BAB V KESIMPULAN Berdasarkan kajian yang penulis lakukan mengenai Politik Luar Negeri Indonesia Terhadap Pembentukan Negara Federasi Malaysia dan Dampaknya bagi Hubungan Indonesia-Amerika Serikat Tahun 1961-1963, maka dapat ditarik beberapa point kesimpulan. Point-point kesimpulan tersebut didasarkan pada hasil penelitian dengan menggunakan konsep konfrontasi, politik luar negeri dan diplomasi. Terdapat tiga point kesimpulan penelitian yang didasarkan kepada batasan-batasan masalah permasalahan. Pertama, Indonesia mengambil langkah kebijakan konfrontasi terhadap pembentukan Negara Federasi Malaysia. Padahal awalnya Indonesia tidak berkeberatan atas rencana pembentukan Negara Federasi Malaysia yang diprakarsai oleh Inggris, meskipun Soekarno telah menaruh kecurigaan mengingat kemerdekaan Malaya yang sebelumnya diperoleh pada tahun 1957 dan kemudian rencana penggabungan Malaya dengan wilayah protektorat Inggris lainnya; Singapura, Sabah, Serawak dan Brunei ke dalam Federasi Malaysia diperoleh tanpa usaha yang berarti. Benih konfrontasi yang memandang bahwa Malaysia merupakan proyek new-imperialism muncul saat perlawanan Azhari pada 8 Agustus 1962 di Kalimantan Utara pecah. Perlawanan Azhari dianggap perjuangan menentang imperialisme oleh Indonesia. Politik konfrontasi secara resmi disampaikan oleh Subandrio pada 20 Januari 1963. Beberapa usaha diplomasi telah dilakukan untuk arah penyelesaian yang lebih kondusif. Namun,
111
112
kemerdekaan Negara Federasi Malaysia pada 16 September 1963 yang didukung oleh Amerika Serikat (AS) tetap ditentang oleh Indonesia karena dianggap melenceng dari kesepakatan sebelumnya. Hal tersebut membuat suhu konfrontasi semakin memanas dan melahirkan slogan “Ganyang Malaysia” pada akhir September 1963. Jika dilihat dari sudut pandang Politik Luar Negeri Indonesia, konfrontasi terhadap Malaysia dapat difahami sebagai cara untuk mengartikulasikan dan memperjuangkan kepentingan Indonesia. Soekarno merupakan pemegang kunci bagaimana kepentingan tersebut muncul, karena pada masa Demokrasi Terpimpin kebijakan politik luar negeri sangat ditentukan oleh Soekarno sebagai pemimpin Demokrasi Terpimpin. Dengan memahami kepentingan-kepentingan tersebut maka dapat diambil penjelasan mengapa Soekarno tetap mempertahankan konfrontasi yang sebelumnya juga dilakukan terhadap masalah Irian Barat. Kepentingan-kepentingan tersebut merupakan hasil penyimpulan dengan melihat hubungan antara keadaan politik dalam negeri Indonesia, dasar politik luar negeri Indonesia, dinamika politik internasional di Asia Tenggara, dan tentu saja posisi serta pemikiran Soekarno sebagai policy maker dominan Demokrasi Terpimpin. Kepentingan politik konfrontasi terhadap Federasi Malaysia setidaknya dapat diklasifikasikan menjadi dua arah, yaitu; kepentingan dalam negeri dan kepentingan luar negeri. Kepentingan dalam negeri yang dimaksud adalah; bahwa politik konfrontasi terhadap Federasi Malaysia memiliki peranan penting dalam mempersatukan unsur-unsur politik di Indonesia. Pemilihan politik konfrontasi juga telah menempatkan ekonomi sebagai masalah yang dialihkan untuk
113
mempertahankan Demokrasi Terpimpin. Sedangkan kepentingan luar negeri merupakan alasan yang diangkat ke permukaan terkait Dasar Politik Luar Negeri Indonesia yang anti imperialisme dan anti kolonialisme. Isu “pengepungan” imperialisme terhadap Indonesia terkait pembentukan Federasi Malaysia dan peningkatan eksistensi Indonesia di kancah dunia internasional, khususnya di Asia Tenggara juga menjadi alasan kepentingan luar negeri yang tidak kalah penting. Kedua,
terkait
pembentukan
Negara
Federasi
Malaysia
dan
kepentingannya di Indonesia, AS berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi, Pemerintahan Kennedy memandang bahwa mempertahankan hubungan baik dengan Indonesia merupakan hal yang harus tetap dipertahankan demi menjaga kepentingan AS dalam hegemoni Perang Dingin antara Blok Barat dengan Blok Timur. Sebelumnya, citra AS dan presiden Eisenhower yang buruk di mata Indonesia, khususnya Soekarno telah dibayar dengan memihaknya AS kepada Indonesia dalam masalah Irian Barat. Politik Luar Negeri AS yang moderat, damai, dan akomodatif pada masa Kennedy mengharuskan AS mempertahankan hubungan baik dengan Indonesia lewat program bantuan ekonomi dan militer demi menjaga supaya Indonesia tidak jatuh ke Blok Komunis. Di sisi lainnya, AS dengan beberapa pertimbangan tertentu memutuskan untuk mendukung pembentukan Negara Federasi Malaysia. Dukungan kepada Inggris menjadi salah satu pertimbangan AS untuk mendukung Federasi Malaysia. Setidaknya dengan mendukung Inggris, ada beberapa hal positif yang AS peroleh, yaitu; untuk membendung pengaruh komunis, khususnya Cina di kawasan Asia Tenggara sekaligus akan memudahkan AS untuk mengkoordinasi militernya jika terjadi
114
ancaman, mengingat Inggris masih menempatkan Malaysia dan Singapura sebagai pangkalan militernya. AS juga dapat mempertahankan kerjasama yang baik dengan Inggris di NATO dan peran penting Inggris pada persoalan di Vietnam maupun Laos. Secara ekonomis, bertahannya akses Inggris terhadap karet dan minyak bumi di wilayah federasi akan mengurangi beban AS untuk membantu memulihkan ekonomi Inggris yang terpukul akibat perang dunia II. Menjaga semangat pertahanan kolektif terhadap ancaman komunis dengan Inggris dan beberapa negara Asia lainnya di SEATO juga cukup penting dipertahankan. Ketiga, kepentingan konfrontasi Politik Luar Negeri Indonesia “versus” posisi Politik Luar Negeri AS dalam masalah pembentukan Federasi Malaysia membuat hubungan diplomatik Indonesia-AS mengalami dinamika yang khas. Hubungan diplomatik kedua negara yang merupakan wujud nyata dari kebijakan luar negeri tersebut membuat hubungan Indonesia-AS fluktuatif. Kepentingan keduanya tidak merubah arah politik pemerintahan Soekarno dan Kennedy, meskipun cara untuk membuat keadaan menjadi lebih kondusif kerap dilakukan dengan asumsi kesepakatan yang menguntungkan semua pihak dapat dihasilkan. Fluktuatifnya hubungan diplomatik dapat dilihat dari bantuan luar negeri AS berupa program bantuan ekonomi dan militer terhadap Indonesia yang dinilai penting oleh pemerintahan Kennedy untuk mencegah Indonesia masuk ke dalam pengaruh komunis mendapat sandungan. Sandungan tersebut adalah sikap Indonesia yang menentang pembentukan Negara Federasi Malaysia. Dalam pemerintahan dan kongres AS sendiri terdapat perbedaan pendapat tentang bagaimana kelanjutan program bantuan AS terhadap Indonesia. Kelompok
115
“akomodasionis” menginginkan AS tetap bekerjasama dengan Soekarno dan mengendalikan netralitas Indonesia dalam percaturan politik dunia. Sedangkan kelompok “garis keras” menganggap bekerjasama dengan Soekarno dan mempertahankan kenetralan Indonesia adalah sesuatu yang sia-sia. Indonesia yang dalam masa Demokrasi Terpimpin masih membutuhkan bantuan luar negeri sempat melunak ketika bersedia berunding dengan Malaya, tapi kemudian tetap pada sikapnya dan membuat bantuan luar negeri AS menjadi sesuatu yang rumit seiring sentiment anti-AS yang terus meningkat dan diperparah dengan adanya dugaan dinas rahasia AS bersama Inggris untuk menjatuhkan Soekarno. Sentimen anti-AS yang terus meningkat memunculkan upaya diplomasi personal
untuk
meredakan
ketegangan.
Diplomasi
personal
tersebut
mengutamakan relasi kedekatan dua pribadi, yaitu; Soekarno dan Kennedy. Keyakinan usaha tersebut didasarkan bahwa Kennedy yang Pemerintahannya membela Indonesia dalam masalah Irian Barat, pernah mengunjungi Indonesia dalam kapasitas sebagai anggota Kongres dan memberikan tanggapan positif terhadap netralitas Indonesia. Kunjungan ke AS yang pernah dilakukan Soekarno juga memperoleh sambutan yang hangat dari Kennedy. Sambutan “kurang ramah” saat Soekarno mengunjungi Eisenhower dijadikan “kesan tandingan”. Namun rencana tersebut pupus, Kennedy ditembak mati saat iring-iringan di Dallas, Negara Bagian Texas pada 22 November 1963. Hubungan diplomatik IndonesiaAS mengalami kemajuan kembali saat pemerintahan Orde Baru yang belum lama berkuasa memutuskan mengakhiri politik konfrontasi dengan Malaysia.