BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Simpulan 1. Komunitas Keraton Kasepuhan Cirebon Sistem sosial komunitas Keraton Kasepuhan Cirebon, dicirikan dengan, wilayah teritorial adat
yang disebut dengan wewengkon. Aktivitas
tempat tinggal mereka terkonsentrasi di baluwarti
dan
Keraton Kasepuhan dan
sekitar Kampung Mandalangen Kota Cirebon. Mereka menganut sistem kekeraban bilateral, yang disebut wargi kraton. Selain wargi kraton pada komunitas keraton terdapat golongan sosial lain yang mereka sebut abdi dalem, yaitu orang yang mengabdikan diri secara tulus dan sukarela kepada Sultan. Tatanan sistem politik, kekuasaan dan pembagian wewenang komunitas Keraton Kasepuhan Cirebon
bersifat patriarchy, artinya sultan atau raja
sebagai kepala adat dijabat oleh seorang lelaki. Hal tersebut berimplikasi pada jabatan-jabatan lainnya yang ada pada organisasi keraton. Kaum lelaki mendominasi jabatan keorganisasian
keraton maupun kegiatan-kegiatan
keraton yang bersifat terbuka dengan masyarakat luas. Sistem ekonomi komunitas Keraton Kasepuhan Cirebon ditopang dari tata kelola
sumber-sumber ekonomi adat. Meliputi
wewengkon kraton,
tradisi caos atau ngatur bhakti. Serta sumber pendapatan lain seperti hibah maupun donasi yang diberikan oleh perseorangan, pihak swasta maupun dari pemerintah. Sistem budaya (tradisi) komunitas Keraton Kasepuhan Cirebon, dicirikan dengan kuatnya sistem adat istiadat atau tradisi yang bersumber dari nilai-nilai ke-Islaman tassawuf dengan tahapan keilmuan syariat, tarekat, hakekat dan mari’fat. Nilai ini tercermin dari makna-makna simbolik pada Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
337
tradisi baik wujud mentifacts, sociofacts maupun benda-benda artifacts peninggalan sejarah yang sampai sekarang masih terpeliharan dan dilestarikan dari generasi ke generasi. Pelestarian ajaran tassawuf tercermin dari eksisnya peguron yaitu organisasi tarekat
syattariyah di keraton-keraton Cirebon
yang lazim pembinanya dijuluki dengan sebutan Ramaguru . Terhadap tradisi
yang diselenggarakan
rumput atau sebagian
kelompok
keraton, pada tataran akar
masyarakat dan
komunitas keraton
tertentu, diyakini memiliki kekuatan mistis sehingga seringkali oleh mereka dijadikan media untuk tujuan-tujuan yang bersifat pragmatis. Persepsi tersebut kerapkali menimbulkan konflik dengan kelompok masyarakat tertentu yang tidak setuju karena dianggap bertentangan
dengan nilai-nilai Ke-Islaman
yang dirisalahkan oleh Sunan Gunung Jati atau Al Qur’an dan Al Hadist. Demikian halnya dalam mengapresiasi
seni keraton. Pada tataran
masyarakat tertentu seni keraton seperti wayang, tari topeng maupun tari tayub termasuk seni ragam hias dan batik, mengaktualisasi seni dan
dimaknai sebagai sarana
hiburan semata. Sehingga tidak terjadi proses
kontemplasi karena tidak memahami nilai-nilai ajaran adhiluhung yang terkandung pada karya
seni tersebut, sebagai bagian dari ajaran Sunan
Gunung Jati. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman terhadap nilai-nilai simbolik seni tradisi keraton terbatas di kalangan budayawan dan komunitas keraton tertentu serta sebagian kecil golongan masyarakat. 2. Nilai Kearifan Lokal Komunitas Keraton Kasepuhan Cirebon Keraton Kasepuhan Cirebon merupakan komunitas adat. Mereka hidup dalam tatanan sistem sosial budaya yang khas karena tetap mempertahankan dan melestarikan budaya dan tradisi leluhur. Budaya dan tradisi komunitas Keraton Kasepuhan Cirebon yang sekarang ada merupakan peninggalan atau warisan Kerajaan Islam Cirebon utamanya ajaran Sunan Gunung Jati yang juga sebagai seorang wali penyebar agama Islam. Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
338
Tradisi dan budaya keraton yang berorientasi pada Islaman tassawuf,
nilai-nilai ke-
di dalamnya terkandung nilai-nilai ahlaqiyah sebagai
ajaran yang bersumber dari nilai-nilai moral yang Islami. Nilai-nilai ahlaqiyah tersebut ditemukan pada berbagai makna simbolik budaya dan tradisi keraton. Mulai dari makna simpolik pada benda artefak, sistem adat dan norma serta tradisi yang bersifat perilaku sosial. Nilai-nilai ajaran ahlak tersebut meliputi: (1) nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah S.w.t., (2) nilai kecintaan dan kepedulian terhadap lingkungan alam, (3) nilai kepemimpinan dan keadilan, (4) nilai-nilai tanggung jawab, disiplin, mandiri dan kejujuran, (5) nilai toleransi, cinta damai, persatuan, dan sopan santun. (6) nilai kasih sayang, kepedulian terhadap sesama manusia, dan nilai gotong royong atau kerja sama. Serta (7) nilai-nilai karakter berupa pengembangan diri dan disiplin diri. Dalam peradaban kontemporer, nilai-nilai kearifan lokal keraton Kasepuhan Cirebon
dapat dan relevan untuk dijadikan sebagai sumber
pembelajatan IPS modern. Karena tradis sosial budaya keraton Kasepuhan Cirebon yang berorientasi pada nilai-nilai ke-islaman tassawuf tersebut juga terdapat muatan-mutan nilai yang bersifat universal. 3. Tranformasi Nilai Sosial Budaya Komunitas Keraton Kasepuhan ke dalam Kurikulum dan Pembelajaran IPS di sekolah. Transformasi nilai sosial budaya komunitas Keraton Kasepuhan Cirebon ke dalam kurikulum dan pembelajaran IPS pada implementasinya dapat dilakukan melalui skema atau desain pembelajaran sebagai berikut. a. Strategi transformasi nilai sosial budaya lokal ke dalam kurikulum IPS dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan integrative/sisipan (additive approach)
dan pendekatan thematik (thematic approach) yaitu
suatu pendekatan yang memasukkan fenomena sosial budaya lokal ke dalam thema-thema pembelajaran yang termaktub pada dokumen Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
339
kurikulum nasional,
tampa mengurangi materi maupun capaian
pembelajaran. b. Pendekatan dalam pembelajaran transformasi nilai sosial budaya lokal ke dalam pembelajaran IPS, dapat
menggunakan teori belajar sosial dan
observasional, sehingga melalui pendekatan tersebut, siswa beroleh pengalaman belajar untuk mengenal alam lingkungan sosial dan budaya di lingkungannya. c. Bahan ajar yang dikembangkan adalah berupa fenomena sosial budaya lokal Cirebon termasuk fenomena sosial budaya pada komunitas keraton Kasepuhan Cirebon. d. Kompetensi pendukung yang harus dimiliki
guru dalam implementasi
transformasi nilai sosial budaya ke dalam pembelajaran IPS adalah kompetensi
etnopedagogi.
Artinya guru memiliki wawasan atau
pengetahuan budaya lokal yang komprehensif serta memiliki kompetensi didaktik-pedagogis yang tepat dalam mengajarkan nilai-nilai sosial budaya lokal. e. Aktivitas belajar siswa menggunakan strategi dan pendekatan student active learning. Artinya siswa
pembelajaran lebih mengedepankan aktivitas
serta membuka ruang seluas-luasnya dalam mengembangkan,
dorongan ingin tahu, dorongan ingim memahami, dorongan ingin merasakan, dorongan ingin mengaktualisasi diri siswa yang bersumber dari nilai-nilai sosial budaya lokal. f. Pola interaksi sosial di kelas dapat dilakukan secara demokratis didasari pada nilai-nilai yang sedang ditransformasikan kepada siswa. Artinya interaksi guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa bersifat egaliter dengan mengedepankan sikap tanggung jawab, kepedulian, dan toleransi. B. Rekomendasi Dari hasil kesimpulan tersebut di atas peneliti memberikan rekomendasi atau saran dalam rangka memperkaya
ontologi, epistemologi dan aksiologi
Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
340
kurikulum dan pembelajaran IPS. Saran ini ditujukan kepada stakeholder pendidikan dan pengajaran IPS termasuk birokrat, pakar ke-IPS-an serta guru IPS. 1. Studi sosial budaya komunitas Keraton Kasepuhan Cirebon bagaikan memasuki hutan belantara yang sangat luas. Fenomena sosial budaya pada komunitas ini memiliki keterkaitan antara fenomena yang satu dengan yang lain. Namun pada intinya fenomena budaya tersebut secara historis dikembangkan berdasarkan nilai-nilai ke-Islaman tassawuf. Bagi pakar IPS untuk memahami kebenaran yang hakiki (alamiah) dalam konteks keilmuan terhadap fenomena atau tradisi Keraton Kasepuhan Cirebon belum cukup dengan pendekatan rasional semata
tetapi harus didukung pula melalui
pendekatan instuisi yang bersumber pada keyakinan atau keimanan. 2. Pendidikan dan pengajaran IPS akan lebih bermakna apabila dapat menggali nilai-nilai yang bersumber dari lingkungan sosial budaya lokal tersebut, untuk kemudian dijadikan sebagai basis pendidikan dan pengajaran IPS di sekolah. Hal ini akan merperkokoh atau memperkuat epistemologi pengajaran IPS di Indonesia. Karena pengajaran IPS Indonesia akan ditopang oleh kekuatankekuatan lokal
yang syarat dengan nilai-nilai keagamaan, yang
dalam
konteks Cirebon nilai-nilai ke-Islaman tassawuf, serta nilai-nilai kearifan lokal lainnya. 3. Persoalan terjadinya konflik horizontal antara golongan masyarakat yang pro dengan golongan masyarakat yang kontra terhadap tradisi keraton, perlu disikapi dengan kearifan. Oleh karena itu para pakar/peneliti dan guru IPS dalam mengeksplorasi nilai-nilai kebenaran hakiki (alamiah) pada tradisi Keraton Kasepuhan Cirebon,
tidak cukup menggunakan akal serta
pendekatan empirik semata, tetapi dirasa perlu menggunakan pendekatan instuisi keimanan. Sehingga dapat memahami nilai-nilai kebenaran dalam mengsikapi perilaku serta persepsi masyarakat terhadap tradisi keraton dengan bijaksana. Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
341
4. Dalam konteks praktik pembelajaran, apabila terjadi fenomena keraguan atau pembiasan persepsi siswa terhadap tradisi keraton yang bertolak belakang dengan nilai-nilai ketauhidan dalam konsepsi Islam, maka guru IPS dapat memerankan diri sebagai sumber belajar yang dapat menjadikan rujukan serta mampu
mengklarifikasi
nilai-nilai
yang bersentuhan
dengan
sistem
kepercayaan tersebut. Hal tersebut penting untuk menghindari persepsi yang bias yang dikhawatirkan siswa mengambil pilihan nilai yang keliru, baik dari aspek nilai keagamaan, maupun nilai-nilai sosial dan karakter. 5. Tatanan politik dan kekuasaan yang bersifat patriarchy serta pola interaksi sosial yang bersifat paternalistik pada komunitas Kareaton Kasepuhan Cirebon, bukan merupakan sesuatu yang bersifat kontra produktif dalam konteks pendidikan dan pengajaran IPS di era modernisasi dan globalisasi. Karena melalui pembelajaran yang berbasis pada kontektual dan filsafat konstruktivism hal tersebut dapat menjadi
suatu tema atau kajian
pembelajaran untuk mengembangkan daya kemampuan berpikir kritis serta pengembangan pendidikan nilai yang berbasis keagamaan. 6. Dalam konteks pendidikan dan pengajaran IPS nilai-nilai kearifan lokal keraton yang bersumber dari nilai ke-Islaman tassawuf
tersebut dapat
dianggkat ke dalam kurikulum dan pembelajaran IPS di sekolah. Karena hakekat dari pembelajaran IPS di Indonesia adalah studi tentang lingkungan, sosial dan budaya yang berlandaskan pada nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana sila pertama pada rumusan falsafah dan ideologi Pancasila. 7. Transformasi nilai sosial budaya keraton ke dalam kurikulum dan pembelajaran IPS di sekolah merupakan pintu masuk untuk melahirkan pendidikan dan pembelajaran IPS yang berbasis pada sosial budaya sebagai jatidiri dan identitas pendidikan dan pengajaran IPS di Indonesia yang berlandaskan pada ideologi Pancasila. 8. Transformasi nilai sosial budaya keraton ke dalam kurikulum dan pembelajaran IPS di sekolah memberi ruang untuk terciptanya proses Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
342
pembelajaran IPS yang powerfull karena di dalamnya mengakomodasi pendekatan yang bersifat integratif dan mendorong siswa aktif karena dihadapkan pada tantangan untuk mengeksplorasi budaya sekitar, serta pembelajaran yang berbasis nilai sehingga bermakna bagi kehidupan sosial dan pribadi siswa. C. Teori Hasil Penelitian Merujuk pada paradigm penelitian, pengumpulan data, analisis dan pembahasan maka teori hasil penelitian
transformasi nilai sosial budaya
komunitas Keraton Kasepuhan Cirebon adalah sebagai berikut. 1. Orientasi ke-Islaman
sufistik menjadi dasar membangun tradisi budaya
komunitas Keraton Kasepuhan Cirebon. 2. Aktualisasi nilai-nilai ke-Islaman dalam kehidupan bernegara
dan
bermasyarakat, yang tumbuh berkembang dalam tradisi komunitas Keraton Kasepuhan Cirebon berkat keberhasilan Sunan Gunung Jati dan menjadi faktor sentral dalam pemikiran tassawuf. 3. Aktualisasi nilai-nilai ke-Islaman tassawuf untuk membangun budaya dan peradaban berbasis ke-Islaman di Cirebon. 4. Lembaga pendidikan di Cirebon memiliki tradisi pendidikan nilai sosial budaya yang dipengaruhi pemikiran tassawuf ke-Islaman, yang tumbuh kembang pada komunitas keraton. 5. Pengembangan kurikulum dan pembelajaran IPS berbasis kearifan lokal memerlukan pemikiran intuisi tassawuf ke-Islaman seperti yang bersumber pada petata-petiti. 6. Pengembangan kurikulum dan pembelajaran IPS yang bersumber pada kearifan lokal kebudayaan Cirebon, akan berhasil jika menggunakan pendekatan tassawuf dalam pengembangan nilai-nilainya. 7. Petata petiti dalam tradisi budaya
komunitas Keraton Kasepuhan
dapat
dijadikan sumber konseptualisasi dan aktualisasi pembelajaran nilai-nilai IPS. Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
343
8. Nilai-nilai sosial budaya keraton Kasepuhan Cirebon dapat diaktualisasi ke dalam
pengembangan
kurikulum
dan
pembelajaran
nilai-nilai
IPS
kontemporer. Transformasi nilai sosial budaya lokal Cirebon melalui pendekatan thematic dan integrative, memperkaya pengembangan kurikulum dan pembelajaran IPS di sekolah. 9. Transformasi nilai sosial budaya
komunitas Keraton Kasepuhan Cirebon
melalui pendekatan enam sistem nilai yaitu nilai teologi, logic, fisiologi, etik, estetika dan teleologi. 10. Pemahaman para pakar, pengembang dan guru terhadap nilai-nilai ke-Islaman tassawuf dapat memperkokoh pembelajaran IPS yang berbasis nilai sosial budaya lokal Cirebon. D. Keterbatasan Penelitian Melalui proses refleksi yang objektif peneliti menyadari adanya keterbatasan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut. 1. Studi sosial budaya komunitas Keraton Kasepuhan Cirebon dalam pembahasan belum menyentuh nilai kearifan lokal dari perspektif tangible values. Hal ini disebabkan untuk menggali tangible values suatu budaya harus memiliki pengetahuan yang memadai dari berbagai disiplin keilmuan seperti bidang tata ruang, arsitek bangunan, kesenian, keagamaan, ilmu pengetahuan alam. 2. Luasnya situs dan subjek penelitian berimplikasi pada banyaknya data yang terkumpul sehingga dalam penyajian data, deskripsi, analisis, dan pembahasan
tidak
dapat
menghindari
terjadinya
overlapping
dan
pengulangan yang tidak perlu. 3. Karakteristik jenis data yang terkumpul sangat beragam sesuai dengan konteks dan fokus penelitian, diperlukan pendekatan teknik analisis data yang bermacam-macam. Akibatnya, dalam beberapa hal terdapat inkonsistensi dalam penyajian dan deskripsi hasil penelitian. Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
344
4. Implementasi desain transformasi nilai sosial budaya ke dalam kurikulum dan pembelajaran IPS di sekolah, hanya sebatas tiga kali putaran uji coba pembelajaran sehingga efektivitasnya belum teruji. Peneliti menyadari bahwa dalam
pembelajaran
yang
bersifat
transformatif/internalisasi
nilai
memerlukan kontinuitas pembelajaran yang memakan waktu cukup lama.
Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu