BAB VII DOMINASI PERHUTANI DALAM KEMITRAAN POLA PHBM
7.1 Petani Belum Menjadi Mitra Sejajar
Dalam pelaksanaan program PHBM di BKPH Parung Panjang pada praktiknya di lapangan masih terdapat ketidakseimbangan kedudukan. Pihak Perhutani masih mendominasi, karena merasa paling berhak dan paling bertanggung jawab dalam pengelolaan hutan di kawasannya. Pelaksana lapangan dari Perhutani adalah para mandor. Mandor sebagai petugas Perhutani sudah terbiasa dengan pekerjaan memerintah dalam penanaman, pemeliharaan, dan penebangan belum bisa mengubah sepenuhnya sikapnya terhadap petani yang sekarang menjadi mitra kerja. Para mandor terlihat lebih bertindak sebagai pihak pemberi perintah dan merasa superior sehingga masyarakat masih dianggap pihak luar yang “numpang” mencari penghidupan di hutan. Hubungan antara mandor dan petani tidak selalu berlangsung dengan harmonis. Mandor
terlihat setengah hati atau seperti terpaksa dalam
mengembangkan program
PHBM. Mandor masih dominan, sementara
kebanyakan petani juga belum sadar akan kedudukannya sebagai mitra sejajar. Petani hanya masih sebagai pengikut dan objek program, belum menjadi subjek yang menentukan pelaksanaan program. Tingkat pendidikan petani yang mayoritas lulus SD atau tidak tamat SD merupakan salah satu faktor yang menyebabkan sulitnya terjadi perubahan sikap kebanyakan petani penggrarap. Meskipun telah dilaksanakan PHBM, pola hubungan antara petani dengan Perhutani masih seperti mandor dan kuli. Petani terlihat menunggu perintah dan melaksanakan apa yang diperintahkan para mandor. Ketidakharmonisan
dalam
pelaksanaan
PHBM,
terlihat
adanya
perbedaan persepsi antara mandor dengan pengurus KTH/LMDH. Mandor menganggap penggarap tidak paham PHBM. Sebaliknya pengurus kelompok menganggap bahwa mandor bekerja semaunya sering melakukan kegiatan tanpa memberikan informasi kepada kelompok tani atau LMDH. Dalam pembagian lahan garapan
seringkali ditentukan sepihak oleh mandor.
Pembagian uang hasil penjarangan tidak jelas kapan akan dibagikan. Mandor dianggap mau menangnya sendiri, kalau petani bekerja sebagai kuli tanam akan
77
mendapatkan upah harian. Sebaliknya kalau petani menjadi penggarap tidak akan mendapatkan upah tanam padahal anggarannya untuk penanaman telah tersedia, kalau non-PHBM ada biaya tanam, tetapi kalau PHBM mengapa tidak ada biaya tanam. Kemitraan terjadi dengan cenderung asimetris. Salah satu bentuk indikasi ketidaksetaraan adalah konsep perjanjian kerja sama dibuat oleh Perhutani. Kelompok tani KTH/LMDH hanya membaca dan menyetujui konsep yang ada. Karena pembuat konsep perjanjian kerja sama adalah Perhutani, sangat terbuka adanya kepentingan-kepentingan dari Perhutani baik yang jelas terlihat maupun maksud tersembunyi di balik draft yang disusunnya. Sebenarnya petani sudah dilibatkan dalam
proses perencanaan,
pelaksanaan, maupun evaluasi kegiatan, tetapi pengambilan keputusan pada proses tersebut masih banyak ditentukan oleh Perhutani. Hubungan asimetris ini menempatkan petugas Perhutani lebih berperan, sedangkan petani berada pada posisi lemah lebih banyak berperan sebagai pelengkap kemitraan. Hal ini yang tidak jauh berbeda terjadi pada pola kemitraan pada perusahaan perkebunan (Fadjar, 2006). Hubungan kemitraan terjadi cenderung asimetris–eksploitatif. Bukan karena petani tidak dilibatkan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi kegiatan, tetapi pengambilan keputusan pada proses tersebut masih banyak ditentukan oleh perusahaan inti atau pihak lain (pemerintah) yang mempunyai kekuasaan lebih besar. Kedudukan petani dalam kemitraan pada pelaksanaan PHBM di beberapa desa tidak sama kondisinya. Semakin solid kelompok tani hutan atau LMDH semakin kuat posisi tawar petani. Hal ini tergantung juga pada kepemimpinan dan keberanian pengurus kelompok, semakin berani kelompok semakin diperhitungkan dalam penentuan dan pengambilan keputusan. Dari ketiga desa yang diteliti, LMDH yang berada di Desa Babakan yang paling aktif melakukan pembinaan terhadap petani penggarap dan lebih berani berpendapat jika berhadapan dengan pihak lain dalam praktik kemitraan. Dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan sejak program tumpangsari sampai PHBM, sebenarnya belum mengalami perubahan filosofi yang berarti, belum menempatkan kedua pihak terkait, kehutanan dan petani pada kedudukan yang setara. (Sambas,2010). Sistem tumpangsari masih terlalu bias pada kepentingan kehutanan dan menomorduakan kepentingan petani. Sebagai contoh, adanya larangan bagi petani untuk menanam tanaman palawija tertentu
78
yang sesungguhnya menjadi andalan, serta pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari. Pihak
Perhutani
belum
menempatkan
kepentingan
petani
dan
perusahaan pada level yang sama, suatu hal yang berlawanan dengan prinsip kemitraan.
Dalam agroforestri yang sesungguhnya dipraktikkan petani
seharusnya sebagai manager lapangan yang sesungguhnya. Petani yang telah lama mempraktikkan usaha taninya secara terpadu. Petani telah terbiasa dihadapkan pada suatu kondisi yang mengharuskan mereka memenuhi kebutuhan hidupnya sepanjang tahun, dengan sekaligus memelihara hutan yang lestari (Sambas, 2010 ) Kaswinto stakeholder
(1999) mengemukakan
merupakan
sebuah
kunci
bahwa
prinsip
keberhasilan
kesetaraan
dalam
bagi
membangun
kemitraan. Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Iswantoro (1999), bahwa prinsip , dasar kemitraan adalah saling percaya, kesamaan kepentingan dan tujuan, kesamaan pandangan tentang cara-cara pencapaian tujuan tersebut, pembagian tanggungjawab yang jelas, pembagian hak yang jelas dan pembagian ongkos dan keuntungan yang adil berdasar kesepakatan bersama. Suksesnya kemitraan ini secara umum ditentukan oleh prinsip keadilan, tanggung jawab, transparan, mekanisme institusi serta adanya keuntungan ekonomi dan finansial bagi semua stakeholder yang terlibat dalam kemitraan (Ichwandi dan Saleh, 2000). Model PHBM berkelanjutan harus dimulai dengan diskusi dan dialog di tingkat desa dengan berbagai stakeholders. Penyusunan rencana, pelaksanaan kegiatan diawali dengan peningkatan sumberdaya manusia pada setiap kegiatan PHBM, serta pengembangan ekonomi kerakyatan untuk meningkatan partisipasi masyarakat. Pemantauan dan evaluasi harus diselenggarakan setiap tahun yang dilakukan oleh Forum Komunikasi PHBM yang anggotanya mempunyai kewenangan dan kemampuan serta kesempatan yang cukup untuk menjalankan tugasnya untuk mengevaluasi dampak PHBM terhadap masyarakat dan lingkungannya. Sistem
kemitraan
seharusnya
melibatkan
pelbagai
pihak
yang
berkepentingan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan. Proses kemitraan multipihak merupakan proses yang menawarkan mekanisme kerja baru yang mengenalkan pemahaman tentang para pihak dan mendorong para pihak untuk lebih menghargai pihak lain. Praktek-praktek multipihak melibatkan pihak
79
pemerintah daerah, pemerintahan lokal, pengusaha, perguruan tinggi, tokoh masyarakat, dan aktivis LSM. Pendekatan multipihak, ditawarkan dengan maksud agar perubahan-perubahan itu menuju ke arah yang diharapkan, dengan cara yang dapat diterima oleh para-pihak. Para-pihak belajar memahami aspirasi sendiri maupun pihak lain. Kemudian menguji aspirasi itu dalam proses negosiasi yang saling-menghormati (Yuliani & Tadjudin , 2006). Proses kemitraan multipihak diharapkan dapat menemukan model pendayagunaan sumberdaya yang sangat spesifik lokal. Sebuah model yang mampu mengakomodasikan kepentingan ekonomi para pihak, dengan tetap memelihara kelestariannya. Aliran manfaat sumber daya juga terdistribusi secara lebih berkeadilan. Pihak-pihak yang selama ini terpinggirkan, seperti kelompok petani tanpa lahan didorong agar dapat bersuara dan memperoleh akses sumberdaya. Dengan proses multipihak akan tumbuh suatu nilai baru: tidak ada satu pihak yang bersikukuh untuk mempertahankan kepentingan dan posisinya secara apriori. Pemerintah dan Perhutani yang berperan sebagai pembuat kebijakan, mau tidak mau harus bersedia duduk bersama untuk mengakomodasi harapan pihak lain, terutama kelompok masyarakat yang selama ini ditempatkan sebagai objek atau pelaksana kebijakan. LSM yang semula berperan sebagai lembaga advokasi yang berpihak ke masyarakat dan melawan pemerintah, mesti belajar berubah menjadi fasilitator yang netral dan tidak berpihak, bahkan bekerjasama dengan pemerintah. Perubahan kondisi bisa diprakarsai dari pihak mana saja, atas inisiatif sendiri atau didorong oleh pihak lain. Pemicu perubahan bisa bersumber pada perubahan kelimpahan sumberdaya, motif individu, tata nilai, aturan main, struktur organisasi, dan mekanisme kerja. Mencermati penerapan PHBM di Perhutani BKPH Parung Panjang, KPH Bogor dapat ditarik pelajaran bahwa dominasi dari Perhutani terhadap masyarakat sebagai mitra dalam pengelolaan hutan berdampak pada tidak terwadahinya kreativitas, inisiatif rakyat untuk berkiprah dalam PHBM. Dengan model yang sama di setiap wilayah telah terjadi pemaksaan sistem pengelolaan hutan padahal kondisi sosial, ekonomi, ekologi dan kebutuhan masyarakat berbeda dalam setiap kawasan. Hal yang sama ditemukan juga dalam penelitian Kusdamayanti (2008) dalam porgram PKPH di Kabupaten Malang. Dalam proses formulasi kebijakan
80
PKPH ini terlihat peran negara yang sangat dominan yang diwakili oleh Perhutani KPH Malang dan Dinas Kehutanan Kabupaten Malang. sebagai representasi negara menganggap bahwa kewenangan pengambilan keputusan tentang pengelolaan sumberdaya hutan hanya menjadi kewenangan negara.
Peran
masyarakat dalam pengambilan keputusan tidak ada, dan hanya dilibatkan pada tahapan pencarian alternatif kebijakan. Dominasi negara (Pemerintah Daerah) telah
mengurangi
hak
yang
seharusnya
didapatkan
oleh
masyarakat.
Pengurangan hak bagi hasil bagi masyarakat dalam PKPH yang semula 25% proporsi yang diterima masyarakat justru semakin menurun menjadi 20% karena pemerintah daerah merasa berhak mendapat bagi hasil karena telah membina.
Dominasi negara dalam proses formulasi kebijakan PKPH ini terwujud dalam dua hal yaitu: 1).Pengabaian masyarakat desa hutan dan LSM secara sengaja dalam penyusunan MoU yang menjadi dasar kebijakan PKPH di Kabupaten Malang 2) Diambilnya hak masyarakat dalam proporsi bagi hasil sebesar 5% oleh pemerintah daerah. Jika penguasaan dan pemanfaatan hutan masih dipandang sebagai kewenangan negara, maka negara akan memberi ruang yang terbatas bagi partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan. Pengabaian secara sengaja terhadap partisipan yang lemah (masyarakat) yang kuat (negara),
oleh partisipan
menyebabkan proses formulasi kebijakan tidak
demokratis dan menghasilkan kebijakan yang tidak berkeadilan ( Kusdamayanti 2008). 7.2 Ketidaksetaraan Kedudukan dalam Perjanjian Kerja Sama Teks merupakan representasi yang berkaitan dengan realitas. Fairclough (1995) melihat bahwa wilayah teks merupakan wilayah analisis fungsi representasional-interpersonal
teks
dan
tatanan
wacana.
Fungsi
representasional teks menyatakan bahwa teks berkaitan dengan bagaimana kejadian, situasi, hubungan dan orang yang direpresentasikan dalam teks. Ini berarti bahwa teks bukan hanya sebagai cermin realitas tapi juga membuat versi yang sesuai dengan posisi sosial, kepentingan dan sasaran. Fungsi interpersonal adalah proses yang berlangsung secara simultan dalam teks. Wacana bukan dilihat dalam keadaan mentah tapi sebaliknya wacana dalam
konteks
publik
adalah
wacana
yang
diorganisasi
ulang
dan
81
dikontekstualisasikan agar sama dengan bentuk ekspresi tertentu yang sedang digunakan. Bentuk ekspresi teks tertentu mempunyai dampak besar atau apa yang terlihat, siapa yang melihat dan dari perspektif sudut pandang macam apa. Wacana membutuhkan analisis intertekstualitas. Analisis ini lebih ingin mengetahui hubungan antara teks dengan praktek wacana. Intertekstualitas ini bisa berproses Selain itu, analisis ini juga ingin melihat cara transformasi dan relasi teks satu dengan teks yang lain. Dalam perspektif ekonomi politik kritis, analisis ini memperlihatkan proses komodifikasi dan strukturasi. Pemaknaan dan makna tidak an sich ada dalam teks atau wacana itu sendiri (Fiske, 1988). Hal ini bisa dijelaskan, ketika kita membaca teks, maka makna tidak akan kita temukan dalam teks yang bersangkutan. Yang kita temukan adalah pesan dalam sebuah teks. Teks tersebut harus ditempatkan dalam identifikasi kultural di mana konteks tersebut berada. Isi teks perlu dimasukkan ke dalam peta makna. Identifikasi sosial, kategorisasi, dan kontekstualisasi dari peristiwa adalah proses penting di mana peristiwa itu dibuat bermakna bagi khalayak. Sebagian besar tindakan manusia dilakukan lewat dan dipengaruhi oleh penggunaan dan artikulasi kebahasaan. Bahasa menempati posisi penting dalam telaah politik. Pemahaman lewat wacana bahasa (language discourse) semakin dianggap penting setelah munculnya posmodernisme dan pascastrukturalisme dalam kajian filsafat dan epistimologi modern. Bahasa di dalam dirinya tampil sebagai representasi dari pagelaran berbagai macam kekuatan. Bahasa merupakan salah satu ruang tempat berbagai kepentingan, kekuatan, proses hegemoni terjadi (Hikam, 1996). Dari telaah teks terhadap perjanjian kerja sama yang disepakati menunjukkan adanya ketidaksetaraan kedudukan antara kelompok tani dengan Perhutani. Diberikannya sanksi-sanksi yang menekan diberlakukan kepada petani merupakan indikasi adanya hubungan asimetris. Faktor keamanan hutan juga lebih banyak dibebankan pada pihak petani. Jika pada waktu pemungutan produksi produksi tidak memenuhi target akibat pencurian pada suatu petak, maka kehilangan pohon tersebut dibebankan pada bagian bagi hasil yang di terima petani. Yang lebih fatal lagi jika anggota kelompok tani ada yang mencuri, maka secara otomatis anggota tersebut akan hilang segala haknya dan di keluarkan dari
ke
anggotaan LMDH.
Padahal pencurian kayu dalam
kenyataannya tidak hanya dilakukan oleh para petani saja, tetapi terkadang juga
82
melibatkan petugas perhutani. Jika ada anggota KTH terlibat dalam gangguan keamanan dikenakan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku pada peraturan Perum Perhutani. Selain tidak mendapatkan bagian dalam bagi hasil , petani juga bisa terkena sanksi pidana. Isi dari naskah perjanjian kerja sama antara Perhutani dengan ketua KTH/ LMDH diawali dengan kerjasama melalui perjanjian kerja sama PHBM yang disepakati oleh para pihak. Isi perjanjian tersebut terdiri dari 16 pasal. Bentuk kerja sama adalah adanya kesepakatan untuk membuat dan melaksanakan usaha bersama dalam mengelola hutan di lokasi petak pangkuan desa yang terletak di BKPH Parung Panjang dengan pola PHBM (pasal 3). Objek perjanjian adalah kawasan hutan negara yang dikelola oleh Perum Perhutani KPH Bogor, BKPH Parung Panjang dengan luasan tertentu. Lahan yang akan digunakan berstatus sebagai kawasan hutan negara yang tetap di bawah penguasaan Departemen Kehutanan yang pengelolaanya dilimpahkan pada Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten cq KPH Bogor, BKPH Parungpanjang Pengelolaan hutan bersama meliputi kegiatan pelestarian fungsi hutan meliputi : 1). perencanaan
2). penanaman 3). peme-liharaan
4)
penjarangan 5). Pengamanan dan 6). Pemanenan Salah satu hal yang menunjukkan adanya ketidaksetaraan kedudukan antara kelompok tani dengan Perhutani adalah adanya sanksi-sanksi yang begitu memberatkan pihak petani. Keamanan hutan lebih banyak dibebankan pada pihak petani. Sebagaimana pernyataan “ Apabila pada waktu pemungutan produksi jumlah tegakan yang ditebang terjadi pengurangan sehingga jumlah pohon tidak normal sesuai tabel tegakan tinggal sebagai akibat pencurian pada suatu petak/petak anak, maka kehilangan pohon tersebut dibebankan pada bagian bagi hasil yang diterima pihak petani yang besarnya sebagaimana tabel tegakan tinggal.” Keamanan hutan dengan demikian menjadi tanggung jawab petani, termasuk jika terjadi pencurian sebagian pohon akan menjadi beban dan dikonversi berapa kehilangan pencurian yang akan dihitung sejumlah pohon yang hilang. Yang lebih fatal lagi jika dalam kelompok tani terdapat anggota yang mencuri, maka secara otomatis hilang segala haknya dan dikeluarkan dari keanggotaan LMDH. Pencurian dalam kenyataannya tidak hanya dilakukan oleh para petani saja, tetapi terkadang juga melibatkan petugas perhutani. Jika ada anggota
83
Perhutani
terlibat dalam gangguan keamanan dikenakan
sanksi sesuai
ketentuan yang berlaku pada peraturan Perum Perhutani. Selain tidak mendapatkan bagian dalam bagi hasil pihak kedua juga bisa kena sanksi pidana sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila terjadi pemindah tanganan hak, maka dengan sendirinya segala
hak
yang dimiliki dalam
perjanjian ini batal/gugur demi hukum. Penyelesaian setiap perselisihan yang timbul akan diselesaikan secara musyawarah untuk mencapai mufakat melaluai perundingan para pihak. Apabila kesepakatan tidak tercapai, maka perselisihan diselesaikan melalui Forum Komunikasi Pengelolaan Hutan
Bersama Masarakat (FK-PBHM).
Apabila
penyelesaian secara muyawarah untuk mufakat tidak tercapai, maka para pihak sepakat untuk menyelesai kan melalui jalur hukum. Dalam pelaksanaan PHBM selain menghasilkan kayu dan hasil hutan nonkayu (termasuk kepentingan Perhutani) dari lahan PHBM juga diharapkan dapat dihasilkan produk pertanian seperti tanaman pangan. Bagi hasil dari jenis kayu lain mengacu pada rumus sebagai mana ketentuan pasal
7 ayat 6. Bagi
hasil pada pemanfaatan benih / biji Acacia magnium dan mahoni akan dibayar oleh Pihak Pertama, dengan membayar biaya pengunduhan yang di tentukan. Mekanisme bagi hasil : kayu bakar yang menjadi hak pihak kedua dari tebangan
penjarangan
dan tebangan habis diserahkan oleh pihak pertama
kepada pihak kedua di lokasi tebangan (TP) dengan Berita Acara yang di tanda tangani oleh kedua pihak. Hasil produksi kayu yang menjadi hak pihak kedua baik yang berasal dari tebangan penjarangan maupun tebang habis ditetapkan setelah seluruh hasil tersebut diterima di tempat penimbunan kayu (TKP) dan dibuatkan Berita Acara yang
ditanda tangani oleh kedua pihak sebagaimana diatur pasal 7
ayat 3. Penyerahan bagian nilai hasil produksi pihak kedua dilakukan
bila
kegiatan produksi pada petak/anak petak yang bersangkutan sudah selesai dan seluruh hasil sudah diterima di Tempat Penimbunan Kayu (TKP) yang dihitung berdasarkan harga jual dasar (HJD) kemudian dikurangi biaya manajemen ( biaya persiapan, pemanenan, angkutan, pengaplingan di TKP). Jangka waktu perjanjian berlaku dilakukan selama daur tebangan habis terhitung sejak ditandatangani perjanjian ini dan akan ditinjau kembali secara periodik setiap 2 (dua) tahun. Perjanjian ini akan di evaluasi setiap 1 (satu) tahun
84
dan apabila satu pihak melanggar kesepakatan ini,maka dapat dikenakan sanksi sesuai pasal 13 perjanjian ini. Jika jangka waktu tersebut berakhir,
dapat
diadakan perjanjian kembali sesuai dengan kesepakatan antara kedua pihak. Sanksi-sanki yang diterapkan dalam perjanjian kerja sama : 1. Tanaman:
Apabila proses tumbuhan tanaman kehutanan di bawah 90%
sampai dengan tahun ke III, maka pihak pertama dan pihak kedua berkewajiban untuk bersama-sama nelakukan penyulaman dengan ketentuan bahwa bibit disediakan oleh pihak pertama. 2. Keamanan hutan : a. Apabila pada waktu pemungutan produksi jumlah tegakan yang di tebang terjadi pengurangan sehingga jumlah pohon tidak normal susai tabel tegakan tinggal
sebagai akibat pencurian pada suatu petak/petak anak, maka
kehilangan
pohon tersebut dibebankan pada bagian
bagi
hasil
yang
diterima pihak kedua yang besarnya sebagai mana tabel tegakan tinggal. b. Apabila terdapat anggota pihak kedua terlibat dalam gangguan keamanan hutan, maka secara otomatis hilang segala haknya dan dikeluarkan dari keanggotaan LMDH. c. Apabila ada anggota pihak pertama terlibat dalam gangguan keamanan diberi sanksi sesuai ketentuan yang berlaku pada peraturan Perum Perhutani. d. Pelaku tindak pidana sebagaimana ayat 2 pasal ini dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Apabila terjadi pemindahtanganan hak, maka dengan sendirinya segala hak yang dimiliki dalam perjanjian ini batal/gugur demi hukum.
7.3 Sistem Bagi Hasil Antara Perhutani dan Masyarakat Salah satu hal yang menarik dalam PHBM adalah adanya bagi hasil bagi petani baik dari hasil kayu dan nonkayu. Bagi hasil ini ditujukan untuk meningkatkan nilai dan keberlanjutan fungsi serta manfaat sumberdaya hutan. Nilai dan proporsi bagi hasil itu ditetapkan sesuai dengan nilai dan proporsi masukan faktor-faktor produksi yang dikontribusikan oleh masing-masing pihak (Perhutani, masyarakat desa hutan, dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya). Sistem bagi hasil yang digunakan di BKPH Parung Panjang untuk jenis pohon Acasia mangium dengan daur 8 - 10 tahun, mengacu peraturan yang sudah ada. Berlandaskan SK Ketua Dewan Pengawas Perum Perhutani Nomor
85
136/KPTS/DIR/2001 dan SK Direksi Perum Perhutani Nomor 01/KPTS/DIR/2002, sistem bagi hasil PHBM adalah dengan sistem penjarangan/tebangan E dan tebang habis (tebangan A / tebangan B) dengan ketentuan sebagaimana Tabel 23. Ketentuan dalam berbagi hasil produksi: hasil dari penjarangan pertama pada umur 3 tahun untuk tanaman jenis akasia, kayu bakar dan kayu perkakas 100% milik petani dengan ketentuan. Jika penjarangan pertama dilakukan pada umur lebih dari 3 tahun untuk kayu bakar 100 % milik petani, sedangkan untuk kayu perkakas bagi hasilnya diatur sesuai dengan rumus yang berlaku. Bagi hasil dari penjarangan lanjutan yang berupa kayu perkakas diberikan dalam bentuk uang tunai setelah harga di TKP, dikurangi dengan biaya eksploitasi. Pemanfaatan bagian dari pihak petani akan diatur berdasarkan kesepakatan anggota kelompok sesuai dengan AD/ART yang disepakati. Proporsi masing-masing pihak dalam sistem bagi hasil yang diterapkan dapat dilihat pada Tabel 23 berikut: Tabel 23 Proporsi dalam Sistem Bagi Hasil PHBM Jenis Tebangan
Umur (tahun}
Ketentuan Bagi Hasil (%) Perhutani Masyarakat Desa Pemda
Tumpang Sari Penjarangan 3 I Penjarangan 5 75 II Penjarangan 7 75 III Tebang 8 -10 80 Habis (Sumber : Perum Perhutani ,2006)
90
10
-
Lain lain -
90
10
-
-
20
5
-
-
20
5
-
-
15
5
-
-
Rumus bagi hasil penjarangan kecuali penjarangan pertama ditentukan dengan rumus sebagai berikut: P = ( U – Ut ) x 25% U
86
Keterangan: P = Proposi hak Masyarakat Desa hutan, U = Umur tanaman Ut =Umur tanaman saat dilakukan perjanjian kerjasama 25% = Bagi hasil Tertinggi. Mekanisme bagi hasil produksi kayu yang menjadi hak yang
berasal
petani baik
dari tebangan penjarangan maupun tebang habis ditetapkan
setelah seluruh hasil tersebut diterima di TKP dan dibuatkan Berita Acara yang ditanda tangani kedua pihak. Penyerahan bagian nilai hasil produksi bagi petani dilakukan bila kegiatan sudah selesai berdasarkan
dan
produksi pada petak/anak petak yang bersangkutan seluruh
hasil sudah diterima di TKP yang dihitung
harga jual dasar (HJD) kemudian dikurangi biaya manajemen
(biaya persiapan, pemanenan, angkutan, pengaplingan di TKP). Bagi hasil yang diberikan kepada petani mulai dihitung sejak adanya penandatanganan kerja sama dalam PHBM. Jika pada saat kerja sama ditandatangi, sudah ada pohon yang berumur beberapa tahun, bagi hasil yang diperoleh petani tidak akan mendapat proporsi maksimal sebesar 25 persen. Proporsi 25 persen akan diperoleh petani jika kerja sama itu diterapkan sejak penanaman, pemeliharaan, sampai tebang habis. Sebagai misal di wilayah BKPH Parung Panjang pada tahun 2008 dilakukan tebang habis termasuk di tiga desa contoh yaitu Ciomas, Babakan, dan Tapos. Sharing yang diperoleh petani di bawah 10 persen, karena tanaman acasia yang ditebang sudah ada sebelum kerja sama dilaksanakan. Tabel 24, Sharing Kayu BKPH Parung Panjang tahun 2008 Desa
Jumlah Pengeluaran (Rp.) 62.775.304
Pendapatan bersih (Rp.) 79.606.431
Perhutani (Rp.)
LMDH (Rp.)
Persen sharing
Ciomas
Jumlah pendapatan (Rp.) 142.381.735
74.822.178
4.784.253
6,4
Babakan
48.925.062
26.082.778
22.842.284
20.821.846
2.020.438
9,7
Tapos
262.461.168
115.424.246
147.036.922
138.204.217
8.832.705
6,4
(Sumber : Perhutani BKPH Parung Panjang,2009) Uang yang diperoleh petani dari PHBM ternyata kecil kurang dari Rp 500.000 selama dua tahun sebagaimana terlihat pada Tabel 25.
Tabel 25. Pendapatan petani dari PHBM
87
No
Lama ikut PHBM
< Rp 500.000
Rp 501.000 – Rp 750.000
Total
1
Kurang 1 tahun
1
0
1
2
1 – 2 tahun
1
0
1
3
3 – 4 tahun
7
0
7
4
Lebih 5 tahun
36
2
38
45
2
47
Total
Sebagai pembanding antara lain hutan rakyat (Lestari 2011) tanaman sengon dengan sistem kemitraan oleh PT BKL Group, PT BKL Group dan Perhutani
berfungsi
sebagai
penanam
modal,
sedangkan
pengelolaan
sepenuhnya diserahkan kepada petani. Perhutani , dan masyarakat dengan tiga pola, yaitu : 1. Kemitraan antara PT BKL Group, KPH Tasikmalaya, dan petani penggarap. Besarnya bagi hasil yang diberikan kepada mitra adalah 50% untuk KPH Tasikmalaya ( , 30 % untuk BKL Group, dan 20% untuk petani). 2. Kemitraan antara PT BKL
group, Perhutani, LMDH dan petani
penggarap. Besarnya bagi hasil yang diberikan kepada mitra adalah 48% untuk KPH Tasikmalaya ( 30 % untuk BKL Group, dan 20% untuk petani, 2 % untuk LMDH. 3. Kemitraan antara PT BKL
group, dan petani pemilik lahan di desa
Leuwibudah Kec.Sukaraja Tasikmalaya Besarnya bagi hasil yang diberikan kepada petani adalah sebesar 75% dan hanya 25 % untuk BKL Group.
Sistem bagi hasil dalam kemitraan antara petani dan koperasi (Usaha Bagi Hasil Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara (UBH-KPWN) di Ciaruteun Ilir Cibungbulang Bogor dapat dijadikan perbandingan dengan pola bagi hasil PHBM. 3,95 milyar.Usaha tani Pola bagi hasil telah melibatkan 443 orang investor dengan nilai investasi Rp 1JUN Budidaya jati unggul (JUN) yang difasilitasi oleh UBH KPWN melibatkan pemilik lahan, petani penggarapa, investor,
pemerintah
desa,
dan
UBHKPWN.
Pengelolaan
usaha
JUN
menggunakan dana dari investor, lahan milik perorangan, lahan desa dan lahan
88
badan usaha, tenaga kerja petani penggarap. Petani penggarap akan mendapatkan bagi hasil panen sebesar 25% dari jumlah pohon yang ditanam. Investor sebagai pemodal untuk biaya pengadaan bibit, pupuk, peralatan, upah petani, dan biaya manajemen mendapatkan 40%. Pemilik lahan mendapatkan 10%. Pemerintahan desa mendapatkan bagi hasil 10%.(www.jati-ubh.com, 2011). 7.4 Kinerja LMDH/KTH dalam Implentasi PHBM LMDH atau KTH merupakan lembaga yang dengan sengaja dibentuk untuk melaksanakan program PHBM. Kehadiran LMDH di dalam masyarakat diharapkan dapat menjadi wadah bagi berbagai aktivitas sosial ekonomi masyarakat desa hutan. Dalam LMDH umumnya terdiri dari beberapa kelompok tani hutan (KTH) di suatu desa. Anggota dari KTH adalah para petani penggarap yang melaksanakan kegiatan mulai menanam bibit sekaligus menanam tanaman pangan dengan sistem tumpangsari. Petani juga bertugas memelihara tanaman dan mengamankan hutan di lahan (blok) garapannya. Implementasi PHBM tidak dapat berhenti setelah terbentuknya LMDH di setiap desa hutan.
Kelembagaan yang telah dibangun itu masih lemah.
Lembaga baru yang sudah dibentuk tidak otomatis dapat berfungsi secara optimal,
masih
diperlukan
adanya
kelengkapan
struktur
pengurus
dan
pemenuhan kebutuhan kelembagaan yang ada. Aktivitas kelompok sangat dipengaruhi kemampuan pengurus untuk dapat menggerakkan roda organisasi dalam menampung aspirasi dan dinamika masyarakat. Lembaga yang kuat dapat melakukan bargaining position dengan pihak lain, seperti: Perhutani, pemerintah desa, dan para pihak yang terlibat dalam program PHBM. LMDH dalam PHBM hanyalah salah satu lembaga (institusi) dari sekian institusi yang turut berperan dan menentukan tingkat keberhasilan pencapaian tujuan PHBM. Institusi lainnya yang berpengaruh adalah Perhutani, pemerintah daerah setempat, lembaga swadaya masyarakat, dan komunitas bisnis (investor, pengusaha). Sebagai sebuah sistem, PHBM menuntut optimalisasi, pengakuan dan kejelasan peran, status dan sifat dari masing-masing institusi yang terlibat dalam implementasi. Perlu disadari bahwa kontribusi yang diberikan oleh institusiinstitusi itu memiliki dampak yang signifikan bagi keberhasilan program. Peran
89
lembaga menjadi kunci sekaligus energi bagi berjalannya sistem PHBM dan membuahkan hasil yang diharapkan bersama. Sebuah
organisasi
LMDH
tidak
akan
dapat
membangun
dan
memberdayakan komunitasnya, jika organisasi itu sendiri tidak mampu beradaptasi dengan dinamika perubahan yang berlangsung sangat cepat. Oleh karena itu, hal yang paling penting untuk segera dilakukan adalah penguatan institusi. Penguatan LMDH menjadi titik penting bagi upaya mewujudkan tujuan dari implementasi PHBM. LMDH mempunyai potensi menjadi lembaga yang mampu memberikan peluang bagi petani untuk bisa mengakses sumber daya alam di hutan sekitranya. Potensi ini sangat bergantung pada usaha dan kerja keras dari seluruh jajaran pengurus lembaga dan anggota kelompok tani hutan untuk mampu melakukan perubahan. Peningkatan kesejahteraan rakyat hanya dapat terwujud jika semua lembaga yang terkait berkomitmen untuk
melakukan
perubahan sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan. Di wilayah Perhutani BKPH Parung Panjang, terdapat 8 LMDH, dan 27 KTH. Daftar LMDH/KTH dalam wilayah BKPH Parung Panjang dapat dilihat dalam lampiran. LMDH merupakan wadah atau lembaga bagi masyarakat untuk memudahkan pengaturan, koordinasi dan pengorganisasian. Setiap desa dibentuk Lembaga LMDH yang terdiri dari kelompok-kelompok Tani Hutan (KTH). Masing-masing kelompok tani hutan ini membentuk pengurus. Setiap KTH dan LMDH mempunyai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, yang memuat ketentuan-ketentuan dalam turut mengelola kawasan hutan bersama Perum Perhutani. Proses implementasi PHBM berlangsung tidak seragam dan dipengaruhi berbagai faktor baik internal lembaga maupun eksternal. Di tiga desa penelitian aktivitas LMDH berbeda-beda kondisinya. Aktivitas kelompok tani yang paling aktif terdapat di LMDH Flora Jaya di Desa Babakan. Ketua LMDH Flora Jaya merupakan petani penggarap yang kegiatan sehari-harinya bekerja di lahan hutan garapannya sekaligus melakukan pemantauan wilayah hutan yang menjadi tanggung jawabnya. Giliran jaga hutan setiap hari juga diberlakukan bagi seluruh petani di blok-blok yang menjadi wilayah garapan petani masing-masing. LMDH Flora
Jaya berusaha melaksanakan fungsi dan tugasnya
manajemen lembaga sebaik mungkin. Aktivitas LMDH untuk urusan administrasi diselenggarakan di rumah pengurus LMDH. Kelengkapan administrasi, AD ART,
90
kegiatan-kegiatan lembaga, rapat dicatat dan diarsipkan. Meskipun belum tertata rapih, dokumentasi dari setiap kegiatan sudah tercatat. Permasalahanpermasalahan yang timbul di dalam lembaga diusahakan diselesaikan secara internal lembaga sebelum dibawa ke pihak luar. Termasuk penanganan masalah pencurian skala kecil oleh anggota kelompok. Penyelesaian kasus pencurian kayu skala kecil yang dilakukan oleh anggota KTH diproses dan diselesaikan secara internal dalam LMDH. Anggota KTH yang mencuri diberikan pemahaman tentang pentingnya kebersamaan dalam menjaga hutan yang menjadi tanggung jawab bersama antara Perhutani dengan kelompok tani. Mereka harus membuat surat pernyataan yang berisi pernytaan tidak akan melakukan pencurian lagi baik di wilayah garapannya atau di wilayah lainnya. Surat pernyataan diketahui oleh pengurus LMDH. KTH di kampung Hajere, Desa Tapos lebih dahulu terbentuk dan melakukan pembinaan dalam kegiatan kelompok sebelum adanya LMDH di Desa Tapos. Kegiatan kerja sama dengan Perhutani sudah dilakukan oleh KTH andalan yang lebih dahulu terbentuk. Hubungan antara KTH dan LMDH di Desa Tapos kurang harmonis, KTH dengan LMDH terlihat berjalan sendiri-sendiri. Pengurus KTH merasa lebih berpengalaman daripada LMDH yang baru dibentuk belum lama. Menurut serorang Ketua LMDH, PHBM dianggap masih didominasi mandor Perhutani. Tidak ada transparansi, mandor seenaknya saja tidak memberikan informasi atau berkomunikasi dengan baik kepada penggarap pada saat kegiatan seperti penanaman, penebangan. Uang bagi hasil penjarangan tidak jelas waktu pembagiannya. LMDH hanya kebagian capainya saja, tanggung jawab terhadap keamanan hutan tidak sebanding dengan bagi hasil yang diterima. Aktivitas LMDH d iselenggarakan di rumah ketua LMDH. Beberapa tahun sebelumnya sebenarnya sudah tersedia kantor LMDH di salah satu Kantor Kepala
Desa Tapos. Sekarang tidak ada lagi kantor LMDH karena dipakai
untuluan keperluan lain sehingga aktivitas LMDH dijalankan di rumah ketuanya. Mundurnya beberapa penggerak KTH Hajere menjadi indikasi adanya permasalahan dalam pelaksanaan PHBM di lapangan. Ketua KTH Hajere sudah mundur sejak 2008 yang lalu tidak mau lagi meneruskan menjadi ketua KTH, kemudian diganti ketua yang baru. Menurut Ketua yang mengundurkan diri, sampai saat ini tidak ada perkembangan aktivitas yang bisa dilakukan setelah PHBM berjalan selama lima tahun. Bersama dengan para tokoh di desa Tapos
91
dan petani lainnya, mereka mendirikan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) sebuah institusi baru yang dibentuk untuk dapat mengakses salah satu program bantuan modal usaha tani dari Kementerian Pertanian. LMDH Ciomas sudah lama terbentuk, aktivitas petani disamping tumpangsari banyak juga penduduk yang mengembangkan ternak lebah madu. Pengurus LMDH Ciomas beberapa kali mengajukan usulan usaha produktif budidaya lebah madu. Bentuk usulannya adalah disediakannya kawasan hutan yang akan ditanami pohon yang menghasilkan bunga untuk konsumsi lebah. Sampai sekarang usulan tersebut belum direalisasikan. Aktivitas LMDH baik untuk urusan administrasi, pertemuan, rapat ada di rumah ketua LMDH. Sebagai Ketua LMDH Ciomas, disamping menjadi pengelola LMDH juga pegiat dalam Forum Komunikasi PHBM. Tetapi usulan yang disampaikan dalam pelbagai forum di Bogor, dan Jawa Barat belum ada tanggapan untuk membantu mengembangkan LMDH yang dikelolanya.. Pembangunan kelembagaan merupakan suatu proses untuk memperbaiki kemampuan suatu lembaga dalam menggunakan sumberdaya yang tersedia berupa manusia dan dana secara efektif. Keefektifan lembaga tergantung pada lokasi aktivitas dan teknologi yang digunakan oleh suatu lembaga. Konsep keefektifan diartikan sebagai kemampuan suatu lembaga dalam mendefinisikan seperangkat standar dan menyesuaikannya dengan tujuan operasionalnya (Israel, 1987). Dalam penguatan PHBM perlu dilakukan pendekatan komprehensif, antara
lain
melalui
pendekatan
sistem
sosial
budaya,
pendekatan
pengembangan ekonomi wilayah, dan pendekatan kelembagaan. pendekatan
kelembagaan,
disyaratkan
adanya
mekanisme
Dalam untuk
mengkonversikan aspirasi dan kebutuhan objektif masyarakat. Diperlukan pula kelengkapan kebutuhan kelembagaan, mobilisasi untuk memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat, dan pengaturan wahana struktural organisasi, serta adanya teladan birokrasi dalam melakukan penguatan kapasitas. Dalam konteks perubahan sosial, proses implementasi sistem PHBM dilaksanakan dengan dinamis, tidak seragam di semua wilayah. Implementasi PHBM tidak berada di dalam ruang yang hampa dan steril dari beragam intervensi dan kepentingan. Lembaga-lembaga yang terlibat dalam pengelolaan hutan sistem PHBM: masyarakat desa hutan (MDH) termasuk di dalamnya petani hutan dan masyarakat secara umum, baik yang merupakan anggota KTH/LMDH maupun
92
yang bukan anggota. Perum Perhutani sebagai badan usaha milik negara yang mendapatkan mandat pengelolaan hutan di Jawa. Pemerintah Desa, Kecamatan, dan pemerintah daerah, petani, dinas / instansi atau pihak terkait yang lain, LSM, investor, pedagang hasil pertanian dan hasil hutan. Pelaksanaan pembangunan hutan dapat berjalan dengan baik, dengan adanya dukungan dari berbagai pihak. Sumberdaya hutan perlu dikelola dengan bijaksana dengan memperhatikan kepentingan banyak pihak. Hutan tidak menjadi objek saja tetapi sebagai bagian dari subjek pengelolaan Perum Perhutani. Tanggung jawab pembangunan hutan tidak hanya di tangan Perhutani, tetapi juga di tangan instansi/pihak terkait dan masyarakat desa hutan. Masyarakat Desa Hutan (MDH) adalah masyarakat yang tinggal di dalam dan atau sekitar hutan. Masyarakat desa hutan yang memperoleh kesempatan dan kepercayaan untuk terlibat dalam pengelolaan hutan akan merasa ikut memiliki. Dengan demikian masyarakat akan termotivasi diri untuk ikut menjaga kelestarian sumberdaya hutan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam pengelolaan hutan. MDH meliputi petani hutan yang tergabung dalam kelompok tani hutan (KTH) di tiap blok atau petak, tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat dan kebijakan di masyarakat desa. Kedekatan geografis masyarakat dengan hutan mau tidak mau haurs berinteraksi dengan hutan baik langsung maupun tidak langsung. MDH tidak hanya berinteraksi dengan hutan tapi juga yang mendapatkan akibat secara langsung dari pengelolaan hutan yang dilakukan. Adanya kelembagaan seperti KTH /LMDH dan aktivitas lembaga
tersebut
membantu keamanan hutan. Kebakaran hutan merupakan ancaman keamanan yang paling membayakan, sekarang kejadian kebakaran semakin jarang terjadi. Jika ada kebakaran misalnya mereka langsung terlibat dan segera melaporkan kepada Perhutani sehingga dapat ditangani dengan cepat sebelum kebakaran meluas. Pencurian kayu yang biasa dilakukan oleh petani dapat dikurangi meskipun masih terjadi pencurian. Dengan adanya tanggung jawab sosial untuk menjaga keamanan hutan yang menjadi wilayah garapannya pencurian kayu semakin jarang ditemukan. Sebagian besar anggota kelompok tani merasa mempunyai tanggung jawab keamanan di wilayah garapannya masing-masing, sehingga kasus pencurian di wilayah mereka semakin berkurang.
93
LMDH dituntut untuk terus menerus berada dalam proses pembelajaran, memperbaharui dirinya dan mengembangkan kreativitas-kreativitas sosial ekonomi dalam mewujudkan tujuannya. Dengan demikian LMDH sebagai motivator dan stimulator pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa hutan, tidak tertinggal jauh dari arus perubahan itu sendiri. Masyarakat desa hutan dibekali kemampuan untuk dan memahami potensi diri dan lingkungannya, dibekali kemampuan untuk merumuskan dan merencanakan tujuan yang ingin dicapainya. Kemampuan lain untuk “menjual” nilai tambah yang dimilikinya, dan kesempatan untuk dapat menjalin kemitraan dan kerjasama dengan lembaga, institusi, organisasi lainnya. Optimalisasi kelembagaan yang menjadi tahapan sangat kritis itu, memerlukan energi yang sangat besar untuk dilakukan. dalam optimalisasi kelembagaan ini, diperlukan adanya peningkatan kapasitas kelembagaan yang terlibat dalam PHBM, baik itu Perum Perhutani, jajaran institusi pemerintah, dan lembaga
terkait
lainnya,
sehingga
semua
penyelenggaraan
kegiatan
terkoordinasikan dengan baik, sinergis dan secara berkelanjutan. Masalahnya, masing-masing institusi tersebut memiliki kepentingan dan alur kerja sendiri atau ego sektoral yang terkadang sulit untuk diselaraskan. Untuk bisa berkembang LMDH dituntut untuk terus menerus dalam proses pembelajaran, memperbaharui dirinya dan mengembangkan kreativitaskreativitas sosial ekonomi dalam mewujudkan amanah yang dibebankan kepadanya.
Dengan demikian LMDH sebagai motivator dan pendorong
pemberdayaan masyarakat desa hutan, mampu mengantisipasi arus perubahan yang terus berlanjut. LMDH dan masyarakat desa hutan perlu dibekali kemampuan untuk mengenali, menggali dan memahami potensi diri dan lingkungannya. Lembaga ini juga mampu
untuk merumuskan dan merencanakan tujuan yang ingin
dicapainya, mengevaluasi kinerjanya, dan mampu menjual nilai tambah yang dimilikinya. LMDH harus memiliki kemampuan dan kesempatan untuk dapat menjalin kemitraan dan kerjasama dengan lembaga, institusi, organisasi serta warga bangsa lainnya. Proses penyusunan rencana dilakukan secara bersama oleh semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan hutan, dengan proses yang partisipatif. Semua pihak yang terlibat duduk bersama, saling terbuka dan berkomitmen sama untuk mewujudkan kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat. Dalam proses
94
tersebut dapat digali potensi dan peluang, kendala-kendala yang ada dalam melaksanakan pembangunan hutan, sehingga dapat dicari jalan keluar yang terbaik yang menguntungkan semua pihak yang terlibat. Alternatif pemecahan masalah ini yang kemudian disusun sebagai rencana partisipatif dalam pengelolaan hutan. Rencana partisipatif ini menjabarkan kegiatan-kegiatan dalam
pengelolaan
pengembangan
hutan
yang
kelembagaan,
meliputi
kegiatan
pengembangan
teknik
ekonomi
kehutanan, dan
sosial
kemasyarakatan. Menurut Awang (2001), sangat penting untuk memperkuat organisasi masyarakat pengelola social forestry agar mereka memahami dengan benar hak dan kewajiban atas sumberdaya hutan. Dengan institusi sosial yang kuat, piranti organisasi dan norma-norma yang benar yang dibangun di dalam institusi sosial masyarakat program community forestry dapat berlangsung dengan baik. Kelembagaan bukan hanya sebatas pada membentuk organisasi masyarakat, tetapi harus lebih menjangkau batas-batas yuridiksi atas lahan, permodalan, dukungan kebijakan, dan pemberdayaan yang demokratis. Penguatan institusi lokal harus dilaksanakan sebagai sarana untuk meleburkan peran dan tanggung jawab semua pihak (Perum Perhutani, masyarakat, pemda, investor). Pengembangan institusi bisa dimulai dari proses membangun mekanisme lembaga musyawarah di tingkat desa, kelompok kerja kehutanan di tingkat kecamatan sampai kabupaten. Diperlukan fasilitasi munculnya peraturan daerah dan peraturan lokal tentang desentralisasi dan devolusi pengelolaan sumber daya hutan yang sesuai dengan kondisi nyata di lapangan. Devolusi pengelolaan hutan diharapkan dapat mendekatkan perencanaan dan pengawasan pada masyarakat desa hutan (MDH), Perhutani, dan pemerintahan lokal sekaligus secara bertahap mengubah struktur Perhutani dari “penguasa” menjadi pelayan publik. Dengan demikian akan mendekatkan struktur kekuasaan dengan struktur sosial dan pemerintahan lokal. Kebijakan yang dilaksankan harus disesuaikan dengan kondisi spesifik lokal daerah. Kendala utama dalam pengembangan lembaga adalah terhentinya atau terputusnya proses pengembangan kelembagaan, yang akhirnya mengalami kegagalan. Proses pengembangan kelembagaan merupakan rangkaian dari proses panjang, rumit meskipun tidak berurutan, harus ada dalam sebuah proses
95
pemberdayaan masyarakat. Diperlukan komitmen kuat, kesabaran, dan keuletan luar biasa untuk dapat terus menerus mengembangkan lembaga. Para pihak yang berkaitan dengan program PHBM selain Perum Perhutani adalah pemerintahan desa, investor, LSM, Forum Komunikasi PHBM. Perum Perhutani merupakan pihak yang diberi kewenangan oleh negara melalui Departemen Kehutanan untuk melakukan pengelolaan hutan di wilayah hutan negara. Perhutani memiliki perangkat yang dapat menjangkau seluruh kawasan hutan dan memahami kondisi hutan yang dikelolanya. Perhutani harus terlibat langsung sebagai pengelola dan penerima manfaat ekonomi dari produksi hasil hutannya. Pemerintah desa sebagai pemangku wilayah administratif memiliki kewenangan dalam pengambilan kebijakan di wilayahnya serta memiliki kekuatan sosial dalam mengatur masyarakatnya. Pada umumnya di desa hutan para perangkat desa atau yang biasa disebut perangkat desa merupakan tokoh yang memiliki pengaruh dan sebagai panutan bagi masyarakat yang desa. Investor merupakan pihak yang menginvestasikan atau menanamkan modalnya untuk kegiatan pengelolaan hutan, baik untuk pengembangan tanaman kayu maupun hasil hutan nonkayu. Investor mempunyai peran yang sangat potensial untuk bisa mengembangkan program. Pelaku bisnis mempunyai keterlibatan yang tidak langsung dengan hutan tapi merupakan pihak yang memiliki peran besar dalam pemasaran hasil hutan. Pihak lain yang berperan dalam pemasaran hasil pertanian dan kehutanan adalah koperasi petani. Koperasi petani berfungsi sebagai penampung produk pertanian dari para petani dan penyedia kebutuhan para petani seperti pupuk, benih, obat-obatan pemberantas hama dan lain-lain. Lembaga
swadaya masyarakat merupakan
lembaga
yang dapat
mendampingi petani dalam melakukan negosiasi dengan pihak lain melalui advokasi. LSM dapat pula dapat menjadi mediator yang menjembatani kepentingan petani dan pihak luar. Fasilitasi dapat juga dilakukan lembaga ini untuk mengakses sumber daya alam, modal, dan pasar. Forum Komunikasi PHBM (FK PHBM) adalah lembaga desa yang mewakili kepentingan masyarakat desa hutan untuk memberi masukan-masukan berkaitan dengan pelaksanaan program PHBM. FK PHBM berfungsi melakukan koordinasi dan mengkomunikasikan informasi-informasi yang berkait dengan pengelolaan hutan dalam pelaksanaan PHBM. FK PHBM mempunyai tugas
96
untuk membina, mengawasi, mengevaluasi LMDH dan KTH dalam pengelolaan hutan.
7.5 Partisipasi Masyarakat Dalam PHBM Partisipasi masyarakat dalam setiap program pemberdayaan mutlak diperlukan, tanpa adanya partisipasi, masyarakat hanyalah menjadi objek semata. Penempatan masyarakat sebagai subjek program mutlak diperlukan sehingga masyarakat akan dapat berperan serta secara aktif mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi program. Terlebih apabila kita
akan melakukan pendekatan
program
dengan
semangat lokalitas.
Masyarakat lokal menjadi bagian yang paling memahami keadaan daerahnya yang akan mampu memberikan masukan yang sangat berharga. Masyarakat lokal dengan pengetahuan serta pengalamannya menjadi modal yang sangat besar dalam melaksanakan program. Masyarakat lokal mengetahui apa permasalahan yang dihadapi dan potensi yang dimiliki oleh daerahnya dan mereka akan mempunyai pengetahuan lokal untuk mengatasi masalah yang dihadapinya. Midgley (1986) menyatakan bahwa partisipasi bukan hanya sekedar salah satu tujuan dari perubahan sosial tetapi merupakan bagian yang integral dalam proses perubahan sosial. Partisipasi masyarakat merupakan wujud dari eksistensi manusia seutuhnya. Tuntutan adanya partisipasi masyarakat semakin menguat seiring kesadaran akan hak dan kewajiban warga negara. Kegagalan pembangunan
berperspektif
modernisasi
yang
mengabaikan
partisipasi
masyarakat negara miskin menjadi momentum yang berharga dalam tuntutan peningkatan partisipasi negara miskin, termasuk rakyat di dalamnya. Jika dikaji dengan menggunakan model partisipasi Arnstein, partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan PHBM di Parung Panjang masih berada pada level tokenisme yaitu tangga ketiga, menyampaikan informasi, tangga Keempat, konsultasi dan kelima, peredaman kemarahan. Tokenisme yaitu suatu tingkatan partisipasi masyarakat, mereka didengar dan diperkenankan berpendapat, tetapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pengambil keputusan. Dengan partisipasi masyarakat diharapkan dapat terlibat dalam perubahan sosial yang memungkinkan mereka mendapatkan bagian keuntungan dari program.
97
Partisipasi yang ideal menurut Arnstein yaitu tangga keenam sampai kedelapan. Dari kemitraan, ketujuh pendelegasian wewenang dan kedelapan pengendalian masyarakat. Tiga tangga terakhir ini menggambarkan perubahan dalam keseimbangan kekuasaan yang dianggap sebagai bentuk sesungguhnya dari partisipasi masyarakat. Akan tetapi dalam penerapan di lapangan level partisipasi harus disesuaikan dengan keadaan nyata di lapangan, bagaimana kesiapan sumberdaya manusia, kelembagaan, dan kebijakan yang dipilih. Partisipasi dan pemberdayaan merupakan dua buah konsep yang saling berkaitan. Untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat diperlukan upaya berupa pemberdayaan. Masyarakat yang tidak berdaya perlu untuk diberdayakan dengan
menggunakan
berbagai
model
pemberdayaan.
Dengan
proses
pemberdayaan ini diharapkan partisipasi masyarakat akan meningkat. Partisipasi yang lemah dapat disebabkan oleh kekurangan kapasitas dalam masyarakat tersebut, sehingga peningkatan kapasitas perlu dilakukan. Pemberdayaan dapat diartikan sebagai perolehan kekuatan dan akses terhadap sumber daya untuk kepentingan rakyat. Melalui pemberdayaan akan timbul pergeseran peran dari semula “korban pembangunan” menjadi “pelaku pembangunan”. Pearse dan Stiefel dalam Prijono (1996) menjelaskan bahwa pemberdayaan partisipatif meliputi menghormati perbedaan, kearifan lokal, dekonsentrasi kekuatan dan peningkatan kemandirian. Pemberdayaan yang memiliki arti sangat luas tersebut memberikan keleluasaan dalam pemahaman dan juga pemilihan model pelaksanannya sehingga variasi di tingkat lokalitas sangat mungkin terjadi. Konsep partisipasi dalam pembangunan di Indonesia mempunyai tantangan yang sangat besar. Model pembangunan yang telah kita jalani selama ini tidak memberikan kesempatan pada lahirnya partisipasi masyarakat. Oleh karenanya diperlukan upaya membangkitkan partisipasi masyarakat sehingga masyarakat akan berpartisipasi secara langsung terhadap pembangunan. Model pemberdayaan memberikan peran yang sangat besar terhadap komunitas lokal untuk menentukan sendiri nasibnya. Pola pemberdayaan lebih menekankan pada aspek partisipasi komunitas lokal daripada introduksi dari luar. Sebagai agen pemberdayaan sangat berbeda dengan agen penyuluhan. Diperlukan paradigma baru dalam pengelolaan SDH yang mengutamakan kepentingan
rakyat.
FAO
menggambarkan
bahwa
kehutanan
untuk
pembangunan MDH harus meliputi setiap situasi yang pada akhirnya
98
menempatkan MDH sebagai subjek kehutanan. Posisi masyarakat lokal sebagai subyek pengelolaan hutan ini sangat penting karena: 1. Partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap mereka yang sebenarnya. 2. Masyarakat akan lebih mempercayai program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya. Mereka akan lebih mengetahui
program
tersebut
dan
akan
mempunyai
rasa
memiliki.
Kepercayaan ini sangat penting khususnya bila pengelolaan kehutanan memerlukan dukungan masyarakat. 3. Sebagai tuntutan demokratisasi, masyarakat harus dilibatkan sebagai subjek dalam pembangunan masyarakat. Mereka mempunyai hak untuk berpendapat dalam menentukan jenis pembangunan yang akan dilaksanakan di daerah mereka. Hal ini selaras dengan konsep man centered development yakni bahwa pembangunan harus dipusatkan pada kepentingan manusia demi perbaikan nasib manusia. Pemberdayaan komunitas menjadi isu penting yang berkembang di Negaranegara berkembang. Kepedulian terhadap isu lingkungan, kesetaraan gender, keadilan serta keberlanjutan mudah diterima oleh komunitas yang sudah lama menjadi objek dalam pembangunan top down yang selama ini dilakukan oleh pemerintah. Tingkat partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan PHBM di Perhutani BKPH Parung Panjang lebih banyak dilakukan dalam tahapan implementasi. Keterlibatan
petani
dalam
perencanaan,
keikutsertaaan
dalam
rapat
perencanaan, keterlibatan dalam pelaksanaan, pengamanan, dan evaluasi dapat dilihat pada Tabel 26 berikut: Tabel 26. Partisipasi petani dalam PHBM (%)
Tahapan
Keterlibatan Tidak Ya
rencana 63
rapat rencana 61.1
Pelaksanaa n 7.4
pengamanan 46.3
Evaluasi 18.9
37
38.9
92.6
53.7
81.1
99
Berdasarkan Tabel 26 dapat dilihat tingkat partisipasi petani dalam perencanaan dan evaluasi rendah. Sedangkan untuk pelaksanaan sangat tinggi 92,6 %. Faktor rendahnya pendidikan dari para petani sangat berpengaruh terhadap kemampuannya dalam membuat perencanaan. Dalam rapat kelompok tani atau LMDH kebanyakan petani hanya diam tidak banyak usul, lebih sering menjadi peserta pasif dan menyetujui apa yang disampaikan ketua kelompok. Petani terbiasa diperintah oleh mandor pada saat menggarap lahan, dan mengikut saja apa yang diinstruksikan. Disamping itu rendahnya pengetahuan tentang pengelolaan hutan juga berpengaruh terhadap partisipasi petani. Keterlibatan
banyak
pihak
berhubungan
dengan
program
itu
menguntungkan dirinya atau tidak dan apakah dia pernah membaca tentang perjanjian kerja sama atau tidak. Hal ini dibuktikan dengan hubungan yang signifikan antara keterlibatan banyak pihak menurut responden dengan pernah membaca Perjanjian (tingkat kepercayaan 90%) dan keuntungan penggarap (tingkat kepercayaan 95%). Hasil uji chi square terlihat pada Tabel 27 berikut :
Tabel 27. Hasil uji hubungan peubah keterlibatan para pihak Variabel Value Tahu perjanjian Baca perjanjian Menguntungkan Perum? Menguntungkan Penggarap?
1.218 5.468 5.021 22.871
Pearson chi square Df Asymp. Sig. (2-sided) 2 0.544 2 0.065 4 0.285 4 0.000
Pelaksanaan program PHBM dan perencanaannya
ternyata tidak
menunjukkan hubungan yang signifikan seperti ditunjukkan oleh uji chi square pada Tabel 28 berikut :
Table 28 Hasil uji hubungan peubah pelaksanaan dengan perencanaan Variable Ikut merencanakan
Value 0.268
Pearson chi square Asymp. Sig. (2-sided) Df 1 0.604
100
Evaluasi program dengan perencanaan program memiliki hubungan yang signifikan berdasarkan hasil uji chi square pada Tabel 29 berikut : Tabel 29. Hasil uji hubungan peubah evaluasi dengan perencanaan Variable
Pearson chi square Df Asymp. Sig. (2sided) 1 0.000 +++
Value Ikut rencanakan phbm
12.514
Sebaliknya hubungan antara evaluasi program dan pelaksanaannya menunjukkan hubungan yang tidak signifikan menurut uji chi square pada Tabel 30 berikut : Tabel 30. Hasil uji hubungan peubah evaluasi dengan pelaksanaan Variable Ikut melaksanakan
Para petani
Pearson chi square Asymp. Sig. (2-sided) df 1 0.232
Value 1.432
dalam bekerja sama dengan Perhutani
ternyata kurang
mengerti secara rinci apa yang sebenarnya disepakati dalam perjanjian yang ditandatangani ketua KTH/LMDH.
Mayoritas petani
mengetahui
adanya
perjanjian kerja sama, tetapi kurang dari separuh (44,4%) yang membaca isi perjanjian kerja sama sedangkan separuh lebih belum pernah membaca isi perjanjian, sebagaimana terlihat pada Tabel 31 berikut : Tabel 31.Pemahaman petani (%) terhadap perjanjian kerja sama Tahu ada perjanjian Ya Tidak
85,2 14,8
Baca perjanjian 44,4 55,6
Slamet dalam Kartasubrata (1986) mengemukakan bahwa syarat yang diperlukan agar masyarakat dapat berpartisipasi yaitu: 1). Adanya kesempatan
untuk
membangun atau ikut dalam pembangunan.
2).
Kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan itu. 3). Adanya kemauan untuk berpartisipasi. Menurut Kartasubrata (1986) dorongan untuk berpartisipasi mencakup faktor-faktor kesempatan, kemauan, kemampuan dari bimbingan. Bila melihat hubungan antara dorongan dan rangsangan dengan intensitas
101
partisipasi
dalam
pembangunan
hutan
untuk
semua lokasi,
ternyata
mempunyai hubungan yang erat, semakin kuat dorongan dan rangsangan untuk berpartisipasi dalam pembangunan makin tinggi intensitas partisipasinya. lmplikasinya
bila
penduduk
ditingkatkan kemampuannya mendapat
lebih
banyak
dengan
diberikan cara
pengalaman dan
banyak
memberikan
kesempatan, peluang
untuk
dimotivasi kemauannya
untuk
berpartisipasi maka intensitas partisipasinya dalam pembangunan hutan akan meningkat. Kesempatan untuk berpartisipasi hendaknya tidak hanya diberikan pada
waktu
pelaksanaannya saja
keputusan, perencanaan,
tetapi juga mulai dari pengambilan
pelaksanaan, pemantauan
dan penilaian dan
distribusi hasilnya. Sedangkan faktor yang mempersulit partisipasi masyarakat menurut Hollsteiner (1982) ada : 1). Ahli-ahli dari golongan elit sering menganggap diri mereka paling tahu dan merasa harus menggurui mereka. 2). Rakyat sendiri yang belum terbiasa dengan hidup modern. 3) Ada kontradiksi antara usaha mengembalikan partisipasi dengan usaha mencapai target-target secepatnya.
7.6 Kurangnya Akomodasi Kepemimpinan Lokal Kepemimpinan atau leadership merupakan proses mempengaruhi perilaku orang lain agar berperilaku seperti dikehendaki. Aktivitas dan prosesproses dinamis yang terjadi dalam suatu kelompok memerlukan adanya kepemimpinan yang memandu agar aktivitas itu menuju ke arah tujuan organisasi. Kepemimpinan merupakan seni mempengaruhi orang lain melalui persuasi
dan
merupakan
perwujudan
struktur.
Menurut
Gari
(1989),
kepemimpinan meliputi proses mempengaruhi dan menetukan tujuan organisasi, memotivasi
perilaku
pengikut
mencapai
tujuan,
mempengaruhi
untuk
memperbaiki kelompok dan budayanya. Aktivitas petani dalam kelompok tani pada pelaksanaan program PHBM sangat dipengaruhi kepemimpinan dari para pengurus KTH dan LMDH. Keberhasilan program PHBM berkaitan dengan kuat tidaknya kepemimpinan dalam kelompok. Pemimpin mempunyai pengaruh kepada masyarakat desa dalam implementasi program di lapangan.
102
Di setiap desa ditemukan adanya pemimpin formal dan pemimpin nonformal. Perangkat desa, ketua LMDH, dan ketua KTH merupakan pemimpin formal yang secara resmi bertugas mengelola berbagai program pengembangan masyarakat. Sedangkan pemimpin nonformal seperti para kiai, ustad, sesepuh mempunyai pengaruh yang kuat dalam masyarakat. Dalam proses interaksi manusia seiring dengan perkembangan sistem organisasi pemerintahan telah memunculkan adanya organisasi formal dan informal yang juga mengakibatkan adanya kepemimpinan formal dan informal. Pemimpin formal ialah orang yang oleh institusi tertentu ditunjuk sebagai pemimpin, berdasarkan keputusan dan pengangkatan resmi untuk memangku suatu jabatan dalam struktur organisasi dengan segala hak dan kewajiban yang berkaitan dengannya untuk mencapai sasaran organisasi (Kartono,1994). Pemimpin informal ialah orang tidak mendapatkan pengangkatan formal sebagai pemimpin, namun karena ia memiliki sejumlah kualitas unggul, dia mencapai kedudukan sebagai orang yang mampu mempengaruhi kondisi psikis dan perilaku suatu kelompok atau masyarakat. Corak kepemimpinan di pedesaan dapat dikategorikan dalam dua sifat yaitu monomorphic (hanya berpengaruh dalam satu bidang) dan polymorphic (berpengaruh dalam banyak bidang). Di pedesaan saat ini para pemimpin formal (perangkat desa) lebih banyak menyandang kepemimpinan yang bersifat polymorphic (berperan dalam segala bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan). Sedangkan para pemimpin informal lebih banyak menyandang kepemimpinan yang bersifat monomorphic dimana umumnya berkonsentrasi pada bidang keagamaan saja. Dalam kepemimpinan
lokal, ternyata tidak semua pengurus LMDH
mampu menggerakkan seluruh anggota. Pengaruh dari ketua KTH lebih kuat dibandingkan ketua LMDH yang strukturnya berada di atas KTH karena KTH lebih dahulu berdiri sebelum LMDH terbentuk. Pemimpin nonformal seperti sesepuh, kiai mempunyai pengaruh yang besar dan menjadi panutan warga masyarakat. Sebaliknya pengurus LMDH yang secara formal menjadi pengurus malahan tidak sepenuhnya bisa menggerakkan masyarakat untuk pengelolaan hutan yang lestari. Kepemimpinan lokal dalam implemetasi PHBM seharusnya dapat terakomodasi menyesuaiakan dengan struktur masyarakat dan stratifikasi sosial masyarakat. Struktur kepengurusan yang dibentuk dalam program PHBM berupa
103
KTH dan LMDH belum sepenuhnya mampu mengakomodasi tokoh masyarakat lokal yang berpengaruh nyata dalam masyarakat. Oleh karena itu salah satu yang harus diperhatikan dalam mengimplementasikan PHBM adalah adanya penyesuaian dengan struktur masyarakat lokal. Golongan elite dalam stratifikasi sosial dalam masyarakat adalah sebagai pemegang kendali kepemimpinan. Pendapat dan keputusan serta tindakan mereka mempunyai akibat yang penting dan menentukan bagi masyarakat Pembentukan LMDH, KTH selama ini dilakukan oleh para petugas Perhutani belum
sepenuhnya
mempertimbangkan
pentingnya
melibatkan
kepemimpinan lokal yang telah mengakar dalam masyarakat desa. Dengan mengakomodasi
kepemimpinan
lokal
akan
memudahkan
menggerakkan
kelembagaan yang ada untuk mencapai target yang akan dicapai. Pemimpin lokal terbukti efektif menggerakkan aksi kolektif di tingkat masyarakat akar rumput. Setelah diberlakukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979, proses perkembangan masyarakat desa, digeneralisasi dengan sebuah model yang sama di semua wilayah. Pengaruh dari penerapan model ini tampak bahwa dimensi legitimasi para pemimpin formal yang lebih dominan, sementara peran dari para pemimpin informal direduksi.
7.7 Konflik Kepentingan Dalam Implementasi PHBM Nota perjanjian kerja sama yang sudah mengatur semua hal dalam pelaksanaaan PHBM pada kenyataannya tidak selalu dapat dilaksanakan dengan mulus. Dalam pelaksanaan PHBM di BKPH Parung Panjang masih terjadi berbagai konflik. Konflik yang terjadi bisa bersifat laten dan manifest. Konflik bisa ditemukan dalam bentuk rumor, perbincangan yang terjadi di kalangan masyarakat, atau ketegangan hubungan antara pengurus LMDH dengan mandor Perhutani.
Pihak-pihak yang sering berkonflik antara lain
masyarakat (MDH), aparat Perhutani, aparat desa, aparat kecamatan, pihak kepolisian dan militer, aparat pemda, dan pihak legislatif. Pada negara melekat kekuasaan yang sebenarnya bisa digunakan untuk merosuli konflik, tetapi justru belum dilakukakannya. Negara memiliki pandangan yang menyesatkan misalnya: (1) menganggap hutan seolah tak berpenghuni (2) melakukan tindakan sepihak atas nama kepentingan umum (3) menempatkan masyarakat yang tinggal di dalam hutan sebagai perambah (4) tidak menghargai
104
kearifan lokal (5) menyederhanakan masalah dengan cara memberikan solusi serba material atas kerugian yang dirasakan masyarakat (Tadjudin, D.2000). Pandangan menyesatkan ini secara langsung telah menempatkan masyarakat dalam posisi diametral sebagai lawan dari pemerintah. Permasalahan
awal
yang
melatarbelakangi
merebaknya
konflik
kehutanan berupa benturan paradigma pembangunan, sistem penguasaan (tenurial system), alokasi dan manajemen SDH yang banyak persoalan di masa lalu. Akan tetapi harus disadari bahwa konflik yang sering terjadi tidak berdiri sendiri, karena terkait erat dengan sistem ekonomi dan politik global. Konflik kepentingan terjadi karena persaingan kepentingan yang tidak bersesuaian. Konflik kepentingan terjadi ketika suatu pihak atau lebih meyakini bahwa untuk memuaskan kebutuhannya, pihak lain yang harus berkorban. Konflik kepentingan ini terjadi karena masalah yang mendasar (uang dan sumber daya), masalah sikap, atau masalah psikologis (persepsi, keadilan, rasa hormat). Banyak kasus yang terjadi berkenaan dalam konflik kepentingan, pihak-pihak yang terlibat mulai terlihat jelas dan cenderung menimbulkan konflik yang terbuka. Benturan yang paling sering terjadi adalah antara aparat lapangan (mandor), dengan MDH saat aparat cenderung menutup-nutupi informasi dengan berbagai alasan. Contoh di lapangan, masyarakat berkepentingan untuk mendapatkan hak-hak mereka seutuhnya, sebaliknya aparat Perhutani di lapangan
berkepentingan
untuk
menyelesaikan
program
tanaman
dan
pengamanan hutan dengan cepat, efisien. Salah satu bentuknya mandor mempekerjakan tenaga kerja upahan yang murah dan tidak banyak menuntut atau rewel. Konflik-konflik yang terjadi di beberapa LMDH di Parung Panjang diantaranya: 1. Konflik pengurus LMDH dengan petugas Perhutani terkait dengan pembagian lahan
garapan setelah selesai penebangan. Seringkali pembagian lahan
garapan dilakukan antara mandor dan penggarap secara langsung tanpa musyawarah dengan LMDH. 2. Konflik terkait dengan belum diterimanya bagi hasil setelah penebangan kayu.
105
3. Konflik juga terjadi berkaitan dengan pencurian kayu oleh penggarap di petak yang dipelihara oleh KTH/LMDH. Penyelesaiannya melalui mekanisme internal di LMDH dengan membuat 4.
Konflik juga terjadi berawal dari kasus pencurian yang dilakukan oleh oknum pengurus KTH/LMDH, atau keluarga dari petugas yang penyelesaiannya dilakukan melalui jalur hukum.
5. Konflik karena perbedaan persepsi menurut para mandor penggarap belum mengetahui prinsip PHBM, penggarap maunya bagi hasilnya saja.Sebaliknya petani juga menganggap mandor mau menang sendiri 6. Mengapa kalau mandor yang mengerjakan penanaman dan pemeliharaan yang dapat bagi hasil bukan untuk mandor. Untuk melakukan pemetaan konflik sosial terkait dengan degradasi lingkungan dan sumber daya alam sedikitnya ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu: (1) faktor-faktor yang determinan mempengaruhi degradasi lingkungan; (2) gerakan-gerakan sosial yang merespon degradasi lingkungan tersebut dalam bentuk aksi mempengaruhi pelbagai pihak untuk mengubah kebijakan tersebut. Faktor-faktor yang determinan mempengaruhi degradasi lingkungan dapat diterangkan melalui dua macam penjelasan, yaitu: (1) secara ekologis dan (2) ekonomi politik (Usman 2004). Penjelasan ekologis mengasumsikan bahwa degradasi lingkungan sebagai kondisi buruk ketika terjadi ketidakseimbangan antara supply depot (tempat yang menyediakan kebutuhan hidup dan kehidupan manusia), waste repository (tempat pembuangan barang yang dipergunakan oleh manusia) dan living space (tempat makhluk mempertahankan hidup dan kehidupan). Dalam konteks ini, supply depot telah berkembang sedemikian rupa sehingga waste repository mengganggu keberadaan living space. Sementara itu dalam eksplanasi ekonomi politik, degradasi sumber daya alam diasumsikan sebagai kondisi buruk akibat dari kegiatan ekonomi para pemilik modal. Konflik dan sengketa tenurial dalam kawasan hutan, hak masyarakat dalam
mengakses
sumberdaya
alam,
dan
kepemilikan
lahan
telah
mengakibatkan ketegangan dan mengakibatkan peningkatan degradasi hutan. Konflik-konflik yang terjadi dalam kawasan hutan selama ini terjadi akibat permasalahan-permasalahan pokok yang antara lain karena adanya dualisme sistem pertanahan yaitu sistem pertanahan yang diatur dalam UU Agraria dan dalam UU Kehutanan, serta sistem penguasaan lahan menurut pemerintah dan
106
masyarakat. Secara de jure Kawasan Hutan berada dalam penguasaan Negara, namun secara de facto masyarakat secara turun temurun tinggal dan bergantung hidupnya dari hutan dan hasil hutan. Sampai saat ini juga masih ada perbedaan interpretasi dan pemahaman mengenai penguasaan negara atas sumberdaya alam di Indonesia antar berbagai pihak. Aparat Negara mengartikan bahwa kawasan hutan mutlak dalam penguasaan pemerintah jika ada yang memanfaatkan lahan hutan disebut sebagai penjarah, pencuri, blandong dan lain-lain. Untuk menyelesaikan penjarah akan dilakukan kekerasan untuk mengusirnya. Secara teknis perhutani memakai standar penanganan represi sebagai upaya
untuk mengamankan
hutan. Beberapa hal yang dapat menyebabkan timbulnya konflik, antara lain yaitu:1). Salah pengertian atau salah paham karena kegagalan komunikasi.2). Perbedaan tujuan karena perbedaan nilai hidup yang dipegang.3). Rebutan dan persaingan sumber daya. 4). Kurang jelasnya wewenang dan tanggung jawab.5). Penafsiran yang berbeda atas suatu hal, perkara dan peristiwa yang sama. 6). Kurangnya kerjasama.7). Perubahan dalam sasaran dan prosedur kerja. Adanya klaim hak rakyat terhadap kawasan hutan merupakan indikator bahwa kawasan tersebut sangat rawan konflik. Konflik muncul mulai dari klaim tanah bahkan sampai konflik pardigma tentang kepemilikan dan pemanfaatan lahan. Masyarakat yang telah lama menempati kawasan merasa hak-hak tradisional mereka direbut. Dalam menghadapi kondisi masyarakat seperti ini sangat penting adanya pengakuan terhadap hak-hak rakyat. Persepsi tentang ketidakadilan dapat menjadi sumber berbagai masalah, dari apatisme, konflik, pencurian, dan kekerasan. Persoalan konflik pengelolaan sumberdaya hutan itu terutama berakar pada dua hal, yaitu: (1) kebijakan eksploitasi sumber daya alam yang dikembangkan di atas sistem yang mengutamakan konsep milik negara (state property) dan mengabaikan konsep milik pribadi (private property) dan milik komunal (communal property), dan (2) penempatan sumberdaya alam sebagai aset ekonomi atau faktor produksi secara berlebihan. Akar persoalan itu lebih pada tataran struktural, terutama dalam konteks kelembagaan, karena itu resolusi konflik lingkungan dan sumber daya alam harus dibangun dari konteks struktural pula.
107
Garis besar konflik pengelolaan sumber daya hutan tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu konflik vertikal dan konflik horisontal (Fisfer,dkk, 2000). Konflik vertikal adalah konflik yang melibatkan masyarakat di sekitar hutan dengan pihak-pihak lain yang dianggap mempunyai otoritas dalam pengelolaan sumber daya hutan. Pihak-pihak antara lain: Perum Perhutani, Departemen Kehutanan, Pemerintah Daerah, pengusaha kayu, dan aparat keamanan.
Sedangkan
konflik
horisontal
adalah
konflik
yang
terjadi
antarkelompok dalam masyarakat sendiri. Konflik ini melibatkan kelompokkelompok masyarakat atau keluarga-keluarga dalam masyarakat yang memiliki kepentingan berbeda. Konflik yang terjadi bisa disebabkan konflik nilai dan konflik struktural. Konflik nilai sering terjadi karena sistem kepercayaan yang tidak bersesuaian. Nilai adalah kepercayaan yang dipakai orang untuk memberi arti pada hidupnya, menjelaskan yang baik dan buruk, benar atau salah, adil atau tidak. Perbedaan nilai memang tidak selalu menimbulkan konflik, sebab manusia dapat saja hidup berdampingan dengan harmonis dengan sedikit perbedaan sistem nilai. Konflik nilai akan muncul ketika suatu pihak berusaha untuk memaksakan suatu sistem nilai kepada yang lain, atau mengklaim suatu sistem nilai yang eksklusif dan di dalamnya tidak dimungkinkan adanya percabangan interpretasi. Konflik
struktural merupakan
konflik
yang
terjadi ketika
muncul
ketimpangan akses dan kontrol terhadap sumberdaya. Pihak yang berkuasa dan berwewenang untuk menetapkan kebijakan umum, biasanya lebih memiliki peluang untuk meraih akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap pihak lain. Di sisi lain persoalan geografis dan faktor sejarah atau waktu seringkali dijadikan alasan untuk memusatkan struktur kekuasan serta pengambilan keputusan yang menguntungkan pada salah satu pihak. Kasus konflik struktural dapat dilihat dalam kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Kebijakan pengelolaan hutan yang selama ini sangat sentralistik tidak pernah sampai
kepada level operasional di daerah.
Aparat pemda tidak pernah mengetahui atau terlibat dalam persoalan-persoalan pengelolaan hutan Perum Perhutani. Demikian pula kecamatan, kelurahan dan aparat keamanan hanya mengetahui permukaannya saja sementara masalahmasalah substansi kebijakan pengelolaan hutan tidak pernah diketahui dengan jelas.
108
Dalam pola kemitraan usaha perkebunan, berbagai sumber konflik yang muncul terjadi karena adanya sejumlah ketidakharmonisan, keselarasan, dan ketimpangan
atau
incompatibilitas.
Paling
tidak
terdapat
tiga
macam
incompatibilitas, yaitu : 1) ketimpangan dalam struktur pemilikan aset, (2) ketimpangan persepsi dan konsepsi (3) ketimpangan antara apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan (Cristodoulou dalam wiradi 2000). Berbagai program kemitraan usaha perkebunan yang sebagain besar prosesnya menggunakan pendekatan kekuasaan disertai dengan munculnya konflik. Beberapa kasus konflik seringkali menempati banyak ruang dan untuk proses pengelolaannya memerlukan pendalaman yang cukup kompleks. Pada bagian lain, konflik dapat bergeser dan berpindah dari ruang yang satu ke ruang yang lain dengan konsekuensi bahwa konflik akan semakin berat ataupun sebaliknya. Pendekatan manajemen konflik yang dilakukan tidaklah bersifat terpisah satu dengan lain, namun merupakan inisiatif yang berjalan simultan dan terus-menerus. Manajemen konflik kehutanan bagaimanapun tidak dapat terlepas dari perkembangan paradigma kehutanan global, ideologi pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan (Orstom, 1990). Konflik bukan merupakan hal yang statis, tetapi dinamis dan mempunyai proses sendiri. Lingkaran konflik terdiri dari hal-hal berikut (Hardjana, 1994), yaitu: 1. Kondisi yang mendahului. Kondisi ini terdiri dari faktor-faktor yang pada umumnya membawa pada konflik. 2. Kemungkinan konflik yang dilihat. Pada tahap ini satu atau beberapa pihak yang terlibat melihat kemungkinan adanya konflik di antara mereka 3. Konflik yang dirasa. Pada tahap ini, benturan kepentingan dan kebutuhan terjadi. Satu pihak atau beberapa pihak yang terlibat melihat keadaan yang tidak memuaskan, menghambat, menakutkan, dan mengancam. 4. Perilaku yang tampak. Pada waktu konflik sudah terjadi orang-orang menanggapi dan mengambil tindakan. Bentuknya dapat secara lisan, seperti saling mendiamkan, bertengkar, berdebat, atau nyata dalam perbuatan seperti bersaing, bermusuhan, atau menyerang. 5. Konflik ditekan atau dikelola. Pada tahap ini konflik yang sudah terjadi dapat ditekan, artinya konflik ditiadakan. Secara alamiah konflik itu tampak seperti sudah selesai, meskipun masalah intinya tidak ditangani, dan pihak-pihak yang berkonflik hanya sekedar berdampingan dalam suasana panas itu.
109
6.
Sesudah konflik diselesaikan. Bila konflik tidak dikelola dan diselesaikan, pihak-pihak yang terlihat dalam konflik menanggung segala akibatnya entah bagi diri sendiri, kerja, hubungan, dengan orang lain atau lembaga tempat orang bekerja. Pengelolaan konflik secara garis besar dapat digolongkan menjadi lima
kelompok, yaitu (Hardjana, 1994): 1. Bersaing, bertanding (competiting), menguasai (dominating) atau memaksa (forcing). Cara ini merupakan pendekatan terhadap konflik yang berciri menang-kalah (win-lose approach). Pendekatan ini ditempuh jika tujuan penting, sedangkan hubungan baik dengan orang yang menjadi lawan konflik tidak penting. 2. Kerjasama (collaborating) atau menghadapi (confronting). Dengan cara pengelolaan konflik ini, kedua pihak yang terlibat dalam konflik bekerjasama dan mencari pemecahan konflik yang memuaskan kepentingan kedua belah pihak. Cara pengelolaan ini merupakan pendekatan menang-menang (winwin approach). Cara ini ditempuh jika tujuan amat penting dan hubungan baik dengan lawan konflik juga amat penting. 3. Kompromi (compromising) atau berunding (negotiating). Cara ini merupakan pendekatan terhadap konflik dimana pihak-pihak yang berkonflik tidak ada yang menang atau kalah (neither win-win nor lose-lose approach). Cara ini ditempuh jika tujuan kepentingannya sedang-sedang saja dan hubungan baik dengan lawan konflik juga sedang-sedang saja kepentingannya. 4. Menghindari (avoiding) atau menarik diri (withdrawal). Cara pengelolaan konflik
menghindari
merupakan
pendekatan
kalah-kalah
(lose-lose
approach). Cara ini ditempuh apabila tujuan tidak penting dan hubungan baik dengan lawan konflik juga tidak penting. 5. Menyesuaikan (accomodating), memperlunak (smoothing) atau menurut (obliging). Cara pengelolaan menyesuaikan merupakan pendekatan kalahmenang (lose-win approach). Cara ini ditempuh apabila tujuan tidak penting, tetapi hubungan dengan lawan konflik penting. Resolusi konflik (dispute resolution) merupakan seluruh metode, praktik, dan teknik, resmi ataupun tidak, melalui atau di luar pengadilan, yang digunakan untuk menyelesaikan konflik (miall, dkk, 1993). Secara luas, resolusi konflik dimaksudkan sebagai reduksi nyata dari suatu konflik sosial. Resolusi konflik ini bisa terjadi melalui usaha atas kesadaran sendiri untuk mencapai kesepakatan,
110
atau bisa juga terjadi akibat berbagai penyebab lain, seperti perubahan lingkungan, pengaruh pihak ketiga, kemenangan salah satu pihak. Sedangkan secara lebih spesifik, resolusi konflik didefinisikan sebagai reduksi nyata dari suatu konflik sosial dalam rangka membangun kesadaran dari permasalahan pertikaian (issues in dispute). Sardjono (2004) menawarkan delapan prosedur umum penyelesaian konflik, yaitu: 1. Lumping it, terkait dengan kegagalan salah satu pihak yang bersengketa untuk menekankan tuntutannya. Dengan kata lain isu yang dilontarkan diabaikan (simply ignored) dan hubungan dengan pihak lawan terus berjalan. Prosedur ini dilakukan karena penuntut (claimants) kekurangan informasi atau akses terhadap hukum dan peraturan yang berlaku dan menganggap keberhasilan tuntutan akan rendah dan/atau biaya yang dikeluarkan untuk itu terlalu besar atau tidak sebanding dengan pencapaian hasilnya. 2. Avoidance atau exit, yaitu mengakhiri hubungan dengan meninggalkannya. Berbeda dengan lumping it yang tetap memelihara hubungan dan mengabaikan konflik.
Dasar pertimbangannya adalah pada keterbatasan
kekuatan yang dimiliki (powerlessness) salah satu pihak ataupun alasanalasan biaya sosial, ekonomi, atau psikologi. 3. Coercion, yaitu suatu pihak yang bersengketa menerapkan hasrat pada pihak yang lain. Bisa saja penerapannya dilakukan dengan ancaman atau paksaan, sebagaimana banyak terjadi di masyarakat. 4. Negotiation, yaitu kedua belah pihak menyelesaikan konflik secara bersamasama tanpa melibatkan pihak ketiga. Kedua belah pihak tersebut tidak mencari solusi masalah
sesuai peraturan
yang
berlaku, melainkan
menciptakan peraturan diantara mereka sendiri. Pemahaman ini mencakup pemecahan
masalah
kolaboratif
(collaborative
problem
solving)
dan
negosiasi. 5. Concilliation, yaitu mengajak kedua belah pihak yang bersengketa untuk bersama-sama
melihat
konflik
dengan
tujuan
untuk
menyelesaikan
persengketaan. Konsiliator (conciliator) tidak selalu berperan aktif dalam negosiasi selanjutnya, meskipun yang bersangkutan dapat saja bertindak demikian dalam kapasiitas tertentu atas permintaan pihak-pihak yang bertikai.
111
6. Mediation, adalah pihak ketiga yang mengintervensi suatu pertikaian untuk membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai kesepakatan. Mediator bisa ditunjuk oleh pihak-pihak yang bersengketa atau mewakili otoritas di luar pihak yang bertikai. Pihak-pihak yang bersengketa menyetujui intervensi mediator tersebut. Praktek ini dikenal luas di masyarakat. 7. Arbitration, bilamana kedua belah pihak yang bersengketa menyetujui intervensi pihak ketiga dan kedua belah pihak sudah harus menyetujui sebelumnya untuk menerima setiap keputusan pihak ketiga. 8. Adjudication, yaitu adanya intervensi dari pihak ketiga yang memiliki otoritas untuk mengintervensi persengketaan dan memutuskan perkara. Sistem pengadilan merupakan contoh proses ajudikasi. Perhutani sebenarnya mempunyai strategi-strategi pengamanan yang beragam seperti : 1) Prioritas preemtif 2) Prosperity approach (pendekatan kesejahteraan), 3).penyediaan lapangan pekerjaan dan peluang usaha bagi masyarakat), 4).kerjasama pengembangan usaha produktif, program kesehatan masyarakat
5). Education approach (pendekatan pendidikan), 6) Pendidikan
lingkungan dan manfaat kelestarian hutan, penyuluhan-penyuluhan formal dan informal, pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan, 7). Participation approach (pendekatan partisipatif) 8). Peningkatan peran bersama stake holder (pemda, LSM, masyarakat) serta penyusunan program PHBM. Perlu
segara
dipikirkan
kebijakan
nasional
untuk
menyelesaika
persoalan-persoalan yang ada di tengah-tengah komunitas atau desa. Sejumlah masalah yang sangat genting, yaitu: a) menurunya kemampuan untuk menjaga keselamatan rakyat, b) menurunnya produksi rakyat, dan c) menurunnya kesinambungan layanan alam. Bagaimana agar ada kebijkan yang benar-benar mampu memenuhi syarat-syarat sosial dan ekologis setempat yang mencakup tiga persoalan utama, yakni keselamatan rakyat, peningkatan produktivitas, dan kelangsungan pelayanan alam (Karsa, 2002). 7.8 Ikhtisar Lembaga baru yang dibentuk untuk melaksanakan PHBM belum dapat berfungsi secara optimal. Aktivitas kelompok sangat dipengaruhi kemampuan pengurus untuk dapat menggerakkan roda organisasi dalam menampung aspirasi dan dinamika masyarakat. Implementasi PHBM berlangsung tidak
112
seragam dan dipengaruhi berbagai faktor baik internal lembaga maupun eksternal. Di tiga desa penelitian aktivitas LMDH berbeda-beda kondisinya. sangat penting untuk memperkuat LMDH agar mereka memahami dengan benar hak dan kewajiban atas sumberdaya hutan. Kelangsungan kehutanan masyarakat hanya dapat dilakukan dengan institusi sosial yang kuat, piranti organisasi dan norma-norma yang benar yang dibangun di dalam institusi social masyarakat. Dalam PHBM pada praktiknya masih terdapat ketidakseimbangan kedudukan. Pihak Perhutani masih mendominasi, mandor terlihat setengah hati dalam mengembangkan program. Kebanyakan petani belum sadar akan kedudukannya sebagai mitra, masih sebagai objek program. Dari teks perjanjian kerja sama, terlihat adanya ketidaksetaraan kedudukan antara kelompok tani dengan Perhutani. Diberikannya sanksi-sanksi yang menekan diberlakukan kepada petani Faktor keamanan hutan juga lebih banyak dibebankan kepada petani. Bagi hasil ini dalam PHBM ditujukan untuk meningkatkan nilai dan keberlanjutan fungsi serta manfaat sumberdaya hutan. Sistem bagi hasil yang digunakan di BKPH Parung Panjang untuk jenis pohon Acasia mangium dengan daur 8 - 10 tahun : hasil dari penjarangan pertama pada umur 3 tahun, kayu bakar dan kayu perkakas 100% milik petani. Jika penjarangan pertama dilakukan pada umur lebih dari 3 tahun untuk kayu bakar 100 % milik petani, sedangkan untuk kayu
perkakas bagi hasilnya diatur. Pada tebang habis petani
mendapatkan 25 %. Kepemimpinan
local yang ada di lapangan tidak sepenuhnya
terakomodasi padahal tidak semua pengurus LMDH mampu menggerakkan seluruh anggota. Pemimpin nonformal seperti sesepuh, kiai mempunyai pengaruh yang besar dan menjadi panutan warga masyarakat. Sebaliknya pengurus LMDH yang secara formal menjadi pengurus malahan tidak sepenuhnya mampu menggerakkan masyarakat. Tingkat partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan PHBM lebih banyak dilakukan dalam tahapan implementasi pelaksanaan sangat tinggi 92,6 %. Sedangkan keterlibatan petani dalam perencanaan, keikutsertaaan dalam rapat perencanaan, keterlibatan dan evaluasi dapat dilihat tingkat partisipasi petani rendah.
113
Konflik-konflik yang terjadi antara pengurus LMDH dengan petugas Perhutani terkait dengan pembagian lahan garapan setelah selesai penebangan. Konflik keuangan terkait dengan belum diterimanya bagi hasil setelah penebangan kayu. pencurian kayu oleh penggarap di petak yang dipelihara oleh KTH/LMDH atau penanaman dan pemeliharaan yang dapat bagi hasil bukan untuk mandor. Konflik juga terjadi berawal dari kasus pencurian yang dilakukan oleh
oknum
pengurus
KTH/LMDH,
atau
keluarga
dari
petugas
yang
penyelesaiannya dilakukan melalui jalur hukum. Konflik karena perbedaan persepsi menurut para mandor penggarap belum mengetahui prinsip PHBM, penggarap maunya bagi hasilnya saja.Sebaliknya petani juga menganggap mandor mau menang sendiri PHBM sampai saat ini memang telah menunjukan hasil seperti meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya keberadaan hutan, menurunnya gangguan keamanan hutan, peningkatan pendapatan rakayat, semakin eksisnya keberadaan LMDH. Tingkat partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan PHBM lebih banyak dilakukan dalam tahapan implementasi pelaksanaan sangat tinggi 92,6 %. Sedangkan keterlibatan petani dalam perencanaan, keikutsertaaan dalam rapat perencanaan, keterlibatan dan evaluasi dapat dilihat tingkat partisipasi petani rendah.. Mayoritas petani mengetahui adanya perjanjian kerja sama, tetapi kurang dari separuh (44,4%) yang membaca isi perjanjian kerja sama sedangkan separuh lebih belum pernah membaca isi perjanjian. Dalam pelaksanaan PHBM masih terjadi berbagai konflik. Konflik yang terjadi bisa bersifat laten dan manifest. Konflik laten bisa ditemukan dalam bentuk rumor, perbincangan, keluhan dari petani, sedangkan yang manifest ada ketegangan hubungan antara pengurus LMDH dengan mandor Perhutani.
114