Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VII Bahasa, Sastra dan Budaya: Kaitannya dengan Isu-Isu Global
2015
26 BAHASA HIPNOSIS DAN DAYANYA DALAM POSTER LAYANAN MASYARAKAT Iqbal Nurul Azhar FISIB Universitas Trunojoyo Madura www.pusatbahasaalazhar.wordpress.com Abstrak: Tulisan ini mengulas bahasa hipnosis yang ada dalam poster layanan masyarakat beserta daya yang dikandungnya melalui perspektif linguistik. Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah 95 poster layanan masyarakat yang didapat dengan cara melakukan ”googling” dengan menggunakan kata kunci ”Poster Layanan Masyarakat” beserta variannya. Data penelitian ini adalah kalimat-kalimat dalam poster yang mengandung bahasa hipnosis. Metode pengambilan data adalah metode observasi nonpartisipan dengan teknik dasar teknik sadap yang disambung dengan teknik lanjutan yaitu teknik rekam dan catat. Metode analisis data adalah metode korelasi dengan menggunakan “faktor kunci”. Adapun faktor kuncinya adalah langue lain. Dari analisis data ditemukan 19 jenis pola bahasa hipnosis antara lain Ikat Tunggal, Semi Ikat Ganda, Ikat Ganda, Temporal, Tebak-Pikir, Generalisasi, Tumbuh-Sadar, Sebab-akibat, Paket-sepakat, Modal Operator, Asosiasi, Perintah Terselubung, Pemakaian Pun, Penegas, Eritoris, Sinikal, Sarkasme, Presupposisi, dan Penuntun dengan Penutup Apostrof. Dari hasil analisis penulis, diketahui bahwa setiap poster yang mengandung bahasa hipnosis mengandung setidaknya enam daya hipnosis yang dikenal dengan formula TINDAk, yaitu Tarik, Ingat, Negosiasi, Dorong, dan Aksi. Kata-kata kunci: bahasa hipnosis, pola, daya.
PENDAHULUAN Dunia psikologi berkembang demikian cepat. Salah satu perkembangannya yang memberikan andil cukup besar untuk merubah kondisi masyarakat adalah ditemukannya teori tentang gelombang otak yang terbagi menjadi empat jenis yaitu, Beta (14-30 Hertz), Alpha (8-14 Hertz), Theta (4-8 Hertz) dan Delta (0-4 Hertz). Selain itu, ditemukan juga teori perubahan gelombang yang menyatakan bahwa ketika seseorang berada dalam kondisi normal serta melakukan aktifitas sehari-hari, gelombang yang bekerja pada otak orang tersebut didominasi oleh gelombang Beta. Ketika seseorang tersebut mulai asyik dan rileks dengan pekerjaannya, maka gelombang yang mendominasi otaknya bergeser dari Beta ke Alpha. Kondisi inilah yang disebut dengan trance (dalam bahasa awam dikenal sebagai khusyu’). Trance merupakan suatu kondisi dimana pikiran sadar kita (conscious mind) telah meninggalkan kita dan pikiran bawah sadar (subconscious mind) telah memegang kendali seutuhnya terhadap tubuh kita. Semakin dalam orang memasuki daerah trance, maka semakin rendah gelombang otaknya yaitu turun menjadi Theta, untuk kemudian turun lagi menjadi Delta (dalam bahasa awam dikenal sebagai terhipnotis) (Erickson, 1948). Perubahan gelombang otak ini dapat diukur dengan menggunakan EEG (electroencephalograph). Melalui beberapa riset, diketahui pula bahwa kondisi trance dapat terjadi ketika seseorang berada dalam situasi terjaga/membuka mata (tidak tidur). Kondisi ini yang dikenal sebagai waking trance/waking hypnosis (Elman, 1964). Penggunaan istilah hipnosis kali pertama dicetuskan pada tahun 1841oleh seorang dokter Inggris bernama James Braid. Sebelum masa Braid, hipnosis dikenal dengan nama Mesmerism atau Magnetism. (Vitale, 2007). (Di Indonesia, hipnosis disebut dengan hipnotis, hipnotisme atau hipnosis: yang terakhir ini yang kita gunakan dalam artikel ini). Pada saat itu, Braid yang pernah melihat demonstrasi mesmerisme yang dilakukan oleh orang Prancis bernama La Fontaine, terkesan dengan demonstrasi tersebut, dan mulai menggunakan teknik mesmerisme dalam praktik kedokterannya. Dia menggunakan kotak lancet (sejenis pisau bedah) berwarna terang mengkilap untuk menuntun pasien masuk ke dalam aktifitas "tidur hipnosis." Dalam keadaan tidur tersebut, para pasien Braid akan dapat menerima saran Braid dengan baik. Braid menciptakan kata Neurypnology (yang secara harfiah mengandung arti 'tidur saraf'), dari kata Hypnos, seorang dewa Yunani yang tidur. Ini adalah penggunaan pertama dari kata hipnosis (Vitale, 2007)
138
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VII Bahasa, Sastra dan Budaya: Kaitannya dengan Isu-Isu Global
2015
Istilah waking hipnosis kali pertama kali dicetuskan oleh Wells (1924) dalam tulisannya berjudul “An Outline of Abnormal Psychology” untuk membedakan dua konsep yang berbeda yaitu konsep hipnosis yang selalu dilakukan dengan mata tertutup dan hipnosis yang dapat dilakukan dengan mata terbuka. Dengan kata lain, Wells ingin memberikan terobosan baru terhadap konsep hipnosis tradisional yang selalu menempatkan hipnosis sebagai konsep “tidur yang sadar” (conscious sleep) menjadi konsep yang lebih terbuka yaitu hipnosis sebagai konsentrasi sadar (awake concentration); bahwa seseorang yang matanya terbuka dapat menjadi “subjek” dari sugesti hipnosis. Dalam tulisan Wells (1924), tingkatan waking hipnosis tersebar dari low, up, medium hingga high. Ada banyak situasi dimana kita dapat dikategorikan berada dalam kondisi waking hipnosis seperti saat kita larut ketika membaca sebuah novel yang asyik atau berteriak-teriak tanpa terkendali ketika menonton konser penyanyi kesayangan. waking hipnosis dalam contoh yang pertama dinyatakan sebagai kondisi “berkonsentrasi penuh”, sedangkan waking hipnosis pada contoh yang kedua dikenal sebagai “histeria”. Menurut teori hipnosis, pikiran bawah sadar merupakan pikiran yang lebih banyak memegang kendali terhadap tindakan dan perilaku manusia, yang persentasenya berkisar 88% dibanding dengan pikiran sadar yang hanya 12%. Dengan demikian, penyampaian suatu ide/gagasan akan lebih dapat diterima secara efektif apabila dilakukan saat lawan bicara berada dalam situasi trance (Erickson dan Rossi, 1979) Teori ini dimanfaatkan dengan baik dewasa ini oleh kelompok masyarakat yang berhubungan dengan dunia komunikasi, media, maupun politik, yang bersentuhan langsung dengan urusan mempenguruhi orang banyak. Akibatnya, kita banyak melihat di media massa, baik itu cetak maupun elektronik, berbagai bentuk proposisi (ide, gagasan, penawaran, saran) dikemas dengan menggunakan gaya bahasa yang unik, yang semuanya memiliki tujuan yang sama yaitu mempersuasif masyarakat untuk melakukan, tidak melakukan, memilih, atau tidak memilih sesuatu. Inilah yang kita kenal sebagai gaya bahasa hipnosis dan kita analisis dalam artikel ini. Pola-pola bahasa hipnosis yang muncul di media massa selalu mengacu pada prinsip penyampaian sugesti yaitu penyampaian pesan kepada pikiran bawah sadar dengan gaya permisif berupa himbauan dengan pola tidak langsung. Pola-pola bahasa hipnosis selalu menghindari sugesti secara langsung yang bertipe Authorian yaitu perintah, karena biasanya, gaya bahasa ini kurang berhasil merubah pikiran maupun sikap masyarakat terhadap satu proposisi. Pola bahasa ini juga terkadang ambigu, atau mengambang, yang pada akhirnya membuat kita mencari-cari makna dari pesan yang disampaikan. Membuat orang lain mencari makna adalah tujuannya. Karena hasil temuan makna yang dilakukan secara tanpa sadar oleh diri sendiri memberikan pengaruh afeksi yang sangat kuat pada seseorang daripada makna tersebut dikirimkan oleh orang lain. Inilah yang dikenal sebagai Transderivational Search. Melalui teori psikologi di atas, dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, apabila kita mampu membawa seseorang kepada kenyamanannya, maka dapat dipastikan kita dapat memberikan sugesti/informasi yang bersifat persuasif atau yang bersifat ajakan, dengan mudah. Kedua, kita akan dapat memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain ketika komunikasi verbal kita didahului oleh komunikasi verbal yang bersifat empatik. Dengan komunikasi empatik ini, seseorang bukan saja nyaman berdiskusi dengan kita, tapi juga membuat terjembataninya emosi antara kita dengan lawan bicara kita. Ketiga, komunikasi kita akan semakin powerful ketika kita mampu memanfaatkan pola bahasa hipnosis dalam komunikasi kita yang ditujukan dalam rangka persuasif. Kuatnya pengaruh bahasa hipnosis dapat ditemukan pada beberapa contoh; seperti jargon yang digunakan oleh pasangan SBY–JK di pemilu tahun 2004, jargon dari Barrack Obama, dan bahasa kampanye calon walikota Bandung Dada Rosada. Pola yang digunakan SBY–JK dan Barrack Obama memiliki kesamaan, yaitu sama-sama menggunakan modal operator “bisa” atau “can” dalam bahasa Inggris. SBY–JK menggunakan slogan ”Bersama Kita Bisa!” sedangkan Obama menggunakan slogan yang senada yaitu: ”Yes!, We Can” Manjurnya bahasa hipnosis pada akhirnya membuat kita paham mengapa para motivator selalu menggunakan kata “Bisa” dalam setiap acara motivasi dan secara cepat kita dipaksa untuk meresponnya dengan mengatakan ”ya!, saya bisa!” pada diri sendiri (Isman, 2008). Kampanye pasangan Dada Rosada dan Ayi Vivananda, juga mengandung pola bahasa hipnosis. Slogan yang berbunyi ”Persib harus juara, Persib harus No.1” menggunakan bahasa hipnosis dengan pola Association, yang mana nomor calon walikota (nomor 1) di ”asosiasikan” dengan keyakinan 99% warga Bandung, yaitu ”Persib harus juara, dan demikian juga nomor 1”. Pola Association ini juga digunakan Jusuf Kalla untuk mengkomunikasikan nomor parpolnya, Partai Golkar. Bahasa kampanyenya yang berbunyi ”selamat menunaikan ibadah puasa, dan jangan lupa shalat tarawih entar malam ” disampaikan Jusuf Kalla
139
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VII Bahasa, Sastra dan Budaya: Kaitannya dengan Isu-Isu Global
2015
ketika ummat Islam di Indonesia melaksanakan ibadah puasa. Ketika menyampaikan pesannya, Jusuf Kalla berdiri disamping gambar Partai Golkar dengan nomor 23. Ini mengingatkan kita pada besarnya jumlah ummat Islam di Indonesia yang melaksanakan shalat tarawih 23 rakaat (Isman, 2008). Sebenarnya ada banyak studi terkait bahasa hipnosis telah dilakukan oleh para pakar yang kebanyakan dilakukan oleh orang asing seperti yang dilakukan oleh Hilgard, LeBaron, Fowkes, Zeltzer dan Fanurik (1982, 1989, 1996a, 1996b, ); Katz, Kellerman dan Ellenberg (1987); Kuttner, Bowman, dan Teasdale (1988); Olness (1981); Siegel dan Peterson (1981); Zeltzer dan LeBaron (1986); Olness dan Gardner (1988); Zeltzer (1984); dan Zeltzer and LeBaron (1986). Banyaknya studi pendahulu ini menandakan bahwa hipnosis di luar negeri bukanlah barang asing serta telah banyak dikenal dan digunakan. Studi yang telah disebutkan di atas memiliki kesamaan yaitu membahas tentang manfaat hipnosis yaitu sebagai pengurang rasa sakit dalam dunia kedokteran. Studi-studi yang lain seperti yang dilakukan oleh Channon (1981), Griffiths (1989, 1995a, 1995b, 1993); Calof (1986), Hall & McGill (1986); Holgate (1984); Lankton dan Lankton, (1983); Thiessen (1983); Túry & Szabó, (1990); Vanderlinden dan Vandereycken (1988), dan beberapa studi yang sejenis lainnya, juga memotret hipnosis melalui perspektif psikologi dan kedokteran. Pada kelompok kedua ini, kesamaannya adalah studi-studi tersebut membahas tentang manfaat hipnosis untuk merubah perilaku seperi kecemasan yang berlebihan, merokok, susah untuk berhenti mengemil dan kebiasaan-kebiasaan buruk lainnya. Sama seperti kelompok studi sebelumnya, kelompok studi ini dilakukan oleh orang-orang luar negeri. Di Indonesia sendiri, keberadaan hipnosis kurang mendapat perhatian mengingat dari pengamatan penulis, hanya beberapa pakar yang melakukan penelitian di area ini seperti yang dilakukan oleh Maliya (2011) dan Herawati (2011). Studi terdahulu yang ada di Indonesia tersebut memberikan gambaran terkait bahasa hipnosis yang ada di masyarakat melalui perspektif yang sama yaitu psikologi dan hampir seluruhya memotretnya dalam skop terbatas yaitu terbatas pada manfaat dan pengaruhnya untuk tujuan kesehatan dan/atau pendidikan. Meskipun telah ada yang melakukan studi pendahuluan, tidak ada satupun dari studi tersebut yang benar-benar melihat hipnosis sebagai sebuah fenomena kebahasaan dan menganalisisnya melelui pendekatan kebahasaan (linguistik). Padahal, hipnosis sendiri menggunakan linguistik sebagai medianya. Atas latar belakang inilah artikel ini di tulis. Karena literatur-literatur teoretis terkait bahasa hipnosis dalam cakupan linguistik jumlahnya sangat sedikit, bisa jadi, tulisan ini merupakan solusi dari ketiadaan literatur hipnosis melalui perspektif linguistik. Penelitian ini menggunakan poster atau tepatnya poster yang berisi layanan masyarakat sebagai sumber datanya. Dipilihnya poster layanan masyarakat sebagai sumber data atas dua pertimbangan; (1) poster layanan masyarakat banyak mengandung bahasa persuasif yang didalamnya mengandung pola-pola hipnosis, (2) karena sifatnya layanan masyarakat, maka karakternya akan sangat jauh berbeda dari poster komersiil yang bahasanya cenderung glaumor, fantastis, dan kebenarannya kurang bisa diukur. Secara garis besar, artikel ini sangat dipengaruhi oleh ide-ide dan gagasan yang ditulis oleh master hipnotis dunia yaitu Erickson beserta koleganya Rossi (1979). Meskipun gagasan Ericson dan Rossi banyak menginspirasi artikel ini, namun penulis meyakini bahwa artikel ini masih bersifat sangat luwes karena faktafakta linguistis yang tidak tercakup dalam teori Ericson dan Rossi, juga ditampilkan dalam artikel ini. METODOLOGI Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Agar pembahasan terhadap permasalahan di atas tidak melebar, maka bahasa hipnosis yang akan dianalisis adalah bahasa hipnosis yang muncul dalam Poster Layanan Masyarakat yang dapat dijumpai dengan cara melakukan browsing dengan menggunakan alat browsing ”google” dengan menggunakan kata kunci”Poster Layanan Masyarakat” beserta variannya. Ada 95 poster layanan masyarakat yang oleh penulis dianggap mengandung bahasa hipnosis. Dari 95 poster layanan bermuatan hipnosis tersebut, hanya beberapa yang ditampilkan dan dibahas dalam artikel ini mengingat terbatasnya jumlah halaman artikel ini. Beberapa yang dibahas dalam artikel ini dianggap dapat merepresentasi varian dari gahasa hipnosis beserta muatannya. Metode pengambilan data yang digunakan adalah metode observasi nonpartisipan (Chaika,. 1982) dengan teknik dasar teknik sadap yang disambung dengan teknik lanjutan yaitu teknik rekam dan catat. Metode analisis data yang dilakukan adalah metode korelasi dengan menggunakan korelasi “faktor kunci”. Adapun faktor kuncinya adalah langue lain. Metode penyajian hasil analisis data adalah metode informal.
140
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VII Bahasa, Sastra dan Budaya: Kaitannya dengan Isu-Isu Global
2015
PEMBAHASAN Pola-pola Bahasa Hipnosis dalam Poster Layanan Masyarakat Dalam bukunya, Erickson beserta koleganya Rossi (1979), mengenalkan tujuh pola induksi melalui bahasa yaitu (1) The "Yes Set" (2) The Bind and Double Bind Question, (3) The Conscious-Unconscious Double Bind, (4) The Double-Dissociation Double Bind, (5) The Non Sequitur Double Bind, (5) Unconscious and Metacommunication, dan (7) Open-Ended Suggestion. Melalui teori-teorinya terkait bahasa hipnosis ini, Ericson menjelma menjadi tokoh sentral dalam pengembangan hipnosis internasional. Berdasarkan hasil analisis data terhadap ke-95 Poster yang mengandung bahasa hipnosis, dijumpai fakta bahwa beberapa pola induksi Erickson dan Rossi tersebut dijumpai keberadaannya dalam data. Di dalam data, dijumpai juga polapola induksi yang tidak disebutkan oleh Ericson. Adapun rekap keseluruhan pola induksi yang dijumpai ada dalam table berikut. Tabel: Pola bahasa hipnosis dan frekwensinya No Pola Bahasa Hipnosis Frekwuensi Kemunculan 1 Ikat Tunggal 2 2 Semi Ikat Ganda 4 3 Ikat Ganda 2 4 Temporal 3 5 Tebak Pikir 2 6 Generalisasi 2 7 Tumbuh-Sadar 2 8 Sebab Akibat 4 9 Paket Sepakat 2 10 Modal Operator 2 11 Asosiasi 5 12 Perintah Terselubung 8 13 Pemakaian Pun 10 14 Penegas 2 15 Eritoris 16 16 Sinikal 2 17 Sarkasme 2 18 Presupposisi 12 19 Penuntun dengan Penutup Apostrof 2 Total 84 Belum teridentifikasi (Butuh Literatur Lebih Banyak Serta Kajian 11 Lebih dalam) TOTAL 95 Dari table di atas, kita dapat melihat bahwa data penelitian ini berjumlah 95 buah. Dari 95 data tersebut, terdapat 84 data yang masuk ke dalam 19 klasifikasi pola bahasa hipnosis yang berbeda. 11 data belum teridentifikasikan dengan baik mengingat waktu yang dimiliki penulis untuk menyelesaikan artikel ini sangat terbatas, dan literatur yang dimiliki penulis sementara ini belum cukup mumpuni untuk mampu mengidentifikasi ke-11 data tersebut. Dari sebaran data, kita dapat melihat pola hipnosis yang paling banyak digunakan pembuat poster yaitu pola Eritoris (16 data) disusul oleh presupposition (12 data) dan pemakaian Pun (10) data. Sebaran ini menunjukkan dua hal, yaitu; (1) ketika artikel ini dibuat, trend yang berkembang di Indonesia dalam hal penggunaan bahasa hipnosis dalam poster layanan masyarakat mengarah pada ketiga besar pola hipnosis. (2) banyaknya variasi bahasa hipnosis yang mencapai 19 jenis memberikan simpulan bahwa pembuat poster dianggap cukup kreatif dan percaya diri untuk tidak mengikuti hanya satu aliran pola bahasa hipnosis saja. Adapun deskripsi yang lebih jelas terkait keseluruhan pola induksi yang dijumpai dalam table, ada pada paragraph-paragraf di bawah ini.
Pola yang pertama yang dijumpai pada data adalah “Ikat Tunggal”. Pola ini memiliki karakter linguistik yang khas yaitu memiliki amplifier (penguat) yang berfungsi memperkuat proposisi yang kita tawarkan kepada pembaca poster untuk tujuan komunikatif. Dalam data, pola ini dapat dibagi lagi menjadi dua jenis yaitu “Pola Justru” dan “Pola Bahkan.” Lihat dua poster berikut: 141
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VII Bahasa, Sastra dan Budaya: Kaitannya dengan Isu-Isu Global
2015
“Pola Justru” memiliki fungsi untuk membalikkan informasi yang didapat untuk memperkuat tujuan komunikasi pembuat poster. Penguatan ini jelas terlihat karena apabila kita parafrasa kalimat di atas, akan menimbulkan pemahaman “Justru dengan sakit itulah kamu tersadar bahwa sakit itu nikmat. Justru pada saat kamu jauh dari keluargamu kamu sadar bahwa bersama keluarga adalah saat yang membahagiakan”. Sugesti yang ditanamkan, Jangan terlalu sedih jika sakit atau jauh dari keluarga, karena ketika anda mengalami dua hal kurang menyenangkan tersebut, anda mendapatkan sesuatu yang positif. Sama seperti “Pola Justru,” “Pola Bahkan” juga memiliki amplifier yang berfungsi memperkuat informasi yang sebelumnya sudah kita dapatkan. Kata “Bahkan” adalah amplifier dari proposisi yang berfungsi memperkuat informasi yang sebelumnya sudah kita sebutkan. Dalam contoh kalimat: “Bahkan pada umur 26 tahun ia mempunyai empat bisnis yang beromzet USS 20 Juta” adalah contoh jenis pola ini. “Bahkan” memberikan penguat terhadap informasi sebelumnya yaitu “karena sejak kecil ia terlatih berbisnis, ia untung besar.” Sugesti yang ditanamkan adalah: “Jangan takut berbisnis” Pola kedua adalah “Semi Ikat Ganda”. Pola ini memiliki dua karakter linguistik yang khas yaitu; memiliki proposisi (ide/gagasan/produk) tunggal, dan memiliki amplifier yang khas yaitu berupa pilihan yang ditawarkan kepada lawan bicara namun kedua pilihan adalah pilihan tertutup yang bersifat memaksa secara halus untuk memilih satu dari dua pilihan yang apapun pilihannya pemilih pasti memilih secara akal sehat memilih pilihan yang sejalan dengan kemauan pembuat poster. Contoh dari pola ini ada pada kalimat “Pilih mana, bayar denda karena nyampah atau traktir aku?” Dengan menggunakan pola ini, pembuat poster mengarahkan jawaban untuk memilih jawaban mentraktir si artis dengan uang yang dia dapatkan dari penghematan dengan cara tidak membuang sampah di luar tempatnya. Sugesi yang didapat: Buang sampah pada tempatnya agar tidak perlu membayar denda, dan uangnya bisa dipakai untuk mentraktir orang yang dikasihi.
Pola ketiga adalah “Ikat Ganda”. Pola ini memiliki dua karakter linguistik yang khas yaitu; memiliki proposisi (ide/gagasan/produk) tunggal, dan memiliki amplifier yang khas yaitu berupa dua pilihan leksikal semu yang ditawarkan kepada lawan bicara seperti yang terlihat pada kalimat poster berikut “Sedikit atau banyak, tetap aja namanya korupsi. Hukumnya haram.” Pembaca disilahkan melakukan korupsi sedikit atau banyak tapi tetap saja itu hukumnya haram.
142
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VII Bahasa, Sastra dan Budaya: Kaitannya dengan Isu-Isu Global
2015
Pola bahasa hipnosis keempat adalah “Temporal,” yaitu pola yang menggunakan leksikon-leksikon yang merujuk pada tempo (waktu), Leksikon temporal yang dimaksud antara lain; sebelum, setelah, sesaat, ketika. “Kalimat matikan rokok anda sebelum rokok mematikan anda” adalah contoh dari pola temporal. Sugesti yang ditanamkan, ditegaskan pada kata “Sebelum,” yang maknanya mumpung belum terjadi, maka lakukanlah, mumpung anda belum sakit parah akibat menghisap rokok, maka berhentilah anda menghisap rokok.
Pola bahasa hipnosis kelima adalah “Tebak Pikir”. Pola ini merupakan jenis pola bahasa hipnosis yang memiliki karakter menyampaikan sebuah info yang sebetulnya masih berada dalam tataran minda seorang pembaca poster, tetapi oleh pembuat posternya, bahasa hipnosis jenis ini diungkapkan dalam sebuah pernyataan seakan-akan pembuat poster mengetahui apa yang ada dalam minda pembaca posternya. Pertanyaan “anda merasa membayar listrik selalu mahal? mengganggu ekonomi keluarga?” adalah contoh dari jenis hipnosis Tebak Pikir. Gaya bahasa di atas dibuat seakan-akan pembuat poster mengetahui bahwa pembaca poster merasa listrik adalah mahal, dan mengganggu ekonomi keluarga, padahal pembuat poster sebenarnya belum tahu apa yang ada dalam pikiran pembaca poster.
Pola keenam adalah “Generalisasi”. Generalisasi adalah pernyataan universal dengan cara menjadikan satu contoh sebagai representasi dari beberapa contoh yang lain. Contoh dari hipnosis dengan cara ini ada pada poster layanan masyarakat yang dikeluarkan oleh dinas pajak yang berbunyi “Orang Indonesia tertib bayar pajak lho.” Frasa “Orang Indonesia” mengandung generalisasi karena tidak membatasi cakupannya, apakah orang Indonesia tua, muda, laki-laki atau perempuan, anak-anak maupun dewasa. Dalam perundang-undangan, hanya kelompok masyarakat dewasa sajalah yang memiliki kewajiban membayar pajak. Kelompok masyarakat yang belum dewasa, tidak mungkin membayar pajak karena mereka tidak punya penghasilan dan karenanya ditanggung oleh orang tua mereka. Selain itu, tidak semua orang dewasa tertib membayar pajak, karena banyak diantara orang Indonesia, terkadang suka terlambat membayar pajak bahkan tidak membayar pajak sama sekali.
143
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VII Bahasa, Sastra dan Budaya: Kaitannya dengan Isu-Isu Global
2015
Pola bahasa hipnosis ketujuh adalah “Tumbuh-Sadar”. Tujuan menggunakan pola ini adalah membuat pembaca poster menyadari sesuatu yang tidak dia ketahui atau tidak dia kerjakan. Leksikon yang menjadi pencirinya adalah leksikon-leksikon seperti “menyadari”, “memahami”, atau “menemukan”. Contoh pola ini ada pada kalimat “Apakah anda menyadari bahwa 1 sampah elektronik setara dengan 100 material berbahaya? Think before throw”. Sugesti yang ingin ditanamkan adalah “Sampah anda berbahaya, karenanya buanglah ditempat yang benar.”
Pola bahasa hipnosis kedelapan adalah “Sebab-Akibat” Pola ini menggunakan pasangan leksikon “jika—maka”, atau “jika—artinya”, dan lain sebagainya. Pola ini menjelaskan bahwa sesuatu bisa terjadi karena disebabkan adanya sesuatu yang lain terjadi. Contoh pola ini ada pada kalimat “Akibat korupsi, kepercayaan kepada partai politik anggota legislatife semakin berkurang”. Pada kalimat tersebut, kata “korupsi menjadi sebab, sedangkan ungkapan “kepercayaan kepada partai politik anggota legislatife semakin berkurang” menjadi akibatnya. Sugesti yang ingin ditanamkan adalah “banyak hal negatif terjadi karena korupsi.
Pola bahasa hipnosis sembilan adalah “Paket-Sepakat”. Pola bahasa ini ditandai dengan adanya 2-3 pernyataan yang merujuk pada satu topik. Jika Anda menyebutkan pernyataan 1 adalah benar, demikian juga pernyataan 2, maka pernyataan ke-3 atau setelahnya, (sugestinya) oleh pembaca poster akan dianggap benar. Contoh pola bahasa ini ada pada tiga kalimat yang ada pada poster berikut yaitu; kalimat “(1) Meraih masa depan perlu perjuangan (benar), (2) menggapai kesuksesan perlu kerjakeras (benar), (3) mempertahankan keberadaannya (listrik) perlu keperdulian (juga benar karena ini sama dengan perjuangan dan kerjakeras). Sugesti yang ditanamkan adalah tunjukkan keperdulian anda pada listrik.
144
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VII Bahasa, Sastra dan Budaya: Kaitannya dengan Isu-Isu Global
2015
Pola bahasa hipnosis kesepuluh adalah pola penggunaan “Modal Operator”. Pola bahasa ini memanfaatkan Modal (bisa, harus, mungkin, dan sejenisnya) sebagai alat (operator) untuk mensugesti pembaca poster dengan cara membuat orang bertanya-tanya dalam benak mereka, “bisa buat apa?” atau ”apa yang mereka bisa?” Saat mereka tidak sadar sedang bertanya pada diri mereka sendiri, lantas memunculkan jawaban versi mereka sendiri, pada saat itulah mereka sebenarnya telah tersugesti untuk melakukan atau tidak melakukan, memilih atau tidak memilih sesuatu. Contoh pola ini ada pada kalimat “Kalau mereka bisa, kenapa kita nggak?” Kata “Bisa” menjadi operator yang menumbuhkan sugesti pembaca poster untuk bertanya pada diri mereka, bisa apa? atau apa mereka bisa seperti dua anak kecil yang ada dalam poster?. Sugesti yang ditanamkan, buanglah sampah pada tempatnya, karena anak kecil saja bisa melakukan hal tersebut.
Pola bahasa hipnosis kesebelas adalah “Asosiasi”. Pola bahasa ini terbentuk dengan cara menyamakan topik dengan benda lain (menyimbolkan sesuatu dengan sesuatu yang lainnya karena kesamaan sifat). Contoh pola ini ada pada kalimat “Sebatang lidi menjadi kuat bila menjadi sapu. Sebuah
bangsa menjadi kuat bila tetap bersatu.” Dengan menggunakan pola ini, pembuat poster menyamakan sebuah bangsa dengan lidi yang akan mudah patah jika hanya sendiri, dan akan kuat jika bersatu dan tidak terpecah belah. Sugesti yang didapat adalah “Kita harus bersatu”!
Pola keduabelas adalah pola “Perintah Terselubung” yaitu pola bahasa yang menyelipkan kalimat perintah dalam sebuah pernyataan. Contoh dari pola ini ada pada poster yang di dalamnya terdapat kalimat: “Jauhi Penyebabnya, Bukan Penderitanya”. Dengan menggunakan pola ini, pembuat poster bermaksud menyelipkan kata perintah terselubung agar pembaca poster menjauhi narkoba, dan segera mangani orang
145
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VII Bahasa, Sastra dan Budaya: Kaitannya dengan Isu-Isu Global
2015
yang kecanduan narkoba, bukan malah menjauhinya. Sugesti yang didapat adalah kita menjauh dari narkoba, kita tidak meninggalkan penderita narkoba.
Pola ketigabelas adalah pola penggunaan Pun. Pun dalam The Compact Edition of the Oxford English Dictionary (1975) didefinisikan sebagai “penggunaan serangkaianan kata dengan pola tertentu untuk membentuk dua atau lebih makna atau asosiasi yang berbeda, atau penggunaan dua atau lebih kata yang memiliki suara yang mirip atau bahkan sama dalam rangka untuk menciptakan efek humor.” Dalam data, ditemukan dua jenis Pun yaitu Polisemi, dan Parronimi. Pun Polisemi oleh Delabastita (1993) didefinisikan sebagai Pun yang menggunakan kata yang mengandung polisemi yaitu satu kata memiliki makna yang berbeda seperti kalimat dalam poster “Merokok membuat anda rileks”. Kata Rileks dalam poster tersebut secara harfiah dimaknai sebagai kondisi dimana seluruh jiwa dan raga kita berada dalam ketenangan, serta seluruh bagian-bagian tubuh kita bekerja secara santai. Dalam konteks poster ini, kata rileks yang dimaksud bukan kata rileks yang biasanya, tetapi rileks yang berlebihan yaitu kondisi dimana tubuh tidak melakukan kegiatan biologis sama sekali atau dengan kata lainnya “mati”. Sugesti yang ditanamkan adalah “Merokok itu mematikan”.
Pun Paronimi oleh (Schröter 2005:182) didefinisikan sebagai Pun yang menggunakan jenis-jenis kata yang mirip namun tidak identik baik itu secara prafemik maupun secara fonetik. Contoh pola ini dijumpai keberadaannya dalam data atau dalam kalimat pada poster “Semakin cepat motor anda, semakin dekat anda dengan tuhan.” Pembuat poster menggunakan Pun dengan cara mengganti kata “Tujuan” menjadi “Tuhan” selain untuk menciptakan humor, juga mengalihkan makna dari “Tujuan” yang bermakna netral, menjadi “Tuhan” (kematian) yang bermakna negatif. Sugesti yang ditanamkan adalah “Ngebut itu mematikan” Pola keempatbelas adalah pola “Penegas” yang menggunakan “kata sifat” sebelum “kata benda” dan menggunakan “kata keterangan” sebelum “kata kerja” Contoh dari pola ini ada dalam kata “Hebatnya” pada kalimat “Hebatnya berbagi. Ia bersifat menambah kekayaan dan memunculkan ketenangan”. Sugesti yg ditanamkan: Berbagi itu hebat. maka berbagilah.
146
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VII Bahasa, Sastra dan Budaya: Kaitannya dengan Isu-Isu Global
2015
Pola kelimabelas adalah Eritoris. Eritosis adalah semacam pertanyaan yang digunakan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar serta sama sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaban (Keraf, 1990). Pola ini paling banyak dijumpai dalam data (16 buah). Adapun contoh Eritoris ada dalam kalimat “Tahukah anda bahaya rokok itu apa? Musuh besar yang akan segera membunuh anda” Pembuat poster menggunakan pertanyaan tersebut tidak dalam rangka menggali informasi tentang bahaya rokok, tetapi untuk mengarahkan opini masyarakat bahwa rokok itu adalah berbahaya. Sugesti yg ditanamkan adalah: Rokok itu berbahaya.
Pola keenambelas adalah “Sinikal”. Sinikal didefinisikan sebagai suatu sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. (Keraf, 1990). Pola hipnosis dengan Sinikal dapat dilihat pada kalimat “Mosok Anakmu dijual koyok barang? Gak pantes! Sugesti yg ditanamkan adalah: Jangan jual anakmu!
Pola ketujuhbelas adalah “Sarkasme.” Sarkasme merupakan suatu acuan yang lebih kasar dari sinikal yang mengandung kepahitan dan celaan yang getir, yang akan selalu menyakiti hati dan kurang enak didengar. Kata sarkasme diturunkan dan kata Yunani sarkasmos, yang lebih jauh diturunkan dan kata kerja sakasein yang berarti “merobek-robek daging seperti anjing”, “menggigit bibir karena marah”, atau “berbicara dengan kepahitan” (Keraf, 1990). Pola ini dapat dilihat pada kalimat dalam poster yang berbunyi “Kadung nyemplung…ora bisa mentas tho…? Rasakno! Think again. Sugesti yg ditanamkan adalah “jangan mengkonsumsi alkohol”
147
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VII Bahasa, Sastra dan Budaya: Kaitannya dengan Isu-Isu Global
2015
Pola delapanbelas adalah Presupposisi. Pola ini menyelipkan asumsi ke dalam pernyataan. Dalam data, diketahui bahwa pola ini dapat terbagi menjadi dua macam yaitu Presupposisi Esensial dan Presupposisi Faktif.
Kalimat “Orang tua adalah sahabat sekaligus guru bagi anak-anak” menyelipkan asumsi bahwa di dunia ini masih terdapat orang tua yang berfungsi sebagai sahabat sekaligus guru bagi anak-anak. Sugesti yg ditanamkan: “masih ada orang tua yang baik”. Kalimat ini menyelipkan presuposisi eksistensial yang merujuk pada “keberadaan orang tua dengan sifat yang seperti itu” Sedangkan kalimat “Belanja rokok orang Indonesia sebesar Rp. 97 triliun menyelipkan asumsi yang sifatnya faktual bahwa saat ini memang belanja rokok orang Indonesia sangatlah besar. Sugesti yg ditanamkan: “merokok itu boros”. Pola kesembilan belas adalah pola “Penuntun dengan Penutup Apostrof”. Pola ini menuntun pembaca untuk mengikuti apa yang diinginkan pembuat poster. Bahasa hipnosis dimunculkan dengan cara memaparkan beberapa fakta dan menutup fakta tersebut dengan Apostrophe, yaitu penyebutan seseorang atau sejumlah persona yang tidak hadir untuk menghadirkan gambaran persona atau entitas lain yang diberi ciri insani (Keraf, 1990). Contoh dari pola ini ada pada gambar di bawah. pada gambar tersebut, terlebih dahulu pembuat poster memaparkan fakta tentang perbedaan paru-paru perokok dan bukan perokok. Fakta ini menuntun pembaca untuk memiliki kesaman persepsi dengan pembuat poster bahwa merokok itu bahaya bagi kesehatan paru-paru. Pada bagian akhir, terdapat pronominal “Mereka” (Orang ketiga jamak) yang disebut sebagai kelompok yang beranggotakan “Orang-orang yang kondisinya tidak labil, dan sadar. Penyebutan kata “Mereka” juga menuntun pembaca poster untuk menggolongkan diri pembaca sebagai “mereka” karena jika tidak memasukkan diri kedalam kelompok mereka, maka pembaca akan dianggap sebagai orang yang “labil” dan “tidak sadar” Sugesti yg ditanamkan: Jika anda perokok, anda tidak cerdas serta labil.
148
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VII Bahasa, Sastra dan Budaya: Kaitannya dengan Isu-Isu Global
2015
Daya Bahasa Hipnosis dalam Poster Layanan Masyarakat Dari hasil analisis penulis, diketahui bahwa setiap poster yang mengandung bahasa hipnosis mengandung setidaknya enam daya hipnosis yang dikenal dengan formula TINDAk, yaitu Tarik (the power to Attract), Ingat (the power to make people to recall), Negosiasi (the power to make people to negotiate), Dorong (the power to push people to do), Aksi (the power to make people to act). Setiap poster yang mengandung bahasa hipnosis memiliki daya “Tarik” yang membuat poster-poster tersebut dapat diperhatikan oleh pembacanya. Daya Tarik ini dapat diraih dengan menggunakan pola-pola bahasa hipnosis serta berbagai bentuk tanda nonlingual lainnya yang mendukung bahasa hipnosis tersebut seperti gambar, ortograf, dan warna. Rasa tertarik ini juga dapat diperkuat oleh keorisinilan penampilan dan penyusunan bahasa hipnosis, serta adanya perangkat-perangkat tertentu dalam poster yang disampaikan dengan menggunakan bahasa hipnosis pula seperti pencantuman kupon bagi yang telah atau tidak melakukan sesuatu, undangan untuk mencoba atau tidak mencoba melakukan sesuatu dan iming-iming berbahasa hipnosis lainnya.
Setiap poster yang mengandung bahasa hipnosis memiliki daya “Ingat” untuk membuat pembacanya mengingat hal-hal yang seharusnya mereka lakukan atau tidak mereka lakukan. Daya Ingat (recall) sangat erat hubungannya dengan retrival stage, salah satu tahapan dalam mengingat informasi. Dimana dalam proses mengingat informasi terdapat 3 tahapan yaitu memasukkan informasi (encoding), penyimpanan (storage), dan mengingat (retrieval). Retrieval berkaitan dengan proses menimbulkan kembali hal-hal yang disimpan dalam ingatan. Proses mengingat kembali merupakan suatu proses mencari dan menemukan informasi yang disimpan dalam memori untuk digunakan kembali bila dibutuhkan. Walgito, (2010) menyebutkan bahwa dalam hal ini menimbulkan kembali ingatan yang sudah disimpan, dapat menggunakan beberapa cara yaitu: Recall, adalah proses mengingat kembali informasi yang dipelajari di masa lalu tanpa petunjuk yang dihadapkan pada organisme. Recognize, adalah proses mengenal kembali informasi yang sudah dipelajari melalui suatu petunjuk yang dihadapkan pada organism, sedang Redintegrative, adalah proses mengingat dengan menghubungkan berbagai informasi menjadi suatu konsep atau cerita yang cukup kompleks. Setiap poster yang mengandung bahasa hipnosis memiliki daya “Negosiasi” yang dapat membuat pembaca menegosiasikan pesan yang terkandung di dalam poster tersebut, yang nantinya akan melahirkan pilihan-pilihan untuk dilakukan. Biasanya pilihan-pilihan tersebut berupa pilihan untuk melakukan apa yang terkandung dalam poster atau tidak. Semakin urgen pesan yang terkandung dalam poster, serta semakin kuat daya hipnosis bahasa-bahasa penyusun poster, maka semakin kuat pula kekuatan untuk memaksa pembaca menegosiasikan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. Setelah melalui proses negosiasi, maka pembaca akan dipapar oleh daya hipnosis lainnya yaitu daya “Dorong”. Daya Dorong ini menciptakan keinginan pembaca untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dipesankan dalam poster. Daya Dorong ini juga memunculkan keyakinan bahwa pembaca memang layak untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang dipesankan oleh poster. Daya hipnosis selanjutnya adalah daya “Aksi”. Tingkatan daya hipnosis tiap poster berbeda-beda. Perbedaan inilah yang menentukan Akhir (Ending) dari proses panjang berpikir pembaca sebelum memulai aksi. Ada bahasa hipnosis yang langsung memunculkan aksi (atau tidak melakukan aksi), namun ada juga yang perlu menunggu jeda hingga aksi/tidak melakukan aksi dilaksanakan. Ini sekali lagi bergantung pada urgensitas pesan yang terkandung dalam poster, serta semakin kuat daya hipnosis bahasa-bahasa penyusun poster. Beberapa poster layanan masyarakat memang ditujukan hanya untuk mengingatkan, yang lainnya membangun keinginan untuk masa yang akan datang, tetapi beberapa lainnya mengharapkan aksi segera.
149
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VII Bahasa, Sastra dan Budaya: Kaitannya dengan Isu-Isu Global
2015
SIMPULAN Ada 95 poster layanan masyarakat yang oleh penulis dianggap mengandung bahasa hipnosis. Dari 95 poster layanan bermuatan hipnosis tersebut, hanya beberapa yang ditampilkan dan dibahas dalam artikel ini mengingat terbatasnya jumlah artikel ini. Beberapa yang dibahas dalam artikel ini dianggap dapat merepresentasi varian dari gahasa hipnosis beserta muatannya Dari analisis data ditemukan 19 jenis pola bahasa hipnosis antara lain Ikat Tunggal, Semi Ikat Ganda, Ikat Ganda, Temporal, Tebak-Pikir, Generalisasi, Tumbuh-Sadar, Sebab-akibat, Paket-sepakat, Modal Operator, Asosiasi, Perintah Terselubung, Pemakaian Pun, Penegas, Eritoris, Sinikal, Sarkasme, Presupposisi, dan Penuntun dengan Penutup Apostrof. Dari hasil analisis penulis, diketahui bahwa setiap poster yang mengandung bahasa hipnosis mengandung setidaknya enam daya hipnosis yang dikenal dengan formula TINDAk, yaitu Tarik, Ingat, Negosiasi, Dorong, dan Aksi. Ada bahasa hipnosis yang langsung memunculkan aksi (atau tidak melakukan aksi), namun ada juga yang perlu menunggu jeda hingga aksi/tidak melakukan aksi dilaksanakan. REFERENSI --. (1975). definisi Pun dalam The Compact Edition of the Oxford English Dictionary. New York: Oxford University Press. Calof, D. L. (1986) Brief hypnotherapy in a case of bulimia nervosa. In E. T. Dowd, & J. M. Healy (Eds.). Case studies in hypnotherapy (pp. 147–165). New York: Guilford Press. Channon, L. D. (1981). Modification of the affect-bridge technique in weight control. Australian Journal of Clinical and Experimental Hipnosis, 32, 356–361. Chaika, Elaine. 1982. Language the Social Mirror. Massachussetts: Newbury House Publishers, Inc. Delabastita, D. (1993). There's a Double Tongue: An investigation into the translation of Shakespeare's wordplay, with special reference to Hamlet (Vol. 11). Rodopi. Elman, Dave. 1964. Hypnotherapy. Glendale, CA: Westwood Publishing. Erickson, M., & Rossi, E. (1979). Hypnotherapy: An exploratory casebook. New York: Irvington Erickson, M. H. (1948). Hypnotic psychotherapy. The Medical Clinics of North America, May. Juga dalam E. L. Rossi (Ed.)(1980). Collected papers of Milton H. Erickson, Vol. IV: Innovative hypnotherapy (pp. 35–48). New York: Irvington. Griffiths, R. A. (1989). Hypnobehavioural treatment for bulimia nervosa: Preliminary findings dalam Australian Journal of Clinical and Experimental Hipnosis, 17, 79–87. Griffiths, R. A. (1995a). Two-year follow-up findings of a hypnobehavioural treatment programme for bulimia nervosa dalam Australian Journal of Clinical and Experimental Hipnosis, 23, 135–144. Griffiths, R. A. (1995b). Hypnobehavioural treatment for bulimia nervosa: A treatment manual dalam Australian Journal of Clinical and Experimental Hipnosis, 23, 25–40. Griffiths, R. A., & Channon-Little, L. (1993). The hypnotisability of patients with bulimia nervosa and partial syndromes participating in a controlled treatment outcome study dalam Contemporary Hipnosis, 10, 81–87. Hall, J. R., & McGill, J. C. (1986). Hypnobehavioural treatment of self-destructive behaviour. Trichotillomania and bulimia in the same patient dalam American Journal of Clinical Hipnosis, 29, 39–46. Herawati, Netty (2011). Pengaruh Metode Hypnoquantum Teaching terhadap Motivasi Belajar Mahasiswa dalam Pamator, Volume 4, Nomor 1, April, 57-64 Hilgard, J. R., & LeBaron, S. W. (1982). Relief of anxiety and pain in children and adolescents with cancer: Quantitative measures and clinical observations dalam International Journal of Clinical and Experimental Hipnosis, 30, 417–442. Holgate, R. A. (1984). Hipnosis in the treatment of bulimia nervosa: A case study. dalam Australian Journal of Clinical and Experimental Hipnosis, 12, 105–112. Isman, Muhammad. 2008. Pola Bahasa Hipnosis dan Kampanye Politik. :http//muhammadisman. blogspot.com.. disadap pada 4 Mei November 2015 Katz, E. R., Kellerman, J., & Ellenberg, L. (1987). Hipnosis in the reduction of acute pain in children with cancer. dalam Journal of Pediatric Psychology, 12, 379–394. Keraf, G (1990), Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Jakarta.
150
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VII Bahasa, Sastra dan Budaya: Kaitannya dengan Isu-Isu Global
2015
Kuttner, L., Bowman, M., & Teasdale, M. (1988). Psychological treatment of distress, pain, and anxiety in young children with cancer. dalam Journal of Developmental and Behavioral Pediatrics, 9, 374–381. Lankton, S. R., & Lankton, C. H. (1983). The answer within: A clinical framework of Ericksonian hypnotherapy. New York: Brunner/Mazel. LeBaron, S. W., & Zeltzer, L. K. (1996). Children in pain. In J. Barber (Ed.). dalam Hipnosis and suggestion in the treatment of pain (pp. 305–340). New York: W.W. Norton. LeBaron, S. W., Zeltzer, L. K., & Fanurik, D. (1989). Imaginative involvement and hypnotizability in childhood. dalam International Journal of Clinical and Experimental Hipnosis, 36, 284–295. LeBaron, S. W., & Fowkes, W. C. (1996). Elders in pain. In J. Barber (Ed.). dalam Hipnosis and suggestion in the treatment of pain (pp. 341–365). New York: W.W. Norton.. Maliya, Arina (2011). Pengaruh terapi hipnosis terhadap kejadian insomnia pada Lansia di posyandu desa karang kecamatan baki sukoharjo. dalam Prosiding Seminar Nasional Kesehatan Jurusan Kesehatan Masyarakat FKIK UNSOED Purwokerto, 23-24 September Olness, K. (1981). Imagery (self-hipnosis) as an adjunct therapy in childhood cancer: Clinical experiences with 25 patients. dalam Journal of Pediatric Hematology/Oncology, 3, 313–321. Olness, K., & Gardner, G. G. (1988). Hipnosis and hypnotherapy with children (2nd ed.). Philadelphia, PA: Grune and Stratton. Schröter, T. (2005). Desertasi dengan Judul Shun the Pun, Rescue the Rhyme? – The Dubbing and Subtitling of Language Play in Film. Sweden: Karlstad Universitet. Siegel, L. J., & Peterson, L. (1981). Maintenance effects of coping skills in sensory information on young children’s response to repeated procedures. dalam Behavioral Therapy, 12, 530–535. Thiessen, I. (1983). Using fairy tales during hypnotherapy in bulimarexia and other psychological problems. dalam Medical Hypnoanalysis, 4, 139–144. Túry, F., & Szabó, P. (1990). Hypnotherapy in a special dissociative state: Nocturnal bulimia. A case study. dalam Hypnos, 17, 155–161. Vanderlinden, J., & Vandereycken, W. (1988). The use of hypnotherapy in the treatment of eating disorders. dalam International Journal of Eating Disorders, 7, 673–679. Vitale, Joe. 2007. Hypnotic Writing: How to Seduce and Persuade Customers with only Your Words. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Walgito, B. (2010). Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi P. Wells,Wesley. 1929. An Outline of Abnormal Psychology. N.p. Zeltzer, L. (1984). Pain and symptom management. In D. Bearison, & R. Mulhern (Eds.). dalam Pediatric psychooncology: Psychological research in children with cancer (pp. 61–83). New York: Oxford University Press. Zeltzer, L., & LeBaron, S. W. (1986). The hypnotic treatment of children in pain. In D. Routh, & M. Wolraich (Eds.). Advances in developmental and behavioral pediatrics Vol VII (pp. 190–234).
151