Banding Yosia, Banting Jokowi: Alkitab Membangkir Reformasi dari Atas. John Mansford Prior 1 Sebetulnya, bagi orang beriman tidak ada opsi dalam PilPres 2014. Kita diminta memilih antara seorang papalele mebel dan seorang dari dunia militer yang pernah diberhentikan karena dililiti rupa-rupa persoalan menyangkut pelanggaran HAM, baik seputar insiden pembantaian di Timor Leste pada 1983, pun sekitar peristiwa penculikan mahasiswa di Jakarta pada 1998. 2 Jelas, orang beriman tak ragu, tak bimbang. Tetapi, menjatuhkan pilihannya pada calon presiden yang belum pernah menculik atau membunuh, tak berarti negara pasti kembali pada alur reformasi semula (1998-2001). Di sini saya hendak membandingkan keadaan di Indonesia akhir-akhir ini dengan kondisi di Yudea pada abad ke-7 sebelum Maseh. Raja Hizkia (725-697 sM) pernah merintis sebuah reformasi di Yerusalem. Namun beliau disusul oleh putranya, Manasye (696-642 sM), yang dijuluki “penjelma kejahatan” dan yang harus bertanggungjawab atas penghancuran Yudea dan pembuangan kaum elit ke Babilonia seratus tahun kemudian –sekurang-kurangnya menurut penutur sejarah Deuteronomik (2 Raja 21:10-15). Yosia, cucu Manasye, mengganti kakeknya dan disanjung oleh pengisah sebagai raja yang “melakukan apa yang benar di mata Tuhan dan hidup sama seperti Daud, bapa leluhurnya, dan tidak menyimpang ke kanan atau ke kiri.” (2 Raja 22:2) Sepertinya santo dan setan silih bergantian memimpin negara. Melihat rumitnya menggalakkan reformasi di Indonesia, mungkin saja kita dapat memetik sebutir-dua pelajaran dari sejarah Yudea yang kocar-kacir itu untuk menanggapi kericuhan yang kita alami di Indonesia sekarang ini. Masa Yosia, Masa Reformasi Dari empat puluhan raja yang pernah memimpin wilayah Israel dan daerah Yudea, 3 hanya seorang saja yang pernah dipuji oleh seorang nabi, walau pemerintahannya dikutuk habis1
Dosen Teologi Sosial & Politik, Program Pascasarjana, STFK Ledalero. Anggota Dewan Pengarah Jaringan Alkitab Interkultural (Intercultural Bible Collective), Amsterdam. 2 Gerry van Klinken, “Prabowo and Human Rights: Jakarta 1998 was bad, but Prabowo likely had more blood on his hands in East Timor”, Inside Indonesia, 30 April 2014. 3 Daud (1004-965 sM) menetapkan batas Kerajaan yang wilayahnya kemudian dipimpin oleh anaknya, Salomo (965-926 sM). Seuai masa pemerasan Salomo, wilayah di utara memisahkan diri dan menjadi Kerajaan Israel yang
habisan oleh nabi lain. Semenjak Konfederasi 12 Suku Ibrani (“Konfederasi Sinai” atau “Masyarakat Musa”) bermutasi-menjelma menjadi sebuah monarki “seperti segala bangsa lain” (1 Sam 8:5), bangkitlah para nabi, para penyambung lidah korban pemerasan. 4 Sejarah Deuteronomik mencatat bahwa para raja, entah di Israel entah di Yudea, merampas harta kekayaan rakyatnya, membebani mereka dengan pajak yang terlampau tinggi agar sendiri bisa hidup empuk tanpa sedikitpun memperdulikan kaum kecil. Para raja merasa berhak memakai perempuan mana saja demi memuaskan nafsu berahinya, 5 dan merasa paling jantan-pelancung jika pergi berperang. Menurut sejarah Yudea versi Deuteronomik, 6 hanya sosok Yosia yang berhasil hidup sahaja dan jujur semasa kepemimpinannya pada akhir abad ketujuh sebelum Maseh, selama tigapuluh tahun (639-609 sM). Tiga generasi setelah Hizkia (725-697 sM) merintis aksi pembaruan bangsa dan gagal, Yosia membuka gerakan reformasinya pada tahun 621. Pada saat pengaruh Kekaisaran Asyur melemah, Yosia mengembalikan kemerdekaan Yudea, menolak membayar upeti pada Asyur atau Mesir, dan memperluas batas-batas wilayahnya ke utara. Yosia tolak tunduk pada penjajah asing dan menjagoi perang untuk memulangkan kembali kedaulatan bangsanya. Demi menegakkan identitas khas bangsanya serta memulihkan kepribadian bangsa ia membersihkan rakyat dari pengaruh kultur-religi asing dari bangsa-bangsa besar yang menekannya dari utara dan dari selatan. Kemudian, ia memusatkan semua ibadat dan perayaan bangsa di ibu kota Yerusalem. Dengan demikian Yosia membalikkan kebijakaan kakeknya, raja Manasye. 7 Reformasinya
dipimpin oleh 19 raja sebelum ditelan oleh Asyur pada 722 sM (lih. 2 Raja 17). Wilayah selatan, Kerajaan Yudea 9atau Yehuda), dipimpin oleh 20 raja sebelum dikalahkan oleh Babilonia pada 587 sM (lih 2 Raja 30). 4 Tentu, wawasan alkitabiah tidak serba seragam-monokrom. Alkitab berupa sebuah perpustakaan yang terdiri dari 66 kitab yang ditulis oleh lebih dari 40 pengarang dalam berbagai bahasa (Ibrani, Aram dan Yunani), selama 1,100 tahun pada zaman, budaya dan situasi politik, ekonomi dan keagamaan yang amat berlainan. Jelas, ada lebih dari satu perspektif seputar isu keadilan sosial serta martabat dan kebebasan manusia. Lih. Wes Howard-Brook, “Keluarlah, Wahai Umat-Ku!” Panggilan Allah dalam Alkitab agar Keluar dari Imperium, 2014. Howard-Brook menyoroti setiap kitab dari dua sisi: perspektif “penciptaan” dan perspektif “imperium”. Dari zaman ke zaman umat Allah menjatuhkan pilihan untuk tunduk pada salah satunya. 5 Raja Solomo digelar “bijaksana” penuh “hikmat” (1 Raja 4:24-34); juga ia “mencintai banyak perempuan asing”, selain punya 700 isteri (sah) dan 300 gundik (1 Raja 11:1-3). 6 Kita menemukan aliran Deuteronomik dalam Kitab Ulangan, juga dalam penyuntingan akhir kisah “sejarah” Israel dan Yudea yang kita temukan dalam Kitab Yosua hingga Kitab II Raja-Raja; juga dalam penyuntingan kembali Kitab Taurat (Kitab Kejadian hingga Kitab Bilangan). 7 Sebetulnya raja Manasye, yang memimpin Yudea selama setengah abad lebih, membawa kemajuan besar di bidang sosio-ekonomi, dan merintis suatu masa pembangunan gemilang. Namun, para nabi mengutuk pemerasan dan korupsi yang mewarnai rezimnya: manusia dikorbankan demi pembangunan. Kita dapat membandingkan masanya dengan masa pemerasan Suharto/Golkar (1967-1998): berlandaskan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN), minoritas elit maju secara mendadak. Sejarah Deuteronomik menjuluki Manasye bukan “bapa pembanungan” melainkan
sejalan dengan harapan aliran Deuteronomik yang penuturnya menyanjung-nyanjung Yosia sebagai raja panutan, raja ideal: “Sebelum dia tidak ada raja seperti dia yang berbalik kepada Tuhan dengan segenap hatinya, dengan segenap jiwanya dan dengan segenap kekuatannya, sesuai dengan segala Taurat Musa; dan sesudah dia tidak ada bangkit lagi yang seperti dia.” (2 Raja 23:25). 8 Pun di Indonesia. Ketika rezim Suharto kolaps di bawah utang tak terpikulkan dan korupsi sistemik (21 Mei 1998), dibuka peluang untuk memicu sebuah reformasi. Aliran Deuteronomik Tim editor karya Deuteronomik berhasil menyatukan fikrah Perjanjian Sinai (aliran Musa) dari Kerajaan Israel di utara, dengan haluan Perjanjian Sion (aliran Daud) dari Kerajaan Yudea di selatan. Perjanjian Sinai berasas Dasasila Allah (sepuluh Firman, Kel 20:3-17), landasan ideologis Konfederasi 12 Suku Ibrani pada masa pra-monarki. Golongan Musa, yakni kaum budak yang berontak melawan Firaun di bawah komando Musa, Harun dan Miryam (Kel 3-15), membawa ke Palestina ideal keadilan sosial yang berciri perikemanusiaan. 9 Tradisi Sinai ini dipelihara oleh ke-10 suku di utara oleh Kerajaan Israel, pun setelah mereka memisahkan diri dari Yudea karena tak tahan pemerasan para raja di Yerusalem (1 Raja 12:1-24; 2 Taw 10:111:4). Di selatan, di daerah Yudea, dikembangkan tradisi Perjanjian Daud oleh ke-2 suku, bawah Daud dan keturunannya menjamin kebebasan bangsa (2 Sam 7). Ketika Kerajaan Israel dihancurkan oleh Asyur pada 722 sM (2 Raja 17), banyak pengungsi melarikan diri ke daerah Yudea dan bermukim di Yerusalem. Keistimewaan aliran Deuteronomik itu adalah bahwa kedua tradisi ini – dari Sinai dan dari Sion – disatupadukan. 10 Reformasi Yosia berupa puncak dari upaya penyatuan kembali rakyat dari utara dan dari selatan ke dalam satu kisah, satu sejarah, satu memoria, satu bangsa. Karena itu, Yosia dipandang sebagai kepenuhan janji Tuhan: “Bahwasanya seorang anak akan lahir pada keluarga Daud. “penjelma kejahatan”, dan mengalamatkan kegagalan reformasi cucunya, Yosia, 80an tahun kemudian pada dia. (2 Raja 21:1-18; 2 Taw 33:1-20). 8 Tentang profil Yosia menurut kisah Deuteronomik, lih. Nakanose, Josiah’s Passover: Sociology and the Liberating Bible, 1993, hlm. 29. 9 Karya Raja Yosia dikisahkan dalam Kitab 2 Raja-Raja 22:1-23:30, dan dalam Kitab 2 Tawarikh 34-35. Makna dan isi reformasi Yosia untuk menata kembali politik etis seturut norma-norma kemanusiaan di bawah kedaulatan Allah ditemukan dalam Kitab Ulangan. 10 Lih. Berrigan, The Kings and Their Gods: The pathology of power, 2008, hlm.180-182.
Yosia namanya; ia akan menyembelih di atasmu imam-imam bukit pengorbanan yang membakar korban di atasmu, juga tulang-tulang manusia akan dibakar di atasmu.” (1 Raja 13:2). Dan benar, Yosia berbuat demikian dan dengan keras, kejam, bengis: “ia menyembeliih di atas mezbah-mezbah itu semua imam bukit-bukit pengorbanan yang ada di sana dan dibakarnya tulang-tulang manusia di atasnya, lalu pulanglah ia ke Yerusalem.” (2 Raja 23:20). Tangan Yosia berlumuran darah; reformasinya berkubang najis. 11 Harus diakui bahwa selama ini sejenis “aliran Deuteronomik” menuntun sebagian besar penafsiran sejarah Indonesia merdeka. Masa Suharto dan masa pasca-Suharto dirajut rapih, seolah-olah pembaruan bisa dilaksanakan bagai “kelanjutan” dari rezim biadab itu. Nyatanya, tokoh-tokoh rezim itu jadi penerus hingga kini, dan aparat-aparatnya tak jadi dibubarkan, cuma dioles. Yeremia dan Zefanya Berseberangan Nabi Yeremia (tampil 627 sM) mendukung pembaruan Deuteronomik yang dijalankan di bawah komando Yosia, karena itu dia bungkam seribu kata selama masa reformasi (622-609 sM). 12 Yeremialah satu-satunya nabi yang pernah sanjung seorang raja karena, katanya, Yosia membayar gaji yang layak kepada kaum buruh, dan pada waktunya. Karena itu, Nabi Yeremia, yang sebetulnya lebih berbakat mengeluh-merapati situasi politik-sosial dari pada menyuluh secercah harapan baru, toh pernah bertutur: “[Yosia] melakukan keadilan dan kebenaran, serta mengadili perkara orang sengsara dan orang miskin dengan adil. Bukankah itu namanya mengenal Aku? Demikianlah firman Tuhan” (Yer 22:16). Jadi, Yeremia menilai pemimpin bangsanya dengan menyoroti jejak langkahnya, sikap dan perilakunya, secara khusus kebijakannya menyangkut rakyat yang tak berdaya: “Bukankah itu namanya mengenal Aku?” Bagi Yeremia beriman berarti “melakukan keadilan dan kebenaran”; tidak mempedulikan orang kecil sama dengan tidak mengenal Allah. Kesimpulan: jika kita sungguh mengenal Allah, kita akan menilai sebuah pemerintah – dan tentu diri kita sendiri 11
“Josiah’s cultic reform is a campaign of calculated brutality and vandalism in the name of Yahweh.” Nakanose, op.cit., hlm.32. 12 Setelah Yosia gugur di medan perang (609 sM) dan reformasinya gagal, Yeremia mengangkat suaranya lagi dan mengutuk kaum penguasa-elit dengan bahasa yang senada dengan seruan Zefanya: “Celakalah dia yang membangun istananya berdasarkan ketidakadilan dan anjungnya berdasarkan kelaliman, yang mempekerjakan sesamanya dengan cuma-cuma dan tidak memberikan upahnya kepadanya…” (Yer 22:13)
selaku warga - dari dampak kebijakannya pada orang yang paling sederhana, orang yang kelupaan, yang ditinggalkan, yang tersingkirkan. Justru rakyat yang dikesampingkan yang berhak menghakimi kita, baik pemimpin pun warga. Pernilaian ini sejalan dengan catatan positif yang kita temukan dalam kisah Deuteronomik: “[Yosia] melakukan apa yang benar di mata Tuhan dan hidup sama seperti Daud, bapa leluhurnya, dan tidak menyimpang ke kanan atau ke kiri.” (2 Raja 22:2; lih. juga 2 Raja 23: 25). Membaca ini, mungkin saja kita kagum-terpukau: akhirnya bangkit seorang raja yang dikehendaki para penyambung suara hati rakyat. Namun, kalau ada pembaca yang masih bersikap skeptis, ada alasan juga. Kita hanya perlu membuka Kitab Nabi Zefanya. Zefanya mengangkat suaranya menjelang akhir abad ke-7 sM, tepat pada masa Raja Yosia. Dengan lantang ia mengutik kaum pemeras yang kaya: “Merataplah, hai penduduk perkampungan Lumpang! Sebab telah habis segenap kaum pedagang, telah lenyap segenap penimbang perak. Pada waktu itu Aku akan menggeledah Yerusalem dengan memakai obor dan akan menghukum orang-orang yang telah mengental seperti anggur di atas endapannya dan yang berkata dalam hatinya: Tuhan tidak berbuat baik dan tidak berbuat jahat! Maka harta kekayaannya akan dirampas dan rumah-rumahnya akan menjadi sunyi sepi. Apabila mereka mendirikan rumah, mereka tidak akan mendiaminya; apabila mereka membuat kebun anggur, mereka tidak akan meminim anggurnya.” (Zef 1:11-13. Huruf tebal oleh penulis). Bukan hanya itu. Senada dengan suara keras dari Amos di Samaria dahulu, Zefanya menjuluki Yerusalem ‘kota penuh penindasan’: “Celakalah si pemberontak dan si cemar, hai kota yang penuh penindasan! Ia tidak mau mendengarkan teguran siapapun dan tidak memperdulikan kecaman; kepada Tuhan ia tidak percaya dan kepada Allahnya ia tidak menghadap. Para pemukanya di tengah-tengahnya adalah singa yang mengaum; para hakimnya adalah serigala pada waktu malam yang tidak meninggalkan apapun sampai pai hari. Para nabinya adalah orang-orang ceroboh dan pengkhianat; para imamnya menajiskan apa yang kudus, memperkosa hukum Taurat.” (Zef 3:1-4. Huruf tebal oleh penulis). Bingung kita bertanya: “Reformasi Yosia sudah ke mana?” Yeremia menyanjung seorang raja yang adil dan menilainya terlampau positif, sedangkan Zefanya menyerang sistem pemerintahannya kelewat keras, dan menilai rezimnya secara serba negatif. Kita mau percaya
yang mana: Yeremia yang memuji pribadi Yosia, atau Zefanya yang mengutuk sistem pemerintahannya? Kerap kali kita memisahkan pelaku (“orangnya baik, alim”) dan mengabaikan tanggungjawabnya dalam sistem yang menindas. Dapatkah kita membela pribadi seorang presiden seperti Joko Widodo sambil mengutuk aparat-aparat negera dibawanya? Makna Reformasi Yosia. Untuk menjawab pertanyaan – malah kebingungan - yang timbul, kita perlu menyelidiki makna yang sebenarnya dari Reformasi Yosia. Sebagaimana dikisahkan dalam 2 Raja 22-23, Reformasi Yosia bermaksud membarui kehidupan religius rakyat. Pada tahap pertama 13 semua unsur asing (“kafir”) dimusnahkan dari Kanisah Yerusalem, suatu aksi pemurnian agama dan penegakan identitas bangsa yang membalikkan kebijakan kakeknya, Raja Manasye, yang rela meleburkan kultur religius Asyur dan Mesir dengan kultus dan kultur Yudea (akulturasi). Pada tahap kedua, ibadat dan perayaan Paska disentralisasikan di Yerusalem. Ini berupa satu revolusi: pada awalnya perayaan Paska ditetapkan sebagai perayaan keluarga untuk mengenang pembebasan kaum Ibrani dari perbudakan (Kel 12:43-51). Kini Yosia merombaknya menjadi perayaan nasional tahunan yang terpusat di kanisah di ibu kota. Kisah Deuteronomik ini (2 Raja 22-23) menimbulkan banyak pertanyaan. Antara lain, kita mesti menyelidiki apakah Reformasi Yosia harus dibaca melulu sebagai aksi pembaruan agama. Jawabannya: “tidak!” 14 Di balik upaya pemurnian identitas bangsa dan perombakan makna perayaan Paska, letak latar ekonomi, sosial, politik dan ideologi yang perlu kita tapaki karena konteks ini yang menyoroti pemaknaan Reformasi Yosia yang sebenarnya. Ekonomi:dari Pola Kerakyatan ke Pola Pengisapan 15 Sejak zaman Yosua hingga masa Samuel dan Saul, pola ekonomi ke-12 suku mirip dengan pola ekonomi tradisional NTT. Tanah dimiliki suku/klan bersama, dan masing-masing klan tampil kurang-lebih sama kuat. Perdagangan berlangsung dengan tukar-menukar hasil pertanian, perternakan dan kerajinan tangan, seperti dulu orang Wolofeo menukar periuk dengan kain tenun orang Jopu (lantas menjalin hubungan perkawinan demi memperlancar relasi dagang). Memang, 13
Tentang dua tahapan reformasi lih. Nakanose, op.cit., hlm.19-20. Wes Howard-Brook, op.cit., hlm.311-312, 331-332. Bandingkan Walter Brueggemann, Teologi Perjanjian Lama: Kesaksian, Tangkisan, Pembelaan, 2009, hlm.613. 15 Lih. Nakanose, op.cit., hlm. 36-51. 14
pola ekonomi komunal cocok bagi masyarakat de-sentralistik. Namun sudah pada zaman pramonarkis, ekonomi kerakyatan mulai digerogoti: klan yang berhasil mulai menguasai klan-klan yang sial. Keseimbangan kekuatan terganggu oleh gagalnya panen (karena cuaca atau hama), atau musnahnya hewan (wabah), dan lama-kelamaan minoritas yang semakin kaya mendominasi mayoritas yang berutang padanya (lih. Kel 21:2-5). Berangsur-angsur lahan kebanyakan suku menjadi milik klan-klan tertentu. Gejala ini terlihat di NTT pula. Pada awal Konfederasi 12 Suku Ibrani (masa pra-Kerajaan) harta kekayaan berupa milik bersama; selama era monarki harta kekayaan semakin terkonsentrasi ke dalam semakin sedikit tangan. Hal ini menyebabkan wilayah Israel memisahkan diri dari daerah Yudea ketika raja rakus Salomo meninggal dan diganti dengan anaknya yang lebih tamak lagi (1 Raja 11:21-22, 25b). Makin kuat monarki, makin terkonsentrasi sistem ekonomi, sarana produksi, bahan-bahan mentah, dan perdagangan di tangan kaum elit yang berkuasa. Sistem tersentralisir seperti ini jauh lebih menguntungkan para penguasa dari pada sistem lama, yaitu sistem penagihan pajak dari kaum tani dan peternak. Sebagaimana tutur Kitab Amsal 22:7 “Orang kaya menguasai orang miskin, yang berhutang menjadi budak dari yang menghutangi.” Analisis ini tepat sampai sekarang. Lihat saja NTT: tata ekonomi pengisapan menghasilkan satu bangsa perantau yang mudah menjadi mangsa trafficking. Akibatnya, kaum tani menjadi penggarap atas tanah leluhurnya yang sudah diambil oleh kaum kaya. “Sisa” orang kampung merantau ke kota dan menjadi buruh. Karena memiliki ketrampilan minimal, mereka memperoleh upah jauh di bawah batas kewajaran. Maka, bangkitlah para nabi. Dampak dari Reformasi Yosia Dari kisah Deuteronomik dan warta para nabi, menjadi amat jelas bahwa Kanisah Yerusalem terlibat dalam pemerasan rakyat melalui pajak agama dan keputusan untuk memusatkan perayaan-perayaan keagamaan di ibu kota (2 Raja 18:14-16). Kita dapat menyimpulkan bahwa negara di bawah komando Yosia selama 30 tahun, pada dasarnya, tak berbeda dengan kerajaan sebelum reformasinya, paling kurang menyangkut caracara memeras rakyat secara ekonomis. Negara dipertahankan dan berfungsi demi menguntungkan pemilik sarana produksi (superstruktur). Para buruh tani dan buruh kota dikorbankan. Melihat dampak ekonomis dari Reformasi Yosia, mustahil kita bisa memahami
reformasinya secara sempit sebagai aksi pembaruan agama saja. Akar Reformasi Yosia ditemukan dalam tujuan sosio-ekonomi dan politik. Menghadapi serangan oeh Yosia yang brutal-berdarah untuk menghilangkan tempat-tempat ibadat lokal, para tani dan penduduk di pedalaman tidak lagi dapat mempersembahkan hasil keringatnya, atau membayar pajak agamanya, di kampungnya sendiri. Para petani dan peternak terpaksa membawa persembahannya dan sisa hasil panennya ke kanisah di Yerusalem. Jadi, “pembaruan” Yosia mempertegas proses sentralisasi ekonomi dan politik yang sudah lama berlangsung. Merosotnya pengaruh Asyur membuka peluang bagi Yosia dan kaum elit di Yerusalem untuk menata ulang tata masyarakat Yudea dan mempertegas proses pengaliran produksi dan distribusi ke Yerusalem. Pula pola ekonomi pengisapan dengan sendirinya memperdepankan konflik sosial. 16 Sebagaimana kita alami di NTT: makin rajin orang pedalaman makin kaya orang di pesisir; makin rajin orang kampung makin kaya orang kota; makin rajin pedagang NTT makin makmur kota Surabaya yang pada gilirannya dikendalikan modal Singapora. Reformasi Yosia dengan jelas mengikuti pola ekonomi pengisapan demikian: hasil petani dan peternak terisap dari dusun ke ibu kota, dari keluarga-keluarga barisan buruh kepada jajaran kaum birokrat yang berkuasa di Yerusalem. Indonesia, seperti Konfederasi 12 Suku Ibrani, bermula dengan gagasan ekonomi komunal. Generasi 1928 hendak mewujudkan sosialisme melalui koperasi (gagasan Bung Hatta) dan kemandirian (“Mahaenisme”, gagasan Bung Karno). Kini ekonomi negara digiring oleh konglomerat nasional dan internasional; pun kebanyakan kopdit sudah kehilangan visinya. Sosial: dari Egalitarianisme ke Hirarkisme 17 Masyarakat Allah, yaitu kaum Ibrani - kaum ‘apiru - berupa sebuah masyarakat yang sangat heterogen. Mereka terdiri dari rupa-rupa kelompok etnis, walau secara sosial semuanya bersifat marginal. Ada yang bekas budak yang dituntun Musa, Harun dan Miriam dari Mesir (Kel 3-15), lain berupa penggarap tanah yang berontak melawan tuan-tuan tanah di Kanaan. Mereka bergabung di bawah Yosua (Yos 24) dan membentuk sebuah “Konfederasi 12 Suku Ibrani” yang
16 17
“For some, vast wealth; for the poor, contempt and neglect.” Berrigan op.cit., hlm.200. Lih. Nakanose, op.cit., hlm.54-65.
dipersatukan oleh Dasasila Negara (10 Firman, Kel 20:1-2) di bawah kedaulatan Allah yang memerdekakan mereka. 18 Perubahan-perubahan sosial sudah melanda masyarakat Ibrani sejak era Raja Daud, yang awalnya bersifat komunal. Dengan berdirinya sebuah monarki, muncul sejumlah golongan sosial baru seperti kaum birokrat dan kaum militer. Tatanan masyarakat menjadi semakin hirarkis semenjak pusat ekonomi bergeser dari dusun ke kota, dan dari kota-kota daerah ke ibu kota Yerusalem. Makin lama Kerajaan Israel dan Kerajaan Yudea makin mirip tata hirarkis Kekaisran Mesir dan tata pemerintahan kota-kota Kanaan. Secara khusus, sejak pertengahan abad ke-9 sM hingga abad ke-7 sM kaum Ibrani mengalami spesialisasi dalam kegiatan ekonomi, tapi juga mereka mengalami serangan dan dominasi dari Kekaisaran Asyur. Spesialisasi di bidang ekonomi menghasilkan pembagian jenis-jenis pekerja yang semakin kompleks, sedangkan serangan dari Asyur membawa dominasi atas Israel, dan kemudian atas Yudea, secara ekonomis dan politis lewat beban pajak yang semakin menguras-memeras. Dalam masyarakat hirarkis demikian, korupsi merajalela dalam administrasi negara. Dan justru pada masa itu, bangkitlah para nabi, suara hati bagi mereka yang tak dapat bersuara (mis. Yes 1:23; Am 2:6-7). Tepat pada masa Yosia, malah di tengah penggalakan reformasinya, tampil nabi Yeremia dan nabi Zefanya. Jumlah penduduk Yerusalem membengkak dengan kedatangan kaum tani miskin yang terusir dari tanah pusakanya karena dibebani utang yang tak dapat dilunaskan. Reformasi Yosia tidak memperbaiki nasib lapisan sosial paling bawah dan yang paling miskin. Sebaliknya, reformasinya menegaskan tata ekonomi perdagangan sentralistik, di mana para buruh, yang kehilangan lahan leluhurnya, terpaksa mengabdi bagai buruh murahan. Politik: dari Musyawarah Mufakat ke Perintah dari Atas 19 Ada kaitan amat erat antara ketergantungan politik dan ketergantungan religius-budaya. Yudea diperas oleh Asyur, namun sangat boleh jadi penduduknya merasa lebih dikuras dan dipermiskinkan oleh golongan penguasanya sendiri. Menarik bahwa baik Zefanya maupun Yeremia tak singgung sedikit pun tentang keputusan untuk menyentralisasikan kultus-kultus 18
Penulis pernah menyangka bahwa ia adalah orang pertama (pada tahun 1970an) yang memasang istilah “Dasasila” pada 10 Firman Allah untuk menyatakan perannya sebagai ideologi dasar masyarakat Musa. Belakangan ini baru ia tahu bahwa pada tahun 1960an Herman Embuiru sudah menerbitkan buku kumpulan homili seputar 10 Perintah Allah dengan judul ini! 19 Lih. Nakanose, ibid., hlm.72-77.
keagamaan di Kanisah Yerusalem, hal mana yang menjadi fokus utama dalam Reformasi Yosia tahap kedua, paling kurang seturut kisah Deteronomik (2 Raja 23). Fokus Zefanya berpusat pada perilaku takadil dan pola pemerasan, sedangkan fokus Yeremia berada pada pribadi Yosia yang dinilainya jujur dan patuh pada firman Allah. Zefanya tidak terkesan dengan kebaikan hati penguasa yang duduk di atas piramide sosial, tetapi memfokuskan keprihatinannya pada akibat dari sistem yang memeras rakyat. Jadi, bukan pribadi dan kehendak baik si Jokowi yang menentukan, melainkan dampak dari sistem pemerintahan yang dipimpinnya. Memperhatikan tata politik sentralistik yang dipertegas Yosia, kita dapat membayangkan bagaimana apparat negara, sambil menjaga serta memajukan kepentingan sosio-ekonomi penguasa-elit, menyalahgunakan kekuasaan politik untuk kepentingannya sendiri dalam mengumpulkan, menyeleksi, dan menysusun ulang tradisi-tradisi kuno. Perspektif kaum elit dimasukkan ke dalam Alkitab. Hal ini kita saksikan secara istimewa dalam tradisi Deuteronomik: Perjanjian Sinai yang egalitarian “ditelan” oleh Perjanjian Sion. Penyuntingan “sejarah Deuteronomik” (Lima Kitab Taurat dan 1 Samuel hingga 2 Raja-Raja) melandaskan Reformasi Yosia. Tampaknya, uraian pembaruan keagamaan dipakai untuk menghalalkan sistem fiskal yang berkonsentrasi di kanisah, dan sebagai konsekuensinya mengisap ke Yerusalem sisasisa hasil keringat kaum tani dan peternak. Tandas Nakanose, “Reformasi Yosia merupakan serangan pada penduduk desa dan pada banyak aspek kehidupan sosial mereka.” 20 Nasib rakyat Indonesia sangat mirip; 70an% keuangan negara berputar di Jakarta dan 10% di Surabaya, maka terpicu perantauan besar-besaran, antara lain dari NTT. Karena tak bisa lagi menjadi “tuan atas tanahnya sendiri”, orang rela menjadi tenaga murah di tanah rantau. Ideologi: dari Allah Pembebas ke Allah yang Memerintah lewat Wakil-Nya 21 Selama masa pra-monarki ketika tanah dipelihara dan dikelolah oleh suku/klan dan ekonominya bersifat komunal. Masyarakat Perjanjian Sinai meyakini bahwa Allah adalah pemilik bumi serta segala isinya (lih. Im 25; Mzm 24). Pada zaman yang sama, Konfederasi 12 Suku Ibrani mengambil keputusan-keputusan penting melalui musyawarah mufakat dalam tatanan sosial desentralistik - seperti di NTT dulu; Allah adalah Raja mereka. (lih. Ul 33). Dan ketika Konfederasi 12 Suku Ibrani terancam oleh musuh luar (Asyur dari utara, Mesir dari selatan dan 20 21
Nakanose, ibid., hlm.91. Lih. Nakanose, ibid., hlm.78-86.
Babilonia dari timur), setiap suku menyumbang sejumlah prajurit. Milisi ini dikomando oleh Allah sendiri, yang kehadiran-Nya dilambangkan Tabut Perjanjian (lih. Hak 5; 1 Sam 4:3-5). Dan pada musim pesta, ada perayaan lokal dan perayaan-perayaan di pusat, seperti di Sekhem (lih. Kel 20, 24). Jadi, perayaan-perayaan kultus ke-12 suku mendukung tata masyarakat federal, dan menyokong otonomi seluas-luasnya bagi masing-masing kelompok etnis. Larangan akan patung atau gambar dari Allah berkaitan dengan keyakinan di wilayah Timur Tengah bahwa sang raja adalah wakil (“patung” atau “gambar”) dari para allah/dewa di bumi. Tata sosial ke-12 suku yang egalitarian mengikuti tradisi Sinai, tradisi Musa. Ganti patung yang menetap di kuil persembahan, kehadiran Allah berpusat di sebuah kemah yang berpindahpindah: Allah bebas bergerak bersama rakyat-Nya. Tradisi Musa ini berupa tradisi protes di kalangan mereka yang kehilangan segala. Namun, ketika masyarakat suku dengan penekanannya pada egalitarianisme dan ideologi anti-raja digusur oleh kepentingan kaum penguasa, sekaligus keyakinan Yahwistik, ideologi Masyarakat 12 Suku Ibrani, pun ditolak. Suatu perjanjian baru, yang kita kenal sebagai Perjanjian Daud, dijadikan landasan ideologi-politik untuk membangun dan membenarkan monarkinya (2 Sam 7). Di atas itu semua, imperialisme Asyur menekan sehingga tatanan sosial Yudea menjadi lebih sentralistik dalam tangan kaum penguasa-elit di Yerusalem. Akibatnya, timbul satu patologi sosial, dan lahirlah tradisi protes para nabi. Sang Nabi sejati selalu dapat tampil, asal ia dijiwai spirit Alkitabiah yang berperikemanusiaan, asal Allahnya prihatin dan peduli dengan nasib orang yang paling terpinggirkan, asal ia tidak menggantungkan karyanya dari proyek-proyek pemerintah. Nuansa Yesaya, Nuansa Deteronomik Suara kenabian mulai didengungkan di Yerusalem dalam diri Yesaya bin Amos (tampil 738 hingga 701 sM), yang dalam pesan utamanya menyerukan penyucian ibu kota Yerusalem. Yesaya mengutuk korupsi moral di kalangan kaum penguasa-elit, dan mewartakan keadilan dan kebenaran bagai landasan etika publik (Yes 1–35). Berbeda dari para nabi di Betel dan Samaria seperti Amos dari Ketoa (tampil 760-750 sM) yang berlandasan Perjanjian Sinai dan tradisi Musa, Yesaya dengan amat jelas menyerukan pembaruan sosial dalam bingkai monarki yang berakar dalam tradisi Perjanjian Daud. “Teologi Yerusalem” ini menempatkan tradisi Perjanjian Sinai ke dalam perspektif Perjanjian Daud; para raja keturunan Daud diangkat sebagai “mitra”
Allah di bumi. Di sini tradisi Perjanjian Sinai mencair, mengalir dan berubah hingga dapat membenarkan secara ideologis proyek reformasi Hizkia dan Yosia. Justru dalam ambiguitas ini, Yesaya melakukan resistensi profetisnya. Jelas, kata-kata kejam dari Yesaya perihal perilaku kaum penguasa, tidak bermaksud memicu satu gerakan reformasi revolusioner oleh, dan untuk, para petani, tukang dan buruh, yakni oleh para korban tata sosial monarkis. Kritik sosial yang pedas dari nabi Yesaya sungguh istimewa, dan impiannya akan masa depan yang serba adil dan damai tetap mempesonakan. Namun, Alkitab mencatat bahwa proyek reformasi monarki, termasuk program paling istimewa di bawah raja Yosia, gagal total. 22 Yosia gugur di medan perang pada 609 sM. Cuma empat belas tahun kemudian Yerusalem dikepung dan kaum penguasa-elit dibuang ke Babilonia (587 sM). Berakhirlah monarki Yudea seperti Kerajaan Israel sebelumnya. Peristiwa dahsyat inilah yang mengakhiri kisah sebuah kedaulatan monarkis yang gagal. Yosia dulu, kini Jokowi? Suara Waligereja Indonesia Dalam seri Nota Pastoralnya pada tahun 2003-2006, para waligereja Indonesia melontarkan kritik fundamental terhadap sistem politik, wujud budaya dan pola ekonomi negara. Jika politik seyogyianya berasas martabat manusia yang diwarnai kebebasan, keadilan dan kesetiakawanan, para uskup menilai bahwa politik di Indonesia telah merosot dan kini tidak lebih dari “sarana untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan”. Lagi, “kedaulatan rakyat diganti dengan kekuasaan uang”. Di balik ini semua para uskup menilai bahwa “iman tidak lagi menjadi sumber inspirasi bagi hidup sehari-hari.” 23 Agama ritual tinggal label yang memberi identitas pada kelompok. Rasanya mirip dengan situasi di Yerusalem pada masa Yosia. Tahun berikutnya, para uskup mempelajari tantangan-tantangan yang kita hadapi di bidang kebudayaan. Mereka melihat bahwa kita sedang mengembangkan kultur korupsi dan kultur kekerasan. Badan-badan publik yang seharusnya menyelenggarakan kesejahteraan umum sudah menjadi “ruang publik yang dibiarkan bergerak nyaris tanpa aturan”. Pasar bebas global tidak 22
“Kematian Yosia secara tiba-tiba dan diimbuh tindak kekerasan tampaknya menimbulkan keragu-raguan menyangkut kesucian ‘reformasi’ sang raja beserta kompromi tertulis yang dihasilkannya.” Howard-Brook, op.cit., hlm.333. 23 Nota Pastoral KWI Pendekatan Sosio-Politik (2003), passim.
lain dari pada pasar bebas etika, tanpa nilai-nilai kemanusiaan. Tegaskan mereka: tidak ada strategi kebudayaan yang memperkuat modal sosial yang menciptakan keseimbangan. 24 Dua tahun kemudian para waligereja memusatkan perhatiannya pada pola ekonomi yang berlaku di Indonesia, yaitu pada seni mengelola sumberdaya yang dimiliki negara (sebetulnya yang dimiliki bumi) demi kesejahteraan bersama. Tetapi, menurut para uskup, komersialisasi semakin meluas dan segala sesuatu dinilai seturut nilai ekonominya, termasuk tenaga kerja - manusia. Akibatnya kemanusiaan dikorbankan dan jurang pemisah antara kaya dan miskin semakin melebar. 25 Bukan Pribadi tapi Sistem Jika kajian kritis para waligereja Indonesia ada benarnya, dan sistem politik, budaya dan ekonomi Indonesia bermasalah secara mendasar, kita dapat menyejajarkan situasi negara kita dengan keadaan di Yudea dua setengah milenium yang silam. Betapa baiknya seorang tokoh Hizkia atau seorang pejuang Yosia, kalau sistemnya tidak dirombak dan dibarui secara fundamental, ulahnya akan kandas, reformasinya gagal. Selama kapitalisme global dibiarkan merajalela bagai kasino tuna nurani dalam jalur politik, budaya dan ekonomi yang bebas etika, betapa luhurnya cita-cita seorang Joko Widodo, betapa suci hidup pribadi seorang presiden, ia berada pada ujung tanduk seekor banteng buas. Selama dunia politik dipermainkan oleh partai-partai rakitan bikinan rezim Suharto, dan selama semua partai politik bersama seluruh aparat birokrasi dan keamanan tetap menuruti format yang ditetapkan rezim kejam Ordo Baru – kendati disambut baik oleh para investator global karena amat menguntungkan mereka – seorang presiden yang berkehendak baik tidak akan membawa pembaruan yang berarti.
24
Nota Pastoral KWI Pendekatan Sosio-Budaya (2004), passim. Nota Pastoral KWI Pendekatan Sosio-Ekonomi (2006) passim. Sepuluh tahun kemudian para uskup menghasilkan sebuah Nota Pastoral seputar Lingkungan Hidup yang berjudul Keterlibatan Gereja dalam Melestarikan Keutuhan Ciptaan (2013). Nota Pastoral ini melihat soal ekologi dari sisi politik, budaya, ekonomi dan ideologi. Para waligereja menegaskan bahwa bumi selaku rumah tinggal manusia tengah terancam, karena manusia menempatkan diri sebagai makluk yang berkuasa terhadap alam ciptaan dan pusat segala-galanya. 25
Presiden Abdurrahman Wahid segera digusur setelah mempertanyakan legalitas dan legitimasi Ordo Suharto. 26 Jika Jokowi tidak mau mengalami nasib serupa, satu-satunya peluang yang terbuka baginya ialah membangkitkan jejaring tandingan di luar sistem politik, budaya dan ekonomi yang formal. Dia harus membangkitkan gerakan-gerakan sosial demi transformasi asasi bersama rakyat yang sudah lama muak dengan monarki korup peninggalan rezim Suharto/Golkar. Dia mesti, secara sadar dan massif, menggerakkan pendukung di luar jalur-jalur resmi yang sedang mengelilitinya. Kalau tidak, “santo” Hizkia bakal diganti dengan “setan” Manasye, lantas “santo” Yosia dengan “setan-setan” Yoahas, Yoyakim dan Zedekia dan runtuhlah negara Yudea, hancurlah kota Yerusalem, kaum elit dibuang ke Babilonia, dan kaum kecil diperas habis-habisnya. Reformasinya gagal. 27 Kegagalan Yosia, menurut penutur kisah Deuteronomik, harus ditanggung oleh kakeknya, si setan Manasye (“Bapa Pembangunan Yudea”). 28 Kita bertanya: Apakah Jokowi kini “tertakdir” gagal karena dilingkungi sistem politik, budaya dan ekonomi warisan “kakeknya” Suharto? Seratus hari pertama kepresidenannya belum meyakinkan. Jokowi tidak bebas memilih sebuah kabinet dari orang-orang profesional, dia memajukan nama orang bermasalah, yakni Budi Gunawan, mantan ajudan Megawati, sebagai calon Kapolri, menenggelamkan kapal-kapal yang menangkap ikan di perairan Indonesia, dan menolak grasi bagi pengedar narkoba yang sudah dihukum mati, termasuk seorang warga Brazil, Marco Archer Cardoso Moreira, yang tidak diberi kesempatan untuk menerima Sakramen Rekonsiliasi, Perminyakan Suci dan Komuni Terakhir (Viaticum), dan, menurut kesaksian pendamping rohaninya, Romo Carolus Burrows, OMI, menangis secara histeris ketika ditarik dari selnya, dan sebelum ditembak mati harus disirami air dari selang karena sudah mengotori celananya. 29 Di manakah papalele mebel yang kita jeblos
26
Presiden Wahid mengimbau kaum cendekia untuk mengumbar latar yang sebenarnya dari peristiwa-peristiwa tragis selama 1965-1967 yang mengantar angkatan darat ke pucuk kekuasaan negara. 27 “The Babylonians take Jerusalem, capital of Judah in 587 BCE; and a divine effort that, by the Bible’s reckoning, has lasted for more than a millennium ends in wreckage, slaughter, and the ignominy of exile.” Jack Miles, God: A Biography, 1995, hlm.186. 28 Howard-Brook, op.cit, hlm. 179. 29 Marco Moreira dihukum mati pada tgl. 18 Januari 2015. Kelima napi lain menerima counseling dari tokoh Islam, Budhis, dan Kristen Protestan. Menurut juru bicara Lapas, Marco tidak mendapat pelayanan pastoral dan sakramental dari seorang pastor Katolik “karena masalah administratif”. Paulus Siswantoko, sekretaris Komisi KPKC-KWI, menyatakan dengan tegas: “Hak asasi Marco dilecehkan pada saat-saat akhir hidupnya.” Surat keprihatinan oleh Carolus Burrows OMI (pastor Lapas Pasir Putih, Cilacap, tempat tahanan Marco) dikirim kepada Kedutaan Brazil di Jakarta, Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi, Pimpinan OMI, Uskup Sunarko (Purwokerto), Ketua KWI, dan Komisi Kepausan JPIC (Vatikan). Peristiwa ini menjadi berita heboh di luar
dalam PilPres tahun lalu? Prabowo serta Koalisi Merah-Putihnya di DPR tidak usah tampil; mereka hanya perlu tunggu tenang dan membiarkan Jokowi menggali kubur politiknya sendiri. 30 Endapan-endapan sisa dari reformasi Yosia hanya tinggal dalam kisah historis sebagaimana disunting oleh penutur Deuteronomik. Perspektifnya, sebagaimana kita baca dalam Alkitab, tampaknya ambigu: mana yang dikehendaki Allah - Konfederasi 12 Suku Ibrani yang kuasidemokratis di bawah kedaulatan Allah (Perjanjian Sinai) atau Kerajaan sentralistik yang memeras rakyat (Perjanjian Daud)? Sepertinya kita juga diombang-ambingkan di antara kedua model masyarakat itu pula. Sampai kini. Awal Baru Masa depan tak bisa ditebak. Lima ratusan tahun seusai masa Yosia, dari harapan-harapan yang nyaris hancur, dari puing-puing peninggalan iman Sinai, dari rahim kaum anawim, tampillah Rabi Yosua dari Nazaret. Tolak dijuluki raja, Ia membentuk komunitas penerus di bawah kepemimpinan 12 murid, lambang ke-12 suku, masyarakat Musa yang baru (Mat 5:1-12). 31 Dengan demikian Ia melanjutkan aliran kemanusiaan dan kenabian dari Perjanjian Sinai seturut model masyarakat Ibrani pra-monarki. Tatanan hirarkis ditolak-Nya dengan keras: “Kamu tahu bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu…” (Mrk 10:42-43). Lagi, “Janganlah kamu disebut Rabi karena hanya satu Rabimu dan kamu semua adalah saudara. Dan janganlah kamu menyebut siapapun bapa [apa lagi ‘bapa suci’] di bumi ini, karena hanya satu Bapamu yaitu Dia yang di surga. Janganlah pula kamu disebut pemimpin, karena hanya satu Pemimpinmu, yaitu Mesias”. (Mat 23:8-10). Nyatanya, gerakan pembaruan yang setia pada wawasan dan cita-cita Yesus, semestinya bergerak menanding tatanan masyarakat mana pun yang menindas, sambil mencari solusi bagi problem-problem kemanusiaan yang mendesak dan harus dijawab. Bukan reformasi yang bermula dari puncak piramide penindasan, melainkan satu gerakan transformatif dari bawah negeri lewat, antara lain, UCAN (Berita Gereja Katolik Asia, www.ucanews.com) dan FairFax Media Australia; pada akhir Februari 2015 belum disiarkan lewat situs KWI (www.mirifica.net), biar hanya lewat sebuah tautan saja. 30 Untuk pemikiran yang cukup mewakili pendapat umum di Asia, lih. Elizabeth Pisani, “Be Careful What ou wish for, Indonesia”, Nikkei Asian Review, 5 Februari 2015. Memilih Koalisi Merah-Putih dalam Pemilu dan Koalisi Indonesia dalam PilPres - 1 minus 1sama dengan 0. 31 Lih. Berrigan, op.cit, hlm.201. Pembentukan komunitas tandingan oleh Yesus diuraikan dalam Gerd Theissen, Gerakan Yesus: Sebuah Pemahaman Sosiologi tentang Jemaat Kristen Perdana, 2008.
yang hendak mengubah sejarah, satu pergulatan berkelanjutan dalam iman demi keadilan dan kesetaraan. Tentu, mulai dengan kita sendiri. Daftar Rujukan Berrigan, Daniel, The Kings and Their Gods: The Pathology of Power. Grand Rapids: Eerdmans Publishing Company, 2008. Brueggeman, Walter, Teologi Perjanjian Lama: Kesaksian, Tangkisan, Pembelaan. Maumere: Penerbit Ledalero, 2009. [aslinya bhs. Inggris, Augsburg-Fortress, 1997] Howard-Brook, Wes, “Keluarlah, Wahai Umat-Ku!”: Panggilan Allah dalam Alkitab agar Keluar dari Imperium. Maumere: Penerbit Ledalero, 2014. [aslinya, bhs. Inggris, Orbis Books, 2010] Klinken, Gerry van, “Prabowo and Human Rights: Jakarta 1998 was bad, but Prabowo likely had more blood on his hands in East Timor”, Inside Indonesia, 30 April 2014. http://insideindonesia.org Diakses 01 Mei 2014. KWI, Nota Pastoral Menuju Habitus Baru Bangsa: Keadilan Sosial bagi Semua: Pendekatan Sosio-Politik. Jakarta: KWI, Novemeber 2003. KWI, Nota Pastoral Menuju Habitus Baru Bangsa: Keadilan Sosial bagi Semua: Pendekatan Sosio-Budaya. Jakarta: KWI, November 2004. KWI, Nota Pastoral Habitus Baru: Ekonomi yang Berkeadilan: Keadilan bagi Semua: Pendekatan Sosio-Ekonomi. Jakarta: KWI, November 2006. KWI, Nota Pastoral Keterlibatan Gereja dalam Melestarikan Keutuhan Ciptaan. Jakarta: KWI, November 2013. Miles, Jack, God, A Biography. New York: Alfred A. Knopf, 1995. Nakanose, Shigeyuki, Josiah’s Passover: Sociology and the Liberating Bible. New York: Orbis Books, 1993. Pisani, Elizabeth, “Be Careful What you wish for, Indonesia”, Nikkei Asian Review, 5 Februari 2015. http://asia.nikkei.com. Diakses 5 Februari 2015. Theissen, Gerd, Gerakan Yesus: Sebuah Pemahaman Sosiologi tentang Jemaat Kristen Perdana. Maumere: Penerbit Ledalero, 2008.