Draf Buku Ajar
Budi Santosa
Kata Pengantar Tujuan Khusus modul ini agar mahasiswa dapat menganalisa data dan melengkapi data hujan yang tidak kontinyu atau terjadi kekosongan data dengan metode analisa double mass curve, hujan rata-rata dengan metoda: arithmatic, Thiessen, Isohyet, hubungan antara intensitas dan tinggi hujan, hubungan antara intensitasa dan waktu hujan dengan metoda: Talbot, Sherman, Ishiguro, MonoNobe, hubungan antara tinggi dan waktu hujan dengan metoda Haspers. Bila udara lembab bergerak ke atas kemudian menjadi dingin sampai melalui titik embun, maka uap air akan terkondensasi membentuk butir-butir air. Bila proses pendinginan ini terjadi secara besar-besaran, maka butir-butir air akan jatuh sebagai hujan (Presipitasi). Hujan atau presipitasi yang terjadi di muka bumi dapat juga berupa air, salju, es, dan sebagainya. Besarnya hujan yang terjadi tergantung dari banyaknya uap air di dalam udara. Umumnya semakin besar hujannya, semakin pendek waktunya, oleh karena itu setelah sebagian uap air mengkondensir, udara semakin kering maka derasnya hujan berubah seiring dengan waktu.
Bab 1. Hujan Tipe hujan Hujan dibagi menjadi tiga type sesuai dengan cara udara naik ke daerah yang lebih dingin. Tiga type hujan tersebut adalah : a) Hujan Siklonik, yaitu hujan yang terjadi dari naiknya udara yang terpusat di titik dengan tekanan rendah. b) Hujan Konvektif, yaitu hujan yang terjadi dari naiknya udara ketempat yang lebih dingin. c) Hujan Orografik, yaitu hujan yang terjadi karena naiknya udara yang disebabkan adanya rintangan berupa pegunungan. Kejadian hujan dipengaruhi oleh iklim dan keadaan topografi daerah, sehingga menyebabkan keadaan yang berbeda untuk masing-masing daerah. Hujan yang terjadi disuatu daerah kadangkadang sangat sulit ditentukan typenya sehingga data yang demikian jarang disebutkan.
Data Hujan Data hujan yang diperlukan dalam analisa hidrologi meliputi data : a) Curah hujan : adalah tinggi hujan dalam satu hari, bulan atau tahun dinyatakan dalam mm, cm atau inchi, misal : 124 mm per hari; 462 mm per bulan dan 2158 mm per tahun. b) Waktu hujan : adalah lama terjadinya satu kali hujan (duration of one rainstorm), missal : 12 menit; 42 menit; 2 jam pada satu kejadian hujan. c) Intensitas hujan : adalah banyaknya hujan yang jatuh dalam periode tertentu, misal : 48 mm/jam, dalam 15 menit; 72 mm/jam dalam 30 menit. d) Frekwensi hujan : adalah kemungkinan terjadinya atau dilampauinya suatu tinggi hujan tertentu. Misal curah hujan 115 mm per hari akan terjadi atau dilampaui sekali dalam 20 tahun; curah hujan 2500 mm per tahun akan terjadi atau dilampaui dalam 10 tahun. Data tersebut di atas dapat diperoleh dengan memasang alat-alat penakar hujan (rain gauge) di daerah pengaliran di tempat-tempat yang memerlukan data. Jaringan Stasiun Hujan. Tempat dimana alat penakar hujan dipasang disebut Stasiun Hujan, yang dapat dipasang tersebar diseluruh daerah aliran. Banyaknya stasiun hujan pada suatu daerah aliran tergantung dari kebutuhan dan ketelitian data yang diperlukan, demikian juga dengan type penakar hujan yang dipasang. Sebagai perkiraan banyaknya alat penakar hujan yang dipasang terhadap luas daerah yang diwakili seperti dapat dilihat pada Table (3.1). Table 3.1. Jumlah Penakar Hujan pada suatu daerah yang diwakilinya Luas (Km2) 26 260
Jumlah Stasiun Pengamatan Hujan 2 6
1300 2600 3200 7800
12 15 20 40
Sumber : Wilson, Engineering Hydrologi, Macmilan hal 17
Di Indonesia jaringan stasiun hujan dibangun oleh Direktorat Meteorologi dan Geofisika. Tugas lain Direktorat ini adalah mengumpulkan, mengolah dan menyajikan data hujan secara periodik. Jaringan stasiun hujan nasional kurang lebih berjumlah 4000 buah tersebar di seluruh Indonesia, seperti dapat dilihat pada Table (3.2). Table 3.2. Network stasiun Hujan di Indonesia
Daerah Indonesia Jawa Sumatra Kalimantan Sulawesi
Km2/stasiun
Jumlah stasiun 4339 3000 600 120 250
440 44 790 4500 760
Sumber : sri murni Hidrologi 1 FT UI, 1976
Pada proyek-proyek pengembangan sumber-sumber air di Indonesia sering kali diperlukan data tambahan dan ketelitian data dengan memasang alat penakar hujan tambahan di sekitar daerah proyek.
Alat Penakar Hujan Besarnya tinggi hujan yang jatuh dan dinyatakan dalam satuan mm, cm atau inchi pada suatu daerah dapat diketahui dengan cara memasang atau mengoperasikan alat penakar hujan di daerah tersebut. Ada dua jenis alat penakar hujan, yaitu pencatatan secara manual dan pencatatan secara automatik.
a) Pencatatan manual Alat penakar hujan dengan pencatatan manual ini terdiri dari suatu tabung dengan diameter 8 inchi (20,3 cm) yang dilengkapi dengan corong penerima, tabung pengukur yang mempunyai luas penampang 1/10 atau 1/100 kali dari luas penampang corong penerima (Gambar 3.1). Perbandingan ini penting artinya guna memudahkan ketelitian baca hasil pengukuran. Air hujan yang masuk corong penerima terus masuk ketabung pengukur. Bila hujan masuk setinggi 0,1 inchi maka didalam tabung pengukur akan terlihat air setinggi 1 inchi. Atau bila hujan yang jatuh 0,01 inchi (0,25 mm) maka di dalam tabung pengukur akan terlihat air setinggi 1 inchi. Data hujan ini akan sulit terbaca kalau tidak digunakan tabung pengukur dengan perbandingan luas penampang yang lebih kecil. Pengukuran tinggi air hujan di dalam tabung pengukur, dipakai tongkat pengukur atau skala bacaan yang ada yang ada pada tabung. Hasil bacaan tinggi air hujan di dalam tabung pengukur masih harus dikalikan dengan faktor perbandingan antara luas penampang tabung pengukur dan luas corong pengumpul, baru didapat data tinggi hujan yang terjadi.
Gambar 1. Alat penakar hujan tipe 8” Data yang didapat dari pencatatan hujan dengan alat penakar jenis ini adalah data hujan harian yaitu tinggi hujan yang terjadi dalam 24 jam (etmal), karena pengukuran dilakukan satu kali dalam sehari semalam, biasanya pagi hari. Kalau dilakukan pengukuran dua kali pagi dan sore, datanya dicatat sebagai hujan harian,yaitu dengan menjumlahkan dua data pengukuran tersebut.
b) Penakar automatik Alat penakar hujan automatik atau Automatic Rain Gauge adalah alat yang dapat mencatat hasil pengukuran hujan secara automatik dalam setiap kejadian hujan. Pengoperasian alat ini bisa satu mingguan dengan mengganti kertas grafik pencatat yang dipakai. Ada tiga type automatic rain gauge yang banyak dipakai yaitu, Weighing Bucket Rain Gauge, Tipping Bucket Rain Gauge, Syphon Automatic Rainfall Recorder. �
Weighing Bucket Rain Gauge
Hujan yang jatuh di atas corong akan diteruskan masuk ke dalam bucket yang ber alaskan plat form. Penambahan air hujan yang masuk ke dalam bucket akan menambah berat sehingga weighing mekanik akan bekerja menggerakkan lengan pena pencatat yang akan terlihat hasilnya pada kertas grafik yang berputar sesuai dengan waktu. Hasil pencatatan yang ditunjukkan merupakan hujan kumulatif terhadap waktu dalam kurva massa hujan. �
Tipping Bucket Rain Gauge
Hujan yang jatuh di atas corong akan diteruskan masuk ke dalam bucket yang terdiri dari dua sisi menyerupai timbangan. Air hujan mengisi timbangan sisi sebelah kiri, maka akan terjadi gerakan pada bucket ini akibat berat air hujan. Bila bucket sisi sebelah kiri terisi penuh maka air akan mengalir keluar dari bucket dan ganti bucket sisi kanan yang terisi air hujan dari corong. Proses ini berjalan terus selama terjadi hujan dan gerakan bucket ini dimonitor oleh instrument pencatat elektrik yang hasilnya merupakan data grafik pencatatan hujan komulatif terhadap waktu.
�
Syphon Automatic Rainfall Recorder
Alat type ini sering disebut juga dengan Float Recording Gauge, dimana pencatatan yang dilakukan pada kertas grafik didasarkan atas naik turunnya pelampung dalam bak pengumpul. Hujan yang jatuh di atas corong akan diteruskan ke dalam bak pengumpul. Bila hujan bertambah terus maka pelampung dalam bak akan naik karena air dalam bak naik. Gerakan pelampung ini diikuti oleh goresan pena pencatat pada kertas grafik yang berputar sesuai dengan waktu. Bila muka air dalam bak pengumpul sama dengan bengkokan pipa siphon maka air dalam bak pengumpul akan tersedot keluar melalui pipa siphon dan terjadi pengosongan dalam bak pengumpul. Peritiwa pengosongan ini akan akan diikuti oleh penurunan pelampung yang berlangsung sangat cepat, terlihat dalam kertas grafik pencatat garis pencatat garis vertikal ke bawah. Bila hujan masih berlangsung bak pengumpul terisi air hujan lagi dan pelampung juga akan naik, proses pencatatan berlangsung kembali sampai hujan berhenti. Pada gambar 3.5 ditunjukkan grafik hasil pencatatan alat penakar hujan automatis tipe siphon. Terlihat sampai jam 07.00 hari senin garis pencatatan mendatar pada skala 2,5 cm, ini berarti pada bak penampung tidak terjadi penambahan air akibat hujan, sehingga pelampung tidak bergerak naik. Jam 07.00 sampai jam 08.00 terlihat garis pencatatan naik mulai skala 2,5 cm dan berhenti pada skala 4,2 cm kemudian mendatar lagi. Pada saat garis pencatatan naik berarti ada penambahan air pada bak penampung yang berarti terjadi hujan. Tinggi hujan yang tercatat adalah 17 mm dengan lama hujan (duration) 1 jam. Pada hari selasa jam 04.30 terlihat garis pencatatan naik mulai dari skala 8,5 cm sampai skala 10 cm pada jam 05.10 kemudian turun hampir vertical, selanjutnya naik lagi sampai skala 5,4 cm pada jam 08.10 lalu garisnya mendatar. Terlihat bahwa pada jam 05.10 muka air pada bak penampung mencapai bengkokan pipa siphon sehingga terjadi pengosongan air pada bak penampung, ini ditunjukkan dengan turunnya garis pencatatan sampai skala 0 cm, karena hujan masih berlangsung maka garis pencatatan naik lagi sampai hujan berhenti, maka garis pencatatan mendatar lagi.
Gambar 2. Grafik curah hujan otoatis Dapat disimpulkan bahwa bila garis pencatatan mendatar berarti tidak terjadi hujan, sedang bila garis pencatatan naik berarti terjadi hujan dimana kemiringan garis pencatatan ini menunjukkan besarnya intensitas hujan dan kalau terjadi garis pencatatan menurun berarti pada saat itu terjadi pengosongan bak penampung. Data hujan yang diperoleh dari analisa grafik pencatatan adalah berupa data hujan jam-jaman dan pola hujan. Alat penakar hujan otomatik lain yang ada adalah Aerodynamic Rain Gauge dan Penakar Hujan Mekanik seperti pada gambar dibawah ini.
Gambar 3. Alat Penakar Hujan mekanik dan pemasangannya
Penyajian Data Hujan Data yang diperoleh dari stasiun penakar hujan adalah tabel data tinggi hujan harian atau grafik akumulasi tinggi hujan dari penakar hujan automatis. Data tersebut dapat diolah dan disajikan dalam bentuk tabel, diagram dan grafik.
c) Penyajian dalam bentuk tabel Tinggi hujan maupun akumulasi tinggi hujan dari suatu stasiun dapat disajikan dalam bentuk tabel, tergantung dari keperluannya. Unit waktu dapat diambil tiap jam, tiap hari, tiap 10 harian, tiap bulan, tiap tahun bahkan kadang-kadang tiap 5 tahunan. Contoh tabel hujan seperti pada Tabel 3.3. dan Tabel 3.4.
Tabel 3.3. Tabel Hujan Harian Maksimum Tahun 1970 1971 1972 1973 1974
R (mm) 133 117 75 150 154
Tahun 1975 1976 1977 1978 1979
R (mm) 161 220 129 160 120
Tabel 3.4. Hujan rata-rata bulanan (mm) Bulan
No. STA
Jan
Peb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nov
Des
1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981
2,19 2,23 2,22 2,25 2,22 2,21 2,25
2,15 2,25 2,24 2,25 2,24 2,23 2,26
2,24 2,26 2,29 2,29 2,28 2,26 2,28
2,25 2,27 2,25 2,26 2,21 2,26 2,26
2,32 2,29 2,30 2,29 2,32 2,29 2,26
2,39 2,34 2,30 2,31 2,35 2,34 2,34
2,41 2,36 2,36 2,37 2,42 2,35 2,35
2,48 2,36 2,38 2,36 2,42 2,42 2,36
2,48 2,32 2,33 2,32 2,33 2,39 2,32
2,39 2,27 2,30 2,30 2,28 2,32 2,29
2,29 2,25 2,25 2,23 2,31 2,30 2,23
2,27 2,27 2,26 2,25 2,22 2,31 2,27
Rata-rata Mak Min
2,24 2,24 2,20
2,24 2,26 2,21
2,31 2,26 2,25
2,26 2,24 2,26
2,30 2,27 2,31
2,34 2,33 2,37
2,39 2,35 2,39
2,38 2,35 2,40
2,39 2,31 2,36
2,29 2,27 2,32
2,22 2,26 2,27
2,31 2,27 2,24
d) Penyajian dalam bentuk diagram Tinggi hujan dari suatu stasiun juga dapat disajikan dalam bentuk diagram yang unit waktunya tergantung dari keperluannya. Lengkung massa hujan biasanya tidak disajikan dalam bentuk diagram. Gambar 3.6 adalah contoh diagram tinggi hujan jam-jaman pada stasiun Jrengek pada daerah aliran KLI Klampis, data untuk tanggal 18 Januari 1977.
Gambar 4. Diagram hujan bulanan
Gambar 5. Diagram hujan jam-jaman.
e) Penyajian dalam bentuk grafik Bila pada diagram tinggi hujan ditarik garis ratanya, maka didapat grafik tinggi hujan. Pada umumnya grafik tinggi hujan dibuat langsung dengan menggambarkan titik-titik tersebut. Dengan cara yang sama lengkung massa hujan dapat juga dibuat. Gambar 3.8 adalah contoh grafik tinggi hujan rata-rata bulanan dan Gambar 3.9 adalah contoh grafik/lengkung massa dari hujan jamjaman dari Gambar 3.7.
Gambar 6. Grafik Massa Hujan
Jumlah Penakar Hujan Hasil pencatatan tinggi hujan dari penakar hujan adalah merupakan data dasar yang digunakan dalam analisa hidrologi. Jumlah penakar hujan dalam suatu daerah aliran tergantung dari kebutuhan dan besarnya presentase kesalahan yang tertentu untuk hujan rata-rata di daerah aliran.
Untuk menentukan cukup tidaknya jumlah penakar hujan pada suatu daerah aliran dengan prosentase kesalahan hujan rata-ratanya adalah ditentukan, maka dapat ditempuh prosedur sebagai berikut
Contoh 3.1.
Dalam suatu daerah aliran terdapat empat stasiun penakar hujan dengan data hujan normal tahunan adalah 800, 520, 440 dan 400 mm. Hitung jumlah stasiun penakar hujan yang harus ditambahkan dengan batas kesalahan untuk hujan rata-rata daerah aliran adalah 12 %. Penyelesaian : Rtot = 800 + 520 + 440 + 400 = 2160 mm
Rm = ¼ x 2160 = 540 mm Rs = (800)2 + (520)2 + (440)2 + (400)2 = 126000
Melengkapi Data Hujan yang tidak Kontinyu Sering dijumpai dalam data hujan yang disajikan terdapat data yang tidak kontinyu dalam tahun pencatatannya. Ketidak-kontinyuan ini kemungkinan disebabkan oleh data tidak tercatat atau memang datanya hilang, dimana didalam table penyajian data diberi tanda (-). Ada beberapa cara untuk memperkirakan/melengkapi data hujan yang hilang diantaranya:
f) Cara rata-rata aritmatik : Cara ini dapat digunakan bila selisih hujan rata-rata tahunannya untuk stasiun yang datanya hilang dengan stasiun yang datanya komplit (stasiun index) kurang dari 10 %. Misalnya X adalah stasiun yang datanya hilang, dan A, B, C adalah stasiun index. Maka besarnya data yang harus diisikan untuk melengkapi data pada stasiun X adalah :
1 RX � (RA � RB � RC ) 3 Rx = tinggi hujan yang diisikan untuk melengkapi data stasiun X. RA, RB, RC = tinggi hujan pada stasiun A, B, dan C.
g) Cara rasio normal Bila selisih hujan rata-rata tahunannya untuk stasiun yang datanya hilang dengan stasiun index lebih dari 10 %, maka besarnya data yang harus diisikan untuk melengkapi data pada stasiun X adalah :
� N N 1� N RX � �� X RA � X RB � X RC �� 3 � NA NB NC � dimana : N x = tinggi hujan rata-rata tahunan stasiun X, NA, NB, NC = tinggi hujan ratarata tahunan stasiun A, B dan C. tinggi hujan yang diperkirakan untuk mengisi data yang hilang diperoleh. Bila tidak didapat korelasi yang baik, sulit memperkirakan tinggi hujan untuk mengisi data yang hilang.
Gambar 7. Contoh metode Kkorelasi Dari Gambar 3.10 di atas data mempunyai korelasi baik, untuk mengisi data hujan yang hilang tinggal melihat besarnya tinggi hujan pada stasiun index pada waktu yang sama dengan data yang harus dilengkapi, kemudian ditarik ke garis korelasinya maka didapat tinggi hujan yang diperkirakan untuk melengkapi data yang hilang
Mengecek Perubahan-perubahan Data Hujan. Bila sudah tidak ada data hujan yang hilang dari periode pengamatan yang ditentukan, maka harus dicek akan kemungkinan stasiun dipindah tempatnya, penakar hujan diganti typenya atau lainlain hal yang akan berpengaruh terhadap hasil pencatatannya. Cara yang dipakai untuk mengecek data hujan akan perubahanperubahan adalah “Analisa Double Mass Curve”. Analisa tersebut dailakukan dengan menggambarkan korelasi antara akumulasi tinggi hujan tahunan dari stasiun yang dicek dengan stasiun index, dan menarik garis melalui titiktitik tersebut yang disebut garis korelasi massa hujan. Perubahan kemiringan dari garis korelasi memberikan indikasi adanya suatu perubahan (Gambar 3.12).
Gambar 8. Double Mass Curve Pada Gambar 3.12 terlihat bahwa lengkung korelasi berubah secara mendadak ditahun 1978. Jika yang berubah keadaan meteorologinya, maka stasiun index juga akan mengalami perubahan sehingga kemiringan garis korelasi tidak mengalami perubahan. Dengan adanya perubahan kemiringan, maka data lama sebelum 1978 harus disesuaikan dengan data sesudah 1979 dengan perumusan sebagai berikut :
dimana : RA = hujan yang didapat penyesuaiannya. RO = hujan yang harus disesuaikan. IA = kemiringan lengkung massa dari data sesudah 1978. IO = kemiringan lengkung massa dari data sebelum 1978.
Variasi Hujan Tinggi hujan di suatu tempat tiap tahunnya tidak sama. Disamping variasi tahunan juga terjadi variasi bulanan, bahkan mungkin terdapat variasi harian.
h) Variasi tahunan Variasi tahunan dari tinggi hujan dapat dilihat dengan membandingkan lengkung massa hujan tahunan dan lengkung massa hujan rata-rata tahunan, yaitu massa hujan jika tiap-tiap tahunnya adalah tahun normal.
Gambar 9. Mas Curve Tahuan Dari Gambar 3.13 terlihat bahwa lengkung massa hujan tahun 1961 dan 1962 mempunyai kemiringan lebih kecil dari kemiringan lengkung massa hujan rata-rata hujan yang berarti tahun 1961 dan 1962 tinggi hujannya lebih rendah dari tinggi hujan rata-rata tahunan dan disebut tahun kering. Sedang dari tahun 1963 sampai 1965 terlihat bahwa kemiringan lengkung massa hujannya lebih besar dari kemiringan lengkung massa hujan rata-rata tahunannya, yang berarti tahun 1963 sampai 1965 tinggi hujannya lebih besar dari tinggi hujan rata-rata tahunannya, dan disebut tahun basah. Variasi tahun kering dan tahun basah ini sangatlah tergantung dari cara mendapatkan lengkung massa hujan rata-rata tahunnya. Sangatlah berbahaya untuk menghitung hujan rata-rata tahunan dari periode pengamatan yang terlalu pendek, kemungkinan akan didapat harga rata-rata yang terlalu tinggi atau terlalu rendah. Kurang adanya variasi tahunan pada data hujan, maka perhitungan-perhitungan diambil harga rata-ratanya, padahal dengan data hujan yang periode pengamatannya pendek tidak mungkin ditentukan suatu harga rata-rata yang tepat. Untuk mendapatkan harga rata-rata tahunan yang tidak jauh berbeda dengan harga rata-rata sejati maka data pengamatan hujan tahunan paling sedikit 30 tahun, karena penyimpangan rata-ratanya ± 2 % dari harga rata-rata sejati, dan ini cukup teliti untuk keperluan-keperluan praktis.
i) Variasi bulanan Untuk keperluan pertanian Mohr telah menentukan adanya bulan basah dan bulan kering sebagai variasi hujan bulanan. Menurut Mohr variasi bulanan adalah sebagai berikut :
�
1. Bulan Basah, tinggi hujan lebih banyak dari tinggi air yang diuapkan sehingga di dalam tanah masih tersedia air untuk tanaman. Batasannya bila tinggi hujan dalam satu bulan lebih besar dari 100 mm.
�
2. Bulan Kering, tinggi hujan kurang dari tinggi air yang mungkin dapat diuapkan. Batasannya bila tinggi hujan dalam satu bulan kurang dari 60 mm.
�
3. Bulan Normal, tinggi hujan dalam satu bulan lebih dari 60 mm tetapi kurang dari 100 mm. Bulan normal disebut juga sebagai Bulan Lembab.
j) Variasi harian Di Indonesia terlihat juga adanya variasi yang teratur dalam satu hari dengan terjadinya konsentrasi hujan yang berbeda-beda tiap jamnya. Variasi teratur dalam satu hari yang berlangsung tiap-tiap hari hujan terjadi di daerah-daerah lereng gunung yang dapat terjadi hujan karena perbedaan temperatur di atas darat dan laut, yang disebabkan oleh penyinaran matahari.
Hujan Rata-rata Daerah Aliran Data hujan yang tercatat disetiap stasiun penakar hujan adalah tinggi hujan disekitar stasiun tersebut atau disebut sebagai Point Rainfall. Karena stasiun penakar hujan tersebar di daerah aliran maka akan banyak data tinggi hujan yang diperoleh yang besarnya tidak sama. Didalam analisa hidrologi diperlukan data hujan rata-rata di daerah aliran (Catchment Area) yang kadangkadang dihubungkan dengan besarnya aliran yang terjadi. Perhitungan curah hujan rata-rata merupakan hasil penggabugan nilai curah hujan yang diperoleh dari stasiun-stasiun pengamatan curah hujan dengan metode tertentu. Adapun beberapa metode yang digunakan dalam perhitungan curah hujan rata-rata (Sosrodarsomo & Takeda, 1978):
1.
Metode Rata-rata Aljabar (Metode Arithmatic)
Biasanya cara ini dipakai pada daerah yang datar dan banyak stasiun penakar hujannya dan dengan anggapan, bahwa di daerah tersebut sifat curah hujannya adalah merata atau uniform. Metode rata-rata aljabar dapat menghasilkan data yang baik bila daerah pengamatannya datar, penempatan alat ukur tersebar merata, dan besarnya curah hujan tidak bervariasi. Metode ini merupakan metode yang paling sederhana, yaitu dengan menjumlahkan curah hujan dari semua tempat pengukuran selama satu periode tertentu dan membaginya dengan banyaknya stasiun pengukuran curah hujan. Jika dirumuskan dalam suatu persamaan adalah sebagai berikut :
R�
R1 � R2 � R3 ...... � Rn n
(...1)
(Sosrodarsomo & Takeda, 1978) di mana R adalah Curah hujan rata-rata (mm), R1....Rn adalah Besarnya curah hujan pada masing-masing stasiun (mm), n adalah Banyaknya stasiun hujan
Gambar 2.1 Sketsa Stasiun Curah Hujan Rata-rata Aljabar (Sumber: CD Soemarto, 1999)
2. Metode Poligon Thiessen Cara ini memasukkan factor pengaruh daerah yang diwakili oleh stasiun penakar hujan yang disebut sebagai faktor pembobot (weighing factor) atau disebut juga sebagai Koefisien Thiessen. Besarnya faktor pembobot, tergantung dari luas daerah pengaruh yang diwakili oleh stasiun yang dibatasi oleh polygon-polygon yang memotong tegak lurus pada tengah-tengah garis penghubung dua stasiun. Dengan demikian setiap stasiun akan terletak didalam suatu poligon yang tertutup. Jelasnya poligon-poligon tersebut dapat diperoleh sebagai berikut : 1. Hubungkan masing-masing stasiun dengan garis lurus sehingga membentuk polygon segitiga. 2. Buat sumbu-sumbu pada polygon segitiga tersebut sehingga titik potong sumbu akan membentuk polygon baru. 3. Polygon baru inilah merupakan batas daerah pengaruh masing-masing stasiun penakar hujan. Metode Poligon Thiessen memiliki ketelitian yang cukup, sehingga sangat baik jika digunakan untuk menghitung curah hujan rata-rata DTA yang masing-masing dipengaruhi oleh lokasi stasiun pengamatan curah hujan berdasarkan peta jaringan sungai dan lokasi stasiun pengamatan. Syarat-syarat penggunaan Metode Thiessen, yaitu : � Stasiun hujan minimal 3 buah dan letak stasiun dapat tidak merata � Daerah yang terlibat dibagi menjadi poligon-poligon, dengan stasiun pengamat hujan sebagai pusatnya. Cara perhitungan : Hubungkan titik-titik stasiun yang terdapat pada lokasi pengamatan sehingga terbentuk poligon, lalu tarik garis sumbu tegak lurus tepat di tengah-tengah garis-garis yang menghubungkan stasiun tersebut, sehingga diperoleh segmen-segmen yang merupakan daerah pengaruh bagi stasiun terdekat.
Gambar 2.2 Pembagian Daerah Pengaruh Metode Poligon Theissen (Sumber: CD Soemarto, 1999)
Setelah luas tiap daerah pengaruh untuk masing-masing stasiun didapat, koefisien Theissen dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut: A Ci � 1 (2.2) Atotal n
R � � C i Ri � i �1
A1 R1 � A21 R2 � A3 R3 ...... � An Rn A1 � A2 � .... � An
(2.3)
(Sosrodarsono & Takeda, 1978) di mana C = Koefisien Thiessen, Ai=Luas pengaruh dari stasiun pengamatan i (km2), A = Luas total dari DTA (km2), R = Curah hujan rata-rata (mm), R1, R2,..,Rn = Curah hujan pada setiap titik pengukuran (mm) 3.
Metode Isohyet
Isohyet adalah garis yang menunjukkan tempat kedudukan dari harga tinggi hujan yang sama. Isohyet ini diperoleh dengan cara interpolasi harga-harga tinggi hujan local (Point rainfall). Polygon Thiessen adalah tetap tidak tergantung dari harga-harga Point Rainfall, tetapi pola Isohyet berubah dengan harga-harga Point Rainfall yang tidak tetap, walaupun letak stasiun penakar hujannya tetap. Prinsip dari metode ini yaitu curah hujan pada suatu wilayah di antara dua Isohyet sama dengan rata-rata curah hujan dari garis-garis Isohyet tersebut. Syarat-syarat penggunaan Metode Isohyet, yaitu : � Digunakan di daerah datar/ pegunungan. � Stasiun hujan harus banyak dan tersebar merata � Perlu ketelitian tinggi dan diperlukan analisis yang berpengalaman. Cara perhitungan Peta Isohyet digambar pada peta topografi dengan perbedaan (interval) 10 sampai 20 mm berdasarkan data curah hujan pada titik-titik pengamatan di dalam dan di
sekitar daerah yang dimaksud. Untuk memperkirakan curah hujan daerah, titik-titik yang curah hujannya sama dihubungkan agar membentuk Isohyet dari berbagai harga. Luas bidang di antara 2 Isohyet yang berurutan diukur dengan planimeter dan rata-rata curah hujan pada wilayah di antara 2 Isohyet tersebut dianggap terjadi pada wilayah tertutup. Sehubungan dengan itu, apabila R12 adalah rata-rata curah hujan yang diwakili oleh daerah Isohyet berurutan dengan harga R1 dan R2, luas antara dua Isohyet ialah A1, dan seterusnya maka curah hujan daerahnya dapat dihitung dengan persamaan berikut:
R1 � R2 R � R3 R � Rn �1 A1 � 2 A2 � ......... � n An 2 2 2 R� A1 � A2 � .... � An
(2.4)
(CD. Soemarto, 1999) di mana R = Curah hujan rata-rata (mm), R1, R2, ......., Rn = Curah hujan stasiun 1, 2,....., n (mm), A1, A2, ….. , An = Luas bagian yang dibatasi oleh Isohyet-isohyet 2 (km )
Gambar 2.3 Daerah Pengaruh pada Metode Isohyet (Sumber: CD Soemarto, 1999)
Intensitas Ada tiga cara untuk menghitung hujan rata-rata daerah aliran atau disebut Area rainfall dari data Point Rainfall yaitu :
k) Intensitas dan Tinggi Hujan. Data hujan harian, harian maksiimum, biasanya dipublikasikan tidak dalam pola intensitasnya, tetapi hanya dalam bentuk tabel. Pola intensitas suatu hujan dapat dianalisa dari kemiringan lengkung massa hujan atau lengkung yang didapatkan dalam pengukuran hujan otomatis. Kalau hujan dibagi dalam interval waktu, maka intensitas tiaptiap interval dapat dibaca dari kemiringan masingmasing interval (Gambar 3.16)
Dari Gambar 3.16 diberikan contoh menganalisa pola intensitas hujan dari grafik pencatatan hujan otomatis. Terlihat hujan terjadi mulai jam 16 11 dan berhenti jam 17 00 dengan pola seperti pada Tabel 3.5 kolom 1, 2 dan 3. Tabel 3.5.Perhitungan Intensitas Hujan
Intensitas adalah kemiringan dari grafik pencatatan hujan otomatis yang tidak lain adalah harga tangen, yaitu :
dimana : I = intensitas hujan dalam (mm/jam) , R = hujan selama interval (mm), t = interval watktu (jam) Dalam Tabel 3.5 pada kolom 4 baris 1,
Dari hasil perhitungan intensitas hujan seperti pada Table 3.5 dapat digambarkan diagram pola intensitasnya yang disebut Hyetograp (Gambar 3.17). Melihat pola Hyetograpnya hujan dibedakan menjadi empat macam yaitu, Uniform pattern, Advanced pattern, Intermediate pattern dan Deleyed pattern (Gambar 3.18).
l) Intensitas dan Waktu Hujan Hujan dengan intensitas besar umumnya terjadi dalam waktu yang pendek. Hubungan intensitas dan waktu hujan banyak dirumuskan yang pada umumnya tergantung dari parameter kondisi setempat. Besarnya intensitas curah hujan itu berbeda-beda dan disebabkan oleh waktu curah hujan dan frekwensi kejadiannya. Beberapa rumus intensitas hujan yang berhubungan dengan hal ini disusun sebagai rumus-rumus empiris yang dapat dituliskan sebagai berikut : a. Untuk hujan dengan waktu kurang dari dua jam Prof. Talbot (1881) menuliskan perumusan :
dimana : I = intensitas hujan (mm/jam), t = waktu hujan (jam), a, b = konstanta yang tergantung keadaan setempat. b. Untuk hujan dengan waktu lebih dari dua jam Prof. Sherman (1905) menuliskan perumusan :
dimana : c, n = konstanta yang tergantung keadaan setempat, I = Intensitas hujan (mm/jam) t = waktu hujan (jam). c. Perkembangan perumusan ini dikemukakan pula oleh Dr. Ishigoro (1953) yang ditulis sebagai berikut :
dimana : I, t, a, b = sama dengan persamaan 3.16, Analisa dari perumusan pada persamaan (3.16); (3.17) dan (3.18) memerlukan data hujan dengan waktu mulai dari pendek sampai kurang dari 24 jam (hujan jam-jaman). Untuk data hujan harian perumusan di atas tidak bisa digunakan. d. Mononobe menuliskan perumusan intensitas untuk hujan harian sebagai berikut :
dimana : I = intensitas hujan (mm/jam), R24 = tinggi hujan maximum dalam 24 jam (mm), t = waktu hujan (jam), m = konstanta (= 2/3). Besarnya tinggi hujan yang dipakai dalam perumusan persamaan di atas selalu dihubungkan dengan frekwensinya. Dari persamaan-
persamaan di atas untuk data tinggi hujan dengan frekwensi tertentu dapat digambarkan grafiknya. Tinggi Hujan dan Waktu Di Indonesia sebagian besar data hujan yang dipublikasikan adalah tinggi hujan harian, sedangkan untuk perhitungan analisa hidrologi sering diperlukan tinggi hujan dalam waktu kurang dari atau lebih dari satu hari. Di Indonesia dipergunakan tiga macam perumusan untuk hujan dengan waktu lebih dari satu hari, kurang dari satu hari dan kurang dari satu jam. a. Tinggi hujan untuk hujan 1 – 10 hari Haspers telah menyusun suatu rumus yang menggambarkan hubungan antara tinggi dan waktu hujan untuk hujan 1 hari sampai 10 hari sebagai berikut :
dimana : t = banyaknya hari hujan, R = tinggi hujan (mm), R24 = tinggi hujan dalam 24 jam (mm)
Frekwensi Hujan. Frekwensi hujan adalah kemungkinan terjadi atau dilampainya suatu tinggi hujan tertentu dalam massa tertentu pula, yang juga disebut sebagai massa ulang (return periode). Hujan dengan tinggi tertentu disamai atau dilampaui 5 kali dalam pengamatan data selama 50 tahun, ini berarti tinggi hujan tersebut rata-rata mempunyai frekwensi atau periode ulang sekali dalam 10 tahun. Bukan berarti setiap 10 tahun sekali (interval 10 tahun) akan terjadi tinggi hujan yang sama atau dilampaui, tetapi rata-rata dalam 50 tahun terjadi 5 kali peristiwa disamai atau dilampaui. Frekwensi hujan ini dapat berupa harga-harga tinggi hujan maksimum atau tinggi hujan minimum. Biasanya tinggi hujan yang maksimum dan minimum yang pernah terjadi selama pengamatan atau pengukuran bukanlah merupakan tinggi hujan ekstrim maksimum ataupun minimum. Lebih-lebih kalau periode pengamatan pendek, hingga tidak didapatkan harga-harga tinggi hujan maksimum atau minimum yang sebenarnya. Bahkan dengan periode pengamatan yang lamapun harga-harga extrim yang sebenarnya tidak juga dapat terukur. Tinggi hujan ekstrim maksimum dan minimum ini dapat didekati dengan analisa statistik dari data pengamatan yang terkumpul. Tinggi Hujan Rencana. Dalam merencanakan suatu bangunan air atau merancang proyek-proyek Pengembangan Sumber-sumber Air (PSA) dipakai suatu tinggi hujan tertentu sebagai dasar untuk menentukan dimensi suatu bangunan. Hal ini dilakukan karena hujan akan menyebabkan aliran permukaan yang nantinya lewat bangunan yang direncanakan, misalnya gorong-gorong pada jalan raya, weir pada daerah irigasi, spillway pada dam reservoir air dan lain sebagainya. Hujan yang dipakai dasar design bangunan seperti di atas disebut sebagai Tinggi
Hujan Rencana. Harga tinggi hujan rencana tergantung dari besar kecilnya bahaya dan kerugian yang dapat ditimbulkan oleh suatu kegagalan bangunan sehingga resiko yang diambil berbeda-beda. Bila kegagalan bangunan akan menyebabkan kerugian yang besar maka untuk perencanaan biasanya diambil tinggi hujan rencana yang mendekati harga extrim maximum, karena resiko yang kita ambil adalah kecil. Sedang kalau kegagalan bangunan hanya menimbulkan kerugian yang tidak begitu besar, maka diambil resiko yang lebih besar dengan mengambil tinggi curah hujan rencana yang lebuh kecil dari harga ekstrim maksimum.
Bab 2. Parameter Statistik Data Hujan 1. Pengukuran tendensi sentral 2. Rata rata 3. Median 4. Modus 5. Kuartil 6. Dispersi Data 7. Range 2.2.2 Pengukuran Dispersi Dalam analisis frekuensi, curah hujan dan data hidrologi dikumpulkan, dihitung, disajikan dan ditafsirkan dengan menggunakan prosedur tertentu, yaitu metode statistik. Perhitungan hidrologi pada metode statistik berkaitan dengan dispersi dari data hidrologi, dispersi adalah besarnya derajat atau besaran varian di sekitar nilai rata-ratanya. Cara mengukur besarnya dispersi disebut pengukuran dispersi. Adapun pengukuran dispersi meliputi : a. Standar Deviasi (S) Umumnya ukuran dispersi yang paling banyak digunakan adalah standar deviasi dan varian. Varian dihitung sebagai nilai kuadrat dari standar deviasi. Apabila penyebaran data sangat besar terhadap nilai rata-rata maka nilai standar deviasi akan besar, akan tetapi bila penyebaran data sangat kecil terhadap nilai rata-rata maka standar deviasi akan kecil.
� �X n
S�
i �1
i
� X�
�n � 1�
............................................................................(2.)
Dimana S: Standar Deviasi, Xi Nilai Varian, X Nilai Rata-rata, n Jumlah Data, Koefisien Skewness (Cs). Kemencengan (Skewness) adalah suatu nilai yang menunjukkan derajat ketidaksimetrisan dari suatu bentuk distribusi, ukuran kemencengan dinyatakan dengan besar koefisien kemencengan (coefficient of skewness)
n � �X i � X � n
Cs �
i �1
3
�n � 1��n � 2�S 3
.......................................................................(2.)
Dimana Cs Koefisien Kemencengan, Xi Nilai Varian, X Nilai Rata-rata, n Jumlah Data S Standar Deviasi. b. Pengukuran Kurtosis (Ck)
Pengukuran kurtosis dimaksudkan untuk mengukur keruncingan dari bentuk kurva distribusi, yang umumnya dibandingkan dengan distribusi normal. 1 n � �X i � X � n i �1 Ck � ........................................................................(2.6) S4 Dimana : Ck : Koefisien Kurtosis, Xi Nilai Varian, X Nilai Rata-rata, S Standar Deviasi. c. Koefisien Variasi (Cv) Koefisien variasi adalah nilai perbandingan antara standar deviasi dengan nilai rata-rata hitung dari suatu distribusi. S Cv � ...........................................................................................(2.7) X Dimana Cv Koefisien Kurtosis, X Nilai Rata-rata, S Standar Deviasi 2.7.3. Perhitungan Curah Hujan Rencana Perhitungan curah hujan rencana digunakan untuk meramalkan besarnya hujan dengan periode ulang tertentu (Soewarno, 1995). Berdasarkan curah hujan rencana dapat dicari besarnya intensitas hujan atau analisis frekuensi yang digunakan untuk mencari debit banjir rencana. Analisis frekuensi ini dilakukan dengan menggunakan sebaran. Penentuan jenis sebaran yang akan digunakan untuk analisis frekuensi dapat menggunakan beberapa cara sebagai berikut : a. Sebaran Gumbel Type I Sebaran Gumbel tipe I ini digunakan untuk analisis data maksimum, misal untuk analisis frekuensi banjir. Untuk menghitung curah hujan rencana dengan metode sebaran Gumbel tipe I digunakan persamaan distribusi frekuensi empiris sebagai berikut (CD. Soemarto, 1999) : S �YT � Yn� .......................................................................(2.8) X = �� + Sn
� �X
i
�X
�2
.........................................................................(2.9) n �1 Hubungan antara periode ulang T dengan YT dapat dihitung dengan rumus :Untuk T ≥ 20, maka Y = In T ........................................................................................(2.10) T - 1� � ........................................................................(2.11) Y = -In �� In T �� � Dimana X Nilai hujan rencana dengan data ukur T tahun, X Nilai rata-rata hujan, S Standar deviasi (simpangan baku), YT Nilai reduksi variasi dari variabel yang diharapkan terjadi pada periode ulang T tahun, Y Nilai rata-rata dari reduksi variasi. Nilainya tergantung dari jumlah data, Sn Standar deviasi dari reduksi variasi. Nilainya tergantung dari jumlah data. S=
Tabel 2.1 Nilai Rata-Rata dari Reduksi Variansi (Y) untuk Metode Sebaran Gumbel Type I
N
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0,4952
0,4996
0,5035
0,5070
0,5100
0,5128
0,5157
0,5181
0,5202
0,5520
20
0,5236
0,5252
0,5268
0,5283
0,5296
0,5300
0,5820
0,5882
0,5343
0,5353
30
0,5363
0,5371
0,5380
0,5388
0,5396
0,5400
0,5410
0,5418
0,5424
0,5430
40
0,5463
0,5442
0,5448
0,5453
0,5458
0,5468
0,5468
0,5473
0,5477
0,5481
50
0,5485
0,5489
0,5493
0,5497
0,5501
0,5504
0,5508
0,5511
0,5515
0,5518
60
0,5521
0,5524
0,5527
0,5530
0,5533
0,5535
0,5538
0,5540
0,5543
0,5545
70
0,5548
0,5550
0,5552
0,5555
0,5557
0,5559
0,5561
0,5563
0,5565
0,5567
80
0,5569
0,5570
0,5572
0,5574
0,5576
0,5578
0,5580
0,5581
0,5583
0,5585
90
0,5586
0,5587
0,5589
0,5591
0,5592
0,5593
0,5595
0,5596
0,5598
0,5599
100
0,5600
Sumber : CD. Soemarto,1999 Tabel 2.2 Standar Deviasi dari Reduksi Variasi (Sn) untuk Metode Sebaran Gumbel Type I N
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0,9496
0,9676
0,9833
0,9971
10,095
10,206
10,316
10,411
10,493
10,565
20
10,628
10,696
10,754
10,811
10,864
10,315
10,961
11,004
11,047
11,080
30
11,124
11,159
11,193
11,226
11,255
11,285
11,313
11,339
11,363
11,388
40
11,413
11,436
11,458
11,480
11,499
11,519
11,538
11,557
11,574
11,590
50
11,607
11,923
11,638
11,658
11,667
11,681
11,696
11,708
11,721
11,734
60
11,747
11,759
11,770
11,782
11,793
11,803
11,814
11,824
11,834
11,844
70
11,854
11,863
11,873
11,881
11,890
11,898
11,906
11,915
11,923
11,930
80
11,938
11,945
11,953
11,959
11,967
11,973
11,980
11,987
11,994
12,001
90
12,007
12,013
12,026
12,032
12,038
12,044
12,046
12,049
12,055
12,060
100
12,065
Sumber : CD. Soemarto,1999 Tabel 2.3 Nilai Reduksi Variasi (YT) untuk Metode Sebaran Gumbel Type I Periode Ulang (Tahun) 2
Nilai Reduksi Variasi 0,3665
5
1,4999
10
2,2502
20
2,9606
25
3,1985
50
3,9019
100
4,6001
200
5,2960
500
6,2140
1000
6,9190
5000
8,5390
10000
9,9210
Sumber : CD. Soemarto,1999 a. Sebaran Pearson Type III
Distribusi Pearson Type III sering disebut dengan distribusi Gamma. Distribusi akan membentuk garis lengkung apabila digambarkan pada kertas peluang normal. Adapun persamaannya adalah sebagai berikut : X = X + K.S ..................................................................................(2.12) Dimana X : Data curah hujan, X : Rata-rata curah hujan, K : Faktor sifat dari distribusi Pearson Type III yang merupakan fungsi dari besarnya CS dan peluang. b. Sebaran Log Pearson Type III Sebaran Log Pearson Type III ini digunakan dalam analisis hidrologi, terutama dalam analisis data maksimum (banjir) dan minimum (debit minimum) dengan nilai ekstrim. Bentuk sebaran Log Pearson Type III merupakan hasil transformasi dari sebaran Pearson Type III dengan menggantikan variasi menjadi nilai logaritmik.metode ini apabila digambarkan pada kertas peluang logaritmik akan merupakan persamaan garis lurus, sehingga dapat dinyatakan sebagai model matematik dengan persamaan berikut : Y = Y + K.S ..................................................................................(2.13) Dimana Y Nilai logaritmik dari X atau log (X). Y Rata-rata hitung nilai Y. S Standar deviasi nilai Y. K Karakteristik distribusi peluang Log Pearson Type III. c. Sebaran Normal Sebaran ini sering digunakan dalam analisis hidrologi seperti analisis frekuensi curah hujan, analisis statistik dari distribusi rata-rata curah hujan tahunan dan sebagainya. Sebaran Normal juga sering disebut sebaran Gauss. Adapun persamaannya adalah sebagai berikut : X = X + K.S ..................................................................................(2.14) Dimana X Perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan peluang tertentu atau pada periode ulang tertentu, X Nilai rata-rata curah hujan, K Nilai variabel reduksi gauss, S Standar deviasi Tabel 2.4 Nilai Variabel Reduksi Gauss Periode Ulang (Tahun) 1,001 1,005 1,010 1,050 1,110 1,250 1,330 1,430 1,670 2,000 2,500 3,330 4,000 5,000 10,00 20,00 50,00 100,0 200,0 500,0 1000
Peluang
k
0,999 0,995 0,990 0,950 0,900 0,800 0,750 0,700 0,600 0,500 0,400 0,300 0,250 0,200 0,100 0,050 0,200 0,010 0,005 0,002 0,001
-3.05 -2.58 -2.33 -1.64 -1.28 -0.84 -0.67 -0.52 -0.25 0 0,25 0,52 0,67 0,84 1,28 1,64 2,05 2,33 2,58 2,88 3,09
Sumber : Soewarno, 1995
d. Sebaran Log Normal Sebaran log normal merupakan hasil transformasi dari sebaran normal, yaitu dengan mengubah nilai variasi X menjadi nilai logaritmik variasi X. Sebaran log Pearson III akan menjadi sebaran log normal apabila nilai koefisien kemencengan Cs = 0,00. Metode log normal apabila digambarkan pada kertas peluang logaritmik akan merupakan persamaan garis lurus, sehingga dapat dinyatakan sebagai model matematik dengan persamaan sebagai berikut: Y = Y + K.S ..................................................................................(2.15) Dimana Y Nilai logaritmik X atau log X, Y Rata-rata nilai Y, S Standar deviasi nilai Y, K : Nilai variabel reduksi Gauss pada tabel 2.4 e. Uji Kesesuaian Distribusi Uji kesesuaian distribusi dilakukan untuk mengetahui kebenaran dari uji hipotesa dari perhitungan analisis frekuensi distribusi, juga menentukan kecocokan distribusi frekuensi dari sampel data terhadap fungsi distribusi peluang yang diperkirakan dapat menggambarkan atau mewakili distribusi frekuensi tersebut diperlukan pengujian parameter. Pengujian parameter dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu Chi-Kuadrat ataupun dengan Smirnov-Kolmogorov. Adapun hasil yang didapat adalah kebenaran antara hasil pengamatan dengan model distribusi yang diharapkan atau diperoleh secara teoritis. Serta kebenaran hipotesa diterima atau ditolak untuk digunakan pada perhitungan selanjutnya. f. Uji Chi-Kuadrat Uji Chi-Kuadrat dimaksudkan untuk menentukan apakah persamaan distribusi peluang yang telah dipilih dapat mewakili dari distribusi statistik sampel data yang dianalisis. Pengambilan keputusan uji chi ini menggunakan parameter x2 , oleh karena itu disebut dengan uji chikuadrat. Adapun kriteria penilaian hasilnya adalah apabila peluang lebih dari 5 % maka persamaan distribusi teoritis yang digunakan dapat diterima, apabila peluang lebih kecil dari 1 % maka persamaan distribusi teoritis yang digunakan dapat diterima, serta apabila peluang berada antara 1% - 5% maka tidak mungkin mengambil keputusan, perlu penambahan data. Adapun persamaan yang digunakan untuk pengujian chi-kuadrat adalah : n
�Oi � Ei �2
i �1
Ei
X �� 2
.......................................................................(2.16)
Dimana X2 Harga chi kuadrat terhitung, Oi Jumlah nilai pengamatan pada sub kelompok ke1, Ei Jumlah nilai teoritis pada sub kelompok ke-1, n Jumlah data, suatu distribusi dikatakan selaras jika nilai X2 hitung < X2 kritis. Nilai X2 kritis dapat dilihat pada tabel 2.6. dari hasil pengamatan yang didapat dicari penyimpangannya dengan chi-kuadrat kritis paling kecil. Untuk suatu nilai nyata tertentu yang sering diambil adalah 5%. Derajat kebebasan ini secara umum dihitung dengan rumus sebagai berikut : Dk = n – 3 .....................................................................................(2.17) Dimana Dk Derajat Kebebasan, n Banyaknya data
Tabel 2.5 Nilai Kritis untuk Distribusi Chi Kuadrat
g. Uji Smirnov- Kolmogorov Uji kecocokan Smirnov- Kolmogorov sering juga disebut uji kecocokan non parametik, karena pengujiannya tidak menggunakan fungsi distribusi tertentu. Pengujian kecocokan sebaran dengan cara ini dinilai lebih sederhana dibanding denga pengujian cara chi-kuadrat. Dengan membandingkan kemungkinan untuk setiap variat dari distribusi empiris dan teoritisnya akan terdapat perbedaan (Δ) tertentu. Apabila harga Δmaks yang terbaca pada kertas probabilitas lebih kecil dari Δkritis maka distribusi teoritis yang digunakan untuk menentukan persamaan distribusi dapat diterima, apabila Δmaks lebih besar dari Δkritis maka distribusi teoritis yang digunakan untuk menentukan persamaan distribusi tidak dapat diterima.
Tabel 2.6 Nilai Derajat Kepercayaan Uji Keselarasan Smirnov-Kolmogorov
Sumber : Soewarno, 1995 h. Koefisien Pengaliran (C) Koefisien pengaliran adalah suatu variabel yang didasarkan pada kondisi daerah pengaliran dan karakteristik hujan yang jatuh didaerah tersebut. adapun kondisi dan karakteristik yang dimaksud adalah kondisi hujan, luas dan bentuk daerah pengaliran, kemiringan daerah aliran dan kemiringan dasar sungai, daya infiltrasi dan perlokasian tanah, kebasahan tanah, suhu udara dan angin serta evaporasi dan tata guna lahan. Nilai koefisien pengaliran (C) dapat ditinjau pada tabel 2.7. Tabel 2.7 Nilai Koefisien Pengaliran
Sumber : Suripin, 2004.
i. Intensitas Curah Hujan Intensitas hujan adalah tinggi atau kedalaman air hujan persatuan waktu. Sifat umum hujan adalah semakin singkat hujan berlangsung, intensitasnya cenderung makin tinggi dan semakin besar periode ulangnya, semakin tinggi pula intensitasnya. Rumus-rumus yang dipakai untuk perhitungan intensitas curah hujan yaitu : a. Menurut Dr. Mononobe Jika data curah hujan yang ada hanya curah hujan harian. Rumus yang digunakan : 2
R � 24 � 3 I = 24 .� � ...............................................................................(2.18) 24 � t � Dimana I intensitas curah hujan (mm/jam), T lamanya curah hujan (jam), R24 curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm), b. Menurut Sherman Rumus yang digunakan yaitu : a I = b ............................................................................................(2.19) t Dimana I Intensitas curah hujan (mm/jam), t Lamanya curah hujan (menit), a,b Konstanta yang tergantung pada lama curah hujan yang terjadi didaerah aliran n Banyaknya pasangan data i dan t c. Menurut Talbot Rumus yang dipakai yaitu : I=
a .....................................................................................(2.20) �t � b�
Dimana I intensitas curah hujan (mm/jam), t: lamanya curah hujan (menit), a,b konstanta yang tergantung pada lama curah hujan yang terjadi didaerah aliran, n banyaknya pasangan data i dan t d. Menurut Ishiguro Rumus yang digunakan yaitu : I=
a t �b
.....................................................................................(2.21)
Dimana I intensitas curah hujan (mm/jam), t lamanya curah hujan (menit), a,b konstanta yang tergantung pada lama curah hujan yang terjadi didaerah aliran, n banyaknya pasangan data i dan t
Deviasi Rata-Rata Deviasi Stqndar dan Varion Koefisien Variasi Kemencengan Kesalahan Standar Pengukuran Momen 6. Pengukuran Kurtosis.
1. 2. 3. 4. 5.
Distribusi data hujan Pendatruluan 1. Aplikasi Distribusi Peluang Deskrit a. Aplikasi Distribusi Peluang Binomial b. Aplikasi Distribusi Peluang Poisson 2. Aplikasi Distribusi Peluang Kontinyu a. Aplikasi Distribusi Normal b. Aplikasi Distribusi Gumbel i. Aplikasi Distribusi Gumbel Tipe I ii. Aplikasi Distribusi Gumbel Tipe III c. Aplikasi Distribusi Pearson i. Aplikasi Distribusi Pearson Tipe III ii. Apt'ikasi Distribusi Log Pearson Tipe III d. Aplikasi Distribusi Frechet e. Aplikasi Distribusi Log Normal i. Aplikasi Distribusi Log Normal 2 parameter ii. Aplikasi Distribusi Log Normal 3 Parameter f. Aplikasi Distrihusi Grtodrich 3. Distribusi Peluang a. Pengumpulun Data b. Periode Ulang Hujan c. Penggambaran Kurva Distribusi Peluang i. Grafik Peluang ii. Penggambaran Posisi Data d. Penentuan Kurva Persamaan Distribusi Peluang ... e. Batas Daerah Kepercayaan Periode Uang f. Uji.Kecocokan
i. Uji Chi-Kuadrat ii. Uji Smirnov-Kolmogorov g. Pemilihan Persamaan Distribusi yang sesuai
��������������������������������������������������������������������������� ��������������������������������������������������������������������������������� �����������������������������������������������������