BAB V PEMBAHASAN
A. Pembahasan Siswi yang mengikuti latihan menari Gambyong Pareanom selama 8 minggu mengalami perbaikan pada kualitas tidur dalam studi ini. Perbaikan kualitas tidur ditunjukkan dengan rata-rata penurunan skor PSQI sebesar 2,09. Hasil tersebut ditunjang oleh penelitian Pinniger (2013) bahwa dansa tango dapat mengurangi insomnia. Karena tidur juga mempengaruhi kesehatan mental, sebaiknya dilakukan studi lebih lanjut mengenai pengaruh tari Gambyong Pareanom terhadap kondisi mental seperti depresi atau kecemasan, kemudian hasilnya dapat dibandingkan dengan studi Akandere dan Demir (2011) mengenai pengaruh dansa rumba dan vals terhadap depresi. Tarian seperti Gambyong Pareanom, seperti halnya tari tango, rumba, dan vals, membuat penari berkonsentrasi pada gerakan dan musik. Pikiran yang konsentrasi meningkatkan aktivitas parasimpatis. Porges (2007) menyebutkan sistem parasimpatis dari sistem saraf otonom berfungsi untuk menjaga ketenangan dan homeostasis dan meregulasi respons terhadap stress. Hal-hal itu dapat meningkatkan kualitas tidur. Selain itu, gerakan tubuh dapat menstimulasi otot skelet untuk menyekresi IL-6 dan IL-10 (Nimmo et al, 2013). IL-6 memicu reaksi inflamasi yang menyebabkan manifestasi sakit, seperti somnolence dan
44
45
fatigue (Vgontzas, 1999) sedangkan IL-10 yang merupakan sitokin anti inflamasi dapat memicu onset tidur NREM (Kushikata, 1999). Jika komponen-komponen PSQI dalam studi ini diamati lebih lanjut, maka akan ditemukan penurunan skor PSQI signifikan terdapat pada latensi tidur, durasi tidur dan efisiensi tidur. Pada komponen lainnya juga terdapat perubahan tetapi tidak signifikan. Hasil ini mirip dengan penelitian Chen di Taiwan (2011) yang menunjukkan lansia yang melakukan latihan Baduanjin selama 12 minggu mengalami perbaikan pada kualitas tidur subjektif, latensi tidur, durasi tidur, efisiensi tidur, dan daytime functioning. Perubahan signifikan tampak pada latensi tidur. Penelitian mengenai program edukasi sleep hygiene selama seminggu juga dapat memperbaiki latensi tidur (de Sousa, 2007). Jadi, seseorang akan lebih baik kualitas tidurnya bila terdapat edukasi mengenai sleep hygiene. Terdapat perubahan signifikan pada durasi tidur. Penelitian Benham (2010) menunjukkan bahwa stres dapat mengurangi durasi tidur. Dari studi tersebut, terdapat kemungkinan tari Gambyong Pareanom juga mengurangi stres sehingga dapat meningkatkan durasi tidur. Durasi tidur dapat menjadi bias karena PSQI hanya mengukur tidur malam dan tidak memperhitungkan tidur siang. Menurut Van Dongen (2005), perilaku tidur siang pada tiap individu berbeda-beda. Beberapa masyarakat menyukai tidur siang, beberapa menghindari tidur siang. Faktor genetik mungkin berperan dalam menentukan perilaku tidur siang, terbukti dengan lebih banyak kembar monozigot yang perilaku tidur siangnya sama daripada
46
kembar dizigot. Selain faktor tersebut, nyeri kronis mungkin juga mempengaruhi tidur siang, seperti yang dinyatakan Law et al (2012) bahwa remaja dengan nyeri kronis memerlukan waktu tidur siang lebih lama daripada remaja sehat. Pada studi ini ditemukan perubahan signifikan pada efisiensi tidur. Penelitian terdahulu menyebutkan bahwa terapi perilaku yang terdiri atas modifikasi kontrol stimuli, modifikasi restriksi tidur, terapi relaksasi, dan sleep hygiene dapat memperbaiki efisiensi tidur (Berger, 2009). Dari hasil tersebut, terdapat kemungkinan tari Gambyong Pareanom mengandung nilai relaksasi yang dapat memperbaiki efisiensi tidur. Terdapat perubahan pada kualitas tidur subjektif tetapi tidak signifikan. Penelitian Harvey et al (2008) menyebutkan persepsi individu tentang tidur mempengaruhi kualitas tidur subjektif. Ditemukan pengurangan tidak signifikan pada gangguan tidur seperti terbangun tengah malam, urgensi untuk ke kamar kecil di tengah-tengah tidur, kesulitan bernapas, batuk atau mendengkur keras, kepanasan, kedinginan, mimpi buruk, dan nyeri. Faktor yang mempengaruhi gangguan tidur pada remaja misalnya gangguan cemas (Alfano et al, 2007). Namun dalam studi ini tidak dilakukan penilaian terhadap tingkat kecemasan sehingga tidak diketahui apakah gangguan tidur subjek dipengaruhi kecemasan. Pada pretest terdapat empat subjek kelompok perlakuan yang mengkonsumsi obat untuk membantu tidur. Pada posttest, dari empat subjek tersebut hanya tinggal satu orang yang masih mengkonsumsi obat. Namun
47
terdapat satu orang yang waktu posttest mengkonsumsi obat tidur padahal saat pretest tidak mengkonsumsi. Fungsi aktivitas harian membaik tetapi tidak signifikan. Ada banyak faktor yang berperan dalam menentukan fungsi aktivitas harian seperti konsumsi kafein dan penggunaan teknologi (Calamaro, 2009). Selain itu, nyeri kronis juga berhubungan dengan fungsi aktivitas harian (Palermo dan Kiska, 2005). Dari diagram boxplot terlihat bahwa hasil post-test subjek kelompok perlakuan memiliki rentang interkuartil yang lebar. Hal ini menunjukkan pengaruh tari Gambyong Pareanom berbeda-beda untuk tiap siswi. Beberapa siswi mengalami penurunan drastis dalam skor PSQI sebesar 7 atau 8 poin sedangkan beberapa siswi hanya mengalami penurunan 1 atau 2 poin, bahkan ada pula yang skor PSQI-nya tidak berubah atau malah meningkat. Perbedaan hasil ini dapat dipengaruhi oleh aktivitas fisik dan kepribadian. Penelitian Brand (2010) menunjukkan aktivitas fisik intensitas berat yang dilakukan dalam jangka panjang berhubungan dengan kualitas tidur dan kesehatan psikis. Faktor lain yang mempengaruhi yaitu kepribadian. Dilihat dari big five personality, kecenderungan beraktivitas di siang hari berhubungan dengan keramahan (agreeableness) dan kesadaran (conscientiousness) sedangkan kecenderungan beraktivitas di malam hari pada wanita dan remaja berhubungan dengan neurotisme (Randler, 2008). Dalam studi ini tidak dilakukan pengamatan terhadap faktor tersebut jadi mungkin terdapat
48
perbedaan tingkat aktivitas fisik pada subjek yang juga mempengaruhi kualitas tidur. Hasil skor PSQI yang bervariasi dapat dipengaruhi oleh perbedaan kebutuhan tidur. Gen dapat menyebabkan perbedaan irama sirkadian yang menjadikan perbedaan kebutuhan tidur, seperti yang dinyatakan oleh Ebisawa (2007) bahwa variasi T3111C pada gen Clock dilaporkan berhubungan dengan kecenderungan seseorang apakah lebih mudah waspada di pagi atau malam
hari
(morningness-eveningness).
Berhubung
irama
sirkadian
mempengaruhi kualitas tidur, orang-orang dengan gaya hidup yang teratur cenderung memiliki kualitas tidur yang lebih baik karena gaya hidup dan modulasi sirkadiannya lebih sinkron (Van Dongen et al, 2005). Faktor genetik dan gaya hidup dapat mempengaruhi durasi tidur (Van Dongen et al, 2005). Pada remaja, faktor gaya hidup yang dapat mempengaruhi durasi tidur misalnya penggunaan teknologi atau konsumsi kafein di malam hari (Calamaro et al, 2009). Penggunaan komputer di malam hari (Mesquita dan Reimão, 2007) dan adiksi internet (Choi et al, 2009) mempengaruhi kualitas tidur remaja dan berakibat pada kualitas tidur buruk dan rasa kantuk di siang hari, yang dapat menurunkan kemampuan untuk beraktivitas, khususnya dalam hal akademik. Dari studi ini diketahui bahwa siswi mendapat manfaat dari latihan tari Gambyong Pareanom berupa perbaikan kualitas tidur. Dengan membaiknya kualitas tidur, dampak psikologis dari kualitas tidur buruk seperti penurunan fungsi kognitif (Zohar, 2005) atau penurunan fungsi sosial
49
(Haack dan Mullington, 2005) dapat dihindari. Di samping itu, dengan belajar menari Gambyong Pareanom dapat menjadi salah satu cara untuk melestarikan budaya Jawa. B. Keterbatasan Penelitian Kekurangan dalam studi ini yaitu skor PSQI pretest kelompok kontrol dan kelompok perlakuan berbeda. Kualitas tidur kelompok kontrol pada awal studi lebih bagus daripada kelompok perlakuan dengan nilai PSQI rata-rata sebesar 6,45 sedangkan kelompok perlakuan sebesar 7,59. Setelah 8 minggu, dilakukan posttest kemudian didapatkan perbaikan kualitas tidur pada kedua kelompok tetapi perbaikan pada kelompok kontrol tidak signifikan. Selain itu, studi ini tidak mempertimbangkan aspek paparan cahaya yang dialami subjek. Padahal berdasarkan penelitian Gooley (2011), paparan cahaya dapat menunda dan mempersingkat sekresi melatonin sehingga mempengaruhi kualitas tidur. Faktor psikologis seperti kecemasan atau depresi juga kurang diperhatikan dalam studi ini sehingga terdapat kemungkinan bias akibat ada faktor psikologis yang tidak terkontrol. Siklus menstruasi juga tidak diperhitungkan dalam studi ini. Padahal penelitian Baker dan Driver (2007) menyebutkan saat menstruasi terjadi perubahan mood yang akan mempengaruhi kualitas tidur subjektif.
50
Kekurangan lainnya yaitu studi ini dilakukan hanya pada satu sekolah di kota Surakarta sehingga mungkin hasilnya akan berbeda bila dilakukan di tempat lain dengan gaya hidup dan tingkat stres yang berbeda.