BAB IV
PENGAKUAN TERHADAP DEBORA
4.1. Pengakuan di Lingkup Sosial dan Agama
Fakta bahwa Debora bisa sedemikian besarnya menarik perhatian dari bangsa Israel menimbulkan pertanyaan besar, bagaimana mungkin Debora menjadi nabiah sekaligus hakim. Perempuan menjadi nabiah bukan suatu hal yang asing dalam kehidupan bangsa Israel mengingat pernah ada Miryam dan Hulda sebagai nabiah namun jabatan sebagai hakim bagi perempuan baru tercatat ketika Debora hadir dalam kehidupan bangsa Israel. Selain itu, nabiah sama seperti nabi merupakan suatu karunia yang diberikan Tuhan kepada orang-orang tertentu yang kepadanya Tuhan berkenan untuk menyampaikan kehendak Tuhan kepada umatNya1 dengan demikian menjadi nabiah atau nabi bukan jenis pekerjaan yang bisa dipilih orang. Lain halnya dengan menjadi hakim yang kemungkinan bisa menjadi pilihan.
Debora menjadi satu-satunya perempuan yang tercatat dalam sejarah bangsa Israel yang terlibat dan berperan dalam lingkup sosial dan agama. Debora pengecualian dari tugas perempuan di dunia domestik menurut Soewondo yang dikutip Achmad2 dalam masyarakat patriarkhi karena ia terlibat dalam dunia publik. Debora mendobrak budaya patriarkhi Israel dengan peranannya sebagai nabiah dalam lingkup agama dan hakim dalam lingkup sosial yang keduanya berhadapan dengan publik. Peranan yang sulit
1
Budiono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Karya Agung, 2005, 346
2
Muthali’in Achmad, Bias Gender dalam Pendidikan, Surakarta: MVP, 2001, 1
dicapai perempuan Israel pada masa itu, mengingat sebelumnya belum ada perempuan lain dari bangsa Israel yang mendapat peran ganda dalam dunia publik Israel. Kemungkinan besar, Debora merupakan sosok yang mempunyai kecakapan dalam kedua bidang tersebut sehingga ia diberi kepercayaan memegang jabatan ganda. Kecakapan dalam bernubuat dan menyelesaikan masalah yang dihadapi orang Israel.
Dilihat dari catatan sejarahnya, Debora terlebih dahulu disebut seorang nabiah (Hakim-hakim 4:4). Nabiah sebagaimana nabi mempunyai tugas yang sama sebagai penyampai pesan Tuhan kepada umatNya. Jabatan Debora sebagai nabiah sebelum menjadi hakim merupakan suatu babak baru yang penulis lihat dari sejarah bangsa Israel. Alasannya, sebelum Debora, ada Otniel yang sudah berpengalaman dalam perang (Hakim-hakim 1:11-13) dan Ehud, pengantar upeti Israel kepada raja Moab yang memiliki pedang bermata dua (Hakim-hakim 3:15-16) serta Samgar, gembala yang memiliki tongkat penghalau lembu. Dibandingkan ketiga orang ini, Debora tidak memiliki pengalaman dalam lingkup sosial masyarakat. Debora hanya menjabat sebagai nabiah yang bernubuat menyampaikan kehendak Tuhan dan memperhatikan kehidupan rohani bangsa. Asumsi penulis, perhatian dan nubuat Debora akan nasib orang-orang bangsanya menarik simpatik yang besar dari bangsanya sehingga mereka menyebut Debora sebagai hakim, sehingga ia satu-satunya hakim perempuan dalam sejarah Israel yang patriarkhal. Satu-satunya perempuan yang mendapat peran ganda dalam lingkup sosial dan agama bangsa Israel yang sulit ditembus oleh seorang perempuan.
Singgih mengemukakan tafsirannya mengenai Debora menjadi hakim merupakan suatu hal yang berbeda dari hakim-hakim sebelumnya. Menurut Singgih, hakim-hakim
sebelumnya dibangkitkan Tuhan untuk membebaskan Israel dari penindasan bangsa lain, sedangkan dalam kisah Debora tidak diceritakan bahwa Tuhan membangkitkan seseorang untuk menjadi hakim di Israel namun Debora telah menjadi hakim di Israel.3 Dari penafsiran ini, penulis berasumsi bahwa Debora menjadi hakim bukan karena terjadi masalah politik dengan adanya penindasan terhadap bangsa Israel melainkan Debora menjadi hakim karena ia biasa didatangi orang Israel untuk berhakim (Hakim-hakim 4:5). Pada masa Debora menjabat sebagai hakim itulah, bangsa Israel ditindas oleh raja Kanaan dan panglima tentaranya. Jadi, jabatan Debora sebagai hakim di sini hanyalah untuk menyelesaikan sengketa orang-orang Israel bukan karena masalah politik dengan bangsa lain. Asumsi ini diperkuat dengan bukti yang diberikan Lind dalam analisisnya mengenai arti kata bahasa Ibrani sapat yang bisa diartikan sebagai ‘memutuskan’ sama seperti ‘menghakimi’.4 Makna kata ini jelas tertulis dalam Hakim-hakim 4 bahwa Debora memberikan keputusan untuk berperang melawan Sisera.5
Di sisi lain, Barth berpendapat bahwa dalam kitab Hakim-hakim hanya mengenal Debora sebagai satu-satunya pemimpin yang benar-benar menghakimi Israel. Para pemimpin yang lain hanya bertindak sebagai penyelamat.6 Artinya jika ditelusuri makna kata untuk kata hakim, maka para hakim yang lain itu merupakan orang-orang yang memberi keadilan dengan melepaskan orang Israel atau singkatnya membela hak orang Israel. Para hakim ini diutus Tuhan untuk membela umat Tuhan terhadap ancaman 3
Emmanuel Gerrit Singgih, Dua Konteks, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009, 20
4
Millard C. Lind, Yahweh Is a Warrior,Scottdale: Herald Press, 1980, 75
5
ibid
6
C. Barth, Theologia Perjanjian Lama 2, Jakarta: BPK Gunung Mulia,198, 95
musuh. Hal menegakkan hukum dan keadilan dalam negeri bagi para hakim hanya tugas sampingan, di mana satu-satunya yang dikatakan benar-benar memegang jabatan hakim adalah Debora.7 Dengan demikian, Debora memang sosok yang sangat berbeda dengan yang lain. Tanggung jawabnya yang besar kepada bangsa Israel dalam lingkup sosial dan agama membuatnya layaknya mendapat pengakuan dalam sejarah Bangsa Israel sebagai nabiah dan hakim.
4.2. Pengakuan dalam Konflik antara Israel dan Kanaan
Sesuai karakternya yang berapi-api dan penuh semangat menurut Newsom dan Ringe,8 Debora sebagai nabiah yang sering menyampaikan kehendak Tuhan kepada bangsa turut prihatin dengan keadaan bangsanya yang ditindas. Apalagi dengan jabatannya sebagai nabiah, ia sering didatangi orang-orang untuk dimintai nasihat atas masalah mereka sehingga kemudian Debora juga menjadi hakim atas Israel. Sebagai seorang hakim di tengah konflik, Debora mau tidak mau harus bertindak seperti para hakim pendahulunya yang membebaskan bangsa dari tekanan bangsa lain. Tanggung jawab Debora menjadi lebih berat. Di satu sisi, ia seorang nabiah yang harus meminta petunjuk dari Tuhan atas keselamatan bangsanya yang tertindas dan menyampaikan kepada bangsanya. Di sisi lain, ia juga seorang hakim yang harus berani memimpin bangsanya dalam keadaan damai maupun perang.9
7
ibid, 95-96
8
Carol A. Newsom and Sharon H. Ringe, The Women’s Bible Commentary, Kentucky: Westminster/John Knox Press, 1992, 69 9
Deborah dalam http://www.womeninthebible.net diunduh 19 september 2012
Debora bukan tidak ingin maju memimpin peperangan namun Debora sadar bahwa meskipun ia pemimpin, ia hidup dalam suatu budaya patriarkhal yang lebih mempercayai laki-laki menjadi pemimpin. Dalam budaya Israel menurut King dan Stager, laki-laki dalam bangsa Israel mempunyai peran yang sangat penting untuk mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dengan menjadi pemimpin/kepala dalam keluarga maupun kaumnya. Laki-laki yang telah berkeluarga merupakan seorang tuan dalam keluarganya, tuan atas perempuan (istrinya), anak-anak, hamba-hambanya, ternak dan harta miliknya. Singkatnya, laki-laki yang berkuasa atas semua yang bergerak maupun tak bergerak.10 Penulis berpendapat mungkin ini menjadi salah satu alasan Debora memanggil Barak untuk memimpin pertempuran. Mungkin saja apabila Debora sebagai perempuan yang mengajukan diri untuk memimpin, Debora akan dipandang sebelah mata oleh bangsa Israel karena berani mengajukan diri memimpin mereka, menimbang situasi duapuluh tahun terakhir dalam penindasan tanpa bisa diselamatkan oleh seorang laki-laki pun, apalagi seorang perempuan yang dianggap lemah dan perlu dilindungi dalam masyarakat.
Debora tetap menghormati budaya bangsanya. Ia tidak tergesa-gesa untuk menunjukkan bahwa ia bisa memimpin. Dilihat dari catatan sejarahnya, jabatannya sebagai nabiah mengantarnya menjadi hakim yang memerintah Israel bukan karena ia yang meminta tetapi orang-orang bangsanya yang datang kepadanya untuk mencari pemecahan atas masalah mereka. Penulis menemukan karakter baru Debora dalam
10
Philip J. King & Lawrence E. Stager, Kehidupan Orang Israel Alkitabiah (terj.Robert Setio), Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2010, 39
sikapnya ini. Selain bijaksana, Debora adalah seorang yang rendah hati dan menghormati budaya. Debora merupakan seorang tipe adaptif. Ia tahu membaca situasi dengan tepat dan menyesuaikan diri dengan situasi tersebut. Ia tahu bahwa bangsanya perlu digerakkan hatinya agar semangat mereka bangkit untuk melakukan perlawanan terhadap penindasan yang dialami. Debora paham akan situasi bahwa bangsanya yang menyimpang dari Tuhan masih menjadi umat pilihan Tuhan dan masih ditunggu pertobatannya kembali. Debora menyadari kewajibannya sebagai seorang nabiah dan hakim mempunyai pengaruh untuk menggerakkan hati bangsanya. Peran Debora yang berlipatganda ini juga membawa pengaruh besar dalam semangat berjuang pasukan Israel yang akan maju berperang.
Otoritasnya sebagai nabiah yang meminta petunjuk Tuhan sebelum melaksanakan segala sesuatu dalam komunitas bangsanya membuatnya yakin terhadap apa yang akan terjadi di masa depan dan menunjang otoritasnya sebagai hakim yang membuat keputusan bagi bangsanya tanpa sedikitpun keraguan akan apa yang dikatakannya. Tindakan Debora ini merupakan tindakan kepemimpinan yang menurut Keating memahami bahwa kepemimpinannya sebagai pelayanan bagi kesejahteraan orang-orang yang dipimpinnya dan memandang kepemimpinannya sebagai fasilitas agar dapat melayani dengan lebih baik lagi.11
Debora benar-benar diuji kepemimpinannya dalam konflik yang terjadi antara Israel dan Kanaan. Debora menunjukkan bahwa ia memang seorang pemimpin bangsa yang harus melepaskan bangsanya dari situasi apapun. Ia harus bertanggungjawab atas 11
Charles J. Keating, Kepemimpinan: Teori dan Pengembangannya (Terj. A.M.Mangunhardjana), Yogyakarta: Kanisius, 1986
kestabilan sosial bangsanya sehingga ia harus melepaskan bangsanya dari cengkraman penindas. Permintaan Barak agar Debora turut maju bersamanya dalam perang melawan Kanaan membuktikan pengakuan akan peran Debora sebagai pemimpin bangsa Israel sangat dibutuhkan dalam perlawanan bangsa. Keputusannya sebagai pemimpin tidak diperlukan hanya sekedar teori di belakang layar saja melainkan juga tindakan dalam memimpin bangsanya untuk kestabilan nasional.
4.3. Pengakuan sebagai Pemimpin
Debora sama sekali tidak berpengalaman dalam memimpin suatu pertempuran. Peran Debora sebagai pemimpin tidak lepas dari tugasnya yang lain sebagai seorang nabiah dan hakim. Jabatan sebagai nabiah, hakim dan pemimpin militer bahkan disebut sebagai ibu di Israel. Debora bangkit menjadi pemimpin bangsa ketika bangsa Israel tidak berdaya lagi menghadapi musuh mereka bangsa Kanaan yang menindas mereka selama duapuluh tahun (Hakim-hakim 4:3). Debora membuat suatu terobosan di zamannya. Debora menunjukkan bahwa perempuan juga makhluk publik sesuai dengan De Beauvoir yang menyatakan bahwa pada hakekatnya perempuan tidak diciptakan sebagai makhluk inferior tetapi ia menjadi inferior karena struktur kekuasaan dalam masyarakat berada di tangan laki-laki.12 Ia merupakan contoh nyata bahwa meskipun hidup dalam budaya patriarkhi
yang
menjunjung
laki-laki
sehingga
perempuan
dihormati
karena
ayah/suami/saudaranya, Debora diakui kemampuan dan dihormati sebagai pemimpin bukan karena semua itu. Debora adalah Debora, perempuan yang diakui keberadaannya
12
Eka Warisma Wardani, Belenggu-Belenggu Patriarki: Sebuah Pemikiran Feminisme Psikoanalisis Toni Morrison dalam The Bluest Eye, Semarang: FIB UNDIP, 2009, 36
di tengah bangsa patriarkhalnya sebagai pemimpin mereka tanpa didukung nama ayah/suami/saudaranya.
Debora menjadi pemimpin ketika laki-laki dalam bangsa Israel merasa putus asa dengan nasib yang dialami dan tidak ada keberanian untuk melawan para penindas. Debora menjadi pemimpin ketika para laki-laki kehilangan semangat untuk melakukan sesuatu demi melepaskan diri dari penderitaan dan ketika seakan tidak ada jalan keluar bagi permasalahan bangsa. Debora menjadi seorang pemimpin bukan karena ia mengangkat dirinya menjadi pemimpin. Debora sadar atas budaya bangsanya yang patriarkhal. Ia tidak mencoba mendapatkan pengakuan dari bangsanya untuk menobatkan dirinya sebagai pemimpin. Debora menjadi pemimpin karena kharisma yang ada di dalam dirinya.
Debora menjadi pemimpin tanpa melupakan statusnya sebagai perempuan dalam tatanan masyarakat yang patriarkhal. Debora menyadari bahwa pengakuan laki-laki atas keberadaan perempuan dalam masyarakat secara publik masih sangat rendah dan minoritas. Sebagai yang minoritas ini, Debora diam-diam menunjukkan bahwa perempuan dan laki-laki mempunyai peluang yang sama dan kesamaderajatan di mata Pencipta. Kesamaderajatan itu terbukti dengan adanya nabi dan nabiah, manusia yang dipakai sebagai media perantara untuk memberitahukan kehendakNya kepada umatNya. Hal ini mendukung komentar Martin Noth seperti yang dikutip Evans mengenai Bilangan 11:12 yang merupakan fakta dukungan hierarki terhadap hubungan satu sama
lain antara laki-laki dan perempuan.13 Kesamaderajatan yang telah ada sejak semula itu telah terkikis oleh budaya dunia yang lebih mementingkan laki-laki.
Debora mendapat pengakuan atas kepemimpinannya atas bangsa Israel. Debora yang bertindak sebagai nabiah dan hakim bersama dengan Barak sebagai pemimpin pasukan bekerjasama membangun relasi yang baik untuk kemenangan pasukan Israel. Keduanya memimpin bangsa Israel dengan baik sehingga dapat mengalahkan pasukan Sisera. Debora yang memberikan arahan, dukungan dan kehendak Allah kepada pasukan Israel bersama Barak yang bertindak sebagai pemimpin militer bangsa Israel. Kerjasama yang dilakukan Debora ini mungkin yang memberikan ide kepada Friedan yang mendorong laki-laki dan perempuan untuk bekerja menuju masa depan yang androgini, yang di dalamnya semua manusia akan mengkombinasikan di dalam dirinya sifat mental dan perilaku yang maskulin dan feminin.14
Debora menunjukkan bahwa ia memang perempuan yang hidup dalam budaya patriarkhi. Budaya yang mengharuskan perempuan untuk berperan dalam sektor domestik sehingga ia memiliki keterampilan dalam mengatur rumah dan mengasuh anak. Keterampilan yang ia terapkan kepada bangsa yang dipimpinnya sehingga ia dapat mengorganisir dengan baik serta mengetahui bagaimana cara untuk merangkul suku-suku Israel menjadi satu. Debora memang layak mendapat sebutan sebagai ibu di Israel (Hakim-hakim 5:7). Kaitannya dengan sebutan yang diberikan kepada Debora sebagai ibu di Israel, dapat penulis lihat dari perjuangannya menjadi pemimpin yang dapat
13
Mary J. Evans, Woman in The Bible, Illinois: Intervarsity Press Downers Grove, 1983, 22
14
Rosemarie Putnam Tong, Feminis Thought, Yogyakarta & Bandung: Jalasutra, 2006, 46
merangkul suku-suku bangsa Israel untuk bersatu melawan penindas mereka. Sebutan yang pantas diberikan kepada Debora mengingat keikutsertaannya dalam perang melawan Kanaan membangkitkan semangat suku-suku Israel untuk bersatu melawan Kanaan. Beberapa suku bergabung menjadi satu bagai anak-anak yang berkumpul atas panggilan ibunya untuk melawan musuh mereka.
Debora bisa saja menolak untuk tidak maju bersama Barak dengan alasan bahwa dirinya adalah seorang perempuan yang lemah. Alasan yang bisa diterima kala itu, tetapi kewajiban sebagai hakim yang memerintah Israel lebih unggul. Debora turut maju karena permintaan Barak agar Debora ikut serta menuju medan perang menunjukkan bahwa meskipun sebagai perempuan, kehadiran Debora dalam pasukan Israel memberikan suatu keberanian dan semangat bagi pasukan bangsa Israel untuk bertempur melawan pasukan Kanaan yang berkereta perang dan memang tidak sia-sia, keputusan Debora untuk turut maju membawa kemenangan yang gemilang bagi bangsa Israel. Kemenangan yang membuktikan bahwa kepemimpinan patrnership yang terjalin antara Debora dan Barak sukses terjalin. Kemitraan antara Debora dan Barak membawa Israel kepada kemenangan. Debora dengan petunjuk akan strategi perang dan Barak yang mengerahkan pasukan Israel ke titik perlawanan. Dengan demikian, Debora dan Barak membuktikan bahwa laki-laki dan perempuan dapat berpartner dalam masyarakat untuk kemajuan bangsa.
Kesempatan sebagai pemimpin secara utuh yang diberikan kepada Debora dan diterimanya pada kenyataannya tidak mengecewakan meskipun Debora adalah seorang perempuan yang tidak berpengalaman dalam perang. Dengan keikutsertaannya dalam
perang dengan Kanaan menunjukkan kepemimpinannya yang patut diakui. Debora bukan sekedar pemimpin di belakang layar yang hanya memberi perintah namun turut maju memimpin secara langsung para anggotanya. Pengakuan akan peran Debora sebagai pemimpin memberikan suatu sumbangan keteladanan dalam kepemimpinan perempuan.
Sumbangan Debora sebagai perempuan dalam kepemimpinan di tengah-tengah budaya patriarkhi yang patut diteladani ialah bahwa perempuan dapat menjadi pemimpin dengan tetap menunjukkan kekhasannya sebagai perempuan yang mempunyai sikap melakukan segala sesuatu dengan hati, disamping karakter-karakter lain yang harus dimiliki seperti rendah hati, bertanggungjawab, berani mencoba, percaya diri dan menghormati orang lain. Di samping itu, yang tidak kalah pentingnya, perempuan harus bisa menjalin relasi yang baik dengan laki-laki sebagai partner dalam menjalani kepemimpinan yang baik.
4.4. Refleksi Teologis
Kisah penciptaan manusia dalam Kejadian 1:26–27 berbunyi, “Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi." Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” Ayat tersebut memberikan pernyataan bahwa Allah menciptakan manusia menurut gambarNya. Ditegaskan kemudian, manusia yang dimaksudkan ialah laki-laki dan perempuan. Hal ini berarti sejak awal Allah menciptakan laki-laki dan perempuan secara bersama, menurut gambar
dan rupa Allah. Dengan demikian menegaskan bahwa manusia, baik laki-laki maupun perempuan diciptakan dalam waktu yang sama dan masing-masing menurut gambar dan rupa Allah yang menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai kesamaan derajat dihadapan Allah sejak awal mula diciptakan. Perempuan dan laki-laki sejak awal mula diciptakan oleh Sang Pencipta sesuai gambar dan rupaNya sehingga laki-laki dan perempuan harus dipandang setara dalam hak dan kewajibannya. Manusia yakni laki-laki dan perempuan diciptakan Allah menurut gambar dan rupaNya yang berarti bahwa laki-laki dan perempuan ini, masing-masing mewakili image Allah yang sempurna karena itu laki-laki dan perempuan yang mewarisinya perlu berpartner untuk menghasilkan sesuatu yang sempurna. Dengan kata lain, apa yang terjadi dalam masyarakat perlu dibangun pemahaman bahwa perempuan mempunyai hak yang sama dalam memperoleh peluang-peluang kerja yang diperoleh laki-laki. Rencana Tuhan yang indah ketika Ia menciptakan manusia ialah agar laki-laki dan perempuan yang diciptakanNya bekerjasama memelihara seluruh ciptaan Tuhan yang lain. Rencana yang hampir terlupakan ketika muncul budaya patriarkhi yang mengunggulkan laki-laki sehingga laki-laki berkuasa atas segalanya termasuk perempuan. Patriarkhi merasuk kehidupan manusia dalam hubungan sosial dan agama. Agama Kristen salah satunya juga yang dipengaruhi kekuatan patriarkhi. Mempelajari sejarah agama Kristen, lebih banyak disebutkan mengenai peran laki-laki sebagai bapa-bapa gereja yang dikenang. Perempuan tidak ditampakkan perannya dalam sejarah penyebaran agama Kisten. Walaupun ada yang ditampilkan, hanya segelintir perempuan yang disebutkan dengan peran kecil mereka. Perempuan seakan-akan hanya sebagai pelengkap
dari apa yang kurang bisa ditampilkan laki-laki. Laki-laki lebih berkuasa dan berperan penting. Kehidupan sejarah yang masih dipertahankan hingga sekarang dalam gereja. Perkembangan gereja dari zaman ke zaman hingga sekarang tidak begitu berubah mengenai perilaku terhadap perempuan. Perempuan tetap merasa dinomorduakan baik dalam budaya maupun dalam kehidupan agama khususnya gereja. Laki-laki tetap memegang peran penting dalam struktur organisasi gereja meskipun pada kenyataannya, lebih banyak perempuan yang terlibat dalam pelayanan di gereja. Perempuan tetap menjadi cadangan dalam struktur kepemimpinan. Perempuan lebih banyak berperan dalam pelayanan konsumsi pertemuan-pertemuan gereja atau acara yang lain dalam gereja. Perempuan mungkin dilibatkan dalam susunan kepanitiaan/organisasi gereja tetapi
masih dalam
taraf anggota. Kalaupun
ada yang menjadi pemimpin,
perbandingannya dengan laki-laki bisa satu berbanding seribu. Dengan kata lain sedikit sekali kesempatan yang diberikan kepada perempuan untuk menjadi pemimpin karena masih ada pemikiran bahwa perempuan itu lemah dan tidak bisa memimpin dan menjadi pemimpin. Karena itulah, pemahaman tersebut harus diluruskan dengan pemahaman baru bahwa perempuan juga bisa memimpin dengan meneladani Debora yang menjadi hakim Israel. Debora muncul di tengah-tengah budaya patriarkhi sebagai perempuan yang begitu berperan penting dalam masyarakat. Peran-peran yang diberikan kepadanya memberikan warna baru bagi sejarah bangsa Israel yang patriarkhi. Jika sebelumnya laki-laki yang begitu berperan memimpin bangsa dan perempuan tidak diberikan peran besar dalam memimpin, Debora sebagai perempuan membuka mata bangsa dengan peran yang ia mainkan. Peran dengan tanggung jawab yang besar. Debora menunjukkan bahwa
perempuan bisa melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan laki-laki. Karakter kuat yang ditunjukkannya dalam menjalankan perannya sebagai nabiah, hakim, pemimpin militer dan ibu bangsa menguatkan pentingnya kehadirannya bagi bangsa Israel dengan kepemimpinannya. Kepemimpinan Debora yang turut melibatkan Tuhan dalam setiap perencanaan kepemimpinannya.
Kisah Debora mengingatkan kembali manusia bahwa manusia yakni laki-laki dan perempuan adalah makhluk yang setara di hadapan Tuhan. Manusia yang menguasai ciptaan yang lain dan bukan saling menguasai. Manusia laki-laki dan perempuan harus bekerjasama membangun komunitas tempat tinggalnya. Tuhan yang menciptakan manusia dan Tuhan menyertai setiap aspek kehidupan manusia. Ia selalu mengawasi manusia dan memakai siapa saja sebagai media keselamatanNya. Setiap manusia diberikan pengawasan yang sama. Tuhan tidak seperti manusia yang membedakan perilaku seorang terhadap yang lainnya dan sebagai manusia ciptaannya yang telah mengerti akan maksud Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan, kita harus melakukan melakukan kehendakNya dengan menjalin kerjasama yang baik antara lakilaki dan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat karena semua manusia bisa berperan dalam membangun kehidupan masyarakat yang harmonis.
Kisah Debora memberikan kontribusi bagi para perempuan Kristen untuk meneladaninya dalam kepemimpinan yang akan dan mungkin sedang dijalani. Debora menunjukkan kepada perempuan Kristen bagaimana seharusnya menjadi perempuan yang menjadi pemimpin. Perempuan menjadi pemimpin bukan dengan kekuatan fisik melainkan karakter-karakter kuat seperti yang dimiliki Debora dan mampu diterapkan
dalam kepemimpinannya baik dalam kehidupan gereja maupun masyarakat serta menyertakan Tuhan dalam kepemimpinan yang dilakukan.