1
BAHASA OCU: AKULTURASI ANTARA BAHASA MINANGKABAU DENGAN BAHASA MELAYU RIAU DI KABUPATEN KAMPAR1
Oleh Witrianto2 & Arfinal3
ABSTRAK Bahasa Ocu adalah bahasa yang dipergunakan oleh orang Ocu yang merupakan penduduk asli di Kabupaten Kampar Provinsi Riau yang letaknya bersebelahan dengan Provinsi Sumatera Barat yang dikenal identik dengan etnis Minangkabau. Sebagian besar kosakata yang terdapat dalam bahasa Ocu sama dengan kosakata dalam bahasa Minangkabau, sehingga semua orang Minangkabau memahami dengan baik bahasa Ocu, begitu pula sebaliknya. Banyak orang Minangkabau yang beranggapan bahwa bahasa yang dipergunakan oleh orang Ocu adalah salah satu dialek dalam bahasa Minangkabau yang sangat mirip dengan dialek Limapuluh Kota. Akan tetapi orang Ocu sendiri tidak menganggap bahasa yang mereka pergunakan sebagai Bahasa Minangkabau. Menurut mereka bahasa yang dipergunakan oleh orang Ocu adalah salah satu dilaek dari bahasa Melayu yang mereka sebut sebagai bahasa Melayu dialek Kampar.
1
Makalah disampaikan pada Seminar Internasional Forum Ilmiah VII FPBS UPI “Pemikiran-pemikiran Inovatif dalam Kajian Bahasa, Sastra, Seni, dan Pembelajarannya”, tanggal 30 November 2011 di Gedung Kebudayaan UPI, Bandung. 2 Penulis adalah staf pengajar Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang. 3
Penulis adalah staf pengajar Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI) perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
1
Sekilas mengenai Orang Ocu
Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia
dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan
asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan
hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri. Ocu adalah salah satu suku yang tidak terlalu besar di Riau salah satu suku dari Melayu. Orang-orang dari suku ini berasal dari Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Memang hingga saat ini banyak kontroversi tentang asal-usul dari suku ini. Seperti, ada yang mengatakan orang-orang Ocu berasal dari Sumatera Barat, karena memang Kabupaten Kampar sendiri berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatera Barat. Pendapat pertama ini memang punya alasan sendiri karena budaya, adat istiadat, bahasa, struktur pemerintahan, hingga gaya bangunan agak memiliki kemiripan dengan budaya Sumatera Barat. Selain itu dalam sejarah daerah ini juga merupakan wilayah kerajaan Pagaruyung. Akan tetapi, hingga saat ini, belum ada satu orang anak keturunan Ocu yang mau disebut sebagai orang Minang. Entah apa sebabnya, kemungkinan juga karena beberapa sifat antara Orang Ocu dengan Minang agak berbeda ditambah lagi dipengaruhi oleh faktor masa lalu dan sejarah. Selain ada yang mengatakan dari Sumatera Barat, juga ada yang menyebutkan orang Ocu asli orang Melayu Daratan. Hal ini disebabkan di daerah Riau sendiri sifat dan karakteristik yang dimiliki oleh wilayah Kampar juga persis seperti adat dan kebudayaan di beberapa Kabu’paten di Riau seperti Kabupaten Kuantan Singingi. Ada juga yang mengatakan Kampar atau negeri Ocu merupakan wilayah atau kerajaan yang berdiri sendiri, karena memiliki kerajaan tersendiri. Apapun pendapat tersebut mesti dipastikan kebenarannya. Kembali kepada Ocu. Selain sebuah suku, kata Ocu juga bisa disebut sebagai sebuah bahasa, yaitu bahasa Ocu – percampuran bahasa Melayu dengan bahasa Minang, dan mirip seperti bahasa Kuantan. Memang dalam kosa kata bahasa Ocu banyak yang sangat mirip dengan bahasa Melayu. Selain bahasa, Ocu juga bisa digunakan untuk sebutan sebuah wilayah, dan sebutan bagi saudara atau anak yang ke empat hingga selanjutnya. Dalam adat Kampar, anak pertama oleh saudara-saudaranya dipanggil dengan sebutan Uwo (berasal dari kata Tuo, Tua, yang paling tua). Anak kedua dipanggil oleh adik-adiknya dengan kata Ongah, yang berasal dari kata Tengah, artinya anak yang paling tengah, atau anak ke dua. Sedangkan anak yang ke tiga dipanggil oleh UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI) perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
2
adik-adiknya dengan nama Udo, atau anak yang paling Mudo atau yang paling Muda. Untuk anak yang ke empat baik laki-laki maupun perempuan, juga dipanggil dengan Ocu, yang kemungkinan besar juga berasal dari kata Ongsu, yang dalam bahasa Indonesianya berarti Bungsu atau anak yang bungsu (terakhir). Anak ke lima dan seterusnya juga berhak untuk disapa dengan Ocu. Tidak hanya dalam struktur kekeluargaan saja kata Ocu ini digunakan, tapi juga digunakan bagi anak-anak yang lebih muda kepada teman, kerabat dan sanak keluarga. Seperti anak muda kepada yang sedikit lebih tua dari pada dirinya. Kata ini juga dipakai sebagai panggilan kehormatan dan kebanggaan (bukan panggilan kebesaran seperti gelar adat) bagi orang Kampar. Jadi Ocu adalah sebuah wilayah, suku, bahasa, adat, sebutan atau nama panggilan, dan panggilan kebanggaan bagi orang-orang di Kampar. Kabupaten Kampar identik dengan sebutan Kampar Limo Koto. Limo Koto terdiri dari Kuok, Bangkinang, Air Tiris, Salo, dan Rumbio. Terdapat banyakpersukuan yang masih dilestarikan hingga kini. Sangat penting rasanya anak kemenakan mendapat penjelaskan posisi adat kampar sebagai sebuah budaya asli masyarakat kampar bukan saduran dari minangkabau . Karena budaya suku turun ke ibu adalah produk hindu..bukan produk minang, ungkap situs-situs sejarah yang menjadi jati diri suku ocu. Dijelaskan bahwa minanga tamwan dalam prasasti kedukan bukit bukan berarti minang, tapi pertemuan dua sungai kampar kanan dan kiri yang menjadi pusat kerajaan sriwijaya, masyarakat kampar harus tahu bahwasanya pagaruyung adalah kerjaan yang jauh lebih muda (zaman maja pahit) dan bukan pusat budaya Kampar. Kaji dan analisis dua keterangan sejarah melalui bakaba tambo adat minang kabau dan buat perbandingan dengan kajian sulalat al-tsalatsin, itu jati diri suku ocu. Bahasa yang dipakai di Limo Koto, yang juga kemudian menjadi bahasa Kampar adalah bahasa Ocu. Di samping itu, Limo Koto juga memiliki semacam alat musik tradisional Calempong dan Oguong. Di samping julukan Bumi Sarimadu kabupaten Kampar juga terkenal dengan julukan Serambi Mekkah di Provinsi Riau,ini disebabkan masyarakatnya yang 100% beragama Islam (etnis ocu),demikian juga dengan pakaian yang sehari-hari yang dipakai bernuansa melayu muslim.Masyarakatnya sendiri merupakan masyarakat dari suku Ocu yang merupakan salah satu bagian dari suku yang ada dalam imperium Melayu Riau, Suku Ocu mempunyai ciri dan kateristik yang khas. Bahasa Ocu juga menjadi bahasa sehari hari, dalam kosa katanya banyak UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI) perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
3
kemiripan dengan bahasa Minang Sumatra Barat namun dalam vocal dan dialek sangat kental dengan Melayu lagi lagi ini menjadikan bahasa Ocu khas.
Selain mengikuti pemerintahan yang ada, masyarakat Kampar juga patuh dan diatur oleh
sistim pemerintahan adat yang diatur dalam kelembagaan adat mulai dari tingkat kampuong,
nagohi (negeri) hingga koto dan Andiko 44 sebagai federasi yang memerintah Kampar secara
keseluruhan, dan perangkat pemerintahan ini disebut dengan Ninik Mamak yang dipimpin oleh
Penghulu.
contoh bahasa ocu:
saya - awak - deyen
anda - kau
pergi - poyi
pekan - pokan
kecil - kocik
kedai - kodai
mau - mo
abang - Ochu atau abang
kakak - kakak
abang lelaki tertua - onshu
Untuk mata pencaharian, rata-rata masyarakat ocu asli adalah mencari ikan disungai atau
bertani,berternak dan berdagang.
Fungsi-Fungsi Komunikasi Antarbudaya
Fungsi Pribadi
Fungsi pribadi adalah fungsi-fungsi komunikasi yang ditunjukkan melalui perilaku
komunikasi yang bersumber dari seorang individu. Menyatakan Identitas Sosial Dalam proses
komunikasi antarbudaya terdapat beberapa perilaku komunikasi individu yang digunakan untuk
menyatakan identitas sosial. Perilaku itu dinyatakan melalui tindakan berbahasa baik secara
verbal maupun nonverbal. Dari perilaku berbahasa itulah dapat diketahui identitas diri maupun
sosial, misalnya dapat diketahui asal-usul suku bangsa, agama, maupun tingkat pendidikan
seseorang.
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI) perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
4
Inti konsep integrasi sosial adalah menerima kesatuan dan persatuan antarpribadi,
antarkelompok namun tetap mengakui perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh setiap unsur.
Perlu dipahami bahwa salah satu tujuan komunikasi adalah memberikan makna yang sama atas
pesan yang dibagi antara komunikator dan komunikan. Dalam kasus komunikasi antarbudaya
yang melibatkan perbedaan budaya antar komunikator dengan komunikan, maka integrasi sosial
merupakan tujuan utama komunikasi. Dan prinsip utama dalam proses pertukaran pesan
komunikasi antarbudaya adalah: saya memperlakukan anda sebagaimana kebudayaan anda
memperlakukan anda dan bukan sebagaimana yang saya kehendaki. Dengan demikian
komunikator dan komunikan dapat meningkatkan integrasi sosial atas relasi mereka.
Hubungan komplementer selalu dilakukan oleh dua pihak mempunyai perlaku yang
berbeda. Perilaku seseorang berfungsi sebagai stimulus perilaku komplementer dari yang lain.
Dalam hubungan komplementer, perbedaan di antara dua pihak dimaksimumkan. Sebaliknya
hubungan yang simetris dilakukan oleh dua orang yang saling bercermin pada perilaku
lainnya. Perilaku satu orang tercermin pada perilaku yang lainnya.
Fungsi Sosial
Fungsi sosial yang pertama adalah pengawasan. Praktek komunikasi antarbudaya di
antara komunikator dan komunikan yang berbada kebudayaan berfungsi saling mengawasi.
Dalam
setiap
proses
komunikasi
antarbudaya
fungsi
ini
bermanfaat
untuk
menginformasikan "perkembangan" tentang lingkungan. Fungsi ini lebih banyak dilakukan
oleh media massa yang menyebarlusakan secara rutin perkembangan peristiwa yang terjadi
disekitar kita meskipun peristiwa itu terjadi dalam sebuah konteks kebudayaan yang berbeda.
Dalam proses komunikasi antarbudaya, maka fungsi komunikasi yang dilakukan antara
dua orang yang berbeda budaya itu merupakan jembatan atas perbedaan di antara mereka. Fungsi
menjembatani itu dapat terkontrol melalui pesan-pesan yang mereka pertukarkan, keduanya
saling menjelaskan perbedaan tafsir atas sebuah pesan sehingga menghasilkan makna yang sama.
Fungsi ini dijalankan pula oleh pelbagai konteks komunikasi termasuk komunikasi massa.
Fungsi sosialisasi merupakan fungsi untuk mengajarkan dan memperkenalkan nilai-nilai
kebudayaan suatu masyarakat kepada masyarakat lain. Fungsi menghibur juga sering tampil
dalam proses komunikasi antarbudaya. Misalnya menonton tarian hula-hula dan "Hawaian" di
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI) perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
5
taman kota yang terletak di depan Honolulu Zaw, Honolulu, Hawai. Hiburan tersebut termasuk
dalam kategori hiburan antarbudaya.
Prinsip-Prinsip Komunkasi Antarbudaya 1.
terdapatnya golongan ningrat sebagai budaya yang tertinggi
2.
Gagasan
umum
bahwa bahasa memengaruhi
pemikiran
dan perilaku paling
banyak
disuarakan oleh para antropologis linguistik. Pada akhir tahun 1920-an dan disepanjang
tahun 1930-an, dirumuskan bahwa karakteristik bahasa memengaruhi proses kognitif kita.
Dan karena bahasa-bahasa di dunia sangat berbeda-beda dalam hal karakteristik semantik
dan strukturnya, tampaknya masuk akal untuk mengatakan bahwa orang yang menggunakan
bahasa yang berbeda juga akan berbeda dalam cara mereka memandang dan berpikir tentang
dunia. 3.
Bahasa Sebagai Cermin Budaya
4.
Bahasa mencerminkan budaya. Makin besar perbedaan budaya, makin perbedaan
komunikasi baik dalam bahasa maupun dalam isyarat-isyarat nonverbal. Makin besar
perbedaan antara budaya (dan, karenanya, makin besar perbedaan komunikasi), makin sulit
komunikasi dilakukan.Kesulitan ini dapat mengakibatkan, misalnya, lebih banyak kesalahan
komunikasi, lebih banyak kesalahan kalimat, lebih besar kemungkinan salah paham, makin
banyak salah persepsi, dan makin banyak potong kompas (bypassing). 5.
Mengurangi Ketidak-pastian
6.
Makin besar perbedaan antarbudaya, makin besarlah ketidak-pastian dam ambiguitas dalam
komunikasi. Banyak dari komunikasi kita berusaha mengurangi ketidak-pastian ini sehingga
kita dapat lebih baik menguraikan, memprediksi, dan menjelaskan perilaku orang lain.
Karena letidak-pasrtian dan ambiguitas yang lebih besar ini, diperlukan lebih banyak waktu
dan upaya untuk mengurangi ketidak-pastian dan untuk berkomunikasi secara lebih
bermakna. 7.
Kesadaran Diri dan Perbedaan Antarbudaya
8.
Makin besar perbedaan antarbudaya, makin besar kesadaran diri (mindfulness) para
partisipan selama komunikasi. Ini mempunyai konsekuensi positif dan negatif. Positifnya,
kesadaran diri ini barangkali membuat kita lebih waspada. ini mencegah kita mengatakan
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI) perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
6
hal-hal yang mungkin terasa tidak peka atau tidak patut. Negatifnya, ini membuat kita terlalu
berhati-hati, tidak spontan, dan kurang percaya diri. 9.
Interaksi Awal dan Perbedaan Antarbudaya
10.
Perbedaan antarbudaya terutama penting dalam interaksi awal dan secara berangsur
berkurang tingkat kepentingannya ketika hubungan menjadi lebih akrab. Walaupun kita
selalu menghadapi kemungkinan salah persepsi dan salah menilai orang lain, kemungkinan
ini khususnya besar dalam situasi komunikasi antarbudaya. 11.
Memaksimalkan Hasil Interaksi
12.
Dalam komunikasi antarbudaya - seperti dalam semua komunikasi - kita berusaha
memaksimalkan hasil interaksi. Tiga konsekuensi yang dibahas oleh Sunnafrank (1989)
mengisyaratkan implikasi yang penting bagi komunikasi antarbudaya. Sebagai contoh, orang
akan berintraksi dengan orang lain yang mereka perkirakan akan memberikan hasil positif.
Karena komunikasi antarbudaya itu sulit, anda mungkin menghindarinya. Dengan demikian,
misalnya anda akan memilih berbicara dengan rekan sekelas yang banyak kemiripannya
dengan anda ketimbang orang yang sangat berbeda. 13.
Kedua, bila kita mendapatkan hasil yang positif, kita terus melibatkan diri dan meningkatkan
komunikasi kita. Bila kita memperoleh hasil negatif, kita mulai menarik diri dan mengurangi
komunikasi. 14.
Ketiga, kita mebuat prediksi tentang mana perilaku kita yang akan menghasilkan hasil
positif.[5] dalam komunikasi, anda mencoba memprediksi hasil dari, misalnya, pilihan topik,
posisisi yang anda ambil, perilaku nonverbal yang anda tunjukkan, dan sebagainya. Anda
kemudian melakukan apa yang menurut anda akan memberikan hasil positif dan berusaha
tidak melakkan apa yang menurut anda akan memberikan hasil negatif.
Sistem Sosial dan Budaya Orang Ocu Menurut Beest Holle G., Adat Monografi Sumatera Tengah 1953, dan Mochtar Lutfi warga Kotopanjang adalah bagian dari etnik Minangkabau (Beest Holle 1877: ; Adat Monografi Sumatera Tengah 1953; Mochtar Lutfi 1993: ). Naim, Kato, dan Asnan kemudian menyebut bahwa Kotopanjang adalah bagian dari Rantau Hilir atau Rantau Nan Tigo Jurai. Rantau adalah daerah perluasan dari daerah inti Minangkabau daerah inti Minangkabau terletak di daerah pedalaman (interior) Sumatera Tengah, sedangkan daerah rantau berlokasi di sekeliling daerah UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI) perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
7
innti ini. Kotopanjang dan sekitarnya dinamakan sebagai Rantau Hilir karena terleak di bagian hilir sejumlah sungai yang berhulu di daerah inti, atau terletak di kawasan Rantau Nan Tigo Jurai karena terletak di aliran salah satu dari tiga sungai besar yang berhulu di daerah inti, yakni Sungai Siak, Kampar dan Indragiri (Naim 1977: ; Kat 1984: ; Asnan 20...: ). Minangkabau adalah salah satu etnik yang memukimi kawasan barat bagian tengah Pulau Sumatera, dan masyarakatnya terkenal sebagai penganut sistem matrilineal terbesar di dunia (Lekkerkerker 1916; Justra 1923; Abdullah 1967). Karena itu dalam kehidupan sehari-hari pola pemukiman mereka umumnya bersifat matrilokal,4 harta milik (pusaka) diwariskan dari ibu kepada anak perempuan,5 dan adanya keluarga luas (extended family).6 Sebagai bagian dari etnik Minangkabau, maka di daerah Kotopanjang ditemukan setidaknya enam suku (matriclan), yaitu caniago, piliang, domo, mandahiling, petopang dan melayu.7 Hingga hari-hari pertama pembangunan PLTA Kotopanjang warga daerah itu sangat bangga dengan status mereka sebagai bagian dari etnik Minangkabau. Kebanggaan ini antara lain disebabkan oleh kenyataan, bahwa orang Minangkabau memiliki tempat tersendiri dalam panggung sejarah Indonesia. Orang Minangkabau, setidaknya hingga akhir 1950-an sering disebut sebagai the most prominent ethnic group in Indonesia, dan itu dibuktikan dari banyak orang Minangkabau yang dalam lapangan sosial, politik, ekonomi, dan budaya Indonesia (Hanna A. Willard 1959:
Kahin 2003: ). Ketika PLTA dibangun, sebagian besar tradisi, kebanggan,
dan identitas warga Kotopanjang tersebut mengalami perubahan drastis dan ketika proyek itu selesai, warga Kotopanjang berubah menjadi sebuah masyarakat baru dengan identitas baru. Penduduk yang mendiami daerah perbatasan Sumatera Barat dan Riau adalah etnis Minangkabau yang beragama Islam. Jumlah penduduk dari nagari/desa yang dijadikan sebagai lokasi penelitian berkisar antara 1.000-an sampai 2.000-an. Yang terbanyak adalah Nagari Tanjuangbalik (2.213 jiwa) dan yang paling sedikit adalah Desa Muaratakus (1.357 jiwa). Dua nagari yang berada di Provinsi Sumatera Barat memiliki jumlah penduduk yang lebih banyak dibanding desa-desa yang berada di wilayah Provinsi Riau. Data lebih lengkap mengenai jumlah penduduk di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini. 4
Suami tinggal di rumah istri (pihak keluarga istri) Terutama harta berupa tanah. 6 Aspek ini juga ditandai dengan tinggalnya beberapa keluarga dari satu nenek pada satu rumah gadang, atau beberapa keluarga tinggal pada satu kelompok pemukiman di tanah nenek. 7 Suku adalah ..... Menurut de Jong dan Navis ada sekitar 100 suku di Minangkabau (de Jong 1956; Navis 1982) 5
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI) perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
8
Tabel 1. Jumlah Penduduk di Nagari/Desa Lokasi Penelitian Tahun 2008 No 1 2 3 4 5 6
Nama Nagari/Desa Tanjuangpauah Tanjuangbalik Tanjungalai Ranahsungkai Pulaugadang Muaratakus
Laki-laki 981 1.118 952 692 930 676
Perempuan 932 1.095 923 690 889 681
Jumlah 1.913 2.213 1.875 1.382 1.819 1.357
Sumber: Kantor Wali Nagari/ Kepala Desa Tajuangpauah, Tanjuangbalik, Tanjungalai, Ranahsungkai, Pulaugadang, dan Muaratakus. Dari Tabel 1 di atas terlihat bahwa lima dari enam desa yang dijadikan sebagai lokasi penelitian memiliki penduduk perempuan yang lebih banyak dari laki-laki, meskipun perbedaannya tidak terlalu besar, hanya Desa Muaratakus yang memiliki penduduk laki-laki yang lebih banyak dari perempuan. Sebagai bagian dari masyarakat Minangkabau, penduduk yang mendiami enam desa ini menganut sistem kekerabatan matrilineal yang menarik garis keturunan dari pihak ibu. Bentuk keluarga ideal yang dianut adalah keluarga luas (nuclear family) yang terdiri dari ayah, ibu, anak-anak yang ditembah dengan nenek, kakek, saudarasaudara perempuan ibu beserta suami dan anak-anak mereka. Pola tempat tinggal setelah menikah yang berlaku adalah matrilokal yang berarti setelah menikah laki-laki tinggal di rumah keluarga istri. Sebagaimana halnya masyarakat Minangkabau lainnya, masyarakat yang tinggal di enam nagari/desa yang dijadikan sebagai lokasi penelitian juga terdiri dari bermacam-macam suku (matriclan) yang masing-masing dikepalai oleh seorang penghulu. Nama-nama suku yang ada di nagari/desa lokasi penelitian adalah sebagai berikut; Tabel 2. Nama-nama Suku di Nagari/Desa di Perbatasan Sumatera Barat – Riau No Nama nagari/Desa 1 Tanjuangpauah 2 Tanjuangbalik 3 Tanjungalai
Provinsi Sumatera Barat Sumatera Barat Riau
4
Ranahsungkai
Riau
5 6
Pulaugadang Muaratakus
Riau Riau
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI) perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
Nama Suku Piliang, Melayu, Domo Piliang, Pitopang, Melayu, Domo Pitopang, Melayu Kampai, Domo, Mandahiliang, Caniago Piliang, Melayu, Domo, Mandahiliang, Caniago Piliang, Pitopang, Melayu, Domo Piliang, Pitopang, Melayu, Kampai, Domo, Mandahiliang, Caniago
9
Dari nama-nama suku yang tertera di Tabel 2 di atas, terlihat bahwa terdapat kesamaan nama-nama suku di keenam desa tersebut. Suku Melayu dan Domo adalah suku yang terdapat di semua desa yang menjadi lokasi penelitian. Suku Piliang terdapat di lima desa, yaitu Tanjuangpauah, Tanjuangbalik, Ranahsungkai, Pulaugadang, dan Muaratakus. Suku Pitopang terdapat di empat desa, yaitu Tanjuangbalik, Tanjuangalai, Pulaugadang, dan Muaratakus. Suku Mandahiliang terdapat di tiga desa, yaitu Tanjuangalai, Ranahsungkai, dan Muaratakus. Suku Caniago terdapat di tiga desa, yaitu Tanjungalai, Ranahsungkai, dan Muaratakus. Suku kampai hanya terdapat di dua desa saja, yaitu Tanjungalai dan Muaratakus. Adanya kesamaan namanama suku tersebut menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal di enam desa tersebut merupakan bagian dari suatu kelompok etnis yang lebih besar, yaitu kelompok etnis Minangkabau, meskipun mereka bertempat tinggal di provinsi yang berbeda. Istilah kekerabatan yang digunakan di desa-desa yang menjadi lokasi penelitian yang terletak di provinsi berbeda menunjukkan kesamaan mencapai 95% seperti antara Desa Ranahsungkai (Riau) dengan Nagari Tanjuangbalik (Sumatera Barat). Tingginya angka kesamaan tersebut menunjukkan bahwa mereka sebenarnya memiliki etnis yang sama. Jika dibandingkan dengan nagari lainnya di Sumatera Barat, yaitu Panyalaian (Kab. Tanah Datar) dan Selayo (Kab. Solok), perbedaan istilah kekerabatan yang digunakan di Nagari Tanjuangbalik dengan kedua nagari tersebut tingkat kesamaannya lebih kecil, yaitu hanya 40% saja. Meskipun demikian, semua lapisan masyarakat Tanjuangbalik menganggap bahwa mereka memiliki etnis yang sama dengan masyarakat yang tinggal di Nagari Panyalaian dan Selayo. Masyarakat Nagari Panyalaian dan Selayo pun menganggap bahwa orang Tanjuangbalik adalah satu etnis dengan mereka, meskipun tingkat kesamaan istilah kekerabatannya hanya 40% saja. Hal ini dikarenakan adanya kesepakatan bahwa adat yang berlaku di Minangkabau adalah adat salingka nagari, yang artinya antara satu nagari dengan nagari yang lainnya punya kewenangan sendiri-sendiri dalam mengatur adat-istiadat yang berlaku di nagari masing-masing. Data lengkap mengenai istilah kekerabatan di dua desa di lokasi penelitian dan perbandingannya dengan nagari lainnya di Sumatera Barat dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini, Tabel 3. Perbandingan Istilah Kekerabatan di Desa Ranahsungkai (Kab. Kampar Riau) dengan Nagari Tanjuangpauah (Kab. Limapuluh Kota), Nagari Panyalaian (Kab. Tanah Datar), dan Nagari Selayo (Kab. Solok) No.
Istilah Kekerabatan
Ranahsungkai
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI) perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
Tanjuangbalik
Panyalaian
Selayo
10
1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
11
12
13
14
15 16 17
18
19
20
Ibu Ayah Kakak laki-laki Kakak perempuan Nenek Kakek Saudara laki-laki ibu Saudara laki-laki ayah Istri saudara laki-laki ibu Saudara laki-laki nenek Anak saudara laki-laki ibu Anak saudara perempuan ayah Anak saudara perempuan ibu Anak saudara laki-laki ayah Nenek buyut Kakek buyut Sesama menantu lakilaki Sesama menantu perempuan Suami saudara perempuan Istri saudara laki-laki
Amak Ayah Ocu Kakak Niniak Datuak Mamak Bapak Amai
Amak Ayah Ombak Kakak Niniak Datuak Mamak Bapak Amai
Amai Apak Uwan Kakak Inyiak Anduang Mamak Apak Mintuo
Ande Apak Kakak Kakak Anduang Angku Mamak Apak Mintuo
Datuak
Datuak
Anduang
Niniak
Bako
Bako
Anak pisang
Anak pisang
Bako
Bako
Bako
Bako
Sanak ibu
Sanak ibu
Sanak ibu
Sanak ibu
Sanak ayah
Sanak ayah
Sanak ayah
Sanak ayah
Uci Ucuang Pambayan
Uci Ucuang Pambayan
Inyiak gaek Gaek Pambayan
Gaek Gaek Pambayan
Pambayan
Pambayan
Pambayan
Pambayan
Sumando
Sumando
Sumando
Sumando
Bisan
Bisan
Ipa
Sumandan
Antara Desa Ranahsungkai (Kab. Kampar) dengan Nagari Tanjuangbalik (Kab. Lima Puluh Kota), memiliki 95% kesamaan, dengan Nagari Panyalaian (Kab. Tanah Datar), memiliki 40% kesamaan, dengan Nagari Selayo (Kab. Solok), juga memiliki 40 % kesamaan. Nagari Tanjuangbalik memiliki kesamaan 40% dengan Nagari Panyalaian dan Selayo. Sementara itu, Nagari Panyalaian dan Nagari Selayo memiliki 65% kesamaan. Dari data tersebut jelas bahwa yang memiliki kesamaan terbesar adalah Desa ranah Sungkai dengan Nagari Tanjuangbalik. Adalah suatu hal yang aneh jika masyarakat di kedua nagari tersebut ternyata mengaku mempunyai
etnis
yang
berbeda,
yaitu
(Tanjuangbalik).
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI) perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
Melayu
(Ranahsungkai)
dan
Minangkabau
11
Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa meskipun terdapat bermacam-macam sebutan untuk istilah kekerabatan yang berbeda antara satu nagari dengan nagari yang lainnya, fungsi dari masing-masing kerabat yang disebutkan tersebut adalah sama. Pola hubungan antara seorang ego dengan semua anggota kerabatnya dalam suatu kelurga luas di Minangkabau tidak jauh berbeda, walaupun istilah penamannya berbeda. Untuk penamaan istilah yang sama, tentu kesamaan fungsi dan pola hubungan yang tercipta di dalamnya lebih besar lagi. Masyarakat Desa Ranahsungkai (Kab. Kampar) yang memiliki tingkat kesamaan istilah kekerabatan mencapai 95% dengan Nagari Tanjuangbalik, tidak merasa bahwa mereka adalah satu etnis dengan warga Tanjuangbalik, meskipun masyarakat Tanjuangbalik tetap menganggap bahwa penduduk yang tinggal di desa Ranahsungkai satu etnis dengan mereka walau orang Ranahsungkai dan desa-desa lainnya di Kabupaten Kampar mengingkarinya. Perbedaan wilayah administrasi ternyata menjadi acuan utama mereka dalam menentukan termasuk kelompok etnis mana mereka. Batas wilayah provinsi mereka jadikan juga sebagai batas wilayah etnis. Pemikiran mereka sangat sederhana, semua penduduk asli Provinsi Riau adalah orang Melayu, tanpa memperhatikan sistem sosial, bahasa yang digunakan, adat-istiadat, rumah adat, sistem kekerabatan, dan lain sebagainya. Bagi mereka orang Minangkabau adalah penduduk asli yang tinggal di Provinsi Sumatera Barat dan orang-orang yang berasal dari provinsi tersebut. Meskipun tidak mengakui sebagai orang Minangkabau, tetapi masyarakat yang tinggal empat desa di Kabupaten Kampar yang menjadi lokasi penelitian mengakui bahwa adat yang mereka pakai datang dari Minangkabau, atau dalam bahasa beliau “cara-cara dalam adat memang banyak dipakai cara-cara di Minangkabau.” Hal ini lah yang menyebabkan masyarakat Riau lainnya, terutama yang tinggal di pesisir Timur dan daerah Kepulauan, tidak menganggap mereka sebagai orang Melayu karena adat-istiadat, bahasa, rumah adat, sistem kekerabatan, sistem sosial, dan berbagai hal lainnya berbeda dengan mereka. Menurut mereka orang Kampar boleh saja tidak mau mengaku sebagai orang Minangkabau, tetapi jangan mengaku sebagai orang Melayu karena banyaknya perbedaan yang ada di antara mereka, walaupun Pemerintah Provinsi Riau dan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Riau menggolongkan etnis mereka sebagai Melayu Riau. Untuk menghindari pertentangan dengan masyarakat Melayu yang tinggal di Pesisir Timur, masyarakat kampar kemudian menciptakan identitas sendiri dengan nama “Orang Ocu” yang diambil dari kata “Ocu” yang berarti kakak laki-laki yang merupakan dialek
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI) perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
12
khas Kampar, meskipun nama etnis Ocu tidak ditemui dalam ensiklopedia sukubangsa di Indonesia. Pemuncak adat Ocu dipanggil dengan sebutan Datuk atau penghulu, dengan pakaian kebesaran serba hitam. Dalam hal adat perkawinan, perempuan dilamar oleh laki-laki. Pada masa dahulu perkawinan ideal ialah dengan melihat akhlak serta keturunan serta dengan cara dijodohkan. Sedangkan pada masa sekarang yang dilihat ialah pekerjaan dan tidak lagi melalui perjodohan. Anak-anak dibebaskan mencari pasangan yang mereka sukai. Dalam adat perkawinan masyarakat Ocu, perempuan dilamar oleh laki-laki. Proses adat penjemputan laki-laki ole pihak perempuan disebut dengan Pinang Suruik. Proses maimbau atau mengundang untuk upacara pernikahan dilakukan oleh orang tua mempelai perempuan (pesta pernikahan hanya dilakukan di rumah mempelai perempuan) kepada sanak keluarga dan saudara sesuku. Pada masa dahulu, ayah si gadis membawa rokok dan ibunya membawa sirih untuk mengundang. Apabila orang yang dituju tidak ada di rumah maka bagi laki-laki akan ditinggalkan rokok sebatang dan bagi perempuan sirih sebagi tanda bahwa undangan telah sampai kerumahnya. Proses maimbau ada tiga macam yakni; 1.
Maimbau tali darah, yakni mengundang orang-orang yang memiliki hubungan keluarga dengan mempelai.
2.
Maimbau Niniak, yakni mengundang para pemuka adat.
3.
Maimbau banyak, yakni mengundang orang-orang se suku. Bagi laki-laki yang telah menikah diberi gelar, namun gelar tersebut hanya dipakai ketika
perhelatan, sedangkan dalam keseharina dia tetap dipanggil dengan nama kecilnya. Masyarakat Kampar juga mengenal ranji atau silsilah keluarga, yang dimiliki setiap keluarga. Ranji sangat berguna untuk mengangkat penghulu baru yakni sebagai bukti kalau gelar adat yang akan disandang memang pantas untuk disandang oleh keluarga tersebut. Sekaligus membuktikan kalau gelar adat tersebut milik mereka. Komposisi penduduk berdasarkan etnis yang tercatat di enam desa/nagari di daerah perbatasan memperlihatkan hasil yang sangat jauh berbeda antara desa-desa yang tergabung ke dalam wilayah Provinsi Riau dengan nagari-nagari yang tergabung ke dalam wilayah Provinsi Sumatera Barat. Meskipun penduduk di enam desa/nagari tersebut memiliki bahasa yang sama, sistem kekerabatan yang sama, istilah kekerabatan yang sama, sistem sosial yang sama, rumah UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI) perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
13
adat yang sama, nama-nama suku (matriclan) yang sama, dan adat-istiadat yang sama, tetapi ternyata yang berdasarkan hasil sensus penduduk yang dilakukan oleh Pemerintah daerah masing-masing menunjukkan bahwa etnis mereka berbeda. Penduduk yang bertempat tinggal di wilayah Provinsi Sumatera Barat digolongkan sebagai etnis Minangkabau, sedangkan yang bertempat tinggal di wilayah Provinsi Riau digolongkan sebagai etnis Melayu (lihat Tabel 1). Di empat desa yang terletak di Kabupaten Kampar Riau, penduduk aslinya dianggap sebagai etnis Melayu. Yang dianggap sebagai etnis Minangkabau di ke-empat desa tersebut adalah orangorang yang berasal dari Sumatera Barat yang tinggal di desa-desa tersebut. Sementara itu di dua nagari yang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota, yang dianggap sebagai orang Minangkabau adalah penduduk asli setempat termasuk pendatang yang berasal dari Kabupaten Kampar. Pemerintah Desa Tanjuangbalik dan Tanjuangpauah menganggap pendatang dari Kampar yang tinggal di nagari mereka sebagai orang Minangkabau juga karena dianggap sama dalam segala hal dengan mereka. Tabel 4. Komposisi Etnis Penduduk Desa/Nagari di Perbatasan Sumatera Barat – Riau Tahun 2008 LainNama MinangNo Jumlah Melayu Batak Jawa Nias lain Desa/Nagari kabau 1 Tanjuangpauah 1.882 9 9 2 11 1.913 2 Tanjuangbalik 2.192 20 1 2.213 3 Tanjungalai 1.845 1 17 12 1.875 4 Ranahsungkai 1.357 25 1.382 5 Pulaugadang 50 1.570 62 140 1 7 1.819 6 Muaratakus 22 1.303 10 20 1 1 1.357
Tabel 5 di atas menunjukkan bahwa terlihat perbedaan yang sangat mendasar antara nagari-nagari di Sumatera Barat (Tanjuangpauah dan Tanjuangbalik) dengan desa-desa di Riau (Tanjungalai, Ranahsungkai,
Pulaugadang,
dan
Muaratakus). Di
Tanjuangpauah dan
Tanjuangbalik tidak ada penduduk yang beretnis Melayu, sebaliknya Tanjungalai (berbatasan langsung dengan Tanjuangpauah) dan Ranahsungkai tidak ada penduduk yang beretnis Minangkabau. Di Pulaugadang dan Muaratakus ditemui ada etnis Minangkabau (50 dan 22), yang merupakan penduduk pendatang dari Sumatera Barat. Dari Tabel 5 di atas juga dapat disimpulkan bahwa pengertian etnis di daerah perbatasan Sumatera Barat dan Riau tersebut identik dengan pengertian provinsi. Batas wilayah etnis dianggap oleh penduduk Riau sama dengan batas provinsi. Bagi penduduk Sumatera Barat, pengertian etnis dianggap tidak sama UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI) perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
14
dengan pengertian provinsi. Oleh karena itu batas wilayah etnis dianggap tidak sama dengan batas wilayah provinsi. Penduduk yang bertempat tinggal di Nagari Tanjuangpauah dan Tanjuangbalik menganggap tetangga mereka yang masuk wilayah Riau sebagai saudara satu etnis dengan mereka, yaitu etnis Minangkabau. Sementara itu penduduk Kampar menganggap bahwa mereka tidak satu etnis dengan penduduk yang bertempat tinggal di wilayah Sumatera Barat. Menurut mereka, etnis mereka adalah Melayu dengan alasan daerah tempat tinggal mereka merupakan bagian dari wilayah Provinsi Riau yang disebut identik dengan Bumi Melayu.
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI) perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
1
DAFTAR PUSTAKA
Babbie, Earl R. 2004. The Practice of Social Research. Wadsworth Publising Company. Belmont. Barth, Frederik. 1988. Kelompok Etnik dan Batasannya. UI Press. Jakarta. Brown, R. 2005. Prejudice: Menangani Prasangka dalam Perspektif Psikologi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Carmen, Guanipa-Ho, 1998. “Ethnic Identity” dalam Champion, S. “The Adolescent Quest for Meaning throught Multicultural Readings: A Case Study”, Library Trends, 41 (3) Winter. David, B. & J.C. Turner. 2001. “Majority and Minority Influence: A Single-process SelfCategorization Model”. In C. de Breu & N.K. de Vriess (eds.), Group Consensus and Minority Influence: Implications for Innovations. Oxford: Blackwell. Delgado, Richard & Jean Stefancic. 2001. Critical Race Theory: An Introduction. New York University Press. New York.
Devito, Joseph A..2009. Komunikasi Antarmanusia. Kuliah Dasar. Jakarta. Professional Books. Diana, Kendall. 2003. Sociology in Pure Times. Wadsworth/Thomson Learning. Ch. 10 Belmont, CA. Feagin, Joe R., Feagin, Clairece Booher, 1993. Racial and Etnic Relations, 4th edition, Prentice Hall. New Jersey. Gulo, W. 2003. Metodologi Penelitian. PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. Holle G., Du Ruj van Beest. 1877. “Aantekeningen betreffende de Landschappen VI Kotta Pangkalan en XII Kotta Kampar” dalam Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, XXIV.
Jandt, Fred E. 1998. Intercultural Communication, An Introduction. Sage Publication. London. Koentjaraningrat, et al. 1993. Masyarakat Terasing di Indonesia. Gramedia. Jaka
Liliweri, .Alo 2003. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI) perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
2
Liliweri, Alo. 2005. Prasangka & Konflik Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multi Kultur. LKiS. Yogyakarta. “Monografi Adat Monografi Wilayah XIII Koto Kampar Muara Mahat” dalam Adat Monografi Sumatera Tengah (Bukittinggi: Djawatan Penerangan Propinsi Sumater Tengah, 1953).
Muhadjir, Moeng. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Rake Sorasin. Yogyakarta. Naim, Mochtar. 1984. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Narroll, R. 1964. “Ethnic Unit Classification”, Curent Anthropology, vol. 5, no.4. Nazir, Moh. 1999. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. Pemerintah Kabupaten Kampar. Profil Desa/Kelurahan: Profil Desa Muara Takus Kecamatan XII Koto Kampar. Bagian Pemerintahan Kegiatan Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan. Bangkinang. Desember 2008. Pemerintah Kabupaten Kampar. Profil Desa/Kelurahan: Profil Desa Pulau Gadang Kecamatan XII Koto Kampar. Bagian Pemerintahan Kegiatan Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan. Bangkinang. Desember 2008. Pemerintah Kabupaten Kampar. Profil Desa/Kelurahan: Profil Desa Ranah Sungkai Kecamatan XII Koto Kampar. Bagian Pemerintahan Kegiatan Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan. Bangkinang. Desember 2008. Pemerintah Kabupaten Kampar. Profil Desa/Kelurahan: Profil Desa Tanjung Alai Kecamatan XII Koto Kampar. Bagian Pemerintahan Kegiatan Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan. Bangkinang. Desember 2008. Pemerintah Kabupaten Lima Puluh Kota. Profil Desa/Kelurahan: Profil Nagari Tanjuang Bolik Kecamatan Pangkalan Kotobaru. Bagian Pemerintahan Kegiatan Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan. Sarilamak. Desember 2008. Pemerintah Kabupaten Lima Puluh Kota. Profil Desa/Kelurahan: Profil Nagari Tanjuang Pauh Kecamatan Pangkalan Kotobaru. Bagian Pemerintahan Kegiatan Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan. Sarilamak. Desember 2008. Purwasito, Andrik. 2003. Komunikasi Multikultural. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI) perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
3
Ragin, Charles C. 1994. Constructing Social Research, Sociology for a New Century. Princeton University Press. Princeton, New. York. Reicher, S.D. 1987. “Crowd Behavior as Social Action”. In M.A. Hogg, P.J. Oakes, S.D. Reicher, & M.S. Wetherell (eds.), Rediscovering the Social Group: A Self-Categorization Theory, Oxford: Blackwell. Sowell, Thomas, 1989. Mozaik Amerika (Sejarah Etnis Sebuah Bangsa), Sinar Harapan. Jakarta. Stets, J.E. & P.J. Burke. 1998. Identity Theory and Social Identity Theory. Department of Sociology, Washington State University, Pullman. Strauss, Anselm & Juliet Corbin. 2003. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif Tatalangkah dan Teknik-teknik Teoritisasi Data. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Tubbs, Stewart L. & Sylvia Moss. 1996. Human Communication :Konteks-konteks Komunikasi. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Turner, John C. 1982. “Toward A Cognitive Redefinition of the Social Group”. In Henri Tajfel (ed.). Social Identity and Group Relations. Cambridge: Cambridge University Press. Wuisman, J.J.M. 1996. Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I Asas-asas. Lembaga Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Yin, Robert. 1996. Studi Kasus: Desain dan Metode Manajemen. Radja Grafindo Persada. Jakarta.
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI) perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu