BUDAYA MASYARAKAT DAN KEBAKARAN HUTAN (Studi Kasus di Desa Mio dan Desa Boentuka Kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur) Oleh: Rahman Kurniadi dan I Made Widnyana RINGKASAN Kebakaran hutan merupakan maslah tahunan di Indonesia (Media Indonesia, 25 agustus 2005). Kebakaran hutan terjadi di Kalimantan, Sumatera, dan Nusa Tenggara Timur. Departemen kehutanan sebagai institusi yang berkompeten dalam masalah tersebuttidak dapat mengendalikan kebakaran hutan. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi budaya masyarakat yang tinggal di Desa Mio dan Boentuka yang berpotensi sebagai penyebab kebakaran hutan dan sebagai pengendali kebakaran hutan Penelitian menunjukan bahwa budaya masyarakat yang tinggal di Desa Mio dan DesaBoentuka berpotensi menyebabkan kebakaran hutan. Budaya tersebut adalah budaya tebas bakar, fire maniac, perladangan berpindah, dan budaya berburu. Budaya masyarakat yang berpotensi untuk mengendalikan kebakaran hutan adalah membuat “sako” dan “naik bano”. Sako adalah sekat bakar yang dibuat pada saat aktivitas tebas bakar berlangsung. Sedangkan ”naik bano” adalah kesepakatan adat untuk tidak menggunakan api untuk pembersihan lahan pada periode tertentu. Kata kunci : budaya, kebakaran hutan A. PENDAHULUAN Kebakaran hutan merupakan masalah klasik di Kab. Timor Tengah Selatan Propinsi Nusa Tenggara Timur, yang hingga kini belum dapat ditanggulangi secara baik. Kebakaran hutan terjadi hampir setiap tahun dan hingga kini belum ditemukan cara pengendalian yang efektif. Lemahnya sistem pengendalian kebakaran hutan, minimnya sarana dan dana pengendalian kebakaran hutan, semakin menurunkan kemampuan para pengelola kehutanan dalam mengendalikan kebakaran hutan. Akibat kebakaran hutan tersebut sebagian besar investasi dalam bentuk pembangunan hutan menjadi sia-sia. Akibat lainnya adalah timbulnya kerugian materi yang besar berupa musnahnya semua biaya yang telah dikeluarkan seperti biaya pegawai, bahan, dan upah pembangunan hutan. Kerugian lingkungan seperti musnahnya flora dan fauna, musnahnya habitat satwa dan terganggunya sistem hidrologi adalah keruguan yang tidak dapat dipulihkan dengan segera. Kebakaran hutan telah lama menjadi masalah utama di Nusa Tenggara Timur. Sebagai contoh dalam pada Pelita IV terjadi kebakaran hutan seluas 24.021,11 ha dan pada PELITA V terjadi kebakaran hutan seluas 7.653,55
ha (Dinas Kehutanan NTT, 1994). Sedangkan Pada tahun 1996-1997 terjadi kebakaran hutan seluas 21.000 ha dan pada tahun 1997-1998 terjadi kebakaran hutan seluas 16.000 ha (Dinas keutanan NTT , 1999 dalam Gadas, 2000). Walaupun masalah kebakaran hutan telah berlangsung lama, hingga kini belum ada upaya pengendaliannya. Kebakaran hutan disebabkan oleh berbagai faktor sebagai berikut : faktor fisik (iklim, jenis tanah, topografi, vegetasi), sosial budaya dan teknologi yang tersedia. Hingga kini penyebab kebakaran hutan di lokasi penelitian tidak diketahui secara pasti. Namun demikian dari berbagai bukti yang ada menunjukan bahwa kebakaran hutan tersebut bersumber pada aktivitas manusia. Kebakaran hutan yang terjadi di Kabupaten Timor Tengah Selatan sangat erat kaitannya dengan budaya masyarakat setempat. Keadaan ini menyebabkan pengendalian kebakaran hutan di kabupaten Timor Tengah Selatan sangat sulit dilakukan. Untuk itu diperlukan alternatif lain guna mengendalikan kebakaran hutan di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Salah satu metode yang dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan kebakaran hutan adalah dengan pendekatan budaya setempat. Permasalahan kebakaran hutan di Desa Mio dan Desa Boentuka sangat erat kaitannya dengan budaya setempat. Pengendalian kebakaran hutan dengan pendekatan hukum dan fisik tidak dapat mengendalikan kebakaran hutan di lokasi tersebut. Oleh karena Penelitian ini bertujuan memperoleh metode pengendalian kebakaran hutan dengan penedekatan budaya setempat. B. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di Desa Mio Kecamatan Amanuban Selatan dan Desa Boentuka Kecamatan Batu Putih Kabupaten Timor Tengah Selatan. Pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatan dan wawancara terhadap 30 responden dari desa Mio dan 30 Responden dari desa Boentuka. Wawancara dilakukan tahun 2003. Selanjutnya dilakukan pengumpulan data sekunder hingga tulisan ini dipublikasikan. C. DESKRIPSI DESA MIO DAN DESA BOENTUKA Desa Mio merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Amanuban Selatan Kabupaten Timor Tengah Selatan Propinsi Nusa Tenggara Timur. Sebagian besar mata pencaharian penduduk sebagai petani. Walaupun jarak ke ibu kota Kabupaten cukup jauh , kira-kira 70 Km, akses menuju Desa Mio cukup mudah. Jalan aspal telah sampai ke desa tersebut. Di Desa Mio terdapat kawasan hutan yang dikelola oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Timor Tengah Selatan. Kondisi hutan tersebut sangat memprihatinkan karena rusak berat akibat kebakaran hutan. Upaya rehabilitasi pun terus dilakukan. akan tetapi selalu gagal karena selalu terbakar.
Desa Boentuka merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Batu Putih Kabupaten Timor Tengah Selatan. Mata Pencaharian Penduduk sebagian besar sebagai petani. Jarak ke Ibu kota Kabuipaten sekitar 30 km. aksesibilitas menuju desa cukup mudah karena jalan aspal telah sampai ke desa tersebut. Kawasan hutan di Desa Boentuka sangat rawan kebakaran hutan. hampir tiap tahun terjadi kebakaran. Kebakaran hutan tersebut umumnya muncul secara tiba –tiba sehingga tidak dapat dikendalikan lagi. Kedua desa berada di Kabupaten Timor Tengah selatan yang beriklim kering. Tanaman pokok yang paling banyak dibudidayakan adalah jagung. Di desa tersebut sebagian besar lahan merupakan lahan tadah hujan. Peternakan merupakan salah satu mata pencaharian penduduk yang paling banyak dilakukan selain bertani. Ternak yang paling dominan adalah sapi, kambing dan babi. D. KASUS KEBAKARAN HUTAN DI LOKASI PENELITIAN Dari hasil wawancara (2003) diketahui bahwa antara tahun 1998-2003 setiap tahun di lokasi penelitian terjadi kebakaran hutan dan lahan. Kebakaran ini terjadi umumnya pada lahan hutan yang direhabilitasi (penanaman kembali). Menurut petugas kehutanan setempat, meskipun kebakaran hutan telah terjadi setiap tahun, tapi upaya pengendaliannya sangat sulit dilakukan. Kebakaran hutan selalu terjadi mendadak dan luput dari pengawasan. Sementara itu upaya hukum untuk menindak pelaku pembakaran sulit dilakukan karena tidak adanya saksi bagi pelaku pembakaran. E. BUDAYA RESPONDEN YANG BERPOTENSI MENIMBULKAN KEBAKARAN HUTAN 1. Budaya tebas bakar Budaya tebas bakar merupakan salah satu budaya masyarakat Desa Mio dan desa Boentuka yang berpotensi menimbulkan kebakaran hutan. Dari hasil wawancara diketahui bahwa sebagian besar (100%) responden melakukan tebas bakar pada bulan Juli- November. Umumnya budaya tersebut dilakukan untuk mempersiapkan lahan pertaniannya. Pada akhir musim kemarau (November), Volume lahan yang dibakar makin luas. Oleh karena itu kita dapat melihat kobaran api dimana-mana. Karena tidak dikontrol dengan baik, api tersebut merembet juga ke hutan yang menyebabkan kebaran hutan.
Tabel 1. Waktu dan jumlah responden pelaku tebas bakar. Jumlah responden
Jan 0
Feb 0
Mar 0
April 0
Mei 0
Juni 0
Persentase
0
0
0
0
0
0
Waktu Jul 60 100 %
Agt 60
Sept 60
Okt 60
Nov 60
Des 0
100%
100%
100%
100%
0
Sumber : Wawancara, 2003 Menurut para responden budaya tebas bakar merupakan dipilih sebagai cara untuk pembersihan lahan karena merupakan cara yang paling murah dan mudah. Dari hasil wawancra diketahui Cara ini hanya membutuhkan tenaga kerja 2 orang tenaga kerja dalam waktu 1 malam untuk membersihkan lahan seluas 1 hektar. Budaya tebas bakar merupakan salah satu budaya Masyarakat Desa Mio dan Desa Boentuka yang sangat sulit dihentikan. Jumlah pelakunya sangat banyak sehingga aparat penegak hukum tidak mampu mengendalikannya. Upaya penyuluhan pun terkesan sia-sia karena hanya didengar tapi tidak pernah dilaksanakan. Hingga kini budaya tebas bakar terus dilaksanakan. 2. Budaya ladang berpindah Masyarakat Desa Mio dan Desa Boentuka bercocok tanam tidak pada satu tempat. Tiap satu sampai dua tahun mereka berpindah tempat untuk bercocok tanam. Ladang berpindah dilakukan pada lahan milik petani, atau pada lahan negara yang masih kosong. Menurut para responden ladang berpindah dilakukan karena merupakan cara bertani yang paling murah. Dengan cara ladang berpindah tidak diperlukan pupuk untuk bercocok tanam. Budaya ladang berpindah sering menyebabkan kebakaran hutan karena pembersihan lahan dilakukan dengan cara tebas bakar. Lokasi ladang baru pun sering merupakan lahan hutan yang oleh penduduk setempat diklaim sebagai miliknya. Pemerintah daerah setempat telah berusaha memberikan penyuluhan agar masyarakat setempat tidak melakukan ladang berpindah. namun demikian upaya tersebut belum membuahkan hasil. Hingga kini masyarakat setempat masih melakukan ladang berpindah.
Tabel 2. Waktu dan Jumlah responden pelaku ladang berpindah Jan 0
Feb 0
Mar 0
April 0
Mei 0
Juni 0
Waktu Jul 60
Agt 60
Sept 60
Okt 60
Nov 60
Des 0
0
0
0
0
0
0
100%
100%
100%
100%
100%
0
Jumlah responden Persentase
Sumber : wawancara, 2003 3. Fire maniac Budaya khas masyarakat Desa Mio dan Desa Boentuka adalah budaya fire maniac. Menurut hasil wawancara, api merupakan salah satu hiburan malam bagi mereka. Api yang menyala di malam hari mendatangkan kesenangan tersendiri bagi mereka. Umumnya pembakaran dilakukan secara sembunyisembunyi dan hanya dilakukan oleh satu orang saja. Lahan yang dibakar umumnya rumput yang telah tinggi. Dari hasil wawancara, diketahui bahwa penyebab adanya budaya fire maniac karena di desa tersebut minim sekali sarana hiburan. Masyarakat setempat berusaha mencari hiburan dengan pembakaran lahan. Tabel 3. Waktu dan jumlah responden pelaku pembakaran karena alasan fire maniac Jumlah responden
Jan 0
Feb 0
Mar 0
April 0
Mei 0
Juni 0
Persentase
0
0
0
0
0
0
Waktu / Time Jul Agt 60 60 100%
100%
Sept 60
Okt 60
Nov 60
Des 0
100%
100%
100%
0
Sumber : wawancara, 2003 4. Budaya berburu Budaya berburu merupakan salah satu budaya masyarakat Desa Mio dan Desa Boentuka. Namun demikian dari hasil wawancara diketahui hanya sebagian kecil masyarakat yang menyenangi berburu. Meskipun jumlah pelakunya kecil namun sangat berpotensi menimbulkan kebakaran hutan. Masyarakat setempat menggunakan api untuk memaksa hewan buruan keluar dari hutan dan kemudian menangkapnya. Umumnya hewan yang diburu berupa Rusa Timor. Api yang digunakan tersebut yang sering menimbulkan kebakaran hutan. Tabel 4 Waktu dan jumlah responden pelaku berburu Jumlah responden Persentase
Waktu Jul 1
Jan 1
Feb 1
Mar 1
April 1
Mei 1
Juni 1
1,7%
1,7%
1,7%
1,7%
1,7%
1,7%
Sumber : wawancara, 2003
1,7%
Agt 1
Sept 1
Okt 1
Nov 1
Des 1
1,7%
1,7 %
1,7%
1,7%
1,7%
F. BUDAYA MASYARAKAT KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN YANG BERPOTENSI MENGENDALIKAN KEBAKARAN HUTAN. 1. Budaya pembuatan “sako” Dari hasil penelitian teridentifikasi budaya masyarakat Desa Mio dan Boentuka adalah pembuatan “Sako”. Sako adalah budaya pembuatan ilaran api sebelum melakukan pembakaran lahan. Menurut hasil wawancara, budaya pembuatan sako sering dilakukan sebelum Indonesia Merdeka. waktu itu pemerintahan masih dipegang oleh raja-raja yang oleh masyarakat setempat disebut fetor. Umumnya sang raja sangat disegani rakyatnya sehingga masyarakat sangat patuh. Kini budaya pembuatan sako sangat jarang dilakukan. Pembakaran lahan dilakukan secara sembarangan tanpa memikirkan apakah pembakaran lahan tersebut merembet ke lahan lainnya atau tidak. Untuk mengendalikan kebakaran hutan di Lokasi Penelitian sudah saatnya budaya pembuatan sako dibangkitkan lagi. Budaya pembuatan sako merupakan salah satu alternatif untuk mengendalikan kebakaran hutan mengingat budaya tebas bakar tidak dapat dihentikan. Dengan adanya pembuatan sako diharapkan pembakaran lahan penduduk tidak menyebabkan kebakaran hutan. 2. Budaya “ Naik Bano” Budaya “naik bano” adalah kesepakatan adat untuk menghentikan semua aktivitas pengolahan Lahan termasuk aktivitas tebas bakar pada periode tertentu. Budaya naik bano juga merupakan budaya masyarakat setempat yang perlahanlahan ditinggalkan seiring dengan hilangnya tokoh-tokoh masyarakat yang mereka patuhi. Perubahan struktur pemerintahan dari sistem kerajaan ke sistem pemerintahan desa menyebabkan tokoh-tokoh adat setempat kehilangan wibawanya. Pengaktifan kembali budaya naik bano merupakan alternatif untuk mengendalikan kebakaran hutan. Dengan adanya naik bano maka aktivitas tebas bakar lebih mudah dikontrol karena hanya dilakukan pada saat-saat tertentu yang telah disepakati.
F. KESIMPULAN DAN SARAN 1. KESIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut : a. Budaya masyarakat Desa Mio dan Boentuka yang berpotensi menyebabkan kebakaran hutan adalah budaya tebas bakar, ladang berpindah, fire maniac, dan berburu.
b. Alternatif untuk mengendalikan kebakaran hutan di Desa Mio dan Boentuka dapat dilakukan melalui : • Pengaktifan kembali budaya pembuatan “sako” Pembuatan “sako” adalah pembuatan ilaran api sebelum melakukan kegiatan tebas bakar. • Pengaktifan kembali budaya “naik bano” Buadaya naik “Bano” adalah kespakan adat untuk tidak melakukan aktivitas pengolahan lahan termasuk tebas bakar pada periode tertentu. 2. SARAN Dari hasil penelitian diketahui bahwa volume lahan yang dibakar paling banyak pada akhir musim kemarau (November). Oleh karena itu petugas kehutanan harus meningkatkan kewaspadaan terhadap bahaya kebakaran hutan pada bulan-bulan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Dinas Kehutanan Kabupaten Timor Tengah Selatan. 2000-2002. Laporan tahunan. Tidak dipublikasikan. Gadas, S.R. 2000. Forest Land and Fire Management in East Nusa Tenggara, in : Fire and Sustainable Agricultural and Forestry Development in Eastern Indonesia and Northern Australia, Jeremy Russell –Smith, G, S. Djoeroemana, and B. Myer (Eds): ACIAR’s Proceeding Vol 91 of an International Workshop Held in at Northen Terrytory University, Darwin, Australia, April 13-15, 2000. Darwin Australian. Media Indonesia. 2005. Kebakaran Hutan Jadi Penyakit Menahun. 25 Agustus 2005.