91
BAB VI DINAMIKA INTERAKSI OTORITAS TRADISIONAL MINANGKABAU DAN BIROKRASI PEMERINTAHAN DARI MASA KE MASA Masalah yang hendak dijelaskan disini adalah dinamika interaksi di antara Otoritas Tradisional Minangkabau (selanjutnya disingkat menjadi OTM) dengan Birokrasi Pemerintahan (selanjutnya disingkat menjadi BP) berdasarkan empat masa. Keempat masa tersebut adalah masa pemerintahan kolonial Belanda, masa pemerintahan Orde Lama, masa pemerintahan Orde Baru dan masa pemerintahan Otonomi Daerah. Pertanyaan analitisnya adalah apakah dalam interaksi dari masa ke masa tersebut OTM akan tergerus oleh BP sebagaimana tesis Weber (Ritzer dan Godman 2005), atau terus bertahan sebagaimana tesis Von Benda-Beckman (1979), Kato (1984), Manan (1995) dan Hadler (2010), sehingga menjadi sumber kepentingan partikular birokrat (Weber dalam Beetham 1990), serta bagaimana dinamika hubungan OTM dan BP pada keempat masa tersebut? 6.1. Interaksi Otoritas Tradisional Minangkabau dan Birokrasi Pemerintahan Pada Masa Penjajahan Kolonial Belanda Interaksi OTM dan BP, di Minangkabau, mulai berlangsung secara intensif berawal dari berhasilnya kolonial Belanda menjajah darek1 (luhak nan tigo)2 pasca Perang Paderi di awal abad ke-19 (Abdullah 1967; Kahin 1989; Dobbins 2008 dan Hadler 2010). Konsekuensi penjajahan pemerintah kolonial Belanda di “darek” tersebut, OTM menjadi bagian dari sistem birokrasi pemerintahan (BP) kolonial Belanda yang rasional dan berjenjang. Penerapan sistem BP Kolonial Belanda, selama masa penjajahannya, berubah-ubah seiring perjalanan waktu. Perubahan tersebut terbagi ke dalam tiga periode, yakni pada periode masa awal penjajahan, periode pasca perang Paderi dan pada periode masa pelaksanaan politik etis (Manan, 1995). Periode pertama pada masa awal penjajahan, bermula ketika kolonial Belanda berhasil mengalahkan kaum Paderi. Sisa kekuatan kaum Paderi berhasil didorong dan dilokalisir untuk ke luar dari kawasan luhak nan tigo ke arah Bonjol. Selanjutnya, 1
Darat. Istilah yang menunjukkan tempat asal orang Minangkabau. luhak nan tigo sama dengan tiga luhak, yakni Luhak Agam, Luhak Tanah Datar dan Luhak 50 Kota. Saat ini ketiga luhak tersebut adalah, Kab.Agam (Luhak Agam), Kab.50 Kota (Luhak Limapuluh Koto) dan Kab.Tanah Datar(Luhak Tanah Datar). 2
92
dalam rangka untuk menguasai (menjajah), BP kolonial Belanda menjadikan OTM bagian dati BP dengan cara memanfaatkan susunan pemerintahan OTM di luhak nan tigo. Darek (luhak nan tigo), kemudian menjadi salah satu daerah utama (Hoffd Afdelingen) yang disebut sebagai Afdelingen Minangkabau3. Afdelingen tersebut dipimpin oleh seorang Regent. Pada awal penjajahannya di Minangkabau, BP kolonial mengangkat Yang Dipertuan Pagaruyung, Sultan Tangkal Alam Bagagar sebagai Regent. Pengangkatan ini sebagai sebuah strategi untuk dapat menguasaiMinangkabau, juga sebagai imbalan di ”bubarkannya” kerajaan Minangkabau. Selain Afdelingen, terdapat kedudukan administratif lain yang menjadi perantara di antara Nagari-Nagari Minangkabau dengan pemerintah kolonial Belanda, yaitu Kelarasan.4 Kelarasan merupakan kumpulan (federasi) dari beberapa Nagari,5 dipimpin oleh seorang Laras yang dipanggil dengan sebutan Angku Lareh. Di bawah Laras, kemudian terdapat Nagari-Nagari yang dipimpin oleh seorang Penghulu Kepala. Pejabat Regent, Angku Lareh, dan Penghulu Kepala merupakan tokoh-tokoh OTM yang diangkat oleh Residen (Agus 1977). Untuk dapat menerapkan sistem BP kolonial Belanda tersebut di Minangkabau, sehingga mudah organisasikan dan dieksploitas, beberapa hal penting dilakukan BP terhadap OTM. Pertama, BP menghapuskan kerajaan Minangkabau dengan konpensasinya adalah Raja terakhir Minangkabau, Sultan Tangkal Alam Bagagar, diangkat menjadi Regent untuk Afdelingen Minangkabau. Atas jabatan baru tersebut, Sultan selanjutnya dipanggil dengan sebutan Angku Regent. Kedua, BP membentuk Kelarasan, yang sebelumnya tidak dikenal di dalam struktur OTM. Pemimpin Kelarasan yang dipanggil dengan sebutan Angku Lareh, selanjutnya menjadi elite baru BP di Minangkabau. Ketiga, Penghulu Suku dijadikan BP kolonial Belanda sebagai “kaki tangan” atau alat kekuasaan. Padahal, kedudukan pemimpin baik pada tingkatan rumah gadang, kaum, suku, atau Wali Nagari adalah dalam rangka mewakili
3
Saat itu wilayah Sumatera Barat disebut Regensi Padang terbagi dalam dua daerah utama (Hoofd Afdelingen) yaitu Afdelingen Padang dan Afdelingen Minangkabau. 4 Menurut Dobbin, 1977. Kelarasan ini terkait erat dengan praktek “tanam paksa” dan perdagangan kopi. Laras ini dipimpin oleh OTM Minangkabau, Salah satu harapan Belanda adalah menjadi orang kepercayaannya untuk mengontrol hasil dan perdagangan Kopi. 5 padanan kini adalah Kecamatan
93
kepentingan kelompok yang dipimpinnya. Kedudukan pemimpin berbagai jenjang pada OTM tersebut, menjadi rentan apabila tidak berpihak pada unit sosial yang dipimpinnya. Ada proses dituahi, dicilakoi sehingga mereka dapat diberhentikan dari jabatan tersebut oleh kelompok genealogis yang dipimpinnya. Namun, BP berhasil menerapkan aturan baru bahwa Penghulu diangkat oleh BP Belanda dan berkerja demi kepentingan BP, kontras dengan otoritas tradisional yang bekerja untuk kelompok kekerabatannya. Ini merupakan titik awal yang menjadi cikal bakal menurunnya pamor kepala Suku di dalam OTM. Keempat, pengadaan jabatan-jabatan berjenjang ini, juga awal cikal bakal gejala inkorporasi (peleburan) OTM ke dalam BP. Dalam BP ini, unsur-unsur OTM yang dijadikan pemimpin tersebut, masing-masing mendapat gaji dan fasilitas dari pemerintah kolonial Belanda. Bahkan, Penghulu Suku mendapat komisi dari perdagangan kopi. Akibat inkoporasi OTM ke dalam BP, pada tahun 1840 telah terdapat 100 Angku Lareh, 600 Penghulu Kepala dan 3000 Penghulu Suku (Lindayanti 1988). Menurut Roesli (1987), meleburnya OTM dalam BP kolonial Belanda dalam rangka menjalankan isi perjanjian Plakat Panjang. Isi perjanjian berkenaan dengan kepentingan praktek perdagangan Belanda, terutama pengumpulan hasil tanaman rakyat. Jadi terdapat dua bentuk administrasi pemerintahan, pertama, inkoporasi OTM dalam BP kolonial Belanda. Bentuk administrasi ini berkenaan dengan pengorganisasian hasil sumberdaya alam dan pertanian untuk kepentingan BP kolonial Belanda. Sedang permasalahan adat dan OTM pada tingkat NagariNagari, tetap diperintah oleh penghulu-penghulu Nagari di bawah pimpinan Penghulu Kepala. Oleh karena itu, hukum yang berlaku dalam masyarakat Nagari tetap merupakan hukum adat yang bersifat otonom. Periode kedua interaksi antara OTM dengan BP kolonial Belanda ditandai dengan berhasil dikalahkan Paderi di Minangkabau. BP kolonial Belanda melakukan beberapa perubahan, yakni pertama, menambah satu posisi jabatan berjenjang, yaitu jabatan Onderafdeling yang berada di antara hoofd afdeling dan kelarasan dan dipimpin oleh seorang Controleur. Kedua, perubahan pemimpin Nagari dari Penghulu Kepala menjadi Kepala Nagari. Ketiga, administrasi regent dihapuskan dan afdeling dipimpin oleh Asistent Residen. Keempat, dari kelima
94
tingkatan berjenjang administrasi pemerintahan kolonial Belanda yang baru tersebut, tiga posisi teratas, yaitu Residen, Asisten Residen dan Countroleur adalah bangsa Belanda. Sedangkan dua posisi terendah, yaitu Angku Lareh dan Kepala Nagari, merupakan orang Minangkabau yang berasal dari OTM. Pada periode kedua ini, hal yang menyolok terlihat adalah mulai dominannya orang Belanda dalam BP. Pada periode kedua BP ko lonial Belanda ini juga, terlihat bahwa BP mulai masuk mengatur pada ranah OTM. Indikasinya terlihat bahwa, calon-calon Kepala Nagari dipilih oleh OTM yaitu Dewan Penghulu. Namun, hasil pilihan tersebut harus disetujui dan diangkat oleh Residen (orang Belanda) atas nama Gubernur Jenderal (Kato 1989). Setelah disetujui oleh Residen, calon-calon Kepala Nagari tersebut disertifikasi (Penghulu Basurek) oleh BP Kolonial Belanda. Dalam proses pemberian sertifikasi, unsur ”suka atau tidak suka” menjadi pertimbangan utama. Penghulu-penghulu yang telah memiliki sertifikat tersebut itulah yang kemudian dianggap memenuhi syarat untuk mencalonkan atau dicalonkan menjadi Kepala Nagari atau menjadi anggota Kerapatan Nagari (Sjahmunir 2006). Pada periode ini pula, dilaksanakan sistem Tanam Paksa Kopi di NagariNagari (Dobbins 2008). Penyandang OTM seperti Angku Lareh, Kepala Nagari dan Penghulu Suku dilibatkan sebagai pelaksana dan pengawas tanam paksa Kopi tersebut. Sebagai imbalan terhadap tugas-tugas
tersebut, penyandang OTM
mendapat gaji, rumah, kendaraan,6 pembantu-pembantu,7 serta mendapat persentase dari jumlah kopi yang berhasil disetorkan ke dalam gudang-gudang BP Belanda. Pada tahun 1908, kebijakan tanam paksa kopi berakhir (Dobbins 2008), digantikan dengan kebijakan sistem pajak. Pada fase ini, unsur atau penyandang OTM seperti penghulu suku, kepala Nagari dan Angku Lareh bertugas sebagai pengutip pajak perorangan. Kebijakan ini
kemudian menyulut adanya
pemberontakan pajak (Schrieke 1973). Berbagai kebijakan yang diambil BP yang melibatkan OTM sebagaimana tersebut di atas mengakibatkan beberapa perubahan pada OTM, seperti, peranan 6 7
Kuda dan Bendi Digaji oleh BP
95
unsur OTM di dalam Nagari dikurangi oleh BP Belanda. Namun, BP Belanda tidak mengusik hukum adat dan hukum pertanahan yang berdasarkan pada adat Minangkabau serta menjadi tiang penyangga dan pengikat masyarakat adat Minangkabau (von Benda-Beckman 1979). Keberadaan unsur OTM seperti penghulu suku, kepala Nagari, masih dihargai BP kolonial Belanda. Oleh karena itu, hingga pada berakhirnya periode kedua masa penjajahan BP kolonial Belanda, keberadaan Nagari sebagai unit administrasi terendah OTM masih berlanjut dan terpelihara (Kahin 1989). Adapun Periode ketiga interaksi OTM dalam BP kolonial Belanda ditandai dengan diterapkannya politik Etis yang dimulai pada tahun 1901 (Kato, 1982) di mana BP meningkatkan modernisasi administrasi pemerintahannya (van Niel 1984). Selain itu, terlihat pula adanya perubahan dalam hirarki pemerintahan yang ditandai dengan bertambahnya kembali jenjang hirarki kedudukan dalam BP kolonial Belanda, yaitu secara berurutan: (1) Resident, (2) Afdeeling dan Stadsgemeente (kota), (3) Onderhafdeling, (4) District, (5) Onder District, (6), Kanagarian (Manan 1995). Periode tersebut, berlangsung hingga berakhirnya Perang Dunia II (Kahin 2005), yang ditandai dengan BP Belanda meningkatkan modernisasi birokrasi pemerintahannya (Rickleafs 2005). Dalam periode ini, persyaratan pendidikan menjadi pertimbangan utama untuk menduduki jabatan-jabatan pemerintah, seperti jabatan District dan Onder District yang dipimpin oleh Demang dan Asistent Demang, sebagai pengganti Kelarasan. Penerapan pendidikan sebagai syarat menduduki jabatan BP sesungguhnya juga bersinggungan dengan OTM. Hal ini disebabkan, orang Minangkabau yang diberi kesempatan pertama untuk mengenyam pendidikan tersebut adalah anak-anak penyandang OTM, seperti anak Angku Lareh, anak Kepala Nagari, anak Penghulu Suku (Graves 2007). Bagi Kartodirdjo (1984), kebijakan ini merupakan salah satu upaya BP untuk dapat melanggengkan kekuasaannya, karena mengakomodir elite dan turunannya dalam pendidikan dan kemudian menjadi bagian dari BP kolonial Belanda. Selain menghapus kedudukan Angku Laras dan Kelarasan, pada Tahun 1914 pemerintah kolonial Belanda juga memperbaharui pemerintahan Nagari melalui S’taatsblad van Nederlansch Indië Nomor 774. Kemudian pada tahun
96
1918 diamandemen dengan Staatsblad Nomor 667 yang kemudian pada tahun 1938 dimandemen melalui Staadsblad Nomor 490, di mana melalui perubahan undang-undang tersebut, pemerintah kolonial Belanda mengarahkan pembentukan pemerintahan Nagari yang otonom dan berbadan hukum (Abdullah 1967; Sihombing dan Syamsulbahri 1975). Adapun, substansi dari ordonansi tersebut mencakup dua hal, pertama, pembentukan lembaga Kerapatan Adat Nagari (KAN) dalam OTM. Kedua, Nagari diharuskan membiayai dirinya sendiri. Pada poin pertama, KAN adalah lembaga Legislatif, yang dipimpin oleh Kepala Nagari. Unsur-unsur yang duduk dalam KAN adalah utusan suku, atau kepala suku dari masing-masing suku yang terdapat di dalam Nagari. Sedangkan untuk dapat menjadi Kepala Nagari, sebagai pemimpin Nagari dan KAN, disyaratkan harus berasal dari turunan keluarga pendiri Nagari. Untuk substansi Ordonasi kedua, bahwa supaya Nagari mampu membiayai dirinya sendiri, maka: (1) semua uang Nagari, termasuk kekayaan mesjid disimpan sebagai kekayaan Nagari; (2) Kekayaan Nagari diawasi oleh Kepala Nagari; (3) sumber keuangan Nagari secara teratur dikutip dari iuran (semacam pajak) dan kerja sarayo; (4) Pengeluaran Nagari diperoleh dari kekayaan Nagari, serta hanya diperuntukkan untuk pembayaran gaji Kepala Nagari, Guru sekolah Nagari, Juru tulis, Dubalang, pembangunan dan pengurusan Mesjid, Sekolah, Balai Nagari, pengairan, jalan dan jembatan serta uang sidang KAN; (5) Pajak pasar terpisah dari kekayaan Nagari dan diawasi oleh pemerintah kolonial Belanda; (6) Administrasi keuangan Nagari dan uang pasar diperiksa oleh pejabat Administrasi Belanda sebanyak sekali dalam tiga bulan, dan pengeluaran Nagari harus seizin mereka (Oki 1977; 84-85), Selanjutnya, menurut Ordonansi Nagari tersebut, Pemerintahan Nagari terdiri dari Dewan Penghulu bersurat yang tergabung dalam KAN (Kerapatan Adat Nagari) dan Kepala Nagari, yang dipilih oleh KAN dan diangkat oleh Resident. Ordonansi ini mengaitkan secara langsung pemerintahan Nagari dengan BP kolonial Belanda, yang secara berjenjang dari Nagari, Kepala Nagari, Asistent Demang, Demang, Controleur, Asistent Residen dan Residen (Oki, 1977).
97
Dengan demikian, OTM menjadi alat dari administrasi BP.8 Kemudian, masih menurut Ordonansi Nagari tersebut, tugas Kepala Nagari mencakup delapan tugas pokok, yaitu (1) melaksanakan keputusan KAN; (2) mengelola pendapatan dan pengeluaran Nagari; (3) memelihara infrastruktur Nagari, (4) penguasaan dan pengawasan harta Nagari; (5) Memungut uang jasa Nagari; (6) memelihara lembaga-lembaga Nagari; (7) mengangkat dan memberhentikan pegawai dan dubalang; serta (8) Melaksanakan pengawasan atas segala sesuatu yang menyangkut Nagari dan membela kepentingan pemerintahan Nagari (Manan 1995). Dengan pengawasan BP Belanda terhadap OTM, baik keuangan Nagari maupun keputusan-keputusan politik yang dilahirkan oleh KAN, maka sebenarnya OTM telah menjalankan pemerintahan otonomi yang terbatas yang di arahkan oleh BP. Otonomi terbatas inilah yang berlangsung hingga berakhirnya kekuasaan BP kolonial Belanda di Minangkabau. Jika dirangkum dinamika interaksi OTM dan BP di atas selama tiga periode, maka hasilnya dapat dilihat dalam Tabel 6.1 di bawah ini.
8
Keputusan-keputusan KAN sebagian besar bersumber dari keingin atau otoritas pemerintah kolonial Belanda yang kemudian diputuskan oleh KAN dan dilaksanakan oleh penghulu-penghulu dibawah perintah Kepala Nagari. Oleh karenanya, keputusan-keputusan yang dihasilkan KAN tidak boleh bertentangan dengan kebijakan pemerintah kolonial Belanda. Pada hal dalam adat Minangkabau pengambilan keputusan mestilah melalui musyawarah mencapai mufakat. Dan sumber tertinggi adalah kebenaran, bukan pemerintah kolonial Belanda.
98
Tabel.6.1 Dinamika Interaksi OTM dan BP di Minangkabau Pada Masa Kolonial Belanda, Abad Ke-19 Hingga Abad ke-20 Periode Pertama Perang Paderi
Periode Kedua Pasca Perang Paderi
Hirarki Pemerintahan
Pemimpin
Keresidenan
Residen
Keresidenan
Regent
Hoofdd afdelingen
Hirarki Pemerintahan
Pemimpin
Periode Ketiga Awal Abad Ke-20 Hirarki Pemerintahan
Pemimpin
Residen
Keresidenan
Residen
Hoofdd Afdelingen
As. Residen
Afdeeling dan Stadsgemeente
As. Residen
Onderaf deelingen
Controleur
Onderhafdeeling
Controleur
District
Demang
Onder District
As.Demang
Kanagarian
Wali Nagari
Kelarasan
Laras
Kelarasan
Angku Lareh
Kanagarian
Penghulu Kepala
Kanagarian
Kepala Nagari
Sumber: diolah dari Manan (1984) dan (1995), Hamdi (1977), Lindayanti (1987)
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, berlanjutnya pemerintahan Nagari sebagai unit administrasi menunjukkan kokohnya fondasi OTM, sehingga dapat menyesuaikan dengan praktek BP yang berlangsung dinamis. BP bukan saja memanfaatkan OTM untuk tujuan dan kepentingannya, namun lebih dari itu, mengakuinya sebagai unit administrasi yang otonom. 6.2. Interaksi Otoritas Tradisional Minangkabau Dengan Birokrasi Pemerintah Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia Negara Kesatuan Republik Indonesia lahir Ketika pemerintah kolonial Belanda beserta sekutunya kalah pada Perang Dunia II. Namun, di antara kedua masa tersebut, terdapat masa singkat di mana Indonesia dikuasai BP kolonial Jepang. Pada masa yang singkat ini, karena keterbatasan personil, Jepang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada OTM untuk menjadi bagian BP kolonial Jepang di Sumatera Barat. Bahkan, posisi-posisi yang dahulu hanya boleh diduduki oleh orang Belanda pun diberikan kepada orang Minangkabau yang merupakan unsur OTM. Di samping itu, secara prinsip, pemerintah kolonial Jepang tidak pula merubah secara mendasar sistem pemerintahan yang telah dibangun pemerintah kolonial Belanda, melainkan meneruskan sistem yang ada.
99
Kedua kenyataan tersebut memberikan kesempatan kepada orang Minangkabau untuk memperoleh pengalaman yang lebih luas dalam BP kolonial Jepang (Oki 1977; Manan 1995; Kahin 2005). Pada awal Indonesia merdeka, interaksi di antara OTM dan BP memasuki babak baru. Struktur OTM maupun BP hasil konstruksi kolonial Belanda diubah. Perubahan didasarkan pada keputusan sidang PPKI9 yang berlangsung pada 18 Agustus 1945,10 yang berisi: (1) mengesahkan UUD’45 sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia; (2) memilih Presiden dan Wakil Presiden Negara Repuklik Indonesia; yaitu Ir.Soekarno dan Mr. M.Hatta, (3) Membentuk Komite Nasional Indonesia Pusat. Komite Nasional Indonesia (KNI) dibentuk untuk tujuan sebagai badan legislatif dan badan pembantu Presiden. Badan ini bersifat sementara, menjelang terbentuknya Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagaimana yang telah di amanatkan Undang-undang Dasar 1945 (UDD’45). Komite Nasional Indonesia tersebut dibentuk pada berbagai level administrasi wilayah pemerintahan, mulai dari Provinsi, Keresidenan, Kabupaten, Kewedanan hingga Nagari yang menjadi ranting dari Komite Nasional Daerah (Husein et.al. 1991). Pada tanggal 3 November 1945, Presiden RI mengeluarkan Maklumat yang berisi anjuran kepada rakyat Indonesia agar membentuk partai-partai politik sebagai wadah partisipasi rakyat dalam kegiatan politik. Maka, partai-partai politik pun dibentuk mulai daria tingkat Provinsi, Keresidenan, Kabupaten, Kewedanan hingga Nagari. Sehingga, yang menjadi anggota KNI mulai dari tingkat Pusat sampai Nagari adalah wakil partai dari tingkat yang sama. Di dalam Nagari, terdapat Komite Nasional Nagari (KNN). Lembaga ini merupakan ranting dari Komite Nasional Indonesia Sumatera Barat (KNI-SB). KNN, sebagai unsur OTM, memiliki peranan yang menentukan untuk memilih Kepala Daerah, mulai dari Kepala Daerah tingkat Provinsi, tingkat Keresidenan, tingkat Kabupaten, tingkat Kewedanan hingga tingkat Nagari. Jadi di dalam
9
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 28 Mei 1945-22 Agustus 1945
10
100
Nagari sendiri, Kepala Nagari di pilih oleh Komite Nasional Nagari (KNN) tersebut (Asnan 2007). Dalam wilayah administrasi pemerintahan Nagari, KNI Tingkat Nagari dibentuk melalui mekanisme OTM, yakni musyawarah untuk mencapai mufakat, yang dihadiri oleh wakil kelompok-kelompok sosial politik yang dominan dalam masyarakat Nagari (Manan 1995; Kahin 2005). Pada awal kemerdekaan ini, telah berdiri pula Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau (MTKAAM) yang mewakili kepentingan komunitas adat di tingkat supra Nagari. Perubahan sistem pemerintahan Nagari baru terlaksana ketika KNID-SB mengeluarkan Maklumat Residen Sumatera Barat Nomor 20 dan Nomor 21 pada tanggal 21 Mei 1946, yang mengatur Nagari (pada saat itu disebut “Negeri”). Dalam maklumat tersebut, terdapat aturan bahwa sitem pemerintahan baru dalam Nagari terdiri atas 1) Dewan Perwakilan Negeri (DPN); 2) Dewan Harian Negeri (DHN); dan 3) Wali Negeri (Asnan 2007). Adapun yang menjadi latar belakang lahirnya kedua maklumat tersebut, menurut hasil rapat KNID-SB,11 adalah karena azaz demokrasi yang dipraktekkan pada masa pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang, dalam Nagari-Nagari dan supra Nagari, tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi sebagaimana diatur dalam UUD’45. Ketidaksesuaian azas demokrasi pada masa pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang tersebut terlihat pada partisipasi politik disalurkan melalui elite tradisional yang kemudian duduk di Kerapatan Adat Nagari (KAN). Sedangkan KAN merupakan bagian integral (dibawah pengawasan) dari pemerintahan kolonial Belanda. Maka, KAN tidak dimasukkan menjadi bagian dari pemerintahan Nagari.12 Susunan jumlah anggota DPN ditetapkan berdasarkan rasio jumlah penduduk, sesuai dengan hasil statistik 1930. Bagi penduduk yang berjumlah ≤ 1000 jiwa, maka jumlah anggota DPN sebanyak 9 (sembilan) orang. Pertambahan 11
Komite Nasional Indonesia Daerah Sumatera Barat. Maklumat ini ditanda tangani oleh Residen Dr.M.Jamil. Sehingga, ketika kedua maklumat ini diterbitkan, mendapat kecaman dan protes keras dari MTKAAM (Majlis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau) yang diketuai oleh Datuk Simarajo Simabur. Menurut MTKAAM, struktur pemerintahan Nagari baru yang diciptakan dalam maklumat No.20 dan No.21 dipengaruhi oleh perkembangan kepartaian yang sedang marak dan melupakan struktur adat dalam Nagari. Residen M.Jamail ,menjawab nota MTKAAM, dan menegaskan bahwa soat adat isitiadat tetap menjadi wewenangnya KAN (Kerapatan Adat Nagari) tidak dapat dicampur adukkan dengan Wali Nafari dan Dewan Perwakilan Nagari (DPN). 12
101
jumlah anggota DPN selanjutnya mengikuti kelipatan 500 jiwa dari jumlah penduduk. Sebagai contoh, Nagari X berpenduduk 2000 jiwa, maka anggota DPN Nagari tersebut berjumlah 11 (sebelas) orang, di mana 1000 jiwa diwakili oleh sembilan orang, ditambah 2 (dua) orang wakil berdasarkan kelipatan 500 jiwa/anggota DPN (Kementerian Penerangan, 1954; Sihombing dan Syamsulbahri 1975, Manan 1995). Lebih lanjut perbandingan mengenai DPN dan otoritas tradisional dapat dilihat pada Tabel 6.2 di bawah ini. Berdasarkan ketentuan Maklumat Residen Sumbar Nomor 20, Tanggal 21 Mei 1946 di atas, terlihat bahwa semua pejabat dalam Nagari dipilih secara demokratis oleh penduduk Nagari. Selanjutnya DPN (sehari-hari DHN) bersama Wali Nagari menjalan roda pemerintahan Nagari. Demi kepentingan Nagari dan Rakyat Nagari, DPN bersama Wali Nagari dapat mengajukan kepentingannya kepada tingkat yang lebih tinggi, seperti Residen, Gubernur, bahkan Presiden dan DPR. DPN menetapkan Anggaran Belanja dan pendapatan Nagari. DPN juga mengeluarkan peraturan-peraturan, seperti peraturan iuran dalam Nagari.13 Jika terjadi perbedaan pendapat dan sengketa di antara DPN dan Residen, maka diselesaikan oleh DPD (Dewan Perwakilan Daerah).14 Pemberlakuan Maklumat Residen Sumbar Nomor 20, Tanggal 21 Mei 1946 di atas, sesungguhnya intervensi yang cukup mendalam bagi pemerintahan Nagari. Jika dibandingkan dengan IGOB (Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengewesten), yakni sistem pemerintahan Nagari pada zama BP Kolonial Belanda, maka terdapat tiga perbedaan utama di antara sistem pemerintahan Nagari di antara keduanya, yakni: (1) Menyangkut Susunan Dewan Perwakilannya, (2) Cara menjalankan pemerintahannya, (3) Dasar hukum Yang di pakai.
13 14
Harus sepengetahuan dan disetujui oleh Residen. Keputusan DPD tertinggi, dan tidak dapat di banding
102
Tabel 6.2 Perbandingan OTM Dengan BP Indonesia Awal Kemerdekaan No 1
OTM Berdasarkan IGOB
Maklumat Residen SUMBAR No. 20, 21 Mei 1946
KAN (Kerapatan Adat Nagari) merupakan wakil utusan atau fungsionaris suku-suku (penghulupenghulu), wakil golongan Agama, Cerdik Pandai yang ditentukan (melaui surat) oleh pemerintah kolonial. Pengambilan Keputusan berdasarkan suara terbanyak. Nagari Sehari-hari dipimpin oleh Kepala Nagari Masa kerja tidak ditentukan Sumber hukum adalah Adat (tidak tertulis)
KAN merupakan wilayah Adat, tidak termasuk bagian pemerintahan Nagari karena tidak sesuai dengan azas Demokrasi UUD’45. Penggantinya dalam Pemerintahan Nagari adalah Dewan Perwakilan Nagari. Syarat untuk menjadi DPN: Umur Minimal 25 tahun, pandai baca tulis (minimum Arab), memiliki hak dipilih dan tidak memiliki jabatan rangkap. DPN merupakan utusan partai politik yang telah didirikan semenjak Dekrit Wapres No.3 November 1945, tentang pemberian kesempatan kepada rakyat untuk berpartisipasi dalam politik dengan menggunakan wadah parai politik. Kemudian dipilih oleh rakyat Nagari. DPN dipimpin oleh WaliNagari Satu orang anggota DPN dipilih untuk menjadi wakil ketua 3-5 anggota DPN dipilih untuk menjadi Dewan Harian Nagari mendampingi Wali Nagari sebagai eksekutif Nagari masa kerja 4 tahun Sumber hukum Undang-Undang, tertulis
Kepala Nagari, Dipilih oleh KAN dan disetujui oleh pemerintahan Kolonial Kepala Nagari dapat diberhentikan jabatannya oleh KAN atau pemerintahan kolonial, Dapat pula mengajukan pengunduran diri Kepala Nagari fungsionaris adat
Dipilih oleh rakyat Nagari Persyaratan sesuai deng DPN, kecuali harus pandai bacatulis latin Residen mengesahkan pemilihan dan WaliNagari Wali Nagari dapat diberhentikan, mengundurkan diri oleh DPN. Residen mengesahkan pemberhentian itu Jika Wali Nagari berkeberatan, maka dapat dapat membandingnya pada Dewan Perwakilan Daerah Pemilihan Wali Nagari Baru dapat diadakan setekah satu bulan syahnya pemberhentian
Semua Keputusan yang dihasilkan oleh KAN adalah suara bulat
DPN mengadakan rapat paling kurang 6 bulan sekali Rapat bersifat terbuka Keputusan ditetapkan berdasarkan suara terbanyak Setiap anggota Bebas mengemukakan pendapat Pekerjaan Adm. dilaksanakan oleh setia usaha dan PN DPN mempunya setia usaha merangkap DHN Setia Usaha adalah Sek.Nagari, Pemb.Sek.Nagari Setia Usaha Diangkan dan diberhentikan DHN
Sumber: diolah dari Manan (1995) dan Maklumat Residen Sumatera Barat Nomor 20, Tanggal 21 Mei 1946
Pada masa BP Belanda (IGOB), Dewan perwakilan yang duduk pada Kerapatan Nagari, atau Kepala Nagari adalah perwakilan suku-suku, adat (Tokoh Adat) yang kemudian diakui dan disetujui oleh BP Belanda. Namun, setelah pemberlakuan Maklumat di atas, Dewan Perwakilan Nagari adalah mereka yang dipilih rakyat. Dalam hal ini, bisa saja yang terpilih tersebut bukan fungsionaris adat. Perbedaan mendasar lainnya, selain masa kerja yang terbatas, sumber peraturan sistem pemerintahan Nagari juga berbeda secara menyolok. Jika sebelumnya (IGOB) masa kerja tidak terbatas dan sumber aturan adalah Adat
103
(tradisi), pada Maklumat, masa kerja 4 tahun dan juga sumber aturan adalah aturan tertulis dari Negara. Untuk lebih jelasnya, perbedaan OTM menurut Maklumat Residen Sumbar No. 20/21 dan menurut IGOB dapat dilihat pada Tabel 6.3 di bawah ini. Tabel 6.3 Perbedaan OTM menurut Maklumat Residen SUMBAR dan menurut Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengewesten (IGOB) Kategori
Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengewesten (IGOB)
Maklumat Residen SUMBAR No.20/21, Mei 1946
Susunan Dewan Perwakilan
Merupakan fungsionaris Adat, diakui/disetujui Pemerintahan Kolonial
Dipilih Rakyat
Masa Kerja
Tidak Terbatas
dipilih untuk masa kerja 4 tahun
Roda Pemerintahan Dijalankan
Kepala Nagari
Wali Nagari bersama DHN
Pengambilan Keputusan
Suara Bulat
Suara terbanyak
Sumber Hukum
Adat, pada umunya tidak tertulis
Undang-undang, umumnya tertulis
Urusan Pemerintah Nagari
Administrasi Pemerintahan dan Adat
Hanya Administrasi pemerintah
Sumber: Diolah dari Maklumat SUMBAR, IGOB dan Manan, 1995
Setelah pemberlakuan Maklumat, maka pada tanggal 10 dan 23 Juli 1946 dilakukan pemilihan Walinagari dan anggota DPN secara serentak di seluruh Nagari. Pemilihan berjalan hampir tanpa benturan dan sengketa, mengingat perubahan cukup menyolok di antara IGOB dan Maklumat Residen. Menurut Reid (1979), hal ini disebabkan terdapat kerjasama yang baik di antara Panitia Pemilihan dengan kelompok sosial politik yang berhak mengajukan calon serta berbagai golongan yang berada di masyarakat. Pertentangan kekuatan politik tradisional dan modern tidak ditonjolkan, sehingga konflik terbuka dapat dihindarkan. Berbeda seperti terjadi di Sumatera Timur dan Aceh, yang ditandai dengan pertikaian. Menurut Manan (1995), keberhasilan tersebut tidak terlepas dari masih berlangsungnya mekanisme adat yang dapat mengelola persengketaan, sehingga silang sengketa dapat dikelola. Mekanisme adat tersebut tercermin didalam konsep “Tigo Tungku Sajarangan” atau “Tigo Tali Sapilin” yang merupakan hasil konsensus dari konflik panjang di antara tiga kekuatan politik, yakni Kaum Agama, Kaum Adat dan Kaum Ilmuwan Sekuler.
104
Demikianlah ketika dibentuk panitia terlihat unsur kekuatan OTM tercakup di dalam DPN. Ketua panitia Pemilihan DPN adalah Kepala Nagari Lama. Sementara itu, wakil panitia adalah Ketua Komite Nasional Indonesia Nagari dan para anggotanya diambil dari beragam unsur OTM dalam Nagari, seperti wakil dari penghulu-penghulu, alim ulama, serta cerdik pandai. Caloncalon DPN yang muncul juga berasal dari lima kekuatan politik yang ada di Nagari, mencakup (1) Seperlima dari calon diajukan KAN lama, yang diketuai Kepala Nagari Lama; (2) Seperlima calon diajukan KNI Nagari; (3) Seperlima calon diusulkan hasil kerapatan KNI dengan sekitar 100 Pemuda yang mempunyai hak pilih; (4) Seperlima dari jumlah calon diusulkan oleh kerapatan yang dipimpin KNI bersama lebih kurang 100 wanita yang memiliki hak pilih; (5) Seperlima sisanya, diusulkan oleh partai-partai politik yang ada di Nagari (Kahin 2005). Terjadinya perubahan dari sistem pemerintahan lama dengan sistem pemerintahan demokratis serta lebih bertumpu pada generasi muda sebagai administrator pemerintahan Nagari yang baru, menyebabkan roda pemerintah tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan para pemimpin baru dan muda ini tidak berpengalaman. Selain itu, banyak pula wilayah Nagari yang terlalu kecil untuk layak menjadi sebuah daerah otonom, yang diharapkan dapat memiliki sumber pendapatan sendiri sehingga mampu menghidupi kegiatan pemerintahannya. Oleh karena itu, terdapat usulan untuk menggabungkan NagariNagari sehingga menjadi Nagari yang besar dengan konsep “Nagari Otonom” (Asnan 2007). Sehingga, pada Konferensi Wali Nagari Se-Sumatera Barat, tanggal 29-30 Maret 1947, di mana perserta yang hadir terdiri atas 445 Wali Nagari dari 542 Nagari. Pada konferensi tersebut
diusulkan gagasan untuk
menggabungkan Nagari-Nagari yang memiliki hubungan dekat (kekerabatan maupun wilayah), memiliki kesamaan dalam kepentingan, kesatuan ekonomi, adat istiadat serta jumlah penduduk, agar menjadi sebuah Nagari. Target yang ingin dicapai adalah dari 542 Nagari akan digabungkan sehingga menjadi 100 Nagari yang otonom (Manan 1995). Usul yang telah dilontarkan dan dibahas dalam Konferensi tersebut, ditindaklanjuti dengan penerbitan Perda Propinsi Sumatera Tengah No.50/G.P/50
105
mengenai Peraturan Sementara Tentang Pokok-pokok Pembentukan Wilayah yang otonom (Asnan 2007). Namun, pada tahun 1953, ketika Perda No.50/G.P/50 tersebut hendak direalisasikan, mendapat pertentangan dari unsur dan penyandang OTM
melalui hasil Konferensi Ninik-Mamak Pemangku Adat se-Sumatera
Tengah yang diadakan pada tanggal 16-19 Desember 1953. Tuntutan berisi agar pembentukan wilayah yang otonom dengan menggabungkan beberapa Nagari kecil menjadi satu Nagari tersebut dibatalkan dan dikembalikan kepada sistem Nagari yang lama. Menurut pemangku OTM tersebut, Nagari sebagai unit sosial politik tradisional, telah lama tumbuh dan berkembang serta telah teruji dalam sejarah, sehingga cocok dijadikan sebagai unit sosial politik terendah dan otonom. Di samping gugatan dari otonomi tradisional tersebut, sehingga tidak dapatnnya Perda tersebut dilaksanakan, terdapat peraturan Undang-Undang yang mengatur bahwa untuk pembentukan daerah atau wilayah yang otonom, harus diatur oleh Undang-Undang, bukan melalui Peraturan Daerah. Peraturan Daerah yang dijadikan pembentukan Nagari yang otonom tersebut, belum mendapat persetujuan dari pemerintah pusat, oleh karena itu belum dapat disebut sebagai Undang-undang. Sehingga, pada tanggal 15 Januari 1954, sistem wilayah otonom tersebut dibatalkan. Konsep Nagari yang berotonom pun dihidupkan kembali dengan dasar Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengewesten (IGOB). Untuk melaksanakan Sistem Pemerintahan Nagari yang kembali pada dasar IGOB ini, Menteri Dalam Negeri menindaklanjuti dengan Surat No.DDX/5/1/2 tertanggal 17 Februari tahun 1954. Surat ini kemudian ditindaklanjuti dengan Ketetapan Gubernur Kepala Daerah Provinsi Sumatera Tengah No.2/G.55 Tahun 1955. (Hasbi 1971; Bachtiar 1962 dan Manan 1984). Setahun setelah kembali ke sistem pemerintahan Nagari berdasarkan IGOB, tahun 1956-1961, bergolak pemberontakan PRRI di mana unsur-unsur OTM banyak yang terlibat (Kato 1989). Sehingga, pergolakan tersebut menyebabkan kekacauan bagi unsur-unsur OTM karena dianggap “pemberontak” Negara.
Kelanjutannya,
Surat
Keputusan
Gubernur
Sumatera
Barat
No.GSB/N/KN/58 tertanggal 31 Agustus 1958 kemudian diterbitkan. SK Gubernur ini mengatur pemberhentian Wali Nagari yang terlibat gerakan PRRI dan menggantinya dengan unsur OTM yang tidak terlibat dalam pemberontakan
106
tersebut. Arah penunjukkan tersebut adalah mengembalikan pola pemilihan Walinagari dengan yang berlaku pada zaman pemerintahan kolonial Belanda. Sedangkan
untuk
No.32/Desa/GSB/1959
Kerapatan
Nagari,
diterbitkan
tentang
susunan
Kerapatan
Peraturan Nagari
dan
Daerah cara
pembentukannya.15 Menurut Peraturan ini, anggota Kerapatan Nagari terdiri dari “tigo sapilin” (Penghulu, Alim Ulama dan Cerdik Pandai). Pemilihannya ditentukan oleh rapat pemuka-pemuka Adat Nagari. Terbitnya peraturan ini mengindikasikan menguatnya peran “Tigo Tungku Sajarangan”
dalam
pemerintahan Nagari (OTM). Pasca pergolakan PRRI, pada tanggal 30 Mei tahun 1963 diterbitkan kembali Surat Keputusan Gubernur Sumatera Barat No.02/Desa/Gsb-Prt/63 tentang Nagari dan Pemerintahan Nagari. Penerbitan Keputusan Gubernur ini bertujuan menertibkan unsur OTM seperti Wali Nagari, Kerapatan Nagari serta penghulu Suku yang terlibat dalam peristiwa PRRI. Di samping itu, beberapa struktur pemerintahan Nagari dirubah menjadi (1) Kepala Nagari; (2) Badan Musyawarah Nagari (BMN); dan (3) Musyawarah Gabungan. Di samping itu ada pula yang dinamakan alat-alat perlengkapan Nagari, yang terdiri atas Pamong Nagari, Panitera Nagari dan Pegawai Nagari. Badan Musyawarah Nagari yang dipimpin oleh Kepala Nagari merupakan perwakilan masyarakat Nagari yang anggotanya terdiri atas wakil-wakil sepuluh golongan, yang ditetapkan dengan Keputusan Gubernur yang sama. Wakil sepuluh golongan tersebut adalah (1) golongan adat, (2) golongan agama, (3) golongan front nasional, (4) golongan LSD, (5) golongan koperasi, (6) golongan wanita, (7) golongan tani/nelayan (8) golongan buruh, (9) golongan pemuda dan (10) golongan veteran/angkatan 45. Musyawarah Gabungan merupakan lembaga musyawarah anak Nagari, untuk memutuskan hal-hal yang tidak dapat disepakati oleh rapat BMN. Peserta atau anggota dari Musyawarah Gabungan ini terdiri dari Kepala Nagari, semua anggota BMN, semua pamong Nagari dan seorang utusan dari tiap-tiap kampung (jorong) dari Nagari.
15
Terkait pula dengan anggota KN yang terlibat PRRI
107
Seiring dengan Keputusan Gubernur di atas, terdapat Peraturan pendamping
yakni Peraturan No.3/Desa/GSB/1963, yang berisi ketetapan
mengenai rumah tangga Nagari, putusan, teritorial, bagian wilayah, dan kerjasama, pendapatan serta pengeluaran Nagari, berikut cara-cara penyusunan Anggaran Belanja dan Pendapatan Nagari. Menurut Peraturan ini, kedudukan Kepala Nagari, berbeda dengan peraturan sebelumnya, sangat kuat. Indikasinya, pertama, tidak dapat diberhentikan oleh BMN. Kedua, di samping menjadi Kepala Nagari, beliau juga merangkap jabatan menjadi Ketua BMN. Di samping itu, Kepala Nagari juga merangkap Ketua Musyawarah Gabungan. Ketiga, Jika kata sepakat tidak dapat dihasilkan dalam musyawarah, baik dalam BMN, maupun dalam Musyawarah Gabungan, maka Kepala Nagari dapat mengambil keputusan sendiri. Keistimewaan-keistimewaan yang diberikan Peraturan tersebut kepada Kepala Nagari, menyebabkan beliau menjadi “Penguasa Tunggal” dalam Nagari. Sistem kekuasaan seperti ini bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut Masyarakat Minangkabau, namun merupakan refleksi dari demokrasi terpimpin yang dianut Soekarno (Kahin 2005). 6.3. Otoritas Tradisional Minangkabau Dalam Orde Baru Pasca peristiwa G-30S/PKI, di Indoensia terjadi perubahan rezim penguasa dari Orde Lama menjadi rezim Orde Baru. Pergantian kekuasaan ini kemudian mendorong pembaharuan pada seluruh lembaga-lembaga politik. Orde Baru lahir dari dukungan kelompok-kelompok yang ingin terbebas dari masa lalu, yaitu masa Orde Lama (Ricklefs 2008). Oleh karena itu, seluruh lembaga politik warisan pemerintahan Orde Lama, termasuk yang berlangsung di dalam pemerintahan Nagari, kemudian dirubah. Perubahan mengenai Pemerintahan Nagari, ditandai dengan terbitnya Surat
Keputusan
Gubernur
Kepala
Daerah
Propinsi
Sumatera
Barat
No.015/GSB/1968 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari dalam Propinsi Sumatera Barat, pada tanggal 18 Maret 1968.16 Menurut SK Gubernur tersebut, Nagari merupakan kesatuan masyarakat hukum yang otonom, memiliki batas yang jelas, memiliki kekayaan, mengatur rumah tangga serta memilih penguasanya sendiri. Dalam masa ini, struktur kekuasaan Nagari terdiri dari, (1) 16
SK.Gubernur Kepala Daerah Propinsi Sumatera Barat No.015/GSB/1968
108
Wali Nagari, (2) Dewan Perwakilan Rakyat Nagari (DPRN) dan (3) Kerapatan Nagari. Dalam SK Gubernur di atas, terlihat adanya pemisahan yang jelas di antara kekuasaan legislatif dan eksekutif. Dewan Perwakilan Rakyat Nagari layaknya Dewan Legislatif, memiliki tugas untuk menetapkan Anggaran Keuangan Nagari (AKN) serta menetapkan peraturan Nagari yang berkenaan dengan Nagari. Kerapatan Nagari, merupakan perwujudan dari tigo tungku sajarangan atau tigo tali sapilin, yang unsur pokoknya terdiri dari Ninik-Mamak, Alim Ulama dan Cerdik Pandai. Tugas pokok Kerapatan Nagari adalah memberi pertimbangan dan mengadili permasalahan adat dan Agama. Di samping itu juga berfungsi sebagai Badan Pertimbangan Pemerintah Nagari. Peranan yang di sandang Kerapatan Nagari ini menunjukkan bukti bahwa fungsi-fungsi OTM masih berlanjut dalam birokrasi Pemerintahan (BP). Kedua unsur tersebut, yaitu BP dan OTM saling bekerjasama dalam mengatur kehidupan masyarakat hukum adat Minangkabau Modern. Untuk lebih jelas mengenai struktur pemerintahan baru awal masa Orde Baru, lihat Tabel 6.4. berikut;
Tabel 6.4 Struktur Pemerintahan Nagari menurut SK Gubernur Kepala Daerah Propinsi Sumatera Barat No.015/GSB/1968 Kategori
Uraian
Kewajiban Nagari
Melakukan tugas pemerintahan Membina ketertiban dan keamanan Mempertinggi kesejahteraan Masyarakat Meningkatkan Kecerdasan Rakyat Mengembangkan kehidupan beragama dan kebudayaan Memelihara dan mengembang harta Nagari Melaksanalan peraturan dan tugas dari Pemerintahan yang lebih tinggi
Proses Pemilihan Wali Nagari
Dicalonkan oleh DPRN, kemudian dipilih oleh rakyat Nagari diangkat oleh Gubernur Bertanggung jawab kepada DPRN
Masa Tugas
4 tahun dapat dipilih kembali untuk masa jabatan berikutnya
Pembantu
Sekretaris Nagari Kepala Jorong (diangkat oleh Wali Nagari)
Sumber : SK Gubernur Prov.Sumbar No.105/GSB/1968 (diolah)
109
Pada tahun 1974, terjadi kembali perubahan OTM, di mana dengan diterbitkannya UU No.5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah. Sebagai tindak lanjutnya, Gubernur Sumatera Barat menerbitkan SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Barat No.155/GSB/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Nagari Dalam Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Barat. Tujuan utama dari peraturan ini adalah untuk melakukan penyempurnaan SK Gubernur Kepala Daerah Provinsi Sumatera Barat No.015/GSB/1968 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Nagari dalam Propinsi Sumatera Barat. Perubahan utama terletak pada dihilangkannya DPRN sebagai bagian dari perangkat Nagari. Kerapatan Nagari selanjutnya mengambil tugas DPRN, dan Wali Nagari langsung menjadi Ketua Kerapatan Nagari. Perbedaan lain adalah, naiknya kualifikasi persyaratan pendidikan sebagai syarat menjadi Wali Nagari, dari SD menjadi SMP. Sejak 1974 hingga 1979 tidak terdapat intervensi yang dilakukan BP sehingga OTM mengalami perubahan yang berarti. Berdasarkan uraian di atas dapat dirangkum bahwa hingga diterbitkannya UU No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, kemudian ditindaklanjuti oleh SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Barat No.155/GSB/1974, pemerintah masa Orde Baru masih menjaga dan mengakui OTM sebagai satu kesatuan masyarakat adat yang otonom. 6.3.1. Nagari Menjadi Desa Intervensi BP yang sangat berpengaruh terhadap sendi-sendi keutuhan OTM adalah ketika dilaksanakannya UU No.5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Undang-undang ini merupakan cerminan dari UU No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah di mana salah satu konsiderannya menyebutkan bahwa “sesuai dengan sifat-sifat NKRI maka kedudukan Pemerintahan Daerah sejauh mungkin diseragamkan”. Meskipun undang-undang No.5 Tahun 1979 merupakan kebijaksanaan pemerintahan Republik Indonesia yang bertujuan menyeragamkan pemerintahan terendah (desa) di seluruh Indonesia, namun
tidak mengabaikan adanya
keragaman wilayah Desa berikut adat istiadat yang berlaku. Hal ini terlihat dari konsideran yang tertulis sebagai berikut;
110
“Bahwa sesuai dengan sifat Negara Kesatuan Republik Indonesia maka kedudukan Pemerintaha desa sejauh mungkin diseragamkan dengan mengindahkan keberagaman keadaan Desa dan ketentuan adar-isitiadat yang masih berlaku memperkuat pemerintahan Desa agar makin mampu menggerakkan masyarakat dalam partispasinya dalam pembangunan dan menyelenggarakan administrasi Desa yang makin meluas dan efektif.” Adapun tujuan ideal dan normatif Undang-undang tersebut menurut konsideran terkutip sebagai berikut: (1) menyeragamkan pemerintahan desa tanpa harus mengabaikan keberagaman Desa dan Adat yang berlaku; (2) adanya pemerintahan
yang
kuat
sehingga
mampu
menggerakkan
partisipasi
masyarakatnya dalam membangun serta meningkatkan kemampuan dalam menyelenggarakan administrasi desa yang semakin meluas dan efektif. Sementara itu, wilayah desa yang beragam dengan adatnya yang dimaksud dalam konsideran tersebut, dijelaskan pula pada pasal 18, yakni; desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah ini mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asalusul daerah tersebut. Namun, Undang-undang No.5/1979 memiliki perbedaan makna yang cukup menyolok dengan peraturan terdahulu, seperti SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Barat No. 015/GSB/1968 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari dan SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Barat No.155/GSB/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari Dalam Propinsi Sumatera Barat.17 Menurut kedua peraturan daerah tersebut, pemerintahan terendah di Sumatera Barat adalah Pemerintahan Nagari. Sedangkan pengertian Nagari adalah sebagai berikut: 17
Perbedaan di antara kedua SK.Gubernur tersebut hanya terletak pada Alat Perlengkapan Nagari, jika menurut SK.Gubernur Kepala Daerah Tk.I Sumatera Barat No. 015/GSB/1968, adalah Wali Nagari, Dewan Perwakilan Rakyat Nagari (DPRN) dan Kerapatan Nagari (KN), sedangkan pda SK. Gubernur Kepala Daerah Tk.I Sumatera Barat No.155/GSB/1974, Alat Perlengkapan Nagari adalah Wali Nagari dan Kerapatan Nagari saja, tidak ada Dewan Perwakilan Rakyat Nagari (DPRN)
111
Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum di Prop.Sumatera Barat yang menjadi dasar dari Negara Republik Indonesia, yang jelas batas-batas daerahnya, mempunyai harta benda sendiri, berhak mengatur rumah tangganya dan memilih penguasanya Sementara itu, pemerintahan desa yang dimaksud dalam UU No.5/1979 dipimpin oleh seorang Kepala Desa yang kekuasaannya berada langsung di bawah Camat sehingga bertanggung jawab kepada Camat. Pengertian Desa seperti yang tertulis dalam Pasal 1, adalah;
Desa adalah satu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat , termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia Pada perbandingan kutipan ayat tersebut terlihat perbedaan antara keduanya, terutama, pada kekuasaan pemimpin. Jika Nagari berhak mengatur rumah tangganya sendiri dan memilih penguasanya sendiri, maka pemerintahan Desa merupakan organisasi langsung di bawah Camat dan Kepala Desa bertanggung jawab “ke atas” pada Camat. Perbedaan lainnya terletak pada luas wilayah di antara Nagari dan Desa yang diajukan Pemerintah Daerah. Menurut para sarjana, di antaranya Naim (1985), Manan (1995) dan Benda-Beckman (2007), motif penyeragaman tersebut adalah agar memudahkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan, memudahkan pendistribusian bantuan, serta mempermudah pengukuran program pembangunan yang telah dilaksanakan. Pemerintah Daerah di Sumatera Barat, menjadikan pelaksanaan UU No.5/1979 ini sebagai kesempatan untuk mendapatkan curahan dana Pembangunan yang lebih besar dari Pemerintah Pusat. Hal ini ditempuh dengan cara mengajukan Jorong atau Korong yang merupakan wilayah pemerintahan di bawah Pemerintahan Nagari, untuk dijadikan pemerintahan Desa. Dasar Pertimbangan lebih menekankan pada keuntungan finansial dibandingkan pertimbangan aspek sosial dan budaya. Jika Nagari yang dijadikan Desa, maka jumlahya hanya mencapai 543 Desa. Namun, apabila jorong yang dijadikan Desa, maka jumlahnya akan
112
mencapai 3123 Desa sesuai dengan jumlah jorong/kampung yang ada pada saat di Sumatera Barat. Sebagai contoh, jika satu desa mendapatkan dana bantuan Satu Juta Rupiah pertahun, maka jumlah yang akan diterima jauh lebih besar pada Jorong sebagai Desa. Padahal, dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No.4 Tahun 1981 dan Peratura Daerah No.7 Tahun 1981 tentang Pembentukan, Pemecahan, Penyatuan dan Penghapusan Desa,18 telah ditetapkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis pembentukan Desa yaitu: (1) Jumlah penduduk sedikitnya 2500 jiwa atau 500 KK; (2) Luas wilayah yang efisien bagi pembinaan dan pelayanan pemerintahan; (3) Letak wilayah dalam kaitan luas wilayah pelayanan dan pembinaan; (4) Prasarana dan sarana perhubungan, produksi dan pemasaran, serta pemerintahan; (5) Sosial budaya yang berhubungan dengan adat; dan (6) Tersedianya tempat untuk mendapatkan mata pencaharian. Dilihat dari syarat tersebut di atas, menurut Sjahmunir (1984), Naim, et.al. (1984), dan Benda-Beckman (2007), dari 3.123 desa yang telah terbentuk dan disahkan oleh Pemerintah Daerah Sumatera Barat pada tahun 1984, hanya 94 Desa yang memenuhi syarat sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan tersebut di atas. Jika tolok ukurnya adalah jumlah penduduk harus mencapai ≥ 2.000 Jiwa, maka hanya 223 Desa yang memiliki penduduk ≥ 2.000 Jiwa, sedangkan desa yang memiliki penduduk lebih dari 1.000 jiwa namun kurang dari 2.000 jiwa hanya sekitar 981 Desa. Artinya, dari 3.123 desa yang telah dibentuk Pemerintah Daerah Sumatera Barat pada tahun 1984, lebih dari separuhnya belum memenuhi syarat sebagaimana yang diatur dalam UU, Intruksi Mendagri, Permendagri dan SK Gubernur tentang Pemerintahan Desa.
18
Pemerintah Pusat dan Pemda Sumbar, dalam upaya mengimplementasi UU No.5/1979 ini, telah menebitkan satu Intrsruksi Mendagri, satu Kepmendagri, lima Perda dan satu SK.Gubernur, yakni, pertama, Instruksi Menteri Dalam Negri No. 9 tahun 1980 tentang Pelaksanaan UU no.5/1979 tentang Pemerintahan Desa tertanggal 6 Februari 1980. Kedua, Permendagri No.4 Tahun 1981 tentang Pembentukan, Pemecahan, Penyatuan dan Penghapusan Desa. Ketiga, Perda No.7 Tahun 1981 tentang Pembentukan, pemecahan, penyatuan dan penghapusan Desa tertanggal 27 Juni 1981. Keempat, Perda No.8 tahun 1981 tentang Pembentukan, Pemecahan, penyatuan dan penghapusan Kelurahan dalam Propinsi Daerah Tk.I Sumatera Barat tertanggal 27 Juni 1981. Kelima, Perda No.9 Tahun 1981 tentang Pembentukan Lembaga Musyawarah Desa dalam Propinsi Daerah Tk.I Sumatera Barat, tertanggal 27 Juni 1981. Keenam, Perda No.10 Tahun 1981 tentang tata cara pemilihan, pengesahan, pengangkatan, pemberhentian sementara dan Pemberhentian Kepala Desa, tertanggal 27 Juni 1981. Ketujuh, Perda No.11 Tahun 1981 Tentang Keputusan Desa tertanggal 27 Juni 1981. Kedelapan, SK.Gubernur Kepala Daerah TK.1 Sumatera Barat No.287/GSB/1981 Tentang Penunjukkan Desa Pilot Proyek Dalam Propinsi Daerah Tk.I Sumatera Barat, tertanggal 26 Juni 1981.
113
Perbedaan lain di antara pemerintahan Nagari dan Desa adalah terletak pada alat perlengkapan pemerintahan. Pada Nagari, pemerintahan terdiri atas: (1) Wali Nagari, (2) DPRN, (3) Kerapatan Nagari, maka pemerintahan Desa terdiri hanya dari (1) Kepala Desa dan (2) Lembaga Musyawarah Desa (LMD) dengan dibantu lembaga non struktural Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD). Di samping itu, Wali Nagari dipilih oleh rakyat, namun calon-calon Wali Nagari diseleksi dan ditetapkan oleh DPRN. Anggota DPRN pun merupakan utusan golongan yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Kedua lembaga ini, Wali Nagari dan DPRN, bertugas sebagai ekskutif dan legislatif yang memiliki tugas terpisah secara jelas. Wali Nagari, bertanggung jawab terhadap DPRN dan juga kepada Bupati. Berbeda dengan Nagari, pada pemerintahan Desa, Kepala Desa dipilih dan diangkat oleh Camat, serta bertanggung jawab terhadap Camat. Kepala Desa juga merangkap jabatan sebagai ketua LMD dan LKMD yang memperlihatkan Kepala Desa sebagai penguasa tunggal di Desa. Perbedaan lain yang cukup menyolok adalah pada sumber keuangan. Pada pemerintahan Nagari semenjak pemerintahan kolonial Belanda telah mandiri dalam sumber keuangann seperti dari (1) Pajak Nagari, (2) Retribusi Nagari, (3) Pajak Negara yang diserahkan pada Nagari, (4) Subsidi, (5) Bagian tertentu dari pajak-pajak dan pungutan dari pemerintah Kabupaten, (6) Hasil-hasil perusahan Nagari, (7) Pinjaman, dan (8) Usaha Nagari lainnya. Sedangkan pada pemerintahan Desa, keuangan hanya terdiri atas dua sumber, pertama Pendapatan Pendapatan Asli Desa, yang kedua, pendapatan asli dari Pemerintah. Adapun sumber pendapatan asli Desa berasal dari : (1) Hasil tanah Kas Desa, (2) Hasil swadaya dan partisipasi Masyarakat Desa, (3) Hasil dari gotong royong Masyarakat Desa, (4) Usaha Desa lainnya yang sah. Sedangkan Pendapatan dari Pemerintah berasal dari: (1) Sumbangan dan Bantuang Pemerintah, (2) Sumbangan dan bantuan Pemda, (3) Sebagian pajak dan retribusi yang diberikan pada Desa, serta pendapat lainnya yang sah. Untuk melihat perbedaan di antara pemerintahan Nagari dan Desa, dapat dilihat pada Tabel 6.5. Kebijakan penyeragaman pemerintahan Desa, dengan menetapkan wilayah Jorong
(Korong,
Kampuang)
menjadi
pemerintahan
Desa,
disatu
sisi
menguntungkan, namun disisi yang lain menjadi masalah sosial politik dan sosial
114
budaya. Beberapa permasalahan tersebut, pertama, dengan pelembagaan UU No.5/1979 tidak saja perubahan nama Nagari menjadi Desa, akan tetapi telah pula merubah sistem dan struktur sosial, politik dan budaya tradisionalnya, termasuk orientasi dan filosofi Nagari tersebut. Nagari tidak hanya teritorial sederhana, tetapi didasarkan pada banyak aspek, seperti kelompok garis keturunan yang memilki fungsi-fungsi yang luas. Menurut adat, sebuah hunian dapat disebut Nagari apabila memiliki persyaratan seperti mesjid, balai (pasar), jalan, tempat pemandian (Naim 1990). Menurut Abdullah (1966) mesjid adalah tempat menjalankan kewajiban agama dan balai adalah tempat membicarakan banyak hal yang bersifat sekuler serta urusan pemerintahan. Hanya karena adanya dua lembaga ini, suatu hunian dapat disebut suatu masyarakat, di mana tanggung jawab kepada masyarakat dan kepada Tuhan dapat diintegrasikan. Ambler (1988)19 melihat akibat dilembagakannya UU No.5/1979 ini berakibat pada menurunnya lembaga sosial pengelola air tradisional (Tuo Banda) di Minangkabau. Rafni dan Winarno (2001) juga menemukan perubahan mendasar pada pelembagaan pemerintah Nagari menjadi Desa, di antaranya adanya perubahan Kerapatan Nagari menjadi Lembaga Musyawarah Desa (LMD) bukanlah sekedar perubahan nama, akan tetapi di antara keduanya terdapat perbedaan karakter dan semangat yang menyertainya, mencakup keanggotaan dan kedudukan dalam pemerintahan. Keanggotaan Kerapatan Nagari diwakili oleh hampir seluruh perwakilan yang ada di dalam Nagari. Sedangkan LMD, menurut Permendagri No.2/1981 dibatasi sebanyak 15 orang. Dengan demikian jumlah keanggotaan Kerapatan Nagari jauh lebih besar, dibandingkan dengan LMD. Sehingga, banyak yang suara yang tidak terwakili. Hal tersebut merupakan suatu yang sangat dihindari dalam tradisi Minangkabau (von Benda-Beckaman, 1984). Dalam cakupan perubahan peran, pada masa pemerintahan Nagari, Kerapatan
Nagari
selain
berperan
sebagai
lembaga
musyawarah
juga
melaksanakan peradilan adat, peradilan agama serta memberi nasihat kepada Wali Nagari, apabila di minta. Di samping itu, Kerapatan Nagari juga mempunyai
19
Untuk pembahasan yang jelas mengenai dampak UU no.5/1979 ini terhadap sistem pengairan tradisional di Sumatera Barat, Lihat John S. Ambler (1988) Historical Perfectives on Sawah Cultivation and the Political and Economic Context for Irigation in West Sumatra, Indonesia 46(Oktober 1988) hal. 69-77.
115
pengaruh dan peranan yang menentukan dalam proses pencalonan dan pemilihan Wali Nagari. Artinya, peran Kerapatan Nagari ini memilki peran ganda, (1) sebagai Dewan Legislatif; (2) Sebagai Dewan Yudikatif (mengadili perkara adat dan agama); (3) berperan sebagai Dewan Konsultatif, yaitu memberikan nasihat kepada Wali Nagari jika diminta; (4) Dewan pengontrol segala kebijaksanaan wali Nagari dan berhak meminta pertanggung jawaban Wali Nagari, (5) Peran sebagai Dewan yang menyeleksi calon Wali Nagari. Sementara itu, LMD tidak memiliki peran sejauh peran Nagari serta tidak pula memiliki peran vital dalam pengambilan kebijakan di Desa. Sehingga, kehadiran LMD hanya sebagai lembaga musyawarah yang mengusulkan dan membahas pelaksanaan keputusan desa dan hanya bertindak sebagai lembaga yang melegitimasi keputusan desa. Begitu pula peran Wali Nagari, yang dipilih oleh rakyat dan memiliki legitimasi yang sangat kuat karena mendapatkan dukungan sepenuhnya dari rakyat Nagari, sehingga: (1) Wali Nagari memiliki status kepemimpinan formal sekaligus kepemimpinan informal, (2) Kekuasaan Wali Nagari ditunjukkan untuk kepentingan anak negeri, (3) Murni dipilih oleh rakyat tanpa campur tangan pemerintah atasan, (4) Wali Nagari juga dipilih melalui prosedur formal. Hal ini berbeda dengan Kepala Desa, yang cenderung mengharap restu dari “atas” dan tidak mengakar kuat ke bawah. Beberapa rangkuman tersebut, mewakili banyak kesimpulan yang memperlihatkan bagaimana Nagari menjadi korban dan mengalami transformasi dengan dilembagakannya UU No.5/1979 tentang Pemerintahan Desa. Namun, penelitian tentang bagaimana UU No.5/1979 diimplementasikan sangat langka. Salah satu hasil kajian komprehensif tentang hal tersebut adalah apa yang di lakukan oleh Manan (1995), penelitian yang dilakukan selama 1987 hingga 1989 di enam Nagari menyimpulkan beberapa hal. Pertama,
banyak dari jorong
(korong dan kampuang) yang dirubah menjadi Desa namun tidak memenuhi syarat jumlah penduduk sebagaimana yang ditetapkan petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis yang terkandung dalam Instruksi Mendagri, Permendagri dan Perda sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Kedua, dengan bertambahnya jumlah Desa, walaupun tidak memenuhi syarat kependudukan, menyebabkan
116
penambahan jumlah aparat yang harus dibiayai. Untuk lebih jelas mengenai perbandingan Pemerintahan Desa dan Nagari, lihat tabel berikut; Tabel 6.5 Perbandingan Pemerintahan Desa Berdasarkan UU No.5/1979 Tentang Pemeritahan Desa dan Nagari SK Gubernur Kepala Daerah Propinsi Sumatera Barat No.015/GSB/1968 Tentang Pemerintahan Nagari Pemerintahan Nagari20
Pemeritahan Desa
Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum di Propinsi Sumatera Barat yang menjadi dasar dari Negara Republik Indonesia, yang jelas batasbatas daerahnya, mempunyai harta benda sendiri, berhak mengatur rumah tangganya dan memilih penguasanya
Desa adalah satu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat , termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukun yang mempunyai organisasi pemerintahan langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Alat Perlengkapan Pemerintahan Nagari: (1) Wali Nagari, (2) DPRN, (3) Kerapatan Adat Nagari. Wali Nagari dipilih oleh rakyat berdasarkan beberapa calon seleksi dari DPRN. Wali Nagari bertanggung jawab terhadap DPRN dan Bupati
Alat Perlengkapan Desa adalah, (1) Kepala Desa/Lurah, (2) Lembaga Musyawarah Desa (LMD), (3) Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD)
Terdapat Pemisahan Ekskutif (Wali Nagari) dan Legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat Nagari/DPRN). Terdapat Unsur lain, selain Wali Nagari dan DPRN, yakni Kerapatan Nagari merupakan badan permusyawaratan tokoh-tokoh Nagari (Ninik-Mamak, Alim Ulama dan Cerdik Pandai). Tugas pokok, (1) sebagai lembaga Peradilan Agama dan Adat, (2) Badan Pertimbangan Pemerintah Nagari
Kepala Desa bertanggung jawab “keatas” kepada Camat. Kepala Desa merangkap Ketua LMD dan LKMD LMD merupakan Lembaga Permusyawatan yang terdiri dari unsur Kepala Dusun, Pimpinan Lembaga Kemasyarakatan dan Pemuka-pemuka masyarakat Desa. Kedudukan LMD sebagai permusyawaratan pemuka masyarakat yang menyalurkan pendapat masyarakat LMD dipilih oleh Kepala Desa, berjumlah 9-15
Sumber Keuangan Nagari; (1) Pajak Nagari, (2) Retribusi Nagari, (3) Pajak Negara yang diserahkan pada Nagari, (4) Subsidi, (5) Bagian tertentu dari pajak-pajak dan pungutan dari pemerintah Kabupaten, (6) Hasil-hasil perusahan Nagari, (7) Pinjaman , (8) Usaha Nagari lainnya
Pendapat Asli Desa: (1) Hasil tanah Kas Desa, (2) Hasil swadaya dan partisipasi Masyarakat Desa, (3) Hasil dari gotong royong Masyarakat Desa, (4) Usaha Desa lainnya yang sah Pendapatan dari Pemerintah: (1) Sumbangan dan Bantuang Pemerintah, (2) Sumbangan dan bantuan Pemda, (3) Sebagian pajak dan retribusi yang diberikan pada Desa, dan (4) pendapat lainnya yang sah.
Sumber: UU No.5/1979 Tentang Pemeritahan Desa dan Nagari SK Gubernur Kepala Daerah Propinsi Sumatera Barat No.015/GSB/1968 Tentang Pemerintahan Nagari (diolah) 20
SK. Gubernur terakhir tentang pemerintahan Nagari sesungguhnya SK.Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Barat No.0155/GSB/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari di Sumatera Barat. Perubahan utama terletak pada Alat Perlengkapan Nagari, di mana menurut SK.Gubernur Kepala Daerah Propinsi Sumatera Barat No.015/GSB/1968 Ttg Pemerintahan Nagari, adalah Wali Nagari, DPRN dan Kerapatan Nagari, maka menurut SK.Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Barat No.0155/GSB/1974 Alat Perlengkapan Nagari hanya Wali Nagari dan Kerapatan Nagari.
117
Dengan demikian, dengan menjadikan jorong sebagai unit administrasi yang paling rendah telah menimbulkan in-efisiensi dalam pemerintahan Desa. Manan
(1995)
mencoba
membuktikan
in-efisiensi
tersebut
dengan
mengkalkulasikan besaran gaji dan honor dengan mengambil contoh pada pegawai 6 (enam) Nagari pada pra kemerdekaan, pra UU No.5/1979 dan pasca UU No.5/1979. Pada masa pra kemerdekaan, jumlah pegawai yang harus digaji secara teratur adalah enam kali
tiga orang (18 orang). Pada masa pra UU
No.5/1979 jumlah pegawai yang harus digaji dan diberikan honor adalah enam kali enam orang (36 orang). Sedangkan pada masa pemerintahan Desa, 6 (enam) Nagari tersebut berkembang menjadi 57 Desa dengan rata-rata per Desa memiliki 8 orang pegawai (1 Kades, 1 Sekdes, 3 Kaur dan rata-rata 3 Kadus) maka jumlah pegawai yang harus digaji adalah 57 kali 8 orang (456 orang). Jika dibandingkan dengan gaji yang harus dibayarkan ketika masih menjadi Nagari, dengan setelah 6 Nagari menjadi 57 Desa, maka terdapat peningkatan pengeluaran untuk gaji sebanyak 12 kali lipat. Darimana dana sekian banyak harus dicarikan sumbernya? Ketiga, temuan penelitian lapangan menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap Kepala Desa sangat rendah, begitupun gaji dan tunjangan yang didapatkan oleh Kepala Desa dan perangkat Desa juga rendah di samping sering terjadinya keterlambatan. Hal tersebut menimbulkan anggapan bahwa menjadi aparat Desa merupakan pekerjaan yang kurang menarik bahkan merupakan pekerjaan sambilan. Akibatnya, dibanyak desa, aparat memiliki pendidikan dan kedudukan sosial yang rendah di masyarakat. Keempat, aparat desa dianjurkan untuk memiliki seragam guna meningkatkan wibawa. Namun, karena ketidaktersediaan dana baik dari kas desa maupun dari pemerintah, maka Kepala Desa berupaya sendiri dengan menggunakan dana Bantuan Desa, akibatnya mendapat kritik dari rakyatnya, sehingga pengadaan pakaian tersebut malah menurunkan wibawa aparat Desa. Oleh karena itu, penghasilan yang kecil dari aparat desa, keterbatasan potensi desa untuk berpenghasilan sendiri untuk membiayai aparatnya, serta masyarakat Minangkabau yang kritis, menyebabkan rawannya kedudukan kepala Desa beserta aparatnya. Kelima, Kepala Desa kurang berfungsi sebagai penyalur aspirasi,
118
karena lebih berorientasi “ke atas” daripada kepada rakyat. Kepala Desa diharuskan menyukseskan program pemerintah, baik Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat. Kepala Desa hanya bertanggung jawab kepada Camat, sementara kepada LMD hanya sebatas memberikan keterangan, bukan pertanggung jawaban. Rakyat melihat Kepala Desa hanya sebagai alat pemerintah, bukan sebagai pimpinan mereka. Dalam posisi seperti tersebut, sebagai konsekuensinya masyarakat akan sukar diharapkan untuk berpartisipasi terhadap program pembangunan baik yang digagas oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat yang diintrodusir oleh Kepala Desa. Soemardjan (1989) dalam penelitiannya di 10 propinsi di luar Jawa juga menemukan permasalahan terhadap implementasi UU No.5/1979, yaitu (1) Tidak memiliki landasan yang kuat untuk memecah desa tradisional menjadi desa baru, (2) Desa baru yang terlalu kecil, tidak memenuhi syarat yang harus mendapat perhatian, (3) Minimnya sumber penghasilan desa, (4) Rendahnya penghasilan aparat desa, (5) tidak tertibnya administrasi desa, (6) Belum tersedianya sarana perkantoran desa, (7) Rendahnya minat orang menjadi aparat Desa, (8) Terbatasnya kekuasaan pemerintahan desa, (9) Kaburnya pemahaman mengenai lembaga yang melekat pada pemerintahan desa baru (Kepala Desa, LMD dan LKMD), (10) Kurang pekanya aparat terhadap masalah yang muncul akibat penerapan sistem pemerintahan baru, karena aparat lebih berorientasi “ke atas”. Permasalahan lain terhadap pelembagaan UU No.5/1979 tentang pemerintahan Desa adalah
sumber-sumber ekonomi Nagari. Seperti telah
dijelaskan sebelumnya, bahwa sebuah Nagari terdiri dari hutan tinggi dan hutan rendah. Hutan tinggi adalah cadangan tanah Nagari dalam bentuk hutan, rawa serta tanah yang belum terpakai yang biasanya terletak di pinggiran Nagari. Ia merupakan milik penghulu suku atau Nagari yang dicadangkan buat perkembangan alamiah anak Nagari. Sementara itu, hutan rendah merupakan tanah sawah, ladang, perkarangan dan tanah perumahan yang telah terpakai. Pelembagaan UU No.5/1979 ini menjadi permasalahan pada jorong yang berada dipinggiran Nagari dan menguntungkan jorong (koto) yang berada di tengah menjadi pusat Nagari. Hal ini disebabkan, tanah-tanah yang berada pada jorongjorong yang berada pada pinggiran Nagari dimiliki oleh penghulu suku, atau
119
Nagari. Sehingga, pada jorong yang berada pada pinggiran Nagari, ketika berubah menjadi Desa mengalamai keterbatasan sumberdaya tanah. Bahkan, keterbatasan sumberdaya manusia juga. Dari pembahasan di atas, dapat dirangkum bahwa pelembagaan UU No.5/1979 pada satu sisi memiliki dampak terhadap Nagari yang semula laksana negara-negara mini kemudian menjadi “negara-negara mini yang terpilah-pilah”. Namun, pada sisi yang lain, tidak pula pelembagaan UU No.5/1979 berjalan sukses secara keseluruhan, Desa ibarat “hidup segan mati tak mau” sehingga “bayang-bayang” pemerintahan Nagari atau OTM tetap berkelanjutan. Sebagai tambahan, OTM dimungkinkan berlanjut karena desakan kaum “tigo tungku sajarangan” atau “tigo tali sapilin” yang terdiri dari ninik-mamak, cendikia, alim ulama termasuk Bundo Kandung, yang melakukan kritik terus menerus terhadap pelembagaan UU No.5/1979 (Kahin, 2005; Benda-Beckman, 2007). Sehingga, pada tahun 1983 diterbitkanlah Perda No.13/1983 tentang Nagari sebagai wilayah hukum adat. Dalam Perda ini, pemerintah memberi ruang pada OTM dengan menetapkan Kerapatan Adat Nagari (KAN) sebagai kesatuan masyarakat hukum adat. Tujuan dari diterbitkannya Perda ini adalah untuk mengantisipasi agar peran Nagari tetap terjaga dan utuh (Zulqaiyyim, 2002). Keputusan-keputusan KAN menjadi pedoman bagi Kepala Desa dalam menjalankan roda Pemerintahan Desa dan wajib ditaati oleh seluruh masyarakat Nagari. Aparat pemerintahan berkewajiban membantu menegakkan OTM sesuai dengan Perda tersebut, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan dan perundangan yang berlaku (Perda Sumatera Barat, No.13/1983, Bab IV, pasal 7, sub 2). Implementasi Perda No.13/1983 tersebut menunjukkan bahwa, pertama, KAN kemudian memiliki sumber keuangan sendiri yang berasal dari wewenangnya dalam menyelesaikan perkara dan tanah adat, serta hasil dari pasarpasar Nagari yang merupakan milik masyarakat adat. Kedua, wewenang KAN, sepanjang menyangkut adat masih cukup kuat, karena masih berlakunya hukum adat sepanjang menyangkut Sako dan Pusako. Ketiga, bagi mereka yang mencoba melangkahi otoritas KAN, dalam permasalahan adat tersebut, maka Kepala Desa, Camat atau Pengadilan Negri, akan mengembalikan permasalahan pada KAN,
120
untuk terlebih dahulu diselesaikan secara adat. Di samping itu, ketika mereka yang bersengketa tidak puas dengan penyelesaian KAN, dan melanjutkannya pada Pengadilan Negeri, maka biasanya Pengadilan akan memutuskan berdasarkan hukum adat dan saksi-saksi dari KAN akan dimintai sebagai pokok pertimbangan. Jika dirangkumkan, pelembagaan UU No.5/1979 sebagai bentuk modernisasi administrasi pemerintahan terendah pada wilayah masyarakat adat Minangkabau telah berlangsung. Reaksi OTM, yang diwakili oleh elite tradisional, tokoh intelektual, agama dan perantau, terhadap pelembagaan UU No.5/1979 ini bersifat negatif, karena kekhawatiran hilangnya identitas Minangkabau. Untuk menghindari hilangnya identitas Minangkabau (otoritas tradisional), Pemda kemudian menerbit Perda No.13/1983 tentang Nagari sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Fungsi dari Perda ini, bagi pemerintah daerah adalah agar Nagari (otoritas tradisional) dapat, pertama, membantu pelaksanaan pembangunan di segala bidang. Kedua, tetap dapat mengurus hukum adat dan istiadat serta memberikan kedudukan hukum adat terhadap perihal yang bersangkutan dengan suku-sako Nagari. Ketiga, melakukan pembinaan dan pengembangan
adat
Minangkabau.
Keempat,
bertugas
memelihara
dan
memanfaatkan kekayaan Nagari untuk kesejahteraan Nagari. Oleh karena itu, secara teoritis pelembagaan UU No.5/1979 telah berlangsung di Sumatera Barat, namun sistem otortitas tradisional masih tetap terpelihara. 6.4. Nagari Pada Masa Otonomi Daerah Pada tahun 1990-an, banyak kritik-kritik negatif secara terbuka telah dilontarkan dalam wacana publik, baik oleh intelektual perkotaan, maupun kaum adat dan agama di Sumatera Barat terhadap pelaksanaan Pemerintahan Desa (F dan K.von Benda-Beckman 2007). Pada sebuah seminar yang mengambil topik Nagari, Desa dan Pembangunan di Sumatera Barat, menyimpulkan beberapa hal penting. Pertama, bahwa keputusan melembagakan UU No.5/1979 dengan memecah Nagari-Nagari menjadi desa-desa memiliki efek sosial, ekomis dan kultural yang merugikan. Kedua, pemerintah desa tidak mampu mengerahkan penduduk kampung untuk berpartisipasi dalam pekerjaan-pekerjaan dan kepentingan-kepentingan bersama (pembangunan). Ketiga, Negara tidak mampu memberikan konpensasi finansial yang cukup terhadap Kepala Desa dan
121
aparatnya. Keempat, di berbagai tempat KAN menjadi institusi yang tidak efisien karena tidak memiliki otoritas yang nyata (Hasbi et.al 1990). Menurut Naim (1990) Nagari dan Desa bukan saja berbeda dalam luasan wilayah dan struktur adminstratif saja, namun lebih dari itu, perbedaan di antara keduanya terletak pada representasi pandangan-pandangan dunia serta falsafah-falsafah yang berlainan. Nagari merupakan mikrokosmos politis tata pemerintahan Minangkabau yang lebih luas, selaras dengan dasar-dasar adat matrilineal. Oleh karena itu, yang dibutuhkan oleh Sumatera Barat adalah pemerintahan desa yang akarnya terletak di bumi, dan kepala berada di udara (layaknya manusia), bukan seperti pemerintahan desa sebagaimana termaktub dalam UU No.5/1979, layaknya kepala terbenam di bumi, dengan akar mengawang-awang di udara. Kritik lain juga diajukan Damciwar (1990:75) bahwa kesalahan pelembagaan UU No.5/1979 bukanlah terletak pada peraturan undang-undang tersebut, bukan pula pada pemerintahan pusat, namun terletak pada “kita” (pemerintah Daerah Sumatera Barat) yang lebih mementingkan pertimbangan-pertimbangan finasial. Setelah mendapat kritik dan desakan kalangan intelektual, kalangan adat dan Ulama, dan telah pula pemerintahan Desa berlangsung selama 16 tahun, terhitung sejak 1983, maka dasar perubahan dapat dilakukan dengan telah diterbitkannya UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, di mana pada Bab XI pasal 93 ayat 1 dan 2 disebutkan sebagai berikut; (1) Desa dapat dibentuk, dihapus, dan/atau digabung dengan memperhatikan asal-usul atas prakarsa masyarakat dengan persetujuan Pemerintah Kabupaten dan DPRD; (2) Pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan Desa, sebagai yang dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Maka, dengan dasar undang-undang No.22 tahun 1999, pada tahun 2000 Pemerintah provinsi menerbitkan Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat No.9/2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari. Konsideran Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat No.9/2000 menyebutkan bahwa: 1. “perubahan paradigma pemerintahan sebagaimana yang dimaksud Undang-undang No.22 tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah, yang memberi peluang kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri termasuk menyesuaikan bentuk dan Susunan Pemerintahan Desa berdasarkan asal-usul dan kondisi sosial budaya
122
masyarakat setempat harus dimanfaatkan sebagaimana mestinya untuk menata kembali Pemerintahan Nagari demi kemajuan masyarakat Sumatera Barat berdasarkan adat Basandi syara’, Syara’ basandi Kitabullah, Syara’ mangato adat mamakai, alam takambang jadi guru” 2. “Sistem Pemerintahan Nagari dipandang efektif guna menciptakan ketahanan Agama dan Budaya berdasarkan tradisi dan sosial budaya masyarakat Sumatera Barat, yang demokratis dan aspiratif serta dalam rangka tercapainya kemandirian, peran serta dan ktreatifitas masyarakat, yang selama ini dipinggirkan dan diabaikan”. Di dalam Perda Propinsi ini, ternyata alat perlengkapan Nagari berbeda dengan alat perlengkapan Nagari pra UU No.5/1979, sebagai yang disebutkan dalam pasal 4, “untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat di Nagari, dibentuk Pemerintahan Nagari, Badan Perwakilan Anak Nagari dan Badan Musyawarah Adat dan Syarak Nagari.” Pemerintahan Nagari dipimpin oleh Wali Nagari, yang dalam pelaksanaan fungsi pemerintahannya dibantu oleh sekretaris Nagari dan Perangkat Nagari. Keberadaan Wali Nagari dipilih langsung oleh masyarakat Nagari, termasuk oleh para perantau yang sedang berada dalam Nagari. Badan Perwakilan Anak Nagari, terdiri dari anggota-anggota yang dipilih oleh warga masyarakat Nagari. Sedangkan Badan Musyawarah Adat dan Syara’ Nagari terdiri dari utusan Ninik-mamak, alim Ulama, Cerdik Pandai, Bundo Kanduang dan Komponen Masyarakat lainnya. Adapun harta kekayaan Nagari mencakup, (a) Pasar Nagari, (b) Tanah Lapang atau tempat rekreasi Nagari, (c) Balai, Mesjid dan Surau Nagari, (d) Tanah, Hutan, Batang air, Tebat, Danau atau Laut yang menjadi ulayat Nagari, (e) bangunan yang dibuat oleh penduduk perantau untuk kepentingan umum,. Yang menarik dalam Perda ini juga diatur, tanah, hutan, sungai, danau dan laut walau diakui milik Nagari, namun pedoman pengelolaan dan pemanfaatannya diatur tersendiri dengan Peraturan Daerah Propinsi (Pasal 10). Di samping Harta Kekayaan Nagari yang dikelola Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten, diatur kembali pemanfaatannya dengan memperhatikan kepentingan Nagari (pasal 10), Harta kekayaan yang pengelolaannya oleh pihak lain, setelah masa pengelolaannya berakhir dikembalikan pada Nagari (pasal 11).
123
Menurut Perda ini, juga Nagari memiliki sumber pendapatannya sendiri dan harus dikelola dalam APPKN (Anggaran Penerimaan dan Pengeluaran Keuangan Nagari).21 Adapun yang menjadi Pendapatan dam Penerimaan Nagari Meliputi (1) PAN (Pendapatan Asli Nagari), (2) Penerimaan bantuan dari Pemerintah Kabupaten, Propinsi serta Pemerintah Pusat, dan (3) Penerimaan lainnya seperti Sumbangan pihak ketiga, pinjaman Nagari, hasil kerjasama dengan pihak lain dan pendapatan lain yang sah. Dengan demikian Nagari yang dibentuk ini memiliki sumber keuangannya sendiri (self financing). Terdapat lembaga lain diluar dari alat perlengkapan Nagari, yakni LAN (Lembaga Adat Nagari) yang berfungsi menyelesaikan permasalahan Suku-Sako yang ada dalam Nagari (pasal 19). Namun, Perda No.9/2000 ketika diterjemahkan pada Perda Kabupaten/Kota di Sumatera Barat memiliki variasi yang berbeda di antara satu Kabupaten/Kota dengan yang Kabupaten/Kota yang lain (Miko et.al, 2005). Seperti Perda Kabupaten Agam No.31/2001 tentang Pemerintah Nagari misalnya, memiliki variasi yang berbeda dengan Perda Propinsi No.9/2000 di atas. Beberapa perbedaan, di antaranya, pada Perda Kabupaten Agam, terdapat 14 (empat belas) syarat sebuah wilayah layak disebut Nagari yaitu ; (1) Jumlah penduduk sekurangnya 1500 jiwa atau 300 KK, (2) memiliki nama, luas dan batas wilayah Nagari yang jelas, (3) Babalai Bamusajik, (4) Balabuah Batapian, (5) Basawah Baladang, (6) Babanda Buatan, (7) Batanam nan Bapucuak, (8) mamaliharo nan banyao, (9) Basuku Basako, (10) Niniak Mamak nan ampek Suku, (11) baadat balimbago (12) bapandam bakuburan, (13) bapamedanan, (14) Kantua Nagari. Perbedaan lainnya terletak pada Alat Pemerintahan Nagari yang terdiri dari, (1) wali Nagari, (2) Sekretaris Nagari, (3) Kaur.Pemberdayaan dan Pemerintahan, (4) Kaur. Ketenteraman dan Ketertiban, (5) Kaur. Kesejahteraan Rakyat, (6) Kaur. Administrasi Keuangan dan Asset Nagari, (7) Kepala Jorong. Dalam pelaksanaan tugasnya, Wali Nagari bertanggung jawab kepada rakyat melalui BPRN (Badan Permusyawaratan Rakyat Nagari). Wali Nagari ini dipilih oleh masyarakat Nagari di mana sebelumnya dicalonkan, baik oleh BPRN maupun masyarakat. Calon wali Nagari ditetapkan oleh BPRN, minimal 21
Pasal 13
124
berjumlah dua orang. BPRN kemudian membentuk panitia pemilihan Wali Nagari yang terdiri dari unsur BPRN, KAN, Majlis Ulama Nagari, Majlis Musyawarah Adat dan Syarak Nagari, Bundo Kanduang dan masyarakat lainnya yang berjumlah 7 (tujuh) orang dan kepala jorong sebagai anggota. Setelah terpilih, Wali Nagari bersama BPRN menyusun, membahas dan menetapkan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Nagari), yang di dalamnya termasuk penghasilan tetap Wali Nagari, Perangkat Nagari serta BPRN. BPRN merupakan lembaga legislatif Nagari, yang kedudukannya sejajar dan menjadi mitra dari pemerintahan Nagari. Keanggotaan BPRN berasal dari unsur Ninik-Mamak, Cadiak Pandai, Bundo Kanduang, Generasi Muda di mana jumlahnya minimal 7 (tujuh) orang. Tata cara pemilihan BPRN diserahkan mekanismenya kepada masing-masing Nagari. Adapun tugas utama BPRN adalah, (1) Bersama Pemerintah Nagari, merumuskan dan menetapkan Peraturan Nagari, (2) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Nagari, Anggaran Pendapatan dan Belanja Nagari dan keputusan Wali Nagari, (3) Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Nagari, baik yang berada di Nagari maupun di perantauan. Di samping kedua lembaga tersebut, terdapat lembaga lain yang disebut sebagai Majlis Musyawarah Adat dan Syara’ Nagari. Tugas utama dari majlis ini adalah memberikan pertimbangan kepada pemerintah Nagari agar tetap menjaga Adat bersendi syara’, syara’ bersendi Kitabullah di Nagari. Jumlah anggota majlis ini sebanyaknya 17 orang, yang terdiri dari unsur Ninik-mamak, Alim Ulama, Cadiak Pandai, Bundo Kanduang dan komponen masyarakat yang dipilih oleh Wali Nagari dan BPRN. Selain MMASN (Majlis Musyawarah Adat dan Syara’ Nagari), terdapat dua lembaga lain yaitu Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan Majlis Ulama Nagari (MUN). KAN merupakan tempat berhimpunnya Ninik-Mamak dan Pemangku Adat Nagari. Tugas utama KAN ini, menyelesaikan sengketa Sako dan Pusako menurut Adat Salingka Nagari, serta menjaga dan mengembangkan nilai-nilai adat pada umumnya. Adapun Majlis Ulama Nagari (MUN) merupakan lembaga tempat berhimpunnya para ulama Nagari yang memiliki tugas menanamkan
125
aqidah Islam ditengah-tengah kehidupan masyarakat Nagari dan menjaga serta mengembangkan ajaran Agama Islam. Perda Kabupaten Agam No.31/2001 tentang Pemerintah Nagari ini telah dirubah melalui Perda Kabupaten Agam No.12 Tahun 2007 Tentang Pemerintahan Nagari. Beberapa perbedaannya dengan Perda sebelumnya; (1) memiliki jumlah penduduk 2000 jiwa atau 400 KK, dengan wilayah 600 Ha serta memiliki kemampuan keuangan daerah yang memadai. (2) Terdapat perubahan nama BPRN menjadi BAMUS NAGARI (Badan Musyawarah Nagari) yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintah Nagari. Penentuan Jumlah Anggota BAMUS NAGARI mengikuti jumlah Penduduk Nagari, sekurang— kurangnya 5 orang, sebanyak-banyaknya 11 orang dengan jumlah penduduk 7000 jiwa keatas (3) MMASN dan MUN tidak menjadi bagian dari Perda yang baru. Dari penjelasan di atas, dapat rangkum bahwa OTM mencakup sistem suku, sistem matrilineal, sistem penguasaan tanah dan kesatuan masyarakat hukum adat Nagari, masih berlanjut di Minangkabau (Sumatera Barat) hingga kini. Dari sisi faktor-faktor eksternal (supra-Nagari), keberlanjutan OTM disebabkan, (1) sampai sejauh ini, belum terdapat satu sistem pun yang mampu mengganti secara menyeluruh OTM tersebut. (2) interaksi dari masa ke masa OTM dengan BP menunjukkan elastisitas OTM. (3) Elastisitas OTM memiliki sejarah prosesual yang panjang dari mula terbentuknya Nagari sebagai cangkang OTM. Secara politis, OTM memiliki akar yang kuat dalam masyarakat Nagari, didukung oleh anak Nagari, secara ekonomis pun memiliki kemampuan membiayai dirinya sendiri (self financing). (4) Sistem kepemimpinan yang demokratis, Kandungan Adat yang terbuka dan menerima hal-hal baru untuk perubahan agar sesuai dengan perkembangan zaman, menyebabkan OTM bertahan dari tekanan dan intervensi BP. (5) Kepemimpinan OTM yang belandaskan “tiga tungku sajarangan” (Ninik-mamak, Alim Ulama dan cendikia) sehingga tidak otoriter, mampu menjawab kepemimpinan yang sesuai dengan perkembangan zaman (6) Dinamika dialektika inheren, Islam, adat dan Ilmu pengetahuan justru menguatkan otoritas tradisional. (7) Kepemimpinan OTM (tigo tungku sajarangan) memilki basis hingga masyarakat tingkat akar rumput, dan berbeda dengan BP yang lebih menghadap “ke atas”. OTM lebih
126
mendapatkan tempat bagi rakyat Nagari sehingga dipertahankan. Masih kuatnya OTM ini selanjutnya akan menjadi modal utama bagaimana menfaatkan kesempatan di era Ototnomi Daerah, untuk melegitimasi unsur OTM untuk terpilih menjadi anggota DPRD, sehingga masuk dalam “jantung” BP sehingga dapat mensiasati alokasi APBD bagi Nagari mereka.