BAB.II KERANGKA TEORITIK
2.1. Teori Kewenangan Dalam Black Law Dictionary, yang dimaksud dengan kewenangan (authority) adalah “a right to command or to act; the right and power of public
officers to require obedience to theirs orders lawfully issued in scope of their public duties.”1
Prajudi Atmosudirdjo, membedakan antara kewenangan
(authority, gezag) dan wewenang (competence, bevoegdheid), kewenangan adalah apa yang disebut “kekuasaan formal” yaitu kekuasaan yang berasal dari kekuasaan legislatif atau kekuasaan eksekutif/administratif. Kewenangan ini merupakan kekuasaan terhadap golongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan tertentu, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu alat tertentu saja.2 Lebih lanjut dinyatakan bahwa wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindakan hukum publik, sedangkan hak adalah kekuasaan untuk melakukan suatu tindak hukum perdata atau hukum pribadi (hukum perdata). Memperhatikan kutipan di atas nampak bahwa wewenang dalam konsep hukum publik merupakan suatu konsep inti dalam hukum tata Negara maupun hukum administrasi. “Dalam hukum tata Negara, wewenang (bevogdheid) dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht). Jadi wewenang dalam
1 2
Henry Black Campbell, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co, USA, 1990.h.133 Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Galia Indonesia, Jakarta, 1984. h.
29
41
konsep hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan.3 Lebih lanjut Philipus M Hadjon4 menjelaskan bahwa sebagai konsep hukum publik, wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga komponen yaitu: a. pengaruh; b. dasar hukum; c. komformitas hukum. Komponen pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subyek hukum. Komponen dasar hukum, bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya, artinya kewenangan tidak
dapat
diciptakan sendiri,
melainkan diberi
berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang ada. Komponen konformitas hukum, mengandung makna adanya standard wewenang, yaitu standard umum (semua jenis wewenang) dan standard khusus (untuk jenis wewenang tertentu). Mengingat bahwa kerjasama antar pemerintah daerah dilakukan oleh orang yang memangku jabatan, maka kewenangan merupakan syarat utama untuk dapat melakukan kerjasama antar pemerintah daerah. Ten Berge menyatakan bahwa hanya ada dua cara, dengan apa suatu organ dapat memperoleh kewenangan, yaitu dengan atribusi dan delegasi. Atribusi berkaitan dengan pengakuan hak atas suatu kewenangan baru, sedangkan delegasi berkaitan dengan penyerahan dari suatu kewenangan yang sudah ada.5 Dalam ketentuan De Algemene Wet Bestuursrecht6 terjemahan Soetopo, yang dimaksud dengan
pemberian
delegasi:
“pelimpahan
kewenangan
untuk
mengambil
Henc van Maarseveen, dalam Philipus M Hadjon, Tentang Wewenang, Yuridika, sept – des 1997. h. 1. 3
4 5 6
Ibid.
Ten Berge, op.cit. h.6. Terjemahan pasal 1A.1.2.1 dari AWB
42
keputusan-keputusan oleh suatu organ pemerintahan kepada pihak lain yang melaksanakan kewenangan ini atas tanggung jawab sendiri.” Hal tersebut sejalan dengan
pemikiran
Soewoto
Mulyo
Soedarmo
menyatakan
bahwa;
“Kewenangan dapat diperoleh melalui pengakuan kekuasaan (attributie), ataupun pelimpahan kekuasaan (overdracht).”7 Pelimpahan kekuasaan dapat dibedakan menjadi
dua
macam
yaitu
pemberian
kuasa
(mandaatsverlening)
dan
pendelegasian (delegatie). Sedangkan Philipus M Hadjon menyatakan bahwa “kewenangan dapat diperoleh melalui tiga sumber, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan atribusi lazimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan Negara oleh undang-undang dasar, kewenangan delegasi dan mandat adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan.8 Kewenangan delegasi merupakan pelimpahan kewenangan untuk mengambil keputusan-keputusan oleh suatu organ pemerintahan kepada pihak lain yang melaksanakan kewenangan ini atas tanggungjawab sendiri. Sedangkan mandat merupakan kewenangan yang diberikan oleh suatu organ pemerintahan kepada orang lain untuk atas namanya mengambil keputusan-keputusan.
9
Dalam hal kewenangan tersebut diperoleh
secara delegasi dipersyaratkan bahwa: a. Delegasi
harus
definitif,
artinya
delegans
tidak
dapat
lagi
menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan;
7 Soewoto Mulyo Soedarmo, Otonomi Daerah, Suatu Kajian Historik, Teoritik, dan Yuridik Pelimpahan Kekuasaan, Yuridika, sept – des 1990, h. 275. 8 Philipus M Hadjon, Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam Mewujudkan pemerintahan yang bersih, Pidato peresmian jabatan Guru Besar Unair, 10 Okt 1994. H. 9 Pasal 1A.1.2.1 dan 1a.1.1.1 Undang-Undang Umum Hukum Pemerintahan (algemeine wet bestuur) terjemahan M Soetopo, S.H. Bahan Penataran Hukum Administrasi,
kerjasama Hukum Indonesia Belanda tahun 1993.
43
b. Delegasi
harus
berdasarkan
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan; c. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan herarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi; d. Kewajiban
memberi
keterangan
(penjelasan),
artinya
delegans
berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut; e. Peraturan kebijakan (beleidsregels) artinya delegans memberikan intruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut. Memperhatikan bahwa delegasi merupakan salah satu sumber untuk memperoleh wewenang selain mandat yang merupakan pelimpahan wewenang, kiranya perlu memahami perbedaan antar delegasi dengan mandat sebagai kewenangan untuk melakukan tindak pemerintahan. Perbedaan tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut:10
10
Philipus M Hadjon, dalam Philipus M Hadjon.et.al, Hukum Administrasi dan Good
Governance, Universitas Trisakti, Jakarta, 2010. h. 21.
44
Tabel 1: Perbedaan Kewenangan Delegasi Dan Kewenangan Mandat
a. prosedur pelimpahan
Mandat
Delegasi
Dalam hubungan rutin atasan bawahan : hal biasa kecuali dilarang secara tegas
Dari suatu organ pemerintahan kepada organ lain: dengan peraturan per UU –an
b. tanggung jawab dan tetap pada tanggung gugat mandat c.kemungkinan sipemberi menggunakan wewenang itu lagi
Setiap saat menggunakan wewenang dilimpahkan itu
pemberi Tanggung jawab dan danggung gugat beralih kepada delegataris dapat Tdk dpt menggunakan sendiri wewenangnya lagi yang kecuali setelah ada pencabutan dengan berpegang pada asas
contrarius actus
d. Tata Naskas Dinas
a.n, u.b, a.p
Tanpa a.n. dll (langsung
Kewenangan dalam melakukan kerjasama antar pemerintah daerah dinyatakan dalam suatu
jabatan yang merupakan lingkungan pekerjaan yang
tetap. Dalam melakukan kewenangan Negara tersebut dibatasi oleh “tempat (onbevoegdheid ratione loci), materi (onbevoegdheid ratione materiae), waktu (onbevoegdheid ratione temporis)”.11 Kerjasama antar pemerintah daerah merupakan suatu bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah daerah dimana kebijakan publik sebagai obyek yang diperjanjikan12 dalam kerjasama antar pemerintah daerah. Mengingat Philipus M Hadjon. Et al, Pengantar Hukum Adminisatrasi Indonesia, Gajahmada University Press, Jogjakarta, 1994, h.327. 12 H.M. Laica Marzuki, Op. Cit h. 150 menjelaskan bahwa Perjanjian kebijakan atau beliedsovereenkomst pada hakekatnya merupakan perbuatan yang menjadikan kebijakan public selaku obyek perjanjian. Oleh karena kebijakan yang diperjanjikan adalah kebijakan tata usaha Negara (oreheidsbelied) maka salah satu pihak yang mengadakan perjanjian itu adalah tidak lain 11
45
kebijakan publik sebagai obyek perjanjian, maka berdasarkan ketentuan Pasal 1340 Burgelijk Wetboek13 dengan sendirinya kerjasama tersebut juga mengikat masyarakat pada masing-masing daerah yang terikat kerja sama tersebut, mengingat bahwa Kepala Daerah melakukan kerja sama tersebut untuk dan atas nama daerah yang didalamnya terdapat masyarakat sebagai pihak yang terikat dalam kerjasama antar pemerintah daerah. Terikatnya masyarakat dalam pelaksanaan kerjasama antar pemerintah daerah, tentunya juga membawa konsekwensi
apakah
masyarakat
mempunyai
hak
gugat
bila
merasa
kepentingannya dirugikan akibat dari kerja sama tersebut. Tindakan Pemerintah yang berdasarkan pada hukum perdata banyak ditemukan dalam kegiatan pemerintahan dalam melakukan hubungan hukum dengan subyek hukum perdata dalam bentuk perjanjian, namun banyak hal bentuk
perjanjian
ini
sering
menimbulkan
kekaburan
yang
disebabkan
menonjolnya aspek kekuasaan dalam menentukan kesepakatan, pada sisi lain perjanjian yang didasarkan pada hukum publik dirumuskan dalam bentuk keputusan bersama. Untuk melakukan perjanjian ini tentunya para pihak tetap memperhatikan asas-asas dalam hukum perjanjian. Lebih lanjut Yohanes Sogar Simamora menyatakan14: Dalam kajian tentang kontrak oleh pemerintah pada umumnya dipahami bahwa jenis kontrak ini merupakan species dari kontrak perdata. Oleh sebab itu pada dasarnya prinsip dan norma hukum dalam hukum kontrak berlaku bagi kontrak pemerintah. Tetapi karena adanya faktor kepentingan dari badan atau pejabat tata usaha Negara yang secara administratie-frechtelijk memiliki kewenangan untuk menggunakan kebijakan public yang diperjanjikan. 13 Terjemahan R. Subekti, Pasal 1340 berbunyi “suatu perjanjian hanya berlaku mengikat untuk kedua belah pihak yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga; tak dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat karenya, selain dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317 14 Yohanes Sogar Simamora, Hukum perjanjian, Prinsip Hukum Kontrak Pengadaan Barang Dan Jasa Oleh Pemerintah, LaksBang Pressindo, 2009. H. 17.
46
umum dan terlibatnya anggaran Negara membuat kontrak pemerintah tunduk pada batasan-batasan tertentu baik yang terdapat dalam konstitusi maupun undang-undang. Dalam beberapa hal prinsip umum dalam hukum kontrak tidak berlaku bagi kontrak pemerintah atas alasan perlindungan kepentingan umum. “Sebagai konsekwensi pemanfaatan instrument perdata oleh pemerintah, khususnya kontrak, dalam pengelolaan urusan pemerintahan yang lazim disebut sebagai kontraktualisasi (Contractualization), terjadi percampuran antara elemen perdata dan publik dalam hubungan kontraktual yang dibentuk”.15 Implikasi dari percampuran elemen perdata dan publik tidak saja mengenai keabsahan dalam pembentukan kontrak, melainkan juga meliputi aspek pelaksanaan maupun penegakkan hukum. Memperhatikan
teori
kewenangan
tersebut
diatas,
kewenangan
pemerintah daerah untuk melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah lainnya selalu didasarkan pada kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah baik secara atribusi maupun delegasi. Sesuai dengan teori kewenangan, bahwa dalam kewenangan harus dapat ditunjuk dasar hukum yang melandasi pemerintah daerah berwenang melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah lainnya. Kewenangan untuk melakukan kerjasama antar pemerintah daerah dapat ditemukan dalam undang-undang yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Untuk itu kiranya perlu ditelusuri peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia telah silih berganti undangundang yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Silih berganti undang-undang tersebut juga berpengaruh pada sistem pembagian kewenangan 15
Ibid. h. 53.
47
secara vertikal, yang melahirkan daerah otonom. Hal tersebut dapat juga dipengaruhi oleh rumusan pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum dilakukan amandemen yang tidak secara tegas mengatur sistem pembagian kewenangan secara vertikal. Sistem pembagian kewenangan secara vertikal ini sangat berbeda dengan rumusan pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah dilakukan amandemen yang secara jelas pembagian kewenangan secara vertikal menggunakan sistem otonomi seluasluasnya.16
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan : “Indonesia adalah negara kesatuan
yang
berbentuk
republik”.
Bentuk
negara
kesatuan
memberi
konsekwensi bahwa di seluruh negara hanya ada satu pemerintahan yang sah, hanya ada satu hukum nasional yang berlaku di seluruh Negara.
Walaupun
demikian penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan ketentuan pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
tidak bersifat
sentralistik, melainkan dengan pemencaran kewenangan secara vertikal yang melahirkan pemerintahan daerah. ”Sentralisasi dan desentralisasi menurut Hans Kelsen17 merupakan bentuk dari organisasi negara. Lebih lanjut Kelsen juga menjelaskan bahwa sentralisasi dan desentralisasi merupakan dua tipe tatanan hukum. Perbedaan antara negara yang sentralistis dengan negara yang desentralisasi mesti merupakan suatu perbedaan di dalam tatanan hukumnya.” Beranjak dari ketentuan pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menyatakan “Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.” 17 Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terjemahan dari Hans kelsen General Theori of Law and State (New York, Russel and Russel, 1971), cet I, Nusamedia, 2006, bandung, h. 240. 16
48
Indonesia Tahun 1945 tersebut, nampak bahwa Negara Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan
memberi
menyelenggarakan
kesempatan otonomi
dan
daerah.
kekuasaan Dalam
kepada
Negara
daerah
kesatuan
untuk
pembagian
kewenangan secara vertikal merupakan pembagian kewenangan pemerintahan, antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Pembagian wewenang pemerintahan tersebut dapat dilakukan dengan cara atribusi maupun delegasi. Dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan Negara yang menganut prinsip pemencaran kewenangan secara vertical, dikenal istilah desentralisasi, yakni membagi kewenangan kepada pemerintah bawahan dalam bentuk penyerahan kewenangan.
Prinsip
ini
melahirkan
model
pemerintahan
daerah
yang
menghendaki adanya otonomi dalam penyelenggaraan kewenangan. Desentralisasi
diartikan
“penyerahan
atau
pengakuan
hak
atas
kewenangan untuk mengurus rumah tangga daerah sendiri, dalam hal ini daerah diberi kesempatan untuk melakukan suatu kebijakan sendiri. Pengakuan tersebut merupakan suatu bentuk partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan yang merupakan ciri dari Negara demokrasi.”18 “Desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan kepada manajer atau orang – orang pada level bawah pada suatu organisasi.”19 Ten Berge mengartikan desentralisasi sebagai suatu penyerahan atau pengakuan hak (mengenai keadaan yang telah dinyatakan) atas kewenangan untuk pengaturan dan pemerintahan dari badan-badan hukum publik yang rendahan atau organ-organ, dalam hal
Maurice Duverger, dalam Kuntjoro Purbopranoto, Sistem Pemerintahan Demokrasi, cet 3. PT Eresco, Bandung, 1978.h.1 19 Armin, Otonomi, Sentralisasi & Desentralisasi, 9 Desember 2007, http// zalfaasatria.blogspot.com /2007/12 otonomisentyralisasi.html 18
49
mana ini diberi kesempatan untuk melakukan suatu kebijaksanaan sendiiri.”20 Hal tersebut sejalan dengan pendapat Rene Seerden dan Frits stroink yang menyatakan bahwa “In a decentralized State, some power is delegated to public
authorities or agencies that have legal personality themselves and are not hierahchically subordinated to the central authority. Thy are self-governing”.21 Dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 “desentralisasi merupakan penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara kesatuan Republik Indonesia”. Desentralisasi kewenangan yang melahirkan daerah otonom sering dijumbuhkan dengan otonomi daerah yang sebenarnya mempunyai tempat masing-masing. Istilah otonomi lebih cenderung pada political
aspect (aspek politik – kekuasaan Negara), sedangkan desentralisasi lebih cenderung pada administratif aspect (aspek administrasi Negara). Namun jika dilihat dari konteks pembagian kewenangan dalam prateknya, kedua istilah tersebut mempunyai keterkaitan yang erat, dan tidak dapat dipisahkan. Artinya jika berbicara mengenai otonomi daerah, tentu akan menyangkut pertanyaan seberapa wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang telah diberikan sebagai wewenang rumah tangga daerah, demikian sebaliknya.”22 Pembagian kewenangan secara vertikal yang melahirkan daerah otonom tersebut tentunya tidak lepas sebagai sarana untuk mempermudah atau
Ten Berge, bahan Penataran Hukum Administrasi, Kerjasama Hukum IndonesiaBelanda, 1999, h.16. 21 Rene serrden and Frits Stroink, Administrative law Of The Eurupean Union, its member State and the United States, Intersentria Uitgevers Antwerpen Groningen, 2002. h. 15 22 Ryaas Rasyid, perspektif Otonomi Luas, dalam Otonomi atau Federalisme dampaknya terhadap Perekonomian, Suara Harapan, Jakarta, 2000, h. 78. 20
50
mempercepat terwujudnya kesejahteraan. Menurut Sandy pembentukan daerah otonom bertujuan23: 1. Mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan tentang masalah-masalah kecil pada tingkat lokal. Demikian pula memberikan peluang untuk koordinasi pada tingkat lokal; 2. Meningkatkan pengertian rakyat serta dukungan mereka dalam kegiatan usaha pembangunan sosial ekonomi. Demikian pula pada tingkat lokal, dapat merasakan keuntungan dari konstribusi kegiatan mereka itu; 3. Penyusunan program-program untuk perbaikan sosial ekonomi pada tingkat lokal sehingga dapat lebih realistis; 4. Melatih rakyat untuk bisa mengatur urusannya sendiri (self government) 5. Pembinaan kesatuan nasional. Sedangkan Dann Suganda berpendapat bahwa pembentukan daerah otonom juga didasarkan adanya kemungkinan24: a. Pemanfaatan sebesar-besarnya potensi daerah sendiri; b. Untuk terpuaskan masyarakat di daerah-daerah karena aspirasi dan kehendaknya terpenuhi; c. Masyarakat setempat lebih banyak ikut serta didalam memikirkan masalah-masalah pemerintahan, jadi lebih cocok dengan susunan pemerintahan yang demokratis; d. Pembangunan di daerah-daerah akan lebih pesat, karena tiap-tiap daerah akan berusaha untuk menciptakan kebanggaannya sendiri. Memperhatikan pendapat diatas jelas nampak bahwa otonomi daerah sangat berkaitan dengan demokrasi, kesejahteraan rakyat, efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan
pemerintahan.
Dalam
penyelenggaraan
pemerintahan
di
Indonesia pembagian kekuasaan yang melahirkan daerah otonom didasarkan pertimbangan-pertimbangan antara lain:25 1. Tututan Negara Hukum.
Sandy, dalam Bintoro Tjokroamidjojo, Pengantar Administrasi Pembangunan, LP3ES, Jakarta, 1987.h.82 24 Daan Suganda, Sistem Pemerintahan Republik Indonesia dan Pemerintahan Daerah, Sinar Baru, Bandung, h. 69 - 70 25 Bagir Manan, Pemerintahan Daerah, bahan Penataran Hukum Administrasi , kerjasama Indonesia-Belanda, 1989, h. 1 - 3 23
51
Republik Indonesia adalah Negara hukum (rechtsstaat), dimana salah satu ciri negara hukum adalah adanya pembagian kekuasaan dan pemencaran kekuasaan (scheiding en speiding van machten). Pembagian dan pemencaran tersebut sebagai upaya mencegah bertumpuknya kekuasaan pada satu pusat pemerintahan yang akan memberatkan beban pekerjaan yang harus dijalankan. Dengan pemencaran pusat akan diringankan dalam menjalankan pekerjaan. Tidak pula kalah penting, pemencaran mempunyai fungsi "cheks and balances” 2. Tututan Negara Kesejahteraan Negara kesejahteraan adalah Negara hukum yang memusatkan perhatian pada upaya mewujudkan kesejahteraan orang banyak. Undang-Undang dasar Negara Repulik Indonesia Tahun 1945 meletakkan Negara atau pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan pada orang banyak. 3. Tututan Demokrasi Demokrasi menghendaki partisipasi. Daerah otonom yang disertai badan perwakilan merupakan wadah kesempatan rakyat berpartisipasi 4. Tututan Kebhinekaan Rakyat Indonesia, baik sosial, ekonomi maupun budaya adalah masyarakat pluralistik yang mempunyai sifat dan kebutuhan yang berbeda-beda. Untuk mewujudkan keadilan, kesejahteraan dan keamanan tidak mungkin “memaksakan” keseragaman (uniformitas). Setiap keseragaman dapat menimbulkan gangguan terhadap rasa keadilan, kesejahteraan dan keamanan. Daerah otonom merupakan sarana mewadahi perbedaan tersebut sesuai dengan prinsip “bhineka tunggal ika”. Memperhatikan pendapat Bagir Manan tersebut, nampak
jelas bahwa
desentralisasi kewenangan sebagai sarana untuk memudahkan pencapaian tujuan Negara sebagaimana dituangkan dalam alenia empat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam
52
suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Dalam usaha untuk mewujudkan tujuan Negara tersebut, desentralisasi kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat,
serta peningkatan daya saing daerah dengan
memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia; bahwa efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan. daerah, potensi dan keanekaragaman daerah,
peluang
dan
tantangan
persaingan
global
dengan
memberikan
kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan Negara.26
Dasar menimbang huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 26
53
Dalam pembagian kewenangan secara vertical terdapat beberapa sistem pembagian, menurut Josef Riwu Kaho27 desentralisasi yang melahirkan otonomi daerah dapat didasarkan pada: 1. Sistem Residu (Teori Sisa) Dalam sistem ini, secara umum telah ditentukan tugas-tugas yang menjadi wewenang Pemerintah Pusat, sedangkan sisanya menjadi urusan rumah tangga daerah. 2. Sistem Materiil Desentralisasi yang didasarkan pada sistem materiil ini kewenangan Pemerintah Daerah ditetapkan satu persatu secara limitative atau terinci, selain yang telah ditetapkan tersebut, maka selebihnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. 3. Sistem Formal Sistem otonomi formal ini kewenangan yang termasuk dalam urusan rumah tangga daerah tidak secara a priori ditetapkan dalam undang-undang. Daerah boleh mengatur dan mengurus sesuatu yang dianggap penting bagi daerahnya, asal saja tidak mencakup urusan yang telah diatur dan diurus oleh pemerintah pusat, atau pemerintah daerah yang lebih tinggi.
4. Sistem Otonomi Riil Dalam sistem ini, penyerahan urusan atau tugas dan kewenangan kepada daerah didasarkan pada factor yang nyata atau riil, sesuai Yosep Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Rajawali Pres, Jakarta. 1991, 15 - 18 27
54
dengan kebutuhan dan kemampuan yang riil dari daerah maupun pemerintah pusat serta pertumbuhan kehidupan masyarakat yang terjadi Sistem otonomi pada umumnya orang mengenal ada dua faham atau sistem pokok, yaitu faham atau sistem otonomi materiil dan faham atau sistem otonomi formal.28 Oleh Sujamto
29
kedua istilah ini lazim juga disebut pengertian
rumah tangga materiil (materiele huishoudingsbegrip) dan pengertian rumah tangga formil (formeele huishoudingsbegrip) Koesoemahatmadja30 menyatakan ada tiga ajaran rumah tangga yang terkenal yaitu : a. Ajaran Rumah Tangga Materiil (materiele huishoudingsleer) atau Pengertian Rumah Tangga Materiil (materiele huishoudingsbegrip), b. Ajaran Rumah Tangga Formil (formil huishoudingsleer) atau Pengertian Rumah Tangga Formil (formeele huishoudingsbegrip) c. Ajaran Rumah Tangga Riil (riele huishoudingsleer) atau Pengertian Rumah Tangga Riil (riele huishoudingsbegrip) Pada ajaran rumah tangga meteriil bahwa dalam hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah ada pembagian tugas yang jelas, dimana tugas-tugas tersebut diperinci dengan jelas dan diperinci dengan tegas dalam Undang–Undang tentang pembentukan suatu daerah. Artinya rumah tangga daerah itu hanya meliputi tugas-tugas yang telah ditentukan satu persatu http//orang Buton.wordpress.com Ibid
28 29 30
Koesoemahamadja, dalam http//orang Buton.wordpress.com, Ibid
55
dalam Undang-Undang pembentukannya. Apa yang tidak termasuk dalam perincian tidak termasuk dalam rumah tangga daerah, melainkan tetap berada ditangan pemerintah pusat. Jadi ada perbedaan sifat materi antara tugas pemerintah pusat dam pemerintah daerah. Adapun mengenai ajaran rumah tangga formil disini tidak terdapat perbedaan sifat antara tugas-tugas yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan oleh pemerintah daerah. Apa yang dapat dikerjakan oleh pemerintah pusat pada prinsipnya dapat dikerjakan pula oleh pemerintah daerah demikian pula sebaliknya. Bila ada pembagian tugas maka itu didasarkan atas pertimbangan rasional dan praktis. Artinya pembagian tugas itu tidaklah disebabkan karena materi yang diatur berbeda sifatnya, melainkan semata-mata karena keyakinan bahwa kepentingan daerah itu lebih baik dan berhasil jika diselenggarakan sendiri daripada diselenggarakan oleh pemerintah pusat. Dari berbagai sistem pembagian kewenangan tersebut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 18 ayat (5) Pemerintah Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Pembagian kewenangan antar susunan pemerintahan yang didasarkan pada otonomi seluasluasnya sesuai dengan ketentuan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, kriteria
pembagian kewenangan antar susunan pemerintahan didasarkan
eksternalitas, akuntabilitas
dan
efisiensi31
dengan
memperhatikan
Penjelasan Pasal 11 ayat (1) menyatakan bahwa: Yang dimaksud dengan “criteria eksternalitas” adalah penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang timbul akibat penyelenggaraan suatu urusan. Yang dimaksud dengan “criteria akuntabilitas” adalah penanggungjawab penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan kedekatannya dengan luas , besaran, dan jangkauan dampak 31
56
keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Atas dasar kriteria tersebut pembagian kewenangan berdasarkan otonomi seluas – luasnya tidak didasarkan pada pembagian bidang kewenangan, melainkan pembagian didasarkan pada urusan pada masing-masing bidang. Hal tersebut secara jelas dinyatakan dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 yang berbunyi: (1).Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. (2).Penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelaksanaan, hubungan kewenangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah provinsi,kabupaten dan kota atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan. (3).Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, yang diselenggarakan berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. (4).Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib yang berpedoman pada standar pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah. Pembagian urusan antara pemerintah, pemerintahan provinsi, dan pemerintahan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 tersebut di atas, berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 lebih lanjut diatur dengan Peraturan Pemerintah, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan
Daerah
Provinsi,
Dan
Pemerintahan
Daerah
Kabupaten/Kota
yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu urusan pemerintah. Yang dimaksud “criteria efisiensi” adalah penyelenggara suatu urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan perbandingan tingkat daya guna yang paling tinggi yang dapat diperoleh.
57
2.2. Tindak Pemerintahan Kerjasama antar pemerintah daerah baik yang dituangkan dalam bentuk keputusan bersama maupun perjanjian merupakan suatu produk hukum dalam penyelenggaraan kewenangan daerah. Hal tersebut mengingat bahwa naskah kerjasama antar pemerintah daerah baik yang dituangkan dalam bentuk keputusan bersama atau perjanjian sebagai penampilan atau manifestasi dari suatu asas yang melandasinya”.32 Dalam pembentukan produk hukum tersebut satu hal yang tidak boleh ditinggalkan yaitu adanya kewenangan dari organ yang melakukan kerjasama antar pemerintah daerah. Kewenangan tersebut lahir dari kekuasaan sebagai penyelenggara Negara, hal tersebut mengingat bahwa “Negara merupakan sebuah tatanan hukum, dimana unsur-unsur Negara yang mencakup wilayah dan rakyat merupakan bidang validitas teritorial dan personal serta tatanan hukum tersebut. Kekuasaan Negara adalah validitas dan efektifitas dari tatanan hukum, sedangkan ketiga kekuasaan atau fungsi Negara adalah tahapan-tahapan yang berbeda dari pembentukan tatanan hukum tersebut”.33 Dalam Negara yang menganut pemencaran kekuasaan secara vertical dan melahirkan
daerah
otonom,
maka
dalam
desentralisasi
juga
terdapat
desentralisasi kekuasaan hukum untuk menciptakan kesejahteraan, keadilan, ketertiban, dan demokrasi.
Pemikiran otonomi daerah ada jauh sebelum
Indonesia merdeka. Hal tersebut antara lain dapat dibaca dari pemikiran Semaun dan Muhammad Hatta.34
Perhatikan, Meuwissen, Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, terjemahan B. Arief Sidharta, Rafika Aditama, Bandung, 2007. h. 66 33 Hans Kelsen, General Theory of Law and State (Teori Umum Tentang Hukum Dan 32
Negara), Terjemahan Raisul Muttaqien, cet 1 Nusamedia, 2006. h. 430 34 Bagir Manan, Menyongsong Otonomi Daerah, Fakultas Hukum UII Yogyakarta, h. 175 menjelaskan bahwasanya : Adanya satuan pemerintahan daerah yang otonom bagi Negara
58
Menurut
Mohammad Hatta,
pembentukan
pemerintahan
daerah,
merupakan salah satu aspek pelaksanaan paham kedaulatan rakyat (demokrasi): “Menurut dasar kedaulatan rakyat itu, hak rakyat untuk menentukan nasibnya tidak hanya ada pada pucuk pimpinan negeri, melainkan juga pada setiap tempat di kota, di desa dan di daerah”.35 Kedaulatan rakyat mengandung berbagai dimensi yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan pertumbuhan dan lingkungan masyarakat. Namun demikian demokrasi akan atau semestinya mengandung atau menunjukkan beberapa esensi yang tidak dapat ditawar yaitu kebebasan (liberty) dan persamaan (equality) baik dalam dimensi politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Lebih lanjut Hans Kelsen menyatakan bahwa “yang disebut otonomi daerah adalah suatu perpaduan langsung dari ide-ide desentralisasi dengan ide-ide demokrasi”.36
Sedangkan Robert Rienow
menyebutkan bahwa “Handling their local affairs is regarded as good training for
people charged with the central of democracy. It is more than training, it the very essence of the popular sistem”.37. Memperhatikan pemikiran-pemikiran tersebut, nampak jelas bahwa penyelenggaraan otonomi daerah dipandang sebagai esensi dari demokrasi, sedangkan esensi dari demokrasi yaitu adanya pengakuan terhadap hak asasi manusia dan persamaan (equality). Pengakuan terhadap hak asasi manusia dan persamaan diwujudkan bentuk pelayanan yang
Indonesia merdeka telah tercermin dalam berbagai pandangan jauh sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945. Semaun tahun1926 telah menulis bahwa pemerintahan Negara modern akan tersusun dari (a) pemerintah dan parlemen; (b) pemerintah provinsi dan dewan provinsi; (3) pemerintah kota dan dewan kota. Demikian pula Mohammad Hatta dalam tulisan (brosur) Kearah Indonesia Merdeka (1932) telah menyebutkan “Oleh karena Indonesia terbagi atas beberapa pulau dan golongan bangsa, maka perlulah tiap golongan, kecil atau besar, mendapat otonomi, mendapat hak menentukan nasib sendiri, asal saja peraturan masing-masing tidak berlawanan dengan dasar-dasar pemerintahan umum” 35 36 37
Ibid
Hans Kelsen, op.cit. h. 445 Dalam Bagir Manan, op.cit. h. 177
59
sebaik-baiknya terhadap masyarakat yang mempunyai kebutuhan dan tuntutan yang berbeda-beda. Dengan demikian, pemerintahan daerah sebagai sarana melaksanakan paham kedaulatan rakyat memikul beban menyelenggarakan kesejahteraan rakyat disamping menjalankan pemerintahan secara demokratis. Dalam upaya menyelenggarakan kesejahteraan rakyat, pelalyanan publik dan pemerintahan secara demokratis, pemerintahaan daerah dapat melakukan kerjasama antar pemerintah daerah yang merupakan bagian dari tindak pemerintahan (bestuurshandelingen). Tindak
pemerintahan
(bestuurshandelingen)
adalah
tindakan
atau
perbuatan yang dilakukan oleh administrasi Negara dalam melaksanakan tugas pemerintahan.38
Kontjoro
Purbopranoto
menyatakan
bahwa
tindak
pemerintahan adalah “segala tindakan dan kewenangan alat-alat pemerintahan untuk
menjalankan
khusus/tertentu.”39
tugas/tujuan Romeyn
dengan
sebagaimana
menggunakan dikutip
oleh
wewenang Kontjoro
Purbopranoto menyatakan bahwa “tindak pangreh (bestuurshandeling) adalah tiap-tiap tindakan/perbuatan dari pada satu alat perlengkapan pemerintahan (bestuursorgaan), juga diluar lapangan hukum Tata Pemerintahan, misalnya keamanan, peradilan dan lain-lain, yang bermaksud untuk menimbulkan akibat hukum dibidang hukum administrasi”40 . Sejalan dengan pemikiran tersebut Philipus
M
Hadjon
menyatakan
bahwa
“tindak
pemerintahan
(bestuurshandeling) adalah tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh
Philipus M Hadjon, Pengertian- Pengertian Dasar Tentang Tindak Pemerintahan, Jumali, Surabaya, 1985. h. 1 39 Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, cet. 2 Alumni Bandung, 1978. H. 42 38
40
Ibid.
60
administrasi Negara dalam melaksanakan tugas pemerintahan.41 Lebih lanjut Kuntjoro Purbapranoto membedakan bentuk tindak pemerintahan tersebut digolongkan kedalam:42 a. tindak pemerintahan yang berdasar hukum (rechtshandeling); b. tindak pemerintahan yang berdasarkan fakta (feitelijke hadeling) Tindak pemerintahan yang berdasar hukum lebih penting, sedangkan tindak pemerintahan yang berdasarkan fakta tidak relevan, tidak mempunyai hubungan
langsung
dengan
kewenangan.
Kuntjoro
Purbopranoto
selanjutnya membagi tindakan hukum kedalam tindakan pemerintahan yang berdasar hukum perdata dan tindak pemerintahan yang berdasar hukum publik. Tindakan hukum publik dibagi lagi kedalam tindakan hukum publik yang bersifat sepihak (eenzijdig publiekrechtelijke handelingen), dan tindakan hukum publik bersifat berbagai pihak (meerzijdig publiekrechtelijke handelingen). Philipus M Hadjon
membedakan tindak pemerintahan tersebut
kedalam tindakan nyata dan tindakan hukum (feitelijke handelingen en
rechtshadelingen).43 Tindakan nyata merupakan tindakan yang diarahkan untuk tidak melahirkan suatu akibat hukum, namun tindakan nyata tersebut dapat juga akan melahirkan akibat hukum. Bila lahir akibat hukum, maka akibat hukum tersebut
merupakan
suatu
yang
tidak
dikehendaki.
Tindakan
hukum
(rechtshadelingen) merupakan suatu tindakan yang diarahkan untuk melahirkan suatu akibat hukum. Tindakan hukum ini selanjutnya dibedakan dalam tindakan hukum perdata dan tindakan hukum publik. Tindakan hukum perdata merupakan suatu tindakan yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum perdata 41 42 43
Philipus M Hadjon, Op.cit, h.1 Kuntjoro Purbopranoto Op.cit.h.44 Ibid. h. 2-3
61
ataupun tindakan-tindakan yang didasarkan atas suatu kesepakatan. Sedangkan tindakan hukum publik merupakan tindakan yang didasarkan pada hukum administrasi maupun hukum tata Negara. Tindakan hukum publik selanjutnya dibedakan atas tindakan hukum publik berbagai pihak (meerzijdig), dan tindakan hukum sepihak (eenzijdig). Tindakan hukum publik berbagai pihak merupakan tindakan yang dilakukan oleh dua pihak yang
didasarkan
pemerintahan.
pada
hukum
publik
dalam
rangka
Tindakan
hukum
publik
berbagai
pihak
penyelenggaraan ini
merupakan
kesepakatan (perjanjian) para pihak yang didasarkan pada hukum publik (publiekrechtelijke overeenkomst).
Sedangkan tindakan hukum publik yang
sepihak merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah secara sepihak tanpa memerlukan persetujuan dari pihak lain yang dikenai tindakan tersebut. Tindakan hukum publik sepihak selanjutnya dibedakan dalam tindakan hukum publik sepihak yang bersifat umum dan tindakan hukum publik sepihak yang bersifat individual. Tindakan yang bersifat umum ditujukan kepada setiap orang, dan tindakan ini berkarakter sebagai peraturan, sedangkan tindakan yang bersifat individual, merupakan tindakan yang ditujukan kepada seseorang atau beberapa orang tertentu dengan identitas yang jelas. Tindakan ini dalam khasanah hukum administrasi disebut sebagai keputusan tata usaha Negara. Atas dasar uraian tersebut lebih lanjut Philipus M Hadjon. et. al44 menjelaskan tindak pemerintahan tersebut dalam skema sebagai berikut:
44
Philipus M Hadjon. Et.al. Op. Cit. h. 319
62
Bagan 2 : Tindak Pemerintahan Menurut Philipus M Hadjon Tindak Pemerintahan (bestuurshandelingen)
Tindakan Materiil (Feitelijkhandelingen
Tindakan Hukum (Rechtshandelingen)
Tindakan Hukum Privat
Tindakan Hukum Publik
Berbagai pihak
sepihak
umum
Abstrak
individual
konkrit
Demikian halnya dengan pendapat dari van Wijk & Konijnenbelt sebagaimana dikutif oleh Sudarsono yang membedakan tindak pemerintahan tersebut kedalam feitelijkehandelingen, dan rechtstelijkhandelingen. Lebih lanjut pendapat van Wijk tersebut dijabarkan dalam bagan sebagai berikut:45
Sudarsono, Pilihan Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara Di Peradilan Tata Usaha Negara, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Universitas Brawijaya, 45
Malang . 2008. H. 14. Bandingkan dengan Indroharto yang juga mengutip pendapat van Wijk & Konijnenbelt sebagaimana dalam Usaha Memahami Undang-Undang tentang peradilan Tata Usaha Negara, cet 2, CV Muliasari, 1991. h 84.
63
Bagan 3 : Tindak Pemerintahan Menurut Sudarsono
OVERHEIDSBESLUITEN
Feitelijkehandelingen
Rechtshandelingen
Internerechteshandelingen
Externerechtshandelingen
Pivaatrechtelijk Externerechtshandelingen
Publiekrechtelijk Externerechtshandelingen
Meerzijdige Publiekrechtelijk externer
Eenrzijdige besluiten Publiekrechtelijk externer
Alegemene
Individuele
(algemene) abstracte
(algemene)
(individuale)
(individuale)
concrete
abstracte
concrete
Tindakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah tersebut oleh Sudikno Mertokusumo menyebutnya dengan perbuatan hukum yang diartikan bahwa “perbuatan subyek hukum yang ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum yang sengaja dikehendaki oleh subyek hukum. Pada dasarnya perbuatan hukum ini ditentukan juga oleh hukum. Unsur-unsur perbuatan hukum adalah kehendak dan
64
pernyataan kehendak yang sengaja ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum”.46 Lebih lanjut Sudikno Mertokusumo47 membedakan perbuatan hukum tersebut menjadi perbuatan hukum sepihak dan perbuatan hukum ganda. Perbuatan hukum sepihak hanya memerlukan kehendak dan pernyataan kehendak untuk menimbulkan akibat hukum dari satu subyek hukum saja. Dalam perbuatan hukum sepihak yang murni tidak perlu ada pihak yang menerima kehendak dan pernyataan kehendak itu secara langsung, sedangkan perbuatan hukum ganda merupakan perbuatan hukum yang memerlukan kehendak sekurang-kurangnya dua subyek hukum yang ditujukan kepada akibat hukum yang
sama.
Selain perbuatan hukum,
Sudikno Mertokusumo,
juga
menyatakan masih ada perbuatan hukum lainnya yang oleh hukum dihubungkan dengan akibat hukum, tidak peduli apakah terjadinya akibat hukum itu dikehendaki atau tidak oleh yang bersangkutan. Bedanya dengan perbuatan hukum ialah bahwa perbuatan lainnya ini tidak ada kehendak dan pernyataan kehendak untuk menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum yang timbul sama sekali tidak tergantung pada kehendak si pelaku.48 Dari uraian tersebut selanjutnya Sudikno Mertokusumo, menyusunnya dalam sebuah bagan sebagai berikut:
46 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, cet. Kedua, Liberty, Yogyakarta, 1999.h.51. 47 Ibid. 48 Ibid.
65
Bagan 4: Peristiwa Hukum Peristiwa
Bukan Peristiwa Hukum Tanpa akibat hukum
Peristiwa Hukum
Perbuatan Subyek Hukum
Bukan Perbuatan Subyek Hukum
Perbuatan Hukum
Perbuatan lainnya
Sepihak
Abstrak
hukum
Ganda
konkrit
Paulus Efendie Lotulung49 sifat tindakan hukum publik atau perdata tersebut dijelaskan bahwa hukum publik merupakan kaidah-kaidah yang bersifat dan
bertujuan
melindungi
kepentingan
umum
serta
mempertahankan
kepentingan umum tersebut, sedangkan hukum perdata merupakan kaidahkaidah hukum yang bersifat dan bertujuan melindungi kepentingan perseorangan (individu) serta mempertahankan kepentingan perseorangan tersebut. Perbuatan hukum menurut hukum publik adalah perbuatan-perbuatan yang didasarkan atas wewenang khusus atau istimewa yang diberikan oleh hukum publik, dan oleh karenanya hanya dapat dilakukan atas wewenang49
Paulus Efendie Lotulung, Perbuatan-Perbuatan Pemerintahan Menurut Hukum Publik,
dalam Pejabat Sebagai Calon Tergugat Bahan Penataran Peradilan Tata Usaha Negara, Buku 1 , CV. Sri Rahayu, h. 137.
66
wewenang tersebut sehingga tidak setiap orang dapat melakukannya. Sebaliknya perbuatan-perbuatan menurut hukum perdata adalah perbuatan yang secara umum dapat dilakukan oleh setiap orang yang menjadi subyek hukum atas dasar ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah hukum perdata (hukum perdata). Kerjasama antar pemerintah daerah baik yang dituangkan dalam keputusan bersama atau dalam perjanjian merupakan tindakan pemerintah yang didasarkan atas hukum yang dilakukan antar pemerintah daerah, sehingga teori tentang tindak pemerintahan ini akan digunakan sebagai pisau analisa dalam kaitannya dengan bentuk hukum kerjasama antar pemerintah daerah. Untuk itu kiranya perlu diperhatikan, sebagai suatu produk hukum keputusan bersama ataupun perjanjian haruslah memperhatikan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar produk hukum tersebut sah dan mempunyai kekuatan mengikat. Syaratsyarat tersebut yaitu sebagai berikut:50 1. Syarat-Syarat materiil a. alat pemerintahan yang membuat keputusan harus berwenang (berhak); b. dalam kehendak alat pemerintahan yang membuat keputusan tidak boleh ada kekurangan yuridis (geen juridische gebreken in de
wilsvorming) c. keputusan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan yang menjadi dasarnya dan pembuatannya harus juga memperhatikan prosedur membuat keputusan bilamana prosedur itu ditetapkan dengan tegas dalam peraturan itu (rechtmatig)
50
Kuntjoro Purbopranoto, Op.cit. h. 48
67
d. isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan isi dan tujuan yang hendak dicapai (doelmatig). 2. Syarat-syarat formil a. syarat-syarat
yang ditentukan berhubung dengan persiapan
dibuatnya keputusan dan berhubung dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhi. b. Harus diberi bentuk yang telah ditentukan. c. Syarat-syarat, berhubungan dengan pelaksanaan keputusan itu. d. Jangka waktu harus ditentukan, antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya keputusan itu, dan tidak boleh dilupakan. 2.3. Teori Perjanjian. 2.3.1. Perjanjian Wirjono
Prodjodikoro
menyatakan
istilah
“verbintenissen”
dari
Burgerlijk Wetboek dapat diterjemahkan “perikatan-perikatan”. Dalam sistem BW perikatan-perikatan ini dibagi menjadi dua golongan (pasal 1233 BW), yaitu a.
Perikatan-perikatan yang bersumber pada persetujuan (everenkomst)
b.
Perikatan-perikatan yang bersumber pada undang-undang (wet).51 Demikian halnya pendapat yang dikemukakan oleh Achmad Miru dan
Sakka Pati52 menjelaskan bahwa terdapat dua sumber lahirnya perikatan yaitu : a. perjanjian; dan b. undang-undang. Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, cet. IX, CV Mandar Maju, Bandung, 2011.h. 3. 52 Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW, cet III, Rajawali pers, Jakarta, 2011. H. 4 51
68
Perjanjian sebagai sumber perikatan ini, apabila dilihat dari bentuknya, dapat berupa perjanjian tertulis maupun perjanjian tidak tertulis. Dari dua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa perikatan dapat lahir karena adanya persetujuan yang melahirkan perjanjian dan kemudian perjanjian tersebut menimbulkan perikatan antara para pihak. Lebih lanjut Mariam Darus Badrulzaman menyatakan bahwa “perikatan adalah hubungan yang terjadi di antara dua orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu.”53 Perikatan tersebut dapat lahir dari suatu perjanjian, kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja mengartikan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”54 Dari pengertian tersebut lebih lanjut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja mengungkapkan bahwa suatu perjanjian adalah: 1
Suatu perbuatan;
2
Antara sekurang-kurangnya dua orang (jadi dapat lebih dari dua orang);
3
Perbuatan tersebut melahirkan perikatan di antara pihak-pihak yang berjanji tersebut.55
Wirjono
Prodjodikoro,
mengartikan
perjanjian
“sebagai
suatu
perhubungan hukum mengenai harta benda antar dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan Mariam Darus Badrulzaman, KUH perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasannya, cet III, Alumni, Bandung 2011, h. 1 54 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, cet. 5, 53
Rajawali Pres, Jakarta, h. 7. 55
Ibid
69
janji itu.”56 Mariam Darus Badrulzaman dalam memberi pengertian tentang perjanjian mendasarkan pada pasal 1313 Burgerlijk Wetboek, yang menyatakan “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”57 Rumusan tersebut tidak lengkap dan sangat luas. Tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja. Setiawan58 mengungkapkan bahwa : sangat luas karena dengan dipergunakannya perkataan “perbuatan” tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Selanjutnya Setiawan
memberikan
perbaikan mengenai definisi tersebut, yaitu: 1) Perbuatan tersebut merupakan perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum 2) menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam pasal 1313.59 Atas
dasar
pengertian
tersebut,
lebih
lanjut
Mariam
Darus
Badrulzaman membedakan jenis – jenis perjanjian tersebut adalah sebagai berikut: 1
Perjanjian timbal balik Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual beli.
2
perjanjian Cuma-Cuma dan perjanjian atas beban. Perjanjian dengan Cuma-Cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya hibah. Perjanjian atas beban adalah perjanjian di mana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannhya menurut hukum.
Wirjono Prodjodikoro, Op.cit. h. 4 Mariam Darus Badrulzaman, KUH perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasannya, Op.Cit., h. 89 58 Setiawan, Pokok-Pokok Hukum perikatan, cet.IV, Binacipta, Bandung, 1977, h. 49 56 57
59
Op.cit
70
3
Perjanjian Khusus (benoemd) dan perjanjian umum (onbenoemd) Perjanjian khusus adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang. Di luar perjanjian khusus tumbuh perjanjian umum yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak diatur di dalam KUH Perdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat. Salah satu contoh dari perjanjian umum adalah perjanjian sewa beli
4. Perjanjian kebendaan (zakelijk) dan perjanjian obligatoir Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan haknya atas sesuatu, kepada pihak lain. Sedangkan perjanjian obligatoir adalah perjanjian dimana pihak-pihak mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan). 5. Perjanjian konsensual dan perjanjian riil Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana di antara kedua belah pihak telah tercapai persesuaian kehendak kehendak untuk mengadakan perikatan. Menurut KUH Perdata perjanjian nini sudah mempunyai kekuatan mengikat (ps 1338 KUH Perdata). Namun demikian di dalam KUH Perdata ada juga perjanjian-perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadi penyerahan barang. Misalnya perjanjian penitipan barang (ps 1694 KUH perdata), pinjam pakai (ps 1740 KUH Perdata). Perjanjian yang terakhir ini dinamakan perjanjian riil. 6. Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya a) perjanjian leberatoir : yaitu perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan hutang (kwijtschelding) ps 1438 KUH perdata; b) perjanjian pembuktian (bewijsovereenkomst): yaitu perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka; c) perjanjian untung-untungan; misalnya perjanjian asuransi, ps 1774 KUH Perdata d) perjanjian publik; yaitu perjanjian yang sebagaian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa (pemerintah), misalnya perjanjian ikatan dinas.60
60
Ibid, h. 90 - 93
71
2.3.2. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian Persetujuan yang melahirkan perjanjian merupakan perbuatan hukum bersegi dua atau jamak, di mana untuk itu diperlukan kata sepakat para pihak. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek, untuk sahnya persetujuan diperlukan 4 (empat) syarat, yaitu: 1
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2
Cakap untuk membuat perjanjian;
3
Suatu hal tertentu;
4
Suatu sebab atau causa yang halal.
Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subyektip, karena kedua syarat tersebut mengenai subyek perjanjian, sedangkan kedua syarat lainya disebut sebagai syarat obyektip, karena mengenai obyek dari perjanjian. ad.1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Dengan
kata
sepakat
dimaksudkan
bahwa
kedua
subjek
yang
mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, para pihak setuju mengenai hal hal yang pokok dari perjanjian yang di adakan itu. Apa yang di kehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki pihak lain. Mereka menghendaki sesuatu hal yang sama secara timbal balik, Sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujuai (overeenstemende wilsverklaring) antara para pihak.
Pernyataan
kehendak ini terdapat beberapa ajaran, yaitu: 1
Teori kehendak (wilstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan. Misalnya dengan menulis surat.
72
2 3 4
Teori pengiriman (verzendtheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran. Terori pengetahuan (vernemingtheorie) mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui tawaran diterima. Teori kepercayaan (vertrouwenstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan.61
ad.2. kecakapan untuk membuat perjanjian Kecakapan
untuk
membuat
suatu
perjanjian
berarti
mempunyai
wewenang untuk membuat perjanjian atau ngadakan hubungan hukum. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. Dalam perjanjian pemerintahan kecakapan untuk melakukan tindakan hukum ini diukur dari ada atau tidaknya wewenang seorang pejabat untuk melakukan tindakan hukum. Kewenangan pejabat tersebut dapat diperoleh baik melalui atribusi, delegasi, dan kewenangan tersebut harus dapat ditunjuk dasar hukumnya. Bila perjanjian pemerintahan dibuat oleh pejabat yang tidak berwenang, baik tidak berwenang karena substasi, tidak berwenang karena tempat maupun tidak karena waktu. ad.3. suatu hal tertentu Pengertian suatu hal tertentu adalah obyek dari perjanjian yang menjadi kewajiban dari para pihak dalam arti prestasi. Prestasi itu harus tertentu atau dapat ditentukan, sedangkan untuk dapat mengatakan tertentu dan dapat ditentukan harus ada jenis dari presatsi itu sendiri yang selanjutnya dapat ditentukan berapa jumlahnya. Tertentu di sini harus obyek yang dalam perdagangan karena benda diluar perdagangan tidak dapat dijadikan obyek dari perjanjian. 61
Ibid
73
Walaupun demikian dalam perjanjian pemerintahan, apa yang diperjanjikan dapat berupa kebijakan tidak secara langsung berkenaan dengan harta kekayaan. 4. Suatu sebab atau causa yang halal Sebab yang halal Sebab ialah tujuan antara dua belah pihak yang mempunyai maksud untuk mencapainya. Menurut Pasal 1337 KUHPerdata, sebab yang tidak halal ialah jika ia dilarang oleh Undang Undang, bertentangan dengan tata susila atau ketertiban. Menurut Pasal 1335 KUHPerdata, perjanjian tanpa sebab yang palsu atau dilarang tidak mempunyai kekuatan atau batal demi hukum. Dalam perjanjian pemerintahan suatu dinyatakan tidak hal, bukan hanya bertentangan
dengan
undang-undang
maupun
kesusilaan,
namun
juga
bertentangan dengan norma pemerintahan, yaitu peraturan perundang-undangan maupun asas-sas umum pemerintahan yang baik. 2.3.3. Asas-Asas Berkontrak Kerjasama antar pemerintah daerah merupakan suatu kesepakatan antar pemerintahan daerah baik yang dituangkan dalam bentuk keputusan bersama ataupun perjanjian baik perdata maupun publik merupakan suatu aturan hukum, dimana tidak semua persoalan hukum dapat dipecahkan dengan aturan hukum. Hal tersebut tidak lepas dari persoalan figur hukum, melainkan dapat juga diselesaikan dengan menggunakan asas-asas hukum. Bruggink menjelaskan bahwa “asas hukum sebagai meta kaidah berkenaan dengan kaidah hukum dalam bentuk kaidah perilaku.”62 Asas hukum mengemban fungsi ganda: yaitu sebagai
62
Ibid. h. 120
74
fondasi dari sistem hukum positif dan sebagai batu uji kritis terhadap sistem hukum positif.63 Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa “asas hukum bukan merupakan hukum konkrit, melainkan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam dan dibilang sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim”.64 Agus Yudha Hernoko menyatakan bahwa kedudukan asas hukum dalam semua siatem hukum yang didalamnya mengatur sistem norma hukum mempunyai peranan penting. “Asas hukum merupakan landasan atau pondasi yang menopang kokohnya suatu norma hukum”.65 Memperhatikan pendapat di atas nampak bahwa asas hukum merupakan hal yang sangat penting dalam pembentukan hukum, khususnya berkenaan dengan kerjasama antar pemerintah daerah. Beberapa ahli memberikan pengertian tentang asas hukum sebagai berikut: a
Bellefroid,66
sebagaimana
dikutip
Sudikno
Mertokusumo
menyatakan bahwa asas hukum umum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Jadi asas hukum umum merupakan kristalisasi (pengendapan) hukum positif dalam suatu masyarakat.
63
Ibid. h. 132
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum (sebuah pengantar), Liberty, Yogyakarta, 2001, h. 5 – 6. 64
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas-Asas Proporsional Dalam Kontrak Komersial, LaksBang Mediatama Yogyakarta, 2008, 19 65
66
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Op.cit, h.34
75
b
Van Eikema Home67, menjelaskan bahwa asas bukan norma hukum yang konkrit, tetapi sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk bagi hukum yang berlaku. Jadi merupakan dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif, sehingga dalam pembentukan hukum praktis harus berorientasi pada asas-asas hukum
c
Paul Scholten Asas hukum merupakan “pikiran-pikiran dasar, yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum masingmasing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim yang berkenaan dengannya ketentuanketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya.”68
Mengingat bahwa kerjasama antar pemerintah daerah merupakan suatu kesepakatan, maka asas-asas dimaksud tidak dapat dilepaskan dengan asas-asas dalam berkontrak yaitu: a. asas kebebasan berkontrak; b. asas daya mengikatnya kontrak; c. asas bahwa perjanjian hanya menciptakan perikatan di antara pihak yang berkontrak.69 Yohanes Sogar Simamora tidak menggunakan istilah asas, melainkan menggunakan istilah prinsip hukum, dan menyamakan asas dengan prinsip. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan bahwa “prinsip hukum atau asas hukum 67
Loc. Cit
68
Paul Scholten, dalam J.J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, Op.cit h. 119 J. Nieuwenhuis, Pokok-Pokok Hukum Perikatan (terjemahan Djasadin Saragih). H.
69
83.
76
merupakan salah satu obyek terpenting dalam kajian ilmu hukum. Pembahasan tentang prinsip hukum lazimnya disandingkan dengan aturan hukum atau kaidah hukum untuk memperoleh gambaran yang jelas menyangkut perbedaannya.”
70
Lebih lajut Yohanes Sogar Simamora mengutip pendapat Dworklin yang menyatakan :
Rule and principles are standards but they differ in nature. Rule oprete in all-or-nothing fashion. Either a case falls under a rule or it does not. There is no third way. A rule either determines an issue or it bas nothing to say on the issue ….. A principle does not dictate an answer as does a rule. A principles merely follows a direction, it merely gives a reason.71 Selain itu juga dikemukakan bahwa “disamping itu prinsip hukum merupakan dasar dari aturan hukum. Paton menyatakan bahwa aturan hukum yang terbentuk memperoleh dasarnya dari prinsip hukum.”72
Lebih lanjut
Yohanes Sogar Simamora menyatakan bahwa “prinsip hukum tidak saja sebagai dasar dalam memecahkan persoaloan hukum tetapi juga sebagai bahan dalam pembentukan hukum.”73 Lebih lanjut dinyatakan bahwa prinsip-prinsip berkontrak meliputi: a. prinsip kebebasan berkontrak; b. prinsip itikad baik; c. prinsip transparansi; d. prinsip proporsionalitas74 Saya sependapat Yohanes Sogar Simamora yang menyamakan antara asas dengan prinsip, hal tersebut mengingat bahwa pengertian asas dengan 70
Yohanes Sogar Simamora, op.cit. h. 28 Ibid 72 G.W. Paton, ibid. 71
73 74
ibid. h. 29. Ibid, h. 38 - 51
77
prinsip menurut kamus besar bahasa Indonesia terdapat kesamaan yaitu asas sebagai dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau pendapat)75, sedangkan prinsip diartikan sebagai dasar (kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak).76 Beranjak dari kamus besar bahasa Indonesia tersebut terdapat kesamaan bahwa baik asas maupun prinsip diartikan dasar atau tumpuan berpikir atau berpendapat dalam menganalisis kerjasama antar pemerintah daerah. Hal tersebut tentunya berbeda dengan apa yang dimaksud dengan “legal maxim” yang diartikan “commonly formulate a legal policy or ideal
that judges are supposed to consider in deciding ceses. Maxim do not normally have the dogmatic authority of statutes and are usually not considered to be law expcept to the extent of their application in adjudicated cases.”77 Mengingat bahwa kerjasama antar pemerintah daerah merupakan suatu kesepakatan, terhadap kesepakatan pemerintahan ini terdapat penyimpangan terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi kontrak pada umumnya. Aturan yang berlaku dalam hal ini banyak bersumber pada jurisprudensi dan doktrin yang telah mengembangkan perangkat hukum yang membedakan kontrak administrasi dengan kontrak perdata baik yang menyangkut formasi kontrak maupun aspek pelaksanaan dan akibat hukumnya. Dalam kontrak administrasi diatur dalam ketentuan yang dikeluarkan oleh berbagai lembaga publik.78 Selain asas dalam hukum kontrak, kerjasama antar pemerintah daerah tentunya juga bertumpu pada asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana
Depertemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet kedua , Balai Pustaka, 1989, h. 52 76 Ibid. h. 701 77 http://www.britannica.com/EBchecked/topic/334867/legal-maxim 78 Op.Cit h. 89 75
78
dinyatakan dalam pasal 20 ayat (1) Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 dinyatakan bahwa: a. Asas kepastian hukum; Yang dimaksud dengan “Asas Kepastian Hukum” adalah asas dalam Negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara. b. Asas tertib penyelenggaraan Negara; Yang dimaksud dengan “Asas Tertib Penyelenggaraan Negara” adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian Penyelenggaraan Negara. c. Asas kepentingan umum; Yang dimaksud dengan “Asas Kepentingan Umum” adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif. d. Asas keterbukaan; Yang dimaksud dengan “Asas Keterbukaan” adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan
Negara
dengan
tetap
memperhatikan
perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia Negara. e. Asas proporsionalitas;
79
Yang dimaksud dengan “Asas Proporsionalitas” adalah asas yang mengutamakan
keseimbangan
antara
hak
dan
kewajiban
Penyelenggara Negara. f.
Asas profesionalitas; Yang
dimaksud
mengutamakan
“Asas keahlian
Profesionalitas” yang
adalah
asas
berlandaskan kode
etik
yang dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku g. Asas akuntabilitas; Yang dimaksud “Asas Akuntabilitas” adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. h. Asas efisiensi; dan asas efektifitas. Asas
efisiensi;
dan
asas
efektifitas,
menyangkut
tentang
pencapaian tujuan dari kebijakan yang ditetapkan, yaitu untuk mewujudkan pemerintahan berdaya guna dan berhasil guna, khususnya berkenaan dengan prosedur. Mengingat penuangan kerjasama antar pemerintah daerah dalam bentuk keputusan bersama maupun perjanjian merupakan suatu hukum yang harus dipatuhi
oleh
pemerintahan
daerah
yang
melakukan
kerjasama,
maka
pembentukan hukum tersebut tentunya tidak dapat dilepaskan dengan asas-asas pembentukan peraturan sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 Pasal 5 yang menyatakan:
80
a. Kejelasan tujuan; Yang dimaksud dengan “kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan wajib memiliki tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Disamping itu pada hakekatnya suatu peraturan dimaksudkan untuk mengatur dan oleh karenanya penting diperhatikan mengenai aspek-aspek yang menjadi wilayah pengaturan baik dari aspek pelaksana peraturan, pihak yang diatur, jenis dan sifat perbuatan yang akan ditertibkan, pengawasan, dan pendanaan, serta sanksi baik sanksi pidana maupun administratif. Asas kejelasan tujuan ini juga menuntut adanya upaya antisipatif dari pembentuk peraturan perundang-undangan terhadap adanya perbuatan, keadaan atau peristiwa yang tidak diinginkan yang berpotensi timbul dikemudian hari. Selain itu juga berfungsi membentuk suatu masyarakat agar sesuai dengan tujuan yang
diinginkan
pembentuk
peraturan
perundang-undangan
sehingga
peraturan semacam ini akan bertahan dalam waktu yang lama. Peraturan tidak seharusnya bersifat reaktif sebab selain perkembangan masyarakat yang dinamis menuntut adanya peraturan yang fleksibel, juga mengingat proses pembuatan peraturan yang membutuhkan waktu relatif lama, biaya yang mahal, dan dampak di luar perkiraan atau kehendak yang mungkin terjadi. b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat. Yang dimaksud dengan “Kelembagaan atau Organ Pembentuk yang Tepat” adalah bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat
pembentuk
peraturan
perundang-undangan
yang
berwenang. Akibat dari tidak dibuatnya suatu peraturan perundang-undangan oleh lembaga/pejabat yang berwenang adalah dapat dibatalkan atau batal
81
demi hukum. Pembentukan peraturan perundang-undangan dengan berbagai jenisnya akan sangat tergantung kepada pihak dan kewenangan pihak yang membuatnya. Sebagai contoh pembentukan undang-undang atau peraturan daerah tidak dapat mengabaikan kewenangan Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Menteri atau Gubernur tidak berwenang secara sepihak membentuk undang-undang. Dalam asas ini dituntut pula kejelasan prosedur dan syarat pembentukan peraturan perundang-undangan sehingga tidak berakibat batal demi hukum atau dapat dibatalkan
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan. Yang dimaksud dengan ”Kesesuaian antara Jenis dan Materi Muatan” adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benarbenar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangan. Suatu peraturan yang menjadi dasar atau ”payung” bagi keberadaan peraturan yang lain tentu akan memuat hal-hal yang hanya bersifat pokok atau prinsip dan akan menduduki hierarki yang lebih tinggi daripada peraturan yang ”dipayunginya”. Jenis peraturan dengan materi muatan tertentu akan mengatur hal-hal yang dibatasi oleh daerah, waktu, masyarakat. Masing-masing jenis peraturan memiliki fungsinya sendiri-sendiri, seperti undang-undang yang fungsinya antara lain mengatur lebih lanjut halhal yang tegas-tegas ”diminta” oleh ketentuan UUD, juga yang tidak secara
82
tegas ”diminta” namun mengatur lebih lanjut hukum dasar tersebut. Suatu jenis peraturan dapat memuat materi yang sifatnya terbatas dan berlaku hanya untuk segolongan masyarakat tertentu saja, misalnya peraturan berjenis undang-undang kepegawaian hanya berlaku bagi komunitas pegawai saja, tidak bagi tenaga kerja secara keseluruhan. Demikian juga misalnya dengan jenis peraturan berupa surat edaran yang hanya mengikat ke dalam institusi pembuatnya tanpa ada kewenangan mengatur pihak-pihak di luar institusi yang bersangkutan. d. Dapat dilaksanakan. Yang
dimaksud
pembentukan
dengan
peraturan
”Dapat
Dilaksanakan”
perundang-undangan
adalah harus
bahwa
setiap
memperhitungkan
efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis. Tidak diharapkan sama sekali adanya peraturan perundang-undangan yang setelah diberlakukan tidak dapat dilaksanakan. Hal ini dapat terjadi karena pembuat peraturan perundangundangan tersebut hanya ”duduk di belakang meja” dan tidak mencermati masalah yang sebenarnya terjadi di masyarakat dan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Faktor lain adalah tidak adanya pihak yang melaksanakan dan mengawasi berlakunya peraturan, tidak adanya sosialisasi ataupun dana untuk membiayainya. Secara filosofis, Pancasila sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia memuat nilai-nilai, pandangan hidup, dan cita-cita bangsa dan oleh karenanya telah sesuai dengan nilai-nilai, pandangan hidup, dan cita-cita yang hidup dalam masyarakat sehingga pemberlakuan suatu peraturan perundangundangan tidak akan menimbulkan konflik dalam pelaksanaannya karena telah
83
sesuai dengan filosofi yang dianutnya. Secara sosiologis, dalam proses pembuatan
peraturan
perundang-undangan
telah
melibatkan
aspirasi
masyarakat yang hendak diatur dan karenanya sesuai dengan keyakinan umum dan kesadaran hukum masyarakat sehingga akan ditaati oleh masyarakat dan
tidak hanya menjadi huruf-huruf mati. Secara yuridis,
landasan yuridis adalah landasan hukum yang menjadi dasar kewenangan pembuatan peraturan perundang-undangan sehingga tampak kewenangan pembuatnya. Selain itu juga dalam landasan yuridis juga ditetapkan proses dan prosedur pembuatannya dan merupakan dasar keberadaan atau pengakuan dari suatu jenis peraturan perundang-undangan. e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan. Yang dimaksud dengan ”Kedayagunaan dan Kehasilgunaan” adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan
masyarakat
dan
bermanfaat
dalam
mengatur
kehidupan
masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Tidak ada artinya apabila suatu peraturan hanya dibuat untuk memenuhi kehendak pihak penguasa atau pesanan pihak tertentu yang ingin agar suatu peraturan yang dibuat hanya akan menguntungkan pihak tertentu tersebut. Hal ini tidak saja mengabaikan kebutuhan masyarakat akan adanya suatu perlindungan hukum namun akan merugikan kepentingan masyarakat. Asas ini menghendaki suatu peraturan dalam masyarakat yang berlaku pada saat yang tepat dan mampu menyelesaikan masalah yang timbul.
84
f.
Kejelasan rumusan. Yang dimaksud dengan ”Kejelasan Rumusan” adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan peraturan
harus
memenuhi
perundang-undangan,
persyaratan
sistematika,
dan
teknis pilihan
penyusunan kata
atau
terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Interpretasi yang beragam yang timbul dari pemahaman atas peraturan yang sama sedapat mungkin dihindari karena akan berakibat kekacauan sehingga tujuan dibuatnya peraturan tersebut tidak akan tercapai sehingga dibutuhkan rumusan yang tidak ambigu dan sedapat mungkin monointerpretasi. Kejelasan rumusan juga menuntut adanya kejelasan norma hukum baik berupa kewajiban, larangan, ijin, dan dispensasi. Rumusan yang terlalu sempit akan sangat kaku dan biasanya tidak bertahan lama, sedangkan rumusan yang terlalu umum akan menimbulkan bias dalam pelaksanaannya meskipun akan bertahan relatif lebih lama. g. Keterbukaan. Yang
dimaksud
dengan
”Keterbukaan”
adalah
bahwa
dalam
proses
pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembentukan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan. Hal ini akan mempermudah pemahaman masyarakat terhadap suatu peraturan meskipun sosialisasi peraturan belum dilakukan dan akan memperkecil potensi penolakan masyarakat terhadap
85
keberlakuan suatu peraturan. Penting bahwa peraturan yang dibuat untuk suatu masyarakat akan berdaya guna dan berhasil guna apabila terdapat aspirasi dan partisipasi aktif masyarakat sejak saat perancangannya.
86