BENEFISIASI LEMPUNG SKALA BENCH UNTUK BAHAN KATALIS SINTESIS BIODIESEL
Dessy Amalia Muchtar Aziz Oberlin Sidjabat Stefanus Suryo Cahyono Leni Sulistiani
KELOMPOK PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN MINERAL
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI MINERAL DAN BATUBARA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL 2009
KATA PENGANTAR Penelitian mengenai lempung sudah banyak dilakukan sebelumnya dengan peruntukan yang berbeda-beda. Dalam kegiatan tahun 2009 ini, dilakukan penelitian benefisiasi lempung skala bench untuk bahan katalis sintesis biodiesel yang sekalgus dilakukan validasi dari hasil kegiatan 2008. Katalis biodiesel saat ini masih menggunakan katalis cair sehingga diperlukan katalis padat yang mudah penanganannya. Tujuan dari penelitian ini melakukan pengolahan lempung serta optimasi proses pengaktifannya untuk meningkatkan kemampuan katalitiknya dalam mengkatalisis reaksi sintesis biodiesel melalui pengujian awal reaksi esterifikasi. Cadangan lempung jumlahnya banyak dan tersebar di seluruh Indonesia. Lempung memiliki struktur berlapis sehingga dapat memiliki luas permukaan yang besar dan mampu melakukan tukar kation. Sifat fisis tersebut menjadikan lempung dapat dimanfaatkan sebagai bahan katalis maupun katalis support. Atas terlaksananya penelitian dan tersusunnya laporan ini diucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah berpartisipasi dan membantu. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat untuk instansi maupun industri yang terkait. Bandung, Nopember 2009 Kepala Pusat,
Dr. Bukin Daulay, M.Sc.
ii
SARI Dalam rangka validasi hasil percobaan kegiatan 2008 untuk pembuatan katalis padat pada skala bench untuk sintesis biodiesel telah dilakukan benefisisasi lempung mengandung mineral monmorilonit asal Nanggung, Bogor. Benefisiasi dilakukan melalui peningkatan kandungan monmorilonit dengan hidrosiklon, fraksi halus hasil hidrosiklon (overflow) diaktifasi dengan asam sulfat melalui perendaman selama 2 minggu berbagai konsentrasi asam, yaitu 0,05; 0,5; 5 dan 10 M. Lempung aktif yang dihasilkan diuji angka asamnya dan kinerjanya dalam esterifikasi minyak kelapa sawit (CPO) dengan pembanding katalis asam sulfat cair konsentrasi 5 M. Hasil pengujian menunjukkan semakin besar konsentrasi asam yang digunakan untuk aktifasi maka angka asam dan luas permukaan spesifik lempung asam meningkat. Angka asam dari asalnya 1,6 mmol NaOH/gram berturut-turut menjadi 2,6; 2,8; 3,12 dan 3,2 mmol NaoH/gram, setelah diaktifasi dengan asam sulfat 0,05; 0,5; 5 dan 10 M. Selain itu, luas permukaan asal sebesar 68,44 m2 /gram mejadi 75,24 m2/gram setelah dilakukan proses peningktatan kadar dan setelah aktifasi meningkat kembali berturut turut menjadi 96,97;113,39;126,90;153,9 m2/gram. Kemampuannya mengkonversi CPO menjadi ester dapat ditingkatkan dari …% berturut-turut dapat mencapai .; .; dan . % kemudian turun menjadi .%. Hasil penelitian skala bench ini menunjukkan potensi lempung benar dapat dijadikan lempung asam sebagai katalis padat dalam sintesis biodiesel dengan pengujian awal melalui reaksi esterifikasi. Namun masih belum memperoleh konversi angka asam minyak sebesar ..% sama dengan katalis larutan asam sulfat 5 M dengan variasi berat lempung sebagai katalis padat dalam reaksi esterifikasi.
iii
DAFTAR ISI Halaman
KATA PENGANTAR..................................................................... SARI..........................................................................................
ii iii
DAFTAR ISI..........................................................................................
iv
DAFTAR TABEL ...................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR......................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………………..
ix
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...............................................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah ....................................................................................
2
1.3 Ruang Lingkup Kegiatan ............................................................................
3
1.4 Tujuan ...............................................................................................................
3
1.5 Sasaran .............................................................................................................
3
1.6 Lokasi Penelitian ...........................................................................................
3
iv
II. TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................
6
III. PROGRAM KEGIATAN ............................................................. .......................
11
IV. METODOLOGI PENELITIAN ..................................................... .....................
12
V. HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN................................... ..........
16
5.1 Karakterisasi lempung ................................................................................
16
5.2 Hasil proses up grading ..............................................................................
21
5.3 Hasil proses aktifasi.....................................................................................
25
5.4 Pengujian keaktifan lempung asam ......................................................
27
VI. KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………………....
29
5.1 Kesimpulan .....................................................................................................
29
5.2 Saran .................................................................................................................
29
VII. KENDALA DAN TIDAK LANJUT .................................................... ............ 30 7.1. Kendala ............................................................................ ............................... 30 7.2. Tindak Lanjut ................................................................................................. 30
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................
31
LAMPIRAN ..........................................................................................
33
v
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 5.1. Kandungan oksida dalam lempung kode T2 ..............................................
16
Tabel 5.2. Hasil analisis ayak basah..................................................... ...............................
18
Tabel 5.3. Komposisi kimia bentonit alam kode T1..................................
21
Tabel 5.4. Kandungan oksida bentonit hasil proses upgrading (luapan atas)….
22
Tabel 5.5. Komposis kimia lempung T1 hasil proses upgrading....................
25
Tabel 5.6. Angka asam minyak hasil reaksi esterifikasi…………………………
2
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.1. Lokasi pengambilan contoh lempung di Jawa Barat........
4
Gambar 1.2. Peta lokasi pengambilan contoh lempung di desa Nanggung, Kecamatan Nanggung, Bogor.........
4
Gambar 1.3. Punggungan bukit lokasi pengambilan sampel di daerah desa Nanggung, Kecamatan Naggung, Bogor
5
Gambar 2.1. Struktur berlapis lempung bentonit......................................
7
Gambar 4.1. Proses peningkatan kadar monmorilonit pada lempung ..............
14
Gambar 4.2. Proses aktifasi lempung monmorilonit dengan asam sulfat
……….. 14
Gambar 4.3. Rangkaian alat reaksi esterifikasi…………………………………..
15
vi
Gambar 5.1. Hasil difraksi sinar x contoh bentonit alam dari Desa Parakan Muncang, Kecamatan Nanggung, Bogor Visualisasi lempung dari Bogor ....................... 16 Gambar 5.2. Visualisasi lempung dari Desa Nanggung, Kecamatan Nanggung, Bogor.............................................................................................
18
Gambar 5.3. Distribusi ukuran partikel Lempung T1......................................
18
Gambar 5.4. Hasil analisis difraksi sinar x contoh kode P1 dan T1...................
20
Gambar 5.5. Hasil difraksi sinar x produk proses upgrading contoh bentonit dari Desa Parakan Muncang, Kecamatan Nanggung, Bogor…………………..
22
Gambar 5.6. Distribusi ukuran partikel bentonit T1 hasil upgrading…………….
23
Gambar 5.7. Hasil analisis difraksi sinar x pada contoh hasil proses upgrading
24
Gambar 5.8. Hasil validasi analisis difraksi sinar x pada contoh hasil proses upgrading……………………………………………………………..
24
Gambar 5.9. Hasil validasi analisis difraksi sinar x pada contoh alam............. 24 Gambar 5.10. Keasaman lempung hasil aktifasi……………………………..
25
Gambar 5.12. Difraktogram lempung hasil aktifasi dengan asam sulfat 0,05 – 10 M………………………………………… 27
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.Metode Pengambilan Sampel……………………………………………..
33
Lampiran 2.Bahan, perlatan dan prosedur kerja………………………………………
35
Lampiran 3. Uji kapasitas pertukaran kation……………………………………………
45
Lampiran 4. Metode analisis standar untuk angka asam …………………….. biodiesel ester alkil (FBI-A01-03) Lampiran 5. Hasil perhitungan…………………………………………………
49
51
viii
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Misi Penelitian dan Pengembangan ESDM adalah memberikan pelayanan di bidang penelitian dan pengembangan kepada pemerintah, industri, dan masyarakat, agar pengelolaan energi dan sumber daya mineral dapat dilaksanakan sesuai amanat yang terkandung dalam pasal 33, UUD 1945.
Misi Puslitbang tekMIRA adalah menyelenggarakan litbang teknologi penambangan, pemanfaatan & pengolahan, teknologi informasi dan studi tekno-ekonomi mineral dan batubara, menyediakan layanan jasa teknologi dan informasi untuk pengembangan mineral dan batubara serta membantu perumusan kebijakan pemanfaatan mineral dan batubara.
Kebutuhan energi merupakan isu nasional di Indonesia. Hal ini terlihat dari kebijakan pemerintah mengenai konversi energi dari minyak tanah ke gas. Namun sampai saat ini masih terdapat kendala mengenai penyediannya. Selain itu, Pertamina juga telah menggunakan biosolar, merupakan campuran solar dengan biodiesel, yang lebih ramah lingkungan.
Biodiesel merupakan salah satu energi alternatif berbasis bahan hayati untuk bahan bakar mesin diesel. Bahan hayati untuk biodiesel banyak terdapat dan dapat tumbuh dengan baik di Indonesia, seperti biji buah jarak, biji kapuk randu, buah sawit, dan lainlain. Namun sampai saat ini minyak kelapa sawit (CPO) yang sudah komersial. Di Indonesia ada beberapa pabrik biodiesel yang telah didirikan, yaitu di Gresik dengan kapasitas 60-80 ton/hari; di Rokan Hulu, Riau berkapasitas 125 – 250 ton/hari dan di dalam komplek perkantoran Lemigas yang mampu menghasilkan biodiesel sebanyak 10 ton/hari untuk memenuhi kebutuhan biodiesel kendaraan di departemen ESDM. Ketiga pabrik tersebut menggunakan basa kuat yaitu NaOH sebagai katalis. Pemakaian katalis cair tersebut memiliki sejumlah kendala, yaitu korosif, perlu proses penetralan untuk pemisahan katalis dari produknya, katalis sisa tidak bisa dipakai lagi sehingga
menghasilkan limbah yang membahayakan lingkungan, serta sulit dalam penanganan dan penyimpanannya. Alternatif pengganti yang perlu dikembangkan adalah penggunaan katalis padat (katalis heterogen). Katalis padat memiliki beberapa keunggulan yaitu : pemisahan dari produk reaksi lebih mudah, keaktifan yang tinggi sehingga usia pakainya (life time) lama, dapat dipakai berulang kali (dapat diregenerasi), serta lebih ramah lingkungan.
Lempung (clay) memiliki potensi untuk digunakan sebagai bahan katalis padat pada sintesis biodiesel. Selama ini lempung sudah dikenal sebagai bahan yang sangat baik dan umum digunakan untuk bahan katalis padat. Lempung merupakan bahan katalis yang murah dan banyak terdapat di alam.
Penelitian penggunaan lempung sebagai katalis padat biodiesel pada kegiatan 2008 telah menghasilkan lempung asam yang mampu mengkonversi asam lemak bebas (FFA) melalui reaksi esterifikasi sebesar 91,6% dengan metode perendaman dalam larutan asam sulfat selama 2 minggu. Peneitian tersebut masih dalam skala laboratorium yang dilakukan untuk proses aktifasi menggunakan beaker glass volume 1 liter. Mengacu kepada hasil kegiatan tahun sebelumnya dan adanya kemungkinan melakukan kerjasama penelitian antara Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara dengan Lemigas dan pabrik biodiesel yang telah beroperasi, memotivasi untuk melanjutkan penelitian benefisiasi lempung untuk bahan katalis sintesis biodiesel pada kegiatan 2009 dengan menggunakan salah satu metode dari hasil kegiatan peneitian 2008 yaitu perendaman lempung dalam larutan asam Sulfat selama 2 (dua) minggu dari skala laboratorium ke skala bench untuk proses aktifasinya diperbesar menggunakan reaktor buatan volume 10 liter. Dari penelitian skala bench ini, diharapkan diperoleh lempung asam yang mampu mengkonversi asam lemak bebas (FFA) sebesar 98,73% yang dihasilkan dari asam sulfat 5 M sebagai katalis, mampu mengkonversi CPO menjadi biodiesel dan mendapatkan data proses pengaktifan lempung sebagai katalis.
1.2. Perumusan Masalah
2
Lempung berpotensi sebagai katalis padat sintesis biodiesel, hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian kegiatan 2008 dapat dihasilkan lempung asam yang mampu mengkonversi asam lemak bebas sebesar 91,6 % melalui reaksi esterifikasi. Namun, jika dibandingkan dengan asam sulfat yang digunakan sebagai katalis dalam reaksi esterifikasi, konversi yang diperoleh sebesar 98,73%. Sehingga konversi yang dihasilan belum optimum.
1.3. Ruang Lingkup Kegiatan Ruang lingkup kegiatan Benefisiasi Lempung Skala Bench Untuk Bahan Katalis Sintesis Biodiesel meliputi kegiatan sebagai berikut : 1. pengambilan sampel lempung di daerah Bogor; 2. peningkatan kadar monmorillonit dengan pemisahan mineral-mineral pengotor dari monmorilonit, 3. pengaktifan lempung dengan perendaman menggunakan larutan H2SO4 variasi konsentrasi 0,05;0,5;5 dan 10 M skala bench selama 2 minggu, 4. karakterisasi Lempung alami dan hasil aktifasi; 5. pengujian produk dengan uji sintesis biodiesel menggunakan katalis hasil aktifasi lempung melalui reaksi esterifikasi skala bench, dan 6. pembuatan laporan penelitian. 1.4. Tujuan Melakukan penelitian pengolahan lempung serta proses pengaktifannya untuk meningkatkan kemampuan katalitiknya dalam mengkatalisis reaksi sintesis biodiesel melalui uji reaksi esterifikasi. Sehingga lempung dapat dijadikan katalis padat pengganti katalis cair.
1.5. Sasaran Menghasilkan bahan katalis padat yang mampu mengkonversi asam lemak bebas sama dengan katalis cair (H2SO4 5 M) yaitu sebesar 98,73%.
1.6.Lokasi Penelitian Kegiatan penelitian benefisiasi lempung untuk katalis sintesis biodiesel terutama dilakukan di laboratorium Pengolahan Mineral, Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara, Bandung. Contoh lempung diambil di daerah Desa Parakan Muncang,
3
Kecamatan Nanggung, Bogor sesuai dengan hasil penelitian kegiatan 2008 yang menunjukkan bahwa lempung dari Bogor lebih bagus hasilnya konversinya terhadap asam lemak bebas dibanding lempung dari daerah Tasikmalaya. Selain itu juga dibutuhkan bahan perbandingan untuk melihat karakteristik lempung di sebaran pada kecamatan yang sama dengan kegiatan tahun lalu, dilakukan pengambilan sampel di Desa Nanggung, Kecamatan Nanggung. Peta lokasi pengambilan contoh lempung dapat dilihat dalam peta Jawa Barta pada gambar 1.1 yang diperjelas dengan gambar 1.2. lokasi pengambilan sampel di desa Nanggung, Kecamatan Naggung, Bogor. Lingkungan sekitar lokasi pengambilan contoh lempung terlihat pada gambar 1.2. E 106°
E 107°
E 108°
S
6°
---- 6°
Jakarta Serang Tangerang Pandeglang Cilegon
Bekasi Indramayu
Karawang Rangkasbitung Cibinong Jasinga Purwakarta Leuwiliang
Subang
Cirebon
Bogor
Malingping Cianjur Bandung Sukabum Garut S 7° -- 7°
Pelabuhan ratu
Majalengka Ciamis Tasikmalaya
-
Sindang barang Pangandaran Karangnunggal Pameungpeuk Cipatujah
Keterangan :
E 106°
E 107°
E 108
: Lokasi pengambilan sampel Gambar 1.1. Lokasi pengambilan contoh lempung di Jawa Barat
4
Gambar 1.2. Peta lokasi pengambilan contoh lempung di desa Nanggung, Kecamatan Nanggung, Bogor.
Gambar 1.3. Punggungan bukit lokasi pengambilan sampel di daerah desa Nanggung, Kecamatan Naggung, Bogor
5
II.
TINJAUAN PUSTAKA
Proses manufaktur yang sudah mapan misalnya untuk kimia organik masih menggunakan reaktor jenis tangki berpengaduk dengan metode yang konvensional, pelarut yang volatil, reagen berdasarkan stoikiometri dan bahan kimia yang berbahaya. Prosesnya sering tidak efisien dan menghasilkan limbah berjumlah besar sekitar 10 – 50 kali dari jumlah produk. Heterogenisasi adalah salah satu teknologi bersih baru yang sangat penting, yang sedang dikembangkan untuk mengurangi limbah cair dari reaksi organik. Keuntungan lain dari teknologi ini termasuk menghindari penggunaan pelarut (katalis heterogen atau reagen heterogen dapat beraksi sebagai pelarut padat) dan meningkatkan selektifitas.
Katalis adalah suatu bahan yang dapat mempercepat laju reaksi suatu proses tanpa mengalami perubahan dan tidak ikut bereaksi. Katalis tidak berfungsi sebagai pereaktan dan bukan merupakan produk tetapi berperan dalam reaksi. Reaksi dapat berlangsung lebih cepat dengan bantuan katalis karena katalis menyediakan suatu jalur reaksi dengan energi aktivasi yang lebih rendah sehingga mengurangi energi yang dibutuhkan untuk berlangsungnya reaksi.
Katalis terdiri dari dua jenis yaitu katalis homogen dan katalis heterogen. Katalis homogen adalah katalis yang sefase dengan pereaktan dalam reaksi suatu proses. Sedangkan katalis heterogen adalah katalis yang berbeda fase dengan pereaktan. Pada industri petrokimia seperti cracking, katalis padat (heterogen) telah banyak dipakai selama berabad-abad. Katalis yang digunakan berasal dari lempung yang diaktifkan dengan perlakuan larutan asam.(Anon, 2006)
Salah satu proses manufaktur yang menngunakan katalis adalah proses pembuatan bodiesel. Selama ini proses pembuatan biodiesel biasanya menggunakan katalis cair (katalis homogen). Namun pemakaian katalis cair tersebut baik asam maupun basa masih memiliki sejumlah kendala, yaitu : pemisahan katalis dari produknya sulit karena sama-sama dalam fasa cair, korosif,
katalis sisa
tidak bisa dipakai lagi sehingga menghasilkan limbah yang
6
membahayakan lingkungan, serta sulit dalam
penanganan dan penyimpanannya. Katalis
padat hasil pemisahan dari produk, di Jepang telah dimanfaatkan sebagai bahan campuran semen.
Dalam rangka mencari teknologi yang lebih bersih dalam manufaktur biodiesel, diperlukan produksi katalis dengan efektifitas tinggi dalam bentuk fisik yang fleksibel agar sesuai untuk berbagai teknologi kimia proses. Zeolit dapat memenuhi spesifikasi tersebut namun memiliki ukuran pori tertentu dan hanya bisa mengakomodasi ukuran molekul tertentu. Sedangkan silika berpori memiiliki ukuran pori yang sesuai tetapi kurang aktif dalam reaksi kimia. Mineral lempung memiliki sifat-sifat yang berbeda dan menarik, merupakan katalis yang sangat efektif untuk berbagai macam reaksi organik. Luas permukaan yang tinggi dari lempung, dapat menjadikan lempung sebagai pendukung katalis padat (heterogen) dalam beberapa reaksi.
Cadangan lempung di Indonesia mencapai 573.069.000 ton (DIM, 2004) diantaranya merupakan jenis mineral monmorilonit dikenal dengan bentonit. Bentonit memiliki struktur berlapis (gambar 2.1). sehingga memiliki luas permukaan yang besar, mampu menukar kation, dan dapat mengembang jika kontak dengan air. Oleh karena itu, lempung berpotensi dijadikan sebagai bahan baku katalis.
Gambar 2.1. Struktur berlapis lempung bentonit
Bentonit merupakan bahan galian yang terdiri dari mineral-mineral berharga yang dapat diekstrak untuk dimanfaatkan biasanya bercampur dengan mineral berharga lainnya dengan pengotor-pengotornya. Mineral adalah
material berbentuk padat dan memiliki struktur
kristal yang terjadi secara alami melalui proses geologi dengan karakteristik komposisi kimia,
7
struktur atom dan sifat-sifat fisis tertentu. Pemanfaatan mineral memerlukan proses pengolahan yang tepat sehingga menjadi suatu produk.
Teknologi pengolahan mineral terdiri dari 3 (tiga) macam, yaitu mineral dressing, extractive metallurgy dan Fuel Technology. Mineral dressing adalah proses untuk memisahkan mineral berharga dari mineral tak berharga dengan memanfaatkan perbedaaan sifat-sifat fisik dari kimia mineral-mineral tersebut tanpa merubah identitas fisika dan kimianya. Sedangkan extractive metallurgy dan fuel technology juga pengolahan mineral namun dalam prosesnya terjadi perubahan sebagian atau seluruh sifat-sifat fisika dan kimia dari mineral-mineral tersebut.
Proses pengolahan mineral terdiri dari dua proses, yaitu: liberasi atau pelepasan mineral berharga dari mineral pengotor, dan pemisahan mineral berharga dari pengotornya yang disebut konsentrasi. Liberasi mineral merupakan hasil dari proses kominusi (pengecilan ukuran) yang terdiri dari peremukan dan penggerusan. Sedangkan konsentrasi dilakukan berdasarkan sifat optik, perbedaan sifat permukan, densitas, kemagnetan, dan daya hantar listrik (elektrostatis) (wills, Barry A., 2006). Selain dua proses utama tersbeut, terdapat proses penting lain seperti sizing (penyeragaman ukuran) dengan menggunakan saringan atau classifier dan dewatering (pemisahan air dari padatan) dengan menggunakan thickener, filter press dan pengeringan (oven).
Keaktifan lempung yang tinggi diperoleh dengan diawali proses pemisahan antara mineral montmorilonit dengan pengotor yang biasanya dilakukan melalui sedimentasi atau fraksi ukuran. Pertukaran kation biasanya terjadi dengan mengontakkan lempung dengan larutan berkonsentrasi 0,5 – 1 M selama 24 jam. Kemudian lempung dipisahkan dengan centrifuge atau di endapkan untuk mennghilangkan kation belebih yang dapat bertukar sebelum dikeringkan pada 40 – 50C yang dilanjutkan dengan penggerusan.
Reaksi katalisis dari lempung monmorilonit menggunakan perlakuan asam atau pertukaran kation mineral lempung. Keaktifan asam Lewis dan Bronsted sangat umum terjadi, asam lewis berkaitan dengan aluminium atau besi yang terletak pada ujung kristal. Sedangkan reaksi Bronsted menghasilkan asam bebas (pada lempung yang mendapatkan perlakuakn asam)
8
atau dari disosiasi molekul air pada interlayer sehinga kation ipada interlayer terpolarisasi. Konsentrasi H+ pada interlayer dapat mencapai 10 M.
Lempung yang mendapatkan perlakukan asam, terjadi liberasi ion Al 3+ atau Fe3+ dari lapisan oktahedral dan pindah menuju ujung kristal atau dalam interlayer. Hal ini dapat meningkatkan luas permukaan hingga 300 m 2/gram. Keasaman Lewis meningkat pada suhu kamar dengan menambahkan asam seperti ZnCl2 dan AlCl3 ke permukaan mineral lempung.(Bergaya, F, dkk, 2006)
Perlakuan asam yang komersial dilakukan menggunakan asam klorida, sulfat atau fosfat dengan variasi konsentrasi dan waktu. Pertukaran ion montmorilonit dengan kation seperti Al3+, Fe3+, Cu2+, Zn2+, Ni2+, Co2+ dan Na+ dapat memodifikasi keaktifan katalitik dari katalis lempung. Pertukaran kation dengan pemanasan atau perlakuan asam membuat air pada interlayer hilang. Lempung yang bertukar dengan kation monovalensi melalui pemanasan diatas 100C dapat mengurangi jarak interlayer dan perbesaran jarak kembali seperti semula sulit dilakukan. Sehingga perlakuan benefisiasi pada lempung atau aktifasi dengan pemanasan tidak memberikan hasil yang baik jika diaplikasikan sebagai katalis. Hal ini sesuai dengan hasil kegiatan 2008 yang menunjukkan hasil optimum dari dua metode aktifasi yaitu pemanasan dan perendaman, adalah perendaman selama 2 minggu yang dilakukan dalam skala laboratorium menggunakan beaker glas ukuran 1 liter.
Perendaman selama 2 minggu berarti secara kimia kontak dengan asam (acid activation). Tujuan dari aktifasi kontak asam adalah untuk melepaskan ion-ion pengotor seperti magnesium dan besi sehingga secara fisik lempung tersebut menjadi lebih aktif (Zulkarnain dkk, 1991). Lempung hasil aktifasi dengan larutan asam disebut acid clay .
Di Jepang, acid clay diperoleh dari alam tanpa proses pengaktifan. Jadi bentonit dan acid clay memiliki perbedaan sifat fisis sebagai berikut :
9
Acid Clay
Bentonit
Monmorillonit
Monmorillonit
Rasio mol SiO2/Al2O3
6 – 10
4–6
pH suspensi
5–6
7 – 8.5
Kandungan mineral utama
Sifat-sifat tersebut dapat menjadi pedoman untuk karakterisasi bentonit yang dipakai dalam penelitian sebagai bahan baku dan acid clay hasil pengaktifan dengan asam.
Peningkatan kadar montmorilonit dan pengaktifan lempung dengan asam telah dilakukan Aziz dkk tahun 2005 dalam pembuatan penyangga katalis dari mineral lempung. Hasil dari peningkatan kadar, montmorilonit menjadi dominan dilihat dengan analisis XRD. Sedangkan hasil pengaktifan baru menghasilkan luas permukaan spesifik pada lempung sebesar 152 m2/gram. Luas permukaan spesifik untuk katalis harus berkisar 200 – 250 m2/gram.
Penelitian kemungkinan penggunaan lempung sebagai sebagai katalis pada esterifikasi Palm Fatty Acid Distillate (PFAD) atau asam lemak bebas FFA telah dilakukan diantaranya oleh Fabian dan Yessi dengan metode aktifasi secara pemanasan selama 6 jam pada suhu 70 oC dan kalsinasi pada suhu 500oC selama 4 jam, namun tingkat konversinya masih rendah yaitu 55 % dan 53,5 % dengan kekuatan asam yang dipakai untuk aktifasi 2,5 M.
Penelitian lain tentang pemakaian katalis berbasis lempung juga telah dilakukan oleh Jaimasith, M dan Phiyanalinmat, S, 2007 menggunakan kaolin dan black clay. Biodiesel yang dihasilkan memiliki viskositas dan residu karbon lebih tinggi dibanding dengan solar. Jadi, lempung memiliki kemampuan sebagai katalis padat untuk sintesis biodiesel.
Penelitian-penelitian sebelumnya mengenai pemanfaatan lempung sebagai katalis termasuk kegiatan penelitian 2008 masih dalam skala laboratorium. Prosenya masih berlangsung batch untuk mendapatkan kondisi operasi optimum. Pada kegiatan 2008, proses upgradingnya masih berlangsung batch begitu pula proses aktifasi masih menggunakan alat gelas vulme 1 liter. Setelah mendapatkan metode yang tepat, maka proses ditingkatkan menjadi bech scale yang bersifat semi konitu. Skala bench didefiniskan sebagai demonstrasi proses teknologi skala sangat kecil yang dilakukan dalam laboratorium.
10
Proses upgrading lempung sudah berlangsung kontinyu sedangkan aktifasi masih berlangsung batch menggunakan reaktor buatan dar bahan akrilik bervolume 10 liter. Proses aktifasi berlangsung selama 2 minggu sehingga jika dilaksanakan kontinyu harus memiliki beberapa reaktor.
III. PROGRAM KEGIATAN Kegiatan penelitian Benefisiasi Lempung untuk Katalis Sintesis Biodiesel tahun 2009 secara garis besar terdiri atas : 1. studi literatur dilakukan dengan memperoleh literatur dari perpustakaan LIPI, BPPT dan Balitbang serta dari internet; 2. pengambilan contoh lempung di daerah Kabupaten Nanggung, Bogor dengan pembuatan sumur uji dan paritan (prosedur pengambilan sampel tertera pada lampiran 1; 3. karakterisasi sampel dengan analisis ayak, uji swelling index, nilai Kapasitas Pertukaran Kation (KPK), difraksi sinar-x, SEM, analisis kimia, Surface area (BET), dan keasaman; 4. peningkatan kadar monmorilonit memakai unit up grading meliputi perendaman, pelepasan ikatan fisis dengan scrubber, pemisahan mineral para magnetik (magnetic separator), pemisahan mineral ukuran > 2 mikron dengan monmorilonit melalui hidrosiklon dan pemisahan
air dengan
lempung hasil peningkatan kadar
menggunakan spray drier; 5. karakterisasi lempung hasil up grading dengan difraksi sinar-x, swelling index, SEM, BET dan analisis kimia; 6. pengaktifan lempung menggunakan asam sulfat variasi konsentrasi (0,05;0,5;5; dan 10 M) dengan metode perendaman selama 2 (dua) minggu tanpa pemanasan; 7. pencucian lempung hasil aktifasi sampai pH 6 - 7 dengan aquades; 8. penstabilan struktur lempung aktif dengan kalsinasi pada 300C selama 2 jam; 9. karakterisasi lempung aktif dengan mengetahui keasaman lempung aktif, difraksi sinar-x, analisis kimia, SEM, surface area (BET); 10. pengujian keaktifan lempung dengan reaksi esterifikasi; dan
11
11. penyusunan laporan.
IV.
METODOLOGI PENELITIAN Contoh lempung yang diambil dari desa Nanggung, Kecamatan Naggung, Bogor di karakterisasi dengan analisis fisik berupa analisis ayak basah untuk mengetahui ukuran dominan bahan baku tersebut pada fraksi berapa, distribusi ukuran untuk mengetahui distribusi ukuran lempung pada ukuran dominan hasil ayak basah, difraksi sinar-x untuk mengetahui kandungan mineral yang terdapat pada lempung , uji swelling index untuk mengetahui daya mengembang lempung, perhitungan nilai tukar kation (KTK), luas permukaan (surface area), dan uji keasaman lempung dan lempung aktif. Selain itu dilakukan analisis kimia untuk mengetahui komposisi kimia bentonit dari alam.
Setelah diketahui karakter dari lempung tersebut, maka dapat ditentukan langkahlangkah proses pengolahan yang tepat untuk contoh lempung tersebut. Lempung memiliki daya mengembang sehingga untuk mempermudah pemutusan ikatan fisik antara monmorilonit, mineral utama lempung, dengan pengotor maka lempung perlu dilakukan perendaman terlebih dahulu selama 24 jam. Setelah itu slurry lempung di aduk menggunakan scrubber sehingga ikatan antara monmorilonit dan pengotor lepas akibat lemahnya ikatan karena mengembang sehingga mudah terliberasi. Pengotor berupa besi oksida dipisahkan dengan magnetic separator basah sehingga yang bersifat para megnetik akan terpisah dengan monmorilonit yang non magnetik.
Selain pengotor besi, lempung tersebut juga dipisahkan dari pasir kuarsa dan lainnya. Proses pemisahan yang sesuai antara butiran kasar (pasir) dengan sangat halus (monmorilonit) menggunakan hidrosiklon. Umpan masuk secara tangensial dengan bantuan pompa bertekanan 2,6 bar, sehingga berputar sangat cepat dan menimbulkan gaya sentrifugal dalam hidrosiklon. Hasilnya, butiran-butiran lebih kasar dari cut point size (cps) terlempar ke dinding bagian dalam, turun ke bawah dan keluar dari lubang bawah atau apex berdiamter1 inci sebagai limpahan bawah
12
(underflow). Sedangkan butiran halus lebih kecil dari cps yang mengandung monmorilonit akan terlempar ke atas menjadi luapan atas (overflow).
Suspensi luapan atas kemudian dikeringkan menggunakan alat pengering jenis spray drier karena karakteristik lempung (bentonit) didominasi mineral monmorillonit yang terdistribusi pada ukuran sangat halus dan tidak dapat dikeringkan secara mekanik. Prosedur kerja proses upgrading dapat dilihat pada lampiran 2. dilakukan menggunakan alat-alat pengolahan mineral yang terlihat pada gambar 4.1.
Lempung hasil proses peningkatan kadar diaktifasi dengan asam sulfat (H 2SO4) variasi molaritas, yaitu 0,05; 0,5; 5 dan 10 M. Tujuan aktifasi adalah untuk menghilangkan sisasisa pengotor dan meningkatakn keasaman lempung karena monmorilonit memiliki daya tukar kation, sehingga kation-kation akan bertukar dengan H+ dari asam sulfat. Variasi konsentrasi diambil dari hasil penelitian sebelumnya oleh Muchtar aziz dkk, 2005 yang menggunakan konsnetrasi 0,1; 1 dan 5 M dengan perendaman 2 minggu. Pemilihan rentang konsnetrasi kegiatan ini, untuk melihat pengaruh konsentrasi lebih kecil dan lebih besar dari konsnetrasi penelitian sebelumnya tersebut. Perbandingan antara lempung dengan larutan asam sulfat 1:25.
Metode pengaktifan dipilih dari
kegiatan 2008 yang hasilnya paling baik, yaitu perendaman selama 2 (dua) minggu. Prosedur kerja proses aktifasi terpapar pada lampiran 2. Proses aktifasi menggunakan reaktor buatan dar bahan akrilik dengan masing-masing kolom bervolume 10 liter (gambar 4.2).
Setelah diaktifasi, lempung aktif perlu dicuci dari sisa asam pada permukaan lempung dan dinetralkan. Lalu dilkalsinasi untuk menstabilakn ikatan monmorilonit. Lempung aktif lalu diuji dengan reaski esterifikasi menggunakan bahan baku CPO, minyak jarak dan FFA. Rangkaian alat proses esterifikasi terlihat pada gambar 4.3. Penelitian kegiatan 2008, menggunakan FFA bisa menghasilkan konversi keasaman minyak optimum di 91,6%.
13
Gambar 4.1 Proses peningkatan kadar monmorilonit pada lempung
0,05 M
0,5 M
5M
10 M
Gambar 4.2. Proses aktifasi lempung monmorilonit dengan asam sulfat
14
Gambar 4.3. Rangkaian alat reaksi esterifikasi
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 . Karakterisasi lempung Lempung yang digunakan dalam kegiatan penelitian 2009 sama dengan lempung yang digunakan pada kegiatan 2008 yang diambil di desa Parakan Muncang, Kecamatan Nanggung, Bogor. diambil dari alam Desa Nanggung, Kecamatan Nanggung, Bogor. Contoh lempung dianalisis fisik ulang untuk memvalidasi hasil kegiatan 2008. Analisis fisik yang dilakukan adalah X-Ray Diffraction (XRD) sehingga diketahui komposisi mineral yang terkandung pada lempung tersebut yang tertera pada gambar 5.1, yaitu monmorilonit, kristobalit dan kuarsa.
15
Gambar 5.1. Hasil difraksi sinar x contoh bentonit alam dari Desa Parakan Muncang, Kecamatan Nanggung, Bogor.
Hasil analisis XRD diperkuat dengan analisis komposisi kimia contoh lempung. Menurut S.Iwao, 1969 lempung dikatakan bentonit jika perbandingan mol antara SiO2 dan Al2O3 bernilai 6 – 9. Hasil analisis kimia pada tabel 5.1, dapat dihitung perbandingan mol antara SiO2 dan Al2O3 yang hasilnya 6,96 yang termasuk dalam lemoung jenis bentonit.
Tabel 5.1. Komposisi Kimia lempung kode T2 Kode
T2
Al2O3
SiO2
Fe2O3
Na2O
CaO
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
15,41
63,2
4,86
0,36
1,49
K2O (%)
2,68
Hasil analisis XRD dan kimia menunjukkan bahwa contoh lempung mencirikan lempung jenis bentonit. Bentonit memiliki kemampuan tukar kation yang ditunjukkan melalui analisis Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan lempung kode T2 memiliki KTK sebesar 16,0 meq/100 gram. Standar KTK yang baik untuk bentonit adalah 70 – 120 meq/100 gram, sehingga contoh bentonit tersebut perlu dilakukan proses upgrading untuk memisahkan pengotor-pengotor selain mineral utama bentonit, yaitu monmorilonit.
Selain kemampuan tukar kation, bentonit juga mampu mengembang jika dicampur dengan air. Daya mengembang tersebut diketahui melalui uji swelling index, contoh bentonit yang telah dicampur air setelah 5 menit mampu mengembang 40% dari awal pencapuran dan setelah 24 jam bertambah menjadi 80% dari awal pencampuran. Hasil uji tersebut menunjukkan setelah 24 jam perendaman dalam air, pengotor-pengotor
16
akan lebih mudah dipisahkan ikatan fisisnya dengan monmorilonit saat proses upgrading.
Pembanding contoh lempung kode T2 diambil dari Desa Nanggung Kecamatan Nanggung , Bogor untuk mengetahui keseragaman cadangan lempung dan pengaruh proses upgrading terhadap contoh tersebut. Contoh lempung yang diambil berasal dari dua jenis metode pengambilan sampel, yaitu sumur uji dengan kode sampel T1 dan paritan dengan kode sampel P1.
Dilihat secara visual pada gambar 5.1, tampak lempung berwarna putih. Distribusi ukuran masing-masing lempung diketahui melalui analisis ayak basah (Tabel 5.2). Ukuran paling dominan terletak pada fraksi paling halus, yaitu -325 mesh sebanyak 73,83% untuk P1 dan 96,14% untuk kode T1. Lempung dengan kode T1 diindikasikan lebih baik karena jumlah partikel berukuran -325 mesh lebih banyak dibanding P1. Dari gambar 5.3 diketahui bahwa partikel berukuran lempung ( < 2 mikron) pada contoh T1 berjumlah 40,91% berarti masih banyak mineral bukan lempung terkandung dalam lempung T1.
Gambar 5.2. Visualisasi lempung dari Desa Nanggung, Kecamatan Nanggung, Bogor
Tabel. 5.2. Hasil Analisis Ayak Basah Ukuran
% Berat
% Berat
(mesh)
(P1)
(T1)
+40
8,92
1,01
-40+60
4,72
0,52
17
-60+100
4,41
0,55
-100+200
4,51
0,53
-200+325
3,61
1,25
-325
73,83
96,14
Gambar 5.3. Distribusi ukuran partikel Lempung T1
dilakukan untuk mendeteksi kandungan mineral-mineral yang terdapat dalam lempung bentonit secara fisis dideteksi melalui analisis difraksi sinar x. Kandungan mineral pada contoh lempung dengan kode P1 dan T1 terlihat pada gambar 5.4. Pada contoh kode P1, lempung mengandung mineral yang terdiri dari mordenite, stilbite-Ca, heulandite-K,
halloysite dan cristobalite. Sedangkan pada contoh kode T1 terdiri metahalloysite, montmorillonite-chlorite dan Cristobalite.
Secara umum puncak-puncak karakteristik untuk monmorillonit terletak pada 20o dan 35º. Contoh kode P1 tidak mengandung monmorillonit yang merupakan mineral utama lempung bentonit sehingga mengindikasikan bahwa lempung kode P1 bukan bentonit dan tidak dapat digunakan sebagai bahan baku dalam kegiatan penelitian. Pada contoh kode T1, tampak kandungan monmorilonit dalam lempung tersebut belum dominan sehingga perlu dilakukan proses peningkatan kadar (upgrading).
18
400 T1
4.562 [°]; 19.35247 [Å]
Counts
10
20
01-076-2214 00-013-0375 00-001-0438 8 13 20 Heulandite-K Halloysite Cristobalite
30
40
60
Displacement [°2Th.] 0.000 0.000 Scale Factor 0.407 0.831
0.000 0.000 0.000 0.478 0.506 0.947
50
60
73.777 [°]; 1.28328 [Å]; Cristobalite
* * * 50
77.149 [°]; 1.23538 [Å]; Cristobalite
40
62.670 [°]; 1.48122 [Å]; Halloysite-7A; Cristobalite
11 12
54.706 [°]; 1.67648 [Å]; Halloysite-7A; Cristobalite
30
38.337 [°]; 2.34600 [Å]; Halloysite-7A; Cristobalite
20
35.136 [°]; 2.55204 [Å]; Halloysite-7A 36.167 [°]; 2.48164 [Å]; Cristobalite
00-022-1339 01-070-2449 Score
26.811 [°]; 3.32258 [Å]; Montmorillonite-chlorite
* * Compound Name Mordenite Stilbite-Ca
Ref. Code
22.092 [°]; 4.02040 [Å]; Montmorillonite-chlorite; Cristobalite
10
15.362 [°]; 5.76329 [Å]; Mordenite; Heulandite-K
13.604 [°]; 6.50355 [Å]; Mordenite; Stilbite-Ca; Heulandite-K
64.792 [°]; 1.43775 [Å]; Cristobalite
62.443 [°]; 1.48607 [Å]; Cristobalite
51.087 [°]; 1.78641 [Å]; Stilbite-Ca; Heulandite-K
43.824 [°]; 2.06416 [Å]; Stilbite-Ca; Heulandite-K
38.681 [°]; 2.32591 [Å]; Stilbite-Ca; Heulandite-K; Halloysite
35.075 [°]; 2.55631 [Å]; Stilbite-Ca; Heulandite-K; Halloysite 36.039 [°]; 2.49013 [Å]; Mordenite; Stilbite-Ca; Heulandite-K; Halloysite; Cristobalite
29.909 [°]; 2.98501 [Å]; Stilbite-Ca; Heulandite-K
27.863 [°]; 3.19937 [Å]; Mordenite; Stilbite-Ca; Heulandite-K
25.748 [°]; 3.45719 [Å]; Mordenite; Stilbite-Ca; Heulandite-K
22.014 [°]; 4.03447 [Å]; Stilbite-Ca; Heulandite-K; Cristobalite
19.834 [°]; 4.47275 [Å]; Mordenite; Stilbite-Ca; Heulandite-K; Halloysite
100
20.074 [°]; 4.41986 [Å]; Halloysite-7A
12.166 [°]; 7.26923 [Å]; Halloysite-7A; Montmorillonite-chlorite
400 9.928 [°]; 8.90254 [Å]; Mordenite; Stilbite-Ca; Heulandite-K 11.169 [°]; 7.91531 [Å]; Heulandite-K 11.931 [°]; 7.41204 [Å]; Halloysite
P1
9.009 [°]; 9.80848 [Å]; Montmorillonite-chlorite
Visible
6.030 [°]; 14.64580 [Å]; Montmorillonite-chlorite
Counts
0
Position [°2Theta] 70
Chemical Formula
Na - Al - Si - O - H2 O Na1.76 Ca4.00 ( Al10.29 Si25.71 O72 ) ( H2 O )29.4 K6.92 ( Al9 Si27 ) O72 ( H2 O )9.7 Al2 Si2 O5 ( O H )4 Si O2
a. Hasil analisis difraksi sinar x contoh kode P1
100
0
Position [°2Theta]
70
19
Visible * * *
Ref. Code 00-029-1487 00-007-0027 00-004-0379
Score 30 9 21
Compound Name Metahalloysite Montmorillonite-chlorite Cristobalite
Displacement [°2Th.] 0.000 0.000 0.000
Scale Factor 0.734 0.106 0.804
Chemical Formula Al2 Si2 O5 ( O H )4 Na - Ca - Al - Si4 O10 - O Si O2
b. Hasil analisis difraksi sinar x contoh kode T1 Gambar 5.4. Hasil analisis difraksi sinar x contoh kode P1 dan T1
Bentonit kode T1 mempunyai prosentase daya mengembang (swelling index) rata-rata setelah 5 (lima) menit dicampur air adalah 10 % dan mengalami peningkatan setelah didiamkan selama 24 jam nilainya menjadi 20 % dari awal pencampuran. Hal ini dikarenakan monmorillonit mempunyai kemampuan mengembang (swelling) karena adanya ruang diantara lapisan-lapisan yang disebut interlamellar sehingga air dan molekul polar lainnya dapat menembus lapisan-lapisan tersebut dan mengakibatkan kisi dapat mengembang, memperbesar pemisahan antar unit montmorillonit dan membuat permukaan menjadi lebih halus membentuk suspensi pertikel-partikel koloid. Sehingga sebelum melakukan proses peningkatan kadar monmorilonit (up grading), bentonit perlu direndam selama 24 jam agar mengembang dan proses pemisahan secara fisik lebih mudah.
Kemampuan lempung dalam pertukaran kation ditentukan dari nilai KTK. Bentonit kode T1 mempunyai nilai KTK 12,8 meq/100 gram. Nilai KTK tersebut sangat kecil untuk mineral monmorilonit yang umumnya bisa mencapai 70 – 120 meq/100 gram (Grim , 1968) dan lebih kecil dari kode T2. Hal ini terjadi karena bentonit yang diperoleh tersebut masih banyak pengotor dan kandungan monmorilonitnya belum dominan sehingga perlu dilakukan proses peningkatan kadar monmorilonit (up grading) dengan pemisahan pengotor.
Selain secara fisis contoh juga dianalisis kandungan-kandungan kimia nya seperti tertera pada Tabel 5.3. Hasil analisis tersebut diketahui perbandingan mol antara SiO 2 dan Al2O3. Bentonit T1 memiliki nilai perbandingan sebesar 4,04. Berarti contoh merupakan lempung yang memiliki mineral monmorilonit (rasio 4 -6) (S. Iwao, 1969).
20
Tabel 5.3. Komposisi kimia bentonit alam Kode
T1
Al2O3
SiO2
Fe2O3
Na2O
CaO
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
26,3
55,9
3,89
0,044
0,016
K2O (%)
0,25
5.2 .Hasil Proses Upgrading Diketahui bahwa contoh kode T2 mengandung motmorilonit dan dilakukan proses peningkatan kadar seperti contoh sebelumnya. Hasil proses peningkatan kadar terlihat melalui difraksi sinar x pada gambar 5.5. contoh tersebut mengandung mineral dengan urutan yaitu montmorilonit dan kuarsa, tampak montmorilonit terletak pada urutan pertama sehingga disimpulkan montmorilonit sudah dominan dibanding mineral pengotor lainnya yaitu kuarsa sedangkan kristobalit sudah tidak terdeteksi dalam hasil luapan atas bersama monmorilonit. Hal ini berarti proses peningkatan kadar sudah berhasil
memisahkan
mineral
pengotor
berukuran
kasar
(kristobalit)
dengan
montmorilonit. Untuk kuarsa, belum berhasil dipisahkan karena kemungkinan ukuran partikelnya sama halus atau lebnih halus dari monmorilonit. Hasil ini didukung dengan analisis kandungan oksida pada bentonit yang terdapat pada luapan atas dari proses upgrading (OFT2) pada table 5.5. Terlihat kandungan SiO2 menurun dari 63,2% menjadi 56,6% menunjukkan kristobalit sudah terpisah, namun kuarsa masih terkandung dalam bentonit tersebut.
Penurunan kandungan SiO2 tersebut mempengaruhi nilai perbandingan mol antara SiO2 dan Al2O3 menjadi 4,73 namun masih termasuk dalam lempung jenis bentonit. Nilai KPK untuk bentonit OFT2 meningkat menjadi 28,2 meq/100 gram. Peningkatan ini disebabkan peningkatan luas permukaan OFT2 menjadi 75,24 m 2/g dibanding lempung alami T2 hanya 68,44 m2/gram. Hal ini terjadi karena sudah dilakukan pemisahan pengotor dan rusaknya ikatan-ikatan (broken bond) pada ujung unit silika alumina. Ikatan-ikatan yang rusak cenderung terjadi pada permukaan bukan belahan. Hal ini terjadi sewaktu melewati proses pengecilan butir (pemecahan, penggilingan) sehingga terjadi distorsi pada kisi-kisinya.
21
Tabel 5.4. Kandungan oksida bentonit hasil proses upgrading (luapan atas) Kode
OF T2
Al2O3
SiO2
Fe2O3
Na2O
CaO
MgO
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
20,3
56,6
4,62
0,64
1,46
1,56
Gambar 5.5. Hasil difraksi sinar x produk proses upgrading contoh bentonit dari Desa Parakan Muncang, Kecamatan Nanggung, Bogor
Lempung kode T1 hasil proses upgrading, sebagai perbandingan, secara fisis dan kimia mengalami perubahan. Distribusi ukuran contoh hasil upgrading menunjukkan mineral dengan ukuran < 2 mikron meningkat 2,5 kali dari jumlah contoh awal. Hal ini menunjukkan telah terjadi pemisahan antara montmorilonit berukuran halus dengan pengotor berukuran kasar. Pada gambar 5.6, dapat dilihat distribusi contoh bentonit kode T1.
Gambar 5.6. Distribusi ukuran partikel bentonit T1 hasil upgrading
22
Kandungan mineral contoh hasil proses upgrading dilihat dari analisis difraksi sinar x pada gambar 5.7 mineral monmorilonit pada lempung tidak tampak sehingga perlu validasi hasil analisis. Ternyata hasil validasi analisis (gambar 5.8) menunjukkan contoh kode T1 hasil proses upgrading tidak mengandung montmorillonit sehingga perlu dilakukan validasi analisis contoh bentonit dari alam. Hasil validasi bentonit alam T1 pada gambar 5.9 tidak tampak mineral montmorilonit. Untuk memperkuat hasil analisis XRD, dapat dikpastikan dari perbandingan mol SiO2 dan Al2O3 dilihat dari hasil analisis kimia pada tabel 5.5. Hasil perhitungan perbandingan tersebut adalah 3,75 dan menurut S. Iwao perbandingan mol 4-6 dikatakan bentonit. Sehingga contoh T1 bukan bentonit dan tidak dapat diproses lebih lanjut karena diindikasikan contoh bukan lempung bentonit. Hasil analisis difraksi sinar x awal kemungkinan menggunakan pemercontoh yang terdapat kondungan montmorilonit yang jumlahnya sangat kecil yang diambil dari daeral
64.986 [°]; 1.43392 [Å]; Cristobalite
62.427 [°]; 1.48640 [Å]; Cristobalite; Nontronite
44.590 [°]; 2.03046 [Å]; Cristobalite
38.374 [°]; 2.34382 [Å]; Cristobalite; Halloysite
400
34.940 [°]; 2.56589 [Å]; Halloysite; Nontronite 36.021 [°]; 2.49133 [Å]; Cristobalite; Halloysite
19.913 [°]; 4.45520 [Å]; Halloysite; Nontronite
11.896 [°]; 7.43367 [Å]; Halloysite
OF
21.931 [°]; 4.04955 [Å]; Cristobalite; Nontronite
peralihan pembentukan lempung bentonit dan zeolit. Counts
100
0 10
20
30
40
50
60
Position [°2Theta]
Visible * * *
Ref. Code 00-004-0379 00-013-0375 00-002-0219
Score 29 21 22
Compound Name Cristobalite Halloysite Nontronite
Displacement [°2Th.] 0.000 0.000 0.000
Scale Factor 0.455 0.331 0.231
Chemical Formula Si O2 Al2 Si2 O5 ( O H )4 Fe2 O3 !4 Si O2 ! H2 O
Gambar 5.7. Hasil analisis difraksi sinar x pada contoh hasil upgrading
23
-40 # (II)
400
Visible
* * * Counts
10
Ref. Code
00-004-0379 01-085-0794 00-029-1487
Score
35 10 29 20
Kode
T1 30 40
Compound Name
Cristobalite Quartz Kaolinite (metahalloysite) 50
Al2O3
SiO2
(%)
(%)
26,0
57,4
Displacement [°2Th.] 0.000 0.000 0.000
Scale Factor 0.706 0.191 0.553
69.431 [°]; 1.35258 [Å]; Cristobalite
62.492 [°]; 1.48502 [Å]; Cristobalite; Halloysite-7A
54.565 [°]; 1.68048 [Å]; Cristobalite; Quartz; Halloysite-7A
44.569 [°]; 2.03137 [Å]; Cristobalite
42.535 [°]; 2.12368 [Å]; Cristobalite; Quartz
38.335 [°]; 2.34611 [Å]; Cristobalite; Halloysite-7A
35.005 [°]; 2.56129 [Å]; Halloysite-7A 36.118 [°]; 2.48483 [Å]; Cristobalite; Quartz
31.597 [°]; 2.82933 [Å]; Cristobalite
26.696 [°]; 3.33663 [Å]; Quartz
24.355 [°]; 3.65174 [Å]; Halloysite-7A
22.004 [°]; 4.03629 [Å]; Cristobalite
19.946 [°]; 4.44791 [Å]; Halloysite-7A
11.920 [°]; 7.41842 [Å]; Halloysite-7A
Gambar 5.8. Hasil validasi analisis difraksi sinar x pada contoh hasil upgrading
100
0
Position [°2Theta] 60
Gambar 5.9. Hasil validasi analisis difraksi sinar x pada contoh alam
Tabel 5.5 Komposis kimia lempung T1 hasil proses upgrading.
Chemical Formula
Si O2 Si O2 Al2 Si2 O5 ( O H )4
24
Contoh lempung kode T1 yang diambil tidak dapat dilanjutkan untuk proses berikutnya yaitu proses aktifasi karena kandungan monmorilonit yang sangat kecil dan setelah dilakuka proses peningkatan kadar tidak mengalami perubahan yang signifikan.
5.3 Hasil Aktifasi dan Uji Keasaman Lempung hasil aktifasi dengan perbedaan konsentrasi asam sulfat, masing-masing diuji keasamannya. Keasaman masing-masing hasil aktifasi tampak pada Gambar 5.10. Terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi asam sulfat yang digunakan untuk aktifasi maka angka asam lempung juga semakin tinggi. Sehingga contoh tersebut yang dipakai untuk uji awal sintesis biodiesel melalui reaksi esterifikasi dan dikarakterisasi secara fisis dan kimia.
3.5 3.2
3.12
3 2.8 2.6
2.5 2
1.6
1.5 1 0.5 0
0
2
4
6
8
10
12
Gambar 5.10. Keasaman lempung hasil aktifasi
Secara fisis, lempung hasil aktifasi dengan perendaman selama 2 (dua) minggu tidak mengalami kerusakan struktur. Hal ini dipastikan dari hasil difraktogram lempung hasil aktifasi gambar 5.10. Terlihat bahwa mineral monmorilonit masih ada dalam semua lempung hasil aktifasi, berarti aktifasi dengan asam sulfat pada interval molaritas 0,05-10 M tidak merusak struktur mineral monmorilonit, dengan kata lain aktifasi dengan asam sulfat telah berlangsung baik.
25
Lempung hasil aktifasi dengan asam sulfat 0,05; 0,5; 5 dan 10 M terdiri atas mineral Monmorilonit dan kuarsa. Pada 6, tidak terlihat monmorilonit, kemungkinan sebagian struktur monmorilonit rusak namun pada umumnya lempung aktif tidak mengalami kerusakan yang signifikan.
0,05 M
0,5 M
5M
10 M
Gambar 5.11. Difraktogram lempung hasil aktifasi dengan
26
asam sulfat 0,05 – 10 M
Selain difraktogram, keutuhan struktur monmorilonit juga dapat diketahui dari perbandingan mol SiO2/Al2O3
dari lempung hasil aktifasi. Secara berturut turut
perbandingan mol SiO2/Al2O3 untuk lempung hasil aktifasi dengan asam sulfat konsentrasi 0,05;0,5;5;10 M adalah 6,69; 6,60; 7,87; 9,88 Menurut S.Iwao 1969 kisaran perbandingan SiO2/Al2O3 antara 6 – 9 sudah termasuk lempung asam. Ini berarti contoh lempung hasil aktifasi merupakan lempung asam.
Secara kimia, struktur monmorilonit tidak mengalami perubahan. Namun secara fisis luas permukaan lempung asam hasil aktifasi bertambah menjadi 75,24 m2/gram dibandingkan contoh lempung alam 68,44 m2/gram. Secara berturut turut luas permukaan lempung asam hasil aktifasi dengan asam sulfat 0,05; 0,5; 5; dan 10 M adalah 96,97;113,39;126,90;153,9 m2/gram. Sehingga pada konsentrasi asam 0,05 – 10 M yang dipakai untuk aktifasi menghasilkan lempung asam dengan luas permukaan semakin lama semakin besar.
5.4 Pengujian keaktifan lempung asam Lempung hasil aktifasi diuji sebagai katalis dalam reaksi esterifikasi menggunakan minyak kelapa sawit (CPO) dan minyak jarak sebaqgai pembanding umumnya terjadi dengan bantuan katalis cair yaitu asam sulfat. Angka asam awal CPO, minyak jarak dan FFA berturut-turut sebesar 17,53; 2,08 dan 239,67 mg KOH/g minyak (lampiran 4) diperoleh dengan metode seperti lampiran 3.
Setelah reaksi esterifikasi, angka asam minyak lebih kecil dari semula. Hal ini dapat dilihat dari hasil esterifikasi CPO, minyak jarak dan FFA menggunakan katalis lempung asli, lempung aktif 0,05;0,5;5 dan 10 M yang tertera pada tabel 5.5. Spesifikasi biodiesel berdasarkan SNI 04-7182-2006 menyatakan angka asam maksimum yang dikandung biodiesel 0,8 mg-KOH/g minyak.
Tabel 5.6. Angka asam minyak hasil reaksi esterifikasi
27
Katalis
Angka Asam Bahan Baku Minyak mg-KOH/g CPO
Minyak Jarak
FFA
Lempung alami
4,95
0,69
78,28
0,05 M
5,30
0,83
46,17
0,5 M
5,70
1,24
51,85
5M
6,21
1,49
60,33
10 M
5,51
0,55
60,49
Asam sulfat 5 M
1,06
3,06
Terlihat bahwa angka asam yang memenuhi spesfikasi adalah yang menggunakan bahan baku minyak jarak, hal ini dikarenakan jumlah angka asam minyak jarak semula lebih kecil dibanding CPO dan FFA sehingga lempung yang dipakai mampu menggantikan katalis cair. Sedangkan bila digunakan untuk bahan baku CPO dan FFA , katalis belum mampu memnuhi spesifikasi tersebut namun, angka asamnya sudah lebih kecil, sehingga katalis tetap dapat digunakan untuk mengurangi keasaman minyak dan mempermudah kinerja katalis cair (NaOH) dalam reaksi transesterifikasi.
Kegiatan penelitian 2008, menghasilkan lempung aktif 5 M yang mampu mengurangi keasaman FFA hingga 91,6% belum bisa menyamai keaktifan asam sulfat 5 M yang mampu mengurangi keasaman FFA hingga 98,73%. Untuk kegiatan penelitian 2009, lempung aktif 0,5 M mampu mengurangi keasaman hingga 80,74%. Hal ini berarti belum mencapai sebagaimana konversi dengan asam sulfat tersebut. Hal ini menujukkan kondisi optimum kegiatan 2008 belum sesuai untuk perbesaran skala terutama untuk proses aktifasi.Namun hasil kegiatan 2009 masih dapat dilanjutkan untuk mecari kondisi esterifikasi yang sesuai dengan lempung aktif yang dihasilkan terutama persen berat nya terhadap berat bahan baku (minyak). VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan
Peningkatan kandungan monmorilonit melalui proses upgrading telah menghasilkan dominasi monmorilonit pada contoh lempung alam T2 yang diambil dari desa
28
Nanggung, Kecamatan Naggung, Bogor, dan benefisiasi lempung yang dilakukan melalui peningkatan kandungan monmorilonit disertai proses aktifasi dengan asam sulfat telah menghasilkan lempung asam (acid clay).
Aktifasi pada interval molaritas asam sulfat 0,05 – 10 M menunjukkan semakin besar konsentrasi asam yang digunakan untuk aktifasi lempung, maka angka asam dan luas permukaan spesifik lempung semakin besar.
Lempung aktif yang dihasilkan baik untuk digunakan sebagai katalis dalam reaksi esterifikasi menggunakan minyak jarak.
Hasil pengujian lempung aktif sebagai katalis padat dalam esterifikasi menggunakan bahan baku FFA menghasilkan konversi optimum sebesar 80,74% untuk lempung hasil aktifasi dengan asam sulfat 0,05M.
6.2. Saran Perlu percobaan lebih lanjut untuk menguji keaktifan lempung dalam rekasi esterifikasi terutama jumlah lempung yang digunakan agar keasaman minyak dapat dikurangi sebagaimana kinerja asam sulfat 5 M
VII. KENDALA DAN TINDAK LANJUT 7.1 KENDALA
29
1. Contoh lempung yang diambil pada kegiatan 2009 kualitasnya tidak sebaik contoh lempung kegiatan 2008. 2. Tekanan yang dihasilkan saat proses pengeringan contoh bentonit hasil peningkatan kadar dengan spray drier hanya mecapai 120 NL/menit bar disebabkan kinerja kompresor tidak sebanding dengan besarnya tekanan yang dibutuhkan.
7.2. TINDAK LANJUT 1. Setelah dipastikan contoh kegiatan 2009 tidak dapat diproses lebih lanjut maka contoh yang digunakan untuk kegiatan 2009 adalah contoh yang diambil pada kegiatan 2008 2. Perlu dlilakukan pengadaan alat kompresor berukuran lebih besar sehingga dapat menghasilkan tekanan lebih besar pada nozzle alat spray drier.
30
DAFTAR PUSTAKA
Anonim,http://id.wikipedia.org/wiki/Katalis, diakses pada 3 jan 2008 jam 10.09 WIB
Anonim,Glossary,http://library.marist.edu/diglib/EnvSci/archives/hudsmgmt/nynjharborestuaryprogram/glossary.html, diakses pada 22 Desember 2009 jam 11.31 WIB.
Agustin, Yessi. 2007. Pengembangan Montmorillonit sebagai Katalis Sintesis Biodiesel melalui Esterifikasi Palm Fatty Acid Distillate. Departemen Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri ITB. Bandung.
Aziz, Muchtar, dkk, 2005.
Pembuatan Penyangga Katalis (Catalyst Support) dari Mineral
Lempung Aluminosilikat Dalam Skala Laboratorium Untuk Katalis FCC (Fluid Catalytic Cracking) dan RCC (Residue Catalytic Cracking). Laporan Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minera l dan Batubara.
Bergaya,F., Theng, B.K.G, and Lagaly G., 2006. Developments in Clay Science. Handbook of Clay Science 1st edition. Elsevier, UK.
Chongkong, S., Tongurai, C., Chetpattananondh, P., and Bunyakan, C., 2007. Biodiesel Production by Esterification of Palm Fatty Acid Distillate. Elsevier, UK.
Dessy Amalia dan Husaini, 2006. “Pengeringan Bentonit Hasil Pengolahan Dengan
Menggunakan Spray Drier.” Jurnal Bahan Galian Industri Vol.10 No.27. Bandung.
Dessy Amalia, dkk, 2008. Benefisiasi Lempung Untuk Bahan Katalis Sintesis Biodiesel. Laporan Penelitian Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara
Fabian, Haris dan Griyandi, 2005. Kajian Eksploratif Bahan Katalis Keramik Untuk sintesis Biodiesel. ITB.
31
Fessenden, R. J. & Fessenden, J. S. 1982. Kimia Organik Jilid 2. Edisi Ketiga. (A. H. Pudjaatmaka). Jakarta: Erlangga.
Grim, R.E. 1968. Clay Mineralogy, 2nd edition. New York. McGraw-Hill Book Co. Inc.
Husaini, Zulkarnain, Wahyudi, T., Yuhelda, Mulyana, Permana, A.S., Supangkat, Sulistiani, L., Trisnawati, I. & Amirudin, D. 2001. Laporan Kegiatan Pembangunan Pilot Plant Aktivasi Bentonit dengan Asam Sulfat untuk Penjernih Warna CPO di Daerah Karangnunggal, Tasikmalaya, JABAR.
Iwao, S, 1969. The Clays Of Japan.
Jaismasith, Manut and Phiyanalinmat, Satit, 2007. Biodiesel Synthesis from Transestrification by Clay-based Catalyst. Chiang Mai J.Sci ; 34(2) : 201-207.
Khan, Adam, 2002. Research Into Biodiesel Catalyst Screening & Development. Brisbane, Australia.
Zandy,Agustinus dkk ,2007. Intensifikasi Proses Produksi Biodiesel. ITB & PT. Rekayasa Industri.
Zulkarnain, Rochim, E., Soelaeman, E. & Sutanto, A. 1991. Pengkajian Pemanfaatan Bentonit Desa Lugusari Kcamatan Pagelaran dan Desa Perdasuka Kecamatan Kanbung Kabupaten Lampung Selatan Propinsi Lampung. Proyek Pengembangan Teknologi Pengolahan Baahan Galian.
32
LAMPIRAN 1. METODE PENGAMBILAN SAMPEL
Pengambilan sampel di daerah Bogor dilakukan dengan pembuatan sumur uji sebanyak 1 buah dengan kedalaman 3,50 m (Gambar 4.1. (a) dan 1 buah paritan (Gambar 4.1. (b)). Penampang tegak metode tersebut dapat dilihat pada gambar 4.2 yang dideskripsikan pada gambar 4.3 untuk metode sumur uji dan gambar 4.4 untuk paritan. Contoh yang diambil pada paritan diberi kode P1 dan sumur uji berkode T1.
(a)
(b)
Gambar 4.1. Metode pengambilan contoh (a) sumur uji, (b) paritan
Paritan (trenching)
Sumur uji (test pit)
33
Gambar 4.2. Ilustrasi penampang tegak paritan dan sumur uji
Tanah penutup berwarna coklat tebal 1m
Bentonit warna coklat kekuningan
Gambar 4.3. Diskripsi Penampang tegak sumur uji
Tanah penutup warna kuning kecoklatan ketebalan 0,50 m
Bentonit warna abu-abu kehijauan ketebalan 1,30 m
Bentonit warna hijau kecoklatan ketebalan 1,20 m
Bentonit warna putih sampai kecolatan ketebalan 1.00 m
Bentonit warna kuning sampai coklat ketebalan 2.20 m
Bentonit warna coklat kompak dan sedikit keras ketebalan sampai 30 m
Gambar 4.4. Deskripsi Penampang tegak paritan
34
LAMPIRAN 2. BAHAN, PERALATAN DAN PROSEDUR KERJA
1.
Bahan yang digunakan Bahan yang digunakan dalam penelitian terdiri atas :
Lempung, yaitu bentonit yang diambil dari Desa Nanggung, Kecamatan Nanggung, Bogor. Metode pengambilan sampel terpapar pada lampiran 2.
Bahan baku reaksi esterifikasi terdiri dari FFA (Free Fatty Acid) CPO, diperoleh dari limbah pabrik minyak goreng di Bandung, CPO dan minyak jarak.
Bahan – bahan kimia untuk kegiatan penelitian adalah bahan pro analysis (p.a.) merek dagang Merck terdiri atas 1. Metilen blue, untuk uji nilai tukar kation lempung (lampiran 3); 2. Asam sulfat (H2SO4), untuk aktifasi lempung; 3. NaOH, untuk pengujian keasaman lempung; 4. Asam Oksalat, untuk standarisasi larutan NaOH; 5. Methanol, untuk reaksi esterifikasi; 6. KOH, untuk membuat larutan alkoholik; 7. HCl, untuk standarisasi larutan KOH; 8. Ethanol, untuk larutan pencampur (lampiran 4) 9. Dietil eter, untuk larutan pencampur (lampiran 4) ; 10. Phenolpthalein (PP), indikator titrasi angka asam reaksi esterifikasi, dan 11. Aquadest, untuk pencucian sisa asam dan penetralan pH lempung hasil aktifasi.
Selain bahan kimia, juga digunakan bahan-bahan seperti kertas saring dengan merek dagang whatman dan teknis produk lokal, untuk menyaring hasil aktifasi serta universal indikator pH 0-14, untuk memeriksa pH lempung.
35
2.
Alat yang digunakan
Unit preparasi terdiri atas martil, jaw crusher, roll crusher, ball mill, Planetary ball mill, oven;
Unit proses up grading terdiri atas ember, scrubber, magnetic separator, Hidrocyclone, spray drier;
Unit aktifasi menggunakan reaktor yang dibuat dari lembaran akrilik terdiri dari 4 kolom volume 10 liter;
Unit pengujian terdiri atas buret, statif, pipet filler, batang pengaduk, erlenmeyer 300 mL, gelas ukur 10 mL, labu ukur 250 mL;1000 mL;
Alat-alat bantu lainnya seperti bottle top dispenser socorex, volume 10 mL pompa vaccum, beaker plastic, botol semprot (wash bottle), botol sampel plastik.
3.
Prosedur kerja
3.1.
Karakterisasi Lempung Analisis ayak dilakukan secara basah dengan ukuran +40; -40+60; -60+100; 100+200; -200+325; -325 mesh. Lalu bahan yang berukuran -325 mesh, dilakukan analisis secara fisik berupa distribusi ukuran untuk melihat banyaknya fraksi lempung pada bahan baku dan X-ray Diffraction bertujuan untuk mengetahui kandungan-kandungan mineral yang terdapat dalam lempung. Terutama untuk mengetahui keberhasilan proses upgrading.
Uji swelling index dilakukan untuk mengetahui besarnya pengembangan lempung yang diperoleh. Uji yang dilakukan yaitu contoh lempung ukuran -60 +100 mesh dikeringkan selama 7 jam pada suhu 60oC, kemudian masukkan 1 mL lempung ke dalam gelas ukur 10 mL lalu tambahkan aquadest sampai 6 mL, lalu dikocok, didiamkan hingga tidak bercampur lagi kemudian catat volume
36
lempung. Campuran dibiarkan selama 24 jam dan diukur kembali volume lempung dalam campuran tersebut. Kemampuan mengembang diukur dari penambahan volume lempung dari volume awal. Persentase daya mengembang dari suatu lempung dapat dirumuskan sebagai berikut : % Daya mengembang =
(Vol lempung air ) Vol lempung x100% Vol lempung
Kapasitas pertukaran kation (KPK) adalah suatu angka yang menyatakan banyaknya kation yang dapat dipertukarkan dalam satuan berat ekuivalen berat sampel. Pada mineral lempung, nilai KPK beragam Bahan yang memiliki kemampuan untuk pertukaran kation dapat diketahui kapasitas pertukaran kationnya (KPK). Penentuan KPK dilakukan dengan titrasi menggunakan metilen blue hingga terbentuk cincin biru cerah. Prosedur lengkap tertera pada lampiran 3. Rumus perhitungan KPK : KPK =
100 x V x N B
meq / 100 gram
Keterangan: V = volume larutan metilen biru yang terpakai untuk titrasi (mL) N = Normalitas metilen biru B = berat contoh lempung kering yang digunakan (gram)
Analisis luas permukaan spesifik mineral lempung asal dan katalis lempung dilakukan dengan metode BET (Brunauer Emmett Teller) di Laboratorium Analisis fisis di Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara.
Uji keasaman lempung dan lempung aktif dilakukan dengan mencampur 0,5 gram katalis lempung dimasukan ke dalam 25 mL larutan natrium hidroksida (NaOH) 0,1 M, diaduk selama 30 menit pada suhu 60-70oC. Setelah pencampuran, larutan natrium hidroksida yang tersisa dititrasi dengan larutan
37
asam oksalat (H2C2O4) 0,1 M dengan indikator fenolftalein hingga larutan menjadi bening. Keasaman katalis dihitung sebagai selisih jumlah mol natrium hidroksida awal dan akhir per gram katalis (mmol NaOH/gram).
3.2.
Peningkatan Kadar Monmorillonit (Upgrading) Rangkaian proses peningkatan kadar monmorillonit diawali dengan dilakukan perendaman lempung sebanyak 5 kg ke dalam air selama 24 jam dengan persen solid 25% agar lempung menyerap air secara maksimal hingga merekah atau mengembang.
Setelah perendaman, proses dilanjutkan dengan pengadukan kasar yaitu sistem pengadukan terhadap ukuran butiran bahan yang sangat bervariasi dari ukuran sangat halus sampai kasar yang memberikan efek pelepasan ukuran butiranbutiran yang sangat halus. Pengadukan dilakukan pada alat berbentuk kerucut terbalik (cone) yang dilengkapi dengan pengaduk bersayap dengan putaran 2800 rpm selama 1 jam. Produk pengadukan kasar berupa lumpur yang kemudian disaring dengan ayakan 40 mesh.
Ukuran butiran hasil pengadukan kasar yang lolos 40 mesh dilewatkan ke magnetic separator untuk memisahkan mineral besi bebas bersifat para magnetik dari monmorillonit. Kekuatan magnetik yang dipakai sebesar 20.000 gauss atau 11 Ampere. Produk yang dihasilkan berupa konsentrat mineral besi yang tertangkap magnet dan tailing berupa suspensi yang lolos magnet. Suspensi yang lolos magnet ditambah sejumlah air hingga persen solid < 5%.
Suspensi diaduk dengan pompa hingga homogen dalam sump cone. Setelah homogen, pemisahan antara butiran kasar (pasir) dengan sangat halus (monmorilonit) dilakukan menggunakan hidrosiklon. Umpan masuk secara tangensial dengan bantuan pompa bertekanan 2,6 bar, sehingga berputar sangat
38
cepat dan menimbulkan gaya sentrifugal dalam hidrosiklon. Hasilnya, butiranbutiran lebih kasar dari cut point size (cps) terlempar ke dinding bagian dalam, turun ke bawah dan keluar dari lubang bawah atau apex berdiamter1 inci sebagai limpahan bawah (underflow). Sedangkan butiran halus lebih kecil dari cps yang mengandung monmorilonit akan terlempar ke atas menjadi luapan atas (overflow).
Produk pemisahan hidrosiklon berupa monmorillonit akan keluar sebagai luapan atas. yang dialirkan dengan pompa melalui selang. Kondisi operasi pengeringan dilakukan pada suhu inlet 250C dengan persen padatan 10% mengikuti hasil percobaan yang tebaik dilakukan oleh Dessy dan Husaini, 2006 Spray drier merupakan alat pengering yang media pengeringnya adalah udara panas yang kontak langsung dengan bahan. Pada gambar proses
pengeringan bahan
dengan mengunakan spray drier jenis co-current. Bahan yang akan dikeringkan terdistribusi ke dalam chamber dengan disemprotkan melalui atomizer yang menghasilkan butiran-butiran kecil sampai 2 mikron sehingga akan memperluas permukaan
kontak. Ukuran butiran terbentuk karena adanya centrifugal disk
kecepatan tinggi. Bahan kontak dengan udara panas yang dialirkan ke dalam chamber searah dengan aliran bahan yang menyebabkan perpindahan panas dan massa antara keduanya. Setelah terjadi pengeringan, produk yang berupa padatan berbentuk bubuk dan udara dingin terpisah dalam eksternal cyclone dan padatan tertampung dalam jar collector. Diagram alir proses upgrading secara keseluruhan tampak pada gambar 2.
39
Gambar 1. Skema mekanisme pengeringan pada alat spray drier jenis co-current
5 kg Lempung
Perendaman dengan air (25% padatan) selama 24 jam
Air
Pengadukan kasar 1jam dengan scrubber
Pemisahan mineral para magnetik (magnetic separator)
Air
Mineral magnetik
Mineral non magnetik Pemisahan butiran kasar dengan hidrosiklon
Limpahan bawah
Limpahan atas
Pengeringan (spray drier) 40
Gambar 2. Diagram alir up grading bentonit
3.3.
Aktifasi Lempung Metode dilakukan dengan mencampur lempung sebanyak 250 gram dan larutan asam sulfat dengan masing-masing molaritas lalu diaduk dengan batang pengaduk membentuk suspensi. Suspensi didiamkan selama 24 jam kemudian diaduk beberapa kali agar terbentuk suspensi lagi lalu didiamkan kembali. Perlakuan ini diulangi selama 7 (tujuh) hari dan setiap hari diambil filtrat sebanyak 25 mL untuk dianalisis. Setelah perendaman selama 7 (tujuh) hari, filtrat diganti dengan larutan asam baru dengan molaritas yang sama. Perlakuan diulangi kembali selama 7 (tujuh) hari.
Proses aktifasi dilakukan menggunakan reaktor yang dibuat dari lembaran akrilik yang didesain menjadi 4 (empat) kolom bervolume 10 liter tiap kolomya. Masingmasing kolom dilengkapi keran keluaran untuk memudahkan dalam pengeluaran filtrat dan lempung.
Selain proses aktifasi, pencucian lempung dari sisa asam setelah aktifasi dilakukan dengan menambahkan aquadest ke dalam kolom yang berisi lempung hasil aktifasi yang filtratnya sudah dikeluarkan. Campuran tersebut diaduk dan membentuk suspensi lalu didiamkan hingga lempung aktif mengendap. Filtrat hasil pencucian diperiksa keasamannya dengan pita pH. Jika filtrat hasil pencucian masih memiliki pH < 6 dilakukan penggantian aquadest baru secara
41
berulang-ulang hingga pH yang diperoleh mencapai 6 yang berarti tidak ada sisa asam pada permukaan lempung aktif.
Setelah pH tercapai, lempung aktif dipisahkan dari filtrat sisa dan dikeringkan dalam oven pada suhu 60oC selama 24 jam untuk menghilangkan sisa air. Proses dilanjutkan dengan kalsinasi lempung aktif pada 300C selama 2 jam menggunakan furnace untuk menghilangkan sisa-sisa pengotor. Kemudian lempung aktif siap diuji keaktifannya dengan reaksi esterifikasi.
Karakterisasi lempung aktif dilakukan dengan analisis secara fisik (XRD dan surface area) dan kimia. Hasil analisis dibandingkan dengan bahan baku lempung yang diperoleh dari alam dan lempung hasil peningkatan kadar. Diagram alir aktifasi lempung bentonit dengan asam sulfat terlihat pada gambar 3.
42
Larutan asam sulfat (0,05;0,5;5;10 M)
Lempung 250 gram
Perendaman selama 2 minggu
Suspensi lempung asam
Filtrat
Pencucian & netralisasi
Akuades
Padatan
Uap Air
Pengeringan 60C Padatan
Kalsinasi 300C, 2 jam Gumpalan lempung
Penggerusan Lempung aktif
Gambar 3. Diagram alir aktifasi lempung bentonit dengan asam sulfat
43
3.4.
Pengujian Keaktifan Lempung Hasil Aktifasi Pengujian keaktifan lempung sebagai katalis biodiesel dilakukan dengan reaksi esterifikasi menggunakan CPO dan minyak jarak sebagai pembanding dari Frre fatty Acid (FFA) limbah minyak goreng. Pada saat yang bersamaan, lempung aktif dicampur terlebih dahulu dengan methanol yang jumlahnya berlebih dari stoikiometri dengan pengadukan pada 60-70oC selama satu jam yang dilakukan dalam labu leher tiga yang dilengkapi unit kondenser di atas stirring hotplates untuk mengkondisikan lempung aktif siap dijadikan katalis. Kemudian sejumlah minyak dari FFA, CPO atau minyak jarak ditambahkan secara perlahan kedalam labu dan didiamkan sambil direfluks disertai pengadukan selama dua jam pada 60-70oC.
Reaksi esterifikasi dikatakan berhasil jika terbentuk dua lapisan pada produk yang terdiri dari ester pada bagian atas dan gliserol sisa pada bagian bawah Setelah reaksi esterifikasi, lempung aktif dipisahkan dari produk dengan penyaringan. Proses dilanjutkan dengan penghilangan methanol berlebih melalui pemanasan produk selama 30 menit pada 60 – 70C.
Keberhasilan proses ditentukan dari bilangan asam dari minyak yang dihitung sebelum dan sesudah reaksi esterifikasi. Perbedaan bilangan asam minyak dan ester yang dihasilkan disebut konversi. Konversi dihitung dengan persamaan sebagai berikut Konversi (X) =
Angka asam awal Angka asam akhir x100% Angka asam awal
Penentuan bilangan asam tersebut mengikuti prosedur FBI-A01-03 (Zandy, 2007) yang terlampir pada lampiran 4. Rumus perhitungan bilangan asam, Bilangan Asam =
A x N x 56,1 C
44
Keterangan : A
: Jumlah mL KOH untuk titrasi (mL)
N
: Normalitas larutan KOH (N)
C
: Berat sampel (gram)
56,1 : Bobot molekul KOH
45
LAMPIRAN 3 Uji Kapasitas Pertukaran Kation
Bahan : -
Metilen Blue dengan Normalitas mendekati 0,01 N
-
Air distilasi
-
Asam Sulfat 5 N
-
Contoh bubuk kering – 150 mikron ( - 100 mesh ) kering ( setelah dikeringkan 105-110˚C ).
Peralatan : -
Neraca analitik dengan ketelitian lebih dari 2 desimal
-
Buret dan perlengkapan lain untuk litrasi
-
Pengaduk magnetic
-
Batang pengaduk gelas dengan diameter 6 mm
-
Erlenmeyer 250 ml
-
Kertas saring yang setara dengan Whatman no.40 atau 41,540,541. Note : Penelitian ini memakai kertas Whatman 42
-
1.
Oven skala Lab dengan kemampuan pemanasan sekitar 200˚C
Perhitungan Kadar Air Metilen Blue
46
a. Wadah kosong dimasukkan ke dalam oven pada suhu 100˚C selama 1 jam b. Taruh wadah kosong dalam eksikator selama 30 menit. c. Timbang wadah pada timbangan analitik. d. Catat berat wadah. e. Ulangi perlakuan di atas hingga mendapat berat yang konstan. Note : Waktu dalam oven pada perlakuan berikutnya dapat di kurangi menjadi 30 menit saja. f.
Timbang 3 gram bentonit dalam wadah. Catat beratnya.
g. Timbang berat wadah dan bentonit. Catat beratnya. h. Lakukan langkah a-e pada wadah berisi bentonit. Catat beratnya. i.
Perhitungan kadar air metilen blue : Berat wadah + metilen blue sebelum di oven & desikator = a gram Berat wadah + metilen blue setelah di oven + desikator = b gram Kadar air metilen blue = [ (a - b) / 0,6 ]x 100% = c %
j.
Perhitungan Normalitas metilen Blue : N= 3 x ( 100 – kadar air metilen blue ) / 319,9 x 100 = 3 x ( 100 – c ) / 319,9 x 100
2. Pembuatan Larutan Metilen Blue a. Timbang bubuk metilen blue sebanyajk 3 gram
47
b. Masukkan ke dalam labu ukuran 1000 ml c. Tambahkan air destilasi hangat kira-kira sebanyak 250 ml, kocok sampai homogen, biarkan dingin . d. Lalu, tambahkan air destilasi sampai 1000 ml.
3. Persiapan Bahan a. Timbang bentonit sebanyak 0,6 gram b. Letakan ke dalam Erlenmeyer
250 ml,aduk dengan pengaduk magnetic
selama 1 – 2 jam. Biarkan selama 16-24 jam pada kondisi tertutup. Biarkan batang pengaduk dalam Erlenmeyer untuk menghindari terbuangnya butitran bentonit. c. Tambahkan larutan asam sulfat 5N sebanyak 1 mL dan di aduk selama 2-3 menit. d. Lalu, dititrasi dengan larutan metilen blue sampai di aduk dan teteskan larutan pada kertas saring sampai timbul cincin warna biru cerah. Bila cincin warna biru cerah belum terbentujk lanjutkan titrasi dengan kurun waktu pengadukan 2-3 menit. Note : Dalam percobaan ini titrasi di lakukan sambil pengadukan dengan magnetic stirrer,lalu dengan kurun waktu 2-3 menit, baru di lakukan tes pada kertas Whatman sampai muncul cincin biru cerah. Di ulang hingga muncul cincin biru cerah.
4. Perhitungan KPK KPK = ( 100 x V x N / B ) meq / 100 gram
48
Keterangan : V = Volume larutan metilen blue yang terpakai untuk titrasi N = Normalitas Metilen Blue B = Berat contoh kering yang digunakan NOTE : -
Sebelum dilakukan pengolahan secara fisik maupun kimia, monmorillonit memiliki KPK sebesar 0,6 – 0,7 meq / gram
-
Setelah dilakukan pengolahan secara fisik maupun kimia, monmorillonit dapat memiliki KPK sebesar 0,5 / 0,6 – 3 meq / gram
49
LAMPIRAN 4
METODE ANALISIS STANDAR UNTUK ANGKA ASAM BIODIESEL ESTER AKIL (FBI-A01-03)
Definisi Dokumen Metode Analisis Standar ini menguraikan prosedur untuk menentukan angka asam biodiesel dengan proses titrimetri. Angka asam adalah banyak miligram KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam-asam bebas di dalam satu (1) gram contoh biodiesel; sekalipun terutama terdiri dari asam-asam lemak bebas, sisa-sisa asam mineral, jika ada, juga akan tercakup di dalam angka asam yang ditentukan dengan prosedur ini. Lingkup Dapat diterapkan untuk biodiesel yang berupa ester alkil (metil, etil, isopropil, dsj.) dari asam-asam lemak serta berwarna pucat. Peralatan 01. Labu-labu Erlenmeyer - 250 atau 300 ml. 02. Buret mikro, 10 ml, dengan skala 0,02 atau 0,05 ml. 03. Neraca analitik dengan ketelitian ukur ± 0,05 gram atau lebih baik. Larutan-larutan 1. Larutan 0,1 N kalium hidroksida di dalam etanol 95 %-v (atau jika tak tersedia etanol 95 %-v, isopropanol kering/absolut). Refluks campuran 1,2 liter etanol 95 %-v (lihat Catatan peringatan) dengan 10 gram KOH dan 6 gram pelet aluminium (atau
50
aluminum foil) selama 1 jam dan kemudian langsung distilasikan; buang 50 ml distilat awal dan selanjutnya tampung 1 liter alkohol distilat berikutnya dalam wadah bersih bertutup gelas. Larutkan 7 gram KOH mutu reagen atau pro analisis ke dalam 1 liter alkohol distilat tersebut; biarkan selama 5 hari untuk mengendapkan pengotorpengotor dan kemudian dekantasikan larutan jernihnya ke dalam botol gelas coklat bertutup karet. Normalitas larutan ini harus diperiksa/distandarkan setiap akan digunakan mengunakan larutan HCl 0,1 N. 2. Larutan indikator fenolftalein. 10 gram fenolftalein dilarutkan ke dalam 1 liter etanol 95 %-v. 3. Campuran pelarut yang terdiri atas 50 %-v dietil eter – 50 %-v etanol 95 %-v, atau 50 %-v toluen – 50 %-v etanol 95 %-v atau 50 %-v toluen – 50 %-v isopropanol. (lihat Catatan peringatan). Campuran pelarut ini harus dinetralkan dengan larutan KOH (larutan no. 1) dan indikator fenolftalein (larutan no. 2, 0,3 ml per 100 ml campuran pelarut), sesaat sebelum digunakan. Prosedur analisis 01. Timbang 19 – 21 ± 0,05 gram contoh biodiesel ester alkil ke dalam sebuah labu erlenmeyer 250 ml. 02. Tambahkan 100 ml campuran pelarut yang telah dinetralkan ke dalam labu Erlenmeyer tersebut. 03. Dalam keadaan teraduk kuat, titrasi larutan isi labu Erlenmeyer dengan larutan KOH dalam alkohol sampai kembali berwarna merah jambu dengan intensitas yang sama seperti pada campuran pelarut yang telah dinetralkan di atas. Warna merah jambu ini harus bertahan paling sedikitnya 15 detik. Catat volume titran yang dibutuhkan (V ml). Perhitungan Angka asam (A ) = mg KOH/g biodiesel a
dengan : V = volume larutan KOH dalam alkohol yang dibutuhkan pada titrasi, ml.
51
N = normalitas eksak larutan KOH dalam alkohol. m = berat contoh biodiesel ester alkil, g. Nilai angka asam yang dilaporkan harus dibulatkan sampai dua desimal (dua angka di belakang koma).
52
LAMPIRAN 5
HASIL PERHITUNGAN
3.1
Uji swelling index a. Lempung alami Lempung
Volume Bentonit+air
Daya mengembang
(mL)
(mL)
(%)
5 menit
24 jam
5 menit
24 jam
T1
1,1
1,2
10
20
T2
1,4
1,8
40
80
Contoh : % Daya mengembang T1 setelah 5 menit
= =
(Vol bentonit air ) Vol bentonit x100% Vol bentonit
1,1 1 x100% 1
= 10% b. Lempung hasil proses upgrading Lempung
Volume Bentonit+air
Daya mengembang
(mL)
(mL)
(%)
5 menit
24 jam
5 menit
24 jam
OFT1
1,2
1,3
20
30
OFT2
1,05
1,2
5
20
Contoh : % Daya mengembang OFT1 setelah 5 menit = =
(Vol bentonit air ) Vol bentonit x100% Vol bentonit
1,2 1 x100% 1
= 20%
53
3.2
Nilai Kapasitas Pertukaran Kation a. Kadar air metilen blue Berat wadah + metilen blue sebelum di oven & desikator = 49,6184 gram Berat wadah + metilen blue setelah di oven + desikator = 49,4311 gram Kadar air metilen blue = [ (49,6184-49,4311) / 0,6 ]x 100% = 31,22%
b. Perhitungan Normalitas metilen Blue N= 3 x ( 100 – kadar air metilen blue ) / 319,9 x 100 = 3 x (100 – 31,22) / 319,9 x 100 = 0,0064
c. Perhitungan KPK 1. Lempung alami -
Lempung Bogor T1, jumlah metilen blue yang dibutuhkan 12 mL KPK
= 100 x 12 x 0,0064/0,6 = 12,8 meq/100 gram = 0,128 meq/gram
- Lempung Bogor kode T2 (contoh tahun lalu), jumlah metilen blue yang dibutuhkan 15 mL KPK
= 100 x 15 x 0,0064/0,6 = 16,00 meq/100 gram
54
= 0,16 meq/gram 2. Lempung Hasil Up grading - Lempung Bogor OFT1 jumlah metilen blue yang dibutuhkan 18,5 mL KPK
= 100 x 18,5 x 0,0064/0,6 = 19,73 meq/100 gram = 0,197 meq/gram
- Lempung Bogor OFT2 (contoh tahun lalu) jumlah metilen blue yang dibutuhkan 26,5 mL KPK
= 100 x 26,5 x 0,0064/0,6 = 28,26 meq/100 gram = 0,282 meq/gram
3.3
Uji Keasaman lempung hasil aktifasi
[H2C2O4]
= 0,1 M
[NaOH]
= 0,1 M
Vol. NaOH
= 25 mL
Vol. H2C2O4
= 11,5 mL (standarisasi NaOH)
[NaOH] sebenarnya
= 0,046 M
Berat lempung yang diuji = 0,5 g
55
[Katalis
n NaOHawal
Vol
n NaOH
Keasaman
lempun
(mmol)
H2C2O4
akhir
katalis(mmol
(mL)
(mmol)
NaOH/g)
g] (M)
3.4
Alami
2,3
7,5
1,50
1,60
0,05
2,3
5
1,00
2,60
0,5
2,3
4,5
0,90
2,80
5
2,3
3,7
0,74
3,12
10
2,3
3,5
0,70
3,20
Uji aktifitas Katalis dalam reaksi esterifikasi
3.4.1. Bahan Baku CPO a. Penentuan angka asam awal CPO
Massa minyak
Vol. KOH
(g)
(mL)
5,2665
13,2
N KOH
Angka asam (mg KOH/g minyak)
0,125
17,53
b. Penggunaan katalis
Katalis
m
Volume
Angka asam akhir
Konversi
minyak
KOH
(mg KOH/g
FFA (%)
(g)
(mL)
minyak)
0,123
5,287
3,8
4,95
71,76
0,05 M
0,125
5,283
4
5,30
69,77
0,5 M
0,125
5,288
4,3
5,70
67,47
5M
0,13
5,285
4,5
6,21
64,58
10 M
0,13
5,286
4
5,51
68,57
Asam
0,129
5
1,9
2,60
85,18
Lempung
N KOH
alami
sulfat 5 M
56
3.4.2. Bahan Baku Minyak Jarak a. Penentuan angka asam awal Minyak Jarak
Massa minyak
Vol. KOH
(g)
(mL)
5,267
1,5
N KOH
Angka asam (mg KOH/g minyak)
0,13
2,08
b. Penggunaan katalis
Katalis
N KOH
m
Volume
Angka asam akhir
Konversi
minyak
KOH
(mg KOH/g
FFA (%)
(g)
(mL)
minyak)
0,13
5,281
0,5
0,69
66,81
0,05 M
0,13
5,284
0,6
0,83
60,20
0,5 M
0,13
5,282
0,9
1,24
40,17
5M
0,128
5,284
1,1
1,49
28,03
10 M
0,13
5,287
0,4
0,55
73,48
N KOH
Angka asam
Lempung alami
Asam sulfat 5 M
3.4.2. Bahan Baku FFA (Free Fatty Acid) a. Penentuan angka asam awal FFA
Massa minyak
Vol. KOH
(g)
(mL)
4,7517
178,7
(mg KOH/g minyak) 0,1136
239,67
57
b. Penggunaan katalis
Katalis
m
Volume
Angka asam akhir
Konversi
minyak
KOH
(mg KOH/g
FFA (%)
(g)
(mL)
minyak)
0,112
5,288
66
78,28
67,34
0,05 M
0,109
5,288
40
46,17
80,74
0,5 M
0,104
5,289
47
51,85
78,37
5M
0,098
5,286
58
60,33
74,83
10 M
0,102
5,288
56
60,49
74,76
Asam
0,166
4,878
1,6
3,06
98,73
Lempung
N KOH
alami
sulfat 5 M
58