BIOMINERALISASI PADA PROSES PELAPISAN INTI MUTIARA KIJING AIR TAWAR Anodonta woodiana (UNIONIDAE)
SATA YOSHIDA SRIE RAHAYU
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Biomineralisasi pada Proses Pelapisan Inti Mutiara Kijing Air Tawar Anodonta woodiana (UNIONIDAE) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Februari 2011
Sata Yoshida Srie Rahayu
NRP G362070021
ABSTRACT
SATA YOSHIDA SRIE RAHAYU. Biomineralization on Nucleus Pearl Coating Process of Freshwater Mussel Anodonta woodiana (UNIONIDAE). Under direction of DEDY DURYADI SOLIHIN, RIDWAN AFFANDI, and WASMEN MANALU The limiting factor which is a weakness of sea water pearls are high production costs, the risk of major business failures and a long coating time. From the issue of freshwater pearls appear to have prospects of alternative substitution for sea water pearls. This study aimed to evaluate: (1) effect of loads (the number and diameter nucleus) on freshwater pearl coating process, (2) the number and size of the appropriate nucleus diameter, to produce the optimum coating thickness of halfround pearls, and (3) Increasing the economic value through processing raw materials. This research consists of experimental implantation of 2, 4, and 6 nucleus per individual mussel is maintained by the method stocked in hapa in bottom waters. Observation method and factorial randomized block design used in the study of the influence of the load to the level of stress, mussel feeding activity, and survival rate, growth and the pearl coating. The results showed that: (1) A. woodiana can be utilized as a producer of freshwater pearls. The survival of A. woodiana maintained for 9 months to reach 93.33% at the time of harvest, (2) The number of optimum nucleus that can be attached to the mussel A. woodiana was 2 grains/individuals with a diameter of 10 mm. Shells implanted with nucleus diameter and number of pearls produced the highest layer thickness of 18 μm. (3) Increasing the economic value through processing raw materials has produced the final product has economic value, namely ornament, pendant, ring and medallion necklace freshwater pearl. Keywords: Anodonta woodiana, blister pearl, nucleus number and diameter, pearl coating process
RINGKASAN
Sata Yoshida Srie Rahayu. Biomineralisasi pada Proses Pelapisan Inti Mutiara Kijing Air Tawar Anodonta woodiana (UNIONIDAE). Dibimbing oleh DEDY DURYADI SOLIHIN, RIDWAN AFFANDI dan WASMEN MANALU. Faktor pembatas yang merupakan kelemahan dari mutiara air laut adalah biaya produksinya tinggi, risiko kegagalan usahanya besar dan waktu pelapisannya lama, yaitu mulai dari 1,5 hingga 3 tahun. Dari permasalahan tersebut tampaknya mutiara air tawar memiliki prospek alternatif substitusi bagi mutiara air laut karena warnanya bervariasi, biaya produksi relatif rendah, dan waktu pembentukan relatif singkat, yaitu kurang dari 1 tahun. Kegiatan budidaya kijing Margaritifera sp. di kolam pemeliharaan alami, telah dilakukan oleh Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi, Jawa Barat, sejak tahun 2006. Namun, pada akhir pemeliharaan didapatkan hanya 40 ekor Margaritifera sp. yang terimplan atau target yang tercapai hanya 12,5%. Dengan demikian maka jenis kijing ini tidak disarankan untuk dikembangkan sebagai produsen mutiara air tawar. Anodonta sp. mempunyai pertumbuhan yang lebih cepat jika dibandingkan dengan Margaritifera sp. dan mampu mendeposit crystaline calcium carbonat (CaCO 3 ) dalam bentuk kristal aragonit yang dikenal sebagai nacre, dan komponen pembentuk lapisan prismatik yaitu kristal hexagonal calsite conchiolin (C 32 H 48 N 2 O 11 ) pada lapisan cangkang bagian dalam. Kelebihan ini merupakan potensi biologis yang dapat digunakan untuk memproduksi mutiara tawar. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi: (1) pengaruh beban (jumlah dan ukuran diameter inti) terhadap proses pelapisan mutiara air tawar, (2) proses biomineralisasi pada jumlah dan ukuran diameter inti yang tepat, untuk menghasilkan ketebalan optimum lapisan mutiara setengah bulat, dan (3) Peningkatan nilai tambah melalui processing bahan baku. Hasil penelitian ini ialah untuk memperoleh mutiara air tawar sebagai alternatif substitusi mutiara air laut di Indonesia. Teknik yang dikembangkan diharapkan diperoleh teknik baku dalam implantasi dan produksi massal mutiara air tawar di Indonesia, sehingga memberikan alternatif untuk mendapatkan penghasilan tambahan serta dapat menyediakan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat Indonesia. Penelitian ini terdiri dari percobaan implantasi 2, 4, dan 6 inti per individu kijing yang dipelihara dengan metode ditebar di dalam hapa di dasar perairan. Metode observasi digunakan pada kajian pengaruh beban (jumlah dan diameter inti) terhadap tingkat stress, aktivitas makan kijing, dan survival rate, pertumbuhan serta pembentukan mutiara. Disain rancangan acak kelompok faktorial digunakan untuk mengukur ketiga perlakuan tersebut di atas. Hasil percobaan menunjukkan bahwa: Dari hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: (1) Beban (jumlah dan diameter inti) mempengaruhi proses-proses fisiologis dalam pelapisan mutiara air tawar: semakin besar jumlah dan diameter inti maka semakin bertambah tingkat stress. Akibat lebih lanjut, peningkatan jumlah dan diameter inti ini akan menyebabkan penurunan repons makan kijing, survival rate, growth dan pelapisan mutiara; (2) Proses
biomineralisasi relatif baik pada jumlah inti 2 butir/individu dengan ukuran diameter 10 mm. Pada kijing yang diimplantasi dengan ukuran diameter dan jumlah inti tersebut menghasilkan ketebalan lapisan mutiara tertinggi sebesar 17 µm, sedangkan jumlah inti 4 butir/individu hanya mampu menghasilkan pelapisan sebesar 9 µm dan 6 butir/individu sebesar 5 µm. Pada jumlah inti ideal (2 butir/individu dengan diameter 10 mm) dicapai pertumbuhan maksimum kijing A. woodiana, yaitu bobot tubuh dan tinggi cangkang pada akhir pemeliharaan sebesar 312,63 g dan 12,85 cm; (3) Peningkatan nilai tambah produk melalui processing bahan baku, yang terdiri dari proses sederhana, medium dan advanced, telah menghasilkan produk bernilai ekonomi, yaitu ornamen, pendant, cincin dan liontin kalung mutiara air tawar. Kata kunci: Anodonta woodiana, mutiara setengah bulat, jumlah dan diameter inti, proses pelapisan mutiara
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1.Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB
BIOMINERALISASI PADA PROSES PELAPISAN INTI MUTIARA KIJING AIR TAWAR Anodonta woodiana (UNIONIDAE)
SATA YOSHIDA SRIE RAHAYU
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Mayor Biosains Hewan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Disertasi Nama NIM Program Studi
: Biomineralisasi pada Proses Pelapisan Inti Mutiara Kijing Air Tawar Anodonta woodiana (UNIONIDAE) : Sata Yoshida Srie Rahayu : G362070021 : Bio Sains Hewan
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Dedy Duryadi Solihin, DEA Ketua
Dr. Ridwan Affandi, DEA Anggota
Prof. Wasmen Manalu, Ph.D. Anggota
Diketahui
Ketua Mayor Biosains Hewan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Bambang Suryobroto
Prof. Dr. Ir. Khairil Notodiputro, MS.
Tanggal Ujian: 21 Januari 2011
Tanggal Lulus: 11 Feb 2011
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karuniaNya, sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Disertasi ini berjudul “Biomineralisasi pada Proses Pelapisan Inti Mutiara Kijing Air Tawar Anodonta woodiana (UNIONIDAE)”. Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada Bapak Dr. Dedy Duryadi Solihin, DEA., Bapak Dr. H. Ridwan Affandi, DEA., dan Bapak Prof. Wasmen Manalu, Ph.D. selaku pembimbing yang telah banyak memberikan saran dan arahan demi terwujudnya disertasi ini. Terima kasih kepada Rektor Universitas Pakuan (UNPAK), Dekan FMIPA UNPAK dan seluruh jajarannya atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis selama melaksanakan studi S3 dan kepada BPPS DIKTI yang telah memberikan bantuan beasiswa selama 3 tahun. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Ir. Maskur, M.Si., Kepala BBPBAT Sukabumi dan Bapak Boedi Rachman, S.Pi, di bagian Ikan Nila atas bantuan selama di lapangan dan kepada staf di Lab. Fisiologi Hewan dan Lab. Patologi FKH IPB serta staf di Lab. Nutrisi Fapet IPB. Ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Fredinan Yulianda, M.Sc., Bapak Dr. Tjahjo Winanto, M.Si. dan Bapak Dr. Ence Darmo Jaya atas masukan dan sarannya selama penulis melakukan penelitian dan penulisan disertasi. Semoga disertasi ini bermanfaat bagi usaha budidaya perairan kerang mutiara air tawar khususnya dan sumberdaya perikanan air tawar umumnya.
Bogor, Februari 2011 Sata Yoshida Srie Rahayu
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 4 November 1972 dari pasangan Bapak Drs. Sampe P.(alm.) dan Ibu G.M. Srie Agam. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Manajemen Sumber Daya Perairan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor, lulus tahun 1996. Pada tahun 1999 penulis memperoleh gelar Magister Sains di Program Studi Biologi di Sekolah Pasca Sarjana, Institut Teknologi Bandung. Pada tahun 2007 penulis mendapat kesempatan melanjutkan studi S3 di Program Studi Biologi, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa dari BPPS DIKTI. Penulis bertugas menjadi staf pengajar di Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, UNPAK, sejak tahun 1999 sampai sekarang. Mata kuliah yang diampu adalah Ilmu Lingkungan, Biologi Perairan, Pengantar Statistika, Akuakultur, Biologi Kelautan, Pengantar Amdal dan Ilmu Alamiah Dasar. Pada tahun 2010 penulis bertugas menjadi dosen asisten mata kuliah Ekologi Hewan di Program D3 IPB dan membimbing tugas akhir mahasiswa Program Sarjana IPB. Penulis menikah pada tanggal 16 November 2000 dengan Henry S. Oktavian, SE., MM., dan telah dikaruniai seorang putra dan seorang putri yaitu Richard Raditiyo S. dan Kayla Audrey N. Karya Ilmiah berjudul Bioekologi Kerang Mutiara Air Tawar Anodonta woodiana telah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Moluska II tahun 2009 dan diterbitkan pada Jurnal OmniAkuatika Volume 8, Nomor 9, November 2009. Karya Ilmiah berjudul Pertumbuhan Kerang Air Tawar Anodonta woodiana dengan Tipe Pemeliharaan Berbeda telah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Sains II tahun 2009 dan diterbitkan pada Jurnal IPTEK Volume 10, Nomor 2, April 2010. Karya ilmiah berjudul Proses Biologi Pelapisan Mutiara pada Kijing Taiwan Anodonta woodiana (Bivalvia: Unionidae) dalam proses penerimaan di Jurnal NATUR (Akreditasi). Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL........................................................................................................ xi DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. xii DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................................. xiii PENDAHULUAN Latar Belakang ........................................................................................................ 1 Kerangka Pemikiran................................................................................................ 5 Hipotesis.................................................................................................................. 6 Tujuan Penelitian .................................................................................................... 6 Manfaat Penelitian .................................................................................................. 6 TINJAUAN PUSTAKA Sistematika, Distribusi serta Potensi Ekonomi dan Ekologi Kijing Taiwan........... 9 Struktur Anatomi dan Histologis Mantel A. woodiana ......................................... 10 Siklus Hidup A. woodiana .................................................................................... 12 Reproduksi A. woodiana ....................................................................................... 14 Kualitas Air Kolam Pemeliharaan ........................................................................ 15 Kualitas Substrat Kolam Pemeliharaan................................................................. 16 Pakan dan Cara Makan ......................................................................................... 18 Pertumbuhan Soft Tissue dan Cangkang............................................................... 19 Proses Pelapisan Mutiara Secara Alami ............................................................... 21 A. Pelapisan Mutiara di dalam Mantel.................................................................. 21 B. Pelapisan Mutiara pada Cangkang .................................................................. 23 C. Proses Biologi Terbentuknya Mutiara.............................................................. 26 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................................... 28 Alat dan Bahan yang Digunakan .......................................................................... 28 A. Alat................................................................................................................... 28 B. Bahan dan Hewan Uji ...................................................................................... 29 Rancangan Penelitian dan Perlakuan .................................................................... 29 Prosedur Penelitian ............................................................................................... 30 A. Prosedur Pemeliharaan Kijing.......................................................................... 30 B. Prosedur Implantasi Inti Mutiara Setengah Bulat ............................................ 31 C. Prosedur Pengukuran Pengaruh Beban terhadap Proses Fisiologis Pelapisan Mutiara ............................................................................................. 32 1. Pengaruh Beban (Jumlah dan Diameter Inti) terhadap Tingkat Stress ............ 32 Laju Konsumsi Oksigen................................................................................... 32 Laju Metabolisme Basal................................................................................... 33
Kadar Glukosa Hemolimf ............................................................................... 34 Panjang dan Diameter Sel Batang Mantel ....................................................... 34 2. Pengaruh Beban (Jumlah dan Diameter Inti) terhadap Respons Makan ......... 34 Tingkat Konsumsi Pakan A. woodiana ............................................................ 34 Laju Metabolisme Rutin................................................................................... 34 Kadar Kalsium Hemolimf................................................................................ 35 3. Pengaruh Beban (Jumlah dan Diameter Inti) terhadap Survival Rate, Pertumbuhan dan Pelapisan Mutiara................................................................ 35 Kelangsungan Hidup (Survival Rate) Kijing .................................................. 35 Laju Pertumbuhan Bobot Rataan Harian dan Panjang Total Rataan Harian ... 35 Persentase Pelapisan Mutiara 3, 6 , dan 9 Bulan ............................................ 36 Ketebalan Lapisan Mutiara .............................................................................. 36 Kapasitas Total Mutiara .................................................................................. 36 Kadar Kalsium Soft Tissue Kijing ................................................................... 37 D. Prosedur Pembuatan Preparat Histologis Mantel............................................. 37 E. Prosedur Processing Mutiara Air Tawar ......................................................... 37 F. Kualitas Fisika, Kimia dan Biologi Air Kolam Pemeliharaan......................... 38 G. Kualitas Substrat Kolam Pemeliharaan............................................................ 38 Parameter yang Diamati........................................................................................ 38 Analisis Data Statistika ......................................................................................... 39 HASIL DAN PEMBAHASAN I. Pengaruh Beban (Jumlah dan Diameter Inti) terhadap Tingkat Stress.................... 41 A. Metabolisme Basal ........................................................................................... 41 B. Kadar Glukosa Hemolimf ................................................................................ 44 II. Pengaruh Beban (Jumlah dan Diameter Inti) terhadap Respons Makan Kijing A. Tingkat Konsumsi Pakan ................................................................................. 45 B. Metabolisme Rutin ........................................................................................... 46 C. Kadar Kalsium Hemolimf ................................................................................ 48 III. Pengaruh Beban (Jumlah dan Diameter Inti) terhadap Survival Rate, Pertumbuhan dan Pelapisan Mutiara A. Survival Rate A. woodiana............................................................................... 51 B. Laju Pertumbuhan Bobot Rataan Harian.......................................................... 52 C. Diameter dan Jarak Ruang Antar Sel Batang Mantel ....................................... 55 D. Laju Pertumbuhan Panjang Rataan Harian ...................................................... 59 E. Persentase Pelapisan Mutiara 3, 6 dan 9 bulan................................................. 60 F. Ketebalan Lapisan Mutiara............................................................................... 62 G. Kapasitas Total Lapisan Mutiara ... ................................................................. 63 H. Kadar Kalsium Soft Tissue ............................................................................... 66 I. Konsentrasi Kalsium yang Berperan Terhadap Pertumbuhan........................... 67 IV. Kondisi Lingkungan Pemeliharaan Kijing............................................................ 68 A. Parameter Fisika, Kimia Kolam Pemeliharaan ................................................ 68
B. Parameter Biologi Kolam Pemeliharaan .......................................................... 70 C. Kualitas Substrat Kolam Pemeliharaan............................................................ 72 V. Prospek Biologis terhadap Efektifitas dan Produktivitas Pelapisan Mutiara Respons Fisiologis Kijing Terhadap Proses Pelapisan Mutiara............................ 73 Interaksi antara Tingkat Stress, Survival Rate dan Pelapisan Mutiara ................. 78 Biomineralisasi Tingkat Seluler Pada Proses Pelapisan Mutiara.......................... 79 VI. Peningkatan Nilai Tambah Mutiara Air Tawar dan Kebaruan (Novelty) Hasil Penelitian ..................................................................................................... 81 Processing bahan baku untuk menghasilkan produk bernilai ekonomi................................................................................................................. 81 Prospek sebagai Produsen Mutiara Air Tawar di Dunia....................................... 82 Sumbangan Kabaruan (Novelty) Hasil Penelitian................................................. 83 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ............................................................................................................... 85 Saran...................................................................................................................... 86 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 87 LAMPIRAN................................................................................................................ 97
DAFTAR TABEL Tabel 1 Kandungan zat gizi A. woodiana per 100 g tubuh kijing.............................. 10 Tabel 2 Kisaran kualitas airyang ideal bagi kijing famili Unionidae dan Margaritifidae ................................................................................................ 15 Tabel 3 Karakteristik ukuran partikel substrat kijing A. woodiana ........................... 17 Tabel 4 Kandungan asam amino A. woodiana .......................................................... 20 Tabel 5 Diagram rancangan acak lengkap faktorial kajian survival dan pertumbuhan serta proses pelapisan mutiara .......................................... 30 Tabel 6 Parameter survival dan pertumbuhan serta proses pelapisan mutiara metode pengamatan, alat dan bahan yang digunakan.................................... 39 Tabel 7 Kandungan Ca yang berperan terhadap ketebalan lapisan mutiara .............. 67 Tabel 8 Data parameter fisika dan kimia air kolam selama percobaan dibandingkan dengan beberapa pustaka ......................................................... 69 Tabel 9 Data parameter fisika dan kimia air kolam selama percobaan dibandingkan dengan beberapa pustaka ......................................................... 73
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Alur kerja penelitian dalam upaya produksi massal mutiara air tawar ....... 7 Gambar 2 Kijingka pendekatan masalah penelitian pengaruh beban terhadap proses fisiologis Pelapisan mutiara pada A. woodiana .............................. 8 Gambar 3 Bentuk dan struktur A. woodiana................................................................ 9 Gambar 4 Struktur bagian dalam A. woodiana ......................................................... 11 Gambar 5 Irisan vertikal cangkang dan mantel.......................................................... 12 Gambar 6 Diagram daur hidup A. woodiana ............................................................. 13 Gambar 7 Transformasi dari glokidia menjadi kijing muda ...................................... 14 Gambar 8 Penentuan jenis substrat menurut segitiga Millar ..................................... 17 Gambar 9 Proses terjadinya mutiara round................................................................ 22 Gambar 10 (I) Mekanisme Pelapisan mutiara round secara alami ............................ 23 (II) Irisan vertikal mutiara bulat alami .................................................... 23 Gambar 11 Proses Pelapisan cangkang dalam tubuh A. woodiana............................ 23 Gambar 12 Implantasi mutiara blister........................................................................ 24 Gambar 13 Komponen dari cangkang kijing dan lapisan nacre ................................ 25 Gambar 14 Irisan vertikal mutiara mabe.................................................................... 26 Gambar 15 Peralatan implantasi inti mutiara............................................................. 30 Gambar 16 Inti mutiara setengah bulat yang digunakan dalam percobaan (A) Diameter= 10 dan 12 mm (B) Diameter 10 dan 12 mm .................. 30 Gambar 17 (A) 3 kolam perlakuan (B) kolam kontrol (C) hapa (jaring) berukuran 1 x 1 m yang diikatkan pada bambu dengan menggunakan tali ............. 31 Gambar 18 Posisi pemeliharaan kijing lepas dasar pada setiap instalasi hapa .......... 32 Gambar 19 Posisi peletakan inti setengah bulat pada cangkang A. woodiana........... 33 Gambar 20 Disain percobaan untuk pengkuran laju konsumsi oksigen kijing.......... 34 Gambar 21 Metabolisme basal (C-J/g/jam) kijing yang diimplantasi dengan perlakuan 0, 1, 2 dan 3 inti per cangkang dan diameter 10 dan 12 mm selama pemeliharaan........................................................ 42 Gambar 22 Kadar glukosa hemolimf (mg 100 ml-1) kijing yang diimplantasi dengan perlakuan 0, 1, 2 dan 3 inti per cangkang dan diameter 10 dan 12 mm selama pemeliharaan......................................... 43 Gambar 23 Panjang dan diameter sel batang mantel yang diimplantasi dengan perlakuan 0, 1, 2 dan 3 inti per cangkang dan diameter 10 dan 12 mm selama pemeliharaan .................................. 44 Gambar 24 Tingkat konsumsi pakan kijing didekati dengan ISC (%) yang diimplantasi dengan perlakuan 0, 1, 2 dan 3 inti per cangkang dan diameter 10 dan 12 mm selama pemeliharaan ................ 48 Gambar 25 Metabolisme rutin (C-J/g/jam) kijing yang diimplantasi dengan perlakuan 0, 1, 2 dan 3 inti per cangkang dan diameter 10 dan 12 mm selama pemeliharaan......................................... 48 Gambar 26 Kadar kalsium hemolimf (µg Ca l-1) kijing yang diimplantasi dengan perlakuan 0, 1, 2 dan 3 inti per cangkang dan
diameter 10 dan 12 mm selama pemeliharaan......................................... 49 Gambar 27 Survival rate (%) kijing yang diimplantasi dengan perlakuan 0, 1, 2 dan 3 inti per cangkang dan diameter 10 dan 12 mm selama pemeliharaan.......................................... 51 Gambar 28 Laju pertumbuhan bobot rataan harian (%) yang diimplantasi dengan perlakuan 0, 1, 2 dan 3 inti per cangkang dan diameter 10 dan 12 mm selama pemeliharaan......................................... 53 Gambar 29 Laju pertumbuhan bobot soft tissue rataan harian (%) yang diimplantasi dengan perlakuan 0, 1, 2 dan 3 inti per cangkang dan diameter 10 dan 12mm selama pemeliharaan ................................... 53 Gambar 30 Laju pertumbuhan bobot cangkang rataan harian (%) yang diimplantasi dengan perlakuan 0, 1, 2 dan 3 inti per cangkang dan diameter 10 dan 12mm selama pemeliharaan ................................... 53 Gambar 31 Laju pertumbuhan bobot cangkang rataan harian (%) yang diimplantasi dengan perlakuan 0, 1, 2 dan 3 inti per cangkang dan diameter 10 dan 12mm selama pemeliharaan ................................... 53 Gambar 33 Laju pertumbuhan panjang cangkang total rataan harian (%) yang diimplantasi dengan perlakuan 0, 1, 2 dan 3 inti per cangkang dan diameter 10 dan 12 mm selama pemeliharaan ................. 55 Gambar 34 Persentase pelapisan mutiara (%) kijing yang diimplantasi dengan perlakuan 0, 1, 2 dan 3 inti per cangkang dan diameter 10 dan 12 mm selama pemeliharaan........................................ 57 Gambar 35 Ketebalan lapisan mutiara (µm) kijing yang diimplantasi dengan perlakuan 0, 1, 2 dan 3 inti per cangkang dan diameter 10 dan 12 mm selama pemeliharaan .................................. 58 Gambar 36 Ketebalan lapisan mutiara pada (I) 3 bulan (II) 6 bulan dan (III) 9 bulan pemeliharaan ....................................................................... 61 Gambar 37 Kapasitas lapisan mutiara yang terbentuk pada cangkang A. woodiana selama 9 bulan pemeliharaan ............................................. 59 Gambar 38 Kadar kalsium soft tissue (mg 100 g-1) kijing yang diimplantasi dengan perlakuan 0, 1, 2 dan 3 inti per cangkang dan diameter 10 dan 12 mm selama pemeliharaan......................................... 60 Gambar 39 Kelimpahan fitoplankton di kolam pemeliharaan A. woodiana .............. 64 Gambar 40 Kelimpahan zooplankton di kolam pemeliharaan A. woodiana .............. 64 Gambar 41 Respons pertahanan diri kijing A. woodiana akibat implantasi inti Blister (A) 0 bulan (B) 4,5 bulan dan (C) 9 bulan setelah implantasi..... 64 Gambar 42 Diagram alur pengaruh beban (jumlah dan diameter) inti terhadap tingkat stress, respon makan, survival, dan pertumbuhan A. woodiana ...................................................................... 68 Gambar 43 (A) Ornamen, (B) pendant, (C) cincin, dan (D) liontin kalung mutiara air tawar A. woodiana ................................................................ 71
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1A Laju konsumsi oksigen (mg O 2 g-1jam-1) A. woodiana yang diimplantasi 0,2,4, dan 6 inti per individu selama pemeliharaan ........ 0097 Lampiran 1B Analisis varian dan uji Tukey terhadap laju konsumsi oksigen(mgO 2 g-1 jam-1) pada berbagai jumlah dan diameter inti ................ 0098 Lampiran 1C Analisis regresi terhadap laju konsumsi oksigen (mg O 2 g-1jam-1) pada berbagai jumlah inti ................................................................. 0099 Lampiran 1D Metabolisme basal (C-Jg-1jam-1) kijing A. woodiana yang diimplantasi 0,2,4, dan 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm selama pemeliharaan ..................................................... 0100 Lampiran 2A Kadar glukosa hemolimf (mg 100 ml-1) kijing A. woodiana yang diimplantasi 0,2,4, dan 6 inti per individu selama pemeliharaan .................................................................................... 0101 Lampiran 2B Analisis varian dan uji Tukey terhadap kadar glukosa hemolimf mg100 ml-1) (rataan±SD) pada berbagai jumlah dan diameter inti . 0102 Lampiran 2C Analisis regresi terhadap kadar glukosa hemolimf (mg 100 ml-1) pada berbagai jumlah inti ................................................................. 0103 Lampiran 3A Tingkat konsumsi pakan relatif (%) kijing A. woodiana yang diimplantasi 0,2,4, dan 6 inti per individu selama pemeliharaan .................................................................................... 0104 Lampiran 3B Analisis varian dan uji Tukey tingkat konsumsi pakan didekati oleh ISC (%) (rataan±SD) pada berbagai jumlah dan diameter inti 0105 Lampiran 3C Analisis regresi terhadap tingkat konsumsi pakan didekati dengan ISC (%) (rataan±SD) pada berbagai jumlah dan diameter inti ....... 0106 Lampiran 4A Metabolisme rutin (C-Jg-1jam-1) A. woodiana yang diimplantasi 0,2,4, dan 6 inti per individu selama pemeliharaan .................................................................................... 0107 Lampiran 4B Analisis varian dan uji Tukey terhadap metabolisme rutin (C-J g-1jam-1) (rataan±SD) pada berbagai jumlah dan diameter inti ....... 0108 Lampiran 4C Analisis regresi terhadap metabolisme rutin (C-Jg-1jam-1) pada berbagai jumlah ...................................................................... 0109 Lampiran 5A Kadar kalsium hemolimf (µg Ca l-1) kijing A. woodiana yang diimplantasi 0,2,4, dan 6 inti per individu selama pemeliharaan .................................................................................... 0110 Lampiran 5B Analisis varian dan uji Tukey terhadap kadar kalsium hemolimf µgCal-1) (rataan±SD) pada berbagai jumlah dan diameter inti ....... 0111 Lampiran 5C Analisis regresi terhadap kadar kalsium hemolimf (µg Ca l-1) pada berbagai jumlah inti ................................................................ 0112 Lampiran 6A Survival rate (%) kijing A. woodiana yang diimplantasi 0,2,4, dan 6 inti per individu selama pemeliharaan.................................... 0115 Lampiran 6B Analisis varian dan uji Tukey terhadap survival (%) kijing (rataan ±SD) pada berbagai jumlah dan diameter inti .................... 0116
Lampiran 6C Analisis regresi terhadap survival (%) kijing pada berbagai jumlah inti ....................................................................................... 0117 Lampiran 7A Laju pertumbuhan bobot rataan harian (%) A. woodiana yang diimplantasi 0,2,4, dan 6 inti per individu selama pemeliharaan .................................................................................... 0118 Lampiran 7B Analisis varian dan uji Tukey terhadap laju pertumbuhan bobot rataan harian (g) (rataan ±SD) pada berbagai jumlah dan diameter inti 0119 Lampiran 7C Analisis regresi terhadap laju pertumbuhan bobot rataan harian (g) pada berbagai jumlah inti ................................................................ 0120 Lampiran 8 Diameter sel batang mantel (µm) dan jarak ruang antar jaringan sel batang mantel kijing dengan perlakuan 2, 4 dan 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm selama awal (0 bulan) dan akhir pemeliharaan (9 bulan)..................................................................... 0121 Lampiran 9A Laju pertumbuhan panjang cangkang total harian (%) kijing yang diimplantasi 0,2,4, dan 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm selama 9 bulan pemeliharaan .................... 0122 Lampiran 9B Analisis varian dan uji Tukey terhadap laju pertumbuhan panjang total harian (cm) (rataan ±SD) pada berbagai jumlah & diameter inti 0123 Lampiran 9C Analisis regresi terhadap laju pertumbuhan panjang total rataan harian (cm) pada berbagai jumlah inti ............................................ 0124 Lampiran 10A Keberhasilan pelapisan mutiara (%) kijing A. woodiana yang diimplantasi 0,2,4, dan 6 inti per individu selama pemeliharaan .................................................................................. 0125 Lampiran 10B Analisis varian dan uji Tukey terhadap keberhasilan pelapisan mutiara (%) (rataan±SD) pada berbagai jumlah & diameter inti .. 0126 Lampiran 10C Analisis regresi terhadap persentase pelapisan mutiara (%) pada berbagai jumlah inti .............................................................. 0127 Lampiran 11A Ketebalan lapisan mutiara (µm) kijing A. woodiana yang diimplantasi 0,2,4, dan 6 inti per individu selama pemeliharaan .................................................................................. 0128 Lampiran 11B Analisis varian dan uji Tukey terhadap ketebalan lapisan mutiara (µm)(rataan±SD) pada berbagai jumlah dan diameter inti ........... 0129 Lampiran 11C Analisis regresi terhadap ketebalan lapisan mutiara (µm) pada berbagai jumlah inti .............................................................. 0130 Lampiran 12 Data kapasitas mutiara yang terbentuk pada cangkang A. woodiana selama 9 bulan pemeliharaan .................................... 0129 Lampiran 13A Kadar kalsium soft tissue (mg 100 g-1) kijing A. woodiana yang diimplantasi 0,2,4, dan 6 inti per individu selama pemeliharaan .................................................................................. 0130 Lampiran 13B Analisis varian dan uji Tukey terhadap kadar kalsium soft tissue (mg 100 g-1) (rataan ± SD) pada berbagai jumlah & diameter inti 0131 Lampiran 13C Analisis regresi terhadap kadar kalsium soft tissue (mg 100g-1) pada berbagai jumlah inti .............................................................. 0134 Lampiran 14 Data pengukuran parameter fisika dan kimia air kolam pemeliharaan selama 9 bulan ........................................................ 0137
Lampiran 15 Lampiran 16 Lampiran 17 Lampiran 18
Data curah hujan dan jumlah hari hujan mulai dari Januari 2009 hingga April 2010 di Cikole, Selabintana, Sukabumi, Jawa Barat 0138 Data analisis plankton di dalam kolam pemeliharaan ................... 0139 Data pengukuran kualitas substrat kolam pemeliharaan selama 9 bulan ............................................................................... 0140 Matriks rekapitulasi data hasil penelitian pengaruh beban inti mutiara terhadap tingkat stress, respons makan kijing, survival dan pertumbuhan A. woodiana ...................................................... 0141
PENDAHULUAN Latar Belakang Usaha untuk memperoleh mutiara asli dari alam sudah berkembang lebih dari dua ribu tahun yang lalu di Asia Selatan, yaitu di Samudera Hindia, Pasifik Selatan, Laut Merah, Teluk Persia, dan perairan sekitar Sri Lanka. Mutiara dianggap sebagai perhiasan langka dan mahal karena sulit mendapatkannya. Seiring dengan kemajuan teknologi, saat ini mutiara dapat dihasilkan dari kegiatan budidaya. Budidaya kijing mutiara air laut dimulai pada awal abad ke-20. Mikimoto telah berhasil membuat mutiara air laut berbentuk bulat (round) di dalam tiram (oyster) di Jepang Selatan, yaitu dengan cara memasukkan cangkang kijing air tawar yang diiris bulat tipis berbentuk manik ke dalam gonad tiram yang dibudidayakan (Winanto 2004). Setelah pemeliharaan selama tiga tahun, irisan cangkang tersebut telah dilapisi oleh kalsium karbonat (nacre) setebal lebih kurang satu milimeter yang membentuk mutiara. Cara lain implantasi mutiara yaitu dalam bentuk setengah bulat (blister) telah dilakukan dengan cara melekatkan inti blister pada bagian dalam cangkang. Keberhasilan tersebut memacu perkembangan perusahaan budidaya mutiara air laut di dunia, termasuk di perairan Indonesia. Berdasarkan nilai ekspor hasil perikanan Indonesia pada tahun 2005, mutiara dapat dijadikan sebagai salah satu andalan penyumbang devisa negara. Nilai ekspor mutiara sekitar 1,94% dari total nilai ekspor hasil perikanan (US $ 710.979.381,4) dengan jumlah ekspor mencapai 18.000 kg, atau senilai US $ 13.793.000 (DKP 2006). Percobaan tentang budidaya mutiara air laut di Indonesia sudah berhasil dilakukan oleh Dr. M. Fujita sejak tahun 1928 di Buton, Sulawesi Tenggara, menggunakan tiram Pinctada maxima (famili Pteridae) yang diambil dari sekitar Pulau Aru atau dari Laut Arafura dengan posisi antara Papua dan Australia. Selanjutnya budidaya mutiara air laut mulai berkembang di Indonesia tahun 1976 (Winanto 2004). Sebagian besar lokasi perusahaan pengembang mutiara berada di daerah perairan Indonesia Bagian Tengah dan Timur. Beberapa jenis tiram mutiara
2
unggul lainnya yang dibudidayakan, adalah P. margaritifera, P. fucata dan Pteria penguin (Pteridae). Bisnis mutiara dunia pada awalnya didominasi oleh mutiara air laut. Hasil produksi mutiara air laut yang dikenal di pasaran adalah mutiara round dan blister. Di pasaran nasional maupun internasional, mutiara blister mempunyai pangsa pasar yang spesifik dan umumnya dihasilkan oleh tiram jenis P. penguin. Pada tiram mutiara P. penguin, jumlah inti blister yang optimum untuk implantasi adalah 10 butir/individu dengan ketebalan lapisan mutiara 0,077µm selama 3 bulan budidaya (Anwar 2002). Faktor pembatas yang merupakan kelemahan dari mutiara air laut adalah biaya
produksinya
tinggi,
risiko
kegagalan
usahanya
besar
dan
waktu
pembentukannya lama, yaitu mulai dari 1,5 hingga 3 tahun. Dari permasalahan tersebut tampaknya mutiara air tawar memiliki prospek alternatif substitusi bagi mutiara air laut karena warnanya bervariasi, biaya produksi relatif waktu pembentukan
rendah, dan
relatif singkat, yaitu kurang dari 1 tahun. Keunggulan
komparatif yang dimiliki mutiara air tawar bila dibandingkan dengan mutiara air laut adalah warnanya yang khas, yaitu merah muda, kekuningan, putih sutra, dan keemasan (Rachman et al. 2006). Sebelumnya, mutiara air tawar yang dihasilkan tidak begitu mengkilap dan bentuknya tidak bulat, namun seiring dengan perkembangan teknologi, bentuk dan kilau mutiara air tawar makin sulit dibedakan dengan mutiara air laut. Persamaannya dengan mutiara air laut adalah semakin besar ukuran mutiara, semakin mahal harganya. Teknik produksi mutiara air tawar telah lama dikembangkan di Cina, namun produksinya mulai dikenal secara luas di pasaran dunia sejak akhir tahun 1960-an (Dan dan Ruobo 2002). Saat ini Cina merupakan pemasok 95% produksi mutiara air tawar dunia. Mutiara tersebut dihasilkan dari kijing (mussel) Hyriopsis cumingii dengan areal produksi hampir di seluruh wilayah perairan tawar di negara tersebut. Beberapa faktor yang mendorong keberhasilan produksi mutiara air tawar di Cina, di antaranya adalah jenis kijing yang cocok digunakan, suhu air budidaya antara 1525°C yaitu pada saat kijing memiliki metabolisme aktif, serta penguasaan teknik produksi yang sangat baik terutama cara operasi dalam penempatan inti. Di Jepang,
3
sejak tahun 1949 mutiara air tawar dihasilkan oleh kijing jenis lain, yaitu Hyriopsis schlegeli dengan lokasi budidaya dipusatkan di Danau Biwa, sebelah timur Kyoto dan Danau Kasumigaura 60 km timur laut dari Tokyo (Day 1949). Kedua danau tersebut terletak di Pulau Honshu. Oleh karena mutunya yang bagus, mutiara air tawar asal Jepang dipakai sebagai standar kualitas bagi mutiara air tawar dunia (Rachman et al. 2006). Jenis kijing lainnya yang morfologinya menyerupai Hyriopsis sp. menurut Moorkens (1999) adalah Margaritifera sp. (Famili Margaritiferidae) dan Anodonta sp. (Famili Unionidae). Kegiatan budidaya kijing Margaritifera sp. di kolam pemeliharaan alami, telah dilakukan oleh Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi, Jawa Barat, sejak tahun 2006. Kajian yang dilakukan antara lain polikultur antara kijing dengan ikan nila, implantasi inti mutiara blister dan pemeliharaan kijing di kolam dengan kedalaman yang berbeda. Ketebalan lapisan mutiara blister terbaik selama 8 bulan pemeliharaan yaitu sebesar 6 µm dengan sintasan sebesar 83,3% dan persentase hasil implantasi tertinggi sebesar 93,3% pada kedalaman kolam 30 cm. Namun, pada akhir pemeliharaan didapatkan hanya 40 ekor Margaritifera sp. yang terimplan atau target yang tercapai hanya 12,5% (Rachman et al. 2006). Dengan demikian maka jenis kijing ini tidak disarankan untuk dikembangkan sebagai produsen mutiara air tawar. Anodonta woodiana pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1971 di Balai Penelitian Perikanan Darat Cibalagung, Bogor. Keberadaannya di Indonesia tanpa sengaja, ikut terbawa saat Indonesia mengimpor ikan mola, mujair, tawes dan nila dari Taiwan. Meskipun kijing jenis ini merupakan hewan introduksi, A. woodiana sudah lama beradaptasi di Indonesia (Hamidah 2006). Menurut Moorkens (1999), Anodonta sp. mempunyai pertumbuhan yang lebih cepat jika dibandingkan dengan Margaritifera sp. karena memerlukan waktu lebih cepat untuk pembentukan lapisan cangkangnya. Secara umum, kecepatan tumbuhnya sangat dipengaruhi oleh kualitas air media hidupnya. Di daerah beriklim tropis seperti di Indonesia, pertumbuhan atau proses pelapisan mutiara dapat terjadi sepanjang tahun, sedangkan di daerah beriklim empat musim seperti di India, pelapisan mutiara terjadi terutama
4
pada saat musim panas (Kripa et al. 2007). Dibandingkan dengan Jepang, Indonesia mempunyai wilayah perairan tawar yang jauh lebih luas, yaitu berupa kolam, sungai, situ, waduk, dan danau. Kondisi perairan tersebut berpotensi untuk pengembangan budidaya kijing air tawar. Kijing Unionidae dapat ditemukan di Pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Lombok, namun tidak dijumpai di Kepulauan Sunda Kecil dan Maluku. Di Pulau Jawa, famili kijing air tawar Unionidae yang ditemukan terdiri atas 6 jenis. Menurut Hamidah (2006), kijing ini berkembang biak di areal perkolaman rakyat sebagai komunitas bentos dalam jumlah melimpah. Pemanfaatan A. woodiana yang dilakukan selama ini hanya sebagai pakan ternak, industri kancing, dan biofilter, sementara kemampuan biologisnya untuk memproduksi mutiara belum banyak diketahui. Jika melihat lebih detil anatomi dan proses biokimia jaringan tubuhnya, ternyata Anodonta sp. mampu mendeposit crystaline calcium carbonat (CaCO 3 ) dalam bentuk kristal aragonit yang dikenal sebagai nacre, dan komponen pembentuk lapisan prismatik yaitu kristal hexagonal calsite conchiolin (C 32 H 48 N 2 O 11 ) pada lapisan cangkang bagian dalam. Kelebihan ini merupakan potensi biologis yang dapat digunakan untuk memproduksi mutiara tawar (Moorkens 1999). Terdapat enam spesies dari famili Unionidae berasal dari Indonesia (Pilsbryoconcha exilis, P. carinifera, P. expressa, Rectidens lingulatus, R. sumatrensis, dan Pseudodon crassus) yang mungkin dapat dikembangkan sebagai penghasil mutiara air tawar. Walaupun demikian, A. woodiana lebih memiliki prospek karena telah lama beradaptasi di wilayah Indonesia dan pertumbuhannya relatif lebih cepat dibandingkan dengan kijing air tawar lain. Oleh karena itu, berdasarkan keunggulan dan keberadaan Anodonta sp. di Indonesia, maka jenis kijing ini dipilih untuk dimanfaatkan sebagai penghasil mutiara air tawar. Akhir-akhir ini, jenis kijing tersebut digunakan untuk produksi mutiara (Berni et al. 2004).
5
Kerangka Pemikiran Anodonta woodiana sudah lama dikenal penduduk Indonesia dan memiliki potensi ekonomis yang besar sebagai penghasil mutiara air tawar (Hamidah, 2006). Namun A. woodiana juga memiliki beberapa permasalahan budidaya, yaitu: - Informasi mengenai bioekologi A. woodiana masih minim, yang meliputi: fisiologi pertumbuhan dan respons terhadap stress lingkungan, - Belum diketahuinya lingkungan yang optimal untuk budidaya, yang mencakup: kualitas air dan substrat kolam pemeliharaan serta input pakan untuk perkembangannya, - Teknik implantasi mutiara belum berkembang, yang meliputi: belum ditemukannya jumlah dan ukuran diameter inti mutiara blister yang ideal, serta proses pembentukan lapisan mutiara belum jelas dan perkembangan struktur histologis mantel yang belum pernah diamati, - Produksi masal belum dilakukan karena analisis kelayakan usaha budidaya mutiara jenis ini belum dilakukan. Langkah-langkah yang diperlukan untuk memberikan tempat bagi produksi masal mutiara air tawar sehingga perannya dapat menggantikan mutiara air laut, adalah sebagai berikut : - Penggunaan jenis A. woodiana sebagai kijing penghasil mutiara air tawar, yaitu: kajian bioekologi (fisiologi pertumbuhan dan perkembangan), perbaikan lingkungan pertumbuhan (kualitas air dan substrat bagi A. woodiana) dan input nutrisi bagi pertumbuhan tubuh dan cangkang A. woodiana - Teknik perbanyakan mutiara air tawar, yaitu: ukuran diameter dan jumlah inti blister yang optimal serta alur baku dari proses pelapisan mutiara air tawar. Alur kerja dan kerangka pendekatan masalah penelitian pemanfaatan A. woodiana dalam upaya produksi masal mutiara air tawar tercantum dalam Gambar 1 dan Gambar 2.
6
Hipotesis 1.
Implantasi inti setengah bulat berpengaruh terhadap proses-proses fisiologis dalam pelapisan mutiara air tawar.
2.
Semakin kecil jumlah dan ukuran diameter inti blister yang diimplantasi pada Anodonta woodiana, maka semakin tebal lapisan mutiara setengah bulat yang dihasilkan.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi: (1) pengaruh beban (jumlah dan ukuran diameter inti) terhadap proses-proses fisiologis dalam pelapisan mutiara air tawar, (2) Proses biomineralisasi pada jumlah dan ukuran diameter inti yang tepat, untuk menghasilkan ketebalan optimum lapisan mutiara setengah bulat, dan (3) Peningkatan nilai tambah produk melalui processing bahan baku.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini ialah untuk memperoleh mutiara air tawar sebagai alternatif substitusi mutiara air laut di Indonesia. Kijing Anodonta woodiana walaupun merupakan spesies pendatang (alien species) berpotensi menjadi spesies unggulan produsen mutiara air tawar, karena telah teradaptasi dengan baik di perairan air tawar dan terbukti telah tersebar luas di Indonesia dengan tingkat perkembangan yang sangat pesat. Dari teknik yang dikembangkan diharapkan diperoleh teknik baku dalam implantasi dan produksi massal mutiara air tawar di Indonesia, sehingga memberikan alternatif untuk mendapatkan penghasilan tambahan serta dapat menyediakan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat Indonesia.
Produksi massal mutiara air tawar
Pendalaman bioekologi: - Fisiologi pertumbuhan dan perkembangan - Perbaikan lingkungan pertumbuhan: Kualitas air dan kualitas substrat bagi A. woodiana - Input nutrisi bagi pertumbuhan tubuh dan cangkang (Pupuk N, P dan K)
Teknik perbanyakan mutiara air tawar : - Ukuran diameter dan jumlah inti blister yang optimal - Proses pembentukan mutiara blister
Penggunaan Anodonta woodiana sebagai penghasil mutiara air tawar
-Warna bervariasi - Biaya produksi relatif rendah -Waktu pembentukan relatif singkat < 1 tahun
Jenis kerang terbatas pada Margaritifera sp. dan Anodonta sp.
Pengetahuan bioekologi A. woodiana masih minim
Kelebihan
Lingkungan optimal budi daya belum diketahui
Teknik dan proses pelapisan mutiara belum berkembang
Produksi massal belum dilakukan karena analisis kelayakan usaha belum dihitung
Permasalahan Mutiara air tawar sebagai alternatif pengganti mutiara air laut
Kualitas dan nilai ekonomi tinggi
Teknologi budi daya sudah maju
Permintaan pasar yang tinggi
Tiram unggul : Pinctada maxima dan Pteria penguin
Keunggulan
Biaya produksi tinggi
Risiko kegagalan usaha besar
Waktu pembentukan lama : 1,5 - 3 tahun
Kendala
Dominasi mutiara air laut (sentra produksi di Bali, NTB, NTT, Sulawesi, Maluku dan Papua)
Produksi mutiara di Indonesia
7
Gambar 1 Alur kerja penelitian dalam upaya produksi massal mutiara air tawar.
8
MASALAH
PENDEKATAN MASALAH
PARAMETER PENGAMATAN
ASPEK KAJIAN
LUARAN
APLIKASI
Bobot tubuh Induk kerang
Morfologi Kelimpahan plankton
Panjang cangkang
Sintasan
Alkalinitas air Lingkungan
Alkalinitas substrat Suhu, pH & debit air DO, NH3 & NO2
Konsumsi Oksigen
Pertumbuhan
Glukosa hemolimf
Metabolisme
Histologi mantel
Tebal lapisan mutiara
Biomineralisasi (Proses pelapisan mutiara) Perbaikan teknik perbanyakan dan peningkatan nilai tambah produk
Produksi masal mutiara air tawar berkualitas dan kontinyu
Jumlah inti Teknik Implantasi
Ca hemolimf Diameter inti Ca soft tissue
Gambar 2 Kerangka pendekatan masalah penelitian biomineralisasi dari proses pelapisan inti mutiara kijing air tawar A. woodiana
TINJAUAN PUSTAKA
Sistematika, Distribusi, Potensi Ekologi dan Ekonomi Kijing Air Tawar Anodonta woodiana Kijing famili Unionidae adalah moluska bivalva akuatik yang dikenal sebagai kijing air tawar. Famili ini tersebar di seluruh benua dan terdapat paling beragam di Amerika Utara. Terdapat 18 genera di dalam famili Unionidae, di antaranya adalah genus Anodonta. Beberapa spesies yang termasuk di dalam genus Anodonta adalah A. calypigos, A. complinata, A. grandis, A. suborbiculata, A. imbecilis, A. cygnea, A. anatina, A. californiensis dan A. woodiana. Klasifikasi Anodonta sp. menurut Brusca dan Brusca (2003) adalah sebagai berikut: Filum Klas Sub Klas Super Ordo Sub Ordo Famili Subfamili Genus Spesies
: : : : : : : : :
Mollusca Bivalvia Lamellibranchia Eulamellibranchia Unionidea Unionidae Unioninae Anodonta Anodonta sp. A. woodiana Gambar 3 Bentuk dan struktur A. woodiana.
Di Indonesia, A. woodiana merupakan alien spesies dari Taiwan sejak tahun 1971 dan sudah lama dikenal penduduk serta memiliki potensi ekonomi dan ekologi yang besar (Hamidah 2006). A. woodiana merupakan salah satu sumber protein hewani, dengan kandungan nutrisi yang baik tercantum pada Tabel 1 (Hartono 2007). Bagian tubuh kijing ini juga digunakan sebagai bahan pakan ternak dan obat penyakit kuning. Cangkangnya sebagai bahan industri kancing dan penghasil mutiara air tawar (Suwignyo et al. 2005). Kijing ini mempunyai peran ekologis karena dapat mengurangi pencemaran lingkungan karena bersifat filter feeder. Menurut Komarawijaya & Arman (2007) kijing jenis ini mampu menyerap kandungan total padatan tersuspensi (TSS) sebesar 62,52% dan total padatan terlarut (TDS) sebesar 37,07%.
10
Tabel 1 Kandungan zat gizi A. woodiana per 100 g tubuh kijing Zat gizi
Lokasi
Air (g) Abu (g) Lemak (g) Protein (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Vitamin A (μg) Karoten (μg) Vitamin B1 (μg) Vitamin C (mg) Kalori (kkal) Sumber: Hartono (2007)
Cibalagung 87 1,6 0,78 7,37 3,3 366 308 31,02 115 877 100 0 50
Kebun Raya 85,1 1,5 0,64 7,31 5,5 374 261 35,85 112 898 70 0 57
Hasil penelitian Krolak & Zdanowski (2001) menunjukkan bahwa A. woodiana memiliki kemampuan sebagai bioakumulator sehingga dapat mengurangi kadar logam berat di Danau Konin, Polandia. Kijing yang dipelajari adalah A. woodiana yang hidup di dalam saluran pembuangan pembangkit tenaga listrik Patnow. Konsentrasi logam berat terutama Cu, Zn, Pb dan Cd di dalam tubuh kijing ini, lebih tinggi dibandingkan dengan yang terdapat di dalam waduk air tawar yang tidak terpolusi oleh debu yang dihasilkan dari pembangkit tenaga listrik tersebut. Kandungan Cu, Zn, Pb, dan Cd di dalam tubuh A. woodiana di dalam saluran pembuangan berturut-turut 0,12 g m-3; 1,8 g m-3; 750 mg m-3, dan 1,3 mg m-3, sedangkan yang terdapat di dalam waduk air tawar yaitu: 0,9 g m-3; 0,3 g m-3; 13 mg m-3, dan 0,4 mg m-3. Struktur Anatomis dan Histologis A. woodiana Menurut Suwignyo et al. (2005), secara morfologis tubuh kijing Anodonta sp. adalah pipih lateral dan seluruh tubuh tertutup dua keping cangkang yang berhubungan di bagian dorsal melalui hinge ligament yaitu semacam pita elastik yang terdiri atas bahan organik seperti zat tanduk (conchiolin). Hinge ligament ini bersambungan dengan periostrakum cangkang. Kedua keping cangkang pada bagian
11
dalamnya juga ditautkan oleh sebuah otot adduktor anterior dan sebuah otot adduktor posterior. Kedua otot ini bekerja secara antagonis dengan hinge ligament. Bila otot adduktor rileks, ligamen berkerut, maka kedua keping cangkang akan terbuka. Demikian pula sebaliknya, bila otot adduktor berkontraksi dan ligamen rileks maka kedua cangkang akan tertutup. Hewan ini memiliki tipe insang eulamellibranchia (pertautan antar filamen menjadi permanen, dengan adanya jaringan, sehingga jajaran filamen membentuk suatu lembaran selaput yang berlubang-lubang atau ostia). Struktur bagian dalam dan irisan vertikal tubuh A. woodiana terdapat pada Gambar 4.
A
B
Gambar 4 Struktur anatomis A. woodiana. (A). Struktur organ dalam setelah menyingkirkan cangkang atas (B). Irisan vertikal tubuh kijing (Suwignyo, S. et al. 2005). Pada bagian dalam cangkang terdapat mantel di sisi kiri dan kanan. Di ujung posterior terdapat dua sifon, yaitu sifon inkuren untuk memasukkan air dan sifon ekskuren untuk mengeluarkan air. Terdapat otot-otot adduktor (anterior dan posterior) yang berfungsi untuk menutup cangkang, otot protraktor untuk menjulurkan kaki dan otot retraktor untuk menarik kaki. Kaki berbentuk pipih, yang terletak di bagian antroventral tubuh. Proses respirasi berlangsung di dalam insang yang berjumlah
12
empat buah (sepasang pada tiap sisi cangkang). Insang luar sebagian atau seluruhnya berhubungan dengan mantel. Insang luar kijing Unionidae berfungsi sebagai marsupia untuk mengerami telur hasil fertilisasi sampai terbentuk larva glokidia yang matang. Mantel pada A. woodiana berbentuk jaringan yang tipis dan lebar, menutup seluruh tubuh dan terletak di bawah cangkang. Pada tepi mantel terdapat tiga lipatan dalam, tengah, dan luar. Lipatan dalam adalah yang paling tebal, dan lipatan ini berisi otot radial dan otot melingkar. Lipatan tengah mengandung alat indera. Lipatan luar terbagi dua, yaitu permukaan dalam dan permukaan luar (Gambar 5).
Gambar 5 Irisan vertikal cangkang dan mantel A. woodiana (Brusca dan Brusca 2003) Siklus Hidup A. woodiana Sel telur yang sudah dibuahi oleh sperma akan menetas menjadi glokidia. Glokidia ini akan keluar dari induknya dengan cara meninggalkan insang melalui rongga suprabrankial dan sifon inhalant. Glokidia ini selanjutnya akan jatuh ke dasar perairan atau terbawa arus air. Bila ada ikan berenang dekat dasar perairan, maka glokidia akan menempelkan kaitnya pada sirip ikan atau bagian permukaan tubuh ikan. Tiap jenis kijing muda mempunyai satu atau beberapa jenis ikan sebagai induk semangnya. Menurut Rheichard et al. (2006), ikan kelompok Cyprinidae merupakan inang yang baik bagi A. woodiana karena memiliki hubungan simbiosis mutualisma (saling menguntungkan). Glokidia kijing membutuhkan inang sebagai tempat menempel untuk pertumbuhannya, sedangkan ikan menggunakan glokidia sebagai foster parents (orangtua asuh) yang membantu perkembangan embrio mereka. Daur hidup A. woodiana tercantum pada Gambar 6.
13
Ikan inang Glokidia pada insang Juvenil
Siklus Hidup Kijing Sperma
Glokidia
Fertilisasi
Dewasa
Gambar 6 Diagram daur hidup Anodonta woodiana (Rahayu et al. 2009). Menurut Suwignyo et al. (2005), penempelan glokidia menimbulkan reaksi inang dengan tumbuhnya jaringan sekitar parasit dan membentuk siste (cyst). Larva glokidia di dalam siste hidup sebagai parasit, dengan mantelnya yang berisi phagocyte memakan jaringan tubuh inang untuk pertumbuhannya. Beberapa jenis Unionidae memiliki sifat parasit spesifik terhadap satu macam ikan inang (Smith, 2001). Selama periode parasit antara 10 sampai 30 hari terjadi metamorfosa menjadi anak kijing. Akhirnya anak kijing keluar dari siste, jatuh ke dasar perairan dan hidup di dasar perairan berlumpur dan berkembang menjadi dewasa. Pendapat ini berbeda dari hasil penelitian Reichard et al. (2006) tersebut di atas. Oleh karena itu, interaksi antara glokidia kijing dan inangnya selain bersifat simbiosis mutualisma juga dapat bersifat parasitisme. Glokidia (Gambar 7A) melekat pada insang ikan inang (Gambar 7B) dan encyst, yaitu glokidia dalam filamen insang ikan (Gambar 7C). Kira-kira 3 minggu glokidia-glokidia tersebut
jatuh dari insang dan menetap di dasar dan
berubah menjadi juvenil. Juvenil tersebut panjangnya mendekati 0.75 mm (Gambar 7D).
14
A
B
C
D
0,75 mm
Gambar 7 Transformasi dari glokidia menjadi kijing muda (Rahayu et al., 2009).
Reproduksi A. woodiana Menurut Suwignyo et al. (2005), Unionidae umumnya dioecious, mempunyai sepasang gonad yang terletak berdampingan dengan usus. Beberapa di antaranya termasuk kijing yang berkelamin ganda, tetapi tidak dapat mengadakan pembuahan sendiri (hermaprodit sinkroni). Saat masih muda, jenis kelamin kijing dapat dibedakan berdasarkan ukuran cangkangnya. Ukuran cangkang betina lebih tebal daripada jantannya. Namun pada saat kijing mencapai usia dewasa maka dapat dibedakan dengan cara melihat gonadnya, yaitu berwarna merah (berisi telur) pada betina dan putih (berisi sperma) pada jantannya. Kijing famili ini tidak mengalami kopulasi karena fertilisasi bersifat eksternal. Kijing betina matang gonad setelah berumur 6 bulan (Hakim, 2007). Kijing betina yang dalam kondisi stadium matang gonad akan mengeluarkan telurnya ke dalam lembaran insang. Pada subklas lamellibranchia, gonoduct bermuara dalam rongga suprabrankial (Gambar 4). Kemudian kijing jantan yang berada di dekatnya akan melepaskan sperma. Pembuahan terjadi dalam ruang suprabrankial. Sperma dibawa aliran air masuk melalui sifon inhalant dan bersatu dengan sel telur. Di daerah tropis, temperatur air tidak terlalu berpengaruh pada gametogenesis, terutama aktivitas spermatogenesis pada kijing jantan. Aktivitas gametogenesis dapat berlangsung sepanjang tahun. Menurut Suwignyo et al. (2005), A. woodiana mudah dikembangbiakkan. Kijing ini memiliki kemampuan reproduksi yang tinggi karena
15
dapat berkembang biak lebih dari sekali dalam setahun. Anodonta woodiana di Taiwan hanya memijah pada musim panas, namun di Indonesia jenis ini memijah setiap saat sepanjang tahun dan tiap pemijahan mampu menghasilkan telur 317.287– 371.779 butir (Rahayu et al. 2009). Viabilitas telur hingga dibuahi menjadi glokidia relatif tinggi, yaitu dapat mencapai 90%. Hal ini disebabkan karena pembuahan terjadi di dalam insang kijing betina, sehingga aman dari gangguan yang berasal dari lingkungannya. Kualitas Air Kolam Pemeliharaan Kijing A. woodiana menyukai lingkungan dengan temperatur 24-29oC (Suwignyo et al. 2005). Kijing Unionidae menyukai perairan yang dangkal dengan kedalaman kurang dari dua meter (Smith 2001). Menurut Dan dan Ruobo (2002) secara umum kondisi yang baik untuk pertumbuhan kijing mutiara air tawar di daerah Jiangsu, Cina, adalah perairan yang mengandung oksigen terlarut (DO) rata-rata ≥ 3 ppm, dengan nilai pH 7 – 8 dan temperatur antara 15 – 250C. Di Indonesia, menurut Suwignyo et al. (2005), lingkungan perairan yang optimum untuk kehidupan A. woodiana adalah perairan dengan pH 6,0 - 7,6 serta kandungan oksigen terlarut (DO) 3,8 - 12,5 mg l-1 . Berdasarkan penjelasan di atas, kisaran kualitas fisika dan kimia air yang ideal bagi kijing famili Unionidae terangkum dalam Tabel 2. Tabel 2. Kisaran kualitas fisika dan kimia air yang ideal bagi kijing famili Unionidae Parameter Suhu (oC) pH DO (ppm) Alkalinitas (mg/l CaCO 3 ) BOD (mg/l)
Kisaran ideal 24 - 29 6,0 - 7,6 3,8 - 12,5 0,1 - 10 0 - 1,3 mg/l
Pustaka Suwignyo et al. (2005) Suwignyo et al. (2005) Suwignyo et al. (2005) Oliver (2000) Oliver (2000)
Ditambahkan oleh Skinner et al. (2003) bahwa di Sungai Nore, Irlandia, pertumbuhan optimal kijing famili Margaritiferidae dan Unionidae pada kondisi perairan oligotrofik (walaupun jumlahnya sedikit, namun jenis fitoplankton di daerah limnetik merupakan pakan yang sesuai bagi kijing tersebut). Ciri-cirinya adalah
16
berair jernih, subtrat pasir berbatu dengan kedalaman optimum 30 – 40 cm dan konduksi aliran air kurang dari 100 μS cm-1. Terdapat korelasi erat antara kedalaman air dan bentuk cangkang kijing. Obesitas cangkang (nisbah lebar cangkang terhadap panjang cangkang) pada Elliptio complanata semakin rendah dengan meningkatnya kedalaman air. Artinya adalah semakin dalam habitatnya, maka semakin rendah obesitas cangkang kijing tersebut. Kebutuhan oksigen biologi (BOD) menunjukkan jumlah oksigen yang dibutuhkan organisme untuk melakukan oksidasi senyawa-senyawa organik. Menurut Oliver (2000), pertumbuhan kijing famili Unionidae yang baik pada perairan dengan nilai BOD antara 0 hingga 1,3 mg l-1 . Selanjutnya dikatakan bahwa kondisi yang ideal dan baik bagi pertumbuhan A. woodiana adalah yang memiliki konsentrasi kalsium di perairan pada kisaran 0,1 - 10 CaCO 3 . Sebagian besar senyawa kalsium yang membentuk cangkang larva berasal dari induk, hanya sebagian kecil saja yang diambil langsung dari lingkungan. Selama masa pengeraman larva dalam marsupia induk, berlangsung penyaluran kalsium dari induk ke larva. Kualitas Substrat Kolam Pemeliharaan Anodonta woodiana biasanya hidup pada substrat dasar-sungai, pada areal lumpur yang didominasi pasir (pasir berlumpur). Kondisi ini sesuai dengan namanya mudflat mussel). Adanya pasir akan meningkatkan pertukaran massa air dan tersedianya oksigen sehingga baik bagi pertumbuhan dan kehidupan kijing (Suwignyo 2005). Terdapat korelasi erat antara jenis substrat dan cangkang kijing Unionidae (Smith 2001). Kijing di perairan mengalir dengan substrat pasir yang berstruktur longgar, membutuhkan cangkang yang tebal dan besar untuk mempertahankan posisinya. Sebaliknya, kijing di perairan tenang dan bersubstrat lumpur membutuhkan cangkang yang kecil dan tipis agar tidak tenggelam dalam lumpur. Faktor ini diduga mempengaruhi besar atau kecilnya ukuran kijing. Karakteristik ukuran partikel substrat habitat kijing A. woodiana tercantum dalam Tabel 3. Dari data tersebut tampaknya lokasi Situ Taman Gadog merupakan
17
habitat paling baik bagi pertumbuhannya, karena mengandung persentase pasir dan lumpur yang seimbang (44,67% dan 48%). Tabel 3. Karakteristik ukuran partikel substrat dari habitat kijing A. woodiana. Lokasi
Persentase rataan ukuran partikel (%) Lumpur Liat Pasir Situ Cikaret 47,33 34,67 18 Situ Cilala 42,70 34,63 22,67 Situ Tonjong 42,71 27,12 30,16 Situ Taman Gadog*) 44,67 7,33 48 Kebun Raya Bogor 27 8,33 65,67 Sumber : Prihatini (1999)
Rataan kepadatan populasi (ind m-2) Inlet Tengah Outlet 0,22 2,11 3,89 0,67 1,44 2,00 0 0,22 0 1,89 4,56 5,67 2,56 0,89 3,22
Menurut segitiga Millar (Brower et al. 1990), substrat di sungai Situ Taman Cigadog termasuk dalam loamy (Gambar 8). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Clay
Percent (%) Clay
Silty clay
Sandy clay Clay loam Sandy clay loam Sandy loam
Percent (%) Silt
Loam
Silty clay loam
Silt loam
Loamy Sand sand
Silt
Percent (%) Sand Gambar 8. Penentuan jenis substrat menurut segitiga Millar (Brower et al. 1990)
18
sungai di Situ Taman Cigadog, dengan kandungan pasirnya 45-50% dan liatnya < 10%. Menurut Suwignyo (2005) A. woodiana menyukai lingkungan yang didominasi oleh “pasir berlumpur”. Berdasarkan segitiga Millar, istilah “pasir berlumpur” menurut Suwignyo (2005) adalah tepat karena kandungan pasirnya 70-90% dan liatnya 10-20%. Selanjutnya dikatakan bahwa karakteristik ukuran partikel substrat dari habitat kijing A. woodiana yang baik bagi pertumbuhannya adalah debu 27%, liat 8,33% dan pasir 65,67%. Pakan dan Cara Makan Kijing merupakan hewan filter feeder, makanan diperoleh dengan cara menyaring makanannya dengan menggunakan insang yang berlubang-lubang. Menurut Smith (2001) kijing memakan zooplankton, fitoplankton dan detritus. Namun demikian, makanan utamanya adalah plankton, terutama fitoplankton. Saluran pencernaannya terdiri atas mulut, esophagus yang pendek, lambung yang dikelilingi kelenjar pencernaan, usus, rektum, dan anus (Gambar 4). A. woodiana tidak mempunyai radula (bentuk seperti lidah atau kikir yang lentur, mengandung suatu barisan dari deretan gigi yang tersusun secara transversal). Semua makanan yang masuk ke dalam insang sudah disortir oleh palp (tonjolan berbentuk lebar dan pipih). Makanan yang terbungkus lendir yang dihasilkan oleh permukaan insang, selanjutnya masuk ke dalam mulut. Kemudian dari mulut makanan tersebut masuk ke dalam lambung melalui esophagus. Lambung terbagi dua, bagian dorsal yang berhubungan dengan esofagus dan kelenjar pencernaan, pada bagian ventral terdapat suatu kantung crystalline style. Lambung berfungsi memisahkan makanan dari gulungan lendir. Partikel makanan yang halus mula-mula dicerna dengan pepsin untuk dilanjutkan dengan pencernaan intracellular. Kantung crystalline style merupakan sumber pepsin (Suwignyo et al. 2005). Dikemukakan lebih lanjut, bahwa makanan yang tidak dapat dicerna disalurkan oleh minor typhosole ke usus. Usus biasanya panjang dan melingkarlingkar di sekitar bagian dalam kaki dan gonad. Rektum memanjang ke posterior melalui bilik (ventricle) dan bagian dorsal otot adduktor posterior. Usus dan rektum
19
berfungsi menjadikan sisa pencernaan (feces) ke dalam bentuk pellet. Pelet dibuang ke luar melalui sifon ekshalant di bagian dorsal. Pertumbuhan Soft Tissue dan Cangkang Menurut Anwar (2002), pertumbuhan didefinisikan sebagai perubahan pada ukuran atau jumlah materi tubuh pada periode waktu tertentu. Kualifikasi ukuran untuk pertumbuhan dapat berupa panjang dan bobot (basah, kering atau abu). Pertumbuhan kijing meliputi pertumbuhan daging dan cangkang (bobot kijing). Pada dasarnya pertumbuhan dan pelapisan mutiara pada A. woodiana adalah pertumbuhan bobot daging dan cangkangnya. Pertumbuhan bobot cangkang kijing dipengaruhi oleh kandungan mineral makro dan mineral mikro, terutama fosfor dan nitrogen di perairan. Perairan yang ideal bagi pertumbuhan A. woodiana adalah yang tingkat kesuburannya oligotrofik. Pada perairan ini, biomassa fitoplankton sebesar 20-100 mg C m-3, Fosfor total sebesar < 1-5 μg l-1 dan Nitrogen total sebesar 1-250 μg l-1. A. woodiana yang hidup di Danau Konin, Polandia, mengakumulasi fosfor dan kalsium sebesar 60 g P m-3 tahun-1 dan 8 kg Ca m-3 tahun-1. Akumulasi kalsium di dalam 1 g bobot kering jaringan lunak dan cangkang adalah sama, sedangkan kandungan fosfor yang terdapat pada jaringan lunak kijing ini lebih besar daripada yang terdapat di dalam cangkangnya (Krolak & Zdanowski 2007). Laju pertumbuhan tercepat adalah pada tinggi cangkang atau pertumbuhan yang sangat lambat terdapat pada ketebalan cangkang. Pengukuran dorso-ventral merupakan indikator terbaik bagi pertumbuhan tinggi cangkang individu serta ketebalannya yang bervariasi. Selain itu, struktur mikro dan komposisi asam amino mempengaruhi pula pembentukan cangkang dan lapisan mutiara atau nacre (Anwar, 2002). Kandungan asam amino pada daging A. woodiana terdapat pada Tabel 4. Kecepatan pertumbuhan daging tidak selalu seiring dengan kecepatan pertumbuhan cangkang karena kedua pertumbuhan tersebut dipengaruhi oleh faktor yang berbeda. Pertumbuhan adalah hasil perkembangan yang harmonis dari organorgan, seperti cangkang, otot, jaringan adiposa, dan jaringan-jaringan perekat yang merupakan komponen utama tubuh kijing. Kecepatan pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu lingkungan, pakan, fisiologis, dan genetik. Faktor-faktor ini
20
bekerja secara simultan dalam mengontrol kecepatan tumbuh yang saling berinteraksi sehingga proses pertumbuhan dapat berjalan dengan baik. A. woodiana memiliki pertumbuhan yang cepat ketika berukuran 2-5 cm sedangkan kijing yang berukuran lebih dari 10 cm memiliki laju pertumbuhan yang lambat (Hakim 2007). Hal ini disebabkan karena ketika mulai dewasa, makanan dan energi yang diperoleh sebagian besar dipakai untuk kegiatan reproduksi (pematangan gonad). Selanjutnya dikatakan bahwa kijing muda berukuran 35-45 mm lebih cepat pertumbuhannya daripada yang berukuran 75-85 mm. Tabel 4. Kandungan asam amino pada daging A. woodiana (Cibalagung, Bogor). Asam amino Isoleusin Leusin Lisin Metionin Sistin Fenilalanin Tirosin Treonin Triptofan Valin Arginin Histidin Alanin Asam aspartat Asam glutamat Glisin Prolin Serin Sumber : Hartono (2006)
mg g-1 N 215 406 297 122 80 206 187 243 65 268 387 93 280 566 953 307 245 271
mg 100 g-1 bahan 230 434 318 131 86 220 200 260 70 287 414 100 300 606 1020 328 262 290
Secara umum, pertumbuhan kijing dipengaruhi oleh faktor lingkungan (suhu dan salinitas) dan ketersediaan pakan maupun kemampuan tubuh kijing (Anwar, 2002). Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi kandungan asam amino di dalam tubuh kijing. Perubahan suhu dan alkalinitas dapat mempengaruhi kecepatan pertumbuhan kijing. Nilai alkalinitas yang baik berkisar antara 30-500 mg l-1 CaCO 3 .
21
Nilai alkalinitas yang baik pada perairan alami adalah 40 mg l-1 CaCO 3 (Effendi, 2003). Proses Pembentukan Mutiara Secara Alami Proses pembentukan mutiara menurut Strack (2006) merupakan mekanisme pertahanan diri terhadap masuknya benda asing ke dalam rongga mantel agar tidak membahayakan tubuh kijing. A. Pembentukan Mutiara di dalam Mantel Terdapat dua teori pembentukan mutiara round menurut Strack (2006), yaitu teori irritant dan teori masuknya partikel padat ke dalam rongga mantel. Penjelasan dari kedua teori tersebut adalah sebagai berikut: (1). Teori irritant : mutiara terbentuk akibat masuknya cacing yang bisa merusak mantel dan memasuki rongga mantel tanpa sengaja membawa bagian epithelium yang ada di permukaan mantel bersamanya. Bila cacing mati dalam rongga mantel, maka cacing ini akan dibungkus oleh epithelium, membentuk pearl sack (kantung mutiara) dan akhirnya terbentuklah mutiara. (2) Teori masuknya partikel padat ke dalam rongga mantel : partikel padat dapat terperangkap di dalam tubuh kijing akibat dorongan air. Saat kijing ini tak bisa mengeluarkannya, partikel inipun dapat masuk ke rongga mantel dan epithelium juga ikut bersamanya. Epithelium ini akhirnya membungkus partikel padat sehingga terbentuklah kantung mutiara. Kantung mutiara ini akhirnya akan mendeposisikan nacre ke partikel padat tersebut. Proses terjadinya mutiara round secara alami tercantum pada Gambar 9 (Suwignyo et al. 2005). Menurut Anwar (2002), mutiara round terbentuk oleh intrusi sel epitel ke dalam rongga mantel, di antara mantel dengan cangkang. Pada kondisi yang sesuai, mantel dapat dicangkokkan ke dalam gonad untuk menghasilkan mutiara bulat. Intrusi tersebut dapat disebabkan oleh sesuatu ketika seekor ikan menggigit mantel dan menyebabkan sel epitel masuk ke dalam rongga mantel sehingga membentuk kantung mutiara.
22
epitel mantel mantel
Gambar 9 Proses terjadinya mutira round (A). suatu parasit tertangkap di antara cangkang dan epitel mantel; (B). parasit hampir seluruhnya terbungkus dalam kantung yang terbentuk dari epitel mantel; (C). lapisan mutiara yang cukup tebal telah menyelimuti parasit, hingga berbentuk sebutir mutiara, dan tidak membahayakan tubuh kijing (Suwignyo et al. 2005). Jika potongan mantel dari kijing dimasukkan ke dalam organ bagian dalam, maka sel epitel tersebut dapat memproduksi sel-sel epitel baru dan terus berkembang di samping menghasilkan bahan kapur (calcareous). Fungsi sel epitelium ialah memproduksi sel-sel baru selama proses pembentukan lapisan mutiara. Mekanisme pembentukan mutiara round secara alami tercantum pada Gambar 10. Menurut Strack (2006), formasi dari mutiara bulat alami dijelaskan pada Gambar 10-I sebagai berikut: (A) Suatu irritant terperangkap di antara mantel dan cangkang bagian dalam dari tubuh kijing; (B) Sel epitel mulai membelah dan berusaha membungkus irritant tersebut; (C) Irritant tersebut mulai terbungkus seluruhnya oleh epitel sel dan bergerak di dalam mantel dan terbentuklah kantung sel epitel yang disebut pearl sack; (D) Dari bagian luar ke bagian dalam, sel epitel dari pearl sack mengeluarkan nacre dan conchiolin terhadap irritant dan mutiara mulai tumbuh. Irisan vertikal mutiara bulat alami tercantum pada Gambar 10-II. Jika irritant melekat pada cangkang, maka tidak terbentuk pearl sack dan sel epitel hanya mendeposit nacre dan conchiolin pada irritant dan bagian dalam cangkang sehingga terbentuk mutiara blister (Fengming et al. 2003).
23
A
B
nacre
D
C
I
irritant
II
Gambar 10 (I) Mekanisme pembentukan mutiara round secara alami (II) irisan vertikal mutiara bulat alami (Strack, 2006). B. Pembentukan Mutiara pada Cangkang Pembentukan lapisan cangkang pada kijing
tercantum pada Gambar 11.
Permukaan dalam menghasilkan periostrakum, dan permukaan luarnya menghasilkan lapisan kapur. Oleh karena itu lipatan luar ini merupakan bagian penghasil cangkang. Antara epitel mantel dan permukaan cangkang bagian dalam terdapat rongga (kecuali pada tempat melekatnya otot palial). Rongga ini berisi cairan ekstrapalial, yang kemudian mengendap menjadi butiran-butiran kapur serta kerangka organiknya (Brusca dan Brusca 2003).
Gambar 11
Proses pembentukan cangkang dalam tubuh A. woodiana (Brusca dan Brusca 2003)
24
Menurut Winanto (2004), mutiara round maupun blister dapat diperoleh dengan manipulasi artifisial dengan cara
implantasi. Kijing yang sehat dan
ukurannya sesuai, dapat digunakan untuk implantasi mutiara. Implantasi mutiara blister lebih mudah dilakukan dibandingkan implantasi inti bulat karena tidak perlu membuat sayatan pada gonad. Umumnya satu ekor tiram jenis Pinctada maxima dapat dipasang 4 hingga 10 buah inti blister. Masa pemeliharaan mutiara blister untuk P. maxima (Famili Pteridae) di Indonesia memerlukan waktu sekitar 9 hingga 11 bulan sedangkan masa pemeliharaan pada Pteria penguin (Famili Pteridae) selama kurang lebih satu tahun. Inti blister ditempatkan pada cangkang yang posisinya sedikit di sebelah atas otot adduktor. Dalam penempatan inti mutiara blister harus diperhatikan jarak antara inti dengan otot. Perkiraan jarak tersebut bergantung pada ukuran inti dan ketebalan lapisan yang dikehendaki. Perlu diperhitungkan pertumbuhan otot adduktor, untuk mencegah agar inti tidak tertutup oleh
otot
tersebut. Menurut Bueno et al. (2003), penempelan inti blister pada cangkang akan menginduksi kijing untuk membentuk mutiara blister (Gambar 12). Inti berbentuk setengah bulat dilekatkan dengan lem pada cangkang bagian dalam atau pada lapisan nacre, tepatnya di antara cangkang dan mantel (A). Kemudian sel epitel bagian luar akan mendeposit eksudat berupa conchiolin dan nacre pada inti blister, secara lebih cepat dibandingkan dengan pemasukan inti di luar mantel secara alami (B). Nacre dan conchiolin melapisi inti dan mutiara mulai tumbuh (C). Lapisan nacre semakin tebal sehingga terbentuklah mutiara blister di sisi dalam cangkang kijing (D). Epitelium dalam
A
B
C
D
Jaringan penghubung
Inti blister
Epitelium luar (mensekresikan nacre)
Cangkang
Mutiara blister
Gambar 12. Implantasi dan pelapisan mutiara blister (Bueno et al. 2003) Adanya penambahan ukuran inti pada akhir pemeliharaan memperlihatkan bahwa inti yang diimplankan di bawah mantel telah berhasil tumbuh walaupun sangat
25
lambat. Epitel mantel bagian luar secara langsung bertanggung jawab atas pembentukan mutiara blister. Selanjutnya, mekanisme seluler mengisyaratkan bahwa sekresi nacre telah terelusidasi seluruhnya. Kultur primer dari epitel mantel bagian luar jaringan mantel bertujuan untuk mempelajari proses pembentukan mutiara (Barik et al. 2004). Secara fisiologis, A. woodiana mempunyai kemampuan untuk menghasilkan nacre dan kristal prismatik penghasil mutiara (Ram dan Gayatri 2003). Menurut Rahman (2007) bahwa secara histologis, mantel merupakan selaput jaringan penghubung yang dilindungi oleh sel-sel epitel, bagian yang bersentuhan dengan cangkang disebut epitel luar. Selanjutnya dijelaskan bahwa sel-sel epitel luar ini menghasilkan crystaline calcium carbonat (CaCO 3 ) dalam bentuk kristal aragonit yang dikenal sebagai nacre, sedang komponen pembentuk lapisan prismatik adalah kristal heksagonal kalsit. Selain itu sel-sel tersebut juga mengeluarkan zat organik conchiolin (C 32 H 48 N 2 O 11 ) dengan bahan kristal yang mengandung kapur sebagai bahan perekat (Gambar 13).
Epidermis Lapisan nacre Lapisan prismatik Periostrakum
Gambar 13 Komponen dari cangkang kijing dan lapisan nacre (Brusca dan Brusca 2003). Menurut Winanto (2004), adanya inti yang menempel pada cangkang secara otomatis akan terjadi pelapisan nacre yang menyebabkan terbentuknya lapisan prismatik. Besar kecilnya mutiara setengah bulat yang terjadi akan sangat bergantung pada ketebalan lapisan prismatik yang dihasilkan dan inti yang diimplankan. Selanjutnya dikatakan, panen dan pascapanen mutiara setengah bulat dilakukan
26
dengan cara sebagai berikut: (1) cangkang dibuka sebagian dengan shell opener; (2) otot adduktor dipotong dengan pisau; dan (3) cangkang dibuka dan daging dikeluarkan, sehingga tinggal mutiara blister yang menempel pada cangkang. Selanjutnya mutiara setengah bulat dapat diproses menjadi liontin kalung (pendant) ataupun butiran mutiara setengah bulat (blister pearl). Proses pembuatan mutiara blister adalah dengan memotong sangat dekat bagian sekeliling nacre yang melapisi inti, kemudian melepaskan lapisan nacre yang tipis yang terbentuk di atas inti. Kubah nacre tersebut kemudian diisi dengan resin khusus, ditutup dengan cangkang kijing dan mabe dapat diperhalus, dibentuk seperti yang diinginkan serta dibuat mengkilap. Pemutihan dan pengecatan bagian dalam kubah nacre juga sering dilakukan (Haws et al. 2006). Irisan vertikal mutiara blister tercantum pada Gambar 14.
Gambar 14. Irisan vertikal mutiara blister (Haws et al. 2006). Gerinda digunakan untuk menggergaji nacre yang menutupi inti mutiara setengah bulat. Selanjutnya peralatan dan kertas pasir juga digunakan untuk memperhalus dan mengkilapkan. Bagian belakang mutiara setengah bulat juga diampelas untuk mengekspos kilau dan kilap bagian dalam cangkang kijing. C. Proses Biologi Terbentuknya Mutiara Pembentukan mutiara hasil budidaya membutuhkan campur tangan manusia karena harus melakukan implantasi pada gonad dengan memasukan inti dan saibo (irisan mantel kijing mutiara lain). Organ mantel ini diambil dari individu kijing mutiara yang lain dan berperan sebagai donor. Inti dan irisan mantel ditempatkan di dalam gonad kijing setelah sebelumnya dibuat irisan kecil pada dinding gonad, irisan
27
daging mantel akan membentuk kantung mutiara (pearl sack) dan nantinya akan memproduksi nacre (Strack, 2006). Proses pelapisan mutiara membutuhkan biomineralisasi yang rumit sehingga sampai sekarang belum jelas diketahui, walaupun demikian telah banyak penelitian dilakukan untuk mengungkap hal ini. Menurut Dwiponggo (1976), jika potongan mantel yang diambil dari kijing dimasukkan ke dalam organ bagian dalam (gonad), maka sel epitel mantel tersebut dapat memproduksi sel-sel baru dan terus berkembang disamping menghasilkan bahan kapur (calcareous). Fungsi dari sel epitel ialah memproduksi sel-sel baru selama proses pembentukan lapisan mutiara (Wada 1991). Pada kondisi yang sesuai mantel dapat dicangkokkan ke dalam organ lain (Mulyanto 1987). Sel epitel luar dari mantel juga menghasilkan kristal kalsium karbonat (CaCO 3 ) dalam bentuk kristal aragonit, lebih dikenal sebagai “nacre” atau mother of pearl dan kristal kalsite yang merupakan pembentuk lapisan seperti lapisan prismatik pada cangkang. Sel-sel ini juga mengeluarkan zat organik dan protein yang disebut conchiolin (C 32 H 48 N 2 O 11 ), dengan bahan kristal yang mengandung kapur sebagai perekat dan seperti lendir (Cahn 1949 ; Anwar 2002). Proses selanjutnya memerlukan kontrol bahan-bahan inorganik seperti kalsium dan karbonat oleh hormon serta enzim.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan dari bulan Januari 2009 sampai dengan April 2010 dengan lokasi pemeliharaan Anodonta woodiana di kolam ikan nila, BBPBAT Sukabumi, Jawa Barat. Tahapan penelitian terdiri atas : 1. Kajian mengenai survival dan pertumbuhan tubuh serta cangkang kijing A. woodiana sebagai hewan penghasil mutiara setengah bulat. Analisisnya dilakukan di laboratorium Kesehatan Ikan, BBPBAT Sukabumi. Pengukuran parameter fisiologis kijing dilakukan di Laboratorium Nutrisi Fapet dan Laboratorium Fisiologi FKH, IPB. Pengukuran fisika dan kimia air, kelimpahan dan keragaman plankton dilakukan di Laboratorium Kualitas Air, BBPBAT Sukabumi. Pengukuran karakteristik substrat kolam pemeliharaan dilakukan di Pusat Kajian Tanah, Bogor. 2. Kajian implantasi inti mutiara menurut jumlah dan perbedaan diameter inti setengah bulat. Analisisnya dilaksanakan di Laboratorium Ikan Hias, BBPBAT Sukabumi. Pengukuran pelapisan mutiara dan pembuatan preparat histologis mantel kijing dilakukan di laboratorium Patologi FKH, IPB. Aplikasi hasil penelitian yaitu pemeliharaan kijing dengan jumlah dan diameter inti optimum, dilaksanakan dari bulan Februari sampai dengan April 2010 di kolam ikan nila, BBPBAT Sukabumi. Alat dan Bahan yang Digunakan A. Alat Peralatan yang digunakan untuk pengamatan survival dan pertumbuhan adalah timbangan digital, botol sampel plankton, mikroskop okuler, cover glass, object glass, pipet, alat operasi, milimeter sekrup, foto mikroskop, mikrometer okuler, serta spektrofotometer AAS. Peralatan yang digunakan untuk implantasi inti dan pengamatan pelapisan mutiara adalah peralatan implantasi, timbangan digital, botol sampel plankton, mikroskop okuler, cover glass, object glass, pipet, milimeter A
29
sekrup, foto mikroskop, mikrometer okuler, serta spektrofotometer AAS. Peralatan implantasi inti mutiara ditampilkan pada Gambar 15. A
A
B
Gambar 15. Peralatan implantasi inti mutiara (A) shell opener, gunting, pinset, hook, graft carrier, blister nucleus carrier (B) shell holder B. Bahan dan Hewan Uji Inti mutiara setengah bulat sebagai starter pembentukan mutiara dibuat dari manik-manik berbahan aklirik, dengan diameter inti 10 dan 12 mm serta tinggi inti inti 6 mm (Gambar 16). Inti A
B
6 mm
Aklirik
10 dan 12 mm Gambar 16
Inti mutiara setengah bulat yang digunakan dalam percobaan (tampak samping) berdiameter (A) 10 dan (B) 12 mm.
Hewan uji yang digunakan pada penelitian ini adalah kijing A. woodiana yang berasal dari Cisaat, Sukabumi. Jumlahnya 480 ekor, yaitu 360 ekor untuk perlakuan, dan 120 ekor untuk kontrol. Kijing tersebut rata-rata berukuran panjang cangkang 12 cm, lebar cangkang 8 cm dan rata-rata bobot individu 290 g. Rancangan Penelitian dan Perlakuan Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial (RALFaktorial). Perlakuan yang digunakan terdiri atas 2 faktor, yaitu (I) jumlah inti dan (II) diameter inti. Faktor I terdiri dari empat taraf faktor yaitu jumlah 0, 2, 4 dan 6
30
inti per individu. Faktor II terdiri dari dua taraf faktor yaitu diameter 10 dan 12 mm. Masing-masing perlakuan diulang tiga kali (Tabel 5). Tabel 5 Diagram rancangan acak lengkap faktorial kajian survival, pertumbuhan dan proses pelapisan mutiara. Faktor II ( 10 & 12 mm) D 10
Faktor I (0,1,2 dan 3 inti) Kolam A Kolam B D 10 I 1 (n=20) D 10 I 2 D 10 I 2 (n=20) (n=20) D 10 I 3 (n=20) D 10 I 3
Kontrol D 10 I 0 (n=20) D 10 I 0 (n=20) D 10 I 0 (n=20)
Kolam C D 10 I 3 (n=20) D 10 I 1 (n=20) D 10 I 2 (n=20)
(n=20)
D 10 I
1
(n=20)
D 12
D 12 I 0 (n=20) D 12 I 0 (n=20) D 12 I 0 (n=20)
D 12 I 3 (n=20) D 12 I 1 (n=20) D 12 I 2 (n=20)
D 12 I 1 (n=20) D 12 I 2 (n=20)
D 12 I
D 12 I 2 (n=20) D 12 I 3 (n=20) D 12 I 1 (n=20)
3
(n=20)
Total (ekor)
120
120
120
120
Prosedur Penelitian A. Prosedur Pemeliharaan Kijing Anodonta woodiana yang digunakan sebagai kijing penghasil mutiara dipelihara dengan metode dasar atau bottom method (yaitu kijing ditebar di dalam hapa di dasar perairan) secara polikultur, di dalam 3 buah kolam pemeliharaan ikan nila (Gambar 17A) dan 1 buah kolam kontrol (Gambar 17B). Kedalaman kolam kurang dari 1,5 m berisi air setinggi 90 cm. Pada tiap kolam perlakuan dipasang 3 buah hapa (jaring) berukuran 1x1x1,5 m yang diikatkan pada bambu dengan menggunakan tali, di dasar kolam (Gambar 17C). A
B
C
Gambar 17 (A) 3 kolam pemeliharaan (B) kolam kontrol (C) hapa (jaring) berukuran 1x1 m yang diikatkan pada bambu dengan menggunakan tali.
31
Masing-masing hapa pada kolam perlakuan berisi 40 ekor induk kijing dengan peruntukan untuk perlakuan sebanyak 30 ekor dan cadangan sebanyak 10 ekor yang diulang tiga kali tersebar pada masing-masing kolam (120 ekor/kolam/treatment). Pada kolam kontrol juga dipasang 3 buah hapa yang diisi dengan 120 ekor induk kijing. Posisi pemeliharaan kijing lepas dasar terdapat pada Gambar 18.
Instalasi hapa ukuran 1x1x1,5m Air kolam pemeliharaan
90 cm
A. woodiana
15 cm
Substrat kolam pemeliharaan Gambar 18 Posisi pemeliharaan kijing metode dasar pada setiap instalasi
hapa
B. Prosedur Implantasi Inti Mutiara Setengah Bulat Implantasi inti mutiara setengah bulat adalah sebagai berikut (Winanto 2004): mula-mula dipersiapkan induk kijing, peralatan implantasi dan inti mutiara setengah bulat. Sebelum diimplan, kijing diukur panjangnya dengan kaliper digital dan beratnya dengan neraca digital. Selanjutnya kijing diletakkan pada shell holder. Kemudian cangkang kijing dibuka dengan shell opener dan dipasang peg (baji) di antara keduan cangkang agar tidak menutup lagi. Lalu bagian mantelnya disingkapkan dengan hook (spatula dengan kait). Selanjutnya cangkang kijing bagian dalam
(lokasi inti akan dilekatkan)
dikeringkan dan dibersihkan dengan kapas. Kemudian inti diambil dengan nucleus carrier, lalu bagian dasarnya diberi setetes cyanoacrylate adhesive. Kemudian inti diletakkan dan dilekatkan pada pallial line (garis pertumbuhan cangkang bagian dalam) pada posisi di tengah pallial line dengan jumlah inti satu (Gambar 19A); di kiri dan kanan pallial line dengan jumlah inti dua dan berjarak 3 cm (Gambar 19B);
32
dan di kiri, tengah dan kanan pallial line dengan jumlah inti tiga dan berjarak 2 cm (Gambar 19 C). Setelah inti melekat dengan baik, mantel dikembalikan pada posisi semula dan cangkang ditutup kembali. Kijing yang telah diimplan selanjutnya direndam dalam larutan KmnO 4 10 ppm selama 2 jam di dalam bak fiber, sebagai pencegahan infeksi setelah implantasi. Setelah perlakuan tersebut di atas, selanjutnya kijingkijing tersebut dikondisikan didalam hapa selama 2 minggu, untuk mengetahui yang mati dan terlepasnya nukleus. Kijing yang terisi nukleus dan masih hidup selanjutnya dimasukkan ke dalam hapa dengan kepadatan 40 ekor/hapa. Sedangkan pada kolam kontrol, kijing yang tidak diimplantasi ditebar ke dalam hapa dengan kepadatan 40 ekor/hapa. A
B
C 3 cm 2,5 cm
pallial line
Gambar 19. Posisi peletakan inti setengah bulat pada cangkang A. woodiana posisi di tengah pallial line (B) di kiri dan kanan pallial line dan (C) di kiri, tengah dan kanan pallial line C. Prosedur Pengukuran Pengaruh Beban terhadap Proses Fisiologis Pembentukan Mutiara Pengukuran pengaruh beban terhadap proses fisiologis pembentukan mutiara dilakukan dengan mengukur: (1) tingkat stress, (2) respon makan kijing, dan (3) survival rate dan growth. 1. Pengaruh Beban (Jumlah dan Diameter Inti) terhadap Tingkat Stress Laju konsumsi Oksigen Pengukuran laju konsumsi oksigen dilakukan dengan menempatkan hewan uji di dalam botol plastik gelap dengan volume 200 ml. Desain percobaan untuk mengetahui laju konsumsi oksigen, yaitu berupa satu unit peralatan yang terdiri atas
33
empat botol. Botol A untuk stok air yang dijenuhkan; botol B sebagai wadah hewan uji; botol C untuk mengukur laju konsumsi oksigen; dan botol D sebagai tempat menampung sisa air buangan (Gambar 20). Oksigen terlarut diukur dengan alat DO meter (YSI 550A, tipe 03J0820 AJ). Untuk mengetahui berat kijing, sampel ditimbang menggunakan timbangan analitik Dever Instrumen (d = 0,0001 g). Variabel yang diukur adalah konsentrasi pemakaian oksigen oleh kijing dengan sistim tertutup, pengamatan dilakukan setiap jam (1 jam sekali) selama 24 jam. Pengukuran nilai oksigen yang dikonsumsi dilakukan dengan menghitung selisih antara kandungan oksigen terlarut awal dalam mg/l [O 2 ] 0 dan akhir pengamatan dalam mg/l [O 2 ] t , dibagi dengan waktu pengamatan/jam (T) dan berat (mg) (W) (Soria et al, 2007), atau secara matematis dinyatakan sebagai berikut: Konsumsi oksigen =
Gambar 20
[O 2]0 − [O 2]t TxW
Disain percobaan untuk pengukuran laju konsumsi oksigen kijing (Winanto 2009)
Laju Metabolisme Basal Laju metabolisme dapat diukur dari kalori yang dibelanjakan atau laju konsumsi oksigen. Pengukurannya dapat dilakukan dengan menggunakan alat
34
kalorimeter atau respirometer. Laju metabolisme dapat juga diukur pada tingkat basal atau tingkat aktif. Laju metabolisme basal atau standar (basal metabolism), yaitu pengukuran yang dilakukan dengan cara memuasakan hewan uji selama 1-2 kali 24 jam (Affandi et al. 2009; Soria et al. 2007; Wirahadikusumah 1985). Kadar Glukosa Hemolimf Pengamatan pola perubahan kadar glukosa plasma hemolimf dilakukan setelah pengukuran laju konsumsi oksigen. Pengambilan sampel hemolimf dibilas dengan natrium sitrat 3,8% untuk mencegah pembekuan hemolimf.
Sampel
hemolimf tersebut selanjutnya disentrifuse 3500 rpm selama 5 menit pada suhu 4oC, kemudian plasma darah dianalisis dengan Glucose liquicolor, metode GOD-PAP enzymatic colorimetric test for glucose method without deproteinisation. Diameter dan Ruang antar Sel Batang Mantel Analisis perkembangan organ mantel dilakukan secara deskriptif terhadap penampakan diameter sel batang mantel (makroskopik) dari hasil pemotretan terhadap preparat histologis mantel kijing. Bertujuan untuk mengetahui pengaruh jumlah inti dan pada kontrol (tanpa pelekatan inti) terhadap perkembangan mantel yang dilakukan pada akhir percobaan (bulan ke 9). 2. Pengaruh Beban (Jumlah dan Diameter Inti) terhadap Respon Makan Tingkat Konsumsi Pakan A. woodiana Perhitungan bobot rata-rata isi lambung kijing ditentukan berdasarkan berat isi lambung yang dikeluarkan 2 jam sekali selama 24 jam per bobot tubuh kijing. Perhitungan aktivitas makan kijing ditentukan berdasarkan kurva atau grafik volumetrik yaitu hubungan antara bobot isi lambung dengan waktu pengamatan (Affandi et al. 2009). Persamaannya adalah sebagai berikut : Index of Stomach Content (ISC) = Index of Stomach Content (ISC) =
Laju Metabolisme Rutin
Bobot isi lambung kijing x 100 Bobot tubuh kijing
35
Untuk mengetahui laju metabolisme rutin kijing dilakukan dengan mengkonversi jumlah O 2 yang dikonsumsi ke dalam satuan energi sebagai berikut: 1 mg O 2 = 0,7 ml O 2 (Jing and Cho, 2007); 1 ml O 2 = 19,9 Joule (Soria et al, 2007) dan 1 kalori (calorie) = 4,184 Joule (Somanath et al, 2000).
Kadar Kalsium Hemolimf Hemolimf diambil dari ventrikel dan aurikel jantung kijing dengan menggunakan jarum suntik 0,1 mm kemudian di-digested dalam HNO 3 14 N dan Ca ditentukan pada digested sample dengan spektrofotometer AAS dengan batas deteksi 100g Ca l-1. 3. Pengaruh Beban (Jumlah dan Diameter Inti) terhadap Survival Rate, Pertumbuhan dan Pembentukan Mutiara Kelangsungan Hidup (Survival Rate) Kijing Survival rate kijing dapat diketahui dengan menghitung jumlah kijing (ekor) pada akhir pengamatan (Nt) dibagi dengan jumlah kijing (ekor) pada awal pengamatan (No) atau dengan persamaan sebagai berikut (NRC 1977):
SR =
Nt x100 No
Laju Pertumbuhan Bobot Rataan Harian dan Panjang Total Rataan harian Laju pertumbuhan terdiri dari dua parameter yaitu laju pertumbuhan bobot rataan harian dan laju pertumbuhan panjang total rataan harian yang dihitung berdasarkan formula sebagai berikut (NRC 1977) : Laju pertumbuhan bobot rataan harian
α = t Wt −1x100 Wo
Keterangan: α = laju pertumbuhan bobot rataan harian (%) Wo
= rataan bobot awal (gram)
36
Wt t
= rataan bobot akhir (gram) = waktu (hari)
Laju pertumbuhan panjang total rataan harian
α = t Lt −1x100 Lo Keterangan: α = laju pertumbuhan panjang total rataan harian (%) Lo
= rataan panjang awal (cm)
Lt t
= rataan panjang akhir (cm) = waktu (hari)
Keberhasilan Pelapisan Mutiara Keberhasilan pelapisan mutiara yang dimaksud adalah untuk melihat seberapa banyak inti mutiara setengah bulat yang terlapisi mutiara per individu kijing mutiara (A. woodiana) yang dihitung berdasarkan jumlah inti yang dilapisi mutiara dengan persamaan dan kemudian dikonversi dalam bentuk persen (%) sebagai berikut: PM
=
TM x 100 TI
Keterangan : PM = Pelapisan mutiara (%) TM = Jumlah inti terlapisi mutiara (butir) TI = Jumlah inti (butir) Ketebalan Mutiara 3, 6 dan 9 Bulan Ketebalan lapisan mutiara pada inti setengah bulat diukur dengan alat mikrometer pada setiap pengamatan, lapisan mutiara yang telah terbentuk pada inti diiris pada bagian atas (puncak) kemudian diukur di bawah mikroskop dengan menggunakan mikrometer okuler yang dipasang pada mikroskop dan difoto. Kapasitas Total Mutiara Kapasitas total deposit mutiara yang dihasilkan selama penelitian dihitung dengan rumus sebagai berikut :
37
∑
n
KTM =
3 3 1 / 2[(4 / 3)(3,14)(r ) − (4 / 3)(3,14)(r ) ] j i i =1 i
Keterangan : KTM ri i rj j
= kapasitas total mutiara(mm3/individu) = jari-jari inti berjumlah ke-i = jumlah 2, 4 dan 6 inti/individu = jari-jari inti berdiameter ke-j = diameter inti 10 dan 12 mm
Kadar Uji Ca Soft Tissue Kijing Pengukuran Ca jaringan lunak kijing dengan menggunakan spektrofotometer AAS menurut metode Flameless Atomic Absorption Spectrophotometry (Fick et al. 1979). D.
Prosedur Pembuatan Preparat Histologi Mantel Pembuatan preparat histologi mantel dengan metode Buffered Neutral
Formalin (BNF) dan pewarnaan dengan hematoxcillin dan eosin (H,E). E.
Prosedur Processing Mutiara Air Tawar (Peningkatan Nilai Tambah) Peningkatan nilai tambah dan produk akhir penelitian bernilai ekonomi,
meliputi (a) proses sederhana, yaitu cangkang kijing dan mutiara setengah bulat digerinda sehingga menjadi ornamen; (b) proses medium, yaitu cangkang kijing dan mutiara setengah bulat digerinda, kemudian diikat dengan perak sehingga menjadi pendant; (c) proses advanced, yaitu mutiara setengah bulat digergaji dan kubahnya dilepaskan dari inti yang melekat pada cangkang kijing. Selanjutnya lapisan dalam kubah tersebut diberi resin dan bagian bawahnya ditutup dengan cangkang sehingga menjadi mutiara blister (Haws et al. 2006). Mutiara blister tersebut kemudian diikat dengan emas dan perak sehingga menjadi cincin dan liontin kalung. F. Kualitas Fisika, Kimia dan Biologi Air Kolam Pemeliharaan Pengambilan data parameter kualitas air dilakukan setiap sebulan sekali selama pemeliharaan. Adapun data yang diambil antara lain meliputi faktor fisika (suhu, TSS, kecepatan arus dan kecerahan), kimia (pH, oksigen terlarut, nitrat,
38
alkalinitas dan total fosfat) sedangkan faktor biologi adalah kelimpahan dan keragaman plankton. Untuk mempertahankan nilai alkalinitas air kolam pemeliharaan agar tetap di dalam kisaran ideal bagi pemeliharaan A. woodiana, yaitu 0,1-10 mg l-1 CaCO 3 , maka dilakukan pengkuran nilai alkalinitas setiap bulan, jika nilai tersebut berada di bawah kisaran ideal, maka dilakukan penambahan kapur (CaCO 3 ). Demikian pula sebaliknya, jika nilai tersebut berada di atas kisaran ideal, maka tidak dilakukan penambahan kapur (CaCO 3 ). Plankton dari kolam dihitung dengan menggunakan sadgwick rafter counting cell dengan ukuran panjang 50 mm, lebar 20 mm dan kedalaman 1 mm. Jumlah lapang pandang yang diamati sebanyak 10 buah dengan tiga kali ulangan. Menurut Ingram dan Palmer (1952), perhitungan kelimpahannya adalah sebagai berikut: N = T/L x P/p x 1/W x V/v Keterangan: N = Jumlah plankton per ml (individu ml-1) T = Luas penampang S-R (50 x 20 mm2) L = Luas satu lapang pandang (2,404 mm2) V = Volume air contoh yang tersaring (30 ml) v = Volume konsentrasi dalam S-R (1 ml) W = Volume air yang disaring (40 l) P = Jumlah fitoplankton yang diamati (rata-rata) P = Jumlah lapang pandang yang diamati (10 buah)
G. Kualitas Substrat Kolam Pemeliharaan Kualitas substrat kolam pemeliharaan diuji pada akhir kajian, beberapa parameter yang diukur meliputi tekstur (persentase pasir, debu dan liat) dengan metode titrimetrik serta kandungan ion Ca, Mg, karbonat dan bikarbonat dengan spektrofotometer AAS. Parameter yang Diamati Terdapat 16 parameter untuk mengukur pengaruh beban terhadap stress, respon makan, dan kelangsungan hidup dan pertumbuhan kijing serta kualitas air dan substrat kolam, yaitu laju konsumsi oksigen, laju metabolisme basal, kadar glukosa
39
hemolimf, panjang dan diameter sel batang mantel, tingkat konsumsi pakan, tingkat metabolisme rutin, kadar kalsium hemolimf, survival rate, laju pertumbuhan bobot rataan harian dan panjang total rataan harian, persentase pelapisan mutiara, ketebalan lapisan mutiara, kapasitas total mutiara dan kadar kalsium soft tissue serta parameter fisika, kima dan biologi air dan substrat kolam pemeliharaan. Keterangan rinci mengenai parameter-parameter berikut
metode, alat dan
bahannya disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Parameter yang diamati/diukur, metode pengamatan serta alat dan bahan yang digunakan No. 1.
Parameter Laju konsumsi O 2
Metode pengamatan Metode selisih DO
2.
Laju metabolisme basal
3.
Glukosa hemolimf
4. 5. 6.
Pengamatan histologi mantel Tingkat konsumsi pakan Laju metabolisme rutin
Konversi energi dari laju konsumsi O 2 Metode GOD-PAP Enzymatic Colorimetric Test for Glucose Method without Deproteinisation BNF dengan pewarnaan HE
7.
Ca hemolimf
8. 9. 10.
Survival Pertambahan bobot daging Pertambahan panjang cangkang Persentase pelapisan mutiara Pengukuran ketebalan mutiara Kapasitas total mutiara Ca jaringan lunak tubuh
11. 12. 13. 14. 15. 16.
Fisika, kimia dan biologi perairan Tekstur substrat dan kandungan Ca, Mg, CO 3 serta HCO 3
Alat dan bahan 4 botol plastik gelap 200ml, DO meter 4 botol plastik gelap 200ml, DO meter Sentrifuge 3500 rpm, Natrium sitrat 3,8% Spektrofotometer Mikroskop elektrik
Index of Stomach Content Konversi energi dari laju konsumsi O 2 Flameless atomic Absorption Spectrophotometry Penghitungan manual Penimbangan awal & akhir Pengukuran visual
Gelas volumetrik 4 botol plastik gelap 200ml, DO meter Spektrofotometer AAS Counter Neraca digital Kaliper digital
Penghitungan manual Mikroteknik
Counter Mikroskop elektrik
Mikroteknik Flameless atomic Absorption Spectrophotometry Titimetrik dan individual counting
Mikroskop elektrik Spektrofotometer AAS Peralatan titrasi, mikroskop
Titrimetrik
Peralatan titrasi
Analisis Data Statistika
40
Data hasil kajian survival dan pertumbuhan serta proses pelapisan mutiara dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA). Untuk melihat pengaruh utama perbedaan antar perlakuan dilakukan uji lanjut Tukey, pada tingkat selang kepercayaan 5%. Analisis interaksi antara jumlah dengan diameter inti dilakukan dengan uji lanjut kontras polinomial ortogonal, pada tingkat selang kepercayaan 5%. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software SPSS versi 17 for Windows. Data hasil pengamatan yang berisi dua variabel, dianalisis dengan regresi linear (Y = a + bx), sedangkan interaksi antara jumlah dan diameter inti yang dianalisis dapat berupa pola liniear, kuadratik ataupun kubik. Analisis ini digunakan dengan tujuan untuk memprediksi atau menaksir besarnya pengaruh kuantitatif dari suatu perlakuan terhadap hewan uji (Sulaiman, 2004).
HASIL DAN PEMBAHASAN
I. Pengaruh Beban (Jumlah dan Diameter Inti) terhadap Tingkat Stress A. Metabolisme Basal Respons organisme akuatik terhadap jumlah dan diameter inti dapat diketahui melalui tingkat energi yang dibelanjakan untuk metabolisme. Pengelolaan pembelanjaan energi secara positif adalah prasyarat bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup individu dan hal ini dapat menjadi kriteria penting untuk mengevaluasi adanya pengaruh perlakuan (Smaal dan Widdows 1994). Pada hewan air, besarnya energi yang dibutuhkan untuk metabolisme dapat diestimasi melalui pengukuran laju konsumsi oksigen. Hasil pengukuran laju konsumsi oksigen kijing dengan jumlah inti dan diameter berbeda selama masa pemeliharaan 9 bulan dapat dilihat pada Lampiran 1A. Oksigen merupakan salah satu parameter yang sangat dibutuhkan untuk mengoksidasi nutrient agar dihasilkan energi bebas pada proses katabolisme di dalam sel. Energi bebas ini dibutuhkan untuk berbagai proses kontraksi sel/jaringan/organ seperti kontraksi jantung, mulut, saluran pencernaan dan lain-lain. Oksigen yang ada di perairan berasal dari hasil fotosintesa fitoplankton dan tumbuhan air yang hidup di badan air serta hasil difusi oksigen dari udara melalui permukaan air. Kandungan oksigen terlarut di perairan terkait dengan suhu dan alkalinitas dan kelarutan gas-gas lain. Pada suhu dan alkalinitas yang tinggi maka kelarutan oksigen di perairan menurun dan demikian juga sebaliknya. Seperti halnya suhu, kandungan oksigen terlarut di perairan berfluktuasi dari waktu ke waktu. Perubahan kandungan oksigen ini harus disikapi oleh organisme air melalui proses penyesuaian atau pengaturan (Affandi et al. 2009). Kandungan oksigen terlarut di perairan akan mempengaruhi tingkat konsumsi oksigen oleh organisme air. Pada kisaran toleransi, tingkat konsumsi oksigen meningkat dengan meningkatnya kandungan oksigen di perairan dan mencapai nilai maksimum ketika dicapai konsentrasi optimum. Di atas konsentrasi optimum, tingkat konsumsi oksigen oleh organisme air relatif konstan. Oksigen yang telah berada di dalam tubuh (oksigen diikat oleh haemoglobin pada sel hemolimf) merupakan oksigen yang tersedia untuk digunakan pada proses katabolisme (proses oksidasi nutrien agar dihasilkan energi). Energi yang
42
dihasilkan dari proses katabolisme antara lain akan digunakan untuk proses mencerna dan menyerap makanan, mengkonsumsi makanan dan mengaktivasi proses-proses anabolisme yang mempengaruhi pertumbuhan (Affandi et al. 2009). Kadar oksigen terlarut air kolam berkisar antara 4,69 hingga 5,32 mgl-1 berada pada kisaran toleransi kijing, sehingga dapat digunakan secara optimum pada proses katabolisme (oksidasi nutrien untuk menghasilkan energi). Energi yang dihasilkan dari proses katabolisme tersebut dimanfaatkan kijing untuk mengkonsumsi pakan dan proses-proses anabolisme. Selanjutnya proses-proses tersebut meningkatkan laju pertumbuhan bobot soft tissue, bobot dan panjang cangkang kijing, proses pelapisan serta ketebalan lapisan mutiara. Kandungan oksigen terlarut di perairan terkait dengan suhu dan alkalinitas dan kelarutan gas-gas lain. Kisaran suhu (25,10 - 25,90oC) dan alkalinitas air kolam (90,65 - 99,70 mgl-1) berada pada kondisi ideal bagi pemeliharaan kijing sehingga menjamin kelarutan oksigen di perairan. Menurut hasil analisis varian (lampiran 1B) menunjukkan bahwa jumlah dan diameter inti berpengaruh nyata terhadap laju konsumsi oksigen (P < 0,05) dan tidak terdapat pengaruh interaksi (P > 0,05) antara jumlah inti dengan diameter inti. Perlakuan I (jumlah inti dua per individu) dan diameter 10 mm memiliki nilai laju konsumsi oksigen tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Berdasarkan hasil analisis regresi (Lampiran 1C), respons laju konsumsi oksigen (Y) terhadap jumlah inti (X), berbentuk linear negatif dengan persamaan: Y = -18,75x + 97,98 dengan R2 = 0,96. Artinya, bahwa terdapat hubungan yang erat antara laju konsumsi oksigen dengan jumlah inti yang diimplantasi. Nilai laju konsumsi oksigen kijing menurun dengan semakin meningkatnya jumlah inti. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa pembelanjaan energi untuk metabolisme basal (C-J g-1jam-1) kijing tertinggi terjadi pada jumlah 6 inti per individu dengan diameter 12 mm. Terlihat kecenderungan bahwa semakin besar jumlah dan diameter inti maka semakin meningkat laju metabolisme basal (Gambar 21 dan Lampiran 1D). Rosas et al. (2001) mengemukakan bahwa pakan dengan rasio energi optimum menggambarkan titik keseimbangan antara jumlah energi yang dibutuhkan untuk metabolisme basal dan pertumbuhan. Kadar nutrien dalam pakan juga mempengaruhi
43
pertumbuhan dan keseimbangan antara protein dan energi untuk pertumbuhan adalah salah satu kunci mendapatkan pakan yang sesuai. Pakan yang kekurangan energi akan menyebabkan sebagian besar protein pakan digunakan sebagai sumber energi untuk keperluan metabolisme. Sebaliknya jika kandungan energi pakan terlalu tinggi dapat menyebabkan pakan yang dimakan berkurang dan penerimaan nutrien lainnya termasuk protein yang diperlukan untuk pertumbuhan juga berkurang (Satpathy et al. 2003; Jobling et al. 2001).
Gambar 21 Metabolisme basal (C-J g-1jam-1) kijing yang diimplantasi dengan perlakuan 0, 2, 4 dan 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm selama pemeliharaan Pada keadaan tersedia makanan, hewan air akan mengkonsumsi makanan hingga memenuhi kebutuhan energinya, demikian juga halnya dengan kijing. Smith (2001) menyatakan bahwa bila 100 kalori dihasilkan dari pencernaan, maka 80 diantaranya siap digunakan oleh hewan air. Jika 40 kalori digunakan untuk metabolisme basal (maintenance), maka 40 kalori sisanya digunakan untuk aktivitas, pertumbuhan dan produksi gamet. Laju metabolisme basal kijing antar perlakuan, nilainya meningkat dengan semakin bertambahnya jumlah inti. Namun bila dibandingkan dengan kontrol, implantasi 2 inti menurunkan laju metabolisme basal hingga 13% dan implantasi 4 inti menurunkan hingga 10% , sedangkan implantasi 6 inti hanya menurunkan 8% saja.
44
B. Kadar Glukosa Hemolimf Hasil pengukuran kadar glukosa hemolimf kijing dengan jumlah inti dan diameter berbeda selama masa pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 22 dan Lampiran 2A. Kecenderungan yang tampak adalah bahwa kadar glukosa hemolimf meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah dan diameter inti. Pada jumlah inti 4 dan 6 kadar glukosa hemolimf ini mencapai kestabilan. Dari data tersebut terlihat bahwa kijing mengalami stress akibat implantasi inti. Hal ini sesuai dengan pendapat Mamangkey (2009) yang menyatakan bahwa stress pada kijing akan meningkatkan kadar glukosa hemolimf.
Gambar 22 Kadar glukosa hemolimf (mg 100 ml-1) kijing yang diimplantasi dengan perlakuan 0, 2, 4 dan 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm selama pemeliharaan Stress pada kijing dapat pula disebabkan oleh penyisipan inti di dalam mantel. Li et al. (2010) menyatakan bahwa efek dari penyisipan inti mutiara pada kijing Hyriopsis cumingii berpengaruh terhadap visceral mass (organ dalam) yaitu kehadiran faktor immun di dalam hemolimf. Studi ini menunjukkan bahwa terjadi mekanisme respons immun pada kijing mutiara setelah implantasi inti. Salmon et al. (2005) memakai relaxant dalam implantasi Pinctada fucata untuk menimbulkan relaksasi sebelum penyisipan inti ke dalam tubuh tiram. Kelangsungan hidup tiram yang mendapat treatment relaxant tersebut adalah 100%. Pemberian treatment relaxant pada Pinctada maxima sebelum implantasi inti ke dalam tubuh tiram tersebut terbukti menurunkan tingkat kematian tiram tersebut.
45
Menurut hasil analisis varian (Lampiran 2B) menunjukkan bahwa jumlah dan diameter inti
berpengaruh nyata terhadap kadar glukosa hemolimf (P < 0,05). Tidak
terdapat pengaruh interaksi (P > 0,05) antara jumlah inti dengan diameter inti. Perlakuan III (jumlah inti dua per individu) dan diameter 10 mm memiliki nilai kadar glukosa hemolimf tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Berdasarkan hasil analisis regresi (Lampiran 2C), respons kadar glukosa hemolimf (Y) terhadap jumlah inti (X), berbentuk linear positif dengan persamaan: Y = 0,75x + 69,52 dengan R2 = 0,82. Artinya, bahwa terdapat hubungan yang erat antara kadar glukosa hemolimf dengan jumlah inti yang diimplantasi. Nilai glukosa hemolimf kijing menurun dengan semakin meningkatnya jumlah inti. II. Pengaruh Beban (Jumlah dan Diameter Inti) terhadap Respons Makan Kijing A. Tingkat Konsumsi Pakan Tingkat konsumsi pakan relatif kijing A. woodiana didekati dengan data ISC. Hasil pengukuran tingkat konsumsi pakan relatif kijing pada masing-masing perlakuan disajikan pada Gambar 23 dan Lampiran 3A. Terdapat penurunan tingkat konsumsi pakan seiring dengan kenaikan jumlah dan diameter inti.
Gambar 23 Tingkat konsumsi pakan kijing didekati dengan ISC (%) yang diimplantasi dengan perlakuan 0, 2, 4 dan 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm selama pemeliharaan
46
Struktur sel yang kokoh dan lentur terhadap stressor dari luar, misalnya tekanan osmotik, suhu dan lain-lain, sangat ditentukan oleh kualitas bahan penyusun struktur sel terutama membran selnya. Oleh karena bahan penyusun stuktur sel tersebut berasal dari makanan yang dimakan, maka tingkat konsumsi pakan dan kualitas pakan (terutama kadar dan kualitas protein dan lemak) sangat menentukan kualitas sel (Affandi et al. 2009). Tingkat konsumsi kijing yang diimplantasi mengalami penurunan dibandingkan dengan kijing kontrol. Dengan demikian maka jelaslah bahwa tingkat konsumsi pakan dan mutu pakan yang dikonsumsi akan mempengaruhi kemampuan adaptasi baik pada tingkat sel maupun pada tingkat individu. Hasil analisis varian (Lampiran 3B) menunjukkan bahwa jumlah dan diameter inti berpengaruh nyata terhadap tingkat konsumsi pakan (P < 0,05) dan terdapat pengaruh interaksi (P > 0,05) antara jumlah inti dengan diameter inti. Perlakuan I (jumlah inti dua per individu) dan diameter 10 mm memiliki nilai tingkat konsumsi pakan tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Berdasarkan hasil analisis regresi (Lampiran 3C), respons tingkat konsumsi pakan (Y) terhadap jumlah inti (X), berbentuk linear negatif dengan persamaan: Y = -5,77x + 26,18 dengan R2 = 0,98. Artinya, bahwa terdapat hubungan yang erat antara tingkat konsumsi pakan dengan jumlah inti yang diimplantasi. Nilai tingkat konsumsi pakan kijing menurun dengan semakin meningkatnya jumlah inti. Implantasi 4 inti menurunkan konsumsi hingga 50% sedangkan implantasi 6 inti menurunkan hingga 63% sedangkan implantasi 2 inti hanya menurunkan 25% saja. B. Metabolisme Rutin Metabolisme adalah proses pemanfaatan nutrien, baik secara energi maupun materi melalui proses perombakan dan sintesis. Proses metabolisme terjadi di dalam sel, dapat dilakukan secara anabolisme dan katabolisme. Metabolisme rutin didefinisikan sebagai tingkat pembelanjaan energi pada kondisi normal, untuk mempertahankan struktur dan fungsi jaringan agar organisme tersebut tetap hidup. Pengukuran metabolisme rutin ini dilakukan pada kondisi organisme tetap diberi pakan selama percobaan, atau masih diberi pakan sesuai jadwal sampai sebelum dilakukan pengukuran laju konsumsi oksigen (Affandi
47
et al. 2009; Gosling 2004; Soria et al. 2007). Pada penelitian ini laju konsumsi oksigen menurun seiring dengan bertambahnya jumlah dan diameter inti yang diimplantasi. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa pembelanjaan energi untuk metabolisme rutin (C-J g-1jam-1) kijing tertinggi terjadi pada jumlah inti 2 per individu diameter 10 mm dan terendah pada jumlah inti 6 per individu diameter 12 mm (Gambar 24 dan Lampiran 4A). Terlihat kecenderungan bahwa semakin tinggi jumlah dan diameter inti maka laju metabolisme rutin menurun. Laju metabolisme rutin kijing lebih besar jika dibandingkan dengan laju metabolisme basal, karena energi selain dipakai untuk pemeliharaan (maintenance) juga dipakai untuk mencerna, menyerap dan mengkonsumsi makanan. Laju metabolisme rutin kijing antar perlakuan, nilainya menurun dengan semakin bertambahnya jumlah inti. Namun bila dibandingkan dengan kontrol, implantasi 2 inti meningkatkan laju metabolisme rutin hingga 19% dan implantasi 4 inti meningkatkan hingga 7% , sedangkan implantasi 6 inti hanya meningkatkankan 6% saja.
Gambar 24 Metabolisme rutin (C-J g-1jam-1) kijing yang diimplantasi dengan perlakuan 0, 2, 4 dan 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm selama pemeliharaan Hasil analisis varian (Lampiran 4B) menunjukkan bahwa jumlah dan diameter inti berpengaruh nyata terhadap laju metabolisme rutin (P < 0,05) dan terdapat pengaruh interaksi (P > 0,05) antara jumlah inti dengan diameter inti. Perlakuan I (jumlah inti dua per
48
individu) dan diameter 10 mm memiliki laju metabolisme rutin tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Berdasarkan hasil analisis regresi (Lampiran 4C), respons kadar glukosa hemolimf (Y) terhadap jumlah inti (X), berbentuk linear negatif dengan persamaan: Y = -0,041x + 0,614 dengan R2 = 0,91. Artinya, bahwa terdapat hubungan yang erat antara laju metabolisme rutin dengan jumlah inti yang diimplantasi. Nilai laju metabolisme rutin kijing menurun dengan semakin meningkatnya jumlah inti. Energi yang dibelanjakan untuk metabolisme adalah total energi yang dikeluarkan untuk kegiatan metabolisme basal (standart), standart dinamic action (SDA) dan aktivitas dari ketiga komponen energi metabolisme ini, kebutuhan energi untuk metabolisme dasar ini tidak dapat diperkecil atau diturunkan. Energi yang dibelanjakan untuk SDA dapat dihemat dengan pemberian pakan yang berimbang. Energi yang dibelanjakan untuk aktivitas meliputi energi untuk aktivitas gerak terutama dalam mencari makan dan mungkin pula untuk mempertahankan posisi tubuh dari arus (melawan arus). Dengan demikian penghematan energi untuk metabolisme paling rasional adalah penghematan energi untuk aktivitas (Affandi et al. 2009). Banyaknya metabolisme aktif tergantung pada lamanya aktivitas, intensitas dan kondisi percobaan. Sulit untuk mengetahui tingkat maksimal karena hasil studi di laboratorium sering tidak menggambarkan kondisi alam. Dalam penelitian A. woodiana, dilakukan pengukuran O 2 pada level metabolisme standar kemudian mengestimasi konsumsi O 2 dalam keadaan aktif. Hasil yang diperoleh adalah nilai konsumsi O 2 pada metabolisme rutin sebesar 2,5 kali nilai metabolisme basal. Hasil penelitian ini ternyata lebih tinggi daripada yang diperoleh Brett dan Grovers (1979) pada pengukuran metabolisme rutin ikan. Tingginya nilai ini diduga karena kijing yang diukur berada pada kondisi kenyang (lambungnya penuh makanan). C. Kadar kalsium hemolimf Hasil pengukuran kadar kalsium hemolimf kijing dengan jumlah inti dan diameter berbeda selama masa pemeliharaan 9 bulan nampak pada Gambar 25 dan Lampiran 5A. Penurunan kadar kalsium hemolimf terjadi seiring dengan penambahan jumlah dan inti yang diimplantasi.
49
Gambar 25 Kadar kalsium hemolimf (µg Ca l-1) kijing yang diimplantasi dengan perlakuan 0, 2, 4 dan 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm selama pemeliharaan Menurut Moura et al. (2000), moluska bivalvia seperti A. cygnea, menunjukkan perubahan musiman dalam kalsifikasi. Siklus kalsifikasi ini sebagai akibat dari fluktuasi musiman dari komposisi organik cairan tubuh kijing, yaitu hemolimf dan cairan ekstrapalial, yang merupakan media cair untuk biomineralisasi. Dalam cairan kijing A. cygnea sepanjang setahun siklus, terdapat fluktuasi konstituen organik, yaitu protein, glycosaminoglycans (GAGs) dan hexosamines yang diketahui sangat penting dalam biomineralisasi. Seluruh fluktuasi yang terdeteksi dalam cairan biologis kijing ini menandakan bahwa variasi yang berhubungan dengan siklus kalsifikasi dapat dihitung, yaitu berdasarkan perbedaan komponen biomineralisasi dalam periode spesifik, sehingga didapatkan hasil spesifik pula. Penurunan tingkat Ca hemolimf akibat stress oleh bahan pencemar cobalt pada siput Lymnaea stagnalis telah diteliti oleh Schamphelaere et al. (2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan siput yang terekspos oleh 79 µg Co l-1 dan konsentrasi yang lebih tinggi lebih telah menyebabkan kerusakan pada akhir 2 minggu pemaparan dan diikuti oleh penurunan konsentrasi Ca hemolimf pada akhir pemaparan. Mekanisme yang
50
mungkin dari toksisitas Co terhadap pertumbuhan siput diduga menurunkan pengambilan Ca dan menghalangi aktivitas makan. Kadar Ca hemolimf pada siput kontrol (yang tidak mengalami pemaparan Co) tidak lebih dari 590,00 µg Ca l-1 sedangkan siput yang mengalami stress sebesar 270 µg Ca l-1. Respons fisiologis siput Lymnaea stagnalis terhadap bahan pencemar Co berupa penurunan tingkat Ca hemolimf akibat stress. Hal yang sama juga terjadi pada A. woodiana yang mengalami stress akibat implantasi inti. Kadar Ca hemolimf pada penelitian ini berkisar antara 328,83 hingga 538,00 µg Ca -1
l , kisaran nilai tersebut berbeda nyata terhadap Ca hemolimf kijing kontrol (yang tidak diimplantasi inti) yaitu 592,17 µg Ca l-1. Hal tersebut menunjukkan bahwa penyisipan inti berpengaruh terhadap kadar Ca hemolimf kijing, yaitu mengakibatkan penurunan kadar Ca hemolimf kijing. Diduga penyisipan inti mengakibatkan berkurangnya pengambilan Ca (Ca intake) oleh kijing dan menghalangi aktivitas makan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada pertumbuhan A. woodiana. Hasil analisis varian (Lampiran 5B) menunjukkan bahwa jumlah dan diameter inti berpengaruh nyata terhadap kadar kalsium hemolimf (P < 0,05) dan terdapat pengaruh interaksi (P > 0,05) antara jumlah inti dengan diameter inti. Perlakuan I (jumlah inti dua per individu) dan diameter 10 mm memiliki nilai kadar kalsium hemolimf tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Berdasarkan hasil analisis regresi (Lampiran 5C), respons kadar kalsium hemolimf (Y) terhadap jumlah inti (X), berbentuk linear negatif dengan persamaan: Y = -90,16x + 606,5 dengan R2 = 0,98. Artinya, bahwa terdapat hubungan yang erat antara kadar kalsium hemolimf dengan jumlah inti yang diimplantasi. Nilai kadar kalsium hemolimf kijing menurun dengan semakin meningkatnya jumlah inti. Hasil yang sama terjadi pula pada kasus implantasi inti pada Pinctada fucata. Pertumbuhan yang relatif rendah pada fase awal setelah implantasi inti mungkin disebabkan oleh tidak diadaptasikannya tiram P. fucata pada air yang mengalir dan tanpa pemberian antibiotik untuk menyembuhkan luka akibat implantasi (Kripa et al. 2007). Kehilangan cairan tubuh teramati pada tiram yang diimplantasi sebanyak sepertiga hemolimf dapat hilang akibat luka pada mantel saat penyisipan inti.
51
III. Pengaruh Beban (Jumlah dan Diameter Inti) terhadap Survival Rate, Pertumbuhan, dan Pelapisan mutiara A. Survival Rate A. woodiana Nilai survival kijing dengan jumlah inti dan diameter berbeda selama masa pemeliharaan 9 bulan disajikan pada Gambar 26 dan Lampiran 6A. Laju survival rate menurun sejalan dengan semakin besar jumlah inti blister yang diimplantasi. Implantasi 4 inti menurunkan survival rate hingga 45% dan 6 inti menurunkan survival rate 56%, sedangkan implantasi 2 inti hanya menurunkan survival sebesar 15% saja.
Gambar 26 Survival rate (%) kijing pada berbagai macam implantasi dengan perlakuan 0, 2, 4 dan 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm selama pemeliharaan Menurut Gricourth et al. (2006) untuk memproduksi induk kijing yang baik secara kualitas maupun kuantitas diperlukan kondisi pemeliharaan, perkembangan dan prosesproses fisiologis, termasuk jumlah dan diameter inti yang optimal bagi pertumbuhan. Mortalitas kijing yang diimplantasi bervariasi tergantung pada lokasi budi daya kijing (Alagarswarni 1991, Victor et al. 2003) dan diameter inti (Dharmaraj dan Sukumaran, 2003). Penggunaan diameter inti yang lebih besar menurunkan tingkat pelapisan mutiara dari 70% hingga 40% pada tiram Akoya di Jepang (Shirai 1981). Jagadis et al. (2003) mengemukakan bahwa kelangsungan hidup bervariasi bergantung pada
52
kedalaman tempat budi daya tiram, di Gulf Mannar. Alagarswarni (1991) melaporkan bahwa jumlah inti yang diimplantasi pada tiram berperan penting dalam survivalnya. Menurut Kripa et al. (2007),
di Southwest Coast, India, kematian pada tiram yang
diimplantasi dengan inti berdiameter 6 mm lebih tinggi dibandingkan dengan yang berdiameter 5 mm. Berdasarkan hasil kajian survival A. woodiana, implantasi inti dua per individu dan diameter 10 mm tidak mengganggu proses-proses fisiologis yang mengatur organisme tetap dalam kondisi seimbang dan terkontrol. Nilai kematian yang tinggi pada awal fase budi daya mungkin disebabkan beberapa faktor, seperti treatment sebelum penyisipan (Taylor dan Knauer, 2002) dan sesudah penyisipan inti yang tidak benar (Meng dan Xing, 1991). Hasil analisis varian (Lampiran 6B) menunjukkan bahwa jumlah dan diameter inti berpengaruh nyata terhadap survival (P < 0,05) dan tidak ada interaksi (P > 0,05) antara jumlah inti dengan diameter inti. Perlakuan I (jumlah inti dua per individu) dan diameter 10 mm memiliki nilai survival tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Terdapat kecenderungan penurunan survival rate dengan semakin meningkatnya jumlah dan diameter inti. Berdasarkan hasil analisis regresi Lampiran 6C), respons survival (Y) terhadap jumlah inti (X), berbentuk linear negatif dengan persamaan: Y = -18,75x + 97,98 dengan R2 = 0,96. Artinya, bahwa terdapat hubungan yang erat antara survival dengan jumlah inti yang diimplantasi. Nilai survival kijing menurun dengan semakin meningkatnya jumlah inti. Menurut Smaal dan Widdows (1994), pada metabolisme rutin tingkat konsumsi oksigen tertinggi akan diikuti oleh survival yang tinggi pula. Kajian ini juga mencatat hal yang sama, yaitu pada tingkat konsumsi oksigen tertinggi (0,179 mg O 2 g-1 jam-1) memiliki survival tertinggi pula (93,33%). B. Laju Pertumbuhan Bobot Rataan Harian Pertumbuhan bobot rataan harian terdiri dari bobot soft tissue dan bobot cangkang kijing. Hasil pengukuran dengan jumlah inti dan diameter berbeda selama masa pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 27, 28 dan 29 dan Lampiran 7A. Penurunan laju pertumbuhan bobot rataan harian terjadi seiring dengan bertambahnya jumlah dan diameter inti. Penurunan laju bobot rataan harian ini hampir sama dengan penurunan konsumsi
53
pakan. Implantasi 4 inti menurunkan laju pertumbuhan bobot harian sebesar 54% dan implantasi 6 inti menurunkan bobot sebesar 72%, sedangkan implantasi 2 inti hanya menurunkan sebesar 28% saja.
Gambar 27 Laju pertumbuhan bobot rataan harian (%) kijing yang diimplantasi dengan perlakuan jumlah 0, 2, 4 dan 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm selama pemeliharaan Menurut Wu et al. (2003) pertumbuhan bobot tubuh dipengaruhi oleh sistem pemeliharaan, yaitu sistem polikultur menghasilkan nilai pertumbuhan bobot tubuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan sistem monokultur. Pada kajian ini, sistem pemeliharaan polikultur dengan ikan nila menunjukkan nilai pertumbuhan bobot tubuh yang cukup tinggi yaitu 10,07 g selama 9 bulan pemeliharaan. Laju penurunan pertumbuhan bobot soft tissue dan cangkang juga menunjukkan pola yang sama yaitu akibat implantasi 4 inti sebesar 53% dan 60% ; implantasi 6 inti sebesar 71% dan 80% ; sedangkan implantasi 2 inti hanya menurunkan 35% dan 40%. Nilai pertumbuhan bobot tubuh maksimum pada kijing yang diimplantasi dengan jumlah 2 inti per individu dan berdiameter 10 mm tampaknya dipengaruhi oleh peningkatan densitas kijing dan pakan yang berlimpah pada suhu yang mendukung pertumbuhan bobot tubuh kijing (Bascinar 2009). Menurut Aldridge (1999) bahwa Anodonta spp. memiliki periode pembuahan yang panjang dari musim gugur hingga musim panas dibandingkan dengan Unio spp. di sungai Thames, Inggris.
54
Gambar 28 Laju pertumbuhan bobot soft tissue rataan harian (%) kijing yang diimplantasi dengan perlakuan jumlah 0, 2, 4 dan 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm selama pemeliharaan Menurut hasil analisis varian (Lampiran 7B) menunjukkan bahwa waktu pemeliharaan dan jumlah inti berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan bobot tubuh (P < 0,05) dan terdapat interaksi (P < 0,05) antara waktu pemeliharaan dengan jumlah inti.
Gambar 29 Laju pertumbuhan bobot cangkang rataan harian (%) yang diimplantasi dengan perlakuan 0, 2, 4 dan 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm selama pemeliharaan
55
Perlakuan I (jumlah inti dua per individu) dan waktu pemeliharaan 9 bulan memiliki nilai pertumbuhan bobot tubuh tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Berdasarkan hasil analisis regresi (Lampiran 7C), respons pertumbuhan bobot tubuh (Y) terhadap jumlah inti (X), berbentuk linear negatif dengan persamaan: Y = -18,75x + 97,98 dengan R2 = 0,96. Artinya, bahwa terdapat hubungan yang erat antara pertumbuhan bobot tubuh dengan jumlah inti yang diimplantasi. Nilai pertumbuhan bobot tubuh kijing menurun dengan semakin meningkatnya jumlah inti. Menurut Smaal dan Widdows (1994), pada metabolisme rutin tingkat konsumsi oksigen tertinggi akan diikuti oleh laju pertumbuhan yang tinggi pula. Kajian ini juga mencatat hal yang sama, yaitu pada tingkat konsumsi oksigen tertinggi (0,179 mg O 2 g-1 jam-1) memiliki laju pertumbuhan tertinggi pula, yaitu laju pertumbuhan bobot soft tissue (0,75%), bobot cangkang (0,08%) dan panjang cangkang (0,68%). C. Diameter dan Jarak Ruang Antar Sel Batang Mantel Hasil pengukuran diameter dan jarak ruang antar sel batang mantel kijing dengan perlakuan jumlah inti dan diameter berbeda selama masa pemeliharaan 0 dan 9 bulan dapat dilihat pada Gambar 30 dan Lampiran 8.
Gambar 30 Diameter sel batang mantel kijing yang diimplantasi dengan perlakuan 2, 4 dan 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm selama awal (0 bulan) dan akhir pemeliharaan (9 bulan)
56
Hasil analisis karakteristik spesifik struktur histologis mantel dianalisis pada kontrol (tanpa pemberian inti) dan perlakuan (2, 4 dan 6 inti per individu serta diameter 10 dan 12 mm). Analisis histologis menunjukkan adanya berkas jaringan sel mantel kijing yang berbentuk batang (kolom), karena bagian mantel tersusun dari berkas jaringan sel yang berbentuk batang. Berdasarkan pengukuran di bawah mikroskop dengan pembesaran 50 x maka terlihat bahwa perbandingan antar kontrol dengan perlakuan dari awal (0 bulan) sampai dengan akhir (9 bulan pelapisan), ukuran sel menjadi semakin besar tetapi kepadatannya menjadi semakin berkurang (Gambar 31 dan 32). Dari hasil tersebut terlihat penurunan diameter sel batang mantel seiring dengan kenaikan jumlah dan diameter inti. Menurut Salmon et al. (2004) Pinctada fucata yang telah diberi 500 mgl-1 benzocaine dan bagian tepi mantelnya diambil, menunjukkan survival rate 100% setelah 4 minggu perlakuan. Tiram mengalami regenerasi dari jaringan mantel yang hilang. Setelah tiga minggu, analisis histologis mantel menunjukkan regenerasi lengkap dari mantel dan strukturnya. Penemuan ini membuktikan bahwa mantel tiram pulih dari pengambilan jaringan mantel dan dapat digunakan sebagai cadangan induk bagi operasi budidaya tiram. Analisis histologis mantel antara kijing kontrol dengan kijing yang diimplantasi dalam penelitian ini juga menunjukkan kijing mengalami gangguan pertumbuhan akibat penyisipan inti. Perbandingan diameter dan jarak antar ruang jaringan sel batang mantel antara kontrol dengan perlakuan memperlihatkan bahwa semakin besar jumlah dan diameter inti, maka semakin kecil diameter sel batang mantel dan semakin bertambah jarak antar ruang jaringan sel batang mantel. Peningkatan beban mengakibatkan bertambahnya tingkat stress yang mengganggu pertumbuhan mantel kijing, hal ini ditunjukkan dengan menurunnya diameter dan bertambahnya jarak antar ruang jaringan sel batang mantel kijing.
57
Kontrol
Diameter Sel Batang
Kont
Diameter sel batang
Jaringan sel batang mantel memanjang dan ruang antar jaringan 2 inti/individu, diameter 10 mm rapat, dengan diameter berukuran 4 µm.
± 4 µm
2 inti/individu, diameter 12 mm
2 inti/individu, diameter 10 mm
± 4 µm 2 inti/individu, diameter 12 mm
4 inti/individu, Jaringan sel batangdiameter mantel10 mm memanjang dan ruang antar jaringan rapat, 4dengan diameter berukuran inti/individu, diameter 10 mm 4 µm. 6vinti/individu, diameter 10 mm
Jaringan sel batang mantel 6 inti/individu, diameter 10 mm memanjang dan ruang antar jaringan rapat, dengan diameter berukuran 4 µm.
± 4 µm
4 inti/individu, diameter 10 mm
Jaringan sel batang mantel memanjang dan ruang antar jaringan rapat, dengan diameter berukuran 4 µm.
± 4µm 4 inti/individu, diameter 12 mm
Jaringan sel batang mantel memanjang dan ruang antar jaringan rapat, dengan diameter berukuran 4 µm.
± 4µm
6 inti/individu, diameter 10 mm ± 4µm
Jaringan sel batang mantel memanjang dan ruang antar jaringan rapat, dengan diameter berukuran 4 µm.
6 inti/individu, diameter 12 mm
± 4µm
Jaringan sel batang mantel memanjang dan ruang antar jaringan rapat, dengan diameter berukuran 4 µm.
Gambar 31. Analisis histologis mantel pada awal (0 bulan) pemeliharaan
58
Kontrol
Diameter Sel Batang
Kontrol
Ukuran Ø sel batang
JaringanA-2 sel batang mantel memanjang dan ruang antar jaringan B-4 rapat, dengan diameter berukuran 15 µm.
±15µm
A-6
2 inti/individu, diameter 10 mm ±13µm
B-2
Jaringan sel batang mantel A-4 dan ruang antar jaringan memanjang agak rapat, dengan diameter B-6 berukuran 13 µm.
2 inti/individu, diameter 12 mm
±11µm
Jaringan sel batang mantel memanjang dan ruang antar jaringan agak rapat, dengan diameter berukuran 11 µm.
4 inti/individu, diameter 10 mm
Jaringan sel batang mantel memanjang dan ruang antar jaringan kurang rapat, dengan diameter berukuran 10 µm.
±10µm
4 inti/individu, diameter 12 mm
±9µm
Jaringan sel batang mantel memanjang dan ruang antar jaringan kurang rapat, dengan diameter berukuran 9 µm.
6 inti/individu, diameter 10 mm
Jaringan sel batang mantel memanjang dan ruang antar jaringan tidak rapat, dengan diameter berukuran 8 µm.
±8µm
6 inti/individu, diameter 12 mm
±7µm
Jaringan sel batang mantel memanjang dan ruang antar jaringan tidak rapat, dengan diameter berukuran 7 µm.
Gambar 32. Analisis histologis mantel pada akhir (9 bulan) pemeliharaan
59
D. Laju Pertumbuhan Panjang Total Rataan Harian Hasil pengukuran panjang cangkang kijing dengan jumlah inti dan diameter berbeda selama masa pemeliharaan 9 bulan nampak pada Gambar 33 dan Lampiran 9A. Laju pertumbuhan panjang total rataan harian menurun seiring dengan meningkatnya jumlah dan diameter inti yang diimplantasi. Fenomena yang sama terjadi pula pada pertumbuhan panjang total yaitu akibat implantasi 4 inti telah menurunkan laju pertumbuhan panjang total sebesar 36% dan 6 inti sebesar 49% sedangkan implantasi 2 inti hanya menurunkan 37% saja.
Gambar 33 Laju pertumbuhan panjang cangkang total rataan harian (%) kijing yang diimplantasi dengan perlakuan 0, 2, 4 dan 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm selama 9 bulan pemeliharaan Menurut Rubio et al. (2006), pertumbuhan panjang cangkang tiram mutiara Pteria sterna di perairan La Paz, Mexico, merupakan bertambahnya ukuran otot adduktor, yang pada beberapa kasus tumbuh melapisi inti yang disisipkan ke dalam tubuh tiram. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan panjang cangkang pada P. sterna yang tidak diimplantasi inti tidak berbeda nyata dengan tiram yang diimplantasi, yaitu sebesar 1,75 cm selama 11 bulan setelah implantasi inti. Pada penelitian ini, pertumbuhan panjang cangkang A. woodiana menunjukkan perbedaan antara kontrol dengan perlakuan, yaitu sebesar 0,54 –
60
0,79 cm selama 9 bulan pemeliharaan. Walaupun secara statistik perbedaan di atas belum terlihat nyata. Menurut hasil analisis varian (Lampiran 9B) menunjukkan bahwa jumlah inti tidak berpengaruh nyata terhadap panjang cangkang (P > 0,05) dan diameter inti berpengaruh nyata terhadap panjang cangkang (P < 0,05). Tidak terdapat pengaruh interaksi (P > 0,05) antara jumlah inti dengan diameter inti. Perlakuan I (jumlah inti dua per individu) dan diameter 10 mm memiliki nilai panjang cangkang tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Berdasarkan hasil analisis regresi (Lampiran 9C), respons panjang cangkang (Y) terhadap jumlah inti (X), berbentuk linear negatif dengan persamaan: Y = -18,75x + 97,98 dengan R2 = 0,96. Artinya, bahwa terdapat hubungan yang erat antara panjang cangkang dengan jumlah inti yang diimplantasi. Nilai panjang cangkang kijing menurun dengan semakin meningkatnya jumlah inti. E. Keberhasilan Pelapisan Mutiara 3, 6 dan 9 Bulan Hasil pengukuran keberhasilan pelapisan mutiara kijing dengan jumlah inti dan diameter berbeda selama masa pemeliharaan 9 bulan nampak pada Gambar 34 dan Lampiran 10A. Terdapat kecenderungan bahwa keberhasilan pelapisan mutiara semakin menurun dengan bertambahnya jumlah dan diameter inti. Menurut Kripa et al. (2007) pada tiram Pinctada fucata ada kemungkinan menghasilkan lapisan mutiara dalam waktu 10 bulan pemeliharaan. Tebal deposisi mutiara di Southwest coast of India dapat 9 kali lebih tinggi dibandingkan dengan deposisi di perairan Jepang dan 2,2 hingga 2,3 kali daripada di Indian Southeast coast. Kualitas mutiara yang dihasilkan juga lebih tinggi apabila ukuran inti berdiameter 5 mm dengan total persentase pelapisan sebesar 72,4 % dan hanya 13,7% saja yang tidak dilapisi nacre. Deposisi nacre sangat dipengaruhi oleh suhu perairan, pada suhu yang tinggi akan mengakselerasi deposisi nacre sedangkan suhu rendah menurunkan pelapisan mutiara, tetapi meningkatkan kualitas mutiara (Shirai, 1981). Di daerah tropis, dengan suhu yang tinggi hampir sepanjang tahun, sekresi nacre lebih cepat jika dibandingkan dengan di daerah empat musim (Alagarswarni, 1991). Meskipun memiliki keunggulan cepatnya proses pelapisan mutiara, teknologi implantasi
61
tetap perlu ditingkatkan (Kripa et al. 2007). Pada penelitian ini, jumlah dan diameter inti yang disisipkan pada kijing A. woodiana berpengaruh nyata terhadap persentase pelapisan mutiara. Hal ini sejalan dengan pernyataan tersebut di atas, yaitu jumlah dan diameter inti yang optimum (2 inti per individu, diameter 10 mm) menghasilkan persentase pelapisan mutiara tertinggi.
Gambar 34 Keberhasilan pelapisan mutiara (%) kijing yang diimplantasi dengan perlakuan 2, 4 dan 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm selama pemeliharaan Menurut hasil analisis varian (Lampiran 10B) menunjukkan bahwa jumlah inti berpengaruh nyata terhadap keberhasilan pelapisan mutiara (P < 0,05) namun diameter inti tidak berpengaruh nyata terhadap keberhasilan pelapisan mutiara. Tidak terdapat pengaruh interaksi (P > 0,05) antara jumlah inti dengan diameter inti. Perlakuan I (jumlah inti dua per individu) dan diameter 10 mm memiliki nilai keberhasilan pelapisan mutiara tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Berdasarkan hasil analisis regresi (Lampiran 10C), respons keberhasilan pelapisan mutiara (Y) terhadap jumlah inti (X), berbentuk linear negatif dengan persamaan: Y = -18,75x + 97,98 dengan R2 = 0,96. Artinya, bahwa terdapat hubungan yang erat antara keberhasilan pelapisan mutiara diimplantasi. Nilai keberhasilan pelapisan mutiara meningkatnya jumlah inti.
dengan jumlah inti yang
kijing menurun dengan semakin
62
F. Ketebalan lapisan mutiara Hasil pengukuran ketebalan lapisan mutiara kijing dengan jumlah inti dan diameter berbeda selama masa pemeliharaan 9 bulan nampak dapat dilihat pada Gambar 35, 36 dan Lampiran 11A. Penurunan ketebalan lapisan mutiara terjadi seiring dengan meningkatnya jumlah dan diameter inti. Menurut Kripa et al. (2007), produksi mutiara Akoya dari tiram Pinctada fucata di Southwest Coast, India, menghasilkan persentase deposisi nacre pada inti yang diimplantasi sebesar 4 µm per hari (pada inti berdiameter 5 mm) dan 3 µm per hari (diameter 6 mm). Di antara hasil panen yang tidak terpakai (reject) umumnya karena tipisnya lapisan nacre (tanpa pelapisan setelah 317 hari pemeliharaan) juga terdapat lipatan/tonjolan mantel pada satu sisi atau dua sisi yang berlawanan pada cangkang tiram. Beberapa dari pelipatan tersebut merupakan jaringan kering, sebagai bagian kalsifikasi yang rendah, namun umumnya lipatan tersebut merupakan deposisi nacre yang tidak merata. Pada P. margaritifera, tonjolan kalsifikasi tersebut disebut ”ekor” dan ditemukan mengandung sel inflammatory yang mati (Gervis dan Sims 1992; Friedman dan Southgate 1999). Hasil penelitian ini tidak terjadi kasus lipatan tersebut. Hal ini mungkin disebabkan oleh inti yang diimplantasi berupa inti blister bukan inti round.
Gambar 35 Ketebalan lapisan mutiara (µm) kijing yang diimplantasi dengan dengan perlakuan 2, 4 dan 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm selama pemeliharaan
63
Pada penelitian ini, ketebalan maksimum mutiara terdapat pada kijing yang disisipkan jumlah 2 inti per individu dengan diameter 10 mm, dan tidak terdapat ”ekor” (tonjolan mantel). Tebalnya lapisan dua kali lipat dibandingkan pada implantasi dengan 4 inti akan tetapi menjadi lebih besar lagi bila dibandingkan dengan implantasi 6 inti yaitu menjadi 5,5 kalinya. Berdasarkan hal tersebut, diduga bahwa metode penyisipan yang tepat menghasilkan ketebalan mutiara yang maksimum. Selain itu, suhu media pemeliharaan yang berkisar antara 25,10 – 25,90 oC, turut mendukung kecepatan sekresi nacre sehingga menghasilkan lapisan mutiara yang tebal. Menurut hasil analisis varian (Lampiran 11B) menunjukkan bahwa jumlah dan diameter inti berpengaruh nyata terhadap ketebalan lapisan mutiara (P < 0,05) dan tidak terdapat pengaruh interaksi (P > 0,05) antara jumlah inti dengan diameter inti. Perlakuan I (jumlah inti dua per individu) dan diameter 10 mm memiliki nilai ketebalan lapisan mutiara tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Berdasarkan hasil analisis regresi (Lampiran 11C), respons ketebalan lapisan mutiara (Y) terhadap jumlah inti (X), berbentuk linear negatif dengan persamaan: Y = -18,75x + 97,98 dengan R2 = 0,96. Artinya, bahwa terdapat hubungan yang erat antara ketebalan lapisan mutiara dengan jumlah inti yang diimplantasi. Nilai ketebalan lapisan mutiara kijing menurun dengan semakin meningkatnya jumlah inti. G. Kapasitas Total Lapisan Mutiara Berdasarkan hasil pengukuran volume lapisan mutiara yang terbentuk pada cangkang 160 ekor induk kijing yang tetap hidup hingga 9 bulan masa pemeliharaan, maka diperoleh kapasitas total lapisan mutiara sebesar 631.852,64 mm3 per 160 individu kijing atau 3.949,079 mm3 per individu kijing. Kapasitas lapisan mutiara terbesar diperoleh dari induk kijing yang diimplantasi dengan jumlah dua inti per individu dan diameter 10 mm, yaitu 853,920 mm3. Pada penelitian ini, kapasitas total mutiara yang terbentuk pada cangkang bagian dalam kijing semakin meningkat, seiring dengan penurunan jumlah dan ukuran diameter inti yang diimplantasi. Hal ini diduga disebabkan oleh stressor, yaitu kehadiran inti dalam jumlah dan ukuran diameter yang berbeda, yang mempengaruhi kemampuan regenerasi mantel dalam menghasilkan lapisan nacre dan conchiolin.
64
(I) 3 bulan
(II) 6 bulan
2 inti/individu, diameter 10 mm
± 6µm
2 inti/individu, diameter 12 mm
± 4µm 4 inti/individu, diameter 10 mm
± 5µm
4 inti/individu, diameter 12 mm
± 2µm 6 inti/individu, diameter 10 mm
± 2µm
6 inti/individu, diameter 12 mm
± 0,5µm
(III) 9 bulan
2 inti/individu, diameter 10 mm
±9µm 2 inti/individu, diameter 12 mm
±7µm
4 inti/individu, diameter 10 mm
±8µm
4 inti/individu, diameter 12 mm
±4µm 6 inti/individu, diameter 10 mm
±1µm 6 inti/individu, diameter 12 mm
±0,75µ
2 inti/individu, diameter 10 mm
±17µm
2 inti/individu, diameter 12 mm
±13µm 4 inti/individu, diameter 10 mm
±9µm
4 inti/individu, diameter 12 mm
±5µm
6 inti/individu, diameter 10 mm
±4µm
6 inti/individu, diameter 12 mm
±1µm
Gambar 36. Ketebalan lapisan mutiara pada (I) 3 bulan, (II) 6 bulan dan (III) 9 bulan pemeliharaan
65
Kapasitas total mutiara dibagi jumlah inti pada tiap individu kijing yang diimplantasi dengan berbagai jumlah inti dan ukuran diameter 10 dan 12 mm tidaklah sama. Terjadi penurunan kapasitas mutiara yang dihasilkan dengan semakin bertambahnya jumlah dan diamter inti. Hal ini membuktikan bahwa jumlah dan diameter inti memberikan pengaruh negatif terhadap pertumbuhan mantel yang pada akhirnya mengakibatkan sedikitnya deposit mutiara yang dihasilkan (Gambar 37 dan Lampiran 12A).
Gambar 37 Kapasitas lapisan mutiara yang terbentuk pada cangkang A. woodiana selama 9 bulan pemeliharaan Salmon dan Southgate (2005) menyatakan bahwa jaringan mantel dalam kerang mutiara (Pteriidae) berperan dalam mengeluarkan mother of pearl atau lapisan nacre. Dalam percobaan untuk menilai proses regenerasi mantel dan excision mantel pada Pinctada fucata dan P. margaritifera, jaringan mantel sembuh dalam tiga hari pertama setelah eksisi dan mulai tumbuh sebagai jaringan ikat. Otot berkembang terlihat antara 60 dan 90 hari setelah eksisi. Pembentukan cangkang dan pelapisan mutiara ditemukan 15 hari setelah eksisi, ketika sekresi sel-sel dan conchiolin pertama kali terlihat. Pada kedua jenis tiram tersebut, regenerasi mantel seperti struktur awalnya terjadi pada hari ke-90. Sejalan dengan hasil penelitian ini, kapasitas mutiara yang dihasilkan meningkat setelah mantel kijing sembuh dari stress akibat penyisipan inti.
66
H. Kadar Kalsium Soft Tissue Hasil pengukuran kadar kalsium soft tissue kijing dengan jumlah inti dan diameter berbeda selama penelitian disajikan pada Gambar 38 dan lampiran 13A.
Gambar 38 Kadar kalsium soft tissue (mg 100 g-1) kijing yang diimplantasi dengan perlakuan 0, 2, 4 dan 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm selama pemeliharaan Menurut Zoltan (2005) bahwa kadar Ca soft tissue Sinanodonta woodiana dan Dreissena Polymorpha di Duna Drava
National Park,
Hongaria, dipengaruhi oleh
kontaminan dalam perairan. Kadar Ca soft tissue kijing yang hidup pada habitat yang tidak tercemar yaitu sekitar 360 mg 100 g-1. Kadar Ca soft tissue kijing yang diimplantasi 2, 4, 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm pada penelitian ini berkisar antara 237,33– 412,33 mg 100 g-1. Nilai ini berbeda nyata dengan kadar Ca soft tissue kijing kontrol, yaitu sekitar 414,17 mg 100 g-1 . Diduga penyisipan inti tersebut berpengaruh terhadap konsumsi pakan dan pada akhirnya akan membawa dampak terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan A. woodiana. Menurut hasil analisis varian (Lampiran 13B) menunjukkan bahwa jumlah dan diameter inti berpengaruh nyata terhadap kadar kalsium soft tissue (P < 0,05) dan tidak terdapat pengaruh interaksi (P > 0,05) antara jumlah inti dengan diameter inti. Perlakuan I
67
(jumlah inti dua per individu) dan diameter 10 mm memiliki kadar kalsium soft tissue tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Berdasarkan hasil analisis regresi (Lampiran 13C), respons kadar kalsium soft tissue (Y) terhadap jumlah inti (X), berbentuk linear negatif dengan persamaan: Y = -18,75x + 97,98 dengan R2 = 0,96. Artinya, bahwa terdapat hubungan yang erat antara kadar kalsium soft tissue dengan jumlah inti yang diimplantasi. Nilai kadar kalsium soft tissue kijing menurun dengan semakin meningkatnya jumlah inti. I. Konsentrasi Kalsium yang Berperan Terhadap Pertumbuhan Ketebalan Lapisan Mutiara Kalsium yang berperan terhadap ketebalan lapisan mutiara diduga terdapat pada: a) lingkungan air yaitu dalam kisaran konsentrasi sebesar 6,8 - 7 mgl-1 CaCO 3 ; b) substrat pemeliharaan yaitu 21,27 – 50,58 mgl-1; c) pada tubuh kijing di dalam hemolimf dengan konsentrasi berkisar antara 275,67 – 590,55 µg Ca l-1; dan d) soft tissue yaitu antara 193,667 – 412,33 mg 100 g-1 (Tabel 7). Tabel 7 Kandungan Ca yang berperan terhadap ketebalan lapisan mutiara
Air kolam pemeliharaan (mg l-1 CaCO 3 ) 6,8 - 7
Kisaran kandungan Ca Substrat kolam Hemolimf kijing pemeliharaan (µg Ca l-1) -1 (mg l )
Soft tissue kijing (mg 100 g-1)
21,27 – 50,58
193,667 – 412,33
275,67 – 590,55
Rendahnya konsumsi pakan akan menyebabkan semakin rendah juga nutriennutrien pakan seperti mineral yang terserap oleh kijing, sehingga mineral yang disimpan dalam tubuh juga rendah dan pada akhirnya akan menyebabkan pertumbuhan kijing semakin lambat. Mineral yang terkandung di dalam pakan (misalnya Na, K, Ca dan lainlain) akan digunakan sebagai material dalam proses biosintesis menjadi komponen cangkang, komponen sel hemolimf, dan lain-lain. Mineral-mineral tersebut juga akan digunakan untuk mempertahankan tekanan osmotik cairan tubuh dan juga dapat berfungsi sebagai komponen enzim (Affandi et al. 2009). Oleh karena itu menurut Guillaume et al. (2001), bahwa kekurangan kalsium dapat menghambat pertumbuhan, pembentukan cangkang serta mengakibatkan dekalsifikasi. Dari hal tersebut dapat terlihat bahwa
68
kandungan kalsium di dalam pakan akan sangat berperan dalam menunjang pertumbuhan kijing. Apabila dilihat dari ketersediaan kalsium di lingkungan tempat hidup kijing maka alur pengambilan (fiksasi) Ca adalah sebagai berikut: Ca dari lingkungan masuk ke dalam tubuh menjadi kalsium hemolimf dan selanjutnya dimanfaatkan untuk biomineralisasi dan pertumbuhan. Dengan demikian kadar kalsium media berpengaruh terhadap kadar kalsium hemolimf kijing, selanjutnya kadar kalsium hemolimf kijing mempengaruhi laju pertumbuhan dan proses pelapisan mutiara. Kadar kalsium hemolimf pada penelitian ini yaitu 275,67 – 590,55 µg Ca l-1 (sedangkan kadar kalsium media tempat hidup kijing 6,8 - 7 mgl-1 CaCO 3 ). Hal ini lebih rendah bila dibandingkan dengan kadar kalsium hemolimf pada penelitian Kelabora (2010), yaitu 2.025 µg Ca l-1 (sedangkan kadar kalsium medianya sebesar 25 mgl-1 CaCO 3 ). Menurut Kelabora, penambahan kalsium 25 mgl-1 pada media menyebabkan efisiensi pemanfaatan kalsium tertinggi dengan gradient osmotic terendah menghasilkan laju pertumbuhan tertinggi, yaitu 1,1%. Oleh karena itu untuk meningkatkan laju pertumbuhan termasuk proses pelapisan dan ketebalan lapisan mutiara, maka untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan penambahan kalsium ke perairan hingga mencapai 25 mgl-1. IV. Kondisi Lingkungan Pemeliharaan Kijing A. Parameter Fisika dan Kimia Kolam Pemeliharaan Data hasil pengukuran parameter fisika dan kimia air yang dilakukan pada setiap bulan selama 9 bulan pemeliharaan tercantum pada Tabel 8. Data parameter fisika dan kimia air tersebut selanjutnya dibandingkan dengan kisaran ideal menurut pustaka. Data selengkapnya pada lampiran 14. Secara keseluruhan, parameter fisika dan kimia air selama masa pemeliharaan kijing masih berada dalam kisaran ideal untuk pemeliharaan kijing. Data curah hujan selama penelitian tercantum pada Lampiran 15. Parameter hidrobiologi seperti suhu, TSS, alkalinitas, dan konsentrasi oksigen terlarut mempengaruhi pertumbuhan bobot tubuh (Pouvreau et al. 2000). Pada penelitian ini parameter hidrobiologi masih berada pada kisaran ideal pemeliharaan kijing A. woodiana, kecuali nilai TSS yang melebihi ambang batas menurut Effendi (2003) yaitu 28,83 – 29,97 mgl-1. Padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid atau TSS) adalah
69
bahan-bahan tersuspensi (diameter > 1 µm) yang tertahan pada saringan milipore dengan diameter pori 0,45 µm. TSS terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik. Bahan-bahan ini terutama berasal dari kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air. Bahan-bahan tersuspensi dan terlarut pada perairan alami tidak bersifat toksik, akan tetapi jika berlebihan, terutama TSS, akan dapat meningkatkan nilai kekeruhan. Tabel 8. Data parameter fisika dan kimia air kolam selama percobaan dibandingkan dengan beberapa pustaka Kualitas Air Fisika Suhu (oC) Kecepatan arus (cm/det) TSS (mgl-1) Kecerahan (cm) Kimia pH DO (mgl-1) Nitrat (mgl-1) Nitrit (mgl-1) Alkalinitas (mgl-1) Ca (mg CaCO 3 l-1)
Kisaran selama 9 bulan pemeliharaan
Kisaran ideal
Pustaka
25,10 – 25,90 0,25 – 1,00
24 - 29
Suwignyo (2005)
26,49 – 29,67 40 - 50
< 25 40 – 50
Effendi (2003) Skinner et al. (2007)
6,5 – 7,1 4,69 – 5,32 0,36 - 0,82 0,03 – 0,09 90,65 – 99,70 6,8 – 7,0
6,0 - 7,6 3,8 – 12,5 < 1,0 0,5 - 5 13,2 – 93,0 25
Suwignyo (2005) Suwignyo (2005) Oliver (2000) Boyd (1992) Boyd (1992) Kelabora (2010)
Kesesuaian perairan untuk kepentingan perikanan berdasarkan nilai TSS adalah < -1
25 mgl . Nilai TSS di antara 25 hingga 80 mgl-1 mempengaruhi kehidupan A. woodiana karena akan menghambat penetrasi cahaya matahari ke kolom air dan akhirnya berpengaruh terhadap proses fotosintesis di perairan. Nilai TSS perairan berkorelasi positif dengan kelangsungan hidup dan pertumbuhan bobot tubuh tiram Pinctada fucata yang diimplantasi di Southwest Coast, India dan faktor-faktor lingkungan berperan penting terhadap proses biomineralisasi nacre (Kripa et al. 2007). Nilai TSS pada penelitian tersebut (29,27 mgl-1) menyebabkan tingkat kematian 17,3 % pada tiram yang diimplantasi dengan inti berdiameter 6 mm dan 10,7% pada yang berdiameter 5 mm. Kandungan Ca pada media air pertumbuhan kijing pada penelitian ini relatif kecil dibandingkan produktivitas ideal bagi biomineralisasi untuk pelapisan mutiara (Kelabora 2010).
70
B. Parameter Biologi Kolam Pemeliharaan Kijing A. woodiana termasuk organisme pemakan bahan tersuspensi di perairan (suspension feeder) dengan cara menyaring makanan (filter feeder) sehingga komposisi jenis dan kelimpahan plankton merupakan faktor utama untuk pertumbuhan kijing. Hasil analisis fitoplankton dari air kolam pemeliharaan kijing, ditemukan 11 jenis fitoplankton (Gambar 39), yang didominasi oleh jenis Coelosphaerium sp. (Chlorophyta) dengan kelimpahan 8,62 individu ml-1 dan Scenedesmus (7,52 individu ml-1).
Gambar 39. Komposisi dan kelimpahan jenis fitoplankton di kolam pemeliharaan A. woodiana Terdapat 5 jenis zooplankton dari air kolam pemeliharaan kijing, yang didominasi oleh jenis Daphnia sp. (Entomostraca) dengan kelimpahan 3,3 individu ml-1 (Gambar 40 dan Lampiran 16). Plankton merupakan sumber pakan utama bagi bivalvia (Knauer dan Southgate 1999). Fitoplankton seperti micro algae berukuran kurang dari 10 µm merupakan jenis pakan hidup yang paling disukai kijing mutiara. Selama pemeliharaan, pakan potensial bagi kijing mutiara adalah plankton dalam konsentrasi sedang (kisaran kelimpahan fitoplankton yaitu 0,55 - 20,35 dan zooplankton yaitu 0,55 – 3,3 individu ml-1) tetapi selalu tersedia dalam
kolam pemeliharaan sehingga mendukung pertumbuhan kijing A. woodiana.
Preferensi kijing terhadap pakan sangat tergantung pada ukuran dan species. Masing-
71
masing jenis kijing mempunyai kemampuan berbeda-beda, dalam memilah dan mengambil makanan yang disukai. Pada prinsipnya, plankton yang digunakan sebagai pakan kijing atau organisme akuatik lainnya, hendaknya mempunyai ukuran yang sesuai dengan bukaan mulut, cepat dicerna, mengandung nilai nutrisi tinggi, potensial dikultur dalam skala massal, cepat tumbuh dengan kepadatan tinggi dan tidak menghasilkan substansi racun (Ponis et al. 2006).
Gambar 40. Komposisi dan kelimpahan zooplankton di kolam pemeliharaan A. woodiana Menurut Affandi et al. 2009 aktivitas makan pada biota akuatik, termasuk kijing, berhubungan erat dengan selera makan karena akan menentukan jumlah makanan yang dimakan (food intake). Faktor pakan mempengaruhi pertumbuhan kijing selain faktor fisika dan kimia perairan seperti suhu, oksigen terlarut, amoniak dan karbodioksida. Oleh karena itu pada pemeliharaan kijing, faktor pakan serta lingkungan harus diperhatikan dengan seksama (Effendi, 2004). Suhu, oksigen terlarut dan amoniak akan mempengaruhi nafsu makan kijing dan jumlah/kuantitas pakan yang dikonsumsi oleh kijing. Pakan, yang dikonsumsi oleh kijing baik secara kuantitas maupun kualitas akan mengalami proses metabolisme sehingga menyebabkan terjadinya pertumbuhan dan menghasilkan buangan metabolisme (amoniak dan karbondioksida).
72
Hasil penelitian Kelabora (2010) menunjukkan bahwa unsur kalsium 25 mgl-1 merupakan konsentrasi terbaik yang dapat memberikan ketersediaannya unsur hara untuk memacu pertumbuhan populasi plankton. Diduga bahwa nutrien, terutama nutrien makro, dalam media percobaan dengan konsentrasi kalsium 25 mgl-1, jumlahnya relatif banyak sehingga dapat membantu proses pertumbuhan dan produksi fitoplankton. Pada saat nutrien tersedia, maka populasi fitoplankton meningkat, namun pada penelitian ini konsentrasi Ca dalam air kolam relatif rendah yaitu berkisar antara 6,8 – 7,0 mg CaCO 3 l-1 sehingga diduga kurang mendukung pertumbuhan dan produksi fitoplankton. Ca merupakan salah satu nutrien makro (yang dibutuhkan dalam jumlah banyak) oleh tumbuhan dan fitoplankton di samping C, H, N, P,dan Mg. C. Kualitas Substrat Kolam Pemeliharaan Data hasil pengukuran parameter fisika dan kimia substrat yang dilakukan pada setiap bulan selama 9 bulan pemeliharaan tercantum pada Tabel 9. Data parameter fisika dan kimia substrat tersebut selanjutnya dibandingkan dengan kisaran ideal menurut pustaka. Data selengkapnya pada lampiran 17. Secara keseluruhan, parameter fisika dan kimia substrat selama masa pemeliharaan kijing masih berada pada kisaran ideal untuk pemeliharaan kijing. Tanah berperan sebagai substrat habitat hidup biota air, memberikan ruang bagi biota air untuk beraktifitas di atasnya. Substrat tanah berfungsi sebagai wadah penampung air dan berinteraksi dengan memberi dan menerima nutrien dari dan ke dalam air. Semuanya bersama-sama mendukung proses kimia dan biologi dalam satu kesatuan unit ekosistem kolam (AIYU, 2010). Substrat tanah sebagai tempat hidup kijing bersifat dinamis. Hal ini karena substrat tersebut melangsungkan reaksi reaksi biokimia yang kompleks, dengan sifat fisik dan dan sifat kimia dari banyak kombinasi reaksi dan komposisi makro-mikro hara tertentu.
73
Tabel 9. Data parameter fisika dan kimia substrat kolam selama percobaan dibandingkan dengan beberapa pustaka Kualitas Substrat Fisika Tekstur -Debu (%) -Liat (%) -Pasir (%) Kimia pH Ca (ppm) Mg (ppm) Bikarbonat (ppm)
Kisaran selama pemeliharaan
Kisaran ideal
Pustaka
17 – 40 17 - 30 30 - 66
27 – 47,33 7,33 – 34,67 18 – 65,67
Suwignyo (2005)
8,2 – 8,26 21,27 – 50,58 16,03 – 26,62 126,5 – 227,7
7,5 – 8,5 16 - 100 6 - 108 102 - 308
Boyd (1992) Boyd (1992) Boyd (1992) Boyd (1992)
Pengetahuan ini dapat dimanfaatkan untuk tujuan budidaya dengan teknik terapan fisika, biologi dan kimia, terutama dalam meningkatkan produksi mutiara air tawar. Matriks rekapitulasi hasil percobaan pengaruh beban terhadap tingkat stress, respon makan kijing, survival dan pertumbuhan A. woodiana tercantum dalam Lampiran 18. V. Prospek Biologis terhadap Efektifitas dan Produktifitas Pelapisan mutiara Respon Fisiologis Kijing terhadap Proses Pelapisan mutiara Implantasi inti setengah bulat telah mengakibatkan kijing mengalami stress. Benda asing yang masuk ke dalam tubuh itu dianggap sebagi “musuh” sehingga kijing tersebut mempertahankan diri. Cara mempertahankan diri adalah dengan dikeluarkannya eksudat berupa nacre dan conchiolin oleh sel epitel mantel (Gambar 41). Perkembangan kerangka kalsium karbonat metazoan diatur oleh sebuah matriks protein ekstraseluler, yang tertanam di dalam eksoskeleton. Menurut berbagai studi biokimia, lokalisasi yang tepat dari protein rangka untuk waktu yang lama sebagai suatu proses biokimia yang belum dipahami. Teknik untuk memvisualisasikan protein matriks cangkang pada permukaan kristal kalsium karbonat dalam biomineralisasi adalah melalui antibodi berupa immunogold (Marin et al. 2007).
74
Inti mutiara Cangkang
Epithelium luar
(A) 0 bulan
Nacre dan conchiolin
Epithelium dalam
Jaringan penghubung
(B) 4,5 bulan
(C) 9 bulan
Gambar 41. Respon pertahanan diri kijing A. woodiana akibat implantasi inti blister (A) 0 bulan, (B) 4,5 bulan, dan (C) 9 bulan setelah implantasi. Dengan pewarnaan perak, sampel kemudian diamati dengan pemindaian mikroskop elektron menggunakan SEM. Teknik ini diterapkan pada contoh dari kalsit prismatik yang membentuk lapisan terluar dari kerang kipas Mediterania, Pinna nobilis. Suatu protein caspartin utama larut, yang diidentifikasi baru-baru ini, sebagian diurutkan setelah ekstraksi enzimatik. Sebuah antibodi poliklonal yang timbul berlawanan dengan caspartin, digunakan untuk lokalisasi di dalam prisma. Lokalisasi immunogold menunjukkan bahwa caspartin selain mengelilingi kalsit prismatik, juga tersebar selama biomineralisasi. Contoh ini menggambarkan
dampak
yang
mendalam
pada
pembentukan
matriks
protein
intracrystalline yang berlawanan dengan intercrystalline. Selain itu, hal tersebut juga merupakan alat penting untuk menentukan fungsi putatif bagi matriks protein. Pengetahuan tentang biomineralisasi pada moluska ini dapat diterapkan terhadap efektifitas dan produktifitas pelapisan mutiara pada kijing air tawar A. woodiana. Respon fisiologis akibat tekanan implantasi inti blister dapat dijelaskan berdasarkan alur pada Gambar 42. Dari gambar tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: (1). Pengaruh beban (jumlah dan diameter inti) terhadap tingkat stress. Kecenderungan yang tampak adalah bahwa semakin besar beban (jumlah dan diameter inti), maka semakin tinggi tingkat stress yang dialami oleh kijing. Hal ini ditunjukkan oleh meningkatnya kadar glukosa hemolimf dan laju metabolisme basal. Tingginya kadar
75
glukosa hemolimf merupakan indikator bahwa kijing mengalami stress akibat adanya tambahan jumlah dan ukuran diameter inti. Temuan yang sama juga disampaikan oleh Anwar (2002), bahwa kadar glukosa Pteria Penguin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah inti yang diimplantasikan pada kijing tersebut. Survival rate A. woodiana juga semakin menurun dengan semakin meningkatnya jumlah dan ukuran diameter inti, hal ini menunjukkan bahwa adanya beban merupakan penyabab kematian akibat stress. Kondisi normal yang berubah menjadi kondisi stress inilah yang diduga mengakibatkan kijing tidak makan (tingkat kelaparan tinggi), infeksi akibat luka setelah penyisipan inti dan kehilangan cairan tubuh (Affandi et al. 2009). (2). Pengaruh beban (jumlah dan diameter inti) terhadap aktivitas makan kijing. Terdapat kecenderungan semakin besar beban (jumlah dan diameter inti), maka semakin rendah aktivitas makan kijing. Kejadian ini dibuktikan dengan menurunnya tingkat konsumsi pakan, laju metabolisme rutin, dan kadar Ca hemolimf. Pengaruh jumlah dan ukuran diameter inti terhadap aktivitas makan, tampak pada semakin menurunnya nilai ISC dan nilai metabolisme rutin kijing seiring dengan semakin bertambahnya beban. Faktor luar yang sangat berpengaruh pada pertumbuhan kijing adalah ketersediaan pakan di perairan, dan didukung oleh kondisi lingkungan kualitas perairan yang optimum. Pertumbuhan kijing sangat ditentukan oleh ketersediaan pakan di perairan, sebab pakan merupakan sumber energi dan materi yang akan digunakan dalam proses metabolisme sehingga kijing dapat hidup dan tumbuh baik. Dengan melihat kondisi perairan yang mendukung meningkatnya kelimpahan fitoplankton sebagai sumber pakan kijing, maka perairan tersebut dapat meningkatkan proses pembentukan lapisan mutiara, karena aktivitas makan kijing berlangsung terus menerus dengan melakukan penyaringan. Menurut Anwar (2002) pertumbuhan lapisan mutiara terjadi sepanjang waktu yang dipacu oleh adanya trigger dan proses metabolisme. Pertumbuhan sangat bergantung kepada energi yang tersedia dalam pakan dan pembelanjaan energi tersebut. Pertumbuhan juga sangat bergantung pada tingkat konsumsi pakan dan efisiensi pakan. Pertumbuhan akan terjadi apabila kebutuhan energi untuk pemeliharaan (maintenance) telah terpenuhi.
66 76
Laju konsumsi Oksigen pada Metabolisme basal
Laju konsumsi Oksigen pada Metabolisme rutin
Ca soft tissue dan diameter sel batang mantel
Survival A. woodiana Somatik
Beban: jumlah & diameter
Tingkat Stress
Tingkat konsumsi pakan (ISC)
Ca hemolimf
Glukosa hemolimf
Input
Pembelanjaan energi
Proses
Kapasitas total mutiara
Pertumbuhan A. woodiana Cangkang
Keberhasilan pelapisan dan ketebalan lapisan mutiara
Output
Gambar 42 Diagram alur proses dari pengaruh beban (jumlah dan diameter) inti terhadap tingkat stress, respon makan, survival dan pertumbuhan A. woodiana
77
(3). Pengaruh beban (jumlah dan diameter inti) terhadap survival rate, pertumbuhan, dan pelapisan mutiara. Kecenderungan yang tampak adalah bahwa semakin besar beban (jumlah dan diameter inti), maka semakin rendah survival rate, pertumbuhan, dan pelapisan mutiara. Hal ini berakibat pada laju pertumbuhan bobot soft tissue, bobot cangkang, dan panjang cangkang serta persentase pelapisan dan ketebalan lapisan mutiara. Proses pelapisan mutiara kijing Anodonta woodiana akan tetap berlangsung apabila kebutuhan minimumnya untuk hidup pokok telah terpenuhi. Energi diperoleh sebagai akibat metabolisme, yang terlebih dahulu digunakan untuk memenuhi seluruh kebutuhan aktivitas dan pemeliharaan tubuh. Demikian juga untuk kebutuhan pertumbuhan pelapisan mutiara (nacreous layer) dibutuhkan energi yang berasal dari makanan yang diperoleh dari alam maupun dari cadangan yang tersimpan dalam tubuh kijing. Jika energi pakan tidak seimbang, akan menimbulkan gangguan pertumbuhan sebagai akibat dari proses metabolisme yang abnormal atau kurang maksimum. Pada pengamatan bulan ke 3 sampai dengan bulan ke 9 lapisan mutiara mulai terbentuk sebesar 0,5 - 6 µm dan 1 – 17 µm (Gambar 36), dengan kondisi demikian proses metabolisme kijing sesuai dengan kemampuan adaptasi kijing. Berdasarkan data yang diperoleh jumlah inti berpengaruh nyata terhadap ketebalan mutiara (P < 0,05), didapatkan pelapisan mutiara maksimum sebesar 18 µm dengan jumlah inti optimum (2 inti per individu). Ini diduga jumlah inti optimum telah merangsang epitelium mantel yang terdapat pada bagian dalam mantel (inner fold) untuk mensekresikan glikoprotein asam dan glikoprotein netral membentuk lapisan nacreous (nacreous layer) serta pemanfaatan pakan untuk pertumbuhan akan lebih efisien bila jumlah inti tersebut ideal terhadap kemampuan kijing. Dengan ketersediaan energi pakan yang memadai memungkinkan aktivitas enzim anhydrase pada berkas jaringan mantel mengefisienkan peningkatan proses metabolisme. Jumlah inti di bawah optimum maka proses sekresi kelenjar nacreous berjalan normal sedangkan jika melebihi batas optimum kemampuan mantel dan energi yang
78
tersedia sangat terbatas, sehingga lapisan mutiara yang terbentuk lebih tipis. Hal ini berbanding lurus dengan persentase kejadian pelapisan mutiara yang berbentuk linear. Menurut Anwar (2002), bahwa mantel tidak hanya mensekresikan kelenjar nacreous tetapi juga lapisan prismatik (prismatic layer) dan lapisan periostrakum (periostracum layer). Interaksi antara Tingkat Stress, Survival Rate dan Pelapisan Mutiara Interaksi yang terdapat di antara tiga parameter penelitian ini, yaitu tingkat stress, survival rate dan pelapisan mutiara, adalah sebagai berikut: (1) implantasi inti mutiara berpengaruh terhadap kijing yaitu menimbulkan stress yang ditunjukkan dengan peningkatan laju metabolisme basal dan kadar glukosa hemolimf (yang mempengaruhi pembelanjaan energi). Stress tersebut kemudian mengakibatkan penurunan konsumsi pakan yang tampak dari laju metabolisme rutin dan kadar Ca hemolimf yang menurun juga. (2) Selanjutnya, stress yang timbul dan penurunan tingkat konsumsi pakan tersebut mempengaruhi survival rate dan pertumbuhan serta pelapisan mutiara. Apabila beban (jumlah dan ukuran) diameter inti besar, maka survival rate akan menurun dan petumbuhan juga akan rendah (baik pertumbuhan somatik, yang ditunjukkan dengan penurunan Ca soft tissue dan diameter sel batang mantel, maupun pertumbuhan cangkang yang meliputi kapasitas total mutiara, keberhasilan pelapisan serta ketebalan lapisan mutiara yang menurun juga). (3) Sebaliknya, jika beban ringan maka survival rate dan pertumbuhan juga akan tinggi (hal ini terlihat pada peningkatan Ca soft tissue dan diameter sel batang mantel, maupun pertumbuhan cangkang yang meliputi kapasitas total mutiara, keberhasilan pelapisan serta ketebalan lapisan mutiara yang meningkat juga). Interaksi ketiga parameter tersebut di atas sejalan dengan pendapat Affandi et al. (2009) yang menyatakan bahwa gangguan dari luar yang masuk ke dalam tubuh kijing akan menimbulkan respon fisiologis kijing yang ditunjukkan oleh beberapa parameter, yaitu tingkat stress yang indikatornya adalah laju metabolisme basal dan kadar glukosa hemolimf dalam tubuh kijing. Selanjutnya, stress tersebut akan
79
mempengaruhi tingkat konsumsi pakan yang terlihat dari laju metabolisme rutin dan kadar Ca hemolimf (yang mempengaruhi pembelanjaan energi dan survival rate). Hal tersebut juga akan memicu pertumbuhan bobot soft tissue, cangkang dan panjang cangkang serta mempengaruhi proses pelapisan mutiara. Diduga stress yang ditimbulkan oleh benda asing yang disisipkan di antara cangkang bagian dalam dan mantel kijing tersebut, justru akan memicu proses pelapisan inti mutiara yang pada akhirnya akan meningkatkan produksi mutiara air tawar. Berdasarkan respon fisiologis dan kemungkinan pengembangan budidayanya maka dapat dikatakan bahwa kijing air tawar A. woodiana memiliki prospek masa depan yang baik sebagai produsen mutiara air tawar di Indonesia. Biomineralisasi Tingkat Seluler Pada Proses Pelapisan mutiara Proses biomineralisasi pada kijing membutuhkan metabolisme kalsium yang melibatkan berbagai jenis protein diantaranya adalah Calmodulin (CaM) dan Calmodulin like protein (CaLP). Calmodulin like protein adalah bagian dari matriks protein cangkang yang berhubungan dengan pembentukan kristal kalsit pada lapisan prismatik cangkang
(Li et al. 2010). Penelitian pada tiram mutiara jenis Pinctada
fucata dengan pewarnaan imunohistologi pada cangkang telah dideteksi keberadaan CaLP di sekitar lapisan prismatik (kalsit) dan bagian nacre (aragonit). Secara in vitro, CaLP berperan dalam pembentukan kristal kalsit, dan apabila berkombinasi dengan protein yang larut dalam air akan membentuk kristal aragonit pada nacre (Yan et al. 2007). Secara bersama-sama kedua protein tersebut melakukan absorbsi, transport, sekresi, deposisi dan akumulasi kalsium dalam tubuh kijing. Selain CaM dan CaLP telah diketahui protein lain yaitu nacrein yang berperan dalam biomineralisasi. Nacrein adalah komponen matriks organik moluska pertama kali diidentifikasi terlibat khusus dalam pembentukan lapisan nacreous (Miyamoto et al. 1996). Distribusi dan fungsi protein nacrein berdasarkan analisis struktural telah diteliti oleh Norizuki dan Samata (2008). Untuk mengetahui fungsi dari protein nacrein, percobaan berfokus pada struktur primer protein nacrein, struktur tersier
80
nacrein dan kristalisasi in vitro dari protein tersebut. Nacrein diklasifikasikan menjadi empat tipe, yaitu MSI31, N16, MSI60 dan Prismalin-14. Protein yang kaya asam aspartat berperan penting untuk membangun prisma kalsit pada moluska (Marin et al. 2005). Protein yang terdapat pada cangkang tersebut beragam dan multifungsi serta mungkin memiliki asal-usul berbeda (Marin dan Luquet 2004). Penelitian Marin dan Luquet (2005) menggunakan detektor immunogold didapat bahwa makromolekul dari cangkang P. nobilis terdiri dari tiga protein: pertama adalah mucoperlin yang spesifik pada lapisan nacreous. Sedangkan dua lainnya, yaitu caspartin dan calprismin terdapat pada lapisan prismatik kalsit. Pokroy et al. (2007) menggunakan kristal tunggal difraksi x-ray, telah menemukan bentuk kembar kristal kalsit yang berkembang dari larutan protein 17-kDa cangkang moluska yang sebelumnya diketahui sebagai caspartin dan calprismin. Protein intracrystalline ini diekstraksi dari prisma kalsit Pinna nobilis tersebut. Marie et al. (2007) menggambarkan dampak yang nyata dari penemuan protein matriks intracrystalline pada proses biomineralisasi mutiara. Peran matriks protein sangat penting dalam mencapai proses biomineralisasi (Michenfelder et al, 2003). Pearlin dan peral keratin berinteraksi untuk menginduksi nukleasi aragonit (Matsushiro et al. 2003). CaLP mengikat protein untuk memfasilitasi trasformasi kalsite pada lapisan prismatik menjadi aragonit pada lapisan nacre (Marin dan Luquet 2004). Enzim alkaline fosfatase sangat berperan dalam biomineralisasi mutiara karena menurut Chen et al (2005) pada Pinctada fucata, arginin dan lysine merupakan subtrat yang diaktifkan oleh enzim alkaline fosfatase selama pembentukan mutiara di nacre. Jing et al (2007) menemukan bahwa enzim alkalin fosfatase terdistribusi di hepatic duct sampai saluran pencernaan. Selanjutnya dijelaskan bahwa secara imunohistokimia asam fosfat ditemukan pada bagian kelenjar pencernaan dan filamen atau lembaran insang. Saat ini, matriks ekstraseluler kapur dari cangkang muncul sebagai suatu sistem yang terintegrasi. Sistem ini mengatur protein mineral, interaksi protein-protein serta
81
interaksi umpan baliknya pada proses biomineralisasi dari sintesis kapur. Oleh karena itu, matriks cangkang moluska dapat menjadi sumber molekul bioaktif yang akan menawarkan perspektif menarik dalam bidang biomaterial dan biomedis (Marin et al. 2008). Pengobatan dalam bidang biomedis juga menginduksi modifikasi dari bentuk kristal CaCO 3 yang tumbuh secara in vitro dan kemampuan mengikat kalsium dua protein matriks utama (P95 dan P50). Temuan ini menunjukkan modifikasi pasca translasi dari fungsi penting kalsifikasi cangkang moluska (Marie et al. 2008). VI. Peningkatan Nilai Tambah Mutiara Air Tawar dan Kebaruan (Novelty) Hasil Penelitian Processing Bahan Baku Untuk Menghasilkan Produk Bernilai Ekonomi Bahan baku yang dihasilkan dalam penelitian ini masih untuk penggunaan terbatas dan bermutu standar. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan dan ketrampilan dalam mengolah bahan baku serta kualitas mutiara yang dihasilkan masih tergolong sedang. Oleh karena itu diperlukan peningkatan nilai tambah dengan jalan melakukan processing bahan baku untuk menghasilkan produk akhir penelitian bernilai ekonomi. Salah satu cara untuk mencapai hasil optimal adalah dengan mengerjakan bahan baku di workshop di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Produk akhir penelitian bernilai ekonomi dapat ditingkatkan melalui proses sederhana, medium dan advanced sebagai berikut: (a). Proses sederhana, yaitu cangkang kijing dan mutiara setengah bulat digerinda sehingga menjadi ornamen (Gambar 43A); (b). Cangkang kijing dan mutiara setengah bulat digerinda, kemudian diikat dengan perak sehingga menjadi pendant (Gambar 43B), dan (c). Mutiara setengah bulat digergaji dan kubahnya dilepaskan dari inti yang melekat pada cangkang kijing. Selanjutnya lapisan dalam kubah tersebut diberi resin dan bagian bawahnya ditutup dengan cangkang sehingga menjadi mutiara blister. Mutiara blister tersebut kemudian diikat dengan emas dan perak sehingga menjadi cincin (Gambar 43C) dan liontin kalung (Gambar 43D).
82
A
B
C
D
Gambar 43. Produk akhir hasil proses sederhana (A) Ornamen, proses medium (B) pendant, serta proses advanced (C) cincin, dan (D) liontin kalung mutiara air tawar A. woodiana Masing-masing proses di atas memiliki kelebihan dan kekurangan. Pada proses sederhana, kelebihannya adalah biaya produksi yang diperlukan relatif murah dan peralatannya juga mudah diperoleh. Namun kelemahannya adalah produk yang dihasilkan memiliki nilai ekonomi yang relatif rendah. Sedangkan pada proses medium dan advanced, produk yang dihasilkan nilai ekonominya relatif tinggi, meskipun biaya produksinya juga relatif tinggi. Selain itu, kedua proses tersebut memerlukan peralatan yang lebih mahal dengan ketrampilan ahli yang memiliki cita rasa seni tinggi. Prospek sebagai Produsen Mutiara Air Tawar di Dunia Mutiara setengah bulat yang dihasilkan pada penelitian ini masih di bawah kualitas mutiara yang dihasilkan oleh beberapa negara di dunia, seperti Jepang, Cina, dan India. Hal tersebut antara lain dapat dilihat dari kilau, keberhasilan pelapisan mutiara dan ketebalan lapisan nacre. Perbedaan dari segi kuantitas dan kualitas maupun dalam hal finishing process, sehingga menghasilkan produk akhir mutiara air tawar setengah bulat yang bernilai ekonomi tinggi (Winanto, 2009). Mutiara air tawar yang dihasilkan hingga saat ini masih didominasi oleh Cina, Jepang dan India. Penguasaan teknologi budidaya dan implantasi serta pemilihan jenis kijing yang diimplantasi merupakan kunci keberhasilan ketiga negara tersebut menjadi produsen utama mutiara air tawar di dunia (Mamangkey, 2009). Indonesia perlu meningkatkan teknologi budidaya maupun teknik product finishing sehingga
83
bisa bersaing dengan negara penghasil mutiara air tawar lainnya di dunia. Untuk itu diperlukan transfer ilmu dan teknologi dari negara penghasil mutiara yang sudah maju di dunia, seperti Cina, Jepang dan India. Sampai saat ini, sebagian besar kegiatan pembenihan kijing mutiara di Indonesia belum dilakukan oleh pembudidaya mutiara air tawar, tetapi masih mengambil langsung melalui penangkapan dari alam. Sedangkan, tuntutan akan penyediaan kijing dalam jumlah cukup, tepat waktu dan berkesinambungan, serta kebutuhan informasi teknologi pembenihan kijing mutiara sangat dibutuhkan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian tentang kebutuhan lingkungan dan pakan yang optimum untuk menunjang survival rate dan pertumbuhan larva kijing mutiara, sehingga dapat diproduksi secara masal dan berkelanjutan. Sumbangan Kebaruan (Novelty) Hasil Penelitian Sumbangsih kebaruan (novelty) penelitian Biomineralisasi pada Proses Fisiologis Pelapisan Inti Mutiara Kijing Air Tawar Anodonta woodiana (UNIONIDAE) bagi budidaya mutiara air tawar di Indonesia adalah sebagai berikut: (1). Pengetahuan tentang biomineralisasi pada proses pelapisan mutiara setengah bulat dapat menjadi dasar untuk merekayasa pelapisan mutiara secara lebih cepat dan kualitas mutiara yang dihasilkan lebih baik, (2). Kajian respons fisiologis akibat pengaruh beban inti dapat digunakan sebagai acuan dalam teknik perbanyakan yaitu jumlah inti 2 per individu dengan diameter 10 mm dan berdasarkan respon fisiologis dan kemungkingan pengembangan budidayanya maka kijing air tawar A. woodiana memiliki prospek pengembangan yang baik sebagai produsen mutiara air tawar di Indonesia (3) Peningkatan nilai tambah produk melalui processing bahan baku perlu diterapkan, sehingga menghasilkan produk yang memenuhi selera pasar dan bernilai jual lebih tinggi. (4) Aplikasi penelitian ini dalam kehidupan masyarakat dapat memberikan manfaat berupa pendapatan tambahan dan pengentasan kemiskinan di Indonesia.
84
Langkah-langkah yang perlu dilakukan karena belum terjawab oleh penelitian ini adalah mendalami aspek biologi molekuler A. woodiana dalam upaya memproduksi mutiara air tawar bulat (round) yang bernilai ekonomi tinggi, dengan biaya produksi yang relatif rendah.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Beban (jumlah dan diameter inti) mempengaruhi proses-proses fisiologis dalam pelapisan mutiara air tawar: semakin besar jumlah dan diameter inti maka semakin bertambah tingkat stress. Akibat lebih lanjut, peningkatan jumlah dan diameter inti ini akan menyebabkan penurunan repons makan kijing, survival rate, growth dan pelapisan mutiara. 2. Proses biomineralisasi relatif baik pada jumlah inti 2 butir/individu dengan ukuran diameter 10 mm. Pada kijing yang diimplantasi dengan ukuran diameter dan jumlah inti tersebut menghasilkan ketebalan lapisan mutiara tertinggi sebesar 17 µm, sedangkan jumlah inti 4 butir/individu hanya mampu menghasilkan pelapisan sebesar 9 µm dan 6 butir/individu sebesar 5 µm. Pada jumlah inti ideal (2 butir/individu dengan diameter 10 mm) dicapai pertumbuhan maksimum kijing A. woodiana, yaitu bobot tubuh dan tinggi cangkang pada akhir pemeliharaan sebesar 312,63 g dan 12,85 cm. 3. Peningkatan nilai tambah produk melalui processing bahan baku, yang terdiri dari proses sederhana, medium dan advanced, telah menghasilkan produk bernilai ekonomi, yaitu ornamen, pendant, cincin dan liontin kalung mutiara air tawar. Saran 1. Perlu dilakukan penelitian fisiologis molekuler kijing air tawar yang bertujuan untuk menurunkan tingkat stress, namun sebaliknya, meningkatkan respons makan kijing, survival rate, pertumbuhan, dan pelapisan mutiara. 2. Perlu diuji coba pada penelitian lanjutan dengan memanfaatkan species kijing air tawar lain, misalnya dari famili UNIONIDAE, yang diimplantasi inti mutiara bulat (round) untuk menambah nilai ekonominya.
86
3. Perlu dilakukan penambahan kalsium ke perairan hingga mencapai 25 mg/l pada penelitian selanjutnya, untuk meningkatkan laju pertumbuhan termasuk proses pelapisan dan ketebalan lapisan mutiara.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi R, Sjafei DS, Rahardjo MF, Sulistiono. 2009. Fisiologi Ikan. Pencernaan dan Penyerapan Makanan. IPB Press. Bogor. [AIYU] ShirotaBiota Indonesia. 2010. Manajemen Pengelolaan Tanah dan Air pada Ekosistem Tambak. Jakarta: AIYU. Alagarswarni K, Dhamaraj S, Velayudhan TS, Chelam A, Victor ACC, Gandhi AD. 1991. Larva Rearing and Production of Spat of Pearl Oyster Pinctada fucata (Gould). Aquaculture 32(4):87-301. Aldridge, D.C. 1999. The Morphology, Growth and Reproduction of Unionidae (Bivalvia) in Fenland Waterway. The Journal of Moluscan Studies 65(2):4760. Anwar K. 2002. Pengaruh Jumlah Inti Blister Terhadap Ketebalan Lapisan Mutiara dan Pertumbuhan Tiram Mutiara Pteria penguin (Bivalvia: Pteridae). Prosiding Seminar Riptek Kelautan Nasional. Jakarta, Maret 2001: Departemen Perikanan dan Kelautan. Barik SK, Jena JK, Ram KJ. 2004. CaCO 3 Crystallization in Primary Culture of Mantle Epithelial Cells of Freshwater Pearl Mussel. Current Science 8(5):1625. Bascinar NS, Duzgunes E, Misir DS, Polat H, Zengin B. 2009. Growth and Flesh Yield of the Swan Mussel [Anodonta cygnea (Linnaeus,1758)] (Bivalvia: Unionidae) in Lake Cildir (Kars, Turkey). Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 9(3): 127-132. Berni P, Bitossi S, Salvato M, Orlandi M, Salviati J, Silvestri M, Megale P, Orlandi P, Billiard R. 2004. Enhancing the Local Production of Alternative Freshwater Pearls, High quality, Environmentally Sustainable Mixed Farming Techniques. Manual on Freshwater Pearl Culture, Manual Series 1. Italy. Boyd CE. 1992. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Alabama Agricultural Experiment Station, Auburn University, Auburn, Alabama. Brett JR, Grovers TDD. 1979. Physiological Energetics. Fish Physiology Vol. VIII. New York Academic Press. P. 280-352. Brower J, Zar J, von Ende C. 1990. Field and Laboratory Methods for General Ecology. Wm. C. Brown Publ. London.
88
Brusca RC, Brusca GJ. Massachusetts.
2003.
Invertebrates.
Sinauer
Associates,
Inc.,
Bueno P, Lovatelli A, Shetty HPC. 2003. Pearl Farming. Series tittle: Project reports (not in a Series) No.8. 1991 p. 104 pg. AB726/E. Cahn AR. 1949. Pearl Culture in Japan. United States Department of the Interior Fish and Wildlife Service. Fishery Leaflet 357. Washington D.C. Chen L, Zhang C, Xie L, Huang J, Zhang R. 2005. A novel putative tyrosinase involved in periostracum formation from the pearl oyster (Pinctada fucata). Biochem. Biopphys. Res. Comm. 342(1):632-639. Dan H, Gu Ruobo. 2002. Freshwater Pearl Culture and Production in China. Aquaculture Asia. 7(2):1-10. Day A. 1949. Pearl Culture in Japan. Fish and Wildlife Service. United States Department of Research. USA. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Statistik Perikanan Dan Kelautan Tahun 2005. Jakarta: DKP. Dhamaraj, Sukumaran. 2003. Oxygen Consumption in Pearl Oyster Pinctada fucata (Gould) and Pinctada sugilata (Reeve). Proc. Symp. New Delhi, June 2002. Coastal Aquaculture 2(3): 27-632. Dwiponggo A. 1976. Mutiara. Lembaga Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. Effendi H. 2003. Telaahan Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. Effendi I. 2004. Pengantar Akuakultur. Penebar Swadaya. Depok. Fengming QL, Li HB, Chui FZ, Li HD. 2003. Crystal orientation domains found in the single lamina in nacre of Mytilus edulis shell. Mater. Sci. Lett. 18:15471549. Fick KR, McDowell LR, Miles PH, Wilkinson NS, Funk JD, Conrad JH. 1979. Methods of Mineral Analysis for Plant and Animal Tissues. 2nd Ed. Animal Science Department, University of Florida, Gainesville, Florida. Friedman KJ, Southgate PC. 1999. Growth of Black lip Pearl Oysters Pinctada margaritifera Collected as Wild Spat in The Solomon Island. Jour. Shellfish Res. 18(1):159-167.
89
Gervis MH, Sims NA. 1992. The Biology and Culture of Pearl Oysters (Bivalvia: Pteridae). ICLARM. Manila. Gosling E. 2004. Bivalve Molluscs. Biology, Ecology and Culture. Fishing News Book. London, Great Britain. Gricourth L, Mathieu M, Kellner K. 2006. An Insulin-Like System Involved in The Control of Pacific Oyster Crassostrea gigas Reproduction: hrlGF-1 Effect on Germinal Cell Proliferation and Maturation Assosiated with Expression of an Homologous Insulin Receptorrelated Receptor. Aquaculture 251(4):85-98. Guillaume J, Kaushik S, Bergot P, Metailler R. 2001. Nutrition and Feeding of Fish and Crustaceans. Praxis Publishing. London. Hakim ADG. 2007. Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Kijing Taiwan (Anodonta woodiana, Lea). sebagai Agen Pembersih di Waduk Cirata, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Skripsi. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. (Tidak dipublikasikan). Hamidah A. 2006. Pengaruh Penggunaan Berbagai Jenis Ikan sebagai Inang terhadap Kelangsungan Hidup Glochidia Kijing Taiwan (Anodonta woodiana Lea). Biota 11(3):185-189. Hartono N. 2007. Pengaruh Berbagai Metode Pemasakan Terhadap Kelarutan Mineral Kijing Taiwan (Anodonta woodiana, Lea). Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. (Tidak dipublikasikan). Haws MC, Ellis SC, Ellis EP. 2006. Producing Half-Pearls (Mabe). The Sustainable Coastal Communities and Ecosystems Program (SUCCESS). Aquafarmer Information Publication. Hawaii. Ingram WM, Palmer C. 1952. Simplified procedures for collecting, examining and recording plankton in water. Journal American water work association 44(7):617- 629. Jagadis I, Ignatius B, Illangovan K, Victor ACC, Chellam A, Rani V. 2003. Pearl Production in Pinctada fucata under Two Culture Systems in The Inshore Waters of Mandapam, Gulf of Mannar. Abstracts of the First Indian Pearl Congress and Exposition. Central Marine Fisheries Research Institute, Cochin, India. 5-8 February 2003. P. 70.
90
Jing WG, Cho SM. 2007. Long-term Effect of Polycyclic Aromatic Hydrocarbon on Physiological Metabolism of The Pacific Oyster Crassostrea gigas. Aquaculture 265(3):343-350. Jobling, M, Boujard T, Houlihan D. 2001. Food Intake in Fish. Blackwell Science Ltd, A Blackwell Publishing Company. Kelabora D. 2010. Pemberian Kalsium (CaCO 3 ) pada Media Budidaya untuk Memacu Pertumbuhan Kijing Taiwan (Anodonta woodiana, Lea). Tesis. Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. (Tidak dipublikasikan). Knauer J, Southgate PC. 1999. A Review of The Nutritional Requirement and The Development of Alternative and Artificial Diets for Bivalve Aquaculture. Rev. Fisheries Science 7(2):241-280. Komarawijaya W, Arman E. 2007. Kemampuan kijing air tawar (Pilsbryoconcha exilis) dalam menyerap kandungan total padatan tersuspensi (TSS) dan total padatan terlarut (TDS). Jurnal Hidrosfir Indonesia 2(1):37-43. Kripa V, Mohamed KS, Appukuttan KK, Velayudhan TS. 2007. Production of Akoya pearls from the Southwest coast of India. Aquaculture 262(3):347–354. Krolak E, Zdanowski B. 2001. The Bioaccumulation of Heavy Metals by The Mussel Anodonta woodiana (LEA, 1834) and Dreissena polymorpha (Pall) in The Heated Konin Lakes. Arch. Of Polish Fisheries 9(2):229-237. Krolak E, Zdanowski B. 2007. Phosporus and Calcium in The Mussels Sinanodonta woodiana (Lea) and Dreissena polymorpha (Pall) in The Konin Lakes. Archives of Polish Fisheries 15(4): 278-294. Li W, Shi Z, He X. 2010. Study on immune regulation in Hyriopsis cumingii Lea: Effect of pearl-nucleus.insertion in the visceral mass on immune factors present in the hemolymph. Fish & Shellfish Immunology 28(2):789-794. Mamangkey NGF, Salmon HA, Southgate PC. 2009. Use of Anaesthetics with the Silver Lip Pearl Oyster, Pinctada maxima (Jameson). Aquaculture 288(3):280-284. Marie B, Luquet G, Bedouet L, Milet C, Medakovic D, Marin F. 2008. Nacre calcification in the freshwater mussel Unio pictorum: carbonic anhydrase activity and purification of a 95-kDa calcium binding glycoprotein. ChemBiochem 9:1-10, sous presse.
91
Marin F, Paul Corstjens P, Gaulejac B, Jong EV, Westbroek P. 2000. Mucins and Molluscan Calcification Molecular Characterization of Mucoperlin, a Novel Mucin-like Protein from the Nacreous Shell Layer of the Fan Mussel Pinna Nobilis (Bivalvia, Pteriomorphia). The journal of biological chemistry 275(27):20667–20675 Marin F, Luquet G. 2004. Molluscan Shell Proteins. Comptes Rendus Pale. 3(2):469492. Marin F, Luquet G. 2005. Molluscan biomineralization: the proteinaceous shell constituents of Pinna nobilis. Material Science & Engineering C: Biomimetic and Supramolecular Systems 25:105-111. Marin F, Amons R, Guichard N, Stigter M, Hecker A, Luquet G, Layrolle P, Alcaraz G, Riondet C, Westbroek P. 2005. Caspartin and calprismin, two proteins of the shell calcitic prims of the Mediterranian fan mussel Pinna nobilis. J.Biol.Chem. 280(40):33895-33908. Marin F, Pokroy B, Luquet G, Layrolle P, Grootd KD. 2007. Protein mapping of calcium carbonate biominerals by immunogold. Biomaterials 28(2):2368– 2377. Marin F, Luquet G, Marie B, Medakovic. 2008. Molluscan shell proteins: primary structure, origin and evolution. Curr. Top.Dev. Biol. 80:209-276. Matsushiro A, Miyashita T, Morimoto HM, Tonomura KB, Sato, K. 2003. Complex P Nacreous. I.M.B.5(1):37-44. Meng Z, Xing K. 1991 The Effects of Various Factors on The Nucleus Insertion of the Black-lipped Oyster Pinctada margaritifera Linnaeus. Oceanologia et Limnologia Sinica 22(2):44-45. Michenfelder M , Fu G, Lawrence C, Weaver JC, Wustman BA. 2003. Characters of two moluscan crystal-modulating biomineralization proteins and identification of putative mineral binding domains. Biopolymers 70(3):522533. Miyamoto H, Miyashita T, Okushima M, Nakano S, Morita T, Matsushiro A. 1996. A carbonic anhydrase from the nacreous layer in oyster pearls. Proc Natl Acad Sci. 93:9657-9660. Moorkens EA. 1999. Conservation Management of The Freshwater Pearl Mussel Margaritifera margaritifera. Part 1: Biology of the species and its present situation in Ireland. Irish Wildlife Manuals, No.8.
92
Moura G, Vilarinho L, Santos AC, Machado J. 2000. Organic Compounds in Extrapalial Fluid and Haemolymph of Anodonta cygnea (L.) with Emphasis on the Seasonal Biomineralization Process. Comparative Biochemistry and Physiology Part B: Biochemistry and Molecular Biology 125(2):293-306. Mulyanto 1987. Teknik Budidaya Tiram Mutiara Laut di Indonesia. INFIS Manual Seri No.45. Jakarta. Norizuki M, Samata T. 2008. Distribution and function of the nacrein-related proteins inferred from structural analysis. Mar Biotechnol.10(3):234-41. [NRC]. National Research Council. 1977. Nutrient Requirements of Pond Water Fishes. National Academic Press. Washington D.C. Oliver G. 2000. Conservation objectives for the freshwater pearl mussel (Margaritifera margaritifera). Report to English nature, Peterborough. Pokroy B, Kapon M, Marin F, Adir N, Zolotoyabko E. 2007. Protein-induced previously unidentified twin form of calcite. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 104(18):7337-7341. Ponis I, Probert B, Véron M, Mathieu, Robert R. 2006. New microalgae for the Pacific oyster Crassostrea gigas larvae Aquaculture 253(4):618-627. Pouvreau S, Cedric B, Maurice H. 2000. Ecophysiological model of growth and reproduction.of the black pearl oyster, Pinctada margaritifera: potential applications for pearl farming in French.Polynesia. Aquaculture 186(2):117144. Prihatini W. 1999. Keragaman Jenis dan Ekologi Kerang Air Tawar Famili Unionidae (Molusca; Bivalvia) di Beberapa Situ Kabupaten dan Kotamadya Bogor. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor (Tidak dipublikasikan). Rachman B, Yuniarti T, Rojali A, Dimyati. 2007. Pembudidayaan Kerang Mutiara Air Tawar (Margaritifera sp.) di kolam terkontrol. Jurnal Budidaya Air Tawar 4(2):67-75. Rachman B, Winanto T, Maskur. 2006. Pengaruh Berbagai Kedalaman Terhadap Proses Pelapisan dan Implantasi Inti Mutiara Pada Kerang Margaritifera sp. di Kolam Terkontrol. Jurnal Ilmiah Impasja. 2(2):86-95.
93
Rahayu SYS, Duryadi D, Affandi R, Manalu W. 2009. Ekobiologi Kerang Mutiara Air Tawar (Anodonta woodiana, Lea). Omni Akuatika. Jurnal Penelitian Perikanan dan Kelautan 8(2):27-32. Ram JK, Gayatri M. 2003. Homogenic and Xenogenic Implantation in Pearl Mussel Surgery. Central institute of freshwaterAquaculture, Kausalyaganga, Bhubaneswar 751 00, India. Current science 85(6):23-25. Rheichard M, Ondrachora M, Przbylski M, Linsx H, Smith C. 2006. The Cost and Benefit in an Unusual Symbiosis: Experimental Evidence that Bitterly Fish (Rhodeus sericeus) are Parasites of Unionid Mussels in Europe. J.of Evolutionairy 19(3):788-797. Rosas C, Cuzon G, Taboada G. C. Pascual C, Gaxiola G, Wormhoudt A.V. 2001. Effect of dietary protein and energy levels on growth, oxygen consumption, hemolymph and digestive gland carbohydrates, nitrogen excretion and osmotic pressure. Aquaculture Research 32(2):531-547. Rubio HR, Salmon AH, Olivera A, Southgate PC, Dávalos CR. 2006. The influence of culture method and culture period on quality of half-pearls (‘mabé’) from the winged pearl oyster, Pteria sterna Gould,1851. Aquaculture 254(1):269– 274. Salmon AH, Fernandez EM, Southgate PC. 2005. Use of relaxants to obtain saibo tissue from the blacklip pearl oyster.(Pinctada margaritifera) and the Akoya pearl oyster (Pinctada fucata). Aquaculture 246(2):167– 172. Satphaty B, Mukherjee B.D, Ray A.K. 2003. Effect of dietary protein and lipid levels on growth, feed conversion and body composition. Aqua Nutr 9(1): 17-24 Schamphelaere KAC, Koene JM, Heijerick DG, Janssen CR. 2008. Reduction of Growth and Haemolymph Ca Levels in The Freshwater Snail Lymnaea stagnalis Chronically Exposed to Cobalt. Ecotoxicology and Environmental Safety 71(1):65-70. Shirai S. 1981. Pearls. Marine Planning Co. Ltd. Kyoto, Japan. Skinner A, Young M, Hastie L. 2003. Ecology of the Freshwater Pearl Mussel. Conserving Natura 2000 Rivers Ecology Series No. 2 English Nature, Peterborough. Smaal AC, Widdows J. 1994. The scope for growth of bivalves as an integrated response parameter in biological monitoring. In: Kramer, K.J.M. (Ed)., Biomonitoring of coastal waters and estuaries. CRC Press, Boca Raton.
94
Smith DG. 2001. Freshwater Invertebrates of the United States: Porifera to Crustacea, 4th Edition. John Wiley & Sons, Inc., New York. Somanath BA, Palavesam S, Lazarus M, Ayyapan. 2000. Influence of Nutrient Sources on Specific Dynamic Action of Pearl Spot Etroplus suratensis (Bloch.). Naga 23(2):15-17. Soria G, Merino G, Von Brand E. 2007. Effect of increasing salinity on physiological response in juvenile scallop Agropecten purpuratus at two rearing temperatures. J. Aquaculture 70(1):451-463. Strack E. 2006. Perlen (Pearl). Ruhle-Diebener-Verlag, Stuttgart. Sulaiman W. 2004. Analisis REGRESI Menggunakan SPSS. Contoh Kasus dan Pemecahannya. Andi Offset, Yogyakarta. Suwignyo S, Widigdo B, Wardiatno Y, Krisanti M. 2005. Avertebrata Air. Penebar Swadaya. Depok. Taylor JU, Knauer J. 2002. Inducing Pre-Operative Condition in Silver or Gold Lipped Pearl Oyster Pinctada maxima for Pearl Grafting. Abstracts of the SPC Pearl Oyster Information Bulletin (15):20-30. Victor ACC, Jagadis I, Igantius B, Chellam A. 2003. Perspectives and Problems of Commercial Scale Pearl Culture: An Indicative Study at Mandapam Camp, Gulf of Mannar. Abstracts of the First Indian Pearl Congress and Exposition. Central Marine Fisheries Research Institute, Cochin, India. September, 2003. P. 73-75. Wada KT. 1991. The pearl oyster Pinctada fucata (Gold) (Famili Pteridae) in estuarine and marine bivalve culture. CRD Press, Inc. Boston. Chapter 18: 246-258. Winanto T. 2004. Budidaya Mutiara. Petunjuk Pelatihan Ahli Budidaya Tiram Mutiara. Balai Budidaya Laut Lampung. (Tidak dipublikasikan). Winanto T, Soedharma D, Affandi R, Sanusi H. 2009. Pengaruh Suhu dan Salinitas Terhadap Respon Fisiologi Larva Tiram Mutiara Pinctada maxima (Jameson). Jurnal Biologi Indonesia 6(1): 51-69. Wirahadikusumah M. 1985. Biokimia: Metabolisme Energi, Karbohidrat dan Lipid. ITB, Bandung. Wu M, Sally K, Kan M, Xiujun Z, Pei YQ. 2003. The effect of co-cultivation on the pearl yield of Pinctada martensi (Dumker). Aquaculture 221(3):347–356.
95
Yan Z, Fang Z, Ma Z, Deng J, Li S, Xie L, Zhang R. 2007. Biomineralization: Function of calmodulin-like protein in the shell of the pearl oyster. Biochem. Biophys. Acta Gen. Subj. 1770:1338-1344. Zoltan H. 2005. On Experiences in Monitoring Molluscs (Mollusca) in the Area of Duna Drava National Park. Kaposvar. Natura Somogyensis 7:25-34.
97
Lampiran 1A.
Diameter inti (mm) 10 12 Rataan
Laju konsumsi oksigen (mg O 2 g-1 jam-1) A. woodiana yang diimplantasi 0, 2, 4 dan 6 inti per individu dengan diameter 10 dan 12 mm selama pemeliharaan
0 0,189±0,007 0,188±0,007 0,188±0,007a
Jumlah inti/individu 2 4 0,179±0,009 0,167±0,007 0,155±0,004 0,152±0,006 a 0,167±0,144 0,159±0,010b
Rataan 6 0,156±0,005 0,146±0,005 0,151±0,074b
0,172±0,014a 0,160±0,018b
Keterangan: Huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama, menunjukkan adanya perbedaan nyata antar perlakuan (P < 0,05)
98
Lampiran 1B. Analisis varian dan uji Tukey terhadap laju konsumsi oksigen (mg O 2 g-1 jam-) (rataan ± SD) pada berbagai jumlah dan diameter inti.
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Laju_konsumsi_oksigen Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
.004a
7
.001
15.585
.000
Intercept
.643
1
.643
15931.125
.000
Jumlah_inti
.002
3
.001
17.756
.000
Diameter
.002
1
.002
50.456
.000
Jumlah_inti * Diameter
.000
3
7.226E-5
1.792
.189
Error
.001
16
4.033E-5
Total
.648
24
Corrected Total
.005
23
Corrected Model
a. R Squared = ,872 (Adjusted R Squared = ,816)
Multiple Comparisons Laju_konsumsi_oksigen Tukey HSD 95% Confidence Interval
Mean Difference (I) Jumlah_inti
(J) Jumlah_inti
kontrol
jumlah inti 1
.00983
.003667
.070
-.00066
.02032
jumlah inti 2
.01733*
.003667
.001
.00684
.02782
jumlah inti 3
.02567*
.003667
.000
.01518
.03616
kontrol
-.00983
.003667
.070
-.02032
.00066
jumlah inti 2
.00750
.003667
.213
-.00299
.01799
jumlah inti 3
.01583*
.003667
.003
.00534
.02632
kontrol
-.01733*
.003667
.001
-.02782
-.00684
jumlah inti 1
-.00750
.003667
.213
-.01799
.00299
jumlah inti 3
.00833
.003667
.146
-.00216
.01882
kontrol
-.02567*
.003667
.000
-.03616
-.01518
jumlah inti 1
-.01583*
.003667
.003
-.02632
-.00534
jumlah inti 2
-.00833
.003667
.146
-.01882
.00216
jumlah inti 1
jumlah inti 2
jumlah inti 3
(I-J)
Std. Error
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
99
Lampiran 1C. Analisis regresi terhadap laju konsumsi oksigen (mg O 2 g-1 jam-) pada berbagai jumlah inti.
Hubungan antara laju konsumsi oksigen dengan jumlah inti yang diimplantasi 0, 2, 4 dan 6 inti per individu.
100
Lampiran 1D
Metabolisme basal (C-Jg-1jam-1) kijing A. woodiana yang diimplantasi dengan perlakuan 0, 2, 4 dan 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm selama pemeliharaan
Diameter inti (mm) 10 12 Rataan
Metabolisme basal (C-J/g/jam) Jumlah inti/individu 0 2 4 6 0,63±0,02 0,52±0,02 0,56±0,01 0,59±0,03 0,63±0,01 0,48±0,01 0,50±0,01 0,52±0,02 0,63±0,03a 0,50±0,02c 0,53±0,03b 0,55±0,04b
Keterangan: Huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama, menunjukkan adanya perbedaan nyata antar perlakuan (P < 0,05) pada taraf 0,05
Rataan 0,57±0,04a 0,53±0,05b
101
Lampiran 2A Kadar glukosa hemolimf (mg 100 ml-1) kijing A. woodiana yang diimplantasi dengan perlakuan 0, 2, 4 dan 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm selama pemeliharaan
Diameter inti (mm) 10 12 Rataan
Kadar glukosa hemolimf (mg 100 ml-1) Rataan Jumlah inti/individu 0 2 4 6 65,89±2,34 67,00±1,76 68,87±0,48 69,44±0,20 67,80,±1,95a b 65,78±3,89 73,89±2,59 75,11±2,77 76,00±2,19 71,86±4,45 65,83±2,87a 70,61±0,42a 71,48±0,37a 71,38±0,54a
Keterangan: Huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama, menunjukkan adanya perbedaan nyata antar perlakuan (P < 0,05) pada taraf 0,05
102
Lampiran 2B. Analisis varian dan uji Tukey terhadap kadar glukosa hemolimf (mg 100 ml-1) (rataan ± SD) pada berbagai jumlah dan diameter inti.
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Glukosa_hemolimf Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
227.243a
7
32.463
7.571
.000
119839.360
1
119839.360
27949.785
.000
20.695
3
6.898
1.609
.227
196.768
1
196.768
45.892
.000
9.781
3
3.260
.760
.533
Error
68.603
16
4.288
Total
120135.206
24
295.846
23
Corrected Model Intercept Jumlah_inti Diameter Jumlah_inti * Diameter
Corrected Total a.
R Squared = ,768 (Adjusted R Squared = ,667)
Multiple Comparisons Glukosa_hemolimf Tukey HSD 95% Confidence Interval
Mean Difference (I) Jumlah_inti
(J) Jumlah_inti
kontrol
jumlah inti 1
-1.44333
1.195501
.631
-4.86368
1.97702
jumlah inti 2
-2.32167
1.195501
.250
-5.74202
1.09868
jumlah inti 3
-2.22167
1.195501
.284
-5.64202
1.19868
kontrol
1.44333
1.195501
.631
-1.97702
4.86368
jumlah inti 2
-.87833
1.195501
.882
-4.29868
2.54202
jumlah inti 3
-.77833
1.195501
.914
-4.19868
2.64202
kontrol
2.32167
1.195501
.250
-1.09868
5.74202
jumlah inti 1
.87833
1.195501
.882
-2.54202
4.29868
jumlah inti 3
.10000
1.195501
1.000
-3.32035
3.52035
2.22167
1.195501
.284
-1.19868
5.64202
jumlah inti 1
.77833
1.195501
.914
-2.64202
4.19868
jumlah inti 2
-.10000
1.195501
1.000
-3.52035
3.32035
jumlah inti 1
jumlah inti 2
jumlah inti 3
kontrol
(I-J)
Std. Error
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
103
Lampiran 2C. Analisis regresi terhadap kadar glukosa hemolimf (mg 100 ml-1) pada berbagai jumlah inti.
Hubungan antara kadar glukosa hemolimf dengan inti yang diimplantasi 0, 2, 4 dan 6 inti per individu.
104
Lampiran 3A Tingkat konsumsi pakan relatif (%) kijing A. woodiana yang diimplantasi 0, 2, 4 dan 6 inti per individu selama pemeliharaan
Diameter inti (mm) 10 12 Rataan
Tingkat konsumsi pakan relatif (%) Jumlah inti/individu 0 2 4 6 26,89±0,03 21,7±0,01 14,44±0,02 10,99±0,02 26,84±0,01 18,33±0,02 12,43±0,03 8,66±0,02 26,86±0,3a 20,01±1,84b 13,43±1,10c 9,82±1,28d
Rataan 18,50±6,47a 16,56±7,16b
Keterangan: Huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama, menunjukkan adanya perbedaan nyata antar perlakuan (P < 0,05) pada taraf 0,05
105
Lampiran 3B. Analisis varian dan uji Tukey terhadap tingkat konsumsi pakan didekati dengan ISC (%) (rataan ± SD) pada berbagai jumlah dan diameter inti.
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Tingkat_konsumsi_pakan Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
1039.302a
4
259.826
569.885
.000
Intercept
7379.429
1
7379.429
16185.575
.000
Jumlah_inti
1016.720
3
338.907
743.337
.000
22.582
1
22.582
49.529
.000
Jumlah_inti*Diameter
9.781
3
3.260
0.76
0.533
Error
8.663
19
.456
Total
8427.394
24
Corrected Total
1047.965
23
Corrected Model
Diameter
a. R Squared = ,992 (Adjusted R Squared = ,990) Multiple Comparisons Tingkat_konsumsi_pakan Tukey HSD 95% Confidence Interval
Mean Difference (I) Jumlah_inti
(J) Jumlah_inti
kontrol
jumlah inti 1
6.8500*
.38984
.000
5.7538
7.9462
jumlah inti 2
13.4300*
.38984
.000
12.3338
14.5262
jumlah inti 3
17.0400*
.38984
.000
15.9438
18.1362
kontrol
-6.8500*
.38984
.000
-7.9462
-5.7538
jumlah inti 2
6.5800*
.38984
.000
5.4838
7.6762
jumlah inti 3
10.1900*
.38984
.000
9.0938
11.2862
-13.4300*
.38984
.000
-14.5262
-12.3338
jumlah inti 1
-6.5800*
.38984
.000
-7.6762
-5.4838
jumlah inti 3
3.6100*
.38984
.000
2.5138
4.7062
kontrol
-17.0400*
.38984
.000
-18.1362
-15.9438
jumlah inti 1
-10.1900*
.38984
.000
-11.2862
-9.0938
jumlah inti 2
-3.6100*
.38984
.000
-4.7062
-2.5138
jumlah inti 1
jumlah inti 2
jumlah inti 3
kontrol
(I-J)
Std. Error
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
106
Lampiran 3C. Analisis regresi terhadap tingkat konsumsi pakan didekati dengan ISC (%) pada berbagai jumlah inti.
Hubungan antara tingkat konsumsi pakan kijing yang didekati dengan ISC dengan jumlah inti yang diimplantasi 0, 2, 4 dan 6 inti per cangkang.
107
Lampiran 4A Metabolisme rutin (C-J g-1jam-1) kijing A. woodiana yang diimplantasi dengan perlakuan 0, 2, 4 dan 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm selama pemeliharaan
Diameter inti (mm) 10 12 Rataan
0 1,58±0,02 1,58±0,01 1,58±0,10a
Metabolisme rutin (C-J/g/jam) Jumlah inti/individu 2 4 1,48±0,02 1,40±0,03 1,30±0,01 1,25±0,02 1,39±0,02c 1,32±0,02b
Rataan 6 1,32±0,01 1,20±0,01 1,26±0,03b
1,44±0,03a 1,33±0,02b
Keterangan: Huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama, menunjukkan adanya perbedaan nyata antar perlakuan (P < 0,05) pada taraf 0,05
108
Lampiran 4B. Analisis varian dan uji Tukey terhadap metabolisme rutin (C-J g-1jam-1) (rataan ± SD) pada berbagai jumlah dan diameter inti.
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Metabolisme_rutin Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
.063a
4
.016
63.300
.000
Intercept
7.326
1
7.326
29304.600
.000
Jumlah_inti
.051
3
.017
68.200
.000
Diameter
.012
1
.012
48.600
.000
169.792
3
56.597
3,019
0,61
Error
.005
19
.000
Total
7.394
24
.068
23
Jumlah inti*Diameter
Corrected Total
a. R Squared = ,930 (Adjusted R Squared = ,916)
Multiple Comparisons Metabolisme_rutin Tukey HSD 95% Confidence Interval
Mean Difference (I) Jumlah_inti
(J) Jumlah_inti
kontrol
jumlah inti 1
.0700*
.00913
.000
.0443
.0957
jumlah inti 2
.0950*
.00913
.000
.0693
.1207
jumlah inti 3
.1250*
.00913
.000
.0993
.1507
-.0700*
.00913
.000
-.0957
-.0443
jumlah inti 2
.0250
.00913
.058
-.0007
.0507
jumlah inti 3
.0550*
.00913
.000
.0293
.0807
kontrol
-.0950*
.00913
.000
-.1207
-.0693
jumlah inti 1
-.0250
.00913
.058
-.0507
.0007
jumlah inti 3
.0300*
.00913
.019
.0043
.0557
kontrol
-.1250*
.00913
.000
-.1507
-.0993
jumlah inti 1
-.0550*
.00913
.000
-.0807
-.0293
jumlah inti 2
-.0300*
.00913
.019
-.0557
-.0043
jumlah inti 1
jumlah inti 2
jumlah inti 3
kontrol
(I-J)
Std. Error
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
109
Lampiran 4C. Analisis regresi terhadap metabolisme rutin (C-J g-1jam-1) pada berbagai jumlah inti.
Hubungan antara metabolisme rutin dengan jumlah inti yang diimplantasi 0, 2, 4 dan 6 inti per individu.
110
Lampiran 5A Kadar kalsium hemolimf (µg Ca l-1) kijing A. woodiana yang diimplantasi dengan perlakuan 0, 2, 4 dan 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm selama pemeliharaan
Diameter inti (mm) 10 12 Rataan
Kadar kalsium hemolimf (µg Ca l-1) Jumlah inti/individu 0 2 4 6 593,33±1,53 590,33±0,58 474,67±3,21 382,00±1,38 591,00±1,00 485,67±3,05 378,00±8,89 275,67±1,53 592,17±1,72a 538,00±5,73b 426,33±5,32c 328,83±5,89d
Rataan 510,08±9,21a 432,58±1,23b
Keterangan: Huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama, menunjukkan adanya perbedaan nyata antar perlakuan (P < 0,05) pada taraf 0,05
111
Lampiran 5B. Analisis varian dan uji Tukey terhadap kadar kalsium hemolimf (µg Ca l-1) (rataan ± SD) pada berbagai jumlah dan diameter inti.
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Kalsium_hemolimf Type III Sum of Source
Squares
Corrected Model
295676.000a
7
42239.429
1135.214
.000
Intercept
5331722.667
1
5331722.667
143293.778
.000
248258.333
3
82752.778
2224.039
.000
Diameter
36037.500
1
36037.500
968.533
.000
Jumlah_inti * Diameter
11380.167
3
3793.389
101.950
.000
Error
595.333
16
37.208
Total
5627994.000
24
296271.333
23
Jumlah_inti
Corrected Total
df
Mean Square
F
Sig.
a. R Squared = ,998 (Adjusted R Squared = ,997) Multiple Comparisons Kalsium_hemolimf Tukey HSD 95% Confidence Interval
Mean Difference (I) Jumlah_inti
(J) Jumlah_inti
kontrol
jumlah inti 1
54.17*
3.522
.000
44.09
64.24
jumlah inti 2
165.83*
3.522
.000
155.76
175.91
jumlah inti 3
263.33*
3.522
.000
253.26
273.41
kontrol
-54.17*
3.522
.000
-64.24
-44.09
jumlah inti 2
111.67*
3.522
.000
101.59
121.74
jumlah inti 3
209.17*
3.522
.000
199.09
219.24
kontrol
-165.83*
3.522
.000
-175.91
-155.76
jumlah inti 1
-111.67*
3.522
.000
-121.74
-101.59
jumlah inti 3
97.50*
3.522
.000
87.42
107.58
kontrol
-263.33*
3.522
.000
-273.41
-253.26
jumlah inti 1
-209.17*
3.522
.000
-219.24
-199.09
jumlah inti 2
-97.50*
3.522
.000
-107.58
-87.42
jumlah inti 1
jumlah inti 2
jumlah inti 3
(I-J)
Std. Error
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
112
Lampiran 5C. Analisis regresi terhadap kadar kalsium hemolimf (µg Ca l-1) pada berbagai jumlah inti.
Hubungan antara kadar kalsium hemolimf (µg Ca l-1) dengan jumlah inti yang diimplantasi 0, 2, 4 dan 6 inti per individu Model Description Model Name Dependent Variable Equation
1 1 2 3
Independent Variable Constant Variable Whose Values Label Observations in Plots Tolerance for Entering Terms in Equations
MOD_3 Kalsium_hemolimf Linear Quadratic Cubic Jumlah_inti Included Unspecified .0001
113
Model Description Model Name Dependent Variable Equation
1 1 2 3
Independent Variable Constant Variable Whose Values Label Observations in Plots Tolerance for Entering Terms in Equations
MOD_2 Jumlah_inti Linear Quadratic Cubic Diameter Included Unspecified .0001
Contrast Results (K Matrix) Dependent Variable Jumlah_inti Polynomial Contrasta Linear
Kalsium_hemolimf
Contrast Estimate
-202.384
Hypothesized Value
0
Difference (Estimate - Hypothesized) Std. Error
10.437
Sig. 95% Confidence Interval for Difference
-202.384 .000
Lower Bound
-224.311
Upper Bound
-180.456
114
Quadrat Contrast Estimate ic Hypothesized Value
-23.377 0
Difference (Estimate - Hypothesized) Std. Error
10.652
Sig. 95% Confidence Interval for Difference Cubic
-23.377 .042
Lower Bound Upper Bound
Contrast Estimate
-45.757 -.998 18.320
Hypothesized Value
0
Difference (Estimate - Hypothesized)
18.320
Std. Error
10.863
Sig. 95% Confidence Interval for Difference a. Metric = 1.000, 2.000, 3.000, 4.000
.109 Lower Bound
-4.503
Upper Bound
41.143
115
Lampiran 6A Survival rate (%) kijing A. woodiana yang diimplantasi dengan 0, 2, 4 dan 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm selama pemeliharaan
Diameter inti (mm) 10 12 Rataan
0 98,33±2,89 96,67±2,89 97,50±2,74a
Survival rate (%) Rataan Jumlah inti/individu 2 4 6 93,33±2,89 60,00±5,00 50,00±5,00 75,41±21,99a 73,33±2,89 46,67±2,89 36,67±7,64 63,33±24,80b b 83,33±11,25 53,33±8,16 c 43,33±9,30d
Keterangan: Huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama, menunjukkan adanya perbedaan nyata antar perlakuan (P < 0,05) pada taraf 0,05
116
Lampiran 6B. Analisis varian dan uji Tukey terhadap survival (%) kijing (rataan ± SD) pada berbagai jumlah dan diameter inti.
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Survival Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
12148.958a
7
1735.565
92.563
.000
Intercept
114126.042
1
114126.042
6086.722
.000
10978.125
3
3659.375
195.167
.000
1001.042
1
1001.042
53.389
.000
Jumlah_inti * Diameter
169.792
3
56.597
3.019
.061
Error
300.000
16
18.750
Total
126575.000
24
12448.958
23
Jumlah_inti Diameter
Corrected Total
a. R Squared = ,976 (Adjusted R Squared = ,965)
Multiple Comparisons Survival Tukey HSD 95% Confidence Interval
Mean Difference (I) Jumlah_inti
(J) Jumlah_inti
kontrol
jumlah inti 1
12.5000*
2.50000
.001
5.3475
19.6525
jumlah inti 2
42.5000*
2.50000
.000
35.3475
49.6525
jumlah inti 3
52.5000*
2.50000
.000
45.3475
59.6525
*
2.50000
.001
-19.6525
-5.3475
*
2.50000
.000
22.8475
37.1525
*
2.50000
.000
32.8475
47.1525
*
2.50000
.000
-49.6525
-35.3475
*
2.50000
.000
-37.1525
-22.8475
*
2.50000
.005
2.8475
17.1525
*
2.50000
.000
-59.6525
-45.3475
*
2.50000
.000
-47.1525
-32.8475
*
2.50000
.005
-17.1525
-2.8475
jumlah inti 1
kontrol jumlah inti 2 jumlah inti 3
jumlah inti 2
kontrol jumlah inti 1 jumlah inti 3
jumlah inti 3
kontrol jumlah inti 1 jumlah inti 2
(I-J)
Std. Error
-12.5000 30.0000 40.0000 -42.5000 -30.0000 10.0000 -52.5000 -40.0000 -10.0000
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
117
Lampiran 6C. Analisis regresi terhadap survival (%) kijing pada berbagai jumlah inti.
Hubungan antara survival dengan jumlah inti yang diimplantasi selama 9 bulan pemeliharaan
118
Lampiran 7A Laju pertumbuhan bobot rataan harian (%) yang diimplantasi dengan perlakuan jumlah 0, 2, 4 dan 6 inti per individu selama pemeliharaan
Diameter inti (mm) 10 12 Rataan
Laju pertumbuhan bobot rataan harian (%) Jumlah inti/individu 0 2 4 6 1,04±0,02 0,83±0,03 0,66±0,01 0,47±0,01 1,04±0,01 0,51±0,02 0,31±0,03 0,11±0,01 a b c 1,04±0,01 0,67±0,17 0,48±0,19 0,29±0,19d
Rataan 0,75±0,22a 0,49±0,36b
Keterangan: Huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama, menunjukkan adanya perbedaan nyata antar perlakuan (P < 0,05) pada taraf 0,05
119
Lampiran 7B. Analisis varian dan uji Tukey terhadap laju pertumbuhan bobot rataan harian (g) (rataan ±SD) pada berbagai jumlah inti.
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Laju_pertumbuhan_bobot Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
2.234a
4
.558
78.305
.000
Intercept
9.263
1
9.263
1298.728
.000
Jumlah_inti
1.836
3
.612
85.813
.000
.398
1
.398
55.780
.000
225.000
2
112.500
.953
.413
Error
.136
19
.007
Total
11.632
24
2.369
23
Corrected Model
Diameter Jumlah_inti*Diameter
Corrected Total
a. R Squared = ,943 (Adjusted R Squared = ,931)
Multiple Comparisons Laju_pertumbuhan_bobot Tukey HSD 95% Confidence Interval
Mean Difference (I) Jumlah_inti
(J) Jumlah_inti
kontrol
jumlah inti 1
.3700*
.04876
.000
.2329
.5071
jumlah inti 2
.5550*
.04876
.000
.4179
.6921
jumlah inti 3
.7500*
.04876
.000
.6129
.8871
-.3700*
.04876
.000
-.5071
-.2329
jumlah inti 2
.1850*
.04876
.006
.0479
.3221
jumlah inti 3
.3800*
.04876
.000
.2429
.5171
kontrol
-.5550*
.04876
.000
-.6921
-.4179
jumlah inti 1
-.1850*
.04876
.006
-.3221
-.0479
jumlah inti 3
.1950*
.04876
.004
.0579
.3321
kontrol
-.7500*
.04876
.000
-.8871
-.6129
jumlah inti 1
-.3800*
.04876
.000
-.5171
-.2429
jumlah inti 2
-.1950*
.04876
.004
-.3321
-.0579
jumlah inti 1
jumlah inti 2
jumlah inti 3
kontrol
(I-J)
Std. Error
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
120
Lampiran 7C. Analisis regresi terhadap laju pertumbuhan bobot rataan harian (g) pada berbagai jumlah inti.
Hubungan antara laju pertumbuhan bobot rataan harian dengan jumlah inti yang diimplantasi selama 9 bulan pemeliharaan
121
Lampiran 8 Diameter sel batang mantel (µm) dan jarak ruang antar jaringan sel batang mantel kijing dengan perlakuan 2, 4 dan 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm selama awal (0 bulan) dan akhir pemeliharaan (9 bulan) Diameter sel batang mantel (µm)) Kontrol
Diameter
0 bulan 9 bulan
inti
2 inti
10 12
4 4
10
rapat
rapat
rapat
12
rapat
rapat
rapat
4
15
rapat rapat
0 bulan 4 inti
9 bulan 6 inti
2 inti
4 inti
4 4 13 10 4 4 11 9 Jarak ruang antar jaringan sel batang mantel agak rapat agak rapat
kurang rapat kurang rapat
6 inti 8 7 tidak rapat tidak rapat
122
Lampiran 9A Laju pertumbuhan panjang cangkang total rataan harian (%) kijing yang diimplantasi dengan perlakuan 0, 2, 4 dan 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm selama 9 bulan pemeliharaan
Diameter inti (mm) 10 12 Rataan
Laju pertumbuhan panjang cangkang total rataan harian (%) Rataan Jumlah inti/individu 0 2 4 6 0,79±0,01 0,68±0,03 0,63±0,01 0,51±0,02 0,65±0,10a 0,76±0,02 0,45±0,01 0,36±0.01 0,28±0,01 0,46±0,19b a b b c 0,77±0,18 0,56±0,13 0,49±0,15 0,39±0,13
Keterangan: Huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama, menunjukkan adanya perbedaan nyata antar perlakuan (P < 0,05) pada taraf 0,05
123
Lampiran 9B. Analisis varian dan uji Tukey terhadap laju pertumbuhan panjang total rataan harian (cm) (rataan ±SD) pada berbagai jumlah dan diameter inti.
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Laju_pertumbuhan_bobot Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
.683a
4
.171
59.606
.000
Intercept
7.459
1
7.459
2605.288
.000
Jumlah_inti
.466
3
.155
54.258
.000
Diameter
.217
1
.217
75.651
.000
2.333
2
1.167
0.840
0.456
Error
.054
19
.003
Total
8.196
24
.737
23
Jumlah_inti*Diameter
Corrected Total
a. R Squared = ,926 (Adjusted R Squared = ,911)
Multiple Comparisons Laju_pertumbuhan_bobot Tukey HSD 95% Confidence Interval
Mean Difference (I) Jumlah_inti
(J) Jumlah_inti
kontrol
jumlah inti 1
.2100*
.03089
.000
.1231
.2969
jumlah inti 2
.2800*
.03089
.000
.1931
.3669
jumlah inti 3
.3800*
.03089
.000
.2931
.4669
-.2100*
.03089
.000
-.2969
-.1231
jumlah inti 2
.0700
.03089
.142
-.0169
.1569
jumlah inti 3
.1700*
.03089
.000
.0831
.2569
kontrol
-.2800*
.03089
.000
-.3669
-.1931
jumlah inti 1
-.0700
.03089
.142
-.1569
.0169
jumlah inti 3
.1000*
.03089
.021
.0131
.1869
kontrol
-.3800*
.03089
.000
-.4669
-.2931
jumlah inti 1
-.1700*
.03089
.000
-.2569
-.0831
jumlah inti 2
-.1000*
.03089
.021
-.1869
-.0131
jumlah inti 1
jumlah inti 2
jumlah inti 3
kontrol
(I-J)
Std. Error
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
124
Lampiran 9C. Analisis regresi terhadap laju pertumbuhan panjang total rataan harian (cm) pada berbagai jumlah inti.
Hubungan antara laju pertumbuhan panjang total harian dengan jumlah inti yang diimplantasi selama 9 bulan pemeliharaan
125
Lampiran 10A Keberhasilan pelapisan mutiara (%) kijing A. woodiana yang diimplantasi dengan perlakuan 0, 2, 4 dan 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm selama pemeliharaan
Diameter inti (mm) 10 12
Persentase pelapisan mutiara (%) Jumlah inti/individu 2 4 6 81,67±17,56 80,00±17,32 66,67± 5,77 76,67± 5,77 75,00± 0,00 46,67± 5,77
Rataan
79,17±12,01a
77,50±11,29b
Rataan 76,11±14,53a 66,11±15,16b
56,67±12,11c
Keterangan: Huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama, menunnjukkan adanya perbedaan nyata antar perlakuan (P < 0,05) pada taraf 0,05
126
Lampiran 10B. Analisis varian dan uji Tukey terhadap keberhasilan pelapisan mutiara (%) (rataan ± SD) pada berbagai jumlah dan diameter inti.
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Persentase_pelapisan_mutiara Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
2561.111a
5
512.222
4.339
.017
Intercept
91022.222
1
91022.222
771.012
.000
1886.111
2
943.056
7.988
.006
Diameter
450.000
1
450.000
3.812
.075
Jumlah_inti * Diameter
225.000
2
112.500
.953
.413
Error
1416.667
12
118.056
Total
95000.000
18
3977.778
17
Jumlah_inti
Corrected Total
a. R Squared = ,644 (Adjusted R Squared = ,495)
Multiple Comparisons Persentase_pelapisan_mutiara Tukey HSD 95% Confidence Interval
Mean Difference (I) Jumlah_inti
(J) Jumlah_inti
jumlah inti 1
jumlah inti 2
1.67
6.273
.962
-15.07
18.40
jumlah inti 3
22.50*
6.273
.010
5.76
39.24
jumlah inti 1
-1.67
6.273
.962
-18.40
15.07
jumlah inti 3
20.83*
6.273
.016
4.10
37.57
jumlah inti 1
-22.50*
6.273
.010
-39.24
-5.76
jumlah inti 2
-20.83*
6.273
.016
-37.57
-4.10
jumlah inti 2
jumlah inti 3
(I-J)
Std. Error
Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 118,056. *. The mean difference is significant at the ,05 level.
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
127
Lampiran 10C. Analisis regresi terhadap persentase pelapisan mutiara (%) pada berbagai jumlah inti.
Hubungan antara persentase pelapisan mutiara (%) dengan jumlah inti yang diimplantasi 2, 4 dan 6 inti per individu
128
Lampiran 11A Ketebalan lapisan mutiara (µm) kijing A. woodiana yang diimplantasi dengan perlakuan 0, 2, 4 dan 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12mm selama pemeliharaan
Diameter inti (mm) 10 12 Rataan
Ketebalan lapisan mutiara (µm) Jumlah inti/individu 2 4 6 17,00±1,00 9,33±1,53 4,00±1,00 12,67±1,15 5,33±1,53 1,33±0,58 a b 14,83±2,56 7,33±2,58 2,67±1,63c
Rataan 10,11±5,75a 6,44±1,63b
Keterangan: Huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama, menunjukkan adanya perbedaan nyata antar perlakuan (P < 0,05) pada taraf 0,05
129
Lampiran 11B. Analisis varian dan uji Tukey terhadap ketebalan lapisan mutiara (µm) (rataan ± SD) pada berbagai jumlah dan diameter inti.
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Ketebalan_lapisan_mutiara Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
514.944a
5
102.989
74.152
.000
Intercept
1233.389
1
1233.389
888.040
.000
452.111
2
226.056
162.760
.000
60.500
1
60.500
43.560
.000
2.333
2
1.167
.840
.456
Error
16.667
12
1.389
Total
1765.000
18
531.611
17
Jumlah_inti Diameter Jumlah_inti * Diameter
Corrected Total
a. R Squared = ,969 (Adjusted R Squared = ,956)
Multiple Comparisons Ketebalan_lapisan_mutiara Tukey HSD 95% Confidence Interval
Mean Difference (I) Jumlah_inti
(J) Jumlah_inti
jumlah inti 1
jumlah inti 2
7.50*
.680
.000
5.68
9.32
jumlah inti 3
12.17*
.680
.000
10.35
13.98
jumlah inti 1
-7.50*
.680
.000
-9.32
-5.68
jumlah inti 3
4.67*
.680
.000
2.85
6.48
jumlah inti 1
-12.17*
.680
.000
-13.98
-10.35
jumlah inti 2
-4.67*
.680
.000
-6.48
-2.85
jumlah inti 2
jumlah inti 3
(I-J)
Std. Error
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
130
Lampiran 11C. Analisis regresi terhadap ketebalan lapisan mutiara (µm) pada berbagai jumlah inti.
Hubungan antara ketebalan lapisan mutiara dengan inti yang diimplantasi 2, 4 dan 6 inti per individu
131
Lampiran 12. Data kapasitas mutiara yang terbentuk pada cangkang A. woodiana selama 9 bulan pemeliharaan Kapasitas mutiara yang terbentuk pada cangkang A. woodiana selama 9 bulan pemeliharaan Kapasitas lapisan mutiara (mm3) yang terbentuk pada cangkang A. woodiana Diameter 10 mm 2 inti/ 4 inti/ 6 inti/ individu individu individu 853,920 793,086 519,668
Diameter 12 mm 2 inti / 4 inti / 6 inti individu individu /individu 792,218 709,748 280,439
132
Lampiran 13A Kadar kalsium soft tissue (mg 100 g-1) kijing A. woodiana yang diimplantasi dengan perlakuan 0, 2, 4 dan 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm selama pemeliharaan Diameter inti (mm) 10 12 Rataan
Kadar kalsium soft tissue (mg 100 g-1) Jumlah inti/individu 0 2 4 6 422,33±9,71 412,33±4,16 366,67±2,08 281,00±10,53 421,67±4,04 363,33±9,29 249,67±4,93 193,67±4,04 422,00±6,66a 387,83±2,76b 308,17±6,41c 237,33±4,83d
Rataan 370,58±5,86a 307,08±9,42b
Keterangan: Huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama, menunjukkan adanya perbedaan nyata antar perlakuan (P < 0,05) pada taraf 0,05
133
Lampiran 13B. Analisis varian dan uji Tukey terhadap kadar kalsium soft tissue (mg 100 g-1) kijing A. woodiana pada berbagai jumlah dan diameter inti.
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Kalsium_hemolimf Type III Sum of Source
Squares
Corrected Model
151796.625a
7
21685.232
454.141
.000
Intercept
2723634.375
1
2723634.375
57039.463
.000
115820.792
3
38606.931
808.522
.000
27270.042
1
27270.042
571.100
.000
8705.792
3
2901.931
60.773
.000
Error
764.000
16
47.750
Total
2876195.000
24
152560.625
23
Jumlah_inti Diameter Jumlah_inti * Diameter
Corrected Total
df
Mean Square
F
Sig.
a. R Squared = ,995 (Adjusted R Squared = ,993)
Multiple Comparisons Kalsium_hemolimf Tukey HSD 95% Confidence Interval
Mean Difference (I) Jumlah_inti
(J) Jumlah_inti
kontrol
jumlah inti 1
26.33*
3.990
.000
14.92
37.75
jumlah inti 2
106.00*
3.990
.000
94.59
117.41
jumlah inti 3
176.83*
3.990
.000
165.42
188.25
kontrol
-26.33*
3.990
.000
-37.75
-14.92
jumlah inti 2
79.67*
3.990
.000
68.25
91.08
jumlah inti 3
150.50*
3.990
.000
139.09
161.91
-106.00*
3.990
.000
-117.41
-94.59
jumlah inti 1
-79.67*
3.990
.000
-91.08
-68.25
jumlah inti 3
70.83*
3.990
.000
59.42
82.25
kontrol
-176.83*
3.990
.000
-188.25
-165.42
jumlah inti 1
-150.50*
3.990
.000
-161.91
-139.09
jumlah inti 2
-70.83*
3.990
.000
-82.25
-59.42
jumlah inti 1
jumlah inti 2
jumlah inti 3
kontrol
(I-J)
Std. Error
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
134
Lampiran 13C. Analisis regresi terhadap kadar kalsium soft tissue (mg 100 g-1) pada berbagai jumlah inti.
Hubungan antara pertumbuhan kadar kalsium soft tissue dengan jumlah inti yang diimplantasi 0, 1, 2 dan 3 inti per cangkang Model Description Model Name Dependent Variable Equation
1 1 2 3
Independent Variable Constant Variable Whose Values Label Observations in Plots Tolerance for Entering Terms in Equations
MOD_6 Kalsium_soft_tissue Linear Quadratic Cubic Jumlah_inti Included Unspecified .0001
135
Model Description Model Name Dependent Variable Equation
1 1 2 3
Independent Variable Constant Variable Whose Values Label Observations in Plots Tolerance for Entering Terms in Equations
MOD_1 Jumlah_inti Linear Quadratic Cubic Diameter Included Unspecified .0001
Contrast Results (K Matrix) Dependent Variable Jumlah_inti Polynomial Contrasta Linear
Contrast Estimate
-136.437
Hypothesized Value
0
Difference (Estimate - Hypothesized) Std. Error
-136.437 9.114
Sig. 95% Confidence Interval for Difference
Kalsium_soft_tiss ue
.000 Lower Bound
-155.514
Upper Bound
-117.361
136
Quadrat Contrast Estimate ic Hypothesized Value
-22.250 0
Difference (Estimate - Hypothesized) Std. Error
9.114
Sig. 95% Confidence Interval for Difference Cubic
.025 Lower Bound Upper Bound
Contrast Estimate
-3.174 0
Difference (Estimate - Hypothesized) Std. Error
13.901 9.114
Sig.
a. Metric = 1.000, 2.000, 3.000, 4.000
-41.326 13.901
Hypothesized Value
95% Confidence Interval for Difference
-22.250
.144 Lower Bound
-5.175
Upper Bound
32.977
137
Lampiran 14. Data pengukuran parameter fisika dan kimia air kolam pemeliharaan selama 9 bulan Kualitas air Fisika Suhu (oC) Kecepatan arus (cm/det) TSS (mg/l) Kimia pH DO (ppm) Nitrat (ppm) Ca (mg CaCO 3 /l)
Bulan ke 4 5
1
2
3
6
25,10
25,40
25,70
25,60
25,80 24,40 25,90 25,10 25,30
0,25
0,77
0,34
1,00
0,89
29,71
28,83
28,99
29,78
29,67 29,83 29,72 29,95 29,97
6,5 4,69 0,36
7,1 4,77 0,72
6,8 5,23 0,81
6,8 5,32 0,80
6,9 4,89 0,33
6,6 4,90 0,45
6,7 5,12 0,57
6,7 4,33 0,74
6,5 3,59 0,79
6,9
7,0
6,8
7,0
6,9
6,9
7,0
7,0
6,8
0,41
7
0,56
8
0,73
9
0,83
138
Lampiran 15. Data curah hujan dan jumlah hari hujan mulai dari Januari 2009 hingga April 2010 di Cikole, Selabintana, Sukabumi, Jawa Barat Bulan
Tahun
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Januari Februari Maret April
2009 2009 2009 2009 2009 2009 2009 2009 2009 2009 2009 2009 2010 2010 2010 2010
Curah hujan (mm/bulan) 237 329 371 395 266 134 40 64 20 237 201 426 309 97 121 223
Jumlah hari hujan 12 16 21 17 19 14 7 9 12 19 13 14 21 12 16 15
Keterangan : Musim hujan = jumlah curah hujan > 150 mm/bulan diikuti bulan berikutnya; musim kemarau = jumlah curah hujan < 150 mm/bulan diikuti bulan berikutnya minimal selama 3 bulan (Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika, Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor.
139
Lampiran 16. Data analisis plankton di dalam kolam pemeliharaan Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Plankton Fitoplankton Microcystis Anabaena Oscillatoria Merismopedia Charasium Pandorina Coelosphaerium Scenedesmus Pediastrum Spirogyra Zygnema
11. 12. 13. 14. 15.
Zooplankton Keratella Brachionus Cyclops Daphnia Nauplius
Rerata kelimpahan (ind/ml) 5,13 0,55 1,65 1,10 0,55 1,28 8,62 7,52 0,83 0,55 3,85
0,55 1,10 0,92 3,30 0,55
140
Lampiran 17. Data pengukuran kualitas substrat kolam pemeliharaan selama 9 bulan Kualitas substrat
Fisika Tekstur: - Debu (%) - Liat (%) - Pasir (%) Kimia Ca (mgl-1) Mg (mgl-1) Bikarbonat (mgl-1)
1
2
3
Bulan ke 4 5
36 22 42
22 23 55
40 30 30
17 17 66
29 14 57
31 21 44
50,58 16,03 126,5
21,27 24,72 227,7
45,87 18,52 137,4
26,35 26,62 217,9
50,33 17,55 128,6
23,57 21,00 133,4
6
7
8
9
19 15 35
26 27 63
24 25 44
31,44 25,67 42,17 19,11 27,43 25,52 226,7 138,4 156,6
66
Lampiran 18 Matriks rekapitulasi data hasil penelitian pengaruh beban inti mutiara terhadap tingkat stress, respon makankijing, survival dan pertumbuhan A. woodiana. Parameter perlakuan (rataan ± SD
Tingkat stress (rataan ± SD)
Jumlah inti/ individu 0
Diameter inti (mm)
Glukosa hemolimf (mg 100/ml) 65,89±2,34
Tingkat konsumsi O2 (MB)(CJ/ g/jam) 0,63±0,02
10
2
10
67,00±1,76
4
10
6
Tingkat konsumsi pakan (rataan ± SD)
ISC (%)
Laju Pertumbuhan (rataan ± SD) Somatik
Tebal lapisan mutiara (µm)
Survival rate (rataan ± SD) (%)
Bobot soft tissue (%)
Bobot cangkang (%)
Panjang total (%)
26,89±0,03
Tingkat konsumsi O2 (MR)(C-J/ g/jam) 1,58±0,02
0,94±0,02
0,10±0,02
0,79±0,01
-
98,33±2,89
0,53±0,02
21,7±0,01
1,48±0,01
0,75±0,03
0,08±0,03
0,68±0,03
17,00±1,00
93,33±2,89
68,87±0,48
0,56±0,01
14,44±0,02
1,40±0,02
0,61±0,01
0,05±0,01
0,63±0,01
9,33±1,53
60,00±5,00
10
69,44±0,20
0,59±0,03
10,99±0,02
1,32±0,01
0,45±0,01
0,02±0,01
0,51±0,02
4,00±1,00
50,00±5,00
0
12
65,78±3,89
0,63±0,01
26,84±0,01
1,58±0,01
0,93±0,01
0,11±0,01
0,76±0,02
-
96,67±2,89
2
12
73,89±2,59
0,48±0,01
18,33±0,02
1,30±0,02
0,45±0,02
0,06±0,02
0,45±0,01
12,67±1,15
73,33±2,89
4
12
75,11±2,77
0,50±0,01
12,43±0,03
1,25±0,02
0,27±0,03
0,04±0,03
0,36±0.01
5,33±1,53
46,67±2,89
6
12
76,00±2,19
0,52±0,02
8,66±0,02
1,20±0,01
0,09±0,01
0,02±0,01
0,28±0,01
1,33±0,58
36,67±7,64
141