BAB II KERANGKA TEORITIK
A. Landasan Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Majelis Pengawas Notaris a. Definisi Pengawasan a.
Pengawasan adalah proses pengamatan dari pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar supaya semua pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.12
b.
Menurut P. Nicolai, pengawasan merupakan langkah preventif untuk memaksakan kepatuhan.13
c.
Menurut
Lord
Acton,
pengawasan
merupakan
tindakan
mengendalikan kekuasaan yang dipegang pejabat administrasi negara (pemerintah) yang cenderung disalahgunakan. Tujuan pengawasannya untuk membatasi pemerintah agar tidak menggunakan
kekuasaan
diluar
batas
kewajaran
yang
bertentangan dengan ciri Negara Hukum, untuk melindungi masyarakat dari tindakan diskresi Pemerintah dan melindungi Pemerintah agar menjalankan kekuasaan dengan baik dan benar menurut hukum atau tidak melanggar hukum.14 d.
Menurut Staatblad Tahun 1860 Nomor 3 mengenai Peraturan Jabatan Notaris (PJN), pengertian pengawasan dalam Pasal 50 alinea (1) sampai alinea (3), yaitu tindakan yang dilakukan Pengadilan Negeri berupa penegoran dan/atau pemecatan selama 3 (tiga) sampai 6 (enam) bulan terhadap Notaris yang mengabaikan keluhuran martabat atau tugas jabatannya atau melakukan
pelanggaran
12
terhadap
peraturan
umum
atau
Sujamto, Aspek-Aspek Pengawasan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1987, hlm. 53. Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Press, Jakarta, 2002, hlm. 311. 14 Diana Hakim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Tangerang, 2004, hlm. 70. 13
10
melakukan kesalahan-kesalahan lain, baik di dalam maupun diluar jabatannya sebagai Notaris, yang diajukan oleh penuntut umum pada Pengadilan Negeri pada daerah kedudukannya.15 Mencermati pada pendapat para ahli dan juga peraturan tersebut diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pengawasan merupakan bentuk tindakan mengamati dan memperhatikan kegiatan yang terjadi sebagai bagian dari proses pencegahan agar tidak terjadi penyimpangan terhadap tujuan yang diinginkan. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, pengawasan pemeriksaan dan penjatuhan sanksi terhadap Notaris dilakukan oleh badan peradilan yang ada pada waktu itu, sebagaimana diatur dalam : 1) Pasal 14 Reglement op de Rechtelijke Organisatie en Het Der Justitie (Stbl.1847 no.23); 2) Pasal 96 Reglement Buitengewesten; 3) Pasal
3
Ordonantie
Buitengerechtelijke
Verrichtingen,
Lembaran Negara tahun 1946 Nomor 135; dan 4) Pasal 50 Peraturan Jabatan Notaris.16 Pengawasan terhadap Notaris dilakukan oleh Peradilan Umum dan Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam pasal 32 dan pasal 54 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung, kemudian dibuat pula Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1984 tentang Tata Cara Pengawasan terhadap Notaris, Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman Nomor KMA/006/SKB/VII/1987 tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan dan Pembelaan Diri Notaris, dan 15
Pasal 50 Staatblad Tahun 1860 Nomor 3 tentang Peraturan Jabatan Notaris. Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, PT. Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 27. 16
11
terakhir dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2004. Dalam kaitan tersebut, meski Notaris diangkat Pemerintah (dahulu Menteri Kehakiman, sekarang Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia), namun pengawasannya dilakukan oleh Badan Peradilan. b.
Majelis Pengawas Notaris Menurut Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Majelis Pengawas Notaris merupakan suatu badan yang berwenang melakukan pembinaan/pengawasan terhadap Notaris. Pengawasan tersebut dilakukan agar Notaris tetap menjalankan perannya sesuai dengan kewajiban yang ditentukan oleh Undang-Undang dan tidak melakukan larangan-larangan yang ditentukan oleh Undang-Undang. Berikut akan Penulis paparkan terkait kewajiban dan larangan bagi Notaris yang ditentukan oleh Undang-Undang. Ditentukan dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris mengenai kewajibannya yaitu: 1) Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib: a) bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum; b) membuat
Akta
dalam
bentuk
Minuta
Akta
dan
menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris; c) melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta Akta; d) mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta; e) memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;
12
f) merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain; g) menjilid Akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) Akta, dan jika jumlah Akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, Akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat
jumlah
Minuta
Akta,
bulan,
dan
tahun
pembuatannya pada sampul setiap buku; h) membuat daftar dari Akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga; i) membuat daftar Akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan Akta setiap bulan; j) mengirimkan daftar Akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya; k) mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan; l) mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan; m) membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris; dan n) menerima magang calon Notaris.
13
2) Kewajiban menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan Akta in originali. 3) Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: 1) Akta pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun; 2) Akta penawaran pembayaran tunai; 3) Akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga; 4) Akta kuasa; 5) Akta keterangan kepemilikan; dan 6) Akta lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 4) Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibuat lebih dari 1 (satu) rangkap,ditandatangani pada waktu, bentuk, dan isi yang sama, dengan ketentuan pada setiap Akta tertulis kata-kata “BERLAKU SEBAGAI SATU DAN SATU BERLAKU UNTUK SEMUA". 5) Akta in originali yang berisi kuasa yang belum diisi nama penerima kuasa hanya dapat dibuat dalam 1 (satu) rangkap. 6) Bentuk dan ukuran cap atau stempel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l ditetapkan dengan Peraturan Menteri. 7) Pembacaan Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar Akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup Akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris. 8) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dikecualikan terhadap pembacaan kepala Akta, komparasi, penjelasan pokok Akta secara singkat dan jelas, serta penutup Akta.
14
9) Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m dan ayat (7) tidak dipenuhi, Akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. 10) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak berlaku untuk pembuatan Akta wasiat. Larangan-larangan yang wajib untuk dihindari oleh Notaris ditentukan dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang meliputi : 1) menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya; 2) meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alas an yang sah; 3) merangkap sebagai pegawai negeri; 4) merangkap jabatan sebagai pejabat negara; 5) merangkap jabatan sebagai advokat; 6) merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta; 7) merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/atau Pejabat Lelang Kelas II di luar tempat kedudukan Notaris; 8) menjadi Notaris Pengganti; atau 9) melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris. Agar Notaris menjalankan jabatannya sesuai dengan kewajiban yang ditentukan Pasal 16 dan tidak melakukan perbuatan hukum sebagaimana dilarang dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris tersebut diatas maka Menteri melakukan pengawasan terhadap kinerjanya. Bahwa telah penulis
15
paparkan pula diatas, pengawasan terhadap kinerja Notaris dalam menjalankan jabatannya Menteri membentuk Majelis Pengawas. Pengawasan kepada notaris tersebut agar Notaris dalam menjalankan jabatan profesinya sebagai pejabat umum senantiasa meningkatkan profesionalisme dan kualitas kerjanya sehingga dapat memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum bagi penerima jasa Notaris dan masyarakat luas. c.
Tingkatan dan Unsur Majelis Pengawas Notaris Majelis Pengawas yang dibentuk oleh Pemerintah untuk melakukan tugas pengawasan berjumlah 9 (sembilan) orang, terdiri atas unsur Pemerintah, Organisasi Notaris dan ahli atau akademisi. Pengawasan tersebut meliputi perilaku Notaris dan pelaksanaan jabatan Notaris. Ketentuan mengenai pengawasan tidak hanya berlaku bagi Notaris saja namun termasuk Notaris Pengganti dan Pejabat Sementara Notaris. Disebut sebagai Notaris Pengganti adalah seorang yang untuk sementara diangkat sebagai Notaris untuk menggantikan Notaris yang sedang cuti, sakit, atau untuk sementara berhalangan menjalankan jabatannya sebagai Notaris sedangkan yang disebut sebagai Pejabat Sementara Notaris adalah seorang yang untuk sementara menjabat sebagai Notaris untuk menjalankan jabatan dari Notaris yang meninggal dunia. Majelis Pengawas Notaris dibentuk dengan unsur-unsur sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 67 ayat (3) UndangUndang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, terdiri dari unsur: 1) Pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang; 2) Organisasi Notaris sebanyak 3 (tiga) orang; 3) Ahli Akademisi sebanyak 3 (tiga) orang.
16
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dapat Penulis katakan bahwa pengawasan terhadap Notaris memiliki jenjang/tingkatan-tingkatan dan masing-masing tingkatan memiliki tugas dan kewenangan pengawasan masingmasing. Pengawasan terhadap Notaris di Kabupaten/Kota dilakukan oleh Majelis Pengawas daerah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 69 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Majelis Pengawas Daerah dibentuk di Kabupaten/Kota. Di dalam hal di suatu Kabupaten/Kota, jumlah Notaris tidak sebanding dengan jumlah anggota Majelis Pengawas Daerah, dapat dibentuk Majelis Pengawas Daerah gabungan untuk beberapa Kabupaten/Kota. Majelis Pengawas Daerah terdiri dari unsur Pemerintah, Organisasi Notaris dan ahli atau akademisi di masing-masing Kabupaten/Kota tersebut. Di dalam Majelis Pengawas Daerah akan dipilih siapa yang akan menjadi Ketua, Wakil Ketua Majelis Pengawas Daerah dan anggota. Pemilihan tersebut dipilih dari dan oleh diantara angota Majelis Pengawas Daerah sebagaimana perintah dari Pasal 69 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Pengawas Daerah adalah 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali. Tingkatan berikutnya adalah pengawasan yang dilaksanakan Majelis Pengawas Wilayah Notaris. Lembaga ini dibentuk dan berkedudukan di Ibukota Propinsi. Masing-masing tingkatan dalam Majelis pengawas Notaris selain dilihat dari tempat kedudukannya juga dilihat dari
pembagian tugas dan kewenangannya. Majelis
Pengawas Wilayah memiliki tugas dan kewajiban yang tidak dimiliki oleh Majelis Pengawas Daerah. Oleh Undang-Undang
17
Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris majelis pengawas wilayah berdasarkan pasal 73 diberikan wewenang untuk: 1) menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas laporan masyarakat yang dapat disampaikan melalui Majelis Pengawas Daerah; 2) memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan atas laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a; 3) memberikan izin cuti lebih dari 6 (enam) bulan sampai 1 (satu) tahun; 4) memeriksa dan memutus atas keputusan Majelis Pengawas Daerah yang menolak cuti yang diajukan oleh Notaris pelapor; 5) memberikan sanksi baik peringatan lisan maupun peringatan tertulis; 6) mengusulkan pemberian sanksi terhadap Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat berupa: a) pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan; atau b) pemberhentian dengan tidak hormat. Keputusan Majelis Pengawas Wilayah dalam memberikan sanksi baik peringatan lisan maupun peringatan tertulis bersifat final dan terhadap setiap keputusan penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada huruf e dan huruf f dibuatkan wajib dibuatkan berita acara. Tingkatan terakhir dalam lembaga pengawasan yang dibentuk oleh Menteri adalah Majelis Pengawas Pusat Notaris yang berkedudukan di Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagaimana Penulis paparkan tersebut diatas bahwa setiap tingkatan majelis pengawas Notaris memiliki perbedaan dalam hal tugas dan kewenangan yang dimilikinya. Ketentuan terkait tugas dan wewenang yang dimiliki oleh Majelis Pengawas Pusat masih tunduk
18
pada ketentuan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Ketentuan terkait jabatan Notaris tidak seluruhnya dirubah oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, oleh sebab itu terhadap Pasal-Pasal yang tidak berubah tetap diberlakukan ketentuan yang ada pada UndangUndang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Disebutkan dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris mengenai wewenang dari Majelis Pengawas Pusat yaitu: 1) menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti; 2) memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf a; 3) menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara; dan 4) mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri. Pemeriksaan
dalam
sidang
Majelis
Pengawas
Pusat
sebagaimana dimaksud tersebut diatas bersifat terbuka untuk umum dan layaknya sidang maka Notaris berhak untuk membela diri dalam pemeriksaan sidang Majelis Pengawas Pusat. Apabila sidang pemeriksaan
telah
selesai
maka
Majelis
Pengawas
Pusat
berkewajiban menyampaikan keputusannya kepada Menteri dan Notaris yang bersangkutan dengan tembusan kepada Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Daerah yang bersangkutan serta Organisasi Notaris. Majelis Pengawas Pusat juga memiliki kewenangan yakni dalam hal terdapat Notaris yang diberhentikan sementara dari jabatannya maka Majelis Pengawas Pusat akan mengusulkan seorang pejabat sementara Notaris kepada Menteri kemudian jika telah disetujui maka Menteri akan menunjuk Notaris
19
yang akan
menerima
Protokol
Notaris
dari
Notaris
yang
diberhentikan sementara. d.
Majelis Pengawas Daerah (Majelis Pengawas Daerah) Pada tiap kabupaten atau kota dibentuklah Majelis Pengawas Daerah yang bekerja melakukan pengawasan terhadap Notaris. Sebagai pelaksanaan dari perintah undang-undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris maka dibentuklah peraturan-peraturan pelaksananya. Meskipun sekarang atas undang-undang tersebut telah dilakukan perubahan dengan undang-undang nomor 2 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, namun sampai saat ini peraturan pelaksananya belum dibentuk yang baru. Untuk lebih mengenal Majelis Pengawas Daerah maka berikut Penulis paparkan terkait Surat Direktorat Jendral Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (SK Dirjen AHU) Nomor C.HT.03.10-05. Tentang Pembentukan Majelis Pengawas Daerah Notaris disebutkan bahwa pembentukan Majelis Pengawas Daerah Notaris yang berkedudukan di Kabupaten/Kota, keanggotaannya terdiri dari: 1) Unsur Pemerintah adalah pegawai Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kabupaten/Kota setempat atau Pegawai Balai Harta Peninggalan bagi daerah yang ada Balai Harta Peninggalan. Tidak semua propinsi di Indonesia memiliki lembaga Balai Harta Peninggalan. Daerah Istimewa Yogyakarta termasuk daerah dengan Lembaga Balai Harta Peninggalan bergabung dengan Propinsi Jawa Tengah. Pengawasan dari unsur pemerintah di Daerah Istimewa Yogyakarta dijalankan oleh Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. 2) Unsur Organisasi Notaris adalah anggota Notaris yang diusulkan oleh pengurus daerah Ikatan Notaris Indonesia (INI) setempat;
20
3) Unsur Ahli/Akademisi adalah staf pengajar/dosen dari fakultas hukum universitas negeri/swasta atau perguruan tinggi ilmu hukum setempat. Lebih konkrit lagi tugas Majelis Pengawas Daerah dijabarkan oleh Arief Dwi Meiwanto, SH. MH., seorang anggota Majelis Pengawas Daerah Notaris Jakarta Selatan dari unsur pemerintah, tugas Majelis Pengawas Daerah Notaris dapat digolongkan menjadi 2 (dua) aspek, yaitu: 1) Pemeriksaan terhadap pengaduan oleh masyarakat, berupa pengaduan masyarakat yang merasa dirugikan oleh Notaris; 2) Pemeriksaan secara berkala, dimana Majelis Pengawas Daerah Notaris langsung datang ke kantor-kantor Notaris untuk memeriksa Minuta Akta, Buku Repertorium, Legalisasi Akta, Waarmerking Akta, wasiat dan administrasi kantor Notaris.17 Terkait dengan wewenang Majelis pengawas Daerah tidak diadakan perubahan dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, sehingga tetap pula tunduk pada ketentuan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang menyebutkan bahwa Majelis Pengawas Daerah berwenang: 1) menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris; 2) melakukan pemeriksaan; terhadap Protokol Notaris secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu; 3) memberikan izin cuti untuk waktu sampai dengan 6 (enam) bulan; Arief Dwi Meiwanto, “20 (dua puluh) Notaris Dipanggil Polisi”, Majalah Renvoi, Edisi Nomor 01/58, Maret 2008, hlm. 17. 17
21
4) menetapkan Notaris Pengganti dengan memperhatikan usul Notaris yang bersangkutan; 5) menentukan tempat penyimpanan Protokol Notaris yang pada saat serah terima Protokol Notaris telah berumur 25 (dua puluh lima) tahun atau lebih; 6) menunjuk Notaris yang akan bertindak sebagai pemegang sementara Protokol Notaris yang diangkat sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4); 7) menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-Undang ini; dan 8) membuat dan menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g kepada Majelis Pengawas Wilayah. Mencermati dari wewenang yang dimiliki oleh Majelis Pengawas Daerah terdapat pula ketentuan terkait wewenang menyelenggarakan
sidang
untuk
memeriksa
adanya
dugaan
pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris. Ranah kode etik juga merupakan kewenangan dari Majelis Pengawas Daerah untuk memeriksanya sedangkan dari sisi kode etik profesi Notaris, wewenang untuk melakukan penegakan terhadap kode etik dilaksanakan oleh lembaga Dewan Kehormatan. Oleh sebab itu hal tersebut akan menjadi salah satu bahan kajian Penulis dalam Bab Pembahasan penelitian ini. Setelah mencermati terkait kewenangan Majelis Pengawas Daerah maka selanjutnya perlu dilihat pula kewajiban Majelis Pengawas Daerah. Kewajiban yang ada masih tunduk pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Pasal 71 yang menjabarkan bahwa Majelis Pengawas Daerah berkewajiban:
22
1) mencatat pada buku daftar yang termasuk dalam Protokol Notaris dengan menyebutkan tanggal pemeriksaan, jumlah akta serta jumlah surat di bawah tangan yang disahkan dan yang dibuat sejak tanggal pemeriksaan terakhir; 2) membuat berita acara pemeriksaan dan menyampaikannya kepada Majelis Pengawas Wilayah setempat, dengan tembusan kepada Notaris yang bersangkutan, Organisasi Notaris, dan Majelis Pengawas Pusat; 3) merahasiakan isi akta dan hasil pemeriksaan; 4) menerima salinan yang telah disahkan dari daftar akta dan daftar lain dari Notaris dan merahasiakannya; 5) memeriksa
laporan
masyarakat
terhadap
Notaris
dan
menyampaikan hasil pemeriksaan tersebut kepada Majelis Pengawas Wilayah dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, dengan tembusan kepada pihak yang melaporkan, Notaris yang bersangkutan, Majelis Pengawas Pusat, dan Organisasi Notaris. 6) menyampaikan
permohonan
banding
terhadap
keputusan
penolakan cuti. Perbedaan yang paling signifikan dengan terbitnya UndangUndang Nomor 2 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris adalah dirubahnya Pasal 66 dari Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris terkait wewenang yang dimiliki oleh Majelis Pengawas Daerah. Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang: 1)
untuk mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris dan;
23
2)
memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. Kewenangan tersebut dirubah oleh Undang Nomor 2 tahun
2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris Pasal 66 sehingga berbunyi untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan majelis kehormatan Notaris berwenang: 1)
mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan
2)
memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. Dalam melaksanakan pembinaan, Menteri membentuk majelis
kehormatan Notaris. Majelis kehormatan Notaris berjumlah 7 (tujuh) orang yang terdiri atas unsur: 1) Notaris sebanyak 3 (tiga) orang; 2) Pemerintah sebanyak 2 (dua) orang; dan 3) Ahli atau akademisi sebanyak 2 (dua) orang. Pada Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tugas untuk menjalankan pembinaan dan pengawasan merupakan kewenangan dari Majelis Pengawas namun setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris fungsi dari Majelis Pengawas tidak lagi melakukan pembinaan karena yang melakukan pembinaan adalah Majelis Kehormatan yang dibentuk berdasarkan undang-undang tersebut.
24
2. Tinjauan Umum Tentang Dewan Kehormatan UUJN mengamanatkan kepada para notaris untuk berhimpun dalam satu wadah organisasi notaris sesuai dengan Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang berbunyi sebagai berikut: “Notaris berhimpun dalam satu wadah organisasi notaris.” Wadah Organisasi Notaris sebagaimana dimaksud tersebut adalah Ikatan Notaris Indonesia. Ikatan Notaris Indonesia merupakan satusatunya wadah profesi Notaris yang bebas dan mandiri yang dibentuk Undang-Undang dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Notaris. Ikatan Notaris Indonesia menjadi perkumpulan yang berbentuk badan hukum yang diakui oleh pemerintah sebagai organisasi profesi bagi Notaris. Terwujudnya organisasi notaris yang solid, diharapkan mampu membawa dan menjaga para anggotanya bersifat profesional dalam menjalankan jabatannya. Hakikat organisasi profesi yang selalu melekat dan
menjadi
identitas
utamanya
yaitu
selalu
meningkatkan
kemampuannya melalui peningkatan kualitas, baik kualitas ilmu, maupun integritas moralnya, serta senantiasa menjunjung tinggi keluhuran martabatnya berdasarkan kode etik profesi. Untuk menjaga kehormatan dan keluhuran martabat jabatan notaris, perkumpulan mempunyai kode etik notaris yang ditetapkan oleh kongres dan merupakan kaidah moral yang wajib ditaati oleh setiap anggota perkumpulan. a. Dewan Kehormatan Dewan
Kehormatan
merupakan
alat
perlengkapan
perkumpulan yang terdiri dari beberapa orang anggota yang dipilih dari anggota biasa dan werda notaris, yang berdedikasi tinggi dan loyal terhadap perkumpulan, berkepribadian baik, arif dan bijaksana, sehingga dapat menjadi panutan bagi anggota dan diangkat oleh
25
kongres untuk masa jabatan yang sama dengan masa jabatan kepengurusan. Berdasarkan Pasal 1 angka (8) Kode Etik Notaris, Dewan Kehormatan merupakan alat perlengkapan Perkumpulan (INI) sebagai suatu badan atau lembaga yang mandiri dan bebas dari keberpihakan dalam Perkumpulan yang bertugas untuk : 1) Melakukan
pembinaan,
bimbingan,
pengawasan,
dan
pembenahan anggota dalam menjunjung tinggi kode etik. 2) Memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan kode etik yang bersifat internal atau yang tidak mempunyai kaitan dengan kepentingan masyarakat secara langsung. 3) Memberikan saran dan pendapat kepada majelis pengawas atas dugaan pelanggaran kode etik dan jabatan notaris. b. Tingkatan dan Unsur Dewan Kehormatan Dewan Kehormatan merupakan lembaga pengawasan yang dibentuk oleh Organisasi agar kode etik tetap dipatuhi oleh anggota profesi. Pengawasan dan penegakan terhadap kode etik tersebut dilakukan secara berjenjang. Berdasarkan Pasal 7 kode etik ditentukan bawah pengawasan atas pelaksanaan Kode Etik itu dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1) Pada tingkat pertama oleh Pengurus Daerah Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan Kehormatan Daerah. 2) Pada tingkat banding oleh Pengurus Wilayah Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan Kehormatan Wilayah. 3) Pada tingkat terakhir oleh Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan Kehormatan Pusat. Pasal 19 Anggaran Rumah Tangga INI menyebutkan bahwa Dewan Kehormatan Daerah terdiri dari tiga orang anggota diantaranya, seorang Ketua, seorang Wakil Ketua, dan seorang Sekretaris. Dewan Kehormatan Daerah merupakan badan yang
26
bersifat otonom di dalam mengambil keputusan yang mempunyai tugas dan kewajiban untuk memberikan bimbingan dari melakukan pengawasan dalam pelaksanaan serta pentaatan kode etik oleh para anggota perkumpulan di daerah masing-masing. Sudah seharusnya dan sudah waktunya Ikatan Notaris Indonesia (INI) sebagai kelompok profesi yang terinstitusi mampu secara lebih nyata memberikan kontribusinya dalam upaya penegakkan hukum.18
3. Tinjauan Umum Tentang Notaris a.
Pengertian notaris Pada jaman Romawi Kuno, notaris awalnya dikenal sebagai penulis umum atau publieke schrijvers dengan berbagai sebutan, antara lain: 1) Notarius (pluralnya notarii) pada abad ke enam dan ke lima lebih dikenal sebagai sekretaris raja, sedangkan pada akhir abad ke lima sebutan ini ditujukan kepada pegawai-pegawai istana yang melaksanakan pekerjaan admnistratif. 2) Tabularius (tabularii) adalah pegawai–pegawai yang ditugaskan untuk memegang dan mengerjakan buku keuangan, serta mengadakan pengawasan terhadap administrasi dari magistraat atau pejabat kota. Selain itu mereka juga bertugas untuk menyimpan dokumen-dokumen dan membuat akta. 3) Tabellio atau tabelliones ialah pejabat yang menjalankan tugas untuk pemerintah serta melayani publik yang membutuhkan keahliannya. Fungsi mereka sudah agak mirip dengan notaris pada jaman sekarang, tetapi karena tidak mempunyai sifat
N.G. Yudara, “Notaris dan Permasalahannya, Pokok-pokok Pemikiran di Seputar Kedudukan dan Fungsi Notaris Serta Akta Notaris Menurut Sistem Hukum Indonesia”, Materi Seminar Ikatan Notaris Indonesia, Jakarta, Januari 2005, hlm. 11. 18
27
ambtelijk atau jabatan negeri, sehingga surat yang dibuatnya tidak bersifat otentik.19 Dalam
perkembangannya, perbedaan antara
notarius,
tabularius dan tabullio ini menjadi kabur dan akhirnya ketiga sebutan tersebut dilebur menjadi satu yaitu notarii.20 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris mendefinisikan notaris sebagai pejabat umum
yang berwenang untuk membuat akta
otentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Definisi yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris ini merujuk pada tugas dan wewenang yang dimiliki oleh notaris, artinya notaris sebagai pejabat umum memiliki wewenang untuk membuat akta otentik serta kewenangan lainnya yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Seorang notaris menurut pendapat Tan Thong Kie yaitu:21 “Notaris adalah seorang fungsionaris dalam masyarakat, hingga sekarang jabatan seorang notaris masih disegani. Seorang notaris biasanya dianggap sebagai seorang pejabat tempat seseorang dapat memperoleh nasihat yang boleh diandalkan. Segala sesuatu yang ditulis serta ditetapkan (konstatir) adalah benar, ia adalah pembuatan dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum.”
19
R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat Di Indonesia, Suatu Penjelasan, CV Rajawali, Jakarta, 1982, hlm. 13-14. 20 Komar Andasasmita, Notaris I, Sumur Bandung, Bandung, 1984, hlm. 10. 21 Tan Thong Kie, Op Cit, hlm. 157.
28
Menurut
Colenbrunder
dalam
G.H.S.Lumban
Tobing22,
Notaris adalah: “Pejabat yang berwenang untuk atas permintaan mereka yang menyuruhnya mencatat semuanya yang dialami dalam suatu akta, Demikianlah ia membuat berita acara dan pada apa yang dibicarakan dalam rapat pemegang saham, yang dihadiri atas permintaan pengurus perseroan atau tentang jalannya pelelangan yang dilakukan atas permintaan penjual, Demikianlah ia menyaksikan (comtuleert) dalam akta tentang keadaan sesuatu barang yang ditunjukkan kepadanya oleh kliennya.” Menurut Habib Adjie, sebagai pejabat umum Notaris mempunyai karakteristik, yaitu:23 1)
Sebagai jabatan Undang-undang Jabatan Notaris merupakan unifikasi dibidang pengaturan jabatan Notaris, artinya satu-satunya aturan hukum dalam bentuk undang-undang yang mengatur jabatan Notaris di Indonesia, sehingga segala hal yang berkaitan dengan Notaris di Indonesia harus mengacu kepada Undang-undang Jabatan Notaris. Jabatan Notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh Negara. Menempatkan Notaris sebagai jabatan merupakan suatu pekerjaan atau tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum
untuk
keperluan
dan
fungsi
tertentu
serta
berkesinambungan sebagai suatu lingkup pekerjaan tetap. 2)
Notaris mempunyai kewenangan tertentu Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus ada aturan hukumnya sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya. Jika seseorang pejabat (Notaris) melakukan suatu
22
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1999, hlm. 33. Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Op Cit, hlm. 15-16. 23
29
tindakan diluar wewenang yang telah ditentukan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar wewenang. 3)
Diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah Ditentukan bahwa Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah,
dalam
hal
ini
menteri
yang
membidangi
kenotariatan. Notaris meskipun secara administratif diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah. Dengan demikian Notaris dalam menjalankan jabatannya : a) Bersifat mandiri (autonomous) b) Tidak memihak siapapun (impartial), c) Tidak tergantung pada siapapun (independent), yang berati dalam menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dicampuri oleh pihak yang mengangkatnya atau oleh pihak lain. 4)
Tidak
menerima
gaji
atau
pensiun
dari
pihak
yang
mengangkatnya Notaris meskipun diangkat dan diberhentikan oleh Pemerintah tapi tidak menerima gaji, pensiun dari pemerintah.
Notaris
hanya
menerima
honorarium
dari
masyarakat yang telah dilayaninya atau dapat memberi pelayanan Cuma-Cuma untuk mereka yang tidak mampu. 5)
Akuntabilitas atas pekerjaannya kepada masyarakat Kehadiran Notaris
untuk
memenuhi
kebutuhan
masyarakat
yang
memerlukan dokumen hukum (akta) otentik dalam bidang hukum perdata, sehingga Notaris mempunyai tanggung jawab untuk melayani masyarakat, masyarakat dapat menggugat secara perdata Notaris, dan menuntut biaya, ganti rugi dan bunga jika ternyata akta tersebut dapat dibuktikan dibuat tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, hal ini merupakan bentuk akuntabilitas Notaris kepada masyarakat. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai pejabat umum, Menurut Habib Adjie, perlu bagi Notaris untuk memegang asas-asas yang harus dijadikan pedoman sebagai asas-asas pelaksanaan tugas
30
jabatan Notaris yang baik dengan substansi dan pengertian untuk kepentingan Notaris, yaitu :24 1)
Asas Persamaan Dalam Memberikan pelayanan kepada masyarakat tidak membeda-bedakan satu dengan yang lainnya berdasarkan keadaan sosial ekonomi atau alasan lainnya. Alasan-alasan seperti ini tidak dibenarkan untuk dilakukan oleh Notaris dalam melayani masyarakat hanya alasan hukum yang dapat dijadikan dasar bahwa Notaris dapat tidak memberikan jasa kepada orang yang menghadap Notaris. Bahkan dalam keadaan tertentu Notaris wajib memberikan jasa Hukum kepada yang tidak mampu.
2)
Asas Kepercayaan Jabatan Notaris merupakan jabatan kepercayaan yang harus selaras dengan mereka yang menjalankan tugas jabatan Notaris sebagai orang yang dapat dipercaya. Notaris sebagai jabatan kepercayaan tidak berarti apa-apa, jika ternyata mereka yang menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris sebagai orang yang tidak dipercaya, sehingga hal tersebut, antara jabatan Notaris dan Pejabatnya (yang menjalankan tugas Jabatan Notaris) harus sejalan bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Salah satu bentuk dari Notaris sebagai jabatan kepercayaan, maka Notaris mempunyai kewajiban merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang
diperoleh
guna
pembuatan
akta
sesuai
dengan
sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain. 3)
Asas Kepastian Hukum Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya wajib berpedoman secara normatif kepada aturan hukum yang
24
Ibid, hlm. 34-38.
31
berkaitan dengan segala tindakan yang diambil untuk kemudian dituangkan dalam akta. Bertindak berdasarkan hukum yang berlaku akan memberikan kepastian kepada para pihak, bahwa akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris telah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, sehingga jika terjadi permasalahan, akta Notaris dapat dijadikan pedoman para pihak. 4)
Asas Kecermatan Notaris
dalam
mengambil
suatu
tindakan
harus
dipersiapkan dan didasarkan pada aturan hukum yang berlaku. Meneliti semua bukti yang diperlihatkan kepada Notaris dan mendengarkan keterangan atau pernyataan para pihak wajib dilakukan sebagai bahan dasar untuk dituangkan dalam akta. Asas kecermatan ini mempunyai penerapan dari pasal 16 ayat (1) huruf a, antara lain dalam menjalankan tugas jabatannya wajib bertindak seksama. 5)
Larangan Pemberian Alasan Setiap akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris harus mempunyai alasan dan fakta yang mendukung untuk akta yang bersangkutan atau ada pertimbangan hukum yang harus dijelaskan kepada pihak/penghadap.
6)
Larangan Penyalahgunaan Wewenang Pasal 15 UUJN merupakan batas kewenangan Notaris dalam
menjalankan
tugas
jabatannya.
Penyalahgunaan
wewenang, yaitu suatu tindakan yang dilakukan oleh Notaris di luar wewenang yang telah ditentukan. Jika Notaris membuat suatu tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan, maka tindakan Notaris dapat disebut sebagai tindakan penyalahgunaan wewenang. Jika tindakan seperti merugikan para pihak, maka para pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut Notaris yang bersangkutan dengan kualifikasi sebagai suatu tindakan hukum yang merugikan para pihak. Para pihak yang menderita kerugian
32
untuk menuntut penggantian biaya ganti rugi dan bunga kepada Notaris. 7)
Larangan Bertindak Sewenang-wenang Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya
dapat
menentukan tindakan para pihak dapat dituangkan dalam bentuk akta Notaris atau tidak. Sebelum sampai pada keputusan seperti itu, Notaris harus mempertimbangkan dan melihat semua dokumen yang diperlihatkan kepada Notaris. Dalam hal ini Notaris mempunyai peranan untuk menentukan suatu tindakan dapat dituangkan dalam suatu bentuk akta atau tidak dan keputusan yang diambil harus didasarkan pada alas an hukum yang harus dijelaskan kepada para Pihak. 8)
Asas Proposionalitas Dalam pasal 16 ayat (1) huruf a, Notaris dalam menjalankan tugas
jabatannya
wajib bertindak menjaga
kepentingan para pihak yang terkait dalam perbuatan hukum atau
dalam
menjalankan
tugas
jabatan
Notaris,
wajib
mengutamakan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban para pihak yang menghadap Notaris. Notaris
dituntut
untuk
senantiasa
mendengar
dan
mempertimbangkan keinginan para pihak agar tindakannya dituangkan dalam akta Notaris, sehingga kepentingan para pihak terjaga secara proporsional yang kemudian dituangkan dalam bentuk akta Notaris. 9)
Asas Profesionalitas Dalam pasal 16 ayat (1) huruf d, Notaris wajib memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam UUJN, kecuali ada alasan untuk menolaknya. Asas ini mengutamakan keahlian (keilmuan) Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan UUJN dan Kode Etik Jabatan Notaris. Tindakan professional Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya
33
diwujudkan dalam melayani masyarakat dan akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris. b.
Tugas dan wewenang notaris Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tugas sebagai kata sifat memiliki pengertian wajib dikerjakan atau yang ditentukan untuk dilakukan; pekerjaan yg menjadi tanggung jawab seseorang; pekerjaan yg dibebankan. Contohnya adalah : pegawai hendaknya menjalankan tugas masing-masing dengan baik sedangkan jika mendapat awalan ber- (ber-tugas) akan membentuk kata kerja (sedang) menjalankan tugas; ada tugas; mempunyai tugas. 25 Wewenang sebagai kata sifat memiliki pengertian sebagai (1) hak dan kekuasaan untuk bertindak; kewenangan; (2) kekuasaan membuat keputusan, memerintah, dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain; (3) Hak fungsi yang boleh untuk tidak dilaksanakan.26 Beberapa ahli dalam buku yang ditulis Moekijat memberikan pengertian kata tugas dan wewenang. Menurut pendapat John dan Mary Miner tugas adalah kegiatan pekerjaan tertentu yang dilakukan untuk suatu tujuan khusus, sedangkan menurut Moekijat tugas adalah suatu bagian atau satu unsur atau satu komponen dari suatu jabatan. Wewenang menurut G.R. Terry memiliki pengertian kekuasaan resmi dan kekuasaan pejabat untuk menyuruh pihak lain supaya bertindak dan taat kepada pihak yang memiliki wewenang itu.27 Tugas dan wewenang notaris secara umum terdapat dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Kementerian Pendidikan Nasional, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, terdapat dalam http://Bahasa.Kemdiknas.Go.Id/Kbbi/Index.Php, diakses pada tanggal 21 Agustus 2015, jam 12.00 WIB. 26 Ibid. 27 Moekijat, Administrasi Kepegawaian Negara Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1998, hlm. 33. 25
34
Jabatan Notaris yang menyatakan bahwa notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Menurut Habib Adjie28, Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris menegaskan salah satu kewenangan notaris adalah membuat akta secara umum, dengan batasan sepanjang: 1) Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh undang-undang. 2) Menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan umum atau dikehendaki oleh yang bersangkutan. 3) Mengenai subyek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat atau dikehendaki oleh yang berkepentingan. 4) Berwenang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat, hal ini sesuai dengan tempat kedudukan dan wilayah jabatan notaris. 5) Mengenai waktu pembuatan akta, dalam hal ini notaris harus menjamin kepastian waktu menghadap para penghadap yang tercantum dalam akta.
28
Habib Adjie, Kebatalan Dan Pembatalan Akta Notaris, PT. Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm. 8.
35
Selanjutnya pada Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris diatur mengenai wewenang khusus notaris antara lain : 1) mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; 2) membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; 3) membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan
yang
memuat
uraian
sebagaimana
ditulis
dan
digambarkan dalam surat yang bersangkutan; 4) melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; 5) memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; 6) membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau 7) membuat akta risalah lelang. Pasal 15 ayat (3) menyebutkan bahwa selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 15 ayat (1) dan (2), notaris mempunyai
kewenangan lain
yang diatur dalam
peraturan
perundang-undangan. c.
Kewajiban dan Larangan Notaris Menurut KBBI kewajiban berasal dari kata dasar wajib yang memiliki pengertian (1) harus dilakukan; tidak boleh tidak dilaksanakan (ditinggalkan). Contoh: seorang muslim wajib salat lima kali dalam sehari semalam; (2) sudah semestinya; harus. Kata dasar wajib jika mendapat awalan ke- dan akhiran -an akan membentuk benda (n) kewajiban yang memiliki arti (1) sesuatu yang diwajibkan; sesuatu yang harus dilaksanakan; keharusan, (2) pekerjaan, (3) hukum (tugas menurut hukum) sedangkan larangan
36
memiliki pengertian sebagai perintah (aturan) yang melarang suatu perbuatan.29 Menurut Kode Etik Ikatan Notaris Indonesia (INI) kewajiban dan larangan telah disebutkan pengertiannya dalam ketentuan umum Pasal 1 kewajiban memiliki pengertian sikap, perilaku, perbuatan atau tindakan yang harus dilakukan anggota Perkumpulan maupun orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris, dalam rangka menjaga dan memelihara citra wibawa lembaga notariat, menjunjung tinggi keluhuran, harkat, martabat jabatan Notaris. Larangan memiliki pengertian adalah sikap, perilaku, perbuatan atau tindakan yang tidak boleh dilakukan oleh anggota Perkumpulan maupun orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris, yang dapat menurunkan citra serta wibawa lembaga notariat ataupun keluhuran harkat dan martabat jabatan Notaris. Kewajiban dan larangan notaris terdapat dalam UndangUndang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris mengatur mengenai kewajiban notaris dalam menjalankan jabatannya, yaitu : 1) bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum; 2) membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris; 3) mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta; 4) memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam UndangUndang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya; Kementerian Pendidikan Nasional, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, terdapat dalam http://Bahasa.Kemdiknas.Go.Id/Kbbi/Index.Php, diakses pada tanggal 21 Agustus 2015, jam 12.00 WIB. 29
37
5) merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan
sumpah/janji
jabatan,
kecuali
undang-undang
menentukan lain; 6) menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku; 7) membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga; 8) membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan; 9) mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya; 10) mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan; 11) mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan; 12) membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris; 13) menerima magang calon Notaris. Larangan notaris diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
38
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, yang menyebutkan bahwa notaris dilarang: 1) menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya; 2) meninggalkan wilayah jabatannya lebih dan 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah; 3) merangkap sebagai pegawai negeri; 4) merangkap jabatan sebagai pejabat negara; 5) merangkap jabatan sebagai advokat; 6) merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan Usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta; 7) merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah jabatan Notaris; 8) menjadi Notaris Pengganti; atau 9) melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris. Disamping kewajiban dan larangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, notaris juga harus mematuhi kewajiban dan larangan yang diatur dalam Kode Etik Organisasi Notaris. Di dalam kode etik ditentukan pula bahwa Notaris wajib melakukan kewajiban dan menghindari perbuatan yang termasuk larangan yang telah ditetapkan oleh Kode etik. Berikut Penulis paparkan kewajiban yang wajib di patuhi oleh Notaris berdasarkan kode etik Pasal 3 ditentukan bahwa Notaris dan orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris wajib : 1)
Memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik
2)
Menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat jabatan Notaris.
39
3)
Menjaga dan membela kehormatan Perkumpulan.
4)
Bertindak jujur, mandiri, tidak berpihak, penuh rasa tanggung jawab, berdasarkan peraturan perundang-undangan dan isi sumpah jabatan Notaris.
5)
Meningkatkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki tidak terbatas pada ilmu pengetahuan hukum dan kenotariatan.
6)
Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan Negara;
7)
Memberikan jasa pembuatan akta dan jasa keNotarisan lainnya untuk masyarakat yang tidak mampu tanpa memungut honorarium.
8)
Menetapkan satu kantor di tempat kedudukan dan kantor tersebut merupakan satu-satunya kantor bagi Notaris yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas jabatan sehari-hari.
9)
Memasang 1 (satu) buah papan nama di depan / di lingkungan kantornya dengan pilihan ukuran yaitu 100 cm x 40 cm, 150 cm x 60 cm atau 200 cm x 80 cm, yang memuat : a) Nama lengkap dan gelar yang sah; b) Tanggal dan nomor Surat Keputusan pengangkatan yang terakhir sebagai Notaris. c) Tempat kedudukan; d) Alamat kantor dan nomor telepon/fax. Dasar papan nama berwarna putih dengan huruf berwarna hitam dan tulisan di papan nama harus ielas dan mudah dibaca. Kecuali di lingkungan kantor tersebut tidak dimungkinkan untuk pemasangan papan nama dimaksud.
10) Hadir, mengikuti dan berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan yang
diselenggarakan
mematuhi,
oleh
melaksanakan
Perkumpulan;
setiap
dan
seluruh
Perkumpulan. 11) Membayar uang iuran Perkumpulan secara tertib.
40
menghormati, keputusan
12) Membayar uang duka untuk membantu ahli waris teman sejawat yang meninggal dunia. 13) Melaksanakan
dan
mematuhi
semua
ketentuan
tentang
honorarium ditetapkan Perkumpulan. 14) Menjalankan jabatan Notaris terutama dalam pembuatan, pembacaan dan penandatanganan akta dilakukan di kantornya, kecuali alasan-alasan yang sah. 15) Menciptakan suasana kekeluargaan dan kebersamaan dalam melaksanakan tugas jabatan dan kegiatan sehari-hari serta saling memperlakukan rekan sejawat secara baik, saling menghormati, saling menghargai, saling membantu serta selalu berusaha menjalin komunikasi dan tali silaturahmi. 16) Memperlakukan setiap klien yang datang dengan baik, tidak membedakan status ekonomi dan/atau status sosialnya. 17) Melakukan perbuatan-perbuatan yang secara umum disebut sebagai kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan antara lain namun tidak terbatas pada ketentuan yang tercantum dalam : a)
UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
b)
Isi Sumpah Jabatan Notaris;
c)
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Notaris Indonesia.
Larangan-larangan yang ditetapkan bagi Notaris diatur dalam Pasal 4 Kode etik yang berbunyi Notaris dan orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan. Notaris dilarang : 1)
Mempunyai lebih dari 1 (satu) kantor, baik kantor cabang ataupun kantor perwakilan.
2)
Memasang papan nama dan/atau tulisan yang berbunyi “Notaris/ Kantor Notaris" di luar lingkungan kantor.
3)
Melakukan publikasi atau promosi diri, baik sendiri maupun secara bersama-sama, dengan mencantumkan nama dan
41
jabatannya,
menggunakan
sarana
media
cetak
dan/atau
elektronik, dalam bentuk: a)
Iklan;
b) Ucapan selamat; c)
Ucapan belasungkawa;
d) Ucapan terima kasih; e)
Kegiatan pemasaran;
f)
Kegiatan sponsor, baik dalam bidang sosial, keagamaan, maupun olahraga;
4)
Bekerja sama dengan Biro jasa/orang/Badan Hukum yang pada hakekatnya bertindak sebagai perantara untuk mencari atau mendapatkan klien.
5)
Menandatangani akta yang proses pembuatan minutanya telah dipersiapkan oleh pihak lain.
6)
Mengirimkan minuta kepada klien untuk ditanda tangani.
7)
Berusaha atau berupaya dengan jalan apapun, agar seseorang berpindah dari Notaris lain kepadanya, baik upaya itu ditujukan langsung kepada klien yang bersangkutan maupun melalui perantara orang lain.
8)
Melakukan pemaksaan kepada klien dengan cara menahan dokumen-dokumen yang telah diserahkan dan/atau melakukan tekanan psikologis dengan maksud agar klien tersebut tetap membuat akta padanya.
9)
Melakukan usaha-usaha, baik langsung maupun tidak langsung yang menjurus ke arah timbulnya persaingan yang tidak sehat dengan sesama rekan Notaris.
10) Menetapkan honorarium yang harus dibayar oleh klien dalam jumlah yang lebih rendah dari honorarium yang telah ditetapkan Perkumpulan.
42
11) Mempekerjakan dengan sengaja orang yang masih berstatus karyawan kantor Notaris lain tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Notaris yang bersangkutan. 12) Menjelekkan dan/atau mempersalahkan rekan Notaris atau akta yang dibuat olehnya. Dalam hal seorang Notaris menghadapi dan/atau menemukan suatu akta yang dibuat oleh rekan sejawat yang ternyata didalamnya terdapat kesalahan-kesalahan yang serius dan/atau membahayakan klien, make Notaris tersebut wajib memberitahukan kepada rekan sejawat yang bersangkutan atas kesalahan yang dibuatnya dengan cara yang tidak bersifat menggurui, melainkan untuk mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan terhadap klien yang bersangkutan ataupun rekan sejawat tersebut. 13) Membentuk kelompok sesama rekan sejawat yang bersifat ekslusif dengan tujuan untuk melayani kepentingan suatu instansi atau lembaga, apalagi menutup kemungkinan bagi Notaris lain untuk berpartisipasi. 14) Menggunakan dan mencantumkan gelar yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 15) Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut sebagai pelanggaran terhadap Kode Etik Notaris, antara lain namun tidak terbatas pada pelanggaran-pelanggaran terhadap : a)
Ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang JabatanNotaris;
b) Isi sumpah jabatan Notaris; c) Hal-hal yang menurut ketentuan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan/atau Keputusan-Keputusan lain yang telah ditetapkan oleh organisasi Ikatan Notaris Indonesia tidak boleh dilakukan oleh anggota. Berdasarkan pada paparan tersebut diatas maka menjadi kewajiban oleh Notaris untuk tunduk pada ketentuan terkait
43
kewajiban dan larangan yang ditetapkan dalam Undang-Undang maupun yang ditetapkan oleh Kode Etik untuk dilaksanakan. Apabila tidak dijalankan ketentuan-ketentuan tersebut diatas bahkan dijalankan yang akhirnya melangar ketentuan tersebut maka Notaris akan berhadapan dengan lembaga pengawasan yang telah dibentuk oleh Menteri maupun oleh Organisasi profesinya.
4. Tinjauan Umum Tentang Kode Etik a.
Kode Etik Kode etik adalah nilai-nilai dan norma-norma moral yang wajib diperhatikan dan dijalankan oleh profesional hukum.30 “Agar kode etik profesi dapat berfungsi sebagaimana mestinya maka paling tidak ada dua syarat yang mesti dipenuhi. Pertama, kode etik itu harus dibuat oleh profesi itu sendiri, Kode etik tidak akan efektif, kalau diterima begitu saja dari atas, dari instansi pemerintah atau instansi lain, karena tidak akan dijiwai oleh cita-cita dan nilai-nilai yang hidup dalam kalangan profesi itu sendiri. Kedua, agar kode etik berhasil dengan baik adalah bahwa pelaksanaannya diawasi terusmenerus.”31 Kedudukan Notaris sebagai pejabat umum adalah merupakan salah satu organ negara yang mendapat amanat dari sebagian tugas dan kewenangan negara yaitu berupa tugas, kewajiban, wewenang dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat umum di bidang Keperdataan.
b.
Pengertian Etika Profesi Pengertian etika berasal dari dua kata Yunani yang hampir sama bunyinya namun berbeda artinya. Pertama berasal dari kata ethos yang berarti kebiasaan atau adat sedangkan yang kedua dari
30
Magnis Suseno, et al., Etika Sosial, Buku Panduan Mahasiswa, APTIK Gramedia, Jakarta, 1991, hlm. 9. 31 Ibid, hlm. 73.
44
kata ethikos artinya perasaan batin atau kecenderungan batin yang mendorong manusia dalam perilakunya. 32 “Dalam isitilah latin ethos atau ethiokos selalu disebut dengan mos sehingga dari istilah tersebut lahirlah moralitas atau yang biasa diistilahkan dengan perkataan moral. Moral berasal dari bahasa latin mos yang jamaknya mores, memiliki arti yang sama dengan etika yakni kebiasaan atau adat. Frans MagnisSuseno membedakan antara moral dan etika. Maksud dari moral adalah ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbahkhotbah, kumpulan peraturan hidup dan ketetapan tertulis maupun lisan tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik.”33 Kamus Besar Bahasa Indonesia merumuskan etika dalam tiga arti yaitu : a. b. c.
Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan masyarakat.34
Dari ketiga arti etika ini dapat dipertajam lagi sebagai berikut:35 a.
b. c.
Kata etika dapat dipakai dalam arti nilai-nilai dan normanorma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok masyarakat dalam mengatur perilakunya. Etika berarti kumpulan asas atau nilai moral (kode etik). Etika memiliki arti sebagai ilmu tentang yang baik dan yang buruk.
Profesional hukum yang mencintai profesinya merupakan tugas yang mulia dan akan menjunjung tinggi etika profesi karena dengan profesi hukum tersebut, profesional hukum mengabdi kepada sesama bukan karena kemampuan intelektual dan ilmu hukumnya melainkan integritas diri, hak asasi manusia, kebenaran dan keadilan 32
Liliana Tedjosaputro, Etika Profesi dan Profesi Hukum, CV. Aneka Ilmu, Semarang, 2003, hlm. 15. 33 Abdul Ghofur Anshori, Op Cit, hlm. 52. 34 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hlm. 237. 35 Ibid.
45
sebagai komitmen profesinya meskipun sampai sekarang masih terdapat perdebatan terkait dengan etika profesi sebagaimana diungkapkan oleh William H. Simon:36 The most basic division among legal ethicists is about whether legal ethics practice norms should take the form of rules or principles. Not all scholars address this issue, and no one has comprehensively analysed it. Yet, it seems to be the concern that most drives differences in both specific conclusions and general perspectives. Etika dengan profesi hukum sangat berkaitan erat karena dengan etika inilah para profesional dapat melaksanakan tugas pengabdian profesinya dengan baik untuk menciptakan kehormatan terhadap martabat manusia yang pada akhirnya akan melahirkan keadilan ditengah-tengah masyarakat. Etika berkaitan erat dengan moral, integritas dan perilaku yang tercermin dari hati nurani seseorang.37 Hati Nurani merupakan kesadaran yang diucapkan dalam menjawab pertanyaan apakah sesuatu yang dilakukan seseorang, baik atau tidak baik, etis atau tidak etis. Nilai adalah suatu fenomena, yang tiap kali mewujudkan diri dalam kaitannya dengan apa yang “baik” dan “benar”.38 Nilai ada banyak ragam dan macamnya dan nilai-nilai tersebut diramu dan kegiatan meramu tersebut disebut budaya. Moralitas merupakan kualitas perbuatan manusiawi dalam arti perbuatan baik dan buruk, benar atau salah, patut atau tidak patut yang ditentukan oleh tiga faktor yaitu motivasi, lingkungan perbuatan, tujuan akhir yang didasarkan pada budaya atau nilai-nilai yang telah “diramu”sedangkan moral adalah (ajaran)
William H. Simmon, “Legal Ethics Should be Primarily a Matter of Principles, Not Rules” Legal Ethics, Forum Philosophical Legal Ethics: Ethics, Morals and Jurisprudence Volume 13, Part 2 37 Frans Hendra Winata, Persepsi Masyarakat Terhadap Profesi Hukum di Indonesia, 2003, rajawali perss,hlm. 4 38 Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Hukum Perjanjian berlandasakan Asas-asas Wigati Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 2006, hlm.83. 36
46
mengenai baik dan buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya.39 Etika pada umumnya merupakan usaha-usaha manusia di dalam mencari mana yang baik dan buruk.40 Dari makna yang terkandung di dalamnya maka etika memiliki hubungan yang erat dengan nilai, dalam hal etika mengandung dua nilai yaitu baik dan benar buruk dan salah pada masyarakat. Sesuatu yang dianggap baik dan buruk dalam kehidupan bermasyarakat harus senantiasa ditaaati oleh semua orang didalamnya tanpa terkecuali dan nilai-nilai tersebut
akan
mempunyai
kekuatan mengikat
karena
akan
memberikan petunjuk bagi perilaku manusia dalam kehidupan bersama. Menurut pendapat Liliana Tedjosaputro, etika merupakan aspek yang sangat mendasar dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus tetap memperhitungkan kerangka nilai-nilai etis dalam budaya masyarakat. Etika dan moral menjadi landasan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, karenanya peranan etika dan moral mempunyai
aspek
yang
mendasar
pada
kepentingan
ilmu
pengetahuan dan teknologi, yaitu memberi arah pengkajian dan mengantisipasi akses negatif dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Peran etika dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi antara lain:41 a. b. c. d. e.
Etika sebagai landasan berpikir dan bekerja; Etika sebagai pengendali; Etika sebagai pendorong; Etika sebagai penyeimbang; Etika sebagai norma-norma.
39
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, Jakarta 2005, hlm.754. 40 Ignatius Ridwan Widyadharma, Hukum Profesi Tentang Profesi Hukum, CV. Wahyu Pratama, Semarang, 1988, hlm. 36. 41 Ibid, hlm. 13.
47
Hubungan antara etika dan profesi hukum adalah bahwa etika profesi adalah sebagai sikap hidup berupa kesediaan untuk memberikan pelayanan profesional dibidang hukum terhadap masyarakat dengan keterlibatan penuh dan keahlian sebagai pelayanan dalam rangka melaksanakan tugas yang berupa kewajiban terhadap masyarakat yang membutuhkan pelayanan hukum dengan disertai refleksi yang seksama dan oleh karena itulah di dalam melaksanakan profesi terdapat kaidah-kaidah pokok berupa etika profesi.42 Secara garis besar etika profesi muncul karena dua alasan:43 1) Etika profesi berfungsi sebagai mekanisme yang dilakukan oleh organisasi untuk mengontrol perbuatan para anggotanya dan kemudian untuk mengkoreksinya apabila perbuatan anggota tersebut dipandang kurang etis. 2) Etika profesi berfungsi sebagai penyelaras hubungan antara rekan seprofesi. Etika yang pertama disebut bergaya hukuman yang artinya adalah etika yang menginginkan semuanya berjalan sempurna. Sebagai
konsekuensi
dari
pendekatan
hal
tersebut
adalah
keberpihakan (condong) membela kepentingan eksternal dan lebih banyak mempertimbangkan manfaat umum daripada kesejahteraan anggota seprofesinya. Etika dengan gaya hukuman cenderung menghabiskan sumber dayanya untuk mengawasi para anggotanya. Etika ini melihat para profesional harus dicurigai, karena berpotensi menyalahgunakan keahlian untuk kepentingan dirinya sendiri yang pada akhirnya akan merusak citar luhur profesi. Etika Kedua disebut bergaya
konsolidasi
yang
memperlihatkan
paradigma
dan
pendekatan berbeda. Etika dengan gaya konsolidasi adalah etika
42
Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 40. Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, Jati diri Notaris Indonesia Dulu, Sekarang dan Di Masa Datang, PT. Gramedia Pustaka, Jakarta, 2008, hlm. 196. 43
48
yang hendak menyerahkan dan mempercayakan segala perputaran kegiatan profesional kepada rekan seprofesinya. Menyangkut etika profesi hukum ini diungkapkan bahwa etika profesi adalah sikap etis sebagai bagian integral dari sikap hidup dalam menjalani kehidupan sebagai pengembang profesi. Hanya pengemban profesi yang bersangkutan sendiri yang dapat atau yang paling mengetahui tentang apakah perilakunya dalam mengemban profesi memenuhi tuntutan etika profesinya atau tidak.44 Oleh karena itu hal-hal yang sifatnya tidak etis dan harus dihindari sebagai bentuk tanggung jawab terhadap moralitas peran yang diemban profesi Notaris diatur didalam kode etik Notaris. Sebagai contoh beberapa sikap yang harus dihindari karena telah memasuki perilaku etik yakni :45 1)
Berusaha atau berupaya dengan jalan apapun, agar seseorang berpindah dari Notaris lain kepadanya, baik upaya itu ditujukan langsung kepada klien yang bersangkutan maupun melalui perantara orang lain. Melakukan pemaksaan kepada klien dengan cara menahan dokumen-dokumen yang telah diserahkan dan/atau melakukan tekanan psikologis dengan maksud agar klien tersebut tetap membuat akta padanya.
2)
Melakukan usaha-usaha, baik langsung maupun tidak langsung yang menjurus ke arah timbulnya persaingan yang tidak sehat dengan sesama rekan Notaris.
3)
Menetapkan honorarium yang harus dibayar oleh klien dalam jumlah yang lebih rendah dari honorarium yang telah ditetapkan Perkumpulan.
4)
Mempekerjakan dengan sengaja orang yang masih berstatus karyawan kantor Notaris lain tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Notaris yang bersangkutan.
44 45
Ibid, hlm. 41. Pasal 4 Kode Etik Notaris.
49
5)
Menjelekkan dan/atau mempersalahkan rekan Notaris atau akta yang dibuat olehnya. Dalam hal seorang Notaris menghadapi dan/atau menemukan suatu akta yang dibuat oleh rekan sejawat yang ternyata didalamnya terdapat kesalahan-kesalahan yang serius dan/atau membahayakan klien, maka Notaris tersebut wajib memberitahukan kepada rekan sejawat yang bersangkutan atas kesalahan yang dibuatnya dengan cara yang tidak bersifat menggurui, melainkan untuk mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan terhadap klien yang bersangkutan ataupun rekan sejawat tersebut. Suatu profesi umumnya mempunyai kode etik profesi guna
mengawasi anggotanya dalam melaksanakan profesinya. Kode etik dalam arti materiil adalah norma atau peraturan yang praktis baik tertulis maupun tidak tertulis mengenai etika berkaitan dengan sikap serta pengambilan putusan hal-hal fundamental dari nilai dan standar perilaku orang yang dinilai baik atau buruk dalam menjalankan profesinya
yang secara mandiri diluruskan, ditetapkan dan
ditegakkan oleh organisasi profesi.46
5. Tinjauan Umum Tentang Sistem Menurut kamus besar bahasa Indonesia sistem didefinisikan sebagai: 1. perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas, 2. susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas, dan sebagainya, 3. Metode.47 Istilah sistem paling sering digunakan untuk menunjuk pengertian metode atau cara dan sesuatu himpunan unsur atau komponen yang saling berhubungan satu sama lain menjadi satu kesatuan yang utuh. Istilah sistem berasal dari bahasa Yunani “systema” yang mengandung
46
47
Abdul Ghofur Anshori, Op Cit, hlm. 161-162. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op.Cit., hlm. 874.
50
arti sehimpunan bagian atau komponen yang saling berhubungan secara teratur dan merupakan satu keseluruhan (a whole).48 Pengertian sistem sangat luas tergantung pada pokok bahasannya. Kajian penelitian ini adalah tentang hukum oleh sebab itu maka perlu dicermati pengertian sistem dalam definisi sistem hukum. Beberapa pakar hukum memberikan pengertian terkait sistem hukum yaitu: 49 1) Pengertian sistem hukum menurut pendapat Sudikno Mertokusumo adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut. 2) Menurut Bellefroid, pengertian sistem hukum ialah rangkaian kesatuan peraturan-peraturan hukum yang disusun secara tertib menurut asas-asasnya. 3) Scolten mengatakan, pengertian sistem hukum adalah kesatuan di dalam sistem hukum tidak ada peraturan hukum yang bertentangan dengan peraturan-peraturan hukum lain dari sistem itu. 4) Pengertian sistem hukum menurut pendapat Subekti merupakan suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan dimana terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusunan menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu pemikiran tersebut untuk mencapai suatu tujuan. Dari pengertian sistem hukum diatas dapat disimpulkan bahwa, pengertian sistem hukum adalah suatu kesatuan peraturan-peraturan hukum yang terdiri atas bagian-bagian (hukum) yang mempunyai kaitan (interaksi) satu sama lain, dimana berfungsi untuk mencapai tujuan. Masing-masing bagian tidak berdiri sendiri, tetapi saling terikat. Arti pentingnya yaitu setiap bagian terletak pada ikatan sistem, dalam kesatuan dan hubungannya yang sistematis dengan peraturan-peraturan hukum lainnya. Sistem hukum yang menyeluruh ini oleh pakar hukum Lawrence M. Friedman tidak lepas dari substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum yang berlaku dimana sistem tersebut berkembang. Siti Annisa, “Teori Sistem”, terdapat dalam http://www.kompasiana.com/sitiannisa/teorisistem, diakses pada tanggal 30 Oktober 2015, jam 09.00 WIB. 49 Titik Triwulan Tutik, Pengantar Ilmu Hukum, Prestasi Pustakaraya, Jakarta, 2006, hlm. 14. 48
51
According to Friedman, law has its own culture a legal culture that can interact with media to transform popular images into “legal dress and shape 50 Sistem yang dibangun oleh hukum tidak boleh bertentangan antara satu dengan yang lainnya agar tujuan terciptanya sistem tersebut terwujud. Menurut Jo Corillo jangan hanya hukum bertransformasi dan dipengaruhi oleh budaya yang kemudian menjadi kebiasaan, lebih dari itu meski hukum tidak dapat dilepaskan dari budaya namun struktur dan substansi hukum yang ada hendaknya berjalan seimbang. Oleh sebab itu maka terciptanya sistem hukum adalah agar ada suatu susunan atau tatanan yang dapat diatur, suatu keseluruhan terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu pemikiran, untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
6. Tinjauan Umum Tentang Peran a. Definisi tentang peran Peran merupakan kosakata bahasa yang sering didengar pada dunia teater. Dalam teater, seorang aktor harus bermain sebagai seorang tokoh tertentu dan dalam posisinya sebagai tokoh itu ia diharapkan untuk berperilaku secara tertentu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ada dua istilah yang muncul terkait peran yakni: 1) Peran dan; 2) Peranan Peran adalah seperangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat sedangkan peranan adalah bagian dari tugas utama yang harus dilakukan.51 Dalam definisi ini, peran dikonstruksikan sebagai fungsi atau posisi dari subjek dalam organisasi dan dalam hubungannya dengan
Jo Carillo, “Links and Choices: Popular Legal Culture in The Work of Lawrence m. Friedman”, Southern California Interdisciplinary Law Journal, Vol. 17:1, 2007, hlm. 4. 51 Kamus Besar Bahasa Indonesia,Op.Cit., hlm. 667. 50
52
masyarakat. Fungsi disamakan dengan jabatan atau pekerjaan yang dilakukan atau kegunaan sesuatu hal. 52 Menurut
Jenping
peran yaitu cara berinteraksi yang
melibatkan tingkah laku oleh dan untuk individu, yang pada akhirnya ada igproses penempatan seseorang dalam keluarga organisasi, masyarakat dan lain sebagainya sedangkan menurut Biddle dan Thomas, kebanyakan definisi itu menyatakan bahwa peran adalah serangkaian rumusan yang membatasi perilaku-perilaku yang diharapkan dari pemegang kedudukan tertentu.53 b. Teori peran Teori peran atau yang disebut role theory (bahasa inggris) dalam bahasa Belanda disebut theorie van de roll merupakan teori
yang
menganalisis
tentang
tugas-tugas
yang
harus
dilaksanakan oleh orang-orang atau lembaga-lembaga yang mempunyai kedudukan dalam masyarakat, baik kedudukan formal maupun informal. Beberapa pendapat dan ahli hukum telah mengemukakan terkait dengan teori yang berhubungan dengan peran: 1) Menurut Fajar Mukti ND dan Yulianto Achmad fokus kajian teori peran adalah pada perilaku masyarakat. Teori peran adalah teori
yang mengkaji bahwa masyarakat akan
berperilaku sesuai dengan status dan perannya. Sementara menurut Salim HS dan Erlies Septianan Nurbani teori yang disampaikan oleh Fajar Mukti ND dan Yulianto Achmad kurang tepat
karena menurutnya tidak hanya masyarakat
saja yang diminta untuk berperan. Oleh karena itu dilengkapi oleh Salim HS dan Erlies Septianan Nurbani mendefinisikan teori peran dengan pengertian: 54 52
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Loc Cit. Devini Rahayu, “Pengertian Peran”, terdapat dalam http://repository.uinjkt.ac.id, diakses pada tanggal 30 Oktober 2015, jam 09.15 WIB. 54 Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Op Cit, hlm. 142. 53
53
“teori yang mengkaji dan menganalisis tentang peran dari institusi-institusi menyelesaikan
dan dan
masyarakat mengakiri
dalam
memecahkan,
masalah-masalah
dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara” 2) B.J. Biddle mengemukakan tentang peranan dari teori peran dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Ia mengemukanan bahwa:55 “rule theory concerns one of the most important of social life, characteristic, behavior patters or role. It explains roles by presuming that person or members of social position and expectations for their own behaviors and those of other person” Artinya bahwa teori peran merupakan salah satu teori yang sangat penting yang mengkaji tentang kehidupan sosial, karakteristik (ciri) perilaku terpola atau peran. Teori ini menjelaskan peran dengan suatu anggapan bahwa orang tersebut merupakan anggota dalam masyarakat dan dengan harapan supaya mereka sendiri dapat berperilaku seperti orang lain. Tidak hanya mendefinisikan teori peran namun B.J Biddle juga mengkaji peran dari aspek ruang lingkupnya. Ada dua ruang lingkup kajian teori peran menurutnya yaitu:56 a) Kehidupan sosial dan b) Ciri-ciri perilaku masyarakat. Dibagi lagi oleh B.J. Biddle model utama dari teori peran tersebut yakni meliputi: a) Functional role theory (teori peran fungsional); Teori ini mengkaji perkembangan peran sebagai normanorma sosial bersama untuk posisi sosial tertentu. 55
BJ. Biddle, “Recent Development In Role Theory”, Annual Reviews Inc. Social, 1986, hlm. 67-
92. 56
Ibid, hlm. 67-92.
54
b) Symbolic interactionist role theory (teori peran interaksi simbolik) Teori ini meneliti perkembangan peran sebagai hasil interaksi simbolik terhadap tanggapan atas perilaku masyarakat. c) Structural role theory (teori peran struktural) Teori memberikan arah pada pengaruh masyarakat dalam
berperan
dengan
menggunakan
model
matematika. d) Organizational role theory (teori peran organisasi) Teori ini mengkaji peran dalam berorganisasi. e) Cognitive role theory (teori peran kognitif) Teori ini mengkaji tentang hubungan antara harapan dan perilaku. 3) Robert Linton dalam Disertasi yang dipublikasikan oleh Dwi Cahyono menggambarkan teori peran sebagai berikut: 57 “Interaksi sosial dalam terminologi aktor-aktor yang bermain sesuai dengan apa-apa yang ditetapkan oleh Budaya. Sesuai dengan teori ini, harapan-harapan peran merupakan pemahaman bersama yang menuntun kita untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari” Berdasarkan teori-teori peran tersebut diatas maka jika dikaitkan dengan kajian penelitian ini seseorang yang memiliki peran tertentu seperti Notaris sebagai pejabat umum mempunyai peranan tertentu dalam hukum yang ditentukan oleh UndangUndang. Diharapkan Notaris dapat berperilaku sesuai dengan peran tersebut. Dengan statusnya sebagai Notaris maka orang (klien) yang datang kepadanya
dilayani untuk diberikan
konsultasi hukum terlebih lagi untuk membuat akta otentik, perilaku sosialnya juga harus menentukan bagaimana caranya berperilaku sesuai harkat dan martabatnya sebagai pejabat. 57
Ibid. hlm 93.
55
Untuk menjaga agar Notaris tetap menjalankan tugas dan kewajibannya sesuai amanah Undang-Undang dan berperilaku sesuai dengan kode etik yang ditentukan maka dibentuklah lembaga pengawasan yakni Majelis Pengawas dan Dewan Kehormatan. Kedua lembaga ini menjalankan peran untuk mengawasi kinerja Notaris. Peran yang diemban oleh kedua lembaga pengawas tersebut melekatkan fungsi tujuan dari munculnya teori peran. Diharapkan peran yang dilaksanakan oleh kedua lembaga tersebut sesuai dengan harapan tujuan dibentuknya peran tersebut. Peran yang melekat bagi kedua lembaga pengawasan Notaris merupakan satu sistem yang dibentuk oleh hukum positif. Apabila dikaitkan pula dengan peran ini dengan definisi sistem maka tujuan dibentuknya peran dalam sistem hukum tersebut agar keseluruhan yang terdiri atas bagianbagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola yang merupakan hasil dari suatu pemikiran ditujukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang diharapkan.
7. Tinjauan Umum Tentang Organisasi Ikatan Notaris Indonesia Awal Berdirinya Ikatan Notaris Indonesia dimulai sejak masa pemerintahan Hindia Belanda. Semakin berkembangnya peran notaris dan bertambahnya jumlah notaris mendorong para notaris di Indonesia mendirikan suatu organisasi perkumpulan bagi para notaris Indonesia. Perkumpulan yang didirikan pada awalnya hanya ditujukan bagi ajang pertemuan dan bersilaturahmi antara para notaris yang menjadi anggotanya. Pada waktu itu perkumpulan satu-satunya bagi notaris Indonesia adalah de-Nederlandsch-Indische Notarieële Verëeniging, yang didirikan di Batavia (sekarang Jakarta) pada tanggal 1 Juli 1908 (menurut anggaran dasar ex Menteri Kehakiman pada tanggal 4 Desember 1958 No. J.A. 5/117/6). Verëeniging ini berhubungan erat dengan 'Broederschap van Candidaat-Notarissen
in
Nederland
56
en
zijne
Koloniën'
dan
'Broederschap der Notarissen' di Negeri Belanda, dan diakui sebagai badan hukum (rechtspersoon) dengan Gouvernements Besluit (Penetapan Pemerintah) tanggal 5 September 1908 Nomor 9. Mula-mula sebagai para pengurus perkumpulan ini adalah beberapa orang notaris berkebangsaan Belanda yaitu L.M. Van Sluijters, E.H. Carpentir Alting, H.G. Denis, H.W. Roebey dan W. an Der Meer. Anggota perkumpulan tersebut pada waktu itu adalah para notaris dan calon notaris Indonesia (pada waktu itu Nederlandsch Indië).58 Setelah Indonesia mencapai kemerdekaannya, maka para notaris Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan lama, dengan diwakili oleh seorang pengurus selaku ketuanya, yaitu Notaris Eliza Pondaag, lalu mengajukan permohonan kepada Pemerintah c.q. Menteri Kehakiman Republik Indonesia dengan suratnya tanggal 17 November 1958 untuk mengubah anggaran dasar (statuten) perkumpulan maka dengan penetapan Menteri Kehakiman Republik Indonesia tanggal 4 Desember 1958 No. J.A. 5/117/6 perubahan anggaran dasar perkumpulan dinyatakan telah sah dan sejak hari diumumkannya anggaran dasar tersebut dalam Tambahan Berita Negara Indonesia tanggal 6 Maret 1959 Nomor 19, nama perkumpulan Nederlandsch-Indische Notarieële Verëeniging berubah menjadi Ikatan Notaris Indonesia (INI) yang mempunyai tempat kedudukan di Jakarta dan hingga saat ini masih merupakan satu-satunya perkumpulan bagi notaris di Indonesia.
8. Tinjauan Umum Tentang Sanksi Berdasarkan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia definisi dari sanksi adalah : a.
Tanggungan (tindakan, hukuman, dan sebagainya) untuk memaksa orang menepati perjanjian atau menaati ketentuan 1022 undangundang (anggaran dasar, perkumpulan dan sebagainya): dulu aturan
Ikatan Notaris Indonesia Pengurus Pusat, “Sejarah Ikatan Notaris Indonesia”, terdapat dalam www.ikatannotarisindonesia.web.id, diakses pada tanggal 22 Agustus 2015, jam 19.00 WIB. 58
57
tata tertib harus ditegaskan apalagi kalau ada anggota yang melanggar aturan-aturan itu; b. Tindakan (mengenai perekonomian) sebagai hukuman kepada suatu negara; c.
Hukum dalam imbalan negatif, berupa pembebanan atau penderitaan yang ditentukan dalam hukum; hukum dalam imbalan positif, yang berupa hadiah atau anugerah yang ditentukan dalam hukum. Terhadap Notaris yang melakukan pelanggaran jabatan maka akan
dikenakan sanksi. Di dalam Pasal 16 ayat (11) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dapat dikenai sanksi jika melakukan pelanggaran yakni berupa sanksi : a.
Peringatan tertulis;
b.
pemberhentian sementara;
c.
pemberhentian dengan hormat; atau
d.
pemberhentian dengan tidak hormat. Menurut kode etik Ikatan Notaris Indonesia sanksi adalah suatu
hukuman yang dimaksudkan sebagai sarana, upaya dan sifat pemaksa ketaatan dan disiplin anggota Perkumpulan maupun orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris, dalam menegakkan Kode Etik dan disiplin organisasi. Bentuk sanksi bagi Notaris dalam Kode etik diatur dapat berupa : a.
teguran lisan maupun tertulis,
b.
peringatan,
c.
schorsing (pemecatan sementara) serta pemecatan dari keanggotaan (ontzetting)
d.
pemberhentian dari keanggotaan secara tidak hormat.
B. Penelitian Yang Relevan Sepengetahuan peneliti, dengan melakukan penelusuran bahan hukum sekunder, penelitiaan dengan judul “Peranan Majelis Pengawas Daerah Dan
58
Dewan Kehormatan Daerah Dalam Sistem Pengawasan Terhadap Notaris Di Kabupaten
Sleman.”
belum
pernah
dilakukan,
namun
berdasarkan
penelusuran kepustakaan tersebut terdapat beberapa hasil penelitian yang terkait dengan judul penelitian ini yang antara lain sebagai berikut : 1.
Kristiana Meinalita Samosir, penelitian jurnal dengan judul: “Efektifitas pelaksanaan kewenangan Pengawasan Majelis Notaris di
Kota
Pontianak” dibuat oleh Mahasiswa Pascasarjana Magister Hukum Universitas Tanjung Pura dan telah dipublikasi pada tahun 2013.59 Pada karya ilmiah ini memuat rumusan masalah mengenai upaya apa yang seharusnya dilakukan untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan kewenangan Majelis Pengawas Daerah Notaris Kota Pontianak. Pada penelitian ini disimpulkan bahwa pelaksanaan kewenangan pengawasan Majelis Pengawas Daerah Notaris Kota Pontianak belum sepenuhnya efektif karena dari tujuh kewenangan yang diberikan Pasal 70 UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan selama masa jabatannya. Majelis Pengawas Daerah Notaris Kota Pontianak baru melaksanakan satu kewenangan yaitu Pemeriksaan Protokol Notaris. Selain itu, meskipun dari hasil temuan pemeriksaan protokol notaris terdapat indikasi yang kuat adanya pelanggaran kode etik dan pelaksanaan jabatan notaris, namun Majelis Pengawas Daerah Notaris Kota Pontianak tidak menindaklanjutinya ke sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris. Upaya yang seharusnya dilakukan untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan kewenangan Majelis Pengawas Daerah Notaris Kota Pontianak ke depan adalah dengan merekrut unsur anggota Majelis Pengawas Daerah Notaris, unsur anggota Majelis
Kristiana Meinalita Samosir, “Efektivitas Pelaksanaan Kewenangan Pengawasan Majelis Pengawas Daerah Notaris Terhadap Notaris Di Kota Pontianak (Studi Terhadap Implementasi Pasal 70 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris)”, Vol 3, No 5 (2013) Jurnal Mahasiswa S2 Hukum Untan. 59
59
Pengawas Wilayah Notaris dan unsur anggota Majelis Pengawas Pusat Notaris dari anggota Dewan Kehormatan Notaris. Adapun perbedaan dari penelitian yang disusun oleh peneliti dengan karya ilmiah yang diangkat oleh saudara Kristiana Meinalita Samosir adalah karya ilmiah dari saudara Kristiana Meinalita Samosir masih tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan mengkaji Majelis Pengawas Daerah di Kota Pontianak sedangkan karya ilmiah Peneliti mengkaji Majelis Pengawas Daerah di Kabupaten Sleman dan Dewan Kehormatan Daerah di Kabupaten Sleman serta tunduk pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. 2.
Michael Silalahi penelitian karya ilmiah tesis dengan judul penelitian “Penegakan Kode Etik Notaris Oleh Dewan Kehormatan Daerah di Kabupaten Sleman” dan telah dipublikasi pada tahun 2015.60 Pada karya ilmiah ini diangkat rumusan masalah mengenai penegakan kode etik notaris oleh Dewan Kehormatan Daerah Kabupaten Sleman dan faktorfaktor yang mempengaruhi kinerja Dewan Kehormatan Daerah Kabupaten Sleman. Penelitian ini dihasilkan kesimpulan bahwa belum ada ketegasan terhadap keanggotaan Notaris dalam suatu wadah organisasi, dimana seorang Notaris yang telah dikeluarkan dari keanggotaan Ikatan Notaris Indonesia pada kenyataannya masih dapat melakukan praktek. Hal ini mengakibatkan sanksi yang diberikan Dewan Kehormatan Daerah Ikatan Notaris Indonesia (INI) Kabupaten Sleman hanya dipandang sebelah mata. Faktor yang menghambat dalam penegakan kode etik adalah keterbatasan waktu dalam melakukan pengawasan dan adanya rasa sungkan dalam menegakan Kode Etik Notaris terhadap teman sejawat.
Michael Silalahi, 2015, “Penegakan kode etik notaris Oleh Dewan Kehormatan Daerah Di Kabupaten Sleman”, tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 60
60
Adapun perbedaan dari penelitian yang disusun oleh peneliti dengan karya ilmiah yang diangkat oleh saudara Michael Silalahi adalah kajian yang dilakukan oleh saudara Michael Silalahi hanya berfokus pada penegakan Kode Etik yang dilakukan oleh Dewan Kehormatan Daerah sedangkan peneliti mengkaji lebih lengkap dari kedudukan Majelis Pengawas Daerah dan Dewan Kehormatan Daerah dalam pengawasan dan pembinaan terhadap notaris dalam menjalankan jabatannya di Kabupaten Sleman, mekanisme pemberian sanksi dalam sidang pelanggaran jabatan dan kode etik kepada Notaris yang melakukan pelanggaran di Kabupaten Sleman serta faktor penunjang dan penghambat yang dihadapi oleh Majelis Pengawas Daerah dan Dewan Kehormatan Daerah dalam pengawasan dan pembinaan terhadap Notaris. Apabila dalam mengkaji memang memiliki kesamaan dengan penelitian sebelumnya, maka penelitian yang dilakukan oleh penulis saat ini diharapkan dapat melengkapi penelitian terdahulu.
61
C. Kerangka Berpikir Kerangka berpikir penelitian hukum ini adalah sebagai berikut :
Majelis Pengawas Daerah Kabupaten Sleman
Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Juncto Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
Dewan Kehormatan Daerah Kabupaten Sleman
Peran dalam Pengawasan
Kode Etik
Notaris
Masyarakat Pengguna Jasa Notaris
Profesionalitas dan Moralitas
Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum
Majelis Pengawas Daerah dan Dewan Kehormatan Daerah Kabupaten Sleman diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan dan pembinaan kepada Notaris dalam menjalankan jabatannya sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris yang ditetapkan oleh INI sebagai organisasi wadah tunggal Notaris. Sebagai profesi hukum, Notaris harus profesional dalam melayani masyarakat yang membutuhkan jasanya. Dasar utama dari profesi ini adalah kepercayaan dan tanggungjawab yang merupakan amanah atas kepercayaan yang diembankan kepadanya. Setiap masyarakat membutuhkan seseorang (figur)
62
yang keterangan-keterangannya dapat diandalkan, dapat dipercaya, yang tanda tangannya serta segelnya (capnya) memberikan jaminan kepastian hukum kepadanya. Oleh sebab itu dipandang perlu adanya sistem pengawasan terhadap kinerja profesionalisme seorang Notaris melihat peran penting Notaris dalam sistem pembuktian. Selain harus profesional, Notaris dituntut untuk memiliki moralitas yang baik. Hal tersebut tercermin dalam aturan perundang-undangan dan kode etik Notaris yang mana Notaris dituntut harus selalu jujur dan amanah. Oleh sebab itu dalam mengemban jabatannya notaris wajib mengangkat sumpah jabatan karena pertanggungjawaban profesionalitasnya selain kepada masyarakat juga kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pelaksanaan tugas dan jabatan Notaris harus selalu dilandasi pada suatu integritas dan kejujuran yang tinggi dari pihak Notaris sendiri karena hasil pekerjaanya yang berupa akta-akta maupun pemeliharaan protokol-protokol sangat penting dalam penerapan hukum pembuktian, yaitu sebagai alat bukti otentik yang dapat menyangkut kepentingan bagi pencari keadilan baik untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan suatu usaha, maka pelaksanaan tugas dan jabatan Notaris harus didukung oleh suatu itikad moral yang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karenanya yang menjadi tugas pokok pengawasan adalah agar segala hak dan kewenangan maupun kewajiban yang diberikan kepada Notaris dalam menjalankan tugasnya sebagaimana yang diberikan oleh peraturan dasar yang bersangkutan, senantiasa dilakukan diatas jalur yang telah ditentukan bukan saja jalur hukum tetapi juga atas dasar moral dan etika profesi demi terjaminya perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat. Penulis akan mengkaji sistem pengawasan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas Daerah dan Dewan Kehormatan Daerah Kabupaten sleman serta mekanisme pemberian sanksi dalam sidang kode etik kepada Notaris yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban yang melekat pada jabatannya maupun larangan-larangan yang telah ditentukan. Efektifitas pengawasan dan pembinaan seyogyanya merupakan refleksi keberhasilan Notaris itu sendiri dalam menegakkan kode etik untuk dirinya
63
dan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat yang telah memberikan kepercayaan terhadapnya, namun Notaris perlu mengingat bahwa untuk melihat kesalahan dan kekurangan pada dirinya perlu ada pihak lain yang memberikan saran dan arahan. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas peneliti tertarik meneliti dan mengangkat judul tersebut diatas termasuk untuk mengkaji peranan Majelis Pengawas Daerah dan Dewan Kehormatan Daerah dalam sistem pengawasan terhadap Notaris di Kabupaten Sleman.
64