BAB V PEMBAHASAN
A. PEMBAHASAN 1.
Hubungan umur ibu dengan pemberian MP-ASI dini pada bayi umur 2-6 bulan di kelurahan Pablengan wilayah kerja puskesmas Matesih Karanganyar Berdasarkan tabel 4.2 diatas diketahui bahwa sebagian besar responden yang berumur 20-35 tahun memberikan MP-ASI dini yakni sebanyak 31 responden (58,5%). Nilai ϸ value = 0,52 artinya hipotesis ditolak. Kesimpulan dari uji tersebut adalah tidak ada hubungan antara umur ibu dengan pemberian MP-ASI dini pada bayi umur 2-6 bulan di kelurahan Pablengan wilayah kerja puskesmas Matesih Karanganyar. Hasil wawancara yang dilakukan pada ibu yang memberikan MP-ASI dini pada bayi umur 2-6 bulan di kelurahan Pablengan wilayah kerja puskesmas Matesih Karanganyar berdasarkan lembar cheklist didapatkan rata-rata yang memberikan MPASI dini yaitu pada umur 20-35 tahun. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Wulandari (2011) selaras dengan penelitian ini, bahwa tidak ada hubungan antara umur ibu dengan pemberian MP-ASI dini pada bayi umur 0-4 bulan dengan nilai ϸ value (0,231). Selain itu penelitian ini diperkuat oleh Hadyana (2012) menunjukan bahwa dari 85 orang ibu yang berumur ≤ 35 tahun, 55 orang (64,5%) diantaranya telah memberikan MP-ASI dini kepada bayi usia <6 bulan. Ibu yang berumur >35 tahun, 13 orang (86,7%) telah memberikan MPASI dini kepada bayinya. Hasil 42 uji statistik diperoleh nilai p = 0,079 maka dapat
disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara umur ibu dengan pemberian MP-ASI dini pada bayi usia <6 bulan. Menurut Suhardjo (2010) pengalaman hidup atau lamanya waktu ibu hidup tidak sepenuhnya memberikan ibu pengetahuan dalam pemberian MP-ASI dan pengambilan keputusan untuk memberikan MP-ASI sesuai yang dianjurkan pemerintah atau tidak, oleh karena itu umur ibu kurang mempengaruhi dalam pemberian MP-ASI. Abrams (2011) mengemukakan bahwa orang yang berumur kurang dari sama dengan 35 tahun dianggap sebagai usia muda, kemudian umur > 35 tahun dianggap sebagai usia tua. Umur muda tidak mempengaruhi dalam mengambil keputusan dalam dirinya tetapi faktor lingkunganlah yang berperan dalam mempengaruhi setiap tindakan yang ada dimasyarakat (Priyoto, 2014). 2.
Hubungan pendidikan dengan pemberian MP-ASI dini pada bayi umur 2-6 bulan di kelurahan Pablengan wilayah kerja puskesmas Matesih Karanganyar Berdasarkan tabel 4.3 diatas diketahui bahwa ibu yang berpendidikan rendah (SD, SMP) sebagian besar memberikan MP-ASI dini yaitu sebanyak 49 responden (92,5%). Nilai ϸ value = 0,001 artinya hipotesis diterima sehingga dapat disimpulkan dari uji Chi-Square tersebut adalah ada hubungan antara pendidikan ibu dengan pemberian MP-ASI dini pada bayi umur 2-6 bulan. Hasil wawancara yang dilakukan pada ibu yang memberikan MP-ASI dini pada bayi umur 2-6 bulan di kelurahan Pablengan wilayah kerja puskesmas Matesih Karanganyar berdasarkan lembar cheklist didapatkan rata-rata yang memberikan MPASI dini yaitu ibu dengan pendidikan dasar (SD,SMP).
Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Visyara (2012) mendapatkan hasil bahwa ada hubungan antara pendidikan dengan pemberian MP-ASI dini, dari 19 responden (63,3%) berpendidikan rendah memberikan MP-ASI dini sebanyak 17 responden (56,7%) dengan nilai ϸ value 0,001, selain itu diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Kingsley E. Agho di Nigeria yang menyatakan bahwa ada pengaruh tingkat pendidikan ibu terhadap pemberian MP-ASI dini pada bayi usia < 6 bulan. Kingsley E. Argo, mengatakan bahwa ibu yang memiliki tingkat pendidikan rendah memiliki risiko lebih besar untuk memberikan MP-ASI dini kepada bayinya. Pendidikan dapat mempengaruhi sikap dan tingkah laku manusia. Semakin rendah pendidikan ibu, semakin tinggi jumlah ibu memberikan MP-ASI dini karena ibu kurang mengetahui tentang pemberian MP-ASI yang benar (Depkes RI, 2006). Pengetahuan yang kurang akan berdampak besar pada perubahan sikap seseorang, semakin rendah pendidikan dapat menimbulkan kekhawatiran terhadap kemungkinan bayi menderita kurang gizi tertentu karena konsentrasinya dalam ASI menurun jumlahnya sehingga ibu cenderung memberikan makanan tambahan (Suhardjo, 2010). Luluk (2009) mengatakan bahwa kelompok ibu yang berpendidikan dasar dalam memberikan MP-ASI kepada bayinya pada usia 2 bulan, pada kelompok ibu yang berpendidikan menengah dalam memberikan MP-ASI kepada bayinya usia 4-5 bulan, sedangkan pada kelompok ibu yang berpendidikan tinggi dalam memberikan MP-ASI bayinya setelah berusia 6 bulan. 3. Hubungan pekerjaan dengan pemberian MP-ASI dini pada bayi umur 2-6 bulan di kelurahan Pablengan wilayah kerja puskesmas Matesih Karanganyar
Berdasarkan tabel 4.4 diatas diketahui bahwa ibu yang bekerja dan memberikan MP-ASI dini lebih banyak yaitu ada 37 responden (69,8%). Nilai ϸ value = 0,01 dengan OR = 1,97 artinya hipotesis diterima sehingga dapat disimpulkan dari uji Chi-Square tersebut adalah ada hubungan antara pekerjaan dengan pemberian MP-ASI dini pada bayi umur 2-6 bulan di kelurahan Pablengan wilayah kerja puskesmas Matesih Karanganyar. Risiko untuk ibu memberikan MP-ASI dini pada bayi umur 2-6 bulan dengan ibu bekerja sebesar 1,97 kali lebih besar dari ibu tidak bekerja.
Hasil wawancara yang dilakukan pada ibu yang memberikan MP-ASI dini pada bayi umur 2-6 bulan di kelurahan Pablengan wilayah kerja puskesmas Matesih Karanganyar berdasarkan lembar cheklist didapatkan rata-rata yang memberikan MPASI dini yaitu ibu yang bekerja. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wulandari (2011) juga selaras dengan penelitian ini, yaitu ibu bekerja sebanyak 95% dan didapatkan nilai ϸ value (0,025) bahwa ada hubungan antara pekerjaan ibu dengan pemberian MP-ASI dini, , selain itu diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Yonatan (2013) dari 32 responden didapatkan hasil 52% ibu yang bekerja memberikan MP-ASI dini dan 48% ibu yang tidak bekerja tidak memberikan MP-ASI dini dengan p-value = 0,025 yang artinya ada hubungan antara pekerjaan ibu dengan pemberian MP-ASI dini. Pemberian makanan pendamping dan susu formula adalah alternatif dengan anggapan bahwa anak akan tetap mendapatkan asupan nutrisi yang cukup merupakan
jalan yang ditempuh oleh ibu yang sedang bekerja. Jika dalam pemberian ASI dihentikan pada saat usia dini, maka penggunaan makanan bayi buatan sendiri dan makanan pendamping sangat tinggi (sumardiono, 2007). Secara teori faktor pekerjaan berhubungan dengan aktivitas ibu setiap harinya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pekerjaan ibu bisa dilakukan dirumah, ditempat kerja baik yang dekat maupun yang jauh dari rumah. Dalam hal ini lamanya seorang ibu meninggalkan bayinya untuk bekerja sehari-hari menjadi alasan pemberian makanan tambahan pada bayi usia kurnag dari 6 bulan (Suhardjo, 2010). Menurut Gybney (2012) ibu bekerja masih dapat memberikan ASI ekslusif dengan cara memerah ASI sebelum berangkat ketempat kerja dengan cara disimpan di dalam almari pendingin sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 4. Hubungan status ekonomi dengan pemberian MP-ASI dini pada bayi umur 2-6 bulan di kelurahan Pablengan wilayah kerja puskesmas Matesih Karanganyar Berdasarkan tabel 4.5 diatas diketahui bahwa ibu yang memiliki status ekonomi tinggi yang memberikan MP-ASI dini ada 35 responden (66%). Nilai ϸ value = 0,008 dengan OR = 2,24 artinya hipotesis diterima sehingga dapat disimpulkan dari uji Chi-Square tersebut adalah ada hubungan antara status ekonomi dengan pemberian MP-ASI dini pada bayi umur 2-6 bulan di kelurahan Pablengan wilayah kerja puskesmas Matesih Karanganyar. Risiko untuk ibu memberikan MPASI dini pada bayi umur 2-6 bulan dengan status ekonomi tinggi sebesar 2,24 kali lebih besar dari status ekonomi bawah. Hasil wawancara yang dilakukan pada ibu yang memberikan MP-ASI dini pada bayi umur 2-6 bulan di kelurahan Pablengan wilayah kerja puskesmas Matesih
Karanganyar berdasarkan lembar cheklist didapatkan rata-rata yang memberikan MPASI dini yaitu dengan status ekonominya atas. Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ginting (2012) yaitu terdapat hubungan antara status ekonomi dengan pemberian MP-ASI dini dengan nilai ϸ value 0,003. Kemudian diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Iin Indriyawati (2010) didapatkan nilai p-value = 0,004 dapat disimpulkan ada hubungan antara status ekonomi dengan pemberian MP-ASI dini pada bayi umur 0-6 bulan. Hal ini kemungkinan terjadi karena apabila status ekonominya atas merasa mudah dalam memberikan MP-ASI sehingga ibu akan memberikan MP-ASI dini kemudian ibu yang memiliki ekonomi atas memiliki gaya hidup atau pola makan dalam keluarganya yang berbeda dengan ibu yang memiliki status ekonomi bawah (Prambatini, 2010). Faktor ekonomi adalah faktor yang berhubungan dengan kondisi keuangan yang menyebabkan daya beli untuk makanan tambahan semakin besar. Pendapatan merupakan hal yang penting karena semakin baik perekonomian keluarga maka daya beli makanan tambahan akan semakin mudah, sebaliknya jika semakin buruk perekonomian keluarga maka daya beli makanan tambahan semakin sukar (Pradana, 2010). Menurut Krisna (2012) dengan meningkatnya status ekonomi keluarga akan menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan dalam susunan makanan baik jenis maupun jumlahnya. Semakin meningkatnya pendapatan semakin bertambah pula persentase pembelanjaan termasuk makanan pendamping ASI sehingga ibu cenderung tidak memberikan ASI secara ekslusif.
5. Hubungan budaya dengan pemberian MP-ASI dini pada bayi umur 2-6 bulan di kelurahan Pablengan wilayah kerja puskesmas Matesih Karanganyar Berdasarkan tabel 4.6 diatas diketahui bahwa rata-rata ibu tidak terpengaruh terhadap budaya setempat yaitu sebanyak 38 responden (71,7%). Nilai ϸ value = 0,382 artinya hipotesis ditolak. Kesimpulan dari uji Chi-Square tersebut adalah tidak ada hubungan antara budaya dengan pemberian MP-ASI dini pada bayi umur 2-6 bulan dikelurahan Pablengan wilayah kerja puskesmas Matesih Karanganyar. Tidak adanya hubungan antara faktor budaya dengan pemberian MP-ASI dini disebabkan karena mayoritas ibu-ibu yang berada di kelurahan Pablengan memberikan MP-ASI dini atas dasar kemauannya sendiri, hal ini terlihat pada saat dilakukan beberapa wawancara mendalam dengan menggunakan cheklist rata-rata ibu menjawab tidak yang artinya bahwa ibu memberikan MP-ASI dini karena atas kemauannya sendiri tidak karena keinginan orang tuanya atau pihak keluarga lainnya. Unsur kebudayaan mampu menciptakan suatu kebiasaan dalam masyarakat, dari hasil wawancara langsung yang sudah dilakukan didapatkan bahwa pihak keluarga lain tidak aktif dalam hal pemberian makanan maupun nutrisi pada bayi hal ini terlihat dalam keluarga tidak menganjurkan memberikan makanan padat pada bayi usia 2-6 bulan kemudian keluarga juga tidak menganjurkan memberikan ASI Ekslusif saja sampai bayi umur 6 bulan. Sehingga bisa di tarik kesimpulan tradisi yang merugikan atau membahayakan semakin banyaknya informasi akan semakin luntur atau bahkan menghilang seiring dengan modernisasi. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh wulandari (2011) didapatkan hasil bahwa tidak ada pengaruh antara sosial budaya dengan pemberian
MP-ASI dini ϸ value 0,2. Kemudian diperkuat oleh penelitian yang di lakukan oleh Rani (2011) didapatkan nilai ϸ value 0,1 yang artinya tidak ada hubungan antara faktor budaya dengan pemberian MP-ASI pada bayi umur < 6 bulan. Hal ini kemungkinan terjadi karena semakin majunya jaman dan saranan informasi yang memadai menyebabkan orangtua atau keluarga yang lain tidak mau ikut campur dalam hal pemberikan makanan pada anak. Menurut Andeas (2013) kebudayaan adalah segala sesuatu atau tata nilai yang berlaku dalam sebuah masyarakat termasuk didalamnya pernyataan intelektual dan nilai-nilai artistik yang menjadi kebiasaan, sehingga pada akhirnya dapat mendorong masyarakat untuk berperilaku sesuai dengan kemauannya sendiri atau sudah terbiasa dalam kehidupannya. Hal ini terlihat dari ibu-ibu di kelurahan Pablengan yang bekerja atau mempunyai kesibukan sosial lainnya, memberikan makanan pendamping sesuai dengan inisiatif sendiri tanpa adanya paksaan dari orang tua atau orang terkemuka di daerahnya. A. KETERBATASAN PENELITIAN Dalam penelitian ini peneliti melakukan penelitian langsung dengan cara mengikuti jadwal posyandu yang jadwalnya sama dengan jadwal kuliah sehingga apabila jadwal kuliah berbenturan dengan jadwal kuliah peneliti langsung mengunjungi rumah responden, maka peneliti tidak dapat memastikan apakah responden sedang berada dirumah atau tidak, selain itu lokasi penelitian sangat luas sehingga peneliti kesulitaan dalam menemukan rumah responden.