BUDAYA SPIRITUAL MENGENAI MAKAM SYEKH MUHAMMAD AMIR DI KABUPATEN BANTAENG SPIRITUAL CULTURE OF THE GRAVE OF SYEKH MUHAMMAD AMIR IN BANTAENG REGENCY $EGXO+D¿G Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km.7 Makassar, 90221 Telepon (0411) 883748/885119, Faksimile (0411) 883748 Handphone: 081342937135 Diterima: 9 Februari 2015; Direvisi: 30 Maret 2015; Disetujui: 27 Mei 2015 ABSTRACT This paper examines the spiritual culture in the grave of Syekh Muhammad Amir in Bantaeng and reveals the various public perception about the pro and contra of the grave pilgrimage. Thus, this article aims to reveal the pilgrim behavior and the motivation of society and their perception of the existence of the grave of Syekh Muhammad Amir. This research was conducted in the Bonto Lebang Village, Subdistrict of Bessapu, Bantaeng Regency, South Sulawesi Province. The method used is descriptive with a qualitative approach through data collection techniques, such as: observation, literature study, and interviews to some leaders, pilgrims, and caretaker (prayer reader) of the grave of Syekh Muhammad Amir. The study result gives illustration that 6\HNK0XKDPPDG$PLUZKRIDPLOLDUO\JUHHWVZLWK'DWRN.DOLPEXQJDQLVDFKDULVPDWLF¿JXUHDQGDJUHDW clergyman who has admired by Bantaeng societies and surroundings because of his simplicity and has a high science. During his life, he was an announcer of Islam since 1912 in Kalimbungan and after died, his grave was considered sacred. This behavior deviates from Islamic law, but his supporters believe it in another form. Keywords: spiritual culture, sacred grave, Syekh Muhammad Amir. ABSTRAK Tulisan ini mengkaji tentang budaya spiritual di lingkungan makam Syekh Muhammad Amir di Kabupaten Bantaeng sekaligus mengungkapkan berbagai persepsi masyarakat tentang pro dan kontra terhadap ziarah kuburan. Dengan demikian, tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan perilaku peziarah dan motivasi masyarakat serta persepsinya terhadap keberadaan makam tersebut. Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Bonto Lebang, Kecamatan Bessapu, Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan. Metode penelitian yang digunakan bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif melalui teknik pengumpulan data, berupa: observasi, studi pustaka, dan wawancara terhadap beberapa tokoh masyarakat, para peziarah dan juru kunci (pembaca doa) makam Syekh Muhammad Amir. Hasil penelitian memberikan gambaran bahwa Syekh Muhammad Amir yang akrab disapa dengan nama Datok Kalimbungan adalah sosok manusia yang memiliki kharismatik dan seorang ulama besar yang sangat dikagumi oleh masyarakat Bantaeng dan sekitarnya karena kesederhanaannya dan memiliki ilmu yang tinggi. Semasa hidupnya, beliau adalah penyiar agama Islam sejak tahun 1912 di Kalimbungan dan setelah meninggal, makamnya dianggap keramat. Perilaku ini pada dasarnya menyimpang dari syariat Islam, namun masyarakat pendukungnya meyakini dalam bentuk lain. Kata Kunci: budaya spiritual, makam keramat, Syekh Muhammad Amir.
PENDAHULUAN Meskipun di tengah arus perkembangan yang sangat pesat dalam berbagai aspek kehidupan saat ini, akan tetapi hampir di seluruh pelosok baik mereka yang berada di pedesaan ataupun di kotakota besar, masih banyak masyarakat Indonesia
yang masih kuat berpegang pada adat kebiasaan dan mentalitas para leluhur mereka, yakni tentang kepercayaan sebagai keyakinan dalam hidupnya yang diwujudkan melalui tindakan, di antaranya pada waktu-waktu tertentu untuk pergi berkunjung ke tempat-tempat yang dianggap keramat, seperti
139
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 139—152 ke makam-makam para leluhur atau ke tempattempat tertentu (keramat) dan mempunyai petuah, di samping itu tempat tersebut dianggap mempunyai nilai historis. Sejalan dengan ini, Clifford Geertz dalam (Purnama, 2008:936) berpendapat bahwa ada anggapan di kalangan masyarakat di mana tempat-tempat keramat itu adalah tempat bersemayamnya arwah leluhur atau dewa-dewa dan kekuatan-kekutan gaib. Pada saatsaat tertentu, di mana tempat tersebut dijadikan pusat kegiatan keagamaan, misalnya upacara persembahan kepada “Yang Maha Kuasa” dengan melalui situs religius. Dalam situs religius ini, setiap tingkah laku manusia dikeramatkan diiringi suasana hati dan motivasi yang ditimbulkan oleh simbol-simbol sakral (keramat) dalam diri manusia. Situasi yang demikian itu terbentuk dalam kesadaran spiritual sebuah masyarakat. Rahmat Subagya dalam (Sucipto, 2006:67) berpendapat bahwa tempat keramat yang didukung oleh adanya tokoh dimitoskan yang mempunyai kharisma, umumnya dijadikan tempat ziarah bagi masyarakat dengan maksud dan tujuan tertentu. Sejalan dengan ini, Peursen dalam (Hermana, 2010:503) mengatakan bahwa mitos adalah sebagai pedoman yang memberikan arah kepada manusia dalam berperilaku. Ziarah pada hakikatnya untuk menyadarkan manusia bahwa kehidupan di dunia ini hanya sementara. Setiap manusia menyadari bahwa selain dunia fana ini, ada suatu alam dunia yang tidak tampak olehnya, dan berada di luar batas akalnya. Dunia yang dimaksudkan itu, adalah dunia supranatural atau dunia alam gaib. Berbagai kebudayaan menganut kepercayaan bahwa dunia gaib dihuni oleh berbagai mahluk dan kekuatan yang tak dapat dikuasai oleh manusia dengan cara-cara biasa, dan karena itu dunia gaib pada dasarnya ditakuti oleh manusia. Koentjaraningrat (1997:203) melalui tulisannya diungkapkan, bahwa mahluk dan kekuatan yang menghuni dunia alam gaib terdiri atas tiga hal, yaitiu (1) dewadewa yang baik dan buruk, (2) mahluk-mahluk halus lainnya seperti roh para leluhur, hantu dan lain-lainnya baik yang jahat maaupun yang baik, (3) kekuatan sakti yang dapat bermanfaat bagi manusia maupun yang dapat membawa bencana. Haviland (1993:207), mengungkapkan 140
bahwa kepercayaan animisme adalah salah satu kepercayaan tentang mahluk-mahluk supranatural yang menganggap bahwa alam semesta dijiwai oleh segala macam roh. Roh-roh itu bermacammacam, pada umumnya mereka lebih dekat pada manusia dan lebih terlibat pada urusan seharihari, mereka ada yang baik, ada yang jahat atau ada yang sekedar netral, mempesona, menarik hati atau bahkan jahat. Mereka yang dapat senang atau jengkel oleh perbuatan manusia, oleh karena orang harus menaruh perhatian kepada mahluk-mahluk supranatural tersebut. Demikian halnya kepercayaan terhadap arwah leluhur, yang menganggapnya bagian dari anggota masyarakat. Seperti halnya orang-orang yang masih hidup, arwah leluhur dapat bersikap baik atau bermusuhan terhadap kita. Kepercayaan yang mendalam terhadap arwah leluhur seperti itu khususnya cocok dengan masyarakat yang terdiri atas kelompok-kelompok kekerabatan yang mempunyai orientasi kepada leluhur. Akan tetapi lebih dari itu kepercayaan yang dimaksudkan dapat memberi rasa kesinambungan yang kuat, di mana masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang semuanya saling berkaitan. Dasar-dasar pemikiran tersebut yang masih mewarnai masyarakat Indonesia yang menganggap bahwa dunia itu merupakan sebagai satu kesatuan mitis yang utuh. Ia harus menjalin relasi yang baik dengan seluruh alam semesta. Begitu pula dengan dunia lain yang dianggap mampu untuk memberikan keselamatan dan mewujudkan suatu keinginan tertentu. Dalam mengekspresikan adanya getaran jiwa, suatu emosi membutuhkan suatu objek tujuan sebagai sarananya, yakni tempat-tempat keramat yang dianggap suci untuk mengespresikan emosi keagamaan kepada arwah leluhur. Kontjaraningrat dalam (Hermana, 2010:503), mengartikan emosi keagamaan sebagai sutau getaran dan pada suatu ketika pernah menghinggapi seorang manusia dalam waktu hidupnya, walaupun hanya sesaat. Emosi keagamaan ada di belakang setiap kelakuan serba religi, sehingga menyebabkan timbulnya sikap keramat, baik pada kelakuan manusia itu sendiri maupun pada tempat kelakuan itu diungkapkan. Adanya emosi keagamaan menyebabkan
Budaya Spiritual Mengenai ... $EGXO+D¿G
orang melakukan aktivitas untuk berkunjung ke tempat-tempat yang dianggap keramat. Mereka mempunyai maksud dan tujuan agar apa yang diinginkan dapat terkabul atau terlaksana, bahkan dapat pula sebagai wujud ungkapan hormat, tunduk, sujud dan sebagainya. Peziarah yang datang ada yang secara rutin melakukan perjalanan tersebut dengan penuh semangat, kesungguhan, dan keikhlasan. Oleh karena itu, ada asumsi bahwa kegiatan tersebut merupakan suatu kewajiban atau hanya suatu cara untuk memenuhi keinginan. Hal lainnya orang yang melakukan ziarah ini karena lagi trendi atau hanya sekedar ingin tahu saja keberadaan tempat makam tersebut. Asumsi tersebut dapat diamati pada pola pemikiran masyarakat Bantaeng, di mana mereka masih sangat mengkultuskan tempat-tempat yang dianggap keramat dan bersejarah. Tempat-tempat atau makam-makam yang sering digunakan untuk ziarah biasanya berkaitan dengan keperluan spiritual. Tempat-tempat ini biasanya adalah makam-makam para tokoh “sejarah,” ulama yang berpengaruh pada zamannya, khususnya yang berkaitan dengan penyebaran agama Islam di Bantaeng. Kepercayaan sebagian masyarakat Bantaeng terhadap sebuah makam sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari pola pikir orang itu serta tokoh yang dimakamkan. Pada umumnya, makam-makam yang didatangi atau digunakan oleh para peziarah, yakni seseorang yang memiliki kharismatik tertentu serta pengaruh tertentu semasa hidupnya, walaupun sebenarnya mitos atau lagenda atau cerita yang beredar dalam masyarakat pendukungnya. Cerita yang berkembang dalam masyarakat itulah yang kemudian menjadi daya tarik bagi para peziarah untuk datang atau berkunjung. Menurut Sri Mumfangati dalam (Ismail, 2013:157) diungkapkan bahwa ada empat tujuan seseorang melakukan kegiatan ziarah, yakni (1) Taktyarasa; berziarah dengan tujuan memperoleh berkah (ngalap berkah); (2) Gorowasi (berziarah ke legendaris untuk memperoleh kekuatan, popularitas, stabilitas, serta umur panjang, mencari ketenangan bathin); (3) Widiginong (berziarah dengan tujuan mencari kekayaan dunia maupun jabatan dan rezeki duniawi) dan (4) Samaptadanu (upaya mencari
kebahagian untuk anak cucu agar selamat dan untuk mencari keselamatan). Sejalan dengan itu, sebagian masyarakat Bantaeng dewasa ini masih kuat dengan perilaku spiritual, di mana keberadaan makam leluhur masih banyak yang memanfaatkan untuk meminta berkah dan sebagainya. Satu di antara sekian makam yang ada di Bantaeng yang tetap ramai dikunjungi hingga saat ini, adalah makam Syekh Muhammad Amir. Tokoh ini diketahui telah memiliki daya tarik tersendiri, memiliki karomah dan kelebihan selama masih hidup, sehingga selalu ramai dikunjungi orang terutama pada hari-hari tertentu. Oleh karena itu, penulis terarik melakukan penelitian, mengingat kondisi dewasa ini perhatian masyarakat Bantaeng dan sekitarnya akan spiritual sangat antosiasi keberadaannya, yang merupakan sebagai sarana untuk melakukan kegiatan religius. Serta adanya pula upaya pemerintah setempat untuk tetap melestarikan keberadaan tempat-tempat spiritual, termasuk keberadaan makam Syekh Muhammad Amir. Bahkan makam ini dapat dijadikan sebagai objek wisata daerah Kabupaten Bantaeng. Ini dapat dilihat dengan disediakannya loket atau pos sebagai tempat penjualan kercis masuk ke makam Syekh Muhammad Amir. Berdasarkan pemaparan ini di atas, fokus masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana budaya spiritual mengenai makam Syekh Muhammad Amir di Bantaeng” ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut diajukan beberapa pertanyaan sebagai rincian dari masalah tersebut, yaitu: (1) bagaimana profil makam Syekh Muhammad Amir ? (2) bagaimana tata cara berziarah di makam Syekh Muhammad Amir ? (3) Bagaimana motivasi dan tujuan peziarah, dan (4) bagaimana persepsi masyarakat tentang kegiatan berziarah ke makam Syekh Muhammad Amir ?. Mengacu pada pokok permasalahan tersebut, maka tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan budaya spiritual mengenai makam Syekh Muhammad Amir di Bantaeng. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi input bagi pengambil kebijakan terutama kepada pemerintah setempat, dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan NHSDULZLVDWDDQ GDHUDKQ\D EDLN GDUL VHJL ¿VLN PDXSXQQRQ¿VLN6HODLQLWXMXJDXQWXNSHPELQDDQ 141
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 139—152 masyarakat dalam arti pembinaan sikap, perilaku, dan nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat. Tulisan ini diharapkan pula dapat memberi referensi bagi ilmuwan, peneliti dan pemerhati dalam bidang kebudayaan serta semua pihak yang ingin mengkaji atau meneliti tentang budaya spiritual makam Syekh Muhammad Amir untuk dapat lebih mengembangkan pada penelitian selanjutnya. Dalam mewujudkan permasalahan pada penelitian ini, terlebih dahulu dijelaskan beberapa konsep atau pengertian oleh para ilmuawan, sebagai acuan untuk kepentingan operasional. Konsep atau pengertian yang dimaksud dalam penelitian ini, adalah tentang kepercayaan. Kepercayaan adalah sebutan bagi sistem religi yang tidak termasuk salah satu dari agama yang diakui pemerintah seperti: agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Koentjaraningrat dalam (Katu, 2005:24), berpendapat bahwa kepercayaan adalah bayangan manusia terhadap berbagai perwujudan yang berada di luar jangkauan akal dan pikiran manusia. Bayangan dan gambaran tersebut antara lain tentang alam gaib yang mencakup sejumlah perwujudan seperti dewa-dewa, mahluk halus, roh-roh dan sejumlah perwujudan lainnya yang mengandung kesaktian. Termasuk rangkaian dari sistem kepercayaan tersebut adalah bayangan manusia tentang kejadiannya serangkaian peristiwa terhadap orang yang sudah meninggal dunia dan peristiwaperistiwa lainnya yang terjadi pada alam lain. Selanjutnya, Suarsana (2012:8) berpendapat bahwa kepercayaan adalah sistem tingkah laku manusia untuk mencapai suatu maksud tertentu dengan cara menyandarkan diri pada kamauan dan kekuasaan mahluk seperti roh, dewa, dan sebagainya. Semua sistem kepercayaan tersebut berpusat pada konsep tentang hal yang gaib, maha dahsyat dan keramat. Sementara Badrum (2005:15), berpendapat bahwa dari berbagai pembahasan tentang agama atau religi, pada umumnya menempatkan “sistem kepercayaan” itu sebagai salah satu aspek atau komponen dari agama atau religi. Sedang Koentjaraningrat dalam (Sucipto, 2006:101) memandang agama itu sebagai suatu “sistem religi” yang secara resmi diakui oleh negara kita. Religi adalah bagian dari kebudayaan 142
yang merupakan suatu sistem yang terdiri dari empat komponen yaitu: (1) emosi keagamaan yang menyebabkan manusia memiliki rasa dan semangat beragama; (2) sistem kepercayaan atau sistem keyakinan mencakup segala keyakinan terutama terhadap Tuhan dan kehidupan gaib, termasuk sistem nilai dan norma moral; (3) sistem ritus sebagai upaya manusia mengadakan hubungan dan melakukan pendekatan kepada Tuhan dan sikapnya menghadapi lingkungan; (4) solidaritas sosial atau sistem sosial. Keempat komponen tersebut, tampak jelas bahwa sistem kepercayaan atau keyakinan hanya merupakan salah satu aspek komponen dari agama. Sementara fenomena keberagamaan suatu masyarakat atau komunitas tidak bisa dipahami secara utuh manakala hanya dilihat dari aspek sistem kepercayaan semata. Oleh karenanya, pembahasan tentang “sistem kepercayaan” akan lebih diperluas menjadi “sistem religi”. Adapun unsur terpenting dari religi adalah adanya kepercayaan manusia tentang sesuatu kekuatan gaib di luar dari kekuatan manusia. Oleh karena itu, manausia melakukan berbagai macam aktivitas untuk berkomunikasi atau berhubungan dengan kekuatan gaib tersebut. Selanjutnya, semua aktivitas manusia yang berkaitan dengan religi berdasarkan getaran jiwa atau disebut emosi keagamaan (religious emotion). Emosi keagamaan menyebabkan suatu benda dan tindakan atau gagasan mendapat nilai keramat atau secred volue (Koentjaraningrat, 1991:295). Konsep atau pendapat-pendapat inilah yang akan dipakai dasar atau acuan dalam membahas permasalahan yang ada serta dalam mendeskripsikannya menjadi sebuah tulisan. METODE Untuk mewujudkan penulisan artikel ini, diperlukan pula adanya suatu metode dalam pengumpulan data. Penelitian ini merupakan jenis penelitian yang bersifat deskriptif-kualitatif. Pendekatan yang sesuai untuk jenis-jenis penelitian deskriptif adalah pendekatan kualitatif dengan menggunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan teknik pengamatan (observasi) yang dilakukan secara langsung di lapangan baik terhadap
Budaya Spiritual Mengenai ... $EGXO+D¿G
berbagai aktivitas, dan perilaku pada masyarakat Bonto Lebang, maupun terhadap kondisi wilayah penelitian dan hal-hal yang relevan dengan tujuan penelitian tersebut. Selanjutnya, wawancara mendalam kepada sejumlah informan yang terdiri dari juru kunci makam Syekh Muhammad Amir, sejumlah peziarah serta pemerintah setempat maupun agamawan. Sedangkan data sekunder berupa data yang diperoleh dari Kantor Kelurahan Bonto Lebang dan dari sumber lainnya, seperti berupa buku, majalah, tulisan-tulisan dan sumber tertulis lainnya yang relevan dengan permasalahan. Data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan juru kunci dan para peziarah pada makam Syekh Muhammad Amir dianalisis secara deskriptif. Hal ini dilakukan untuk memperoleh data mengenai budaya spiritual pada makam Syekh Muhammad Amir di Kelurahan Bonto Lebang, Kecamatan Bessapu Kabupaten Bantaeng PEMBAHASAN. Budaya Spiritual Mengenai Makam Syekh Muhammad Amir Sejarah masuknya Islam di Bantaeng Dari beberapa sumber didapatkan keterangan tentang islamisasi di Bantaeng, di antaranya adalah Poelinggomang (2004:8), berpendapat bahwa proses Islamisasi di Kerajaan Bantaeng juga terkait dengan rancangan pemerintah Kerajaan Gowa yang menempatkan kerajaannya menjadi pusat syiar Islam di Sulawesi Selatan. Syiar Islam ini dilaksanakan oleh para mubalig Islam yang berasal dari Minangkabau Sumatera Barat. Para mubalig yang dimaksud yaitu Datu Patimang yang berhasil mengislamkan Luwu pada tahun 1603, Datu ri Bandang yang berhasil mengislamkan Gowa pada tahun 1605 dan Datu Ditiro yang berhasil mengislamkan Raja Tiro di Bulukumba pada tahun 1604. Islamisasi di Bantaeng agak terlambat dibandingkan dengan daerah lain di Sulawesi Selatan, seperti Luwu, Makassar, dan Bulukumba. Sampai sekarang, kita tidak bisa memberikan penjelasan yang pasti kapan Islam masuk di Bantaeng, karena memang belum ada catatan atau data yang menunjukkan hal itu secara mutlak. Akan tetapi bukti arkeologis dapat menunjukkan bahwa penyebaran agama
Islam dilakukan oleh para mubalig gelombang kedua setelah kedatangan pioner ulama datuk tallua atau tiga orang datuk (Mattulada,1985:89). Untuk menghindari kesalapahaman dan kerancuan dalam mengungkapkan kapan masuk Islam di Bantaeng, menurut Irfan Mahmud dalam (Sahajuddin, 2011:44-46), dijelaskan bahwa ada tiga proses masuknya dan berkembangnya agama Islam di Bantaeng; yaitu (1) masuknya agama Islam mengacu pada kehadiran seorang atau beberapa orang muslim melalui kontak dagang atau kontak sosial lainnya, meskipun belum menetap secara permanen. Dari perspektif ini, agama Islam dapat dianggap telah masuk di Bantaeng setelah kedatangan seorang pedagang muslim di Bantaeng sebelum penerimaan agama Islam secara resmi di istana pada abad XVII. (2) menyebutkan bahwa masuknya agama Islam ketika terbentuk komunitas muslim yang menetap dan membangun kultur baru dalam lingkungan non-muslim, misalnya kampung orang Melayu atau komunitas lainnya. Meskipun belum ada data yang pasti, namun dapat diperkirakan bahwa jauh sebelum agama Islam diterima secara resmi oleh istana, kemungkinan telah terbentuk kantong pemukiman orang asing yang mungkin sudah muslim di pesisir pantai daerah Bantaeng, yaitu orang Melayu dan orang Jawa. Cara ini telah muncul di beberapa kerajaan maritim di Nusantara, termasuk di Sulawesi Selatan khususnya di Sombaopu dan Bantaeng dan (3) menetapkan bahwa masuknya agama Islam berdasarkan pengakuan elite istana (karaeng/ raja) sekaligus menjadikan anjuran sebagai agama negara. Berdasarkan hal tersebut, islamisasi yang terjadi di Bantaeng dilakukan oleh tiga mubalig, yaitu Syekh Nurun Baharuddin Tajul Nakhsabandiyah yang bergelar Tuttetea ri erea” (orang yang berjalan di atas air), La Tenriruwa Sultan Adam (Raja Bone XI) dan Datuk Kalimbungan. Akan tetapi tidak berarti bahwa Islam baru masuk di Bantaeng pada saat tiga mubalig itu datang di Bantaeng melakukan syiar Islam. Namun kecenderungan yang ada di Sulawesi Selatan, termasuk di Kerajaan Bantaeng pada masa itu adalah kecenderungan islamisasi lewat penguasa atau lewat raja yang berkuasa, 143
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 139—152 dan tidak terkecuali raja Bantaeng yang berkuasa pada masa itu (Sahajuddin, 2011:47) Dalam catatan sejarah Bantaeng dijelaskan bahwa raja Bantaeng yang pertama memeluk agama Islam ialah Sombaya (Karaeng) Ma’jombia Matinroe ri Jalanjang (raja X).Yang mengislamkannya adalah Syekh Nurun Baharuddin Tajul Nakhsabandiyah yang bergelar tuttetea ri erea” (orang yang berjalan di atas air). Beliau ini mengislamkan raja Karaeng Ma’jombea setelah kembali menunaikan ibadah haji di Mekkah dengan membawa pulang bukti-bukti keagungan agama Islam. Bukti-bukti yang dimaksud itu adalah Alquran, Alhadiz, zikir (zikkiri), juma’, Barokong dan tongkat yang biasa dipakai oleh Syekh Nurun Baharuddin Tajul Nasabandya berjalan di atas air pergi-pulang ke tanah suci. Lantaran mitos ini menyebabkan banyak orang Bantaeng sampai sekarang sering bersiarah ke makam Syekh Nurun Baharuddin jika berniat berangkat haji. Banyak yang menduga bahwa Syekh Nurun Baharuddin Tajul Nakhsabandya merupakan ulama utama Kerajaan Gowa yang dikirim oleh Sultan Alauddin ke Bantaeng dalam rangka syiar Islam yang dimotori oleh Kerajaan Gowa. Oleh karena itu banyak mubalig pada saat itu telah mendapat pembelajaran dan pengetahuan agama Islam di Tallo, kemudian disebarkan ke berbagai kerajaan lokal yang ada di Sulawesi Selatan, termasuk ke Kerajaan Bantaeng. Selain mubalig atau tokoh itu, di mana peran La Tenriruwa Sultan Adam (Raja Bone XI), juga sangat penting dalam proses islamisasi pada masa itu di Bantaeng. La Tenriruwa Sultan Adam yang sangat tertarik dengan agama Islam, meyakini akan kandungan kebenarannya sehingga membuat beliau sangat gelisah untuk mendalami agama ini. Dari kegelisahan itulah, yang membuat La Tenriruwa mengambil sikap untuk belajar dan memperdalam pengetahuan ajaran Islam. Selanjutnya, La Tenriruwa memperdalam agama Islam di Tallo, maka diberilah gelar Sultan Adam sehingga namanya menjadi La Tenriruwa Sultan Adam. Namun tidak diketahui alasan yang pasti, kenapa La Tenriruwa Sultan Adam memilih Bantaeng untuk mengabdikan dirinya sebagai mubalig dan melakukan syiar Islam di Bantaeng dan bukannya kembali di Bone. 144
Walaupun ada keterangan bahwa La Tenriruwa dengan sikap dan pendiriannya dalam Kerajaan Bone selalu mendapat tekanan dari pembesar Kerajaan Bone lainnya. Namun dalam tulisan ini tidak akan memberikan penjelasan tentang sikap La Tenriruwa Sultan Adam mengapa bukan Kerajaan Bone sebagai pilihan untuk menyebarkan agama Islam. Akan tetapi yang jelas bahwa La Tenriruwa Sultan Adam menganut agama Islam dengan penuh kesadaran dan keyakinan yang mendalam terhadap agama Islam. La Tenriruwa pulalah sebagai salah satu yang menjadikan program islamisasi fase awal di Bantaeng terus berkembang. La Tenriruwa dengan keyakinannya akan agama Islam yang membuat beliau ikhlas meninggalkan kerajaan pada tahun 1611 Masehi. Kemudian pergi menetap di Bantaeng menjadi penganjur Islam di Tallo terlebih dahulu. Penyebaran Islam terus berlanjut dengan kedatangan mubalig dari luar, yaitu Datok Kalimbungan dengan nama sebenarnya Syekh Muh. Amir. Beliau ini mubalig yang berasal dari Sumatera, dan tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang asal usul mubalig ini. Namun mubalig tersebut memiliki kemampuan dan pengetahuan yang luar biasa dalam agama Islam sehingga beliau sangat disenangi dan dihormati oleh orang banyak. Maka mubalig inilah yang juga sangat berperan (penting) dalam proses islamisasi di Bantaeng. Sehingga penyebaran Islam terus berlanjut dengan kedatangan para mubaligh tersebut. Datok Kalimbungan atau Syekh Muhammad Amir dikenal pula sebagai mubalighyang tersohor dan dikagumi oleh masyarakat sekitar Bantaeng karena memiliki ilmu yang tinggi dan kesederhanaannya. Syekh Muhammad Amir ini menjadi mubalig, diperkirakan sekitar akhir abad XVII Masehi di Kalimbungan Bantaeng. Beliau ini sebelum menetap di Kalimbungan ia terlebih dahulu ke Maiwa, tetapi entah dengan alasan apa, mubalig ini memilih pergi ke selatan Sulawesi Selatan hingga akhirnya tiba di Bantaeng. Akan tetapi kepindahannya dari Maiwa ke Bantaeng tetap melakukan jalinan yang sangat kuat antara orang Maiwa dengan Datuk Kalimbungan yang ditandai dengan banyaknya orang Maiwa
Budaya Spiritual Mengenai ... $EGXO+D¿G
yang turut mengikuti Datuk Kalimbungan ke Bantaeng dan menetap di sana. Sehingga sampai sekarang banyak keturunan orang Maiwa tinggal di kampung Padang-Padang yang kemungkinan tiba di Bantaeng akibat mengikuti Datuk Kalimbungan. Namun, ada juga pendapat bahwa mereka berada di Bantaeng akibat perbudakan diberbagai kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan dan menyebabkan banyak di antara penduduk melarikan diri dan akhirnya sampai di Bantaeng. Dari ketiga mubalig yang telah dijelaskan di atas, dua di antaranya adalah mubalig yang banyak memberi andil dalam proses islamisasi di Bantaeng pada masa itu, yakni La Tenriruwa dan Datuk Kalimbangan, di mana pada fase awal islamisasi telah menanamkan ajaran dan pengaruh di dalam masyarakat Bantaeng. Dengan masuknya agama Islam di Bantaeng pada tahun 1607 Masehi, maka secara subtansial ajarannya disebarluaskan ke semua lapisan masyarakat, akan tetapi budaya lokal tetap masih mampu bertahan. Persentuhan Islam dan budaya lokal melahirkan akulturasi yang tampak dari masih adanya ruang hidup unsur-unsur tradisi pra-Islam pada makam tokoh muslim dan ritual yang menyertai perkabungan masa-masa awal masyarakat Bantaeng memeluk agama Islam. Misalnya, penggunaan nisan arca pada kuburan elite di situs kompleks makam La Tenriruwa (Mahmud, 2007:159) Profil Makam Syekh Muhammad Amir di Bantaeng a. Riwayat Hidup Syekh Muhammad Amir Berdasarkan catatan sejarah Bantaeng, bahwa Syekh Muhammad Amir atau akrab disapa Datuk Kalimbungan dan lebih dikenal lagi oleh orang Bantaeng dan sekitarnya menyebutnya Daeng. Toa. Ia dikenal sebagai sosok manusia yang memiliki kharismatik dan ulama besar yang sangat dikagumi oleh masyarakat Bantaeng pada zamannya, karena kesederhanannya dan memiliki ilmu yang tinggi. Beliau semasa hidupnya, yaitu sejak tahun 1912 di Kalimbungan, bahwa adalah seorang penyiar agama Islam yang merupakan sebagai mubalig besar yang tersohor dan dikagumi oleh masyarakat sekitar Bantaeng (Mappatan, 1995:24). Sehingga demikian,
apabila ia meninggal makamnya pun dianggap keramat bahkan kerapkali menjadi bagian dari ritus keagamaan. Hingga saat ini, ia masih saja dikagumi oleh masyarakat Bantaeng khususnya Tana Toa. Hal ini nampak terlihat pada setiap harinya, di mana para pengunjung yang datang jumlahnya mencapai ratusan orang pada setiap harinya. Pada umumnya mereka datang bersama keluarganya bahkan sesama tetangganya, baik menggunakan kendaraan roda dua maupun kendaraan roda empat, dengan maksud/tujuan berziarah atau melepas nazar atas keberhasilan yang telah diperolehnya atas doa-doa yang dipanjatkan pada makam tersebut. Syekh Muhammad Amir adalah mubalig yang berasal dari Sumatera, sekitar akhir abad XVII Masehi di Kalimbungan. Sebelum menetap di Kalimbungan beliau menetap di Maiwa, akan tetapi beliau ini tidak betah tinggal atau tidak cocok tinggal di daerah itu, sehingga mereka memilih pergi ke bagian selatan hingga akhirnya tiba di Bantaeng dan menetap sampai wafatnya di Kalimbungan, sehingga pada masa itulah Syekh Muhammad Amir digelar sebagai Daeng Toa di Kalimbungan (Mappatang dalam Mahmud, 2007:151). Sampai sekarang makam Syekh Muhammad Amir ini masih tetap dikeramatkan oleh orang-orang tertentu dan sarat dengan berbagai mitos yang dipercayai oleh masyarakat sebagai tempat yang dapat merubah nasib seseorang menjadi lebih baik, setelah mengunjungi makam tersebut. Bagi masyarkat pendukungnya, berkeyakinan bahwa keberadaan makam Syekh Muhammad Amir dapat mendatangkan berkah bagi yang mengunjungi dan melakukan ritual di makamnya. Keberadaan makam ini yang selalu ramai dikunjungi oleh peziarah dari berbagai daerah yang merupakan pertanda, bahwa sosok beliau ini selalu dihormati dan dianggap keramat oleh sebagian masyarakat. Sebagai seorang ulama besar yang hidup di zamannya senantiasa disakralkan sebagai suatu perantara dalam doadoa yang dipanjatkan dan sebagian masyarakat percaya bahwa dibalik nama Syekh Muhammad Amir itu, ada sesuatu kekuatan yang dianggap mampu menjembatani untuk menggapi suatu tujuan. Untuk itulah mereka menjadikan makam 145
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 139—152 ini sebagai salah satu perantara (wasilah) untuk memohon doa-doa kepada Yang Maha Kuasa, agar dalam kehidupannya senantiasa mengalami kesuksesan dan kebahagian, seperti kemudahan dalam rezeki, jabatan, kesembuhan dari penyakit, jodoh dan lain-lain. Di tempat ini pula mereka dapat mengharapkan berkah akan sesuatu maksud, agar dapat keluar dari kesulitan hidupnya. Dalam kondisi yang demikian, maka sebahagian masyarakat menjadikan tempat ini yang lebih sakral dalam melaksanakan ritual-ritual dan memanjatkan doa-doa kepada Yang Maha Kuasa b. Letak Makam Syekh Muhammad Amir Daerah Bantaeng dikenal memiliki beberapa peninggalan sejarah dan purbakala yang cukup berpengaruh di masa lampau, salah satu di antaranya adalah makam Syekh. Muhammad Amir sebagai penyiar agama Islam di Kabupaten Bantaeng. Lokasi tempat makam tokoh penyiar Agama Islam ini, adalah terdapat di Kelurahan Bonto Lebang, Kecamatan Bessapu Kabupaten Bantaeng. Jarak dari pusat kota Kecamatan Bessappu sekitar 1 km arah utara atau dengan kata lain berada di tepi Sungai Panaikang, dengan ketinggian berada sekitar 35 meter dari permukaan laut. Untuk menuju makam Syekh Muhammad Amir tersebut, dibutuhkan sekitar 30 menit dengan berjalan kaki menyusuri lorong yang terbuat dari paping blok. c. Kondisi Makam. Makam Syekh Muhammad Amir ini terletak di areal yang cukup luas dan dikelilingi oleh pohon yang rindang, sehingga bangunan makam ini yang terletak di tengah-tengah areal tersebut tampak sebagai bangunan utama. Adapun kondisi makam tersebut, hingga kini masih terawat dengan baik. Hal ini tidak terlepas dari penjagaan serta perawatan yang dilakukan oleh juru kunci bersama dengan penjagaan dari BP3 Makassar. Sedang makam lainnya yang terdapat di sekitar makam Syekh Muhammad Amir masih berbentuk asli yaitu batu-batu kali yang ditimbun memanjang utara selatan dengan memakai nisan batu kali yang sudah dibentuk/dibelah. Jumlah makam yang terdapat di dalam kompleks makam Syekh Muhammad Amir sekitar 18 buah. Adapun bentuk makam Syekh Muhammad Amir 146
menyerupai rumah dan dibuat secara permanent yang berukuran 4x8 meter serta beratap seng, yang di dalamnya dibuat kuburan agar tampak lebih sakral. d. Kondisi Masyarakat Sekitar Makam Syekh Muhammad Amir Kondisi masyarakat di sekitar makam dilihat dari mata pencahariannya, sebagian besar hidup sebagai petani ataupun buru petani. Selain itu, ada pula yang berprofesi sebagai pedagang, pegawai negeri maupun swasta. Dilihat dari segi kepercayaan yang dianutnya, masyarakat sekitar makam merupakan penganut agama Islam yang taat dan memiliki masjid yang berada tidak jauh dari kompleks makam Syekh Muhammad Amir. Sebagai tempat ziarah sekaligus objek wisata, di mana kehidupan masyarakat di sekitar makam dapat dimanfaatkan untuk tempat berdagang di sepanjang pinggiran atau dalam areal pemakaman. Adapun barang yang dijual yaitu mulai dari makanan, berbagai minuman ringan, rokok, minuman anak, kopi dan berbagai kelangkapan ritual berupa bunga tabur, lilin merah (tai bani), minyak wangi (minyak bau) dan lain-lain. e. Penanggung Jawab Makam Syekh Muhammad Amir Makam Syekh Muhammad Amir ini termasuk bangunan cagar budaya yang keberadaannya dilindungi oleh Undang-Undang di bawah pengawasan BP3 Makassar. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan untuk melakukan perubahan apapaun berkaitan dengan makam. Secara operasional, di mana makam Syekh Muhammad Amir dikelolah oleh beberapa pihak yang terkait, di antaranya pemerintah Desa/Kelurahan Bonto Lebang, Dinas Pariwisata Kabupaten Bantaeng serta keturunan Syekh Muhammad Amir, dalam hal ini secara operasional diwakili oleh juru kunci sekaligus sebagai pembaca doa. Dinas Pariwisata bekerja sama dengan pemerintah desa/lurah, secara administratif menarik restribusi bagi pengunjung yang datang berziarah. Para juru kunci bertanggung jawab terhadap kelancaran dan keamanan pengunjung maupun keberadaan makam tersebut. Dalam kompleks makam Syekh Muhammad Amir
Budaya Spiritual Mengenai ... $EGXO+D¿G
terdapat kotak amal yang disediakan bagi pengunjung untuk memberikan bantuan dana pengelolaan. Kotak amal ini menjadi hak juru kunci (pembaca) yang pembagiannya telah diatur. Selain itu, juru kunci kadang juga memperoleh dana dari pengunjung secara suka rela setelah mengisi buku tamu. Untuk memperlancar pengunjung, juru kunci juga bertugas sebagai pemandu tentang keberadaan makam tersebut (Makam Syekh Muhammad Amir). Tata Cara Berziarah di Makam Syekh Muhammad Amir Makam Syekh Muhammad Amir merupakan tempat yang selalu dikunjungi dari berbagai daerah dan provinsi, baik sekedar untuk berziarah maupun untuk maksud dan tujuan tertentu. Adapun bentuk ritual mereka lakukan hampir sama dengan ritual pada makam-makam keramat lainnya, yakni peziarah yang datang berkunjung ke makam telah membawa berbagai kelengkapan ritual berupa bunga tabur, lilin merah (tai bani) dan minyak bau (minyak wangi yang khusus diramu untuk ritual). proses ritual yang dilakukan di tempat makam itu, yaitu terlebih dahulu mengucapkan salam ketika memasuki ruang makam. Sebelum menabur bunga yang dikenal dengan istilah alebunga ri tuanta (menabur bunga di atas makam), terlebih dahulu membakar lilin dan minyiramkan minyak bau di atas makam, lalu dilakukan ritual secara khusuk dengan cara si pemohon duduk bersila di dampingi oleh guru maca (pembaca doa). Selanjutnya, si pemohom menyampaikan maksud dan tujuan kepada si pembaca doa, kemudian pembaca doa ini diiringi dengan kepulan asap pedupaan, sehingga aroma di ruang makam itu terasa sakral dan mistik. Setelah pembacaan doa selesai, lalu peziarah memberi sedekah kepada si pembaca doa itu berupa uang yang jumlahnya sesuai dengan keikhlasan si pengunjung. Walaupun sebenarnya ada sebagian peziarah yang langsung melakukan pembacaan doa akan tetapi tetap memberi imbalan jasa kepada guru baca sebagai passidakkah (sedekah) atau memasukkan sejumlah uang ke dalam kotak amal yang telah disediakan di dalam ruang makam tersebut. Makam Syekh Muhammad Amir merupakan
tempat yang dikeramatkan tentunya mempunyai pantangan-pantangan yang mesti dihindari selama melakukan ritual di tempat tersebut, agar apa yang diharapkan dihajatkan dapat terkabulkan, seperti larangan mengeluarkan kata-kata yang sifatnya mengejek atau menyepelekan tentang keberadaan makam tersebut dan tetap bersikap rendah diri serta bersikap sopan selama pelaksanaan ritual berlangsung. Bagi masyarakat pendukungnya, telah menganggap bahwa tempat makam ini adalah sebagai tempat yang suci, sehingga selalu menyesuaikan diri untuk lebih khusyuk pada saat melakukan ritual. Dengan selesainya melakukan ziarah, maka seluruh peziarah beristirahat sambil makan bersama, lalu membersihkan diri/mensucikan (mandi) di Sungai Panaikang yang terletak 10 meter ke arah barat kompleks makam Syekh Muhammad Amir, dengan harapan agar keinginan mereka dapat terkabulkan. Demikian pula bagi pengunjung yang telah berhasil setelah mengunjungi tempat ini, mereka biasanya melakukan kunjungan ulang dengan membawa keluarga besarnya untuk berziarah dan mandi-mandi di tempat tersebut. Hal ini dilakukan sebagai wujud ucapan terima kasih atas terkabulnya permintaannya. Menurut penjaga makam di tempat tersebut, bahwa bagi pengunjung yang datang di tempat ini, setelah proses ritual dilakukan biasanya membuat ikatan plastik di dahan pohon yang terletak di area makam tersebut. Hal ini dilakukan sebagai tanda bahwa penganut kepercayaan ini telah mengikatkan dirinya dengan penguasa tempat yang disuatu saat akan datang kembali untuk membuka simpulan tersebut pada pohon yang telah diikatkan karena segala permohonannya telah terkabulkan (Wawancara, Rasulung 9 Mei 2013). Motivasi dan Tujuan Peziarah Ziarah atau berkunjung ke makam pada dasarnya merupakan salah satu rangkaian kegiatan religius manusia. Hal tersebut sejalan yang dikemukakan oleh Ismail (2013:170), bahwa ziarah kubur merupakan tradisi keagamaan yang tetap hidup di tengah umat Islam, termasuk Indonesia. Sekalipun ada sebagian golongan 147
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 139—152 yang mencela dan menghujat habis-habisan ritual tersebut dan berusaha menghilangkannya, namun kegiatan ziarah makin ramai dilakukan oleh umat Islam yang rela melakukan perjalanan panjang demi menziarahi tokoh-tokoh tertentu yang dianggap penting bagi mereka, terutama tokoh-tokoh yang memiliki keutamaan tertentu seperti; tokoh agama (ulama), wali maupun tokoh-tokoh sejarah yang telah memiliki pengaruh kuat di suatu daerah. Bagi orang yang memiliki kesenangan melakukan ziarah ke tempat-tempat yang dianggap keramat, seperti halnya pada makam Syekh Muhammad Amir, di mana beliau ini adalah seorang tokoh yang mempunyai peran penting dalam penyebaran agama Islam di Bantaeng pada masa lampau. Meskipun terjadi perbedaan versi mengenai asal-usul Syekh Muhammad Amir, namun hal tersebut tidak mengurangi niat para peziarah untuk mengunjungi makam beliau. Hal itu disebabkan karena posisi Syekh Muhammad Amir pada masa itu merupakan seorang wali yang memiliki arti penting bagi masyarakat muslim, terutama masyarakat muslim di Bantaeng. Wali adalah seorang hamba yang istimewa karena kedekatannya kepada Allah swt., sehingga ia memperoleh keistimewaan dan kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Salah satu keistimewaan tersebut adalah permohonannya mereka lebih didengar oleh Allah dari pada manusia biasa. Oleh karena itu, para peziarah yang merasa memiliki kedudukan yang lebih rendah dari pada seorang wali, maka akan terpanggil dengan sendirinya mendatangi makamnya dengan harapan bisa memperoleh berkah dari keistimewaan yang dimiliki wali atau tokoh agama tersebut, dalam hal ini makam Syekh Muhammad Amir. Dari berkah yang diperoleh masing-masing peziarah ditafsirkan sesuai latar belakang sosial kebudayaan mereka. Adapun motivasi lainnya yang dimiliki oleh sebagian masyarakat Bantaeng atau peziarah bahwa seseorang yang banyak jasanya selama hidup atau manusia yang banyak manfaatnya bagi manusia lainnya, maka ia akan memiliki semacam “karomah,” atau orang sering menyebutnya keramat. Bahkan lebih ekstrim lagi sebagian 148
masyarakat Bantaeng beranggapan bahwa orang tersebut setelah meninggal masih dapat bermanfaat bagi orang lain. Dalam kondisi yang demikian ini, maka orang tersebut dapat menjadi “wasilah” atau perantara kepada Allah. Sejalan dengan ini, Purnama (2008:961) berpendapat bahwa ada tiga wasilah yang dibolehkan dalam Islam. (1) memintakan doa kepada orang saleh yang masih hidup. (2) minta doa dengan menyebut asmaul husna, dan yang (3) adalah memohon doa dengan menyebut atau bersandar kepada amal saleh yang pernah dikerjakannya. Bahkan peziarah mengetahui bahwa wibawa dan derajat Syekh Muhammad Amir sebagai penyebar agama Islam di Bantaeng sangat disegani, maka tentu saja segala macam kebutuhan dan keinginanya mudah terkabul. Keistimewaan itu merupakan karunia Allah., hingga makamnya pun dikeramatkan dan mereka percaya dengan berziarah ke makamnya akan memberi syafaat, misalnya mereka ingin mempunyai anak, jodoh, rezeki, jabatan dan lain sebagainya, akan dikabulkan. Sehingga dengan demikian, tempat makam Syekh Muhammad Amir menjadi ramai di kunjungi orang hingga saat ini, baik sebatas berwisata maupun pengunjung yang datang hendak berziarah. Bagi peziarah yang datang mengunjungi tempat keramat, termasuk yang datang ke makam Syekh Muhammad Amir, pada umumnya dilandasi dengan niat atau tujuan yang didorong oleh kemauan bathin yang kuat. Adanya niat dan tujuan tersebut membuat motivasi peziarah menjadi beragam, tergantung apa yang akan diminta dan kepentingan masing-masing; yaitu (1) ada yang datang ingin mengetahui makam tokoh sejarah atau tokoh agama (tokoh pejuang Islam) yang dikagumi. (2) ada yang ingin mengingatkan dirinya bahwa iapun akan meninggal, sehingga seseorang sehabis berziarah harus lebih rajin lagi beramal saleh dan senantiasa selalu meningkatkan keimanan serta ketakwaan kepada Allah. (3) ada pula yang berziarah dengan tujuan ingin mendapatkan karamah dari yang meninggal karena beliau ini diketahuinya sebagai orang yang saleh. Dengan perantaraan orang yang saleh itu, sehingga keinginannya dapat dikabulkan oleh Allah seperti: ingin mendapatkan rezeki; ingin
Budaya Spiritual Mengenai ... $EGXO+D¿G
mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat; ingin lancar usahanya dan dagangnya; ingin mendapatkan jodoh; ingin dijauhkan dari berbagai musibah, dan sebagainya. Adapun niat dan tujuan lainnya yang membuat motivasi peziarah untuk berkunjung ke tempat makam tersebut, yakni dipengaruhi oleh informasi yang didapat atau didengar baik dari teman, tetangga atau kerabatnya, bahwa Syekh Muhammad Amir itu adalah tokoh yang memiliki kharisma dan keramat, yang dianggap dapat memberi harapan untuk hidup lebih baik dibanding sekarang serta dapat memberi keselamatan, ketenangan hidup dan lain sebagainya, setelah berziarah ke makam tersebut. Hal inilah yang membuat masyarakat mempunyai persepsi bahwa makam Syekh Muhammad Amir adalah tempat untuk mencari berkah, tempat mengubah nasib dan lain sebagainya. Adanya persepsi yang kemudian memotivasi peziarah yang datang untuk mencari berkah tersebut, adalah kenyataan yang ada dalam hati para peziarah. Persepsi yang diwujudkan dengan kenyataan motivasi peziarah inilah yang antara lain membuat makam Syekh Muhammad Amir menjadi terkenal sebagai tempat untuk mendapatkan berkah atau sebagai tempat untuk merubah nasib. Persepsi Masyarakat Terhadap Makam Syekh Muhammad Amir Pengertian persepsi atau pandangan sebagaimana yang dikemukakan oleh Franz Magnis Suseno dalam (Sucipto, 2006:88) bahwa persepsi atau pandangan merupakan keseluruhan semua keyakinan, dari padanya manusia memberi struktur yang bermakna kepada alam pengalamannya. Dalam persepsi masyarakat, realitas tidak dibagi dalam berbagai bidang yang terpisah satu sama lain, melainkan dilihat sebagai satu kesatuan menyeluruh. Bagi mereka, persepsi atau pandangan itu bukan berarti pengertian yang abstrak, melainkan berfungsi sebagai sarana dalam usahanya untuk berhasil dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan. Tolok ukur arti pandangan adalah nilai pragmatisnya untuk mencapai suatu keadaan psikis tertentu, yaitu ketenangan, ketentramaan dan keseimbangan batin.
Persepsi atau pandangan masyarakat/peziarah terhadap tempat keramat makam, termasuk makam Syekh Muhammad Amir atau biasa dipanggil dengan nama Datuk Kalimbungan atau lebih dikenal oleh orang Bantaeng dan sekitarnya dengan sebutan makam Daeng. Toa, bahwa tempat makam tokoh tersebut merupakan tempat yang dikeramatkan oleh sebagian masyarakat Bantaeng, karena beliau ini sudah mendapat pengakuan sebagai seseorang yang dikasihi Allah dan seorang yang termasuk waliyullah. Tokoh ini diyakini telah berjasa besar dalam menyebarkan agama Islam khususnya di Bantaeng. Sehubungan dengan itu, masyarakat Bantaeng hingga saat ini masih memegang teguh tradisi yang diwariskan para leluhurnya, antara lain kebiasaan berkunjung ke tempattempat makam yang dianggap keramat. Mereka berpandangan bahwa berkunjung ke tempat makam, merupakan suatu tindakan yang dapat memperlancar dan meningkatkan ketentraman bagi yang masih hidup, baik bagi masyarakat umum maupun bagi si mati. Para peziarah tidak mempersoalkan kebenaran cerita yang berkembang mengenai riwayat hidup sang tokoh ini. Hal ini terkait dengan pengalaman mereka yang sudah nyata dirasakan oleh para peziarah setelah melakukan ziarah ke tempat ini. Pada hari-hari tertentu di mana tempat makam tersebut, ramai dikunjugi orang untuk berziarah terutama pada hari-hari tertentu, seperti pada hari libur atau menyambut bulan Ramadan atau sesudahnya, sehingga peziarah yang datang lebih banyak dari pada harihari biasa. Sejalan dengan ini, Kontjaraningrat yang di kutip oleh Rosmana (2006:187) bahwa waktu-waktu tertentu itu merupakan sebagai waktu kudus. Manusia yang ada dalam waktu kudus itu biasanya berperilaku serba religi karena emosi keagamaan yang ada dalam dirinya. Dengan emosi keagamaan itu mereka berusaha memusatkan dirinya pada alam sakral untuk memohon kepada Allah di tempat yang diyakini sebagai seorang kekasih Allah, sehingga dia berharap ada barokah (berkah) yang kembali kepada dirinya dan dapat terkabul segala permohonan atau dapat tercapai segala hal yang menjadi tujuannya datang ke tempat 149
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 139—152 itu. Sehubungan dengan ini, maka para peziarah yang datang berkunjung ke makam leluhurnya, merupakan suatu perbuatan yang dapat menjadi simbol ikatan solidaritas bagi keluarga dan keturunannya atau masyarakat. Bahkan dalam realitasnya bangsa kita, di mana para pemimpin bangsa Indonesia pun juga melakukan ritual kepada makam para leluhur yang telah memperjuangkan bangsa Indonesia maupun para tokoh yang dianggap kharismatik Peziarah yang datang berkunjung baik secara berombongan maupun perorangan tentu didorong oleh berbagai persepsi yang berlainan antara satu dengan yang lainnya dan masingmasing pula mempunyai tujuan yang belum tentu sama, tergantung apa akan diminta dan kepentingannya, sehingga persepsi para peziarah tentang makam itu bervariasi. Dalam kondisi seperti ini, persepsi terhadap makam penulis menemui beberapa informan, baik informan dari masyarakat sekitar maupun peziarah, yaitu antara lain Muhammad As’ad (45 tahun), beliau adalah Kabag Permuseuman yang berpandangan bahwa makam Syekh Muhammad Amir sebagai penyiar agama Islam pada zamannya, yang merupakan salah satu bukti sejarah masuknya agama Islam di Kabupaten Bantaeng, sehingga makam tersebut perlu dilindungi oleh pemerintah sebagai cagar budaya. Persepsi lainnya seperti yang dituturkan oleh Bapak Daeng. Caba umur 65 tahun (selaku ketua RW) di Kelurahan Bonto Lebang, yang mengatakan bahwa keberadaan makam Syekh Muhammad Amir dapat mendatangkan rezeki tersendiri bagi masyarakat di sekitarnya. Setiap harinya selalu ada yang datang berziarah ke makam itu, terutama pada hari libur, peziarah yang datang jauh lebih banyak pada hari-hari biasa. Suasana seperti ini dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berjualan, mereka berdagang berbagai makanan dan minuman, serta berbagai kelengkapan ritual seperti bunga tabur, minya bau (minyak wangi) dan tai bani (lilin merah) yang digunakan peziarah ketika mereka berdoa pada makam tersebut. Dengan demikian secara tidak langsung keberadaan makam Syekh Muhammad Amir telah meningkatkan perekonomian masyarakat setempat, baik dari hasil berjualan maupun dari hasil jasa angkutan. Selain datang 150
untuk melakukan ritual, ada juga pengunjung atau peziarah yang datang hanya untuk menyaksikan keberadaan makam penyiar agama Islam di Bantaeng atau sebatas berwisata atau digunakan untuk melakukan penelitian. Selanjutnya, pandangan yang dikemukakan oleh Rasulung (35tahun) sebagai pembaca doa atau juru kunci, mengatakan bahwa makam Syekh Muhammad Amir adalah tempat yang diyakini sebagai perantara atau wasilah bagi peziarah yang datang meminta sesuatu atau sebagai tempat untuk mencari dan bisa memberikan harapan hidup yang lebih baik dari sekarang. Apabila para peziarah merasa permohonannya terkabulkan, maka mereka akan bernazar dan mengunjungi kembali makam itu. Keyakinan ini didasari karena ia sendiri menyaksikan banyak peziarah yang datang baik peziarah dari dalam maupun dari luar daerah, dengan maksud berziarah dan memanjatkan doa kepada makam tersebut. Pandangan ini didukung pula oleh para peziarah, bahwa seseorang yang banyak jasanya selama hidup atau manusia yang banyak manfaatnya bagi manusia lainnya, maka setelah meninggal akan memiliki keutamaan atau manfaat bagi orang lain, seperti dapat menjadi wasila (perantara) kepada Allah. Bahkan sebagian peziarah berpandangan bahwa orang tersebut setelah meninggal masih dapat bermanfaat bagi orang lain (Hasil wawancara, 10 Mei 2013) Berbeda dengan pendapat tokoh agama terhadap makam yang dikeramatkan (makam Syekh. Muhammad Amir), bahwa peziarah yang datang berkunjung dengan mempunyai maksud dan niat untuk mendapatkan barokah atau memohon bantuan, pada hakekatnya dalam ajaran agama Islam perbuatan tersebut dapat digolongkan sebagai perbuatan musyrik yang mempersatukan Allah. Jadi kegiatan peziarah ini secara tidak disadari dapat saja tergelincir kepada praktik syirik (menyekutukan Allah) yang bertentangan dengan akidah Islam. Namun, sebenarnya tergantung pada motivasi peziarah itu sendiri, apabila peziarah hanya sebatas ingin mendoakan akhli kubur agar diberikan berkah dan diampuni dosanya oleh Allah. Dengan cara sperti ini mungkin tidak tergolong menyekutukan Allah, akan tetapi bila motivasinya meminta berkah atau memohon bantuan sesuatu dari yang
Budaya Spiritual Mengenai ... $EGXO+D¿G
sudah meninggal, tentu masalahnya menjadi lain. Jangankan untuk mengurusi atau membantu orang lain (yang masih hidup), untuk dirinya sendiri pun repot mempertanggung jawabkan perbuatannya. Oleh karena itu, hal tersebut bergantung dari mana kita memandangnya dari segala sesuatu itu. Peziarah mendoakan ahli kubur sudah merupakan kebiasaan atau tradisi masyarakat yang sulit ditinggalkan atau hilangkan. Namum selama kegiatan itu, tidak menyesatkan dan tidak keluar dari rambu atau aturan-aturan yang ada, tidak menjadi masalah dan selama masih memiliki nilai budaya yang dapat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat pendukungnya. Sehubungan dengan ini, para peziarah hendaknya pandai-pandai memilah-milah jangan sampai terjerumus dan menjadi umat yang rugi, sehingga perlu adanya pemahaman yang baik. Sebab apabila peziarah memiliki motivasi lain, maka kegiatan itu sangat bertentangan dengan ajaran Islam karena termasuk menyekutukan Tuhan. Perbuatan itu tidak dibenarkan karena hukumnya dosa besar. Meskipun para ulama berpandangan seperti tersebut, tetapi para peziarah berpandangan lain, bahwa mereka yang datang ke tempat makam yang dianggap keramat atau mulia, akan mendapatkan dampak atau pengaruh masingmasing, yaitu: (1) mereka akan merasakan keinginannya telah terpenuhi, (2) ketika peziarah kembali ke rumahnya mereka akan merasakan hidup lebih tenang, tentram dan lebih bersemangat lagi, (3) setelah berziarah ke tempat makam ini, ternyata apa yang mereka inginkan tercapai dan akan kembali berziarah lagi untuk memohon kepada Allah agar keinginan selanjutnya dapat dikabulkan, (4) setelah dirinya berziarah dapat terlepas dari musibah yang selama ini membelenggunya, dan yang ke, (5) setiap pulang dari berziarah kembali dengan mendapatkan pencerahan jiwa. PENUTUP Keberadaan makam tokoh Islam di Bantaeng khususnya makam Syekh Muhammad Amir, mendapat pengaruh sangat besar terhadap para peziarah. Mereka berpandangan adanya perubahan tarap hidup, mendapatkan ketenangan jiwa, dan meningkatkan kekuatan spiritual serta
memiliki nilai budaya yang dapat bermanfaat bagi kehidupan mereka. Dengan adanya persepsi semacam ini ditandai dengan semakin banyaknya peziarah datang ke tempat makam tersebut, baik dari berbagai daerah yang ada di Sulawesi Selatan, maupun daerah di luar Sulawesi Selatan. Hingga saat ini, kegiatan berziarah ke makam tersebut masih tetap eksis dan menjadi bagian dari budaya spiritual bagi masyarakat pendukungnya. Kedatangan para peziarah dan wisatawan terhadap makam tersebut dilandasi beberapa persepsi baik dari masyarakat setempat maupun peziarah itu sendiri antara lain: (a) makam Syekh Muhammad Amir merupakan tempat yang mempunyai arti yang dapat memberi sesuatu yang diinginkan oleh peziarah; (b) merupakan tempat yang dapat memberikan harapan hidup yang lebih baik; (c) peziarah berkeyakinan sebagai tempat untuk dapat mencari keselamatan jasmani maupun rohani; (d) sebagai tempat yang sakral; dan (e) peziarah berkeyakinan pula sebagai tempat untuk melakukan tafakur atau tempat yang tepat bagi peziarah yang mengutamakan kehidupan spiritual. Selanjutnya, masyarakat berpandangan pula bahwa kedatangan para peziarah dan wisatawan secara langsung dapat berdampak terhadap kehidupan masyaraakat sekitarnya, dari segi sosial maupun ekonomi. Dari aspek ekonomi, dapat membantu menaikkan pendapatan masyarakat sekitarnya, dengan cara berjualan di sekitar areal pemakaman, pengelolah makam (pemandu atau pembaca doa), pengelolah tempat parkir dan sebagainya. Sedang dari segi sosial kemasyarakatan, mereka secara tidak langsung mengenal adat dan perilaku para peziarah, sehingga mereka dapat mengambil pelajaran untuk memaknai kehidupan masyarakat pada umumnya. Adanya persepsi masyarakat setempat dan peziarah terhadap makam ini, mendorong para peziarah berkunjung dengan berbekal niat atau motivasi tertentu untuk berkunjung melaksanakan niatnya. Adapun tujuan atau motiviasi peziarah tersebut terhadap makam ini, adalah sebagai berikut: (a) peziarah berkeinginan untuk menanamkan batin; (b) peziarah datang dengan memiliki keinginan untuk merubah nasib; (c) peziarah berkunjung ke makam ini 151
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 139—152 dilandasi agar mendapatkan kelancaran usaha; (d) peziarah ingin mendapatkan atau ingin mencari keselamatan jasmani dan rohani; dan (e) peziarah datang ke makam ini semataa-mata bertujuan melakukan latihan mental. Dengan adanya persepsi dan motivasi yang melandasi peziarah terhadap tokoh makam Islam tersebut, dari sisi spiritual menandakan bahwa manusia dalam melaksanakan upayanya tidak hanya bermodal kepada upaya jasmani. Namun upaya batiniyah menunjukkan bahwa manusia tidak berdaya dalam memenuhi kebutuhannya. Untuk itu manusia mencari hubungan dengan kekuatan Tuhan Yang Maha Kuasa dalam memenuhi kebutuhan tersebut. DAFTAR PUSTAKA Badrum, H.P. 2005. “Sistem Kepercayaan Komunitas Adat Kajang Kabupaten Bulukumba”. (Makalah disampaikan dalam seminar yang diadakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar: Tanggal 19 Juli) di Makassar Haviland, William A. 1993. Antropologi (Edisi keempat jilid 2 Alih bahasa R.G. Soekadijo). Jakarta: Erlangga. Hermana. 2010. “Persepsi Masyarakat Terhadap Petilasan Sunan Kalijaga dan Taman Kera di Kota Cirebon”. Dalam Jurnal Patanjala Vol. 2 No. 3. Ismail, Arifuddin. 2013. “Ziarah ke Makam Wali: Fenomena Tradisional di Zaman Modern”. Dalam Jurnal Al-Qalam Vol. 19 No. 2. Katu, Mas Alim. 2005. Tasawuf Kajang. Makassar: 3XVWDND5HÀHNVL Koentjaraningrat. 1991. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Diam Rakyat
152
---------------------.1997. Pengantar Antropologi 3RNRN3RNRN (WQRJUD¿ ,, Jakarta: PT. Rineka. Mahmud, M. Irfan. 2007. Bantaeng: Masa Prasejarah ke Masa Islam. Makassar: Masagena Press. Mappatan. 1995. “Mengenal Sejarah Singkat Bantaeng”. (tidak terbit). Mattulada. 1985. Latoa. Satu Lukisan Analogi Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Poelinggomang, Edward L. 2004. Perubahan Politik dan Hubungan Kekuasaan Makassar 1906 – 1942. Yogyakarta: Ombak Purnama, Yuzar. 2008. “Budaya Spiritual di Lingkungan Makam Sultan Maulana Yusuf Jawa Barat”. Dalam Jurnal Patanjala Vol 40 No.2. Rosmana, Tjetjep. 2006. “Budaya Spiritual Pada Makam Syekh. H. Abdullah Mubarok Bin Noor Muhammad di Kabupaten Tasikmalaya”. Dalam Budaya Spiritual Masyarakat Sunda. Bandung: Penerbit AlGaprint Jatinangor. Sahajuddin. 2011. Butta Toa Bantaeng (Menjawab Zamannya 1666-1905). Makassar: Pustaka Sawerigading. Suarsana, I Made. 2012. “Kepercayaan Komunitas Adat di Desa Watuhadang, Kecamatan Umalulu, Kabupaten Sumba Timur”. Dalam Jurnal Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional Bali, NTB dan NTT, Vol. 19 No. 1. Sucipto, Toto. 2006. Budaya Spiritual di Lingkungan Makam Keramat Wangsa Goparna Sagalaherang, Kabupaten Subang. Dalam Budaya Spiritual Masyarakat Sunda. Bandung: Alqaprint Jatinangor.