DRR Action Plan Workshop: Strengthened Indonesian Resilience: Reducing Risk from Disasters
Bencana Gempabumi Salahuddin Husein Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada email:
[email protected]
Abstract: Bencana gempabumi di Indonesia adalah suatu keniscayaan, tidak hanya pada daerah yang selama ini diketahui seringkali mengalaminya, namun juga pada daerah yang dahulu diduga relatif aman. Kondisi demikian dikontrol oleh konfigurasi tektonis Indonesia di masa lampau dan di masa sekarang ini. Banyak sudah peristiwa gempabumi yang menelan korban ribuan jiwa dan kerugian harta benda yang sangat besar. Kenyataan ini menuntut kemauan kita untuk belajar memahami fenomena gempabumi dengan lebih baik lagi, agar dapat mengurangi resiko bencana. Gempabumi ditimbulkan oleh pergeseran patahan, sehingga keberadaan patahan baik di permukaan maupun di bawah permukaan harus bisa dipetakan dengan baik dan akurat. Energi gempabumi merambat dari sumber pergeseran patahan dalam beberapa jenis gelombang, yang menuntut pengukuran secara tepat dan cepat. Kerusakan infrastruktur tidak hanya disebabkan oleh besaran energi, namun juga bagaimana percepatan gelombang gempabumi diterima di lokasi tersebut. Perioda dan frekuensi batuan di permukaan serta bangunan turut pula menentukan derajat kerusakan, bila terjadi fenomena resonansi dan amplifikasi getaran gempabumi yang memiliki kesamaan karakter gelombang. Ketika terjadi gempabumi, informasi berupa intensitas getaran harus segera kita catat dan sampaikan kepada generasi penerus, sebagai data yang sangat berharga agar mereka kelak lebih siap lagi dalam menghadapi bencana gempabumi yang senantiasa berulang ini. Keywords: gempabumi, patahan, magnitudo, akselerasi, resonansi, amplifikasi, intensitas.
1. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang sangat rentan terhadap bencana gempabumi. Hal ini disebabkan oleh dua faktor yang saling berkait berikut. (1) Pada saat ini posisi geologis Indonesia berada pada pertemuan 3 lempeng litosferik besar, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik, dan Lempeng Indo-Australia; dimana gaya interaksi antar-lempeng tersebut senantiasa menekan dan menggeser berbagai patahan yang tersebar di seluruh bagian Indonesia, baik di daratan maupun di dasar lautan, yang telah ada semenjak lama akibat faktor berikutnya. (2) Pada masa lampau selama puluhan juta tahun, Indonesia dibangun atas gabungan berbagai lempeng benua mikro dan busur gunungapi, yang digerakkan oleh proses tektonik yang kompleks hingga berada di tempatnya saat ini; proses tumbukan puluhan lempeng tersebut menyebabkan terbentuknya berbagai jenis patahan yang tersebar di berbagai tempat, senantiasa menerima dan menimbun gaya tektonik dari interaksi lempeng-lempeng litosfer saat ini. Oleh karena itu, meskipun Indonesia memiliki zonasi kawasan rentan gempabumi di sepanjang daerah-daerah yang dekat dengan wilayah interaksi lempeng tektonis, seperti di pesisir selatan Jawa dan pesisir barat Sumatera, namun Indonesia juga kerap mengalami gempabumi pada daerah yang jauh dari zona interaksi lempeng (misal: Gempa Tarakan, Kalimantan Utara, 21 Desember 2015). Telah ratusan ribu jiwa tercatat menjadi korban bencana gempabumi tektonis di
Indonesia, yang terjadi di berbagai daerah, di antaranya (dengan jumlah korban >1000 orang meninggal): a. b. c. d. e. f. g.
Gempa Aceh, 26 Desember 2004, magnitudo 9.3, korban ~168.000 meninggal Gempa Papua, 26 Juni 1976, magnitudo 7.1, korban ~ 9.000 meninggal Gempa Yogyakarta, 27 Mei 2006, magnitudo 5.9, korban 6.234 meninggal Gempa Ambon, 20 September 1899, magnitudo 7.8, korban 3.280 meninggal Gempa Sumbawa, 19 Agustus 1977, magnitudo 8.0, korban 2.200 meninggal Gempa Flores, 12 Desember 1992, magnitudo 7.5, korban 2.100 meninggal Gempa Padang, 30 September 2009, magnitudo 7.6, korban 1.115 meninggal.
Mempertimbangkan kondisi geologi Indonesia, frekuensi gempabumi dan distribusinya (Gambar 1), serta jumlah korban terdampak, perlu kiranya kita perlu mengenal lebih jauh bencana gempabumi.
Gambar 1. Peta kegempaan (seismisitas) di Indonesia, periode 1973 – 2010.
2. GEMPABUMI DAN PATAHAN Gempabumi adalah getaran bumi. Gempabumi dapat terjadi oleh peristiwa letusan gunungapi, benturan meteorit, tanah longsor, ledakan bom, dan banyak lagi penyebab lainnya; namun umumnya mereka disebabkan oleh gerakan mendadak kerak Bumi di sepanjang bidang patahan (Abott, 2004). Patahan adalah retakan yang membatasi dua blok batuan ketika bergeser satu terhadap lainnya. Pergerakan tersebut dapat terjadi karena batuan menerima dan menyimpan tekanan tektonis yang dikirimkan oleh interaksi lempeng-lempeng litosfer, sedikit demi sedikit terakumulasi sedemikian rupa hingga gaya stress tersebut menjadi sedemikian besar dan mampu menggeser batuan di sepanjang bidang patahan. Pergeseran tersebut terjadi secara mendadak, menghantarkan gelombang kejutnya ke segala arah, yang kemudian dikenal sebagai gempabumi. Pemahaman akan peristiwa gempabumi yang disebabkan oleh pergeseran patahan memicu kesadaran baru di kalangan ahli kebumian pada abad ke-19, untuk memetakan keberadaan berbagai patahan di lapangan, yang selanjutnya akan menjadi dasar untuk membuat peta kerentanan gempabumi. Karena patahan selalu menggeser sebaran batuan, maka pemetaan 2
distribusi bebatuan yang dilakukan secara sistematik dan metodologis akan mampu memunculkan tempat-tempat perkiraan kehadiran patahan (Gambar 2). Meski demikian, tidak seluruh patahan muncul tersingkap di permukaan dan dapat terpetakan. Sebagian besar patahan hanya berkembang di bawah permukaan tanpa muncul di permukaan, yang dikenal sebagai patahan tertutup (blind fault) (Gambar 3). Kini semakin disadari bahwa banyak blind fault memiliki potensi untuk bergerak dan menghasilkan gempabumi merusak. Berbagai upaya dilakukan para ahli kebumian untuk memetakan keberadaan blind fault tersebut, termasuk dengan menggunakan metode-metode geofisika untuk mencitrakan kondisi bawah permukaan Bumi.
Gambar 2. Peta struktur Sumatera Utara (Barber dan Crow, 2005).
Terdapat berbagai jenis patahan, yang secara sederhana dapat dikelompokkan menurut sifat pergeserannya pada bidang patahan (Gambar 3), yaitu patahan yang bergeser searah kemiringan bidang patahan (dip-slip faults) dan patahan yang bergeser searah jurus bidang patahan (strike-slip faults). Lebih detail lagi, dip-slip faults dapat dibedakan menjadi patahan turun (normal) bila blok batuan di atas bidang patahan bergerak turun, dan patahan naik (anjak) bila blok batuan di atas bidang patahan bergerak naik. Demikian pula dengan strike-slip faults, dapat dibedakan menjadi patahan sinistral bila blok batuan sebelah kiri bergerak mendekati, dan patahan dekstral bila blok batuan sebelah kanan bergerak mendekati. Patahan bukanlah suatu bidang datar yang sederhana, yang dengan cepat bergeser bila terkena gaya. Kompleksitas geometri bidang patahan serta jenis batuan yang dipatahkan akan membuat patahan cenderung terkunci dan tidak mudah untuk bergerak. Gaya stress harus ditimbun dalam waktu yang lama hingga energi potensial tersimpan cukup besar untuk memulai pergeseran. Pergerakan (rupture) terjadi pertama kali pada titik lemah pada bidang patahan dan kemudian merambat secara cepat di sepanjang bidang patahan tersebut (Gambar 4). Energi potensial yang tersimpan pun dilepaskan sebagai gelombang seismik yang merambat ke segala arah, fenomena yang dikenal sebagai gempabumi. Titik awal mula pergeseran patahan disebut sebagai hiposentrum (focus). Titik pada permukaan Bumi ketika hiposentrum diproyeksikan ke atas disebut episentrum.
3
Gambar 3. Jenis-jenis patahan; termasuk contoh patahan tertutup (blind fault) jenis sesar anjak (diagram paling bawah).
Gambar 4. Diagram bidang patahan dan terbentuknya gempabumi (Abott, 2004).
Pergerakan patahan pun tidak sederhana pula, bila dibayangkan sebagai satu kali pergeseran yang menghasilkan gempabumi. Pada kenyataannya, gempabumi terjadi dalam suatu rangkaian. Tekanan stress yang tersimpan pada batuan yang terpatahkan lazimnya dilepas oleh suatu runtutan pergeseran di sepanjang bidang patahan, atau pada beberapa bidang patahan, yang berlangsung selama beberapa minggu hingga bulan bahkan hingga tahun. Setiap pergeseran patahan akan menghasilkan satu peristiwa gempa, yang terbesar akan dinamakan gempabumi. Bila sebelum gempabumi tersebut ada beberapa peristiwa gempa, mereka dinamakan foreshock, dan bila masih ada peristiwa gempa setelah gempabumi akan dinamakan aftershock.
4
Sesungguhnya tidak mudah untuk membedakan peristiwa gempa satu dan lainnya, untuk membedakan foreshock – gempabumi – aftershock, selain dari ukuran magnitudonya saja; karena mereka semua memang suatu rangkaian pelepasan stress dalam suatu zona patahan. Sehingga bila terjadi suatu peristiwa gempa, para ahli masih menduga dalam kisaran probabilitas 6% bahwa akan terjadi gempa yang lebih besar lagi, yaitu gempabumi utama (Abott, 2004). Pernyataan statistis ini diberikan karena memang tidak ada cara untuk membedakan foreshock dari gempabumi utama, selain dengan cara menunggu hingga seluruh rangkaian gempa berakhir dan baru bisa menentukan mana gempabumi utama berdasarkan catatan magnitudo terbesar.
3. GELOMBANG GEMPABUMI Secara fisika, gelombang gempabumi dianggap merambat sebagaimana layaknya gelombang air, yang menempuh perjalanannya ke segala arah dari sumber penyebabnya, dalam runtutan gelombang demi gelombang. Pergeseran vertikal yang disebabkan oleh gelombang disebut amplitudo, jarak antar gelombang yang berurutan disebut panjang gelombang, waktu yang membentang antara dua gelombang disebut sebagai perioda, dan jumlah gelombang yang melintasi suatu titik pengamatan dalam satu detik disebut sebagai frekuensi. Peristiwa gempabumi melepaskan energinya dalam gelombang seismik, sebagian besar merambat melalui seluruh tubuh planet (disebut gelombang badan) dan sebagian lainnya merambat hanya di dekat permukaan saja (dinamakan gelombang permukaan) (Gambar 5). Gelombang badan merambat secara cepat, baik sebagai gelombang primer maupun gelombang sekunder. Frekuensi mereka berkisar pada 0,5 hingga 20 hertz (0,5 hingga 20 siklus per detik) sehingga disebut pula sebagai gelombang perioda pendek.
Gambar 5. Jenis-jenis gelombang seismik dan cara rambatannya.
Gelombang primer (P-wave) merambat paling cepat, dengan cara menekan dan meregang (push-pull) material yang dilewatinya, baik itu berupa material padat, cair, maupun gas. Kecepatannya tergantung pada densitas dan kompresibiltas material yang dilewati; semakin besar densitas dan semakin resisten material terhadap tekanan, maka akan semakin besar pula kecepatan gelombang seismik. Kecepatan rerata gelombang primer pada batuan padat, seperti granit, adalah 4,8 km/detik, bila melewati air menjadi 1,4 km/detik. Karena gelombang primer
5
mampu merambati udara, mereka pun bisa terdengar di dekat episentrum dalam frekuensi 15 hertz, sebagai suara gemuruh yang mampu menggetarkan jendela rumah. Gelombang sekunder (S-wave) merambat dengan kecepatan dibawah gelombang primer, sekitar 3 km/detik bila melewati granit. Mereka bergerak dengan menggeser partikel medium yang dilalui pada arah tegak-lurus rambatan, sehingga hanya bisa melewati medium padat saja, karena air dan gas tidak memiliki kekuatan geser. Karena gerakannya berupa geseran vertikal dan horisontal, maka gelombang sekunder memiliki lebih banyak kemampuan untuk merusak bangunan. Gelombang permukaan yang merambat di dekat permukaan Bumi terdiri dari dua jenis: gelombang Love dan gelombang Rayleigh. Keduanya merupakan gelombang panjang karena memerlukan waktu lebih lama untuk menyelesaikan satu siklus gelombang (frekuensi rendah, kurang dari satu siklus per detik) dan bergerak dengan kecepatan yang lebih rendah, sehingga mereka mampu membawa energi dalam jarak yang lebih jauh dari episentrum. Gelombang Love bergerak seperti gelombang sekunder, namun arah pergeserannya hanya horisontal saja. Gelombang Rayleigh bergerak dalam bentuk perputaran elips ke arah belakang, sehingga mampu menyebabkan gerakan mengarah vertikal dan horisontal sekaligus.
4. MAGNITUDO GEMPABUMI Magnitudo adalah perkiraan ukuran relatif atau lepasan energi suatu gempabumi. Terdapat beberapa sistem pengukuran, dan mereka umumnya diukur pada data seismogram. Skala Richter (ML) adalah paling populer, yang secara kuantitatif hanya efektif untuk mengukur gempabumi dangkal dengan energi yang tidak terlalu besar dan pada jarak yang dekat (kurang dari 100 km) terhadap seismometer. Metode perhitungannya pun mudah, dapat dilakukan secara grafis pada rekaman seismogram, sehingga dapat memberikan informasi secara cepat kepada publik (Gambar 6).
Gambar 6. Nomograf perhitungan skala Richter, contoh untuk gempabumi 5 SR (ML).
6
Karena gelombang seismik merambat baik sebagai gelombang badan dan gelombang permukaan, dua skala magnitudo lain pun juga kerap dipergunakan, yaitu mb dan Ms. Skala gelombang badan (mb) menggunakan amplitudo gelombang primer dengan perioda 1 – 10 detik. Skala gelombang permukaan (Ms) menggunakan gelombang Rayleigh dengan perioda 18 – 22 detik. Kini disadari bahwa peristiwa gempabumi menghasilkan energi dengan proporsi berbedabeda. Misalkan gempabumi besar dengan bidang patahan yang luas akan menyebarkan energinya dalam gelombang perioda panjang, yang tidak dapat secara akurat terukur oleh skala mb. Untuk dapat menentukan ukuran gempabumi secara tepat, skala momen (Mo) dipergunakan. Perhitungan Mo berdasarkan pergeseran di sepanjang bidang patahan, dimana Mo setara dengan kekuatan geser batuan dikalikan besar pergeseran patahan (slip). Sehingga Mo dianggap mengukur jumlah energi yang dilepaskan di seluruh luasan bidang patahan. Saat ini skala momen telah berkembang menjadi skala baru, yaitu skala magnitudo momen (Mw), yang lebih akurat untuk mengukur gempabumi besar, karena mengandalkan parameter fisik seperti luas bidang patahan yang bergerak, panjang pergeseran patahan, dan jumlah energi yang dilepaskan.
5. GETARAN TANAH SELAMA GEMPABUMI Ketika gelombang seismik merambat dari bidang patahan yang bergerak, terjadi interaksi berbagai jenis gelombang, yang mampu menggerakkan tanah secara vertikal dan horisontal. Konstruksi bangunan umumnya didesain mampu menahan gaya vertikal yang besar, yang muncul akibat berat bangunan dan isinya. Mereka pun umumnya diperkuat dengan standar keamanan tertentu untuk menahan gaya vertikal tambahan yang berasal dari gelombang seismik gempabumi. Yang menjadi perhatian utama dalam desain konstruksi bangunan adalah kemampuannya untuk menahan gaya horisontal (Gambar 7).
Gambar 7. Foto runtuhnya lantai dasar bangunan kampus STIE Kerjasama Yogyakarta, akibat horizontal ground shaking gempabumi Yogyakarta 2006.
Desain bangunan di daerah yang rentan gempabumi harus memperhitungkan akselerasi. Ketika gelombang seismik menggoyang tanah dan bangunan secara vertikal dan horisontal, tingkat perubahan kecepatan gerakan diukur sebagai akselerasi. Standar akselerasi adalah gerak jatuh bebas sebesar 9,8 m/detik atau setara 1,0 g. Pada akselerasi 0,1 g, bangunan dengan konstruksi yang buruk akan mengalami kerusakan berarti. Pada akselerasi 0,2 g, orang-orang
7
akan kesulitan untuk berdiri di atas kedua kakinya, seperti berada pada sebuah kapal kecil di tengah gelombang laut yang besar. Konsep perioda dan frekuensi juga berlaku pada formasi geologi dan bangunan. Getaran bangunan berlantai 1 dan getaran bangunan berlantai 30 dalam menyelesaikan satu siklus pergerakan horisontal ke depan dan ke belakang, tentu tidak sama. Umumnya perioda getaran bangunan adalah 0,1 detik per lantai. Sehingga bangunan berlantai satu akan bergetar 0,1 detik per siklus, sedangkan bangunan berlantai 30 membutuhkan 3 detik per siklus. Selain jumlah lantai, perioda getaran bangunan juga dipengaruhi oleh material konstruksi. Material yang fleksibel seperti kayu atau baja memiliki perioda yang lebih panjang daripada material kaku seperti bata dan beton. Jenis batuan di permukaan Bumi juga memiliki perioda alamiahnya. Batuan yang kaku dan keras bergetar dengan perioda 0,5 detik, sedangkan sedimen lunak yang belum terlitifikasi dapat melampaui perioda 2 detik per siklus. Ketika gelombang seismik dengan perioda tertentu membawa banyak energi melintasi formasi geologi yang tersusun atas batuan dengan perioda alamiah yang sama, getaran tanah akan mengalami penguatan (amplifikasi). Ditambah lagi bila perioda bangunan yang ada di atas batuan tersebut juga memiliki perioda yang sama, maka kombinasi getaran atau resonansi akan semakin diperkuat. Resonansi dibentuk oleh kesamaan perioda antara gelombang seismik dan material yang dilaluinya, baik itu formasi batuan maupun bangunan. Akibat resonansi pada bangunan adalah kerusakan katastrofis.
6. INTENSITAS GEMPABUMI Selama beberapa puluh detik ketika terjadi gempabumi besar, kita merasakan tubuh kita terguncang keras dari satu sisi ke sisi lain. Ini adalah pengalaman emosional, dan drama personal ini akan berbeda-beda tergantung pada jarak lokasi kita terhadap sumber gempabumi dan pada tipe kepribadian kita. Agar informasi personal ini dapat bermanfaat bagi generasi berikutnya, perlu ada standarisasi pengalaman tersebut. Skala kualitatif yang banyak dipakai untuk mengukur intensitas gempabumi berdasarkan apa yang dirasakan adalah skala Mercalli termodifikasi, yang terbagi dalam 12 tingkatan, sebagai berikut: I. II. III. IV. V. VI. VII. VIII. IX. X. XI. XII.
Tidak terasa Terasa oleh orang yang berada di bangunan tinggi Getaran dirasakan seperti ada kendaraan berat melintas. Getaran dirasakan seperti ada benda berat yang menabrak dinding rumah, benda tergantung bergoyang. Dapat dirasakan di luar rumah, hiasan dinding bergerak, benda kecil di atas rak mampu jatuh. Terasa oleh hampir semua orang, dinding rumah rusak. Dinding pagar yang tidak kuat pecah, orang tidak dapat berjalan/berdiri. Bangunan yang tidak kuat akan mengalami kerusakan. Bangunan yang tidak kuat akan mengalami kerusakan parah. Jembatan dan tangga rusak, terjadi tanah longsor, rel kereta api bengkok. Rel kereta api rusak, bendungan dan tanggul hancur, seluruh bangunan hampir hancur dan terjadi longsor besar. Seluruh bangunan hancur lebur, batu dan barang-barang terlempar ke udara, tanah bergerak seperti gelombang, aliran sungai dapat berubah, pasir dan lumpur bergeser secara horizontal, air dapat terlempar dari danau, diikuti dengan suara gemuruh yang besar, terjadi longsor skala besar, kebakaran, banjir, tsunami di daerah pantai, dan aktivitas gunung berapi. 8
Intensitas gempabumi tergantung pada beberapa variabel: (1) magnitudo gempabumi, (2) jarak terhadap hiposentrum/episentrum, (3) jenis batuan pada permukaan Bumi, (4) jenis dan desain konstruksi bangunan, dan (5) durasi getaran (Gambar 8).
Gambar 8. Peta intensitas Gempa Yogyakarta 2006 (Husein dkk., 2007).
7. CATATAN PENUTUP Gempabumi merupakan sebuah bencana alam yang senantiasa mengintai dan tidak dapat dihindari pada banyak daerah di Indonesia, karena keunikan posisi dan sejarah geologi kawasan ini. Meski demikian perlu kita ingat bersama pernyataan para ahli gempabumi dunia yang sering muncul di media massa, bahwa gempabumi tidak dapat membunuh, bangunan lah yang dapat membunuh. Kenyataan ini menuntut agar kita mau belajar dan memahami gempabumi. Gempabumi terbentuk oleh bergeraknya batuan di sepanjang bidang patahan. Sehingga identifikasi dan pemetaan patahan seismogenik aktif di berbagai wilayah di Indonesia menjadi mutlak harus segera dilakukan dan diselesaikan. Gempabumi merambat dalam berbagai bentuk gelombang, baik kelompok gelombang badan maupun kelompok gelombang permukaan. Setiap gelombang dan karakteristiknya memerlukan metode pengukuran energi dirambatkan yang mendekati akurat, sehingga muncul berbagai skala magnitudo; yang paling populer adalah skala Richter (ML), namun yang paling terpercaya saat ini adalah skala magnitudo momen (Mw). Selain pada besaran energi yang dibawa oleh gelombang seismik, kerusakan bangunan di permukaan juga ditentukan oleh akselerasi kecepatan gelombang gempabumi. Selain itu faktor perioda dan frekuensi batuan di permukaan serta konstruksi bangunan akan menentukan apakah akan terjadi peristiwa resonansi dan amplifikasi getaran gempabumi. Faktor-faktor tersebut – yang sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain, bahkan terhadap kemungkinan gempabumi yang 9
sama – harus dipertimbangkan dalam menyusun rencana pengurangan resiko bencana gempabumi. Dan bila gempabumi akhirnya terjadi, kita pun punya kewajiban untuk menyampaikan informasi tersebut kepada generasi penerus, dalam bentuk informasi yang standar dan bermanfaat, seperti data intensitas gempabumi lokal. Sehingga kelak generasi berikutnya dapat lebih mempersiapkan diri menghadapi bencana gempabumi yang senantiasa berulang ini, dalam persiapan yang lebih baik.
REFERENSI th
Abott, P.L. (2004) Natural Disasters, 4 ed., McGraw Hill Higher Education, Boston, 460 p. Barber, A.J., and M.J. Crow (2005) Chapter 13: Structure and structural history. In: Barber , A.J., M.J. Crow, and J.S. Milsom (eds) Sumatra: Geology, Resources and Tectonic Evolution. Geological Society, London, Memoirs, 31, pp. 175-233. Husein, S., D. Karnawati, S. Pramumijoyo, dan A. Ratdomopurbo (2007). Kontrol Geologi terhadap Respon Lahan dalam Gempabumi Yogyakarta 27 Mei 2006: upaya pembuatan peta zonasi mikro di daerah Bantul. Proceeding Seminar Nasional 2007 Geotechnics for Earthquake Engineering, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, pp. 6.1–6.12.
10