rlompat untuk menerjang sianak muda. Ia mengenai kedua tangannya. Sebelumnya kedua tangan itu tiba pada sasarannya anginnya sudah menghembus terlebih dahulu. Karena ia berlompat tinggi tubuhnya seperti melayang diudara…. Walaupun orang berlaku tidak secara laki laki dan sangat mendadak. Ie Kun telah berjaga jaga tak kena ia diserang secara tiba tiba itu. Dengan gerakan Cit Chee Tun hoat yang lincah, ia menggeser tubuhnya kesamping sejauh tiga kaki disebelah kiri si imam.
Si imam sendiri, sebaliknya melotot matanya, sebab kegagalannya itu. Dia tidak menyangka bahwa bokongannya itu gagal. Habis itu, dialah yang kelabakan. Ie Kun tidak cuma berkelit, ia membalas menyerang dengan tipu silat “Tek Seng Touw” atau “Memetik bintang”. Itulah salah satu jurus dari Cit Chee Ciang boat, ilmu silat tangan kosong “Tujuh Bintang”. Semua mua ilmu silat itu mempunyai empat puluh sembilan jurus. Thian Tie juga lihay sekali, sembari tertawa, tubuhnya mencelat menyingkir dia mengapungi diri, ketika dia turun ditanah, dia bersikap duduk bersila, Begitu lekas dia menginjak tanah, begitu lekas juga dia berlompat kembali,
buat melakukan serangan pula. Dan dia menggunakan pukulan Cit Sat Cwe Sim Ciang! Yang hebat ialah ketika tangan kanannya meluncur imam itu mengeluarkan bau bacin. Bukan cuma Ie Kun yang terkejut, juga Bun Hong, yang telah muncul dari dalam kuil sesudah dia merapihkan pakaiannya, sebab dia mengenali ilmu silat itu. Ie Kun terkejut, tapi ia tidak menjadi gugup atau bingung, dengan sebat ia berkelit, dengan tindakan Pak Kwa Heng hoat ajaran gurunya, Lay Ong. Ia bergerak dengan sangat gesit dan lincah. Setelah itu sama gesitnya ia menyerang pula, Beruntun ia menggunakan tiga jurus Cian Kouw Lui Tong, Cio Po Thian Keng dan Thian Peng Tee Liat, dari ilmu silat, Thian Hian Sam Sie, karena ia mendongkol, ia menggunakan tenaga sepenuhnya hingga terdengarlah suara sangat berisik seumpama kata tambur perang mengguntur atau langit ambruk atau bumi gempa. Di dekat dekatnya cabang cabang pohon patah putus dan berjatuhan dengan rontoknya daunnya, sampai debupun mengepul naik. Hingga buat sejenak itu, disitu tak tampak apa apa! Begitu lekas suasana sirep. Ie Kun menjadi heran. Thian Tee Tojin tak tampak tak ada bekas bekasnya. Yang mengatakan ialah Bun Hong juga lenyap tidak keruan paran! “Adik Bun.” si anak muda memanggil, kekuatirannya lantas timbul. Tidak ada jawaban! “Ah, jangan jangan dia menemui bencana!...” pikirnya bingung, Ia pun heran. Thian Tie dapat lolos dari
serangannya yang maha dahsyat itu dan berbareng pun membawa kabur pada
kekasihnya! Dalam bingungnya Ie Kun lantas mencari berputaran di sekitar terapat itu. Ia pergi sejauh setengah lie, hasil tidak ada. Jangan kata Bun Hong hal hal yang mencurigai pun tak tampak. Karena Thian Tie lenyap, terang sudah dia dapat lolos! Ie Kun berdiam di dalam rimba dibelakang kuil terpisahnya lima tombak lebih. Di situ ia bercelingukan ke empat penjuru. Itulah tempat dari mana ia bisa memandang ke pelbagai jurusan. Ia mencari dengan mulut bungkam sebab sia sia belaka tadi ia berkaokan tak hentinya. “Engko Ie Kun ...” tiba tiba terdengar satu suara panggilan, suara itu lama dan merdu terdengarnya. Itulah suara wanita. Ie Kun terperanjat hingga ia tercengang matanya mendelong kearah kuil. Hanya sejenak girangnya bukan buatan. Tanpa bersangsi pula, ia lompat jauh, untuk lari ke San Sin Bio. Karena ia mengenali suaranya Bun Hong. “Adik Bun! Adik Bun!” panggilnya berulang ulang. “Kemana kau pergi? Oh, kau membuat aku kaget sekali…”
“Oh, engko Ie Kun” kata si nona. “Kau bukanlah lawan Thian Tie!...” Nona itu bukan menjawab hanya berkata: Ie Kun heran. Iapun perasaran. “Bukanlah dia telah kabur karena hajaranku?” tanya dia. “Bukan, engko Ie Kun,” sahut sinona. “Ketika kau hajar dia buat pertama kali, dia sudah lantas lompat berkelit, selagi debu mengepul, dia lompat kebelakangmu sekira dua
tombak. Sedangnya dia berdiri dibelakangmu, engko, aku berada dibelakang dia, kau terus menerjang kedepan, kau tidak melihat kebelakang, disaat pohon pohon roboh, dia mencoba menyerang kau dengan Cit Sat Cwie Sim Ciang. Itulah ancaman bahaya untukmu. Dia juga cuma mengawasi kau, dia tidak melihat aku. Sebelum serangannya meluncur, aku mendahului menyerangnya. Aku keausu, tidak sempat aku mengumpul tenaga, akan tetapi itu sudah cukup membuatnya kaget, maka dalam takutnya, ia memutar tubuh dan terus lari kabur!” Bun Hong bukan melainkan menyerang, ia terus mengejar si imam, selagi ia memburu, satu kali ia memanggil “Engko Ie Kun!” hanya sikakak tidak mendapat dengar, dia lagi tercengang keheranan sebab lawannya lenyap tidak keruan paran. Sebat sinona mengejar si iman, itulah yang membuatnya kehilangan kekasihnya hingga dia heran dan kaget dan mencari dengan bingung. Tidak berhasil Nona Bun menyusul Thian Tie. Imam itu dapat lari keras sekali, dari terpisah dekat, dia menjauhkan diri, hingga dia lenyap dalam rimba di Cok Lay San. Ketika sinona pulang kekuil. Ie Kun lagi mencari jauh dilain arah, maka juga mereka tidak saling bertemu dan sinonapun tidak dapat mendengar panggilan si pemuda. Barulah setelah sama sama berada dekat satu pada lalu, mereka dapat
saling mendengar. Ie Kun bersyukur. Ia menghatukan terimakasih kepada kekasihnya, yang telah menolongnya, kalau tidak tentu ia bakal bercelaka di bokong si imam lihay. “Teranglah, sekarang lawan kita yang terlihat yalah Thian Tie!” katanya kemudian. Bun Hong mengangguk, lalu bersenyum. Ia senang Ie Kun selamat.
“Sudahlah, jangan kita bicara pula dari hal si imam,” kata ia. “Paling benar mari kita pergi cari gurumu!” Ie Kun mengangkuk, akan tetapi ia berpikir. “Adik Bun.” katanya, “Thian Tie kabur ke Cok Lay San, disana mungkin dia mempunyai urusan apa apa. Entah apa yang dia lagi atau akan lakukan”“” “Itu artinya kau ingin pergi kesana?” tanya si nona. “Bagaimana pikirannya, adik? Apakah itu perlu?” “Kau sendiri, apakah musuhmu mau pergi kegunung itu?” sinona balik bertanya. “Tentulah pertama tama untuk membuat penyelidikan. Umpamakata kita ketemu orang jahat, sekalian kita basmi mereka, supaya kelak di belakang hari mereka tidak dapat mengganas pula!” “Kau keliru,” kata sinona. Sekarang ini yang paling perlu yaah mencari gurumu. “Gurumu baru lolos dari tempat musuh, ia tentu ketahui keadaan musuh itu. Buat apa kita menyia nyiakan waktu pergi kegunung itu?” Ie Kun setuju, maka lantas keduanya berangkat pergi ke Lay bu, ketika mereka sampai, mereka bergentayangan di jalan jalan besar mencari Pek Ie Loojin Lay Su. ketika itu sudah tengah hari. Mereka mencari tanpa tujuan sebab tak ketahuan Lay Su berada di mana. Kecuali jalan jalan besar dan kecil, mereka memasuki juga rumah rumah makan dan penginapan. Tidak ada hasil mereka jadi masgul. “Oe Ie Kun!” tiba tiba terdengar suara panggilan di saat muda mudi itu mulai putus asa. Keduanya menoleh dengan cepat, terutama Ie Kun. Segera sianak muda menjadi girang luar biasa, walaupun mulanya dia melengak!
Itulah Sin Kay Yo Thian Hoa, yang tadi malam kena terbokong lawan yang tak diketahui siapa adanya, yang disangkanya sudah mati seketika. “Loocianpwee!” seru Ie Kun. yang lantas lari menghampirkan. Bun Hong lari bersama. “Aneh!” kata mereka. Inilah sebab sipengemis Sakti tidak kurang suatu apa. “Kamu pergi kemana?” Thian Hoa tanya sebaliknya.
“Loocianpwee,” kata Bun Hong perlahan, disini bukan tempat bicara, mari kita mencarinya dahulu.” “Baik,” sahut Thian Hoa, tertawa. “Sudah kumat ketagihanku minum arak, maka pergilah kau mencari sebuah rumah makan di mana aku bisa berpesta pora! Kamulah yang yang mengundang aku berjamu!” Habis berkata, kembali dia tertawa gembira. Ie Kun dan Bun Hong bersenyum! Mari, loocianpwee,” kata si pemuda, yang terus mengajak jago tua itu ke sebuah rumah makan dimana mereka mencari meja dan lantas memesan barang makanan. Dengan begitu juga, sembari bersantap, Ie Kun dan Bun Hong dapat menuturkan lakon mereka mulai mereka dikaget kuatirkan robohnya si Pengemis Sakti itu tidak keruan ruan, kemudian Ie Kun menambahkan. “Kami menerka loocianpwee kena terbokong. Sebenarnya, bagaimanakah duduknya kejadian?” “Memang benar aku bertemu musuh,” sahut Yo Thian Hoa. “Siapakah dia, loocianpwee?” Bun Hong tanya. “Bagaimana pengalaman loocianpwee?”
“Aku tidak kurang suatu apa,” sahut Sin Kay, hanya disebabkan mengejar musuh, aku jadi berpisah dengan kamu. Hari ini aku sengaja menantikan disini karena aku percaya kamu bakal datang kemari,” Thian Hoa bicara sambil bersantap, bicaranyapun wajar saja, Ie Kun dan Bun Hong heran. Mereka tak mengerti. Terang terang mereka melihat orang roboh, kenapa sekarang dia membilang dia mengejar musuh? Apakah dia bukan lagi mendusta, buat menutupi rasa malunya? Itulah dugaan belaka, tak berani mereka mengutarakannya. Mereka kuatir siorang tua tersinggung dan menjadi kurang senang karenanya. “Loocianpwee, berhasilkah kau mengejar musuh?” tanya Bun Hong kemudian. Yo Thian Hoa tidak menjawab langsung, hanya dia menutur: Ketika mereka melihat bayangan orang didepan. Ie Kun yang paling dulu lari mengejar. Bun Hong dan Thian Hoa ketinggalan dibelakang. Di antara mereka ini berdua, Bun Hong berada didepan siorang tua, mereka berdua terpisah kira tiga tombak. Bun Hong berhenti berlari ketika Ie Kun menghentikan pengejarannya. Justru keduanya berhenti, dan tidak merasa. Itulah rupanya disebabkan cuaca gelap dan ia tengah mengawasi Ie Kun. Thian Hoa berada disebelah belakang, ia melihat orang hendak membokong si nona. Ia lantas bertindak cepat dan sebat. Ia berlompat kepada orang itu dan menotoknya membuat roboh. Bun Hong mendengar suara tubuh roboh, ia lantas menoleh. Ia lantas menerka Thian Hoa. Sedangkan sebenarnya, Sin Kay yang merobohkan musuh tidak dikenal itu. Hanya, habis menerjang, Sin Kay lompat ke sisi, buat menyembunyikan diri. Dia kuatir nanti ada musuh lainnya, hendak dia
menjaga, buat melindungi sinona. Lalu dia mencari kelilingan didalam rimba itu. Ketika dia muncul pula, Ie Kun dan Bun Hong sudah tak nampak. Dia lantas menduga
muda mudi itu tentu mengejar terus bayangan tadi, untuk melihat siapa pembokong itu. Untuk kagetnya, ia mendapatkan Cit Sat In Siu. Dia justru ada orang lompat keluar dari antara pepohonan lebat. Orang itu berlompat kearah si nona tetapi si nona sendiri tidak melihat kaget dan heran, hingga dia lompat mundur dua tindak. Dia bukan lawan Cit Sat In Siu tetapi aneh dia dapat menotok roboh jago itu. Dia tidak tahu Cit Sat In Siu lagi menggunai akal muslihat. Hal yang benar ialah: Cit Sat In Siu lagi mencari muridnya, yaitu Bu Beng Tong cu. Ketika itu Bu Beng Tongcu sendiri baru saja membinasakan empat orang sebawahannya, ketua Tiat Ciang Pang yang bersembunyi didalam rimba itu, habis itu dia lari ke luar dari rimba, untuk mengangkat kaki. Bayangannyalah yang terlihat Ie Kun bertiga, hingga dia dikejar. Cit Sat In Siu melihat dua orang berlari lari, yaity Bun Hong dan Yo Thian Hoa. Ia tidak melihat tegas ia menyangka Bun Hong yalah Bu Beng Tongcu, maka ia lompat keluar buat menahannya. Belum lagi ia menyerang lantas ia melihat seorang berpakaian serba putih. Ia lantas mengarti bahwa ia salah melihat maka ia sudah lantas menghentikan majunya Di lain pihak ia mau menyangka bahwa orang yang lari belakangan itu … yaitu Sin Kay ... dialah Bu Beng Tongcu. Ia tahu menghentikan tindakannya, atau orang sudah sampai dan meonotoknya. Sebenarnya ia mau mengasi dengar suaranya atau ia membatalkan itu. Inilah sebab ia kuatir, kalau ia membuka mulut. Bu Beng Tongcu nanti mengenalinya dan kabur. Segera ia menggunakan akal. Ketika diserang, ia berkelit,
akan tetapi ia berapura roboh, seperti orang kena tertotok. Ia duga, sesudah ia roboh. Bu Beng Ton cu batal menghampirkan padanya, buat mengambil obat “Cit Sat Biauw Tan” buatannya, itulah obat untuk menyembuhkan pukulan Cit Sat Cwie Sim Ciang ketika Bu Beng Tongcu mengobati Lay Siu, dia cuma mendapatkan sedikit dari obat itu maka juga ada kemungkinan dia akan mengambil lagi. Ia percaya, karena si murid mendurhakakan, murid itu pasti akan datang pula. Demikianlah ia rebah terus. Ia pikir, mudah ia membekuk si murid selagi si murid mengeledah tubuhnya. Terkaannya itu tepat. Orang benar datang pula. Ia hanya tidak mengira, orang bukannya Bu Beng Tongcu, dan juga baru saja datang dekat, orang sudah lompat mundur pula. Ketika itu ia masih menyangka muridnya, yang rupanya lantas mengenali padanya. Ketika itu pula ia berniat membunuh muridnya, supaya si murid tidak mendurhaka terus dan menimbulkan bencana tak diinginkan. Ketika Sin Kay mundur, ia berlompat bangun. Segera ia mendapat kenyataan, orang itu bukan muridnya, maka tanpa menghiraukan lagi si Pengemis Sakti, ia pergi kabur. Ia lari ke depan buat menyusul Bu Beng Tongcu. Yo Thian Hoa melihat Cit Sat Im Siu lari kearah larinya Ie Kun dan Bun Hong, ia lantas menyusul. Ia kuatir Cit Sat Im Stu nant mengganggu muda mudi itu. Ia hanya tidak tahu. Ie Kun dan Bun Hong justru bersembunyi di atas pohon. Maka ia lari terus menyusul Cit Sat Im Siu. Demikian sebab nya, Ie Kun dan Bun Hang heran atas lenyapnya “mayatnya” Sin Kay. Yo Thian Hoa menyusul terus terusan, dari malam yang gelap sampai fajar tiba. Ia terpaksa berhenti karena letih dan berdahaga. Terpaksa ia pergi ke kota, mengharap harap tibanya Ie Kun berdua Bun Hong. Ia girang sekali yang
pengharapannya terkabul. Maka sekarang bertiga mereka
berkumpul bersama dan minum bersama juga. Ia mengiringi beberapa cangkir arak, baru ia berceritera. Kata ia penutupnya : “Hampir juga, Bun Hong, tadi malam kamu tentu dapat beristirahat puas !” Dua dua muda mudi itu merah pipinya. Memang tadi malam mereka leluasa main asmara. Tidak dapat mereka menjelaskan itu. Ie Kun gugup Bun Hong tunduk .... “Bagaimana, eh ?” tanya Thian Hoa, mengawasi. “Kamu tidak percaya keteranganku atau kamu tak suka mendengarinya?” Bun Hong tidak mau orang menjadi curiga, lekas lekas ia mengangkat kepalanya. Ia pun melirik pada si anak muda. “Kau keliru, locianpwe!” sahutnya, lekas. “Tadi malam kami bersembunyi di atas pohon. Salahnya yalah telah tidak memanggil pada locianpwe, hingga kami menyebabkan locianpwe menderita.” “Tidak apa, anak. Kamu tahu, penuturan ku belum habis.” Ie Kun dan Bun Hong mengangkat kepala mengawasi. Sin Kay melanjuti keterangannya : Sebenarnya Cit Sat Im Siu lenyap ketika dia dikejar sampai di bukit Ie San, sesudah fajar menyingsing. Thian Hoa penasaran, ia menyusul terus, sampai ia berada di sebuah tanah datar di tengah bukit itu. Di situ ia lantas mendengar embe embeannya anak kambing. Ia heran di dalam gunung ada kambing. Untuk mendapat kepastian, ia bertindak ke arah dari mana suara anak kambing itu terdengar. Ia bertindak dengan perlahan Tidak lama maka ia melihat seorang anak penggembala bersama sekumpulan kambingnya. Bocah itu berumur sebelas atau dua belas tahun tubuhnya cuma tertutup dengan daun daunan. Apa
yang aneh dari dianya yalah, dia berkepala gedeh tetapi bertubuh kecil. “Hai, anak penggembala!” ia memanggil. Bocah itu mengangkat kepalanya dan menoleh. “Ada apa?” sahutnya. “Apakah kau hendak mencuri kambing ?” “Bukan! Kalau aku mau mencuri, masa aku panggil kau ” “Aku hendak menanya padamu!” “Tak dapat !” kata bocah itu. “Guruku telah membilangi aku, kalau ada orang datang kesini siapa pun dia harus aku hajar dia dengan toya, jikalau orang itu dapat menyambut, baru aku disuruh mengantarnya kepada guruku! Apakah kau mau bertemu dengan guruku?”
Berkata begitu, dengan memegang sepotong bambu, si panggembala menghampirkan. Bambu itu panjang dua kaki dan besar nya seperti jeriji kelingking. Thian Hoa merasa lucu, ia tertawa. “Sahabat cilik, akupun membekal toya!” katanya. “Kaku benar perkataanmu, nak mariah kita berdua bermain main!” Anak itu berkata benar benar. Begitu Sin Kay menantang, begitu dia meluncur, terasa siuran anginnya yang dingin sedang ujungnya yang tajam lantas mengenai pundak kanan si Pengemis Sakti sampai si pengemis terdesak mundur sambil dari mulutnya ke luar jeritan “Aduh!” 19 Si buta dan si bocah
Sin Kay Yo Thian Hoa lihay, tongkatnya yang terdiri dari bambu hijau itu menjadi gegamannya selama beberapa puluh tahun. Dengan senjata istimewa itu, belum pernah ia menemui lawan yang setimpal. Siapa sangka sekarang, didalam segebrakan saja, ia telah dipaksa mundur oleh seorang bocah angon umur sebelas atau dua belas tahun, yang gegamannya pun sepotong bambu kecil, bahkan pundaknya terasakan nyeri sekali! Karena itu, habis mundur segera ia maju pula, untuk menyerang pundak kiri bocah itu. Kalau bocah itu orang biasa, dia terancam bahaya. Serangan si pengemis luar biasa sekali, akan tetapi dia lain dari bocah yang lain. Dia berlaku tenang ketika dia mengegos tubuhnya sambil dia menangkis. “Heran” pikir si pengemis djagoan. Justeru itu waktu, dari sisi mereka terdengar suara tertawa mengejak. Sin Kay mendengar itu, segara ia melirik. Untuk herannya ia untuk kagetnya ia melihat Cit Sat Im Su tengah menonton pertempurarnya itu. Orang memperlihatkan sikap mengancam. Mau atau tidak hatinya bercekat. Di samping si bocah ia laig lagi menghadapi lawan yang tangguh. Si bocah angon juga mendengar tawa dingin itu, bukan dia berkelahi terus mendadak dia lompat minggir, sambil berdiri diam, dia mengawasi Cit Sat Im Su dan tertawa. Hanya habis tertawa dia menoleh pula, pada lawannya dan berkata: “Pengemis tua hitunglah bahwa kau sanggup menyambut satu jurus seranganku! Sekarang kalau kau hendak menemui guruku mari kauturut padaku.” Baru kata kata yang terakhir diucapkan atau arangnya sudah lompat pergi!
Yo Thian Hoa bingung. Pergi atau jangan? Kalau ia pergi ia belum tahu siapa gurunya bocah itu. Kalau ia tidak pergi Cit Sat Im Su tengah mamandangnya dengan bengis. Menghadapi Cit Sat Im Su kedudukkannya berbahaya, Sebaliknya kalau ia pergi, mungkln ia akan dapat bantuan gurunya si bocah walaupun ia tidak kenal, bahkan belum tahu siapa guru itu. Di dalam keadaan seperti itu, tidak dapat pengemis ini ragu ragu atau berayal, Maka tanpa merasa ia mengangkat kakinya, bertindak
mengikuti sibocah angon. Tiba tiba! Tiba tiba Cit Sam Im Su mencelat berbareng terdengar tertawanya yang dingin tahu tahu dia sudab menghadang di depan si pengemis, bahkan dengan dingin, dia berkata : “Pengemis bangkotan! Apakah kau mau mengangkat kaki? Tak semudah itu, eh !” Benar benar orang ini lihay dan telengas. Kata katanya itu dibarengi dengan serangannya, dia menggunakan tipu silat Cit Sat Tiwee Sim Ciang yang dinamakan “Siang Sat Pok Hwee,” atau “Sepasang malaikat menghadiri rapat”. Serangan itu yang diarahkan kedada, ketiga jalan darah terlebih dahulu mendatangkan hembusannya hawa yang dingin menggigilkan. Menghadapi lawan tangguh itu, Yo Thian Hoa siap sedia. Tak sudi ia keras melawan keras. Meski ia bersenjata tidak mau ia menangkis. Sebaliknya dia justeru lompat nyamping jauhnya satu tombak, sembari lompat ia berseru: “Hari ini aku si pengemis tua mengaku runtuh! ...” Lompatnya itu jutru ke arah si bocah angon karena ia ingin menarik perhatiannya bocah itu supaya orang membantunya.” Tepat sekali dugaannya si pengemis Sakti si Pengemis Pengejar Angin. Bocah itu mendengar suaranya, dia lantas berpaling terus dia melompat kembali, pesat seperti melesat
nya anak panah. Maka juga didalam sedetik dia sudah berdiri diantara kedua orang itu. Terus dengan suara tawar dia kata pada Cit Sat Im Su. “Pengemis tua ini menjadi tetamuku! Siapakah yang berani ganggu dia? Jalanlah” Kata kata yang belakangan itu ditujukan kepada Yo Thia Hoa. Lalu tanpa menanti ketika lagi bocah itu mencekal tangannya si pengemis, buat ditarik buat diajak berjalan pergi! Cit Sat Im Su bukan sembarang orang. Segera dia dapat melihat bocah angon itu bukan sembarang bocah, hanya dia heran kalau dia ingat usia baru sepaluh tahun lebih sedikit. Akan tetapi dia tidak takut. Sebelum orang pergi jauh, mendadak dia menjejak tanah, untuk berlompat tinggi kearah sibocah sembari berbuat begitu, dia juga mengarahkan tenaga ditangannya. untuk menyerang bocah itu! Dia berlompat pesat dia menyerang cepat!
Bocah itu seperti yang dapat melihat orang membokongnya, tanpa ia menoleh atau menggeser tubuh dia menyampok dengan tangan tangan kanannya kesamping membikin tubuh Yo Thian Hoa terpental mundur setombak berbareng dengan itu dengan tongkat dengan tongkat bambunya ia menyambut penyerangannya, ia arah lengannya di bagian nadi! Cit Sat Im Su terperanjat. Dia dapat melihat sambutan yang membahayakan itu. Tidak ada lain jalan lekas lekas dia membatalkan penyerangannya. Dia mesti menolong diri dahulu. Menyaksikan demikian si bocah memutar tubuh terus dia menyerang.
Tidak sempat Cit Sat Im Siu menggunai pukulan kematiannya Cit Sat Cie Sim Ciang! Dia pun tidak dapat
menangkis. Maka terpaksa dia berkelit tubuhnya diputar hingga dia berbalik mengadapi pula penyerangannya. “Sar! Ser!” Demikian si bocah melanjuti serannya. Ia mendesak. Yo Thian Hoa berdiri di pinggiran dia heran dan kagum. Akhirnya dia menjadi girang. Tidak dia sangka seorang bocah angon demikian liehay. Syukur tadi dia tidak main gila dia melainkan bergurau. Cit Sat Im Su cerdik sekali. Atas desakan lawan ia bersiul keras dan panjang sebelum suaranya berhenti ia sudah mencelat jauh, untuk terus memutar tubuhnya dan pergi lari! Menyaksikan demikian si bocah tidak mengajar. Dia hanya menarik pulang tongkat bambunya. Sembari memutar tubuh kearah sipengemis dia berkata: “Marilah, pengemis tua!” Dia pun berlompat untuk berjalanlah terus. Melihat lagaknya, dia seperti tidak memikirkan lagi pertempuraanya barusan. Yo Thian Hoa menenteramkan hati. Ia ikut berjalan. Ternyata ia mesti jalan dijalan sukar dan berbahaya di gunung itu yang pun banyak pohon cemaranya yang tinggi tinggi hingga ujungnya seperti menjulang ke langit… Perjalanan Sin Kay bukannya perjalanan enak. Si bocah bukan berjalan hanya berlari lari. Dia tidak menghiraukan tempat yang dilalu dia tak mengubris jalanan sukar. Yo Thian Hoa berpengalaman, ilmu ringan tubuhnya sempurna akan tetapi buat dapat mengikuti sibocah angon dekat dekat inilah ia tidak sanggup. Jarak mereka tetap sejauh tiga tombak. Apa yang aneh kalau diawasi sibocah bukan seperti lagi lari lari hanya dia mirip orang lagi berjalan dengan lompat berulang ulang tak cepat perlahan.
Perjalanan dilanjuti sampai di tempat di mana tidak ada bekas bekas orang berlalu lintas akan tetapi dengan berjalan terus sekira semakanan nasi Thian Hoa mendapatkan mereka tiba di mulut sebuah selat. Selama itu mereka sudah melewati dua buah puncak. Mulut selat itu sempit tiba maut dua orang jalan berendeng. Dia sisi itu ada batu gunung yang merupakan. Di situ Thian Hoa lihat ada ukiran huruf huruf cepat atau koh cie yang terang diukir dengan jeriji tangan yaitu jari tangan Kim kong cie. Huruf huruf nya indah. Bunyinya itu yalah. Selat buntu tempat terlarang. Jangan masuk tanpa diundang! Melihat pemberitahuan itu Sin Kay heran dan kagum. Ia jadi berpikir.
Tengah orang berpikir, si bocah angon, sudah bertindak memasuki mulut selat itu. Maka mau atau tidak si pengemis mengikuti nya. Tiba di sebelah dalam Thian Hoa mendapatkan lembah tidak lebar cuma berapa lie di sekitarnya. Jauh kira satu lie lebih terlihat bangunan yang merupakan tiga undak luas belasan tombak di tengah tengah itu terlihat sebuah para para dari besi dimana tergantung pelbagai macam alat senjata. Selagi Thian Hoa mengawasi para para senjata itu tiba tiba ia ditarik si bocah angon yang mengajaknya sembunyi didalam rumpun rumput di sisi mereka. Sembari menarik bocah itu berbisik, “Lekas sembunyi! Selagi guruku berlatih dia melarang...” Belum berhenti suara sibocah. mendadak terdengar pekiknya kera beberapa kali. Thian Hoa lantas menoleh, mengawas kearah dari mana suara datang. Ia lantas menampak empat ekor kera besar
berbulu putih berjalan keluar dari dalam gubuk berlompatan ketanah lapang, menghampirkan para para besi, untuk lantas memernahkan diri diempat penjuranya. Menyusul itu, Thian Hoa mendengar siulan yang nyaring, yang berkumandang didalam lembah, yang bagaikan menulikan telinga, setelah mana tertampaklah munculnya seorang tua yang bertubuh kurus kering, yang rambutnya sudah putih semua. Dia keluar dari dalam gubuk untuk terus lompat kesisi para para besi itu. Si bocah angon membentur Thian Hoa pada pundaknya sambil dia berbisik: “Lekas mendak!” Thian Hoa menurut, ia lantas jongkok. Meski begitu, dari antara rumput rumput itu, ia masih dapat mengintai dengan nyata. Jarak diantara ia dan para para itu kira kira lima puluh tombak... Melihat datangnya siorang itu keempat kera mengangguk dan bersuara. Rupanya mereka menyambut sambil memberi hormat. Si orang itu mengulapkan tangannya, terus dia berdiri tegak. Karena orang tua itu berdiri menghadapi dia, Thian Hoa lantas mendapat kenyataan bahwa mata orang buta dua duanya. Ia heran. Dengan perlahan, orang tua itu bertindak ke tengah para para yang bundar. Selekasnya ia berada dalam para para itu, ia dengan cepat mengangkat lengan kanannya. Sebelum tangan itu dikasi turun pula keempat kera lantas mengasi dengar suaranya yang berisik, dengan berbareng mereka menjambret masing masing sebuah benda bundar mirip gelang, yang mereka betot sekuat tenaga mereka. Atas itu maka pelbagai senjata, yang berada pada para para itu, semua bergerak sendirinya, melesat kepada si orang tua, hingga segera juga dia kena terkurung. Akan tetapi dia tidak
menghiraukan nya, sambil bersiul, menggeraki kedua belah tangannya, yang tangan bajunya lebar, sedang tubuhnya terus bergerak juga, berputaran. Dia nyeplos tak hentinya di antara serangan pedang dan golok golok itu. Selagi si orang tua itu dikeroyok macam macam senjata itu, keempat kera membetot betot, menarik narik makin cepat dan keras, karena itulah gelang gelang yang menjadi alat penggeraknya pelbagai senjata itu, bergeraknya juga bertambah cepat. Dengan senjatanya, si orang tua pun bergerak makin cepat pula. Selama itu
tak nampak dia repot atau bingung. Yo Thian Hoa gagah tetapi ia toh kagum. Itulah latihan silat tangan kosong melawan tujuh senjata yang istiwewa. Latihannya sendiri bissa saja. Yang istimewa yalah orang dalam lingkungan terkurung, orangnyapun sudah tua, tubuhnya kurus kering, dan terutama orang buta kedua matanya. Jadi orang tua ini mengandalkan telingaaya sebagai ganti matanya. Ia tidak bisa melihat tetapi pandai mendengar. Tengah latihan berlangsung itu selagi Thian Hoa berpikir heran tiba tiba terdengar si orang tua berseru, sedangkan kedua tangannya dikibaskan dengan berbareng. Sebelum seruan sirap maka itu disusul dengan suara nyaring dari bentrokannya pelbagai senjata itu, yang lantas pada jatuh ke tanah. “Hian Thian Kong Khie!” Thian Hoa berseru kagum, menyebut namanya ilmu silat itu. “Perlahan!” berbisik si penggembala, yang menaruh jeriji tangannya pada mulut nya sendiri, kemudian dengan perlahan, dia berbisik pula. “Kiranya, orang tua, kau kenal Hian Thian Kong khie” Mukanya Yo Thian Hoa menjadi merah ia mengangguk. Tetapi ia mengawasi ketengah lapangan.
Habis berseru itu siorang tua berhasil panjang lantas ia lompat keluar kurungan para para. Keempat kera melihat orang tua itu berlalu, merekapun berlompatan mendekati rumah gubuk, untuk masud kedalamnya, buat dilain saat muncul pula dengan masing masing membawa selambar papan besar dan lebar, yang masing masing ada lukisannya merupakan orang orangan berikut pelbagai hiat atau jalandarah, otot ototnya. Terus mereka mengatur diri diempat penjuru, terpisahnya satu dari lain dua atau tiga belas tombak. Sesudah mereka menancap rapi papan bergambar itu mereka berlari lari pula masuk kegubuk. Kali ini mereka kembali sambil membawa papan papan besi, yang mereka terus berdirikan dibelakangnya masing masing papan kayu itu. Si orang tua buta sementara itu sudah bertiniak ketengah tengah kurungan papan papan kayu yang berlapiskan papan papan besi itu. Disitu ia berdiri medap ke selatan. Ia melihat kesekitarnya rupanya ia memeriksa dahulu, habis itu. ia menggeraki kedua belah tangannya dikibas kibaskan. “Tuk! Tuk! Tuk!” demikian terdengar suara nyaring berulangkali, disusul dengan suara tang tiog tong sama banyaknya. Itulah suara yang disebabkan menyambar nyambanya biji biji catur yang putih, yang ditimpukkan si orang tua yang mengenai tepat jalandarah hian khie dari gambar orang di papan papan itu , yang tembus, terus mengenai papan besi, hingga terdengarlah suara nyaring itu. Melihat biji biji catur itu. Thian Hoa terperanjat. “Mungkinkah dia!” katanya di dalam hati. Tetapi, sebelum ia sempat berpikir lebih jauh. siorang tua sudah mengulangi latihannya menimpuk dengan biji biji catur itu, mengenai pelbagai jalandarah berbahaya dari keempat
lukisan tubuh manusia itu semuanya mengenai tepat, semua biji catur tembus diantara papan dan bentrok dengan lembaran lembaran besi di belakang papan papan itu. Itulah yang dipanggil kepandaian ”Lain cucu hiat” ilmu timpukkan berantai. Pelajaran itu juga umum, tetapi yang aneh dari orang tua ini ialah ia dapat menyerang saling susul keempat penjuru dan dengan kekuatan tenaga yang luar biasa, sebuah papan tembus dan keras menyerang lembaran besi. “Dia tak salah lagi!” pikir Thian Hoa. Maka lantas ia Ingin menyingkir dari tempat itu. Sebelum orang dapat pergi, suaranya si orang tua buta sudah lantas terdengar. Katanya “Ceng jie! Sahabat karib telah tiba, mengapa kau tidak lekas mengundang masuk kedalam gubuk kita?” Mendengar itu, tibalah niat Thian Hoa mengangkat kaki. Sebaliknya, dengan menebali kulit muka, ia lantas berbangkit bangun. Si penggembala pun berbangkit dengan cepat hanya dia sambil terus menggeleng geleng kepala dan kata: “Kali ini habislah...” Dengan separuh menarik ia ajak Thian Hoa bertindak kedalam tanah lapang. Di dalam keadaan seperti ini, Thian Hoa dapat membawa diri. Masih ada beberapa tombk terpisahnya ia dan si orang tua buta ia sudah lantas memberi hormat sambil menjura seraya berkata. “Yo Thian Hoa yang muda menghadap Kok Loocianpwee.” Mendadak orang tua buta itu tertawa nyaring. Diapun kata: “Aku mendengar kau berjalan dengan membawa bawa tongkat bambu, rupanya kau seorang pengemis !” Thian Hoa heran. Hendak ia menjawab, atau sibocah telah mendahuluinya.
“Memang dialah seorang pengemis,” katanya. “Dia membawa bawa tongkat peranti mengemplang anjing! Sebenarnya tidak ada maksud dia untuk menemui lojinke akan tetapi karena dia memaksakan diri menyambuti sepotong bambuku, aku lantas memaksa mengajaknya ke mari ...” Mendengar keterangan itu, parasnya si buta berobah. “Benar benar guru yang pandai mengeluarkan murid yang lihay!” Katanya. “Pada lima puluh tahun dulu ada seorang yang bergelar Ciu Kit Oet tie, yang dengan sebatang tongkat bambu hijaunya telah tak mendapat tandingan di dalam dunia Rimba Hijau, adakah dia itu gurumu?” Hati Thian Hoa bercekat. Ia lantas menjawab tak lancar : “Benar ialah guruku yang rendah, hanya pada duapuluh tahun yang lampau ia telah menutup mata …” Si tua dan buta bersiul lama, lalu dia kata sengit. “Sayang! Sayang! Kalau begitu sia sia belaka aku Gin Kie Kok Hong bercapai lelah selama tigapuluh tahun. Didalam dunia Rimba Persilatan ada pembicaraan yang jelas tentang budi dan permusuhan, dan di jaman dahulukala juga ada peribahasa yang mengatakan, kalau seorang ayah berhutang anaknya yang lunasinya. Mesti
begitu hal ini aku tidak mau berlaku keterlaluan. Karena Ciu Kit Oet tie sudah meninggal dunia kau sebagai muridnya, sedikit banyak kau harus mewakilkan almarhum gurumu membereskan hutang lama ... Tapi aku Kok Hong aku tidak mau sebagai yang tua menghina yang muda, yang kuat memperhina yang lemah, maka itu, mari aku atur begini saja. Asal kau dapat lolos dari Tiat Kee Liok Hap Bu Kwie Tin, kau boleh anggap bahwa hutang gurumu telah terbayar lunas!”
“Tiat Kee Liok Hap Bu Kwie Tin” berarti dia atau barisan rahasia, yang bersatu padu, yang dari mana orang tidak dapat pulang lagi . . , . Habis berkata begitu, kedua biji mata putih dari si buta dan mencilak, menyatakan dia sangat penasaran dan menyesal, meski begitu, wajahnya terus nampak lebih tenang banyak. Yo Thian Hoa menjadi orang yang beradat keras, kalau tadi ia suka merendahkan diri, itulah disebabkan ia merasa sangat terpaksa, sekarang ia ditantang, tidak dapat ia merendah terus. Ia merasa tersinggung. Maka ia lantas kata “Ayah berhutang selayaknya! Kau sendiri memberi masih hidup tak
anak membayar, guru bersangkutan murid membereskan, itulah sudah pun baik sekali. Kok Locianpwe sebab kau tidak mau turun tangan pengajaran padaku! Percayalah, locianpwe, selama Yo Thian Hoa nanti dia melupakan ini budi yang besar sekali …”
Gin Kie cu Kok Hong, si Biji Catur Perak, tertawa nyaring, “Sungguh tak kecewa kau menjadi muridnya Ciu Kit Oet tie!” pujinya. “Tuan, umpama kata kali ini kau tidak merasa puas tidak apa, suka aku Kok Hong bersabar sampai sembarang waktu, sebab dapat aku menantikan lagi tigapuluh tahun. Baiklah harap kau maafkan aku yang aku tidak dapat menerima pengajaran dari kau!” Thian Hoa dapat menangkap artinya pernyataan itu : Kek Hong tidak mau melayani ia bertempur dan orang suka menunggu sampai lagi tigapuluh tahun, karena ini ia lantas berkata. “Terima kasih, Kok Locianpwe! Jikalau aku masih dapat hidup selama tigapuluh tahun, pasti kelak akan aku datang kemari untuk aku menambah pengetahuan ku ...” Gin Kie Cu tertawa dingin, dia menggapai kepada si pengembala.
Bocah itu mengarti, ia sudah lantas menghampirkan para para besi, untuk terus bekerja. Yalah ia mengangkat dan merapihkan semua alat senjata tadi. Keempat kera mengerti maksud orang, tanpa diperintah lagi, mereka lantas mengambil kedudukannya masing masing seperti semula tadi, yaitu memegang gelang uniuk menarik dan mengerjakan pesawat rahasia itu selekasnya mereka menerima isyarat. Yo Thian Hoa memperlihatkan roman sungguh sungguh sebab hatinya tegang, hanya sejenak, lantas ia menekan tanah dengan tongkatnya. untuk berlompat masuk ke dalam kalangan para para. Tapi belum sampai ia menjejak tanah, atau mendadak terdengarlah satu seruan nyaring halus, mulanya doa keagamaan, lalu kata kata ini : “Gin Kie Cu, perbuatanmu ini bukankah menujuki pandanganmu yang cepat?” Menyusul suara itu maka terlihatlah lompat lompat datangnya seorang niekouw atau bikshuni, usia pertengahan, yang berpakaian sutra patin. Melihat demikian Thian Hoa menunda menjejak tanah. Ia lantas mengawasi si pendeta wanita, yang datangnya seperti juga dia terbang turun dari udara.
Gin Kie Cu kaget dan heran, ia mendongkol. Maka hendak ia membuka mulutnya, atau si bocah angon sudah mendahului. “Bong Kok ialah tempat di mana orang dilarang masuk kecuali dengan undangan!” katanya, keras. “Siapa mau menghadap guruku, dia harus menyambut dahulu padaku barang satu jurus!” “Bong Kok” yalah namanya lembah itu. “Lembah Buta.”
Begitu ia menutup mulutnya, begitu si bocah meluncurkan tongkat bambunya ke muka si bhiksuni. Parasnya wanita itu berubah, atau hanya sejenak, segera ia menjadi tenang pula. Ia sudah berkelit dari serangan pengembala cilik itu, hanya dengan kebutannya, yang berada di tangannya, ia mengebut perlahan. Hanya dengan satu kali kebut, bocah itu mesti mundur beberapa tindak! Bocah itu tahu diri, ia tidak maju pula hanya dia mengoceh seorang diri : “Dia ini jauh terlebih tangguh daripada si pengemis tua!” Sampai di situ, Gin Kok Cu membentak “He Ceng Jie, jangan kurang ajar! Lekas kau menghunjuk hormat kepada Loocianpwee Sam Im Sin Nie!” Ia berhenti sebentar, ia tidak menanti Ceng Jie, si anak Ceng, memberi hormat ia meneruskan berkata pula: “Bencana Rimba Persilatan sudah mulai, sekarang, Su thay berkunjung ke Bong Kok tentulah ada petunjukmu!” Bukan cuma si Ceng, juga Yo Thian Hoa turut memberi hormat. Sam Im Sin Nie memuji si Ceng yang bakatnya bagus, kemudian ia menunjuki roman sungguh sungguh dan menegur Sin Kay: “Ancaman bencana di Tiok Lay San masih belum sirap, eh pengemis tua kenapa kau bolehnya berkesempatan datang ke Bong Kok itu untuk mencari gara gara? Silahkan kau lekas pergi!” Yo Thian Hoan menurut perintah, ia menyahuti “Ya,” lantas mengoloyor pergi ke luar dari selat itu. Gin Kie Cu tidak menyetujui sikapnya Sam Im Sin Nie menyuruh orang pergi akan tetapi ia tidak menentang dari itu ia mem
Akan tetapi, belum jauh si pengemis meninggalkan mulut selat mendadak Sin Nie menyusul dan memegatnya, untuk ia segera berkata padanya: “Bu Beng Tongcu sudah mendurhaka terhadap gurunya, tidak lama lagi dia bakal kembali ke jalan yang lurus. Berhubung dengan itu Lay Ong telah pergi menyusul anak itu. Karena ini, ada kemungkinan rombongannya Cit Sat Im Siu mendapat tahu dan akan menyusul juga. Sekarang ini mempunyai satu urusan lain, aku musti pulang ke kelintingku, oleh karena itu jika lari di tengah jalan kau bertemu dengan muridku, Bun Hong, tolong kau memberitakukan agar dia lekas pulang ...” Yo Thian Hoa tendak menyahuti bahwa ia mengarti akan tetapi, belum sempat ia membuka mulutnya, bhiksuni itu ssudah mendahuluinya pergi. Segera setelah itu, ia menjadi bersanksi harus pergi ke mana. Ia berpikir tidak lama. Lantas ia mengambil keputusan akan pergi ke Cok Lay San, untuk melihat gerak geriknya kaum Tiat Ciang Pang. Ia harap nanti memperoleh sesuatu kabar penting di sana. Maka
segeralah ia menuju ke barat daya, kegunung. (BERSAMBUNG KE JILID 11)
RAHASIA GELANG PUSAKA Oleh O. K. T. Jilid ke 11 Tak terlalu jauh terpisahnya Cok Lay San dari Bong Kok, lembah Buta itu. Di sana, kuil Cok Lay Bio, berdiri madap ke timur, letaknya di bagian bukit yang berbahaya, yaitu bagian depannya curam, bagian belakangnya lamping bukit yang tinggi dan lancip. Itulah tempat indah buatan alam.
Sambil berlari lari Thian Hoa dengan cepat melewati dua puncak. Tepat ia mulai melihat kuil Cok Lay Bio, di sana ia melihat cahaya api terang, berkobar naik ke udara. Ia tidak mau sembrono, tidak mau lantas pergi menghampiri. Ia mengawasi dahulu sekian lama, sesudah tidak melihat suatu gerakan, baru ia maju lebih jauh. Mendadak terlihat dua orang, bagaikan bayangan, bergerak di antara sinar api dan lantas lenyap. Dari jauh, nampak itulah dua orang wanita. Ia maju pula, sambil berjaga jaga, supaya orang tidak melihat padanya. Hanya sebentar, sampailah pengemis in di dekat Cok Lay Bio. Ia menjadi heran. Kuil sudah tidak ada lagi, yang nampak ialah sisa atau puingnya, yang masih ada apinya. Disitu tidak ada seorangpun juga dari kalangan Tiat Ciang Pang. Menyaksikan keadaan itu, mau atau tidak Thian Hoa menjadi mencurigai dua orang wanita tadi, lantas ia mencoba mencari. Ia pergi ke arah di mana tadi dua orang itu lenyap. Tengah ia mencari, mendadak ada jeritan yang menyayat, yang datangnya dari arah belakangnya. Ia terkejut, sebelum nya menoleh, lantas ia pergi bersembunyi sesudah itu, baru ia berpaling dan melihat untuk mengintai. Di tempat belasan tombak, disana terlihat Gin Kie Cu bersama muridnya si anak Ceng itu. Mereka berendeng. Thian Hoa terkejut, hatinya berdebar. Ia heran “Mungkinkah mataku lamur maka tadi aku melihat dari dua orang wanita?” Tengah ia bimbang itu, nyaring dari si bocah angon “He, pengemis tua,
hingga ia tanya dirinya sendiri. mereka sebagai bayangan merah tiba tiba ia mendengar teguran kenapa kita bertemu pula?”
Nyatalah orang telah mendapat lihat si pengemis walaupun dia sudah menyembunyikan diri. Menyusul
teguran si pengembala cilik itu, tubuh Gin Kie Cu sudah mencelat mendatangi sembari lompat, dia memperdengarkan tertawanya yang dingin.
Menampak demikian, Thian Hoa menjadi tidak puas, maka itu dia mendahului menegur. “Pemilik dari Bong Kok, rupanya kau masih belum puas! Baiklah ...” Belum berhenti suaranya Thian Hoa. ia sudah merasa ada tenaga lunak menolak tubuhnya. Sebenarnya ia hendak memberi penjelasan sekarang tidak ada ke empatan nya lagi, untuk membela diri, ia menekan dengan tongkatnya, untuk mencelat ke samping. Gin Kie Cu luar biasa liehay, baru orang mencelat atau tubuhnya sudah mendahului, untuk menghadang. Selain kaget, Thian Hoa juga lantas mengeluarkan keringat dingin. Ia berkuatir sekali. Di saat ia merasa bahwa dirinya terancam itu sekonyong konyong ia mendengar suara tertawa nyaring dan manis, yang mana disusul dengan tolakan dari tenaga lunak yang tak henti hentinya, yang membuat tenaga menolak dari Gin Kie Cu tadi terdorong ke pinggir. Baru setelah itu, hatinya si pengemis menjadi tetap. Sekarang ia melihat dihadapannya berdiri seorang wanita setengah tua yang melintang diantara ia dan Kok Hong. Sedangkan seorang wanita lain, yang berbaju merah juga lagi mengawasi si bocah angon. Iapun segera mengenali si wanita. Maka berbareng dengan hatinya lega, ia tertawa dan berkata. “Aku berterima kasih yang selama di Cit Chee To aku telah dikasi pinjam perahu, dan sekarang ...” “Jangan banyak bicara,” kata si wanita yang bukan lain dari Ang Hun Pek Kut Kie Siu, yang matanya melirik tajam. Setelah itu, dia memandang Gin Kie Cu, dan tertawa nyaring tetapi nadanya mengejek lantas berkata, “Cit Chee
Piauw Sim Ie ada yang tulen ada yang palsu, maka itu, mungkinkah Gin Kie Cu Kok Hong ada yang tulen dan ada yang palsu juga? Walaupun matamu telah dirusak Ciu Kit Oet tie akan tetapi nyalimu yang besar rupanya masih tetap ada, maka sekarang hendak aku tanya, kau masih ingat atau tidak itu hutang lama dari tiga puluh tahun dahulu di Touw Liong Po?” Ditegur begitu, Gin Kie Cu tertawa terbahak bahak. “Tidak kusangka bahwa hari ini aku dapat menemui pula Ang Hun Pek Kut Kie Siu!” katanya. “Sungguh aku beruntung! Bicara terus terang, aku tidak jeri terhadapmu! Hanya, karena kau menimbulkan soal hutang lama dari Touw Liong Po itu, ingin aku menjelaskan. Itulah urusannya Cit ...” Kie Siu tertawa dingin dan memotong “Itulah urusannya Cit Chee Piauw Sim Ie, dengan kau tidak ada sangkut pautnya, bukan? Ha ha. Pandai sekali kau mencuci bersih dirimu! Jikalau benar seperti kata katamu ini, kenapa selama tiga puluh tahun kau tidak pernah pergi ke Touw Liong Po untuk menjelaskannya? Kenapa kau justru menyembunyikan diri, tak sudi kau menemui kami? Kau tahu sendiri, keadilan akan selalu tampak, maka tidaklah disangka sangka sekarang kita bertemu disini …!” Gin Kie Cu rupanya merasa tidak dapat ia berbicara dengan si wanita ini, menunjuksn kegusarannya Lantas ia kata kata “Taruh kata benar itulah perbuatan ku seorang akan tetapi aku, Ang Hun Pek Kut ...” Kie Siu tidak menunggu orang habis bicara, ia menyela
“Aku tidak percaya sesudah tiga puluh tahun kau memperoleh kepandaian yang istimewa ...” Lalu tidak menanti lagi sampai kata katanya selesai, ia menyerang pemilik Lembah Buta itu menyerang kebawah. Ia mengunai
satu jurus dari “Lan Hoa Cit Sie” atau “Tujuh Jurus Berantai” yang bernama “Lay Hoa Ie” atau “Bunga Pir Kehujanan.” Gin Kie Cu tertawa. “Hm, kau berani bicara besar!” katanya. Belum berhenti suara gurunya si bocah angon sudah lantas lompat menerjang kepada Kie Siu. Dia menggunai tongkat bambunya. Nampaknya Ang Hun Pek tidak berdaya terhadap serangan mendadak itu tetapi Yo Thian Hoa telah menggeraki tongkatnya, untuk menentang, sembari berbuat begitu, dia mengasi dengar ejekannya. Dia menggunai tipu silat “Sia Yang Lok Goat” atau “Matahari doyong, Rembulan turun.” Juga nona berbaju merah yang mengawa si bocah, seorang nona muda, tidak berdiam saja ia membentak, lalu dengan pedangnya ia lompat menyusul membatat kedua kaki penggembala berkepala gede itu! Menyaksikan demikian Gin Kie Cu mengibaskan kedua tangannya kiri dan kanan, maka tangan bajunya yang gerombongan membikin dua dua Thian Hoa dan sinona baju merah tertolak mundur. Kie Siu sendiri mencelat kepingir sembari tertawa dingin, ia kata “Selama tiga puluh tahun ternyata kau orang she Kok, telah tidak menyia nyiakan waktumu….!” Kata kata itu diakhiri dengan samping, tetapi ia akan terus di kempit buat dibawa berlari “Baiklah di Bong Kok aku akan kita bubaran?”
serangan. Kok Hong tertawa tubuhnya mengegos ke menerjang, ia hanya menyambar si bocah angon, buat pergi. Sembari menyingkir itu, ia kata nyaring menantikan kamu? Sebelum kita bertemu, tidak nanti
Kie Siu heran atas sepak terjang orang itu, ia tercengang. Yo Thian Hoa melihat tegas jalannya pertempuran itu baru saja segebrakan, akan tetapi itulah cukup baginya. Ia sudah menyaksikan kepandaiannya Kok Hong, ia pula tahu kelihayannya Nyonya she Kie ini maka menurut ia sekarang Kie Siu bukanlah lawan setimpal dari Gin Kie Cu. Mungkin ada sebabnya kenapa pemilik dari Lembah Buta itu tidak sudi melayani. Kalau tidak, tidak nanti semudah itu dia mengajak si bocah angon mengangkat kaki.” Dengan roman sungguh sungguh pengemis ini kata pada si nyonya “Biarkan saja! Sekarang ini Gin Kok Cu bukan lagi Gin Kok Cu yang dahulu! Meskipun lembah Bong Kok letaknya dekat, aku pikir baiklah…”
Tapi Kie Siu kata nyaring “Apa kau bilang, pengemis tua? Pergilah kau bawa dirimu sendiri, akan aku bawa diriku pula! Anak Cui, mari kita susul!”
Menutup kata kata itu, si nyonya dan si nona lantas melompat pergi cepat sekali, sehingga melainkan tampak dua sinar merah berkelebatan…. Thian Hoa melengak sebentar, lantas ia pergi menuju ke Lay bu. Tidak dapat ia menuntut balas terhadap si buta, sedangkan urusan sibuta dengan Kie Siu ia tidak berhak untuk mencampur tahu. Ia mengharap dapat menemui Ie Kun dan Bun Hong yang juga tentulah telah pergi terus mencari Bu Beng Tongcu. 20. Si tuli dan gagu Demikianlah Yo Thian Hoa menuturkan pengalamannya, yang membuat Ie Kun heran dan girang. Bun Hong pun mendapat serupa perasaan hanya kemudian ia masgul akan mendapat tahu gurunya sudah kembali ke
Ay Lao San. Ia merasa berat untuk berpisahan dari si pemuda. Ie Kun masih hijau, ia tidak melihat kemasgulan si nona tidak demikian dengan Yo Thian Hoa yang telah banyak pengalamannya. Pengemis ini dapat membade akan perhubungan erat luar biasa diantara muda mudi itu. “Sekarang begini saja,” katanya kemudian “Kawanan Cit Sat Im Siu dan Pu Thian Bin telah membakar kuil dan tidak ketahuan kemana perginya mereka, akan tetapi aku menduga mereka tentulah menyusul Bu Beng Tong cu. Disini sudah tidak ada urusan apa apa, aku si pengemis tua ingin aku berangkat sekarang. Kamu berdua kalau kamu suka dapat berjalan bersamaku supaya kita satu dengan lain tidak kesepian. Hanya…” Ia berhenti, lantas ia mengawasi si nona. Mukanya Bun Hong merah, dia lihat sendirinya. “Nona Bun” ia melanjuti telah aku sampaikan pesan gurumu, sekarang terserah padamu untuk mengambil keputusan. Aku sendiri tidak dapat aku berdiam lebih lama pula disini. Nah aku berangkat sekarang!” Benar benar si pengemis sakti lantas berjalan keluar dari rumah makan. Sebenarnya Ie Kun juga tidak mau berpisah dari Bun Hong, demikianpun si nona, tetapi ialah orang yang sangat menghormati gurunya, maka seberlalunya Thian Hoa, ia kata pada kekasihnya “Adik Hong perintah guru tidak dapat diabaikan. Jikalau tidak ada urusan penting, tidak nanti gurumu menyuruh kau pulang. Aku berterima kasih untuk kecintaanmu, tidak nanti aku lupakan itu, tetapi sekarang kita harus berpisah, tentu buat sementara waktu maka itu, janganlah kau buat pikiran.”
Nona Bun tunduk, kemudian ia menggeleng kepala. “Tidak dapat,” katanya “hendak aku mengawani kau pergi ke Bong im. Biarlah andaikata guruku menghukum aku bersamadhi menphadapi tembok”. “ Ie Kun tahu tabiat sinona keras, maka ia berkata “Ke Bong im dan ke Ay Lao San sama saja jalannya, kalau begitu, tidak ada halangannya buat kau nanti singgah pada gurumu.” Mendengar ini, lega juga hati Bun Hong. Cuma ia tetap berkuatir karena gurunya memanggil pulang. Apakah guru itu telah ketahui lakonnya didalam San Sio Bio?
kalau benar…” “Marilah!” katanya kemudian. Tak mau dia memikirkannya pula urusan lakon asmara nya itu. Nanun lantas berbangkit. Mereka sudah dahar cukup, maka Ie Kun menurut. Ia membayar uang makan mereka, terus mereka bertindak keluar. Dari kota Lay itu mereka menuju langsung ke Bong Im. Jalanan yalah jalan pegunungan seluruhnya, tidak heran kapan saja waktu mereka tidak dapat singgah untuk menangsel perut atau bermalam. Tapi bukanlah soal. Mereka berada berdua, mereka selalu bergembira. Segera juga mereka melalui tempo satu hari dua malam. Lantas mereka menampak gunung Bong San tetapi kota Bong im sendiri belum terlihat, ketika itu baru saja fajar, Ie Kun menuntun Bun Hong, buat maju terus bersama. Tengah mereka berjalan, tiba tiba ada orang lompat lewat didepan mereka, saking cepatnya orang itu, dia tak dapat dikenali pria atau wanita. “Mari kita susul?” seru Ie Kun, yang terus lepaskan tangannya si nona, untuk lari mengejar.
Ketika mereka menyusul sampai matahari mulai naik tinggi, orang dengan pakaian warna abu abu itu tidak dapat dicandak, bahkan dia lenyap! Ketajaman ini membikin Ie Kun ingat kata katanya situkang kereta cilik. “Tunggulah sampai saatnya kau menjagoi Rimba persilatan baru kau pergi pula ke Ngo Bie untuk mempeributi Kie Su Koan dan Giok Tiap.” Sekarang ia tidak sanggup mengejar satu orang cara bagaimana ia bia menjadi jago? Ia menjadi masgul hingga lenyaplah kegembiraannya. Bun Hong menyusul belakangan ia melihat orang berduka. “Engkoh Ie Kun, mana oang itu? tanyanya. “Dia lenyap …” sahut sianak muda. Bun Hong mendapat tahu orang kecele dan menyesal, maka ia menarik tangan pemuda itu sambil berkata “Sudahlah! Mari kita cari tempat untuk beristirahat, Mungkin dia bukan orang hanya kita yang keliru melihat…” Ie Kun menyeringai. Ingin ia beristirahat di sini juga ketika ia mau menjatuhkan diri untuk duduk numprah, tiba tiba sinona berkata “Lihat, diasana ada rumah orang!” Nona itu menunjuk ke depan. Ie Kun mengawasi. Ia melihat sebuah rumah atap di lereng bukit, yang di kurung dengan pagar hidup. Justru itu datanglah rasa lapar mereka... “Mari!” kata Bun Hong, yang terus berjalan lebih dulu.
Dengan masgul, Ie Kun mengikuti. Tiba di luar pagar pekarangan mereka melihat sebuah tanah pekuburan. Rumah atapnya terdiri dari tiga undak mungkin itulah
rumah si penjaga kuburan. Pintu pekarangan cuma dirapati. Tanpa memanggil manggil, Bun Hong menolaknya dan bertindak masuk. Pekarangan pekuburan itu bukannya kecil, mungkin luasnya tiga bahu, kuburannya tiga buah, semuanya tinggi dan besar besar, letaknya berbaris. Rumah atap itu berdiri disisi kiri. Sunyi sekali keadaan disitu tak terdengar suara anjing, tak nampak ayam. Pintu rumah tertutup. Segala barang perabotan kasar semuanya tetapi bersih tak ada debunya. Di bagian belakang ada lagi dua undakan rumah yang katai dan kecil. Bun Hong tidak sabaran tetapi Ie Kun lain. “Coba kita memanggil manggil dulu!” katanya. “Ah!” kata si nona, tak puas. Selagi mereka bertentangan paham itu, mendadak Ie Kun terkejut. Dari belakangnya, ia mendengar suara. “Hm!” tawar, serempak ia memutar tubuh. Lantas ia melihat seorang tua dengan tubuh tinggi dan besar, dengan rambut dan kumis ubanan, hanya mata dia itu rada tolol. Dia berdiri sambil mengawasi dengan wajahnya bersenyum berseri seri. Menerka bahwa orang itu yalah tuan rumah, lekas lekas Ie Kun memberi hormat ia pun berkata. “Aku yang muda yalah Oe Ie Kun, dan inilah adikku, Bun Hong, kami temaha berjalan hingga kami tersasar sampai di sini. Maaf, kami telah datang mengganggu...” Orang tua itu seperti tidak mendengar perkataan orang, dia berdiam saja, tetap dia mengawasi. Bun Hong tidak sabaran. “Apakah kau tuli ?” tanyanya.
Rupanya orang tua itu dapat menerka pertanyaan si nona, ia mengangkat tangannya, menunjukki telinganya. Nona Bun tertawa, tetapi ia kata pula “Orang tuli tak selama gagu! Apakah kau tak dapat membuka mulutmu untuk berbicara ?” Orang tua itu membuka mulutnya, ia bicara tidak keruan. Ia pun menunjuki mulutnya itu. Nona Bun tertawa terkekeh. Ie merasa sangat lucu. Tahulah ia sekarang bahwa orang sudah tuli lagi gagu ... Ie Kun sebaliknya. Ia tetap berlaku hormat. Sekarang ia bicara dengan menggeraki tangan, kepala dan tubuhnya, mengasi tahu bahwa mereka ingin beristirahat.
Orang tua itu tidak menghiraukan si nona, mengenai si anak muda, ia rupanya mengarti, maka ia lantas memberi tanda buat kedua tetamunya masuk ke dalam, bahkan ia segera menyuguhkan dua cangkir teh disusul dengan sepiring bahpauw dan dua rupa sayur. Ie Kun mengucap terima kasih, tanpa malu malu, ia dahar berdua Bun Hong, baru setelah bersantap, anak muda itu heran. Yalah tadi, kenapa mereka tidak tahu akan tibanya si orang tua tuli dan gagu ini! kenapa orang tahu tahu sudah berada di belakang mereka!
“Ah, apakah dia yang tadi merupakan si orang berpakaian abu abu ?” si anak muda menerka nerka. “Mungkinkah dia sengaja memancing kami datang ke sini? kalau benar, apakah maksudnya? Dilihat dari romannya, tak mungkin orang tua ini orang Bu Lim, lebih lebih karena matanya yang bersinar bodoh. Itulah matanya orang desa tulen. Rumah ini, kecuali kebersihannya, tidak ada yang dapat mendatangkan kecurigaan ...”
Bun Hong heran melihat kekasihnya terbengong. “Kau lagi pikirkan apa?” tegurnya, Ie Kun mau memberi keterangan, tetapi karena ia kuatir situan rumah tuli dan gagu berpura pura ia lantas menjawab sekenanya saja. Justru itu si orang tua memberi isyarat buat mereka masak beristirahat. Lebih dulu Bun Hong diantar ke kamar sebelah kanan, yang gelap, baru Ie Kun diantar ke kamar sebelah kiri yang gelap juga. Ie Kun mendapatkan kamar bukan kamar tidur hanya peranti menyimpan barang. Di situ terdapat barang barang bertumpuk, di antararanya beberapa potong papan. Ia lantas bekerja sendiri, mengatur papan itu sebagai balai balai. Ia menduga bahwa kamarnya Bun Hong tentulah kamar tidur yang sebenarnya. Habis mengantari para tetamunya masuk ke kamar, tuan rumah itu mengundurkan diri. Selagi mau keluar, ia mengunci pintu depan. Selekasnya orang pergi, Ie Kun berbangkit, keluar dari kamarnya, pergi ke kamar si nona. Cocok seperti apa yang ia duga, kamar Bun Hong kamar tidur bahkan lengkap segalanya. Yang aneh yalah si nona sendiri, dia bukan merebahkan diri, dia bukan merebahkan diri, dia hanya berjalan mundar mandir. Terang dia mencurigai tuan rumah itu. Melihat si pemuda, Bun Hong tertawa dan lantas berkata “Orang tua ini sangat aneh, tidak kusangka sudah tuli dia gagu pula ...” Mendengar lagu suara si nona, Ie Kun tahu orang tidak bercuriga, maka sengaja menimpali, katanya “Ya, kasih orang tua itu, sudah dia pun gagu dan dia tinggal di tempat sunyi begini, kalau kau suka adik Hong, aku ingin berdiam di sini buat beberapa hari ...”
Bun Hong heran. Dia melengak.
“Tinggal buat beberapa hari ?” tanya nya. “Kau lupa akan urusan kita?” Ie Kun tertawa. “Meski aku tidak tahu kota Bong im di mana letaknya tetap aku percaya tentulah sudah tidak jauh lagi dari sini” katanya. Justru di saat orang orang sesat dan lurus berkumpul di Bong im, baiklah kita mempunyai suatu tempat meneduh, buat menaruh kaki tanpa dicurigai siapa juga.” Nona Bun tunduk, ia berpikir. “Baiklah kalau begitu,” sahutnya kemudian. “Jadi malam ini kita tidak pergi dulu ke Bong im?” “Sebentar malam saja kita bicarakan pula urusan itu.” Bun Hong melirik. “Sekarang kau ingin beristirahat, bukan?” “Ya!” suhut si pemuda, tertawa. “Kau beruntung, sebab kau dapat pembaringan lengkap. Aku sendiri cuma mendapati tiga lembar papan. Jikalau aku dapat tidur bersama sama kau di sini …” “Muka tebal!” kati si nona, tertawa, yang terus naik ke pembaringannya dan menutupi diri dengan selimut. Ie Kun ingin menemani tetapi ia kuatir nanti di pergoki tuan rumahnya, terpaksa ia bertindak keluar sesudah ia mengawasi sekian lama pada kekasihnya. Ia pun terus merebahkan diri. Sekonyong konyong dalam lain lain. Ie Kun mendengar suara tindakan kaki berat. Ia terkejut, lantas ia berbangkit bangun. Begitu ia membuka mata, ia melihat kamar penuh dengan sinar terang matahari. Maka tahulah ia bahwa
ketika itu sudah lewat tengah hari. Ia lantas bangun berdiri, atau si orang tua muncul di ambang pintunya. Orang tua itu membawa serantang barang hidangan terbuat dari daging, ikan dan ayam dan bebek serta dua poci arak. Melihat si anak muda, dia bersenyum. Tak tahu Ie Kun harus membilang apa, maka ia mengangguk buat menghaturkan terima kasihnya. Ketika itu Bun Hong pun muncul, ia senang melihat perlakuan tuan rumah ini. Hanya ia tidak tahu, dari mana orang peroleh barang hidangan itu. Jadi mereka mau menduga saja bahwa kota Bong im sudah tidak terpisah jauh lagi. Sebab di dalam sebuah desa, tidak nanti orang mempunyai barang makanan semacam itu. Muda mudi itu membantu menyajikan barang makanan itu, terus mereka bersantap. Selagi dahar, hari sudah jatuh lohor mendekat magrib. Selama itu, Ie Kun menulis surat buat mengajari si orang tua bicara. Apamau, orang tua itu juga buta huruf! “Ah, sayang,” pikirnya. Dengan begitu, mereka jadi tidak tahu juga she dan nama serta asal usul tuan rumah itu. Walaupun demikian Ie Kun penasaran, ingin ia mencoba mencari tahu. Habis bersantap, Ie Kun berdua membantu membenahkan piring mangkok. Setelah itu
si orang tua menyuguhkan air the. Justeru si orang tua baru masuk di ambang pintu mendadak Ie Kun mengerahkan tenaga dalamnya untuk memperdengarkan derum “Say Cu Hauw” atau “Derum Singa” hingga rumah atap itu begetar seluruhnya. Bu Hong heran hingga dia terkejut dan berlompat bangun.
Sebaliknya adalah si orang tua dia rupanya tidak mendengar suara itu, dengan tenang dia bertindak masuk dengan air teh nya itu... Ie Kun tidak puas, ia ingin mencoba pula. Disaat orang tua itu memutar tubuh nya habis meletaki teh koan ia berseru ia menolak dengan menggunakan tolakan “Cio Po Thian Kang” dari “Thian Touw Sam Sie” sasarannya yalah pinggang si orang tua. Sebelum tolakan anginnya sudah mendahului. Si orang tua tidak berbuat apa apa ia tetap seperti tidak merasakan atau tidak tahu apa yang terjadi. Sebaliknya Bun Hong Si nona kaget sekali melihat si engko Ie Kun menyerang dengan ilmu silat yang hebat itu sampai dia berseru! Baru sekarang Ie Kun merasa bahwa ia bercuriga berlebihan. Dengan tangan kirinya ia menyampok untuk menyimpangi serangannya itu yang dilakukan dengan tangan kanan supaya seorang tua tidak bercelaka karenanya. Sekarang tetaplah hatinya. Tidak lama seorang tua muncul pula dengan lampu minyak tanah, ketika ia mengundurkan diri selagi mau menutup pintu ia memberi isyarat bahwa ia berdiam di belakang di dapur. Malam itu sampai djam satu Ie Kun masih tidak dapat tidur pulas. Saking, iseng ia membuka pintu kamarnya dan pergi ke kamarnya Bun Hong. Ia mengetuk ngetuk sampai beberapa kali ia tidak mendengar jawaban. Ia heran. Lantas ia menolak pintu dan masuk. Nona Bun tidak ada kamar kosong tetapi daun jendela terbuka. Ia kaget. Segera timbul pula kecurigaannya terhadap si orang tua. Dengan berindap indap ia pergi ke belakang. Sampai di dapur ia mendengar suara mendengkur
dari tuan rumah. Itulah bukti bahwa orang lagi tidur nyenyak sekali. Dia mendengar sesuatu dan pergi keluar atau lantas menyanding otaknya sianak muda. Semestinya kalau dia keluar dari rumah sedikitnya dia memperdengarkan suara sesuatu dan tak mungkin aku tidak mengetahuinya. Apa tidak tidur sama sama sekali. Dengan pikiran bingung Ie Kun pergi keluar atau ia mendaki kuburan yang tertinggi dan berdiri diatas itu untuk memandang ke sekitarnya, ia tidak melihat Bun Hong. Ia menjadi berkuatir. Justru ia lagi mengawasi ke rumah di bagian belakang yaitu dapur tiba tiba ia melihat ada seorang di dekat rumah itu menggapai kepadanya. Ia heran tetapi ia lantas lompat untuk menghampirkan. Setibanya ia di depan rumah, orang itu sudah lari keluar pagar pekarangan gerakannya sangat gesit. Ia heran kuatirannya bertambah. Orang itu justeru lari ke kuburan yang paling tinggi itu. “Hebat ilmu ringan tubuhnya!” kata Ie Kun dalam hati. Ia heran ia berkuatir ia toh kagum.
Orang itu terang bukan Bun Hong. Siapakah dia? Dari atas kuburan, orang itu mengapa pula! Ie Kun penasaran, ingin ia mendekati. Tanpa sangsi pula ia lompat pesat sekali. Ingat ia segera menghadapinya. Aneh orang itu. Di saat si anak muda sampai di kuburan, dia sudah pergi ka belakang kuburan itu, di pagar pekarangan. Lagi lagi dia menggapai! “Adakah dia bermaksud busuk terhadap ku?” Ie Kun tanya dirinya sendir. Ia jadi sangat heran dan curiga. Rupanya dia bermaksud tidak baik! Jikalau tidak apa perlunya dia menggoda aku begini rupa? Dilihat dari gerak
geriknya ini, dia liehay sekali, aku mungkin bukan lawannya …” Toh ia penasaran, ia mulai menjadi tidak puas. Ia melihat orang lagi lagi menggapai terhadapnya. Maka ia lompat pula, ia mengejar secepatnya bisa. Kali ini orang itu lari ke arah lembah, ia bukan lari lempang, hanya berputaran. Sesudah mengejar ngejar sekian lama. Ie Kun mulai merasa letih. Tapi ia penasaran, gak dapat ia berhenti. Kuat atau tidak ia menyusul terus. Lalu, dengan tiba tiba, orang itu berhenti berlari! Ie Kun heran, hingga ia nurut berhenti juga. Ia lantas berpikir. “Tadi dia lari larian, dia seperti memancing aku! Sekarang kenapa dia berhenti secara mendadak? Siapakah dia? Apakah maksudnya?” Maka ia mengawasi dengan tajam. Orang terpisah cukup jauh, dia tak dapat dilihat. Kebetulan juga, langit gelap karena sang mega lagi mengalingi si Puteri Malam serta sekalian bintang di dekat dekatnya. Orang itu sampai tidak dapat dibedakan dia priya atau wanita, tua atau muda. Sekarang ini, orang juga tidak menggapai gapai lagi. Sesaat itu, mereka berhadapan, tak bicara tak berkutik. Biar bagaimana, Ie Kun penasaran, tak dapat ia menguasai dirinya. Maka bertindak perlahan lahan, niat menghampirkan orang itu. Ia merasa bahwa orang sepisah sangat jauh darinya. Tentu sekali, hatinya pun tegang sendirinya. Bukankah orang itu aneh dan tak ketahuan dia musuh atau kawan? Apa yang ia merasa pasti yalah ia bukau lawan orang itu ...
Setindak demi setindak, hati Ie Kun makin tegang, ia merasa bahwa tindakannya sangat berat. Akhirnya, ia datang dekat juga pada orang itu. Di saat ia sudah dapat melihat tegas, mendadak ia menjadi kaget! 21. GUA RAHASIA Itulah si orang tua tuli dan gagu! Sungguh di luar dugaan! saking heran, Ie Kun berdiri menjublak.
Orang tua itu benar benar aneh. sesudah orang yang dipanggilnya datang dekat, mendadak dia menjejak tanah, untuk lompat tinggi, untuk sambil lompat memutar tubuhnya! Ie Kun bukan main heran. Ia kenal cara lompat yang istimewa itu. Itulah tipu silat “Cu Hong Lok Yap” atau “Angin musim rontok meruntuhkan daun.” Satu tipu dari ilmu silat “Soan Hong Lay Pat Sie” “Delapan Jurus Angin Puyuh” dari Siauw Lim Pay, yang semuanya terdiri dari tujuh puluh dua macam! Kepandaian si tuli gagu ini menunjuki bahwa sekalipun dibanding dengan Kouw Siu Taysiu, gurunya Ie Kun, dia masih terlebih liehay, Toh Kouw Soie sudah termasuk orang kelas satu di dalam Siauw Lim Pay. Maka Ie Kun seperti terbenam dalam kabut. Tapi ia tahu benar, mestinya orang ini seorang cianpwee, golongan tertua, dari partainya. Orang tua itu bersenyum, dia menggapai pula, lantas dia berlompat ke depan. Sekarang ini tidak mengikuti. Kekuatannya pun lenyap. Apa yang ada tinggal keheranannya. Orang tua itu berjalan perlahan, dengan begitu dapat si anak muda mengikutinya dengan leluasa.
Sampai itu waktu, tak dapat Ie Kun menerka siapa orang tua itu, yang sebenarnya bukan lain daripada “To Jiauw Siu Liong” Tan Su si “Naga Sakti Berkuku Banyak” salah satu murid Siauw Lim Pay yang tidak masuk menjadi pendeta, yang tersohor buat kegesitannya, banyak macam senjata rahasianya, dan mengerti juga ilmu kebatinan. Sudah lama dia mengundurkan diri hingga Kouw Siu pun tidak ingat menyebutnya pada muridnya yaitu pemuda she Oe ini. Tam Siu lihay, tetapi dia bertabiat aneh dan keras. Satu kali dia bentrok dengan Goan Thong Taysu, yang menjadi ketua muda Siauw Lim Pay, dalam murkanya dia mengangkat kaki meninggalkan rumah perguruannya. Dia hidup menyendiri hingga orang tidak dapat menemukannya pula. Diapun pernah bersumpah, kecuali dia dapat membangun suatu partai persilatan baru, tak sudi dia menemui lagi kaum Bu Lim. Baru tetelah dia menghilang dia merasa bahwa sangat sulit buat mewujudkan cita citanya itu. Dia menjadi menyesal, karena menyesal, dia berdiam di dalam sesat, dia menggali sebuah lubang, buat dijadikan gua, setelah menumpuk rangsum kering, di dalam gua itu dia menyekap diri. Tanpa melihat langit dan matahari, terus menerus dia meyakinkan ilmu silatnya. Dia berkeputusan, sebelum rangsumnya habis, tak mau dia keluar dari gua itu. Gua itu gua bikinan dan tanahnya basah, itulah gua yang tidak sehat. Barang makanan juga menjadi sama tidak sehatnya. Mula mula tidak apa, tetapi setelah lewat banyak waktu, meskipun ilmunya bertambah, kesehatannya berkurang. Masih ia memaksakan diri berdiam di dalam gua itu, sampai kemudian, dengan sendirinya tuli dan mulutnya menjadi gagu. Di dalam gua dia menyendiri, dia tidak dapat bicara dengan siapa juga. Susudah lewat beberapa puluh tahun, kejumawaannya lenyap sendirinya.
Baru kemudian dia muncul pula di antara sinar matahari dan rembulan, membuat rumah gubuknya itu didekat kuburan itu, hidup sebagai si penjaga kuburan. Akan tetapi, di dalam gubuknya itu, dan meninggalkan warisan.
Ketika pertama kali menemui Ie Kun. Tam Siu kagum. Ia mendapat kenyataan, selain anak muda itu murid Siauw Lim Sie, dia pun berkata baik. Lantas hati nya jadi tergerak, timbul niatnya, untuk mewariskan kepandaiannya. Sesudah berusia lanjut, ia ingin kepandaiannya tidak terbawa ke liang kubur. Tentu saja, ia tidak sudi mempunyai sembarangan murid. Ie Kun ini kebetulan cocok untuknya. Maka ia lantas membawa sepak terjang nya itu yang aneh, akan memancing si anak muda mengikutinya.
Ie Kun heran hingga ia berpikir. “Lembah ini datar, benar tidak ada jalanannya tetapi pun tidak ada rintangannya, kenapa dia mengambil jalan berputaran begini?” Demikian, sampai mendadak si tuli dan gagu berhenti berjalan, lalu dia mengawasi sambil tertawa. Ie Kun jengah tetapi ia lantas berkata! “Aku yang muda bernama Oe Ie Kun, akulah muridnya Kouw Siu Taysu. Aku tidak tahu cianpwee dari golongan apa dan bagaimana aku harus membahasakannya! Aku pun tidak tahu, cianpwee hendak menitah apa padaku…” To Jiauw Sin Liong menggeleng kepala, dia tertawa. Melihat itu, baru Ie Kun ingat halnya orang tidak dapat mendengar dan tidak bisa bicara. Lantas ia berjongkok, akan menulis surat di tanah. Tapi kembali ia batal. Ia ingat orang tua itu buta huruf.
Tapi diluar dugaannya, Tam Siu tertawa, lantas dia menulis juga di tanah. Dia menulis “Kepandaianmu tidak dapat dicela !” Untuk sejenak, Ie Kun melongok, kiranya orang tua ini berlagak buta huruf. Tentu saja akhirnya ia menjadi girang. Ketika ia mau menulis lagi, tiba tiba si orang tua mengangkat kepalanya, melihat langit, romannya berduka. Ie Kun mengawasi, ia bingung. “Siapakah orang tua ini?” pikirnya. Lama To Ciauw Sin Liong berdiam, akhirnya ia menuliskan juga nama dan gelarannya. Ketika Ie Kun membaca tulisan itu, dengan gugup ia menjatuhkan diri, untuk berlutut, buat memberikan hormatnya. Aneh sekali si orang tua. Justru orang berlutut, justeru dia melompat, cepat bagaikan angin, dia berlari lari, berlari berputaran beberapa balik. Dalam herannya, Ie Kun mengawasi saja. Ia memang tidak tahu tabiat aneh orang tua itu.
Habis berlari lari, Tam Siu berjalan perlahan, akhirnya dia berhenti, sebagai ganti kelakuan aneh itu, dia mengibas ke tanah, sampai debu dan pasir mengepul naik. Lekas lekas Ie Kun memejamkan mata. Waktu membuka matanya ia heran, si orang tua telah lenyap dari hadapannya. Ia menoleh kelilingan, ia tidak melihat siapa juga. Ia heran dan terkejut, ia jadi berpikir. “Mungkinkah orang tua ini telah mempunyai ilmu dewa ...?” Tapi itu tidak mungkin.
Selagi Ie Kun diam, mendadak ia melihat di sebelah depannya ada tangan orang yang keluar dari dalam tanah, kembali ia terkejut, hingga ia menggigil. Tapi ia mengawasi, ia mencoba menenangkan hati. Tidak lama, tangan itu lenyap pula. Dengan memberanikan diri, Ie Kun bertindak ke tempat di mana tangan itu muncul dan lenyap. Ia menjadi heran tatapi juga berlega hati. Ia melihat sebuah liang yang melenyap. Ia menjadi heran tetapi juga berlega hati. Ia melihat sebuah liang yang merupakan mulut gua, hanya sebentar lantas ia sadar sendirinya. Dengan bertindak cepat dua kali sampailah Ie Kun di mulut liang itu. Ia bisa melihat karena bantuan sinar bintang bintang. Ia melongok ke dalam gua, hingga ia mendapat kenyataan, walaupun mulutnya kecil, gua itu luas atau lebar di dalamnya. Ia tidak berani lancang memasuki liang, ia melongok dulu sekian lama... Didalam gua terlihat To Jiauw Sin Liong menggapai pula, kali ini meski ia ragu ragu, Ie Kun toh menyeploskan tubuh nya ke dalam liang. Ia percaya tidak nanti si tuli dan gagu mencelakainya. Gua itu menyamping. Perlahan lahan ia berjalan turun, sampai di tempat yang luas beberapa tombak bundar. Si orang tua tertawa melihat orang muda itu memasuki gua. Ie Kun tidak memperhatikan tawa orang itu. Ia tengah memandang ke sekitar gua, ke tembokannya. Ia heran mendapatkan pelbagai ukiran atau peta. Karena ia cerdas, ia cepat dapat menerka peta itu apa artinya itulah garis garis ilmu silat. Diam diam ia girang. Ia mulai menerka maksudnya si orang tua memancingnya datang kesini.
To Jiauw Sin Liong mengawasi. Ia melihat orang bergirang. Tiba tiba ia lompat ke mulut gua, untuk mengalinginya. Ie Kun terkejut. Mendadak gua menjadi gelap, hingga sekalipun lima buah jari di depan matanya, tak dapat ia melihatnya tegas. Tentu saja, sedetik itu ia menjad heran sekali. “Siapakah yag membuat gua ini?” pikir nya. “Kenapakah sekarang dia seperti menutup mulut gua? Mana dapat peta itu terlihat lagi? Kalau mulut liang ditutup bukankah orang akan mau tak bernapas? Mungkinkah dia bukan Tam Siu yang sejati hanya, laen orang?
Selagi berpikir kacau itu, matanya si anak muda malai biasa dengan tempat gelap itu. Sekarang ia bisa melihat dengan samar samar. Maka denga perlahan ia berjalan mengitari gua itu. Untuk herannya ia mendapat kenyataan didalam gua itu tidak ada orang lainnya. Tam Siu sendiri, entah telah pergi kemana. “Ah!” ia berseru seorang diri sedangkan kekuatirannya mulai timbul. Separuh merapah repeh, ia mencoba bertindak kemulut gua. Begitu ia sampai begitu ia melihat sedikit cahaya bintang. Karena itu juga ia lantas mendapat kenyataan mulut gua itu tertutup dua lembar papan besi dan sinar itu molos dari dua buah liang pada papan papan besi itu. Dengan begitu hawapun dapat masuk dari kedua lubang kecil itu. Tadi diwaktu memasuki Ie Kun tidak me lihat papan itu. ia dapat menerka sebabnya. Papan itu rupanya disembunyikan. Kalau ia mau Ie Kun rasa ia sanggup menggempur papan itu supaya ia bisa molos keluar, tetapi ia tidak mau berbuat lancang dan sembrono. Ia haaya berpikir. Ia merasa
rasa. Walaupun tertutup, rasanya dapat orang berdiam di dalam gua itu. Maka ia lantas menenangkan diri. Iapun mengambil keputusan buat tidak lantas berlalu dari situ. Se