BAB IV PENGARUH PEMIKIRAN MUHAMMAD IBNU ABDUL WAHHAB TERHADAP DAKWAH PURIFIKASI MUHAMMADIYAH DI INDONESIA
A. Analisis Melalui Ajaran Muhammad Ibnu Abdul Wahhab yang Masuk Dalam Dakwah Purifikasi Muhammadiyah Sebelum menganalisis pengaruh pemikiran Muhammad Ibnu Abdul Wahhab berupa pokok–pokok ajarannya baik, aqidah, fiqh maupun tasawuffilsafat
dalam
dakwah
purifikasi
Muhammadiyah.
Ada
baiknya
menghubungkan dulu dengan gerakan pemurnian dan pembaharuan Islam yang telah ada dan terjadi pada masyarakat Indonesia . Penyebaran Islam di Indonesia merupakan proses yang tidak pernah berhenti. Dalam proses ini terdapat unsur-unsur kontinuitas dan perubahan. Karena itu pada setiap fase perkembangan Islam terdapat ide pembaharuan. Namun demikian, tak seluruh fase perkembangan itu memiliki karakter dan intensitas yang sama. Maka jika terjadi perubahan yang mencolok dibanding dengan masa sebelumnya, saat itulah bisa disebut masa pembaharuan. Salah satu faktor yang mempengaruhi intensitas perubahan ialah munculnya kelompok kecil yang menggerakan perubahan paham keagamaan, sekaligus menerobos tradisi yang menjadi benteng kebekuan berpikir. Dalam sejarah Islam di Indonesia, gerakan semacam ini sesungguhnya telah dikenal
70
71
pada awal perkembangan Islam. Gerakan pemurnian dan pembaharuan tersebut secara berurutan dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, sekitar abad 15 telah muncul gerakan Walisongo di Jawa, yang memperkenalkan pandangan dunia Islam ke tengah–tengah masyarakat Jawa yang baru mengenal Islam. Pembaharuan yang berusaha diangkat oleh Walisongo adalah masalah aqidah dan soal ibadah. Dalam hal ini, ibadah dipahami sebagai konsekuensi logis dari pengakuan terhadap adanya Allah. Tidak detail pada teknis pelaksanaan sholat menurut tuntunan Nabi SAW, apalagi tentang perbedaan (ikhtilaf) antara satu madzhab dengan madzhab yang lain. Di
samping
dua
masalah
tersebut,
Walisongo
juga
sangat
memperhatikan kondisi moral masyarakat, ajaran–ajaran tentang cinta terhadap sesama, tolong menolong, memberantas perjudian, pencurian, pembunuhan, perkosaan dan sebagainya.1 Kedua, pada abad 18 lahir gerakan pemurnian Paderi yang menekankan pada pelaksanaan syari’at dan moralitas Islam di tengah masyarakat adat.2 Bagaimana merubah ahlaq dan adat agar sesuai dengan pemahaman Islam yang puritan. Gerakan Paderi sangat dipengaruhi model gerakan Wahhabi di Arab Saudi. Paham pemurnian dan pembaharuan mereka, 1
Syafiq A. Mughni. 2001. Nilai–Nilai Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hlm.16. Istilah “ Paderi “ ini sering diperdebatkan oleh banyak kalangan. Van Ronkel (1919, 370) mempunyai hipotesis bahwa istilah ini berasal dari kata Pedir dan menurut dugaan, agama Islam masuk pertama kali kedaerah Pedir dan dari daerah ini menyebar ke Minamgkabau. Pendapat umum yang berkembang menyatakan bahwa “ Pedir “ berasal dari kata Portugis Padre (Pastor Katolik) yang sering dipakai di Hindia Inggris maupun Hindia Belanda. F.De.Haan, Priangan (jilid II tentang Ahmad Ripangi, h.704) menyebutkan Istilah ini digunakan untuk ulama sebagaimana surat para Residen,1859. Dan Paderi menurut Jalaludin (ulama Aceh dan Minangkabau, 1665) adalah sebutan untuk kaum putih. Baca : Karel A. Steenbrink. 1984. Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke 19. Jakarta : Bulan Bintang, hlm.36-37 2
72
diperkenalkan melalui sebuah kekuatan yang memiliki daya paksa bagi orang lain untuk mengikutinya. Karena itu reaksi yang terjadi adalah perlawanan tokoh–tokoh adat yang didukung oleh Belanda. Ketiga, awal abad 20 lahir gerakan serupa tetapi memiliki dampak yang lebih menentukan, yakni Muhammadiyah, Persatuan Islam (PERSIS) dan Al Irsyad. Ketiga gerakan ini lebih menekankan pada pemurnian aqidah dan ibadah Islam dibanding dengan Walisongo yang memperkenalkan Allah dan Paderi yang memperkenalkan pentingnya ajaran syari’at dan moral Islam. Keempat, tahun 1970-an muncul gerakan pembaharuan yang dipelopori oleh Nurkholis Madjid dan cendikiawan muda lainnya. Gerakan ini tidak berbicara lagi tentang aqidah, ibadah dan khurafat, tetapi tentang modernisasi, rasionalisasi dan sekulerisasi. Sepuluh tahun kemudian, muncul gerakan Munawir Syadzali yang menegaskan perlunya aplikasi fiqh terhadap hukum nasional. Masing–masing gerakan Islam di atas memberikan pengaruh yang khas dalam perkembangan Islam di Indonesia. Di samping itu, kita juga tidak bisa menafikkan adanya pengaruh yang besar dari perkembangan intelektual di dunia Islam terhadap apa yang terjadi di Indonesia.3 Dari rangkaian panjang pergerakan Islam Indonesia ini, maka langkah selanjutnya adalah mencoba menganalisis pengaruh pemikiran Muhammad Ibnu Abdul Wahhab terhadap dakwah purifikasi Muhammadiyah di Indonesia, melalui ketiga ajarannya, aqidah, fiqh dan tasawuf-filsafat.
3
Syafiq A. Mughni. 2001. Nilai – Nilai…, hlm.17-26.
73
Pertama, dalam sisi aqidah Islamiyah yang berhulu pada ketauhidan (monotheis). Sebagian besar analis sejarah sepakat bahwa Muhammad Ibnu Abdul Wahhab mengadopsi ajaran Hanbali dan Ibnu Taimiyah, disamping upaya–upayanya memberantas penyakit–penyakit aqidah yang ada dalam setiap umat Islam seperti, syirik, bid’ah dan khurafat.4 Perkembangan selanjutnya Muhammad Ibnu Abdul Wahhab menjabarkan pokok-pokok ajarannya dalam “teori dual” tentang tauhid sebagaimana dikutip Syaikh Ja’far Subhani. Tauhid dibagi menjadi dua, pertama menyangkut pengakuan eksistensi Tuhan dan kedua menyangkut peribadatan.5 Masalah keterpihakan terhadap aliran tauhid (teologi), Muhammad Ibnu Abdul Wahhab lebih condong pada Asy‘ariyah, yakni tentang pembatasan-pembatasan peran akal dalam memahami nash. Produk pemikiran ini pada umumnya menjadi pegangan paradigma kaum Sunni. Meski tidak pernah mendengar kritik Ibnu Taimiyah terhadap aliran ini,6 dan sepintas lalu kita mengetahui bahwa teori Ibnu Taimiyahlah yang kemudian menjadi landasan bagi banyak gerakan pembaharuan.7
4
Badri Yatim. 1999. Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci. Jakarta : Logos, hlm.6. Teori ini kemudian dijabarkan oleh Subhani menjadi enam aspek, namun dapat dikelompokkan menjadi tiga saja. Pertama, aspek Rububiyah, menyangkut tauhid tentang zat Allah dan penciptaan. Kedua, aspek ibadah (uluhiyah) dan ketiga, menyangkut soal kesatuan hukum dan perundang - undangan, ketunggalan dalam ketaatan dan kekuasaan pemerintah (tauhid Mulkiyah). Baca : M. Dawam Raharjo. 1999. Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, Risalah Cendikiawan Muslim. Bandung : Mizan, hlm.432-433. Untuk pembagian Tauhid lainnya, dalam hal ini Tauhhid Al Asma Wa Alshifat tentang keimanan kepada sifat, nama–nama Allah sebagaimana tercantum dalam Al Qur’an. Lihat : Yusron Asmuni. 1993. Ilmu Tauhid. Jakarta : Raja Grafindo, hlm. 147. 6 Ibnu Taimiyah mengkrtik teologi Asy’ariyah karena aliran ini cenderung pasrah terhadap kehendak Tuhan, bahkan terkesan fatalistik. Baca : Amin Rais. 1994.Cakrwala Islam. Bandung : Mizan, hlm. 118-119. 7 M. Dawam Raharjo. Intelektual…, hlm . 433 dan Badri Yatim. Sejarah Sosial…, hlm. 106. 5
74
Muhammadiyah sendiri dari sisi aqidah, khususnya tauhid mengambil dan mengikuti pemikiran Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dan Hanbali. Organisasi puritan dan pembaharuan ini menentang perantara dalam doa, menolak bentuk tawasul walaupun dengan para Nabi dan Rasul. Menolak acara selamatan ketika ada kematian, memohon kepada mayat yang ada dalam kubur, menembok dan mengukir kuburan. Pendeknya melancarkan purifikasi dan menentang terhadap perkembangan praktek syirik, bid’ah dan khurafat yang melawan konsep tauhid.8 Adapun dalam madzhab teologi, Muhammadiyah tidak mengikat pada aliran teologi manapun baik Mu’tazilah, Asy’ariyah atau Maturidiyah. Meski sebagian masyarakat Indonesia secara teologis bermadzhab pada Imam Asy’ariyah. Disisi ini Muhammadiyah lebih memilih untuk memotong garis Madzhab dan bebas untuk menentukan jalan pikirannya sendiri (ijtihad) sebagai gerakan pemikiran yang dinamis.9 Sedang dalam pembagian tauhid sebagaimana delapan konsep pemikiran Muhammad Ibnu Abdul Wahhab yang dirangkum Harun Nasution dan penulis lainnya. Muhammadiyah cenderung tidak radikal, fleksibel dan tidak asal mengkufurkan setiap ibadah umat Islam. Ringkasnya menurut Rusli Karim, kecenderungan–kecenderungan di atas sama sekali tidak terlihat dalam gerak dakwah purifikasi Muhammadiyah. Sekalipun ketegangan antara gerakan yang dipelopori Ahmad Dahlan dengan kelompok bertahan memang
8
Jazim Hamidi dan Husnu Abadi. 2001. Intervensi Negara terhadap Agama. Yogyakarta : UII Press, hlm. 84. dan Syafiq A. Mughni. Nilai – Nilai…, hlm.12. 9 Syafiq A. Mughni. Nilai – Nilai…, hlm. 97-98.
75
tak bisa dihindari, itupun tidak pernah meluap dalam bentuk konfrontasi fisik.10 Kedua, dalam sisi fiqh. Sama halnya dengan ajaran aqidah, Muhammad Ibnu Abdul Wahhab juga banyak mengadopsi buah pikir Hanbali dan Ibnu Taimiyah. Dalam perkembangannya pokok-pokok pemikiran Ibnu Abdul Wahhab meliputi dua hal : 1. Pengakuan terhadap dua otoritas hukum Islam, Al Qur’an dan Sunah bersama preseden para sahabat dengan menolak qiyas serta menyandarkan sepenuhnya pada hadits–hadits Nabi bukan pada pendapat (Ar ra’yu) para mufasir. 2. Menolak taqlid dan ijma serta mengembangkan ijtihad terhadap hukum zaman pertengahan.11 Disamping itu menurut Said Ali bin Wahif Al Qothani, Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dalam dakwahnya tidak pernah melupakan masalah fiqh. Bahkan Dia telah merumuskan empat kaidah agama yang menjadikan referensi-referensi dalam menentukan hukum-hukum Islam. 1. Haram berbicara tentang Allah tanpa ilmu sebagaimana digariskan dalam Al Qur’an surat Al A’raf ayat 33. 2. Ayat-ayat yang tidak tertulis dalam syari’at adalah hal yang dimaafkan, (surat Al Maidah ayat 101 dan hadis riwayat Daruquthni). Yang artinya :
10
Rusli Karim (Ed.). 1986. Muhammadiyah dalam Kritik dan Komentar. Jakarta : CV. Rajawali, hlm. 64. 11 Fazlur Rahman.2003 Islam. Bandung : Pustaka, hlm. 288-291. Suharsono. 1992. Gerakan Intelektual, Ijtihad untuk Masa Depan Umat . Yogyakarta : Al Islamiyah, hlm. 50-51. dan Ahmad Amin. Islam dari Masa ke Masa. Bandung : CV. Rosda, hlm. 163.
76
“ Allah mendiamkan banyak perkara karena rakhmat-Nya atas kalian dan bukan karena lupa, maka janganlah kamu menanyakannya. “ 3. Meninggalkan dalil yang telah jelas (muhkam), menggantinya dengan dalil yang samar (Mutasybihah) merupakan perbuatan ahli Zaih, golongan Rafidhah, khawarij dan termasuk dholim. Fenomena ini sesuai dengan firman Allah, surat Ali Imron ayat 7. 4. Nabi Muhammad SAW menyebutkan bahwa halal itu jelas dan haram juga jelas. Namun diantara keduanya ada masalah yang belum jelas (subhat). Keempat kaidah tersebut disebutkan oleh Allah SWT dan Rasulnya. Kaidah satu sampai tiga sebagai produk Allah dan tiga oleh Nabi Muhammad SAW. Semua ini menjadi kaidah dan rujukan dalam membicarakan ilmu tafsir, ilmu ushul, ahlak, ilmu hadits, fiqh dan sebagainya.12 Dalam masalah fiqh, Muhammadiyah secara garis besar tidaklah bermadzhab seperti Muhammad Ibnu Abdul Wahhab. Muhammadiyah mengakui secara penuh Al Qur’an dan sunah, prinsip ijma dan qiyas yang banyak kesamaan dengan Hanbali, di samping menerima penggunaan takwil terhadap sunah dan Qur’an dalam masalah- masalah hukum, bukan pada masalah aqidah sebagaimana Hanabilah. Akan tetapi pada saat yang sama Muhammadiyah juga menerima dan menggunakan konsep ikhtisan Abu Hanifah, maslahat mursalah Imam Malik dan saddu al zaria’h Imam Syafi’i.13
12
Said Ali bin Wahif Al Qathani. 1994. Dakwah Islam, Dakwah Bijak. Jakarta : Gema Insani Press, hlm. 235-236. 13 Maryadi dan Abdullah Aly (Ed.). 2000. Muhammadiyah dalam Kritik. Surakarta : UMS Press, hlm.10.
77
Mengenai tentang ijtihad, sedikitnya ada dua penelitian yang berbicara akan corak ijtihad Muhammadiyah. 1. Arbiyah Lubis, memandang bahwa ijtihad yang dilakukan Muhammadiyah masih
mempunyai
keterkaitan dengan
ulama
masa
lain,
meski
Muhammadiyah sudah mempunyai perangkat ijtihad yang memungkinkan untuk sampai pada tingkat ijtihad mandiri. 2. Fathurrahman
Jamil,
dalam
penelitiannya
memandang
bahwa
Muhammadiyah tidak mengikat dirinya pada imam madzhab tertentu, namun tidak berarti melepaskan sama sekali dari cara cara berfikir atau manhaj yang telah dipergunakan ahli fiqh terdahulu. Dari sini Muhammadiyah tidak bisa dikategorikan sebagai mujtahid fi al madzhab, tapi lebih mirip mujthid murajih dan tidak dapat disebut mujtahid mutlak tapi bisa disebut mujtahid. Untuk kebutuhan masyarakat modern, maka Muhammadiyah hendaknya mengembangkan ijtihad jama’i yang mampu menjawab persoalan-persoalan kontemporer.14 Meski tidak ditemukan titik singgung, bukti atau alasan yang jelas dalam tataran ijtihad antara Muhammadiyah dan Muhammad Ibnu Abdul Wahhab, namun dalam sebuah tanya jawab Prof. DR. H. Mukti Ali dengan Anhar Burhanuddin MA (Sekretaris PP Muhammadiyah, Lembaga Dakwah Khusus). Maka hasil tanya jawab sebagai berikut : Pertanyaan : Adakah keterangan tentang kaitan antara Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dengan Taimiyah ? dan Muhammadiyah itu lebih dekat
14
Maryadi dan Abdullah Aly (Ed.) Muhammadiyah…, hlm. 11.
78
dengan siapa ? Kemudian sampai dimana Ahmad Dahlan terpengaruh oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab? Jawaban : Ahmad Dahlan lebih dekat dengan Muhammad Abduh, pemikiran Taimiyah menjadi gerakan setelah diambil oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab menjadi gerakan Wahhabi, di sini kemudian ada persamaan dengan Muhammad
Abduh.
Dengan
Muhammad
Ibnu
Abdul
Wahhab,
Muhammadiyah tidak terpengaruh langsung, namun sama dalam bidang ijtihadnya.15 Ketiga, dalam sisi tasawuf dan filsafat. Meski telah belajar filsafat dan sufisme pada usia 21 selama empat tahun di Isfahan, serta pernah mengajar tasawuf. Namun kemudian secara drastis Muhammad Ibnu Abdul Wahhab memalingkan diri, bahkan memusuhi dan melarang dua aliran tersebut. Pemikirannya tentang filsafat-sufisme antara lain. Pertama, doa dan syafa’at adalah hak Allah SWT, tak ada perantara siapapun diantara keduanya. Kedua, jalan menuju Tuhan melalui syariat yang digariskan Al Qur’an dan As Sunah, bukan melalui imajinasi mistis, ritual ibadah sendiri (kontemplasi sufi). Ketiga, adanya kesatuan antara kepercayan dan tindakan (ibadah) seperti adanya Allah, maka ada sholat dan beramal sebagai tindakan mengakui rasa percaya, maka merenung, mengingat dan berkontemplasi bukanlah sebuah ibadah untuk kepercayaan. Empat, ibadah di dunia merupakan keseimbangan antara dunia dan akhirat. Kelima, adanya filsafat yang rasionalis dan sufisme
15
Mukti Ali dkk. 1990. Muhammadiyah dan Tantangan Masa Depan. Yogyakarta : Tiara Wacana, hlm. 360-61.
79
yang mistis dikuatirkan akan melahirkan sufisme dan filsafat spekulatif, yang membahayakan nilai-nilai Islam. Muhammadiyah dalam hal ini tidak memberikan perhatian yang lebih, namun lebih berkonsentrasi pada masalah kajian Al Qur’an dan Sunah. Disamping itu, kajian tasawuf dan filsafat dalam Muhammadiyah jarang ditemukan referensi-referensi yang memadai. Data yang dapat ditemukan hanya seputar tanggapan beberapa tokoh Muhammadiyah tentang tasawuf dan sedikit masalah filasafat. Ahmad Dahlan tumbuh dalam lingkungan intelektual dan kultural yang berakar pada tradisi sufi. Menurutnya, dalam tasawuf kita harus bisa membuat perbedaan tegas antara ritual ekstatis, tarekat-tarekat, dan sufi popular. Pada sisi lain karakteristik tasawuf yang sehat, lebih banyak dipraktekkan oleh beberapa kelompok dan elit tertentu. Dari gambaran ini Dahlan lebih mencari jalan tengah dalam menyikapi masalah tasawuf. Tasawuf dalam pandangan HAMKA lebih diarahkan pada tasawuf modern. Dimana spiritualitas baik dalam bentuk tasawuf, ihsan, maupun ahlak menjadi kebutuhan manusia dalam semua tahap perkembangan masyarakat. Tasawuf modern berfungsi sebagai tali pengikat dengan Tuhan dan biasanya cocok untuk masyarakat maju industrial. Namun demikian, tasawuf tidak bisa dipisahkan dari kerangka pengamalan agama, yang itu harus berorientasi pada Al Qur’an dan Sunah. Menurut DR. Simuh dan DR Amin Abdullah (Haedar.N.2000: 22-23), ada tiga hal yang melandasi Muhammadiyah cenderung menolak tasawuf.
80
Pertama, spiritualitas sufisme membawa ekstrimitas pada spiritualitas kasfyi, yakni kontemplasi spiritual-religius yang sering kali berakhir pada wahdat alwujud. Sedang spiritualitas Islam sejati berdasar pada syar’i. Kedua, spiritualitas sufisme tidak bisa melepaskan diri dari ekstrimitas yang berorientasi pada pemenuhan nafsu egosentris dalam melakukan hubungan dengan Allah. Dalam spiritualitas Islam sejati ada keseimbangan antara hubungan dengan Allah dan sesama manusia. Ketiga, tasawuf dahulunya adalah praktek zuhud yang bersifat terbuka, kemudian dilegalkan secara eksklusif menjadi lembaga dan tarekat. Muhammadiyah melihat tasawuf bukanlah bentuk spiritualitas yang representatif dari ajaran Islam (Al Qur’an dan sunah). B. Analisis Melalui Jalur Guru, Sahabat dan Kenalan Ahmad Dahlan Sampai Pada Muhammad Ibnu Abdul Wahhab Untuk melihat pengaruh pemikiran Muhammad Ibnu Abdul Wahhab terhadap dakwah purifikasi Muhammadiyah di Indonesia melalui jalur guru, tokoh dan kenalan Ahmad Dahlan sampai kepada Muhammad Ibnu Abdul Wahhab memang bukan hal yang mudah. Mengingat ada beberapa aspek yang perlu dianalisis secara mendalam, baik rentang waktu yang cukup lama (tiga abad, 18-20 M), tempat yang berbeda, latar belakang budaya dan perkembangan sosial keagamaan yang terjadi pada dua obyek kajian (Indonesia dan Arab Saudi).
81
Upaya sistematis untuk melihat jalur keterpengaruhan antara Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dan Muhammadiyah bisa diamati dengan menganalisis lima jaringan ulama, atau guru keduanya sebagai berikut : 1. Jaringan ulama Indonesia abad 17 2. Jaringan ulama Indonesia abad 18 3. Jaringan ulama dari keturunan dan murid-murid Muhammad Ibnu Abdul Wahhab 4. Jaringan guru-guru Ahmad Dahlan di Indonesia 5. Jaringan guru dan kenalan Ahmad Dahlan di luar Indonesia (Saudi Arabia, Mesir) Pertama, catatan yang berhasil di analisis oleh Azyumardi Azra tentang jaringan ulama Indonesia abad 17 meliputi, Nur Al Din Al Raniri (w. 1658), Abdul Al Rauf Al Singkili (w.1693), dan Muhammad Yusuf Al Maqassari (w.1699). Ketiganya merupakan ulama yang terpengaruh oleh perkembangan Timur Tengah dan paling penting dari ulama MelayuIndonesia pada abad tersebut.16 Kedua, Ulama–ulama Melayu–Indonesia abad delapan belas hingga awal abad sembilan belas dari berbagai wilayah nusantara. Dari Sumatera Selatan diantaranya Syihab Al Din bin Abdul Allah, Kemas Fakhr Al Din, Muhammad Abdu As Shamad Al Palimbani (w.1789). Kemas Muhammad bin Ahmad, dan Muhammad Muhyi bin Syihab Al Din, dari Batavia, Abdu Al Rahman Al Mashri Al Batawi dari Betawi. Dari Sulawesi, Muhammad bin 16
Azyumardi Azra. 1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulaan Nusantara abad 17 dan 18. Bandung : Mizan, hlm. 240.
82
Ahmad, dan Abdul Wahhab Al Bugisi. Dari Kalimantan Selatan, Muhammad Nafis Al Banjari (w.1735) dan Muhammad Arsyad Al Banjari (w. 1822) serta Dawud bin Abdu Allah Al Fatani (w. 1847) dari wilayah Patani (Thailand Selatan).17 Shaghir Abdullah sebagaimana dikutip Azyumardi menyatakan, Dawud Al Fatani, Al Palimbani, Muhammad Arsyad Al Banjari
18
Abd Al
Rahman Al Batawi dan Abdu Al Wahhab Al Bugisi belajar langsung dengan Al Sammani (w. 1775). Pada jaringan ulama Timur Tengah dan MelayuIndonesia abad delapan belas, Al Sammani adalah murid Sulaiman Al Kurdi (w. 1780), sedang Sulaiman sendiri adalah satu guru pada Abdu Allah Al Bashri (w.1722) bersama Muhamad Ibnu Abdul Wahhab (w.1787), Muhammad Hayyat Al Sindi (w.1749) dan Mustafa Al Bakri (w.1749).19 Awal abad 19, tepatnya tahun 1803, dimana Mekah waktu itu diduduki kaum Wahhabi, tiga orang haji asal Sumatera pulang dari sana. Mereka adalah H. Sumanik, H. Piobang, dan H. Miskin20. Ketiganya mempunyai pengaruh yang yang moderat dan melarang setiap bentuk kekerasan. Menurut Stijn Parve (1854), bahwa H. Miskin adalah tokoh pertama yang memberi dorongan
17
Azyumardi Azra. Jaringan Ulama…, hlm. 240. Muhammad Arsyad Al Banjari pulang ke Indonesia pada tahun 1773. Al Banjari terkenal sebagai seorang ahli hisab dan falaq. Dia menikahkan puterinya yang kontraversif bernama Syarifah dengan Abdul Wahhab Al Bugisi dan pemuda di Banjar saat beliau belajar di Mekah. Baca : Karel A. Steenbrink. 1984. Beberapa Aspek Tentang Islam Abad 19. Jakarta : Bulan Bintang, hlm. 92. 19 Azyumardi Azra. Jaringan Ulama, hlm. 261. 20 Mereka sangat terpengaruh oleh paham dan gerakan Wahhabi yang telah mereka saksikan sendiri. Oleh karena itu ketiganya sepakat untuk berbuat seperti apa yang dilakukan Wahhabi di Arab Saudi. Mereka melakukan tindakan-tindakan keras untuk memperbaiki penyelewengan ajaran Islam. Dakwah keras ini kemudian ditentang oleh golongan adat, ulama tarekat dan pemerintah Belanda. Baca : Burhanudin Daya. 1990. Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Kasus Sumatera Thawalib. Yogyakarta : Tiara Wacana, hlm 9. 18
83
reformasi, walau pada akhirnya Dia tidak mempunyai peran Penting. Gerakan ini kemudian lebih dikenal dengan gerakan kaum Paderi, dengan tokoh-tokoh selanjutnya antara lain, Datuk Bandaro (memimpin di Alahan Panjang Sumatera Barat), Tuanku Nan Renceh (1822), Tuanku Nan Tuo, Tuanku Tambusai, Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Damaasing, Tuanku Nan Cerdik, dan Syekh Jalaludin. Dalam pandangan HAMKA dan Mansoer, beberapa aspek dalam reformasi Paderi pernah dirumuskan sebagai kegiatan “ikut-ikutan“ gerakan Wahhabi. Ini diperkuat oleh hipotesis Prof.Dr.Peiter Jan Veth (1814-1895) ahli bahasa Timur. Bahwa ada kesamaan antara Paderi dan Wahhabi dalam hal penggunaan metode kekerasan dalam mencapai tujuan. Namun hipotesis ini kemudian ditolak oleh Schrieke dengan berbagai alasan : 1. Kaum Paderi tidak menentang ziarah ke kubur seperti pengaruh Wahhabi. 2. Kaum Paderi merayakan mauled Nabi Muhammad SAW secara besarbesaran. 3. Sistem pemerintahan Paderi di Minangkabau desentralistik sedang Wahhabi sentralistik. Kaitannya dengan Muhammadiyah, Paderi tidak bisa disamakan seluruhnya dengan gerakan yang didirikan oleh Ahmad Dahlan. Gerakan Paderi tidak mempunyai Pimpinan Pusat (PP), tidak ada keseragaman metode yang harus dipakai, tidak ada kerjasama antara para Tuanku (Pemimpin
84
Gerakan) dan tidak ada kegiatan yang terkoordinir karena sifat individualis daerah Minangkabau yang sangat menonjol. 21 Ketiga, jaringan ulama dari keturunan dan murid-murid Muhammad Ibnu Abdul Wahhab. Setelah Muhammad Ibnu Abdul Wahhab meninggal dunia 1787, pemikiran, kerja dakwah dan jihad di jalan Allah ini diteruskan oleh keturunan dan murid-muridnya. Anak-anaknya yang paling rajin melaksanakan aktifitas tersebut antara lain, Syaikh Imam Abdullah bin Muhammad, Syaikh Husain bin Muhammad, Syaikh Ali bin Muhammad dan Syaikh Ibrahim bin Muhammad. Sedangkan cucu-cucu Muhammad Ibnu Abdul Wahhab yang juga tekun melaksanakan dakwah adalah Syaikh Abdurahman bin Hasan, Syaikh Ali bin Husain dan Syaikh Sulaiman bin Abdullah. Dari kalangan murid Dia adalah Syaikh Hamd bin Nasir.22 Keempat, jaringan guru-guru Ahmad Dahlan di Indonesia. Sebagai ulama besar Ahmad Dahlan banyak belajar dan mendalami berbagai ilmu dari guru-gurunya. Untuk belajar ilmu fiqh berguru pada KH Muhammad Saleh, nahwu (sintaksis) belajar pada KH. Mukhsin, ilmu falaq (astronomi dan geografi) bahasa Arab pada Kyai Raden Haji Dahlan. ilmu hadits Ahmad Dahlan belajar pada Kyai Mahfudh dan Syaikh Khayayat. sedang Ilmu Qiro’ah, Ahmad Dahlan belajar pada Syaikh Amin dan Sayid Bakri Satock. Selain belajar pada guru-gurunya tersebut, Dahlan juga sempat mengasah
21
Karel A. Steenbrink. Beberapa Aspek… , hlm 35-36. Muhammad Muhaimin. (Penerjemah) 2000. Tegakkan Tauhid Tumbangkan Syirik. Yogyakarta : Mitra Pustaka, hlm.xxii-xxiii. 22
85
ilmu pada KH. Abdul Hamid, KH. Muhamad Nur dan Syaikh Hasan, namun tidak disebutkan secara rinci apa yang dipelajari dari ketiganya.23 Kelima, jaringan guru dan kenalan Ahmad Dahlan di luar Indonesia. Setelah menunaikan haji yang kedua kalinya, Dahlan banyak berguru dan berkenalan dengan ulama-ulama Mekah maupun Indonesia yang menetap di sana. Sayyid Bakri Syatha (guru Dahlan di Mekah, sekaligus yang memberi nama Ahmad Dahlan), Syaikh Ahmad Surkati (ulama Mesir yang didatangkan oleh Jamiatul Khoir), Muhammad Khatib Minangkabau24 demikian juga Kyai Nawawi Banten, Kyai Mas Abdullah Surabaya, Kyai Faqih Kumambang Gresik dan Rasyid Ridho yang sempat berjumpa dan berdiskusi. 25 Dari dua jalur penelusuran ini, pengaruh pemikiran Muhammad Ibnu Abdul Wahhab terhadap dakwah purifikasi Muhammadiyah paling kentara bisa diamati lewat tiga hal. Pertama, Aqidah dan teologi salafiah, dimana keduanya berusaha mengembalikan ajaran Islam sesuai dengan Al Qur’an dan Sunah, menjauhkan diri dari praktek-praktek keagamaan yang berbau bid’ah, khurafat dan syirik. Kedua, kesamaan dalam bidang dan semangat ijtihadnya. Walaupun Muhammadiyah tidak bermadzab, namun dalam model ijtihadnya lebih condong pada Hanbaliyah. Pemikiran Ibnu Hanbal sendiri merupakan 23
Weinata Sairin.1995. Gerakan Pembaruan Muhammadiyah. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, .hlm.39. 24 Dia dilahirkan di Bukit Tinggi 1885, ayahnya adalah jaksa kepala di Padang dan ibunya anak dari Tuanku Nan Renceh, ulama dari golongan Paderi. Pada usia 11 tahun Ahmad Khatib sudah dibawa Ayahnya ke Mekah dan bermukim di sana. Beliau sempat menjadi imam dan pengajar di Masjidil Haram Mekah dari madzhab Syafi’i. Murid-muridnya tersebar diseluruh dunia, di Indonesia sendiri hasil didikannya telah melahirkan banyak murid dan beberapa gerakan besar, seperti Haji Miskin Paderi, Ahmad Dahlan Muhammadiyah dan lain-lain. Syaikh Ahmad Khatib meninggal pada tahun 1916. Baca : Karel.A. Steenbrink. Beberapa Aspek…, hlm. 139-146. 25 Weinata Sairin. Gerakan Pembaruan…, hlm, 40-42 dan Mustofa Kamal Pasha & Ahmad Adaby darban. 2000. Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam, dalam Perspektif Historis dan Idiologis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hlm. 64.
86
sandaran Muhammad Ibnu Abdul Wahhab. Ketiga, dalam hal tasawuf Muhammadiyah cenderung terpengaruh oleh gerak pemikiran Ibnu Abdul Wahhab, yang memilih jalan tengah bahkan menolak sufisme. Melalui jalur guru, kenalan, atau sahabat Ahmad Dahlan, pengaruh pemikiran Ibnu Abdul Wahhab tidak terlihat. Mengingat ada keterputusan jalur dari ulama Wahhabi menuju ulama Indonesia yang sampai pada Ahmad Dahlan.