BAB V PEMBAHASAN
Kualitas hidup merupakan persepsi subjektif, yang berasal dari pasien dalam menilai pengalaman/kenyataan hidupnya secara keseluruhan atau sebagian sebagai baik atau buruk; termasuk dalam segi fungsi fisik, interaksi sosial, dan keadaan mental (Jonsen, 2006). Penilaian kualitas hidup pasien stroke dinilai penting karena penilaian ini bertujuan untuk melihat seberapa besar hubungan penambahan usia pasien terhadap kualitas hidup pasien stroke iskemik, sehingga dapat dilakukan pengelolaan, pengasuhan, dan perawatan yang lebih baik untuk pencapaian kualitas hidup yang lebih baik pada pasien stroke iskemik. Penilaian kualitas hidup dalam penelitian ini menggunakan Short Form 36 (SF-36) yang merupakan alat ukur yang telah teruji validitasnya dan telah digunakan secara umum. Instrumen SF-36 baik digunakan dalam klinik dan penelitian sederhana karena instrumen ini telah mencakup sebagian besar domain kualitas hidup yang diusulkan oleh WHO yaitu komponen fisik, maupun komponen mental. Sampel yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 30 orang dengan kriteria inklusi rentang umur 30 - 85 tahun. Pertimbangan rentang umur tersebut diambil berdasarkan teori bahwa setelah seseorang berumur 30 tahun, maka akan mulai tampak lesi aterosklerotik sebagai titik-titik kuning pada tunika intima pembuluh darah antara lain: arteri-arteri intrakranial, dan arteri karotis interna. Pada usia 50 tahun, lesi aterosklerotik mulai menebal dan menyebar secara difus pada pembuluh arterial serebral baik besar maupun kecil yang dikenal sebagai plaque atherosclerotique. Lesi plaque atherosclerotique pada tunika intima berupa gundukan yang menyebabkan penyempitan 80% - 90% lumen arteri. Tampak gambaran fibrosis pada tunika
intima arteri yang mengalami aterosklerotik (Mardjono dan Sidharta, 2004).
Studi yang
dilakukan Hankey et al. (1998) menunjukkan bahwa usia usia lanjut (75-84 tahun) pada stroke pertama mempunyai risiko lebih tinggi untuk mengalami stroke berulang dibandingkan dengan usia di bawah 65 tahun. Komposisi sampel terdiri dari 20 pasien laki-laki dan 10 pasien perempuan. Sampel diambil di RSUD Dr. Moewardi sejak tanggal 10 April – 20 April 2013. Berdasarkan dari tabel 4.1 dan 4.2 pada Bab hasil penelitian, dapat dilihat bahwa dari segi usia, rata-rata pasien berusia sekitar 60 tahun dengan usia tertinggi adalah 82 tahun dan usia terendah adalah 40 tahun. Jika dilihat dari rerata usia yaitu 60 tahun, dapat dikatakan bahwa rata-rata pasien stroke iskemik yang berkunjung ke Poli Saraf RSUD Dr. Moewardi adalah pasien usia lanjut. Hal ini sesuai dengan teori bahwa risiko stroke meningkat dua kali lipat ketika seseorang berusia lebih dari 55 tahun, stroke paling sering terjadi pada usia lebih dari 65 tahun, tetapi jarang terjadi pada usia di bawah 40 tahun (Japardi, 2002). Data juga menunjukkan Skor SF-36 HRQOL, pasien memiliki rerata skor
394.23
tertinggi pada sampel sebesar 671.7, sedangkan yang terendah adalah 159.2. Dari segi tingkat pendidikan, pasien dengan tingkat pendidikan di bawah SMA berjumlah 18 pasien (60%) dan SMA ke atas sebanyak 12 pasien (40%). Gambar 4.1 Grafik tentang Hubungan Usia dengan Kualitas Hidup Pasien Stroke Iskemik, menjelaskan adanya hubungan negatif antara usia dengan kualitas hidup pasien sroke iskemik yang ditunjukkan dengan garis linear yang menurun. Artinya semakin tinggi usia maka semakin rendah kualitas hidupnya. Nilai R2 linear = 0.338 (34%). Pada hasil analisis statistik penelitian, diketahui bahwa terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara usia dengan kualitas hidup pasien stroke iskemik (b = -5.25; p = 0.035).
Dari hasil analisis statistik penelitian yang telah dilakukan, maka hipotesis penelitian hubungan usia dengan kualitas hidup pasien stroke iskemik dapat diterima, dimana semakin bertambahnya usia pasien stroke iskemik dapat menurunkan kualitas hidup. Hal ini sesuai dengan teori bahwa ada hubungan antara usia pasien dengan kualitas hidup pasien stroke iskemik, karena semakin bertambahnya usia manusia, pada pembuluh darah terjadi penebalan intima akibat suatu proses aterosklerosis dan tunika media sebagai akibat suatu proses fisiologis menua (Darmojo, 2009), maka hal tersebut akan menurunkan elastisitas pembuluh darah dan menyebabkan aliran darah ke otak menurun. Vaskularisasi yang menurun pada daerah hipotalamus menyebabkan gangguan saraf otonom, dan berkurangnya berbagai neurotransmitter sehingga prognosis stroke iskemik itu sendiri dapat mempengaruhi fisik, mental, emosional, dan kehidupan sosial pasien atau kombinasi keempatnya. Pasien stroke yang selamat dari serangan stroke mengalami impairment yang akan mengganggu dalam aktivitas hidup sehari – hari. Oleh karena itu penelitian Dhamoon et al. (2010)
menyatakan bahwa stroke iskemik dapat
menurunkan kualitas hidup terkait kesehatan secara signifikan. Pada Gambar 4.2 Grafik tentang Hubungan Keintiman Keluarga dengan Kualitas Hidup Pasien Stroke Iskemik, menunjukkan adanya hubungan positif antara keintiman keluarga dengan kualitas hidup pasien sroke iskemik yang ditunjukkan dengan garis linear yang naik. Artinya semakin tinggi skor keintiman keluarga maka semakin tinggi kualitas hidupnya. Nilai R 2 linear = 0.444 (44%). Dari hasil analisis statistik penelitian, juga diketahui bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara keintiman keluarga dengan kualitas hidup pasien stroke iskemik (b = 29.08; p = 0.005). Hasil analisis statistik penelitian hubungan antara keintiman keluarga dan kualitas hidup sesuai dengan teori yang ada. Keintiman keluarga adalah salah satu bentuk dari dukungan
keluarga yang paling besar perannya dalam menjadikan individu merasa lebih berarti bagi lingkungan, terlebih bagi lansia (Friedman, 2003). Pada lansia terjadi kemunduran dan kelemahan fisik yang menyebabkan ketergantungan pada orang lain. Oleh karena itu lansia membutuhkan keintiman keluarga lebih besar untuk lebih memotivasi dalam mengatasi masalah yang dihadapi (Kaakinen, 2010). Menurut Pender (2002), keintiman hubungan interpersonal melibatkan beberapa aspek, seperti: 1. kepedulian emosional, berupa ekspresi, dorongan empati; 2. bantuan seperti jasa, uang, informasi; dan 3. memberi umpan balik yang konstruktif, serta adanya pengakuan. Dalam penelitian ini juga diikutsertakan variabel perancu lainnya yaitu pendidikan. Tetapi hubungan antara pendidikan dengan kualitas hidup pasien stroke iskemik tidak signifikan (p = 0.66). Kekuatan hubungan antara usia dan pendidikan dengan kualitas hidup pasien stroke iskemik yang ditunjukkan dengan nilai R2 = 0,54 yaitu sebesar 54 %, memiliki arti bahwa 54 % variasi-variasi dalam tingkat kualitas hidup subyek dapat dipengaruhi oleh usia, keintiman keluarga, dan pendidikan. Pada kenyataannya kesesuaian model pada populasi tidak sebaik pada sampel maka digunakan Adjusted R2 untuk mengkoreksi R2 agar lebih mencerminkan kesesuaian model dalam populasi, nilai Adjusted R2 = 0.48 menunjukkan sebesar 48%. Hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis yaitu ada hubungan usia dengan kualitas hidup pasien stroke iskemik, dengan faktor perancu keintiman keluarga dan pendidikan subyek. Maka hipotesis penelitian hubungan usia dengan kualitas hidup pasien stroke iskemik dapat diterima. Penilaian kualitas hidup pada penelitian ini menggunakan kuesioner Kualitas Hidup Terkait Kesehatan (Health Related Quality of Life) SF-36 yang terbagi dalam 8 dimensi yaitu (Ware dan Sherbourne, 1992) : 1) fungsi fisik (physical function); 2) pembatasan peran sosial
karena adanya kelemahan fisik (role limitations due to physical problems); 3) pembatasan peran sosial karena masalah emosional (role limitations due to emotional problems); 4) energi (energy); 5) kesehatan emosional (emotional well being); 6) fungsi sosial (social function); 7) nyeri (pain); 8) kesehatan umum (general health). Pada penelitian ini dilakukan analisis data untuk masing-masing dimensi tersebut, hal ini bertujuan untuk melihat seberapa besar hubungan dimensi-dimensi kualitas hidup tersebut terhadap usia, keintiman keluarga dan pendidikan pasien stroke iskemik. Hubungan usia dengan kualitas hidup signifikan dilihat dari dimensi fungsi fisik (b = 0.95, p = 0.048) dan dimensi kesehatan umum (b = -0.75, p = 0.073). Hal ini sesuai teori bahwa semakin lanjut usia seseorang secara fisiologis akan mengalami penurunan fungsi fisik. Fungsi fisik tidak dipengaruhi oleh keintiman keluarga dan pendidikan pasien. Begitu juga dengan kesehatan umum pasien stroke iskemik sangat dipengaruhi oleh fungsi fisik yang menurun. Setiap pertambahan 1 tahun usia akan menurunkan skor fungsi fisik sebanyak 0.95 poin, dan juga menurunkan skor kesehatan umum sebesar 0.75 poin. Hubungan keintiman keluarga dengan kualitas hidup signifikan dilihat dari dimensi: 1) pembatasan peran sosial karena adanya kelemahan fisik (b = 3.86; p = 0.086); 2) pembatasan peran sosial karena masalah emosional (b = 10.07; p = 0.001); 3) energi (b = 4.01; p = 0.007); 4) kesehatan emosional (b= 3.53;p = 0.007); 5) fungsi sosial (b = 4.84;p = 0.079); 6) kesehatan umum (b = 4.66; p = 0.008). Setiap pertambahan 1 skor keintiman keluarga akan meningkatkan skor pembatasan peran sosial karena adanya kelemahan fisik sebanyak 3.86 poin, skor pembatasan peran sosial karena masalah emosional sebanyak 10.07, skor energi sebanyak 4.01, skor kesehatan emosional sebanyak 3.53, skor fungsi sosial sebanyak 4.84, dan skor kesehatan umum sebanyak 4.66.
Dari penjabaran data di atas dapat dilihat bahwa keintiman keluarga memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam meningkatkan skor kualitas hidup pasien stroke iskemik, yang secara signifikan dapat mempengaruhi 6 dimensi kualitas hidup. Menurut Pender (2002), keintiman hubungan interpersonal melibatkan beberapa aspek, seperti: 1. kepedulian emosional, berupa ekspresi, dorongan empati; 2. bantuan seperti jasa, uang, informasi; dan 3. memberi umpan balik yang konstruktif, serta adanya pengakuan. Hal ini sesuai dengan teori bahwa keintiman keluarga adalah salah satu bentuk dari dukungan keluarga yang paling besar perannya dalam menjadikan individu merasa lebih berarti bagi lingkungan, terlebih bagi lansia (Friedman, 2003). Pada lansia terutama pasien stroke iskemik mengalami kemunduran dan kelemahan fisik yang menyebabkan ketergantungan pada orang lain. Oleh karena itu lansia membutuhkan keintiman keluarga lebih besar untuk lebih memotivasi dalam mengatasi masalah yang dihadapi (Kaakinen, 2010). Hal ini akan meningkatkan kesehatan emosional dan mental dari pasien stroke iskemik Ada hubungan positif dan signifikan antara keintiman keluarga dengan kesehatan umum pasien, hal ini disebabkan karena pasien stroke iskemik membutuhkan perawatan umum dan lanjutan secara optimal untuk tetap menjaga kesehatan umum lansia seperti memberikan posisi yang tepat, alih baring jika pasien stroke iskemik dengan kesadaran menurun, pemberian hidrasi yang cukup, dan pengobatan yang adekuat dan teratur (Darmojo, 2009)