BAHASA NASIONAL YANG BELUM MENASIONAL ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ Dr. A. Sobana Hardjasaputra, S.S., M.A.
Masalah bahasa Indonesia yang akan dibicarakan dalam tulisan ini bukan kajian secara ilmiah, tetapi hanya berupa kesan saya atas pemakaian bahasa Indonesia (bahasa nasional) di kalangan masyarakat. Sekalipun saya bukan ahli bahasa, saya mendapat kesan bahwa sampai saat ini bahasa Indonesia yang telah diikrarkan sebagai bahasa persatuan, belum menasional. Pada umumnya masyarakat kita memahami, bahwa tanggal 28 Oktober 1928 adalah momentum pengakuan atas tanah air, bangsa, dan bahasa yang sama. 1. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia. 2. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia. 3. Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Tanggal itu selanjutnya diperingati oleh bangsa Indonesia sebagai “Hari Sumpah Pemuda”. Dengan momentum tersebut berarti sejak tanggal 28 Oktober 1928, bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa nasional, karena ikrar itu berlangsung
1
dalam masa pergerakan nasional menentang penjajahan, untuk mencapai kemerdekaan. Hal itu berarti sampai sekarang, bangsa Indonesia sudah menggunakan bahasa nasional cukup lama. Setelah Indonesia merdeka, lepas dari belenggu penjajahan bangsa asing. bahasa Indonesia diusahakan agar benar-benar menjadi bahasa nasional, sebagai media pemersatu bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia diajarkan secara formal mulai sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi, baik di sekolah negeri maupun sekolah swasta. Pendidikan tinggi yang memiliki Jurusan Bahasa, hampir tiap tahun menghasilkan sejumlah lulusan sarjana bahasa Indonesia. Sejalan dengan peningkatan pendidikan, sarjana bahasa Indonesia dihasilkan pula melalui Program Pascasarjana pada beberapa perguruan tinggi. Menyadari bahwa bahasa tidak statis, melainkan dinamis mengikuti perkembangan budaya manusia, khususnya budaya komunikasi, baik secara lisan maupun tertulis, sejak tahun 1960-an pemerintah membentuk Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia. Agar bahasa Indonesia makin menjadi bahasa nasional yang baik, lembaga itu telah menyempurnakan ejaannya (1972). Disusun pula buku Pedoman Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) dan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia juga dilakukan melalui berbagai kegiatan. Kongres nasional dan seminar bahasa Indonesia telah berlangsung berulang kali. Hampir tiap tahun diadakan “bulan bahasa”. Beberapa waktu yang lalu, Lembaga Pembinaan dan Pengambangan Bahasa Indonesia bekerjasama dengan TVRI menyelenggarakan siaran pembinaan bahasa Indonesia secara rutin pada waktu
tertentu. Acara itu dipandu oleh para pakar bahasa Indonesia. Seorang di antaranya adalah Prof. Dr. J.S. Badudu. Akan tetapi sekarang kegiatan yang disebut terakhir sudah berhenti. Selain melalui perkuliahan dan siaran di TVRI, Pak Badudu dengan gigih berupaya terus memasyarakatkan bahasa Indonesia yang baik dan benar, antara lain melalui tulisan berupa artikel, makalah, dan menerbitkan buku. Sementara itu, beberapa orang rekan seprofesi Pak Badudu, termasuk bekas muridnya, ada yang menerbitkan buku pelajaran Bahasa Indonesia. Kiranya usaha-usaha pembinaan bahasa Indonesia sudah cukup gigih dilakukan melalui berbagai cara. Akan tetapi, sampai saat ini bahasa nasional itu ternyata belum menasional, padahal pengakuan sebagai bahasa nasional dan pemakaiannya – seperti telah dikemukakan -- sudah berlangsung cukup lama sampai saat ini, yaitu lebih-kurang 74 tahun, usia yang cukup tua bagi umur manusia. Bahwa bahasa Indonesia belum menasional, antara lain ditunjukkan oleh kasus atau hal-hal sebagai berikut. Dalam pembicaraan yang bersifat formal, para pembicara seringkali tidak sepenuhnya menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bila hal itu dilakukan oleh orang awam, masih dapat dimaafkan (ditolerir). Akan tetapi justru hal tersebut terjadi di kalangan terpelajar, termasuk para pejabat tinggi. Beberapa pakar bahasa seringkali melontarkan kritik konstruktif terhadap bahasa pejabat melalui tulisan-tulisan pada mass media. Akan tetapi karena sudah salah kaprah, sulit untuk dibenahi, lebih-
lebih tidak disertai kesadaran dan kemauan untuk berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Oleh karena itu, muncul sebutan “gaya bahasa pejabat”. Dalam membuat karya tulis ilmiah, siswa dan mahasiswa cenderung menujukkan kesulitan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Hal itu antara lain terlihat dari pemakaian kata dalam penulisan kalimat. Misalnya, kata-kata : tetapi, karena, yang, juga, dan lain-lain, ditempatkan di awal kalimat. Kata disebabkan digabungkan dengan kata karena. Contoh: "Tabrakan anata bus dan truk itu disebabkan karena supir bus menjalankan kendaraannya ugal-ugalan". Kekeliruan lainnya adalah pemakaian kata-kata yang tidak tepat, sehingga mengaburkan makna atau maksud suatu kalimat. Dalam karya ilmiah juga seringkali terjadi pemakaian kata-kata yang sama secara berulang-ulang (monoton). Kata-kata dimaksud antara lain kata penunjuk ini dan itu. Dalam hal ini, saya selalu ingat salah satu penjelasan Pak Badudu, bahwa dalam menulis karya ilmiah pun, kata-kata yang digunakan selain harus tepat juga bervariasi, karena menulis adalah juga suatu seni. Penjelasan itu disampaikan langsung kepada saya, ketika saya menempuh ujian Sarjana Sejarah (awal tahun 1980). Pak Badudu menghadiri ujian saya, karena pada waktu itu beliau adalah Dekan Fakultas Sastra Unpad yang bertindak sebagai ketua panitian ujian. Ada pendapat, bahwa kelemahan karya tulis orang Indonesia antara lain menyangkut bahasa. Pendapat itu ada benarnya, karena saya sendiri menyadari akan hal tersebut.
Salah kaprah yang paling memasyarakat antara lain pemakaian kata daripada dan merubah. Kata daripada digunakan bukan pada tempatnya. Misal: "Kehidupan daripada rakyat sekarang ini …..". Hal ini adalah salah satu bagian dari “gaya bahasa pejabat” yang justru ditiru oleh masyarakat umum. Salah kaprah lain yang umum terjadi adalah pemakaian kata merubah. Seharusnya mengubah, karena kata dasarnya ubah, bukan rubah. Kedua kata itu sangat umum digunakan di setiap lapisan masyarakat. Ketika siaran pembinaan Bahasa Indonesia di TVRI masih biasa ditayangkan, saya hampir selalu mengikutinya. Baru saja acara itu selesai, penyiar yang melanjutkan acara tidak berbicara dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Padahal acara pembinaan bahasa yang baru lalu itu membahas kekeliruan kata-kata atau kalimat yang justru digunakan oleh penyiar tadi. Kasus itu terjadi berulangkali. Oleh karena itu muncul pelesetan, pembinaan bahasa menjadi “pembinasaan bahasa”. Salah kaprah yang lain adalah kesalahan yang disebut hiperkorek dan pleonasme. Contoh kesalahan antara lain pemakaian kata turun ke bawah (hiperkorek) dan para hadirin atau hadirin sekalian (pleonasme). Kesalahkaprahan dengan contoh tersebut, tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat awam, tetapi seringkali terjadi pula di kalangan orang terpelajar, termasuk di kalangan guru, bahkan di kalangan dosen. Beberapa tahun yang lalu, ketika Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia sedang gencar-gencarnya berkiprah, muncul himbauan agar bahasa Indonesia/istilah dalam bahasa Indonesia digunakan untuk
menyebut jenis-jenis usaha atau kegiatan perusahaan, toko, dan lain-lain pada papan nama yang mereka buat. Himbauan tersebut hampir tidak mendapat perhatian dari masyarakat. Misalnya, sampai sekarang, penjahit pakaian lebih senang menamakan dirinya taylor, tempat pangkas rambut banyak yang menggunakan istilah barbershop. Ironisnya, tempat mereka berada adalah
daerah yang tidak biasa dikunjungi oleh orang asing.
Memang, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut kita untuk memahami bahasa asing. Akan tetapi kita tetap wajib dan harus memelihara bahasa nasional, sesuai dengan ikrar dalam Sumpah Pemuda 1928. Pemakaian bahasa asing dalam kehidupan sehari-hari, jangan sampai menyebabkan bahasa nasional menjadi tersisihkan. Ungkapan dalam bahasa Sunda menyatakan basa cicirén bangsa (“bahasa adalah ciri bangsa”). Di kalangan masyarakat bawah, bahasa Indonesia baku seolah-olah tidak dikenal. Mereka tidak peduli akan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kondisi lain yang menunjukkan bahwa bahasa Indonesia belum menasional, sampai saat ini di daerah-daerah tertentu, umumnya di daerah pedalaman, masih ada kelompok-kelompok masyarakat yang belum dapat berbicara bahasa Indonesia. Mereka hanya dapat berbicara dalam bahasa daerah setempat. Hal itu secara tidak langsung mencerminkan bahwa pendidikan di kalangan masyarakat bawah belum merata. Kasus ini memang terjadi pula di beberapa negara lain. Kasus-kasus sederhana tersebut, menunjukkan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa nasional, hanya pengakuan secara konsensus. Akan tetapi,
pemahaman dan penggunaannya secara baik dan benar, baru terbatas di kalangan ahli bahasa dan sejumlah kecil golongan terpelajar lainnya. Kondisi tersebut terjadi karena berbagai faktor. Menurut pendapat saya, secara garis besar ada lima faktor penyebabnya. 1) Kurangnya kesadaran dan kemauan untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar di kalangan masyarakat. 2) Minat baca di kalangan masyarakat masih rendah. 3) Orang-orang yang seharusnya menjadi contoh dalam berbahasa, ternyata tidak mau menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. 4) Pengaruh bahasa mass media dan “bahasa gaul” bagi kalangan remaja. Oleh karena terbiasa menggunakan “bahasa gaul”, dalam pembicaraan formal pun para remaja lupa untuk berbicara dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. 5) Pengaruh budaya Barat yang sulit dibendung atau disaring, akibat perkembangan teknologi. Faktor-faktor tersebut menunjukkan, bahwa faktor dasar penyebab bahasa Indonesia belum benar-benar menasional adalah faktor individu dan faktor lingkungan yang tidak menunjang. Terlepas dari semua itu, ragam bahasa Indonesia saat ini merupakan salah satu dinamika kehidupan. Akankah bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional kita benar-benar menasional? Akankah bahasa Indonesia yang baik dan benar sungguh-sungguh
digunakan di kalangan masyarakat, khususnya masyarakat terpelajar? Hal itu terpulang kepada kesadaran dan kemauan tiap individu. Semoga pula kegigihan Pak Badudu dalam usaha memasyarakatkan bahasa Indonesia yang baik dan benar, diteladani oleh para pakar bahasa Indonesia lainnya, terutama oleh para muridnya.
KATA PENGANTAR
Dalam rangka memperingati usianya yang ke 70 tahun, Prof. Dr. J.S. Badudu, pakar Bahasa Indonesia pensiunan dari Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, akan membuat buku berisi kumpulan tulisan tentang berbagai permasalahan Bahasa Indonesia. Untuk kepentingan itu, beliau meminta kepada sejumlah muridnya untuk menyumbangkan tulisan. Meskipun bukan ahli bahasa, penulis yang pernah menjadi mahasiswa beliau, diminta untuk menyumbangkan tulisan. Atas perhatian sekaligus kehormatan itu, penulis ucapkan terima kasih. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat.
Bandung, 23 Januari 2003