dengan ekspresi licik seorang pemangsa. Selama ini dia telah mempermainkan Tammy. Jika Tammy berpikir bahwa ia telah membodohi dirinya sendiri dengan membocorkan rahasia Persekutuan lantara termakan siasat keperempuanan Tammy, maka gadis itu keliru. Justru dialah jalang bodoh yang pantas dimanfaatkan, persis seperti yang diinginkan Derek. Betapapun, ini adalah cara yang cukup menyenangkan untuk mengakhiri senja. Dan bukankah jalang mungil ini telah sekian lama menyenangkan dirinya? f Tammy berusaha tidak membangunkan Derek saat ia mengumpulkan barangbarang miliknya. Dia harus segera pergi dari sini, tak sabar rasanya untuk kembali ke chateau yang damai kemudian mandi sepuas hati. Tammy bertanya-tanya dalam hati, berapa lama ia harus menggosok tubuhnya agar aroma tubuh lelaki anggota fanatik Persekutuan itu hilang. Tammy bersyukur karena terhindar dari kemungkinan terburuk. Ia sudah memperhitungkan dengan seksama jumlah obat yang ditelan Derek, ditambah pengaruh anggur dan keletihan, menyebabkan Derek tidak sadarkan diri ketika mereka kembali ke kamar hotel. Pada awalnya memang terasa licik. Derek tampak seperti kerbau dicocok hidungnya saat mereka sampai di kamar. Tapi dengan cekatan Tammy mengalihkan perhatiannya ke sesuatu yang menjadi obsesinya: menjatuhkan sang musuh, John Simon Cromwell. Tammy menekankan bahwa dia butuh informasi sebanyak mungkin jika dia dijadikan mitra permainan yang sangat berbahaya itu. Derek menepati janjinya, bahkan lebih. Berbagai dokumen, rahasia, dan gambaran mendetail yang mengejutkan tentang pembunuhan brutal di Marseille beberapa tahun silam, ia ungkapkan. Tammy berusaha sekuat tenaga agar tidak tampak mual saat Derek menceritakan proses eksekusi seorang lelaki Languedoc. Kepala lelaki itu dipenggal dan tubuhnya dimutilasi, telunjuk kanannya dipotong sebagai tanda balas dendam Persekutuan. Informasi tentang tindakan semacam itu sangat dibenci Tammy dalam kondisi apa pun. Apalagi lelaki yang dibunuh itu ia kenal. Dia adalah mantan Pemimpin Utama Perkumpulan Apel Biru. Tammy tak boleh terlihat mengetahui kejahatan yang diceritakan Derek. Ia sudah ekstra hatihati menjaga wajahnya tetap tanpa ekspresi. Tammy merangkak mencari barang-barangnya sambil berusaha menyelinap keluar dari kamar Derek. Tapi ia manbrak lampu meja sehingga menimbulkan bunyi keras. Derek membalikkan tubuhnya mendengar bunyi ini dan Tammy menyumpah-nyumpah dirinya sendiri. “Hei,” gumam Derek, masih mengantuk, “kau mau pergi ke mana?” “Mobil Sinclair sudah menjemputku untuk kembali ke Arques. Aku harus kembali ke sana malam ini untuk makan malam bersama Maureen.” Derek berusaha duduk, memegang kepalanya, lalu mengerang. Dia terjatuh dengan punggung terlebih dahulu dan berkata, “Oh, Maureen. Sial, aku hampir lupa memberitahu.” Tammy menjadi kelu. “Apa?”
“Mungkin dia dalam kesulitan hari ini.” “Kenapa?” “Ia pergi hari ini bersama Jean-Claude de la Motte, bukan?” Tammy mengangguk, berpikir secepat mungkin, berusaha membayangkan maksud pertanyaan itu. Derek berguling dan meregangkan badannya dengan lemas. “Buka matamu. Jean-Claude adalah anggota kelompok kami. Atau seharusnya aku katakan salah seorang di antara mereka. Dia tangan kanan Guru Keadilan yang keras kepala itu sekaligus kepala divisi Perancis. Ia menduduki posisi tersebut sejak kecil. Bahkan nama sebenarnya bukan Jean-Claude, tapi Jean-Baptiste.” Derek berhenti sesaat untuk tertawa atas lelucon kecil ini lalu melanjutkan. “Tapi mungkin ia tidak akan melukainya. Belum. Mereka terlalu bernafsu untuk mengetahui apakah Maureen bisa menemukan harta karun saat dia berada di sini. Dan kita berdua tahu, kemungkinan semacam itu ada batas waktunya.” Kepala Tammy serasa berputar. Dia tidak bisa berpikir bahwa Jean-Claude seorang pengkhianat, tidak secepat ini. Lelaki itu sahabat Sinclair dan Roland sejak lama dan sepertinya mereka memercayainya. Sudah berapa lama penyusupan ini berlangsung? Tapi ada hal lain yang mengganggunya, dan dia harus tahu. Tammy berdoa agar tidak terlihat gemetaran seperti yang sebenarnya ia rasakan. Ia melontarkan pertanyaan sambil berpura-pura tenang. “Berdasarkan sejarah, Dia Yang Dinantikan dihabisi sebelum harta karun itu terungkap. Mengapa kali ini berbeda? Seandainya Jean … Baptiste dan pemimpinmu percaya bahwa Maureen adalah orang dalam nubuat, mengapa mereka tidak segera menyingkirkanya sebelum ia bisa menuntaskan perannya? Seperti yang mereka lakukan terhadap Joan dan Germaine?” Derek menguap. “Sebab mereka ingin gadis itu menunjukkan jalan untuk mendapatkan kitab Magdalena dulu, baru kemudian ia disingkirkan, untuk selamanya. Setelah itu, temanmu akan menjadi sejarah juga sebelum ia sempat menuliskan kejadian tersebut.” “Mengapa kau menceritakan rahasia ini kepadaku?” Tammy hatihati bertanya. “Sebab aku ingin Jean-Baptiste juga hancur bersama pemimpinnya. Dan bisa kubayangkan, jika Pemimpin Agungmu, Sinclair, sadar bahwa ia telah dikelabui, maka dialah yang akan menyingkirkan katak menyusahkan itu bagiku.” Ingin rasanya Tammy berteriak kepada Derek saat itu juga. Berteriak bahwa Sinclair dan anggota perkumpulan lainnya tidak sama dengan Derek dan temanteman Persekutuannya yang penuh kebencian. Tapi Tammy tidak berani mengucapkan sepatah kata pun yang bisa mem bahayakan jiwanya sebelum ia keluar dari pintu dengan selamat. Derek belum selesai. “Omong-omong, jika aku adalah kamu, aku pasti akan mengeluarkan si rambut merah itu dari Languedooc sesegera mungkin.” Tammy berbalik ke arah pintu tapi kemudian berhenti. Ada pertanyaan terakhir
yang harus ia ajukan. Ia harus tahu, seberapa jauh Derek mengelabuinya selama beberapa tahun ini. “Bagaimana perasaanmu tentang semua ini?” tanyanya pelan. “Sama sekali tidak peduli,” jawab Derek, merasa luar biasa bosan dan ingin segera kembali tidur akibat anggurnya. “Walaupun temanmu itu kelihatannya cukup baik, tetap saja dia keturunan Yesus. Jadi dia musuh biologisku. Begitulah. Mungkin kau tidak paham, tapi latar belakang keyakinan kami sangat panjang. Mengenai penemuan gulungan naskah oleh si jalang itu, tampaknya semua orang yakin kali ini bakal terjadi. Sebab temanmu itu cocok dengan seluruh kriteria dalam nubuat. Bukan cuma sebagian saja. Tapi aku sendiri tidak khawatir. Lagi pula, apa masalahnya?” Derek tertawa sejenak lalu berbaring ke samping, bertumpu pada sikunya agar bisa memandang Tammy. “Kautahu, lucunya tidak seorang pun menginginkan isi gulungan kertas itu. Vatikan tidak menginginkan naskah itu karena isinya, tidak juga para pemeluk Kristen pada umumnya. Para sejarawan pun tidak sebab pusaka itu membuat seluruh peneliti ilmiah dan para sarjana Alkitab terlihat seperti sekumpulan idiot. Jadi kemungkinannya musuh kami sendiri yang akan menguburkan naskah itu sebelum masyarakat luas mengetahui isinya. Dengan begitu kami tidak perlu repot-repot mengurusinya begitulah aku melihat persoalan ini.” Derek menguap lagi. Seolah topik itu terlalu menjemukan untuk dibicarakan lebih lanjut, ia kembali membalik punggungnya sambil menambahkan, “Tentu saja, kami benci karena naskah itu memuat berbagai kebohongan tentang Yohanes Pembaptis. Dan karena naskah itu ditulis oleh seorang pelacur.” f Tammy ingin kabur dari hotel, menjauh dari Derek beserta filosofi penuh kebenciannya secepat mungkin. Dia mencengkeram erat telepon selulernya lalu menariknya keluar dari sakunya begitu sudah berada di luar. Tak ada waktu lagi untuk berpikir, tak ada waktu untuk melakukan apa pun selain mencari tahu di mana Maureen sekarang ini. Tammy menekan tombol speed dial ke Roland dan merasa ingin menangis saat mendengar suara pria itu yang menenangkan dengan aksen Occitannya. Hubungan telepon sangat buruk sehingga ia mesti berteriak beberapa kali agar bisa terdengar. “Maureen! Di mana Maureen sekarang, apakah kau tahu?” Sial! Jawaban Roland tak terdengar. Tammy kembaliberteriak. “Apa? Aku tak bisa mendengarmu. Berteriaklah, Roland. Berteriaklah supaya aku bisa mendengarmu.” Roland berteriak. “Maureen. Ada. Di sini.” “Kau yakin?” “Ya. Dia mencarimu tadi, dia….” Hubungan terputus. Itu sudah cukup, pikir Tammy. Aku tak ingin menjelaskan apa pun pada Roland sebelum aku memikirkan semuanya. Selama Maureen aman di Chateau
des Pommes Bleues, berarti ada waktu untuk kembali bersama. Ia akan menemui Sinclair sebelum makan malam untuk menyusun strategi. Tammy mengecek waktu pada telepon selulernya. Dia dijadwalkan bertemu dengan sopirnya kurang dari setengah jam lagi di dekat gerbang kota. Jaraknya sebenarnya tidak begitu jauh dari tempat dia berada saat ini. Tapi Tammy merasa lemas dan tidak yakin apakah ia bisa sampai di tempat itu dengan cepat karena kakinya gemetar. Ia mulai berjalan, mencoba bernapas dengan tenang sambil menimbang-nimbang seluruh informasi mengejutkan dari dan tentang Derek. Saat merasa segalanya mulai terang, Tammy merasa perutnya bergejolak. Dilihatnya taman sebuah kotel kecil di depannya. Tammy berlari dan sampai di rerumputan tepat pada saat ia tak sanggup lagi menahan muntah. Chateau des Pommes Bleues 25 Juni 2005 Maureen merasa sangat bersalah telah mengabaikan Peter. Tapi saat ia kembali setelah bepergian bersama Jean-Claude, Peter entah berada di mana. “Aku tidak melihat Abbe sejak pagi,” Roland memberitahu. “Dia terlambat sarapan, tak lama kemudian ia pergi dengan mobil sewaanmu. Tapi sekarang hari Minggu. Barangkali ia ke gereja? Di daerah ini banyak gereja.” Maureen mengangguk, tidak memikirkan hal itu lebih jauh. Peter lancar berbahasa Prancis, jadi masuk akal jika dia berencana pergi ke keramaian lalu melihat pemandangan kawasan ini yang menakjubkan. Rencananya, ia akan makan malam di chateau bersama Tammy. Sesuatu yang ia tunggutunggu, tapi tanpa melukai perasaan Peter. Maureen bertanya kepada Roland, “Apakah kautahu bagaimana menghubungi Tamara Wisdom? Aku lupa apakah ia mempunyai telepon seluler.” “Oui, dia punya. Aku bisa mengontaknya untukmu sebab aku juga ingin meminta sesuatu kepadanya untuk Lord Berenger. Apakah ada masalah?” “Tidak, aku hanya ingin tahu apakah dia tidak keberatan jika Peter bergabung bersama kami saat makan malam.” “Aku yakin tidak masalah, Mademoiselle Paschal. Dan sejujurnya, aku yakin dia berharap Abbe hadir. Ia memintaku menata makan malam untuk kalian berempat pada jam delapan.” Maureen mengucapkan terima kasih pada Roland dan kembali ke kamarnya. Dia berhenti dulu di depan pintu kamar Peter dan mengetuk tak ada jawaban. Diputarnya pegangan pintu yang mengilat dan didorongnya pintu perlahan hingga terbuka. Maureen menelengkan kepalanya untuk mengintip. Perlengkapan Peter Alkitab bersampul kulit dan rosari kristalnya tergeletak rapi di samping tempat tidur. Tapi Peter tidak ada.
Maureen kembali ke kamarnya yang bagaikan istana lalu mengeluarkan buku catatannya yang bersampul tebal. Ia ingin menuangkan pengalamannya mengunjungi Montsegur saat ingatannya masih segar. Tapi setelah membuka kait elastis buku catatannya dan mulai membuka-buka halaman buku, ia merasa terkejut dengan gambaran lain kemartiran yang melintas di benaknya. f Dalam kunjungannya ke Tanah Suci, Maureen mendaki lereng gunung yang berbatu di kawasan Laut Mati. Ia memanjat bersama beberapa orang pencari spiritual. Ia sendiri tidak tahu pasti, apa yang mendorongnya untuk melakukan pendakian sesulit ini. Bahkan belum lagi siang, panasnya terasa menyengat. Pendaki lain yang menempuh jalur yang sama dengannya pagi itu seluruhnya orang Yahudi. Bagi mereka, perjalanan ini adalah suatu ziarah yang nyata dan menggugah perasaan. Maureen tidak bisa mengklaim bahwa perjalanannya dilandasi alasan warisan atau agama seperti itu. Beberapa kali ia berhenti di jalan yang menanjak untuk mengagumi kilauan cahaya dan warna yang luar biasa indah yang seolah menari-nari di bentang alam yang terang bak bulan dan mencuatkan cahaya kristal garam perairan yang tenang. Pemandangan ini menggugah hatinya, memberinya kekuatan untuk memaksa ototototnya yang sudah loyo untuk menanjak lebih jauh ke atas bukit. Maureen mendengarkan penggalan pembicaraan para peziarah lain saat mereka mendaki. Ia tidak mengerti bahasa Ibrani, tapi semangat mereka menempuh perjalanan ini sungguh nyata. Ia bertanya-tanya, apakah mereka sedang membicarakan para martir Masada yang lebih memilih maut dibandingkan hidup dalam perbudakan atau menyerahkan perempuan dan anakanak mereka dalam perbudakan dan penindasan bangsa Romawi. Sesampainya di puncak, ia mengamati reruntuhan yang dulunya benteng besar. Maureen menelusuri ruangan-ruangan dan dinding-dinding yang telah hancur. Karena wilayah reruntuhan itu sangat luas, segera saja ia mendapati dirinya sendirian, terpisah dari para peziarah lain yang menjelajahi bagian lain situs suci itu dengan alasan masingmasing. Ada kesunyian mencekam di tempat ini. Ada kesenyapan yang tenang bagaikan puing di dalam reruntuhan itu sendiri, yang senyata bebatuan. Ketika menatap lekat reruntuhan mosaik Romawi tersebut, ia merasa larut dalam sensasi. Lalu, ia melihat dirinya. Peristiwa itu terjadi dengan cepat dan tanpa diundang, sebagaimana berbagai visi sebelumnya. Ia tak lagi bisa mengingat kembali bagaimana ia tahu ada seorang bocah perempuan di sana. Ia hanya tahu, ada keberadaan lain di ruangan tersebut. Sekitar sepuluh kaki darinya, seorang anak yang tak lebih dari empat atau lima tahun sedang menatapnya dengan matanya yang bulat dan hitam. Pakaiannya compangcamping dan kotor. Air mata bercampur lumpur melumuri wajahnya. Bocah itu tidak berbicara, tapi dalam momen itu Maureen tahu bahwa namanya Hannah. Dan bahwa ia telah menyaksikan berbagai kejadian yang tidak selayaknya disaksikan seorang anak. Maureen juga tahu bahwa entah dengan cara bagaimana anak itu selamat dari tragedi Masada yang tak terperikan. Anak itu telah pergi dan membawa kisahkisah itu bersamanya. Itulah amanatnya, untuk menyebarkan peristiwa sesungguhnya yang terjadi di sana kepada kaumnya.
Maureen tidak tahu, sudah berapa lama bocah itu berada di hadapannya. Ada kesan, waktu tidak mengada dalam visivisinya. Apakah beberapa menit? Detik? Ataukah abadi? Belakangan Maureen berbincang-bincang dengan salah seorang pemandu wisata dari Israel di Masada. Lelaki tersebut masih muda dan bersikap terbuka. Maureen merasa terkejut sendiri karena menceritakan pengalaman itu kepada lelaki yang belum dikenal. Lelaki itu mengangkat bahu. Menurutnya, menyaksikan hal-hal semacam itu di tempat yang menggugah perasaan bukanlah sesuatu yang tidak wajar atau tidak lumrah. Ia menjelaskan bahwa ada beberapa legenda tentang orangorang yang selamat dari tragedi Masada. Mereka adalah seorang perempuan dan beberapa anak kecil yang kemudian bersembunyi di sebuah gua dan akhirnya melarikan diri, membawa kisah nyata bersama mereka dan mengungkapkannya dengan cara mereka sendiri. Maureen yakin bahwa si kecil Hannah adalah salah seorang di antara anakanak kecil itu. Sejak hari itu, Maureen sering bertanya sendiri, mengapa ia mengalami visi, mengapa kejadian itu menimpanya. Ia merasa tidak layak, tidak pantas mengalami perjumpaan dengan sejarah yang begitu suci bagi masyarakat Yahudi. Tapi setelah pengalamannya di Montsegur, semuanya mulai menyatu membentuk pola yang indah sehingga Maureen akhirnya mulai mengerti. Si kecil Hannah dan gadis Cathar yang dikenal sebagai La Paschalina berkerabat. Setidaknya dalam jiwa, jika bukan hubungan darah. Mereka adalah anakanak yang tertinggal untuk melanjutkan dan menyimpan kisah tersebut bersama mereka, sehingga kebenaran tak akan pernah hilang. Adalah takdir mereka untuk menjadi guru-guru kemanusian paling suci. Gadis-gadis kecil ini, dan siapa pun mereka setelah dewasa, membentuk sejarah dan pertahanan umat manusia. Pengalaman mereka tidak berbatas. Kisah mereka menjadi milik semua orang, tanpa memandang identitas etnis maupun keyakinan keagamaan. Dengan mencamkan hubungan itu, tidak bisakah kita samasama menyadari bahwa pada hakikatnya kita semua berasal dari satu suku? Maureen membisikkan terima kasih kepada Hannah dan La Paschalina setelah ia mengisi buku catatannya. f Tammy berlari menuju chSteat/, berharap tidak bertemu siapa pun sebelum ia membersihkan diri. Ia sangat lelah dan merasa tiap jengkal tubuhnya kotor. Tapi kesendirian tidak bisa diperoleh dengan mudah. Langkahnya terhenti oleh kehadiran Roland sebelum ia sampai di pintu kamar, Roland membukakan pintu baginya lalu ikut masuk. “Apakah kau baikbaik saja?” tanyanya penuh perhatian. “Aku baikbaik saja.” Tammy telah berlatih mengucapkan skenario dalam kepalanya sepanjang perjalanan. Tapi tatapan lelaki Occitan bertubuh besar itu membuat hatinya luluh. Dia merasa begitu lega karena sudah berada di tempat ini. Aman berada di rumah dan aman bersamanya, sehingga ia menjatuhkan dirinya ke tubuh kukuh Roland dan menangis. Roland terpana. Belum pernah ia menyaksikan kerapuhan perempuan ini. “Tamara, apa yang telah terjadi? Apakah dia menyakitimu? Kau harus menceritakannya
padaku.” Tammy berusaha menenangkan diri. Ia berhenti menangis dan menatap Roland. “Tidak, ia tidak menyakitiku. Tapi…” “Tapi apa, apa yang terjadi?” Tammy menjulurkan tangan menyentuh wajah Roland, wajah persegi dan maskulin yang mulai ia cintai. “Roland,” bisiknya. “Roland … kau benar tentang siapa yang telah membunuh ayahmu. Dan sekarang aku pikir kita bisa membuktikannya.” … Easa adalah putra yang disebutkan dalam nubuat, semua orang sudah mengetahuinya. Dan nubuat itu melahirkan pula sebuah takdir yang mesti dilakoni dengan cara yang tepat. Easa telah melakoninya. Bukan demi kejayaan pribadi, namun untuk membuat peranannya sebagai mesias lebih mudah dipahami dan diterima o/eh baniIsrael. Semakin tepat Easa menjalaniperannnya dalam nubuat, semakin kuat umat sepeninggalnya. Namun bahkan dengan itu semua, kami tak pernah menduga kejadiannya akan seperti ini Easa memasuki Yerusalem berkendara keledai seraya hendak memenuhi perkataan nabi Zakaria tentang kedatangan seseorang yang terpilih. Kami mengikutinya dengan membawa dedaunan palma dan menyanyikan hosamia. Kerumunan orang bergabung bersama kami saat memasuki Yerusalem, dan perasaan gembira serta harapan terasa di udara. Banyak yang mengikuti kami berasal dari Bethany, dan kami bertemu dengan para sekutu Simon, kaum Zebt. Bahkan beberapa wakil dari kaum pergerakan Esmiyang mmymdmtekhimnmggalkkmiadangpasa tempat mereka menyepi untuk menemani kami dalam hari kegemilangan ini Kanakkanak Israel bergembira karena manusia pilihan telah datang untuk membebaskan mereka dari Roma dan belenggu penindasan, kemiskinan, serta penderitaan. Anak yang telah dinuhuatkan ini kini tumbuh menjadi seorang lehki dan mesias. Ada kekuatan dalam dada kami. juga dalam jumlah kami. INJIL ARQUES MARIA MAGDALENA KITAB MASA KEGELAPAN Tiga Belas Chateau des Pommes Bleues 25 Juni 2005 Makan malam di chateau selalu bukan perkara sederhana jika ada tamu, seperti malam ini. Berenger Sinclair telah mempersiapkan staf dapur dan staf gudang bawah tanah tempat penyimpanan anggurnya untuk menyajikan sebuah pesta jamuan bergaya abad pertengahan dan era kemerosotan ala Languedoc. Percakapan yang terjadi pun sama liarnya. Tammy mengerahkan daya tariknya dengan kepercayaan diri yang layak diberi penghargaan Oscar. Ia tampak natural dengan sikap blak-blakan yang memang ciri khasnya. Dengan tenang, Maureen menikmati perdebatan antara Sinclair dan Tammy di satu pihak dengan Peter di pihak lain, karena tahu sepupunya memiliki pengetahuan yang sangat luas dalam topik teologi. Maureen yakin akan hal ini berdasarkan pengalamannya sendiri. Sinclair memulai dengan sebuah umpan. “Berdasarkan sejarah, kita tahu bahwa
Perjanjian Baru seperti yang ada saat ini dibentuk di Konsili Nicea. Kaisar Constantine dan penasihatnya memiliki banyak injil yang bisa dipilih, tapi mereka hanya memilih empat. Keempat injil itulah yang diubah secara dramatis. Tindakan penyensoran ini telah mengubah sejarah.” “Mau tak mau kita berpikir, bagian mana dari injil itu yang ia sembunyikan,” celetuk Tammy. Peter sama sekali tidak merasa terganggu dengan argumen yang telah didengarnya ratusan kali. Ia membuat terkejut kedua lawan bicaranya yang menyangka ia akan melontarkan bantahan. “Jangan berhenti di situ. Ingat, kita bahkan belum tahu pasti, siapa yang menulis keempat Injil tersebut. Bahkan sebenarnya satusatunya hal yang kita yakini adalah bahwa keempatnya tidak ditulis oleh Matius, Markus, Lukas dan Vohannes. Akan tetapi kemungkinan para pewarta Injil sekitar abad kedua, meski sebagian orang mengatakan kemungkinan ini kecil. Dan meskipun dokumentasi yang tersedia di Vatikan sangat mengagumkan, kita tidak bisa menyatakan dengan pasti dalam bahasa apa I n j i Ii n j i I yang asli dituliskan.” Tammy tampak kaget. “Aku pikir ditulis dalam bahasa Yunani.” Peter menggelengkan kepala. “Versi paling awal memang berbahasa Yunani, tapi mungkin itu hasil terjemahan. Singkatnya, kita tidak bisa memastikan.” “Mengapa kita mempermasalahkan bahasa asli?” tanya Maureen. “Maksudku, selain masalah salah penerjemahan.” “Sebab bahasa yang asli adalah indikasi pertama identitas penulis dan tempatnya,” jelas Peter. “Sebagai contoh, jika I nj i II n j i I asli ditulis dalam bahasa Yunani, berarti penulisnya memiliki unsur Hellenik pengaruh Yunani yang terjaga di kalangan elit, berpengetahuan luas, dan terpelajar. Berdasarkan tradisi, kita tidak menganggap para rasul termasuk golongan ini. Karena itulah dugaan kita bergeser ke bahasa daerah yang umum semacam Aramaik atau Ibrani. Kalaupun kita yakin bahwa Injil yang asli ditulis dalam bahasa Yunani, maka kita harus meneliti dengan cermat pernyataan kitab ini tentang para pengikut awal Yesus.” “Injil Gnostik yang ditemukan di Mesir ditulis dalam bahasa Kupti,” tambah Tammy. Dengan lembut Peter mengoreksi. “Memang ada beberapa teks berbahasa Kupti, tapi kebanyakan adalah terjemahan dari versi aslinya yang ditulis dalam bahasa Yunani.” “Jadi apa maknanya?” tanya Maureen. “Yah, kita tidak mengenal satu pun pengikut sejati Yesus yang berasal dari Mesir. Artinya, ada sebagian orang yang menjalankan misi awal kependetaannya ke Mesir dan agama Kristen awal berkembang di sana. Itulah yang disebut Kristen Kupti.” “Lalu itu?” untuk hanya
adakah sesuatu yang kita ketahui dengan pasti menyangkut keempat Injil Maureen penasaran. Selama melakukan riset, ia tidak memiliki banyak waktu menggali berbagai isu seputar Perjanjian Baru secara mendalam. Risetnya terfokus pada sejumlah uraian yang berkaitan dengan Maria Magdalena.
Peter menjawab. “Kita tahu Markus muncul paling awal, diikuti Matius yang nyaris merupakan duplikatnya karena hampir enam ratus ayat yang ia tulis sama persis dengan yang ditulis Markus.
Lukas juga sangat mirip, meski ada beberapa pandangan baru yang tidak terdapat dalam Markus maupun Matius. Sedangkan Injil Yohannes adalah yang paling penuh teka teki dibandingkan keempat Injil karena perbedaan yang sangat mencolok baik secara politis maupun sosial.” “Aku tahu ada golongan yang bahkan percaya bahwa Maria Magdalena adalah penulis Injil keempat, yakni Injil yang dinisbahkan kepada Yohannes,” Maureen menambahkan. “Aku mengetahuinya dari seorang sarjana cerdas yang aku wawancarai saat melakukan riset. Bukan berarti aku setuju dengannya, tapi kupikir ide tersebut menakjubkan.” Sinclair menggelengkan kepala dan menjawab dengan tegas. “Tidak, menurutku itu tidak benar. Injil Maria masih berada di luar sana, menunggu untuk ditemukan.” “Injil keempat adalah misteri besar dalam Perjanjian Baru,” kata Peter. “Ada banyak teori tentang hal ini, termasuk teori komite: bahwa Injil ditulis oleh beberapa orang selama kurun waktu tertentu dalam suatu usaha menyampaikan berbagai kejadian selama hidup Yesus dengan cara yang spesifik.” Tammy menyimak ucapan Peter dengan penuh minat. “Tapi rasanya banyak umat Kristen tradisional yang menulikan telinga dan mengabaikan fakta-fakta ini,” tanggapnya. Ia memang sangat bergairah dengan topik ini dan telah bertahuntahun terlibat dalam argumentasi dalam ranah yang sama. “Mereka tak mau tahu tentang sejarah. Mereka cuma memercayai segala yang dikatakan Gereja secara membabi buta. Atau yang dikatakan pendeta.” Peter menanggapi dengan sabar. “Tidak, tidak. Kau tidak menangkap kenyataannya. Itu bukan sikap membabi buta, tetapi keimanan. Bagi orangorang yang beriman, fakta tidak penting. Tapi jangan membuat kesalahan yang umum dilakukan dengan mengacaukan antara iman dengan kebodohan.” Sinclair tertawa sinis. “Aku sangat serius,” Peter melanjutkan. “Orang yang beriman yakin bahwa Perjanjian Baru terilhami secara ilahiah. Karena itu tidak penting siapa yang sesungguhnya menulis atau dalam bahasa apa. Para penulisnya pun mendapat ilham dari Tuhan untuk menuliskannya. Dan siapa pun yang mengambil keputusan untuk menyunting I n j i Ii n j i I tadi di Konsili Konstantinopel maupun Nicea, mereka pun telah mendapat ilham untuk melakukannya. Dan seterusnya, dan seterusnya. Ini adalah persoalan iman, jadi tak ada ruang untuk sejarah. Kita juga tidak bisa mendebatnya. Iman tidak bisa diperdebatkan.” Tak seorang pun menjawab. Mereka menunggu ucapan Peter selanjutnya. “Apakah kalian pikir aku tidak tahu sejarah Gerejaku sendiri? Aku tahu, itulah sebabnya riset yang dilakukan Maureen dan segala pendapatmu tidak membuatku terganggu sama sekali. Dan omong-omong, apakah kalian sadar bahwa sebagian ilmuwan bahkan yakin bahwa Injil Lukas ditulis oleh seorang perempuan?” Sekarang giliran Sinclair yang terlihat kaget. “Benarkah? Aku belum pernah mendengarnya. Dan ide itu tidak membuatmu tersinggung?”
“Tidak sama sekali,” jawab Peter. “Peran penting perempuan di masa awal gereja, begitu juga dalam kesinambungan iman Kristiani, adalah sesuatu yang tidak dapat kita sangkal. Bagaimana kita mau menyangkal, jika kita mengingat perempuan agung seperti Clare dari Assisi, yang terus menjaga kesatuan gerakan Fransiskan setelah Fransis meninggal di usia muda.” Peter menatap wajah Sinclair dan Tammy yang terpana. “Maaf karena aku telah merusak argumentasi yang sangat baik. Tapi aku setuju dengan gagasan bahwa Maria Magdalena layak mendapat gelar Rasul dari segala Rasul.” “Kau setuju?” Tammy tercengang. “Tentu saja. Dalam kitab Acts, Lukas menjelaskan beberapa syarat untuk menjadi seorang rasul: orang yang bersangkutan harus menjadi bagian kependetaan Yesus semasa hidupNya, harus menjadi saksi saat penyali-banNya, dan menjadi saksi saat kebangkitanNya. Sekarang, jika kita ingin benarbenar tekstual, maka hanya ada satu orang yang memenuhi semua persyaratan tadi dan dia adalah Maria Magdalena. Tak seorang pun rasul pria yang menyaksikan penyaliban, meskipun ini memalukan. Dan Maria Magdalena juga orang pertama yang kepadanya Yesus menampakkan diri saat Dia bangkit.” Maureen berusaha keras tidak tertawa saat melihat ekspresi wajah Sinclair dan Tammy. Mereka terperangah dengan demo intelek dan kepribadian Peter. Peter melanjutkan. “Maka secara teknis, selain Magdalena, orang yang memenuhi gambaran rasul seperti yang disebutkan di atas adalah Maria-Maria yang lain -Maria Perawan, juga Maria Salome dan Maria Yakub, karena keduanya hadir saat peristiwa penyaliban dan berada di makam pada hari kebangkitan.” Ketika Peter menatap Maureen, gadis itu tak tahan lagi. Tawanya meledak ke seisi ruangan. “Kenapa?” tanya Peter tersinggung. “Maaf,” kata Maureen, sambil berkelit dengan meneguk anggurnya. “Hanya saja Peter memang cenderung membuat orang terkejut, dan aku selalu terhibur menyaksikannya.” Sinclair mengangguk. “Kuakui kau memang tidak seperti yang kami duga, Bapa Healy.” “Dan apa dugaanmu, Lord Sinclair?” tanya Peter. “Mmm, maaf saja karena aku mengira akan menemui seorang anjing penjaga Roma. Seseorang yang tenggelam dalam dogma dan doktrin.” Peter tertawa. “Ah, tapi Lord Sinclair, kau melupakan satu hal yang sangat penting. Aku bukan hanya seorang pendeta, tetapi juga seorang Yesuit. Ditambah lagi seorang Irlandia.” “Salut, Bapa Healy.” Sinclair mengangkat gelas untuk Peter. Gereja Peter, Society of Jesus, yang lebih dikenal sebagai kaum Yesuit, memfokuskan diri pada pendidikan dan tujuan kecendekiawanan. Meski merupakan unit gereja terbesar dalam Katolisisme, kelompok konservatif dalam Gereja Katolik Roma biasanya memandang mereka memiliki hukum sendiri dan ini telah berlangsung selama ratusan tahun. Mereka dijuluki “serdadu Paus,” meski beredar pula isu bahwa kaum Yesuit memilih pemimpin dari ordo mereka sendiri dan patuh pada Roma hanya sebatas formalitas dan seremonial.
Sekarang Tammy merasa penasaran. “Apakah pendeta-pendeta di gerejamu juga berpendapat begitu? Maksudku, tentang peran wanita.” “Tidak bijak jika kita memukul rata,” jawab Peter. “Seperti yang dikatakan Maureen, masyarakat cenderung menyamaratakan pendeta seolah kami semua berpikir dengan otak yang sama. Ini tentu saja tidak benar. Pendeta juga manusia, dan banyak di antara kami yang sangat cerdas, berpendidikan tinggi, juga berkomitmen dalam hal keimanan. Tiap orang menarik kesimpulannya sendiri. “Tapi ada sesuatu yang perlu kita bicarakan secara panjang lebar menyangkut Maria Magdalena dan keakuratan keempat Injil. Para rasul pria tentunya malu karena Yesus ternyata memercayakan keseluruhan misiNya kepada perempuan, apa pun kedudukannya dalam kehidupan dan gerejaNya. Dia tetap seorang perempuan yang hidup pada masa ketika kaumnya dianggap tidak setara dengan lelaki. Jadi para pewarta Injil terpaksa menulis uraian tentang dia karena itulah kebenaran, betapapun memalukannya. Karena sekalipun mereka bermainmain dengan fakta lainnya, mereka tidak akan mengubah bagian paling penting dalam kebangkitan Yesus bahwa Dia muncul pertama kali kepada Maria Magdalena. Dia tidak menampakkan diri kepada rasul pria, tetapi kepada wanita ini. Jadi aku yakin para penulis Injil tidak memiliki pilihan selain menuliskan kejadian itu. Sederhana saja, karena memang itulah kebenarannya.” Kekaguman Tammy terhadap Peter bertambah. Perasaan ini tampak di wajahnya yang ekspresif. “Jadi apakah kau bersedia menggali kemungkinan bahwa Maria Magdalena adalah murid yang paling penting? Atau bahkan lebih dari itu?” Peter memandang lurus ke Tammy, kali ini teramat serius. “Aku bersedia menggali apa pun yang dapat membawa kita kepada pemahaman yang jujur tentang kebenaran Yesus Kristus, Tuhan dan Juru Selamat kita.” f Itulah petang yang mengesankan bagi Maureen. Peter adalah penasihat terpercayanya, tapi ia juga mulai mengagumi Sinclair dan menganggapnya memesona. Melihat sepupunya memiliki kesepahaman dengan lelaki Skotlandia yang eksentrik itu, ia merasa sangat lega. Barangkali sekarang mereka bisa bersamasama mencari jawaban atas berbagai visi yang dialaminya. Di akhir acara makan malam itu, Peter menyatakan lelah dan mengundurkan diri karena telah seharian menelusuri kawasan itu sendirian. Tammy mengatakan ingin melanjutkan pekerjaan dokumentasinya dan juga pamit. Tinggallah Maureen dan Sinclair. Dipengaruhi anggur yang baru diminumnya dan percakapan tadi, ia memojokkan Sinclair. “Kupikir sekaranglah saatnya kau menepati janji, ” katanya. “Janji apa?” “Aku ingin melihat surat ayahku.” Sinclair mempertimbangkan permintaan itu. Meski sekilas terlihat enggan, ia memutuskan. “Baiklah. Ikuti aku.”
f Sinclair berjalan di depan Maureen melewati koridor yang berbelok-belok menuju sebuah ruangan terkunci. Setelah mengeluarkan kunci dari saku, ia membuka pintu dan mempersilakan Maureen memasuki ruang kerja pribadinya. Sinclair menekan sebuah tombol di sebelah kanan di dalam ruangan itu untuk menerangi sebuah lukisan besar pada dinding di ujung ruangan. Maureen terkesima, lalu menjerit gembira. “Cowper! Itu lukisanku!” Sinclair tertawa. “Lucretia Borgia Reigns in the Vatican in the Absence of Pope Alexander VI (Kepemimpinan Lucretia Borgia di Vatikan Saat Absennya Paus Alexander VI). Aku akui, lukisan ini aku miliki setelah membaca bukumu. Memang perlu tawar-menawar untuk mendapatkannya dari Tate, tapi aku bukan orang yang pantang menyerah jika menginginkan sesuatu.” Maureen mendekati lukisan tersebut dengan khidmat dan kagum akan keindahan dan warna yang digunakan seniman Inggris awal abad ke-20, Frank Cardogan Cowper. Lukisan itu menggambarkan penobatan Lucrezia Borgia di Vatikan, dikelilingi kemewahan kerumunan kardinal berjubah merah. Maureen pertama kali melihatnya di bekas rumah lukisan itu, Museum Tate, London. Lukisan itu menyentaknya bagaikan petir. Bagi Maureen, lukisan tunggal ini sudah cukup menjelaskan pembunuhan karakter yang dialami putri Paus ini ratusan tahun lalu. Perempuan yang mendapat berbagai julukan paling menjijikkan, di antaranya pembunuh dan pelacur yang melakukan inses. Lucrezia Borgia dikutuk para lelaki ahli sejarah abad pertengahan karena dianggap lancang menduduki singgasana Santo Petrus dan mengeluarkan instruksi kepausan selama ketidakhadiran sang ayah. “Lucrezia adalah kekuatan yang mendorongku menulis buku. Jalan hidupnya mengisahkan perempuan yang kekuatan sejatinya dilecehkan dan dicabut dari sejarah,” Maureen menjelaskan pada Sinclair. Riset Maureen mengungkapkan bahwa tuduhan inses itu dilancarkan oleh suami pertama Lucrezia, seorang lelaki kasar yang hidupnya hancur setelah pernikahan mereka bubar. Dialah yang menyebarkan gosip bahwa Lucrezia ingin bercerai karena memiliki hubungan seksual dengan ayah dan saudara lelakinya sendiri. Dusta busuk ini bertahan berabadabad, dilestarikan oleh para musuh yang dengki terhadap keluarga Borgia. “Kautahu, mereka dari garis darah itu?” “Keluarga Borgia?” Maureen tak percaya. “Dari mana?” “Dari jalur Sarah-Tamar. Leluhur mereka adalah keluarga Cathar yang melarikan diri ke Spanyol. Mereka mencari perlindungan di biara Montserrat dan akhirnya berbaur dengan Aragon. Di sana mereka menggunakan nama Borgia, sebelum berimigrasi ke Italia. Tapi mereka memilih negara itu bukannya tanpa sebab, begitu juga dengan ambisi mereka yang melegenda. Rodrigo Borgia berkeras memegang tampuk kepemimpinan, untuk merestorasi Roma kepada mereka yang dipercayainya sebagai pemimpin yang sah.”
Maureen menggelenggelengkan kepala saking terkejut, Sinclair melanjutkan penjelasannya. “Penempatan sang putri di tampuk kepemimpinan menjadi pertanda bahwa beliau keturunan Cathar. Tentu saja, dalam JalanNya, wanita sejajar dengan pria, dalam segala hal, termasuk kepemimpinan spiritual. Cesare kemudian mengeluarkan pernyataan yang mengakibatkan jatuhnya sang putri. Sedihnya, sejarah kini hanya mengingat keluarga Borgia sebagai orangorang jahat dan licik.” Maureen sependapat. “Beberapa penulis bahkan melangkah terlalu jauh dengan menyebut mereka sebagai keluarga pertama yang melakukan kejahatan terorganisasi. Ini jelas sangat tidak adil.” “Tentu saja, belum lagi pendapat itu keliru seratus persen.” “Informasi tentang garis darah ini …” Maureen masih menyerap semua informasi itu. “Tentu menambah lapisan baru dalam sejarah.” “Punya bayangan untuk kisah berikutnya?” canda Sinclair. “Aku merasa riset dua dasawarsaku setidaknya membawa hasil. Aku terpesona. Tak sabar rasanya untuk melihat ujung dari semua ini.” “Ya, tapi sebelum itu kupikir sekaranglah saatnya menengok ke babak kehidupanmu sendiri.” Maureen merasa tegang. Sekian lama ia memohon kepada Sinclair untuk mendapat kesempatan ini, bahkan memaksanya. Inilah alasan utamanya datang ke Prancis. Tapi sekarang, ia tak lagi yakin apakah ia benarbenar ingin mengetahuinya. “Apakah kau baikbaik saja?” kecemasan Sinclair terdengar tulus. Maureen mengangguk. “Aku baikbaik saja. Hanya saja, sekarang, setelah aku sampai pada momen ini … aku merasa gugup, itu saja.” Sinclair memberi isyarat ke arah kursi dan Maureen duduk, dengan rasa bersyukur. Ia membuka lemari arsip dengan kunci yang lain lalu mengeluarkan sebuah map, sambil berjalan ia menerangkan. “Aku menemukan surat ini dalam arsip kakekku beberapa tahun lalu. Saat aku mempelajari hasil kerjamu dan melihat foto dan cincin yang kau kenakan, seolah ada alarm berbunyi di kepalaku. Aku sudah mengenal keturunan-keturunan Paschal di Prancis ini, tapi aku juga ingat bahwa dulu ada seseorang Amerika bernama Paschal yang adalah orang penting. Aku tidak ingat mengapa, sampai aku menemukan surat ini.” Sinclair menempatkan map itu dengan lembut di depan Maureen lalu membukanya dan mengeluarkan selembar kertas kekuningan dengan tinta yang sudah buram. “Apakah kau ingin membacanya sendirian?” Maureen memandang lelaki itu tapi yang ia lihat di wajah itu hanya pengertian
dan ketenangan. “Tidak. Temanilah aku.” Sinclair mengangguk, menepuk lembut tangannya, lalu duduk di kursi berseberangan dengannya. Maureen mengambil kertas itu dan mulai membaca. “Monsieur Gelis yang terhormat,” demikian awal surat itu. “Gelis?” tanya Maureen. “Kupikir surat ini ditujukan kepada kakekmu.” Sinclair menggelengkan kepala. “Tidak, surat itu berada di kumpulan arsip kakekku, tapi ditujukan kepada seorang penduduk di sini yang berasal dari sebuah keluarga tua Cathar yang bernama Gelis.” Maureen berpikir sesaat, sepertinya ia pernah mendengar nama itu tapi tidak membuang waktu lebih banyak untuk mengingatnya. Perhatiannya tercurah pada isi surat itu. Monsieur Gelis yang terhormat, Maafkan saya, tapi tak ada iagi yang bisa saya jadikan tempat mengadu. mendengar kabar bahwa Anda memiliki pengetahuan luas tentang persoalan Bahwa Anda seorang Kristen sejati. Saya harap berita ini benar. Selama bulan, saya merasa tersiksa karena berbagai mimpi buruk dan visi Tuhan disalib. Ia mengunjungi saya dan membagi deritanya kepada saya.
Saya rohani. beberapa Kita yang
Tapi saya tidak menulis demi diri sendiri. Saya menulis demi putri kecil saya, Maureen. Ia menjeritjerit di malam hari dan menceritakan mimpi buruk yang sama seperti yang saya alami. Ia masih balita. Bagaimana pengalaman semacam ini menimpanya ?Adakah sesuatu yang bisa saya lakukan untuk menghentikan kejadian ini sebelum ia merasakan kepedihan seperti yang saya rasakan? Saya tak tahan melihatnya seperti ini. Ibunya menyalahkan saya. Ia mengancam akan membawa jantung hati saya bersamanya. Tolonglah saya. Katakanlah apa yang bisa saya lakukan untuk menyelamatkan gadis kecil saya. Terima kasih banyak, Edouard Paschal Maureen tak lagi bisa melihat karena air mata yang menggenang saat meletakkan surat itu, ia membiarkan dirinya terisak-isak. f Sinclair menawarkan diri untuk tetap menemani Maureen, tapi gadis itu menolak. Maureen terguncang hingga ke lubuk hati, ia ingin sendirian. Terlintas dalam pikirannya untuk membangunkan Peter, tapi niat ini diurungkan. Dia perlu memikirkannya dulu. Dan tanpa sengaja Peter telah mengatakan bahwa ia “berjanji kepada ibunya untuk tak membiarkan hal yang sama terjadi”. Ucapan ini membuat Maureen curiga dan tidak nyaman. Selama ini Peter selalu menjadi tempatnya bersandar. Ia adalah lelaki yang memberikan rasa aman. Maureen terang-terangan menunjukkan keyakinannya bahwa Peter tak akan pernah melakukan sesuatu yang ia pikir bukanlah hal terbaik bagi keamanan Maureen. Tapi bagaimana jika Peter bekerja berdasarkan informasi yang salah? Pemahaman Peter tentang masa kecil Maureen, yang tak pernah mau ia ungkapkan dalam kondisi apa pun, berasal dari satu sumber, ibu Maureen.
Ibunya. Maureen duduk di ranjang berpegas, sedikit bersandar pada bantal berbordir. Bernadette Healy adalah seorang perempuan keras dan tak kenal kompromi, atau begitulah seingat Maureen. Satusatunya petunjuk bahwa mungkin dulu ia memiliki kepribadian berbeda berasal dari beberapa lembar foto. Maureen memiliki beberapa foto ibunya di Louisiana, sedang menggendong dirinya saat masih bayi. Bernadette terlihat bercahaya di hadapan kamera, tampak bangga sebagai seorang ibu baru. Tidak jarang Maureen bertanya-tanya peristiwa apakah yang telah mengubah Bernadette, yang membuatnya berpaling dari sosok seorang ibu belia dan penuh harap dalam foto-foto itu menjadi seseorang yang sangat tegas seperti yang ia ingat? Ketika mereka pindah ke Irlandia, Maureen dibesarkan terutama oleh bibi dan pamannya orangtua Peter. Ibunya menitipkan Maureen di tempat aman dan terpencil di komunitas peternakan Irlandia Barat, sementara Bernadette sendiri kembali menjadi perawat di kota Galway. Maureen jarang melihat ibunya, hanya saat Bernadette kembali ke desa itu karena tugas atau kewajiban. Hubungan mereka semakin kaku karena sang ibu semakin lama semakin asing di mata putrinya. Maureen merasa keluarga Peter seperti keluarganya sendiri dan menyatu dalam kehangatan keluarga besar dan ramai itu. Bibi Ailish, ibu Peter, mengisi peran seorang ibu bagi Maureen. Gadis ini memperoleh sikap hangat dan selera humor berkat pengaruh keluarga Peter. Sedangkan kecenderungan menutup diri, teratur, dan berhati-hati ia warisi dari ibunya. Pada beberapa kejadian, biasanya setelah kunjungan Bernadette yang kurang menyenangkan, Ailish mendekati keponakannya. “Jangan menghakimi ibumu, Maureen,” katanya penuh kesabaran. “Bernadette mencintaimu. Mungkin kehancurannya disebabkan rasa cintanya yang sangat besar kepadamu. Tapi hidupnya sangat keras, itulah yang membuatnya berubah. Saat kau dewasa nanti, kau akan mengerti.” Waktu dan takdir melenyapkan segala kesempatan Maureen untuk lebih mengetahui atau memahami ibunya. Bernadette terserang lymphomai saat Maureen beranjak remaja, tak lama kemudian ia meninggal. Peter dipanggil ke tepi ranjang kematian Bernadette dan menjadi pendeta yang melakukan ritus terakhir. Dialah yang mendengar pengakuan terakhir Bernadette, dan mesti memikul beban berat setiap hari sepanjang hidupnya akibat pengakuan mengejutkan sang bibi. Tapi Peter tak mau memberitahukan kejadian itu kepada Maureen, selain sebagian kecilnya saja. Dan sekarang ada kepingan puzzle baru. Maureen harus mencoba menafsirkan makna surat ayahnya, yang bisa jadi merupakan setitik cahaya untuk menguak warisan rumit yang ia tinggalkan. Maureen merasa akan tidur bersama surat itu malam ini, lalu mendiskusikannya dengan Peter esok pagi dengan kepala yang lebih jernih. 1 Pembengkakan kelenjar getah bening. Carcassonne 25 Juni 2005 Derek Wainwright tidur nyenyak. Campuran obat-obatan dan anggur merah ditambah kelelahan dan stres membuatnya tak bisa berpikir. Jika ia sedikit saja lebih sadar, barangkali ia akan lebih waspada terhadap langkah-langkah kaki, suara pintu kamarnya yang dibuka, atau bisikan berulang
yang dikumandangkan para penyerangnya. “Neca eos omnes. Neca eos omnes. Deus suos agnoset.” Bunuh mereka semua. Bunuh mereka semua. Tuhan tahu siapa hambaNya. Namun saat kabel merah dililitkan ke lehernya, sudah terlalu terlambat bagi Derek Wainwright. Tidak seperti Roger Bernard Gelis, ia kurang beruntung karena belum mati saat ritual dimulai. Chateau des Pommes Bleues Maureen cemas mendengar ketukan di pintu. Ia belum siap didatangi Sinclair atau Peter saat ini. Tapi kecemasannya hilang setelah mendengar suara perempuan dari balik pintu. “Reenie? Ini aku.” Maureen membuka pintu, Tammy menatapnya sesaat lalu menggerutu. “Kau terlihat kacau.” “Terima kasih. Aku baikbaik saja.” “Kau mau membicarakannya?” “Tidak sekarang. Aku masih memikirkan persoalan pribadi.” Tammy ragu-ragu. Mendadak Maureen sadar, ia sedang menatap sesuatu yang sama sekali baru: Tamara Wisdom merasa gugup. “Ada apa, Tammy?” Tammy menghela napas dan menyibak rambutnya yang panjang. “Sebenarnya aku tak suka melakukan ini padamu padahal kau sendiri sedang resah. Tapi aku benarbenar perlu berbicara denganmu.” Maureen memberi isyarat ke arah tempat duduk. “Masuklah dan silakan duduk.” Tammy menggelengkan kepala. “Tidak, aku ingin kau ikut bersamaku. Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan padamu.” “Oke,” jawab Maureen singkat, lalu mengikuti Tammy melewati koridor yang berbelok-belok di Chateau des Pommes Bleues. Setelah berbagai kejadian, Maureen merasa tak ada lagi yang bisa membuatnya terkejut. Ia salah. f Mereka memasuki ruang media modern, tempat Sinclair menunjukkan peta wilayah yang ditumpangtindihkan dengan peta gugusan bintang kepada Maureen dan Peter. Tammy memberi isyarat agar Maureen duduk di sebuah kursi kulit yang letaknya berhadapan dengan satu set televisi layar lebar. Ia mengambil remote control lalu duduk di sebelah Maureen. Setelah menarik napas panjang, ia menjelaskan. “Aku akan menunjukkan rangkaian gambar untuk karya dokumenterku berikutnya. Topiknya adalah garis darah itu. Sekarang, dengarlah baikbaik karena ini sangat penting, dan pada akhirnya berujung padamu dan perananmu dalam keseluruhan situasi ini. “Seperti yang kau ketahui, misteri tentang Yesus dan Maria Magdalena telah mengilhami berbagai perkumpulan rahasia dan berbagai kelompok matamata. Yang menjadi bahan pembicaraan mereka adalah garis darah itu, dan mereka melakukan berbagai ritual yang sangat rahasia.”
Tammy menekan tombol remote untuk menghidupkan layar televisi. Gambar demi gambar perlahan tampil di layar. Rangkaian gambar pertama menunjukkan lukisan Maria Magdalena karya sejumlah maestro seni Renaisans dan Barok. “Beberapa kelompok yang kubicarakan tadi dibentuk oleh orangorang fanatik, tapi ada juga yang dibentuk oleh mereka yang benarbenar baik dan saleh. Contohnya Sinclair, jadi kau aman di sini. Akan kujelaskan.” Tammy diam sesaat, berusaha menyatukan pikirannya. “Aku ingin membuat film yang menunjukkan konsep itu secara utuh seberapa jauh gagasan garis darah itu menjangkau dunia Barat dan sejarah kita. Tujuannya untuk menunjukkan siapakah keturunan-keturunan Yesus dan Maria Magdalena dulu dan sekarang. Mulai dari keturunan yang terkenal, yang dibenci, hingga yang sama sekali tidak dikenal.” Beberapa foto berbagai tokoh sejarah maupun agama tampil di layar saat Tammy melanjutkan keterangannya. “Beberapa di antara mereka mungkin membuatmu terkejut. Charlemagne. Raja Arthur. Robert the Bruce. Santo Fransiskus dari Assisi.” “Tunggu sebentar. Santo Fransiskus dari Assisi?” Tammy mengangguk. “Ya. Ibunya, Lady Pica, dilahirkan di Tarascon. Seorang Cathar sejati dari jalur Sarah-Tamar, dari keluarga bangsawan Bourlemont. Kautahu, dari situlah ia mendapatkan namanya. Ia dilahirkan dengan nama Giovanni, tapi kedua orangtuanya memanggilnya Fransesco karena ia sangat mengingatkan mereka pada ibu Prancisnya dari sisi keluarga Cathar. Kau pernah ke Assisi?” Maureen menggeleng. Tiap pengungkapan membuatnya terkejut. Dengan perasaan takjub, ia mengamati gambar vila Italia di Assisi, rumah bagi gerakan kaum Fransiskan, yang terpampang di layar. “Kau harus ke sana. Assisi salah satu tempat paling ajaib di bumi. Lagi pula semangat Santo Fransiskus dan rekannya, Santo Clare, masih sangat kental di sana. Aku yakin mereka menghidupkan kembali peran Yesus dan Maria Magdalena. Tapi lihatlah karya seni Basilika St. Francis dari dekat. Seorang maestro Italia bernama Giotto mendedikasikan keseluruhan seni di kapel itu untuk Maria Magdalena. Di dalamnya ada lukisan Maria Magdalena yang tiba di pantai Prancis saat mengikuti penyaliban. Tentu saja ia sedang membuat suatu pernyataan. Dan masih banyak lagi sentimen Cathar dalam berbagai hal yang kita kira buah pikiran Fransiskan.” Tammy berhenti pada lukisan Giotto yang menggambarkan Santo Fransiskus menerima stigmata dari surga. “Berdasarkan catatan, Fransiskus adalah satusatunya santo yang tubuhnya menampakkan lima titik stigmata secara lengkap. Mengapa? Karena garis darah itu. Ia keturunan Yesus Kristus. Aku pikir ada argumen bahwa tiap penerima stigmata yang dinyatakan absah kemungkinan berasal dari garis darah itu.
Namun yang penting menyangkut Fransiskus ini adalah bahwa ia menerima kelimalimanya. Tak ada orang lain yang pernah menerima stigmata secara lengkap.” Maureen menghitung, sambil mencoba tetap mengikuti informasi dari Tammy. “Kedua telapak tangan, kedua kaki itu baru empat dan …?” “Sisi kanan. Tempat senturion Romawi menancapkan lembing ke tubuh Yesus. Tapi aku harus mengoreksi. Stigmata yang otentik tidak terdapat di telapak tangan, tapi pergelangan tangan. Berlawanan dengan kepercayaan umum, Kristus tidak dipaku di telapak tangan, melainkan menembus tulang pergelangan tangan. Telapak tangan tidak cukup kuat menopang berat tubuh. “Meski stigmata dinyatakan otentik di telapak tangan, seperti yang terjadi dengan Santo Padre Pio, tapi stigmata di pergelangan tanganlah yang membuat Gereja terkejut. Itulah sebabnya, Fransis menjadi sangat penting. Meskipun sebagian seniman, misalnya Giotto, memperlihatkan stigmata di telapak tangan untuk menciptakan kesan dramatis, para sejarawan tidak sependapat. Fransis memiliki kelima stigmata, termasuk di pergelangan tangan.” Tammy melepaskan tombol pause untuk membuka gambar berikutnya, patung keemasan Joan dari Arc di Paris. Tampilan layar terbagi dua untuk menampilkan gambar Joan yang lain, yakni patung di taman Sauniere yang mereka lihat dua hari lalu. “Ingat saat Peter bertanya kepadaku tentang patung Joan? Ia mengatakan bahwa dunia mengira Joan adalah simbol Katolisisme konvensional. Nah, inilah gambar yang memperjelas bahwa dia bukan seperti yang dikira.” Tammy mengklik tombol yang membuka potret Joan dari Arc sedang memegang bendera “JhesusMaria” yang adalah trademarknya. “Umat Kristen telah lama yakin bahwa semboyan Joan itu mengacu pada Kristus dan ibundanya karena bendera itu bertuliskan “Jhesus-Maria.” Padahal itu salah. Yang dimaksud adalah Yesus dan Maria Magdalena, itulah sebabnya ia memberi tanda hubung pada nama tersebut, untuk menunjukkan bahwa mereka bersatu. Yesus dan istrinya, yang adalah nenek moyang Joan.” “Tapi kupikir dia seorang buruh tani. Seorang … gembala.” Maureen mengucapkan, “Ooh” dengan keras, ia baru sadar setelah menyebut kata itu. “Tepat. Seorang perempuan gembala. Dan bagaimana dengan namanya? ‘Dari Arc’ menunjukkan bahwa dia memiliki hubungan dengan kawasan ini, Arques, meski ia dilahirkan di Domremy. Joan dari Arc menunjukkan bahwa ia berasal dari garis darah itu, selain menunjukkan pusakanya yang menghebohkan. Berry telah menceritakan nubuat itu, bukan? Dia Yang Dinantikan?” Maureen mengangguk pelan. “Kupikir dunia tak siap menghadapi semua ini. Kupikir
aku pun tak siap.” Tammy menekan tombol pause dan menatap Maureen dengan penuh perhatian. “Aku ingin kau memerhatikan baikbaik akhir kisah Joan, karena ini penting. Seberapa jauh kau mengenalnya?” “Barangkali sama seperti yang diketahui kebanyakan orang. Ia berjuang untuk mengembalikan kekuasaan tuan tanah ke singgasana Perancis, ia memimpin pertempuran melawan Inggris. Ia dibakar di tiang dengan tuduhan tukang sihir meski semua orang tahu ia bukan …” “Ia dibakar karena ia mengalami visi.” Maureen merenung, berusaha mereka-reka arah pembicaraan Tammy. Ia belum paham sepenuhnya sehingga Tammy memperjelas keterangannya. “Joan memperoleh visi, penglihatan ilahiah. Dan ia berasal dari garis darah itu. Menurutmu, apa arti semua ini?” Tammy tidak menunggu jawaban. “Joan adalah Dia Yang Dinantikan, semua orang tahu itu. Dialah yang akan membuktikan nubuat. Ia mengalami berbagai visi yang akan menuntunnya ke Injil Magdalena. Karena itulah mereka harus membungkamnya untuk selamanya.” Maureen terkesima. “Tapi … bukankah hari kelahiran Joan sama denganku?” “Ya, tapi sejarah tak akan menuliskannya seperti ini. Kadang disebutkan bahwa ia lahir pada suatu hari di bulan Januari. Ini sama saja dengan usaha menyamarkan demi menyembunyikan identitas Joan yang sesungguhnya, baik sebagai anak jadah bangsawan maupun sebagai putri Grail yang dinantikan.” “Bagaimana kautahu semua ini? Apakah ada data pendukungnya?” “Ya. Tapi kau harus berhenti berpikir seperti seorang akademis. Kau harus menangkap makna yang tersirat. Dan jangan meremehkan legenda lokal. Kau orang Irlandia, jadi tentu tahu betapa kuatnya tradisi lisan dan bagaimana kisahkisah itu disampaikan secara turun temurun. Bangsa Cathar tidak berbeda dengan Irlandia. Bahkan ada banyak bukti yang menunjukkan kedua budaya itu membaur di berbagai wilayah Prancis dan Spanyol. Mereka tidak melindungi tradisi dengan menuliskannya, tidak juga dengan meninggalkan bukti yang bisa dimanfaatkan musuh. Akan tetapi legenda Joan dari Arc sebagai Dia Yang Dinantikan sangat dominan di sini, kau akan tahu dengan hanya menggali permukaannya saja.” “Aku pikir tentara Inggrislah yang mengeksekusi Joan.” “Salah. Tentara Inggris menangkap Joan, tapi pendeta Prancislah yang mendakwanya lalu memaksakan kasusnya yang berlanjut dengan hukuman mati. Penuntut Joan adalah seorang pendeta bernama Cauchon. Lucunya, dalam bahasa Prancis ‘cochon’ berarti ‘babi1. Nah, binatang itulah yang menarik pengakuan Joan lalu memutarbalikkan bukti sehingga Joan menjadi martir. Cauchon harus membunuh Joan sebelum ia mampu memenuhi perannya sebagai Dia Yang Dinantikan.” Maureen diam, menyimak penuh sementara Tammy melanjutkan. “Dan Joanie bukan perempuan gembala terakhir yang dibunuh. Apakah kau ingat patung orang suci di Rennesle Chateau? Seorang gadis yang menggendong domba?”
“Saint Germaine.” Maureen mengangguk. “Aku memimpikan dia malam itu.” “Itu karena dia dilahirkan bertepatan dengan ekuinoks dan tanggal kebangkitan. Ada alasan kuat mengapa ia dilukiskan bersama dengan domba paschalz, juga dengan seekor domba jantan muda, yang melambangkan kelahir— 2 Domba yang disembelih pada kesempatan Paskah. annya di awal Aries.” Maureen ingat patung itu dengan baik. Ia merasa sangat tersentuh menatap wajah serius perempuan gembala yang masih muda itu. “Ibunya termasuk peringkat atas dalam garis darah, seorang Marie de Negre di masanya. Saat Germaine kecil, ibunya wafat secara misterius. Germaine dibesarkan oleh keluarga penyiksa yang mengadopsinya dan kemudian membunuhnya saat ia tidur, menjelang usia sebelas tahun.” Tammy menarik tangan Maureen, mendadak sangat serius. “Dengarkan aku, Maureen, selama ribuan tahun selalu ada orangorang yang mau membunuh demi menjegal penemuan Injil Maria. Apakah kaupaham yang baru saja aku ungkapkan?” Suasana mencekam muncul dengan sendirinya, mene kan perasaan Maureen. Ia merasa sangat kedinginan ketika Tammy menyadarkannya dari lamunan. “Masih ada orang yang bersedia membunuh demi menggagalkan nubuat itu. Jika mereka yakin kaulah Dia Yang Dinantikan, kau berada dalam bahaya besar.” f Tammy sudah menduga bahwa ia perlu membawa sebotol anggur lokal yang lezat sebelum masuk ke ruangan itu bersama Maureen. Ia mengisi kembali gelas Maureen saat mereka duduk sambil membisu. Akhirnya Maureen berbicara. Ia menatap Tammy, nada suaranya menuduh. “Kau sebenarnya sudah tahu lebih banyak dibandingkan yang kau ceritakan saat kita masih di L.A., bukan?” Tammy menghela napas dan menjatuhkan bahunya ke sandaran kursi. “Aku benarbenar menyesal, Maureen. Aku tak dapat menceritakan semua yang aku ketahui saat itu kepadamu.” Sekarang pun aku belum bisa, pikirnya sedih sebelum melanjutkan. “Aku tak ingin membuatmu takut. Kau tak akan memutuskan pergi dan kami tak akan mengambil risiko itu.” “Kami? Maksudmu kau dan Sinclair? Apakah kau anggota perkumpulan Apel Biru?” “Tidak sesederhana itu. Begini, Sinclair akan melakukan apa pun untuk melindungimu.” “Karena ia pikir aku gadis emasnya?” “Ya, tapi juga karena ia benarbenar peduli terhadapmu. Aku bisa melihatnya. Dan Berry juga merasa bertanggung jawab. Ia mengantarmu ke medan pembantaian ketika ia memilih gaun itu untukmu, tambahan namamu
sudah menunjukkan leluhurmu. Saking senangnya, ia tidak memikirkan akibatnya.” Maureen meneguk anggur merahnya lagi. “Jadi apa saranmu? Tempat ini asing bagiku, Tammy. Apakah aku harus pergi? Melupakan saja segala yang telah terjadi dan kembali ke kehidupanku?” Maureen tertawa kecut. “Oke, tidak masalah.” Tammy terlihat iba. “Barangkali memang begitu seharusnya, demi keamananmu. Berry bisa membawamu dan Peter keluar dari sini secara diamdiam besok. Meski nyawanya akan terancam, tapi ia akan melakukannya jika kau minta.” “Lalu apa? Aku kembali ke L.A. tempat aku dihantui berbagai mimpi buruk dan visi seumur hidupku? Pekerjaanku berantakan karena aku tidak bisa lagi memandang sejarah dengan cara yang sama, belum lagi risiko berlanjutnya penyelidikan karena kelompok pendukung rahasia yang bisa melukaiku? Dan siapa orangorang berbahaya ini? Mengapa mereka sebegitu ingin meng hentikan nubuat sehingga bersedia membunuh?” Tammy berdiri dan melangkah. “Ada sejumlah pihak yang berkepentingan menjaga pandanganpandangan Maria Magdalena tetap tidak diketahui. Tentu saja Gereja tradisional termasuk di dalamnya. Tapi mereka tidak berbahaya.” “Lalu siapa? Berengsek, Tammy, aku lelah dengan teka teki dan muak dengan permainan. Aku harus men dengar penjelasan lengkap, dan aku ingin secepatnya.” Tammy mengangguk sedih. “Kau akan mendengarnya besok pagi. Tapi bukan tempatku untuk menjelaskannya.” “Lalu di mana Sinclair? Aku ingin berbicara dengannya. Sekarang.” Tammy mengangkat bahu. “Aku khawatir itu tidak mungkin. Ia pergi tak lama setelah kau keluar dari ruang kerjanya. Aku tak tahu pasti ke mana, tapi ia mengatakan akan kembali larut malam. Ia akan menjelaskan segalanya besok pagi, percayalah.” Namun, saat Berenger Sinclair kembali ke Chateau …Kedatangan Easa mendapat perhatian seluruh pejabat di Yerusalem, mulai dari para imam di Rumah Tuhan1 hingga pengawal Pilatus. Penguasa Romam mengkhawatirkan peringatan Paskah. Mereka takut akan terjadi kericuhan dan pemberontan yangmungkin saja dipicu sentimen atau nasvnalisnr Yahudi. Dan karena ada orangorang Zrlot di antara kami. Pilatus tidak punya 3 Bait Allah di Yerusalem. des Pommes Bleues, dunia telah berubah pilihan selain waspadaAda sebagian anggota kami’yangbersaudara dengan kasta imam. Mereka memberitahu bahwa imam besar. Caiaphas. menantu Jonathan Annas yang membenci kami. nrngatlakan pertemuan unmk membahas ‘orang Nazaret yang berubah menpdi mesias “. Aku sudah mengungkapkan tentang lelaki bernama Annas ini dalam tulisanku yang lalu. sekarang aku akan bercerita lebih banyak lagi. Ini ku/akukan untuk memberi peringatan: jangan nvnghidium banyak orang akibat perbuatan satu orang. Karena
kasta imam tidak berbeda dengan yang lainsebagian memiliki hati yang baik dan lulus, sebagian tidak Ada sebagian orang yang mengikutiperintahJonathan Annas pada masa kelambaik intim maupun bukan. Sebagian melakukannya karena patuh kepada Rumah Tuhan, seperti kakakku sendiri ketika ia mengambilpilihan yang buruk. Kaum kami disesatkan o/eh pemimpin yang jahat, mereka dibutakan o/eh mereka yang menuliki tugas untuk memberikan sesuatu yang lebih besar kepada mtrrka. Sebagian menentang kami karena takut terjadi pertumpahan darah yang lebih besar lagi di kalangan Yahudi, mereka hanya menginginkan kedamaian selama peringatan Paskah. Aku tidak bisa menyalahkan siapa pun yang mengambil pilihan ini. Haruskah kami mengutuk orangorang yang tidak melihat cahaya? Tidak. Easa telah mengajarkan kami untuk tidak mengucilkan mereka. Kami harus memaalkan menka. INJIL ARQUES MARIA MAGDALENA KITAB MASA KEGELAPAN Empat Belas ChBteau des Pommes Blues 25 Juni 2005 Maureen kembali ke kamarnya dengan perasaan takut dan gelisah. Banyak hal memenuhi pikirannya dan ia tidak tahu harus bagaimana. Dengan lesu, ia berganti pakaian, berusaha berpikir dengan kepala yang penuh muatan dan agak dipengaruhi anggur merah. Sia-sia saja, pikirnya. Aku tak akan bisa tidur malam ini. Tapi begitu ia memasrahkan diri pada kenyamanan ranjang besar yang mewah, tidur menguasai dirinya hanya dalam hitungan menit. Begitu pula mimpinya. f Perempuan mungil berselubung merah itu mengikuti dalam kegelapan tanpa bersuara. Napasnya tersengal sementara ia berusaha mengimbangi langkah-langkah panjang kedua lelaki itu. Sekarang atau tidak sama sekalitindakan ini sangat berisiko bagi mereka, tapi tugas terpenting dalam kehidupannya. Mereka berlari cepat menuruni tangga yang terletak di luar. Inilah bagian paling berbahaya dalam perjalanan mereka. Mereka akan bertemu dengan malam Yerusalem dan hanya bisa berdoa, mudah-mudahan para penjaga sudah pergi, seperti yang disampaikan. Mereka saling memandang dengan perasaan lega begitu sampai di dekat lorong bawah tanah. Tak ada penjaga. Salah seorang lelaki menjaga di luar. Lelaki lainnya, yang mengetahui jalan masuk koridor penjara, terus memimpin perempuan itu. Ia berhenti di muka sebuat pintu tebal lalu mengeluarkan kunci yang disembunyikan di balik lipatan baju panjangnya. Ia menatap perempuan itu dan mengatakan sesuatu untuk menguatkan hatinya. Mereka semua tahu, waktu begitu sempit. Mereka tidak ingin usaha ini gagal, perempuan itu terutama. Lelaki itu memasukkan kunci ke lubangnya lalu pintu terbuka. Ia memberi jalan agar perempuan itu masuk dan cepatcepat menutup pintu sehingga tahanan dan perempuan itu bisa berbicara empat mata. Perempuan itu tidak tahu apa yang ia harapkan, tapi bukan begini. Kekasih
hatinya telah diperlakukan dengan sangat kejam, itu terlihat jelas. Pakaiannya robek dan wajahnya memar. Meski penderitaannya berat, ia tersenyum penuh kehangatan dan cinta untuk perempuan itu yang kemudian menjatuhkan dirinya ke dalam pelukannya. Ia memeluknya sebentar saja karena waktu bukanlah sahabat mereka. Selanjutnya ia merengkuh pundak perempuan itu dan memberinya instruksi-instruksi petunjuk-petunjuk yang penting dan mendesak. Perempuan itu mengangguk berkali-kali, memastikan bahwa ia paham dan bahwa segala keinginan lelaki itu akan dilaksanakan. Terakhir, lelaki itu meletakkan tangannya dengan lembut di perut perempuan itu yang membuncit, dan menyampaikan satu instruksi pamungkas. Setelah ia selesai, perempuan itu menjatuhkan tubuhnya ke pelukan lelaki itu untuk kali terakhir, berusaha keras menahan isakan tangis yang meluluhlantakkan tubuhnya. f Isakan serupa mengguncang Maureen. Ia menangis tanpa bisa dikendalikan, membenamkan wajahnya di bantal agar tidak terdengar oleh penghuni chateau. Kamar Peter paling dekat dengan kamarnya, dan Maureen jelas tidak ingin menarik perhatiannya. Mimpi itu adalah yang terburuk. Mimpi itu begitu jelas, begitu gamblang. Ia merasakan tiap detik kepedihan dan kesengsaraan, merasakan betapa mendesaknya petunjuk yang disampaikan. Dan ia tahu apa sebabnya. Itulah perintah terakhir Yesus Kristus kepada Maria Magdalena di malam menjelang Jumat Agung. Dan ada petunjuk lain yang juga diucapkan dengan nada mendesak dalam mimpinya. Petunjuk itu ditujukan kepada Maureen. Ia mendengar suara lelaki itu di telinganya benarkah di telinganya? Ataukah telinga Maria? Ia melihat Maria dari luar, namun di dalam dirinya, ia juga merasakan segala yang dialami Maria. Dan ia mendengar perintah terakhir itu. “Karena waktunya sudah tiba. Pergilah, pastikan pesan kami sampai.” Maureen duduk di ranjang, berusaha berpikir. Sekarang, nalurinyalah yang bekerja, untuk sesuatu yang lain. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan, sesuatu yang di luar logika dan di luar akal. Sesuatu yang mesti ia percaya dengan hatinya, tanpa terlalu menganalisisnya di kepala. Kala itu malam sempurna di Languedoc, hitam pekat dan lembut bak sutra. Seberkas cahaya bulan menerangi kamar Maureen. Cahaya itu menerpa wajah cantik Maria Magdalena di Gurun sehingga lukisan Ribera yang membingkai madonna itu bak sedang mengharapkan petunjuk surgawi. Maureen memutuskan untuk mengikuti petunjuk Maria. Untuk pertama kalinya semenjak berusia delapan tahun, ia berdoa agar diberi bimbingan. f Selang beberapa saat, Maureen tak mampu mengingat berapa lama ia mendengar suara itu. Beberapa detik? Beberapa menit? Tidak penting. Ia tahu bahwa ia mendengarnya. Seperti ketika di Louvre, bisikan perempuan dengan nada sama mendesak memanggilnya, menyuruhnya mendekat. Kali ini, suara itu menyebut namanya. “Maureen. Maureen…” bisiknya dengan desakan yang bertambah-tambah. Dilemparkannya pakaian dan sepatunya, takut terpisah terlalu lama dan kehilangan hubungan dengan bimbingan gaib yang menuntunnya. Perlahan, dibukanya pintu kamar
sambil berdoa semoga tidak menimbulkan bunyi dan membangunkan orang lain. Seperti Maria Magdalena dalam mimpi itu, kehatianhatian sangat penting pada saat seperti ini. Tidak ada orang yang melihatnya, sejauh ini belum. Ini adalah sesuatu yang mesti ia lakukan sendiri. Maureen bisa mendengar degup jantungnya kala ia berjingkat-jingkat menuju pintu chateau. Sinclair pergi, yang lainnya tertidur. Ia berhasil sampai di pintu depan, namun suatu pikiran membuatnya kelu. Alarm. Pintu itu diamankan dengan alarm berkode. Ia pernah melihat Roland membukanya di suatu pagi, setelah sarapan. Tapi ia tidak tahu nomornya. Roland menekan papan angka tiga kali dengan cepat tek, tek, tek. Tiga angka. Kode alarm itu tiga angka. Berdiri di depan panel, Maureen berusaha berpikir seolah ia adalah Sinclair. Angka mana yang ia pilih? Tibatiba sebuah ide muncul. Dua puluh dua Juli adalah hari perayaan Maria Magdalena. Ia menekan tuts di panel seperti ketika Roland melakukannya. 7-2-2. Tidak terjadi apa-apa. Sebuah kilatan cahaya merah memancar diikuti bunyi keras sehingga Maureen melompat saking kagetnya. Sialan! Aduh, jangan sampai ada yang bangun. Maureen berusaha mengendalikan diri dan berpikir keras. Ia tahu, ia tidak boleh melakukan kesalahan lagi. Jika ia menekan kode yang salah, alarm itu akan berbunyi lagi. “Tolonglah aku.” Ia tidak tahu kepada siapa ia memohon akankah suara itu memberi jawaban? Akankah suara itu menunjukkan nomor berapa yang mesti ia tekan? Akankah pintu itu terbuka begitu saja sehingga ia bisa keluar? Maureen menunggu sesaat, tapi harapan-harapan itu tidak terwujud. Jangan goblok. Ayolah, Maureen, pikirkan. Kemudian ia mendengar sesuatu. Bukan suara perempuan gaib itu, tapi suara dalam kepalanya sendiri, dari ingatannya. Suara itu milik Sinclair, pada malam pertama mereka di chateau. “Sayangku, kau adalah domba paschal.” Maureen berbalik ke panel dan menekan tinga angka. 3-2- 2. 322. Ulang tahunnya, sekaligus hari kebangkitan. Cahaya hijau berkedip dua kali diikuti suara mekanis yang mengucapkan sesuatu dalam bahasa Prancis. Maureen tidak menunggu untuk melihat apakah suara itu membuat orang terbangun. Dibukanya pintu tebal itu kemudian ia cepatcepat keluar menuju cahaya rembulan yang menyinari jalan berkerikil di luar chateau. f Maureen tahu persis, ke mana ia harus pergi. Ia tidak tahu mengapa, tidak tahu pula bagaimana. Pokoknya ia tahu tujuannya. Suara itu tidak lagi hadir, tapi memang tidak perlu. Sesuatu yang lain telah mengambil alih, sesuatu pengetahuan di dalam dirinya yang ia turuti tanpa bertanya-tanya. Maureen berjalan cepatcepat mengitari samping rumah. Rute yang sama seperti yang ditempuh Sinclair ketika mengajaknya berjalan-jalan mengelilingi area itu. Ada sebuah jalan setapak di sini, dipenuhi semak belukar, dan sulit dilalui, bahkan mustahil dilalui pada malam tanpa bulan. Tapi malam ini bulan bersinar terang, menyinari jalan itu untuknya. Separuh berlari, Maureen menuruti jalan setapak
hingga sampai di tujuannya. Menara Folly milik Sinclair. Menara yang dibangun Alistair Sinclair di tengah-tengah tanah miliknya, dengan alasan yang tidak diketahui. Tapi alasan itu ada dan Maureen tahu sekarang. Bangunan itu adalah menara pengawas. Begitu pula Tur Magdala milik Berenger Sinclair di Rennesle-Chateau, sebuah menara pengawas. Kedua lelaki itu samasama mengawasi wilayah di sekitarnya, kalau-kalau Maria memutuskan untuk membuka rahasianya. Dari kedua menara itu kita bisa memandang wilayah yang didefinisikan sebagai lokasi disembunyikannya harta karun. Maureen melangkah maju ke menara, berharap terjadi sesuatu. Tapi hatinya ciut ketika ia semakin dekat dengan tujuannya. Ia ingat, Sinclair selalu mengunci bangunan itu. Ia menggunakan kunci untuk membukanya ketika mereka ke sini. Tapi tunggu dulu, bagaimana setelah mereka pergi? Maureen berusaha keras membangkitkan ingatannya sementara ia bergerak kian dekat ke menara. Mereka terlibat pembicaraan hangat, dan Maureen tidak melihat Sinclair mengunci pintu menara ketika mereka pergi. Mungkinkah ia begitu antusias bercerita hingga lupa? Apakah ia kembali ke sini untuk menguncinya? Atau, apakah pintu itu otomatis terkunci? Ia tidak menunggu lama. Begitu berbelok menuju jalan masuk, ia melihat pintu itu tidak terkait rapat pada engselnya. Maureen menarik napas, lega dan bersyukur. “Terima kasih,” ucapnya sambil menengadah ke langit. Ia tidak tahu apakah ini perbuatan Sinclair ataukah bantuan Tuhan. Apa pun itu, ia merasa sangat berterima kasih. Maureen menapaki anak tangga dengan hatihati. Di dalam bangunan berdinding batu itu hanya gelap gulita, ia tidak bisa melihat apa pun. Ditekannya kecenderungan fobianya terhadap tempat sempit dan didorongnya rasa takut jauh-jauh. Suara Tammy di kepalanya mengingatkan bahwa Sinclair dan Sauniere samasama membangun menara mengikuti numerologi spiritual. Sambil menghitung dengan cermat, ia tahu bahwa ia harus mendorong tingkap di atasnya pada anak tangga kedua puluh dua. Pintu itu terbuka, dan cahaya bulan menyoroti tangga menara sementara Maureen berjalan menuju lantai atas. Sejenak ia berdiri saja di sana, menghirup keindahan malam hangat yang terasa ganjil. Tak tahu apa yang harus dicari, Maureen hanya menunggu. Ia sudah melangkah sebegini jauh. Ia harus tetap yakin bahwa perjalanannya tidak berhenti di sini. Sinar bulan menerangi sesuatu yang tidak ia lihat ketika berada di sini bersama Sinclair. Terpahat di dinding batu di balik pintu, sebuah gambar jam matahari yang serupa dengan yang mereka lihat di Rennesle-Chateau. Diulurkannya tangannya untuk meraba pahatan itu. Tapi ia belum cukup mengenal simbolsimbol untuk memastikan bahwa gambar itu sama persis atau sekadar mirip saja dengan gambar jam matahari yang satunya. Sambil berjalan menuju tempat yang lebih strategis untuk memandang keluar, ia memikirkan hal ini.
Maureen merasa sejenak melihat sesuatu di cakrawala. Ia menunggu, memandang langit Languedoc yang gelap. Lalu ia melihatnya. Pertamatama berupa sekilas visi di sekelilingnya. Ia mengulangi, seperti yang ia lakukan ketika pertama kali berdiri di sini bersama Sinclair. Sesuatu yang tidak terjangkau, setitik cahaya atau gerakan yang mengarahkan tatapannya ke suatu lokasi di cakrawala. Ia mengalihkan matanya ke arah itu dan menyaksikan cahaya bulan yang seolah bertambah terang. Difokuskannya tatapan matanya ke cahaya terang yang menyinari sebuah tempat tepat di depannya, nun jauh di sana. Cahaya itu menerpa sesuatusebuah batu? Sebuah bangunan? Kemudian ia tahu. Cahaya itu bertambah terang di lokasi kuburan Poussin. Tentu saja. Tersembunyi di tempat terbuka, sama seperti hal-hal lain sejauh ini. Cahaya itu terus bergerak dan bergeser, semakin lama semakin memadat, seolah mengikuti bentuk manusia tapi lebih panjang. Sekarang cahaya itu berwarna-warni, hidup dan menari-nari, bergerak dari kejauhan mendekati Maureen kemudian menjauhinya. Seolah hendak mengajaknya untuk mengikuti, ia akan menunjukkan jalan. Maureen memerhatikan dengan keterpesonaan penuh hingga ia mengambil satusatunya keputusan yang mungkin mengikuti cahaya itu. Maur