional sebagai contoh hubungannya dengan kemungkinan ketegangan dengan kelompok masyarakat setempat. Sistem tenurial menentukan siapa yang memiliki dan siapa yang dapat menggunakan sumberdaya, berapa lama dan pada kondisi apa Emila (2010) mengemukakan bahwa konflik pada sistem tenurial yang belum jelas (konflik tenurial) dalam pengelolaan hutan masih terus berlangsung disebabkan pada beberapa sebab utama antara lain adalah (a) batas‐batas kawasan hutan yang belum disepakati bersama oleh Pemerintah dan masyarakat, (b) p enguasaan lahan dalam kawasan hutan (de facto) oleh masyarakat, dan (c) belum diakomodir dengan baik keberadaan masyarakat dalam kawasan hutan dalam perencanaan pembangunan kehutanan. 1. Sistem Penguasaan lahan (Tenur) : Studi Kasus Kabupaten Bantaeng Menurut hasil kajian Fakultas Kehutanan UNHAS dan Pemerintah Kabupaten Bantaeng pada Tahun 2009 bahwa sistem tenurial Kabupaten Bantaeng
yang terdapat pada Wanatani
di
yang masih berlangsung dan diakui oleh masyarakat pada daerah
tersebut, yaitu kelernbagaan kepemilikan dan penyakapan lahan, kelernbagaan pengelolaan lahan, kelembagaan pasca panen, kelembagaan panen. Tenure tersebut secara garis besar diuraikan sebagai berikut : Sahide (2010) memberikan contoh di Desa Labbo, menurut rancangan aturan BUMDES ada beberapa syarat utama yang akan mengelola hutan desa. (1) mereka yang miskin (2) tidak diperkenankan mengelola lebih dari 0,5 ha. Dengan 2 (dua) aturan utama ini maka akan terjadi reforma agrarian dikawasan hutan desa Labbo, aka ada diskursus antara para petani yang sudah terlanjur mengeloa kawasan dan lebih dari 0,5 ha dengan para calon petani baru. Yang menarik juga di Desa Pattaneteang adalah mereka ingin mengembangkan mikrohydro yang sumber airnya berasal dari hutan desa, sehingga diperlukan kelembagaan pembangunan dan pengaturan mikrohydro tersebut. Diperlukan kapasitas yang baik disemua level baik masyarakat maupun pemerintah untuk tata kelola hutan desa tersebut.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 76 Kawasan hutan yang dijadikan Lahan usahatani ataupun lahan agroforestry kopi yang terdapat di Kabupaten Bantaeng tidak terdapat kelembagaan pemilikan lahan yang dilakukan penduduk. Sedang pada laha diluar kawasan hutan, terdapat kelembagaan pemelikan lahan. Tenurial tradisional yang berlangsung dalam pemilik penggarap ini, yaitu petani mempunyai hak untuk memperoleh hasil yang diproduksi dari areal agroforestry kopi yang dikelolanya, termasuk dalam mengembangkannya, seperti penanamannya, pemeliharaan dan peremajaan kopi. Teseng Sistem teseng adalah pemberian lahan hutan kepada orang lain untuk dikelola dengan cara bagi hasil. Masyarakat yang mengelola lahan wanatani disebut Patteseng. Tenurial teseng
yang dilakukan penduduk, yaitu pada lahan usahatani semusim/hortikultura,
lahanagroforestry kopi, agroforestry cengkeh, coklat dan lahan sawah yang dilakukan oleh penduduk desa bersangkutan yang mempunyai kelebihan tenaga kerja yang tersedia. Tenurial teseng pada lahan agroforestry kopi, sistem bagi hasilnya berupa 1 : 1. Satu bagian hasil dari pemanenan kopi diberikan kepada pemilik lahan, sedangkan satu bagian sisanya diberikan kepada pa‟teseng. Hal demikian terjadi pula pada teseng agroforestry cengkeh. Teseng pada lahan agroforestry kopi, pa‟teseng mempunyai kewajiban/tanggung jawab untuk memelihara kopi, seperti menyiangi dan memangkasnya.
Apabila dilakukan
pemupukan dan pemberantasan hama dan penyakit maka saat pemanenan hasil, biaya-biaya yang dikeluarkan tersebut dibebankan kepada hasil panen dan menjadi hak bagi pa‟teseng. Panen kopi yang dibagi dua kepada pemilik dan pa‟teseng adalah setelah dikeluarkan biayabiaya budidaya dan pa‟teseng. diperlihatkan pada Tabel 8.
Gambaran hak dan kewajiban pelaku tenurial Teseng,
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 77 Tabel 9. Hak dan Kewajiban Pelaku Kelembagaan Penguasaan Lahan Teseng Uraian
Hak dan Kewajiban Pelaku Kelembagaan Wanatani 1.
pemilik lahan luas tidak didukung tenaga kerja memadai menyerahkan lahan yang dimilikinya untuk
Teseng
dikelola oleh orang lain dengan sistem bagi hasil 2.
Distribusi manfaat sumberdaya hutan
1.
Sistem bagi hasil Wanatani distribusi pemanfaatan lahan terhadap orang yang tidak punya lahan
2.
peningkatan fungsi produksi lahah hutan
3.
penyerapan tenaga kerja
4.
sistem bagi hasil hasil wanatani
Sanra/Panna’gallang Sistem tenurial sanra adalah kelembagaan yang berlaku pada petani dalam pengelolaan lahan wanatani dimana pemilik lahan menyerahkan lahannya untuk diusahakan oleh orang lain dengan ketentuan orang lain menyerahkan jaminan berupa uang kepada pemilik lahan. Sedang lahan tersebut dikembalikan kepada pemiliknya selama beberapa waktu kemudian yang telah disepakati bersama. Pada kelembagaan sanra/panna‟gallang ini ada yang diistilahkan dengan Passanra, yaitu orang yang berhak, mengelola lahan berdasarkan kesepakatan dengan pemilik lahan. Passanra berhak mengelola lahan tersebut dan seluruh hasilnya menjadi miliknya. Hasil baru dapat diperoleh pamilik lahan setelah hak sanra telah berakhir atau jaminan telah diikernbalikan dari pemilik kepada passanra. Nilai jaminan yang akan dikembalikan ke panna‟gallang setelah hak sanra berakhir berpatokan pada harga kopi, beras atau harga emas pada saat pengembalian uang, sehingga uang yang dikembalikan oleh pemilik lahan tidak mutlak harus sama banyaknya dengan jumlah uang yang diambil dari panna‟gala. Besarnya
nilai
sanra
pada
lahan
agroforestry
cokelat,
yaitu:
1 ha = 2.000.000 – 5.000.000, untuk 3 – 5 tahun. 1 ha = 25.000.000 untuk agroforestry cengkeh, dimana produksi cengkeh pada lahan tersebut dapat mencapai Rp. 5.000.000, Coklat Rp. 2.000.000/tahun. Pada lahan sawah yang disanra oleh penduduk desa, biasanya sanra sawah yang dilakukan sebesar ± 50 juta untuk luasan 0,5 ha dengan produksi sawah tadah hujan 5 – 6 pikul (1 pikul = 100 liter/tahun). Sanra ini biasanya terjadi pada saat masyarakat membutuhkan uang secara mendadak sehingga lahan yang dimiliki dapat
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 78 dimanfaatkan untuk mendapatkan uang secara cepat disamping tidak menjual lahannya. Nilai sosial dan ekonomi yang terdapat pada kelembagaan penguasaan lahan sanra (Tabel 7) adalah memberikan peluang kepada masyarakat yang tidak memiliki lahan atau punya lahan sempit tetapi mempunyal modal dan kemampuan untuk mengelola lahan, dipihak lain terdapat masyarakat yang memerlukan modal untuk memenuhi kebutuhan dalam malaksanakan aktivitas ekonomi lain. Dengan demikian maka masyarakat dalam melakukan aktivitasnya dapat saling menunjang dalam rangka pernenuhan kebutuban sementara aktivitas lainnya masih dapat berjalan. Tabel 10.Hak dan Kewajiban Sistem Tenurial Sanra
Uraian
Hak dan Kewajiban Pelaku Kelembagaan Wanatani 1. Peyerahan hak atas lahan milik untuk dikelola orang lain dengan
Sanra
jaminan berupa uang/emas 2. Jaminan dikembalikan oleh Passanra pada batas waktu kesepakatan 3. passanra berhak memungut hasil wanatani pada lahan yang disanranya
tetapi tidak berhak untuk mengambil kebijaksanaan pengelolaan seperti melakukan peremajaan tanpa sepengetahuan pemilik Distribusi
1. memanfaatkan modal yang menganggur di masyarakat untuk kegiatan
manfaat
produktif 2. memberikan peluang kepada orang-orang yang tidak memiliki lahan
atau lahannya masih sempit, tetapi memiliki modal.
Sanra dan Teseng Sanra-teseng terjadi pada lahan usahatani hortikultura/semusim, lahan agroforestry kopi dan/atau cokelat /cengkeh serta pada lahan sawah yang dikarenakan seorang penduduk dalam desa tersebut mempunyai kemampuan modal untuk melakukan sanra tetapi tidak mempunyai tenaga kerja dalam pengelolaan lahan sawah, lahan agroforestry kopi atau cengkeh. Sehingga lahan yang disanra tersebut selanjutnya diberikan kepada anggota keluarga, orang lain yang dipercaya atau kepada pemilik lahan kembali untuk diteseng. Besarnya bagi hasil dalam teseng tersebut seperti yang berlaku pada uraian sub bab tenurial teseng dan sanra yang telah di uraikan sebelumnya.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 79
Sistem tenurial pemanenan Tenurial pemanenan hasil hutan yang terdapat pada desa-desa yang terdapat kawasan hutannya di kabupatenBantaeng, meliputi : 1. Sistem upah pada pemanenan kopi dan cengkeh berupa uang atau berupa bagi hasil panenan kopi. Masyarakat yang memiliki lahan luas sering memerlukan bantuan tenaga kerja dalam pemanenan kopi dan cengkeh pada saat panen raya kopi dan panen raya cengkeh. Tenaga kerja yang dipanggil biasanya sanak keluarga atau warga yang kurang atau tidak memiliki lahan usahatani. Besarnya upah memanen pohon kopi sebesar Rp 5000 per satu karung pupuk urea yang dipanen, sedang untuk pohon cengkeh yang dipanen sebesar Rp 500 per liter cengkeh yang dipanen. Rendahnya upah memanen kopi dikarenakan harga kopi yang relatif rendah, juga kemudahan memanen kopi dibanding memanen cengkeh yang lebih sulit karena harus dipanjat dan memerlukan waktu panen yang lebih lama. 2. Sistem Massaro padi dilakukan penduduk Desa yang mempunyai waktu bero dari lahan agroforestry kopi atau agroforestry cengkehnya. Sebagian besar penduduk yang menjadi tenaga buruh pemanenan padi merupakan petani gurem yang terbatas ataupun tidak mempunyai lahan, sehingga kecukupan (subsistensi) pangannya tidak mencukupi dari lahan usahataninya, menyebabkan harus menjadi tenaga buruh pemanenan pada pada desa-desa penghasil padi, seperti Desa-desa di Kecamatan Banyorang ataupun pada Desa-desa di kabupaten Bulukumba. Besarnya sistem bagi hasil dalam pemanenan padi adalah I : 20, yaitu 1 bagian diambil oleh buruh tani pemanen padi, sedang pemilik sawah memperoleh bagian hasil panen sebesar 19 bagian dari hasil panenan.
2. Sistem Penguasaan lahan (Tenur) : Studi Kasus Pengelolaan Hutan Negeri Liang Kabupaten Maluku Tengah Menurut hasil penelitaian Maruapey (2010) memberikan contoh sistem tenurial komunal bhawa hak kepemilikkan secara bersama pada masyarakat di Negeri Liang terhadap sumberdaya hutan adalah meliputi sumberdaya lahan beserta segala hasil hutan kayu maupun non kayu pada wilayah yang menjadi hak
kelola/kekuasaan sesuai aturan adat yang
disepakati berdasarkan tiap-tiap kelompok soa dengan masing-masing mata rumah/rumah tau.
Di dalam wilayah hak kelola/kekuasaan seperti ini biasanya batas pemisah yang
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 80 mengatur kekuasaannya itu ditandai dengan batas-batas alam yang meliputi sungai, anak sungai, dan bukit atau pegunungan sebagai penandanya. Maruapey (2010)
lebih lanjut mengeksplorasi
bahwa sistem penguasaan atas
sumberdaya hutan secara bersama ini, semua keluarga atau individu yang termasuk dalam rumpun atau kelompok soa tersebut memiliki hak mengelola dan menggarap lahan serta sumberdaya hutan lainnya yang menjadi hak miliki bersama.
Masyarakat yang bukan
termasuk dalam kelompok mata rumah/rumah tau yang mempunyai hak mengelola, boleh masuk kedalam wilayah hutannya, namun hanya sebatas mengambil hasil hutan seperti, kayu dan non kayu namun yang berkaitan dengan pembukaan lahan hutan untuk pengusahaan dusung harus melalui ijin resmi dari mata rumah/rumah tau yang mempunyai kekuasaan kelola.
Lahan hak milik bersama tidak diperkenakan untuk diperjual belikan kepada
siapapun baik bagi masyarakat yang ada di dalam negeri maupun masyarakat luar negeri. Lahan tersebut dapat diperjual belikan baik oleh masyarakat di dalam negeri maupun di luar negeri (masyarakat pendatang) apabila kawasan hutan yang telah menjadi milik bersama tersebut telah di dikelola untuk kepentingan pribadinya seperti pengusahaan hutan dusung. Hak milik pribadi dalam konsepsi komunal Hak milik pribadi adalah hak kepemilikkan secara utuh yang dimiliki oleh suatu individu.
Kepemilikkan seperti ini akan didapat secara utuh dan menjadi hak individu
masyarakat tertentu dalam kelompok soa apabila kawasan hutan yang menjadi hak milik bersama tersebut telah dikelolanya untuk kebutuhan hidupnya seperti pembukaan ladang/kebun dan telah diketahui bersama. Sepanjang belum ada yang mengelolanya, maka kepemilikkan itu masih tetap menjadi milik bersama seluruh anggota mata rumah/rumah tau. Dalam pengelolaan areal hutan, walaupun tidak ditanami dengan tanaman-tanaman berupa buah-buahan dan lain sebagainya, namun status kepemilikkan lahan tetap menjadi miliknya. Hal ini dikarenakan dia merupakan orang pertama dalam melakukan pengelolaan pada kawasan hutan yang telah menjadi hak milik bersama. Begitupun apabila ditanami dengan buah-buahan, maka kepemilikkan atas lahan dan tanaman akan menjadi hak miliknya dengan sistem kepemilikkan dapat diwariskan kepada anak atau istrinya. Batas yurisdiksi Konsep batas yurisdikasi yang berarti batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas, dalam masyarakat di Negeri Liang ditandai dengan adanya wilayah adat. Wilayah adat dikenal oleh masyarakat sebagai dati.
Dati merupakan tanah atau wilayah adat yang
mengatur hak masyarakat baik dalam negeri maupun yang berada di luar negeri terhadap wilayah kekuasaannya atas sumberdaya hutan. Dasar wilayah dati berdasarkan penuturan
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 81 masyarakat dikarena sejak dulu wilayah-wilayah tersebut telah didiami oleh para leluhur terdahulu mereka dengan sistem pembagian yang diatur secara adat berdasarkan tiap-tiap mata rumah/rumah tau yang ada dalam negeri maupun diluar negeri dengan otoritas pengelolaannya diatur berdarkan masing-masing mata rumah/rumah tau. Dengan konsep otoritas ini, tiap-tiap soa dengan mata rumah atau rumah tau-nya masing-masing mempunyai hak mengatur dan menjaga sumberdaya hutan yang dikuasainya bersama dan mempunyai hak memberikan ijin kepada masyarakat yang ada di dalam negeri maupun di luar negeri yang ingin melakukan pembukaan lahan pada wilayah yang dikuasainya. Aturan representatif Aturan
representatif
mengatur
permasalahan
partisipasi
masyarakat
dalam
pengambilan keputusan terkait dengan apa yang boleh diakses dan siapa yang boleh mengakses lahan hutan. Berkaitan dengan pengelolaan sumberdayaan hutan, terdapat dua bentuk proses pengambilan keputusan yang biasa dilakukan oleh masyarakat, yaitu bentuk pengambilan keputusan yang dilakukan oleh seluruh perwakilan mata rumah/rumah tau dan pengambilan keputusan yang dilakukan oleh kepala mata rumah/ rumah tau. Bentuk pengambilan keputusan yang dilakukan oleh perwakilan seluruh anggota mata rumah/ rumah tau ini biasanya berkaitan dengan aktifitas pengelolaan yang dilakukan oleh pihak-pihak luar. Sedangkan untuk pengambilan keputusan yang dilakukan hanya melalui perwakilan kepala mata rumah/rumah tau ini dilakukan hanya sebatas kepada masyarakat yang ingin melakukan aktifitas perladangan atau membuka hutan dusung pada wilayah yang menjadi kekuasaan kelolaanya
III. Kelembagaan 1.
Konsepsi Kelembagaan Menurut Djogo, dkk (2003) bahwa ilmu atau teori terkait kelembagaan dibahas oleh
berbagai bidang antara lain sosiologi, antropologi, hukum dan politik, organisasi dan manajemen, psikologi, ilmu lingkungan yang kemudian berkembang ke dalam ilmu ekonomi karena kini mulai banyak ekonom berkesimpulan bahwa kegagalan pembangunan ekonomi umumnya karena kegagalan kelembagaan. Stiglitz (1986) dalam Djogo, dkk (2003) menjelaskan bahwa : a. kelembagaan menurut bidang sosiologi dan antropologi kelembagaan banyak ditekankan pada norma, tingkah laku dan adat istiadat
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 82 b. kelembagaan menurut bidang bidang ilmu politik kelembagaan banyak ditekankan pada aturan main (the rules) dan kegiatan kolektif (collective action) untuk kepentingan bersama atau umum (public) c. kelembagaan menurut bidang ilmu psikologi melihat kelembagaan dari sudut tingkah laku manusia (behaviour) d. kelembagaan menurut ilmu hukum menegaskan pentingnya kelembagaan dari sudut hukum, aturan dan penegakan hukum serta instrumen dan proses litigasinya. e. Pendekatan ilmu biologi, ekologi atau lingkungan melihat kelembagaan dari sudut analisis system lingkungan (ecosystem) atau sistem produksi dengan menekankan struktur dan fungsi system produksi atau system lingkungan kemudian dapat dianalisis keluaran serta kinerja dari system tersebut dalam beberapa karakteristik atau kinerja (system performance atau system properties) seperti produktivitas, stabilitas, sustainabilitas, penyebaran dan kemerataanya. f. Ilmu ekonomi yang berkembang dalam cabang barunya ilmu ekonomi institusi baru (neo institutional economics) melihat kelembagaan dari sudut biaya transaksi (transaction costs) dan tindakan kolektif (collective action), di dalam analisis biaya transaksi termasuk analisis tentang kepemilikan dan penguasaan sumber daya alam atau faktor produksi (property rights), ketidak-seimbangan akses dan penguasaan informasi (information asymmetry) serta tingkah laku opportunistik (opportunistic behaviour). Ilmu ekonomi institusi baru ini sering pula disebut sebagai ilmu ekonomi biaya transaksi (transaction costs economics) sedangkan yang lain menyebutkannya sebagai paradigma informasi yang tidak sempurna (imperfect information paradigm) Kotak 6. Persoalan Kelembagaan KM Banyak program pemerintah yang gagal karena persoalan kelembagaan yang sangat lemah, orientasi pembangunan terkadang lebih cenderung berorientasi pada fisik namun pembangunan kelembagaan terkadang tidak menjadi perhatian utama. Kehutanan masyarakat memerlukan kelembagaan yang kuat karena kompleksitas hubungan antara pihak, administrasi negara karena terkait kawasan hutan negara, dan kearifan masyarakat lokal dan keberpihakan terhadap kaum miskin serta memperhatikan gender. Dengan demikian persoalan kelembagaan mesti dilihat dari beragam perspektif dengan dukungan dari bidang tingkah laku organisasi, psikologi, sosiologi, anthropologi, hukum dan ekonomi
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 83 Sebagian pakar spesialis kelembagaan hanya memusatkan perhatian pada kode etik, aturan main, sedangkan sebagian hanya melihat pada organisasi dengan struktur, fungsi dan manajemennya. Kebanyakan analisis kelembagaan saat ini memadukan organisasi dan aturan main. Analisis mungkin akan menjadi lebih kompleks tetapi bisa dicari hal-hal pragmatis yang bisa diterjemahkan ke dalam strategi pengembangan. Logika analisis institusi bisa dipakai untuk menjelaskan kegagalan pemerintah dan negara atau kegagalan pasar atau 2.
Memori Kolektif dan Kelembagaan Menurut Putranto (2006) bahwa memori kolektif adalah istilah yang diciptakan oleh
filsuf dan sosiolog Maurice Halbwachs (1877 – 1945), dalam bukunya yang berjudul Les cadres
sociaux
de
la
mémoire
(1925),
memisahkan
pengertian
dari
memori
individual.Memori kolektif ini bersama, diteruskan dan juga dibangun oleh kelompok. Memori kolektif dapat berperan sebagai memorikultural dan dapat juga sebagai memori komunikatif,memori kultural merupakan memori dari kejadian yang telah lampau membentuk
sebuah
kebiasaan
baru pada
masyarakat
sekarang,
sedangkan
memorikomunikatif merupakan memori tentang sesuatu yang lampau disampaikan melalui sebuah simbol. Memori
kolektif
inilah
yang
menjadi
fondasi
yang
kokoh
bagi
suatu
kelembagaan.pengelolaan hutan di Indonesia. Maysrakat lokal sebagaimanapun mereka dipisahkan keterhubungannya dengan hutan, mereka masih menyisakan tradisi lisan bahwa nenek moyang mereka pernah mengelola hutan dengan arif. Memori kolektif dari suatu komunitas ini yang terkadang ditransformsikan menjadi kelembagaan lokal dalam mengelola sumberdaya hutan. Terkadang seorang penilai kelembagaan hanya mempertanyakan syarat administrasi suatu kelembagaan kelompok tani, seperti strukturnya, apakah ada aturannya seperti AD/ART, apakah ada mekanisme laporan keuangan dan catatan pelaporan dokumennya. Hal yang sering luput adalah menanyakan kohesifitas sosial kelembagaan lokal tersebut, dan indicator yang substantial dapat kita lihat adalah seberapa dalam memori kolektif yang terbangun dalam kelembagaan itu sendiri. Teori kelembagaan disini sangat berguna untuk melihat bagaimana aturan main Kehutanan Masyarakat telah dibuat, apakah dapat mendorong cita-cita Kehutanan Masyarakat, bagaimana aturan tersebut dikaitkan dengan aturan yang ada secara informal, infrastruktur kelembagaan yang ada, permasalahan kelembagaan, organisasi, dan bagaimana kebijakan Kehutanan Masyarakat dapat didukung oleh kelembagaan yang memadai dan baik.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 84 Selain itu juga akan digunakan dalam melihat interaksi antar actor dalam pengembangan Kehutanan Masyarakat, relasi kekuasaan, dan bagaimana aturan main/mekanisme kelembagaan diinternalisasikan serta berjalan di tingkat lapangan. Faktor pendorong berkembangnya kehutanan masyarakat di Sulawesi Selatan, yaitu adanya potensi kelembagaan formal dan non formal dalam pengurusan hutan, pengelolaan lahan, pemanenan, dan industri pengolahan kayu. Meskipun tidak dipungkiri kelembagaan yang tersebut masih mempunyai kelemahan yang perlu penguatan kelembagaan secara terus menerus, sesuai tuntutan perkembangan teknologi pengelolaan hutan, dan perkembangan demografi.
Gambar 13. Potensi Hutan Jati Rakyat di Pegunungan Desa Batu Putih (Foto : Supratman)
Hakim (2010) mengungkapkan bahwa setidaknya ada enam isu pokok dalam aspek kelembagaan pemberdayaan masyarakat sektor kehutanan yakni: pertama, kurangnya peran dan sinergitas diantara para pihak (stakeholder), baik sinergitas antar sektor maupun antar tingkat pemerintahan; kedua, lemahnya akses masyarakat terhadap modal (finansial, lahan, saprodi), pasar, iptek, informasi, dan dalam proses pengambilan kebijakan; ketiga, melemahnya social capital (kepercayaan, kebersamaan, partisipasi, jejaring) masyarakat yang diberdayakan; keempat, kesenjangan antara kebijakan dan pelaksanaan; kelima, lemahnya posisi tawar masyarakat dalam kemitraan pengelolaan sumber daya hutan; dan keenam, lemahnya data dan informasi tentang masyarakat di dalam dan sekitar hutan serta kurangnya kepedulian terhadap data
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 85 Menurut Sahide, dkk (2011) mencotohkan sistem kelembagaan pembangunan HTR yang diatur di dalam beberapa kebijakan yang ada pada saat ini belum berjalan secara efektif oleh karena fasilitasi yang dilaksanakan tidak menghasilkan output sesuai dengan yang telah digariskan oleh kebijakan yang ada. Artinya bahwa potensi kelembagaan lokal masyarakat belum mampu dioptimalisasi, direvitalisasi untuk skema atau program kehutanan masyarakat seperti HTR Kelembagan formal yang mendukung berkembangnya hutan tanaman rakyat di Sulawesi Selatan, yaitu adanya instansi kehutanan di Tingkat
Provinsi dan Kabupaten
beserta perangkat peraturan pelayanan publik dan aturan pengelolaan hutan dan industri pengolahan kayu.
Aturan formal lainnya, yaitu hampir disemua kabupaten/kota telah
mempunyai perda tentang perizinan pemanfaatan kawasan, dan izin pemanfaatan kayu tanah milik (IPKTM) . Namun dalam implementasinya tidak diimbangi pelayanan yang dapat menciptakan harga yang dapat menguntungkan petani dan juga tidak mendorong masyarakat mengelola hutannya secara lestari, bahkan dikonversi ke penggunaan lain. Menurut hasil diskusi dengan petani pemilik hutan bahwa usaha ini kurang menguntungkan dibanding dengan mengusahakan tanaman perkebunan atau tanaman semusim. Program pemerintah di bidang kehutanan yang juga mendukung berkembangnya hutan tanaman rakyat, yaitu adanya fasilitasi pembentukan kelompok-kelompok tani yang disertai dengan pelatihan teknologi pengelolaan hutan, yang juga mendorong teradopsinya teknologi budidaya dibidang kehutanan, seperti pengenalan jenis tanaman/pohon penghasil kayu dan buah (jati, kemiri, sengon, jati putih, kopi, kemiri, jambu mete, dll).
Program yang
memberikan efek tularan dampak tersebut, seperti program Kebun bibit Desa (KBD), program penghijauan, dll. Kelembagaan non formal yang juga mendorong berkembangnya hutan tanaman rakyat, yaitu adanya kelompok-kelompok tani atas inisiatif dari pelaku wanatani sendiri, seperti kelompok-kelompok peladang gilir balik di berbagai kabupaten, kelompok sistem tongkonan di tanah toraja,
kelompok patron-klien (Tuan tanah dengan kliennya), dan kelompok-
kelompok jaringan usaha petani/wanatani–pedagang–industri pengolahan kayu hulu–industri pengolahan kayu hilir-industri pengolahan kayu finishing. Kelembagaan non formal tersebut dsamping telah mempunyai aturan tidak tertulis, juga
sering membutuhkan dan
menggunakan aturan-aturan formal dan pelayanan publik dalam melakukan kegiatannya, seperti penggunaan perizinan IPKTM, perizinan dokumen peredaran kayu, dll.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 86 3.
De-institusionalisasi di kalangan Masyarakat Lokal Sardjono (2004) mengemukakan bahwa kebudayaan memang harus dipahami dan
tidak seharusnya bersifat static, melainkan senantiasa dinamis, akan tetapi disis lain masyarakat lokal sendiri tiidak memiliki kesempatan yang cukup untuk menyaring dan menyepakati nilai-nilai baru yang dikenalnya akibat gempuran budaya yang bertubi-tubi dari luar. Dapat dicontohkan misalnya migrasi yang besar dari masyarakat bugis dan Makassar ke beberapa wilayah di Sulawesi Tenggara, telah mengakibatkan akulturasi kebudayaan, walaupun sesungguhnya telah banyak hubungan kebudayaan yang telah ada sebelumnya. Namun, yang menarik juga, bahwa kelembagaan lokal masyarakat asli mulai terjadi deinstitusionalisasi yang seakan mengubur nilai-nilai dan identitas kultural masyarakat. 4.
Contoh Kelembagaan Lokal di Negeri Liang Kabupaten Maluku Tengah Titahelu (2005) dalam Marapey (2010) mengungkapkan bahwa Saniri negeri adalah
lembaga adat ditingkat negeri yang terdiri dari raja, kepala-kepala soa, marinyo, dan kewang. Lembaga saniri negeri bertugas sebagai lembaga legislatif negeri dalam mengambil keputusan-keputusan yang dilaksanakan oleh raja dan masyarakat.
Adapun hirarki dari
sistem pemerintahan adat Negeri Liang dan Negeri adat lain di Maluku disajikan pada gambar 15.
Raja
Saniri Negeri
Sekretaris/Juru Tulis Kepala Soa
Kepala Soa
Kepala Soa
Kepala Kewang
Marinyo
Masyarakat Gambar 14. Struktur Kelembagaan Adat Negeri Liang (Sumber: Muarapey, 2010)
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 87 Marapey (2010) kemudian memberikan deskripsi tentang struktur tersebut dapat dilihat pada Tabel 11 Tabel 11. Deskripsi Kelembagaan Adat Negeri Liang
No.
Jabatan
Deskripsi
1
Raja
Pimpinan lembaga adat yang melaksanakan tugas memimpin negeri setiap hari atau sebagai suatu lembaga eksekutif dengan dibantu oleh lembaga-lembaga adat lainnya seperti kepala soa, marinyo, dan kewang. Raja berfungsi sebagai kepala pemerintahan negeri sekaligus sebagai kepala adat.
2
Kepala soa
Pimpinan dari suatu Negeri yang di dalamnya terdiri atas perwakilan dari beberapa mata rumah/rumah tau. Kepala soa berfungsi sebagai pembantu raja dalam melaksanakan pemerintahan negeri serta berkedudukan sebagai pembantu raja dalam menyelenggarakan permusyawaratan/pemufakatan masyarakat di Negeri. Selain itu kepala soa berfungsi menampung dan menyalurkan aspirasi serta pendapat masyarakat di dalam soa-nya.
3
Juru tulis
Berkedudukan sebagai unsur staf pembantu raja dengan tugasnya menjalankan administrasi pemerintahan Negeri untuk memberikan pelayanan administari kepada masyarakat. Apabila raja berhalangan, juru tulis wajib melaksanakan administrasi pemerintahan dan fungsifungsi raja bersama-sama dengan kepala-kepala soa dan melaporkan kepada raja apabila sudah dilaksanakan.
3
Kewang (polisi negeri)
Menjaga dan mengawasi lingkungan negeri baik di darat maupun di laut serta memelihara perbatasan Negeri yang meliputi hutan dan kebunkebun supaya terawat dengan baik. Kewang melakukan sasi terhadap seluruh hasil-hasil hutan dan laut sesuai dengan kesepakatan warga masyarakat untuk melindungi hasil-hasil tersebut sebelum waktu panen. Kewang mempunyai tugas melakukan pengontrolan di hutan dan laut agar jangan sampai warga masyarakat melakukan pengrusakan di laut dan pencurian di hutan
4
Marinyo
Bertugas menyampaikan berita dari raja kepada staf pemerintahan yang lain dan kepada masyarakat secara umum.
Tugas menyampaikan
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 88 informasi dalam bentuk pengumuman resmi kepada masyarakat, baik secara lisan maupun tulisan yang disepakati oleh raja, serta mengantarkan surat-surat panggilan kepada warga masyarakat yang membuat tindakan kejahatan berupa melanggar aturan di dalam negeri untuk menghadap staf negeri.
PENUTUP
Penugasan Soal latihan : a. Jelaskan konsep kelembagaan, tenurial dan devolusi dalam kehutanan masyarakat? b. Jelaskan hubungan memori kolektif dengan kelembagaan ? c. Jelaskan hubungan devolusi, dekonsentrasi dan otonomi daerah? d. Jelaskan hubungan konflik pengelolaan hutan dengan sistem tenurial? e. Jelaskan masing-masing contoh kasus dari ketiga konsep diatas?
DAFTAR PUSTAKA Cotula, L. dan Mayers, J. 2009. “Tenure in REDD – Start-point or afterthought?” Natural Resource Issues No. 15. International Institute for Environment and Development. London
Devkota R, Maryudi A, Krott M, 2010. Paradoxes of Community Forestry: Formal Devolution Covering Informal Expansion of State Control – Cases from Nepal and Indonesia. Community Forestry Working GroupInstitute for Forest and Nature Conservation Policy, Georg August University Goettingen, Germany Djogo Tony, Sunaryo, Suharjito Didik, Sirait Martua. 2003. Kelembagaan dan Kebijakan dalam Pengembangan Agroforestri. Bahan Ajaran Agroforestry 8. ICRAFT.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 89 Ekawati S., Kartodihardjo H.,, Nurrochmat D. R., Dwiprabowo H., Hardjanto. 2011. Analisis Proses Pembuatan dan Implementasi Kebijakan Desentralisasi Pengelolaan Hutan Lindung (Studi Kasus di Tiga Kabupaten dalam DAS Batanghari). http://fordamof.org/files/makalah%20ibu%20eka%20diskusi%20ilmiah.pdf diakses tanggal 18 Maret 2012 Ekawati S., Kartodihardjo H.,, Hardjanto. , Dwiprabowo H., Nurrochmat D. R. 2011. Proses Pembuatan Kebijakan Pembagian Kewenangan Antar Tingkat Pemerintahan Dalam Pengelolaan Hutan Lindung Dan Implementasinya Di Tingkat Kabupaten. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. Vol. 8 No. 2, Agustus 2011 : 132 – 15. http://www.forda-mof.org/files/3.%20Sulistya%20Ekawati.pdf diakses tanggal 18 Maret 2012 Emila, 2010. Analisis Land Tenure dalam Pengelolaan KPH. Presentase disampaikan pada Workshop Pembelajaran KPH Workshop Pembelajaran KPH IPB ICC, 31 Mei- 1 Juni 2010. http://www.wg-tenure.org/file/Makalah/presentasi-pembelajaran-KPH_materiwebsite.pdf, akses tanggal 1 Desember 2011
Fakultas Kehutanan UNHAS , Pemkab Bantaeng, 2009. Laporan Rancang Bangun Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Kabupaten Bantaeng. Hakim I., 2010. Orientasi Makro Kebijakan Social Forestry di Indonesia. Halaman 1 – 28, dalam Tulisan Social Forestry Menuju Restorasi Pembangunan Kehutanan Berkelanjutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. http://www.redd-indonesia.org/images/abook_file/Social-Forestry.pdf diakses tanggal 18 Maret 2012 Kementerian Kehutanan, 2010. Hand Out Kebijakan Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan/Hutan Desa. Direktorat Bina Perhutanan Sosial Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial Muarapey A., 2010. Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan Hutan Di Negeri Liang Kabupaten Maluku Tengah. Jurnal Hutan dan Masyarakat., Vol. 5, No.1, 2010: 29 37. Laboratorium Kebijakan dan Kewirausahaan Kehutanan, Fakultas Kehutanan UNHAS. Putranto Hendar. 2006. Memori Sosial Pasca-Bencana: Mungkinkah?. http://hendar2006.multiply.com/journal/item/24/esai_Memori_Sosial_pascabencana. diakses tanggal 18 Maret 2012 Sahide, M. A. K., Supratman. , Dassir M., Junus M., Mahbub A.S., Makkarennu, 2010. Studi Implementasi Program Hutan Tanaman Rakyat di Sulawesi Selatan. Balai Penelitian dan Pengembangan propinsi Sulawesi Selatan Sardjono M.A., 2004. Mosaik Sosiologis Kehutanan: Masyarakat lokal, politik dan Kelestarian Sumberdaya. Debut Press. Samarinda
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 90 Suharjito Didik. 2009. Devolusi Pengelolaan Hutan di Indonesia: Perbandingan Indonesia dan Philipina. JMHT Vol. XV, (3): 123–130, Desember 2009, Pemikiran Konseptual, ISSN: 2087-0469
Tjong. 2010. Dekonsentrasi Berwajah Devolusi. http://kpshk.org/index.php/artikel/read/2010/02/23/627/dekonsentrasi-berwajahdevolusi.kpshk diakses tanggal 16 Maret 2012, KPSHK
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 91
BAB V. KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN DAN KEHUTANAN MASYARAKAT
PENDAHULUAN
I. Tujuan Instruksional 1. Mahasiswa mampu menganalisis konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) 2. Mahasiswa mampu mensintesa keterhubungan KPH dan KM II. Proses pembelajaran Pada pembelajaran ini akan dipakai metode brainstorming dengan fokus pada kelompok-kelompok kecil mahasiswa yang akan mendiskusikan Kesatuan Pengelolaan Hutan dan Kehutanan Masyarakat Pada tahap pertama; Dosen mengulas secara singkat ruang lingkup bahasan terkait analisis keterkaitan konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan dan konsep Kehutanan Masyarakat Pada tahap kedua; Dosen memfasilitasi mahasiswa untuk membuat beberapa kelompok berdasarkan sub bahasan. Kegiatan ini dilakukan melalui kegiatan diskusi kelompok dan dilakukan selama 40 menit dengan sebelumnya membagikan handout tentang tema dan sub tema tersebut. Dosen mencatat semua aktifitas diskusi dan mengevaluasi keaktifan mahasiswa. Pada tahap ketiga; Dosen memberikan evaluasi terhadap hasil diskusi kelompok dan menghubungkannya dengan tema bahasan analisis potensi usaha masyarakat dalam kawasan hutan.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 92
BAHAN PEMBELAJARAN
I.
Konsep dan Diskursus Kesatuan Pengelolaan Hutan Kesatuan pengelolaan hutan (KPH) adalah suatu intitusi pengelola hutan yang mengelola
ditingkat tapak. Tapak adalah unit kelola terkecil dalam wilayah pengelolaan hutan. KPH ini kemudian menjadi menarik ketika terjadi kekosongan pengelolaan hutan kecuali di Pulau Jawan dan kawasan Konservasi. Kalau di kawasan konservasi telah memiliki unit yeng berfungsi sebagai KPH seprti Balai Taman Nasional, Balai Konservasi Sumber Daya Alam, namun di wilayah kawasan hutan lindung dan hutan produksi terjadi kekosongan. Dipulau Jawa dengan sangat mudah kita dapat melihat peran Perum Perhutani sebagai BUMN telah berfungsi sebagai KPH pengelola hutan ditingkat tapak, namun diluar pulau Jawa juga ada PT. INHUTANI, namun tidak semua wilayah hutan terkelola oleh perusahaan ini dan juga perusahaan tersebut mengalami beberapa kemunduran baik secara finansial maupun pengurangan wilayah otoritas. Sehingga banyak sekali wilayah hutan belum memiliki institusi pengelola hutan. KPH diharapkan oleh para pihak bukan hanya sekedar untuk mengisi kekosongan tersebut, tetapi juga menjalankan mandat pengelolaan hutan yang bukan hanya bervisi bisnis tetapi juga bervisi ekologis dan sosial. Kotak 7. Ilustrasi Struktur KPH Kalau di sektor kesehatan ada Dinas Kesehatan yang menangani pengurusan sektor kesehatan dan ada juga Rumah Sakit yang menangani pengelolaan pasien. Disektor pendidikan terdapat Dinas Kesehatan untuk mengurusi kebijakan pendidikan dan juga terdapat Institusi Sekolah yang mengelola aktifitas pembelajaran guru dan siswa. Maka, disektor kehutanan selayaknya juga terdapat pengurusan dan juga pengelolaan. Ilustrasi diatas juga memungkinkan adanya Dinas Kehutanan dan juga terdapat KPH yang mengelola tapak Kebijakan yang sedang dikembangkan saat ini telah sampai pada tahap ujicoba dan atau pembanguna model KPH yang difasilitasi oleh Kementerian Kehutanan (pemerintah pusat) melalui landasan hukum PP No 6/20071 serta dukungan kebijakan dari Kementerian Dalam Negri. Ngakan, dkk (2008) dalam hasil kajiannya mengungkapkan berbagai diskursus yang menarik antara lain dengan semakin banyaknya lembaga yang mengurusi obyek yang sama, “koordinasi” menjadi sangat penting., namun dalam prakteknya, koordinasi hanyalah sebuah kata yang mudah diucapkan namun tidak mudah diimplementasikan.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 93 Lebih lanjut lagi Ngakan, dkk (2008) membicangkan tema perwilayahan KPH yang akan sangat erat kaitannya dengan kelembagaan dan pembiayaan operasional dalam menjalankan institusinya. Kuantitas KPH perlu dipertimbangkan karena terkait dana yang sangat besar dan jika tidak terkelola dengan baik maka
akan membebani APBN dan APBD. Tetapi
menggabungkan KPH secara sembarangan juga akan menghilangkan filosopi utama KPH yakin pengelolaan di unit terkecil atau tingkat tapak. Saat ini pemerintah cenderung hanya menetapkan wilayah KPH yang luas dengan melihat mayoritas fungsi kawasan, misalnya jika di wilayah KPH tersebut adalah kawasan hutan lindung waka ditetapkan sebagai KPH Lindung, walaupun didalamnya ada kawasan hutan produksi dan kawasan konservasi, sehingga diharapkan penggabungan pengelolaan kawasan hutan tersebut dalam bentuk satu KPH memungkinkan terjadinya efisiensi pengelolaan. Untuk lebih memudahkan pembaca, penulis mengeksplorasi beberapa pertanyaanpertanyaan kunci seputar KPH, antara lainb : a. Jika pemerintah yang mengurusi pengelolaan hutan dalam bentuk KPH, apakah hal tersebut dapat menimbylkan konflik pengurusan dan pengelolaan? b. Jika
Swasta yang mengurusi pengelolaan hutan dalam wujud KPH, bagaimana
memastikan hutan sebagai hajat hidup orang banyak dapat melestarikan fungsi sosial dan ekologisnya?, bagaimana mengelola eksternalitas pengelolaan?, bagaimana mengelola konflik masyarakat lokal dan perusahaan swasta? c. Jika pemerintah yang mengurusi pengelolaan hutan dalam bentuk KPH, dilevel mana semestinya harus diletakkan? d. Apakah hubungan Perum Perhutani (lembaga BUMN) sebagai KPH dipulau Jawa, dapat direplikasi diluar pulau Jawa? Bagaimana analisis konteksnya? e. Bagaimana sistem pendanaan KPH? Apakah akan membebani APBN ? II. Ambiguitas Pendekatan : Antara Pendekatan DAS, Wilayah Admistratif Kabupaten, dan Entitas Lokalitas Tapak Tema pewilayahan KPH tidak semudah yang dibayangkan, berbagai kepentingan juga mesti turut dipertimbangkan. Jika kita kembalikan semata kepada filosopi KPH yang bermuatan pengelolaan tapak, maka semestinya pewilayahan KPH harus mempertimbangkan entitas lokalitas tapak. Namun, aspek sosio-politik lainnya mesti juga dipertimbangkan. Contoh kasus ketika KPH di sulawesi Selatan hendak ingin diusulkan untuk menjadi model. Terjadi perbincangan yang cukup serius apakah KPH tersebut mengacu pada pendekatan
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 94 DAS?, kemudian DAS yang seperti apa? Apakah DAS dengan skala yang besar? Ataukah DAS dengan skala yang kecil?.
Gambar 15. Pewilayahan Lembaga KPH Lindung (Sumber : Ekawati, dkk, (2011))
Ketika model KPH yang berorientasi DAS besar tersebut diusulkan ke Kemnetrian Kehutanan, pihak Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan banyak yang melakukan protes, bahwa kewenangan mereka dalam mengelola hutan seakan dipangkas, karena model KPH yang diusulkan sebagain besar lintas Kabupaten. Pendekatan DAS sebagai basis argumentasi pengusulan juga dijadikan argumentasi oleh Dinas Kehutanan Kabupaten, bahwa mereka juga memiliki banyak DAS dengan skala yang kecil. Gambar ... dari hasil kajian Ekawati, dkk, (2011)) yang menganalisis penentuan lembaga pengelola KPH di kawasan hutan linndung. Dari gambar tersebut, menarik untuk dicermati bahwa dalam menentukan KPH mesti memperhatikan karakteristik pemanfaatan hutan, dan ruang lainnya sehingga penentuan organisasi induk sebagai payung KPH mesti mampu menganalisis beragam konteks lokalitas yang bekerja dalam suatu wilayah.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 95 III. Partisipasi publik dalam inisiasi, pewilayahan dan pengendalian ruang KPH Kementerian Kehutanan telah merespon ide pembentukan seluruh KPH di Indonesia. Kementerian Kehutanan saat in juga menyiapkan kebijakan untuk mengakselerasi pembentukan KPH tersebut. Pembangunan KPH dijadikan sebagai salah satu indikator kinerja utama sukses atau tidaknya Kementerian Kehutanan tahun 2010-2014.Terkhusus kepada KPH Produksi dan KPH Lindung, telah terbit peraturan perundangan pedoman kelembagaan KPH yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 tahun 2010 tanggal 23 Desember 2010 tentang Pedoman organisasi dan tata kerja kesatuan pengelolaan hutan lindung dan kesatuan pengelolaan hutan produksi di daerah. Kementerian kehutanan akan menginisiasi pembentuksn KPH Model dengan memfasilitasi pembiayaan pembangunannya, termasuk adalah penyediaan sarana dan prasarana KPH seperti kantor, kendaraan operasional dan peralatan pendukung lainnya. Berbagai aktifitas sosialisasi dan konsultasi publik pembentukan KPH di berbagai daerah dilakukan. Namun, yang mesti diperhatikan adalah seberapa besar partisipasi publik dalam sosialisasi maupun konsultasi publik tersebut. Indikatornya bukan seberapa besar partisipasi para pihak, namun juga konsistensi dan pemahaman tentang KPH mesti menjadi indicator. Tenggang waktu yang diberikan kepada publik untuk menyerap makna KPH mesti diberikan ruang yang lebih luas, agar nantinya publik mengerti akan tujuan KPH dan yang lebih penting publik memiliki hak dalam perencanaan tersebut. Dalam PP 69/1996 masyarakat berhak untuk (a) berperan serta dalam perencanaan tata ruang, pemanfaatan dan pengendalian; (b) mengetahui secara terbuka semua rencana tata ruang (melalui Lembaran Negara atau Daerah yang perlu disebarluaskan); (c) menikmati manfaat ruang; dan (d) memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialami sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan tata ruang (melalui musyawarah antara pihak yang berkepentingan). Pasal 30 dalam PP yang sama menyebutkan bahwa Lembaga Pemerintah berkewajiban untuk membina peran serta masyarakat tersebut dengan menyebarluaskan informasi kepada masyarakat secara terbuka, menghormati hak masyarakat, memberikan penggantian yang layak, dan menindaklanjuti saran, usul dan keberatan masyarakat. Yang sering mengemuka bahwa konsultan pewilayahan KPH bukan semata-mata suatu kegiatan yang rasionalistik, teknis dan estetis tetapi merupakan pula proses sosial politis yang dinamis, hal ini juga sesuai dengan teori yang diungkapkan Forester (1989). Tidak jarang hasil pewilayahan ruang dalam pembangunan menghasiulkan konflik yang
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 96 berkepanjangan. Runag publik tidak boleh hanya diselesaikan lewat peta, namun mesti dikonsultasikan dan mendapat mandate sosial yang kuat dari masyarakat termasuk pewilayahan ruang KPH Contoh kasus, ketika Lima Bupati dari Kalimantan Tengah menggugat Menteri Kehutanan terkait pengukuhan kawasan hutan di wilayah mereka, akhirnya Keputusan MK yang memenangkan gugatan 5 Bupati di Kalimantan Tengah terhadap Pasal 1, Ayat 3 UU Kehutanan no 41, Tahun 1999, dan SE Menteri Kehutanan no 1 pertanggal 29 Februari 2012 (situs Mahkamah Konstitusi, 2012) Hal ini merupakan pertanda bahwa
partisiapsi publik dalam penataan ruang
dilindungi dengan hak konstitusional di negara Republik Indonesia. Hal ini berimplikasi juga pada pewilayahan KPH, bahwa partisipasi publik atau partisipasi masyarakat dalam penyusunan dokumen resmi KPH, pewilayahan KPH, pembangunan KPH dan pengendalian ruang KPH merupakan hak masyarakat, yang dapat dilakukan baik dalam tahap penyiapan, tahap pembahasan, sampai tahap monitoring dan evaluasi.
IV. Relasi KPH dan KM Pertanyaan yang sangat penting untuk dijawab adalah bagaimana keterhunungan skema kehutanan masyarakat dan atau bentuk kelola hutan berbasis masyarakat dengan KPH?. Dalam diskursus KPH berbasis masyarakat yang diselenggarakan oleh RECOFTC dan Fakultas Kehutanan UNHAS pada tahun 2010, mengemuka bahwa KPH seharusnya mampu memfasilitasi unit-unit kelola kehutanan masyarakat, apakah dengan fasilitasi pembangunan skema KM tersebut atau KM itulah yang akan membentuk KPH Pasal 17 UU 41 menyebutkan bahwa : (1) Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk tingkat: (a) Propinsi, (b) Kabupaten/kota,dan (c) unit pengelolaan. (2) Pembentukan wilayah penglolaan hutan tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat dan batas administrasi pemerintahan. (3) Pembentukan unit pengelolaan hutan yang melampaui batas administrasi pemerintahan karena kondisi dan karakteristik serta tipe hutan, penetapannya diatur secara khusus oleh Menteri. Penjelasan: Yang dimaksud dengan unit pengelolaan adalah kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efesien dan lestari, antara lain kesatuan pengelolaan hutan lindung (KPHL), kesatuan pengelolaan hutan
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 97 produksi (KPHP), kesatuan pengelolaan hutan konservasi (KPHK), kesatuan pengelolaan hutan kemasyarakatan (KPHKM), kesatuan pengelolaan hutan adat (KPHA), dan kesatuan pengelolaan daerah aliran sungai (KPDAS) Dalam aturan terkait KPH sebenarnya terdapat KPH ”masyarakat” antara lain KPHKm (Km = Kemasyarakatan) atau KPHA (A = Adat) di dalam unit KPH. KPHKm dan KPHA merupakan kawasan hutan yang pemanfaatannya diberikan kepada sekelompok masyarakat di sekitar hutan. Oleh karena berada dalam kawasan hutan, pengelolaan dan pemanfaatan hutan di wilayah KPHKm dan KPHA tidak boleh dilakukan menyimpang dari fungsi pokok dan peruntukan kawasan hutan dimana KPH tersebut berada. Demikian juga organisasinya tidak berdiri sendiri melainkan berada di bawah organisasi KPH yang mewilayahinya. Beberapa pertanyaan kunci untuk relasi KPH dan KM antara lain a. Bagaimana dengan hak kelola masyarakat yang telah diberikan oleh pemerintah seperti Hak Pengelolaan Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat yang sebenarnya secara filosofis juga telah mengelola tapak?, apakah tidak akan tumpang tindih dengan KPH? b. Bagaimana aspek pengurusan dan fasilitasi kehutanan masyarakat jika masyarakat masih lemah dalam urusan administrasi? Dalam rangka memberdayakan masyarakat di sekitar hutan, pemerintah dapat membentuk KPHKm (Km = Kemasyarakatan) atau KPHA (A = Adat) di dalam unit KPH. KPHKm dan KPHA merupakan kawasan hutan yang pemanfaatannya diberikan kepada sekelompok masyarakat di sekitar hutan. Oleh karena berada dalam kawasan hutan, pengelolaan dan pemanfaatan hutan di wilayah KPHKm dan KPHA tidak boleh dilakukan menyimpang dari fungsi pokok dan peruntukan kawasan hutan dimana KPH tersebut berada. Demikian juga organisasinya tidak berdiri sendiri melainkan berada di bawah organisasi KPH yang mewilayahinya. Supratman dan Sahide (2011) mengungkapkan bahwa konsep KM yang diatur di dalam beberapa kebijakan Kementerian Kehutanan telah membuka akses kepada masyarakat untuk mengelola kembali hutan mereka yang setelah berlaku Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) aksesnya tertutup. Kebijakan KM juga memberi peluang kepada masyarakat di sekitar hutan mendapatkan hak pengelolaan hutan sesuai skim KM yang mereka akan pilih. Hak pengelolaan kawasan hutan berupa hak mengambil keputusan bentuk pengelolaan yang diinginkan sesuai potensi hutan dan sosial ekonomi serta budaya setempat; dan hak menentukan bentuk kelembagaan. Kebijakan-kebijakan KM tersebut juga membuka peluang masyarakat untuk mengeratkan ikatan komunitas masyarakat pengelola melalui proses
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 98 penyiapan masyarakat; mengembangkan keragaman hasil hutan yang menjamin kelestarian fungsi dan manfaat hutan; meningkatkan mutu, produktivitas, dan keamanan hutan; menciptakan lapangan kerja; meningkatkan kesempatan berusaha; meningkatkan pendapatan masyarakat
dan
pendapatan
daerah.
Masyarakat
berkesampatan
mendorong serta
mempercepat pengembangan daerah melalui proses akumulasi modal dari hasil keuntungan di tingkat dusun dan desa sehingga bisa menghindari proses pelarian modal dari tempattempat terjadinya proses poduksi, baik benda maupun jasa. Supratman dan Sahide (2011) lebih lanjut mengungkapkan bahwa Meraih peluangpeluang tersebut di atas, tidaklah mudah, dibutuhkan leadership yang kuat, komitmen, dan fasilitasi dari semua unsur yang terkait. Leadersehip yang kuat tersebut tidak hanya pada level pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah daerah tetapi juga pada level desa dan level komunitas. Pembangunan KPH sebagai organisasi pengelola hutan pada tingkat tapak diharapkan dapat menjadi fasilitator utama bagi masyarakat untuk meraih peluang kebijakan PHBM. Oleh karena itu, implementasi kebijakan pembangunan KM yang terintegrasi dengan pembangunan KPH merupakan peluang untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari berbasis masyarakat. c. Studi Kasus Pembangunan KPH berbasis Hutan Desa di Kabupaten bantaeng Terlepas dari penetapan KPHP Model Jeneberang dimana Kabupaten Bantaeng salah satu bagian dari KPH tersebut, penulis akan mengeksplorasi kajian pembangunan KPH di Kabupaten Bantaeng untuk melengkapi dikursus KPH dan KM ini. Kajian tersebut dilakukan oleh Fakultas Kehutanan UNHAS yang didukung oleh Pemerintah Kabupaten Bantaeng pada tahun 2010. KPH Bantaeng dinisiasi setelah Skema Hutan Desa ddan atau Skema Kehutanan Masyarakat lainnya dibangun terlebih dahulu. Skema inilah yang akan menjadi cikal bakal pembangbunan KPH. Jadi, buka KPH dulu yang dibanbgun tetapi penguatan entitas KM yang mesti didahulukan Sebagai informasi awal bahwa luas kawasan hutan di Kabupaten Bantaeng, yaitu seluas 6.222 ha, yang terdiri atas 3.449 ha hutan produksi dan 2.773 ha hutan lindung. Dengan menggunakan pendekatan wilayah DAS mikro yang dioverlapping dengan pendekatan wilayah administrasi pemerintahan serta pendekatan wilayah fungsional (yaitu keterkaitan sosial-ekonomi antar wilayah desa, antara lain ketersediaan sistem jaringan jalan yang terdapat di dalam dan sekitar areal kawasan hutan, nodal-nodal ekonomi pedesaan), maka wilayah pengelolaan hutan Kabupaten Bantaeng dibagi menjadi dua wilayah KPH yaitu,
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 99 KPH Lantebong mencakup tiga wilayah administrasi kecamatan dan 8 desa dan KPH Biyangloe mencakup 2 wilayah administrasi kecamatan dan 7 desa. KPH Lantebong Wilayah KPH Lantebong, meliputi Kecamatan Uluere, Kecamatan Sinoa, dan Kecamatan Bantaeng.
Gambaran desa-desa dan
sub DAS yang terdapat dalam
KPH
lantebong diperlihatkan pada Tabel 12. Tabel 12. Desa-Desa pada Wilayah BKPH Lantebong Kabupaten bantaeng
No
Kecamatan
Desa
Aliran Sungai
1.
Uluere
Bontolojong Bonto Marannu Bonto Tangnga Bonto Daeng
2.
Sinoa
Bonto Bulaeng Bonto Karaeng
3.
Bantaeng
Kayu loe Kelurahan Onto
Lantebong Biyangloe Bajang Bialo panaikang Panaikang panaikang lantebong lantebong lantebong lantebong
Tabel 13. Wilayah BKPH Biyangloe Kabupaten Bantaeng
No
Kecamatan
1.
Eremerasa
2.
Tompobulu
Desa Pa‟bumbungan Kampala Labbo Pattaneteang Bonto Tappalang Kelurahan Campaga
Aliran Sungai Biyangloe lantebong Biyangloe Biyangloe Bajang Bialo Biyangloe Biyangloe
KPH Biyangloe Wilayah KPH Biyangloe, meliputi Kecamatan Eremerasa dan Kecamtan Tompobulu. Gambaran desa-desa dan sub DAS yang terdapat dalam KPH Biyangloe pada Tabel 13.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 100 Struktur Organisasi KPH Kabupaten Bantaeng Bupati Kepala Dinas Kabupaten yang Mengurusi Kehutanan Kepala KPH Lantebong (Eselon IV a)
Ka.Sub Bagian Tata Usaha (Eselon IV)
Staf administari dan Keuangan
Kepala Seksi Perencanaan dan produksi
KBKPH Bontolojog I
KBKPH Bontolojong 2
Kepala Seksi Industri pengolahan dan pemasaran hasil hutan
KBKPH Loka
KBKPH Sinoa
KBKPH Kayuloe
Gambar 16. Struktur Organisasi KPH lantebong Kabupaten Bantaeng Mengacu pada struktur organisasi dinas kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bantaeng yang ada sekarang, Struktur organisasi Dinas Kehutanan
dan Perkebunan
Kabupaten Bantaeng telah memiliki slot yang dapat menjadi cantolan untuk membangun stuktur KPH, yaitu adanya Struktur UPTD yang dapat menjadi cantolan untuk membangun stuktur KPH pada struktur Dinas yang mengurusi kehutanan yang ada pada saat ini. Mengacu kepada PP No. 41/2007 dirumuskan struktur organisasi KPH Kabupaten Bantaeng seperti disajikan pada Gambar 17 Struktur KPH pada Gambar 1 dan 2 tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Kepala KPH, selevel dengan Kepala UPT Dinas sesuai PP No. 41/2007
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 101 b. Sub Bagian Tata Usaha, selevel dengan Sub Bagian Tata Usaha sesuai PP No. 41/2007. Pada struktur ini,
bagian tata usaha membawahi staf-staf: administrasi, keuangan,
perencanaan, monitoring dan evaluasi, dan staf pemasaran c. Kepala Bagian KPH (KBKPH), selevel dengan Kepala Seksi sesuai PP No. 41/2007, akan tetapi KBKPH memangku wilayah d. Staf BKPH selevel dengan staf sesuai PP No. 41/2007. Pada struktur ini terdapat staf-staf: produksi, rehabilitasi hutan dan lahan, serta staf perlindungan dan konservasi alam areal-areal yang tidak diokupasi dikelola langsung oleh BKPH, areal-areal rehabilitasi langsung oleh BKPH dan dapat dibantu oleh Pemegang hak teseng pada hutan desa. Perencanaan, produksi dan pemasaran berhubungan dengan huta desa. Pada staf pemasaran ada staf yang mengurusi pengadaan saprodi dan pemasaran hasil. BUMDES memasok saprodi dan pemasaran hasil, atau tergantung kesepakatan antara lembaga BUMDES dengan KPH.
Tugas dan Fungsi setiap komponen dalam struktur KPH Bantaeng
Pokok-pokok tugas dan fungsi masing-masing komponen dalam struktur KPH yang dilukiskan pada Gambar 5 adalah sebagai berikut: a) Kepala KPH KPH dikepalai oleh seorang Kepala KPH. Fungsi Kepala KPH secara umum adalah memimpin kegiatan pengelolaan KPH, dan secara khusus adalah: a. Memimpin, mengurus dan mengelola KPH b. Melaksanakan kebijakan pengembangan usaha dalam mengurus KPH sesuai yang telah digariskan oleh Kepala Dinas yang mengurusi kehutanan di kabupaten c. Menetapkan kebijakan sesuai pedoman kegiatan strategis yang ditetapkan oleh Kepala Dinas yang mengurusi kehutanan di kabupaten d. Menyusun rencana jangka panjang, jangka menengah dan rencana kerja KPH dengan persetujuan dari Kepala Dinas yang mengurusi kehutanan di kabupaten e. Melakukan kerjasama usaha dengan badan usaha lain yang saling menguntungkan untuk berkembangnya KPH dengan persetujuan Kepala Dinas yang mengurusi kehutanan di kabupaten. f. Menilai rencana kerja yang disusun oleh unit-unit usaha pemanfaatan dan atau penggunaan kawasan hutan yang ada di wilayahnya.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 102 b) Kepala Sub Bagian Tata Usaha
Kepala Sub Bagian Tata Usaha membantu Kepala KPH dalam bidang administrasi, keuangan, perencanaan, monitoring dan evaluasi, dan pemasaran.
c) Kepala Bagian KPH (KBKPH)
KBKPH merupakan bidang yang memfasilitasi
kegiatan administratif dan
operasional kegiatan KPH pada tingkat Bagian KPH (BKPH) sesuai kebijakan pengelolaan yang digariskan oleh Kepala KPH. KPH dapat dibagi menjadi beberapa BKPH berdasarkan pertimbangan-pertimbangan homogenitas wilayah Administrasi Pemerintah, dan pertimbangan keterkaitan ekonomi (aglomerasi ). Tugas pokok KBKPH adalah membangun proses pengelolaan hutan sesuai karakteristik lokal (sosial, ekonomi, budaya dan potensi biofisik). Untuk membangun proses tersebut, maka KBKPH melakukan tugas sebagai berikut: a. Memfasilitasi perencanaan lokasi BKPH dan penataan unit-unit usaha kehutanan di wilayah BKPH secara partisipatif. b. Memfasilitasi pembentukan dan operasionalisasi kelompok usahatani hutan di BKPH tempat tugasnya. c. Memfasilitasi pengembangan bisnis berbasis kehutanan, menyangkut sub sistem pengadaan dan distribusi input (sarana-produksi), pengembangan kegiatan produksi (budidaya tanaman), pengolahan hasil, pemasaran hasil, serta kegiatan-kegiatan pendukung (penelitian, pelatihan, penyuluhan, konstruksi, transportasi, dll). d. Menfasilitasi kegiatan perlindungan hutan dan konservasi alam
d) Staf Dalam menjalankan tugasnya, KBKPH dapat dibantu oleh beberapa staf, antara lain: a. Staf Produksi membantu KBKPH untuk mengembangkan unit-unit usaha KPH, serta mengembangkan kegiatan pengolahan dan pemasaran produksi KPH. b. Staf Rehabilitasi, Perlindungan, dan Konservasi Alam, membantu KBKPH dalam bidang rehabilitasi, perlindungan, dan konservasi alam di dalam dan di luar kawasan hutan
Hubungan antara KPH dengan BUMDes (sebagai lembaga pengelola Hutan Desa)
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 103
BPD membentuk lembaga pengelolaan Hutan Desa melalui peraturan desa. Kepala Desa sebagai pengawas dan fasilitator terselenggaranya pengelolaan hutan desa.Lembaga pengelola hutan desa sebagai pemegang hak pengelolaan hutan desa. LPHD dapat membentuk struktur organisasi sesuai kebutuhannya. Masyarakat sebagai pemegang hak teseng yang dikontrol/diawasi oleh pemegang hak (LPHD) Hubungan kelembagaan antara Organisasi KPH dengan Organisasi hutan desa sebagai berikut : e. KPH Memberi fasilitasi terhadap perizinan dan pengelolaan hutan desa f. KPH dan BUMDes membangun kerjasama pemasaran hasil hutan (termasuk jasa lingkungan). g. KPH jika diperlukan akan memfasilitasi pembangunan industri pengolahan kayu h. BUMDes melaksanakan kegiatan siklus budidaya dan pemasaran dapat bekerjasama dengan KPH i. Diharapkan ada areal inti Pengelolaan KPH ataupun areal percontohan untuk aktifitas BUMDes j. KPH Memfasilitasi berkembangnya hutan rakyat Masyarakat yang telah masuk dalam areal Kawasan hutan maka areal tersebut yang diprioritaskan dijadikan Areal Hutan Desa. Sedang yang belum dirambah/dikelola menjadi areal inti KPH yang dikelola langsung oleh KPH Hubungan Organisasi KPH, Pemerintah kabupaten (Dinas), pemerintah Desa dan BUMDes Berdasarkan struktur orgaisasi Dinas kehutanan da Perkebunan kabupaten Bantaeng, Struktur organisasi KPH yang diusulkan dan Struktur organisasi Hutan Desa yang diusulkan, maka hubungan kelembagaan antara Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bantaeng dengan hutan desa dan pengelola KPH, Diperlihatkan pada Tabel 3.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 104 Tabel 14.Hubungan kelembagaan antara Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Institusi No 1.
Kewenangan
Dinas
Pengurusan
Merumuskan peraturan kehutanan
KPH
Membuat Melaksanakan /menyiapkan Regulasi regulasi tentang hubungan kerjasama antara KPH dengan seluruh BUMDes Bantaeng Monev KPH Monev Hutan Desa
Pemerintah BUMDes Desa Mengusulka n lokasi areal hutan desa Membentuk lembaga desa sebagai pengelola hutan desa (BUMdes)
Monev BUMDes
Memfasilitasi berkembangnya hutan rakyat Penegakan hukum Perizinan
2.
Pengelolaan
Rencana Makro kehutanan
RKPH KPH
Membangun kemitraan dengan BUMDes dalam pemasaran dan industri Memfasilitasi berkembagnya hutan rakyat
Mengusulkan izin usaha pemanfaatan hutan Rencana karya Pengelolaan Hutan Desa (RKHD) Membangun Hak teseng dengan individu petani hutan desa Melakukan pengelolaan hutan desa
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 105 Road Map Pembangunan KPH Bantaeng Sesuai dengan konsep pembangunan KPH Kabupaten Bantaeng yaitu pembangunan Hutan Desa sebagai cikal bakal membangun KPH, maka road map pembangunan KPH disajikan pada Tabel 15. Tabel 15.Road Map Pembangunan KPH Kabupaten Bantaeng
Tahun 2009
2010
Jenis Program
Kondisi Saat Ini (baseline condition)
Peraturan Bupati tentang Pengelolaan hutan Desa
Lembaga BUMDEs sudah dibangun di setiap desa Perdes tentang Pengelolaan Hutan Desa Belum ada lembaga pengelola hutan desa Lembaga Pengelola Hutan Desa menyusun Rencana Belum ada Rencana Karya Hutan Desa Pengelolaan Hutan Desa Lembaga Pengelola Hutan Desa menyusun Rencana Tahunan Hutan Desa Tahun 2010 Merumuskan kontrak pemanfaatan hutan antara Terdapat sistem kontrak setiap petani dengan lembaga pengelola hutan desa penggunan lahan lokal ”teseng” antara pemilik lahan dengan petani penggarap yang dapat dicontoh dalam merumsukan kontrak pemanfaatan hutan desa Mengembangkan unit-unit usaha non kehutanan Masyarakat sudah mengelola manjaadi unit-unit usaha kehutanan pada setiap desa unit-unit usaha non kehutanan di dalam kawasan hutan Menata Areal Hutan Desa ke dalam blok, petak, dan Unit-unit usaha masyarakat unit-unit usaha rumah tangga petani pemanfaat di dalam kawasan hutan belum tertata sesuai sistem penataan pengelolaan hutan lestri Merekrut Sarjana Kehutanan untuk mengisi personil Belum ada tenaga profesional dalam organisasi BKPH kehutanan yang mendampingi masyarakat mengelola hutan di desa Peraturan Bupati tentang Pembentukan UPTD KPH Terdapat Lembaga UPTD Lantebong dan KPH Biangloe dalam strutur organisasi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Bantaeng, sesuai Perda Organiasi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Merumuskan hubungan antara lembaga pengelola Akan dibangun KPH dan hutan desa dengan lembaga KPH lembaga pengelola hutan desa
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 106 2011
Operasionalisasi KPH Lantebong Operasionalisasi KPH Biyangloe
Belum ada KPH beroperasi
yang
Berdasarkan karakteristik wilayah desa dan karakteristik pengelolaan hutan oleh masyarakat, dirumuskan program pengelolaan hutan oleh KPH pada setiap wilayah desa seperti disajikan pada Tabel berikut: Tabel 16. Pengelolaan Unit Usaha Kehutanan pada Setiap Wilayah KPH
No 1.
Aktivitas Pengelolaan Unit Usaha Potensial Perbaikan pola-pola tanam
Desa Bontolojong, Bontodaeng, Labbo, Patteneteang, Bontobulaeng, Kayuloe, Pa‟bumbngan
2.
Pemanfaatan lingkungan
jasa Campaga, Bontodaeng, Labbo, Pattaneteang, Bontolojong
3.
Pemungutan hasil hutan bukan kayu
4
Pemungutan hasil hutan Bontomarannu,Labbo, kayu pada hutan rakyat Pattaneteang, Bontomarannu, Bontodaeng, Pa‟bumbungan
65
Pemanfaatan hutan
Bontolojong, Bonto Daeng, Pa‟bumbungan, Bontomarannu
kawasan Bontodaeng, Bonto Bulaeng, Pa‟bumbungan, Pattaneteang, Labbo dan Kayuloe, Campaga
Unit Usaha Potensial
Tahun
k. Agroforestry Kopi l. Produksi kayu m. Pengembangan MPTS (sukun, nangka, alpukat, sengon, dan petai) n. Wisata hutan o. Pemanfaatan air p. Pemanfatan aliran air q. Penyadapan getah pinus r. Pengembangan lebah madu s. Pengembangan hutan rakyat
2009/
t. Pengelolaan hijauan makanan ternak u. Penanaman markisa
2010
2010
2010
2010
2010
Untuk mendukung operasionalisasi KPH pada tahun 2011, maka pada tahun 2010 akan dibangun prasarana berupa kantor masing-masing, Kantor UPTD KPH Lantebong yang berkedudukan di Desa Bontomarannu, Kecamatan Uluere dan Kantor UPTD KPH Biyangloe
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 107 yang berkedudukan di Desa Banyorang, Kecamatan Tompobulu. Selain itu, dibutuhkan pula pembangunan prasarana jalan hutan pada setiap desa untuk memudahkan akses pengelolaan hutan oleh KPH. PENUTUP
I. Penugasan Pertanyaan-pertanyaan kunci yang dikemas melalui diskusi maupun kuis kepada mahasiswa a. Jelasakan secara ringkas esensi dan substansi KPH? b. Jelaskan secara ringkas keterhubungan KPH dan KM? c. Jelaskan secara ringkas ragam pendekatan dalam pewilayahan KM? d. Jelaskan beragam perspektif tentang otoritas KPH? II. Strategi merespon penugasan Mahasiswa sebaiknya tidak menggunakan bahan ajar ini sebagai satu-satunya sumber. Mahasiswa dapat mengecek secara langsung daftar pustaka yang ada di buku ini, dan meengeksplorasi lebih jauh dari sumber utamanya.
DAFTAR PUSTAKA
Ekawati S., Kartodihardjo H.,, Nurrochmat D. R., Dwiprabowo H., Hardjanto. 2011. Analisis Proses Pembuatan dan Implementasi Kebijakan Desentralisasi Pengelolaan Hutan Lindung (Studi Kasus di Tiga Kabupaten dalam DAS Batanghari). http://fordamof.org/files/makalah%20ibu%20eka%20diskusi%20ilmiah.pdf diakses tanggal 18 Maret 2012 Ekawati S., Kartodihardjo H.,, Hardjanto. , Dwiprabowo H., Nurrochmat D. R. 2011. Proses Pembuatan Kebijakan Pembagian Kewenangan Antar Tingkat Pemerintahan Dalam Pengelolaan Hutan Lindung Dan Implementasinya Di Tingkat Kabupaten. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. Vol. 8 No. 2, Agustus 2011 : 132 – 15. http://www.forda-mof.org/files/3.%20Sulistya%20Ekawati.pdf diakses tanggal 18 Maret 2012 Fakultas Kehutanan UNHAS , Pemkab Bantaeng, 2009. Laporan Rancang Bangun Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Kabupaten Bantaeng.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 108
Forester, John. 1989. Planning in the Face of Power. California: University of California Press. Mahkamah Konstitusi, 2012. Lima Bupati Desak Menhut Taati Putusan MK http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.Berita.Berita&id=661 5. Diakses tangggal 20 Maret 2012
Ngakan P.U., Komarudin H., Moeliono M. 2008. Menerawang Kesatuan Pengelolaan Hutan di Era Otonomi Daerah. Governance Brief. Januari 2008. Nomor 38. CIFOR Supratman., Sahide M.A.K., 2011. The Development of Community Based Forest Management Unit (CBFMU) To Empower Forest Community page 57-68. Proceeding on International Symposium Challenges to Global Issues: Environmental Pollution and Degradation in Indonesia. Palu, Central Sulawesi, Indonesia. International Board of Affair Tadulako University
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 109 BAB V. ANALISIS USAHA KEHUTANAN MASYARAKAT
PENDAHULUAN
I. Tujuan Instruksional 1. Mahasiswa mampu menganalisis konsep kebijakan (peraturan) yang mendukung berkembangnya usaha kehutanan masyarakat 2. Mahasiswa mampu menganalisis potensi lahan usaha masyarakat dalam kawasan hutan 3. Mahasiswa mampu menganalisis faktor pendukung yang mendorong berkembangnya usaha KM (usaha masyarakat dalam kawasan hutan, sosial budidaya masyarakat dan pasar hasil hutan. II. Proses pembelajaran Pada pembelajaran ini akan dipakai metode Case Study dengan fokus pada kelompokkelompok kecil mahasiswa yang akan mendiskusikan analisis peluang usaha kehutanan
masyarakat Pada tahap pertama; Dosen mengulas secara singkat ruang lingkup bahasan terkait analisis peluang usaha kehutanan masyarakat serta memperkenalkan lebih awal tentang Analisis dan Pengembangan Pasar (APP) Pada tahap kedua; Dosen memfasilitasi mahasiswa untuk membuat beberapa kelompok berdasarkan sub bahasan. Kegiatan ini dilakukan melalui kegiatan diskusi kelompok dan dilakukan selama 40 menit dengan sebelumnya membagikan handout tentang tema dan sub tema tersebut. Dosen mencatat semua aktifitas diskusi dan mengevaluasi keaktifan mahasiswa. Bahasan kunci pada diskusi tersebut antara lain; - Analisis kebijakan yang terkait pengembangan kehutanan masyarakat - Potensi areal hutan produksi dalam usaha kehutanan masyarakat - Potensi sosial budaya masyarakat yang mendukung usaha kehutanan - Ketersediaan industri dan pasar hasil hutan - Analisis potensi kelembagaan masyarakat - Konsep pengembangan usaha kehutanan masyarakat
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 110 - Konsep pengembangan bisnis berbasis kehutanan - Akumulasi dan akses modal masyarakat lokal Pada tahap ketiga; Dosen memberikan evaluasi terhadap hasil diskusi kelompok dan menghubungkannya dengan tema bahasan analisis potensi usaha masyarakat dalam kawasan hutan. Dosen meminta kepada mahasiswa secara individual menganalisis faktor pendukung yang mendorong berkembangnya usaha KM (usaha masyarakat dalam kawasan hutan, sosial budidaya masyarakat dan pasar hasil hutan, dengan meminta membuat makalah
BAHAN PEMBELAJARAN
I.
Pendahuluan Degradasi sumberdaya hutan juga terjadi, antara lain disebabkan oleh pengelolaan
hutan yang tidak tepat, pembukaan kawasan hutan dalam skala besar untuk berbagai keperluan pembangunan, over cutting, dan illegal logging, perambahan, okupasi lahan dan kebakaran hutan. Sementara itu terjadi pula ekses kapasitas industri pengolahan kayu atas kemampuan suplai bahan baku industri. Keadaan ini mengharuskan adanya perubahan dari pengusahaan hutan hanya kepada perusahaan swasta kepada pengusahaan hutan berbasis masyarakat lokal (local community) untuk memberdayakan masyarakat dalam pengelolaan hutan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan, dan meningkatkan produktifitas serta melestarikan fungsi kawasan hutan. Berdasarkan kondisi tersebut diatas, Pemerintah melalui Kementerian Kehutanan menetapkan agenda baru terkait dengan kebijakan revitalisasi sektor kehutanan yaitu meningkatkan pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal melalui : (1) pemberian akses yang lebih luas terhadap pemamfaatan hutan (2) akses ke lembaga pembiayaan pembangunan kehutanan dan (3) dan akses ke pemasaran hasil hutan (industri hasil hutan) Dengan demikian selain dapat diwujudkannya agenda pengurangan kemiskinan, pada saat yang bersamaan juga akan terwujud pengurangan pengangguran dan peningkatan kontribusi kehutanan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional serta memenuhi permintaan bahan baku industri perkayuan.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 111 Dalam rangka mensukseskan agenda baru tersebut, diperlukan penguatan kapasitas usaha
kehutanan masyarakatal, yang diharapkan akan membentuk struktur baru
perekonomian nasional berdaya saing tinggi yang berbasiskan sumberdaya alam terbaharui, keunggulan lokal dan tahan terhadap perubahan eksternal seperti krisis moneter/ekonomi. Tabel 17. Rangkuman Panduan Analisis dan Pengembangan Pasar (APP) Tujuan
Tahap Pengkajian Situasi
I:
Tahap II: Identifikasi Komoditas, Pasar, dan Cara Pemasarannya
Tahap III: Perencanaan Usaha untuk Pembangunan Berkelanjutan
Langkah-langkah:
Hasil/keluaran Tahap I adalah:
Tujuannya adalah untuk memahami pokok persoalan, penegasan perumusan masalah dan peluangnya, serta membuat daftar komoditas.
1. Menentukan kelompok sasaran 2. Menentapkan tujuan keuangan dari kelompok sasaran 3. Membuat daftar sumberdaya dan komoditas 4. Memahami hambatan utama dari sistem pasar yang ada 5. Membuat daftar cakupan komoditas yang terpilih 6. Meningkatkan kesadaran tentang manfaat kerja kelompok
1.
Tujuannya adalah menentukan komoditas unggulan dan mengumpulka n informasi mengenai pengembanga n selanjutnya
1.
1.
Tujuannya adalah merumuskan rencana pengembanga n usaha serta persiapan pelaksanaanny a.
4.
2. 3.
Analisis empat bidang pengembangan usaha Pemilihan produk unggulan Membentuk kelompok-kelompok peminat untuk produk tertentu
2.
3.
2. 3.
Mengkaji kondisi perdagangan dari komoditas unggulan atau kegiatan usaha 5. Menentukan misi, tujuan, dan sasaran kegiatan usaha 6. Mengembangkan strategi untuk setiap bidang dari keempat bidang pengembangan usaha 7. Merumuskan rencana kegiatan untuk melaksanakan penerapan strategi 8. Menghitung proyeksi keuangan dari kegiatan usaha 9. Mendapatkan pembiayaan seperti yang ditetapkan di dalam pernyataan kebutuhan modal dalam rencana keuangan 10. Memprakarsai tahapan uji coba dan pelatihan 11. Memantau setiap perkembangan yang terjadi dan menangani perubahan- perubahannya
Sebuah daftar komoditas yang akan dinilai pada tahap berikutnya Pemahaman tentang kendala sosial, lingkungan dan teknis dari suatu rangkaian komoditas Pembentukan sebuah tim dari anggota kelompok sasaran untuk menjalankan Tahap II
Penetapan komoditas unggulan dan pengumpulan informasi guna merancang rencana pengembangan selanjutnya Pembentukan kelompok kerja untuk komoditas tertentu Pembentukan tim untuk pelaksanaan Tahap III
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 112 Salah satu alat analisis dalam tema ini adalah Analisis dan Pengembangan Pasar yang disusun oleh Isabella Lecup dan Ken Nicholson yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Alexander Eri Wahyuadi dan diterbitkan oleh RECOFT bekerjasama dengan FAO (2008). Analisis ini bertujuan untuk mendayagunakan masyarakat lokal dalam melakukan identifikasi komoditas potensial dan mengembang. Analisis ini
didesain dengan
pendekatan partisipatif. Tahapan pelaksanaan kegiatan akan mengikuti Buku Panduan Analisis dan Pengembangan Pasar (APP) tersebut. Melalui APP, kita dapat melakukan perumusan strategi usaha bagi komoditas unggulan antara lain; (1) Pengembangan sebuah rencana kegiatan atau rencana aksi, (2) pembiayaan sebagaimana dinyatakan dalam perencanaan kebutuhan modal,
dan (3)
penerapan sistem pengawasan dan perencanaan. Adapun prosesnya yaitu dengan melakukan antara lain; (1) pengkajian Situasi, (2) identifikasi Komoditas, Pasar, dan Cara Pemsarannya, (3) perencanaan Usaha untuk Pembangunan Berkelanjutan. Adapun tahapan, langkahlangkah, dan hasil/keluaran secara lebih detail disajikan pada Tabel 9.
II. Analisis Kebijakan yang Terkait Pengembangan Kehutanan Masyarakat Peluang usaha bagi masyarakat didalam dan disekitar hutan telah diatur dalam PP No.6 Tahun 2007. Peluang yang diberikan tersebut melalui pemanfaatan hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan Hutan Tanaman Hasil Rehabilitasi (HTHR). Peluang usaha pemanfaatan hutan untuk pemberdayaan masyarakat lokal yang telah diatur dalam PP No. 6/2007 Departemen Kehutanamnhgg bn Kehutanan untuk
dan
pada saat ini pemerintah melalui
telah menetapkan 3 Peraturan Menteri (Permenhut)
menjabarkan lebih terperinci peluang usaha pemanfaatan hutan oleh
masyarakat yaitu Permenhut No. P23 tahun 2007 tentang Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Permenhut No. P37 tahun 2007 tentang Hutan Kemasyarakatan (HKM) dan Permenhut No. P.49/Menhut-II/2008 Tentang Hutan Desa. Sedangkan pemanfaatan Hutan Tanaman Hasil Reboasasi (HTHR) belum diatur secara lebih rinci melalui peraturan menteri. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1. Ditinjau dari segi banyaknya jenis izin usaha pemanfaatan hutan dan jenis fasilitasi pemerintah dan jenis badan usaha, maka dapat dibayangkan bahwa peluang usaha bagi masyarakat di sektor kehutanan sangat besar. Tetapi jika ditinjau dari kemampuan masyarakat untuk dapat berusaha di sektor kehutanan masih mengalami kendala, terutama untuk
memperoleh izin dan kemampuan permodalan petani dan keberanian petani
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 113 mengambil resiko untuk usaha kehutanan. Terdapat 3 faktor yang dapat mempengaruhi masyarakat lokal untuk berusaha pada sektor kehutanan yaitu: ketersediaan lahan, modal dan keberanian petani menambil resiko. Kekurangan lahan dan modal usaha masyarakat lokal dapat diatasi melalui fasilitasi pemerintah perolehan izin pemanfaatan hutan dan pinjaman lunak untuk modal usaha sektor kehutanan. Sedangkan keberanian pelaku usaha mengambil resiko, hal inilah yang menjadi kendala di dalam mendorong pengembangan usaha sektor kehutanan oleh masyarakat lokal, karena usaha kehutanan yang dimulai dari kegiatan penanaman mempunyai resiko yang tinggi. Hal ini berbeda dengan usaha sektor kehutanan masa lalu (seperti HPH) yang dimulai dari kegiatan pemanenan kayu dengan pengembalian modal yang cepat. Tabel 18. Matriks Peluang Usaha Pemanfaatan Hutan untuk Pemberdayaan Masyarakat Lokal Uraian Status Kawasan
Jenis izin
Jenis Kegiatan Pemegang Izin
Bentuk Fasilitasi Pemerintah
Program Sektor Kehutanan Hutan Desa HL, HP
HP, HL, HK
HP: IUPK, IUPJL, IUPHHK, IUPHHBK, IPHHK, IPHHBK HL: IUPK, IUPJL, IUPHHBK, IPHHBK
HP: IUPK, IUPJL, IUPHHK, IUPHHBK, IPHHK, IPHHBK HL: IUPK, IUPJL, IUPHHBK, IPHHBK Pemanfaatan kawasan, penanaman tanaman hutan berkayu, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu Pengembangan kelembagaa, usaha, bimbingan teknologi, pendidikan dan latihan, serta pembinaan dan pengendalian Kelompok masyarakat, dan koperasi
Tata Areal, Penyusunan rencana pengelolaan, Pemanfaatan hutan, Rehabilitasi dan perlindungan hutan
Pengembangan kelembagaan., usaha, bimbingan teknologi, pendidikan dan latihan, serta akses terhadap pasar
Lembaga Desa Badan Usaha
HKm
HTR
HTHR
HP tidak produktif IUPHHK-HTR
HP
Penyiapan lahan, pembibiatan, penanaman, pemanenan, pemasaran
Pembelian tegakan, meliputi: pemanenan, pengamanan, pemasaran
IUPHHK-HTHR
Lembaga keuangan, pasar.
Perorangan, koperasi, BUMN, BUMS
Perorangan, Koperasi, BUMN, BUMS
Keterangan : HK = hutan konservasi, HL= hutan lindung, HP=hutan produksi, HKm=hutan kemasyarakatan, HTR= hutan Rakyat, HTHR=hutan tanaman hasil rehabilitasi, IUPK = Izin usaha pemanfaatan Kawasan, IUPJL=izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, IUPHHK=izin usaha pemanfaatan hasil hutan hayu, IUPHHBK= izin usaha pemanfatan hasil hutan bukan kayu, IPHHK= izin usaha pemungutan hasil hutan kayu, IPHHBK=Izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 114 III. Analisis potensi lahan usaha Kehutanan Masyarakat Junus, dkk (2010) mengunkapkan bahwa di dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 tahun 2007 disebutkan sejumlah hak-hak yang dapat diperoleh oleh masyarakat setempat melalui mekanisme izin pada masing – masing hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi sebagai berikut : Hutan Produksi Pasal 31 PP No. 6 tahun 2007, yang dirangkaikan dengan Pasal 48 menyatakan bahwa pemanfaatan hutan pada hutan produksi dilakukan melalui izin – izin :
Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan (IUPK)
Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam (IUPHHK-HA)
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman (IUPHHK-HT)
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dalam Hutan Alam (IUPHHBK-HA)
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dalam Hutan Tanaman (IUPHHBKHT)
Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IPHHK-HA)
Izin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu pada Hutan Tanaman (IPHHBK-HT)
Hutan Lindung Pasal 23 dan Pasal 27 PP No.6 Tahun 2007 menyatakan bahwa pemanfaatan hutan pada hutan lindung dilakukan melalui izin – izin :
Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan (IUPK)
Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan (IUPJL)
Izin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu (IPHHBK)
Hutan Konservasi Pasal 18 PP No.6 Tahun 2007 menyebutkan bahwa pemanfaatan hutan dapat dilakukan pada kawasan hutan konservasi, kecuali pada cagar alam, zona rimba, dan zona inti dalam taman nasional. Pasal 22 PP No.6 Tahun 2007 menyebutkan bahwa pemberian izin pada hutan konservasi harus sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Namun PP ini tidak menyebutkan jenis-jenis izin pada hutan konservasi seperti yang disebutkan pada hutan lindung dan hutan produksi. Pertanyaannya sekarang, adalah izin-izin apa yang dapat diberikan pada zona pemanfaatan, zona tradisional, dan zona khusus dalam Taman Nasional?
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 115 a. Areal Hutan Produksi Mengacu pada pada PP No.6 tahun 2007, yang terkait Izin Usaha Pemanfaatan hutan yang berpotensi untuk dikelola untuk semua jenis izin adalah kawasan hutan produksi yag tidak produktif dan tidak dibebani izin/hak lain dan letaknya diutamakan dekat dengan industri hasil hutan. Untuk potensi lahan pada hutan lindung tidak digunakan untuk produksi kayu. Luas Hutan Produksi di Sulawesi Selatan adalah 619.592 ha terdiri atas hutan produksi seluas 131.041 ha dan hutan produksi terbatas seluas 488.551 ha. Kondisi penutupan lahan kawasan hutan produksi berdasarkan hasil interpretasi citra landsat tahun 2002 oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah Sulawesi dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 19. Kondisi Penutupan Hutan Produksi Sulawesi Selatan
PLKCS
Luas HP yg tidak Produktif (ha)
Luas Penutupan Hutan Produksi (ha)
Luas No. Kabupaten HP (ha) H.Prmr/ PLK Sknd 1.
Makassar
2.
Semak TT
0
0
0
0
0
0
0
Gowa
35.564
8.820
1.071
5.844
581
21.660
29.156
3.
Maros
26.169
11.770
867
19.887
561
834
22.149
4.
Pangkep
6.232
3.390
4.854
1.345
0
0
6.199
5.
Takalar
3.482
0
0
2.760
0
201
2.961
6.
Jeneponto
257
99
35
338
0
76
449
7.
Bantaeng
3.449
0
0
2.344
123
480
2.947
8.
Bulukumba
1440
0
878
0
0
0
878
9.
Selayar
10.164
10.164
0
0
0
0
0
10.
Sinjai
7.100
4.538
56
2.369
0
0
2.425
11.
Bone
110.766
55.361
6.332
13.471
0
10.921
30.724
12.
Soppeng
11.465
7.145
0
3.578
0
126
3.704
13.
Barru
15.384
10.257
0
6.395
127
117
6.639
14.
Pare-pare
339
0
0
277
0
62
339
15.
Sidrap
26.948
14.163
672
8.074
316
0
9.062
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 116 16.
Wajo
17.150
908
1.933
8.355
1.538
279
12.105
17.
Pinrang
26.049
13.277
1.300
8.410
128
2.934
12.772
18.
Enrekang
14.597
5.090
1.276
998
1.480
790
4.544
19.
Tator
18.805
6.633
128
4.555
4.682
3.323
12.688
20.
Luwu Utara Luwu
147.199
138.037
145
6.588
355
1.732
8.820
30.593
5.728
0
2.879
0
775
3.654
105.836
64.809
908
0
1.094
5.334
7.336
604
0
32
32
0
0
64
98.499 10.985
49.982
179.615
21. 22. 23.
Luwu Timur Palopo
Jumlah Keterangan:
619.592
360.189 20.487
HPrmr = hutan primer PLK = pertanian lahan kering TT = tanah terbuka PLKCS = pertanian lahan kering campur semak Sumber : Laporan Redesain Areal HTUL Menjadi Areal HTR di Provinsi Sulawesi Selatan, 2007 Data pada Tabel 2 menunjukkan kondisi penutupan lahan kawasan hutan yang terdiri atas berpenutupan vegetasi hutan seluas 360.189 ha dan sisanya seluas 179.615 ha atau sebesar 33,3% dalam kondisi yang tidak produktif dengan penutupan lahan berupa pertanian lahan kering, semak belukar, tanah terbuka, dan pertanian lahan kering campur semak. Dapat pula dikatakan bahwa terdapat areal hutan produksi seluas 179.615 ha yang berpotensi untuk dikelola sebagai areal HTR berdasarkan kriteria areal HTR yang telah diatur di dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. P.23/Menhut-II/2007. b. Areal Hutan Produksi Sasaran Rehabilitasi Berdasarkan data pada Master Plan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan (2003), luas kawasan hutan produksi Sulawesi Selatan yang menjadi sasaran rehabilitasi hutan adalah 154.267 ha, terdiri atas kawasan hutan produksi seluas 56.500 ha dan kawasan hutan produksi terbatas seluas 97.756 ha. Sebaran luas areal hutan produksi sasaran rehabilitasi disajikan pada Tabel 3. Data pada Tabel 3 menunjukkan Kabupaten-Kabupaten Gowa, Maros, Bone, Pinrang, dan Tator memiliki luas kawasan hutan produksi yang cukup luas untuk direhabilitasi dan berpotensi untuk dikelola sebagai areal HTR. Sedangkan kabupaten-kabupaten lainnya relatif kecil, bahkan di Kabupaten Bulukumba dan Kabupaten Selayar tidak terdapat areal hutan
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 117 produksi dalam kondisi kritis (berdasarkan pertimbangan konservasi tanah dan air) yang perlu direhabilitasi. Tabel 20. Luas Indikatif Kawasan Hutan Produksi Sasaran Rehabilitasi
No.
Kabupaten/Kota
1.
Makassar
2.
Luas Kawasan Hutan Produksi (ha)
Luas Indikatif Kawasan Hutan Produksi Sasaran RHL (ha) HP
HPT
Jumlah
0
0
0
0
Gowa
35.564
17.972
7.702
25.674
3.
Maros
26.169
9.919
3.182
13.101
4.
Pangkep
6.232
3.930
1.984
5.914
5.
Takalar
3.482
2.774
0
2.774
6.
Jenneponto
257
95
281
376
7.
Bantaeng
3.449
1.817
1.011
2.839
8.
Bulukumba
1440
0
0
0
9.
Selayar
10.164
0
0
0
10.
Sinjai
7.100
0
2.369
2.369
11.
Bone
110.766
5.367
28.017
33.384
12.
Soppeng
11.465
0
3.680
3.680
13.
Barru
15.384
0
4.605
4.605
14.
Pare-pare
339
355
0
355
15.
Sidrap
26.948
66
7.977
8.043
16.
Wajo
17.150
8.260
0
8.260
17.
Pinrang
26.049
0
10.032
10.032
18.
Enrekang
14.597
0
3.247
3.247
19.
Tator
18.805
0
13.306
13.306
20.
Luwu Utara
147.199
1.356
4.683
6.039
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 118
21.
Luwu
22.
Luwu Timur
23.
Palopo
Jumlah
30.593
2.787
1.050
3.837
105.836
1.802
4.390
6.192
604
0
240
240
619.592
56.500
97.756
154.267
Sumber: Master Plan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan, 2003.
IV. Analisis Faktor Pendukung Lain Berkembangnya Kehutanan Masyarakat a. Usaha Masyarakat Dalam Kawasan Hutan Jenis tanaman yang diusahakan penduduk cenderung lebih dominan banyak mengusahakan komoditas perkebunan seperti coklat, sedang jenis pohon penghasil kayu, seperti gemelina, sengon dan jabon hanya dalam skala kecil pada pinggir kebun penduduk. Pada wilayah dengan kondisi iklim yang lebih kering ( iklim C – D), maka hutan tanaman rakyat yang diusahakan masyarakat adalah jenis-jenis kayu jati, kemiri, sengon, gmelina, mahoni dan atau campuran diantara jenis tersebut. Sistem wanatani yang diterapkan adalah sistem perladangan menentap secara gilir – balik.
b. Potensi Sosial Budaya Masyarakat yang Mendukung Usaha Kehutanan Penduduk sekitar hutan yang mempunyai budaya religi terkait dengan pemanfaatan hasil hutan kayu dan non kayu, maka hutan rakyatnya terbangun atas inisiatif dari masyarakat sendiri, seperti masyarakat Kabupaten Tana Toraja dan masyarakat Kajang di Kabupaten Bulukumba. Budaya pembangunan hutan tanaman oleh masyarakat lainnya, yaitu siklus wanatani dari ladang, kebun campuran, talun (hutan tanaman rakyat)
dan pada beberapa tahun
kemudian ( 8 – 15 tahun ). Pola wanatani ini dapat dijumpai pada sistem wanatani kemiri, wanatani jati, wanatani
tegakan gemelina, wanatani hutan pinus, dan wanatani
kebun
campuran pepohonan dengan tanaman perkebunan. Penanaman pepohonan berkayu pada sistem wanatani demikian, merupakan pranata sosial
sebagai “property right” terhadap lahan yang merupakan aturan
Tegakan pohon
berbentuk talun yang ditinggalkan tersebut, terutama
tidak tertulis. dilakukan pada
wilayah-wilayah yang awal pembukaan lahan untuk perladangan dilakukan pada daerah padang perumputan, yang merupakan bukti tanda kepemilikan sekaligus tanda bahwa lahan
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 119 tersebut pernah diolah, yang selanjutnya pada saat kembali meladangi wilayah tersebut, maka areal bersangkutan tidak ada yang memprotesnya dari sesama petani. c. Ketersediaan Industri dan Pasar Hasil Hutan Pada daerah-daerah yang mempunyai keterkaitan industri pengolahan kayu, maka hutan tanaman rakyat pada lahan milik dan pada kawasan hutan berkembang dengan baik, seperti pada daerah Luwu Raya yang didukung dengan keberadaan Panply dan beberapa anak perusahaannya, maka berkembang penanaman secara spot-spot pohon gemelina. Pohon jati berkembang pada beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan, di dorong oleh adanya permintaan kebutuhan komsumsi sendiri untuk kayu bangunan dan meubel, disamping adanya kebutuhan industri meubel lokal dan kebutuhan bahan baku industri hulu-hilir di Ibukota kabupaten/kota, yang indsutri finishingnya untuk tujuan ekspor dan regional/nasional pada Kota makassar. Produk kayu dari hutan tanaman rakyat yang sekarang ini telah dijual oleh masyarakat hanya pada daerah–daerah dekat dengan jalan raya dengan menggunakan alat angkut mobil ke industri pengolahan kayu terdekat.
Sedangkan yang jauh dari jalan angkutan aspal atau
pengerasan jalan cenderung belum bisa dilayani oleh industri pengolahan kayu. Cara yang dilakukan penduduk yang lokasi hutan tanaman rakyatnya jauh dari infrastruktur jalan adalah dengan membuat bantalan atau sortimen papan dan gergajian untuk memudahkan penyaradan dan pengangkutannya, meskipun cara demikian limbah eksploitasinya juga sangat besar dibanding dengan kayu bulat dengan jenis yang sama yang diangkut dan diolah pada industri pengolahan kayu. Kotak 8. Perlunya Insentif buat Pengelola KM ”Masyarakat pada saat ini tidak tertarik melakukan investasi membangun hutan karena harga kayu yang relatif murah. Investasi pemerintah dan swasta membangun industri hasil hutan kayu di wilayah pedesaan hutan akan menciptakan kepastian harga kayu yang relatif tinggi sehingga akan memicu masyarakat untuk melakukan investasi membangun hutan. Aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan pengembangan usaha masyarakat adalah perumusan Peraturan Daerah tentang pengelolaan usaha kehutanan bagi masyarakat lokal dan membangun struktur pelayanan kehutanan di desa” Sahide, dkk (2010) mengungkapkan bahwa di Sulawesi Selatan terdapat 2 (dua) buah industri kayu lapis, yaitu PT. Katingan Timber Celebes yang berlokasi di Makassar dan PT. Panca Usaha Palopo Plywood yang berlokasi di Desa Bua Kabupaten Luwu. Kedua industri kayu lapis tersebut mengalami permasalahan dalam pemenuhan kebutuhan bahan baku kayu,
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 120 sebagai akibat menurunnya produksi kayu bulat di Sulawesi Selatan dan tingginya biaya transport bahan baku, karena bahan baku kayu diperoleh dari lokasi yang jauh (propinsi lain). Hal ini menyebabkan terjadi deglomerasi yaitu kenaikan biaya rata-rata pada usaha industri kayu lapis. Kalau kenaikan biaya ini tidak diimbangi dengan kenaikan harga kayu lapis, maka lambat laun usaha kayu lapis mengalami kerugian.
Syarat utama kesinambungan
produksi industri kayu lapis adalah tersedianya bahan baku kayu secara kontinyu sesuai kebutuhan dan biaya perolehan bahan baku yang relatif murah. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kebutuhan bahan baku kayu lapis di Sulawesi Selatan selama kurun waktu 1996-2005 rata-rata sebesar 256.779,66 m3/ tahun. Sedangkan rata-rata peroduksi kayu bulat per tahun di Sulawesi Selatan dari hutan alam sebesar 116.779,82 m3 atau hanya mampu memenuhi kebutuhan bahan baku industri industri kayu lapis di Sulawesi Selatan hanya sebesar 55%. Lebih lanjuit Sahide, dkk (2010) mengemukakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan baku kayu lapis tersebut di Sulawesi Selatan, PT. Katingan Timber Celebes memperoleh bahan baku dari propinsi lain, yaitu dari Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah dan Maluku. Sementara untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kayu pada industri kayu lapis PT. Panca Usaha Palopo Plywood sejak 3 tahun terakhir mereka memperolehnya dari Propinsi Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Maluku, Maluku Utara dan Sulawesi Tenggara. Mencermati lokasi perolehan baku kayu industri kayu lapis dapat dikemukakan bahwa terjadi biaya perolehan bahan baku yang tinggi (terjadi deglomersi industri kayu lapis). PT. Panca Usaha Palopo Plywood dalam mengatasi kelangkaan bahan baku dan biaya perolehan bahan baku, mereka melakukan pembelian kayu rakyat seperti jenis mangga, kemiri, durian, gemelina, kapok, sengon dan lain-lain melalui anak perusahaannya, yaitu PT. PAL (Palopo Alam Lestari) telah mendirikan industri veneer di Kabupaten Bulukumba dengan kapasitas produksi terpasang tahap awal 6.000 m3 dan telah ditingkatkan menjadi 30.000 m3. Bahan baku industri veneer tersebut disuplai dari produksi kayu rakyat Kabupaten Sinjai, Bulukumba, Bantaeng dan Kabupaten Jenneponto. PT. PAL itu juga telah membangun industri veneer di Kabupaten Sidrap yang
diharapkan dapat menampung
produksi kayu rakyat dari kabupaten Sidrap, Pinrang, Enrekang bagian Selatan, Barru dan Soppeng bagian Barat dengan kapasitas produksi pada tahap awal 6.000 m3/tahun. PT. PAL juga merencanakan membangun industri veneer di Kabupaten Bone
untuk menampung
produksi kayu dari Kabupaten Bone, Kabupaten Soppeng bagian Timur dan Kabupaten Maros bagian Timur. PT. Panca Usaha Palopo plywood juga telah mendirikan industri veneer
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 121 di Kabupaten Tana Toraja melalui anak perusahaan PT. NJP (Nely Jeni Pratama) untuk menampung produksi kayu pinus dari hutan rakyat dari Kabupaten Tator. Tambahan suplai bahan baku kayu dari hutan rakyat saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan bahan baku industri kayu lapis di Sulawesi Selatan. Sahide, dkk (2010) mengungkapkan bahwa kabupaten/kota yang merupakan pusatpusat industri pengolahan hasil hutan kayu Sulawesi Selatan yang ditunjukkan oleh kapasitas industri kabupaten/kota yang relatif besar terhadap total kapasitas industri pengolahan hasil hutan kayu Sulawesi Selatan yaitu: a. Kota Makassar dengan kapasitas industri pengolahan kayu hulu sebesar 226.690 m3/tahun (42,6%) dan kapasitas industri pengolahan kayu hilir sebesar 153.567 m3/tahun (64,0%). Kapasitas total industri pengolahan hasil hutan kayu Kota Makassar adalah sebesar 380.257 atau sebesar 49,2% dari total kapasitas industri pengolahan hasil hutan kayu Sulawesi Selatan. b. Kabupaten Luwu dengan kapasitas industri pengolahan kayu hulu sebesar 72.420 m3/tahun (25,6%) dan kapasitas industri pengolahan kayu hilir sebesar 76.354 m3/tahun (31,8%). Kapasitas total industri pengolahan hasil hutan kayu Kabupaten Luwu adalah sebesar 148.774 atau sebesar 19,2% dari total kapasitas industri pengolahan hasil hutan kayu Sulawesi Selatan. c. Kabupaten Luwu Utara dengan kapasitas industri pengolahan kayu hulu sebesar 136.310 m3/tahun (13,6%) dan kapasitas industri pengolahan kayu hilir sebesar 5.000 m3/tahun (2,1%). Kapasitas total industri pengolahan hasil hutan kayu Kabupaten Luwu Utara adalah sebesar 141.310 atau sebesar 18,3% dari total kapasitas industri pengolahan hasil hutan kayu Sulawesi Selatan. d. Kabupaten Tator dengan kapasitas industri pengolahan kayu hilir sebesar 40.000 m3/tahun (16,6%). Kapasitas total industri pengolahan hasil hutan kayu Kabupaten Tator adalah sebesar 5,2% dari total kapasitas industri pengolahan hasil hutan kayu Sulawesi Selatan. e. Kabupaten Bulukumba dengan kapasitas industri pengolahan kayu hilir sebesar 30.000 m3/tahun (12,5%). Kapasitas total industri pengolahan hasil hutan kayu Kabupaten Bulukumba adalah sebesar 3,9% dari total kapasitas industri pengolahan hasil hutan kayu Sulawesi Selatan.
V. Analisis Potensi Kelembagaan Masyarakat Bagian ini telah dijelaskan pada bab sebelumnya.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 122 VI. Saluran Pemasaran Pemasaran merupakan proses pertukaran yang mencakup serangkaian kegiatan yang tertuju untuk memindahkan barang-barang atau jasa- jasa dari produsen ke konsumen. Kegiatan- kegiatan inilah yang sering disebut fungsi- fungsi pemasaran Limbong dan Sitorus (1985) dalam Efendi (2010) menyatakan bahwa rantai pemasaran dapat dicirikan dengan memperhatikan banyaknya tingkat saluran. Panjangnya suatu saluran tataniaga/pemasaran akan ditentukan oleh banyaknya tingkat perantara yang dilalui oleh suatu barang dan jasa. Saluran pemasaran tersebut meliputi : 1. Saluran
non
tingkat
(zero
level
channel)
atau
dinamakan
sebagai
saluran
pemasaranlangsung, adalah saluran dimana produsen atau pabrikan langsung menjual produknya ke konsumen. 2.
Saluran satu tingkat (one level channel) adalah saluran yang menggunakan satu perantara.
3.
Saluran dua tingkat (two level channel), mencakup dua perantara.
4.
Saluran tiga tingkat (three level channel), didapati tiga perantara Alam (2009) mencontohkan kayu jati yang dibeli oleh pedagang lokal di Kabupaten
Bone biasanya digunakan untuk indutri yang dibuat dalam bentuk barang jadi yang langsung dipakai oleh konsumen lokal. Kayu pertukangan yang dibeli oleh pedagang lokal dipasarkan ke industri meubel. Skema saluran pemasaran kayu jati
Kabupaten Bone digambarkan
sebagai berikut Industri Meubel
Agen
Petani Pedagang Pengumpul
Pedagang Besar
Industri Setengah Jadi
Gambar 17. Skema Saluran Pemasaran Kayu Jati (Sumber: Alam, 2009) Contoh yang lebih kompleks di laporkan oleh (Sugih 2009) dalam Efendi (2010) Skema saluran pemasaran produk dan bentuk kayu pertukangan yang berhasil teridentifikasi di wilayah Kabupaten Sukabumi yang dominan dijual diantara masingmasing pelaku pemasaran, hal ini dapat dilihat pada gambar berikut
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 123
Gambar 18. Skema Saluran Pemasaran Produk kayu Pertukangan (Sumber: Sugih (2009) dalam Efendi (2010)) VII. Konsep Pengembangan Usaha Kehutanan Masyarakat a. Ragam Hasil Hutan Ragam hasil hutan yang bernilai ekonomi baik langsung maupun tidak langsung, baik masyarakat yang bermukim di dalam maupun di luar kawasan hutan. Nilai ekonomi langsung hasil hutan bagi masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan hutan bersumber dari: (1) pemungutan hasil hutan bukan kayu seperti rotan, madu rimba, aren, dan beberapa jenis buah, (2) pemungutan hasil hutan kayu bakar dan kayu pertukangan, (3) pemanfaatan kawasan hutan sebagai areal perladangan tanaman semusim seperti jagung, padi, kacang tanah (4) pemanfaatan kawasan hutan untuk menanam tanaman kopi di bawah tegakan, dan (5) pemanfaatan kawasan hutan sebagai areal penggembalaan ternak sapi secara liar. Sedangkan nilai ekonomi tidak langsung terdiri atas (1) nilai perlindungan dan pengaturan tata air wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) dan (2) potensi wisata, meskipun potensi tersebut belum dikelola sebagai suatu unit bisnis berbasis kehutanan. Ragam hasil hutan yang potensial diusahakan masyarakat seperti diuraikan di atas, harus dikelola sebagai suatu unit bisnis berbasis kehutanan. Pengembangan bisnis berbasis kehutanan diarahkan pada aglomerasi usahatani masyarakat yang: (1) memadukan aktivitas
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 124 usaha masyarakat di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan, (2) memadukan usahatani ladang dengan usahatani kebun, ternak, dan industri gula merah sebagai suatu unit bisnis yang terintegrasi, (3) mengintegrasikan sub sistem-sub sistem yang terkait dengan pengembangan bisnis berbasis kehutanan baik sub system yang sifatnya hulu maupun hilir. Karaktersitik usahatani yang tidak teraglomerasi dan tidak terintegrasi seperti yang berlangsung saat ini menyebabkan nilai manfaat ekonomi usahatani masyarakat relatif rendah, berpotensi berdampak ekonomi negatif kepada sumberdaya hutan dan sumberdaya lainnya, yang pada akhirnya bermuara kepada pengelolaan unit bisnis yang tidak berkelanjutan. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengembangkan usaha masyarakat adalah memperkuat kelembagaan usaha, yang mencakup aspek legalitas usaha dan aspek kelembagaan unit usaha. Legalitas usahatani masyarakat di dalam kawasan hutan saat ini sangat lemah karena belum melalui prosedur standar perizinan usaha kehutanan sesuai peraturan yang ada. Sementara itu, kelembagaan usaha masyarakat juga lemah karena unit usahanya (unit operasi) adalah individu petani yang posisi tawarnya tidak kuat untuk mengakses faktor-faktor produksi dan sub system lain yang terkait dengan usaha tani. Dengan demikian, program kehutanan masyarakat harus memfasilitasi penguatan legalitas usaha masyarakat sesuai prosedure standar perizinan usaha kehutanan dan menfasilitasi penguatan unit operasi dengan mempersatukan kekuatan unit operasi individu petani menjadi unit usaha berkelompok. Lembaga usaha yang perlu untuk segera dibentuk adalah "Kelompok Usaha Bersama" (KUB). KUB merupakan sebuah lembaga yang dibentuk melalui kesepakatan masyarakat multi pihak dan merupakan sarana bagi masyarakat untuk melakukan simpan pinjam, menjadi penjamin untuk memperoleh kredit, menjadi pusat informasi perdagangan komoditi dan sarana bagi mereka untuk belajar mandiri membangun lembaga usaha yang tangguh misalnya koperasi. KUB diharapkan dapat menjadi "Bank Mini" yang menerapkan bagi hasil kepada semua anggotanya bila mendapatkan Sisa Hasil Usaha pada setiap periode. Pada saat kelembagaan usaha KUB sudah kuat, jaringan mitra dengan lembagalembaga di luar kehutanan masyarakat dapat dibangun. Pengembangan jaringan dimaksudkan untuk
meningkatkan
kapasitas
masyarakat
mengenai
aspek-aspek
tertentu
yang
membutuhkan fasilitasi dari pihak luar seperti pasar, peningkatan mutu, daya saing, permodalan, pengembangan industri pengolahan, dan lain-lain. Kemitraan antara KUB dengan lembaga swasta ini harus diikat dalam sebuah perjanjian kerjasama sehingga lembaga swasta memperoleh kepastian berusaha dan petani mendapatkan kepastian keberlanjutan usaha.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 125 Penguatan kelembagaan usaha harus pula diikuti dengan pembangunan infrastruktur fisik jalan untuk membuka akses keluar wilayah areal hutan yang dikelola oleh masyarakat. Prasarana jalan yang ada saat ini sebagian besar hanya bisa dilewati oleh kendaraan roda dua sehingga tidak efisien untuk mengangkut hasil usaha masyarakat ke luar wilayah usaha kehutanan. Hal ini menyebabkan harga komoditi menjadi rendah karena tingginya biaya angkut. b. Konsep Pengembangan Bisnis Berbasis Kehutanan Bisnis berbasis kehutanan masyarakat yang potensial dikembangkan terdiri atas: (1) usaha-usaha pemungutan hasil hutan, (2) usaha pemanfaatan kawasan hutan, (3) usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan (4) usaha agroforestry. Konsep pengembangan usaha tersebut mencakup, (1) pengembangan system produksi, (2) pengembangan system kelembagaan usaha dan (3) pengembangan system pendukung. c.
Konsep Pengembangan Sistem Produksi
Pengembangan sistem produksi bertujuan untuk meningkatkan produktifitas, nilai produktifitas, serta nilai lingkungan dari usaha-usaha masyarakat yang ada saat ini. Prinsip dasar dari konsep pengembangan system produksi adalah aglomerasi, integrasi, dan keberlanjutan usaha. Sistem produksi usaha kehutanan masyaraakat diarahkan kepada pengembangan beragam usaha (aglomerasi) sesuai kondisi penutupan lahan, status lahan (kawasan hutan dan bukan kawasan hutan) dan fungsi areal (hutan lindung, hutan produksi, kawasan lindung/penyangga). Ragam usaha tersebut dikelola secara terintegrasi (hulu – hilir) sebagai suatu unit bisnis kehutanan yang berkelanjutan. Wilayah usaha kehutanan dengan penutupan vegetasi hutan primer akan dikembangkan unit usaha pemungutan dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu rotan, madu, dan jasa lingkungan (pengaturan tata air dan wisata) . Sedangkan wilayah dengan penutupan vegetasi hutan sekunder (baik hutan lindung maupun hutan produksi), akan dikembangkan unit usaha pengayaan dengan jenis Tanaman Unggulan Lokal (TUL) dan jenis Aneka Usaha Kehutanan (AUK). Kawasan hutan dengan penutupan vegetasi kebun dan atau ladang masyarakat baik yang berada di dalam maupun di luar kawasan hutan akan dikembangkan pola-pola agroforestry, dan pada wilayah dengan penutupan vegetasi semak belukar dan atau padang rumput akan dikembangkan unit usaha rehabilitasi.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 126 Pemungutan hasil hutan bukan kayu diarahkan pada pemungutan hasil hutan rotan, aren, dan madu di dalam kawasan hutan lindung, sedangkan pemanfaatan hasil hutan kayu dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu rotan diarahkan di dalam kawasan hutan produksi. Pengayaan pada kegiatan usaha kehutanan selain dimaksudkan untuk meningkatkan fungsi produksi kawasan juga diharapkan akan dikelola sebagai suatu unit usaha masyarakat dengan memanfaatkan hasil TUL dan AUK hasil pengayaan tersebut. Dalam hal ini sistem produksi harus dikelola secara berotasi. Pengembangan pola-pola Agroforestry diharapkan dapat meningkatkan nilai ekonomi usaha masyarakat serta nilai lingkungan sehingga unit usaha masyarakat tersebut dapat dikelola sebagai unit bisnis yang berkelanjutan. d. Konsep Pengembangan Sistem Kelembagaan Usaha Terdapat beberapa macam usaha masyarakat kehutanan masyarakat antara plain: a. Pemungutan nira aren di dalam kawasan hutan sebagai bahan baku industri gula merah b. Pemungutan hasil hutan kayu bakar dan kayu bangunan c. Pemungutan hasil hutan rotan dan madu d. Perladangan di dalam kawasan hutan e. Usahatani kebun campuran di dalam kawasan hutan f. Pemanfaatan lahan di bawah tegakan hutan untuk menanam tanaman kopi g. Pemanfaatan kawasan hutan untuk areal penggembalaan liar h. Usaha gula merah pada lahan di luar kawasan hutan i. Usahatani tanaman semusim pada lahan milik j. Usahatani kebun campuran pada lahan milik Usaha masyarakat tersebut di atas dilakukan secara individu-individu oleh rumah tangga petani sebagai unit operasi. Hal ini menyebabkan posisi tawar unit operasi (petani) untuk mengakses faktor-faktor produksi dan mengakses pasar sangat lemah yang berdampak kepada rendahnya nilai usaha masyarakat. Masalah-masalah teknis produksi, pengolahan dan pemasaran hasil usaha tidak dapat diselesaikan dengan baik oleh unit operasi. Tipologi usaha masyarakat seperti diuraikan di atas disebabkan oleh lemahnya system kelembagaan usaha masyarakat. Oleh karena itu, pemberdayaan kelembagaan usaha adalah solusi yang tepat untuk mengembangkan bisnis berbasis kehutanan. Pemberdayaan kelembagaan usaha ini mencakup pemberdayaan kelembagaan unit operasi (petani) dan pemberdayaan sub system yang terkait dengan unit operasi seperti, pedagang lokal, lembaga
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 127 pemerintah desa, serta lembaga-lembaga penyangga seperti perguruan tinggi, LSM, dan pihak swasta. Pemberdayaan kelembagaan unit operasi, pada tahap awal, dilakukan dengan memperkuat unit operasi (petani) dan usaha yang ada. Potensi yang dimiliki oleh unit operasi (petani) diperkuat, sampai unit operasi tersebut mempunyai kemampuan kelembagaan untuk dapat bersaing dengan kelembagaan lain yang terkait. Kelembagaan kehutanan masyarakat pada level desa, lembaga pemerintahan desa, LSM, dan perguruan tinggi diharapkan menjadi fasilitator inti pada tahap awal proses penguatan kelembagaan unit operasi. Pemberdayaan kelembagaan unit operasi disesuaikan dengan ragam usaha masyarakat. Kelembagaan usaha masyarakat yang berada di dalam kawasan hutan lindung sedapat mungkin berbentuk kelompok usaha bersama, sedangkan kelembagaan usaha masyarakat yang berada di luar kawasan hutan, dapat berbentuk unit operasi individu, atau kelompok. Indikator kuatnya kelembagaan unit operasi dapat dilihat dari kemampuan negosiasi, kemampuan teknik budidaya, kemampuan modal, dan kemampuan pasar.
Apabila
kelembagaan unit operasi sudah kuat, maka tahap selanjutnya adalah membangun kemitraan dengan kelembagaan lain yang lebih besar, terutama kelembagaan yang berasal dari luar AKSF seperti pedagang, pemodal besar, dan lain-lain. Hal ini dimakusdkan untuk memperkuat kelembagaan kelompok usaha bersama yang diharapkan menjadi cikal bakal koperasi usaha berbasis kehutanan. e. Konsep Pengembangan Sistem Pendukung Dalam pengembangan bisnis berbasis kehutanan di desa terdapat suatu hal yang sangat penting dan perlu diperhatikan sejak awal, yaitu keseimbangan kekuatan negosiasi (negotiating fower) antar stakeholders. Tanpa keseimbangan ini maka perjalanan pengembangan bisnis berbasis kehutanan akan pincang dan pada akhirnya akan terhenti dan bubar. Para peneliti dan tim pakar perlu terus menerus memonitor dan menganalisis dan mengevaluasi perjalanan keseimbangan ini. Hal yang perlu dimonitor sejak awal adalah munculnya stakeholder yang terlalu kuat seperti kejadian dalam banyak kasus Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang mempunyai kemampuan negosiasi yang sangat kuat kekuatan negosiasi sama sekali.
dengan masyarakat lokal yang tidak memiliki
Oleh karena itu, Kepala Desa Lonjoboko mengambil
kebijakan untuk mencegah terjadinya pengalihan penguasaan lahan masyarakat lokal kepada pihak luar untuk menguasai lahan. Hal yang perlu dihindari
adalah terjadinya
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 128 ketidakseimbangan antar stakeholder terkait di desa, karena hal tersebut akan memicu masyarakat local menjual hak penguasaan lahannya dan selanjutnya masuk lagi ke dalam kawasan hutan yang lebih jauh untuk merambah hutan dan menguasai lahan. Sebelum jejaring (network) kemitraan dibangun, masyarakat lokal memerlukan pendampingan untuk membentuk “Kelompok Usaha Bersama” yang terus menerus harus dibina agar kelak usaha bersama tersebut dapat menjadi badan usaha koperasi yang kuat, dan memiliki kemampuan negosiasi yang kuat untuk dapat ikut dalam jejaring kemitraan. Kalau badan usaha koperasi sudah terbentuk dan menjadi kuat, barulah dapat dibangun jejaring yang anggota-anggota stakeholdernya relatif seimbang. Kalau tidak, maka masyarakat tidak akan memiliki negotiating power yang cukup untuk dapat mengambil peranan dalam system jejaring. Kalau demikian, masyarakat lokal akan menjual hak penguasaan lahannya dan masuk lagi mencari lahan di kawasan hutan untuk mereka jadikan ladang.
VIII. Pengembangan Jejaring dan Kemitraan Bisnis a.
Peningkatan Kapasitas Bisnis Masyarakat Lokal Hal pertama yang perlu dikerjakan adalah pembuatan konsep pendampingan terhadap
masyarakat lokal agar mereka dapat mengorganisir diri dalam kelompok usaha bersama pada setiap nodal-nodal pemukiman, yang kemudian masing-masing kelompok usaha bersama dapat dikembangkan menjadi koperasi. Pembentukan kelompok usaha bersama ini sejalan dengan pemikiran agar masyarakat lokal dapat membangun aglomerasi pemukiman yang kuat dan dapat menarik mereka yang tinggal tersebar di dalam hutan ke nodal-nodal pemukiman yang memiliki kelompok usaha bersama (koperasi) yang kuat. Nodal-nodal pemukiman yang kuat akan
menjadikan kegiatan-kegiatan pelayanan, baik pelayanan publik, maupun
pelayanan (transaksi) bisnis, menjadi lebih efisien. Jika hal tersebut di atas tidak dilakukan, maka masyarakat lokal tidak mempunyai kapasitas yang memadai atau bahkan tidak mempunyai kapasitas sama sekali untuk menjadi pelaku agrosilvopasture bisnis. Kalau mereka tidak tidak dapat menjadi pelaku bisnis yang seimbang, mereka akan masuk hutan dan membuka lahan hutan untuk berladang, yang akan sangat membahayakan fungsi lindung dan konervasi sumberdaya hutan. Hal ini akan meningkatkan resiko akan terjadinya bencana alam, seperti banjir bandang dan tanah longsor. Pembukaan lahan hutan untuk perladangan ini terjadi karena masyarakat lokal hanya memiliki kemampuan teknik budidaya perladangan di hutan.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 129 Pedoman ini perlu menyoroti dan mempertimbangkan tahap kemampuan budidaya, kapasitas bisnis, dan kemampuan negosiasi masyarakat lokal sekarang ini. Hal ini diperlukan dalam
penyusunan
rencana
pendampingan
guna
meningkatkan
kapasitas
bisnis
agrosilvopasture masyarakat lokal. Peningkatan kapasitas bisnis agrosilvopasture masyarakat lokal mutlak dilakukan (diprogramkan dan direncanakan) melalui proses pendampingan partisipatif yang sesuai. Peningkatan kapasitas bisnis masyarakat lokal menjadi sangat penting kalau kita hubungkan konsep peningkatan kapasitas masyarakat lokal ini dengan konsep akumulasi dan akses modal masyarakat lokal serta konsep kelestarian hutan yang sangat memerlukan peningkatan kapasitas, akumulasi dan akses modal bagi masyarakat lokal. Hubungan tersebut akan dibahas pada topik “Akumulasi dan Akses Modal Masyarakat Lokal” berikut ini.
b.
Akumulasi dan Akses Modal Masyarakat Lokal Usaha pendampingan untuk meningkatkan kapasitas bisnis agrosilvopasture
masyarakat lokal seyogianya ditujukan agar lembaga usaha masyarakat lokal dapat dari waktu ke waktu meningkatkan laba bersih (profit margin) lembaga-lembaga usaha masyarakat lokal. Disini dipakai istilah “laba bersih” (profit margin). Sengaja tidak dipakai istilah “penghasilan” seperti yang dipakai Pedoman Umum Pembuatan RTSF (SK Dirjen RLPS No. 146/Kpts/V/2003 tertanggal 30-12-2003). Istilah pendapatan, penghasilan, laba, dan laba bersih adalah istilah teknis yang berbeda dalam diskusi atau pemaparan akumulasi modal, neraca, dan kelayakan usaha suatu bisnis, apalagi bisnis agrosilvopasture. Kenapa profit margin (laba bersih) usaha bisnis masyarakat lokal menjadi sangat penting, jawabannya adalah bahwa profit margin masyarakat lokal akan terakumulasi menjadi modal lokal (modal internal wilayah pedesaan hutan) yang mudah diakses oleh pelaku bisnis masyarakat lokal sendiri. Halnya akan berlainan jika profit margin itu dihasilkan oleh pelaku bisnis non-lokal (berasal dari eksternal wilayah pedesaan hutan). Jika profit margin dihasilkan oleh pelaku bisnis non-lokal maka profit margin tersebut tidak akan terakumulasi sebagai modal internal wilayah pedesaan hutan, karena modal ini akan lari keluar wilayah pedesaan hutan, sehingga tidak dapat diakses oleh p\elaku bisnis masyarakat lokal. Selanjutnya, kenapa akses terhadap modal lokal menjadi sangat penting? Jawabannya dijelaskan dengan sangat baik oleh konsep pengganda pendapatan dan pengganda kesempatan kerja masyarakat lokal. Para peneliti akan dengan sangat menjelaskan, baik dengan model economic base maupun dengan model inputoutput.
Suatu wilayah, bahwa akumulasi modal lokal akan sangat berpengaruh positif
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 130 terhadap kedua pengganda tersebut. Selanjutnya pengaruh hambatan (negatif) akan timbul jika profit margin tidak terakumulasi sebagai modal dalam wilayah internal, malah modal tersebut lari keluar dari wilayah pedesaan hutan dan menjadi tidak dapat diakses oleh pelaku bisnis masyarakat lokal. Memang akumulasi dan akses modal masyarakat lokal perlu mendapat sorotan tajam dalam upaya pengembangan bisnis berbasis kehutanan karena akumulasi dan akses modal merupakan suatu hal yang menentukan berhasil tidaknya suatu usaha. Modal diperlukan dalam segala aspek kegiatan usaha atau bisnis, apalagi bisnis berbasis kehutanan. Pengaruhnya akan berdampak jauh karena akumulasi dan akses modal akan menentukan apakah masyarakat lokal akan bertahan dalam usaha atau bisnis yang berbasis kehutanan lestari atau sebaliknya masyarakat tidak mampu bertahan dan lari ke kawasan hutan mencari lahan untuk mereka jadikan areal perladangan yang tidak dikendalikan.
PENUTUP I. Penugasan Membuat makalah terkait strategi pengelolaan usaha kehutanan masyarakat di a.
Kawasan hutan lindung
b.
Kawasan hutan produksi
c.
Kawasan hutan konservasi
d.
Kawasan hutan rakyat
II. Strategi merespon penugasan Mahasiswa dapat membuat kategorisasi apa yang boleh dilakukan masyarakat dalam setiap areal fungsi kawasan hutan, kemudian mencari peluang kebijakan skema kehutanan masyarakat yang didukung oleh kebijakan yang tepat. Mahasiswa dapat mencari contoh kasus yang tepat
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 131
DAFTAR PUSTAKA
Alam Syamsu, 2009. Studi Pemasaran Kayu Jati Rakyat di Kabupaten Bone. Jurnal Hutan dan Masyarakat Vol. IV No. 3 ,Desember 2009, Halaman 151-162. Laboratorium Kebijakan dan Kewirausahaan Kehutanan. UNHAS Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, 2007. Laporan Redesain Areal HTUL Menjadi Areal HTR di Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2007. Makassar. Tidak dipublikasikan Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, 2003. Master Plan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2003. Makassar. Tidak dipublikasikan Efendi R. 2010. Rantai Pasar Produk Social Forestry. Hal 109-119 dalam . Social Forestry Menuju Restorasi Pembangunan Kehutanan Berkelanjutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Kementerian Kehutanan Sahide, M. A. K., Supratman. , Dassir M., Junus M., Mahbub A.S., Makkarennu, 2010. Studi Implementasi Program Hutan Tanaman Rakyat di Sulawesi Selatan. Balai Penelitian dan Pengembangan propinsi Sulawesi Selatan
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 132 BAB VI. MANAJEMEN KONFLIK PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN
PENDAHULUAN I. Tujuan Instruksional 1. Mahasiswa mampu menjelaskan tata kelola konflik pengelolaan sumberdaya hutan 2. Mahasiswa mampu menganalisis konflik pengelolaan hutan 3. Mahasiswa mampu menjelaskan prinsip mediasi konflik pengelolaan hutan
II. Proses pembelajaran Pada pembelajaran ini akan dipakai metode small group discussion dengan fokus pada kelompok-kelompok kecil mahasiswa yang akan mendiskusikan manajemen konflik pengelolaan sumberdaya hutan. Juga akan dipakai metode role play dalam praktek mediasi konflik sumberdaya hutan Pada tahap pertama; a. dosen mengulas ulang secara singkat materi sebelumnya terkait kompleksitas persoalan kehutanan dan hubungannya dengan konflik sumberdaya hutan, dosen meminta seluruh mahasiswa memberikan defenisi tersendiri tentang konflik. b. dosen menjelaskan kategorisas konflik, psikologi konflik, segitiga konflik serta beberapa akar konflik pengelolaan hutan di Indonesia Pada tahap kedua a. dosen memfasilitasi mahasiswa untuk membuat beberapa kelompok berdasarkan issu-issu utama dalam analisis situasi persoalan kehutanan, antara lain (sebagai contoh) ; perambahan liar, degradasi hutan dan lahan, kekosongan pelayanan publik kehutanan (pengurusan dan pengelolaan hutan) di tingkat tapak, otonomi daerah di sektor kehutanan, kemiskinan masyarakat didalam dan sekitar kawasan hutan, konflik antara masyarakat dan pemangku kawasan hutan, dll (kegiatan ini dapat dilakukan selama 2 menit) b. dosen mengarahkan kelompok-kelompok mahasiswa agar mampu; o mencari persoalan substantif dari rangkaian masalah tersebut (mencari akar permasalahan) o mencari alternatif pengelolaan sumberdaya hutan berdasarkan masalah-masalah tersebut
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 133 Kegiatan ini dilakukan melalui kegiatan diskusi kelompok dan dilakukan selama 40-60 menit dengan sebelumnya membagikan handout tentang filosofi, konsepsi dan varian kehutanan masyarakat sebagai bahan diskusi. Dosen mencatat semua aktifitas diskusi dan mengevaluasi kaktifan mahasiswa. Pada tahap ketiga a. dosen memberikan penugasan kepada setiap individu untuk memberikan uraian tentang analisis konflik dan mediasi sumberdaya alam b. dosen meminta memaparkan sub tema setiap mahasiswa dalam bentuk poster (jika peserta terlalu banyak dapat dikerja secara berkelompok) c. dosen memberikan evaluasi terhadap hasil diskusi kelompok serta presentase poster Pada tahap keempat a. dosen memfasilitasi praktek mediasi konflik sumberdaya hutan dengan menggunakan met role play, yakni mahasiswa memerankan peran-peran tertentu dari skenario konflik pengelolaan hutan b. dosen memberikan refleksi atas kegiatan yang telah dilakukan Pada tahap kelima Dosen menyampaikan tugas untuk pertemuan (dengan tema bahasan yang berbeda) yakni penugasan kepada setiap individu untuk mencari contoh lain tentang praktek pengelolaan hutan berbasis masyarakat di Indonesia dan di luar negeri. Kegiatan tersebut akan dirangkum melalui poster yang menarik dan akan dipresentasikan dalam bentuk poster dosen memberikan evaluasi terhadap hasil diskusi kelompok serta presentase poster
BAHAN PEMBELAJARAN
I.
Konflik (Pengantar) Mugasejati (2009)
mengungkapkan bahwa konflik berasal dari perubahan yang
menimbulkan rasa tidak puas (discontent) dan penderitaan (grievances), dan kemudian menyebabkan munculnya pihak-pihak yang berkonflik (conflicting parties). Berdasarkan hasil penelitian Centre International Forestry Research (CIFOR) menyatakan bahwa dari 359 kasus sebagian besar konflik kehutanan terjadi di areal HTI (39%), di kawasan konservasi (34%), dan di kawasan hutan produksi HPH (27%). Dalam penelitian tersebut juga
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 134 menunjukkan peningkatan jumlah konflik kehutanan dan cenderung disertai dengan kekerasan, yang diduga karena dampak reformasi yang kebablasan (euforia). Reformasi mendorong masyarakat lebih sadar akan haknya dan berani menuntut untuk memperoleh porsi manfaat yang lebih wajar atas keberadaan hutan di sekitar mereka. Akibat lambatnya penyelesaian konflik kehutanan (karena rumit dan melibatkan banyak pihak) seringkali konflik tersebut diekspresikan dalam bentuk perlawanan terbuka dengan kekerasan. Berbagai informasi tentang konflik kehutanan seringkali didramatisir, bahkan ada yang sampai ke agenda Internasional Labor Organization (ILO), yaitu kasus konflik di HPH PT. Timber Dana tahun 1990-an dengan tuduhan perbudakan, walaupun pada akhirnya tuduhan tersebut tidak terbukti. Memperhatikan kondisi konflik yang sering terjadi di bidang kehutanan, maka jelas sekali para Rimbawan termasuk sarjana kehutanan perlu memiliki kemampuan untuk menghadapi dan ”mengelola konflik” kehutanan agar pengelolaan hutan secara lestari dapat terwujud. Menurut Wulan, dkk, (2004), Peristiwa konflik yaitu kejadian suatu konflik yang telah muncul ke permukaan. Sebagaimana diketahui konflik di sektor kehutanan bervariasi mulai dari konflik dengan intensitas yang rendah, seperti keluhan-keluhan, sampai kepada konflik dengan tekanan yang tinggi seperti aksi-aksi destruktif. Penyebab konflik kehutanan Indonesia pada kurun waktu 1997 - 2003 dapat dibagi dalam lima kategori sebagai berikut: 1. Perambahan hutan, Yakni kegiatan pembukaan lahan pada kawasan hutan yang bermasalah karena adanya perbedaan penafsiran mengenai kewenangan dalam pengelolaannya. 2. Pencurian kayu, adalah penebangan kayu secara ilegal yang dilakukan oleh mayarakat/perusahaan di lokasi yang bukan miliknya, sehingga menimbulkan konflik dengan pihak lain yang merasa dirugikan. 3. Batas, adalah perbedaan penafsiran mengenai batas-batas pengelolaan/kepemilikan lahan antara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik; 4. Perusakan lingkungan, adalah kegiatan eksploitasi yang menyebabkan terjadinya degradasi manaat suatu SDA dan kerusakan mutu lingkungan disuatu daerah; 5. Alih fungsi, yaitu perubahan status kawasan hutan (misalnya dari hutan lindung menjadi hutan produksi) yang menimbulkan berbagai permasalahan antara pihak-pihak yang berkepentingan. Hasil penelitian Wulan, dkk, (2004), merekomendasikan agar (i) pengelolaan konflik dipertimbangkan sebagai elemen dalam pengelolaan hutan, (ii) pemantauan konflik
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 135 kehutanan terus dilakukan agar kejadian, penyebab dan cara untuk mengelolanya dapat dipelajari lebih jauh, dan (iii) pilihan-pilihan metode untuk pengelolaan konflik harus digali. Menurut pandangan kelompok masyarakat sipil Indonesia (17 organisasi non pemerintah), Syafitrri, dkk (2011) bahwa tipologi konflik tenurial kehutanan di Indonesia antara lain adalah; 1. Konflik antara masyarakat adat dengan Kemenhut 2. Konflik antara masyarakat vs Kemenhut vs BPN 3. Konflik antara masyarakat transmigran vs masyarakat adat/lokal vs Kemenhut vs pemerintah daerah vs BPN 4. Konflik antara masyarakat petani pendatang vs Kemenhut vs pemerintah daerah 5. Konflik antara masyarakt desa vs Kemenhut 6. Konflik antara calo tanah vs elite politik vs masyarakat petani vs Kemenhut vs BPN 7. Konflik antara masyarakat lokal (adat) vs pemegang izin 8. Konflik antara pemegang izin kehutanan dan sektor lain-lain (pertambangan dan perkebunan) 9. Konflik karena gabungan berbagai aktor 1 -8 Konflik mesti terkelola Konflik jika tidak terkelola maka dapat menimbulkan konflik kekerasan dan menghasilkan banyak bencana materil dan non materil, dampak secara ekonomi, sosial, budaya dan bahkan politik bisa menjadi ongkas sosial yang sangat besar, dan pihak yang biasanya sering menangung secara langsung adalah pihak yang termarjinalkan seperti kaum miskin, perempuan, orang tua dan anak-anak. II. Kenapa Konflik terjadi ? Sepanjang pengetahuan penulis serta didukung oleh metode Rata yang dikembangkan oleh ICRAF dan mitra, menemukan bahwa Sepuluh sumber konflik tenurial yang ada di Indonesia pada umumnya antara lain; 1. Perubahan pemerintahan (adat, kolonial, kemerdekaan) 2. Status ganda (hukum pemerintah dan adat) 3. Batas lahan 4. Tumpang tindih penguasaan lahan 5. Kurangnya pengakuan terhadap hukum adat 6. Tidak adanya catatan status kepemilikan 7. Perluasan lahan pertanian
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 136 8. Ketimpangan ekonomi 9. Pengungsian 10.Adanya migrasi masuk
Gambar
19.Praktek Penggalian Informasi dan Mediasi di Level Komunitas Praktek/kunjungan lapangan membantu mereka mengaktualisasikan kemampuan memediasi kepentingan masyarakat dan kepentingan stakeholder
Menurut Mugasejati (2009) bahwa konflik muncul apabila: 1. satu atau lebih pihak berhasil membangun identitas bersama 2. berhasil menciptakan perasaan penderitaan yang sama 3. berhasil membangun tujuan bersama dan melihat pihak lain yang menghalangi pencapaian tujuan itu dan harus diubah 4. berhasil meyakinkan bahwa mereka bisa berhasil mencapai tujuannya Ragam Kebijakan dan Program Manajemen Sumberdaya Hutan sebagai Sumber dan Arena Konflik a)
Kebijakan yang dipaksakan tanpa partisipasi lokal
b) Kurangnya keselarasan dan koordinasi antara batang tubuh peraturan dan prosedur normatif
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 137 c)
Identifikasi yang lemah dan konsultasi yang tidak cukup dengan para pihak
d) Perencanaan yang tidak terkoordinasi e)
Ketidaksempurnaan dan kurangya pembagian informasi
f)
Kapasitas kelembagaan yang kurang
g) Ketidaksempurnaan monitoring dan evaluasi program h) Kurangnya mekanisme yang efektif dari pengelolaan konflik i)
Ragam sistem adat/informal dalam pengelolaan konflik
j)
Sistem kebijakan nasional
k) Manajemen konflik alternatif l)
Pendekatan manajemen konflik alternatif untuk menujukkan konflik sumberdaya hutan
Posisi
Kepentingan Kebutuhan
Gambar 20. Bawang Konflik (Sumber : Engel
dan Korf (2005)) Engel dan Korf (2005) memperkenalkan istilah bawang konflik dimana sustansi dasar dari konflik adalah kebutuhan, kemudian ditengahnya adalah kepentingan barulah kemudian yang berada di permukaan adalah posisi -
Posisi: Pernyataan dan perilaku yang ditampilkan
-
Kepentingan: Apa yang dia capai
-
Kebutuhan: Apa yang ingin dia penuhi Dalam suatu situasi fasilitasi konflik pengelolaan hutan, para pihak pada fase awal
cenderung bertahan pada posisi-posisi mereka, dan sangat sulit untuk menggeser posisi tersebut. Pada tahapan ini kecurigaan diantara para pihak sangat besar. Ketika proses mediasi berlanjut, pada phase selanjutnya para pihak mencoba melihat sisi-sisi kepentingankepentingan yang mereka wakili dan atau perjuangkan. Pada fase ini para pihak difasilitasi
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 138 untuk saling memahami kepentingan-kepentingan yang tidak hanya berbeda tetapi juga berlawanan. Proses mediasi konflik selanjutnya adalah pada fase rekonsiliasi, ketika para pihak mulai mengidentifikasi kebutuhan mereka sesungguhnya sehingga para pihak mulai dapat melihat alternatif-alternatif penyelesaian masalah.
PROSEDURAL
PSIKOLOGIS
SUBSTANTIF
Gambar 21. kategorisasi/segitiga konflik (Sumber : Engel dan Korf (2005))
III. Pilihan-pilihan dasar dalam Manajemen Konflik Menurut Engel dan Korf (2005) bahwa ada 4 teknik dasar dalam pengelolaan konflik antara lain, (1) Negotiation- Mediation, (2) Arbitration (3) Adjudication (4) Force a.
Negosiasi , prinsipnya antara lain; bersifat kerelaan (Voluntary), bertemu secara langsung ( Face-to-face), tidak ada intervensi dari luar ( No external intervention), membuat point-point issue konflik yang jelas, menemukan pilihan-pilihan kesepahaman, mencegah eskalasi
b.
Mediasi pada prinsipnya antara lain; ada intervensii pihak ketiga, mediator adalah sesoreang yang disetuji atau dipilih oleh pihak yang berkonflik, mediator haruslah netral, mediator harus menciptakan suasana yang nyaman, mediator tidak punya otoritas dalam menyediakan solusi
c.
Arbitase pada prinsipnya antara lain; serupa dengan mediasi, arbitrator dapat membuat keputusan, keputusannya mengkikat
d.
Adjudikasi pada prinsipnya; proses hokum, mengikuti kebijakan (hokum) formal, mengikat, prinsip menang kalah
e.
Paksaan pada prinsipnya; mengancam atau menggunakan kekerasan untuk memaksakan suatu posisi.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 139 IV. Siapa aktor-aktor kunci ? Secara sederhana kita dapat mebagi dua aktor kunci yaknia pihak-pihak
yang
mempengaruhi konflik dan pihak-pihak yang terpengaruh oleh konflik (korban, pelaku, provokator, dll). Sedangkan Mugasejati (2009) mengemukakan bahwa actor kunci adalah (1) mereka yang memiliki motivasi dan kemampuan (motivation and ability) untuk mendorong perdamaian, (2) mereka yang memiliki motivasi dan kemampuan mendorong konflik , dan (3) mereka yang bisa, mau, dan mampu diajak bekerjasama untuk mendorong perdamaian Manajemen Konflik yang tepat dan strategi resolusi yang dibutuhkan untuk disatukan dalam kebijakan, program dan proyek sumberdaya hutan. Membedah masing-masing kasus dari Maros dan Bantaeng: a) Posisi: Pernyataan dan perilaku yang ditampilkan b) Kepentingan: Apa yang dia capai c) Kebutuhan: Apa yang ingin dia penuhi V. Eskalasi-deskalasi konflik : Analisis Trend Sangat penting untuk mengetahui eskalasai dan deskalasi konflik pengelolaan hutan untuk mengeksplorasi suasana konflik serta konteks konflik yang ada, eskalas-deskalasi konflik juga dapat memberikan input terhadap prediksi konflik dimasa yang akan datang. Ada Protes K e j a d i a n k e j a d i a n
Intimidasi
Konflik Terbuka
Ada perdebatan
Ada Lobi
Ada Harapan
Ada konsensus awal Waktu/Periodik
Konflik Laten Ada perasaan was-was
Ada perasaan ketakutan
Gambar 22. Contoh kondisi psikologis dan situasi masyarakat dalam eskalasi konflik (dari konflik laten, konfllik di permukaan, dan konflik terbuka)
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 140 Sedangkan Hardi (20090 mengungkapkan bahwa analisis trend (kecenderungan) atau yang sering juga disebut dengan analisis deret waktu/time series adalah salah satu cara menganalis dalam penelitian sosial yang bertujuan untuk memprediksi sesuatu yang potensial di masa yang akan datang berdasarkan data waktu lampau. Minimum ada 4 kategori eskalasi-deskalasi konflik antara lain a) Tanpa konflik: b) Konflik tersembunyi (konflik laten) c) Konflik permukaan (tidak memiliki akar yang dalam ) d) Konflik terbuka (berakar sangat kuat dan dalam) Gambar 23 diolah oleh para pihak pada saat pelatihan manajemen konflik pengelolaan sumberdaya hutan (Konflik pengelolaan TN Bantimurung Bulusaraung di Dusun Tallsa, Desa Samangki, Kab. Maros). Mugasejati (2009) mengemukakan bahwa Eskalasi konflik terjadi, apabila pihak yang berkonflik berhasil melakukan mobilisasi massa dan setiap pihak menggunakan strategi tindakan bersama (collective action) untuk mencapai tujuannya.
VI. Transformasi Konflik dan KM Tujuan pengelolaan konflik antara lain adalah (1) melakukan identifkasi konflik laten dan menaganinya secara konstruktif (konflik laten akan didikusikan lebih lanjut dalam panduan ini , (2) mencegah eskalasi konflik yang ada dan (3) memanfaatkan konflik untuk mempromosikan perubahan sosial yang positif. Sehingga konflik sumberdaya alam saat ini cenderung mengarah bukan pada pencapaian resolusi tapi pada bagaimana mengelola konflik atau mentrasnformasi konflik kea rah perubahan sosial yang lebih baik. Kehutanan masyarakat jika dipandang dari segi program dapat menjadi salah satu wahana dalam mentransformasi konflik pengelolaan hutan di Indonesia. Menurut Engel dan Korf (2005) bahwa transformasi konflik hendaknya difokuskan pada usaha-usaha jangka panjang yang berorientasi untuk mendapatkan hasil, proses, dan perubahan struktural.
Hal tersebut
bertujuan untuk menanggulangi bentuk-bentuk kekerasan langsung, budaya, struktural yang muncul melalui transformasi hubungan sosial dan promosi yang dapat membantu menciptakan hubungan-hubungan kerjasama Sementara itu, menurut Susan (2009), salah satu idealisme pengelolaan konflik adalah mereduksi konflik kekerasan dan mentransformasi konflik yang bersifat destruktif menjadi konstruktif. Maksud dari sifat konstruktif adalah setiap kepentingan mampu mengubah
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 141 karakter contentious dan pola konflik zero-sum game menjadi kompromi atau problem solving.Mekanisme politik yang mentransformasi konflik yang tidak produktif, atau konflik kekerasan, menjadi konflik yang produktifKonflik produktif mengartikan dirinya sebagai praktek negosiassi terus-menerus dalam ruang politik yang mendasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi. Negosiasi yang berdiri diatas akal sehat, imparsialisme, mendengarkan, kesetaraan, nir-kekerasan, dan aturan main legal. Lebih lanjut menurut Susan (2009), terdapat dua aras dalam transformasi politik negosiasi, aras pertama adalah menciptakan institusi yang konsern dengan pendidikan keterampilan bernegosiasi bagi masyarakat secara luas. Tugas ini lebih tepat diambil oleh negara dengan kekuatan organisasinya. Aras kedua adalah mengkonstruksi wacana keterbukaan dan kesetaraan antarkomunitas dalam masyarakat majemeuk. Selain itu politik negosiasi adalah model gerakan menciptakan perdamaian menyeluruh bagi masyarakat majemuk Indonesia. Berdasarkan hal diatas maka reformasi birokrasi pemerintahan sebagai tata kelola konflik sebagai sentrum politik negosiasi mendaji sebuah keniscayaan. Untuk peningkatan sumberdaya birokrasi serta perubahan kebijakan tata kelola konflik juga menjadi keharusan untuk memenuhi cepatnya dinamika konflik yang saat ini berjalan baik yang terbuka maupun tertutup. Dalam konteks pengelolaan kawasan konservasi, pemerintah bersama para pihak lainnya harus terus belajar dalam mengelola konflik untuk memastikan bahwa konflik tidak boleh hanya dilihat di permukaan saja, namun mesti dianalisis dan dikelola dengan baik. Salah satu akar permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya hutan adalah hak akses masyarakat sangat penting untuk dikuatkan, karena mereka adalah dalah satu aktor kunci keberhasilan dalam pengelolaan hutan yang lestari pada umumnya.
VII. Beberapa Kasus Konflik a.
Konflik Pengelolaan Hutan Kemiri Rakyat di Kabupaten Maros Supratman dan Oka (2009) menyatakan bahwa semangat masyarakat di kawasan
pegunungan bantimurung dan bulusaraung Kabupaten Maros dan sekitarnya dalam membangun hutan kemiri didorong oleh beberapa faktor. Dari sisi ekonomi, didorong oleh faktor-faktor harga buah kemiri yang tinggi, harapan untuk memungut hasil, dan keinginan memiliki tabungan di hari tua. Sedangkan dari sisi sosial didorong oleh faktor-faktor keinginan menguasai lahan yang luas, penguasaan teknik budi daya, harapan untuk mewariskan lahan dan hasil hutan kepada turunannya, lahan sebagai simbol kelas sosial
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 142 dalam masyarakat (yakni status seseorang diukur dari luas kepemilikan lahan, semakin luas lahan semakin tinggi status sosial), dan lahan tersedia serta mudah diakses oleh masyarakat. .
Gambar 23. Hutan Kemiri Rakyat di Salah satu sudut Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung di Kecamantan Mallawa Kabupaten Maros (Foto : Supratman)
Masalah mulai muncul pada saat pemerintah menetapkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) pada tahun 1984. Berdasarkan kriteria hutan TGHK banyak areal hutan kemiri yang telah dibangun oleh masyarakat Kompleks Hutan Camba masuk dalam kawasan hutan milik negara. Sejak saat itu, konflik antara pemerintah dengan masyarakat mulai muncul. Pemerintah menutup akses masyarakat mengelola hutan kemiri dalam kawasan hutan sehingga semangat masyarakat membangun hutan kemiri merosot Status lahan kemiri ini merupakan salah satu permasalahan yang sangat penting untuk segera di selesaikan secara partisipatif antara pemerintah dan masyarakat. Hal ini menjadi permasalahan karena sebagian lahan kemiri yang di klaim milik oleh masyarakat berada dalam kawasan hutan negara. Di sisi lain masyarakat mempunyai keyakinan bahwa lahan tersebut adalah miliknya yang telah di kelola secara turun temurun. Konflik lahan ini menyebabkan proses regenerasi (peremajan) kemiri yang seharusnya telah dilakukan menjadi terhambat, akibatnya komposisi tegakan didominasi tegakan tua yang berimplikasi kepada penurunan produksi.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 143 TGHK membuat masyarakat trauma. Masyarakat tidak tertarik lagi membangun hutan kemiri karena areal hutan kemiri masyarakat yang berada di dalam kawasan hutan TGHK tidak bisa dikelola, menyebabkan terjadinya konflik antara masyarakat dengan pemerintah. Akibatnya, masyarakat mengonversi hutan kemiri menjadi kebun (khususnya hutan kemiri yang berada di luar kawasan hutan negara berdasarkan TGHK), dan mengabaikan hutan masyarakat yang berada di dalam kawasan TGHK. b.
Konflik (Horizontal-Vertikal) Desa Kasintuwu Selain lembaga adat, terdapat pula dua unit koperasi sebagai lembaga ekonomi yang telah
dibangun oleh kelompok masyarakat di Desa Kasintuwu, yaitu Koperasi Manceka Jaya dan Koperasi Tawitowasioko. Pada tahun 2010, pengurus dan anggota Koperasi Manceka Jaya mengusulkan kepada Dinas Kehutanan Kabupaten Luwu Timur areal kawasan hutan di desa ini seluas 500 ha untuk dikelola sebagai areal kerja HKm. Usulan tersebut telah direspon oleh Dinas Kehutanan dengan melakukan verifikasi terhadap areal yang diusulkan tersebut pada bulan Mei 2010, namun demikian, tindak lanjut pengusulan tersebut belum ada sampai saat ini. Pengusulan areal HKm oleh Koperasi Manceka Jaya justru menimbulkan konflik internal masyarakat, karena sebagian masyarakat
merasa tidak terwakili kepentingannya oleh
koperasi Manceka Jaya dan mereka belum memahami kebijakan HKm. Eskalasi konflik internal tersebut cenderung meningkat karena klaim ketokohan secara adat serta klaim dukungan diantara masyarakat yang terwakili kepentingannya oleh Koperasi Manceka Jaya denan masyarakat yan tidak terwakili kepentinannya. Oleh karena itu, masyarakat yang merasa tidak terwakili kepentingannya membentuk koperasi yaitu Koperasi Tawitowasioko. Konflik warga tersebut menyebabkan ketidakpasitian pengelolaan kawasan hutan oleh masyarakat di Desa Kasintuwu. c.
Konflik Pengelolaan Taman Nasional bantimurung Bulusaraung TN Babul seluas 43.750 ha yang terletak di Kabupaten Maros dan Kabupaten
Pangkep, ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.398/Menhut-II/2004, tanggal 18 Oktober 2004. Areal ini dikelilingi oleh 40 desa yang sebagian besar penduduknya tergantung pada kawasan tersebut. Hasil penelitian Supratman dan Oka (2009), menemukan bahwa proporsi pendapatan rata-rata masyarakat Desa Labuaja sebesar 78,7% berasal dari dalam kawasan TN Babul dan sebesar sebesar 21,3% dari luar kawasan taman nasional. Proporsi ini menunjukkan tingkat ketergantungan masyarakat yang relatif sangat tinggi terhadap kawasan TN Babul, sehingga kalau hak akses
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 144 mereka terhadap kawasan terganggu akibat konflik, maka mereka akan terjebak pada kemisikinan. Sebelum ditetapkan, sebagian areal yang saat ini menjadi kawasan taman nasional tersebut telah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai areal usahatani semusim, ladang berpindah, kebun kemiri, dan hutan rakyat pola agroforestry. Selain itu, pada bagian kawasan taman nasional terdapat pula areal Pilot Project Pembangunan Hutan Kemasyarakatan seluas 500 ha yang dibangun pada tahun 1999 atas bantuan OECF. Pemkab Maros juga telah menjadikan permandian alam Bantimurung sebagai aset wisata dengan PAD sekitar Rp.3.000.000.000/tahun. Sehingga pada intinya penetapan areal-areal seperti tersebut di atas sebagai areal TN Babul memunculkan konflik pemanfatan kawasan konservasi. Eskalasi konflik yang tinggi, seperti yang ditemukan di Dusun Tallasa, Desa Samangki, Kabupaten Maros. Masyarakat di dusun ini menuntut enklave atau pelepasan kawasan kebun dan pemukiman mereka yang berada didalam areal TN Babul. Berbagai mediasi telah dilakukan baik dalam pertemuan formal maupun informal yang difasilitasi oleh ragam lembaga seperti Universitas Hasanuddin, LSM International (RECOFTC) dan Pemerintah Kabupaten Maros dan Pangkep. Dirasakan belum ada profil konflik yang utuh pada setiap unit-unit pemanfaatan kawasan konservasi. Hal ini menyebabkan berbagai tawaran resolusi konflik mengalami kebuntuan. Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan penelitian analisis konflik dalam kerangka mencari model pengelolaan konflik pemanfaatan kawasan konservasi TN Babul di Sulawesi Selatan Ada dua hal yang mendukung Peluang Penyelesaian Konflik di kawasan konservasi TN Babul 1. Adanya kebijakan Zonasi Pengelolaan TN Babul, yang memungkinkan zona-zona yang dapat memungkinkan masyarakat dalam mengakses areal dalam TN Babul. Menurut UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, kawasan konservasi dibedakan menjadi dua yaitu: (a) kawasan suaka alam dan (b) kawasan pelestarian alam. Taman nasional merupakan salah satu bentuk dari kawasan pelestarian alam. Menurut UU No. 5 Tahun 1990 tersebut, kawasan pelestarian alam mempunyai fungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Di dalam UU No. 5 Tahun 1990 juga dinyatakan bahwa, kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi. Selanjutnya secara lebih rinci pedoman zonasi taman nasional diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.56/Menhut-II/2006. Menurut peraturan Menteri kehutanan tersebut, zon adalam
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 145 kawasan taman nasional terdiri dari: (1) zona inti, (2) zona rimba atau zona perlindungan bahari untuk wilayah perairan, (3) zona pemanfaatan, dan (4), zona lain. Lebih jauh dijelaskan bahwa, zona lain dimasud dapat berupa: (a) zona tradisonal, (b) zona rehabilitasi, (c) zona religi, budaya dan sejarah, dan (d) zona khusus. Hasil penelitian Achmad, dkk (2007), merekomendasikan areal seluas 3.724 ha untuk dikelola sebagai zona khusus di dalam wilayah TN Babul. Zona tersebut merupakan lahan-lahan di dalam taman nasional yang selama ini telah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai areal pertanian dan perkebunan. Semua habitat dalam taman nasional terwakili di dalam zona khusus tersebut, kecuali habitat menara karst yang terjal. Untuk tujuan mengoptimalkan fungsi ekologis dan meminimalkan dampak negatif, maka zona khusus di dalam taman nasional harus dikelola dengan suatu sistem pengelolaan yang dapat mendukung fungsi ekologi di satu fihak dan funsi sosial ekonomi bagi masyarakat di pihak lainnya. Penelitian ini, mengkaji model pengelolaan zona khusus untuk direkomendasikan kepada pihak manajemen TN Babul dalam upaya mencapai integrasi fungsi konservasi dan sosial ekonomi yang optimal. 2. Implementasi Klausul Pengelolaan TN Babul berbasis Masyarakat dalam Perda No 5 Tahun 2009 tentang Kehutanan Masyarakat di Kab. Maros. Menurut Jusuf dan Alif (2010), peran pemerintah kabupaten dalam mendorong pengelolaan konflik sangat penting. Saat ini terdapat Peraturan Daerah No 5 Tahun 2009 tentang Kehutanan Masyarakat di Kab. Maros. Terdapat klausul dalam Peraturan Daerah ini yang mengatur wilayah Pengelolaan Taman Nasional yang berbasis masyarakat yang ditemukan dalam pasal 10. Peraturan Daerah ini penting untuk diimplementasikan sebagai payung hukum di daerah untuk pengelolaan konflik pemanfaatan kawasan konservasi di Kabupaten Maros. Implementasi Peraturan Daerah tersebut dapat kita lihat dari upaya Pemerintah Kabupaten Maros telah terlibat dalam pengelolaan konflik pemanfatan kawasan konservasi TN Babul di Dusun Tallasa Desa Samangki. Pemerintah Kabupaten Maros telah mebentuk Tim Terpadu untuk mencari penyelesaian konflik di daerah tersebut Hasil penelitian Supratman, dkk (2009), masyarakat telah melaksanakan aktivitasaktivitas pemanfaatan kawasan hutan, pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu di dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Masyarakat menyadari dampakdampak yang terjadi dan berpotensi terjadi sebagai akibat aktivitas-aktivitas yang mereka lakukan di dalam kawasan hutan, namun demikian, tingkat ketergantungan masyarakat yang relatif tinggi menyebabkan aktivitas tersebut tidak dapat dihindari.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 146 Menurut Jusuf dan Sahide, (2010), meskipun secara keseluruhan kawasan TN Babul berasal dari areal hutan negara, namun kawasan ini tidak clear and clean dari permasalahan klaim penggunaan dan kepemilikan lahan oleh masyarakat. Klaim masyarakat terhadap kawasan hutan sebagai lahan warisan turun-temurun banyak terjadi dilapangan. Areal-areal hutan negara tersebut pada beberapa lokasi telah menjadi lahan garapan atau pemukiman penduduk yang telah lama ada secara turun temurun. Lahan kemiri dan kebun masyarakat banyak ditemukan dalam kawasan hutan yang telah dikelola secara turun temurun dan merupakan bagian dari system social ekonomi masyarakat.. Selain itu terdapat pula lahan garapan yang merupakan perambahan baru atau pembukaan lahan baru pasca reformasi. Hal ini disebabkan antara lain belum tuntasnya tata batas kawasan hutan dan Implementasi tata guna hutan kesepakatan (TGHK) belum optimal. Akibat TGHK tidak diakui atau tidak dipahami masyarakat menyebabkan tingginya kasus konflik tata batas hutan dilapangan. Menurut Yarlin (2007), mengemukakan bahwa di Kelurahan Leang-Leang bahwa sekitar 55 % warga memiliki lahan persawahan mereka berada dalam kawasan TN Babul dengan luasan 1 – 2 ha. Keberadaan sawah tersebut berpotensial menjadi konflik yang terbuka dengan pihak Balai TN Babul Hasil Laporan Baseline Survey RECOFTC yang dilaksanakan oleh Dassir (2008), masyarakat perlu diberikan penguatan kapasitas baik dalam persoalan kemanan hak mereka dalam mengakses sumberdaya hutan maupun penguatan usaha/bisnis mereka. Hal ini diperlukan agar
mereka mampu berdaya secara politik, sosial dan ekonomi. Dengan
keberdayaan masyarakat, mereka mampu memasuki arena konflik yang memiliki logika tersendiri mencapai penyelesaiannya. Hasil studi ditemukan contoh misalnya di Desa Samangki, masyarakat mampu memberikan rekomendasi yang kuat agar pemerintah kabupaten Maros agar membentuk Tim Terpadu dalam menyelesaikan kasus klaim lahan mereka di areal TN Babul. Parabang, (2007), menemukan bahwa di Desa Tompobulu Pangkep terdapat jalur aktifitas pendakian menuju Gunung Bulusaraung, terdapat juga aktifitas pemanfaatan jasa lingkungan lainnya seperti pemanfaatan sumberdaya air. Hal ini juga mempunyai potensi konflik yang terbuka karena masyarakat mengklaim areal mereka yang saat ini menjadi wilayah TN Babul. Selanjutnya Dewi (2006) mengemukakan bahwa persepsi masyarakat di Desa Bentenge terhadap kawasan konservasi TN Babul kurang baik (47.826% memiliki persepsi yang rendah). Begitupun juga yang ditemukan Salle, (2006), masyarakat kelurahan Balleangin, Kabupaten Pangkep terdapat 48.9% masyarakat berpersepsi rendah terhadap
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 147 keberadaan kawasan konservasi TN Babul. Hal ini disebabkan karena terdapat potensi konflik pemanfaatan yang belum terkelola dengan baik d.
Konflik Pengelolaan Hutan Lindung Kontu Sujarwo (2010) mengadakan penelitian terkait konflik pengelolaan hutan lidnung pada Kawasan hutan Patu-Patu, Kontu dan sekitarnya. Kawasan ini merupakan wilayah adat Watoputih yang telah dihuni oleh masyarakat jauh sebelum tahun 1945. Masyarakat melakukan pemanfaatan dan pengolahan wilayah tersebut sesuai dengan nilai-nilai adat masyarakat, jenis tanaman yang ditanam masyarakat disesuaikan dengan kondisi topografi maupun tingkat kesuburan lahan meliputi pohon mangga, nangka, kopi, kelapa dan juga pohon jati yang hingga saat ini masih ada. Raja Watoputih (Kino Watoputih) beserta keluarga tinggal mengelola kawasan di Kontu, Patu-Patu, Lasukara dan Wawesa lebih 3.000 hektar jauh sebelum Belanda masuk di Muna. Kawasan masyarakat adat Watoputih meliputi Kelurahan Wali sampai di Wakadia sebelah barat, Labunti sebelah utara dan sebelah timur pesisir pantai Laino (sekarang Kota Raha Kecamatan Katobu). Namun kini, seiring perkembangan daerah, Wilayah tersebut dibagi dalam beberapa wilayah pemerintahan daerah, sehingga Kontu hingga kini hanya memiliki luas kawasan 600 Ha lebih, yang telah ditetapkan sebagai kawasan lindung. Penetapan ini berdasarkan pada SK Menhutbun nomor 454 tahun 1999 yang menyebutkan bahwa kawasan Jompi dan sekitarnya termaksud kawasan Kontu merupakan kawasan Hutan lindung (Dinas Kehutanan Kab. Muna). Namun, dari jumlah luas kawasan tersebut,
200 ha dimanfaatkan oleh
masyarakat dan diklaim sebagai kawasan hutan adat.
Gambar 24. Grafik Eskalasi Konflik Pengelolaan Hutan Kontu
Keterangan :
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 148 Untuk Tingkat Eskalasi Konflik : 1 = Tidak ada (Masyarakat yang bermukim dalam kawasan Kontu tidak merasakan ada masalah sedikitpun) 2 = Rendah (Konflik hanya sebatas kekhawatiran-kekhawatiran masyarakat saja dan dapat diselesaikan dengan cara-cara persuasif. 3 = Sedang (Konflik telah melahirkan hantaman ketakutan psikologis masyarakat yang bermukim dalam kawasan lindung Kontu. 4 = Tinggi (benturan fisik terjadi antara masyarakat yag bermukim dalam kawasan lindung Kontu dengan pemerintah Kabupaten Muna) Berdasarkan Gambar 17. Ditemukan eskalasi konflik sangat fluktuatif aksi kekerasan seperti penangkapan warga dapat memicu naiknya eskalasi konflik, dialog-dialog konstruktif dapat meredakan eskalasi konflik Sujarwo (2010) lebih lanjut mengemukakan bahwa masyarakat adat Kontu telah lama menetap sebelum Belanda masuk ke Muna. Masyarakat telah memanfaatkan dan mengelola kawasan Kontu secara arif sesuai dengan nilai adat masyarakat selama beberapa dekade. Namun pada tanggal 21-22 November 2003, pemerintah melakukan operasi penangkapan terhadap warga yang tinggal dalam kawasan hutan lindung Jompi dengan tuduhan telah menduduki lahan yang tidak sah. Penetapan status kawasan Kontu sebagai bagian dari kawasan hutan lindung Jompi diatur dalam SK Menhutbun nomor 454 tahun 1999. Maysarakat memperlihatkan respons perlawanan terhadap penangkapan tersebut. Tabel 21. Transek Sejarah Pemanfaatan Hutan Lindung Kontu Kontu (sumber : Sujarwo, 2010)
Tahun
Kebijakan Pemerintah
Jauh sebelum tahun 1942
Indonesia dibawah Hindia Belanda.
1942
Jepang Mengambil alih pemerintahan dari tangan Belanda. Ordonansi Hutan Jawa dan Madura 1927 (Staatsblad 1927 No. 221 serta Verordening Kehutanan tahun 1932 (Staatsblad 1932 No. 446) dinyatakan tetap berlaku oleh pemerintah Dai Nippon.
Pemanfaatan Kawasan
pemerintahan Kawasan Kontu Sudah dihuni oleh masyarakat adat Watoputih dan dimanfaatkan secara arif sesuai dengan nilai adat masyarakat. Misalnya masyarakat memanfaatkan hutan untuk bersemedi mencari hakikat sesuatu, dll. Jenis tanaman yang ditanam masyarakat meliputi pohon mangga, nangka, kopi, kelapa dan pohon jati yang sampai kini masih ada. Pada saat itu, luas wilayah adat lebih dari 3000 Ha Kawasan Kontu masih dihuni oleh masyarakat, seperti tahun – tahun sebelumnya. Digunakan sesuai dengan nilai adat masyarakat
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 149 Sedangkan Pengelolaan Hutan diluar Jawa dan Madura, ditangani oleh pemerintah Swapraja termaksud distrik pemerintahan Belanda di Muna 1945
Masa transisi pemerintahan RI dari tangan penjajahan Jepang. Dengan mengacu pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 pemerintah mulai menata pengaturan hukum pengelolaan hutan yang sesuai dengan kondisi Indonesia, namun peralihan kekuasaan atas Jawatan Kehutanan dari pemerintah Jepang kepada pemerintah Republik Indonesia baru diselenggarakan pada tanggal 1 September 1945 berdasarkan Surat Ketetapan Gunseikanbu Keizaibutyo Nomor 1686/G.K.T. tanggal 1 September 1945. Muna masih dibawa Pemerintahan Swapraja karena belum ada pergantian nama dari Pemerintah RI. Jawatan Kehutanan Muna melakukan klaim – klaim kawasan termaksud Kawasan Kontu.
Masyarakat adat Watoputih merasakan Kekhawatiran atas klaim dari pemerintahan swapraja atas kawasan yang mereka duduki berdasarkan klaim kawasan adat
1946
Masih berlaku aturan sebelumnya.
Para kepala kampung bersama dengan tokoh-tokoh masyarakat bermohon kepada pemerintah Swapraja, agar tanah nenek moyang mereka kembali menjadi kebun. Masyarakat meminta perundingan dan memenangkan perkara tersebut
1952
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1952 Jawatan Kehutanan diberikan wewenang untuk menguasai dan mengelola tanah-tanah Negara yang ditetapkan sebagai kawasan hutan. Kemudian, wewenang penguasaan tanah-tanah hutan oleh Jawatan Kehutanan, dipertegas dan diperkuat dengan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanahtanah Negara (Lembaran Negara No. 14 Tahun 1953),
Masyarakat mengalami kekhawatiran lagi karena kawasan adat yang mereka huni bisa saja menjadi tanah negara yang nantinya akan ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung. Hal ini bukan tanpa alasan, karena masyarakat tau bahwa lahan mereka sama sekali tidak punya surat–surat kepemilikan yang sah dari pemerintah
1956
Kepala Kehutanan Daerah (La Ode Enda), memerintahkan masyarakat untuk menanam jati dengan istilah kultir (kultur).
Akhirnya masyarakat menanam dilokasi perkebunan mereka namun sebagian dari mereka menyingkir dari Kawasan Kontu yang mereka tinggali kewilayah
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 150 sekitarnya dengan alasan karena takut Setelah tanaman jati tumbuh besar, mereka dipaksa untuk keluar dari wilayah tersebut. 1957
Tahun 1957 dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 1957 (LN. No. 169 Tahun 1957) mengenai Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintah Pusat di bidang Perikanan Laut, Kehutanan dan Karet Rakyat kepada Pemerintah Swatantra Tingkat I. Termaksud Kehutanan distrik Muna dibawahi oleh Pemerintah Swantantra Tingkat 1.
Sebagian masyarakat tetap bertahan dikawasan Kontu, dan sebagian masyarakat lagi keluar dari kawasan karena kekhawatiran terhadap perintah Kepala Kehutanan Daerah (La Ode Enda) sebelumnya.
1963
Masyarakat meminta kembali perundingan melalui kepala Agraria (La Ode Hibi). Permohonan masyarakat diterima pemerintah, dan dalam perundingan tersebut, masyarakat menjadi pemenang.
Masyarakat lagi – lagi memanfaatkan lahan mereka untuk usaha tani dan ini berlangsung sampai tahun 1970. diatas tahun 70-an, sebagian masyarak keluar dari kawasan kontu karena ada wabah penyakit malaria. Namun sebagian lagi masih bertahan. Hal ini brlangsung sampai akhir tahun 70-an.
1980-an
Pemerintah Daerah Kabupaten Muna memindahkan 150 KK warga dari sekitar Kota Raha masuk mengelola kawasan Kontu, Patu – Patu, Lasukara dan Wawesa
1981
Tata Guna Hutan Kesepakatan merupakan rencana pengukuhan dan penatagunaan hutan yang dilakukan melalui kesepakatan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat yang petunjuk pelaksanaannya ditetapkan melalui SK Menteri Pertanian No. 680/1981.
Mendengan kabar tersebut, masyarakat adat Watoputih yang sebelumnya meninggalkan tanah leluhurnya dan masyarakat kota Raha, kembali masuk dan mengelola kawasan Kontu tersebut (Dinas Kehutanan Kab. Muna) Seluruh kawasan hutan yang masuk sebagai tanah negara diatur dengan konsep TGHK untuk pengukuhan dan penatagunaan hutan.
1999
SK Menhutbun Nomor 454 Tahun 1999 yang berisi tentang Kawasan Hutan Jompi dan Sebagian Kawasan Kontu Desa Wawesa adalah Kawasan hutan Lindung.
2002
Sejak SK tersebut dikeluarkan, Pemerintah tidak pernah mensosialisasikannya kepada masyarakat yang bermukim di dalam kawasan Kontu sehingga masyarakat tidak tahu menahu tentang aturan itu dan masyarakat tetap melanjutkan usaha tani mereka seperti biasa (La Ndoha). Warga yang telah berkebun mencapai
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 151
2003 s/d2004
Pemerintah melakukan operasi penangkapan terhadap masyarakat yang bermukim di kawasan Kontu. puluhan orang ditangkap dengan cara represif dan pondok – pondok masyarakat dibakar serta tanaman perkebunan masyarakat dibabat habis oleh aparat kepolisian.
1.200 KK dan untuk kawasan Kontu sejumlah 167 orang. Masyarakat memanfaatkan kawasan untuk berkebun dan pemukiman (Data Sekunder Desa) Masyarakat dituduh telah menduduki lahan yang tidak sah, yang ditetapkan pemerintah sebagai hutan lindung. Padahal masyarakat telah menetap di kawasan tersebut lama sebelum kawasan tersebut ditetapkan sebagai hutan lindung.
2005 s/d Belum memberikan solusi alternatif dan Dengan bantuan LSM, masyarakat tetap Sekarang bijak. bermukim dalam kawasan dan memanfaatkannya seperti biasa yaitu pemukiman dan perkebunan, namun masyarakat hidup dalam ketakutan psikologis bahwa benturan dengan pemerintah bisa terjadi kapan saja.
PENUTUP I. Penugasan Setiap mahasiswa membuat presentase singkat dengan sebelumnya membuat poster sesuai dengan tema analisis dan mediasi konflik sumberdaya hutan yang diberkan oleh dosen dengan sub tema antara lain; 1. Tahapan Pengelolaan Konflik 2. Analisis Kronologis/Tahapan Konflik 3. Eskalasi dan deskalasi konflik 4. Analisis Pohon Konflik 5. Analisis Isu 6. Analisis Stakeholder 7. Analisis 3 R (Right, Responsibility, Role) 8. Analisis 4 R (Right, Responsibility, Role, Relationship) 9. Segitika PSK (Sikap-Prilaku-Konteks) 10. Pemetaan Konflik 11. Merencanakan Perundingan
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 152 12. Perbedaan Bentuk Proses Penyelesaian Konflik sepert Adjudikasi, Arbitrase, Negosiasi, dan Mediasi 13. Kriteria Calon Mediator (apa yang harus dimiliki oleh seorang mediator)
DAFTAR PUSTAKA Dassir, M. 2008. Baseline Survai Pemahaman Masyarakat tentang Hak-Hak Mengelola Sumberdaya Hutan. Laporan Hasil Survai. RECOFTC. Makassar. (Tidak dipublikasikan) Engel Antonia, Korf Benedikt. 2005. Teknik-Teknik Perundingan dan Mediasi untuk Pengelolaan Sumberdaya Alam. FAO Hardi. S. 2009. Analisis Trend Sederhana. Makalah tidak dipublikasikan pada Training Early Warning System (EWS) Konflik ICRAFT. 2011. Memetakan Konflik dengan RaTA. http://www.worldagroforestrycentre.org/Sea/Publications/files/magazine/MA003010.PDF, akses tanggal 1 Desember 2011 Jusuf. Y, Sahide M.A.K., 2010,. Pendekatan Kolaborasi dalam Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung : Strategi Menyiapkan Kepentingan Ekologi dan Sosial Ekonomi .OPINION BRIEF, No. ECICBFM II-2010.02. Makassar Mugasejati. N.P., 2009. Pemetaan Simptom Konflik: dalam Perspektif Gerakan Sosial. Modul Bahan Bacaan V. Makalah tidak dipublikasikan pada Training Early Warning System (EWS) Konflik Parabang.F. 2007. Studi Potensi Konflik Aktifitas Masyarakat di Dalam dan Sekitar TN Babul (Studi Kasus di Dusun Bulu-Bulu, Desa Tompobulu, Kecamatan Balocci, Kabupaten Pangkep), Skripsi pada Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin. Makassar Sujarwo. 2010. Analisis Konflik Pemanfaatan Kawasan Hutan Lindung di Kompleks Hutan Jompi Desa Wawesa Kabupaten Muna. Jurnal Hutan dan Masyarakat., Vol. 5, No.1, 2010: 53-66. Laboratorium Kebijakan dan Kewirausahaan Kehutanan, Fakultas Kehutanan UNHAS. Supratman, N.P. Oka, 2009. Model Pengelolaan Zona Khusus Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Di Sulawesi Selatan: dengan Referensi Khusus di Desa Labuaja. Laporan Hasil Penelitian, Lembaga Penelitian UNHAS. Makassar.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 153 Susan. N, 2009. Sosiologi Konflik dan Isu-isu konflik Kontemporer. Kencana, Jakarta Syafitri M.A., Muhshi. M. A., Muhajir M., Shohibuddin M., Arizona Y., Sirait M., Nagara G., Andikjo., Moniaga., B erliani H., Widawatu E., Mary S.R., Galudra G., Suwito. Santosa A., Santoso., 2011. Menuju Kepastian dan Keadilan Tenurial. Pandangan Kelompok Masyarakat Sipil Indonesia tentang Prinsip, Prasayrat dan Langkah Mereformasi Kebijakan Penguasaaan Tanah dan Kawasan Hutan di Indonesia. Jakarta Wulan. YC, Yasmi. J, Purba.C, Wollenberg.E, 2004. Analisis Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 – 2003. Center For International Forestry Research, Jakarta.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 154 BAB VII. PRAKTEK-PRAKTEK KEHUTANAN MASYARAKAT
PENDAHULUAN I.
Tujuan Instruksional
1. Menjelaskan dan menganalisis program-program kehutanan di negara lain 2. Menjelaskan dan menganalisis praktek-praktek kehutanan masyarakat. II. Proses pembelajaran Pada pembelajaran ini juga akan dipakai metode Guided Discovery Learning yaitu mencari dan merangkum sumber bacaan serta jurnal terkait praktek-praktek kehutanan masyarakat di Indonesia Pada tahap pertama; a. dosen mempersilahkan kepada mahasiswa untuk mepresetasekan poster tentang praktek pengelolaan hutan berbasis masyarakat di Indonesia dan di luar negeri. (tugas ini telah dijelaskan pada pertemuan sebelumnya) b. dosen memberikan evaluasi terhaddap hasil presentase Pada tahap kedua Dosen memberikan contoh yang detail tentang praktek pengelolaan hutan berbasis masyarakat di Indonesia
BAHAN PEMBELAJARAN I.
Pengelolaan hasil hutan kemiri rakyat di Maros Kabupaten Maros sejak dahulu dikenal sebagai daerah penghasil kemiri. Luas hutan
kemiri yang dikelola intensif dan tercatat pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros saat ini seluas 9.299 ha, tersebar terutama di tiga kecamatan yaitu, Kecamatan Camba seluas 2.086 ha, Kecamatan Mallawa seluas 4.956 ha, dan Kecamatan Cenrana seluas 2.064 ha. Sisanya seluas 193 ha berada di Kecamatan Simbang, Kecamatan Bantimurung, dan Kecamatan Tompobulu. Hutan kemiri ini berada dalam dua wilayah DAS, yaitu wilayah DAS Walanae, Sub DAS Minraleng dan wilayah DAS Maros-Pangkep. Luas wilayah ekosistem ke dua DAS tersebut adalah seluas 59.273 ha, terdiri atas wilayah DAS Walanae seluas 55.339 ha dan wilayah DAS Maros-Pangkep seluas 3.934 ha (Supratman, 2006)
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 155 Sub DAS Minraleng Bagian Hulu wilayahnya berada di Kecamatan Mallawa, tersebar di empat desa yaitu Desa Samaenre, Desa Tellumpanuae, Desa Uludaya dan Desa Bentenge. Keberadaan Hutan Kemiri di wilayah ini mempunyai peranan penting bagi masyarakat di sekitarnya dalam hal penyediaan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta berperan dalam hal pengaturan tata air dan jasa lingkungan bagi masyarakat dalam wilayah DAS Bila Walannae. Produksi buah kemiri Sulawesi Selatan rata-rata sebesar 24.266 ton per tahun, sebanyak 23,1% diproduksi di wilayah Sub DAS Minraleng. Produksi rata-rata buah kemiri pada tahun 2004 di wilayah ini sebesar 112,6 kg/ha. Selain buah, kayu dari batang kemiri juga mempunyai potensi ekonomi yaitu rata-rata sebesar 147,84 -169,63 m3/ha. Jumlah petani kemiri di wilayah Sub DAS Minraleng sebanyak 9.404 KK, mengelola hutan kemiri rata-rata seluas 1,87 ha/KK. Pendapatan petani dari hutan kemiri rata-rata sebesar Rp. 1.683.507,-/KK/tahun, dengan kontribusi terhadap pendapatan total keluarga rata-rata sebesar 7,61%. Kontribusi tersebut relatif rendah, tetapi mempunyai peran yang strategis sebagai tabungan dalam ekonomi rumah tangga petani serta dalam perekonomian wilayah. Tabel 4. Penutupan Lahan di Pengunungan Bulusaraung Luas Menurut Penutupan Lahan (ha) Lahan Semak Hutan Kemiri Masyarakat yg Kecamatan Pinus Dalam Luar Dalam KPHP Potensial KPHP KPHP di Luar KPHP Mallawa 17 3.360 9.745 183 1.896 Cenrana 652 338 6.842 1.297 2.991 Camba 122 1.907 6.170 206 2.041 Jumlah 791 5.605 22.759 1.686 6.928 Sumber: Hasil Interpretasi Citra Landsat 7 Etm +, BPKH VII, 2004 dalam Supratman (2009) Kontribusi hutan kemiri
yang rendah menyebabkan mayarakat
cenderung
mengkonversinya ke penggunaan non kehutanan. Hal ini menyebabkan adanya kebutuhan untuk mencari alternatif pengelolaan kawasan hutan kemiri rakyat yang paling menguntungkan untuk jangka waktu yang panjang. Persoalan sosial dan lingkungan belum dihitung sebagai suatu nilai dalam analisis biaya mamfaat selama ini. Hal ini menyebabkan dampak-dampak tersebut menjadi beban publik (social cost) yang tidak sedikit. Masalah ini menjadi kompleks lagi pada era otonomi daerah, mengingat nilai sumberdaya alam tidak bisa dihitung dilokasi saja (in site), tetapi juga dihitung nilai sosial dan nilai lingkungan diluar (out site) lokasi sumberdaya. Sehingga persoalan pengelolaan sumberdaya alam tidak hanya
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 156 didasarkan oleh yurisdiksi administratif
tetapi juga didasarkan yurisdiksi ekologi dan
kompleksitas persoalan sosial. 1. Sejarah pengelolaan hutan kemiri rakyat Maros Menurut Muspida (2003) pada awalnya masyarakat yang bermukim di kompleks hutan Camba pada awalnya adalah masyarakat yang bermigrasi dari kerajaan Bone yang dipimpin oleh Isossong putra raja Bone ke 27 sekitar tahun 1826. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya Isossong memerintahkan kepada pengikutnya untuk bertebaran membuka lahan dan menanam tanaman semusim, sampai lahan tersebut berkurang kesuburannya dan sebelum meninggalkan lahan yang telah dibuka terlebih dahulu ditanami tanaman keras dan yang dipilih oleh masyarakat adalah kemiri dan menjadi tanaman indikator penguasaan lahan. Berawal dari tanaman indikator berkembang menjadi kebun kemiri dan terakhir menjadi hamparan hutan kemiri dan menjadi spsipik wilayah hutan rakyat di Kabupaten Maros. Penerapan kebijakan TGHK sejak tahun 1984 menyebabkan hutan kemiri yang dibangun masyarakat berubah status penguasaanya karena berdasarkan kriteria TGHK lahan kemiri masyarakat masuk dalam kawasan hutan, yang berdampak pada menurunnya semangat masyarakat mengelola hutan kemiri. Menurut Muspida (2007) bahwa pembangunan hutan kemiri di Kabupaten Maros diawali oleh terbangunnya lahan-lahan kemiri secara berkelompok oleh masyarakat, baik itu kelompok dalam batas lingkungan keluarga (appang) maupun kelompok yang lebih luas berdasarkan kedekatan lahan sehingga membentuk hamparan hutan kemiri yang lebih luas. Terbangunnya hutan kemiri secara berkelompok menunjukkan bahwa peran modal sosial sangat kuat yang ditunjukkan dengan adanya rasa saling percaya (trust) diantara masyarakat baik secara individu maupun
secara berkelompok (kelompok keluarga atau appang)
membuka lahan kemiri yang kemudian dikelola secara bersama-sama. 2. Aspek ekonomi hutan kemiri rakyat Menurut Alam (2007) Hutan kemiri rakyat (HKR) di Kabupaten Maros telah dikembangkan oleh masyarakat sejak tahun 1826 yang telah memberikan manfaat ekologi dan ekonomi bagi masyarakat setempat serta memberikan kontribusi bagi pengembangan ekonomi wilayah Kabupaten Maros. Kondisi HKR saat ini sedang mengalami proses konversi menjadi penggunaan lahan non kehutanan. Dampak dari kegiatan konversi tersebut telah dirasakan oleh masyarakat berupa kekekurangan air dimusim kemarau, baik untuk keperluan rumah tangga maupun untuk air irigasi. Lebih lanjut Alam memaparkan hasil penelitiannya bahwa ada 3 (tiga) pola konversi HKR ke penggunaan lahan non kehutanan
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 157 yaitu
pola penggunaan ladang berpindah, pola penggunaan ladang menetap dan pola
penggunaan perkebunan
(kebun kakao). Masing-masing pola konversi HKR tersebut
mempunyai karakteristik tersendiri tentang luas dan persentase HKR yang terkonversi sejak tahun 1996 (sepuluh tahun terakhir). Menurut Sahide (2003) Nilai Ekonomi total dari hutan kemiri di Sub DAS Minraleng Bagian
Hulu
Kecamatan
Mallawa
Kabupaten
Maros
adalah
sebesar
Rp
13.164.180.431,82/tahun atau Rp 11.785.502,88/ha/tahun yang terdiri dari nilai penggunaan langsung berupa, nilai kayu kemiri Rp. 726.985,72, nilai buah kemiri Rp. 943.200/ha/tahun, serta nilai pemanfaatan jasa lingkungan ekowisata 18.233,78/ha/tahun. Nilai penggunaan tak langsung yang berupa penggunaan air domestik Rp. 40.456,57/ha/tahun, penggunaan air pertanian Rp 632.166,46/ha/tahun, nilai fungsi pengendali erosi Rp. 139.076,62/ha/tahun, nilai penyerapan karbon Rp. 8.730.000,00/ha/tahun dan nilai non penggunaan berupa nilai pelestarian Rp. 555.383,73/ha/tahun. Lebih lanjut Sahide (2003) merekomendasikan bahwa pengelolaan hutan kemiri rakyat perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak agar mampu mengoptimalkan nilai hutan, karena dengan produktifitas yang rendah, buah kemiri di kawasan Sub DAS Minraleng Bagian Hulu Kecamatan Mallawa Kabupaten Maros masih memberikan sumbangsih 8,01 % atau urutan ke 2 terbesar dari semua nilai. 3. Modal Sosial Mikro Dalam Pengelolaan Hutan Kemiri Menurut Muspida (2007) bahwa modal sosial lain dalam, pembangunan hutan kemiri adalah jaringan (networking) di antara masyarakat, yang membuat kebersamaan masyarakat secara berkelompok membuka lahan secara efisien dan efektif pada wilayah tertentu sehingga dalam pengelolaan hutan kemiri tidak hanya dikenal kelompok appang tetapi juga dikenal kelompok lahan . Modal sosial mikro dalam pembangunan hutan kemiri di ketiga desa kasus dibahas dalam dimensi kognitif dan dimensi struktural. Dimensi kognitif bersumber dari normanorma dan nilai-nilai serta keyakinan yang hidup di dalam masyarakat sipil oleh dorongan saling percaya (trust), meliputi unsur prmbukaan lahan, peralihan hak kelola lahan (teseng, Sanra, jual beli dan pewarisan), dan dimensi struktural bersumber dari peranan dan aturan dalam jaringan (networking) meliputi jaringan pembukaan lahan, pemungutan dan pengolahan hasil serta pemasaran. Kedua dimensi tersebut memiliki elemen-elemen umum yang mendorong tingkah laku bekerjasama secara menguntungkan melalui tindakan terkordinasi.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 158 Hutan kemiri di Kabupaten Maros terbangun sebagai wujud dari keterkaitan modal sosial mikro dan modal sosial makro dalam bentuk saling percaya (mutual trust) dan jaringan (networking) secara bersama-sama melahirkan tindakan terkoordinasi membangun hutan kemiri. Dominasi modal sosial mikro (pengakuan masyarakat terhadap hak penguasaan lahan) dalam pengelolaan hutan kemiri sangat
kuat menyebabkan
masyarakat secara
berkelompok membangun hutan kemiri. (2) Interaksi modal sosial mikro dan modal sosial makro dalam pengelolaan hutan kemiri di kabupaten Maros sebelum adanya kebijakan TGHK menunjukkan interaksi positif dimana modal sosial moakro memmberi ruang yang normatif berkembangynya modal sosial mikro, namun setelah penerapan kebijakan TGHK interaksi berubah menjadi negatif karena kebijakan TGHK membatassi akses masyarakat dalam mengelola hutan kemiri dalam kawasan hutan. II. Pengelolaan hutan desa di Bantaeng 1. Kondisi Hutan desa bantaeng Bantaeng adalah sebuah kabupaten di Propinsi Sulawesi Selatan.
Kabupaten
Bantaeng memiliki kekayaan sumberdaya hutan yang relatif kecil dibanding kabupaten lain di Sulawesi Selatan, yakni hanya 0,2% dari total kawasan hutan Sulawesi Selatan. Namun demikian, kawasan hutan tersebut mempunyai arti penting bagi masyarakat Kabupaten Bantaeng dan wilayah-wilayah di sekitarnya. Karena dari sekitar 6.222 ha luas kawasan hutan Kabupaten Bantaeng, terdapat kawasan hutan lindung yang mempunyai fungsi hidroorologis penting seluas 2.773 ha atau sekitar 44,6%. Sebagian besar (54,4%) kawasan hutan Kabupaten Bantaeng saat ini dalam kondisi kritis yang perlu direhabilitasi dan ditingkatkan kualitasnya. Di luar kawasan hutan terdapat pula lahan kritis seluas 5.423 ha. Laju pertumbuhan luas lahan kritis di Kabupaten Bantaeng selama lima tahun terakhir rata-rata sebesar -0,84%/tahun di dalam kawasan hutan dan sebesar 12,2 %/tahun di luar kawasan hutan. Penurunan luas lahan kritis di dalam kawasan hutan rata-rata sebesar 0,84%/tahun merupakan suatu indikasi laju pertumbuhan lahan kritis yang lebih kecil dibanding keberhasilan kegiatan reboisasi yang dilakukan dengan luas ratarata seluas 100 ha/tahun selama lima tahun terakhir, sedangkan peningkatan luas lahan kritis di luar kawasan hutan rata-rata sebesar 12,2%/tahun menunjukkan hal yang sebaliknya. Konversi kawasan hutan menjadi lahan budidaya pertanian dan perkebunan rakyat merupakan pemicu utama terjadinya degradasi hutan. Sedangkan faktor pemicu laju degradasi lahan di luar kawasan hutan adalah meningkatnya aktivitas penebangan hutan rakyat baik untuk tujuan produksi kayu maupun untuk tujuan konversi lahan hutan rakyat
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 159 menjadi areal tanaman semusim. Aktivitas-aktivitas tersebut didukung dengan sistem tenure tradisional yang sangat kuat sehingga akan berpotensi menjadi sumber-sumber konflik apabila sistem tenure tradisional tersebut tidak diadaptasi dan disinergikan dengan sistem tenure formal pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Tabel 6. Daftar Desa, Luasan dan Gambaran Aktfitas Masyarakat Setalah Mendapatkan Izin Areal dan Izin Pengelolaan Hutan Desa di Bantaeng
No.
Nama Desa
Keterangan
Total
Aktifitas Masyarakat
Areal
BUMDES Ganting membuat aturan bahwa yang mengelola Hutan Desa diprioritaskan 1
Hutan
Labbo
Lindung
342 ha
bagi mereka yang terlanjur memiliki lahan garapan di areal kerja hutan desa, hanya dibatasi 0,5 ha, dan mereka yang tergolong kategori miskin. BUMDES
Sipakainga
tidak
akan
mempersoalkan SPPT yang terlanjur ada,
2
Pattaneteang
Hutan Lindung
akan tetapi akan mengarahkan pajak yang 339 ha dibayarkan untuk pembangunan Hutan Desa Pattaneteang. Usaha mikrohydro juga akan dikembangkan dengan potensi yang dimiliki Hutan Desa ini. BUMMAS Babang Tanggayya akan
3
Campaga
Hutan Lindung
23 ha
mengoptimalkan jasa lingkungan dari Hutan Desa ini : landscape beauty dan sumber air bersih utk PDAM Bantaeng.
Total
704 ha
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 160
Tabel 7. Daftar Desa, Luasan dan Gambaran Aktfitas Masyarakat Pengusul Hutan Desa Bantaeng, Sumber : Diolah Dari Dokumen Surat Pengusulan Hutan Desa ke Menteri Kehutanan RI oleh Bupati Bantaeng
No.
Nama Desa
Keterangan
1
Bonto Marannu
Hutan Produksi
2
Bonto Daeng
Hutan Produksi
3
Bonto Karaeng
Hutan Produksi
Bonto Lojong
Hutan Lindung Hutan Produksi Hutan Produksi Terbatas
Bonto Tangnga
Hutan Produksi
Pa'bumbungan
Hutan Lindung Hutan Produksi Hutan Produksi Terbatas
4
5
6
Total
Total Areal
Aktifitas Masyarakat
Sebagian areal dijadikan kawasan pertanian, pengambilan kayu bakar, 43 ha pemungutan hasil hutan non kayu seperti madu, aren, dan rotan Dijadikan lokasi pendukung wisata loca 189 ha camp, tanaman hortikultura, pemungutan madu Sebagian areal dijadikan kawasan 200 ha pertanian, pemungutan hasil hutan non kayu seperti madu, aren, dan rotan 1,959 ha Aktifitas perkebunan rakyat, kawasan 622 ha pertanian, kayu bakar, dan pemungutan hasil hutan non kayu seperti madu, aren, dan rotan 660 ha Sebagian areal dijadikan kawasan 115 ha pertanian, pem pemungutan hasil hutan non kayu seperti madu, aren, dan rotan 64 ha 93 ha
Sebagian areal dijadikan kawasan pertanian, pemungutan hasil hutan non kayu
374 ha 4.319 ha
Program hutan desa yang ada di Kabupaten Bantaen melalui penetapan Menteri Kehutanan dan Ijin pengelolaan hutan desa dari Gubernur Propinsi Sulawesi Selatan tentunya hutan desa versi skema yang ditawarkan oleh pemerintah. Walaupun ini adalah program pemeberian akses oleh negara, namun paling tidak program ini memberikan harapan ditengah pembuktian niat baik pemerintah dalam hak kelola hutan kepada rakyat.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 161 III. Pengelolaan Hutan Pinus Di Kabupaten Maros terdapat hutan tanaman jenis Pinus merkusii eks reboisasi tahun tanam 1974 – 1980, seluas 14.600 ha. Berdasarkan data tahun tanam, diketahui umur tegakan pinus tersebut saat ini adalah 26 – 32 tahun, sehingga secara teknis, tegakan pinus tersebut sudah dapat dieksploitasi, baik getah maupun kayunya. Gambar : Potensi Hutan Pinus di Kabupaten Maros Potensi getah dari tegakan pinus tersebut adalah rata-rata sebesar 1,2 ton/ha dan potensi kayunya rata-rata sebesar 224 m3/ha. Pemanfaatan tegakan pinus berupa penyadapan getah dan penjarangan tegakan telah dilakukan oleh PT Inutani I dan PT Irma Sulindo, namun pemanfaatan tersebut belum optimal.
Gambar 25. Kondisi Hutan Pinus di Sulawesi Selatan
IV. Pengelolaan Hutan di Negeri Liang Kabupaten Maluku Tengah Muarapey (2010) mengeksplorasi bentuk pengelolaan hutan di Negeri Liang (Kabupaten Maluku Tengah) yang memiliki sistem pemerintahan adat tersendiri. Lembagalembaga adat tersebut dipimpin oleh seorang pimpinan adat yang disebut Raja. Didalam menjalankan fungsinya sebagai pimpinan adat, Raja dibantu langsung oleh Saniri Negeri, Kepala soa, Juru Tulis, Kewang, dan Marinyo. Secara hirarki kelembagaan sistem
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 162 kekerabatan masyarakat ini memiliki bentuk sistem kelembagaan dengan perangkat/aparatur Negeri yang terdiri atas Raja/Pati, Saniri Negeri, Kepala Soa, Kewang, Marinyo, dan Masyarakat. Kelembagaan hak penguasaan lahan dan sumberdaya hutan secara tradisional merupakan
perwujudan
dari
hubungan
yang
mendalam
antara
masyarakat
dan
lingkungannya. Hal ini pula yang menentukan bentuk penguasaan atau pemilikan atas lahan secara perorangan maupun kelompok. Seperti halnya di Liang,
Hak dan kepemilikan
masyarakat terhadap sumberdaya hutan dan lahan diatur secara Kelembagaan Adat. Dalam pengelolaan sumberdaya hutan di negeri Liang, sistem penguasaan/kepemilikkan diatur berdasarkan masing-masing kelompok soa dengan tiap-tiap mata rumah/rumah tau-nya terhadap dusungg (kawasan Hutan) yang di milikinya, yang terdiri dari dusungg dati, dusungg negeri, dusungg pusaka dan dusungg parusahaan. Bentuk serta peran kelembagaan adat masyarakat di Negeri Liang dalam mengatur dan mengelola sumberdaya hutannya menyangkut aturan-aturan adat yang sangat baik dan telah menyatu sejak dulu oleh masyarakat dalam menata hubungan diantara sesama masyarakat berkaitan dengan sistem penguasaan /kepemilikkannya dalam berinteraksi dengan sumberdaya hutan. Dalam pengelolaan sumberdaya hutan sistem penguasaan/kepemilikkan diatur berdasarkan masing-masing kelompok soa dengan tiap-tiap mata rumah/rumah taunya. Bentuk Penguasaan Hutan Hak penguasaan atau kepemilikkan merupakan insentif bagi masyarakat dalam suatu pengelolaan sumberdaya hutan yang didasarkan pada pertimbangan latar belakang budaya, kesejarahan, maupun bukti nyata kinerja yang telah ditunjukkan oleh masyarakat setempat (Kartodihardjo, 1999). Penguasaan/kepemilikkan masyarakat terhadap sumberdaya di Negeri Liang adalah hak kepemilikkan secara bersama/kolektif yang memiliki pengertian bahwa lahan dan segala sumberdaya alam yang ada di wilayah adat masing-masing soa adalah milik bersama seluruh anggota mata rumah/rumah tau yang ada dalam kelompok soa tersebut. Milik bersama ini mencakup wilayah kawasan hutan baik terdiri dari sumberdaya lahannya, hasil hutan kayu maupun hasil hutan non kayu. Bentuk hak kolektif ini bagi masyarakat tidak dapat diperkenankan untuk diperjualbelikan, disewakan (dikontrak) kepada siapapun juga, terutama pihak-pihak luar yang bukan masyarakat adat tanpa melalui persetujuan bersama dari kelompok mata rumah/rumah tau yang mempunyai hak penguasaan.
Hak
kepemilikkan pribadi/individu memiliki pengertian bahwa untuk dan segala sumberdaya alam dalam wilayah adat masing-masing soa tersebut dapat dikatagorikan menjadi hak milik pribadi/individu anggota masyarakat dalam suatu mata rumah/rumah tau tertentu apabila
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 163 kawasan yang dimilikinya bersama sudah dikelola baik untuk lahan pertanian, perkebunan dan lain sebagainya untuk kebutuhan kesehariaanya. Muarapey (2010 lebih lanjut mengemukakan bahwa sistem penyelenggaraan adat sasi sudah ada sejak lama di negeri-negeri di Maluku termasuk di Negeri Liang sendiri, dimana lembaga adapt yang terlibat dalam penyelenggara sasi meliputi Raja, saniri negeri, imam, kepala soa dan kewang. Raja sebagai pemimpin adat memiliki peran sebagai inspirator dalam pelaksanaan sasi. Dalam proses pengambilan keputusan untuk pelaksanaan sasi, raja melakukan pertemuan terbatas dengan para saniri negeri dan kepala soa-kepala soa untuk membicarakan pelaksanaan sasi. Di dalam pertemuan tersebut dibuat kesepakatan untuk diadakan sasi. Selanjutnya raja dan para saniri negeri melakukan pertemuan dengan seluruh masyarakat guna menyampaikan hasil kesepakatan diantara para saniri negeri dan sekaligus diadakan penawaran lelang kepada masyarakat terkait dengan hasil hutan dusung yang akan di sasi. Sistem lelang dilakukan dengan bentuk penawaran harga lelang kepada seluruh masyarakt berkaitan dengan jenis hasil hutan dusung yang di sasi. Di dalam sistem pelelangan ini, bagi masyarakat yang mempunyai nilai penawaran tertinggi baik secara individu maupun secara berkelompok, maka dialah yang memperoleh hak sebagai pemenang dalam penyelenggaraan sasi tersebut dan disebut sebagai pengontrak. Pengontrak bisa terdiri dari satu atau beberapa orang dan terdiri dari satu ketua, bendahara dan anggota. Besarnya uang yang diberikan oleh tiap-tiap anggota pengontrak menentukan jabatan di dalam organisasi pengontrak. Selanjutnya dalam mengamankan hasil hutan dusung yang di sasi, pengontrak bersama-sama saniri Negeri membentuk keanggotaan kewang sebagai lembaga yang berkewajiban untuk melakukan pengawasan dalam mengamankan hasil hutan dusung masyarakat yang di sasi. Pembagian hasil dalam penyelenggaraan sasi artinya membagikan sebagian hasil yang didapatkannya saat kegiatan buka sasi kepada lembaga yang bertugas mengawasi jalannya kegiatan tutup sasi.
Di negeri Liang masing-masing kepala keluarga diwajibkan untuk
memberikan 10% dari hasil pendapatannya kepada pemenang lelang (pengontrak). Hal ini dilakukan sebagai bentuk ganti rugi atas penawaran lelang yang dimenangkan oleh pengontrak saat penawaran lelang untuk kegiatan sasi. Bentuk Larangan dan Sangsi Muarapey (2010 mengemukakan bahwa untuk pencapaian tujuan sasi, maka oleh lembaga adat (kewang) di Negeri Liang merumuskan beberapa aturan/larangan terkait dengan
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 164 sistem kepemilikan /penguasaan dan pengelolaan sumberdaya hutan yang antara lain sebagai berikut: Tabel 22. Bentuk Larangan Negeri Liang
No
Larangan/Pantangan
Deskripsi
1
Mencuri hasil hutan
Masyarakat negeri Liang memiliki aturan yang melarang warganya untuk mencuri hasil hutan maupun hasil dusungg yang ada disekitar lingkungannya. Yang menjadi dasar atas diterbitkan larangan mencuri hasil hutan ini adalah masyarakat negeri Liang secara sadar dan percaya bahwa manusia tidak akan pernah puas dengan apa yang dimiliki dan akan mencoba mengusik apa yang menjadi milik orang. Artinya bahwa ketika seseorang tidak puas dengan hasil dusunggnya maka akan timbul rasa tertarik untuk mencuri hasil dusungg orang lain yang secara kebetulan berbatasan. Larangan seperti ini sangat diharapkan oleh masyarakat atau warga yang bermata pencaharian sebagai petani dusungg agar dusunggnya bisa aman dari tindakan pencuri
2
Menebang pohon
Masyarakat Liang melarang warganya untuk menebang pohon yang ada didalam hutan baik yang berada didalam dusunggnya atau yang berada didalam dusungg/kawasan hutan milik orang lain tanpa meminta ijin dari sipemilik atau raja selaku pemimpin negeri. Hal ini dilakukan sebagai bukti nyata sikap kecintaan terhadap sumberdaya hutan yang dipercaya telah memberikan kehidupan bagi mereka. Warga masyarakat Liang yakin dan percaya bahwa hutan adalah rumah mereka dan didalam hutan tersedia sumber daya dan bahan pangan bagi kehidupan mereka sehingga larangan seperti menebang pohon sangat pantas untuk dilaksanakan untuk menunjang kelangsungan hidup mereka.
3
Membuka ewang (Hutan Larangan membuka ewang bagi masyarakat Liang adalah untuk menjamin Primer) kepemilikan/penguasaan sesorang terhadap hak yang dimilikinya. Artinya bagi warga masyarakat Liang jika ada yang ingin mengusahakan atau memanfaatkan sumberdaya hutan pada lahan yang menjadi miliknya atau milik orang lain, maka perlu bagi si parusah untuk meminta ijin
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 165 dari sipemilik dusungg/kawasan hutan bagi yang bukan miliknya, kemudian jika akan dilakukan pada lahan miliknya maka harus meminta ijin kepada raja. Jika si parusah telah mendapat persetujuan maka raja akan memanggil kepala kewang untuk memberitahukan hal ini, dan selanjutnya melalui petugas kewang diberitahukan secara umum (tabaos) kepada masyarakat agar diketahui. Jika tidak, maka akan terjadi konflik. Mengingat begitu tinggi tingkat kebutuhan Mengambil dan menjual hasil hutan sebelum waktu masyarakat akan hasil hutan, maka masyarakat Liang mempunyai aturan yang melarang warga panen mengambil dan menjual hasil hutan sebelum waktu panen. Hal ini dilakukan untuk menghindari tindakan pencurian warga terhadap hasil hutan/dusungg milik orang lain yang biasa terjadi dalam lingkungan mereka.
Bagi masyarakat negeri Liang pohon damar merupakan jenis pohon yang dianggap sebagai pohon keramat/pohon yang dikeramatkan oleh masyarakat setempat. Mereka menganggap pohon damar sebagai manusia yang setiap saat merelakan darahnya guna menjamin kebutuhan hidup masyarakat. Sehingga merusak pohon damar dengan cara menebang dapat membawa malapetaka berupa banjir, erosi, kekeringan yang berkepanjangan, kebakaran hutan dan kemiskinan
4
Menebang pohon damar.
5
Memasuki hutan pada hari Masyarakat negeri Liang melarang warganya beraktivitas didalam hutan pada hari jumat, bagi jumat mereka hari jumat merupakan hari keramat/hari ibadah sehingga dilarang bagi siapapun berada didalam hutan. Mereka percaya bahwa pada hari jumat hutan lebih tenang atau sepi, kondisi ini memungkinkan untuk berbagai jenis biota dapat berkembangbiak dengan baik, Sehingga memungkinkan terlaksananya pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya untuk mencapai stabilitas ekologi yang maksimal.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 166 V. Pengellolaan Hutan untuk Tujuan Konsumsi Kayu Bakar Domestik di Pujanannting Kabupaten Barru
Hasil penelitian Bachtiar (2001) menunjukkan bahwa tingkat konsumsi kayu bakar rumah tangga per kapita di Kecamatan Pujananting bervariasi antara 0,2 m3 – 2,4 m3. Sebanyak 87,51 % dari responden menggunakan kayu bakar antara 0,5 m3 – 1,5 m3, dengan rata-rata 1,1 m3 perkapita, angka ini sedikit lebih rendah dari rata-rata konsumsi kayu bakar rumah tangga oleh masyarakat di Kecamatan Polombangkeng Utara Kabupaten Takalar, yaitu sebesar 1,3 m3 perkapita Bachtiar (2010) mengungkapkan bahwa tingkat konsumsi kayu bakar rumah tangga di Kecamatan Pujananting dapat dilihat pada Tabel 18 Tabel 23. Tingkat Konsumsi Kayu Bakar Rumah Tangga per Kapita di Kecamatan Pujananting (Sumber: Bachtiar, 2010)
No.
Tingkat Konsumsi (m3/orang/tahun
Responden Pemakai (%)
1.
< 0,5
26,13
2.
0,5 – 1,0
31,25
3.
1,1 – 1,5
30,13
4.
1.6 – 2,0
3,13
5.
> 2,0
9,36
Jumlah
100,00
Jenis-jenis Kayu yang Dikonsumsi untuk Kayu Bakar Rumah Tangga Lebih lanjut Bachtiar (2010 mengemukakan bahwa hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat empat jenis pohon yang paling banyak dimanfaatkan sebagai bahan bakar dalam rumah tangga di Kecamatan Pujananting Kabupaten Barru yaitu bitti (24,32 %), simputanan (23,42 %), jambu biji (20,72 %), dan lamtoro (11,71 %). Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 167 Tabel 24. Jenis-jenis Kayu yang Dipakai sebagai Bahan Bakar Kayu Bakar dalam Rumah Tangga di Kecamatan Pujananting Kabupaten Barru (Sumber: Bachtiar, 2010)
No
Nama Lokal/Indonesia
Nama Ilmiah
Persentase KK Pemakai (%) 24,32
1.
Bitti
Vitex cofassus
2.
Simputan
-
23,42
3.
Jambu Biji
Psidium guajava
20,72
4.
Lamtoro
Leucaena glauca
11,71
5.
Akasia
Acacia auriculiformis
9,13
6.
Jenis-jenis lain
-
10,70
Jumlah
100,00
Hasil penelitian Bachtiar (2010) tersebut menggambarkan bahwa pada Tabel 19 memperlihatkan bahwa ada tiga jenis kayu yang dominan dipakai sebagai bahan bakar dalam rumah tangga yaitu kayu bitti, simputan dan jambu biji. Hal ini dimungkinkan karena jenis kayu bitti banyak ditanam oleh masyarakat pada lahan-lahan mereka sebagai pembatas kebun atau sebagai tanda kepemilikan lahan ketika kebun mereka akan ditinggalkan atau diberakan. Adapun tujuan utama masyarakat menanam bitti ini adalah sebagai bahan baku pembuatan rumah terutama sebagai tiang dan sebagai salah satu bentuk tabungan dalam rumah tangga petani, karena kayu bitti ini mudah dijual dan laku di pasaran sehingga sewaktu-waktu dapat dijual untuk suatu kebutuhan yang mendesak. Bentuk pemeliharaan yang selama ini dilakukan oleh masyarakat terhadap pohon bitti ini, terutama untuk membentuk batang yang lurus dan silindris adalah pemangkasan, dan hasil pangkasan inilah yang mereka manfaatkan sebagai kayu bakar. Sedangkan jenis simputan dan jambu biji banyak dipilih masyarakat sebagai bahan bakar karena jenis-jenis tersebut memiliki energi yang tinggi serta mudah ditemukan karena merupakan jenis-jenis pionir yang banyak tumbuh di tempat-tempat terbuka
setelah hutan dieksploitasi. Dari Tabel 19 juga terlihat bahwa jenis pohon
penghijauan khususnya akasia telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai kayu bakar. Kenyataan ini mengingatkan kita semua bahwa ternyata di dalam menentukan jenisjenis pohon untuk tujuan rehabilitasi hutan dan lahan maupun pada kegiatan penghijauan, maka aspek yang paling penting dipertimbangkan adalah manfaat yang langsung dapat dirasakan oleh masyarakat, misalnya memilih jenis-jenis kayu yang memiliki nilai kalori tinggi yang dapat dijadikan sebagai kayu bakar. Selain itu jenis-jenis MPTS (Multi Purpose Tree Species) seperti mangga dan mente dapat dikembangkan pada kegiatan penghijauan
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 168 karena buahnya dapat dimakan dan dijual sehingga dapat menambah pendapatan rumah tangga, serta secara periodik dapat dipangkas dan hasil pangkasannya dapat dijadikan sebagai kayu bakar Tabel 25. Sumber Asal Kayu Bakar Rumah Tangga di Kecamatan Pujananting Kabupaten Barru (Sumber: Bachtiar, 2010)
No. Sumber Asal
Tingkat Penggunaan (%)
1.
Hutan
53,33
2.
Kebun/tegalan
41,67
3.
Pekarangan
5,00
Jumlah
100,00
Lebih lanjut hasil penelitian Bachtiar (2010) tersebut menggambarkan bahwa pada pada Tabel 20 terlihat bahwa ternyata hutan memegang peranan penting di dalam menyediakan kayu bakar rumah tangga masyarakat di Desa Bacu-Bacu. Dari total penggunaan kayu bakar rumah tangga oleh masyarakat sekitar 53,33 % atau lebih dari separuh dari total kayu yang meraka gunakan sebagai kayu bakar berasal dari hutan. Sumber kayu bakar yang lain berasal dari kebun yaitu sebesar 41,67 %, dan sisanya sebanyak 5,00 % berasal dari pekarangan rumah mereka.Fakta ini menyadarkan kita semua bahwa peranan hutan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat petani di pedesaan.
PENUTUP
Penugasan Mencari contoh kasus pengelolaan hutan berbasis masyarakat (diluar buku teks ini) baik didalam negri maupun luar negri. Deskripsikan terkait, sejarah, sistem kelembagaan lokal, peluang dan tantangan yang mereka hadapi
DAFTAR PUSTAKA
Alam S. 2007. Analisis Deskriptif Pola Konversi Hutan Kemiri Rakyat (HKR) di Kabupaten Maros. Jurnal Hutan dan Masyarakat Vol. II. No. 1 Tahun 2007 Hal 136144
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 169
Awang S. Afri, 2011. Hutan Desa Realitas Tidak Terbantahkan Sebagai Alternatif Model Pengelolaan Hutan di Indonesia. http://sanafriawang.staff.ugm.ac.id/hutandesa-realitas-tidak-terbantahkan-sebagai-alternatif-model-pengelolaan-hutan-diindonesia.html, akses 2 November 2011 Bachtiar, B . 2010. Inventarisasi Jenis Kayu yang Dimanfaatkan Sebagai Kayu Bakar Dalam Rumah Tangga Petani di Desa Bacu-Bacu Kabupaten Barru. Jurnal Hutan dan Masyarakat., Vol. 5, No.1, 2010 Halaman: 1 – 6. Laboratorium Kebijakan dan Kewirausahaan Kehutanan UNHAS. Makassar Bachtiar, B. dan M. Agung. 2001. Pola Konsumsi Kayu Bakar Rumah Tangga di Kecamatan Polombangkeng Utara Kabupaten Takalar. Majalah Ilmiah Flora dan Fauna Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang. Muspida. 2007. Keterkaitan Modal Sosial dalam Pengelolaan Hutan Kemiri Rakyat Di Kabupaten Maros Sualwesi Selatan. Jurnal Hutan dan Masyarakat. Vol. II, No. 3, Desember 2007. Laboratorim Kebijakan dan Kewirausahaan Kehutanan fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin. Makassar Supratman. 2009. Laporan Penyiapan dan Pembentukan Unit Pengelolaan Hutan Produksi Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan. Tidak dipublikasikan Muarapey A., 2010. Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan Hutan Di Negeri Liang Kabupaten Maluku Tengah. Jurnal Hutan dan Masyarakat., Vol. 5, No.1, 2010: 29 37. Laboratorium Kebijakan dan Kewirausahaan Kehutanan, Fakultas Kehutanan UNHAS.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 170
BAB VIII. INTERVENSI SOSIAL DALAM PRAKTEK DAN DISAIN PROGRAM KEHUTANAN MASYARAKAT
PENDAHULUAN
I. Tujuan Instruksional 1. Mahasiswa mampu mengenali intervensi sosial, fasilitasi dan riset aksi Kehutanan Masyarakat 2. Mahasiswa mampu mengenali alat-alat dan metode dalam fasilitasi dan penelitian aksi Kehutanan Masyarakat 3. Mahasiswa mampu mendisain program kehutanan masyarakat II. Proses Pembelajaran Pada pembelajaran ini akan dipakai Contextual Learning (Kunjungan Lapangan) dengan membahas konsep (teori) kaitannya dengan situasi nyata atau melakukan studi lapang di lokasi/ desa-desa lokasi praktek pengelolaan hutan berbasis masyarakat untuk mempelajari kesesuaian teori dengan kenyataan Pada tahap pertama Dosen membahas tentang ragam metode partisipatif yang digunakan dalam kehuatanan masyarakat seperti perbedaan konsep RRA dan PRA. Dosen memastikan apakah telah membaca hand out atau buku ajar terkait metode partisipatif dalam kehutanan masyarakat. Dosen meminta mahasiswa berpikir tentang, apa kata-kata muncul di pikiran ketika pembelajar/mahasiswa mendengar kata 'partisipasi'? Silakan menulis di kertas, dan membuat definisi., jawaban dapat berupa berkontribusi, mengambil bagian,. peran serta, mengambil bagian, saham,. bergabung, melibatkan diri, bottom-up, pengikutsertaan Dosen meminta memilih salah satu alat PRA dan RRA untuk dijelaskan pada pertemuan selanjutnya, setiap mahasiswa wajib menggunakan alat bantu seperti kertas plano untuk mendeskripsikan alat PRA dan PRA yang dipilih, tujuannya dan cara menggunakannya. Dosen meminta mengeksplorasi antara lain; 1.
Apa kekuatan dan kelemahan dari metode pendekatan itu?
2.
Apa yang berhasil? Apa yang tidak berhasil?
3.
Bagaimana permasalahan tersebut bisa ditangani lebih baik?
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 171 4.
Apakah ada masalah yang Anda telah mampu menyelesaikan dengan pendekatan partisipatif?
Pada tahap kedua Dosen membagi mahasiswa berdasarkan beberapa alat /pendekatan partisipatif, mahasiswa diminta untuk mereview alat yang berbeda, kemudian diminta untuk presentasekan Dosen mengevaluasi dan mempertajam temuan-temuan mahasiswa yang dipaparkan depan kelas Pada tahap ketiga (praktek/kunjungan lapangan) Pada tahap ini dosen akan meminta kelompok-kelompok mahasiswa mebuat desain pengelolaan kehutanan masyarakat di lokasi tertentu, desain tersebut dapat dilihat dari segi aspek tenurial, aspek kelembagaan, aspek usaha, dll. Dosen meminta mahasiswa mengelola kelompok praktek, adapun prosedurnya disesuaikan dengan prosedur yang telah ditetapkan oleh Fakultas Kehutanan Unhas
BAHAN PEMBELAJARAN
I. Intervensi Sosial Dalam sebuah diskusi dengan beberapa fasilitator sebuah program nasional pemerintah, ketika saya mengeksplorasi kira-kira penilaian situasi yang tepat dan bentuk intervensi apa yang dapat fasilitator lakukan, tiba-tiba beberapa kawan fasilitator enggan menggunakan kata intervensi, menurutnya kata intervensi itu seakan memiliki makna “pemaksaan”. Ketika pihak luar baik secara individu maupun institusi telah bekerja dalam sebuah komunitas lokal, maka disaat itu sedang berjalan intervensi sosial. Sehingga dengan ini kita tidak bisa pungkiri bahwa kita tidak bisa melepaskan diri dari intervensi sosial. Yang penting adalah bagaimana proses intervensi sosial tersebut bekerja untuk kepentingan orang dalam (masyarakat lokal). Bagaimana intervensi sosial tersebut bekerja sesuai dengan ide-ide murni masyarakat lokal tersebut. Bagaimana intervensi sosial tersebut berperan sebagai fasilitator yang mendorong kemandirian masyarakat lokal. Salah satu bentuk intervensi sosial adalah kegiatan dan atau program pemberdayaan masyarakat yang diinisiasi oleh pihak luar. Jika kita melihat prinsip dasar pemberdayaan masyarakat yang ditulis oleh Hakim, dkk (2010) antara lain; (1) penciptaan suasana atau
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 172 iklim yang memungkinkan berkembangnya potensi dan daya yang dimiliki oleh masyarakat, (2) memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat, dan (3) melindungi masyarakat melalui keberpihakan kepada masyarakat untuk mencegah dampak persaingan yang tidak sehat. Maka, kegiatan intervensi sosial ini memiliki relasi pada penciptaan kemandirian lokal menuju kehidupan yang berkualitas
II. Riset Aksi Partisipatif Secara sederhana ada tiga unsur dalam terma “Riset Aksi Partisipatif” yakni unsur penelitian, unsur aksi dan unsur partispatif Perdebatan secara meta wacana (ontologis dan epistemologis) dalam ilmu pengetahuan sangat berkembang terkait dasar pijakan riset aksi partisipatif ini.
Agusta
(2006) secara apik memberikan kompilasi atas metodologi yang ada sampai saat ini terkait pnelitian yang mentasnamakan partisipatif, antara lain; 1. Realisme-korespondensi; metodologi positivisme 2. Realisme-koherensi; metodologi pascapositivisme 3. Idealisme-korespondensi: metodologi konstruksivisme 4. Idealism koherensi;metodlogi hermeneutika 5. paragmatisme-koherensi:metodologi pascamodernisme 6. Paragmatisme-paragmatisme (dobel paragmatisme) : metodologu partisipatif (kaji tindak) Dalam ruang perdebatan tersebut, pada dasarnya terjadi diskursus yang menarik hubungan antara subjek pengetahuan, objek pengetahuan dan tindak pengetahuan. Peneliti ditempatkan pada posisi sebagai apa?, realitas sosial dipandang sebagai objek pengetahuan semata saja? Ataukah objek pengetahuan itu lebur dalam subjek pengetahuan?. Bagaimana tindak pengetahuan berupa teori-teori diletakkan? Hutabarat (2010) mengemukakan bahwa prinsip-prinsip riset yang berbasis paradigma positifistik memberi ruang dominan terhadap
penggunaan metode dan pendekatan
pendekatan yang dapat mengukur fakta sosial. Kemam puan pengukuran adalah yang utama, sehingga keberadaan parameter menjadi penting. Sedangkan parameter biasanya diperoleh dari pendekatan deduktif yang menempatkan teori, konsep dan indicator-indikator terdahulu sebagai kewajiban yang harus dirujuk oleh peneliti atau mahasiswa. Seringkali dalam sebuah penelitian sosial, seorang peneliti telah merancang desain penelitiannya berdasarkan teori-teori yang mapan sebelumnya. Akhir dari sebuah penelitian
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 173 juga terkadang hanya
menjadi dokumen dan kesenjangan anatara kemungkinan
diimplementasikan dan idealisme desain yang dihasilkan cukup besar. Fakta-fakta sosial yang terkadang berjalan sangat dinamis membutuhkan analisa yang komprehensif, bukan hanya pandangan para pihak tetapi juga keterlabatan aktif para pihak atau dapat disebut dengan pendekatan pragmatism-pragmatisme (dobel pragmatis baik pada subjek peneliti maupun objek kajian). Riset Aksi Partisipatif dapat dikategorekan sebagai salah satu metode yang dapat dipakai pada suasana seperti yang diulas sebelumnya. III. Fasilitasi dan Partisipatif 1. Defenisi Fasilitasi Ilmu fasilitasi secara teoritik tidak akan dibahas secara mendalam dalam tulisan ini karena lembar yang terbatas. Ilmu fasilitasi sendiri telah berkembang dengan sangat cepat, bahkan beberapa pendidikan tinggi dengan jenjang S2 (magister sains) menawarkan ilmu ini secara lebih detail. Pengertian fasilitasi berasal dari kata facil yang artinnya mempermudah. Fasilitasi dibutuhkan ketika berada pada suasana kemacetan saluran-saluran komunikasi, proses perubahan sosial yang mandek, dll. Dalam konteks Kehutanan Masyarakat, ada banyak kebutuhan akan fasilitasi. 2. Etis dan Emik Dalam ilmu sosiologi terdapat dua kategori dalam memandang komunitas lokal yakni dalam sudut panang orang dalam (emik) dan dalam sudut pandang orang luar (emik). Penulis sering sekali mendengar perspektif yang begitu kuat dari sisi etis orang luar terhadap komunitas lokal, tidak jarang perspektif itu mengandung unsur penuh kecurigaan, menyalahkan bahkan unsur kampanye negatif terhadap sebuah komunitas. Wiliam-de Vries de Vries (2006) memberikan contoh bahwa
seringkali terjadi karena
program dan kegiatan yang ditawarkan (atau dipaksakan) pada kelompok dampingan tersebut lebih banyak diinisiasi oleh pihak luar (bukan berdasarkan ide yang digali dari komunitas itu sendiri). Dengan demikian, kelompok lokal hanya mengikuti agenda si pemberi ide, tanpa mempunyai peluang untuk berpikir apakah kegiatan tersebut sesuai atau bertentangan dengan kepentingan mereka atau malah membuat maskalah dengan kondisi lokal yang ada di sekitar mereka. Sayangnya, jika program kegiatan tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan, kita serta merta „menghakimi‟ bahwa program tersebut gagal, komunitas lokal tidak co-operative dalam berproses, kondisi lokal tidak mendukung atau bahkan menyalahkan fasilitator yang tidak bisa „mendorong‟ kelompok dampingannya untuk berkembang sesuai dengan tujuan
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 174 program. Pernahkah terpikir oleh kita bahwa mungkin „kegagalan‟ dalam berproses tersebut kemungkinan adalah bentuk keberhasilan sistem lokal? Atau bahkan kegagalan tersebut memunculkan ide-ide brilian di dalam komunitas yang luput dari perhatian kita? Dalam melakukan proses fasilitasi, mengedepankan sisi emik sangat diperlukan. Sehingga tujuan utama proses pemberdayaan masyarakat dapat dicapai. Pendekatan sisi etik biasanya dipakai dalam kerangka pembangunan (development) dengan modus pelayanan publik pemerintah yang menganggap masyarakat hanyalah sebagai objek pembangunan. Sedangkan sisi emik berorientasi pada pemberdayaan (empowerment) yang melihat masyarakat lokal beserta entitasnya sebagai kesatuan yang memiliki kesadaran kolektif yang esesnsial untuk difasilitasi menuju kemandirian lokal. 3. Contoh proses fasilitasi pembangunan hutan desa Kab. Bantaeng
Jaringan Strategis
Dokumentasi
Penguatan Aktor dan Kelembagaan Lokal
Dukungan Politik Lokal
Kesepahaman Para Pihak
Penguatan LSM /Pendamping Lokal
Implementasi Program Adaptif
Analisis Situasi
Evaluasi Program
Asesment Kapasitas Para Pihak
Gambar 26. Bangunan Fasilitasi Pembangunan Hutan Desa, Hasil Pembelajaran di Kabupaten Bantaeng. (Sumber : Sahide, 2011)
Contoh proeses fasilitasi pembangunan hutan desa Kab. Bantaeng disadur dari buku penulis (Sahide, 2011).
Dikemas dengan merangkum 10 point pokok selama proses
pendampingan pembangunan hutan desa Kab. Bantaeng. Selayaknya membangun rumah, kita harus memulai dengan pondasi yang kuat, kemudian membangun kamar dan atapnya. Hasil
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 175 pembelajaran pembangunan Hutan Desa di Kabupaten Bantaeng bahwa pondasi awal program ini adalah mesti mempersyaratkan kesepahaman para pihak, analisis situasi dan assessment kapasitas para pihak. Tip 1 : Fasilitator Mesti Membangun Kesepahaman Awal Para Pihak Membangun kesepahaman adalah milestone (tonggak pencapaian) awal yang harus dicapai oleh semua program kehutanan masyarakat, tidak terkecuali Hutan Desa. Kesepahaman awal ini bukanlah berarti kesepakatan-kesepakatan normatif tetapi hubungan psikologis dan penetrasi program mulai dibangun dan dipahami oleh para pihak. Kesepahaman ini penting untuk direncanakan dan diupayakan agar para pihak mengerti maksud dan alur jenis intervensi sosial dan sekaligus momentum untuk menganalisis situasi ditahap awal. Tip 2 : Fasilitator Mesti Sadar Konteks untuk Analisis Situasi Konteks menjadi penting untuk menempatkan suatu progam (Hutan Desa) dalam situasi kemasyarakatan. Sudut pandang sosiologis, poltik dan ekonomi perlu dilihat dalam analisa situasi penempatan Hutan Desa dalam program pembangunan di desa dan wilayah yang bersangkutan. Fasilitator mesti sadar bagaimana menempatkan posisinya dalam berbagai kepentingan yang ada dalam konteks tersebut. Tip 3 : Fasilitator dan Assessment Kapasitas Kapasitas menjadi penting dalam pengembangan program kehutanan masyarakat, tidak terkecuali Hutan Desa.
Kapasitas yang memadai sebaiknya tidak hanya dimiliki oleh
fasilitator, akan tetapi aktor-aktor pelaku dan pendukung lain dalam proses fasilitasi yang dilakukan. Karena fasilitator tidak bekerja sendiri, akan tetapi dia akan memainkan sebuah tim yang mana sebuah standar kapasitas harus dipunyai. Tim yang merupakan mitra kerja fasilitator dalam mengembangkan program Hutan Desa. Tip 4 : Fasilitator dan Dukungan Politik Lokal Beberapa tahapan administrasi pengusulan dan pengelolaan Hutan Desa memerlukan dukungan politik yang kuat dan strategis. Politik yang dimaksud bukan politik praktis, akan tetapi bagaimana mendinamisir kekuatan politikdalam ranah pemberdayaan masyarakat lokal. Beberapa momentum politik juga perlu dibangun dan dimanfaatkan untuk menginisiasi dan mengembangkan kehutanan masyarakat, dalam hal ini Hutan Desa. Tip 5 : Fasilitator Mesti Melakukan Evaluasi Secara Periodik Periodesasi evalasi menjadi penting untuk menjaga konsistensi dalam
melakukan
proses ini secara teratur dan terencana, walaupun upaya reflektif sebenarnya bisa dilakukan kapan saja.
Dalam pengembangan Hutan Desa, evaluasi menjadi penting mengingat
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 176 perkembangan sosial masyarakat selalu bergerak dinamis. Walau demikian, evaluasi akan menjadi sia-sia jika tidak diikuti dengan tindak lanjut atas apa yang direfleksikan. Karenanya, agenda yang jelas dan terukur seyogyanya menjadi tindak lanjut setelah evaluasi dilakukan. Tip 6 : Fasilitator Mesti Mengimplementasikan Program Secara Adaptif Implementasi program secara adaptif tentunya disesuaikan dengan hasil evaluasi yang ada. Pada tingkat komunitas pun situasi akan berubah, bahkan kadang lebih sering dari yang dibayangkan. Fasilitator mesti responsif dengan situasi tersebut seperti mengadaptasikan metodologi ataupun anggaran Tip 7 : Fasilitator dan Penguatan Aktor/Kelembagaan Lokal Fasilitasi harus mampu memainkan seni fasilitasinya dalam mengelola dinamika sosial kelembagaan dan aktor-aktor lokal yang ada untuk mendukung program Hutan Desa yang dilakukan. Biasanya kelembagaan dan para aktor lokal mempunyai mekanisme tersendiri dalam mengatasi berbagai persoalan yang ada, dimana kadang fasilitator harus menyerahkan proses ini melalui mekanisme lokal yang ada. Kelembagaan lokal juga perlu didukung oleh aktor lokal yang kuat dengan kapasitas yang memadai.
Karenanya selain peningkatan
kapasitas aktor-aktor lokal, perlu juga diberikan kesempatan kepada mereka untuk mengembangkan diri melalui berbagai kesempatan pertemuan di luar wilayah. Aktor-aktor lokal ini juga dapat didorong untuk mengembangkan kerjasama antar lembaga yang ada pada lintas desa, seperti membentuk Forum Rembug Hutan Desa. Tip 8 : Fasilitator dan Penguatan LSM Lokal Keberadaan LSM Lokal menjadi mitra strategis dalam pengembangan dan percepatan program kehutanan masyarakat, tidak terkecuali Hutan Desa. LSM Lokal tentu berbeda dengan kelembagaan lokal yang ada, dimana maksud dan komitmen para anggotanya tentu juga berbeda. Penguatan kapasitas LSM Lokal menjadi penting dilakukan agar kerja-kerja fasilitator dapat lebih cepat tertranformasi kepada mereka.
Selain pelatihan khusus,
mengikutsertakan mereka sebagai peserta, panitia, bahkan kesempatan sebagai fasilitator akan mempercepat proses tranformasi tersebut. Tip 9 : Fasilitator Mesti Mendokumentasikan Proses Pendampingan Catatan harian, mingguan atau bulanan maupun catatan hasil-hasil diskusi adalah dokumentasi periodik yang sebaiknya dilakukan oleh fasilitator. Lintasan pemikiran, perdebatan dan dinamika yang dialami fasilitator selama proses pengembangan program sangat penting juga dicatat sebagai proses dokumentasi yang lebih mendalam. Ketika
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 177 seorang fasilitator mendokumentasikan proses-proses pendampingan programnya (tidak terkecuali Hutan Desa) maka ia akan menjadi pelaku dari sejarah Hutan Desa yang ada.
Tip 10 : Fasilitator dan Jaringan Strategis Jaringan strategis perlu dibangun dan dikembangkan agar dukungan dapat diperluas, tidak terkecuali jaringan strategis Hutan Desa. Jaringan strategis dibangun dengan tokohtokoh penting dan kunci dalam pengembangan Hutan Desa, seperti kepala desa, tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, LSM Lokal, dan pemerintahan, serta universitas. Jejaring ini sangat dibutuhkan dalam proses belajar, evaluasi dan manajemen informasi dalam mengawal keberlanjutan program Hutan Desa dan menyebarkannya ketempat lain. Kesinambungan program juga sangat ditentukan oleh jejaring strategis yang mesti diupayakan.
Dalam pengembangan Hutan Desa di Bantaeng,
fasilitator mendorong
masuknya tokoh-tokoh kunci masyarakat lokal 4. Pendekatan Partisipatif Pengertian partisipatif menurut Robert Chambers adalah pertisipasi dalam ati bahwa masyarakat terlibat langsung dalam setiap tahapan proses. Menurut Pretty, dkk. (1995) partisipasi adalah proses pemberdayaan masyarakat sehingga mampu menyelesaikan sendiri masalah yang dihadapinya.
Gambar 27. Suasana Pelatihan Partisipatif difasiltasi oleh RECOFTC kerjasama Fakultas Kehutanan UNHAS Defenisi Pendekatan Partisipatif (Participatory Approaches) sering juga mengalami varian nama seperti Proses Multi-pihak (Multi-Stakeholder Proces). Dalam situs Wikipedia
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 178 2012 digambarkan bahwa Pendekatan partisipatif merupakan pendekatan yang digunakan oleh organisasi-organisasi non-pemerintah (LSM) dan badan-badan lain yang terlibat dalam pembangunan internasional. Pendekatan ini bertujuan untuk menggabungkan pengetahuan dan pendapat dari pedesaan / masyarakat setempat dalam perencanaan dan pengelolaan proyek dan program pembangunan. Daniel (2005) juga mendefenisikannya sebagai Metode yang ditempuh dengan memobilisasi sumber daya manusia dan alam setempat, serta lembage lokal guna mempercepat peningkatan produktivitas, menstabilkan, dan meningkatkan pendapatan masyarakat serta mampu pula melestarikan sumber daya setempat atau Pendekatan partisipatif adalah pendekatan yang dapat digunakan untuk memfasilitasi pembangunan oleh dan untuk masyarakat lokal. Sejarah pengenalan pendekatan partisipatif Paulo Freire adalah orang Brazil, seorang sosialis, seorang filsuf tetapi terutama sebagai seorang pendidik kaum miskin, bersikeras bahwa "pendidik dan mahasiswa, meskipun berbagi hubungan sosial demokratis pendidikan, tidak pada pijakan atau tingkat yang sama, tapi pendidik harus cukup rendah hati dan bersedia untuk mempelajari kembali apa yang dia pikir dia sudah tahu, melalui interaksi dengan pelajar ".Jadi dalam arti tertentu, Freire mempromosikan cara yang lebih demokratis untuk mendidik, dan lebih memperhatikan peran mahasiswa atau pelajar dalam proses belajar bersama. Pada Tahun 80-an ada ketidakpuasan akan tumbuh metode survei formal dan bias mereka (bias gender, bias pinggir jalan (roadside bias), bias waktu, bias orang, dan bias proyek) dan kekakuan
dalam
berusaha
untuk
mencapai
pembangunan yang berkelanjutan dan bermakna. Dan Robert Chambers, seorang eksponen utama dari PRA, menekankan dan mendukung salah satu argumen utama Freire, yaitu bahwa "orang-orang miskin Gambar 28. Foto Ilustrasi Robert Chambers
dan
dieksploitasi
dapat
dan
harus
diaktifkan untuk menganalisis realitas mereka sendiri". Ia kemudian meluncurkan istilah baru
„Rapid Rural Appraisail‟ (RRA) sebagai istilah untuk teknik dan alat bantu untuk memfasilitasi ide ini. Metode-metode tersebut namun terutama difokuskan pada sektor pertanian pedesaan dan lebih ke penelitian dan di tahun 90-an karena itu, istilah seperti
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 179 'Participatory Rural Appraisal (PRA)' dan 'Partisipatif Learning and Action (PLA) muncul yang juga berlaku sebagai alat untuk belajar di bidang lain serta di wilayah perkotaan. Tabel 26. Perbedaan antara RRA dan PRA (dari ragam sumber)
RRA
PRA
Periode pengembangan : akhir 70-an dan 80-
Periode pengembangan: akhir 80-an dan
an.
90-an
Pengguna utama : lembaga donor, universitas,
Pengguna utama: LSM dan pemerintah
dan lembaga penelitian
lokal yang bergerak di lapang
Tujuan ideal: belajar dari luar
Tujuan ideal: kekuatan masyarakat
Sumber yang sering terlupakan: pengetahuan
Sumber yang sering terlupakan:
masyarakat setempat
pemberdayaan masyarakat.
Fokus utama: penggalian (extractive)
Fokus utama: peran serta (participatory)
Hasil akhir jangka panjang: perencanaan,
Hasil akhir jangka panjang: aksi
proyek, dan publikasi
masyarakat yang berlanjut, termasuk kelembagaan
Tipologi Tangga Partisipasi Arnstein (1969). Pendekatan partisipatif berdasarkan pada sama-sama memiliki hak untuk mengambil keputusan (decision making). Pendekatan ini merupakan respon terhadap 'pendekatan topdown‟ untuk pembangunan, di mana kekuasaan dan pengambilan keputusan sebagian besar di tangan profesional pembangunan eksternal.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 180 Sherry Arnstein adalah salah satu tokoh yang pertama kali (1969) mendefinisikan strategi partisipasi yang didasarkan pada distribusi kekuasaan antara masyarakat (komunitas) dengan institusi pemerintah).
Seperti yang dikutip pada blog BebasBanjir 2015 bahwa
dengan partisipasi masyarakat identik dengan kekuasaan masyarakat (citizen partisipation is citizen power), Arnstein menggunakan metafora tangga partisipasi dimana tiap anak tangga mewakili strategi partisipasi yang berbeda yang didasarkan pada distribusi kekuasaan. Berikut
tangga partisipasi (ladder of citizen participation) Arnstein, 1969, yang
diterjemahkan oleh blog BebasBanjir 2015.
Gambar 29. Tangga Partisipasi Arnstein (1969) Tangga terbawah merepresentasikan kondisi tanpa partisipasi (non participation), meliputi: (1) manipulasi (manipulation) dan (2) terapi (therapy). Kemudian diikuti dengan tangga (3) menginformasikan (informing), (4) konsultasi (consultation), dan (5) penentraman (placation), dimana ketiga tangga itu digambarkan sebagai tingkatan tokenisme (degree of tokenism). Tokenisme dapat diartikan sebagai kebijakan sekadarnya, berupa upaya superfisial (dangkal, pada permukaan) atau tindakan simbolis dalam pencapaian suatu tujuan. Jadi sekadar menggugurkan kewajiban belaka dan bukannya usaha sungguh-sungguh untuk melibatkan masyarakat secara bermakna. Tangga selanjutnya adalah (6) kemitraan
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 181 (partnership), (7) pendelegasian wewenang / kekuasaan (delegated power), dan (8) pengendalian masyarakat (citizen control). Tiga tangga terakhir ini menggambarkan perubahan dalam keseimbangan kekuasaan yang oleh Arnstein dianggap sebagai bentuk sesungguhnya dari partisipasi masyarakat. 1. Manipulasi (manipulation). Pada tangga partisipasi ini bisa diartikan relatif tidak ada komunikasi apalagi dialog; tujuan sebenarnya bukan untuk melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan program tapi untuk mendidik atau ”menyembuhkan” partisipan (masyarakat tidak tahu sama sekali terhadap tujuan, tapi hadir dalam forum). 2. Terapi (therapy). Pada level ini telah ada komunikasi namun bersifat terbatas. Inisiatif datang dari pemerintah dan hanya satu arah. Tangga ketiga, keempat dan kelima dikategorikan sebagai derajat tokenisme dimana peran serta masyarakat diberikan kesempatan untuk berpendapat dan didengar pendapatnya, tapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Peran serta pada jenjang ini memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk menghasilkan perubahan dalam masyarakat. 3. Informasi (information). Pada jenjang ini komunikasi sudah mulai banyak terjadi tapi masih bersifat satu arah dan tidak ada sarana timbal balik. Informasi telah diberikan kepada masyarakat tetapi masyarakat tidak diberikan kesempatan melakukan tangapan balik (feed back). 4. Konsultasi (consultation). Pada tangga partisipasi ini komunikasi telah bersifat dua arah, tapi masih bersifat partisipasi yang ritual. Sudah ada penjaringan aspirasi, telah ada aturan pengajuan usulan, telah ada harapan bahwa aspirasi masyarakat akan didengarkan, tapi belum ada jaminan apakah aspirasi tersebut akan dilaksanakan ataupun perubahan akan terjadi. 5. Penentraman (placation). Pada level ini komunikasi telah berjalan baik dan sudah ada negosiasi antara masyarakat dan pemerintah. Masyarakat dipersilahkan untuk memberikan saran atau merencanakan usulan kegiatan. Namun pemerintah tetap menahan kewenangan untuk menilai kelayakan dan keberadaan usulan tersebut. Tiga tangga teratas dikategorikan sebagai bentuk yang sesungguhnya dari partisipasi dimana masyarakat memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan. 6. Kemitraan (partnership). Pada tangga partisipasi ini, pemerintah dan masyarakat merupakan mitra sejajar. Kekuasaan telah diberikan dan telah ada negosiasi antara masyarakat dan pemegang kekuasaan, baik dalam hal perencanaan, pelaksanaan, maupun monitoring dan evaluasi. Kepada masyarakat yang selama ini tidak memiliki akses untuk
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 182 proses pengambilan keputusan diberikan kesempatan untuk bernegosiasiai dan melakukan kesepakatan. 7. Pendelegasian kekuasaan (delegated power). Ini berarti bahwa pemerintah memberikan kewenangan kepada masyarakat untuk mengurus sendiri beberapa kepentingannya, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, sehingga masyarakat memiliki kekuasaan yang jelas dan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap keberhasilan program. 8. Pengendalian warga (citizen control). Dalam tangga partisipasi ini, masyarakat sepenuhnya mengelola berbagai kegiatan untuk kepentingannya sendiri, yang disepakati bersama, dan tanpa campur tangan pemerintah. IV. Alat-Alat Analisis Alat itu antara lain adalah : 1. Dinamika kelompok, misalnya kontrak belajar, pembalikan peran (role reversals), sesi umpan balik 2. Sampling, misalnya berjalan transek (transect walk), peringkat kekayaan (wealth ranking), pemetaan sosial (social mapping) 3. Wawancara, misalnya diskusi fokus kelompok (FGD), wawancara semi-terstruktur, triangulasi 4. Visualisasi, misalnya Bagan Hubungan Kelembagaan (Venn Diagram) , bagan peringkat (matrix ranking), alur sejarah (timeline) Pendekatan Partisipatif diterapkan dan membantu pada berbagai isu KM antara lain; a.
mata pencaharian dan pengelolaan sumber daya alam
b.
isu-isu kesehatan dan kecacatan;
c.
pendidikan dan pembelajaran;
d.
gender dan pembangunan;
e.
mobilisasi masyarakat;
f.
keterlibatan dalam pemerintahan. Ada yang kita lupakan? Pendekatan partisipatif dapat menjadi alat yang penting
dalam membangun kapasitas organisasi. Jadi, semua siswa kehutanan pasti dapat menggunakan Pendekatan Partisipatif dalam pekerjaan untuk menangani: konflik, perencanaan dan pelaksanaan proyek, penilaian desa, sebagai alat penelitian, bahkan umpan balik atau alat evaluasi, dll.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 183 Contoh Alat-Alat PRA a. Dinamika kelompok, misalnya kontrak belajar, pembalikan peran (role reversals), sesi umpan balik b.
Sampling, misalnya berjalan transek (transect walk), peringkat kekayaan (wealth ranking), pemetaan sosial (social mapping)
c.
Wawancara, misalnya diskusi fokus kelompok (FGD), wawancara semi-terstruktur, triangulasi
d.
Visualisasi, misalnya Bagan Hubungan Kelembagaan (Venn Diagram) , bagan peringkat (matrix ranking), alur sejarah (timeline)
1.
Pohon Masalah dan Pohon Potensi/ Tujuan Menemukan akar masalah terkadang menjadi alat yang pertama dan utama dalam
sebuah penilaian situasi sebuah komunitas di awal intervensi program KM. Disebut teknik analisa masalah karena melalui teknik ini, dapat dilihat „akar‟ dari suatu masalah, dan kalau sudah dilaksanakan, hasil dari teknik ini kadang-kadang mirip pohon dengan akar yang banyak.. Analisa Pohon Masalah sering dipakai dalam masyarakat sebab sangat visual dan dapat melibatkan banyak orang dengan waktu yang sama. Teknik ini dapat dipakai dalam situasi yang berbeda, tapi yang lebih penting dari itu, teknik ini dapat digunakan terutama untuk menelusuri penyebab suatu masalah. Teknik ini adalah teknik yang cukup fleksibel. Melalui teknik ini, orang yang terlibat dalam memecahkan satu masalah dapat melihat penyebab yang sebenarnya, yang mungkin belum bisa dilihat kalau masalah hanya dilihat secara sepintas. Teknik Analisa Pohon Masalah harus melibatkan orang setempat yang tahu secara mendalam masalah yang ada. Jika persoalan sedemikian sitemik terkadang akar masalah mejadi akibat dari suatu masalah, sehingga membuat pohon masalah dapat ditambahkan dengan panah sebab akibat. Langkah-langkah membuat pohon masalah 1.
Diskusikan bersama masyarakat, masalah apa yang ingin diselesaikan. (Brainstorm masalah yang tepat, spesifik, tanpa pendapat/ interpretasi) Tentutakan masalah utama, yang menurut masyarakat perlu diselesaikan.
2.
Tulisan masalah utama yang mau diatasi ditulis di kartu metaplan, lalu di tempel di lantai atau dinding sebagai „batang‟ pohon.
3.
Mulai dari batang, diskusikan mengenai penyebab-penyebab.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 184 4.
Dari setiap penyebab yang muncul, tanyakan lagi „kenapa begitu?, „apa penyebabnya?‟ Untuk mempermudah cara pikir, dan mencek bahwa tidak ada yang dilupa, menganggap bahwa setiap masalah adalah akibat
5.
Dari kondisi lain – Tanyalah „Kondisi ini adalah akibat dari apa?‟ Akhirnya akan muncul gambar yang lengkap mengenai penyebab-penyebab dan akibatnya – hasilnya akan sangat terinci. Komentar apa saja yang dikeluarkan sebagai penyebab dapat ditulis supaya makin komplit. Setelah selesai, semua komentar bisa dikaji kembali.
6.
Akar dibahas sampai mendalam sehingga akhirnya masalah terakhir dalam satu akar akan dibalik dan menjadi kegiatan atau rencana tindak lanjut
7.
Langkah-langkah ini pada akhirnya memunculkan satu gambar yang lengkap dan terinci - dengan akar yang diwakili oleh penyebab masalah, dan akibat dari masalah tersebut.
8.
Setelah gambar selesai, tanyakan cara yang terbaik untuk mengatasi masalah-masalah yang muncul.
9.
Kalau sudah lengkap, ajaklah masyarakat (tanpa terkecuali) untuk melihat secara keseluruhan masalah-masalah akar dari masalah utama.
10.
Juga mintalah komentar, apakah ada penyebab yang muncul beberapa kali walaupun dalam „akar‟ lain? Dari semua informasi yang muncul, diperlihatkan apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah akar sehingga akibat diatas tidak terjadi. Jika akibat diatas masih terjadi, berarti masih ada masalah yang perlu diatasi. Titik kritis dalam teknis analisis pohon masalah dan pohon tujuan antara lain;
a. Identifikasi masalah utama (yang perlu dipecahkan) b. Identifikasi penyebab masalah tersebut (curah pendapat) c. Mengelompokkan sebab-sebab tersebut d. Mengidentifikasi tingkatan penyebab e. Menentukan tujuan dan harapan (keluaran) f. Memprioritaskan penyebab yang paling mendesak g. Memprioritaskan harapan yang paling efektif, mudah dan realistis untuk dicapai
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 185
Berikut ini disajikan gambar contoh hasil Analisis Pohon Masalah berdasarkan hasil penelitian Sahide, dkk (2010) dalam merumuskan struktur masalah
pembangunan HTR di
Sulawesi Selatan Sistem Kelembagaan Pengelolaan HTR berjalan lamban dan tidak sinergis
Peraturan yang belum cukup dimengerti oleh semua pihak terutama pengambil keputusan (Bupati)
Kurangnya kepercayaan Dinas terhadap kemampuan masyarakat mengelola hutan
Sosialisasi tidak efektif Belum menyeluruhnya pemahaman tentang paradigma pemberdayaan masyaralat dalam sekitar hutan
Pengurusan HTR tidak menjadi prioritas pemerintah lokal tetapi berjalan dengan inisiasi individual
Usulan program & perizinan pemanfaatan dari bawah berjalan lamban
Alokasi pendanaan untuk memperkuat Pelayanan kepada masyarakat dalam memperoleh izin tidak dianggarkan dan diprioritaskan
LSM lokal dan Penyulu h Kehutan an belum dioptima lkan dalam proses pengusul an HTR
Mekanisme Pengusulan HTR terlalu birokratis, terkendala di persoalan sketsa peta
Komunikasi antara Kemenhut dan Pemda untuk mewujudkan perizinan masih kurang
Gambar 30. Analisis Masalah Pembangunan HTR di Sulawesi Selatan (Sumber : Sahide, dkk (2010)
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 186 2.
Bagan Hubungan Kelembagaan (Diagram Venn) Diagram Venn merupakan teknik yang bermanfaat untuk melihat hubungan
masyarakat dengan berbagai lembaga yang terdapat di desa (dan lingkungannya). Diagram Venn memfasilitasi diskusi masyarakat untuk mengidentifikasi pihak-pihak apa berada di desa, serta menganalisa dan mengkaji perannya, kepentingannya untuk masyarakat dan manfaat untuk masyarakat. Lembaga yang dikaji meliputi lembaga-lembaga lokal, lembagalembaga pemerintah, perguruan tinggi dan lembaga-lembaga swasta (termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat). Diagram Venn bisa sangat umum atau topikal; mengenai lembagalembaga tertentu saja, misalnya yang kegiatannya berhubungan dengan penyuluhan pertanian saja, kesehatan saja atau pengairan saja. Teknik ini bertujuan memperoleh data tentang: 1. Pengaruh lembaga/ tokoh masyarakat yang ada di wilayah terhadap kehidupan dan persoalan warga masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan. 2. Tingkat kepedulian dan frekwensi lembaga/tokoh masyarakat dalam membantu memecahkan persoalan yang dihadapi oleh warga masyarakat Bagaimana membuat Diagram Venn? Diagram Venn dapat dibuat di atas kertas atau di tanah. Sering kali dipakai kertas (yang digunting dalam bentuk lingkaran) dan spidol. Langkah-langkah dalam pelaksanaan Diagram Venn meliputi: 1.
Mintalah kepada peserta pertemuan baik laki-laki dan perempuan untuk membentuk beberapa kelompok dengan anggota 5-10 orang. Jika perlu minta kelompok yang dibentuk menurut jenis kelamin.
2.
Bahaslah dengan masyarakat lembaga-lembaga yang terdapat di desa (lembagalembaga yang terkait dengan topik yang akan dibahas)
3.
Catatlah daftar lembaga-lembaga pada flipchart (kertas potongan)
4.
Guntinglah sebuah lingkaran kertas yang menunjukkan masyarakat
5.
Sepakatilah mengenai simbol-simbol yang dipergunakan, misalnya:
besarnya lingkaran: menunjukkan pentingnya lembaga-lembaga tersebut menurut pemahaman masyarakat. Semakin penting suatu lembaga maka semakin besar lingkaran
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 187
jarak dari tingkatan masyarakat: menunjukkan pengaruh lembaga tersebut menurut pemahaman masyarakat. Semakin dekat dengan lingkaran masyarakat maka lembaga tersebut semakin berpengaruh.
6.
Tulislah kesepakatan simbol-simbol tersebut pada flipchart agar mudah diingat oleh masyarakat
7.
Bahaslah apakah lembaga-lembaga tersebut „penting‟ menurut pemahaman masyarakat dan menyepakati besarnya lingkaran yang mewakili lembaga tersebut
8.
Guntinglah kertas-kertas yang berbentuk lingkaran yang besarnya sesuai dengan kesepakatan, tulislah nama lembaga tersebut pada lingkaran itu
9.
Letakkanlah lingkaran masyarakat di atas lantai
10.
Bahaslah bagaimana manfaat lembaga tersebut terhadap masyarakat yang ditunjukkan oleh jaraknya dari lingkaran masyarakat
11.
Kalau semua lembaga telah ditempatkan, periksalah kembali dan diskusikan kebenaran informasi tersebut
12.
Buatlah perubahan kalau memang diperlukan.
13.
Diskusikan bersama masayarakat permasalahan dan potensi masing-masing lembaga.
14.
Simpulkan bersama masyarakat apa yang dibahas dalam diskusi.
15.
Tim yang bertugas sebagai pencatat proses, bertugas mendokumentasi semua hasil diskusi dan kalau pembuatan diagram dan diskusi sudah selesai, diagram digambar kembali atas kertas (secara lengkap dan sesuai gambar masyarakat).
Kita mau bahas masalah”ilegal logging”. Yang perlu diperhatikan pentingnya suatu lembaga terhadap masyarakat (yang ditunjukkan oleh besarnya lingkaran) belum tentu dirasakan manfaatnya oleh masyarakat (yang ditunjukkan oleh jarak dari lingkaran masyarakat)
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 188
Lembaga Adat
Dishut
Adat Karang Masyarakat dusun Taruna sendie
Dishut
LKMD Kelompok Tani
Koperasi
Klpk Tani
Desa tetangga Bungae
Gambar 31. Contoh Bagan Hubungan Kelembagaan/Diagram Venn
Kendala utama dalam Pendekatan Partisipatif antara lain a. Memakan waktu b. Non spesifik / non fokus c. Bahasa hambatan sebagai fasilitator asing maupun dari luar Desa d. Ketidakpekaan budaya (cultural insensitivity) dari fasilitator e. Kegagalan untuk mengenali dinamika kelompok. f. Dianggap kekanak-kanakan dan tidak menghormati kepada mereka yang memiliki pendidikan tinggi (dapat dipecahkan) Beberapa tips dan pengingat dari pengalaman beberapa fasilitator lapangan a. Keterlibatan heterogen sangat penting (elit, miskin, perempuan, laki-laki, lansia, remaja, cacat, dll)
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 189 b. Mengetahui benar peserta (tingkat pendidikan, melek huruf (literacy), latar belakang budaya) c. Cukup tahu, jangan tahu terlalu banyak (ini adalah nilai tambah fasilitator dari luar) Tapi buatlah juga tim fasilitator yang multidisiplin. d. Sikap adalah kunci: fleksibel, rendah hati dan mendengarkan; e. Perilaku: mencoba untuk berperilaku sesuai dengan aturan dan peraturan, sejauh mungkin, dan menghormati kebudayaan mereka dan keyakinan: kita semua adalah 'benar' dalam keyakinan kita sendiri; f. Pemberdayaan
(empowerment):
Penggunaan
PA
adalah
seharusnya
untuk
memberdayakan masyarakat, bukan untuk kita untuk hanya mengekstrak informasi dari mereka dan menulis tentang hal ini dan untuk kemudian tidak memberikan kembali kepada mereka; g. Ketekunan (perseverence): jangan biarkan 'elit' atau orang yang kuat di masyarakat memberitahu Anda apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan. Ini membutuhkan pengalaman dan mungkin sedikit keras kepala; h. Menjalankan prinsip triangulasi, data hendaknya di check dan recheck dengan alat-alat lainnya baik primer maupun sekunder. Jangan hanya mengandalkan kepada hasil dari wawancara seorang tokoh masyarakat saja misalnya, data sekunder kuantitatif atau data statistik masih sangat relevan dalam memberikan kita jawaban yang benar atau definitif, dua-duanya hasil seharusnya saling melengkapi; i. Jangan memberi harapan, tetapi selalu menekankan bahwa pembangunan adalah sebuah proses yang mereka dapat memfasilitasi mereka sendiri dari dalam dan tidak selalu bergantung pada pihak luar; j. Tanyakan pertanyaan terbuka, dan bersabarlah untuk semua jawaban tersebut; k. Fasilitator bukan malaikat atau tukang sulap, tetapi fasilitator datang ke desa dapat menyebabkan perubahan yang mempercepat proses pembangunan atau sebagai katalisator. 3.
Analisis Stakeholder Berikut ini disajikan gambar contoh hasil Analisis Stakeholder dengan menggunakan
analisis stakeholder berdasarkan hasil penelitian Sahide, dkk (2010) dalam merumuskan struktur masalah pembangunan HTR di Sulawesi Selatan.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 190 Alat ini menganalisis individu dan kelompok baik yang mempengaruhi maupun yang dipengaruhi oleh implementasi program. Eksplorasi
tentang bagaimana masing-masing
stakeholder dapat didukung dan kapasitas masing-masing lembaga stakeholder dalam rengka implementasi program Tabel 27. Hasil Analisis 3 R dalam Pembangunan HTR di Sulawesi Selatan (Sumber : Sahide, dkk (2010)) Pemangku Kepentingan
Hak
Rangking
Tanggung jawab
Rangking
Manfaat /
Rangking
Biaya Masyarakat Petani Hutan
Mengelola hutan sesuai skema HTR (kayu, tanaman semusim)
5
Pemdes/ Kades
- Fasilitasi Masyarakat Desa dalam mengajukan arealdan perizinan
1
Pemkab
DPRD Kab.
- Memberikan keterangan bahwa calon pengelola (individual dan koperasi) adalah warga desa atau berasal dari desa Mengusulkan areal Pencadangan, memberikan ijin IUPHHK HTR
Menjaga hak kelola
4
Mendapat kan penghasila n, biaya pengurusa n
5
Menjelaskan peluang kebijakan HTR bagi masyarakat dan pelestarian hutan
4
Biaya pengurusa n
1
4
Memberikan Fasilitasi, Pengwasan, dan Evaluasi
5
Retribusi
5
3
Memperjuang kan aspirasi dan kepentingan masyarakat
1
Bertambah konstituen
1
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 191 Gubernur
Akselerasi, Monitoring dan Evaluasi
3
Mengamanka n kebijakan
1
Pertumbuh an Ekonomi
1
BP2 HP
Memberikan Pertimbangan Teknis, Fasilitasi
4
Akselerasi Program HTR
5
Performan si baik
5
BPKH
Fasilitasi Peta,
3
Memperjelas tata batas
3
Performan si baik
3
LSM Lokal
Fasiliasi dan Advokasi
2
Mengawal pembangunan HTR terutama fasilitasi kelompok dan pengusulan
4
Performan si baik, Biaya Pendampi ngan
2
2
Mengawal pembangunan HTR terutama fasilitasi kelompok dan pengusulan
4
Popular
2
Membina dan Koordinasi dengan Pemegang Ijin IUPHHK HTR
3
Mendapatkan Anggaran Pendampingan
Penyuluh Kehutanan
Fasiliasi dan Advokasi Mendapatkan Anggaran Pendampingan
Industri
Mendapatkan Bahan Baku
3
Performan si baik, Biaya Pendampi ngan
Biaya kemitraan, manfaat kepastian bahan baku
Rangking (tertinggi) : Hak
: Masyarakat Petani Hutan
Tanggung Jawab
: Pemerintah Kabupaten dan BP2HP
Manfaat/Biaya
: Pemerintah Kabupaten, Masyarakat Petani Hutan,
4
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 192 4.
Analisis SWOT Untuk lebih memudahkan, penulis akan memberikan contoh analisis SWOT
pengembangan usaha kehutanan masyarakat di salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan yang pernah dicontohkan oleh Syamsu Alam. Analisis SWOT ini akan melahirkan strategi, kebijakan dan program peningkatan kehutanan masyarakat A. Strategi Unsur-unsur kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities) dan ancaman (threats) dianalisis untuk mengidentifikasi secara sistematis berbagai faktor yang terkait dan untuk merumuskan strategi peningkatan usaha masyarakat. Dengan demikian lingkungan internal berupa Strenght (S) dan Weaknesses (W) serta lingkungan eksternal Oportunities (O) dan Threats (T) yang dihadapi dibatasi dalam sistem “ usahatani” sebagai suatu unit manajemen. Berdasarkan hasil kajian diperoleh unsur-unsur kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman sebagai berikut : 1. Analisis Kondisi Lingkungan Internal a. Kekuatan (Strenght = S) Beberapa faktor yang dapat dipandang sebagai kekuatan untuk peningkatan usaha masyarakat di sekitar hutan produksi adalah sebagai berikut: 1) Terdapat potensi lahan ( baik dalam kawasan hutan produksi maupun di luar kawasan hutan
yang telah diusahakan masyarakat dengan tanaman utama adalah kakao dan
sebagian kecil tanaman kemiri dan durian. Rata- rata luas lahan yang dikuasai petani adalah 3 ha. 2) Tenaga kerja cukup tersedia, baik dari penduduk lokal maupun penduduk pendatang. 3) Sistem kelembagaan terutama lembaga informal (kelompok tani dan kepala dusun) sangat mendukung 4) Masyarakat telah melakukan usahatani di dalam kawasan hutan dalam bentuk usahatani semusim, kebun, dan usaha pemungutan hasil hutan. 5) Motivasi petani untuk mengembangkan usaahatani tinggi, sepanjang menguntungkan dari segi finansial.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 193 b. Kelemahan (Weaknesses = W) Beberapa hal yang menjadi kelemahan dalam peningkatan usaha masyarakat di sekitar hutan produksi adalah sebagai berikut: 1) Petani tidak mempunyai banyak modal untuk berusahatani, terutama untuk sarana produksi pertanian. 2) Tidak tersedia sumber pendanaan usahatani yang mudah dan murah diakses oleh 3) Usahatani di dalam kawasan hutan produksi belum dikelola optimal,Kelembagaan usaha belum tertata dengan baik dan belum legal daalam memanfaatkan kawasan hutan. 4)
Lembaga ekonomi pedesaan belum dapat mendorong petani untuk meningkatkan pendapatan petani dari uasaha kehutanan.
5) Masyarakat belum melakukan upaya budidaya hasil hutan yang dipungut 6) Pengetahuan budidaya dan pemasaran hasil hutan terutama tanaman kayu-kayuan belum banyak diketahui petani 7). Petani belum termotivasi untuk mengembangkan tanaman kayu-kayuan, karena jangka waktu produksi relatif panjang dan penjualannya relatif sukar. 2. Analisis Kondisi Lingkungan Eksternal a. Peluang (Oportunities = O) Beberapa hal yang dikategorikan sebagai peluang dalam peningkatan usaha masyarakat di sekitar hutan produksi adalah sebagai berikut: 1) Permintaan komoditi hasil hutan, terutama kayu mengalami peningkatan 2) Sarana dan prasarana wilayah mendukung (dekat jalan dan pelabuhan pengangkut kayu). 3) Lembaga keuangan untuk penyediaan modal usaha tersedia 4) Kebijakan pemerintah tentang pengelolaan hutan oleh masyarakat, melalui 5) program pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan pemanfaatan hutan lainnya, sangat mendukung pengembangan usaha masyarakat sekitar hutan produksi. 6) Terdapat pemegang izin pemanfaatan hasil hutan di sekitar areal hutan produksi yang dapat bersinergi dengan petani untuk pengembangan usaha masyarakat. b. Ancaman (Threats =T) Beberapa faktor yang dianggap sebagai ancaman dalam peningkatan usaha masyarakat di sekitar hutan produksi adalah sebagai berikut:
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 194 1) Tata batas kawasan hutan yang tidak mantap dan kemapuan pemegang izin HPH/ IUPHHK untuk mengamankan wilayah kerjanya dari petani perambah kawasan hutan sangat rendah. 2) Penataan kawasan hutan yang tidak akomodatif bagi masyarakat 3) Keuntungan usaha hasil hutan (terutama kayu) relatif lebih rendah dibanding dengan usaha tanaman kakao dan kelapa sawit. 4) Kepastian hukum berusaha di dalam kawasan hutan produksi bagi petani belum ada, sehingga petani merasa belum aman berusahatani dalam jangka panjang. 5) Tenaga teknis dan tenaga professional belum tersedia untuk mendampingi petani dalam mengembangkan usahanya. 6) Industri hasil hutan, terutama industri yang dapat mengolah kayu yang cepat tumbuh (fast growing) belum ada. 7) Permintaan lahan bagi pengembangan kelapa sawit untuk skala besar meningkat.
3. Strategi Peningkatan Usaha Masyarakat
.
Berdasarkan hasil analisis kondisi lingkungan internal dan lingkungan eksternal dirumuskan strategi peningkatan usaha masyarakat sekitar hutan produksi. Perumusan strategi didasarkan pada kondisi yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang, namun secara
bersamaan
dapat
meminimalkan
kelemahan
dan
ancaman.
Dengan
mempertimbangkan karakteristik usaha masyarakat yang ada saat ini, maka strategi peningkatan usaha masyarakat sekitar kawasan hutan produksi dapat dibagi menjadi tiga strategi pokok, yaitu: strategi kelola kawasan, strategi kelola kelembagaan, dan strategi kelola usaha. a. Strategi Kelola Kawasan 1) Memantapkan kawasan hutan 2) Penataan landuse mikro kawasan hutan produksi 3) Mengembangkan system perlindangan dan penjagaan kawasan hutan secara swakarsa
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 195
b. Strategi Kelola Kelembagaan 1) Penguatan hak-hak dan kewajiban masyarakat terhadap kawasan hutan produksi yang dikelola 2) Mengembangkan interkoneksitas kelembagaan usaha masyarakat 3) Memberdayakan masyarakat mengelola usahataninya di dalam kawasan hutan produksi 4) Mengembangkan kelembagaan lokal yang berorientasi pada pemberdayaan lembaga formal desa dan lembaga non formal petani/kelompok tani, pedagang lokal dan KUD, dan lembaga ekonomi lain yang terkait. 5) Meningkatkan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia institusi kehutanan
c. Strategi Kelola Usaha 1) Penguatan status hukum kawasan hutan yang dikelola masyarakat 2) Mengembangkan kelompok-kelompok usaha yang berbasis kehutanan 3) Mengembangkan sistem peremajaan jenis-jenis hasil hutan yang dipungut 4) Mengembangkan pola-pola agroforestry yang konservatif dan ekonomis 5) Memanfaatkan sumber-sumber pendanaan alternatif dan meningkatkan kemampuan swadana masyarakat mengelola usaha kehutanan. 6) Mengembangkan sistem pasar komoditi usaha masyarakat, yang kopetitif dan mengungtungkan semua pelaku usaha Strategi-strategi tersebut di atas dirumuskan dengan suatu tujuan yaitu optimalisasi pemanfaatan hutan produksi untuk kesejahteraan masyarakat. B. Kebijakan Strategi yang telah dirumuskan di atas perlu didukung dengan beberapa kebijakan dasar, antara lain: 1. Penataan tata batas luar kawasan hutan yang belum ditata batas, pemeliharaan tata batas pada kawasan hutan yang sudah ditata batas, dan penataan ruang mikro (landuse mikro) kawasan hutan sesuai kondisi lokal. 2. Pencadangan kawasan hutan yang berpotensi untuk diusahakan oleh masyarakat.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 196 3. Pemberian kewenangan kepada lembaga formal desa melakukan pengurusan terhadap sumberdaya hutan di desanya. 4. Sistem perizinan pengusahaan hutan produksi oleh masyarakat 5. Sistem kelembagaan usaha yang terinterkoneksitas antara birokrasi pemerintah (termasuk level birokrasi pemerintah desa), kelembagaan swasta, dan kelembagaan lokal masyarakat. 6. Mengembangkan sumber-sumber pendanaan alternative yang mudah dan murah untuk diakses oleh masyarakat sekitar hutan produksi. 7. Merumuskan Perda mengenai sistem pengelolaan usaha masyarakat di dalam kawasan hutan produksi. C. Program Beberapa program yang direkomendasikan untuk mendukung strategi dan kebijakan di atas adalah sebagai berikut: 1) Pemetaan kawasan hutan produksi yang mempunyai potensi untuk dikelola oleh masyarakat 2) Penataan Kawasan hutan produksi melalui pembagian zonasi usaha masyarakat yang disepakati pihak-pihak yang terkait. 3) Pencadangan kawasan hutan produksi untuk tujuan usaha masyarakat 4) Pengembangan kelompok-kelompok usaha masyarakat berbasis kehutanan 5) Mengembangkan jaringan kemitraan usaha antara hulu dan hilir 6) Mengembangkan sistem pasar yang kompetitif terhadap komoditi hasil hutan usaha masyarakat 7) Memperkuat kapsitas modal, pengetahuan teknis, dan kemapuan manajemen usaha masyarakat untuk mengelola usahanya secara mandiri 8) Membangun unit-unit percontohan model usaha masyarakat berbasis kehutanan.
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 197
Tabel 28. Contoh Tabel SWOT Peningkatan Usaha Masyarakat Sekitar Hutan Produksi PELUANG
ANCAMAN (THREATS)
(OPPRORTUNITIES) 1) Pasar komoditi tersedia
1. Tata batas kawasan hutan
2) Sarana dan prasarana
yang tidak mantap
wilayah mendukung
2. Penataan kawasan hutan
3) Lembaga keuangan untuk ANALISA
penyediaan modal usaha tersedia
SWOT
yang tidak akomodatif bagi masyarakat 3. Harga komoditi tidak stabil 4. Kepastian hukum berusaha di dalam kawasan hutan produksi belum ada 5. Tenaga teknis dan tenaga professional belum tersedia untuk
mendampingi
masyarakat STRATEGI PENGEMBANGAN KEKUATAN (STRENGTHS) (S-O) 1. Terdapat potensi kawasan 1.Penguatan hutan
(lahan
hutan)
dan
yang
hasil
kewajiban
dapat
terhadap
diusahakan masyarakat.
terutama lembaga informal sangat mendukung
melakukan dalam dalam
usahatani
bentuk
masyarakat kawasan
hutan
interkoneksitas kelembagaan usaha masyarakat (KK)
di
hutan
kelembagaan berorientasi pemberdayaan
1) Memantapkan
kawasan
hutan (KKw) 2) Penataan landuse mikro kawasan hutan produksi (KKw) 3) Mengembangkan system perlindungan
3.Mengembangkan telah
kawasan
dan
2.Mengembangkan
kelembagaan
4. Masyarakat
hak-hak
produksi yang dikelola (KK)
2. Tenaga kerja tersedia 3. Sistem
(S-I)
dan
penjagaan kawasan hutan
lokal
yang pada
lembaga
secara swakarsa (KKw) 4) Memberdayakan masyarakat
mengelola
usahatani
formal desa dan lembaga non
usaha taninya di dalam
semusim, kebun, dan usaha
formal petani/kelompok tani,
kawasan hutan produksi
pemungutan hasil hutan
pedagang lokal dan KUD,
(KK)
dan lembaga ekonomi lain
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 198 yang terkait. (KK) STRATEGI PENGEMBANGAN
KELEMAHAN (WEAKNESS) 1) Modal
(W-O)
usahatani
umumnya kurang 2) Tidak
tersedia
sumber
pendanaan usahatani yang mudah dan murah diakses oleh petani 3) Usahatani
di
dalam
kawasan hutan produksi belum dikelola optimal 4) Kelembagaan usaha belum tertata dengan baik 5) Lembaga ekonomi desa tidak kuat
(W-T)
1. Mengembangkan
1) Penguatan
status
hukum
hutan
yang
kelompok-kelompok usaha
kawasan
yang berbasis kehutanan
dikelola masyarakat (KU)
(KU)
2) Mengembangkan
2. Mengembangkan
sistem
pasar
komoditi
sistem usaha
peremajaan jenis-jenis hasil
masyarakat, yang kopetitif
hutan yang dipungut (KU)
dan mengtunungkan semua
3. Mengembangkan pola-pola agroforestry
pelaku usaha (KU)
yang 3) Meningkatkan kualitas dan
konservatif dan ekonomis
kuantitas
(KU)
manusia institusi kehutanan
4. Memanfaatkan
sumber-
sumber
sumberdaya
(KU)
pendanaan
6) Masyarakat
belum
alternatif
melakukan
upaya
meningkatkan kemampuan
budidaya hasil hutan yang
swadana
dipungut
mengelola
dan
masyarakat usaha
kehutanan. (KU)
Keterangan : KK : Strategi Kelembagaan, KKw : Strategi Kelola Kawasan, KU: Strategi Kelola Usaha
PENUTUP
Penugasan Menanyakan beberapa pertanyaan kunci kepada mahasiswa untuk dieksplorasi 1. .Deskripsikan makna intervensi sosial dalam KM? 2. Apa perbedaan riset aksi dan riset (penelitian) secara umum 3. Jelaskan berikut point-point penting tentang partisipasi dan PRA?
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 199 a. Pendekatan Partisipatif (Participatory Approaches) atau Proses Multi-pihak(MultiStakeholder Proces) Apa artinya? b. Di bidang apa saja dapat Pendekatan Partisipatif diterapkan dan membantu? c. Apakah ada yang tahu siapa Paulo Freire? Dan apa kaitan dengan pendekatan partisipatif? d. Siapa Robert Chambers? e. Apa perbedaan antara RRA dan PRA? f. Kenapa aras pendekatan partisipatif dimunculkan? g. Bagaimana tiap tingkatan partisipasi? h. Mahasiswa diminta mengulas tingkatan partisipatif (sesuai yang diulas dosen) dari yang kurang partisipatif ke yang paling partisipatif.
DAFTAR PUSTAKA
Agusta Ivanovich. 2006. Penerapan Riset Aksi dalam Pemberdayaan dan Pelaksanaan Pengabdian kepada masyarakat, Metodologi Partisipatif Manakah?. Makalah disampaikan dalam Workshop Tenaga Penyuluh Pengabdian kepada Masyarakat di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 29 – 31 Mei 2006. http://ivanagusta.files.wordpress.com/2009/04/ivan-riset-aksi-pemberdayaanmasyarakat-indonesia.pdf diakses tanggal 24 Maret 2012
Blog BebasBanjir 2015. Konsep konsep Dasar Partisipasi. http://bebasbanjir2025.wordpress.com/04-konsep-konsep-dasar/partisipasi/. diakses tanggal 22 Maret 2012 Lithgow Schmidt. 2004. A Ladder of Citizen Participation - Sherry R Arnstein. http://lithgow-schmidt.dk/sherry-arnstein/ladder-of-citizen-participation.html. Originally published as Arnstein, Sherry R. "A Ladder of Citizen Participation," JAIP, Vol. 35, No. 4, July 1969, pp. 216-224
Hakim I, Irawant S, Murniati, Sumarhani, Widiarti A, Effendi R., Muslich., M, Rulliaty S., 2010. Social Forestry Menuju Restorasi Pembangunan Kehutanan Berkelanjutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Kementerian Kehutanan
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 200 Hutabarat, T. M., 2010. Menerapkan Riset Aksi di Perguruan Tinggi (Mungkinkah?). http://www.scribd.com/doc/32673274/Peluang-Riset-Aksi-Di-Perguruan-Tinggi. diakses tanggal 24 Maret 2012
Wiliam-de Vries, D. 2006. Gender bukan tabu: catatan perjalanan fasilitasi kelompok perempuan di Jambi. Bogor, Indonesia: Center for International Forestry Research (CIFOR
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 201
GLOSARIUM Bawang Konflik
Analogi mengulas bawang dalam ilustrasi mengeksplorasi lebih dalam posisi-posisi dan kepentingan-kepentingan para pihak sampai menemukan kebutuhan mereka, sehingga akan mengantarkan para pihak pada konteks konflik yang lebih detail
Eskalasi-deskalasi konflik
Situasi sosial dalam konflik dimana tensi ketegangan antara para pihak mengalami perubahan yakni peningkatan dan penurunan
De-institusionalisasi
Proses sistemik yang melemahkan sistem kelembagaan lokal karena berbagai sebab antara lain akulturasi kebijakan formal, dll
Masyarakat adat
Komunitas yan memiliki asal usul leluhur secara turun menurun yang hidup dalam wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideology, ekonomi, sosial, budaya dan politik yang khas (menurut AMAN)
Kehutanan Masyarakat
Sistem pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat, dimana modusnya adalah tingkatan yang lebih pada hak, akses serta peran masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan yang berkelanjutan
REDD+
REDD plus the role of conservation, sustainable management of forests and enhancement of forest carbon stocks REDD ditambah peran konservasi, pengelolaan hutan berkelanjutan, dan peningkatan cadangan karbon hutan
Sanra
kelembagaan yang berlaku pada petani dalam pengelolaan lahan wanatani dimana pemilik lahan menyerahkan lahannya untuk diusahakan oleh orang lain dengan ketentuan orang lain menyerahkan jaminan berupa uang kepada pemilik lahan
Teseng
Pemberian lahan hutan kepada orang lain untuk dikelola dengan cara bagi hasil
Varian Kehutanan Masyarakat
Ragam bentuk pengelolaan hutan berbasis masyarakat baik skema pengelolaan hutan yang ditawarkan oleh pemerintah seperti HKm, Hutan Desa dan Hutan Tanaman Rakyat maupun bentuk pengelolaan hutan yang tumbuh dari masyarakat, maupun gabungan keduanya (pemerintah dan masyarakat)
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 202
INDEKS
Agroforestry, vii, xi, 47, 48, 65, 91, 108, 128 devolusi, xv, xvi, 67, 68, 69, 70, 72, 73, 74, 91, 92 fasilitasi, x, 23, 24, 66, 74, 76, 86, 87, 98, 99, 100, 105, 114, 126, 140, 172, 175, 176, 177, 193, 202 gender, 39, 41, 180, 184 hutan adat, 27, 28, 33, 61, 99, 150 hutan desa, x, xi, 5, 7, 20, 21, 48, 56, 57, 58, 77, 103, 105, 106, 107, 160, 161, 163, 176 Hutan Kemasyarakatan, vii, xiii, 34, 35, 36, 37, 43, 46, 55, 56, 58, 76, 92, 99, 114, 146 Hutan rakyat, 63 Hutan Tanaman Rakyat, vii, xiii, 34, 43, 52, 56, 59, 64, 65, 74, 92, 99, 114, 133, 195 kawasan konservasi, 14, 27, 61, 94, 95, 136, 143, 146, 147, 148, 149 keadilan, 41, 69 kebijakan, iii, xiv, xv, xvi, 4, 6, 18, 21, 24, 26, 27, 28, 35, 37, 43, 53, 55, 58, 70, 72, 76, 85, 86, 94, 97, 99, 100, 103, 104, 111, 112, 129, 132, 139, 141, 143, 145, 147, 158, 160, 182, 192, 193, 194, 197, 198 Kehutanan masyarakat, vi, xv, xvi, 5, 6, 36, 37, 38, 143 kelembagaan, ii, v, xv, xvi, 18, 20, 23, 24, 35, 57, 58, 60, 62, 67, 68, 73, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 83, 84, 85, 86, 88, 91, 95, 97, 98, 99, 105, 106, 111, 115, 126, 127, 128, 129, 139, 164, 170, 173, 178, 181, 194, 196, 197, 198, 199 kemiskinan, v, 1, 2, 7, 9, 11, 13, 14, 17, 18, 21, 29, 32, 52, 59, 64, 112, 134, 167 kesalahan berpikir, 1, 19, 26, 28, 29, 33 Kesatuan Pengelolaan Hutan, 43, 46, 92, 93, 94, 109, 110
kolaborasi, 20, 62 Kompensasi, 52, 65 konflik pengelolaan hutan, 33 Masyarakat Adat, 27, 30 Masyarakat lokal, 29, 62, 92 Memori kolektif, 85 Partisipasi, 26, 36, 64, 97, 181, 201 pemasaran, 12, 38, 52, 63, 103, 104, 105, 106, 112, 115, 124, 128, 159, 195 pemberdayaan masyarakat, 23, 38, 55, 59, 60, 62, 74, 86, 114, 173, 176, 177, 179, 181 pengelolaan DAS, xiii, 44, 45, 46 pengelolaan hutan, ii, x, xii, xiii, xv, xvi, xvii, 1, 2, 3, 4, 6, 7, 18, 21, 25, 26, 28, 29, 32, 33, 35, 36, 38, 39, 41, 42, 43, 44, 46, 48, 51, 52, 55, 57, 58, 59, 63, 64, 67, 69, 70, 73, 77, 85, 86, 87, 91, 94, 95, 97, 98, 99, 100, 104, 105, 106, 107, 108, 112, 134, 135, 136, 137, 140, 141, 143, 144, 149, 151, 156, 158, 159, 160, 161, 163, 164, 170, 172, 195 Proses pembelajaran, v, vii, viii, ix, x, 1, 32, 67, 93, 111, 134, 156 REDD, vii, xii, 50, 51, 65, 91 Riset Aksi Partisipatif, x, 174, 175 situasi, ii, xvi, xvii, 1, 4, 6, 32, 63, 64, 70, 134, 140, 172, 173, 177, 178, 185 social forestry, 34, 35, 36 tenurial, ii, xv, xvi, 5, 7, 67, 68, 77, 78, 79, 80, 81, 91, 137, 138, 173 Transformasi Konflik, 142 Tujuan Instruksional, vii, viii, ix, x, 1, 32, 67, 93, 111, 134, 156, 172 usaha kehutanan masyarakat, xvi, 111, 132, 194
Buku Ajar Kehutanan Masyarakat: dari tradisi, diskursus hingga praktek | 203