BAB IV PERKEMBANGAN DAN PENGARUH ZEN BUDDHISME DI VIHARA MAHAVIRA GRAHA KOTA SEMARANG
A. Perkembangan Zen Buddhisme di Vihara Mahavira Graha Kota Semarang Semenjak berdirinya Vihara Mahavira Graha Kota Semarang di kawasan Marina pada tahun 2003. Perkembangan umat Buddha Mahayana di Kota Semarang maju pesat. Buddha Mahayana di sini harus dibedakan dengan Buddha Mahayana yang tergabung dalam Tri Dharma (tiga ajaran yaitu Buddhisme, Khonghucu, dan Taoisme). Buddha Mahayana yang ada di Vihara Mahavira Graha Kota Semarang berada di bawah naungan majelis Buddha Mahayana yang berpusat di Jakarta Utara. Umat Buddha Mahayana khusus beribadah di Vihara Mahavira Graha Kota Semarang langsung di bawah bimbingan Suhu Venerable Prajnavira Mahastavira sekaligus Ketua Vihara tersebut. Umat Buddha di Kota Semarang secara kuantitas memang lebih sedikit dibanding dengan umat Buddha Mahayana yang menginduk ke Tri Dharma. Sejak dibuka tahun 2003 tepatnya bulan Desember, umat yang rutin beribadah di sana pelan tapi pasti mengalami peningkatan. Pada tahun pertama hanya sekitar 65 orang dari berbagai usia (dewasa, remaja, dan anakanak). Sampai sekarang (menurut keterangan narasumber) telah ada sekitar 400 orang yang ikut dalam kegiatan peribadatan di Vihara satu-satunya bagi umat Buddha Mahayana di Jawa Tengah.1 Seiring pesatnya perkembangan umat Buddha Mahayana di Kota Semarang semakin berkembang juga Zen Buddhisme yang ada di Vihara Mahavira Graha Kota Semarang. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa Zen Buddhisme berkembang dalam aliran Buddhisme Mahayana. Aliran ini sebenarnya timbul karena 1
Wawancara dengan Suhu Chuan Foe, Chik Erika pada tanggal 7 Oktober 2006
51
52 bereaksi terhadap aliran tradisional dan mau mengembangkan cita-cita baru sebagai “Boddhisattva”. Istilah Boddhisattva sendiri berarti orang yang diterangi atau yang telah mendapat penerangan. Aliran ini mau menekankan penundaan ke Nirwana meskipun sudah diterangi (seperti Buddha) guna membantu sesama untuk mencapai penerangan yang sama, sebuah usaha untuk menyelematkan sebanyak mungkin orang. Inti pokok ajaran Mahayana sendiri adalah ajaran penerangannya yang berpusat pada kosmos. Siddharta Gautama yang telah memperoleh penerangan yang sempurna itu telah menjadi Buddha. Semua kosmos adalah Buddha. Inilah pokok ajaran Buddhisme Mahayana.2 Akan tetapi, Kebuddhaan itu perlu disadari oleh setiap makhluk. Jalan atau caranya adalah melalui penerangan. Dengan kata lain, pada dasarnya setiap orang (makhluk) yang bebas dari ketidaktahuan (Avidya) itu adalah Buddha. Ada persamaan antara yang mutlak dan yang relative. Setiap orang memperoleh kebijaksanaan, penerangan dan rasa iba akan menjadi Boddhisattva, orang yang “diterangi”. Ia wajib menolong sesamanya yang lain untuk menjadi Buddha, inilah jalan Boddhisattva. Buddhisme Mahayana sendiri mempunyai dua pandangan mengenai bagaimana upaya mencapai keselamatan itu, yang satu disebut “Jiriki” (upaya sendiri), yang lain disebut “Tariki” (upaya dari yang lain).3 Zen berkembang dalam pandangan Jiriki yang menekankan bahwa keselamatan bisa diperoleh dengan usaha dan upaya sendiri. Oleh karena itu “upaya sendiri” sangat ditekankan di sini maka dengan sendirinya teknik dan metode melatih diri mempunyai peranan penting dalam Mahayana Jiriki. Di Semarang khususnya Vihara Mahavira Graha Kota Semarang, Zen benar-benar berkembang dan terbentuk tiga tahun semenjak Vihara tersebut dibangun di bawah asuhan Suhu Venerable Prajnavira Mahastavira selaku pimpinan Vihara Mahavira Graha Kota Semarang. Menurut beliau Satori dapat diperoleh secara mendadak dan samadhi di dalam Zen Buddhisme
2
Mudji Sutrisno, S.J., Zen Buddhis, Ketimuran dan Paradoks Spirituallitas, Penerbit Obor, Jakarta, 2002, hlm. 51 3 Ibid, hlm. 52
53 bukan semata-mata duduk bersila memejamkan mata tetapi yang terpenting adalah menghayati hidup ini saat demi saat dan menyadarinya. Zen mempunyai sifat yang begitu lembut dan alamiah. Di dalam perkembangannya ada beberapa sub sekte aliran di dalam Zen dan hingga kini masih aktif yaitu:4 1. Sub sekte Lin Chi (Rinzai) Sub sekte ini diperkenalkan oleh master Lin Chi kira-kira pada tahun 860 M. 2. Sub Sekte Chau Tung (Soto) Sub sekte ini diperkenalkan oleh Master Tung Sang Liang Chie (807-869 M) dan Chau San (840-901 M) 3. Sub Sekte Huang Po (Obaku) Sub sekte ini diperkenalkan oleh Master Huang Po kira-kira pada tahun 850 M Sebenarnya perbedaan di antara mereka tidaklah terlalu nyata, mereka hanya berbeda di dalam menggunakan metode misalnya Sekte Lin Chi (Rinzai) lebih cenderung pada metode penghayatan kecerdasan secara mendadak. Sedangkan sekte Chau Tung (Soto) lebih cenderung pada kemajuan setahap demi setahap dengan diterapkannya peraturan disiplin Zen. Aliran Huang Po (Obaku) masih mempunyai pengaruh yang cukup besar di Jepang. Melihat dari sub sekte yang berkembang hingga kini masih aktif. Vihara Mahavira Graha Kota Semarang lebih cenderung mengikuti sub sekte Chau Tung (Soto) yaitu lebih menekankan pada kemajuan setahap demi setahap dengan diterapkannya disiplin Zen. Sub Sekte Soto mengembangkan ajaran penerangan yang hening. Hening merupakan suatu ungkapan ketenangan pokok di dasar diri yang telah mendapatkan penerangan. Penerangan di sini muncul sebagai kegiatan naluriah yang membiaskan dan memantulkan cahaya/ pancaran budi yang berdasarkan pada kodrat Buddha. Ciri-ciri sub sekte 4
ini
adalah tenang dan menekankan kerja dalam
Chau Ming, Buddhisme Zen, Sasana, Jakarta, 1999, hlm. 24
54 keheningan seta “kepatuhan” (Passivity). Metode satu-satunya yang digunakan untuk mencapai penerangan adalah “Za-zen”, sebuah meditasi dalam posisi duduk bersila. Vihara Mahavira Graha Kota Semarang lebih cenderung mengikuti sub sekte ini karena di manapun dan kapan saja, di dalam masyarakat ini sering terjadi penyelewengan. Begitu pula di dalam Zen, ada kalanya mereka yang tidak mengerti dan tidak serius masuk ke dalam Vihara sehingga mencemarkan nama Zen sehingga untuk mencegah terjadinya penyelewengan tersebut diibaratkan dengan naga dan ular yaitu agar naga itu tidak tercampur dengan ular, maka di dalam perkembangan berikutnya di dalam Zen juga timbul peraturan-peraturan disiplin yang menekankan setiap orang harus bekerja sehingga dia baru berhak untuk makan. Yang disebut di sini termasuk membersihkan
halaman Vihara, mencuci baju, mangkuk nasi, serta
merapikan kebun dan sebagainya meskipun dalam Vihara ini sudah yang merapikan kebun dan sebagainya.5 Hingga kini Zen masih tetap ada di Vihara Mahavira Graha Kota Semarang. Bahkan banyak praktisi Zen yang ada di Semarang ini. Di Semarang praktisi Zen
berkumpul di PUSDIKLAT BUDDHIDHARMA
yang ada di Jimbaran, Ungaran. Di sana ada 100 orang praktisi Zen kurang lebihnya yang diketuai oleh Suhu Sietse dan Samanera Dieti yang kesehariannya menetap di sana. Praktisi lain sibuk dengan urusan diluar Vihara. Tempat ini dijadikan sebagai tempat berkumpulnya para praktisi Zen karena selain tempatnya berada di pegunungan tempat ini juga jauh dari keramaian kota sehingga cocok digunakan untuk meditasi Zen sangat membutuhkan ketenangan demi tercapainya Satori. Dalam perkembangan Zen Buddhisme, terutama di Vihara Mahavira Graha Kota Semarang tokoh yang dianggap berjasa dalam perkembangan Zen Buddhisme di antaranya :
5
Wawancara dengan Suhu Chuan Ling pada tanggal 10 Oktober 2006
55 1. Suhu Venerable Prajnavira Mahastavira Beliau adalah seorang pimpinan di Vihara Mahavira Graha Kota Semarang dari awal berdirinya sampai sekarang, riwayat hidup beliau tidak dapat diketahui secara jelas karena memang beliau tidak bersedia untuk memaparkan riwayat hidupnya sebelum menjadi pimpinan. Namun jasa dan sumbangan beliaulah dalam perkembangan Zen Buddhisme sangat besar sehingga tidak pernah dilupakan oleh para pengikutnya sampai saat ini. 2. Suhu Chu’an Foe Beliau adalah wakil dari Suhu utama yang kesehariannya berada di Vihara Mahavira. Beliau
sebelum menjadi seorang Bhikkhu atau
semasa
suka
remajanya,
nakal,
mabuk-mabukan
sehingga
oleh
keluarganya dikirim ke Vihara untuk sekolah dan memperdalam agama Buddha hingga akhirnya dia mendapat pencerahan dan menjadi seorang Bhikkhu. Kedua Suhu tersebut adalah tokoh yang paling menonjol dalam pengembangan Zen Buddhisme dan Buddha Mahayana pada umumnya. Di bawah ini adalah jadwal meditasi (Zen Buddhisme) yang penulis peroleh dari wawancara dan jadwal tetap yang ada di Vihara Mahavira Graha Kota Semarang: 04. 00 Kentongan Bangun Pagi 04. 15 Senam Yoga 04. 35 Duduk Meditasi 06. 00 Kebaktian Pagi 06. 20 Makan Pagi 06. 40 Aktifitas Pribadi 08. 00 Persiapan Meditasi 08. 20 Meditasi 12. 00 Makan Siang 12. 20 Waktu Istirahat 13. 00 Persiapan Meditasi
56 13. 20 Meditasi 17. 00 Kebaktian Sore 17. 30 Makan Sore 18. 00 Istirahat 18.50 Persiapan Ceramah Dharma 19.00 Ceramah Dharma 20. 00 Meditasi 22.00 Tidur Pelaksanaan dari Zen Buddhisme di Vihara Graha Kota Semarang bagi upasakha-upasakhi dilaksanakan di lantai III.
Upasakha-upasakhi
melakukan meditasi dengan bimbingan seorang buruh sebelum mereka melaksanakan meditasi. Ada pelajaran khusus yang diperoleh dari seorang guru yaitu berupa Koan dan Mondo. B. Pengaruh Zen Buddhisme di Vihara Mahavira Graha Kota Semarang Meditasi dalam Buddha atau yang lebih dikenal dengan Zen adalah suatu kegiatan yang fungsi dan tujuan utamanya adalah menemukan identitas diri sejati atau menemukan jati dirinya, maka pada hakikatnya Zen merupakan sebuah seni untuk melihat kodrat diri dan demikian menjadi Buddha. Penghormatan terhadap Tri Ratna (Buddha, Dharma dan Sangha) adalah penghormatan setulusnya di dalam batin. Hal itu tidak dilakukan semata-mata dengan cara yang berbelit-belit atau perbuatan yang dibuat-buat. Pendewaan terhadap guru dan caranya pun tidak dilakukan. Dengan demikian pula mengikat pikiran praktisi Zen terhadap benda-benda yang sakral juga tidak dilakukan. Singkatnya, dapat dikatakan keyakinan Zen adalah pendekatan diri terhadap nilai-nilai luhur yang absolut, namun hal demikian bukan sesuatu yang harus digembar-gamborkan. Yang terpenting adalah penembusan terhadap nilai-nilai hidup ini, pengertian terhadap diri sendiri serta sikap terhadap orang lain dan lingkungannya.
57 Di dalam Zen sering dikatakan “kurangi keinginanmu sehingga batinmu tenang/ puaslah dengan apa yang ada sekarang/ terangilah dirimu dan kenalilah kepribadianmu.6 Kata-kata seperti ini mungkin dinilai terlalu pasif dalam kehidupan modern yang super dinamis ini. Tetapi, kalau kita merenungkan kata-kata tersebut mengandung obat yang mujarab untuk mengobati penyakit batin manusia modern, sering kita menderita secara psikologis karena kita tidak dapat menghayati kata-kata tersebut, kalau kita bertanya pada diri kita sendiri siapakah kita ini dan apa manfaatnya setelah bertahun-tahun kita belajar Buddha Dharma, mungkin dengan banyak merenungkan kata-kata tersebut kita akan banyak terbantu. Praktisi Zen sering tidak menyadari, bahwa sesungguhnya di dalam Dharma yang diperoleh pertama-tama adalah sesuatu yang non-materi, sesuatu yang bersifat batiniah, setelah itu diperoleh berangsur-angsur kebahagiaan materi, karena sifat Dharma itu pengolahan batin, sedangkan hidup di dunia ini penuh dengan godaan dan tantangan. Hanya di dalam perjalanan hidup ini seseorang dapat menjadi dewasa. Namun, orang sering lupa bahwa seharusnya di dalam kehidupan ini seseorang mencari kedudukan serta keuntungan materi lain. Seandainya hal in dapat dimengerti barulah kita dapat menghayati sedikit demi sedikit. Sesungguhnya, banyak hal yang terjadi di luar pribadi seseorang yang menarik dan menggoda ketika orang tersebut berusaha untuk berjalan di atas jalan penghayatan Dharma, misalnya: sukses orang lain, ketenaran, gelar, kehormatan, dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut kalau dilihat sepintas lalu memang tampak menyenangkan, tapi kalau kita merenungkan secara mendalam sesungguhnya hal-hal tersebut tidak mempunyai hubungan yang membantu batin kita. Menurut Zen, seseorang harus mengerti perasaan seseorang di dalam kehidupan ini dan tugas dan tanggung jawab yang harus dilakukan. Di zaman sekarang ini, setelah Zen terbentuk lebih dari 1000 tahun yang lalu, ada pengaruhnya dengan kehidupan modern terutama di Vihara 6
Chaung-Ming, op-cit...hlm.40
58 Mahavira Graha Kota Semarang sebagai pusat berkembangnya Zen Buddhisme serta Semarang secara luas. Sumbangan-sumbangan apa saja yang telah diberikan oleh metode Zen terhadap peradaban manusia? Zen begitu alamiah, luwes, filosofis, dan sentimental. Oleh karena itu, di dalam perkembangannya banyak memberikan pengaruh terhadap beberapa bidang antar lain sebagai berikut : 1. Di Bidang Sastra dan Seni Di bidang puisi Zen tampak begitu kuat mempengaruhi para penyair. Suhu Chuan Bin adalah seorang Bikkhu yang mahir berpuisi di Vihara Mahavira Graha Kota Semarang.
Beliau mengajarkan puisi-
puisinya kepada upasakha-upasakhi maupun sesama Bikkhu. Kegiatan tersebut diajarkan setiap hari Senin dan Selasa Jam 10.00 WIB. Diantara sekian banyak puisinya berisikan tentang pelajaran moral dan kesusilaan puisi tersebut berbunyi : Tubuh adalah boddhi Hati laksana cermin terang yang berbingkai Setiap saat rajin membersihkannya Agar jangan sampai dikotori oleh debu Dari puisi tersebut dimaksudkan agar setiap manusia itu diharapkan untuk bersila dan bersamadhi agar mempunyai moral dan bersusila yang baik serta dengan samadi tersebut hati akan bersih terhindar dari pikiran yang negatif. Selain dalam bidang sastra Zen juga berpengaruh dalam bidang seni. Di Vihara Mahavira banyak diajarkan seni contohnya seni ilmu bela diri (Kungfu Saolin), yang juga disebut sebagai Shoronji Kempo. Kegiatan itu diajarkan setiap hari Sabtu dan Minggu Jam. 15.00 WIB. Selain itu di Vihara ini mengajarkan Taekwondo maupun Karate tetapi yang paling berkembang adalah Kungfu Saolin. Dari Kungfu Saolin tersebut banyak memberikan pengaruh kepada Upasakha-upasakhi ataupun Bikkhu yaitu dengan diajarkannya Kungfu Saolin tersebut bisa
59 melatih kesabaran, menjaga ucapan, ataupun lebih berani menghadapi hidup. 2. Di Bidang Filsafat Di bidang filsafat di Vihara ini diajarkan Dharma. Kehidupan ini merupakan tempat untuk merealisasikan Dharma dan didalam kehidupan ini pula nilai kesadaran hidup dapat dirasakan. Secara teoritis dikatakan bahwa di dalam kehidupan ini benih kebudhaan dapat tumbuh bersemi berkat usaha pembinaan. Pengertian Dharma di Vihara ini bukan semata-mata datang dari luar dan pengertian Dharma ini bukan semata-mata diperoleh dari membaca setumpukan buku-buku atau menghafal sutra-sutra.
Tetapi,
yang terpenting pengertian itu harus datang dari diri sendiri. Semua penghayatan Dharma harus didasarkan atas pengenalan diri sendiri hingga dapat meletakkan dasar bagi terciptanya kedamaian hati dan penerangan batin. Penghayatan Dharma di Vihara ini tidak lepas dari aktivitas kehidupan sehari-hari misalnya bekerja, berkarya sampai membersihkan halaman dan menyirami bunga dan tumbuh-tumbuhan. Demikian kira-kira apa yang disampaikan oleh Zen di dalam wisata kita untuk menghayati Buddha Dharma pada kehidupan yang penuh tantangan dan cobaan ini, kita memerlukan ketabahan untuk menghadapi hidup ini. Sedikitnya seseorang harus mengenal dirinya sendiri dan menjadi manusia yang tahu diri dari pada kita menutupi pribadinya dengan nilai-nilai kesucian yang masih semu dan belum tentu dicapainya.