BAB VII Pemberdayaan Sekolah sebagai Pusat Pembangunan Karakter Bangsa
Education is againt verbalism and dogmatism , pendidikan menentang verbalisme dan dogmatisme, itulah ungkapan Marsha Weils and Joyce dalam bukunya Models of Teaching (1992). Pembelajaran yang padat dengan materi pelajaran, dengan proses ceramah ( transfer of
knowledge), dimana guru menjadi pusat informasi, guru menyampaikan informasi kepada siswa yang harus diingat dan dihafal siswa, maka hasil belajar siswa cenderung verbalis. Artinya siswa hafal akan teori dan konsep keilmuan tetapi tidak dapat menggunakannya dalam memecahkan masalah kehidupan sehari-hari ataupun dalam pekerjaan dan kehidupan akademik. Istilah populernya yaitu siswa hanya bisa “omdo” (omong doang) atau istilah dalam bahasa Sunda adalah “apal cangkem” yang artinya sama yaitu hanya bisa “ngomong” tanpa bisa melakukannya dalam kehidupan. Dalam dunia pendidikan disebut sebagai pendidikan yang padat dengan kognitif, bukan pendidikan berbasis kompetensi, karena siswa yang kompeten adalah siswa yang memiliki ilmu (kognitif) yang dapat diamalkan (motorik) dalam kehidupan dengan soleh (afektif).
Pendidikan juga menentang dogmatisme yaitu orang yang melaksanakan suatu peraturan perundang-undangan tanpa memahami nilai dan konsep yang melandasi peraturan perundangundangan tersebut. Dalam melaksanakan suatu aturan agama ada beberapa peraturan dan ketetapan agama yang ditentukan Allah Swt. yang sulit untuk diperdebatkan secara rasional, kita menerimanya secara dogmatis berlandaskan iman. Tetapi pelaksana peraturan perundang-undangan negara dan pemerintahan, harus mengerti landasan konseptual teoritis dan sistem nilai dari peraturan perundang-undangan tersebut.Kalau tidak mengerti artinya, apakah kita harus menganggap peraturan dan perundang-undangan tersebut sebagai dogma yang harus diyakini kebenarannya dengan iman? Peraturan dan ketetapan dalam Al-Qur’an kita harus laksanakan sepenuhnya, meskipun kadang-kadang kita tidak mengerti, dalam konteks ibadah kita harus imani, karena hanya AlQur’an saja yang setelah selesai kita membacanya, kita ucapkan: “Maha Benar Allah dengan
segala firmanNya”, sedangkan kitab lainnya tidak demikian.
Bab 7 Pemberdayaan Sekolah sebagai Pusat Pembangunan Karakter Bangsa- 87
Penulis menghimbau para praktisi pendidikan agar mengamankan generasi muda terhadap verbalisme, dogmatisme dan pribadi yang terpecah:
Save our generation against
Verbalism Dogmatism, and Split personality
Pendidikan karakter berkaitan dengan hal yang ketiga yaitu split personality, atau pribadi yang terpecah yaitu tidak satunya antara ucapan dan perbuatan, atau tidak menyatunya sikap, ucapan dan perbuatan, alias munafik. Pendidikan yang menghasilkan SDM dengan pribadi yang tidak integral hanya akan dapat membangun negara dengan 1001 krisis. Jawaban secara konseptual teoritis dan filosofik terhadap masalah pendidikan yang cenderung verbalis, dogmatis dan split personality adalah penyelenggaraan pendidikan berbasis kompetensi. Dimana kompetensi adalah keseluruhan ilmu pengetahuan, nilai dan sikap yang dapat direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak.Artinya orang yang kompeten adalah orang yang berilmu yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah kehidupan baik dengan lisan maupun perbuatan berlandaskan sikap dengan nilai-nilai keimanan. Dengan kata lain, orang yang kompeten adalah orang yang memiliki ilmu yang diamalkan dengan soleh. Orang yang kompeten akan terhindar dari neraka jahanam karena akan dapat pahala terus menerus, seperti yang difirmankan Allah Swt. dalam surat At Tiin (Q.S. 95:4-6). (4). Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaikbaiknya, (5) Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), (6) Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.
Maka secara teologis filosofik pendidikan berbasis kompetensi, bila dilaksanakan secara konsisten akan menghasilkan SDM yang cerdas, kompetitif, produktif dan berakhlak mulia, dan terhindar dari azab neraka.
Siapa yang Bertanggung Jawab dalam Pelaksanaan Pendidikan Berbasis Kompetensi? Desentralisasi pendidikan terjadi setelah keluarnya UU Sisdiknas Tahun 2003, yaitu peralihan dari manajemen pendidikan yang sentralistik, terpusat di Kementrian Pendidikan Nasional (Depdiknas) menjadi Manajemen Berbasis Sekolah atau MBS (UU Sisdiknas Pasal 51 ayat 1). Kewenangan dan tanggung jawab pelaksanaan MBS berada pada pundak kepala sekolah sebagai administrator dan pemimpin pendidikan intrapreneur di sekolah.Oleh karena itu kompetensi kepala sekolah terdiri dari kompetensi kepribadian, sosial, manajerial, kewirausahaan dan supervisi. Adanya kewenangan (authority) dalam pelaksanaan MBS antara lain ditandai dengan perintah UU Sisdiknas pasal 38 ayat 2, tentang kewenangan sekolah dalam menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan pemberian STTB (Surat Tanda Tamat Belajar) berdasarkan hasil
88 - Bab 7 Pemberdayaan Sekolah sebagai Pusat Pembangunan Karakter Bangsa
UAS (Ujian Akhir Sekolah) pada pasal 61 ayat 1 dan 2, meskipun belum terlaksana secara konsisten. Ummat
muslim
secara
filosofis menyadari
akan hadits yang
berbunyi:
“ tunggulah
kehancurannya apabila salah menunjuk pemimpin”. Artinya kehancuran lembaga pendidikan adalah akibat dari kesalahan kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan, demikian juga keberhasilan sekolah merupakan keberhasilan kepala sekolah dalam memimpin dan mengelola pendidikan. Secara teoritis keberhasilan lembaga pendidikan bertumpu pada kepemimpinan.Hal ini dikemukakan oleh Sallis (1993) bahwa kepemimpinan merupakan tumpuan keberhasilan manajemen. Selanjutnya
keberhasilan
manajemen
pendidikan
merupakan
tumpuan
keberhasilan
penyelenggaraan kurikulum dalam arti komprehensif, yaitu keberhasilan dalam menyiapkan lulusan yang cerdas, kompetitif, produktif dan berakhlak mulia.
Kepala sekolah merupakan penanggung jawab yang pertama dan utama dalam mencapai tujuan pendidikan berbasis kompetensi.Ada komponen strategik dalam mencapai tujuan sekolah, yaitu komponen kurikulum dan komponen pendidik dan tenaga kependidikan. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) merupakan ujung tombak program peningkatan mutu pendidikan.Ketetapan tentang kompetensi lulusan, dirumuskan dalam standar kompetensi lulusan (SKL), yang kemudian diurai dalam kompetensi mata pelajaran dan kemudian diurai menjadi standar kompetensi (SK). Ketepatan perumusan SK, Kompetensi Mata Pelajaran dan SKL, konsisten dengan definisi kompetensi yang mengintegrasikan kognitif, afektif dan psikomotor, dalam Silabus, RPP (Rencana Pelaksana Pendidikan) dan bahan ajar merupakan prasyarat berhasilnya pencapaian tujuan sekolah dalam menyiapkan lulusan yaitu SDM yang cerdas, kompetitif, produktif dan berakhlak mulia. Keberhasilan penyelenggaraan pendidikan berbasis kompetensi dalam menyiapkan lulusan bermutuakan sangat tergantung pada profesionalitas guru dalam mengembangkan KTSP, dan melaksanakannya di sekolah.Profesionalitas guru meliputi kecakapan mengembangkan dan menyusun KTSP dan mengelola pelaksanaan dan evaluasinya. Guru adalah pengembang dan pelaksana kurikulum. Guru adalah pemimpin dan manajer pembelajaran di kelas dalam mempromosikan fasilitas untuk siswa belajar aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAIKEM). Tanpa PAIKEM siswa hanya hafal teori (verbalisme). Kemampuan mengembangkan dan menyusun KTSP merupakan salah satu indikator dalam profesionalitas guru, artinya guru profesional dapat membuat KTSP. Dengan kata lain guru yang belum mampu membuat KTSP belum profesional dan belum kompeten. Kalaulah ada guru yang sudah mendapatkan sertifikat kompetensi tetapi masih menyusun KTSP dengan “copy paste” yang dibuat BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan), artinya guru tersebut tidak mau belajar menjadi guru profesional. Mereka mendapat peringatan dari Allah
orang yang beriman, mengapa mengatakan sesuatu yang tidak engkau lakukan.Kebencian (dari Allah Swt.) sangat besar kepada mereka yang mengatakan sesuatu yang tidak dilakukannya” (Q.S. Ash Shaff [61]:2-3). Swt.:
“Hai
Bab 7 Pemberdayaan Sekolah sebagai Pusat Pembangunan Karakter Bangsa- 89
Semua guru pasti menyuruh siswa-siswanya belajar, maka apabila guru sendiri tidak mau belajar menyusun KTSP sendiri sesuai perintah UU Sisdiknas Tahun 2003 Pasal 38 ayat 2, maka mereka akan mendapat kebencian dari Allah Swt. Padahal yang kita cari adalah mardhotillah (keridho’an Allah) agar kita kelak menjadi abdullahyang khalifahsebagai penghuni surgaNya.
Guru-guru yang terus belajar akan menjadi orang yang beruntung, karena hari esok mereka akan lebih baik dari hari ini, dan hari ini akan lebih baik dari hari kemarin. Mereka akan menjadi sosok manusia yang baik karena sesungguhnya manusia yang baik adalah manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Guru
yang
belajar
terus-menerus
merupakan
anggota
organisasi
belajar
(learning
organization) dan menciptakan hal-hal yang baru (creative organization) yang merupakan budaya organisasi sekolah, yang berorientasi pada mutu (budaya mutu). Budaya organisasi diciptakan oleh kepemimpinan dan kemampuan manajerial kepala sekolah.Disinilah letaknya peran kepemimpinan kepala sekolah sebagai tumpuan keberhasilan membangun organisasi pembelajar yang kreatif, tempat manajemen pendidikan berlangsung. Oleh karena itu organisasi sekolah, dalam balance scorecard merupakan aspek learning
growth, yaitu organisasi pembelajar yang terus-menerus membuat inovasi dan kreasi sehingga tumbuh dan berkembang. Sekolah seperti ini akan berfungsi sebagai pusat pembangunan masyarakat (social development center). Perumusan visi dan misi lembaga pendidikan merupakan salah satu tugas utama pemimpin. Perumusan visi sekolah yang berintikan nilai-nilai agama akan menjadi source of power bagi para anggota organisasi dan masyarakat lingkungan organisasi. Visi yang berintikan nilai agama akan mengubah motivasi ekstrinsik anggota organisasi menjadi motivasi intrinsik. Mengubah orientasi mereka dari sekedar bekerja menjadi ibadah, yang mengintegrasikan nilai-nilai spiritual sehingga mereka memiliki tanggung jawab personal-profesional dan tanggung jawab sosialspiritual. Perumusan visi yang berintikan nilai-nilai agama merupakan strategi memotivasi orang-orang dalam organisasi, sehingga mereka melaksanakan tugasnya dengan menggunakan segala potensi yang dimilikinya.Kepala sekolah harus mengupayakan agar visi yang berintikan nilai agama tersebut dimiliki oleh semua orang dalam organisasi (internal marketing) dan juga masyarakat sekeliling (eksternal marketing), agar sekolah mendapatkan dukungan masyarakat. Ini merupakan peran utama dari kepemimpinan kepala sekolah yaitu kecakapan komunikasi disamping kecakapan memecahkan masalah dan menetapkan keputusan ( problem-solving and
decision making).
Peningkatan mutu pendidikan yang saat ini dilakukan melalui pelatihan (diklat) guru yang terpisah dari manajemen dan kepemimpinan ( partial-approach) berdampak kurang optimal, karena manajemen tidak mengerti tentang program diklat dan tujuannya, sehingga kurang mendukung tindak lanjutnya bahkan kontra produktif terhadap peningkatan mutu. Begitu banyak diklat di Kementerian Pendidikan Nasional (dulu) melalui berbagai proyek pinjaman luar negeri dan proyek APBN, yang tidak kelihatan dampaknya saat ini.Oleh karena itu pendekatan sistem (system development) dinilai lebih berhasil, yaitu melalui pendampingan
90 - Bab 7 Pemberdayaan Sekolah sebagai Pusat Pembangunan Karakter Bangsa
pengembangan dan peningkatan manajemen, organisasi dan personalia pendidikan di sekolah. Istilah lain adalah Institutional Capacity Building for School-based Total Quality Management. Siapa yang bertanggung jawab untuk peningkatan kapasitas sekolah yang terus menerus (berkelanjutan) dengan manajemen mutu terpadu (TQM).Penanggung jawab pertama yang utama adalah kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan yang bertanggung jawab dalam memfasilitasi (fasilitator) pembelajaran semua orang dalam organisasi sekolah dengan budaya mutu. Kepala sekolah bertanggung jawab dalam IHT ( inhouse training) yang berorientasi pada manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah. Mengapa perlu system development approach? Karena bagaimanapun profesionalnya guru, tetapi pemanfaatannya dalam peningkatan mutu pendidikan di sekolah masih tergantung pada “kebijakan” kepala sekolah.
System development approach ini tidak hanya terfokus pada sekolah sebagai suatu sistem melainkan
juga
pada
infra
struktur
sistem
yaitu
pengawas
dan
birokrasi
di
Dinas
Pendidikan.Sedangkan pada sekolah swasta pendekatan pengembangan sistem ini meliput juga birokrasi di Yayasan atau Organisasi Massa yang memayungi sekolah tersebut seperti Persis (Persatuan Islam), Muhammadiyah, NU (Nahdatul Ulama) dengan Al Maarifnya.
Pada hakekatnya kepala sekolah harus berperan sebagai manajer perubahan ( managementof
change) atau change agent. Tetapi tidak ada salahnya apabila kepala sekolah meminta bantuan untuk mendampingi dia dan lembaga yang dipimpinnya dalam peningkatan kapasitas sekolah yang berkelanjutan, agar terjadi pertumbuhan seperti gerakan bola salju (snow balling effect). Dalam hal ini Organization Development (OD) Consultantdapat menjadi pendamping sekolah, sehingga prosesnya disebut “pendampingan”, dengan tugasnya memfasilitasi orang-orang dalam lembaga untuk belajar dan berlatih untuk terus tumbuh berkembang (learning and growth).
Bab 7 Pemberdayaan Sekolah sebagai Pusat Pembangunan Karakter Bangsa- 91