214
BAB VI UPAH PERSPEKTIF HIZBUT TAHRIR DALAM KAJIAN EKONOMI ISLAM
A. Standar Penetapan Upah Dalam Khazanah Ekonomi Islam Sebagaimana dipaparkan pada bab ketiga bahwa Hizbut Tahrir menyatakan bahwa standar penetapan upah adalah semata manfa’at al-juhd, nilai guna dari usaha dan kerja dari si pekerja tersebut, tanpa melihat sisi-sisi yang lain. Standar ini berlaku umum baik pegawai pemerintah maupun swasta. Pendapat Hizbut Tahrir ini berbeda dengan pendapat mayoritas pemikiran ekonomi Islam, baik klasik maupun kontemporer. 1. Pandangan ulama’ klasik tentang standar upah Dalam kajian pemikiran ekonomi Islam klasik, pegawai secara umum diklasifikasikan menjadi dua, pegawai pemerintah dan yang mengurusi urusan publik serta pegawai non pemerintah. Untuk pegawai pemerintah, mayoritas fuqahā’ berpendapat bahwa pemerintah harus memperhatikan tingkat kecukupan hidup pegawainya, yaitu standar penetapan upah tidak boleh hanya berdasar manfa’at al-juhd semata. Para fuqahā’ tersebut mendasarkan pendapatnya pada beberapa riwayat dari Nabi saw dan sahabat. Dalam beberapa athār disebutkan bahwa mereka memberikan gaji kepada pegawai sektor publik dan pemerintah selain berdasar manfaat kerja juga berdasar kecukupan pekerja yang berupa kebutuhan pokok baik berupa makanan, pakaian , tempat tinggal, pengobatan dan lainnya. Bahkan
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
215
Nabi Saw menganggap istri sebagai kebutuhan bagi yang belum punya istri, demikian juga pembantu bagi pekerja yang tidak dapat melayani dirinya sendiri. Sebagaimana hadis:
ﻣﻦ ﻛﺎن ﻟﻨﺎ:ﻋﻦ اﳌﺴﺘﻮرد ﺑﻦ ﺷﺪاد اﻟﻔﻬﺮي ﻗﺎل ﲰﻌﺖ اﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻳﻘﻮل ﻓﺈن ﱂ ﻳﻜﻦ ﻟﻪ ﺧﺎدم ﻓﻠﻴﻜﺘﺴﺐ ﺧﺎدﻣﺎ ﻓﺈن ﱂ ﻳﻜﻦ ﻟﻪ ﻣﺴﻜﻦ,ﻋﺎﻣﻼ ﻓﻠﻴﻜﺘﺴﺐ زوﺟﺔ 1 (ﻓﻠﻴﻜﺘﺴﺐ ﻣﺴﻜﻨﺎ )رواﻩ أﺑﻮ داود Dari al-Mustawrid bin Shadad al-Fahri berkata: Saya mendengar Nabi saw bersabda: “Orang yang menjadi pekerja pada kami, maka hendaklah ia mencari seorang istri, jika tidak mempunyai pembantu maka hendaklah dia mencari pembantu dan jika tidak mempunyai tempat tinggal hendaklah ia mencari tempat tinggal”. (HR. Abu Dawud) Dalam riwayat Abu Ubayd dikatakan:
ﻣﻦ وﱄ ﻟﻨﺎ ﺷﻴﺌﺎ:ﻋﻦ اﳌﺴﺘﻮرد ﺑﻦ ﺷﺪاد اﻟﻔﻬﺮي ﻋﻦ اﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل وﻣﻦ ﱂ ﻳﻜﻦ ﻟﻪ, وﻣﻦ ﱂ ﻳﻜﻦ ﻟﻪ ﻣﺴﻜﻦ ﻓﻠﻴﺘﺨﺬ ﻣﺴﻜﻨﺎ,ﻓﻠﻢ ﻳﻜﻦ ﻟﻪ اﻣﺮأة ﻓﻠﻴﺘﺰوج اﻣﺮأة 2 ( )رواﻩ أﺑﻮ ﻋﺒﻴﺪ...ﻣﺮﻛﺐ ﻓﻠﻴﺘﺨﺬ ﻣﺮﻛﺒﺎ ﱂ ﻳﻜﻦ ﻟﻪ ﺧﺎدم ﻓﻠﻴﺘﺨﺬ ﺧﺎدﻣﺎ Dari al-Mustawrid bin Shadad dari Nabi saw bersabda:Orang yang bekerja bagi kami sedang dia belum punya istri maka hendaknya dia menikahi seorang perempuan, dan orang yang tidak punya tempat tinggal hendaknya mengambil tempat tinggal, orang yang tidak mempunyai kendaraan hendaknya mengambil kendaraan, dan orang yang tidak mempunyai pembantu hendaknya mengambil pembantu. (HR. Abu Ubayd). Hadis-hadis di atas menjadi pedoman bagi para sahabat dan penerus mereka dalam memberikan upah para pekerja. Dalam sebuah riwayat dari Abū Ubaydah dalam dialognya dengan khalifah Umar bin Khatab berdiskusi tentang upah para pekerja negara. Dalam dialog tersebut Abū Ubaydah memohon agar 1
HR Abū Dawūd dalam kitāb al-Kharāj wa al-Imārah wa al-Fay’, hadis nomor 2945; al-Ḥākim dalam Bab Zakat dan disahihkan menurut syarat Bukhari (I/406) serta disepakati oleh al-Dhahabi. Hadis ini disebutkan oleh al-Albani dalam Ṣaḥīḥ al-Jāmi’ al-Saghīr (6486). Lihat Abū Dāwūd Sulaymān Ibn Ash’ath al-Sijistāniy, Sunan Abī Dāwūd Vol. 3 (Beirut: Dār al-Fikr, 2003), 66 2 Abū Ubayd, al-Amwāl ( Beirut: Dar al-Fikr,1988) 338
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
216
batas minimal upah tersebut adalah upah yang bisa memenuhi kebutuhan pekerja, baik pangan, sandang maupun papan, serta menghindarkan mereka dari mengkhianati amanah yang dibebankan kepadanya. Sejarah mencatat bahwa setelah wilayah Islam sangat luas, khalifah Umar bin Khattab mengirim banyak sahabat terkemuka ke daerah-daerah, baik dalam wilayah Jazirah Arab maupun luar Jazirah, untuk menjalankan pekerjaanpekerjaan kenegaraan. Abū Ubaydah takut bilamana kesibukan para sahabat terkemuka tersebut menjadikan mereka tergelincir dengan urusan dunia dari urusan dakwah dan agama. Oleh karena itu, menurut Abū Ubaydah, lebih baik mereka tidak sibuk dengan urusan kenegaraan itu. Abū Ubaydah berkata kepada khalifah Umar: “Engkau telah mengotori Sahabat Rasulullah saw”. Khalifah Umar menjawab: “Jika saya tidak meminta bantuan dengan ahli agama untuk keselamatan agama saya, lalu dengan siapa aku minta bantuan?”. Kemudian Abū Ubaydah menjawab: “Jika kamu lakukan itu, maka cukupkan mereka dengan pekerjaan itu dari khianat (gaji mereka harus mencukupi kebutuhan)”.3 Ahli politik Islam klasik, al-Māwardi dalam bukunya al-Aḥkām alSulṭāniyah menyebutkan dasar-dasar penetapan pemberian (al-‘aṭā’) bagi tentara dengan berdasar pemenuhan kebutuhan pokok. Dia mengatakan :
وأﻣﺎ ﺗﻘﺪﻳﺮ اﻟﻌﻄﺎء ﻓﻤﻌﺘﱪ ﻟﻜﻔﺎﻳﺔ ﺣﱴ ﻳﺴﺘﻐﲎ ﺎ ﻋﻦ اﻟﺘﻤﺎس ﻣﺎدة ﺗﻘﻄﻌﻪ ﻋﻦ ﲪﺎﻳﺔ واﻟﺜﺎﱏ ﻋﺪد ﻣﺎﻳﺮﺗﺒﻄﻪ, أﺣﺪﻫﺎ ﻋﺪد ﻣﻦ ﻳﻌﻮﻟﻪ: واﻟﻜﻔﺎﻳﺔ ﻣﻌﺘﱪة ﻣﻦ ﺛﻼﺛﺔ أوﺟﻪ.اﻟﺒﻴﻀﺔ 4 . واﻟﺜﺎﻟﺚ اﳌﻮﺿﻊ اﻟﺬي ﳛﻠﻪ ﰲ اﻟﻐﻼء واﻟﺮﺧﺺ,ﻣﻦ اﳋﻴﻞ واﻟﻈﻬﺮ 3
Ahmad al-Khuṣary, al-Siyāsah al-Iqtiṣādiyah wa al-Nuẓum al-Māliyah fī al-Fiqh al-Islāmi (Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arabi, 1986), 99-100 4 Al-Māwardi, al-Ahkām al-Sulṭāniyah (Beirut: Dār al-Fikr, 1960), 205
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
217
Standar dalam penentuan pemberian adalah kecukupan (al-kifāyah) sehingga tidak perlu bekerja dan mencari sumber penghasilan lain yang bisa mengganggu tugas mereka dalam melindungi dan menjaga keamanan negara. Batas kecukupan tersebut memperhatikan tiga hal: pertama, memperhatikan jumlah keluarga yang dinafkahinya; kedua, jumlah persenjataan dan kudanya; ketiga, memperhatikan harga barang di tempat tentara tersebut bertugas. Begitu juga al-Nawawi dalam kitab al-Majmū’ mengatakan:
ﻓﻜﻞ ﻣﻦ ﻳﺘﻮﱃ أﻣﺮا ﻳﻘﻮم ﺑﻪ ﺗﺘﻌﺪى ﻣﺼﻠﺤﺘﻪ إﱃ اﳌﺴﻠﻤﲔ وﻟﻮ اﺷﺘﻐﻞ ﻟﻜﺴﺐ ﻓﻠﻪ ﰲ ﺑﻴﺖ اﳌﺎل ﺣﻖ اﻟﻜﻔﺎﻳﺔ وﻳﺪﺧﻞ ﻓﻴﻪ اﻟﻌﻠﻤﺎء ﻛﻠﻬﻢ,ﻟﺘﻌﻄﻞ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﺎ ﻫﻮ ﻓﻴﻪ وﻳﺪﺧﻞ ﻓﻴﻪ اﻟﻜﺘﺎب واﳊﺴﺎب واﻟﻮﻛﻼء وﻛﻞ ﻣﻦ,وﻃﻠﺒﺔ اﻟﻌﻠﻢ وﻳﺪﺧﻞ ﻓﻴﻪ اﻟﻌﻤﺎل 5 .ﳛﺘﺎج إﻟﻴﻪ Setiap orang yang diberi tugas mengurusi perkara yang keberadaannya merupakan kemaslahatan kaum muslimin dan jika orang tersebut sibuk mencari nafkah akan terbengkalai, maka ia berhak mendapatkan kecukupan atas kebutuhannya dari Baitul Mal. Termasuk dalam hal ini adalah semua ilmuwan, pelajar, pekerja, juru tulis, akuntan dan semua yang dibutuhkan. Begitulah, para ulama klasik berpendapat bahwa pemerintah wajib memberi gaji kepada para pegawainya, orang-orang yang bekerja di ruang publik dan orang-orang yang tenaganya dibutuhkan oleh masyarakat dengan gaji yang mencukupi diri dan keluarganya. Sedang bagi pegawai non pemerintah (swasta) para ulama’ klasik tidak secara eksplisit menegaskan ketentuan ini. Memang riwayat-riwayat yang menyatakan kewajiban memberi standar upah sesuai kebutuhan pekerja di atas berlaku pada para pekerja negara yang bekerja di ruang publik dan pemerintahan. Namun banyak ulama’ yang cenderung untuk menjadikannya sebagai standar umum upah setiap pekerja yang bekerja kepada majikannya secara penuh, baik 5
Sharaf al-Dīn al-Nawawi, al-Majmū’, Vol 9, 331
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
218
pekerja negara maupun swasta.6 Pendapat ini diperkuat oleh hadis Rasul saw tentang kewajiban mencukupi kebutuhan budak.
إﺧﻮاﻧﻜﻢ ﺧﻮﻟﻜﻢ ﺟﻌﻠﻬﻢ ﷲ ﲢﺖ أﻳﺪﻳﻜﻢ ﻓﻤﻦ ﻛﺎن:م. ﻗﺎل ﱄ اﻟﻨﱯ ص:ﻋﻦ أﰊ در ﻗﺎل ﻓﺈن ﻛﻠﻔﺘﻤﻮﻫﻢ,أﺧﻮﻩ ﲢﺖ ﻳﺪﻩ ﻓﻠﻴﻄﻌﻤﻪ ﳑﺎ ﻛﻞ وﻟﻴﻠﺒﺴﻪ ﳑﺎ ﻳﻠﺒﺲ وﻻ ﻳﻜﻠﻔﻬﻢ ﻣﺎ ﻳﻐﻠﺒﻬﻢ 7.(ﻓﺄﻋﻴﻨﻮﻫﻢ )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري Dari Abu Dzar berkata: Nabi saw bersabda kepadaku: “Pelayanmu adalah saudaramu. Allah menjadikannya berada di bawah kendalimu. Barangsiapa yang Allah swt menjadikan saudaranya (sesama muslim) berada di bawah kendalinya maka hendaklah dia memberinya makan sebagaimana dia makan, memberinya pakaian sebagaimana pakaiannya dan tidak membebani pekerjaan yang tidak dimampui. Jika kamu membebaninya maka bantulah. (HR. Bukhari) Bukhari meletakkan hadis ini pada bab “Budak adalah saudaramu maka berilah mereka makan sebagaimana yang kamu makan”. Ini menunjukkan bahwa Bukhari berpendapat bahwa hadis ini bukan hanya untuk pegawai pemerintah, tetapi untuk semua orang yang berada di bawah tanggungjawab orang lain. Ibn Ḥajar dalam menjelaskan hadis di atas dengan menegaskan “Dan disejajarkan dengan budak mereka yang semakna, seperti pekerja dan lainnya”.8 Dari hadis di atas dapat disimpulkan bahwa upah yang sifatnya materi (upah di dunia) mestilah terkait dengan keterjaminan dan ketercukupan pangan dan sandang. Perkataan: “Hendaklah memberinya makan sebagaimana dia makan dan memberinya pakaian sebagaimana pakaiannya”, bermakna bahwa upah yang diterima harus menjamin makan dan pakaian karyawan yang menerima upah. Ibn Ḥajar menegaskan bahwa pemberian makan dan pakaian sebagaimana dalam 6
Ahmad Jalaludin, al-Siyāsah al-Iqtiṣādiyah Fī Ḍaw’ al-Maṣlaḥah al-Shar’iyah (Malang, UIN Malang Press, 2008), 418 7 Lihat: al-Bukhāri, Ṣaḥīḥ al-Bukhāri, Vol. 2 hadis no 2545 (Beirut: Dār al-Fikr, 2006), 102 8 Ibn Ḥajar al-Asqalani, Fatḥ al-Bāri Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhāri, Vol. 6 (Beirut: Dār al-Kutub al‘Ilmiyah, 2012), 148
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
219
hadis tidak bermakna persamaan tetapi bermakna pemberian makan dan pakaian yang layak sesuai dengan kebiasaan.9 2. Pandangan ulama’ dan ekonom muslim kontemporer tentang standar upah. Dari berbagai riwayat dan pendapat ulama’ klasik di atas, para ahli hukum Islam dan mainstream ekonom muslim kontemporer menyimpulkan bahwa Islam memberikan hak kepada pekerja dengan beberapa jaminan kemanusiaan seperti kerelaan, keadilan, kemampuan dan kelayakan hidup. Islam melarang pemaksaan dalam kerja, memberi upah secara dzalim (tidak sepadan dengan kerja yang dilakukan), sebagaimana juga melarang menunda-nunda pembayaran upah. Wahbah al-Zuhayli – ahli hukum Islam kontemporer – mengatakan:
إن اﻟﻌﻼﻗﺔ ﺑﲔ رب اﻟﻌﻤﻞ واﻟﻌﺎﻣﻞ ﺗﻘﻮم ﰲ اﻹﺳﻼم ﻋﻠﻰ أﺳﺎس اﻹﻧﺴﺎﻧﻴﺔ واﻟﺮﲪﺔ .10 واﻟﻌﺪاﻟﺔ أو اﻟﻜﻔﺎءة واﻟﺮﺿﺎ واﻟﻌﺮف,واﻟﺘﻌﺎون Sesungguhnya hubungan antara majikan dan pekerja dalam Islam berdiri atas dasar kemanusiaan, kasih sayang, kerjasama, keadilan atau kecukupan, kerelaan dan kebiasaan. Afzalur Rahman mengatakan bahwa pekerja, dalam hubungannya dengan majikan, berada dalam posisi yang sangat lemah. Oleh karena itu Islam memberikan perhatian yang besar untuk melindungi hak-haknya dari pelanggaran yang dilakukan oleh majikan. Sudah menjadi kewajiban para majikan untuk menentukan upah minimum yang dapat menutupi kebutuhan pokok hidup
9
Ibid. Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islāmi , Vol. 7, 5030
10
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
220
termasuk makanan, pakaian, tempat tinggal dan lainnya, sehingga pekerja akan memperoleh tingkat kehidupan yang layak.11 Berdasarkan hal itu, Afzalur Rahman mengatakan bahwa tingkat upah yang sesungguhnya akan berada pada kisaran batas minimum pemenuhan kebutuhan pokok untuk melindungi hak-hak pekerja dan tidak melebihi batas maksimum untuk melindungi hak-hak majikan. Upah yang sesungguhnya akan berubah dari antara dua batas tersebut berdasar hukum penawaran dan permintaan tenaga kerja yang tentunya akan dipengaruhi oleh standar hidup sehari-hari kelompok pekerja, efektivitas organisasi pekerja dan sikap kemanusiaan majikan sebagai perwujudan kepercayaan pada Allah swt dan hari pembalasan.12 Hasan al-Banna – pendiri Ikhwanul Muslimin - memandang bahwa upah yang diterima oleh kaum buruh harus mencukupi kebutuhan pokok hidupnya. Pengupahan kaum buruh di bawah standar kebutuhan pokok menyebabkan kemiskinan yang terlarang dalam Islam. Ketika salah seorang direktur perusahaan mengatakan kepadanya: ”Apakah engkau ridha melihat kondisi para buruh yang miskin itu?” al-Banna menjawab: ”Apakah kamu tidak tahu bahwa sebab dari kemiskinan tersebut adalah pelitnya perusahaan dan keengganannya untuk memberi upah yang sepadan dengan kebutuhan pokok hidup mereka?!.13 Begitu juga Sayyid Qutb – ideolog terkemuka Ikhwanul Musliminmenyatakan bahwa Islam mensucikan hak pekerja dalam menerima upah. Penghormatan Islam ini tertuang dalam aturannya. Pertama, Islam menyerukan
11
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, 366 Ibid., 374, 13 Ḥasan al-Banna, Majmū’at al-Rasāil (Kairo: Dār al-Tawzī’ wa al-Nashr al-Islāmiyah, 1992)., 352 12
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
221
para pengusaha/majikan untuk membayar upah yang sepatutnya (layak) dan mengancam serta memusuhi pengusaha yang bertindak dzalim dan menyimpang dari aturan ini. Kedua, Islam menyerukan untuk membayar upah pekerja dengan segera. Dalam hal ini Islam mempertimbangan kebutuhan material dan kebutuhan psikologis dari buruh. Kebutuhan psikologisnya adalah kebutuhan untuk diperhatikan dan dihargai serta dianggap penting. Penyegeraan pembayaran upah adalah pemenuhan kebutuhan ini, buruh akan merasa jerih payahnya dihargai dan kedudukannya dalam masyarakat diperhitungkan. Sedang pemenuhan kebutuhan materialnya dengan pembayaran upah yang layak.14 Sedang Yūsuf al- Qarḍāwi menyatakan bahwa standar penetapan upah harus memperhatikan dua hal: Pertama, nilai kerja itu sendiri, karena tidak mungkin disamakan antara orang yang pandai dengan orang yang bodoh, orang yang tekun dengan orang yang malas dan lain sebagainya, karena menyamakan antara orang yang berbeda adalah suatu kedzaliman. Kedua, kebutuhan pekerja, karena adanya kebutuhan kebutuhan pokok manusia yang harus di penuhi, baik berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, pengobatan, pendidikan anak, maupun segala sesuatu yang di perlukan sesuai dengan kondisi, tanpa berlebih lebihan dan tanpa kekikiran, untuk pribadi orang tersebut dan untuk orang yang menjadi tanggungannya. Menurut al- Qarḍāwi taraf hidup layak ini bersifat selamanya dan tidak terbatas terpenuhinya kehidupan individu dalam batas atau tingkat darurat saja. 15
14
Sayyid Qutb, al-‘Adālah al-Ijtimā’iyah, 106-107 Yusuf al-Qardhawi, Peran Nilai Dan Moral Dalam Perekonomian Islam. Terj. Didin Hafidudin, dkk (Jakarta: Rabbani Press, 2001). 406 15
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
222
Pendapat al-Qarḍāwi di atas mengikuti pendapat al-Nawawi yang mengatakan bahwa kecukupan itu bukan suatu yang statis dan bukan pula satu bentuk bagi semua orang, tetapi bagi setiap orang sesuai dengan kondisinya masing masing. Abu Bakar berkata, “ tentukanlah untukku penghidupan (seperti penghidupan) seorang dari kalangan pertengahan Quraisy, bukan yang tinggi dan bukan pula yang terendah diantara mereka”16 Sementara Ahmad al-Khuṣary mengatakan bahwasanya kerja, baik kerja sendiri (wirausaha dan sejenisnya), kerja di pemerintahan, lembaga maupun perorangan (orang lain), adalah hal yang dimuliakan oleh Islam. Oleh karena itu orang yang bekerja kepada orang lain kedudukannya adalah sejajar dengan yang mempekerjakannya. Rasulullah saw menuntut umat Islam untuk menghormati mereka dengan memberi makanan dan pakaian yang layak sebagaimana yang mereka makan dan pakai, serta tidak membebani mereka pekerjaan yang tidak sanggup mereka kerjakan. Jika mereka dipekerjakan dalam pekerjaan yang berat hendaklah membantu mereka, baik secara materi maupun non materi, yakni berupa penetapan jam kerja dan penetapan upah yang tidak lebih kecil dari kebutuhan pekerja, baik kebutuhan pangan, sandang, papan dan kesehatan.17 Hendrianto menyimpulkan bahwa tingkat upah yang Islami ditentukan oleh aspek harga pasar, kontribusi tenaga kerja terhadap produktifitas dan nilainilai kemanusiaan. Karena itu dalam situasi pasar yang bersaing sempurna, tingkat upah yang adil terjadi pada tingkat market wage (ujrah al-mithl, harga pasaran). Akan tetapi ajaran Islam yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan akan 16 17
Sharaf al-Dīn al- Nawawi, Riyāḍ al-Ṣāliḥīn,Vol. 2 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiah, 1995), 311 Ahmad al-Khusary, al-Siyāsah al-Iqtiṣādiyah, 95-96
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
223
mendorong para pemberi kerja untuk mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan ini dalam penentuan upah. Nilai kemanusiaan yang harus dijunjung tinggi ini meliputi nilai kerjasama dan tolong menolong, kasih sayang dan keinginan untuk menciptakan harmoni sosial. Tingkat market wage pada dasarnya bersifat obyektif, sementara nilai kemanusiaan bersifat subyektif. 18 Adanya faktor subyektif dalam penentuan upah ini akan menyebabkan tingkat upah yang Islami tidak berada pada satu titik tertentu, melainkan pada suatu kisaran tertentu. Lebar dan sempitnya kisaran ini akan sangat tergantung dari pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan. Menurut Sadeq, sebagaimana dikutip oleh Hendrianto, tingkat upah yang Islami akan berada pada kisaran antara tingkat upah yang setara dengan nilai kontribusi tenaga kerja rata-rata (Value of average contribution of labour /VACL) dengan nilai kontribusi kerja marjinal (Value of Marginal contribution of labour /VMCL)19. VACL akan menjadi batas kisaran atas dari tingkat upah, sedang VMCL akan menjadi batas kisaran bawahnya. VMCL sebagai batas kisaran bawah tingkat upah ini akan dapat diterima jika ia tetap merupakan tingkat upah yang manusiawi. Karena tingkat upah seperti ini adalah terendah, maka hal ini dimungkinkan akan terjadi pada saat penyediaan lapangan kerja relatif langka. Dalam kasus ini peranan faktor-faktor subyektif, yaitu faktor kemanusiaan, dalam penentuan upah akan kecil. Dengan demikian tingkat upah yang Islami (W) akan berada pada VMCL ≤ W ≤ VACL.
18
M.B. Hendrianto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami (Jogjakarta: Ekonisia, 2003), 228 VACL adalah kontribusi tenaga kerja total (Total Contribution of Labour/TCL) dibagi dengan jumlah tenaga kerja (quantity of labour/QL), sedang AVPL adalah nilai produk total (value of total product) dibagi dengan jumlah tenaga kerja (QL). 19
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
224
Jika tingkat upah ditentukan berdasar VMCL, maka VMCL akan berlaku menjadi kurva permintaan tenaga kerja. Demikian pula kalau yang dijadikan dasar tingkat upah adalah VACL, maka VACL ini akan menjadi kurva permintaan tenaga kerja. Seandainya tingkat upah berada di antara VMCL dengan VACL, maka kurva permintaan tenaga kerja yang efektif juga akan berkisar antara VACL dan VMCL. Posisi kurva permintaan ini akan bergantung pada tingkat keuntungan yang diinginkan oleh pengusaha serta pertimbangan faktor-faktor kemanusiaan. Tingkat upah yang terjadi akan berada pada titik perpotongan antara kurva penawaran tenaga kerja (SL) dengan kurva permintaannya (VACL atau VMCL atau DE). Upah
W4
S
W3 W2
H
Wm We W1
DE’ T M VACL DE
VMCL 0
Tenaga Kerja
Gambar 6.1: Penentuan upah secara umum dalam ekonomi Islam
Dalam gambar di atas tingkat upah tertinggi yang mungkin terjadi adalah W2 (yaitu perpotongan antara VACL dengan SL), sedangkan yang terendah
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
225
adalah W1 (yaitu perpotongan antara VMCL dengan SL). Dengan demikian titik keseimbangan pasar tenaga kerja yang mungkin terjadi berada pada kisaran MH, dengan tingkat upah minimum W1 dan maksimum W2. Sekarang anggaplah kurva permintaan tenaga kerja yang efektif adalah DE, yaitu berada pada kisaran W1 dan W2. Perpotongan antara DE dengan SL terjadi pada titik T sehingga tingkat upahnya adalah We. Dalam posisi tingkat upah We ini, pengusaha memperoleh keuntungan sebanyak We-W4 dari setiap kontribusi tenaga. Semakin tinggi tingkat upah maka akan semakin rendah tingkat keuntungan yang diperoleh pengusaha, demikian sebaliknya.20 Nilai-nilai kemanusiaan di atas dibahasakan oleh Pusat Pengkajian dan pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dengan keberkahan. Berkah dalam menggunakan input akan diperoleh jika nilai-nilai Islam diterapkan, sebagaimana dalam pasar output. Dalam konteks tenaga kerja, nilai-nilai ini misalnya memperhatikan kebutuhan psikis dan religious tenaga kerja, memberikan perlindungan dan keamanan kerja dan secara umum menghargai nilai-nilai kemanusiaan tenaga kerja.21 Didin Hafidhudin dan Hendrie Tanjung menyatakan bahwa upah dalam Islam harus adil dan layak. Adil dalam arti jelas, transparan dan proporsional dengan nilai kerja, sedang layak bermakna mencukupi kebutuhan pekerja dan sesuai upah pasaran. Mereka mendasarkan hal ini pada firman Allah swt:
20 21
Hendrianto, Pengantar Ekonomika, 228-230 P3EI UII, Ekonomi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), 358
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
226
Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan (QS: alShu’arā’: 183).22 Ayat di atas bermakna bahwa janganlah seseorang merugikan orang lain dengan cara mengurangi hak-hak yang seharusnya diperoleh. Dalam pengertian lebih jauh, hak-hak dalam upah bermakna bahwa janganlah memberikan upah seseorang di bawah upah yang biasanya diberikan pada jenis pekerjaan yang sama. Jika dibiarkan maka pengusaha sudah berbuat tidak layak kepada pekerja tersebut.23 Pahala
Dimensi akherat Manajemen upah
Adil
-
Layak
Dimensi dunia
Jelas dan transparan Proporsional
- cukup kebutuhan primer - sesuai dengan pasaran
Gambar 6.2: Sistem Pengupahan dalam Islam24
Semua paparan pendapat para ulama’ klasik dan ekonom Islam kontemporer di atas mengerucut pada kesimpulan umum bahwa gaji dalam Islam tidak boleh hanya berpedoman pada manfaat atau nilai guna dari kerja semata, namun juga harus memperhatikan aspek-aspek kemanusiaan dan sosial, terutama
22
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Didin Hafidhudin dan Hendri Tanjung, Manajemen Syariah dalam Praktek (Jakarta: Gema Insani Press, 2003) 24 Ibid. 23
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
227
kebutuhan hidup layak pekerja. Dengan demikian pandangan ini berbeda dengan pendapat Hizbut Tahrir yang mengatakan bahwa standar upah berdasar manfaat kerja semata. 3. Pemenuhan Kebutuhan Pokok Pekerja Bukan Tanggungjawab Negara Semata Hizbut Tahrir, sebagaimana dibahas pada bab sebelumnya, menegaskan bahwa pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat adalah tugas negara, sehingga jika pengusaha dituntut untuk membayar upah pekerja sesuai dengan standar kebutuhan pokoknya, maka hal itu berarti pengalihan kewajiban negara kepada pengusaha.25 Pendapat ini berbeda dengan pemikiran mainstream ekonomi Islam, yang berpendapat bahwa pemenuhan kebutuhan pokok bukan hanya kewajiban negara, tetapi pertama-tama adalah tanggungjawab individu, kemudian kepala keluarga, tetangga dan terakhir kewajiban negara. Bahkan secara eksplisit Rasulullah saw menyatakan bahwa kebutuhan pokok pekerja yang bekerja penuh waktu menjadi tanggungjawab majikan atau pemberi kerja. Hal ini terlihat dari perintah Rasulullah saw untuk memberi makan dan pakaian kepada budak yang bekerja. Ibn Ḥajar al-Asqalani menjelaskan bahwa hadis di ini juga berlaku kepada semua orang yang semakna dengan budak, yaitu semua orang yang berada di bawah tanggungjawab orang lain, seperti pekerja, pelayan dan lainnya.
26
Oleh karena itu penetapan standar upah
minimal yang memenuhi kebutuhan pokok pekerja bukan berarti pemindahan kewajiban dari negara kepada majikan dan pengusaha. 25
Al-Nabhani, Al-Niẓām,107 Ibn Ḥajar al-Asqalani, Fatḥ al-Bāri Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhāri, Vol. 6 (Beirut: Dār al-Kutub al‘Ilmiyah, 2012), 148 26
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
228
Memang dalam konsep politik ekonomi Islam, salah satu tanggungjawab asasi dari negara adalah menyediakan jaminan sosial untuk memelihara standar hidup seluruh individu dalam masyarakat. Namun ini tidak berarti bahwa pemenuhan kebutuhan tiap warga negara langsung berada di tangan pemerintah, karena tanggungjawab pemerintah adalah menjamin setiap warga negara terpenuhi kebutuhan hidupnya, bukan berkewajiban memenuhi kebutuhan hidup mereka. Negara hanya bertanggungjawab memenuhi kebutuhan hidup secara langsung pada individu-individu tertentu yang tidak mampu menanggung dirinya sendiri serta tidak ada penanggungnya. Afzalur Rahman menegaskan bahwa pada dasarnya tanggungjawab negara terhadap masyarakatnya adalah secara tidak langsung. Negara berkewajiban meringankan dan menghapus penderitaan rakyatnya dengan menciptakan sistem dan regulasi yang mendorong rakyat bekerja dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan kata lain, negara hanya bertanggungjawab terhadap kebutuhan individu apabila indivitu itu tidak mampu memperoleh kebutuhan pokok tersebut dengan usahanya sendiri. Bahkan Afzalur Rahman menegaskan negara tidak boleh
menyediakan
makanan,
pakaian
dan
perumahan
bagi
segenap
masyarakatnya secara langsung, karena hal itu mendorong manusia semakin bernafsu akan kebendaan dan melemahkan moral.27 Dalam konsep jaminan sosial (al-ḍamān al-ijtimā’i) pemenuhan kebutuhan pokok individu pada dasarnya adalah kewajiban yang bersangkutan, sehingga mencari penghasilan dan bekerja hukumnya wajib bagi tiap individu.
27
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Vol. I , 140
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
229
Pada dasarnya orang yang mampu bekerja harus bekerja supaya dapat menjaga diri dari meminta-minta, mencukupi dirinya dengan harta halal dan memenuhi tuntutan-tuntutan hidup layak yang dibolehkan untuk diri dan keluarganya. Sedang masyarakat dan negara diwajibkan membantu memberikan pekerjaan yang pantas bagi mereka dan melatih mereka menekuni pekerjaan.28 Oleh karena itu, secara umum tugas negara dalam melaksanakan jaminan sosial bagi rakyatnya terbagi dalam dua tahap. Tahap pertama negara menyediakan sarana-sarana dan kesempatan kerja serta kesempatan ikut serta dalam aktivitas ekonomi yang produktif kepada setiap individu agar masingmasing bisa hidup berdasarkan usaha dan kerjanya. Namun jika individu tidak mampu bekerja atau mencari nafkah secara sempurna misalnya karena cacat fisik, atau negara dalam kondisi tertentu yang tidak memungkinkannya memberikan kesempatan kerja, maka datang tahap kedua, yaitu negara secara langsung melaksanakan konsep jaminan sosial ini. Negara menyediakan harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok individu tersebut. Pada dasarnya Islam mewajibkan setiap orang untuk mencari pekerjaan agar dapat mencukupi kebutuhan hidup diri dan keluarganya, serta mencela orang yang malas bekerja dan meminta-minta. Allah swt berfirman:
28
Yusuf al-Qardawi, Peran Nilai dan Moral, 411
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
230
“Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia Allah (rezeki) dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung” (QS: 62: 10) 29
”Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu dibangkitkan (QS: 67: 15) 30
Begitu juga Rasulullah saw dalam berbagai kesempatan mendorong umatnya untuk bekerja dan mencari nafkah. Diantaranya sabda Rasulullah saw:
ﻂ َﺧْﻴـﺮًا ))ﻣَﺎ أَ َﻛ َﻞ أَ َﺣ ٌﺪ ﻃَﻌَﺎﻣًﺎ ﻗَ ﱡ:َﺎل َ ﺻﻠﱠﻰ ا ﱠ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ َ َام َرﺿِﻲ ا ﱠ َﻋﻨْﻪ َﻋ ْﻦ اﻟﻨﱯ ِ َﻋ ِﻦ اﻟْ ِﻤ ْﻘﺪ َﻞ ﻳَ ِﺪﻩِ(( رواﻩ ِ ﱠﻼم ﻛَﺎ َن َْ ُﻛﻞُ ِﻣ ْﻦ ﻋَﻤ َ َﱯ ا ﱠِ دَا ُوَد َﻋﻠَْﻴ ِﻪ اﻟﺴ َﻞ ﻳَ ِﺪﻩِ َوإِ ﱠن ﻧِ ﱠ ِ ِﻣ ْﻦ أَ ْن َْ ُﻛ َﻞ ِﻣ ْﻦ َﻋﻤ 31 .(اﻟﺒﺨﺎري al-Miqdam Ra meriwayatkan dari Nabi saw bersabda: ”Tidak seorangpun makan makanan yang lebih baik dari apa yang dia usahakan dari tangannya sendiri, dan nabi Allah Dawud makan dari hasil usahanya sendiri”. (HR. Bukhari) Rasulullah juga melarang umatnya menganggur, meminta-minta dan menggantungkan hidupnya kepada orang lain. Rasulullah saw bersabda:
ُﻷَ ْن َْ ُﺧ َﺬ اَ َﺣ ُﺪ ُﻛ ْﻢ ﺣﺒﻠﻪ: ﺻﻠﱠﻰ ا ﱠ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َ َﺎل اﻟﻨﱯ َ ﻗ:َﺎل َ ﱠام ﻗ َِﻋ ْﻦ اَِﰉ َﻋْﺒ ِﺪﷲِ اﻟﱡﺰﺑـَﲑِْﺑ ِﻦ اﻟ َﻌﻮ س َ ُﻒ ﷲُ َِﺎ َو ْﺟ َﻬﻪُ َﺧْﻴـٌﺮ ﻟَﻪُ ِﻣ ْﻦ اَ ْن ﻳَ ْﺴﺄ ََل اﻟﻨﱠﺎ ُِﺰﻣَﺔ اﳊَﻄَﺐ َﻋﻠَﻰ ﻇَ ْﻬ ِﺮ ﻓَـﻴَﺒِْﻴـ َﻌﻬَﺎ ﻓَـﻴَﻜ ﱠ ْ ﻓَـﻴَﺎْﺗِ َﻰ ﲝ 32 .(اَ ْﻋﻄ َْﻮﻩُ ا َْو َﻣﻨَـﻌُﻮْﻩ)رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري Dari Abī Abdillah al-Zubair bin Awwam Ra berkata: Rasulullah bersabda: 29
Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya, 442 Ibid., 449 31 HR. Bukhari hadis ke 2072. Lihat: Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bāri, Vol 5, 261 32 Ibid., Vol. 4, 289 30
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
231
“Sesungguhnya, seorang di antara kalian membawa talinya dan pergi ke bukit untuk mencari kayu bakar yang diletakkan di punggungnya untuk dijual sehingga ia bisa menutup kebutuhannya, adalah lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi atau tidak”. [HR Bukhari, no. 1471]. Dalam hadis lain Rasulullah saw bersabda:
.(ﻣﺎ ﻳﺰال اﻟﺮﺟﻞ ﻳﺴﺄل اﻟﻨﺎس ﺣﱴ ﰐ ﻳﻮم اﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﻟﻴﺲ ﰲ وﺟﻬﻪ ﻣﺰﻋﺔ ﳊﻢ )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري
33
Seseorang selalu meminta-minta sampai datang pada hari kiamat dalam kondisi tidak ada secuil dagingpun di wajahnya”. (HR. Bukhari, hadis nomor 1474) Kewajiban mencari nafkah ini mengandung implikasi pemahaman bahwa pada dasarnya tiap orang berkewajiban memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, kecuali karena keadaan tertentu yang menyebabkan ia tidak bisa memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya. Oleh karena memenuhi kebutuhan hidup adalah kewajiban, maka setiap orang akan berusaha mencari pekerjaan yang minimal bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Jika para pekerja sudah bekerja dalam suatu perusahaan atau bekerja pada seseorang yang tidak memungkinkan baginya untuk bekerja di tempat lain, sudah selayaknya perusahaan atau orang yang mempekerjakannya memberi upah yang bisa memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya. Upah yang dibawah standar kebutuhan pokok pekerja menjadikan orang tersebut akan bekerja di tempat lain di luar waktu bekerja. Hal ini disamping
menjadikan
pekerjaannya
tidak
optimal,
juga
menyebabkan
kehidupannya tidak normal, karena dia harus bekerja pada waktu yang seharusnya dia beristirahat. Kondisi seperti inilah yang merupakan fenomena ekonomi industrial saat ini. Mayoritas penduduk bekerja pada perusahaan atau perorangan dengan jam 33
Ibid., Vol. 4, 292
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
232
kerja yang tidak memungkinkan baginya untuk mencari tambahan nafkah. Hal ini berbeda dengan ekonomi agraris, apalagi pada masa Rasulullah saw dan masa klasik. Pada saat itu mayoritas masyarakat bekerja dalam sektor pertanian dan perdagangan. Oleh karena itu dalam ekonomi industrial saat ini, kebijakan penetapan upah berdasar kebutuhan pokok pekerja sangat dibutuhkan dan tidak berarti memindahkan kewajiban negara kepada pengusaha. Selama penghidupan pekerja sangat tergantung dengan gaji dari pengusaha, maka pengusaha wajib memberinya upah yang dapat memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya. Sebagaimana hadis Nabi saw di atas yang mewajibkan majikan
memberi makan dan pakaian kepada pekerjanya
sebagaimana makanan dan pakaian yang dikenakan majikannya. Pemberian upah yang tidak memenuhi kebutuhan pekerja dan keluarga berarti sebuah kedzaliman. Riwayat-riwayat dari Rasulullah saw, sahabat dan ulama’ klasik tentang pemenuhan kebutuhan bagi pegawai pemerintah dan yang dipekerjakan di ruang publik sebagaimana di atas juga membuktikan bahwa negara tidak wajib memenuhi semua kebutuhan warga negara. Jika negara wajib memenuhi kebutuhan pokok setiap warga negaranya, tentu mengupah para pekerja negara tersebut dengan batasan kecukupan adalah tidak adil dan tidak menghargai pekerjaan mereka. Ini sama saja dengan mereka tidak mendapat upah, karena semua orang akan mendapatkan pemberian dari negara sesuai kebutuhan hidupnya. Begitu juga pendapat sebagian ulama yang memberlakukan ketentuan upah standar kebutuhan pekerja hanya pada pegawai negara sebagaimana di atas
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
233
juga menunjukkan pemahaman bahwa bagi pegawai non pemerintah, negara tidak berkewajiban memenuhi kebutuhan pokok hidupnya, kecuali dalam kondisi khusus, seperti orang-orang yang tidak mampu bekerja atau tidak mendapatkan pekerjaan dan lainnya. Menurut Baqir Sadr, konsep jaminan sosial dalam ekonomi Islam berpusat pada dua asas, yaitu Takāful ’ām dan hak jamaah warganegara dari kekayaan negara. Takāful adalah semua umat Islam bertanggungjawab atas keberlangsungan hidup saudaranya yang lain, sehingga ketika orang lain membutuhkan atau terkena musibah, maka umat Islam yang lain harus membantunya. Takāful ini adalah asas yang diwajibkan oleh Islam kepada seluruh umat Islam sebagai implementasi dari ukhuwah (persaudaraan umat Islam satu dengan yang lainnya). Kewajiban takāful ini sesuai dengan kondisi dan kemampuannya dan harus ditunaikan dalam kondisi apapun sebagaimana kewajiban-kewajiban yang lain. Tugas pemerintah dalam hal ini adalah mendorong dan mengawasi agar masyarakat melaksanakan kewajiban takaful ini, serta menjalankan fungsi sebagai pengelola harta dari masyarakat untuk kepentinga ini melalui zakat dan sejenisnya. Asas kedua dari konsep jaminan sosial adalah hak jamaah warganegara dari kekayaan negara. Berdasar asas ini negara bertanggungjawab secara langsung terhadap keberlangsungan hidup para lansia dan kaum lemah tanpa melihat asuransi sosial yang wajib bagi individu-individu warga negara. Tanggungjawab ini berdasar asas bahwa warganegara berhak ikut menikmati kekayaan dan sumbersumber penghasilan yang dimiliki atau dikelola oleh negara34
34
Muhammad Baqir Sadr, Iqtiṣādunā (Beirut: Dār al-Fikr, 1969), 615-619
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
234
Memang dalam sejarahnya, pemerintah Islam pernah menjamin secara langsung kebutuhan pokok penduduknya dengan memberikan mereka harta.Namun hal ini adalah masalah ijtihādy yang bisa berubah sesuai kebijakan dan kemaslahatan. Hal ini terbukti dengan perbedaan sistem pembagian yang dilakukan oleh khulafaur Rasyidin. Khalifah Abu Bakar mempersamakan pemberian kepada semua warga negara,begitu juga yang dilakukan oleh khalifah Ali bin Abi Thalib. Sedang khalifah Umar bin Khattab membagikan pemberian negara kepada warganya dengan kadar yang berbeda antara satu dengan lainnya berdasar kedekatannya kepada Rasulullah saw, jasanya terhadap Islam dan keterdahuluannya dalam masuk Islam, bukan berdasar tingkat ekonomi dan kebutuhan masyarakat. Sistem ini kemudian diikuti oleh khalifah Usman bin Affan.35 Pemberian khalifah Umar adalah sebagai berikut: Istri-istri Rasulullah saw mendapat 10000 dirham pertahun, kecuali Aisyah, yang mendapat 12.000 dirham. Dalam riwayat lain dikatakan para istri Rasulullah mendapat 6000 dirham. Setiap muhajirin yang ikut perang Badar diberi tunjangan senilai 5000 dirham pertahun. Orang Ansar yang ikut perang Badar mendapat tunjangan 4000 dirham pertahun. Kaum muslimin yang berhijrah sebelum fath Makkah (pembukaan kota Mekah) mendapatkan 3000 dirham pertahun, sedang yang berislam setelah pembukaan Mekah mendapat 2000 dirham. Kemudian warga negara lainnya mendapat bagian yang berbeda-beda sesuai dengan kedudukan, bacaan al-Qur’an dan peran mereka dalam jihad. Penduduk Yaman, Syam dan Irak masing –masing ada yang mendapat 2000 dirham, 500 dirham dan yang terendah mendapat 300 dirham pertahun, setiap
35
Al-Mawardi, al-Ahkām al-Sulṭāniyah (Beirut: Dār al-Fikr, 1960), 200-201
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
235
balita mendapat 100 dirham, anak di atas balita sampai baligh mendapat 200 dirham dan setelah baligh mendapat hak penuh, 300 dirham. 36 Dari pembagian khalifah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali Bin Abi Thalib menunjukkan bahwa pemberian negara kepada warganya adalah bersifat fleksibel tergantung kebijakan pemerintah dan juga tergantung harta yang dimiliki negara. Hal ini tersirat dari pernyataan Umar bin Khatttab yang mengatakan bahwa jika harta melimpah saya akan memberi kepada masing-masing 4000 dirham, 1000 untuk kudanya, 1000 untuk senjata, 1000 untuk kepergiannya dalam berjihad dan 1000 untuk keluarga yang ditinggalkan.37 Dari paparan di atas disimpulkan bahwa tugas negara dalam jaminan sosial adalah fokus pada pemenuhan kebutuhan hidup kaum lemah, sedang pemenuhan kebutuhan hidup mereka yang mampu bekerja adalah tanggungjawab dia sendiri jika pekerjaannya adalah pekerjaan independen, serta tanggungjawab orang yang mempekerjakannya jika pekerjaannya pada orang atau pihak lain. Oleh karena itu penetapan standar upah sesuai kebutuhan pokok pekerja bukan berarti pemindahan kewajiban negara kepada pengusaha sebagaimana diklaim oleh Hizbut Tahrir, tetapi lebih tepatnya adalah pembagian tugas antara pengusaha dan negara.
B. Upah Sepadan : Instrumen Penting Dalam Kebijakan Pengupahan Sebagaimana
dipaparkan
dalam
bab
sebelumnya
Hizbut
Tahrir
berkeyakinan bahwa tingkat upah di pasaran akan berjalan secara alami menurut mekanisme pasar sehingga tingkat harga upah di pasar dibentuk secara alami
36 37
Ibid., 200-202 Ibid., 202
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
236
berdasarkan penawaran dan permintaan tenaga kerja. Namun demikian Hizbut Tahrir berpendapat bahwa tingkat upah yang berlaku di pasar tidak mengikat, dalam arti tingkat upah di pasaran tidak menjadi dasar secara hukum bagi pengusaha untuk menetapkan gaji bagi pegawainya. Setiap pengusaha, menurut al-Nabhani, berhak menentukan upah atas pekerja yang dia pekerjakan, tanpa terikat dengan batasan-batasan tertentu, termasuk tidak terikat dengan tingkat upah di pasar atau upah sepadan (ajr almithl). Dengan demikian, menurut Hizbut Tahrir tidak ada kelaziman bagi pengusaha untuk mengikuti upah pasaran atau upah sepadan (ajr al-mithl). Upah sepadan (ajr al-mithl) hanya diterapkan jika terjadi perselisihan antara pekerja dengan majikan tentang tingkat upah yang disebutkan pada saat transaksi atau ketika nilai upah tidak disebutkan dalam transaksi. Dalam menentukan upah sepadan atau harga pasaran atas suatu tenaga kerja (ajr al-mithl) Hizbut Tahrir tidak melihat kepada mekanisme pasar tenaga kerja, juga tidak melihat harga umum yang berlaku di pasar tetapi semata-mata berdasarkan ijtihad para pakar dan ahli yang mempunyai keahlian di bidang penetapan upah. Para pakar yang memperkirakan upah sepadan tersebut dipilih oleh kedua belah pihak yang bersengketa atau bertransaksi yaitu musta’jir dan ajīr. Apabila kedua belah pihak belum memilih seorang ahli, atau masih berselisih, maka pengadilan atau negara yang berhak menentukan ahli bagi mereka. Pemikiran ini bertolak dari pandangan Hizbut Tahrir yang menolak al-‘urf sebagai landasan hukum dan bahwasanya al-taqdīrāt (ketentuan-ketentuan)
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
237
seperti harga, nafkah, mahar sepadan, upah sepadan, dan lain-lain tidak bisa dikategorikan sebagai al-‘urf, karena ia bukanlah adat kebiasaan manusia, melainkan ketentuan yang ditentukan oleh pasar dan kondisi yang melingkupi masyarakat, bukan akibat dari pengulangan masyarakat terhadapnya, sebagaimana bukan akibat penamaan masyarakat atasnya. al-Taqdīrāt adalah ketetapan yang diakibatkan oleh kondisi di luar masyarakat yang datang sehingga masyarakat memperkirakan nilainya berdasarkan kondisi tersebut. Karena itu perkiraan nilai dan nominalnya ditentukan oleh para pakar, bukan kepada masyarakat umum.38 1.
Makna upah sepadan dan cara menentukannya. Hizbut Tahrir memaknai upah sepadan sebagai upah yang sepadan dengan nilai manfaat kerja dari si pekerja yang ditentukan oleh pihak yang ahli dan netral, yaitu pakar yang ahli dalam menentukan upah. Upah sepadan tidak terkait dengan pasar tenaga kerja dan kebiasaan (‘urf) yang berlaku di masyarakat. Pengertian upah sepadan yang seperti ini juga dipahami oleh sebagian ekonom kontemporer, seperti Veithzal Rivai yang mengatakan bahwa upah sepadan adalah upah yang sepadan dengan kerjanya sesuai dengan kondisi pekerjaannya.39 Pemahaman Hizbut Tahrir ini berbeda dengan pandangan mayoritas ekonom yang memaknai upah sepadan sebagai upah yang umum berlaku di pasar dalam jenis pekerjaan itu.40 Dalam hal ini upah sepadan ditentukan sebagaimana harga setara (thaman al-mithl), yaitu pada kondisi normal di
38
Al-Nabhani, al-Shakhsiyah, 463 Veithzal Rivai, Islamic Human Capital (Jakarta: Rajawali Press, 2009), 807 40 Ahmad Jalaludin, al-Siyāsah al-Iqtiṣādiyah, 414 39
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
238
dasarkan atas kekuatan permintaan dan penawaran di pasar tenaga kerja.41 Pemahaman upah sepadan sebagai upah yang berlaku di pasar (masyarakat) berdasarkan ‘urf ini juga dapat disimpulkan dari ucapan khalifah Abu Bakar dalam meminta upah sebagai ganti bekerja mencari nafkah: Tentukanlah untukku penghidupan (seperti penghidupan) seorang dari kalangan pertengahan orang orang Quraisy, bukan yang tinggi dan bukan pula yang terendah diantara mereka”42. Artinya bahwa upah sepadan yang diminta Abu Bakar distandarkan dengan pendapatan umum masyarakat, bukan berdasarkan manfaat kerja semata. Muṣṭafā Abd Raḥīm Abū ‘Ajīlah mengatakan bahwa para ahli fiqh banyak mempergunakan standar ‘urf (adat kebiasaan) dalam masalah ijārah, baik sewa menyewa maupun upah mengupah, untuk menentukan hal-hal yang belum ada ketentuan atau batasannya, seperti tentang kadar upah dan pekerjaan yang harus dikerjakan.43 Lebih lanjut Abu Ajilah mencontohkan pernyataan dalam Fatāwā Hindiyah yang mengatakan:
واﻷﺻﻞ ﰲ اﻹﺟﺎرة إذا وﻗﻌﺖ ﻋﻠﻰ ﻋﻤﻞ ﻓﻜﻞ ﻣﺎ ﻛﺎن ﻣﻦ ﺗﻮاﺑﻊ ذﻟﻚ اﻟﻌﻤﻞ 44 ...وﱂ ﻳﺸﱰط ﻋﻠﻰ اﻷﺟﲑ ﰲ اﻹﺟﺎرة ﻓﺎﳌﺮﺟﻊ ﻓﻴﻪ إﱃ اﻟﻌﺮف Pada asasnya dalam ijārah jika terjadi pada pekerjaan (upah mengupah), setiap yang menyertai pekerjaan tersebut namun tidak disyaratkan atas ajīr (pekerja) dalam akad ijārah, maka rujukannya adalah ‘urf (adat kebiasaan). Begitu juga jika berselisih dalam hak upah atas suatu pekerjaan. Misalnya seseorang melakukan suatu pekerjaan kemudian menuntut upah 41
Hendrianto, Pengantar Ekonomika, 233 Al- Nawawi, Riyāḍ al-Ṣālihīn,Vol. 2, 311 43 Abū ‘Ajīlah, al-‘Urf Wa Atharuh, 281 44 Ibid., 284 42
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
239
atas pekerjaan tersebut. Orang tersebut berhak mendapat upah disertai sumpah bahwa dia melakukan pekerjaan tersebut tidak sukarela, kecuali jika adat kebiasaan menunjukkan bahwa orang yang melakukan pekerjaan seperti itu biasanya tidak mengambil upah, maka orang tersebut tidak berhak mendapat upah.
Ibn Muflij mengatakan jika seseorang
menyerahkan kainnya kepada penjahit (tanpa menyebutkan akad dan jumlah upahnya) maka si penjahit berhak mengambil upah sepadan (ajr al-mithl) karena adanya kebiasaan yang berposisi sebagaimana akad. Demikian beberapa contoh dari para ahli fiqh yang pada intinya bahwa hal-hal yang belum ditentukan dalam transaksi ijārah (upah mengupah) dikembalikan kepada kebiasaan dan adat yang berlaku.45 Di sisi yang lain, menurut Hizbut Tahrir berlakunya upah sepadan versi mereka yang berarti sepadan dengan nilai kerjanya, adalah berdasarkan analog dengan mahar sepadan (mahr al-mithl). Analogi ini menimbulkan inkonsistensi dalam pemikiran Hizbut Tahrir, sebab mahar sepadan yang dijadikan hukum asli ditetapkan berdasarkan rata-rata nominal mahar wanita yang sepadan. Nominal rata-rata mahar wanita yang sepadan ini tidak bisa tidak adalah berdasar ‘urf yang berlaku di masyarakat, bukan ditentukan oleh pakar. Al-Nabhani menegaskan bahwa makna ﻟﮭﺎ ﺻﺪاق ﻧﺴﺎﺋﮭﺎdalam hadis adalah
( ﻣﮭﺮ ﻣﺜﻞ ﻣﮭﺮ ﻧﺴﺎﺋﮭﺎbaginya
mahar seperti mahar wanita yang sepadan dengannya).46 Lalu dari mana
45 46
Ibid., 281-288 Al-Nabhani, Al-Niẓām al-Iqtiṣādy, 101
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
240
ketentuan tentang upah sepadan yang berarti sepadan dengan nilai kerjanya?. Dalam konsep mahr al-mithl, para ahli fiqh menyatakan bahwa dasar penetapan nominalnya adalah berdasar ‘urf (kebiasaan yang berlaku di masyarakat). Sayyid Sābiq mengatakan bahwa mahr mithl adalah mahar yang menjadi hak wanita/ istri, yang nominalnya seperti nominal mahar perempuan yang setara dengannya pada saat akad dalam umur, kecantikan, kekayaan, kecerdasan, agama, gadis atau janda, suku dan semua yang menyebabkan perbedaan nominal mahar di masyarakat. Hal ini karena nilai mahar biasanya berbeda satu dengan lainnya berdasarkan kriteriakriteria di atas.47 Begitu juga al-Khaṭīb al-Sharbīni mengatakan bahwa mahr almithl adalah nominal mahar yang secara kebiasaan/umum diinginkan oleh perempuan yang sepadan dengannya. Rukun terbesar dari penentuan mahar
sepadan
adalah
masalah
nasab
karena
adanya
tafākhur
(kebanggaan) berdasarkan perbedaan nasab.48 2. Pemberlakuan upah sepadan Hizbut
Tahrir
mengatakan
bahwa
upah
sepadan
hanya
diberlakukan ketika terjadi sengketa antara pekerja dan pemberi kerja atau pada saat nominal upah tidak disebutkan dalam transaksi. Upah sepadan menurut Hizbut Tahrir tidak bisa digunakan sebagai standar pengupahan di luar dua kondisi tersebut. Upah sepadan menurut Hizbut Tahrir 47
Al-Sayyid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, Vol. 2 (Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arabi, 1977), 163 al-Khaṭīb al-Sharbīni, Mughnī al-Muhtāj Ilā Ma’rifat Ma’āni Alfāẓ al-Minhāj, Vol. 3 (Beirut: Dār al-Fikr, 1995), 295 48
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
241
hanyalah sarana dalam rangka menyelesaikan sengketa antara pekerja dan pemberi kerja. Upah sepadan tidak bisa diberlakukan secara umum yang mana pemberi kerja yang melanggar dengan memberi upah dibawah upah sepadan tidak bisa diberi sanksi, karena upah adalah hak prerogatif pengusaha dan pekerja yang dituangkan dalam kesepakatan transaksi. Selama pengusaha memberi upah sesuai kesepakatan (ajr musamma) maka tidak ada pelanggaran baginya. Pandangan Hizbut Tahrir ini berbeda dengan mayoritas ahli fiqh yang berpendapat bahwa upah sepadan bisa diberlakukan di luar dua kondisi tersebut jika kemaslahatan menuntut hal itu. Menurut Ibn Taymiyah dan Ibn Qayyim al-Jawziyah, upah sepadan atau upah setara dapat dijadikan sebagai instrument pemerintah dalam kebijakan harga dan pendapatan,
yang
tujuannya
untuk
merealisasikan
keadilan
dan
kemaslahatan. Menurut Ibn Taymiyah upah yang setara (ujrah al-mithl) diatur dengan mengunakan aturan yang sama dengan harga yang setara. Dalam arti pada kondisi normal tingkat upah ditentukan oleh tawar-menawar antara pekerja dengan pemberi kerja. Namun dalam kasus pasar yang tidak sempurna, upah yang setara ditentukan dengan menggunakan cara yang sama sebagai harga yang setara, yaitu pemerintah boleh memaksa pekerja dan pengusaha untuk tunduk di bawah upah setara. Sebagai contoh, apabila masyarakat sedang membutuhkan jasa para pekerja, tetapi para pekerja tidak ingin memberikan jasa mereka, dalam kasus ini, penguasa
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
242
dapat memaksa para pekerja dengan memberikan upah yang setara, sehingga pihak pemberi kerja tidak dapat mengurangi upah para pekerja dan begitu pula para pekerja tidak dapat meminta upah yang lebih tinggi dari harga yang telah ditetapkan. Dalam hal ini Ibn Taymiyah mengatakan: Demikian pula ketika masyarakat membutuhkan orang-orang yang memproduksi alat-alat perang, seperti pedang dan jembatan untuk perang atau lain-lainnya. Maka hendaknya masyarakat mempekerjakan mereka dengan upah standar (upah setara), tidak ada alasan bagi mereka untuk berlaku aniaya kepada para pekerja, dan tidak pula bagi pekerja untuk menuntut upah yang lebih tinggi dengan alasan kemendesakan kebutuhan masyarakat.49 Ibn Taymiyah dan para ahli fiqh lainnya berpandangan bahwa upah sepadan merupakan standar untuk menyelesaikan problem sosial yang lebih umum, seperti permainan pekerja agar upah naik dalam posisi nilai tawar pekerja lebih tinggi dari pemberi kerja atau sebaliknya para pengusaha tidak mau memberi upah pekerja kecuali dengan nominal lebih rendah dari upah sepadan.
Pemerintah, menurut Ibn Taymiyah,
mempunyai otoritas untuk menerapkan secara paksa upah setara dalam kasus seperti di atas. A.A Islahi mengutip perkataan Ibn Taymiyah yang mengatakan bahwasanya: Jika penduduk membutuhkan jasa petani-peladang atau akan ikut serta bekerja dalam industri tekstil atau konstruksi, tetapi mereka tidak siap memberikan layanan mereka, otoritas bisa menetapkan upah yang setara (ajr al-mithl). Jadi pemberi kerja tidak boleh
49
Ibn Taymiyah, Tugas Negara Menurut Islam, terj. Ari Maftuhin Dzofir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 42. Adiwarman Azhar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam , Cetakan Ke 3 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), 358
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
243
mengurangi upah dari pekerja atau pekerja itu menginginkan upah yang lebih tinggi ketimbang upah yang adil”.50 Islahi menambahkan bahwasanya prinsip ini berlaku bagi pemerintah maupun individu. Jadi, jika pemerintah ingin menetapkan upah atau kedua pihak (employer dan employee) tidak bersepakat tentang besarnya upah, mereka harus bersepakat tentang besarnya upah yang ditetapkan pemerintah, yang berpijak pada kondisi normal.51 Memang dalam tulisannya Ibn Taymiyah menyoroti pekerja dalam sektor-sektor yang dibutuhkan oleh masyarakat umum, dalam kondisi khusus pemerintah dapat memaksa mereka dengan upah sepadan. Hal ini mungkin sesuai dengan kondisi saat itu di mana pekerja mempunyai daya tawar tinggi dibanding pihak yang mempekerjakannya. Kondisi ini berbeda dengan realita ekonomi industrial saat ini di mana daya tawar pekerja sangat rendah dibanding pengusaha. Lapangan pekerjaan yang terbatas sementara tuntutan ekonomi yang mendesak seringkali dijadikan kesempatan oleh pengusaha untuk menekan biaya produksi dengan memberi upah yang rendah. Karena itu dengan manhaj Ibn Taymiyah, pemerintah berhak memaksa pengusaha untuk memberi upah para pekerja berdasar upah sepadan. Penetapan upah oleh pemerintah menurut Ibn Taymiyah tidak lain adalah pemaksaan yang dilakukan oleh pemerintah
50
A.A. Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah, Terj. Anshari Thayyib (Surabaya: Bina Ilmu, 1997), 99 51 Ibid.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
244
kepada pelaku pasar untuk komitmen dengan harga yang berlaku di pasar (al-qīmah al-mithl).52 Berdasar paparan di atas, pandangan Hizbut Tahrir tentang upah sepadan menegaskan pandangannya tentang standar upah yang berdasar nilai kerja semata. Selain itu teori upah sepadan versi Hizbut Tahrir ini juga sejalan dengan pandangan mereka tentang intervensi negara dan kebijakan upah minimum.
C. Menimbang Intervensi Pemerintah Dalam Penetapan Tingkat Upah Sebagaimana dipaparkan di bab sebelumnya bahwa menurut Hizbut Tahrir pemerintah tidak boleh ikut campur menentukan tingkat upah, baik berupa penentuan upah minimum ataupun lainnya. Dalam hal larangan penetapan upah bagi pemerintah ini, Hizbut Tahrir menganalogkannya dengan larangan al- tas’īr (pematokan harga oleh pemerintah), karena penetapan upah adalah termasuk altas’īr. Bedanya kalau penetapan harga adalah al-tas’īr fī al-ashyā’ (penetapan harga barang) sedang penetapan upah adalah al-tas’īr fī al-a’māl (penetapan harga atas kerja atau jasa). Pendapat ini didasarkan pada dhahir hadis Rasulullah saw yang tidak mau melakukan pematokan harga pada saat harga membumbung tinggi, tanpa melihat kondisi pada saat hadis tersebut diucapkan, sebagaimana juga tidak melihat pada maqāṣid di balik teks hadis tersebut. Secara garis besar, dalam ekonomi Islam terdapat dua pendapat dalam masalah penetapan upah oleh pemerintah, pendapat yang membolehkan dan pendapat yang tidak membolehkan penetapan tingkat upah oleh pemerintah. Dua
52
Al-Khuṣari, al-Siyāsah al-Iqtiṣādiyah, 123
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
245
pendapat tersebut, baik yang membolehkan maupun yang tidak membolehkan terkait dengan pendapat mereka tentang penetapan harga oleh pemerintah, karena sebagaimana Hizbut Tahrir, mereka memasukkan penetapan upah oleh pemerintah sebagai bagian dari tas’īr. Ibn Qayyim misalnya, menegaskan bahwa penetapan upah merupakan tas’īr fi al-a’māl (pematokan harga dalam kerja). Demikian juga Mundhir Qahf, ahli ekonomi Islam kontemporer, menegaskan hal yang sama bahwa pembahasan tentang batasan-batasan syar’i bagi politik kebijakan pendapat dan harga membawa kita tanpa bisa dihindari dari pembicaraan tentang al-tas’īr dan hukumnya dalam Islam. Pendapatan, khususnya upah, adalah termasuk bagian dari harga yang penetapannya oleh pemerintah menjadi hal kontroversial di kalangan ulama Islam, antara yang membolehkan dan yang tidak membolehkan.53 Dalam khazanah ekonomi Islam klasik terdapat dua pendapat tentang pematokan harga oleh pemerintah. Pendapat pertama yang dianut madhhab alẒāhiri, al-Shāfi’I, Ibn al-Athīr dan lainnya yang tidak membolehkan penetapan harga oleh pemerintah. Mereka berdasar dhahir hadis-hadis tentang ketidakmauan Rasulullah saw untuk menetapkan harga, yaitu:
: ﻓﻘﺎل, إن اﻟﻨﺎس ﻗﺎﻟﻮا رﺳﻮل ﷲ ﻏﻼ اﻟﺴﻌﺮ ﻓﺴﻌﺮ ﻟﻨﺎ:ﻋﻦ أﻧﺲ رﺿﻲ ﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺎل إن ﷲ ﻫﻮ اﻟﻘﺎﺑﺾ اﻟﺒﺎﺳﻂ اﻟﺮازق اﳌﺴﻌﺮ وإﱐ ﻷرﺟﻮ أن أﻟﻘﻰ ﷲ ﻋﺰ وﺟﻞ وﻻ ﻳﻄﻠﺒﲏ 54 (أﺣﺪ ﲟﻈﻠﻤﺔ ﻇﻠﻤﺘﻬﺎ إ ﻩ ﰲ دم وﻻ ﻣﺎل )رواﻩ اﳋﻤﺴﺔ إﻻ اﻟﻨﺴﺎئ Dari Anas Ra berkata: “Sesungguhnya orang-orang berkata: Wahai Rasulullah, harga-harga mahal, maka tetapkanlah harga untuk kami”, 53
Mundhir Qahf, al-Siyasāt al-Māliyah Dawruha wa Ḍawābituhā fī al-Iqtiṣād al-Islāmi, (Damaskus: Dār al-Fikr, 1999), 104 54 Al-Shawkāni, Nayl al-Awṭār Vol. 5, 232
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
246
Rasulullah saw menjawab: “Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Menggenggam (menyempitkan), Yang Maha melapangkan, Yang Maha pemberi rezeki, Yang menetapkan harga, sedang saya berharap untuk bertemu Allah dalam keadaan tidak seorangpun menuntutku karena kedzaliman yang saya lakukan kepadanya baik dalam darah maupun dalam harta”. (HR. imam lima, kecuali al-Nasa’i).
Begitu juga hadis:
ﻓﻘﺎل ﺑﻞ أدﻋﻮ ﷲ ﰒ ﺟﺎءﻩ,ﻋﻦ أﰊ ﻫﺮﻳﺮة أن رﺟﻼ ﺟﺎء ﻓﻘﺎل رﺳﻮل ﷲ ﺳﻌﺮ ﻟﻨﺎ رﺟﻞ اﺧﺮ ﻓﻘﺎل رﺳﻮل ﷲ ﺳﻌﺮ ﻓﻘﺎل ﺑﻞ ﷲ ﳜﻔﺾ وﻳﺮﻓﻊ وإﱐ ﻷرﺟﻮ أن أﻟﻘﻲ ﷲ 55 (وﻟﻴﺲ ﻷﺣﺪ ﻋﻨﺪي ﻣﻈﻠﻤﺔ )رواﻩ أﲪﺪ و أﺑﻮ داود Dari Abu Harayrah bahwasanya seseorang datang dan berkata: “Wahai Rasulullah tentukan harga bagi kami”. Rasulullah saw menjawab: “Tidak, akan tetapi saya berdoa kepada Allah”, kemudian datang lagi seseorang dan berkata: “Wahai Rasulullah tentukan harga”, maka Rasulullah saw menjawab: “Tetapi Allah yang merendahkan (harga) dan yang meninggikan, dan sungguh saya berharap bertemu Allah swt dalam keadaan tidak ada kedzaliman atas satu orangpun pada saya”. (HR. Ahmad dan Abu Dawud). Ibn Qudamah, sebagaimana dikutip Ali al-Salus mengatakan bahwa pengharaman pematokan harga berdasar hadis di atas ditinjau dari dua segi: pertama, bahwasanya Rasulullah saw tidak mematok harga padahal para sahabat memintanya. Seandainya pematokan harga tersebut boleh tentu Rasulullah saw akan menetapkannya; kedua, Rasulullah saw memberi ‘illat atau alasan bahwasanya pematokan harga tersebut adalah kedzaliman padahal kedzaliman adalah haram. Lebih lanjut Ibn Qudamah menyatakan :
ﻷن اﳉﺎﻟﺒﲔ إذا ﺑﻠﻐﻬﻢ ذﻟﻚ ﱂ ﻳﻘﺪﻣﻮا, اﻟﺘﺴﻌﲑ ﺳﺒﺐ اﻟﻐﻼء: ﻗﺎل ﺑﻌﺾ أﺻﺤﺎﺑﻨﺎ وﻣﻦ ﻋﻨﺪﻩ اﻟﺒﻀﺎﻋﺔ ﳝﺘﻨﻊ ﻣﻦ,ﺑﺴﻠﻌﻬﻢ ﺑﻠﺪا ﻳﻜﺮﻫﻮن ﻋﻠﻰ ﺑﻴﻌﻬﺎ ﻓﻴﻪ ﺑﻐﲑ ﻣﺎ ﻳﺮﻳﺪون ﻓﲑﻓﻌﻮن ﰲ ﲦﻨﻬﺎ,ﺑﻴﻌﻬﺎ وﻳﻜﺘﻤﻬﺎ وﻳﻜﻠﺒﻬﺎ أﻫﻞ اﳊﺎﺟﺔ إﻟﻴﻬﺎ ﻓﻼ ﳚﺪون إﻻ ﻗﻠﻴﻼ 55
Ibid.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
247
ﺟﺎﻧﺐ اﳌﻼك ﰲ ﻣﻨﻌﻬﻢ ﻣﻦ, وﳛﺼﻞ اﻹﺿﺮار ﳉﺎﻧﺒﲔ,ﻟﻴﺼﻠﻮا إﻟﻴﻬﺎ ﻓﺘﻐﻠﻮ اﻷﺳﻌﺎر 56 . ﻓﻴﻜﻮن ﺣﺮاﻣﺎ,ﺑﻴﻊ أﻣﻼﻛﻬﻢ وﺟﺎﻧﺐ اﳌﺸﱰي ﰲ ﻣﻨﻌﻪ ﻣﻦ اﻟﻮﺻﻮل إﱃ ﻏﺮﺿﻪ Sebagian sahabat kami mengatakan: “Al-tas’īr (Penetapan harga) menyebabkan mahalnya harga barang-barang, karena para pedagang dari luar tidak mau masuk ke wilayah tersebut dikarenakan takut diharuskan menjual barangnya dengan harga yang tidak mereka kehendaki. Sementara mereka yang mempunyai barang (para pedagang lokal) tidak mau menjualnya, bahkan menyembunyikannya, sampai orang-orang yang membutuhkan barang tersebut tidak menemukannya di pasar kecuali sedikit sehingga pembeli mau meninggikan harganya agar mendapatkan barang tersebut sehingga harganya menjadi mahal. Dengan demikian penetapan harga menyebabkan mudharat bagi kedua belah pihak, mudharat bagi pemilik barang dengan mencegahnya dari penjualan, dan mudharat bagi pembeli yang tidak bisa mencapai tujuannya, sehingga hukumnya haram. Sedang pendapat kedua adalah pendapat beberapa ulama’, seperti Ibn Taymiyah, Ibn Qayyim, Abū Yūsuf dari kalangan madzhab Hanafi, Imam Malik dan lainnya. Mereka membolehkan pematokan harga dan campur tangan pemerintah dalam pasar -bahkan mewajibkannya- jika dituntut oleh kemaslahatan umum. Dalam hal ini Ibn Taymiyah sebagaimana dikutip al-Qardawi mengatakan:
ﻓﺈذا ﺗﻀﻤﻦ ﻇﻠﻢ اﻟﻨﺎس.وأﻣﺎ اﻟﺘﺴﻌﲑ ﻓﻤﻨﻪ ﻣﺎ ﻫﻮ ﻇﻠﻢ ﳏﺮم و ﻣﻨﻪ ﻣﺎ ﻫﻮ ﻋﺪل ﺟﺎﺋﺰ وإذا. أو ﻣﻨﻌﻬﻢ ﳑﺎ أ ح ﷲ ﳍﻢ ﻓﻬﻮ ﺣﺮام,وإﻛﺮاﻫﻬﻢ ﻋﻠﻰ اﻟﺒﻴﻊ ﺑﺜﻤﻦ ﻻ ﻳﺮﺿﻮﻧﻪ ﺗﻀﻤﻦ اﻟﻌﺪل ﺑﲔ اﻟﻨﺎس ﻣﺜﻞ إﻛﺮاﻫﻬﻢ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﳚﺐ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻣﻦ اﳌﻌﺎوﺿﺔ ﺑﺜﻤﻦ اﳌﺜﻞ 57 .وﻣﻨﻌﻬﻢ ﳑﺎ ﳛﺮم ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻣﻦ أﺧﺬ اﻟﺰ دة ﻋﻠﻰ ﻋﻮض اﳌﺜﻞ ﻓﻬﻮ ﺟﺎﺋﺰ ﺑﻞ واﺟﺐ Adapun al-tas’īr (penetapan harga oleh pemerintah), sebagian ada yang dzalim yang diharamkan, dan sebagian ada yang adil yang dibolehkan. Jika al-tas’īr tersebut mengandung kedzaliman dan pemaksaan terhadap manusia - tanpa alasan yang dibenarkan – untuk menjual dengan harga yang tidak diridhainya, atau menghalangi manusia dari apa yang dibolehkan oleh Allah swt, maka al-tas’īr tersebut adalah haram. Jika al56
Ali Ahmad al-Salus, Fiqh al-Ba’i’ wa al-Istithāq wa al-Tatbīq al-Mu’āsir (Beirut: Muassasah al-Rayyān, 2004), 73 57 Yusuf al-Qardawi, al-Siyāsah, 623
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
248
tas’īr tersebut mengandung keadilan bagi manusia, seperti memaksa mereka untuk menjual dengan harga sepadan (thaman al-mithl) dan mencegah mereka dari mengambil harga tambahan melebihi harga sepadan, maka hal ini adalah boleh, bahkan wajib. Mereka yang membolehkan penetapan harga oleh pemerintah ini mendasarkan pendapatnya pada hal-hal berikut: pertama, meninggikan harga di pasar merupakan kedzaliman yang wajib dihilangkan oleh pemerintah, dan pematokan harga adalah salah satu cara untuk menghilangkannya; kedua, kaidah fiqhiyah menetapkan bahwa sesuatu yang menjadi sarana kepada yang wajib maka hukumnya wajib, sehingga pematokan harga bisa menjadi wajib jika menjadi sarana
merealisasikan
kewajiban
yaitu
menghilangkan
kedzaliman
dari
masyarakat; ketiga, pematokan harga merupakan politik ekonomi yang menjadi sad al-dharī’ah (penutup jalan) bagi kejahatan perdagangan seperti eksploitasi pedagang atas kebutuhan dan ketidaktahuan masyarakat, penimbunan dan lainnya.58 Keempat, kebolehan pematokan harga adalah berdasar kemaslahatan (maṣlaḥat). Maṣlaḥat sebagai salah satu dasar penetapan hukum Islam menjadi salah satu dalil terpenting bagi kebolehan pematokan harga oleh pemerintah, sebab campur tangan pemerintah dalam ekonomi dibolehkan syariah berdasarkan kemaslahatan masyarakat. Pematokan harga oleh pemerintah dibolehkan jika pemerintah melihat bahwa kemaslahatan umat menuntut adanya pematokan harga tersebut.59 Menanggapi tentang ketidakmauan Rasulullah saw dalam melakukan pematokan harga, para ulama’ yang membolehkannya menyatakan bahwa pada
58
Ahmad al-Khusariy, al-Siyāsah al-Iqtiṣādiyah, 106-109 Sa’īd Sa’ad Marṭān, Madkhal li al-Fikr al-Iqtiṣādy fī al-Islām (Beirut: Muassasat al-Risālah, 1996), 136 59
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
249
masa Rasul saw kenaikan harga di pasar terjadi karena kondisi alami, bukan karena pedagang, yaitu barang langka di pasar bukan akibat perilaku pedagang. Sa’id Marṭān berpendapat bahwa keengganan Rasul saw menetapkan harga disebabkan oleh masyarakat Madinah pada saat itu belum membutuhkan pematokan harga oleh pemerintah, karena kenaikan harga bisa jadi disebabkan oleh faktor-faktor di luar keinginan penjual. Pada kondisi seperti itu, penetapan harga ditakutkan akan mendzalimi salah satu pihak, sehingga Rasulullah saw enggan melakukannya. Sedang jika kenaikan harga atau kelangkaan barang di pasar diakibatkan oleh perilaku pedagang yang curang atau penimbunan sebagaimana banyak terjadi pada saat ini, maka tas’īr dibolehkan, bahkan wajib dilakukan. Disini para ulama’ melihat hikmah dan maqāṣid di balik hadis tersebut., bukan melihat lahiriyahnya semata.60 Kebolehan penetapan harga oleh pemerintah juga dikuatkan oleh hadis lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Dalam hadis tersebut Rasulullah saw melarang tambahan atas harga pasar dalam memerdekakan budak. Larangan ini menurut Ahmad al-Sālus adalah hakekat pematokan harga, yaitu penetapan harga yang tidak boleh dilanggar dengan menjual di atas harga yang ditetapkan. Rasulullah saw ketika mewajibkan harga pasar dalam memerdekakan budak berarti beliau mewajibkan pematokan harga. Oleh karena itu jika pemerintah melihat bahwa kenaikan harga di pasar tidak disebabkan oleh
60
Ibid., 132-133
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
250
kelangkaan barang secara alami, tetapi disebabkan oleh ulah pedagang, maka pemerintah boleh melakukan pematokan harga.61 Khalifah Umar bin Khattab juga pernah memaksa pedagang dari luar kota untuk mengikuti harga yang berlaku di pasar. Abd al-Razzāq dalam al-muṣannaf, Imam Mālik dalam al-muwaṭṭa’ dan Ibn Hazm dalam al-muḥallā meriwayatkan bahwa khalifah Umar bin Khattab pernah lewat di depan Ḥātib bin Abī Balta’ah yang sedang menjual anggur kering. Khalifah Umar bertanya: “Bagaimana engkau menjualnya wahai Hatib?”. Hatib menjawab: “Dua mud62 seharga satu dirham”. Khalifah Umar kemudian berkata: “Sungguh telah datang kafilah dagang dari Thaif dengan membawa anggur kering. Engkau telah menentukan harga yang diikuti oleh mereka. Kalian telah membeli dari rumah-rumah penduduk kami kemudian kalian bawa ke pasar kami dan menjualnya dengan semau kalian? Juallah satu ṣā’ (empat mud) dengan harga satu dirham. Kalau tidak mau, maka janganlah berdagang di pasar kami. Berjalanlah di muka bumi dengan mengais barang dagangan yang tidak punya tempat di pasar, kemudian juallah sekehendak kalian”.63 Dengan demikian Ijtihad Hizbut Tahrir yang mengharamkan penetapan upah oleh pemerintah semata melihat pada literal teks tanpa memperhatikan maqāṣid al-sharī’ah dan kemaslahatan sehingga melahirkan istinbāt yang melarang pematokan harga. Hasil ijtihad ini diberlakukan kepada penetapan upah
61
Al-Salus, Fiqh al-Bai’, 82-83 Satu Mud adalah takaran sebanyak isi telapak tangan orang yang sedang, yang dibentangkan dan mengisi keduanya. Atau juga satu mud sama dengan 1,3 riṭl. Dalam takaran kontemporer, 1 mud sama dengan sekitar 6 ons. 1 ṣā’ = 4 mud. 63 Muhammad Abdul Aziz al-Halawi, Fatwa dan Ijtihad Umar bin Khattab, Ensiklopedia Berbagai Persoalan Fiqih, terj. Zubeir Suryadi Abdullah (Surabaya: Risalah Gusti, 1999), 369 62
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
251
oleh pemerintah sehingga Hizbut Tahrir berpandangan pemerintah tidak boleh menetapkan tingkat upah. Sebagaimana dalam masalah pematokan harga, pendapat Hizbut Tahrir dalam masalah penetapan upah oleh pemerintah ini sejalan dengan pandangan beberapa ulama’ klasik khususnya madzhab Ẓāhiri dan berseberangan dengan beberapa ulama’ dan ahli ekonomi Islam, baik klasik maupun kontemporer. Ibn Taymiyah misalnya berpendapat bahwa penetapan upah oleh pemerintah adalah boleh jika berupa upah yang adil, bahkan pemerintah wajib menetapkan tingkat upah standar jika dibutuhkan. Dalam hal ini Ibn Taymiyah berkata: Adapun yang dimaksud dengan penetapan upah yang adil adalah jika pemerintah memaksa para pekerja industri untuk memakai jasa mereka, misalnya, dalam penyediaan pakaian ketika sangat dibutuhkan masyarakat, dengan menetapkan upah yang adil, sehingga menutup kemungkinan para konsumen memberi upah yang lebih rendah terhadap para pekerja atau mencegah para pekerja industri meminta upah melebihi kewajaran karena pekerjaannya adalah kewajiban. Dalam kasus seperti inilah kita temukan bahwa penetapan upah sebagai sesuatu yang wajib.64 Ibn Qayyim al-Jawziyah membagi al-tas’īr kepada al-tas’īr fi al-amwāl (penetapan harga) dan al-tas’īr fi al-a’māl (penetapan upah). Ibn Qayyim kemudian menjelaskan bahwa jika para pekerja bersekutu antar sesama mereka yang bertujuan untuk menaikkan upah, maka penetapan upah di sini adalah sebuah keadilan yang dibolehkan, bahkan wajib. Begitu juga jika masyarakat membutuhkan suatu barang atau jasa dari profesi tertentu seperti petani, penjahit, tukang bangunan dan lainnya maka pemerintah berhak memaksa mereka untuk memproduksi barang atau jasa tersebut dengan upah sepadan. Penetapan upah 64
Ibn Taymiyah, Tugas Negara, 41-42
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
252
sepadan disini merupakan penetapan upah dari pemerintah karena produsen atau pekerja tidak memperoleh besaran upah dari transaksi, tetapi berdasarkan upah sepadan di pasar. Lebih lanjut Ibn Qayyim mengatakan bahwa penetapan upah belum terjadi pada masa Nabi saw di Madinah karena masyarakat pada saat itu belum mempunyai orang yang berprofesi sebagai pembuat tepung dan membuat roti dengan imbalan upah, tetapi mereka membeli biji gandum kemudian menggiling dan membuat roti sendiri di rumah-rumah mereka.65 Pokok yang melingkupi hukum kebolehan penetapan harga dan upah atau sebaliknya adalah realisasi kemaslahatan umat dan menolak kemudharatan dari mereka. Ibn Taymiyah dalam kesimpulan akhirnya tentang penetapan harga mengatakan : Jika kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi ketika mereka berproduksi dan masyarakat dapat membeli produkya dengan harga yang biasa, maka dalam kondisi ini tidak diperlukan penetapan harga. Namun jika kebutuhan masyarakat tidak dapat terpenuhi kecuali dengan penetapan harga yang adil maka ditetapkanlah pada mereka harga yang adil, tidak lebih dan tidak kurang.66 Berdasar pandangan para ulama’ di atas, Mainstream pemikiran ekonomi Islam kontemporer membolehkan penetapan upah oleh pemerintah sepanjang kebijakan
tersebut
dibutuhkan
dan
merupakan
kemaslahatan
umum,
menghilangkan kemudharatan serta dalam rangka menegakkan keadilan dan menghilangkan kedzaliman. Kebolehan itu diikuti syarat bahwakebijakan tersebut
65
Ibn Qayyim al-Jawziyah, al-Ṭuruq al-Ḥukmiyah fi al-Siyāsah al-Shar’iyah (Beirut: Dār alKutub al-‘ilmiyah, 1998), 261 66 Ibn Taymiyah, Tugas Negara, 67
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
253
bersandar pada pendapat pakar yang berkompeten dalam memperkirakan upah yang adil, tanpa memberatkan salah satu pihak, pekerja dan pengusaha. Afzalur Rahman bahkan menegaskan bahwa menjadi tanggungjawab negara Islam untuk mempertimbangkan tingkat upah yang ditetapkan agar tidak terlalu rendah sehingga tidak mencukupi kebutuhan pokok pekerja dan juga tidak terlalu tinggi sehingga merugikan majikan. Dalam rangka penetapan upah yang layak, pemerintah perlu menetapkan tingkat upah minimum terlebih dahulu untuk menjadi acuan. Penetapan upah itu dengan mempertimbangkan perubahan kebutuhan pokok pekerja golongan bawah dan dalam keadaan apapun tingkat upah tidak akan jatuh di bawah standar tersebut. Tingkat upah minimum itu harus selalu ditinjau ulang untuk menyesuaikan perubahan tingkat harga dan biaya hidup.67 Di tempat yang lain, Afzalur Rahman menegaskan bahwa jika pada suatu waktu upah di pasaran jatuh di bawah tingkat minimum, maka negara Islam mempunyai hak yang sah untuk campur tangan dan menentukan upah minimum yang disesuaikan dengan kebutuhan pada saat itu.68 Yusuf al-Qardawi mengatakan bahwa penetapan upah oleh pemerintah dibolehkan jika bertujuan untuk menegakkan keadilan dan menghapus kedzaliman yang dilakukan oleh pihak yang kuat (pengusaha) terhadap pihak yang lemah (pekerja, buruh). al-Qardawi menegaskan bahwa syareat Islam jauh lebih dahulu daripada aliran-aliran ekonomi dan peraturan perundang-undangan konvensional
67 68
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid. 2., 365 Ibid., 374
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
254
dalam mewajibkan berlaku adil terhadap pekerja dan memenuhi haknya. Hal ini setidaknya tergambar dalam dua hadis berikut: .(وﻋﺒﺪاﻟﺮزاق
69
اﻋﻄﻮا اﻷﺟﲑ أﺟﺮﻩ ﻗﺒﻞ أن ﳚﻒ ﻋﺮﻗﻪ )رواﻩ اﺑﻦ ﻣﺎﺟﺔ واﻟﻄﱪاﱐ واﻟﱰﻣﻴﺪي واﳊﺎﻛﻢ
Berilah pekerja upahnya sebelum kering keringatnya (HR. Ibn Majah, alTabrani, al-Tirmidzi, al-Hakim, dan abd Razzāq)
ﺛﻼﺛﺔ أ ﺧﺼﻤﻬﻢ ﻳﻮم: ﻗﺎل ﷲ ﻋﺰ وﺟﻞ: ﻗﺎل ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺼﻼة واﻟﺴﻼم:ﻋﻦ أﰊ ﻫﺮﻳﺮة ﻗﺎل و رﺟﻞ ع ﺣﺮا وأﻛﻞ, رﺟﻞ أﻋﻄﻰ ﰊ ﰒ ﻏﺪر:اﻟﻘﻴﺎﻣﺔ وﻣﻦ ﻛﻨﺖ ﺧﺼﻤﻪ ﺧﺼﻤﺘﻪ 70 ( و رﺟﻞ اﺳﺘﺄﺟﺮ أﺟﲑا ﻓﺎﺳﺘﻮﰱ ﻣﻨﻪ وﱂ ﻳﻮﻓﻪ أﺟﺮﻩ")أﺧﺮﺟﻪ أﲪﺪ و اﻟﺒﺨﺎري,ﲦﻨﻪ Dari Abu Hurayrah berkata: “Rasulullah saw bersabda: Allah swt berfirman: tiga orang yang Aku adalah musuhnya pada hari kiamat dan barangsiapa Aku adalah musuhnya maka Aku memusuhinya: seseorang yang memberi karena-Ku kemudian khianat, seorang yang menjual orang merdeka kemudian memakan harganya dan seseorang yang mempekerjakan pekerja yang pekerja tersebut memenuhi pekerjaannya namun orang yang mempekerjakan tersebut tidak memenuhi upahnya”. (HR. Ahmad dan Bukhari). Berdasarkan itu syareat Islam membuka diri bagi peraturan dan undangundang yang menjamin upah yang adil bagi pekerja dan meluruskan hubungan antara buruh dan majikan berdasar asas yang kokoh sehingga pihak yang kuat tidak mendzalimi yang lemah dan salah satu kelompok tidak mengeksploitasi yang lain untuk kepentingan dirinya. Dengan keterbukaan ini juga, Islam tidak meninggalkan lubang kosong yang bisa dimasuki oleh aliran-aliran rusak untuk mempengaruhi kaum pekerja dan menarik mereka ke dalam kelompoknya,
69
Hadis ini diriwayatkan oleh banyak jalan: Ibn Majah, hadis nomor 2443 dari Ibn ‘Umar; Abd alRazāq dari Abū Hurayrah; al-Tabrani meriwayatkan dari Jabir; al-Hakim dan al-Tirmidzi meriwayatkannya dari Anas. Masing-masing riwayat tersebut dha’if tetapi karena banyak maka saling menguatkan, sehingga hadis ini ditulis oleh al-Albani dalam ‘Ṣaḥīḥ al-Jāmi’ al-Ṣaghīr’. Lihat: al-Qardawi, Fatāwā Mu’āsirah, 621; Abū Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwayni Ibn Mājah, Sunan Ibn Mājah Vol. 2 (Beirut: Dār al-Fikr, 2004), 20 70 Hadis riwayat al-Bukhari. Lihat Misalnya: Al-Shawkani, Nayl al- Awṭār Vol.5, 292-293
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
255
menganggap bahwa hanya mereka yang membela hak-hak kaum buruh dan memperjuangkan kemaslahatannya. 71 Ahli ekonomi Islam kontemporer, Mundhir Qahf, mengatakan bahwa pada dasarnya mekanisme harga dan upah adalah diserahkan ke pasar berdasar hukum penawaran dan permintaan. Namun jika kondisi menuntut pemerintah bisa campur tangan berupa kebijakan harga dan pendapatan, yang di dalamnya termasuk pengaturan tentang harga dan upah. Oleh karena itu kebijakan ini dibatasi dengan beberapa rambu berikut: a. Pengaturan harga dan upah oleh pemerintah merupakan alternatif dalam rangka menyelesaikan permasalahan ekonomi seperti penghapusan kedzaliman, monopoli dan pemerataan pendapatan. Dalam hal ini dikedepankan kemaslahatan umum daripada kemaslahatan sebagian individu atau bahkan mengorbankan kemaslahatan individu dalam rangka menghapus kemudharatan yang umum. b. Oleh karena hukum dasarnya adalah membiarkan tingkat harga dan upah berdasarkan kekuatan pasar, maka hendaknya kebijakan harga dan upah ini bersifat temporer dan mengikuti kebijakan fiskal dan moneter. c. Kebijakan ini harus memenuhi kriteria keadilan antar pihak-pihak yang terkait dan terkena dampaknya, sehingga penghapusan kedzaliman atau mengatasi permasalahan ekonomi tidak dilakukan dengan berlaku kedzaliman dalam wujud yang lain.
71
Yusuf al-Qardāwi, Min Hady al-Islām Fatāwā Mu’āsirah, Vol. 1, 617-619
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
256
d. Hendaknya standar upah yang ditetapkan oleh pemerintah dalam setiap industri dan produksi dikaitkan dengan tingkat harga dari produk-produk industri tersebut. Hal ini karena kenaikan upah akan berpengaruh pada inflasi. Bila penetapan upah tidak dikaitkan dengan tingkat harga, maka bisa jadi kenaikan upah tersebut tidak banyak pengaruh kepada pekerja, karena walaupun tingkat upah naik ternyata secara riil tingkat upah yang sebenarnya turun, sehingga pihak pekerja kembali menjadi pihak yang dirugikan.72 Setiawan Budi Utomo juga menegaskan bahwa dalam ekonomi Islam pemerintah boleh menetapkan tingkat upah tertentu jika dibutuhkan. Menurutnya tugas pemerintah bersifat positif, luas, dan fleksibel, meliputi seluruh aktivitas dan pranata sosial yang dapat mengenyahkan praktik kezhaliman dan menegakkan keadilan. Pemerintah juga bertanggungjawab menghindarkan berbagai bentuk dan unsur yang membahayakan kehidupan sosial dan yang memicu aksi kerusuhan dan konflik horizontal maupun vertikal sehingga terwujud kehidupan masyarakat yang adil makmur penuh semangat solidaritas dan kesetiakawanan sosial. Oleh karena itu tidak relevan jika ada anggapan bahwa kebijakan pemerintah yang adil itu bertentangan dengan statemen eksplisit syariat. Justru keadilan itu sesuai dengan syariat, bahkan merupakan bagian integral darinya. Islam sebenarnya telah memelopori dunia dengan mewajibkan pemerintah, pengusaha dan majikan untuk bersikap adil terhadap pekerja serta menunaikan semua hak-hak mereka. Ketentuan syariat yang tidak sempit ini memungkinkan
72
Mundhir Qahf, al-Siyāsat al-Māliyah, 106-108
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
257
umat manusia leluasa merancang berbagai peraturan, termasuk Upah Minimum yang adil. Hal ini tentu saja bertujuan supaya tidak ada pihak yang mengeruk keuntungan di atas penderitaan pihak lain, dan agar satu golongan tidak mengeksploitasi golongan lain demi mencari keuntungan, serta menutup peluang bagi pihak ketiga yang memanfaatkan situasi konflik kepentingan buruh-majikan dengan memprovokasi para buruh dan karyawan mengatasnamakan pembelaan hak dan kepentingan buruh yang identik golongan wong cilik. Pemerintah dapat menentukan upah minimum yang layak bagi mereka yang rasional berdasarkan indeks harga konsumen lokal. Di samping itu dengan standar gaji dan upah yang ditetapkan, pemerintah dapat mencegah terjadinya aksi menuntut upah dan gaji yang lebih tinggi dari standar yang realistis. 73 Lebih lanjut, Setiawan Budi Utomo menegaskan bahwa peranan dasar upah minimum sangat diperlukan dalam ekonomi industrial kontemporer. Urgensi tersebut pada prinsipnya sebagai berikut: 1. Memberikan perlindungan bagi pegawai/buruh berpenghasilan rendah yang dianggap rentan dalam pasar kerja; 2. Menjamin pembayaran upah yang dianggap wajar, yang tidak terbatas pada kategori pembayaran upah terendah; 3. Memberikan perlindungan dasar pada struktur upah sehingga merupakan jaring pengaman terhadap upah yang terlalu rendah; 4. Sebagai instrumen kebijakan makro ekonomis untuk mencapai tujuan nasional berupa pertumbuhan dan stabilitas ekonomi, serta pemerataan penghasilan; 5. Pada umumnya untuk menjamin agar pegawai/buruh menerima pada waktu dan tempat tertentu upah yang dianggap layak; 6. Menghapuskan 73
Setiawan Budi Utomo, Penetapan Upah Minimum Dalam Hubungan Industrial (Bagian 1) Dalam: http://www.dakwatuna.com/2009/11/4617/penetapan-upah-minimum-dalam-hubunganindustrial-bagian-ke-1/
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
258
eksploitasi; 7. Memelihara daya beli; 8. Pengentasan kemiskinan; 9. Menghapuskan persaingan yang tidak jujur; 10. Menjamin pembayaran yang sama untuk pekerjaan yang sama; 11. Pencegahan konflik industrial; 12. Mendukung pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.74 Hendrianto
menyatakan
bahwa
faktor-faktor
kemanusiaan
dalam
penentuan upah yang Islami dapat berasal dari dua sumber, yaitu (1) pihak internal musta’jir (pengusaha) itu sendiri, dan (2) pihak eksternal, yaitu pemerintah. Secara internal seorang pengusaha muslim akan menerapkan nilainilai kemanusiaan sebagai implementasi dari keimanannya. Akan tetapi pemerintah juga memiliki tugas untuk intervensi dalam penentuan upah sedemikian rupa sehingga tercipta tingkat upah yang adil. Intervensi pemerintah ini dilandasi oleh dua hal, yaitu:
1). Adanya kewajiban untuk mengawasi,
menjaga dan mengoreksi implementasi nilai-nilai keIslaman kehidupan rakyatnya, termasuk dalam kebijakan pengupahan; 2). Adanya kewajiban pemerintah untuk menjaga keadilan dan kesejahteraan rakyatnya, baik pengusaha maupun pekerja (musta’jīr dan ajīr).75 Kriteria adil dalam pengupahan harus memperhatikan kondisi pengusaha maupun pekerja, bukan hanya salah satunya. Tingkat upah yang adil merupakan tujuan kebijakan pengupahan dalam Islam sehingga tidak dapat dibenarkan pemerintah
menetapkan
suatu
upah
hanya
semata-mata
karena
ingin
74
Setiawan Budi Utomo, Penetapan Upah Minimum Dalam Hubungan Industrial (Bagian 2) Dalam http://www.dakwatuna.com/2009/11/4620/penetapan-upah-minimum-dalam-hubunganindustrial-bagian-ke-2/ 75 Hendrianto, Pengantar Ekonomika, 232
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
259
meningkatkan kesejahteraan para buruh di satu sisi, tetapi menimbulkan kemudharatan kepada para produsen dan pengusaha di sisi lain. Misalnya titik keseimbangan pasar ditunjukkan oleh perpotongan antara kurva permintaan efektif tenaga kerja (DE) dengan kurva penawarannya (SL), yaitu pada titik M. Pada titik ini tingkat upah pasar adalah Wm. Seandainya pemerintah memandang bahwa tingkat upah ini belum memadai bagi tercukupinya kesejahteraan para buruh, maka pemerintah akan mengeluarkan kebijakan tingkat upah minimum. Penetapan tingkat upah minimum ini tidak akan mendistorsi pasar seandainya tingginya masih di bawah VACL, sebab kisaran upah yang Islami berada diantara VMCL dan VACL. Prinsip inilah yang harus dipegang, jika pemerintah melakukan kebijakan penetapan upah. Para pengusaha dan produsen akan menganggap bahwa kenaikan tingkat upah ini masih berada dalam batas-batas toleransi pertimbangan ekonomi dan kemanusiaannya. Upah SL
A
B
W2
U2 C
W1 Wm
U1 T M
VACL DE VMCL Kuantitas tenaga kerja Gambar 6.3: Kebijakan Upah Minimum Dalam Perekonomian Islam
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
260
Tetapi, seandainya tingkat upah minimum ini ditetapkan di atas VACL, misalnya W2U2, maka akan terjadi excess supply. Hal ini terjadi karena penawaran tenaga kerja tidak seimbang dengan permintaannya. Permintaan efektif tenaga kerja sebanyak A sedang penawarannya adalah sebanyak B, sehingga terdapat excess supply sebesar segitiga ABC. Peningkatan upah di atas VACL tidak akan diterima oleh para pengusaha, sebab di luar kalkulasi ekonomis maupun kemanusiaannya. Sebagaimana dalam pasar barang, adanyan excess supply akan memunculkan berbagai dampak negatif, misalnya pasar gelap tenaga kerja. Oleh karena itu penetapan tingkat upah minimum yang seperti ini justru akan mendistorsi terciptanya upah yang adil yang diinginkan oleh Islam. Karena itu, seandainya tingkat upah pasar maupun penetapan tingkat upah minimum di bawah VACL benar-benar tetap tidak mampu menyejahterakan para buruh, maka pemerintah dapat menempuh dua jenis kebijakan, yaitu: 1). Memberikan subsidi kepada para pengusaha sehingga tetap dapat memberikan upah yang layak kepada para buruh; 2). Memberikan subsidi atau tunjangan sosial kepada para buruh tanpa mengganggu tingkat upah pasar yang terjadi. Jadi di sini para buruh dibiarkan menerima tingkat upah pasar atau tingkat upah yang ditentukan
oleh
pemerintah,
sementara
untuk
memenuhi
kebutuhannya
pemerintah memberikan subsidi atau tunjangan sosial.76 Dari paparan di atas dapat diringkas bahwa Hizbut Tahrir memandang bahwa intervensi pemerintah dalam bidang pengupahan dengan menetapkan
76
Ibid., 232-234
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
261
tingkat upah adalah tidak dibolehkan kecuali ketika terjadi kedzaliman salah satu pihak terhadap pihak lain. Dalam hal ini pemerintah wajib intervensi dengan menetapkan upah sepadan (ajr al-mithl). Pandangan Hizbut Tahrir ini berbeda dengan pendapat mayoritas ulama dan ahli ekonomi Islam baik klasik maupun kontemporer yang membolehkan penetapan upah oleh pemerintah sepanjang kebijakan tersebut dibutuhkan dan dalam rangka menegakkan keadilan. Namun mayoritas ulama’ menegaskan bahwa kebolehan kebijakan penetapan upah oleh pemerintah ini dengan syarat kebijakan tersebut bersandar pada pendapat pakar yang berkompeten dalam memperkirakan upah yang adil, tanpa memberatkan salah satu pihak, baik pekerja maupun pengusaha. Dari sudut flesibilitas politik ekonomi Islam, dapat dikatakan bahwa pengharaman penetapan tingkat upah mininum oleh negara dalam segala kondisi adalah kurang tepat. Apalagi pengharaman tersebut hanya berdasar analog (qiyās) atas penetapan harga. Bila para pemimpin umat Islam serta para ulama’ terdahulu berpendapat bisa berubahnya hukum yang ada teksnya karena perubahan konteks waktu dan kondisi, tentu perubahan atas hukum yang berdasar qiyās jauh lebih dimungkinkan. Oleh karena itu mayoritas ulama meletakkan penetapan tingkat upah oleh pemerintah ke dalam al-maṣlaḥah al-mursalah karena berkenaan dengan kemaslahatan mayoritas masyarakat muslim.77 Tinggi atau rendahnya tingkat upah langsung menyangkut pribadi manusia, harga diri dan statusnya dalam masyarakat, serta merupakan faktor penting yang mempengaruhi taraf hidup masyarakat . Oleh karena itu masalah 77
Lihat mislanya: Muhammad Assal dan Fathi Ahmad Abdul karim, Sistem, prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam, terj. Imam Syaifudin (Bandung; Pustaka setia, 1999), 172
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
262
upah merupakan masalah yang peka dan hangat dibicarakan. Persoalan ini ibarat lingkaran syetan bagi industri, buruh dan pemerintah. Pemerintah harus jeli memperhatikan efek dari kebijakan pengupahan dan harus ditinjau dalam skala waktu tertentu dengan menimbang kondisi sosial ekonomi yang melingkupinya. 78 Nejatullah Siddiqi mengatakan bahwa dalam mengatasi masalah distribusi kekayaan, pemerintah dapat mengambil beberapa alternatif kebijakan. Alternatif kebijakan tersebut diantaranya subsidi langsung, subsidi tidak langsung serta kebijakan intervensi pasar barang dan pasar tenaga kerja. Penetapan tingkat upah tertentu dalam ekonomi adalah kebijakan sulit yang harus dipikirkan matang efek negatif dan positifnya. Bisa jadi kebijakan tersebut efektif dalam satu kondisi namun tidak efektif pada kondisi yang lain.79 Dinamisasi dan fleksibilitas politik ekonomi bahkan merupakan salah satu karakter ekonomi Islam. Al-Sālūs mengatakan bahwa salah satu ciri ekonomi Islam adalah mengumpulkan antara yang paten (thabāt) dan yang berubah (murūnah). Ketentuan yang bersifat paten adalah ketentuan-ketentuan pokok dan prinsip. Sedang ketentuan yang fleksibel dan bisa berubah adalah dalam masalah cabang. Penggabungan dari dua hal inilah yang menjadikan ekonomi Islam bisa faktual sepanjang zaman dan bisa mengikuti perkembangannya.80 Memang oleh sebagian ekonom, penetapan upah oleh pemerintah dianggap kebijakan usang. Apalagi jika tidak dikelola dengan baik akan 78
Eggi Sudjana, Buruh Menggugat: Perspektif Islam (Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 2002), 88 Muhammad Nejatullah Siddiqi, The Role of The State in the Economy in Islamic Perspektive (Leicester: The Islamic Foundation, 1996), 23-34; Juga bisa lihat tulisan Nejatullah Siddiqi “The Guarantee of a Minimum Level of Living in an Islamic State” dalam: Munawar Iqbal (ed), Distributive Justice and need Fulfilment in an Islamic economy (Leicester: The Islamic Foundation, 1988), 268-281 80 Ali Ahmad al-Sālūs, al-Iqtiṣād al-Islāmi (Kairo: Dar al-Salām, 1996), 20 79
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
263
berdampak negatif.81 Namun demikian, penolakan atas campur tangan pemerintah dalam menetapkan tingkat upah mínimum secara umum yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir menjadikan sempitnya ruang ijtihad dalam ranah politik yang sangat luas dan dinamis serta permasalahannya yang kompleks. Oleh karena itu rigiditas pemikiran hukum dalam konteks ini bisa berakibat ketidak mampuan negara Islam mengelola ekonomi negara. Kesalahan mengambil kebijakan ekonomi bisa berakibat perekonomian negara mundur dan hasilnya bisa berseberangan dari tujuan dibuatnya kebijakan tersebut. Lebih dari itu kemunduran ekonomi negara yang dibangun atas nama Islam bahayanya tidak hanya menimpa negara tersebut. Rakyat akan menuduh Islam tidak mampu mengelola negara yang akibatnya banyak yang lari dari Islam.82 Manusia adalah sumber daya paling efektif dan berperan dalam pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu manajemen sumber daya manusia adalah sangat penting. Uniknya sumber daya manusia itu mempunyai perilaku dan perasaan yang bila dikelola dengan baik akan menghasilkan kemajuan ekonomi. Namun sebaliknya jika tidak dikelola dengan baik akan berefek negatif. Hal ini dapat dilihat bahwa negara dengan sumber daya manusia yang sama menunjukkan kemampuan pertumbuhan ekonomi yang berbeda.83 Kebijakan negara secara makro dan kebijakan perusahaan secara mikro akan berpengaruh pada produktifitas tenaga kerja.
81
Siddiqi, The Role, 30-31 Muhammad al-Ghazali, al-Islām wa al-Awḍā’ al-Iqtiṣādiyah (Damaskus: Dār al-Qalam, 2000), 70 83 Ahmad Syakur, Dasar-dasar Pemikiran Ekonomi Islam (Kediri: STAIN Kediri Press, 2011), 203 82
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
264
Secara mikro filosofi penetapan upah atau kompensasi seharusnya didasarkan pada proposisi manajemen sumber daya manusia bahwa sumber nilai terpenting adalah orang, dalam hal ini adalah karyawan. 84 Suatu perusahaan yang tidak melakukan manajemen kompensasi dengan baik akan gagal dalam jangka panjang. Secara jangka pendek, penetapan tingkat upah yang rendah atau di bawah upah pasaran akan berefek positif bagi perusahaan, namun dalam jangka panjang akan berakibat perusahaan tidak mendapat tenaga kerja yang profesional.85 Begitu juga secara makro, kesalahan manajemen pasar tenaga kerja bisa berakibat buruk bagi negara dan masyarakat. Pemahaman atas akar masalah adalah sangat penting untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Suatu kondisi yang sama namun penyelesaian dengan kebijakan yang berbeda dalam waktu dan tempat yang berbeda. Kaidah dasar politik ekonomi adalah boleh selama tidak mendzalimi pihak lain.86 Pemahaman atas realitas ekonomi yang melandasi suatu problem tenaga kerja serta konsekuensi-konsekuensi logis dari kebijakan ketenaga kerjaan, menurut peneliti, jauh lebih penting dari penekanan atas keharaman suatu kebijakan politik hanya berdasar kepada qiyās yang bisa jadi hal itu merupakan qiyās ma’a al-fāriq (analog atas obyek yang berbeda). Sifat pasar tenaga kerja
84
Ismail Nawawi mengatakan bahwa sumber daya adalah harta yang paling penting yang dimiliki oleh organisasi, sedangkan manajemen yang efektif adalah kunci bagi keberhasilan organisasi tersebut. Lihat : Ismail Nawawi, Islam dan Bisnis, Pendekatan Ekonomi dan manajemen, Doktrin, Teori dan Praktik (Surabaya: VIV Press, 2011), 716 85 M. Kadarisman, Manajemen Kompensasi (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012), 59 86 Mundzir Qahf, al-Siyāsāt, 107
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
265
berbeda dengan sifat pasar barang, oleh karena itu analogi pasar tenaga kerja atas pasar barang bisa dikatakan sebagai qiyās ma’a al-fāriq. Tabel 6.1: Perbandingan Pandangan Hizbut Tahrir dan ekonom muslim mainstream
N Indikator o 1 Standar upah
2
3
Pandangan Hizbut Tahrir Berdasar manfa’at al-Juhd (manfaat kerja), upah tidak boleh ditentukan berdasar halhal di luar itu, seperti kebutuhan pokok pekerja, upah pasaran dan lainnya
Pandangan Ekonom muslim mainstream Penetapan upah berdasar 2 hal: nilai kerja dan kebutuhan pokok pekerja dan keluarganya
Upah - Upah sepadan berarti upah - upah sepadan adalah sepadan yang sepadan dengan upah yang umum (ujrah almanfa’at al-juhd dan berlaku di pasar dalam mithl) ditentukan oleh pakar, bukan jenis pekerjaan tertentu. berdasar harga pasar atau urf. - Upah sepadan mengikat - Upah sepadan tidak mengikat pengusaha dan bisa pengusaha dalam dijadikan patokan menetapkan upah sebagai upah standar oleh pemerintah Intervensi - Pemerintah tidak boleh - Pemerintah boleh pemerintah menetapkan tingkat upah menetapkan tingkat dalam tertentu, karena hal itu upah tertentu jika menetapka mendzalimi salah satu dianggap maslahat n tingkat pihak. - Tanggungjawab negara upah - Pemerintah boleh intervensi dalam pemenuhan ketika terjadi kedzaliman. pokok rakyat bukan - Pemenuhan kebutuhan berarti Negara pokok pekerja adalah memenuhi kebutuhan kewajiban pemerintah, dan mereka secara langsung, tidak boleh namun Negara lebih memindahkannya kepada berperan sebagai pengusaha dalam wujud mediator dan regulator. penetapan tingkat upah minimal.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
266
D. Implikasi dan relevansi Upah Perspektif Hizbut Tahrir Dalam Kajian Ekonomi Islam Kontemporer 1. Hizbut Tahrir dan ilusi Pasar persaingan sempurna Konsep Hizbut Tahrir tentang upah sebagaimana dibahas di depan berangkat dari idealisme gerakan ini, di mana ketika negara khilafah berdiri, maka semua tatanan kehidupan secara otomatis menjadi ideal. Padahal dalam tataran realitas kondisi ideal ini tidak pernah terwujud. Hizbut Tahrir tidak menyadari bahwa sistem khilafah dalam sejarah telah melahirkan penguasa-penguasa otoriter yang menindas rakyat atas nama Tuhan. Karena itulah, dalam disertasinya, Ainur Rofiq al-Amin menyimpulkan bahwa teori khilafah Hizbut Tahrir membuka peluang terbentuknya negara absolute dan pemerintahan autokratik.87 Demikian juga dalam bidang ekonomi, pemikiran Hizbut Tahrir berangkat dari kondisi ideal dalam bentuk pasar persaingan sempurna. Dalam teori ekonomi, pasar persaingan sempurna terbentuk ketika semua pihak dalam pasar berfungsi secara ideal dan tidak ada pihak yang lebih dominan dibanding yang lain. Standar pengupahan yang berdasar pada manfa’at al-juhd dan menyerahkan penetapan upah sepenuhnya pada duabelah pihak yang bertransaksi, pekerja dan pengusaha, serta ketidakbolehan campurtangan pemerintah dalam menentukan tingkat upah tertentu sebagaimana diyakini oleh Hizbut Tahrir merupakan kondisi ideal pada kondisi pasar persaingan sempurna. Dalam pasar persaingan
87
Ibid., 168-174
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
267
sempurna harga atau tingkat upah yang terwujud merupakan implementasi dari keadilan. Pasar persaingan sempurna dalam pasar barang saja pada saat ini sulit terwujud. Dalam komoditas pertanian, terutama gabah, seringkali produsen (petani) menjadi pihak yang lemah dibanding konsumen dan pedagang besar. Kebutuhan petani untuk menjual hasil pertanian pada saat panen berakibat naiknya penawaran yang tidak diimbangi dengan meningkatnya permintaan sehingga berakibat menurunnya harga. Kondisi ini dimanfaatkan oleh para pedagang untuk mengambil keuntungan dengan membeli gabah dari petani dengan harga sangat murah, kemudian menyimpannya dan menjual kembali pada saat harga mahal. Untuk melindungi petani, pemerintah memandang perlu untuk menetapkan harga yang berupa harga dasar gabah. Para pedagang tidak boleh membeli gabah dengan harga di bawah yang ditetapkan oleh pemerintah. Sebaliknya dalam bidang industri, seringkali konsumen menjadi pihak yang lemah dibanding produsen, sehingga pemerintah berusaha melindungi konsumen dengan menetapkan harga eceran tertinggi (HET). Dengan kebijakan ini, produsen tidak boleh menjual hasil produksinya melebihi harga yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Jika dalam pasar barang saja pasar persaingan sempurna sangat sulit terwujud, apalagi dalam pasar tenaga kerja. Karakteristik pasar tenaga kerja yang berbeda dengan pasar barang menjadikan pasar persaingan sempurna lebih sulit terwujud daripada dalam pasar barang.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
268
Dalam menjalankan proyek besar reformasi tata kehidupan, Yusuf al-Qardawi menekankan pentingnya gerakan Islam untuk memahami fiqh al-da’wah88 yang didalamnya mencakup beberapa poin yang harus dipahami untuk melakukan aksi. Pemahaman-pemahaman tersebut adalah pemahaman atas teks (fiqh al-nuṣūṣ) yang merupakan tatanan ideal, pemahaman atas realitas (fiqh al-wāqi’) yang akan diubah ke arah ideal, fiqh pertimbangan (fiqh muwāzanah) serta fiqh prioritas (fiqh awlawiyāt). Sebagaimana perlu ditekankan sunnah al-tadarruj, kemestian melakukan perubahan secara secara bertahap (gradual) dengan melihat realitas yang ada (wāqi’) serta arah perjuangan mana yang harus diprioritaskan.89 Dalam konteks di atas, seharusnya dalam realitas pasar tenaga kerja di negara-negara berkembang yang mayoritas muslim saat ini prioritas perjuangan adalah bagaimana menciptakan kesejahteraan pekerja, menciptakan SDM yang handal, memperbanyak lapangan kerja sehingga pasar akan mendekati persaingan sempurna. Selama kondisi pasar belum kondusif, maka hal-hal yang bertujuan melindungi tenaga kerja, seperti kebijakan upah minimum oleh negara harus tetap dijalankan. Penafian atas pentahapan dalam dakwah kepada Islam90 dan kesalahan menentukan prioritas bisa berakibat fatal. Seruan untuk menolak
88
Secara umum fiqh al-da’wah adalah pemahaman-pemahaman dan aturan yang harus dimengerti dan dilakukan oleh pelaku dakwah (da’i) agar ajakannya lebih mudah diterima oleh masyarakat. 89 Yusuf al-Qardawi selalu menekankan pentingnya hal ini dalam banyak karya-karyanya. Diantaranya Lihat: Yusuf al-Qardawi, Awlawiyāt al-Ḥarakah al-Islāmiyah fi al-Marḥalah alQādimah. (Kairo: Maktabah Wahbah, 1992). 90 Ḥizb al-Taḥrīr menolak pentahapan dalam penerapan Islam, dan mengharuskan Islam diterapkan sekaligus dan bersamaan.. Lihat Ḥizb al-Taḥrīr , Manhaj Ḥizb al-Taḥrīr, 39
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
269
campurtangan pemerintah dalam pasar tenaga kerja pada kondisi yang tidak ideal, justru akan menjerumuskan nasib kaum pekerja. 2. Mekanisme Pasar dan Hegemoni kapitalis Salah satu perbedaan mendasar antara pasar barang dengan pasar tenaga kerja adalah sulit untuk menyimpan unsur tenaga kerja di pasar. Tenaga kerja tidak akan menyimpan tenaganya pada saat upahnya rendah dan menunggu membaiknya kondisi. Hal ini berbeda dengan pasar barang yang dimungkinkan menunda penjualan pada saat harga rendah.91 Sebagaimana watak pasar ini menyangkut hajat hidup masyarakat dan efeknya bersifat jangka panjang. Karakteristik ini menjadikan pasar tenaga kerja agak berbeda dengan pasar barang. Dalam negara berkembang seperti Indonesia, jumlah investasi dan lapangan kerja cenderung terbatas, sedang jumlah tenaga kerja cenderung lebih banyak dari yang dibutuhkan.
Dari sini, dalam pandangan peneliti, sebuah kesalahan jika pemikiran ini diadopsi dan diterapkan dalam kondisi pasar yang tidak bersaing sempurna seperti di Indonesia, di mana pihak pekerja merupakan pihak yang lemah dibanding pengusaha. Penolakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) atas demo kaum buruh yang menuntut kenaikan upah minimum bisa dikatakan merupakan bentuk dukungannya kepada pengusaha dan kaum kapitalis. Hizbut Tahrir menolak tuntutan tersebut dan sebaliknya mengatakan bahwa pemerintah Indonesia tidak berhak menentukan tingkat upah minimum.Pemerintah harus menyerahkan urusan itu kepada pekerja dan pengusaha. 91
Ismā’īl Ibrāhim al-Badawi, al-Tawzī’ wa al-Nuqūd, 87-88
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
270
Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) langsung mendukung pendapat Hizbut Tahrir Indonesia tersebut dan menyebarluaskan pandangan tersebut sebagai penguat posisi mereka secara pemikiran di depan buruh dan pemerintah.92 Kayaknya Hizbut Tahrir tidak menyadari bahwa pemikiran mereka tentang upah bisa menguatkan hegemoni kapitalis atas kaum pekerja. Disamping peningkatan kualitas SDM dan peningkatan jumlah lapangan kerja, penetapan tingkat upah yang adil oleh pemerintah masih tetap diperlukan dalam rangka melindungi tenaga kerja dari eksploitasi pengusaha. Kebijakan penetapan upah tersebut baru bisa ditinggalkan pada saat kualitas SDM tenaga kerja betul-betul baik dan lapangan kerja terbuka lebar. 3. Keadilan normatif versus keadilan substantif Mengharapkan semua rakyat di negara Islam menjadi orang yang baik adalah harapan yang jauh panggang dari api. Mengharapkan semua pelaku usaha berlaku Islami, tidak mengeksploitasi satu dan lainnya, tidak memanfaatkan kelemahan kaum pekerja dan lainnya adalah harapan yang tidak pernah tercapai. Pelaku kejahatan akan selalu ada di manapun dan kapanpun. Oleh karena itu diperlukan aturan hukum formal yang mengantisipasi adanya kejahatan atau kedzaliman yang dilakukan satu pihak terhadap pihak lain. 92
Lihat misalnya: http://suarapengusaha.com/2012/12/05/htipenetapan-umk-urusan-pengusahadengan-buruh-bukan-pemerintah/ diakses pada 15 Oktober 2013
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
271
Walaupun Hizbut Tahrir mengatakan bahwa pemerintah boleh turun tangan ketika terjadi kedzaliman dan wajib menghilangkan kedzaliman tersebut, namun implikasi dari konsep Hizbut Tahrir tentang standar upah dan upah sepadan menyempitkan makna kedzaliman. Hizbut Tahrir berpandangan bahwa penetapan nominal upah adalah hak prerogatif pengusaha dan pekerja yang dituangkan dalam akad ijārah yang disebut ajr muthammā, nominal upah yang disebutkan dalam akad, tidak ada pengaruh upah pasaran maupun kebijakan pemerintah. Pandangan ini berimplikasi bahwa berapapun nominal upah yang ditetapkan dalam akad, baik besar maupun kecil adalah adil dan tidak dzalim, yang pemerintah tidak boleh ikut campur. Kedzaliman hanya terjadi jika pengusaha tidak membayar upah sebagaimana tertuang dalam kesepakatan, mengulur-ulur pembayaran atau terjadi perselisihan dalam nominal upah dalam kasus upah tidak disebutkan dalam akad. Dengan pandangan ini, Hizbut Tahrir hanya berfikir secara normatif dan kedzaliman yang diperjuangkan untuk dihapus adalah kedzaliman normatif semata, tanpa melihat kedzaliman substantif. Begitu juga keadilan yang diperjuangkan baru menjangkau keadilan normatif, tidak sampai pada keadilan substantif.93 Hizbut Tahrir menganggap keadilan dengan berdasar prosedur formal transaksi atau akad yang
93
Dalam ranah hukum, keadilan substantif dimaknai sebagai keadilan yang sesuai dengan aturanaturan hukum substantif yang terkadang mengabaikan keadilan secara normatif, formal prosedural . sebaliknya keadilan normatif adalah keadilan yang hanya berdasar pada aspek formal, legal dan prosedural . Selain keadilan normatif, istilah lain yang sering digunakan adalah keadilan prosedural. Lihat: Anwar C, “Problematika Mewujudkan Keadilan Substantif dalam Penegakan Hukum di Indonesia” dalam Jurnal Konstitusi Vol.3 No.1, (Juni 2010), 128
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
272
dilakukan pekerja dan pengusaha, tanpa melihat kondisi yang melingkupi kesepakatan akad tersebut. Bisa jadi pekerja menyepakati nominal upah dalam akad karena terpaksa oleh kondisi ekonomi. Tuntutan kebutuhan hidup memaksanya untuk menerima tawaran nominal upah yang disodorkan oleh pengusaha, karena jika menolak dia tidak akan mendapatkan pekerjaan yang berarti tidak dapat penghasilan. Sementara pengusaha dalam posisi berkuasa dan bisa mencari pekerja lain yang mau menerima upah yang ditawarkan. Substansi kedzaliman yang muncul dalam kondisi seperti ini tidak diantisipasi oleh Hizbut Tahrir. Pola fikir normatif dalam ekonomi seringkali menjadi kritik dan kontroversi para ahli. Dalam jual beli dikenal jual beli al-’īnah maupun jual beli al-tawarruq. Sebagian ulama’ yang berfikir normatif prosedural membolehkan jual beli tersebut, sedang yang melihat pada substansi berpandangan bahwa jual beli itu haram karena substansinya adalah riba.94
94
Al-‘īnah berasal kata al-‘āin yang berarti uang cash, karena pembeli barang untuk sementara mengambil sejumlah uang cash sebagai pengganti barang tersebut. Al-‘īnah juga berarti pinjaman atau kredit, karena orang tersebut membeli barang dari penjual secara kredit. Secara istilah Jual beli ‘īnah yaitu seorang penjual menjual barangnya dengan cara ditangguhkan, kemudian ia membeli kembali barangnya dari orang yang telah membeli barangnya tersebut dengan harga yang lebih sedikit dari yang ia jual, namun ia membayar harganya dengan kontan sesuai dengan kesepakatan. Al-Tawarruq secara bahasa berasal dari waraq yang berarti uang perak, karena si pembeli barang tujuannya hanya ingin mendapatkan uang, bukan barang tersebut. Adapun secara istilah jual beli at-Tawarruq adalah seseorang membeli barang dari seorang penjual dengan cara kredit, kemudian ia menjual barang tersebut kepada pihak ketiga dengan cara kontan dengan harga lebih murah. Lihat misalnya: Ahmad Zain An-Najah, Hukum Jual beli al-‘Inah dan al-Tawarruq dalam http://www.ahmadzain.com/read/karya-tulis/456/hukum-jual-beli-alinah-dan-attawaruq/ diakses pada 10 Januari 2015
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
273
Pola pikir formal-prosedural tampak jelas pada kalimat al-Nawawi dalam mengemukan alasan madhhab al-Shāfi’I yang membolehkan jual beli al-‘īnah. Al-Nawawi mengatakan pembolehan itu karena yang kami perhitungkan adalah aspek lahiriyah dari akad, bukan pada apa yang ada dalam hati atau niat dua orang yang bertransaksi.95 Sedang ulama’ yang mengharamkan jual beli al-‘īnah, seperti Ibn Qayyim dan Ibn Taymiyah, melihat pada substansi akad tersebut, dan mengabaikan kesesuaian akad tersebut dengan aspek formal prosedural hukum. Mereka melihat kondisi yang melatarbelakangi akad tersebut. Secara umum orang yang melakukan transaksi jual beli al-‘īnah ini melakukannya karena terpaksa dan ada kebutuhan mendesak yang mendorongnya melakukan hal itu. Jika tidak ada kebutuhan mendesak, mana mungkin seseorang menyibukkan diri dengan jual beli tersebut.96 Begitu juga alternatif riba dalam perbankan syariah yang menggunakan akad-akad shar’iyah. Dalam prakteknya akad-akad tersebut sering dikritik sebagai hanya menghilangkan riba secara normatif, tetapi secara substantif riba tersebut belum hilang. Nasabah bank syariah harus mengeluarkan uang tambahan, baik disebut margin keuntungan, bagi hasil maupun fee (upah) yang mirip dengan bunga sebab aktivitas riil yang melandasi adanya tambahan tersebut tidak dijalankan oleh pihak bank.97
95
Al-Nawawi, al-Majmū’, Vol. 9, 249 Al-Sālūs, Fiqh al-Bay’, 720-721 97 Salah satu kritik atas bank syariah ini, baca misalnya: Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah, Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis, terj. Arif Maftuhin (Jakarta: Paramadina, 2004). 96
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
274
4. Upah sepadan dan Ambiguitas hukum Sengketa antara pekerja dan pengusaha dalam hal pengupahan menurut Hizbut Tahrir hanya terjadi pada saat nominal upah tidak disebutkan dalam akad. Dalam kasus ini penyelesaian sengketa ditentukan oleh mediator yang pakar dalam bidang pengupahan. Sang mediator, dalam menetapkan nominal upah, berdasar upah sepadan yang disimpulkan dari penetapan nilai kerja (manfa’at al-juhd). Jika tidak terjadi kata sepakat, maka penyelesaiannya diserahkan kepada pemerintah. Konsep penyelesaian sengketa versi Hizbut Tahrir ini dalam teori kelihatan sederhana dan mudah dipraktekkan. Namun dalam tataran implementasi tidak sesederhana itu. Manfa’at al-juhd atau nilai kerja adalah sesuatu yang abstrak, sehingga penilaiannya cenderung subyektif. Penilaian seorang pekerja atas manfaat usaha kerjanya akan berbeda dengan penilaian pengusaha atas manfaat usaha pekerja tersebut. Penilaian pekerja dan pengusaha akan berbeda dengan penilaian seorang pakar. Bahkan seorang pakar dengan pakar lainnya bisa berbeda hasil penilaiannya. Dengan demikian, praktek mediasi akan kecil kemungkinan berhasilnya dan akhirnya sengketa ditangani pemerintah, melalui peradilan. Ketika sengketa ditangani pemerintahpun subyektifitas bisa saja muncul. Hal ini dikarenakan pemerintah bukanlah pihak yang netral, tetapi pemerintah ikut berkepentingan. Pemerintah berkepentingan agar upah yang ditetapkan lebih tinggi, karena hal itu akan meringankan beban
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
275
pemerintah dalam menjamin kebutuhan hidup pekerja, sebagaimana pandangan Hizbut Tahrir. Oleh karena itu harus dipastikan para hakim yang menangani perkara ini harus independen dan netral dari berbagai kepentingan. Penyelesaian sengketa dalam ekonomi Islam secara umum ada dua, yaitu
al-taḥkīm
(perwasitan/arbitrase)
dan
al-qaḍā’
(peradilan).
Penyelesaian sengketa melalui al-taḥkīm adalah penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga yang menjadi penengah antara dua pihak yang berselisih. Sedang penyelesaian sengketa melalui peradilan adalah penyelesaian sengketa yang ditangani oleh negara melalui lembaga peradilan. Putusan peradilan ini bersifat mengikat dan harus dilaksanakan oleh semua pihak yang bersengketa.98 Dasar hukum atas eksistensi arbitrase dalam penyelesaian sengketa adalah firman Allah swt dalam surat al-Nisā’ ayat 35:
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik
98
Ramlan Yusuf Rangkuti, Sistem Penyelesaian Sengketa Ekonomi Islam: Instrumen Penting Bagi Konsep Ekonomi Islam Mendatang, dalam Jurnal Asy-Syir’ah, Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum Vol. 45 No. II Juli-Desember 2011, 1431-1440
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
276
kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.99 Dalam ber-tahkīm sebagaimana panduan ayat di atas hendaknya unsur dua belah yang bersengketa terwakili, sebagaimana hendaknya penengah (ḥakam atau arbriternya) bukan satu orang, melainkan dua orang atau lebih. Walaupun ikatan antara pengusaha dan pekerja tidak sekuat ikatan pernikahan, namun melihat pentingnya sebuah pekerjaan bagi seorang pekerja maka harus dipastikan kepentingan mereka terwakili dalam penyelesaian sengketa tersebut. Materi hukum menuntut adanya kejelasan bahasa yang tidak mengandung multi interpretasi dan objek sengketa yang mudah diukur. Ketiadaan syarat ini menjadikan ketentuan hukum akan bersifat ambigu, multiinterpretasi
dan
tidak
mudah
menyelesaikannya.
Efektifitas
penyelesaian sengketa tergantung dengan kejelasan objek sengketa. Penentuan upah yang sepadan dengan manfaat kerja sangat rumit dan tidak terukur. Manfaat kerja tersebut akan berbeda dari satu kondisi dengan kondisi lain dan dari orang satu dengan orang lain, sebagaimana berbeda ukurannya antara pekerja dengan pengusaha. Manfaat kerja menurut pekerja dikaitkan dengan kebutuhan hidupnya sedang bagi pengusaha manfaat kerja tersebut diukur berdasar kebutuhan hidup usahanya. 5. Relevansi Upah Perspektif Hizbut Tahrir Dalam Kajian Ekonomi Islam Kontemporer
99
Departemen Agama, Al-Qur’an dan terjemahnya, 66
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
277
Konsep upah perspektif Hizbut Tahrir di atas jika diterapkan secara utuh dan umum, bisa jadi umat Islam akan terjebak kepada kesalahan yang telah dilakukan oleh ekonomi kapitalis dan ekonomi sosialis. Pada satu sisi penyerahan tingkat upah pada pasar semata tanpa ada pengawasan pemerintah akan berakibat hegemoni kaum kapitalis. Di sisi yang lain, konsep jaminan kebutuhan hidup pokok rakyat oleh negara, bisa berujung pada kesalahan ekonomi sosialis, yaitu masyarakat akan malas bekerja karena kebutuhan hidupnya sudah terpenuhi. Oleh karena itu, menurut peneliti, konsep upah menurut Hizbut Tahrir tidak semua relevan dalam ekonomi Islam kontemporer, tetapi juga tidak bisa dikatakan semua pemikirannya tidak relevan. Dalam masalah standar upah, sebenarnya ada dua karakter pekerjaan dan akad kerjasama antara pekerja dan pengusaha yang berbeda. Dua karakter tersebut seharusnya mempunyai konsekuensi yang berbeda dalam penentuan standar pengupahan. Pertama, pekerjaan yang bersifat jangka panjang dan membutuhkan kerja penuh waktu seperti dalam pabrik dan perusahaan. Pekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya hanya bersandar pada gaji yang didapat dari pabrik atau perusahaannya. Sedang dia tidak bisa mencari tambahan penghasilan kecuali dengan mengorbankan waktu istrirahatnya di sore atau malam hari atau pada hari libur. Begitu juga dengan pembantu yang bekerja sepanjang hari bahkan 24 jam siap siaga membantu majikannya. Para pekerja dalam pekerjaan jenis ini seyogyanya mendapatkan gaji yang bisa memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya, sehingga pertimbangan para ahli ekonomi di atas yang menyatakan
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
278
standar pemenuhan kebutuhan hidup dalam upah pekerja lebih mendekati keadilan dan lebih layak bagi kemanusiaan. Kedua, pekerjaan yang secara karakteristiknya tidak membutuhkan seluruh waktu pekerja, atau dalam akadnya disepakati tidak menghabiskan waktu pekerja, seperti kerja hanya di pagi hari saja, atau pekerjaan insidental yang selesai dalam satu hari dan sebagainya. Termasuk jenis ini akad lembaga pendidikan dengan tenaga pengajar, di mana guru hanya mengajar mata pelajaran tertentu sesuai keahliannya dan pada jam-jam tertentu saja. Selain jam mengajar atau pada hari selain dia mengajar di lembaga pendidikan tersebut, sang guru bisa mengajar di tempat lain. Termasuk dalam jenis kerja ini juga akad-akad kerja jangka pendek dan insidentil, sebagaimana dilakukan oleh para profesi, seperti tukang jahit, tukang bangunan dan lain sebagainya. Dalam pekerjaan dengan karakter seperti jenis kedua di atas pandangan Hizbut Tahrir tentang standar upah menemukan relevansinya. Seyogyanya upah dalam akad ijārah dalam pekerjaan dengan karakter ini berdasar pada manfaat kerja (al-juhd) dan diserahkan pada mekanisme pasar. Pekerja masih bisa mencari penghasilan tambahan dengan bekerja pada perusahaan, lembaga atau orang lain andaikan upah yang didapat tidak mencukupi kebutuhan hidup diri dan keluarganya atau ingin meningkatkan taraf hidupnya. Bahkan suatu bentuk ketidak adilan jika perusahaan atau pengusaha dibebani pengupahan yang memenuhi kebutuhan hidup pekerja. Sedang dalam hal kebijakan penetapan upah oleh pemerintah, pemikiran Hizbut Tahrir yang mengharamkan penetapan tingkat upah tertentu oleh
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
279
pemerintah dan menyerahkan tingkat upah pada
mekanisme pasar relevan
diterapkan pada pasar persaingan sempurna. Yang mana tingkat upah yang adil dan memenuhi standar kebutuhan pekerja dapat terealisasi. Inilah gambaran ideal yang melatarbelakangi pemikiran Hizbut Tahrir tentang upah. Namun realitas kontemporer berbicara lain, pasar tenaga kerja di negaranegara berkembang lebih cenderung pada pasar monopsoni, yang mana perusahaan mempunyai kuasa lebih dalam menentukan tingkat upah di pasar, sedang pihak pekerja cenderung lemah. Banyaknya angkatan kerja yang tidak diikuti dengan lowongan kerja yang memadahi menjadikan penyerapan tenaga kerja tidak maksimal. Dalam pasar monopsoni, tingkat upah ditentukan oleh pengusaha, yang mana pengusaha dalam teori konvensional tingkat upah ditentukan oleh biaya marjinal tenaga kerja yang dihitung oleh pengusaha. Dalam pasar ini keseimbangan dicapai jika biaya marjinal tenaga kerja (marginal cost of Labour/MCL) harus sama nilainya dengan hasil penjualan produksi marjinal (marginal Revenue of Product/MRP). Sedang dalam pandangan Hizbut Tahrir tingkat upah ditentukan oleh pengusaha dengan memperhatikan manfaat kerja menurut versi pengusaha, yaitu sejauhmana pengusaha menghargai manfaat kerja pihak tenaga kerja dalam usaha atau produksi yang dijalankan, tanpa memperhatikan harga dari manfaat kerja tersebut menurut versi pihak pekerja, karena daya saingnya rendah. Tuntutan hidup memaksa para pekerja menerima tingkat upah yang ditetapkan oleh pengusaha. Tentu saja banyak tafsir bagi pengusaha dalam menghargai manfaat kerja dari tenaga kerja, karena sifat manusia yang ingin mengoptimalkan keuntungan
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
280
dirinya. Bila pengusaha memandang adanya celah dan kekuasaan untuk menekan biaya produksi dari sisi tenaga kerja, maka yang dilakukan oleh mereka adalah menekan tingkat upah semurah mungkin. Ketiadaan pandangan lain diluar biaya marjinal tenaga kerja atau manfaat tenaga kerja dalam pertimbangan tingkat upah dalam pasar yang mendekati monopsoni ini, menjadikan tingkat upah cenderung rendah dan seringkali tidak mencukupi kebutuhan hidup pekerja. Oleh karena itu kebijakan pemerintah dengan menetapkan tingkat upah minimum diperlukan. Kebijakan ini merupakan rambu-rambu bagi pengusaha dalam menentukan upah serta sebagai sarana melindungi pekerja dari eksploitasi pengusaha. Tujuan negara dalam Islam adalah amar ma’ruf nahi munkar, memperbaiki kondisi individu, masyarakat dan kemanusian serta membawa mereka ke arah maslahat dunia dan akhirat. Tujuan tersebut bersifat universal dalam setiap aspek kehidupan, termasuk di dalamnya ekonomi. karena itu menurut Sayyid Qutb tujuan pemerintah dalam bidang ekonomi adalah menciptakan kemaslahatan ekonomi yang berupa keadilan dan kesejahteraan ekonomi masyarakat dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai Islam.100 Pemerintah mempunyai kewajiban dalam pembangunan spiritual dam material. Kedua aspek ini harus diperhatikan agar perjalanan masyarakat tidak menyimpang dari harapan kesejahteraan di dunia dan di akhirat. Kesejahteraan spiritual merupakan hal yang sangat penting, tanpanya kesejahteraan materi tidak terwujud atau kalaupun terwujud kesejahteraan materi tersebut tidak banyak berarti. Keadilan dan kesejahteraan sosial dalam Islam lebih luas dari keadilan dan
100
Sayyid Qutb, al-Adālah al-Ijtimā’iyah, 84-85
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
281
kesejahteraan ekonomi. Disinilah letak perbedaan ekonomi Islam dengan sistem ekonomi konvensional yang hanya mengartikan keadilan dan kesejahteraan secara ekonomi dan materi.101 Kaidah dasar yang dipakai oleh politik Islam, termasuk politik dan kebijakan ekonomi adalah Maṣlahah mursalah dan sad al-dharī’ah. Ruang lingkup dua hal ini adalah sangat luas, meliputi semua usaha-usaha untuk menunjang semua kepentingan masyarakat dan menyingkirkan semua mudharat. Sayyid Qutb menegaskan bahwa pertimbangan Sad al-dharī’ah adalah pemikiran tentang sarana-sarana perbuatan, atau perbuatan yang menjadi sarana bagi tujuan dan kepentingan umum masyarakat, maka sarana-sarana tersebut adalah diperlukan pada kadar yang sesuai dengan tujuan dan kepentingan masyarakat tersebut. Tapi bila sarana-sarana tersebut mengarah kepada kerusakan, maka ia adalah haram, sejalan dengan keharaman
kerusakan tersebut, walaupun kadar
haramnya lebih rendah. Pandangan terhadap sarana-sarana ini tidak tertuju kepada tujuan dan niat perbuatannya, tetapi pada efek dan akibat yang dihasilkannya. Perbuatan seseorang mendapat pahala atau siksa di akherat berdasar pada niatnya, tetapi kebaikan atau keburukan suatu perbuatan diukur dari akibat atau hasilnya. Sebagaimana akibat perbuatan itu juga yang menjadi pertimbangan apakah ia bisa diteruskan atau dicegah, karena dunia ini akan tetap tegak dengan baik atas dasar kemaslahatan dan keadilan. Keadilan menuntut adanya tinjauan suatu perbuatan berdasar efek yang ditimbulkan, bukan berdasar niat dan tujuan pelakunya.102
101 102
Ibid., 87 Ibid., 196-197
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
282
Prinsip Maṣlaḥah mursalah dan Sad al-dharī’ah dalam pemakaiannya dalam ruang lingkup yang luas, memberikan kepada pemerintah wewenang yang mutlak untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi dalam berbagai bidang sosial, politik dan ekonomi. Wewenang ini bisa berbentuk pembebanan kewajiban terhadap orang-orang kaya untuk memberikan sebagian hartanya sebagai pajak kepada negara ketika dibutuhkan, membatasi kepemilikan individu demi mengatasi kesenjangan sosial, menetapkan harga dan upah kaum pekerja jika kemaslahatan menuntut hal itu. Sebagaimana dipaparkan sebelumnya, bahwasanya Hizbut Tahrir tidak mengakui eksistensi landasan hukum selain al-Qur’an, hadis, Ijma’ sahabat dan qiyas. Sehingga dalam kajian politik ekonomi Hizbut Tahrir juga menolak penggunaan dua kaidah dasar diatas. Akibatnya konsep yang ditawarkan cenderung literal tekstual dan tidak bisa memenuhi tuntutan kemaslahatan kontemporer. Namun setidaknya pemikiran Hizbut Tahrir tentang pengharaman penetapan tingkat upah oleh pemerintah menjadi rambu-rambu bagi pemerintah agar berusaha maksimal menetapkan upah yang adil, yang menjamin keberlangsungan usaha serta menghargai jerih payah pekerja sebagai manusia yang mempunyai standar hidup layak. Sebagaimana pemerintah seharusnya menekankan fungsinya sebagai perantara /moderator antara serikat pekerja dan pengusaha dalam menentukan upah yang adil. Kesalahan dalam kebijakan penetapan upah bisa berefek negatif, baik bagi pekerja, pengusaha maupun kondisi makro ekonomi. Penetapan upah yang cenderung memihak pekerja tanpa memperhatikan kondisi ekonomi makro dan kemampuan pengusaha akan berpengaruh negative terhadap pemilik modal. Pemiliki modal akan berusaha mengurangi jumlah tenaga kerja dan mencari alternatif lain untuk
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
283
mengurangi biaya produksi. Jika pasar tenaga kerja tidak siap akan berpengaruh negatif bagi penciptaan lapangan kerja. Penawan tenaga kerja akan meningkat sedang permintaan turun sehingga berakibat menurunnya tingkat upah di pasar. Sebaliknya penetapan tingkat upah yang lebih cenderung memihak pengusaha, dalam arti penetapan upah lebih rendah dari tuntutan pekerja akan berakibat negative. Dalam jangka pendek kebijakan ini akan menyebabkan tingkat kesejahteraan hidup pekerja akan turun, namun dalam jangka panjang akan berefek tumbuhnya investasi dan penanaman modal, yang akan berakibat meningkatnya permintaan tenaga kerja. Hal ini selanjutnya akan berpengaruh pada meningkatnya tingkat upah di pasaran. Disamping itu pemikiran Hizbut Tahrir juga menemukan relevansinya pada lapangan pekerjaan di sektor-sektor tertentu yang persaingan dalam pasar tenaga kerjanya cenderung sempurna atau monopoli bilateral serta jenis pekerjaannya tidak menuntut pekerja untuk bekerja penuh hari. Pada sektor-sektor tersebut penetapan tingkat upah oleh pemerintah tidak terlalu urgen, bahkan menyerahkan tingkat upah pada mekanisme pasar lebih cenderung pada keadilan. Dengan demikian seyogyanya pemerintah melakukan pemilahan jenis pekerjaan dan menegaskan bahwa penetapan tingkat upah minimum kota maupun kabupaten hanya berlaku pada jenis pekerjaan atau lapangan pekerjaan yang bersifat kontinyu dan menghabiskan waktu pekerja. Sedang sistem-sistem pekerjaan yang tidak sampai menghabiskan waktu pekerja dan pekerjaan pada sektor-sektor yang cenderung berlaku persaingan sempurna dibiarkan sesuai mekanisme pasar.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id