BAB VI KESIMPULAN
Lakon Antaséna Rabi sajian Ki Anom Suroto merupakan salah satu jenis lakon rabèn dan karangan yang mengambil satu tokoh pokok Antasena kemudian ditambah tokoh-tokoh baru seperti Manuwati, Manuwara, dan lain-lain. Lakon AR yang disajikan dalam pakeliran gaya Surakarta ini merupakan lakon yang
mendapat
pengaruh
dari
gaya
Yogyakarta.
Hal
ini
disebabkan, tokoh Antasena sebenarnya tokoh yang berkembang di daerah Yogyakarta ke barat dan bukan merupakan tokoh dari pakeliran gaya Surakarta. Pertunjukan lakon AR dengan dalang Ki Anom Suroto dilihat dari pola bangunannya masih mengikuti pola bangunan pertunjukan wayang kulit purwa Jawa gaya Surakarta, dimana dalam satu pertunjukan terdiri dari tiga pathêt. Lakon AR dilihat dari
susunan
adegannya
mendekati
susunan
adegan
yang
dibakukan oleh Nayawirangka. Adegan yang tidak terdapat dalam lakon AR sajian Ki Anom Suroto menurut Nayawirangka adalah perang ampyak, adegan magak, adegan jangkrik génggong, jêjêr sintrèn, perang sintrèn, dan perang brubuh. Meskipun demikian, pola bangunan lakon AR secara garis besar mendekati susunan adegan menurut oleh Nayawirangka.
466
Lakon AR sajian Ki Anom Suroto dilihat dari pola bangunan lakon yang ditawarkan Backer rupanya tidak sama persis seperti pendapat
Backer.
Kenyataan
yang
ada
bahwa
dalam
pola
bangunan lakon AR tidak selalu terdiri dari pola tiga-tiga-tiga. Sebagai contoh: jêjêr pertama tidak diakhiri perang amyak. Selain itu, setiap jêjêr, adegan, dan perang tidak selalu tersusun dari tiga bagian. Unsur-unsur seperti jêjêr, adegan, dan perang kadangkadang hanya tersusun dari dua bangunan saja. Misalnya adegan Anoman dan Purwaganti hanya terdiri dari dua unsur yaitu unsur ginêm dan tindakan tanpa adanya unsur dekripsi. Hal yang demikian dalam sebuah pertunjukan wayang merupakan hal yang biasa karena penyusunan unsur-unsur tersebut sebenarnya disesuaikan dengan kebutuhan pertunjukan. Lakon AR sajian Ki Anom Suroto dilihat dari struktur dramatik dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, alur drama wayang lakon AR tidak linier. Cerita lakon AR terdiri dari beberapa pergerakan cerita yang berbeda-beda. Beberapa pergerakan cerita tersebut terkadang bertemu di tengah cerita dan dilanjutkan perjalanan bersama-sama; kadang-kadang bertemu di tengah cerita lalu berpisah, tetapi bertemu kembali pada pathêt manyura untuk menentukan kemenangan. Perbedaan lain antara alur drama wayang dan drama barat adalah pada bagian alur dramatik. Alur dramatik wayang kulit selain dipengaruhi oleh
467
permasalahan juga dipengaruhi oleh sabêtan, bentuk sulukan, bentuk dhodhogan-kêprakan, bentuk gending, dll. Unsur-unsur seperti sabêt, sulukan, bentuk gending, dan dhodhogan-kêprakan tersebut oleh dalang diramu dalam sebuah pementasan untuk menimbulkan tangga dramatik tertentu. Tangga dramatik dalam pertunjukan wayang memiliki puncak dramatika (klimaks) yang terdiri dari tiga tahap. Klimaks tingkat pertama dalam lakon AR sajian Ki Anom terdapat dalam jêjêr atau adegan. Klimaks tingkat dua terletak pada perang gagal, perang kêmbang, perang sampak tanggung.
Pada
klimaks
kedua
kadang-kadang
terdiri
dari
beberapa tingkatan klimaks yang dipengaruhi oleh unsur yang membentuk seperti sulukan, bentuk gending. Maksudnya adalah: semakin
kecil
bentuk
gending
dan
sulukan
maka
tingkat
klimaksnya semakin tinggi. Klimaks tingkat ketiga teretak pada perang penentuan lakon. Klimaks ketiga dalam lakon AR sajian Ki Anom Suroto adalah perang sayembara. Fenoma semacam ini sama sekali tidak ditemukan dalam drama Barat. Kedua, tema yang disampaikan dalam lakon AR sajian Ki Anom Suroto memiliki tema pertimbangan bibit, bèbèt, bobot dalam sebuah pernikahan. Tema tersebut dapat diketahui dari dialog dan tindakan para tokoh dalam lakon AR sajian Ki Anom Suroto baik secara eksplisit maupun
implisit.
Ketiga,
dalam
penokohan
drama
wayang
rupanya memiliki keunikan sendiri yang berbeda dengan drama
468
Barat.
Setiap
tokoh
dalam
drama
wayang
dipandang
dari
pandangan mitologis memiliki peran masing-masing dan pasangan setiap tokoh tidak boleh diacak dengan sembarangan. Misalnya dalam hal ini adalah Dewi Manuwati harus menjadi jodoh Antasena karena secara mite keduanya cocok dan ritual yang dipakai juga sesuai dengan aspek mite yang dimiliki masingmasing tokoh. Adapun mite Antasena adalah Dewa Siwa, Bayu, Kamajaya. Mite Manuwati adalah dewa Siwa, Indra, Wisnu, Kamajaya. Ritual yang dipakai dalam lakon AR adalah perang sebagai ritual Siwa. Antasena sebagai prajurit air yang memiliki aspek mite Siwa tentu saja cocok dengan ritual perang tersebut. Kecocokan keduanya juga didukung adanya aspek Kamajaya. Lakon AR sajian Ki Anom Suroto secara tekstur dramatik memiliki perbedaan dengan drama Barat. Drama barat dalam penceritaannya lebih mengutamakan dialog, tetapi dalam drama wayang selain dialog, juga terdapat unsur janturan dan pocapan. Iringan drama wayang juga memiliki ciri khas sendiri yaitu drama wayang dibentuk unsur-unsur seperti sulukan, bentuk gending, dhodhogan-kêprakan, dll yang telah disepakati bersama. Unsur tekstur dramatik dalam lakon AR sajian Ki Anom Suroto secara keseluruhan tercakup di dalamnya. Lakon AR sajian Ki Anom Suroto dilihat dari pedoman estetika pewayangan keraton mampu menghadirkan kesan estetis
469
seperti rêgu, ngês, rênggêp, antawacana/wijang, cucut, unggahungguh, tutuk, dan trampil. Kesan estetis yang kurang dalam lakon ini adalah kesan sêm dan grêgêt. Kesan sêm dan grêgêt tidak tercapai karena adegan romantis (sêm) dalam lakon ini tidak ada. Kesan grêgêt kurang tercapai karena suara Ki Anom Suroto dalam sajian lakon AR memiliki intonasi yang cenderung menurun dan lebih mengutamakan kualitas suara yang landhung dengan luk dan grêgêl-nya, sehingga hanya mampu menciptakan kesan rêgu, namun tidak mampu menciptakan suasana tegang. Kesimpulan terakhir dari analisis terhadap lakon ini adalah lakon AR sajian Ki Anom Suroto mengandung pesan-pesan dan contoh sikap yang mampu dipakai sebagai pendidikan karakter. Pesan-pesan dan sikap yang terkandung di dalamnya misalnya spiritualitas,
rukun,
hormat,
mikul
dhuwur
mêndhêm
jêro,
hiburan, mandiri, demokratis, menghargai prestasi, dan tanggung jawab. Berbagai macam pesan dan sikap tersebut disampaikan dalam bentuk eksplisit, maupun implisit. Pertunjukan wayang kulit purwa Jawa selain di dalamnya disampaikan sikap yang baik, kadang-kadang juga disampaikan sikap yang buruk. Kedua sikap tersebut disajikan dalam satu pentas
dan penonton
dipersilakan
nalar
untuk
menimbang
sagaduking
(sesuai
kedewasaan berpikir).
470