Jurnal Ultima Humaniora, September 2014, hal 186-200 ISSN 2302-5719
Vol II, Nomor 2
Bahasa Ngapak dan Mentalitas Orang Banyumas: Tinjauan dari Perspektif Filsafat Bahasa Hans-Georg Gadamer RINDHA WIDYANINGSIH Dosen Tetap pada Fakultas Ilmu Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto Surel:
[email protected] Diterima: 11 November 2014 Disetujui: 15 Februari 2015
ABSTRACT Banyumas people, popularly called Wong Banyumasan, widely known as a unique and different community compared with other Javanese communities. The particular difference lies in their using special accent called Ngapak language. It is called Ngapak because of the pronunciation of vowels “a” and “o” and consonants b, d, k, g, h, y, k, l and w which are steady and do not float or half, as commonly encountered in standard Javanese language. Ngapak language itself is classified as the initial stage of Javanese language called Jawadwipa, including ngoko lugu. While language is perceived as a symbol of the real, therefore Ngapak rejection of the hegemony of the palace, especially the culture palace of Mataram, which is considered more valuable, because of its using Javanese Krama, can be considered as an anti-realist language. The usage of Ngapak language in everyday life of Banyumas people indicates their consistency in not being absorbed by the hegemony of the palace. This also shows the character of Wong Banyumasan, who speak the language in such spontaneous and straightforward manner, without having to cover up what they mean because of the psychological limitation called ewuh pekewuh. The character that tends to pervade amongst Wong Banyumasan is called Cablaka or Blakasuta which is a universal character of Banyumas people. Philosophical study of language and mentality of Banyumas Ngapak aims to find an explanation of the nature of language as the substance and form, the relationships of the mind, culture, and human communication in life. Keywords: Ngapak language, Wong Banyumasan, egaliter principle, Cablaka and blakasuta, hegemony of the palace
mas maka yang diingat adalah kabupaten Secara administratif Kabupaten Banyu- dan eks karesidenan Banyumas yang melimas merupakan kabupaten yang berada di puti kabupaten Banyumas, kabupaten PurProvinsi Jawa Tengah. Kabupaten Banyu- balingga, kabupaten Banjarnegara, dan kamas memiliki karakteristik khas, baik secara bupaten Cilacap. Namun, secara kultural, geografis maupun sosio-kultural. Secara cakupannya jauh lebih luas daripada sekageografis, ketika orang menyebut Banyu- dar wilayah administratif dan geografis. Pendahuluan
05-Rindha.indd 186
4/16/2015 6:20:15 AM
Bahasa Ngapak dan Mentalitas Orang Banyumas
Secara sosio-historis, masyarakat Banyumas merupakan hasil sinkretisme dari dua kebudayaan, yaitu budaya Jawa dan budaya Sunda. Wilayah Banyumas bagian barat merupakan wilayah yang berbatasan dengan Keraton Pakuan Parahyangan (Pajajaran) yang di dalamnya rakyatnya juga terkait hubungan persaudaraan yang mempengaruhi keragaman budayanya. Hubungan ini sudah terjalin sejak zaman Kadipaten Pasirluhur, yang dimulai dengan perkawinan antara keturunan kedua penguasa daerah tersebut. Sedangkan wilayah Banyumas bagian timur, sebagaimana diungkapkan Herusatoto (2008:15), memiliki hubungan historis pangiwa1 dan menjadi wilayah mancanegara (di luar batas daerah kekuasaan) dari keraton-keraton Jawa, sejak Kerajaan Majapahit II, Pajang, Mataram II, Kertasura, hingga Ngayogyakarta. Banyumas memiliki daya tarik berupa potensi alam berupa keindahan lanskap, kekayaan ragam kuliner, kesenian, dan kerajinan yang khas, sehingga menjadi daerah potensial untuk berinvestasi. Dengan iklim yang dominan berhawa sejuk menjadikan Banyumas daerah yang kondusif untuk proses belajar. Pembangunan di Kabupaten Banyumas dalam sepuluh tahun terakhir dapat dikatakan sangat pesat dan bahkan digadang-gadang sebagai kota terbesar ketiga di Jawa Tengah, setelah Semarang dan Surakarta. Hal ini dapat dicermati dari pembangunan infrastruktur yang semakin memadai dan investasi yang senantiasa menunjukkan tren kenaikan dari tahun ke tahun. Daya tarik lain dari Kabupaten Banyumas adalah keberadaan Bahasa Ngapak
1
05-Rindha.indd 187
RINDHA WIDYANINGSIHa 187
yang merupakan bahasa khas yang memiliki gaya atau langgam yang berbeda dibandingkan dengan Bahasa Jawa baku seperti yang luas dikenal. Bahasa Ngapak memiliki kekhususan-kekhususan linguistik yang tidak dimiliki Bahasa Jawa standar. Keunggulan itu misalnya dialek dapat menutup kata-katanya dengan bunyi bersuara dan tidak bersuara, misalnya sendok, endog, angop, abab, dsb. Bahasa menunjukkan bangsa. Sep���� erti digambarkan peribahasa tersebut, bahasa Ngapak memberikan penggambaran yang jelas mengenai kondisi mentalitas masyarakatnya dan karakter khas yang menyertainya. Perkembangan zaman membawa serta perubahan persepsi terhadap bahasa Ngapak, sehingga dalam komunikasi sehari-hari, bahasa Ngapak mengalami modifikasi dan bercampur dengan bahasa lain. Saat ini Bahasa Ngapak mulai melebur dengan kalangan kaum urban, sebab banyak penduduk Banyumas yang mencari nafkah di kota-kota besar, kemudian kembali ke daerah asalnya dengan ’’bahasa baru’’ yang merupakan hasil perpaduan antara bahasa urban dan Bahasa Ngapak. Hal lain yang tidak dapat dihindari adalah persepsi terhadap Bahasa Ngapak sebagai bahasa yang lucu dan bahkan menjadi bahan lelucon yang menghibur, alih-alih sebagai bahasa yang mencerminkan nilainilai budaya yang luhur, sebagai identitas masyarakat Banyumas atau yang dikenal dengan istilah Wong Banyumasan. Masih banyak orang yang menganggap Bahasa Ngapak sebagai bahasa kasar dan bahasa rakyat jelata sehingga banyak juga orang Banyumas sendiri yang tidak merasa bang-
Silsilah dari garis keturunan bapak, yang jika ditelusuri lebih ke belakang berasal dari keturunan para dewa dan Nabi Adam. Silsilah penengen dan pengiwa dimaksudkan agar rakyat mengetahui bahwasanya raja-raja Mataram merupakan keturunan dari tokoh-tokoh yang kuat dan terkenal sehingga akan menambah legitimasi dan wibawa mereka.
4/16/2015 6:20:15 AM
188
Bahasa Ngapak dan Mentalitas Orang Banyumas
ga dengan bahasa Ngapak, bahkan cenderung menghindari penggunaan Bahasa Ngapak dan merasa malu kalau berbahasa Ngapak dengan orang dari luar daerahnya. Penyebaran Bahasa Banyumasan jauh melampaui daerah administrasi pemerintahan. Bahasa sebagai alat komunikasi keseharian tidak hanya terbatas penggunaannya oleh pemilik bahasa ibu itu sendiri, tetapi dapat dipelajari dan digunakan oleh siapa saja yang berminat dan ingin menggunakannya. Hingga saat ini, Bahasa Ngapak masih dipakai di wilayah-wilayah eks Keresidenan Banyumas, seperti Kabupaten Kebumen, Pemalang, Tegal, Brebes, bahkan sampai ke bagian timur dan pantai utara wilayah Cirebon, yakni Kabupaten Indramayu dan Karawang, yang kini masuk dalam wilayah Provinsi Jawa Barat. Bahasa Jawa dialek Banyumas merupakan warisan dari zaman Majapahit dan bahasa masyarakat pada umumnya (lingua franca). Karena itu, tidaklah tepat jika ada anggapan yang menyebutkan bahwa Bahasa Banyumasan/ Bahasa Ngapak adalah bahasa Jawa kasar. Bahasa Ngapak justru menunjukkan sikap egaliter dan tidak memandang status (Priyadi, 2002:256). Bahasa Ngapak dan mentalitas masya rakat Banyumas merupakan hal yang tidak terpisahkan karena hakikat bahasa bukanlah sekadar bahasa seperti diungkapkan kaum strukturalis dan pascastrukturalis, yang meyakini bahasa sebagai suatu sistem tanda-tanda murni yang tertutup dan seolah-olah tidak mengungkapkan apapun selain dirinya sendiri. Bahasa pun memiliki makna yang lebih luas daripada sekadar keyakinan kaum analitik, yang memandang bahasa sebagai sarana untuk mengungkapkan hakikat problem filsafat. Lebih jauh lagi, bahasa merupakan cara manusia memahami “kenyataan”: bahasa menjadi cara ‘kenyataan’ hadir dan bermakna bagi manusia.
05-Rindha.indd 188
Vol II, 2014
1. Wong Banyumasan Siapakah sebenarnya yang disebut sebagai orang Banyumas atau Wong Banyumasan? Penyebutan Wong Banyumasan tentu lebih luas dari sekadar orang yang hidup di Kabupaten Banyumas. Masyarakat Banyumas, atau yang dikenal sebagai Wong Banyumasan merupakan masyarakat yang memiliki ciri khas dan karakteristik yang unik. Karakter, identitas, dan kepribadian selalu ditemukan pada masyarakat tertentu sebagai warisan masa lampau leluhurnya, termasuk masyarakat Banyumas. Herusatoto (2008:15) menjelaskan tiga kriteria yang disebut sebagai orang/masyarakat/ Wong Banyumasan, yaitu: Pertama, orang-orang yang masih merasa dan memiliki kakek-nenek moyang (leluhur) sampai dengan bapak-ibunya dilahirkan, meninggal dunia atau seumur hidupnya menetap di wilayah yang dulunya berada di Keresidenan Banyumas. Walaupun sekarang orang-orang ini tidak lagi tinggal dan menetap di wilayah eks Karisidenan Banyumas, tetapi mereka mengakui dirinya memiliki trah (keturunan) Banyumas. Kedua, orang-orang yang sampai saat ini “merasa bangga” menjadi bagian dari garis keturunan Wong Banyumasan, apalagi mereka yang masih bisa berbicara dan merasa rindu menggunakan Bahasa Ngapak. Ketiga, siapa saja yang pernah tinggal dan menetap di wilayah eks Keresidenan Banyumas dan merasa menyukai kehidupan sosial budaya, logat bahasa, serta merasa nyaman bergaul dengan orang Banyumas lainnya, walaupun tidak lagi tinggal dan menetap di eks Keresidenan Banyumas. Wong Banyumasan tidak hanya terbatas pada batas wilayah administrasi pemerintahan, ataupun pada siapa yang berkuasa dan menjadi elit di Banyumas, bahkan juga tidak tergantung dari garis keturunan.
4/16/2015 6:20:15 AM
Bahasa Ngapak dan Mentalitas Orang Banyumas
Dari catatan Babad Banyumas diketahui bahwa Wong Banyumasan adalah warga pembauran antara dua Kerajaan/Kadipaten yang bersebelahan, yaitu Pakuan Parahiyangan/Pajajaran dan Pasirluhur/Galuh, dan akhirnya membentuk satu komunitas baru yang terus berkesinambungan dalam sejarah dan kehidupan sosial budaya yang khas sebagai komunitas perbatasan dari dua suku, yaitu Jawa dan Sunda. Hal ini juga dapat dicermati melalui segi bahasa yang mirip bahkan banyak persamaan di antara keduanya. Wong Banyumasan saat ini tersebar di berbagai daerah di Indonesia, bahkan di dunia. Hal ini membawa dampak semakin meluas dan dikenalnya bahasa Ngapak. Dampak lain adalah terjadinya percampuran bahasa sehingga penggunaan bahasa Ngapak murni tidak lagi banyak ditemukan, bahkan di daerah pedesaan sekalipun. Hal ini disebabkan banyak masyarakat pedesaan Banyumas yang bekerja di kota besar atau di luar negeri, dan ketika pulang ke daerahnya mereka membawa pengaruh bahasa asing tersebut. Sejauh manapun Wong Banyumasan pergi dan mempelajari bahasa baru, tetapi bahasa Ngapak tidak akan pernah hilang dan menjadi bahasa yang dirindukan untuk dilafalkan. Ada ungkapan yang dikenal luas oleh Wong Banyumasan, yaitu ora ngapak ora kepenak, mbok? (kalau tidak ngapak tidak enak, kan?).
05-Rindha.indd 189
RINDHA WIDYANINGSIHa 189
2. Karakter Wong Banyumasan
rubahan dan manusia Banyumas sudah banyak berinteraksi dengan manusia yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda, atau berpindah dan menetap di luar daerah Banyumas. Karakter ini disebut dengan cablaka, thokmelong atau blakasuta. Lingkaran kedua, berisi karakter khusus yang menyangkut legenda-legenda yang hidup di Banyumas. Legenda yang sangat populer dan mendominasi masyarakat Banyumas adalah legenda Kamandaka dari teks Babad Pasir. Legenda ini memiliki pengaruh yang sangat luas bahkan melampaui batas-batas budaya Banyumasan itu sendiri. Legenda lain yang tidak kalah populer, sebagaimana dituangkan dalam Babad Banyumas, yaitu legenda Raden Baribin, Raden Keduhu, dan Adipati Wargautama I. Lingkaran ketiga, merupakan karakter yang bersifat lebih khusus yang berkaitan dengan sejarah Banyumas yaitu menyangkut peristiwa sejarah yang melekat pada tokoh Banyumas di masa lampau, sebagaimana disebutkan dalam Babad Pasir dan Babad Banyumas, maupun pada tokoh yang dikenal dalam sejarah kontemporer Banyumas. Lingkaran keempat, merupakan karakter umum yang ditemui dalam masyarakat Banyumas pada umumnya, dalam kehidupan sehari-hari. Karakter pada lingkaran keempat ini bukan merupakan karakter inti dari Wong Banyumasan sehingga sangat dimungkinkan karakter ini ditemukan pada komunitas dan masyarakat lainnya.
Menurut Priyadi (2013:5), model karak ter Wong Banyumasan dapat disistematisasikan dalam empat lapis lingkaran yang saling berkaitan dan terintegrasi. Lingkaran pertama merupakan lingkaran terdalam yang berisi karakter Banyumas yang paling hakiki. Artinya, karakter pada lingkaran ini merupakan karakter inti yang tidak mudah berubah walaupun zaman mengalami pe-
a) Cablaka/ Blakasuta/Thokmelong Cablaka sering diartikan sebagai karakter yang mengedepankan keterusterangan Wong Banyumasan (Priyadi, 2013:7) Karakter cablaka menunjukkan bahwa wong Banyumas lebih suka menyampaikan pendapat dan pemikirannya secara terus terang dan apa adanya tanpa basa basi atau menyem-
4/16/2015 6:20:15 AM
190
Bahasa Ngapak dan Mentalitas Orang Banyumas
bunyikan sesuatu. Karakter ini menunjukkan bahwa Wong Banyumasan adalah orang yang spontan dan tidak dibuat-buat. Akibatnya, ada anggapan bahwa Wong Banyumasan tidak tahu sopan-santun, etika, karena gaya bicara yang demikian seringkali menimbulkan rasa sakit hati bagi orang yang tidak memahaminya. Hal ini tentu agak berbeda dengan karakter manusia Jawa pada umumnya. Cablaka dan blakasuta memuat unsur yang sama. Priyadi (2013:8) menjelaskan lebih lanjut, bahwa blaka artinya terus terang atau bersahaja. Blaka berasal dari kata blak (Banyumas:blag), yang artinya “menga amba” atau “teladan dan contoh”, sehingga kata ulang blak-blakan (Banyumas: blag-blagan) berarti tanpa nganggo ditutupi (tanpa ada yang ditutupi). Sedangkan blakasuta berarti kandha ing sabenere (berbicara yang sebenarnya). Kata blaka jika dirunut dari asal-usulnya berasal dari bahasa Jawa Kuno, balaka, atau Bahasa Sansekerta, walaka, yang artinya “terus terang, sejujur-jujurnya, lurus, tanpa tedheng aling-aling”. Kata walaka diartikan “anak”, “bocah”, “anak-anak” atau “muda”, “belum tumbuh sepenuhnya” (Mardiwarsito, 1979:106). Menurut Priyadi (2008:8), kata cablaka ini dimungkinkan berasal dari kata bocah blaka atau disingkat menjadi cah blaka, dan selanjutnya menjadi cahblaka, dan dibaca menjadi cablaka. Kata walaka yang berarti “bocah”, “anak” atau “muda” menunjukkan bahwa cahwalaka atau cawlaka berarti anak-anak yang masih alamiah, yang masih memperlihatkan watak murni. Kata blakasuta berasal dari kata suta, yang memiliki arti “anak”. Cablaka dan blakasuta ini memiliki arti kejujuran yang masih murni, lugu, atau apa adanya dan belum berubah. Anakanak secara fitrah masih memperlihatkan kejujuran jika dibandingkan dengan orang dewasa.
05-Rindha.indd 190
Vol II, 2014
Dalam penjelasan berikutnya, Priyadi (2008:10) menyatakan bahwa Thokmelong adalah istilah yang hampir sama pemaknaannya dengan cablaka atau blakasuta. Thokmelong terdiri dari dua kata, yaitu thok dan melong. Thok memiliki arti “sahaja”, “belaka”, “hanya”, sedangkan melong berarti “mengkilap”. Jadi thokmelong diartikan sebagai “hanya yang mengkilap”, dalam arti Wong Banyumasan berbicara apa adanya sebagaimana yang terlihat di depan mata. Dilihat dari ketiga istilah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Wong Banyumasan memang pada dasarnya adalah tipikal orang yang spontan, apa adanya, tanpa dibuat-buat dan lugas cara berbicara nya, tanpa harus menutup-nutupi sesuatu hanya karena rasa ewuh pekewuh. Hal inilah yang terkadang menimbulkan kesan tidak sopan dan dapat menyinggung perasaan orang lain/lawan bicaranya. Dalam hal relasi antar individu, secara umum Wong Banyumasan adalah orang yang egaliter dan menjunjung kesetaraan, tanpa membedabedakan strata sosial. Hal ini tercermin juga dalam penggunaan istilah inyong dan kowe/ ko/rika/kono, yang menunjukkan keakraban dan telah menjadi satu keluarga besar. Karakter Wong Banyumasan yang egaliter dan apa adanya rupanya telah menjadi karakter yang ada sejak dahulu kala, yang diwariskan dari sastra lisan maupun sastra tulisan sebagaimana dimuat dalam Babad Banyumas. Penelitian yang dilakukan Taufiq (2014:86) menjelaskan bukti karakter cablaka yang tertuang dalam teks Babad Banyumas Kalibening. Sifat dan perilaku cablaka tampak dalam cerita pembunuhan Adipati Wargautama I oleh utusan Sultan Pajang yang berakhir dengan munculnya sejumlah pantangan atau tabu dari pihak Wirasaba. Pantangan Adipati Wargautama I dinyatakan secara cablaka dan dibalas dengan pantangan serupa yang tidak kalah cablaka-nya dari pihak Toyareka.
4/16/2015 6:20:15 AM
Bahasa Ngapak dan Mentalitas Orang Banyumas
Perang cablaka juga dikisahkan ketika Raden Banyak Catra, putra Prabu Siliwa ngi Raja Pajajaran, yang menyamar dengan menggunakan nama Kamandaka masuk ke dalam istana putri Tamansari Pasirluhur dengan maksud untuk menemui puteri Ciptarasa, yaitu Putri Bungsu dari Adipati Kandha Daha, penguasa Pasirluhur. Mengetahui perbuatan Kamandaka yang menyelinap masuk ke istana dengan menyamar tersebut, Kandha Daha kemudian menyumpahi Kamandaka seperti anjing. Perilaku Kamandaka ini merupakan aib, oleh karena itu, atas perintah Kandha Daha, dilakukan perburuan untuk mendapatkan kepala dan hati Kamandaka. Ternyata Kamandaka bukanlah orang yang mudah untuk dibinasakan. Maka, dimulailah siasat licik dengan cara mengirimkan kepala dan hati anjing kepada Kandha Daha, yang oleh anak buahnya dikatakan bahwa itu adalah kepala dan hati Kamandaka. Kemudian, Kandha Daha memakannya sebagai simbol bahwa dia telah menghilangkan orang yang telah membuat aib dan onar di istana Tamansari. Ternyata, tidak lama kemudian, muncullah Kamandaka di Istana Pasirluhur dan mengatakan kepada Kandha Daha bahwa dia pun anjing, karena telah dengan mudahnya makan darah dan kepala anjing. Sepenggal kisah di atas menunjukkan bahwa karakter cablaka muncul baik pada Kamandaka maupun Kandha Daha, yang tidak segan-segan menggunakan bahasa yang sangat vulgar, meskipun mereka berasal dari kalangan istana. Hal lain yang menonjol dari Babad Banyumas adalah cablaka yang ditunjukkan oleh Bagus Mangun atau Jaka Kaiman
2
05-Rindha.indd 191
RINDHA WIDYANINGSIHa 191
yang bersedia berangkat ke Pajang untuk memenuhi panggilan sultan. Bagus Ma ngun secara cablaka menyatakan dirinya siap berangkat ke Pajang untuk mempertanggungjawabkan kesalahan mertuanya2. Bagus Mangun berkata secara blak-blakan kepada saudara-saudara iparnya, bahwa jika ia mendapatkan gelar anugerah raja dan diangkat sebagai pengganti mertua nya, saudara yang lain tidak boleh iri. Cablaka Bagus Mangun ini menunjukkan sifat yang jujur dan tidak menghina saudarasaudara lain yang tidak berani menghadap Sultan Pajang. Tanpa diduga ternyata maksud dari pemanggilan Sultan Pajang adalah untuk mengangkat pengganti penguasa daerah Wirasaba yang kosong, menyusul terbunuhnya Adipati Wargautama I. Ka rena yang berani menghadap ke Pajang adalah Jaka Kaiman, maka dialah yang kemudian diangkat untuk menggantikan mertuanya dengan gelar Nunggak Semi, Adipati Wargautama II. Setelah menjadi adipati, Jaka Kaiman lalu menyerahkan kekuasaannya kepada saudara iparnya, Wargawijaya, dan membagi wilayah Wirasaba menjadi empat bagian, sehingga kelak dikenal dengan nama Adipati Mrapat. Jaka Kaiman sendiri memutuskan untuk kembali ke daerah asalnya dan membentuk kadipaten baru, yaitu Banyumas. b) Bawor, Simbol Karakter Orang Banyumas Bawor alias Carub adalah salah satu dari tokoh punakawan dalam wayang purwa gagrag (pola, gaya, model) yang ada dalam pedalangan Banyumasan maupun di tanah Pasundan. Pakem atau dasar cerita
Sesungguhnya putera dari Adipati Wirasaba/Adipati Wargautama I dan juga keluarga tidak tahu persis duduk persoalan mengapa ayah mereka dinyatakan bersalah oleh Sultan Pajang dan kemudian dibunuh oleh utusan gandek Sultan Pajang. Namun, pada akhirnya, ada kejelasan bahwa Adipati Wargautama I terbunuh karena adanya kesalahpahaman. Kisah ini kemudian memunculkan beberapa pantangan bagi wong Banyumas, dan menjadi salah satu awal kisah terbentuknya Kabupaten Banyumas.
4/16/2015 6:20:15 AM
192
Bahasa Ngapak dan Mentalitas Orang Banyumas
yang digunakan adalah Layang Purwacarita, yang merupakan karya dari Prabu Wiyasaka, tahun 1031 Saka. Dalam pakem Layang Purwacarita di ceritakan Bawor diciptakan dari bayangbayang Semar, bukan anak ataupun keturunan dari Semar. Oleh sebab itu, Bawor memiliki kemiripan yang identik dengan tokoh Semar. Penciptaan Bawor oleh Sang Hyang Tunggal dimaksudkan untuk menjadi teman seperjalanan Semar menuju tempat Semar ditugaskan, yaitu Ngarcapada (alam dunia para wayang). Secara etimologis, Bawor berasal dari bahasa Kawi, yaitu “Ba” yang memiliki arti “sunar” (cahaya atau sinar), dan “Wor” yang memiliki arti “awor”(campur), demikian juga kata Carub yang berarti campuran, yaitu campuran dari cahaya terang dan gelap: cahaya terang yang terhalang oleh suatu benda sehingga bercampur dengan cahaya gelap dan memunculkan bentuk rupa bayang-bayang (Herusatoto, 2008:198). Bentuk tubuh Bawor memiliki kesamaan dengan Semar, yaitu tambun. Kepala Bawor berambut bkoak dan berpusar bodong, suaranya besar dan berat, dan menjadi tokoh yang dihormati dan dipercaya oleh adik-adiknya. Makna dari penampilan bentuk Bawor secara umum menjadi ciri pola tingkahnya yang menggambarkan watak Bawor seperti diungkapkan Herusatoto (2008:202) sebagai berikut: a. Sabar lan narima (sabar dan menerima apa adanya dalam kehidupan kesehariannya), b. Berjiwa ksatria (jujur, berkepribadian baik, toleran, rukun, suka membantu orang lain, mementingkan kepentingan bersama), c. Cancudan ( rajin dan cekatan), dan d. Cablaka (lahir batinnya terbuka terhadap pertimbangan yang matang atas apapun yang diucapkannya secara
05-Rindha.indd 192
Vol II, 2014
spontan dengan bahasa yang lugas, tanpa tedheng aling-aling atau eufemisme). Sifat dan watak yang dimiliki Bawor memiliki kesamaan dengan sifat dan watak universal yang dimiliki orang Banyumas. Dalam sejarahnya, Banyumas merupakan daerah mancanagari atau daerah yang jauh dari pusat kekuasaan keraton sehingga sangat sedikit dipengaruhi budaya keraton. Hal ini juga dapat dilihat dari peri bahasa Jawa yang menunjukkan karakter Wong Banyumasan, yaitu adoh ratu cedhek watu (jauh dari raja dan hanya dekat de ngan batu). Ungkapan ini memiliki makna bahwa wong Banyumas memiliki tata pergaulan yang jauh sekali dari tradisi keraton dan hidup dengan cara yang alamiah saja. Kondisi yang demikian menyebabkan Wong Banyumasan memiliki bahasa yang relatif berbeda dengan Bahasa Jawa pada umumnya yang memang terpengaruh budaya keraton. Bahasa ini dikenal sebagai bahasa Ngapak yang didasari oleh cablaka. Wong Banyumasan adalah masyarakat yang egaliter dan mengedepankan kesetaraan dibanding dengan unggah-ungguh yang bersifat struktural-hirarkis. Oleh sebab itu, banyak yang beranggapan kalau Wong Banyumasan kurang memiliki sopan santun, kalau berbicara menggunakan Bahasa Jawa Kluthuk (bersahaja), sing pating blekuthuk (saling menimpali adu keras), mbleketupruk (kalau berbicara akrab dan tidak peduli dengan kondisi sekitar). Bawor adalah simbol dari ksatria yang jujur, lugas, apa adanya dan mementingkan persaudaraan serta sangat memperhatikan orang lain dan lingkungan sekitar, walaupun dengan sifatnya yang suka berterus terang terkadang menjadikan orang lain yang belum kenal menjadi salah paham dan menganggapnya tidak tahu sopan santun. Secara umum, tipologi orang Jawa
4/16/2015 6:20:15 AM
Bahasa Ngapak dan Mentalitas Orang Banyumas
RINDHA WIDYANINGSIHa 193
adalah orang yang sangat menjaga perasBahasa Ngapak merupakan bagian dari aan orang lain dan enggan berterus terang Bahasa Jawa, maka bahasa Ngapak pun guna menjaga hubungan baik. mengalami tahap-tahap perkembangan Bahasa Jawa sebagaimana umumnya, yang oleh Retnosari (2013:44) dirangkum sebagai 3. Bahasa Ngapak, Dialek Khas Wong berikut: Banyumasan a) Abad ke-9 - 13 sebagai bagian dari Bahasa Jawa kuno Istilah dialek berasal dari kata Yunani διάλεκτος (dialektos), yang pada mulanya b) Abad ke-13 - 16 berkembang menjadi Bahasa Jawa abad pertengahan dipergunakan di sana dalam hubungannya dengan keadaan bahasanya. Di Yunani, ter- c) Abad ke-16 - 20 berkembang menjadi Bahasa Jawa baru dapat perbedaan-perbedaan kecil di dalam d) Abad ke-20 - sekarang, sebagai salah bahasa yang digunakan oleh pendukungsatu dialek Bahasa Jawa modern. (Tanya masing-masing, tetapi sedemikian jauh hap-tahapan ini tidak berlaku secara hal tersebut tidak sampai menyebabkan universal). mereka merasa mempunyai bahasa yang berbeda. Meillet (dalam Wahyuni, 2010:76) Retnosari (2013:46) lebih lanjut meng menyatakan ada dua ciri lain yang dimiliki dialek, yaitu (1) dialek adalah seperangkat ungkapkan bahwa setidaknya terdapat bentuk ujaran setempat yang berbeda- empat sub dialek Bahasa Ngapak seperti dibeda, yang memiliki ciri-ciri umum dan ungkapkan para ahli bahasa, yaitu: masing-masing lebih mirip sesamanya a) Wilayah Utara dibandingkan dengan bentuk ujaran lain Dialek Tegalan dituturkan di wilayah utara, antara lain di Tanjung, Ketangdari bahasa yang sama, dan (2) dialek tidak gungan, Larangan, Brebes, Slawi, Moga, harus mengambil semua bentuk ujaran Pemalang, Surodadi dan Tegal. dari sebuah bahasa. Bahasa Ngapak memiliki spesifi- b) Wilayah Selatan kasi dan/atau ciri-ciri khusus yang da- Dialek ini dituturkan di wilayah selatan, antara lain di Bumiayu, Karang pat dibedakan dengan bahasa Jawa baru Pucung, Cilacap, Nusakambangan, (standar). Beberapa ciri khusus tersebut Kroya, Ajibarang, Purwokerto, Purbalberkembang secara lokal hanya di wilayah ingga, Bobotsari, Banjarnegara, Pursebaran kebudayaan Banyumas, ����������� seperti diwareja, Kebumen serta Gombong. ungkapkan Saptono (2014:2) berikut ini: c) Cirebon - Indramayu a) Memiliki karakter lugu dan terbukti b) Tidak terdapat banyak gradasi unggah- Dialek ini dituturkan di sekitar Cirebon, Jatibarang dan Indramayu. Secara ungguh administratif, wilayah ini termasuk dac) Digunakan sebagai bahasa ibu oleh selam provinsi Jawa Barat. bagian besar masyarakat Banyumas d) Mendapat pengaruh bahasa Jawa kuno, d) Banten Utara Dialek ini dituturkan di wilayah BanJawa tengahan, dan bahasa Sunda ten utara yang secara administratif tere) Pengucapan konsonan di akhir kata dimasuk dalam provinsi Banten. baca dengan jelas (selanjutnya sering disebut ngapak-ngapak) Dibandingkan dengan bahasa Jawa dif) Pengucapan vokal a, i, u, e, o dibaca alek Jogjakarta dan Surakarta, Bahasa Ngadengan jelas
05-Rindha.indd 193
4/16/2015 6:20:15 AM
194
Bahasa Ngapak dan Mentalitas Orang Banyumas
pak memiliki perbedaan yang signifikan, terutama tampak pada akhiran ‘a’ yang tetap diucapkan ‘a’ bukan ‘o’. Jadi, jika di Solo orang makan sego (nasi), di wilayah Banyumas orang makan sega (nasi). Selain itu, kata-kata yang berakhiran huruf mati dibaca penuh, misalnya kata enak dengan suara huruf ‘k’ yang jelas, sementara dialek lain bunyinya ena’. Itulah sebabnya bahasa Banyumas oleh masyarakat di luar Banyumas disebut bahasa Ngapak atau ngapakngapak. Ciri khas cara bicara Wong Banyumasan sebagaimana diuraikan Herusatoto (2008:20) adalah blepotan (campur aduk tidak karuan), pating pechotot (terburai, berloncatan tidak karuan), dalam logat bahasa ngoko lugu (Jawadwipa) atau Jawa Koek (Jawa Kuno) dan Jawa Kramantara, yang sekarang disebut logat/dialek Banyumasan, atau, “orang berbahasa Jawa Gandekan” yang tinggal di bagian tengah dan timur provinsi Jawa Tengah, menyebutnya sebagai bahasa Ngapak, yaitu Bahasa Ibu dari bahasa umumnya orang-orang Banyumas. Sebelum zaman Kesultanan Pajang mengembangkan Bahasa Jawa logat Gandekan, seluruh bahasa Jawa adalah Jawadwipa (ngoko lugu). Kemudian setelah mengenal aksara Ha, Na, Ca, Ra, Ka pada abad ke-8 M, mulai berkembang bahasa Jawa Kramantara (krama lugu) yang juga disebut sebagai krama awal. Ciri utama bahasa Wong Banyumasan adalah jika berbicara terlihat cowag (keras nada suaranya), gemluthuk (kalau berbincang-bincang seperti orang tergesa-gesa atau cepat menanggapi), logatnya kenthel, luged, mbleketaket (kental, mengasyikan, sedap didengar oleh sesama asal daerahnya), dan cara bicaranya mulutnya mecucu (maju ke depan). Kekhasan yang dimiliki oleh bahasa Ngapak dan luasnya daerah persebaran penggunaan bahasa Ngapak menjadi sebuah
05-Rindha.indd 194
Vol II, 2014
indikasi bahwa bahasa Ngapak memberikan khazanah tersendiri dalam tata Bahasa Jawa (paramasastra), sekaligus menunjukkan dengan lugas bahwa ada suatu keterkaitan yang erat antara bahasa Ngapak dengan karakter kuat masyarakatnya, yang berdampak pada kebudayaan dan juga cara hidup masyarakatnya. 4. Bahasa Ngapak sebagai Wujud Sikap Anti Hegemoni Keraton dari Wong Banyumasan Bahasa Jawa dialek Banyumasan atau bahasa Ngapak ditemukan sepanjang da erah aliran Sungai Serayu yang berasal dari kompleks Sindoro-Sumbing-Dieng. Hal ini selaras dengan sejarah Banyumas yang menyatakan bahwa wilayah Wirasaba pada masa Majapahit dan wilayah Pasirluhur pada masa Kerajaan Demak itu amatlah luas, membentang dari perbatasan da erah barat yaitu Karawang dan perbatasan timurnya yaitu Sindoro-Sumbing. Bahasa Ngapak tergolong bahasa yang lebih tua dibandingkan dengan Bahasa Jawa baku. Banyak kosakata bahasa Ngapak yang berasal dari Bahasa Jawa Kuno dan Sunda. Bahasa Ngapak diperkirakan berasal dari zaman Majapahit, karena Banyumas termasuk wilayah Majapahit yang berbatasan dengan Pasirluhur dan Pajajaran. Bahasa Ngapak eksis bukan hanya dalam bentuk lisan saja tetapi juga tulisan. Di Banyumas ditemukan naskah Babad Banyumas tertua yang berasal dari abad ke-16 atau 17, yang menggunakan bahasa Ngapak, berdasarkan huruf yang dipakainya. Logat Banyumasan (ngapak) ditengarai sebagai logat B ahasa J awa yang tertua. Padmosoekotjo (dalam Herusatoto, 2008: 125) menyatakan bahwa Bahasa Jawa Asli (Jawadwipa) sudah ada jauh sebelum Aji Saka menciptakan aksara Jawa. Saat itu bahasa lisan yang digunakan masih ber-
4/16/2015 6:20:15 AM
Bahasa Ngapak dan Mentalitas Orang Banyumas
bentuk ngoko lugu, seperti bahasa Ngapak saat ini. Hal ini ditandai dengan adanya beberapa kata dalam bahasa Kawi/Sansekerta yang merupakan nenek moyang dari bahasa Jawa yang masih dipakai dalam bahasa Ngapak, seperti kata rika (Jawa = kowé, Indonesia = kamu), juga kata inyong yang berasal dari ingong, serta pengucapan vokal ‘ a’ yang utuh, tidak seperti ‘ å’ (baca: ‘ a’ tipis/miring) yang menjadi peng ucapan dialek Banyumasan seperti halnya bahasa Sansekerta. Sebelum terkena pengaruh dari keraton/kerajaan, hampir tidak ada perbedaan antara krama inggil dan ngoko dalam Bahasa Jawa. Namun, setelah masa kerajaan-kerajaan Jawa, bahasa Jawa mengalami penghalusan, artinya, bahasa yang dipakai oleh rakyat biasa dan yang dipakai oleh keluarga kerajaan dibedakan pengucapannya walaupun maknanya sama. Di kalangan Wong Banyumasan sendiri, bahasa Jawa yang biasa digunakan oleh orang Jawa wetanan (yaitu Jawa Tengah bagian Timur, Yogyakarta, dan Jawa Timur) disebut sebagai bahasa bandhekan. Kata asal ‘bandhek’ adalah ‘gandhek’. Gandhek adalah nama pangkat bentara (pendamping raja) yang setiap saat bertugas mendampingi raja. Yang dimaksud dengan basa nggandek (bahasa dengan logat/dialeknya para gandhek) adalah bahasanya para abdi bentara dari keraton Pajang. Gaya pengucapan bunyi atau lagu bicaranya hampir-hampir bibirnya tidak terbuka karena harus selalu berbicara dengan perlahan atau dengan berbisik-bisik, baik terhadap Sang Raja maupun dengan sesama gandhek. Tidak hanya dalam mengucapkan vokal ‘a’ saja, tetapi hampir seluruh huruf pun terdengar diucapkan dengan suara yang lebih ringan atau lemah, termasuk huruf-huruf lain yang seharusnya diucapkan dengan mantap, seperti d, g, h, j, k, o, dan w. Cara peng ucapan ini kemudian menjadi kebiasaan
05-Rindha.indd 195
RINDHA WIDYANINGSIHa 195
karena para gandhek ini harus berbicara secara pelan-pelan, nada rendah, dan berbisik kepada rajanya. Terkadang mereka juga diberi tugas khusus untuk menyampaikan berita yang bersifat rahasia sehingga harus disampaikan dengan suara pelan. Lama-kelamaan, mereka terbiasa bertutur kata dengan pengucapan dan pelafalan yang tidak mantap, yaitu mulut setengah terbuka saja. Rupanya penggunaan bahasa Jawa dialek gandhek itu justru menarik minat Sultan Hadiwijaya, yang semasa mudanya dikenal dengan nama Jaka Tingkir, yang menganggap bahasa Jawa logat gandhekan itu dirasa lebih halus, lebih sopan, dan lebih dapat menahan diri, walaupun para gandhek berada dalam situasi dan perasaan yang emosional. Hal ini didasarkan atas penilaian Sultan dalam keseharian para gandhek yang sedang menjalankan tugas, yaitu selalu manahan diri dalam situasi dan kondisi apapun. Selanjutnya, diputuskan sebuah ketetapan sebagai “Titah Sri Baginda”: semua Punggawa Kerajaan Pajang, termasuk seluruh rakyat Pajang, harus belajar dan kemudian menggunakan bahasa gandhek sebagai bahasa resmi kerajaan Pajang (Herusatoto, 2008:126). Munculnya kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa membawa dampak pada tumbuhnya budaya-budaya feodal yang kemudian memunculkan pembedaan status sosial yang salah satunya diwujudkan dalam bentuk pembedaan penggunaan bahasa sesuai dengan strata sosial seseorang. Namun, pengaruh feodal ini tidak terlalu dirasakan oleh masyarakat Banyumas. Wilayah dan Wong Banyumasan diibaratkan seperti adoh ratu cedhek watu (jauh dari raja dan dekat dengan batu). Herusatoto (2008:128) menyatakan bahwa sepanjang sejarah Jawa, tidak pernah ada raja yang memiliki keraton di wilayah Banyumas. Yang ada adalah Adipati (Bupati) keraton yang diangkat
4/16/2015 6:20:16 AM
196
Bahasa Ngapak dan Mentalitas Orang Banyumas
serta mewakili kepentingan keraton-keraton di Jawa Barat (Pajajaran pada zaman Kadipaten Pasirluhur, abad ke-14 s/d 15), Jawa Timur (Majapahit pada zaman Kadipaten Wirasaba I, abad ke-15), Jawa Tengah bagian Timur (Demak, Pajang, dan Mataram pada zaman Kadipaten Wirasaba II sampai Kabupaten Banyumas, abad ke-16 s/d 19). Meskipun demikian, fakta ini tidak lantas membenarkan anggapan bahwa Wong Banyumasan tidak bisa berbahasa krama sebagaimana digambarkan dalam tokoh pewayangan Werkudara (Bima/Bratasena), Antasena, dan Wisanggeni. Karena adanya para adipati sejak zaman Majapahit itulah, bahasa Jawa Kawi atau Bahasa Krama Lugu (Kramantara) pun berkembang di seluruh wilayah Banyumas sebagai bahasa kedua dalam pergaulan umum masyarakat Banyumas, baik kepada yang lebih tua maupun antar rekan sebaya. Dalam Krama Lugu sebagai bahasa Jawa Kawi, seluruh kata-kata yang digunakan berbentuk krama asli, yaitu ucapan vokal ‘a’-nya tetap diucapkan dengan lafal ‘a’, bukan ‘o’ (Herusatoto, 2008:129). Moedjanto (dalam Sugeng Priyadi, 2008:255) menyebutkan bahwa Bahasa Jawa baku merupakan alat legitimasi Dinasti Mataram. Budaya feodal telah menyebabkan adanya pembedaan strata sosial yang salah satu wujud nyatanya adalah dalam penggunaan bahasa. Sebelumnya Bahasa Jawa sangatlah sederhana. Hanya ada satu bahasa saja dan tidak bertingkattingkat. Wong Banyumasan lebih memilih untuk menggunakan bahasa krama lugu (ngapak) karena lebih memegang prinsip egaliter dan tidak ingin hubungan yang akrab antar warga menjadi terganggu dikarenakan adanya pembedaan status. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa wong Banyumasan lebih memilih untuk merdeka dalam bersikap dan bertutur kata. Mereka
05-Rindha.indd 196
Vol II, 2014
lebih memilih mempertahankan prinsip dan kebiasaan berbahasa demi menjaga hubungan harmonis dibanding mengikuti sepenuhnya apa yang menjadi titah raja. Hal lain yang mendukung sikap ini adalah karena secara geografis wilayah Banyumas memang cukup jauh dari pusat pemerintahan. Akan tetapi prinsip ini tidak berlaku bagi kalangan elite lokal yang mengikuti apa yang diperintahkan oleh pihak keraton sepenuhnya yaitu menggunakan tata bahasa Jawa baku yang dikenal sebagai Bahasa Jawa alusan (bahasa halus). Penggunaan istilah Bahasa Jawa alusan (bahasa halus) ini lantas menegasikan bahasa yang digunakan oleh masyarakat kebanyakan, sehingga bahasa ngapak kemudian dipersepsikan sebagai bahasa kasar dan merupakan bahasa rakyat jelata. Hal semacam ini tidak membuat Wong Banyumasan kemudian mengubah prinsipnya sehingga mereka tetap menggunakan bahasa Ngapak dalam pergaulan dan komunikasi sehari-hari. Wong Banyumasan lebih memilih untuk menolak sikap yang ingin mencoba melanggengkan tradisi feodal, yang membuat kelas-kelas sosial masuk dalam lingkaran keraton, dengan tetap mempertahankan bahasa ngapak yang lugu sebagai bahasa pergaulan dan komunikasi sehari-hari. Bahasa Ngapak merupakan sebuah ungkapan yang menunjukkan kejujuran yang apa adanya serta menunjukkan budaya yang egaliter---dalam arti Wong Banyumasan tidak munduk-munduk ketika berhadapan dengan orang asing, juga mereka memperlakukan setiap golongan secara setara. Hal ini jelas berbeda dengan Bahasa Jawa alusan yang lebih bersifat struktural dan memperlihatkan secara jelas jenjang dan tingkatan sosial berdasarkan bahasa yang dipergunakan. Dengan kata lain, bukan berarti bahasa Ngapak bahasa yang tidak sopan, tetapi penggunaannya lebih menunjukkan bahwa
4/16/2015 6:20:16 AM
Bahasa Ngapak dan Mentalitas Orang Banyumas
para penuturnya menghormati orang lain tanpa membeda-bedakannya. 5. Bahasa Ngapak dalam Kajian Filsafat Bahasa Hans-Georg Gadamer Gadamer lahir di Marburg, Jerman, pada 11 Februari 1900 dan mendapat pendidikan filsafat di kota kelahirannya. Pada 1929, Ia memperoleh gelar Doktor Filsafat kemudian menjadi Profesor pada umur 37 tahun. Hingga akhir hayatnya (meninggal pada 13 Maret 2002), Gadamer aktif menjadi pengajar di Universitas Heidelberg. Pemikiran Gadamer banyak dipenga ruhi kritik terhadap tradisi filsafat modern yang mengembangkan metode kuantitatif dan kritik terhadap paham positivisme logis yang pada saat itu menguasai hampir semua aspek keilmuan. Linguistik modern mengembangkan pengertian bahasa sebagai suatu sistem tanda yang bermakna dan merupakan sarana komunikasi manusia, sebagaimana dikemukakan Ferdinand de Saussure (1857 – 1913) maupun Ernst Cassirer (1874 – 1945). Akan tetapi, pemikiran ini ditolak oleh Gadamer. Menurutnya, bahasa bukan hanya sekadar sistem tanda, bukan bentuk, dan bukan sarana saja, melainkan secara ontologis, bahasa merupakan penampak an dari “ada” pada manusia. Oleh karena itu, bahasa ditangkap manusia tidak hanya sebagai realitas empiris belaka tetapi lebih kepada realitas ontologisnya. Secara ontologis, bahasa bukan diciptakan oleh manusia melulu sebagai sarana komunikasi dan sarana berpikir, tetapi bahasa adalah sebuah bentuk pengejawantahan realitas, dan manusia mengaktualisasikannya. Dapat dikatakan bahwa bahasa Ngapak pada hakikatnya adalah cara Wong Banyumasan untuk menunjukkan ke”ada”an-nya. Bahasa tidak sekadar ucapan untuk mengkomunikasikan suatu pesan. Pilihan untuk
05-Rindha.indd 197
RINDHA WIDYANINGSIHa 197
tetap menggunakan bahasa Ngapak diban dingkan dengan menggunakan Bahasa Jawa alusan adalah sebuah pernyataan sikap untuk menunjukkan jati diri Wong Banyumasan yang berakar kuat pada tradisi dan tidak hanya berhenti sebagai simbol. Wong Banyumasan sadar betul darimana mereka berasal dan bahasa adalah cara yang efektif bagi mereka untuk dapat selalu ingat akan asalnya. Bahasa tidak lagi hanya dipahami sebagai sebuah sistem tanda, bentuk, dan sarana saja, tetapi lebih jauh lagi, yaitu menunjukkan suatu bentuk “ ada” yang nyata, tanpa perlu melakukan usaha muluk-muluk atau bahkan dengan cara yang tidak baik. Bilamana bahasa hanya dipandang sebagai alat belaka dan merupakan suatu wujud empiris saja, maka lenyaplah hubungan asasi antara berkata dan berpikir. Dari sini, selanjutnya muncullah hubungan instrumental, yaitu bahwa bahasa diperlakukan hanya sebagai alat saja. Bilamana bahasa dipandang sebagai alat berpikir, maka “kata” dipakai guna menunjuk bendabenda; “kata” berfungsi sebagai tanda dan menandai segala sesuatu. Perubahan kata menjadi tanda, terletak dalam sendi dasar ilmu yang senantiasa mencita-citakan artikulasi bahasa yang serba eksak, jelas dan pasti, tanpa dwiarti (Kaelan, 2002:211). Perkataan dan pikiran merupakan bagian yang tidak terpisahkan, karena perkataan mewakili isi pikiran. Prinsip egaliter dan penghormatan kepada orang lain tanpa memandang kelas sosial telah terpatri dalam pikiran Wong Banyumasan, maka secara spontan pikiran ini kemudian memunculkan suatu perkataan yang datang begitu saja (spontan). Meskipun kita sudah berusaha untuk menata perkataan, tetapi hal ini akan menjadi lebih sulit manakala tidak ada kordinasi yang selaras dengan pemikiran yang mendukung perkataan tersebut. Oleh sebab itu, tampak jelas bahwa
4/16/2015 6:20:16 AM
198
Bahasa Ngapak dan Mentalitas Orang Banyumas
pengucapan bahasa Ngapak menunjukkan pemikiran si pelafalnya. Perkara muncul persepsi yang berbeda oleh orang lain tentu juga tidak terlepas dari unsur pengaruh pemikiran yang ada dalam diri orang lain yang menilai tersebut. Teori yang menyatakan bahwa manusia menciptakan kata-kata dan memberikan artinya adalah teori linguistik yang oleh Gadamer dianggap sama sekali tidak benar. Bagi Gadamer, seperti dijelaskan Kaelan (2002:212), pemahaman, pengalaman, dan pikiran pada hakikatnya benar-benar berupa kebahasaan. Bahasa bukanlah hasil refleksi. Jadi, Bahasa bukan berasal dari aktivitas manusia yang berpikir dan merenung, kemudian menciptakannya, tetapi bahasa justru tercipta dari realitas. Dalam kehidupan manusia, bahasa bukan hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, melainkan juga penyerta proses berpikir manusia dalam usaha memahami dunia luar, baik secara objektif maupun imajinatif. Oleh sebab itu, selain memiliki fungsi komunikatif, Bahasa juga memiliki fungsi kognitif dan emotif. Informasi lewat bahasa, selain menunjuk struktur kebahasaan itu sendiri, juga mampu menunjuk pada suatu aktivitas mental (Hidayat, 2006:26). Bahasa Ngapak menunjukkan dengan jelas gambaran mentalitas yang kemudian menjadi watak universal Wong Banyumasan. Hubungan antara bahasa dan pikiran inilah yang menghadirkan konsep mental yang akhirnya membentuk pandangan hidup seseorang atau suatu masyarakat. Kajian ini bukan hanya telaah Gadamer seorang, tetapi jauh sebelumnya sudah ada, bahkan sejak zaman Yunani kuno. Filsuf termasyhur Yunani kuno, Aristoteles (384 SM – 322 SM) pernah mengemukakan pandangan bahwa kata-kata sebagai sarana ujaran pada hakikatnya dapat digunakan sebagai penanda sikap maupun aktivitas kejiwaan.
05-Rindha.indd 198
Vol II, 2014
Meskipun tuturan yang diungkapkan manusia tidak sama tetapi bentuk hubungan mental setiap orang dengan dunia luar lewat bahasa pada dasarnya adalah sama. Munculnya bahasa menampilkan suatu transformasi mendasar dan total dari taraf kebinatangan ke taraf tingkatan hakikat kodrat manusia, yaitu suatu keterpisahan mendasar dari kungkungan alam. Munculnya bahasa menandai munculnya kemampuan reflektif manusia untuk memahami realitas. Berkat adanya bahasa, manusia menjadi objek yang potensial bagi dirinya sendiri. Manusia bukanlah makhluk yang ditakdirkan telah terbentuk sedemikian rupa. Namun, manusia memiliki kemampuan kultural sehingga ia mampu mewujudkan suatu konstruksi linguistik. Bahasa Ngapak yang dianggap kasar oleh sebagian kalangan merupakan suatu konstruksi tersendiri yang juga harus dipahami dalam aspek kultural. Anggapan bahasa Ngapak sebagai bahasa kasar muncul manakala keraton melegitimasi bahasa resmi yang lebih mengakomodasi bahasa Gandhekan. Sedangkan bahasa Gandhekan itu sendiri muncul akibat adanya konstruksi yang diatur sedemikian rupa dalam rangka profesionalisme kerja, bahkan bisa dikatakan muncul “tanpa sengaja”. Bahasa pada hakikatnya bukan hanya sekadar substansi belaka atau hanya berupa struktur atau bentuk empiris. Ada tiga aspek substansi dan bentuk bahasa seperti diungkapkan Kaelan (2002:274), yaitu: (1) substansi isi bahasa, yaitu berkaitan dengan sesuatu yang menyangkut benda dan pengalaman tentang benda-benda tersebut serta pikiran dari penutur bahasa, (2) substansi ekspresi bahasa, yaitu bunyi yang kita gunakan untuk membicarakan pikiran dan hal-hal yang kita bicarakan, yaitu benda-benda serta pengalaman tentang benda tersebut, (3) substansi isi dan ekspresi, yaitu apa yang dibicarakan dan alat-alat yang di-
4/16/2015 6:20:16 AM
Bahasa Ngapak dan Mentalitas Orang Banyumas
gunakan untuk membicarakan tersebut. Substansi isi maupun ekspresi sebagaimana ditampakkan dalam bahasa Ngapak sebagai bahasa pergaulan dan komunikasi sehari-hari menunjukkan pola pikir dan kepribadian masyarakat Banyumas secara umum. Wong Banyumasan dikenal sebagai orang yang dengan lugas menyampaikan ekspresinya tanpa tedheng aling-aling (tanpa basa-basi). Sifat keterusterangan inilah yang menyebabkan orang lain terkadang menjadi sakit hati, terlebih karena sifat manusia Jawa pada umumnya berhatihati menjaga perasaan lawan bicara agar tidak tersinggung. Bahasa sebenarnya bukan sekadar substansi fisik yang menjadi objek ilmu pengetahuan saja, tetapi hakikatnya lebih luas karena bahasa tidak dapat dilepaskan dari pengalaman manusia. Namun, bahasa juga memiliki keterbatasan. Bahasa menjadi terbatas karena pengalaman manusia senantiasa jauh lebih luas, lebih dalam, dan lebih rumit daripada yang dapat diungkapkan bahasa. Bahasa menemukan keterbatasannya pada sisi pragmatik, yaitu bagaimana kita memperlakukan bahasa dalam hubungannya dengan pengalaman hidup manusia. Masalah keterbatasan bahasa ini menurut Gadamer tidak dapat dilepaskan dari dimensi epistemologisnya. Gadamer sampai pada keputusan bahwa asumsi-asumsi yang terdasar, misalnya tentang hakikat pengetahuan, tentang hubungan antara bahasa dengan dunia, selalu merupakan suatu lapisan yang secara struktural tak terlihat dan pada masa itu sendiri tidak bisa dieksplisitkan (Kaelan, 2002: 319). Pembahasan mengenai bahasa memang menarik karena bahasa senantiasa dinamis dan berkembang. Hal ini pulalah yang menjadi dasar dari keterbatasan bahasa. Kita hanya dapat menganalisis suatu perubahan atau pergeseran manakala hal
05-Rindha.indd 199
RINDHA WIDYANINGSIHa 199
itu sudah berlalu, dan bukan pada masa itu. Kita dapat dengan jelas melihat bagaimana pengaruh hegemoni keraton terhadap penggunaan bahasa Ngapak dan Gandhek setelah pengaruh keraton tersebut tidak lagi begitu dirasakan pada masa kini. Akan tetapi, hal yang tidak bisa dihindari adalah perubahan itu sendiri, dan hal ini sudah terpikirkan oleh filsuf semenjak Herakleitos (535 SM - 475 SM). 6. Penutup Sebagai kesatuan linguistik, bahasa Ngapak adalah tuturan/ucapan dengan sistematika tertentu yang digunakan Wong Banyumasan untuk mewakili wujud suatu benda, tindakan, gagasan serta keadaan. Sebagai kesatuan karakter, Banyumasan adalah sikap mental dan nilai-nilai moral yang secara genetis hidup dalam masyarakat Banyumas. Karakter Banyumasan sekaligus menjadi identitas masyarakat Banyumas. Gadamer adalah salah satu filsuf yang menyumbangkan pemikirannya mengenai bahasa. Melalui Gadamer, kita diajak untuk memahami makna sebuah bahasa. Tulisan ini bermaksud mengupas inti pemikiran Gadamer dan menerapkannya dalam kerangka memahami bahasa Ngapak itu sendiri. Melalui pemikiran Gadamer, kita diberikan pemahaman bahwasanya bahasa adalah sesuatu yang dekat dengan kehidupan karena Bahasa dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai realitas. Bila dilihat dari struktur substansi, isi, maupun bentuknya, bahasa Ngapak terkait erat dengan pola pikir masyarakat Banyumas. Bahasa Ngapak memberikan gambaran watak dasar yang universal dari Wong Banyumasan, sekaligus jendela untuk melihat interaksi, pola pikir, kebudayaan, dan tipe komunikasi dari masyarakatnya. K�� ebudayaan Banyumas dibentuk dari kebudayaan yang heterogen. Hal ini didukung
4/16/2015 6:20:16 AM
200
Bahasa Ngapak dan Mentalitas Orang Banyumas
Vol II, 2014
oleh watak Wong Banyumasan yang apa Priyadi, Sugeng. (2013). Sejarah Mentalitas adanya, terbuka, dan terus terang. Watak Brebes. Yogyakarta: Ombak inilah yang tersingkap dengan lebih jelas _____. (2008). Banyumas: antara Jawa dan ketika Wong Banyumasan menggunakan Sunda. Semarang: Mimbar Indah bahasa Ngapak. Retnosari, Hesti. (2013). Pergeseran Bahasa Bahasa Ngapak adalah identitas sekaliJawa Dialek Banyumasan di Kalangan gus realitas itu sendiri. Upaya yang dilakuRemaja dalam Berkomunikasi (Studi Kakan untuk melestarikannya merupakan sus di Desa Adimulya, Wanareja, Cilacap upaya untuk menjaga kejelasan identitas dalam Penggunaan Bahasa Banyumas). sebagai bangsa yang berkarakter. Salah satu Skripsi diajukan pada Jurusan Sosioloupaya yang dilakukan Pemerintah Daerah gi dan Antropologi, Fakultas Ilmu SoBanyumas untuk melestarikan bahasa Ngasial, Universitas Negeri Semarang. Verpak adalah dengan melegitimasinya melasi daring diakses dari http://lib.unnes. lui peraturan perundang-undangan, yaitu ac.id/17894/1/3401409011.pdf dengan diterbitkannya Peraturan Bupati Saptono. TT. Kebudayaan Sebagai Identi(Perbup) Nomor 1867 tahun 2013 tentang tas Masyarakat Banyumas. Versi darPenggunaan Bahasa Jawa Dialek Banyumas ing diakses dari www.repo.isi-dps. di Lingkungan Pemkab Banyumas. Upaya ac.id74/1/kebudayaan.sebagai_identilegal ini akan menjadi lebih baik lagi apatas_masyarakat_Banyumas.pdf bila diteruskan hingga ke tingkat sekolah, Taufiq, Muhammad, dkk. (2014). Pengsupaya generasi muda semakin memahami galian Nilai-Nilai Pancasila Dalam Badan mencintai bahasa daerahnya. bad Banyumas Kalibening Sebagai Upaya Penyelesaian Hukum Berbasis Kearifan Lokal. Makalah dipresentasikan dalam Daftar Pustaka Seminar Nasional yang diselenggarakan Universitas Jendral Soedirman di Herusatoto, Budiono. (2008). Banyumas: SePurwokerto, 20-21 November 2014. jarah, Budaya, Bahasa, dan Watak. YogyaDimuat dalam Prosiding. karta: PT LKiS Pelangi Aksara Hidayat, Asep Ahmad. (2006). Filsafat Ba- Wahyuni, Sri. (2010). Tarik Menarik Bahasa Jawa Dialek Banyumas dan Bahasa Sunda hasa: Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna di Perbatasan Jawa Tengah-Jawa Barat dan Tanda. Bandung: PT. Remaja RosdaBagian Selatan Sebagai Sikap Pemertahkarya. anan Bahasa Oleh Penutur. Makalah Kaelan, M. S. (2008). Filsafat Bahasa: Masalah dipresentasikan dalam Seminar Nadan Perkembangannya.Yogyakarta: Parasional Pemertahanan Bahasa Nusandigma tara yang diselenggarakan Universitas Mardiwarsito, L. Adiwimarta, S. S., SuratDiponegoro, di Semarang, 6 Mei 2010. man, S. T. (1979). Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Ende: Nusa Indah
05-Rindha.indd 200
4/16/2015 6:20:16 AM