Reformasl Birokrasl
cuali yang oleh peraturan perundangan dinyatakan sebaliknya, harus terbuka dan dibuka untuk publik. Hanya dengan cara yang demikian, transparansi dalam birokrasi publik dapat diwujudkan dan keberada annya bermanfaat bagi pengendalian perilaku korupsi.
BabV Reformasi Aparatur Daerah untuk Keberhasilan DesentraJisasi di Indonesia'
Desentralisasi Tanpa Reformasi Aparatur Daerah: Paradoks dan Anomali? Perdebatan tentang hubunga n antara desentra lisasi dan pem ba ng u nan aparatur daerah sudah lama mewarnai literatur IImu Administrasi Pu blik. Beberapa pertanyaan yang penting dalam perdebatan tersebut adalah apakah desentralisasi dapat dilakukan tanpa penguatan ka pasitas administrator daerah dan apakah keduanya dapat dilakukan secara terpisah? Penelitian terdahulu tentang otonomi daerah di FISI POL UGM selalu menempatkan kemampuan administrator daerah se bagai salah satu varia bel penting untuk mengukur derajat otonomi daerah.2 Salah satu kesimpulan terpenting dari berbagai penelitian itu adalah besaran otonomi yang diberikan kepada daerah seharusnya
'Versi awal dari tuilsan ini dibuat untuk mangayubagyo puma bakti Prof. Dr. Sofian Effendi, MPIA sebagai PNS. Beliau adalah guru dan koiega di Jurusan Manajemen dan Kebijakan PubUk. FISIPOL UGM. Tulisan versi awal itu kemudian dipublikasikan menjadi bagian deni buku Reformasi Aparatur Negara Ditinjau Kemballiyang disunting oleh Wahyudi Kumorotomo dan Ambar Widaningrum (2010). Dab ini merupakan hasil pengayaan dan pengembangan dari tulisan terse but. lBerbagai peneJitian dl FISIPOL UGMsejakawaltahun 1980-an selalu menempatkan kemampuan administrator daerah sebagai salah satu variabel pembentuk berbagai model daerah otonom. Penelitian tersebut berasumsi bahwa reformasi kepegawaian adalah bagian yang tidak terpisahkan dari desentralisasi.
150
151
Reformasi Birokrasi
Reformasl Aparatur Daerah
ditentukan salah satunya oleh kemampuan aparatur daerah. Kemam
laksanakan kebijakan desentralisasi yang radikal.4 Keinginan kuat ma
puan aparatur daerah yang rendah dapat menimbulkan risiko dalam
syarakat untuk mengembangkan pemerintahan demokratis yang me
pelaksanaan desentralisasi apabila administrator daerah gagal menye
nuntut adanya ruang yang semakin besar bagi partisipasi publik akan
lenggarakan pelayanan publik secara wajar. logika ini sering dipakai
dapat diwujudkan ketika pengambilan keputusan tentang urusan
untuk menjustifikasi pentingnya pengembangan kapasitas aparatur
pemerintahan digeser ke tingkat pemerintahan yang paling dekat de
negara dilakukan sebelum desentralisasi dilaksanakan. Pengalaman Indonesia melaksanakan desentralisasi selama satu dekade ini, menarik untuk dikaji terutama keterkaitannya dengan pembangunan aparatur negara. Desentralisasi yang dilakukan secara radikal tanpa didahului dengan reformasi aparatur daerah, semula me nimbulkan banyak kekhawatiran tentang kemungkinan terjadinya ke kacauan dalam penyelenggaraan layanan publik. Lebih dari 2,1 pegawai dipindahkan dari tingkat pusat ke daerah, mengikuti peng alihan urusan pemerintah ke daerah, tanpa mengalami kendala yang
ngan warga. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa kabupatenl kota di Indonesia memiliki kewenangan untuk mengelola sebagian besar urusan pemerintahan. Karena desentralisasi dilakukan di bawan tekanan, pemerintah dan DPR gagal membuatkerangka kebijakanyang menyeluruh, koheren,dan mampu mengintegrasikan desentralisasi dengan kebijakan reformasi lainnya, salah satunya adalah dengan reformasi aparatur.s Akibatnya, muncul banyak anomall dan paradoks dalam pengelolaan aparatur daerah. Persoalan muncul hampir dalam setiap aspek pengelolaan aparatur daerah, seperti rekrutmen, manajemen karier, manajemen ki
berarti. Pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan infra
nerja, serta pengembangan sistem penggajian dan kesejahteraan apa
struktur yang dahulunya lebih banyak ditangani oleh pusat ditransfer
ratur daerah. Kebijakan desentralisasi gaga 1 memberikan arah yang
ke kabupaten/kota tanpa mengalami hambatan yang berarti. Bah
jelas ke mana reformasi aparatur daerah seharusnya dilakukan, agar ke
kan, persepsi warga pengguna terhadap pelayamln tersebut pasca
beradaan aparaturdaerah mampu memberikan kontribusi yang positif
desentralisasi justru menunjukkan adanya perbaikan kualitas pela
terhadap pencapaian tujuan desentralisasi. Akibatnya, muncul banyak
3
fenomena yang sering mengindikasikan ketidakmampuan aparatur
yanan. Desentralisasi di Indonesia dilakukan bukan karena keinginan pe
daerah dalam mempercepat terwujudnya perbaikan kesejahteraan
merintah pusat secara sukarela membagi kewenangannya kepada
rakyat di daerah.
daerah dalam rangka membuat pemerintah menjadi lebih partisipatif
Desentralisasi justru mendorong terjadinya elite captures dalam
dan responsif. Penerapan desentralisasi lebih karena tekanan publik
penganggaran. Tujuan desentralisasi untuk meningkatkan kemakmur
yang tidak dapat dihindari. Jatuhnya pemerintah Orde Baru yang
an rakyat sering terkendala oleh kecenderungan DPRD dan birokrasi
otoriter dan sentralistis pada 1998 telah memaksa pemerintah me
menghabiskan sebagian besar (70-80 persen) anggaran untuk belanja
'Hasil Survei Governance dan Desentralisasi (GDS 2001) menunjukkan persepsi warga terhadap berbagai jenis pelayanan publik pada umumnya mengalami perbaikan setelah otonomi daerah dilaksanakan (Dwiyanto, dkk., 2003). Survei GDS 2004 dan 2006 juga mengonfirmasi temuan di atas. Kecuali pelayanan kepolisian, warga menilai berbagal jenis pelayanan publik mengalami perbalkan setelah diterapkannya otonomi daerah.
'Seberapa pengamat Indonesia sering kali menjadikan desentralisasi di Indonesia sebagai salah satu contoh dari Bigbang Ddecentralization Model, lihat mlsalnya Hofman & Kaiser (2002). 5Perubahan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004 dilakukan untuk menjawabsebagian anomali, namun tidak menyentuh sama sekali masalah yang dihadapi dalam pembangunan aparatur daerah. Upaya mereformasi aparatur daerah dicoba untuk dilakukan da!am revis! UU Nomor 32 Tahun 2004.
Reformasi Birokrasi
Reformasl Aparatur Daerah
aparatur dan menyisakan sebagian kecil untuk penyelenggaraan la
cara jelas anta ra i nstitusi politik dan bi rokrasi di daera h mela hi rka n ba
yanan publik. Tidak adanya arah dan pedoman yang jelas untuk men
nyak komplikasi persoalan dalam pelaksanaan desentralisasi, seperti
dorong daerah melakukan rightsizing membuat ukuran birokrasi, yang
politisasi birokrasi, koalisi antara aparatur dan anggota DPRD dalam
dilihat dari jumlah SKPD dan jumlah aparaturnya, terus membengkak
pembobolan anggaran, dan konflik antara politisi dan para pejabat
dan menguras anggaran publik. Kecerobohan pemerintah pusat, yaitu
karier. Berbagai persoalan itu jika tidak segera dicarikan solusinya da
dengan mengangkat tenaga hononer sebagai pegawai negeri sipil,
pat mengganggu perjalanan desentralisasi di Indonesia. Pemilihan ke
telah memunculkan moral hazards di daerah. Salah satu bentuk dari
pala daerah (pilkada) secara langsung sebagai salah satu ekspresi dari
moral hazard itu adalah kecenderungan elite daerah membuat daftar
partisipasi politik warga telah mendorong elite politik di daerah untuk
tenaga honorer fiktif untuk memperbesar alokasi pegawai daerah. Aki
memanfaatkan mesin birokrasi sebagai pengumpul suara dalam pilka
batnya, terjadi penambahan jumlah aparatur daerah secara signifikan
da. Elite politik berusaha memanfaatkan peluang yang muncul dari ti
6
dengan kompetensi yang tidak jelas.
dak adanya pengaturan yang jelas dalam promosi dan pengangkatan
Pengangkatan pegawai honorer menjadi aparatur daerah menim
pejabat karier untuk menjadikan mereka sebagai aktivis politik dan
bulkan beberapa masalah yang dapat mengganggu pelaksanaan de
mesin kampanye untuk pilkada. Sebaliknya, aparatur daerah bersedia
sentralisasi. Pertama, penambahan jumlah pegawai dengan ukuran
melibatkan diri dalam kegiatan politik praktis dengan menjadi mesin
kom petensi ya ng tidak jelas mem persempit pel ua ng daera h u ntuk me
kampanye karena berharap kemudian hari bisa memperoleh kelan
rekrut tenaga dengan kualifikasi tertentu yang sangat diperlukan da
caran dalam kariernya di birokrasi. Kebutuhan timbal-balik ini telah
lam rangka mempercepat kemajuan daerah, seperti perencana, analis
menjadikan jabatan karier dalam birokrasi di daerah sebagai arena
kebijakan, akuntan, dokter, guru, dan sebagainya. Beberapa jenis te
transaksi politik antara politisi dan pejabat karier di daerah.
naga fungsional tersebut sangat diperlukan di daerah, bahkan pada
Stabilitas birokrasi dan keandalan mereka sebagai institusi pela
sejumlah daerah tertentu tingkat urgensinya sudah sangat mendesak.
yanan sering terganggu karena pergantian kepala daerah selalu diikuti
Kedua, penambahan tenaga yang berasal dari tenaga honorer itu akan
oleh pergantian secara massal kepala SKPD (kepala dinas, badan, dan
membebani anggaran daerah untuk jangka waktu yang sangat lama.
sebagainya). Pergantian itu dilakukan oleh kepala daerah terpilih untuk
Peluang untuk melakukan rightsizing struktur kepegawaian daerah
memasukkan tim sukses mereka dalam struktur birokrasi sebagai
menjadi sirna dengan sendirinya. Diperlukan waktu satu generasi un
penghargaan atas dukungannya dalam pilkada. Akibatnya, muncul
tuk mengembalikan kondisi aparatur daerah seperti semula. Ketiga,
patronase politik dalam birokrasi di daerah. Melalui cara seperti ini ke
tidakjelasnya ukuran kompotensi dari PNS baru yang berasal dari te
pala daerah dan wakilnya dapat mendudukkan orang-orangnya pada
naga honorer itu memaksa daerah mengeluarkan biaya yang sangat
jabatan-jabatan yang memungkinkan mereka mengakses sumber da
besar apabila ingin meningkatkan kecakapan dan keterampilan me
ya publik untuk kepentingan politik dan kelompok. Situasi seperti ini
reka untuk dapat berperan dalam pembangunan daerah.
sangat tidak sehat bagi pengembangan aparatur daerah yang profe
Kegagalan mengatur hubungan fungsional dan kelembagaan se-
sional dan peduli kepada kepentingan publik. Akibatnya, tidak mengherankan ketika banyak studi menunjukkan
"Daftar tenaga honorer fiktif ini memberikan peluang kepada daerah untuk
memasukkan keluarga, kroni, dan atau' menjualnya kepada mereka yang sanggup
membayarnya. Patronase dan nepotisme menjadi semakin kental dalam tubuh
a pa ratur da era h. 254
bahwCl desentralisasi juga diikuti oleh persebaran perilaku koruptif
255
Reformasi Blrokrasi
Reformasi Aparatur Daerah
yang meluas ke daerah? Menguatnya patronase dan c1ientalism an
etnisitas dan agama, fragmentasi spasial bertumpang-tindih dengan
tara politisi dan aparatur birokrasi di daerah telah membuat kontrol
fragmentasi berbasis nilai-nilai primordial. Situasi seperti itu tentu sa
terhadap perilaku korupsi menjadi semakin sulit. Apalagi dalam
ngat merugikan dilihat dari keinginan untuk menjadikan aparatur da erah sebagai notional-binding forces.
kondisi masyarakat sipil masih sangat lemah, kontrol terhadap per sekongkolan antara elite politik dan birokrasi menjadi tidak efektif.
Pelaksanaan desentralisasi selama satu dekade sekarang ini men
Pembuatan APBD menjadi arena persekongkolan baru antara elite
ciptakan paradoks dan anomali. Banyak perubahan telah dinikmati se
politik dan birokrasi untuk menggerogoti anggaran daerah. Ketika
bagai akibat dari pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Pada
mekanisme perencanaan dari bawah melalui musrenbang tidak
satu sisi desentralisasi memberikan kontribusi terhadap percepatan
memiliki keterkaitan dengan proses deliberasi yang terjadi di DPRD
terwujudnya pemerintahan daerah yang partisipatif, responsif, dan
maka 'penitipan proyek' sering menjadi modus operandi dari kolusi
transparan. Namun, di sisi lain, elite captures dan perilaku koruptif juga
antara politisi dan aparatur birokrasi di daerah. TIdak adanya peng
semakin meluas. Dalam bidang pengembangan aparatur daerah,
aturan yang jelas tentang mekanisme hubungan antara pejabat poUtik
pengalihan kekuasaan dan sumber daya ke daerah menjadikan dae
B
dan aparatur birokrasi ikut memberikan kontribusi terhadap kesulitan
rah memiliki daya tarik yang besar dan mendorong banyak warga
mengendalikan kolusi antara pejabat birokrasi serta anggota DPRD
yang memiliki keahlian, kecakapan, dan pendidikan tinggi untuk'
dan para politisi lainnya.
bermigrasi ke daerah. Putra daerah yang dahufunya merantau untuk
Kesulitan mengembangkan profesionalisme aparatur daerah juga
mencari keberuntungan di pemerintah pusat dan daerah-daerah
muncul karena mobilitas aparatur daerah yang mengalami kemacetan
yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, terutama di Jawa, sangat mung kin memilih untuk kembali ke daerah.
setelah dilaksanakannya otonomi daerah. Ketika aparatur pusat di alih-tugaskan ke daerah dan gaji mereka dijadikan variabel untuk
Apalagi desentralisasi juga telah mampu mendorong munculnya
menentukan kebutuhan fiskal daerah, transfer aparatur antardaerah
perguruan tinggi di daerah. Menjamurnya perguruan tinggi dan uni
dan tingkat pemerintahan menjadi sangat sulit dilakukan. Aparatur
versitas di daerah membuat produksi tenaga terampil dan terdidik
daerah menjadi terkotak-kotak pada satuan wilayah yang sempit dan
untuk pembangunan daerah dapat tercukup; dengan mudah. Putra
kehilangan wawasan nasional dalam memahami berbagai isu penye
daerah yang sebelumnya harus pergi ke Jawa untuk menempuh pen
lenggaraan pemerintahan daerah. Situasinya cenderung menjadi
didikan tinggl sekarang mereka dapat mengakses pendidikan tinggl
semakin buruk ketika desentralisasi juga mendorong tumbuhnya
di daerahnya sendiri. Ditambah dengan semakin besarnya investasi
daerah-daerah otonom bam. Selama satu dekade pelaksanaan desen
tralisasi telah memunculkan ratusan daerah otonom baru, yang mem
buat aparatur daerah terfragmentasi ke dalam ruang sosial, politik, dan spasial yang semakin sempit. Apalagi jika pembentukan daerah otonom baru itu didorong oleh kesamaan nilai-nilai primordial, seperti
1Survei Governance dan Desentralisasi 2001 dan Survei Penilaian Kinerja Governance 2006 yang dilakukan penulis memberikan fakta emplris terhadap meluasnya perilaku koruptif di daerah (Dwiyanto, dkk., 2003; Dwiyanto, dkk., 2007). 256
'Paradoks juga terjadi pada bidang !ainnya, seperti pendidikan dan kesehatan.
Dalam bidang kesehatan, aparatur daerah dapat menjadi sangattransparan ketika membicarakan tentang program-program pembangunan dan pemberantasan penyakit menular. Namun, menjadi sangat tertutup ketika melakukan alokasi anggaran, pengadaaan peralatan, dan pengadaan obat-obatan. Hal yang sama terjadi Juga dalam bidang pendidikan. Dinas Pendidikan sangat transparan dan partisipatif ketika mengembangkan program ken aka Ian siswa, pemberdayaan guru, dan perbajkan kurikulum. Tetapi, mereka menjadi sangat tertutup ketika membicarakan tentang alokasi anggaran dan pengadaan buku atau peraiatan sekolah (Dwiyanto. dkk., 2002; Dwlyanto, dkk., 2007). 257
~
Reformasi Aparatur Daerah
Reformasi Birokrasi
daerah pada sumber daya manusianya, peningkatan kuantitas dan kua
nya dengan cara seperti itu pelaksanaan desentralisasi akan mampu
litas universitas dan pendidikan tinggi di daerah dapat memberikan
memberikan kontribusi terhadap percepatan terwujudnya kesejahte
kontribusi yang positif dalam percepatan reformasi aparatur daerah.
raan masyarakat di daerah.
Fenomena ini tentu sangat penting dan menjadi modal yang berarti dalam pengembangan aparatur daerah dan memperkuat wawasan na-
Reformasi lata Pemerintahan Daerah yang Koheren dan lerintegrasi
Namun, di sis; lain, desentralisasi telah mendorong menguatnya ethnocentrisme dan nHai-niiai subjektif dalam pengelolaan aparatur
Inkonsistensi dan kekosongan regulasi dalam kebijakan desentralisasi
daerah dan pelayanan publik. Elite dan para pemangku kepentingan
menjadi kontributor utama dari munculnya paradoks dan anomali da
di daerah sering memahami desentralisasi sebagai peluang untuk me
lam pengelolaan aparatur daerah. Ketika desentralisasi dan reformasi
nempatkan putra daerah pada jabatan strategis di daerahdan meng
aparaturdaerah tidak berjalan seiring dan tidak ditempatkan dalam sa
gunakan sumber daya alam untuk kepentingan daerah sendiri (Dwi
tu kerangka kebijakan nasional yang menyeluruh dan terintegrasi de
yanto, dkk., 2003). Para pemangku kepentingan dl daerah cenderung
ngan baik maka ketidakharmonisan, konflik, dan kekosongan regulasi
menjadi inward looking dalam memahami berbagai isu dan masalah
menyediakan peluang kepada aparatur dan pemangku kepentingan
yang berkembang di daerah. Penempatan aparatur dalam jabatan ka
di daerah untuk memilih dan memberikan interpretasi pengaturan
rier lebih berdasarkan pada pertimbangan primordial dan patronase
yang sesuai dengan kepentingannya. Desentralisasi administratif, se
politik daripada pertimbangan merit dan kompetensi. Paradoks ini te
bagaimana diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian di
rus berlangsung sampai sekarang dan menjadi salah satu konflik laten
amandemen dengan UU Nomor 32Tahun 2004, pada dasarnya adalah
yang ada di daerah. Desentralisasi sebagaimana dijelaskan di atas memunculkan ba
reformasi atau bahkan revolusi dalam penyelenggaraan pemerintahan
nyakanomali dalam pengelolaan aparatur daerah. Pemanfaatan mesin
daerah serta pola hUbungannya dengan pemerintah pusat tentu me
birokrasi untuk kepentingan politik dan pUkada, elite capture dalam
merlukan pembaharuan pengaturan tentang aparatur daerah. Peng
penganggaran, serta pembengkakan birokrasi dan jumlah aparatur
aturan tentang aparatur daerah harus sejalan dengan semangat,
daerah. Perubahan fungsi, kewenangan, dan kelembagaan pemerintah
daerah hanyalah sebagian contoh dari anomali dalam manajemen
nilai-nilai, dan tujuan dari desentralisasi dalam penyelenggaraan pe
aparatur daerah yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan oleh
merintahan. Jika kedua reformasi itu tidak terintegrasi dengan baik,
para pengambil kebijakan desentralisasi. Kekosongan dan ketidak
paradoks dan anomali menjadi sebuah keniscayaaan.
harmonisan antarrezim regulasi yang mengatur tentang penyeleng·
Sayangnya, undang-undang yang mengatur tentang kepegawaian
garaan pemerintahan daerah menjadi penyebab utama desentralisasi
dan atau aparatur daerah yang berlaku sekarang ini, yaitu UU Nomor
memberikan kontribusi terhadap munculnya paradoks dan anomali
43 Tahun 1999, tidak lagi sesuai dengan semangat dan tujuan de
itu. Jika dibiarkan secara terus-menerus maka paradoks dan anoma!i
sentralisasi karena UU tersebut dibuat dalam konteks politik dan
itu akan menarik kembali cerita sukses pelaksanaan desentralisasi di
pemerintahan yang sangat sentralistis. 9 Arah yang diberikan oleh
Indonesia. Upaya yang serius perlu dilakukan untuk memperkuat ke rangka kebijakan desentralisasi menjadi lebih menyeluruh dan me
~Beberapa
miliki koherensi yang tinggi dengan reformasi aparatur daerah. Ha
isu kebijakan aparatur negara, seperti pemisahan jabatan politik dan karier, hubungan antara pejabat politik dengan pejabat karier, keterlibatan
258
259
Reformasi Birokrasl
Reformasl Aparatur Daerah
UU tersebut dalam pengembangan aparatur daerah tentu tidak lag;
Untuk menghindari munculnya persoalan di atas maka upaya un
sesuai karena tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan apara
tuk menyamakan persepsi dan visi tentang NKRI yang desentralistis
tur negara sekarang ini sangat berbeda dari ketika Indonesia masih
perlu dilakukan. NKRI yang desentralistis adalah pili han yang diambil
sangat sentralistis dan otoriter. Undang-undang tersebut juga terlalu
oleh bangsa Indonesia, bahkan oleh para pendirinya. Perdebatan pan
sederhana untuk mengatur kompleksitas yang dihadapi oleh Indone
jang telah dilakukan oleh para pendiri bangsa dan juga para pene
sia dalam membangun aparatur negara yang mampu menjadi pemer
rusnya. Sejauh ini bentuk negara kesatuan yang desentralistis tetap
satu bangsa dalam negara yang desentralistis dan demokratis. Karena
menjadi pili han dan konsensus nasional. Desentralisasi seperti apa
itu, mereformasi UU Kepegawaian tersebut tentu menjadi keniscayaan
yang sesuai dengan karakteristik Negara Kesatuan Republik Indo
bahkan keharusan.1O
nesia? Pertanyaan itu penting mengingat praktik internasional dan
Persoalan yang muncul adalah bagaimana UU kepegawaian/apara tur negara yang baru itu dapat memperkokoh pengembangan NKRI yang desentralistis? Bagaimana agar perubahan terhadap UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dapat disinergikan, mengingat keduanya difasilitasi oleh Kementerian yang berbeda? lradisi pemerintahan Indonesia terkotak-kotak bukan hanya dalam kelembagaan, tetapi juga dalam budaya, kepentingan, dan tradisi ke menterian yang sempit. Dengan kondisi yang seperti itu sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundangan selalu menjadi persoalan yang sulit dicarikan penyelesaiannya.11 Energi besar diperlukan un tuk melakukan harmonisasi, namun sering kali berakhir dengan kega
pengalaman Indonesia sendirj sejak merdeka sampai sekarang me nunjukkan bahwa desentralisasi merupakan konsep yang dinamis. Desentralisasi administrasi adalah sebuah menu yang terbuka, berada dalam sebuah garis kontinum, dan setiap negara dapat mengambil pi lihan bentuk dan intensitas dari desentralisasi sesuai dengan konteks historis, politik, ekonomi, dan tantangan yang dihadapinya. Perbedaan persepsi tentang desentralisasi antarkementerian sering mendorong mereka membentuk UU yang mengatur urusan sektoralnya sesuai de ngan visi dan kepentingan masing-masing lembaga yang cenderung berorientasi pada tujuan yang sempit dan berjangka pendek. Salah satu contoh dari perspektif sempit kementerian dalam mema ham; konsep NKRI yang desentralistis adalah keinginan Kementerian
galan.
PAN dan RS untuk membentuk UU lata Hubungan Kewenangan antara Pemerintah (Pusat) dan Pemerintahan Daerah serta Antarpemerintahan aparatur dalam kegiatan paUtik praktis, dan peran daerah dalam manajemen aparatur negara belum diatur dengan jelas. UU tersebut memang telah mengatur tentang larangan pegawai menjadi anggota dan pengurus partai. politik dan larangan pegawai untuk terpengaruh oleh kepentingan partai politik dalam pelaksanaan tugas. Tetapi, UU itu tidak mengatur tentang peran pegawai dalam kegiatan paUtik, seperti pilkada dan sebagainya. IOWacana untuk melakukan perubahan terhadap UU Nomor 43 Tahun 1999 sudah lama berkembang dan serangkaian diskusi telah dllakukan· oleh Kementerian
PAN dengan melibatkan para pakar yang kompeten.
llPengalaman penulis memfasmtasi diskusi antara Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional dan Kementerian Dalam Negeri untuk mengharmanisasi pengaturan tentang perencanaan pembangunan daerah membuktikan bahwa pengembangan shared vision dalam suatu isu kebijakan tertentu sangat sulit dilakukan. !tu terjadi karena masing-masing aktor sering mengambil posisi berdasarkan pemahaman dan kepentingan yang sempit dari masing-masing lembaga terhadap isu-lsu yang dibahas. 260
Daerah. Dengan mendasarkan pad a amanat pasal18A UUD 1945 hasil amandemen, yaitu: "hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keberagaman daerah':12 Ke
12Beberapa pihak menafsirkan pasal 18A UUD 1945 hasi1 amandemen tersebut menghendaki adanya UU tersendiri untuk mengatur tata hubungan antartingkat pemerintahan. Atas dasar penafsiran yang demikian. Kementerian PAN dan RB menginisiasi pembentukan undang-undang baru walaupun secara substantif sebenarnya hal itu telah diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerlntahan Daerah. 261
Reformasl Birokrasi
Reformasi Aparatur Daerah
menterianPAN dan RB berpendapat bahwa tata hubungan antara pe
batan di kalangan pejabat di Kementerian Keuangan dan Kementerian
merintah pusat dan pemerintahan daerah serta antarpemerintahan
Dalam Negeri. Perdebatan berkisar tentang apakah pengaturan ke
daerah harus diatur melalui UU tersendiri. Kementerian PAN dan
uangan daerah menjadi bagian dari rezim pemerintahan daerah atau
RB telah menyiapkan draft RUU tersebut dan Naskah Akademiknya,
menjadi bagian dari rezim keuangan negara. Masing-masing pejabat
bahkan UU tersebut telah masuk sebagai Program Legislasi Nasional
dari kedua kementerian tersebut memiliki argumen tersendiri guna
(Prolegnas) 2010-2014.
mendukung posisinya untuk menempatkan keuangan daerah sebagai
Salah satu persoalan yang terkait dengan rencana pembentukan
bagian dari otoritasnya. Para pejabat dari Kementerian Dalam Negeri
UU tersebut adalah materi pengaturannya yang tumpang tindih dan
mengatakan bahwa keuangan daerah seharusnya menjadi bagian
bahkan menduplikasi materi pengaturan yang ada pada UU Nomor
dari rezim pemerintahan daerah sehingga harus tunduk pada UU No
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang saat ini sedang
mor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sementara para pe
dalam proses untuk direvisi. RUU tersebut mengatur tentang tata hu
jabat dari Kementerian Keuangan berpendapat bahwa keuangan da
bungan kewenangan, personel, kelembagaan, dan keuangan antara
erah adalah bagian dari rezim keuangan negara sehingga perlu diatur
pemerintah pusat dan pemerintahan daerah dan antarpemerintahan
oleh peraturan perundangan tersendiri. Jika ego sektoral seperti itu
daerah, yang notabene semuanya telah diatur dalam UU Nomor 32
terus berlanjut maka tidak mengherankan apabila pelaksanaan desen
Tahun 2004. Fenomena itu adalah contoh bagaimana kementerian
tralisasi di Indonesia sering menghasilkan anomali yang dapat meng
berusaha menunjukkan identitas dan keberadaannya melalui
ganggu keberhasilan dari pelaksanaan otonomi daerah.
perundang-undangan. Undang-undang yang semestinya menjadi
Permasalahan serupa juga terjadi dalam pengaturan tentang apa
produk hukum nasional dan menjadi mink bersama sering dijadikan
ratur daerah. UU Nomor 43 Tahun 1999 yang menjadi basis legal
sebagai arena untuk mengedepankan perspektif kelembagaan yang
bagi pengelolaan aparatur daerah dalam beberapa hal tidak harmo
sempit, termasuk dalam memahami konsep desentralisasi dan otono
nis dengan UU Nomor 32 Tahun 2004. Apalagi jika UU Nomor 32
mi daerah.
Tahun 2004 tersebut nantinya direvisi, pengelolaan aparatur daerah
Fenomena tersebutjuga menunjukkan bahwa pengaturan tentang
berdasarkan UU Nomor 43 Tahun 1999 tentu semakin tidak relevan
hubungan antara pemerintah pusatdan daerahdan antarpemerintahan
dengan semangat desentralisasi yang terkandung dalam UU tentang
daerahyang selama ini menjadidomaindari Kementerian Dalam Negeri
Pemerintahan Daerah.13 Jika hal itu dibiarkan terjadi, tidak menghe
ternyata juga dipandang oleh Kementerian PAN dan RB sebagai isu ke
rankan apabila muncul banyak anomali dalam pengelolaan aparatur
bijakan yang perlu diintervensinya. Kementerian PAN dan RB merasa
daerah.
memiliki kewajiban untuk menjalankan amanat konstitusi (pasal18A
Untukitu, wacana tentang pengembangan NKRI yang desentralistis
UUD 1945 hasil amandemen) dan merasa bahwa pengaturan terhadap hubungan kewenangan antarsusunan pemerintahan merupakan oto ritasnya. Fenomena seperti itu bukan hal baru dalam tradisi peme rintahan di Indonesia. Persoalan serupa terjadi dalam hubungan an tarkementerian dan lembaga nonkementerian dalam isu kebijakan lainnya. Dalam pengaturan tentang keuangan daerah sering muncul perde 262
13UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian juga sedangdalam proses untuk direvisi. Pertanyaannya, apakah 3fah kebijakan pengelolaan aparatur daerah yang akan diatur dalam revisi UU tersebut akan mengacu pada semangat desentralisasi seperti yang terkandung dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 ataukah tidak? Jika pengaturan tentang pengelolaan aparatur daerah dalam UU Kepegawalan tidak mengacu pada arah kebijakan desentralisasi, akan menjadi sangat sulit membangun koherensi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. 263
1 I
Reformasl Aparatur Daerah
Reformasi Birokrasi
harus terus didorong agar konsep tersebut menjadi semakin jelas dan dapat dijadikan sebagai dasar bagi pengembangan UU yang terkait dengan tata pemerintahan daerah. Walaupun konsensus tentang NKRI yang desentralistis sangat solid, sosok NKRI seperti apa yang akan di wujudkan sampai sekarang tidak pernah jelas. Akibatnya, kementerian, lembaga nonkementerian, dan para pemangku kepentingan lainnya sering mengembangkan sosok NKRI sesuai dengan perspektifnya
lembaga nonkementerian dan warga serta pemangku kepentingan di daerah juga tidak diatur dalam peraturan perundangan yang ada. Apa yang menjadi hak dan kewajiban warga maupun penyelenggara pemerintahan di pusat maupun daerah belum banyak diatur dalam peraturan perundangan yang ada. Semua itu sering menjadi sumber munculnya berbagai anomali dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah.
masing-masing dan mengacu pada kepentingan yang sempit. Sosok NKRI yang desentralistis dapat berbeda menurut kementerian dan
Gambar 5.1 Aspek Tata Pemerintahan NKRI yang Perlu Diatur dalam UU
lembaga nonkementerian yang berbeda. Tata pemerintahan daerah Presiden sebaga i Penyelenggara
Pemerintahan Tertinggi
yang desentralistis sering diterjemahkan secara berbeda oleh masing masing kementerian dan lembaga nonkementerian karena peraturan perundangan yang mengatur kedudukan kedua lembaga di level pu sat itu tidak menjadikan UU Nomor 32 Tahun 2004 sebagai salah satu
Menteri Dalam Negeri
regulasi yang dipertimbangkannya. Tidak adanya UU yang secara jelas mengatur tata pemerintahan
Gubemur sebagai Wakil
Pemerintah Pusat
NKRI yang desentralistis sering kali memunculkan perdebatan di kala ngan banyak pihak dan menjadi sumber konfl i k antara pemerintah pu
J.
sat dan daerah, antara kementerian, lembaga nonkementerian dan pe dan menteri sebagai pembantu presiden. UU Nomor 32 Tahun 2004 antara pemerintah pusat dan daerah serta tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hubungan antara presiden sebagai pemegang
I !··········································l··········.....:
; I.
'1
,,000"'0'<0,-
1,
~I~----~t~ ! Masyara kat Lr.••...•••....••.....:
merintah daerah, termasuk juga antara gubernur sebagai wakil pusat tentang Pemerintahan Daerah hanya mengatur tentang hubungan
Menteri SektoraVKepa la Lembaga Non kementerian
Keterangan:
) 0 iatur dala m U U Nomor 32 Tahun 2004 •....••....•••;.. Tida k d iatur da lam U U Nomor 32 Tah un 2004
Sumber: Dwiyanto. 2010b.
kekuasaan pemerintahan tertinggi dan pemerintah daerah dalam ba nyak hal juga belum diatur. Apakah kekuasaan yang dimiliki oleh pre siden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi untuk menjamin adanya penyelenggaraan pemerintahan daerah yang sinergis, akuntabel, dan bermanfaat bagi perbaikan kesejahteraan rakyat belum banyak diatur dalam UU. Bagaimana hubungan antara kementerian, lembaga nonkementerian, gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, dan pemerintah daerah dalam berbagai aspek pe nyelenggaraan pemerintahan juga belum diatur secara rind. Bahkan yang lebih penting, hubungan antara berbagai kementerian atau 264
Untuk memperjelas sosok NKRI yang desentralistis, pemerintah dan DPR perlu segera mengambil inisiatif untuk membuat UU yang mengatur tentang konstruksi tata pemerintahan NKRI yang desen tralistis. Keseluruhan aspek tata pemerintahan yang desentralistis dari NKRI harus diatur secara jelas sehingga tidak menimbulkan kon troversi yang berlarut-larut dan tidak menjadi sumber konflik dan anomali dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Konsensus perlu diambil untuk menentukan bentuk dari desentralisasi dalam setiap
265
Reformasl Birokrasl
Reformasl Aparatur Daerah
aspek penyelenggaraan pemerintahan, seperti urusan pemerintahan,
sekarang ini belum berhasil diwujudkan.lnkonsistensi dan inkoherensi
kelembagaan, wilayah, dan fiskal. Dalam literatur administrasi publik
terjadi dalam pengaturan dan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi
dan pemerintahan dikenal berbagai bentuk desentralisasi, seperti
daerah. Kondisi yang demikian harus segera dihentikan.
dekonsentrasi, delegasi, dan devolusi. Ketiganya merupakan sebuah
Hallainnya yang perlu dilakukan adalah kejelasan dalam pengatur
kontinum yang menunjukkan derajat desentralisasi yang dipilih dan
an. Banyak peraturan perundangan terkait dengan desentralisasi yang
dilakukan oleh suatu negara. Dekonsentrasi menunjuk pada derajat
tidak jelas tujuan dan pengaturannya sehingga sering menimbulkan
desentralisasi yang paling rendah, sementara devolusi menunjuk pa
perbedaan penafsiran dari berbagai pihak. Dalam situasi fragmentasi
da derajat desentraHsasi yang paling tinggi. Masing-masing negara
kementerian dan lembaga nonkementerian sangat tinggi dan se
mengambil deraJat desentraHsasi yang berbeda-beda sesuai dengan
mangat ego sektoral masih kuat, kejelasan tujuan dan pengaturan me
kebutuhan dan tantangan yang dihadapinya. Kebanyakan negara pa
ngenai konstruksi NKRI yang desentralistis sangat diperlukan. Tanpa
da umumnya menerapkan derajat desentralisasi sesuai dengan kebu
hal itu konstruksi NKRI yang desentralistis tidak akan banyak manfa
tuhan nasionalnya dan tingkat kematangan dari institusi negara mau
atnya, bahkan bisa jadi hanya akan menambah kebingungan baru di
pun institusi di luar negara termasuk kelompok masyarakat sipil dalam
kalangan pelaku dan pemangku kepentingan di pusat dan daerah.
mengelola keterlibatannya dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Ketika desentralisasi dilihat sebagai suatu kontinum, apakah pi
Apa pun konsensus nasional yang diambil dalam membangun kons
lihan derajat desentralisasi dalam pemerintahan sejalan dengan de
truksi tentang NKRI yang desentralistis, pengaturan legal tentang hal
sentralisasi dalam pengelolaan aparatur negara? Ketika urusan peme
itu harus dilakukan secara jelas sehingga memudahkan semua pe
rintahan didesentralisasikan ke daerah, apakah daerah juga memiliki
mangku kepentingan dalam menjalankan perannya masing-masing.
kewenangan yang memadai untuk mengelola aparatur daerah agar
Yang penting untuk diperhatikan dalam membangun konstruksi
optimalitas pemanfaatannya dapat diwujudkan? Pertanyaan itu pen
NKRI yang desentralistis adalah konsistensi dan koherensi dalam me
ting untuk diajukan karena berbagai anomali dan paradoks yangter
nentukan pilihan-pilihan derajat desentralisasi pada berbagai aspek
di atas dicurigai muncul karena adanya ketidakseimbangan antara
penyelenggaraan pemerintahan. Oesentralisasi dalam pembagian
desentralisasi pemerintahan dan desentralisasi pengelolaan aparatur
urusan perlu diikuti dengan tingkat desentralisasi yang serupa dalam
daerah, yang disebabkan oleh tidak harmonisnya UU yang mengatur
pengembangan kelembagaan daerah dan kapasitas aparatur daerah.
keduanya.
Persoalan sering muncul karena pilihan tingkat desentralisasi pada satu
Untuk menilai desentralisasi dalam pengelolaan aparatur daerah,
aspek penyelenggaraan pemerintahan tidak konsisten dan koheren
setidaknya ada lima aspek yang perlu dikaji (Green, 2005), yaitu: (1)
dengan pilihan tingkat desentralisasi pada aspek lainnya. Misalnya,
apakah urusan pemerintah daerah didefinisikan dengan jelas se
ketika UU mengalihkan sebagian besar urusan penyelenggaraan pe
aparat daerah mengetahui apa yang harus dilakukannya; (2)
merintahan semestinya diikuti dengan pengalihan kewenangan yang
apakah pemerintah daerah dapat mengalokasikan aparatnya pada
sebanding kepada pemerintah daerah untuk mengatur struktur ke
berbagai fungsi sesuai yang diperlukan; (3) apakah pemerintah daerah
lembagaan daerah. Pemerintah daerah juga semestinya memiUki ke
berwenang mengangkat dan mempertahankan staf yang diperlukan
wenangan untuk menentukan postur dari aparatur yang diperlukan
untuk menyelenggarakan urusannya; (4) apakah pemerintah daerah
untuk mengelola urusan pemerintahan yang dimilikinya. Konsistensi
memiliki fleksibilitas dalam mengelola sumber daya keuangan karena
dan koherensi dalam praktik pelaksanaan desentralisasi di Indonesia
untuk mengelola aparatur diperlukan kompetensi dalam mengelola
266
267
Reformasl Blrokrasi
biaya personel;dan (S} apakah pemerintah daerah dapat meminta apa raturnya bertanggung jawab kepadanya. Pengkajian terhadap lima as pek tersebut menentukan derajat desentralisasi dalam pengelolaan. aparatur daerah. Diskusi tentang kelima hal ini akan dapat membantu kita menilai apakah pelaksanaan desentralisasi dalam pengelolaan aparatur telah sesuai dan mampu memberikan kontribusi terhadap efektivitas desentralisasi pemerintahan. Kelima aspektersebut akan di kaji secara kritis untuk menilai apakah pelaksanaannya telah sesuai de ngan arah kebijakan desentralisasi sebagaimana dicita-citakan selama ini.
Reformasl Aparatur Daerah
telah dijelaskan sebelumnya, ketika kementerian dan lembaga non kementerian mengembangkan perspektifnya masing-masing yang sempit serta berbasis pada kepentingan dan budaya yang berkem bang di lembaganya masing-masing. Ketidakjelasan dalam pengaturan tentang pembagian urusan dengan demikian memberikan ruang kepada kementerian dan lembaga nonkementerian untuk mengede pankan kepentingannya dalam memanami pola hubungan antara ke menterian, lembaga nonkementerian, dan pemerintah daerah. Mengingat posisinya yang sangat strategis dan men;adi interlocking dari banyak aspek penyelenggaraan pemerintahan, pemerintah harus segera membuat pengaturan yang jelas tentang pembagian urusan antara pemerintah pusat dan daerah. Namun, sejaun ini pemerintah
Pembagian urusan
belum memiliki konsep yang jelas dalam menata pembagian urusan
Keterkaitan antara desentralisasi administrasi dan reformasi aparatur
pemerintah pusat dan daerah masih menjadi perdebatan dan sumber
daerah dapat dikenali dari bagaimana urusan pemerintahan didefinisi
konflik kepentingan antarsusunan pemerintahan.ldealnya, pembagian
kan dan didistribusikan antarsusunan pemerintahan. Pembagian urus
urusan antarsusunan pemerintahan harus didefinisikan secarajefas ka
an menentukan struktur kelembagaan dan kompetensi yang perlu di
rena pembagian urusan menjadi dasar dalam pengembangan apara
miliki aparatur daerah. Bahkan; pembagian urusan juga terkait sangat
tur di pusat dan daerah. Sosok aparatur daerah sepertl apa yang akan
erat dengan kebijakan desentralisasi fiskal. Sayangnya, reformasi da
dibentuk sangat tergantung pada peran yang akan dimainkan oleh
lam ketiga area itu sering kali tidak dilakukan secara terintegrasi dan
pemerintah daerah. Kegagalan merumuskan pembagian urusan se
koheren. Ketiganya tunduk pada rezim regulasi yang berbeda dan
cara jelas dapat membuat pemerintan daerah mengalami kesulitan
antarsusunan pemerintahan yang berbeda. Pembagian urusan antara
dikendalikan oleh tiga kementerian yang sering kali memiliki orien
untuk merancang program perencanaan pengembangan aparatur
tasi dan kepentingan yang tidak kompatibel. Pembagian urusan pe
yang relevan dan efektif.
merintahan diatur oleh UU Nomor 32 Tahun 2004, kompetensi apa
UU Nomor 32 Tahun 2004 membagi urusan pemerintahan menjadi
ratur diatur dalam UU Nomor 43 Tahun 2004, dan desentralisasi fiskal
dua kelompok, yaitu urusan eksklusif pemerintah pusat yang meliputi
diatur oleh UU Nomor 33 Tahun 2004. Pengaturan berbagai aspek penyelenggaraan pemeri ntahan daerah
dan agama; dan urusan yang dapat didesentralisasikan kepada daerah
dalam UU yang berbeda tentu bukan suatu permasalahan dan bah
(urusan konkuren).14 Ketika satu urusan dinyatakan sebagai urusan
urusan pertahanan dan keamanan, luar negeri, kehakiman, moneter,
kan menjadi hal yang lazim dilakukan manakala kementerian dan tem baga nonkementerian yang membidanginya memiliki persepsi yang sama tentang arah dan vis! pengembangan tata pemerintahan daerah yang desentralistis yang akan dikembangkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat. Persoalan muncul, sebagaimana
268
'4Persoalan muncul karena sampai sekarang UU Nomor 32 Tahun 2004 dan PP Nomor 38 Tahun 2007 belum berhasil merumuskan pembagian fungsi pemerintahan yang jelas antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Sumber persoalannya di antaranya terletak pada penggunaan istilah skala naslonal, skala provinsi, dan skala kabupaten/kota untuk menentukan distribusi 269
Reforma5i Blrokrasi
Reforma51 Aparatur Daerah
eksklusif dari pemerintah pusat maka pemerintahan daerah tidak
bangkan kompetensi aparatur yang sama atau berbeda-beda sesuai
perlu mengembangkan kompetensi dalam penyelenggaraan urusan
dengan kebutuhan daerah? Jawaban terhadap pertanyaan ini sangat
tersebut. Daerah hanya pertu mengembangkan kompetensi dalam
ditentukan oleh model desentralisasi yang digunakan. simetris atau
penyelenggaraan urusan yang telah ditetapkan sebagai urusannya.
asimetris. UU Nomor 32 Tahun 2004 mengarahkan pengembangan de
Persoalan muncul karena untuk urusan pemerintahan yang telah di
sentralisasi yang simetris karena hanya memberikan ruang yang sem
desentralisasikan ke daerah, UU tersebut tidak mampu menjadi atau
kepada daerah untuk melaksanakan urusan pilihan. Sebagian besar
memberikan instrumen yang dapat digunakan dengan mudah
dari urusan pemerintahan yang didesentralisasikan bersifat wajib ba
membagi peran pusat dan daerah. Hal ini terjadi karena dalam urusan
gi daerah. Artinya, daerah harus mengembangkan kompetensi pada
konkuren terkandung di dalamnya urusan pemerintah pusat,
semua urusan wajib tersebut. Ruang untuk mengembangkan
tidak dalam pembentukan norma, standar, prosedur. dan kriteria
tensi di luar urusan wajib sangat sempit karena terbatasnya urusan
(NSPK). Artinya, tidak ada desentralisasi secara mutlak kepada daerah.
pilihan yang tersedia bagi daerah.
Hal itu dikarenakan pada setiap urusan konkuren pemerintah pusat
Dalam beberapa tahun terakhir ini muncul wacana tentang per
memiliki peran membuat NSPK dan melakukan Binwas kepada daerah
lunya pengembangan desentralisasi asimetris dengan memberikan urusan kepada daerah sesuai dengan kebutuhan dan kompetensinya.
atas penyelenggaraan urusannya. Daerah memiliki peran untuk membuat kebijakan untuk meng
Pilihan model desentralisasi, yaitu asimetris ataukah simetris, memiliki
atur pelaksanaan urusan yang diserahkan kepadanya dan menye
implikasi yang sangat besar ternadap kebijakan pengembangan apa
lenggarakannya sesuai dengan NSPK yang telah ditentukan oleh
ratur daerah. Namun, sayangnya wacana terse but kurang memper
pusat. Implikasinya, pelaksanaan setiap urusan pemerintah yang di
olen perhatian di kalangan praktisi dan pakar. Ada beberapa alasan
desentra lisasikan ke daerah meli batka n aparat pusat dan aparat daerah.
mengapa model desentralisa~i asimetris kurang memperoleh per
Aparat pusat membuat NSPK kemudian melakukan pembinaan dan
hatian. Setidaknya terdapat tiga alasan penting, yaitu persepsi yang
pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan oleh apa rat daera h se
salah tentang konsep negara kesatuan yang sering kali dipahami
sua! dengan NSPK yang telah dibuatnya. Aparat daerah membuat dan
secara sempit sebagai penyeragaman urusan pemerintahan yang di
melaksanakan kebijakan untuk penyelenggaraan suatu urusan sesuai
desentralisasikan ke daerah, kekhawatiran berfebihan para pembuat
dengan N5PK yang telah dirumuskan oleh pemerintah pusat. Peran ini
kebija kan tenta ng ketidakma m puan daerah untuk secara berta nggung
yang seharusnya menjadi dasar dalam pengembangan kompetensi
jawab memutuskan urusan yang akan dikelola, serta keengganan
aparatur daerah. Pertanyaannya kemudian adalah apakah daerah perlu mengem-
tralisasi fiskal terkait dengan implikasi dari penerapan kebijakan desen
pemerintah untuk bekerja keras merumuskan kembali formula desen tralisasi asimetris. 15 Desentralisasi asimetris yang dan ienis urusan konkuren kepada daerah sesuai dengan kebutuhan
UTusan pemerintahan dan pengaturannya dilakukan oleh semua susunan pemerintahan membuat penyelenggaraan UTusan pemerintahan menjadi sangat k"mnl"k. dan terfragmentasi. Padahal, kejelasan pembagian urusan ini sangat dalam pengelolaan aparatur daerah. Desentralisasi pengembangan aparatur sangat ditentukan oleh pembagian fungsi antarsusunan pemerintahan. 270
kekhawatiran akan terjadinya moral hazard ketika daerah memutuskan sendiri urusan pemerintahan yang akan dlkelolanya. Daerah dikhawatirkan hanya akan mengambil urusan yang memungkinkan mereka menambah sumber penerimaan, dan meninggalkan urusan pemerintahan yang membebani biaya walaupun urusan tersebut sangat dibutuhkan oleh warganya. 271
Reformasl Blrokrasl
Reformasi Aparatur Oaerah
dan tantangan yang dihadapi daerah menuntut reformulasi dana alo
semua daerah sementara keragaman antardaerah sangat tinggi maka
kasi umum sesuai dengan prinsip money follows function.
desentralisasi menjadi kurang bermakna. Peluang untuk membangun
Kegagalan untuk mendorong adanya perdebatan yang intensif
daerah sesuai dengan keunggulan daerah da n ka pasitasnya u ntuk men
dalam isu ini membuat pengetahuan tentang keterkaitan antara pi
jawab tantangan yang dihadapinya menjadi sirna. Jika kondisi seperti
lihan kebijakan desentralisasi dan kebijakan reformasi dalam bidang
itu terus dipertahankan, Indonesia akan kehilangan kesempatan un
lainnya, seperti reformasi kebijakan pengembangan aparatur dan
tuk menjadikan pembangunan daerah sebagai mozaik yang indah, di
reformasi kebijakan liskal menjadi tidak terelaborasi dengan baik. In
mana daerah dapat mencapai kemajuan serta berkembang saling me
formasi tentang hal ini masih sangat terbatas dan tidak cukup untuk
lengkapi dan mengisi keberadaan NKRI yang solid dan dinamis.
menjadi basis bagi pengembangan kebijakan desentralisasi yang me
Kedua, desentralisasi yang seragam mengabaikan kenyataan bah
nyeluruh dan koheren. Akibatnya, selalu muncul kekosongan dalam
wa daerah memiliki tingkat kematangan, cakupan wilayah, patensi,
setiap peraturan perundangan yang terkait desentralisasi dan oto
dan jumlah penduduk yang berbeda-beda. Karena itu, mereka perlu
nomi daerah sehingga menimbulkan kesulitan dalam implementasi
diperlakukan secara berbeda. Daerah otonom baru dengan kema
desentralisasi di Indonesia. Kekosongan dan ketidakjelasan itu bah
tangan yang rendah cenderung memiliki kapasitas yang rendah dalam
kan serjng mendorong atau setidaknya memberikan peluang kemen
melayani warganya. Daerah dengan wilayah yang sempit dan jumlah
terian terkait, seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian PAN
penduduk yang sed i kit mungkin tidak perlu memiliki urusan pemerin
dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Perencanaan Pembangunan Na
tahan yang banyak. Dilihat dari skala ekonominya, pengelolaan urus
siona!, dan Kementerian Keuangan, memproduksi peraturan dan ins
an pemerintahan tertentu oleh daerah yang seperti itu menjadi tidak
truksi yang saling bertentangan dan tidak konsisten. Karena itu tidak
efisien. Daerah yang memiliki potensi yang berbeda seharusnya me
mengherankan apabila selama satu dekade pelaksanaan desentralisasi
ngembangkan kompetensi yang berbeda pula. Daerah menjadi tidak
muncul banyakanomali dan paradoks dalam penyelenggaraan peme
dapat memfokuskan diri terhadap apa yang menjadi keunggulan dan
rintahan daerah. Melihat besarnya keragaman antardaerah maka pilihan kebijakan
kompetensi yang dimiJiki dan perlu dikembangkannya.
desentralisasi yang seragam sebagaimana telah dilaksanakan se
mempersulit daerah dalam pengembangan struktur birokrasi yang
Ketiga, model desentralisasi seragam yang sekarang berlaku juga
lama satu dekade terakhir ini perlu ditinjau kembali. Pertama, model
efisien dan aparatur yang profesional, mengingat kompetensi dan ke
desentralisasi yang seragam dalam keanekaragaman daerah yang
butuhan mereka yang berbeda-beda. Kecenderungan kementerian
mencolok bertentangan dengan hukum alam dan nilai yang terkan
dan lembaga nonkementerian untuk mendorong daerah agar me
dung dalam desentralisasi itu sendiri. Dengan menerapkan desentra
ngembangkan institusi yang dapat menjadi kepanjangan tangan dan
lisasi yang seragam, Indonesia kehilangan peluang untuk memanfaat
mendukung kepentingan mereka turut memperburuk situasi. '6 Hal itu
kan secara optimal keragaman daerah untuk mendorong kemajuan
sering mendorang penyeragaman struktur birokrasi di daerah, seperti
daerah sesuai dengan aspirasi, potensi, dan kapasitas daerah. Esensi dari desentralisasi adalah memberikan peluang dan kemampuan
ngannya. Ketika pembagian urusan dilakukan secara seragam untuk
16Daerah sering tidak dapat mengelak dari tekanan kementerian dan lembaga nonkementerian untuk membentuk SKPD yang serupa dengan nomenklatur kementerian dan lembaganonkementerian. Mereka khawatirtidak mendapatkan dana alokasi khusus {OAK} dan Dekonsentrasi apabila tidak mengikuti kehendak kedua lembaga di level pusat tersebut.
212
213
kepada daerah untuk meres pons kondisi daerah sesuai dengan kompetensi dan aspirasi pemerintah daerah dan pemangku kepenti
ri
Reformasi Birokrasi
Reformasl Aparatur Daerah
yang diatur oleh PP Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perang
berdayaan aparatur menjadi hal yang lumrah dijumpai dalam penye lenggaraan pemerintahan daerah.
kat Daerah.
Pengembangan model desentralisasi yang asimetris perlu di pikirkan secara serius dan seksama oleh pemerintah dan para pe
TabelS.1 Bentuk Desentralisasi dan Impllkasinya Terhadap Pengembangan Kapasitas Daerah
kepentingan lainnya. Upaya untuk mendorong desentralisasi --
Aspek Penyelenggaraan
Pemerintahan Asumsi tentang kondisi, tantangan, dan kebutuhan daerah
Bentuk Desentralisasi
membatasi urusan wajib yang diberikan kepada daerah terutama un
Simetris
Asimetris
tuk pelayanan dasar dan menjadikan sisanya sebagai urusan pilihan.
Daerah memiliki kondisi dan tantangan yang serupa dan seragam
Pengakuanterhadap diversitas daerah dalam banyak aspek dan karakteristik sosial budaya, geografis, dan demografis
Daerah otonom wajib menyelenggarakan urusan yang menjadi ke
Bervariasi antardaerah sesuai dengan kebutuhan
pemerintah daerah akan lebih mudah dalam mengembangkan apa
Struktur kelembagaan: jumlah satuan, nomenklatur, dan pola hubungan
Relatif seragam antardaerah
Kompetensi aparatur
Daerah membutuhkan kapasitas aparatur yang relatif sama
Pengembangan kapasitas daerah
asimetris dapat dilakukan melalui cara yang sederhana, yaitu dengan
butuhan dasar warganya, sedangkan untuk selebihnya terserah pa da masing-masing daerah untuk mengelola urusan sesuai dengan kompetensi dan kebutuhan daerah.17 Dengan cara seperti itu daerah memiliki peluang untuk berkembang sesuai dengan kapasitas, as pirasi, dan tantangan yang dihadapinya. Dengan cara seperti itu pula ratur daerah sesuai dengan kompetensi yang diperlukan untuk mem bangun daerahnya masing-masing.
Sentralistis
--Daerah memerlukan aparatur dengan kapasitas yang berbeda-beda Desentralistis
Ukuran dan distribusi aparatur Desentralisasi dalam pengelolaan aparatur dapat dilihat dari seberapa besar daerah memiliki kewenangan untuk membentuk struktur bi rokrasinya (SKPD) dan mengangkat aparatnya untuk menduduki ja batan pada struktur birokrasi. Setelah diberlakukannya PP Nomor 41
Desentralisasi asimetris juga memberikan ruang kepada daerah
Tahun 2007, pemerintah daerah memiliki ruang yang terbatas dalam
untuk mengembangkan kapasitas secara desentralistis. Selama ini,
menentukan kedua hal itu. Persoalan muncul karena PP tersebut
pengembangan kapasitas daerah cenderung dilakukan secara sen
mengatur secara rinci tentang struktur birokrasi daerah, bukan hanya
tralistis dan kurang memperhatikan diversitas daerah. Pengemba
terkait jumlahnya, tetapi juga bentuk organisasi, perumpunan, eselon,
ngan aparatur daerah cenderung dilakukan berbasis pada pende katan supply daripada kebutuhan daerah. Diversitas daerah yang seharusnya dilihat sebagai kekayaan daerah dan menjadi dasar dalam pengembangan kapasitas sering kali terabaikan. Akibatnya,
mismatch
dalam investasi pengembangan kapasitas tidak dapat dihindari. Implikasinya adalah kelembagaan yang disfunasional dan ketidak 274
17Urusan pelayanan dasar dalam diskusi "Revisi UU Nomor 32 Tahun 2004" meliputi pendidikan dasar dan menengah, kesehatan, peru mahan, ketahanan pangan, tel1aga kerja, pertanahan, pekerjaan umum, Ilngkungan hldup, perhubungan, jaminan sosial kesehatan dan tenaga kerja, ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, serta kependudukan dan catatan sipil. 275
Reformasi Aparatur Daerah
Reformasl 8irokrasi
Tabel S.2 Desentralisasi dan Sentralisasi
bahkan nomenklaturnya. Semangat dar! PP tersebut adalal1 untuk
Pengelolaan Aparatur Daerah
mengendalikan penggemukan struktur birokrasi daerah. Namun, ---------
pada kenyataannya pemberlakuan PP tersebut justru mendorong sejumlah daerah yang sebelumnya memiliki struktur yang ramping untuk mengembangkan struktur birokrasi yang lebih gemuk, meng ikuti ketentuan dalam PP tersebut. Daerah yang secara kreatif me dengan ngembangkan dan pemberian nomenklatur sesuai dengan kebutuhan lokal terpaksa harus mengubahnya agar sesuai dengan ketentuan PP tersebut. Ma salah seperti inj sebenarnya dapat dihindarj apabila pemerintal1 pusat memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menen
Aspek Pengaturan
kebijakan desentralisasi dan kebijakan reformasi birokrasi dan
Desentra lisasi
Penentuan NSPK
Pemerintah Pusat
Pemerintah Pusat
Besaran j umlah
Besaran j umlah aparatur daerah ditentukan secara nasional
Daerah menentukan sendiri besaran jumlah aparatur
Belanja pegawai
Besaran belanja pegawai secara nasional dapat ditentukan oleh Pusat
Daerah menentukan besaran belanja pegawai daerah
Komposisi
Komposisi aparatur daerah ditentukan oleh Pusat
Komposisi aparatur daerah ditentukan oleh Daerah
Distribusi
Mobilitas pegawai antardaerah dikendalikan secara nasional
Mobilitas pegawai antardaerah tergantung pada kebutuhan daerah
-------------
tukan strukturnya sendiri sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang dimilikinya. Permasalahan tersebut menunjukkan adanya inkonsistensi antara
---------
Sentralisasi
daerah. Desentralisasl tidak diikutl oleh pemberian kewenangan kepa da daerah untuk menentukan struktur birokrasi dan aparaturnya. Pe
Kewenangan daJam pengembangan kelembagaan dan aparatur
merintah semestinya cukup membuat NSPK dalam pengembangan
daerah memberikan peluang kepada pemerintah daerah untuk mem
struktur birokrasi daerah dan mempersilakan pemeri otal1 daerah meng
bentuk struktur birokrasi dan kapasitas aparatur sesuai dengan ke
gunakan NSPK tersebut untuk menentukan jumlah, jenis, dan struktur
butuhan dan kompetensinya. Struktur birokrasi daerah akan menjadi
SKPDnyaYI Kekhawatiran terhadap terjadinya pembengkakan belanja
lebih efisien, efektif, dan responsif karena struktur birokrasi yang
pegawai dan inefisiensi anggaran akibat struktur birokrasi daerah
dibentuk sesuai dengan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung
yang gemuk dapat diatasi dengan membuat kriteria seperti batas
jawabnya. Daerah juga akan lebih mudah membangun kapasitas apa
rasio maksimal belanja pegawai terhadap APBD atau ukurao-ukuran
ratur sesuai dengan kompetensi, kebutuhan, dan tantangan yang dj
lainnya yang relevan dalam NSPK. Pemerintah pusat dapat melakukan
hadapinya. Namun, desentralisasi dalam bidang ini berimplikasi ter
pembinaan dan pengawasan terhadap pemerintah daerah untuk me
hadap kebijakan desentralisasi fiskal. Pada formula penentuan DAU
mastikan kepatuhan mereka terhadap NSPK yang tetah dibuat.
sekarang ini kebutuhan belanja pegawai daerah menjadi salah satu komponen yang menentukan alokasi dasar. Dengan formula seperti itu maka desentralisasi dalam pengembangan kelembagaan dan aparatur daerah tidak akan efektif mendorong daerah untuk melaku kan rightsizing terhadap struktur birokrasinya. Daerah juga tidak me miliki insentif untuk melakukan rightsizing karena kebutuhan belanja
IBDaiam UU Nomor 22 Tahun 1999, daerah memilikl kewenangan untuk merekrut dan memberhentlkan pegawainya. Namun, ketentuan itu kemudlan dihilangkan
pegawainya selalu dijamin oleh DAU yang diterimanya.
dalam UU Nomor 32 Tahun 2004.
276
217
Reformasi Aparatur Daerah
Reformasi Birokrasi
Reformasi desentra lisasi fiskal sangat penting d ilakukan dalam rang ka mensinergikan desentralisasi dan reformasi pengembangan apa ratur daerah. Desentralisasi fiskal harus dapat mendorong daerah me ngembangkan struktur birokrasi yang efisien dan responsif terhadap kebutuhan daerah. Ketika varia bel belanja pegawai dikeluarkan dari formula penentuan DAU maka daerah akan dipaksa menjadi lebih rasional dalam mengalokasikan belanja pegawai sehingga implikasinya jumlah dan komposisi aparatur daerah akan menjadi semakin sehat dan sesuai dengan kebutuhan daerah. Mengeluarkan varia bel gaji pegawai dari komponen alokasi dasar tentu harus dilaku kan secara hati-hati dan diperlukan masa transisi yang cukup agar pe merintah daerah dapat menyiapkan diri untuk menata kembali struk tur birokrasinya sehingga mereka tidak mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan belanja aparaturnya.
19
Apa yang terjadi sekarang ini menunjukkan bahwa pengalihan uru san ke daerah belum diikuti oleh pemberian kewenangan yang sepa dan kepada pemerintah daerah untuk mengelola besaran perangkat daerah dan aparaturnya. PP Nomor 41 Tahun 2007 cenderung mem batasi kewenangan pemerintah daerah untuk mengembangkan bi rokrasi dan aparatur daerahnya sesuai dengan kompetensi dan kebu tuhan yang dimilikinya. Sentralisasi dan penyeragaman perangkat dan aparatur daerah seharusnya dihindari apabila menginginkan peme rintah daerah mampu mengelola kebutuhannya secara kreatif, efisien, dan efektif. Daerah seharusnya diberi kewenangan untuk mengem bangkan kapasitasnya dalam menjawab tantangan yang dihadapinya. Sampai dengan saat ini jumlah, komposisi, dan kecakapan aparatur daerah masih ditentukan oleh kebijakan pemerintah pusat. Satu-satu
nya kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah adalah men distribusikan dan menempatkan aparaturnya pada struktur birokrasi yang dimilikinya. Ketidakseimbangan antara desentralisasi administrasi dan desen tralisasi dalam pengelolaan aparatur tentu tidak menguntungkan karena dapat menimbulkan anomali dalam penyelenggaraan pe merintahan daerah. Desentralisasi administrasi perlu diikuti secara proporsional oleh desentralisasi pengelolaan aparatur daerah. Peme rintah daerah perlu diberi kewenangan yang lebih besar untuk menge lola aparaturnya termasuk dalam menentukan besaran, komposisi, dan distribusi aparaturnya. lentu pilihan yang dimiliki oleh peme rintah dalam menentukan desentralisasi pengelolaan aparatur tidak sesederhana dan linier seperti yang digambarkan dalam label 5.2 di atas. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, desentralisasi meru pakan suatu kontinum. Pemerintah dapat mengambil pilihan dalam derajat desentralisasi yang berbeda-beda untuk masing-masing peng aturan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang dihadapi oleh Indo nesia dalam mengelola aparatur daerahnya. Misalnya, dalam distribusi aparatur daerah. Pemerintah dapat me lakukan pengaturan secara berbeda untuk kategori aparatur yang berbeda. Pemerintah dapat mengendalikan secara lebih ketat pendis tribusian tenaga fungsional, seperti guru, tenaga dokter spesialis, dan lainnya, yang keberadaannya memiliki peran strategis dalam pening katan kesejahteraan masyarakat di daerah. Begitu juga untuk kader pimpi na n aparatur (seperti Senior Executive Services), pemerintah pusat dapat melakukan sentralisasi dalam rekrutmen, pengembangan, dan pendistribusiannya. Sedangkan untuk tenaga lainnya, pemerintah da pat memberikan kewenangan kepada daerah untuk melakukan rekrut men, pengembangan, dan penempatannya sesuai dengan kebutuhan
19Setelah komponen gaji pegawai dikeluarkan, formula penentuan DAU yang baru harus menghasilkan nominal DAU yang setidak-tidaknya sama besaT dengan DAU yang diterima daerah ketika belanja pegawai masih menjadi bagian dari alokasi dasar. Dengan demikian, tidak ada daerah yang mengalami kesulitan dalam membayar gaji pegawainya ketika formula pembagian DAU mengalami perubahan. Dengan mengeluarkan gaji pegawai dari alokasi dasar maka daerah akan memiliki insentif untuk melakukan rightsizing.
278
daerah.
279