BAB IV PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
4.1 Pendayagunaan Kosakata dalam Wacana Politik Mengikuti pandangan Halliday (1978), Fowler (1985; 1986) serta Fairclough (1989; 1995) dengan sejumlah modifikasi, kajian terhadap aspek kosakata akan berisi tiga rincian fitur yang dimiliki kosakata. Pertama, "nilai pengalaman" yang meliputi pilihanpilihan: (a) pola kiasifikasi, (b) kata-kata yang secara ideologis diperjuangkan, (c) proses proses leksikal, (d) relasi makna, dan (e) metafora. Kedua, "nilai relasional" yang meliputi pilihan-pilihan: (a) ekspresi eufemistik, (b) kata-kata formal, serta (c) kata-kata informal yang menonjol. Ketiga, "nilai ekspresir yang meliputi pilihan-pilihan: (a) evaluasi
dan (2) evaluasi negatif Ketiga fitur itu selanjutnya dipaparkan dengan mengi,
kik( prosedur AWK yang mencakup tahap-tahap pemerian, penafsiran, dan penjelasan. Mengikuti pandangan Fairclough (1989:112), setiap fitur linguistik memiliki tiga nilai, yakni pengalaman, relasional, dan ekspresif. Nilai pengalaman berisi tentang "jejak" dan "isyarat" cara pengalaman dunia alamiah dan pengalaman dunia sosial penghasil teks (text producer) direpresentasikan. Nilai pengalaman berkaitan dengan isi (contents), pengetahuan (knowledge), dan kepercayaan (beliefs). Nilai relasional berisi "jejak" dan "isyarat" hubungan sosial yang diperankan penghasil teks melalui teks dalam wacana. Nilai ini mempergunakan relasi dan hubungan timbal batik sosial. Nilai ekspresif berisi "jejak" dan "isyarat" evaluasi penghasil teks yang berhubungan dengan nilai subjektif.
190
191 4.1.4r Nilai Pengalaman 4.1.1k Pola Klasifikasi Pola kiasifikasi (classification scheme) berhubungan dengan kosakata yang diorganisasikan dalam tipe-tipe wacana (Fairclough, 1989:114). Pertanyaan yang diajukan Fairclough berkaitan dengan pola kiasifikasi adalah "pola kiasifikasi apa saja yang dipergunakan". Jawaban dari pertanyaan itu adalah pilihan kosakata tertentu yang dipergunakan untuk pola-pola kiasifikasi pra-ada (pre-existing classification schemes). Pertanyaan ini sesuai dengan salah satu fimgsi kosakata adalah untuk mengklasifikasikan kondisi realitas. Sebagai mediator pandangan dunia (world-view), bahasa menjalankan fungsi kiasifikasi. Hal itu ditegaskan oleh Lee (1992:1) bahwa bahasa dapat dilihat sebagai "alat" untuk mengklasifikasikan pengalaman dunia kita dalam banyak cara yang berbeda dan dalam banyak tingkat yang berbeda pula. Dalam konteks wacana politik Indonesia pada era akhir 1990-an, akhir pemerintahan Soeharto dan saat pemerintahan Habibie keberadaan "kosakata" tertentu sebagai alat mengklasifikasikan realitas dapat disimak dari keberadaan kata-kata kuncinya. Pada tabel 4.1 berikut ditampilkan pola kiasifikasi yang muncul dalam teks yang dihasilkan oleh sejumlah elite politik Indonesia. Tabel 4.1 Pola Klasifikasi pada Teks-Teks yang Dihasilkan oleh Sejumlah Elite Politik Era Pascaorde Baru No. Nama Latar
Topik
Kata yang Digunakan
1.
kedaulatan rakyat ketuhanan kearifan sejarah kedaulatan rakyat konstitusi kejujuran reformasi (sesuai jadwal)
2.
BJH
nidato kenegaaan
menyambut pemilu 1999
BJH
wawancara
satu tahun presiden
SH SH
wawancara (1) wawancara (2)
pemilihan umum sidang istimewa
S umber TV RI
TV R1 JP JP
192 Lanjutan label 4.1 No. Nama Latar
Topik
Kata yang Digunakan
Sumber
3.
SBY SBY 4. AWM 05_ HS
wawancara (1) wawancara (2) wawancara wawancara
SU MPR 1999 dialog dengan mahasiswa reformasi menurut ABRI reformasi menurut ABRI
Gatra Republik a JP IP
6. AR AR AR AR
wawancara (1) wawancara (2) debat capres wawancara
calon presiden calon presiden Golkar visi calon presiden koalisi antarpartai
7. DR DR 8. ABT 9. FB FB 10. MD 11. MLD 12. DI-1 DH DH DH 13. SS 14. KKG 15. AS AS 16. AT AT AT
dialog wawancara wawancara wawancara (1) wawancara (2) wawancara wawancara wawancara (1) wawancara (2) wawancara (3) dialog dialog wawancara wawancara (1) wawancara (2) wawancara (1) wawancara (2) wawancara (3)
pemilihan umum Indonesia barn calon presiden kebocoran bantuan privatisasi BUMN tim sukses Habibie calon presiden calon presiden calon presiden kimjungan Megawati koalisi pemilihan umum utang dari CGI calon presiden ekonomi kerakyatan kecurangan Golkar calon presiden Sidang Istimewa
dialog _ wawancara (1) wawancara (2) wawancara debat capres wawancara wawancara (1) wawancara (2) debat capres wawancara kampanye dialog RCTI debat capres wawancara dialog
pemilihan umum totaliterisme kampanye pemilu tim sukses Habibie visi calon presiden manuver B.J. Habibie penghentian kerusuhan kerusuhan Mei visi calon presiden debat terbuka capres visi PBB Sidang Umum MPR visi calon presiden isu caleg nonmuslim kcal isi
konstitusi konstitusi reformasi (pelan-pelan) reformasi (gradual) reformasi (konstitusi) formalisme reformasi & status quo reformasi & KKN demokratisasi reformasi (total) kejujuran reformasi reformasi & koalisi kecembohan pemerintah kecerobohan privatisasi formalisme profesionaiisme konstitusi formalisme persatuan dan kesatuan konstitusi demokratisasi kemandirian kebebasan pemberdayaan rakyat formalisme formalisme reformasi (gradual) reformasi (konstitusi) reformasi reformasi (yg sebenamya) kepatuhan hukum pemerataan & formalisme reformasi (total) koalisi kesatuan keadilan reformasi demokratisasi keadilan sistem yang mantap reformasi diktator mayor refoi masi good governance reformasi kedaulatan
17. TLS 18. SEY SEY 19. MDI 20. SBP SBP 21 G D GD 22. KHD 23. AMS 24. YIM YIM YIM 25. HM 26. MAJ 27. ZN 28. DN
dialog debat capres
koalisi visi PUI
Gatra Gatra SCTV Indosiar RCTI Skandal Gatra JP JP JP Gatra Gatra Gatra JP SCTV Indosiar JP Gatra JP Gatra Gatra JP RCTI Skandal JP JP SCTV JP JP JP SCTV SCTV TVR1 RCTI SCTV JP SCTV SCTV RCTI
193 Catatan: BJH= Bacharuddin Jusuf Habibie SH = Syarwan Hamid SBY= Susilo Bambang Yudhoyono AWM= Abdul Wahab Makodongan HS = Han Sabamo AR = Amien Rais DR = Dawam Rajardjo ABT= Abdillah Thoha FB = Faisal Basri Marzuki Darusman MLD = Muladi DH= Dimyati Hartono SS = Sabam Sirait KKG= Kwiek Kian Gie AS = Adi Sasono ' AT = Akbar Tanjurtg
TLS= Theo L. Sambuaga SEY= Slamet Effendy Yusuf MDI= Marwah Daud Ibrahim SBP= Sri Bintang Pamungkas GD = Gus Dur KHD= KH Didin Hafiuddin AMS= AM Saefuddin YIM= Yusril Ihza Mahendra HM = Hartono Mardjono MAJ= Matori Abdul Jalil ZN = Zarkasih Noer DN = Deliar Noer JP = Jawa Pos SCTV= Surya Citra Televisi RCTI= Rajawali Citra Televisi Indonesia TVRI= Televisi Republik Indonesia
Dari tabel 4.1 di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa kata "reformasi" paling banyak dipergunakan sebagai alat klasifikasi oleh para elit politik Indonesia. Dari 58 klasifikasi yang dipergunakan, 21 pola (36%) mempergunakan kata "reformasi" secara eksplisit. Sementara itu, 37 pola (64%) mempergunakan kosakata secara beragam dengan pembagian persentase yang lebih kecil. Dari 37 pola yang ada, kata "konstitusi/formalisme" menduduki persentase yang tertinggi dan diikuti oleh klasifikasi lain dengan persentase yang lebih kecil. Dari tabel 4.1 di atas tampak adanya "persaingan" pola klasifikasi antara kata "reformasi" di satu pihak dan kata "konstitusi" di lain pihak. Penggunaan kata "reformasi" sebagai alat klasifikasi tampak lebih mencolok dalam teks-teks kampanye partai politik peserta pemilu. Paiia tabel 4.2 berikut ditampilkan pola klasifikasi teks-teks kampanye partai politik peserta pemilihan umum tahun 1999. Tabel 4.2 Pola Klasifikasi pada Teks-Teks Kampanye Partai Politik Peserta Pemilu Tabun 1999 No Partai
Model Kampanye
Topik
Kata yang Digunakan
Su.--nber
1.
monologis dialogis monologis dialogis
visi 13113 visi PIB visi KRISNA visi KRISNA
keimanan reformasi reformasi reformasi
TVRI TVRI TVRI TVRI
2.
PIB PIB KRISNA KRISNA
1 94 Lanjutan Tabel 4.2 No. Nama 3.
Model Kampanye
PNI monologis PM dialogis 4. PADI monologis PADI dialogis 5. KAMI visiKAMI KAMI visiKAMI 6. PUI monologis PUI dialogis 7. PKU dialogis PKU monologis 8. PMB monologis PMB dialogis 9. PPP monologis PPP dialogis 10. PSII monologis PSII dialogis 11. PDI-P monologis PDI-P dialogis 12. PAY monologis PAY dialogis 13. PKM monologis PKM dialogis 14. PDKB dialogis PDKB monologis 15. PAN dialogis PAN monologis 16. PRD dialogis PRD monologis 17. PSII-05 monologis PSII-05 dialogis 18. PKD dialogis PKD monologis 19. PILAR dialogis PILAR monologis 20. PARI monologis PARI dialogis 21. PPIIM monologis PPIIM dialogis 22. PBB monologis PBB dialogis 23. PSP monologis PSP dialogis 24. PK dialogis PK monologis 25. PM J dialogis PNU monologis 26. PM-FM dialogis PM-FM monologis 27. IPKI monologis IPKI dialogis
Topik
Kata yang Digunakan
visi PM visi PM visi PADI visi PADI monologis
marhaenisme TVRI reformasi & nasionalisme TVRI kedaulatan TVRI reformasi & kedaulatan TVRI keislaman Indosiar keislaman TVRI demokratisasi TVRI kedaulatan RCTI keislaman TVRI reformasi TVRI reformasi TVRI kerakyatan TVRI reformasi & amar makruf TVRI reformasi TVRI antikapitalisme TVRI keimanan TVRI konstitusi TVRI konsistensi TVRI kerakyatan TVRI pemberdayaan TVRI kebangsaan Indosiar kebangsaan TVRI kesetaraan TVRI reformasi TVRI reformasi & status quo TVRI reformasi TVRI revolusi demokratik TVRI kerakyatan TVRI kedaulatan TVRI keimanan TVRI reformasi TVRI reformasi TVRI kedaulatan Indosiar pemulihan TVRI kerakyatan TVRI reformasi TVRI keislaman TVRI pembangunan manusia TVRI refocus & status quo Stadion reformasi RCTI keadilan sosial TVRI keadilan sosial TVRI keadilan TVRI keadilan gender TVRI reformasi (akhlak) TVRI reformasi (akhlak) TVRI marhaenisme & kepancasilaan TVRI marhaenisme TVRI kebangsaan & kerakyatan TVRI kebangsaan TVRI
monologis visi PUI visi PUI visi PKU visi PKU visi PMB visi P/vT13 visi PPP visi PPP visi PSII visi PSII visi PDI-P visi PDI-P visi PAY visi PAY visi PKM visi PKM visi PDKB visi PDKB visi PAN visi PAN visi PRD visi PRD visi PSII 1905 visi PSII 1905 visi PKD visi PKD visi PILAR visi PILAR visi PARI visi PARI visi PPIIM visi PPIIM visi PBB visi PBB visi PSP visi PSP visi PK visi PK visi PNU visi PNU visi PM-FM visi PNI-FM visi 1PKI visi IPKI
Sumber
195 Lanjutan Tabel 4.2 No. Nama
Model Kampanye
Topik
28. PR PR 29. PID PID 30. PNI-MM PM-MM 31. MURBA MURBA 32. PDI PDI 33. PGK PGK PGK 34. PP PP 35. PKB PKB PKB-KM 36. PUDI PUDI 37. PBN PBN 38. PMKGR PMKGR 39. PDR PDR 40. PCD PCD 41. PKP PKP 42. PSPSI PSPSI 43. PNBI PNBI 44. PBI PBI 45. SUM SUNI 46. PND PND 47. PUMI PUMI 48. PPI PPI
monologis wawancara politik dialogis monologis dialogis monologis monologis monologis monologis dialogis monologis dialogis dialogis dialogis monologis dialogis monologis monologis monologis monologis monologis dialogis monologis dialogis dialogic monologis monologis dialogis monologis monologis monologis dialogis monologis dialogis monologis dialogis monologis dialogis dialogis monologis dialogis monologis dialogis monologis
visi PR visi PR visi PID visi PID visi PM-MM visi PNI-MM visi MURBA visi MURBA visi PDI visi PDI visi PGK visi PGK visi PGK visi PP visi PP visi PKB visi PKB visi PKB visi PUDI visi PUDI visi PBN visi PBN visi Partai MKGR visi Partai MKGR visi PDR visi PDR visi PCD visi PCD visi PKP visi PKP ---visi PSPI visi PSPSI visi PNBI visi PNBI visi PBI visi PBI visi SUM visi SUM visi PND visi PND visi PUMI visi PUMI visi PPI PPI
Kata yang Digunakan reformasi kerakyatan keislaman keislaman kemandirian marhaenisme reformasi (total) ekonomi rakyat reformasi reformasi reformasi reformasi kerakyatan reformasi & status quo reformasi reformasi reformasi & kebenaran kebenaran Ind. baru & kegagalan orba reformasi reformasi pemberdayaan pekerja reformasi & kebangsaan kedaulatan rakyat kerakyatan reformasi reformasi pernbangunan rohaniah reformasi reformasi reformasi demokratisasi reformasi reformasi reformasi & kebhinekaan kesetaraan hak keislaman reformasi reformasi nasionalisme & kerakyatan keadilan persatuan redefinisi pekerja reformasi
Sumber TVRI TVRI TVRI TVRI TVRI TVRI TVRI TVRI TVRI TVRI TVRI TVRI TVRI TVRI TVRI TVRI TVRI Stadion Indosiar TVRI TVRI TVRI TVRI TVRI TVRI TVRI TVRI TVRI TVRI TVRI TVRI TVRI TVRI TVRI TVRI TVRI TVRI TVRI TVRI TVRI TVRI TVRI TVRI TVRI
Catatan: PM = Partai Indonesia Baru KRISNA= Partai Kristen Nasional Indonesia PM = Partai Nasional Indonesia
PADI= Partai Aliansi Demolcrat Indonesia KAMI= Partai Kebangkitan Muslimin Indonesia PUI = Partai Umat Islam
Lanjutan Tabel 4.2 PKU= Partai Kebangkitan Umat PMB= Partai Masyumi Baru PPP = Partai Persatuan Pembangunan Pal = Partai Syarikat Islam Indonesia PDI-P= Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan PAY= Partai Abul Yatama PK/v1= Partai Kebangsaan Merdeka PDKB= Partai Demokrasi Kasih Bangsa PAN= Partai Amanat Nasional PRD= Partai Rakyat Demokratik PSII-05= Partai Syarikat Islam Indonesia 1905 PKD= Partai Katolik Demokrat PILAR= Partai Pilihan Rakyat PART= Partai Rakyat Indonesia PPIIM= Partai Politik Islam Indonesia Masyumi PBB= Partai Bulan Bintang PSP= Partai Solidaritas Pekeija PK = Partai Keadilan PNU= Partai Nandlatui Umat PNI-FM= PM Front Marhaenis IPKI= lkatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia
PR = Partai Republik P1D-= Partai Islam Demokrat PNI-MM= PM Massa Marhaenis MURBA= Partai Musyawarah Rakyat Banyak PDI = Partai Demokrasi Indonesia PGK= Partai Golongan Karya PP = Partai Persatuan PKB= Partai Kebangkitan Bangsa PUDI= Partai Uni Demokrasi Indonesia PBN= Partai Buruh Nasional PMKGR= Partai MKGR PDR= Partai Daulat Rakyat PCD= Partai Cinta Damai PKP= Partai Keadilan dan Persatuan PSPSI= Partai SPSI PNBI = Partai Nasional Bangsa Indonesia PBI = Partai Bhinneka Tunggal Ika Indonesia SUNI= Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia PND= Partai Nasional Demokrat PUMI= Partai Umat Muslimin Indonesia PPI= Partai Pekerja Indonesia
a. Klasifileasiiibengan Kata "Reformasi" Keberadaan kata reformasi sebagai alat atau sarana mengklasifikasikan realitas ini sejejar dengan kata pembangunan pada era pemerintahan Orde Baru. Seorang menteri yang membidangi urusan politik dalam negeri, misalnva, memanfaatkan kata reformasi Kttika menjawab pertanyaan wartawan tentang agenda Sidang Istimewa (SI) MPR RI 1999, seperti kutipan (1) berikut. Kutipan (1): SH : Kalau ada yang menolak sidang istimewa, berarti menghalangi usaha reformasi pemerintah. Sebab, SI adalah jalan menuju pemilu. Kalau Si gagal otomatis pe milu gagal. [Data 49.A.I(1)]
Pada kutipan (1) di atas, yang terjadi adalah wawancara lisan tatap muka antara Menteri Dalam Negeri (SH) dan sejumlah wartawan tentang hal ikilwal yang berhubungan dengan pelaksanaan SI yang masih menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat: sebagian menyetujui dan sebagian menentang. Topik yang muncul adalah pandangan peme-
19.7 rintah Habibie terhadap kelompok penentang pelaksanaan SI. Mendagri dalam hal ini adalah orang yang memiliki kapasitas untuk mewakili pemerintahan Presiden Habibie untuk memberikan informasi pandangan tentang kebijakan pihak lembaga eksekutif. Suara Mendagri hakikatnya adalah suara institusi kolektif yang bernama pemerintah. Suara Mendagri bukanlah suara SH pribadi semata-mata, tetapi lebih merupakan suara banyak orang melalui proses "pertarungan" yang panjang melalui pembicaraan internal antarmereka sendiri. Sementara itu, sejumlah wartawan adalah orang yang menjadi representasi sebuah institusi tertentu, terutama institusi media massa, yang memiliki hak untuk mengetahui pandangan pihak eksekutif tersebut. Pi lihan kata reformasi dalam kutipan di atas selain sebagai "wadah informasi" semata-mata, kata itu jugs sebagai "pengontrol" terhadap kelompok yang kontra terhadap SI dan sebagai "penonjol identitas" pemerintah yang sedang berkuasa yang notabene berlabel Kabinet Reformasi Pembangunan. Yang dinyatakan (asserted) pada kutipan (1) di atas adalah penegasan tentang urgensi SI sebagai dasar pelaksanaan pemilu. Yang dipraanggapkan (presupposed) oleh penuturnya ada tiga, yakni (1) "bahwa ada kelompok yang menolak SI", (2) "bahwa pemerintah sudah melaksanakan reformasi", dan (3) "bahwa dalam pandangan pemerintah SI adalah sesuatu yang penting". Yang ingin diimplikasikan oleh penuturnya adalah "ajakan" untuk menyukseskan pelaksanaan sidang istimewa. Mengikuti pandangan Fairclough (1989:154 praanggapan dalam teks dapat menjalankan fungsinya secara "sungguh-sungguh", "manipulatif', dan bahkan "ideologis". Praanggapan pertaina dalam kutipan (1) di atas mengemban tugas praanggapan yang sebenamya. Praanggapan itu "sungguh-sungguh" berfungsi sebagai praanggapan. Hal ini sesuai dengan realitas masyarakat Indonesia bahwa memang terdapat kelompok masya-
198 rakat yang menentang pelaksanaan SI. Dalam pandangan peneliti, munculnya kelompok yang kontra disebabkan oleh adanya rasa trauma dengan segala "tipu daya" dan "rekayasa" yang sering dilakukan pada masa pemerintahan mantan Presiden Soeharto terhadap berbagai persoalan sosial politik. Pemerintahan Habibie yang bersifat transisi dipandang masih melanjutkan tradisi pemerintahan Orde Baru Soeharto. Mereka yang kontra itu takut terhadap pelaksanaan SI hanya akan dijadikan jalan melanggengkan kekuasaan pemerintahan Orde Baru. Praanggapan kedua dari kutipan (1) di stns menjalankan fungsi "manipulatift. Meskipun pemerintah berusaha melaksanakan reformasi, tetapi praanggapan ini tidak memenuhi persyaratan terpenuhinya "pengetahuan bersama" (mutual knowledge) antara pemerintah di satu pihak dengan pihak lain yang tergabung dengan kelompok yang menamakan dirinya reformis. Secara kontekstual, pihak yang selama ini meneriakkan kata reformasi adalah para mahasiswa, masyarakat, dan elemen pro demokrasi lainnya. Sementara itu, pemerintah yang sedang berkuasa dipandang oleh elemen-elemen reformis sebagai simbol anti reformasi. Dengan perbedaan realitas ini maka syarat pengetahuan bersama sebagai salah satu tiang penyangga praanggapan pragmatik tidak terpenuhi. Praanggapan reformasi versi pemerintahan yang berkuasa. tidak akan bertemu dengan reformasi versi elemen-elemen kelompok reformis. Praanggapan ketiga dari kutipan (1) di alas dalam pandangan peneliti menjalankan fungsi "ideologis". Praanggapan ini menjalankan fungsi melayani kekuasaan pemerintah yang memiliki kepentingan terhadap suksesnya pelaksanaan pemilihan umum yang harus didahului oleh SI. Pemerintah tidak memberikan pilihan. SI adalah satu-satunya jalan me-nuju pemilihan umum. Begitu pentingnya arti SI, dalam pandangan pemerintah,
199 kelom-pok yang menolak SI diberikan predikat "kelompok penghalang". Pandangan versi pemerintah ini mendapat dukungan dari kelompok yang pro dengan SL Dalam pandangan peneliti, kelompok yang pro berpendapat bahwa krisis politik yang berkepanjangan pada era pemerintahan Presiden Habibie harus segera diakhiri dengan dibentuknya pemerintahan baru yang lebih legitimized yang diakui oleh rakyat hasil pemilihan umum Sementara itu, untuk melahirkan pemerintahan yang barn yang diinginkan itu, MPR harus mengubah peraturan perundangan tentang pemilihan umum dan peraturan perundangan lain yang bergayut dilahirkan pada zaman pemerintahan Soeharto. Untuk mengubahnya, MPR hams melakukan SI, tidak dapat dengan cara lain. Dengan demikian, SI adalah j alan satu-satunya mengakhiri krisis. Dari kutipan (1) di atas, kata reformasi yang semula "hanya" menjadi milik mahasiswa pro demokrasi, kaum "oposisi" pada masa pemerintahan Soeharto, atau kelompok pro reformasi, akhirnya juga digunakan oleh seorang menteri pada pemerintahan Presiden Habibie yang notabene sudah terlanjur memperoleh predikat anti reformasi dan pro status quo. Secara leksikal, kedua kata ini memiliki makna 'anti pembaharuan' dan 'mendukung kemapanan'. Pada periode ini, kata anti reformasi dan pro status quo digunakan oleh para reformis untuk menempatkan orang atau kelompok tertentu yang masih berideologi Orde Baru pada sudut yang berlawanan. Oleh karena itu, seseorang, kelompok, atau institusi yang mendapat predikat kedua kata itu akan sekaligus berarti "musuh mahasiswa" dan "musuh masyarakat". Dengan demikian, wajar jika kata penggunaan kata reformasi oleh seorang menteti tidak senacla dengan makna reformasi yang terus di1) Penyerahan kekuasaan dari martian Presiden Soeharto kepada (wakil presiden) B.J. Habibie =sill menimbulkan pro dan kotra di kalangan ahli hukum tata negara dan politisi. Sebagian mengatakan sah, sebagian lain mengatakan tidak sah_ Pemerintahan Presiden Habibie dianggap mewarisi ciari pemerintahan yang sudah tidak memiliki kepercayaan dari rakyat yang miskin legitimasi.
200 dengungkan oleh para mahasiswa prodemokrasi karena memiliki perbedaan kepentingan, sudut pandang, dan cara memandang. Dalam kutipan (1) di atas, kata reformasi digunakan dalam pengertian 'reformasi versi pemerintah'. Terdapat perbedaan perspektif dalam memandang kata reformasi itu. Dalam perkembangannya, setiap orang atau institusi menafsirkan kata reformasi menurut sudut pandang masing-masing. SBP, Ketua Umum Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI) menafsirkan kata reformasi dengan "reformasi total", yakni reformasi di segala bidang, seperti kutipan (2) berikut. Kutipan (2): SBP: Kita tahu bahwa gerakan pro reformasi total yang pada alchimya berhasil menyingkirkan mantan Presiden Soeharto adalah bertujuan memperbaiki mengubah sistem, yaitu sistem orde barn. Sebelum itu, jauh sebelumnya, kami telah menyusun sistem baru, Indonesia barn. Sesuai dengan namanya mau menggantikan sistem orde barn. Sistem Indonesia baru inilah yang menurut pendapat saya sistem yang demokratis yang menolak adanya sistem totalitarism, menolak adanya sentralisme, menolak adanya militerisme. [Data 36.A.1(2)]
Kutipan (2) di atas berupa tuturan lisan secara langsung dari seorang ketua umum partai pada acara debat calon presiden yang dilaksanakan oleh Universitas Indonesia. Debat diikuti oleh para panelis lain para kandidat calon presiden, yakni Amien Rais, Yusril Ihza Mahendra, dan KH Didin Hafiuddin. Acara debat disaksikan langsung oleh para partisipan, terutama mahasiswa. Acara itu secara dialogis berlangsung antara moderator dengan panelis, antar tiap-tiap panelis, dan antara panelis dengan partisipan. Acara ini disiarkan langsung melalui media elektronik ke seluruh Indonesia. Dengan disiarkannya secara nasional, acara debat diasumsikan diikuti oleh seluruh masyarakat Indonesia yang sempat menyaksikan acara debat calon presiden tersebut. Kutipan (2) itu diambil dari monolog pembuka dalam sesi opening statement acara debat.
201 Dalam pandangan SBP, kata reformasi harus bermakna 'reformasi total', yakni pembaharuan di segala biciang kehidupan yang sudah amat rusak pada era pemerintahan Soeharto. "Reformasi total" sebagai wujud sistem Indonesia baru yang menggantikan sistem Orde Baru haruslah dibangun dari tiga penolakan terhadap subsistem yang selama ini berjalan, yakni (1) menolak sistem totalitarisme, yakni pandangan yang mengedepankan peranan pemerintah yang berkuasa dalam mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat, (2) menolak sentralisme, yakni pandangan yang mengedepankan begitu besarnya peranan pemerintah pusat, dan (3) menolak militerisme, yakni pandangan yang lebih menonjolkan aspek keamanan dan militeristik dalam melaksanakan pemerintahan negara. Rusaknya sistem yang berlangsung di Indonesia disebabkan oleh menonjolnya tiga sistem itu dalam kehidupan sehari-hari. Pilihan kata pro reformasi total dalam kutipan (2) di atas selain digunakan sebagai "wadah informasi" tentang adanya gerakan reformasi total, juga digunakan sebagai "penonjol identitas" pengjiasil teks. Dengan pilihan terhadap kata itu, penutur ingin menunjukkan keberadaan penutur sebagai kelompok reformis yang ingin menggantikan sistem sebelumnya yang selama ini berjalan. Dasarnya adalah praanggapan pragmatik dari kutipan (2) di atas. Tiga praanggapan penting perlu dikemukakan, yakni (1) "ada gerakan pro reformasi total", (2) "terdapat sistem yang tidak baik yang sedang berlaku, yakni sistern Orde Baru", dan (3) "pernah berlaku sistem yang tidak demokratis yang bercirikan totalitarisme, sentralisme, dan militerisme". Dalam pandangan peneliti, praanggapan (1) clan (3) di atas menjalankan fungsinya sebagai "praanggapan" dalam pengertian yang sebenarnya. Sementara itu, praanggapan (2) menjalankan fungsinya yang "manipulatif'. Dengan menggunakan dua ukuran pra-
202 anggapan pragmatik, yakni kewajaran (felicity) dan pengetahuan bersama, praanggapan (1) dan (3) di atas memenuhi kedua persyaratan tersebut. Dan parameter kewajaran dua hal dapat dikemukakan. Pertama, dalam realitas memang terjadi suatu gerakan reformasi total yang menuntut perubahan yang radikal di segala bidang kehidupan. Gerakan ini dilakukan oleh masyarakat Indonesia, di mana salah satu tokoh yang menjadi korbannya adalah SBP sendiri. Kedua, dalam realitas kehidupan sosial politik di Indonesia memang sedang berlaku subsistem yang mengedepankan sistem totalitarisme, sentralisme, dan militerisme. Ketiga subsistem Orde Baru itu dipersalahkan sebagai penyebab utama kehancuran Indonesia. Sementara itu, praanggapan (2) ditinjau dari aspek kewajaran tidak sepenuhnya terwakili. Terdapat kesan terlalu membesar-besarkan realitas yang ada meskipun praanggapan itu sebagian memenuhi parameter kewajaran. Dalam pandangan peneliti, sistem Orde Baru yang pernah beijalan dalam kehidupan sosial politik Indonesia tidak sepenuhnya jelele. Yang menjadi jelek sebenamya adalah para pelaku sistem Orde Baru yang di dalamnya penuh dengan budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Yang membuat jelek citra sistem Orde Baru adalah penafsiran sebuah sistem demokrasi menurut kepentingan pelaku Orde Baru tersebut. Padahal, Soeharto sendiri sudah menyatakan, seperti dikutip Hooker (1990/1996:62), bahwa "setiap insan Indonesia, setiap organisasi, setiap bentuk usaha apa pun, yang menamakan dirinya Orde Baru hams mengamaikan dan memberi
2) Mengutip amanat keneearaau mantan Presiden Soehartc yang pertama kali pada tahun 1967 yang berhubungan dengan Orde Baru sebagai berikut. "Mempertaharikan, memumikan wujud dan memurnikan pelaksanaan Pancasila dan UUD 45—ituiah fungsi dan tujuan Orde Baru. Setiap insan Indonesia, setiap organisasi, setiap bentuk usaha apa pun, yang menamakan dirinya Orde Baru hams menerima dua iandasan pokok Pancasiia dan HUD 45; tidak saja menerina tetapi hams mengamaikan dan memberi isi pada Pancasila dan UUD 45 sebenar-benamya, setepat-tepatnya, semumi-murninya sesuai dengan jiwa dan semangatnya. Dengan demikian, Orde Baru tidak lain adalah tatanan seluruh pesikehidupan rakyat, bangsa, clan tteLpra yang diletakkan kembaii kepada peiaksanaan kemumian Pancasila dan UUD 45" (dilartip dari Hooker, 1990/1996:62).
203 isi pada Pancasila dan UUD 45 sebenar-benarnya, setepat-tepatnya, semurni-muminya sesuai dengan jiwa dan semangatnya" (untuk uraian yang lebih lengkap, lihat catatan kaki [2]). Yang dimaksud dengan "sebenar-benarnya, setepat-tepatnya, semurni-murninya sesuai dengan jiwa dan semangatnya" tentunya bukan Pancasila dan UUD 45 versi Soeharto, tetapi Pancasila dan UUD 45 seperti dikehendaki oleh para pendiri bangsa atau bapak-bapak bangsa yang merumuskan Pancasila dan UUD 45 pada sekitar tahun 1945. Berbeda dengan pandangan SBP yang menghendaki adanya reformasi total dalam segala aspek kehidupan, elit politik lain, yakni HS, Ketua Fraksi ABRI di DPR RI, menafsirkan reformasi dengan perubahan yang dilaksanakan secara gradual dan konstitusional. Dalam pandangan HS, reformasi tidak dapat dilaksanakan secara serentak, tetapi haruslah bertahap. Tidak ada reformasi total, tetapi reformasi gradual. Pandangan HS tersebut selanjutnya dapat diperhatikan pada kutipan (3) berikut. Kutipan (3): HS: Sikap DPR sebenarnya sudah jelas Pemikiran tentang perlunya reformasi, bad( itu reformasi politik, hukum, dan ekonomi sebenarnya sejalan dengan pemikiran DPR. Dalam berbagai kesempatan pun ketua DPR selalu menandaskan hal ini. Tetapi, kan reformasi tidak begitu saja langsung membawa hasil. Semuanya hams dilakukan secara gradual dan konstitusional. Sekali lagi, membangun rumah bukan berarti merobohkan rumah. [Data 49.A.1(3)] Kutipan (3) di atas dicuplik dari keterangan lisan HS kepada sejumlah wartawan media massa. Topik yang diangkat adalah reformasi versi TNI/ABRI. HS adalah individu yang tepat untuk memberikan keterangan tentang pandangan institusi ABRI. HS adalah Ketua Fraksi TNI/ABRI di DPR RI. Dengan demikian, pandangan HS sekaligus mencerminkan pandangan institusi ABRI. HS memandang bahwa reformasi di segala bidang yang dikumandangankan para mahasiswa itu sudah menjadi agenda pemikiran DPR. Hanya saja, pelaksanaan reformasi itu tidak dapat begitu saja bersamaan. Semua bentuk perubahan
204 harus melalui proses penahapan dan harus sesuai dengan rambu-rambu konstitusi. Semua bentuk perubahan tidak boleh dilakukan di luar koridor konstitusi. Dalam pandangan HS, reformasi bukanlah proses pembongkaran dengan membentuk "bangunan yang baru", tetapi proses perbaikan "bangunan yang lama" Hal itu dapat dilihat dari praanggapan dari kutipan (3) di atas. Beberapa praanggapan penting yang dapat dikemukakan, yakni (1) "DPR mempunyai sikap tenting reformasi" , (2) "ada reformasi yang gagal", dan (3) "reformasi tidak boleh total dan kembali ke titik nor. Ketiga praanggapan tersebut menjalankan fungsinya secara beragam. Praanggapan pertama dari kutipan (3) di atas, dalam pandangan peneliti, menjalankan fungsinya secara "manipulatif' dan "ideologic". Sementara itu, praanggapan (2) dan (3) dari kutipan (3) di atas menjalankan fungsinya sebagai "praanggapan" yang sesungguhnya. Dengan menggunakan ukuran kewajaran dan pengetahuan bersama, praanggapan (1):tersebut tidak sepenuhnya memenuhi persyaratan kedua ukuran itu. Menurut catatan peneliti, sikap DPR terhadap reformasi yang didengungkan mahasiswa Indonesia pada masa awal-awal gerakan reformasi lebih bersifat reaktif daripada proaktif. Sebagai lembaga kontrol eksekutif dan MPR sebagai lembaga permusyawaratan lebih cenderung mengikuti anus besar eksekutif untuk tetap melestarikan nilai-nilai lama dengan alasan konstitusi. MPR dan DPR terjebak ke dalam alam pikiran konstitusionalisme. Hal ini dibuktikan dengan tekad lembaga legislatif ini mengikuti kemauan eksekutif untuk tetap mempertahankan UUD 1945 sebagai aturan yang tidak akan diubah 3 Sementara itu, DPR dipandang terlalu terlambat merespon semangat reformasi yang diperjuangkan 3) Dalam konteks lain, DPR/MPR terjebak dalam budaya latah dengan mencalonkan Jenderal (Purr) Soeharto menjadi presiden untuk kali ketujuh. Bahkan, Ketua DPR/MPR RI waktu itu, Harmoko, menyampaikan suatu pemyataan yang nyata-nyata mematikan semangat demokratisasi, yakni bahwa "setelah Soeharto bersedia dicalonkan sebagai presiden, tidak boleh ada lagi talon lainnya" (Tempo Interalctif vol. VI, 1998-332).
205 mahasiswa Indonesia dan kelompok pro demokrasi lainnya. Dalam perkembangan selanjutnya, terutama pada era pemerintalian Presiden Abdurrahman Wahid, fungsi kontrol yang dimiliki oleh lembaga legislatif ini dilaksanakan dengan senyata-nyatanya, bahkan terdapat kesan dari beberapa pengamat bahwa fungsi kontrol yang dilaksanakan oleh DPR terlalu berlebihan. Praanggapan kedua dan ketiga menjalankan fungsi yang berbeda dengan praanggapan pertama. Dengan menggunakan parameter kewajaran dan pengetahuan bersama, praanggapan kedua dan ketiga menjalankan fungsinya sebagai praanggapan yang sesungguhnya. Banyak negara yang melakukan reformasi total dengan mengikis habis sendisendi kekuasaan lama dengan yang baru tidak begitu saja lang,sung berhasil seperti yang diharapkan sebelum proses reformasi itu. Reformasi total atau revolusi tidak begitu saja langsnng menjamin perubahan yang diharapkan4 Bahkan, banyak negara yang gagal melaksanakan reformasi dengan cara seperti ini. Kalaupun dapat berhasil proses itu memerlukan waktu yang tidak cukup satu atau dua tahun, tetapi perlu waktu yang lebih panjang dengan ukuran dasawarsa atau abad. Dalain perkembangan selanjutnya, dari istilah reformasi diturunkan kata-kata turunannya, seperti pro reformasi dan anti reformasi. Kata-kata kunci tersebut digunakan untuk memberikan garis demarkasi terhadap fenomena politik Indonesia, baik sikap dan perilaku individu, organisasi massa, maupun partai politik yang sudah berdiri sejak lama maupun yang baru muncul. Sikap dan perilaku yang penuh dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (K N) tennasuk ke dalarn klasifikasi anti reformasi, sebaliknya 4) Di Kamboja, misalnya, reformasi total yang gagal dijalankan oleh Khmer Merah itu berangkat dari pemilciran Kieu Samphan yang merumuskan bahwa sebuah bangsa yang diidam-idamkan hams dibangun dari "Mil( nor dengan meniadakan elemen-elemen sosial yang akan mengganggu masa depan bangsa itu. Reformasi Kmer itu tidak pemah berhasil. Terlalu besar "harga sosial" yang harus ditanggung oleh seluruh masyarakat.
2O6 yang sikap dan perilaku yang anti-KKN diklasifikasikan ke dalam kelompok pro reformasi. Partai-partai politik yang berjumlah 48 itu, misalnya, dalam arus besarnya diklasifikasikan ke dalam partai yang pro reformasi dan anti reformasi meskipun partai yang sering disebut tidak reformis itu juga mengklaim dirinya sebagai partai yang reformis_ Partai-partai yang hidup semasa OB sering disebut tidak reformis oleh lawan-lawan politiknya. Partai Golkar, misalnya, yang sering disebut-sebut partai status quo mengklaim dirinya sebagai partai yang pro reformasi. Keberadaan "paradigma baru" Partai Golkar diakui oleh para elite Partai Golkar menjadi simbol adanya perubahan yang radikal dari partai yang status quo menjadi partai yang reformis. Kata reformasi digunalcan secara leas oleh seluruh lapisan masyarakat, baik secam vertikal maupun horisontal. Individu, kelompok, maupun institusi yang semula terkelompok ke dalam anti reformasi pun juga menggunakan kata reformasi dengan frekuensi yang relatif tinggi. Pemerintah, misalnya, menggunakan kata reformasi untuk nama kabinet pemerintahannya dalam rangka mengakomodasikan tuntutan mahasiswa khususnya dan masyarakat pada umumnya terhadap reformasi di segala kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegaras. Bahkan, dari label 4.2 di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa sehanyak 98 teks kampanye dari 48 partai politik peserta pemilu 999, sebanyak 43 teks memilih kata reformasi untuk mengklasifikasikan realitas. Reformasi tampaknya menjadi kata "wajib" bagi seluruh komponen bangsa dalam segala aktivitas sosial politiknya.
5) Presiden B.J. Habibie menyusun Kabinet Reformasi Pembangunan dalam waktu yang amat singkat, yakni hanya sehari. Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 122JM tahun 1998, 36 menteri kabinet tersebut kemudian dilantik dan diambil sumpahnya pada tanggal 23 Mei 1998. Kemudian, pada tanggal 25 Mei 1998 kabinet melaksanakan sidang pertama. Itu semua merupakan rentetan peristiwa untuk menyikapi gelombang reformasi itu (Tifa Demokrasi, 1999:1).
207 b. Klasifikasi dengan Kata "Status Quo" Klasifikasi terhadap realitas sosial-politik juga menggunakan kata kunci lainnya, yakni status quo. Kosakata ini menjadi pasangan kata "reformasi". Kosakata ini tidak pernah dipakai oleh para elite politik dari pihak pemerintah yang berkuasa. Presiden dan para menteri kabinet reformasi pembangunan, misalnya, dalam berpidato jarang sekali menggunakan istilah status quo. Partai Golongan Karya (PG) yang selama lebih kurang tiga puluh tahun sebagai penyangga pemerintahan Orde Baru jarang sekali menggunakan kata status quo. Kosakata ini lebih banyak dipakai oleh para elite politik yang pada masa Orde Baru memperoleh predikat "oposisi", "anti pembangunan", "anti Pancasila", "anti Orde Baru", "ekstrem kiri", "ekstrem kanan", dan sebagainya. Dua kata kunci yang bersifat dikotomis turunan dari istilah status quo, yakni pro status quo dan anti status quo berfungsi juga sebagai alat untuk membuat garis demarkasi yang digunakan claim mengelompokkan individu, lembaga, organisasi massa, partai politik ke dalam kelompok "pro" dan "anti" itu. DR, seorang.ketua dari Partai Amanat Nasional, partai yang dipandang sebagai pelopor reformasi, menggunakan istilah status quo untuk memberikan predikat kepada pemerintahan Presiden B.J. Habibie. Alasannya, pemerintahan Habibie masih banyak persamaannya dengan pemerintahan sebelumnya yang menjadi simbol status quo. Dalam keterangannya kepada wartawan secara lisan, ungkapan DR dapat diperhatikan pada kutipan (4) berikut. Kutipan (4): DR: Dalam konteks wacana politik saat.ini status quo dan reformis itu adalah pemerintahan itu sendiri. Kalau kita mau jujur, maka pemerintahan yang ada saat ini adalah termasuk status quo yang artinya masih menggunakan sistem dan aturan yang lama serta belurn terlihat perubahan yang berarti. [Data 1 5.A. 1(4)1
208 Yang dinyatakan pada kutipan (4) adalah penegasan DR tentang pemerintahan yang sedang berkuasa sebagai pemerintahan yang bersifat status quo. Yang dipraanggapkan oleh penuturnya adalah (1) "Icita sering berbuat sesuatu dengan tidak jujur", dan (2) "pemerintahan yang sekarang sama dengan pemerintahan sebelumnya". Kedua praanggapan tersebut menjalankan fungsinya masing-masing yang tidak sama. Praanggapan (1) menjalankan fungsi sebagai "praanggapan yang sesungguhnya". Sementara itu, praanggapan (2) menjalankan fungsi yang "manipulatif', bahkan fungsi yang "ideologis". Dengan menggunakan parameter kewajaran dan pengetahuan bersama, praanggapan (1) dari pernyataan DR menjalankan fungsi yang "sungguh-sungguh" sebagai praanggapan. Dalam pandangan peneliti, salah satu penyakit dari realitas masyarakat Indone-
sia,khususnyadalambidangsosialpolitik,adalahseringberbuatsesuatusecaratidakjur.BanyakfenomenaketidakjujuranyangmenjadibagiankehidupanmanusiaIndonesia sehari-hari6. Akhimya, istilah "rekayasa" dan "semua bisa diatur" menjadi akrab dengan masyarakat Indonesia. Sementara itu, praanggapan (2) dengan menggunakan parameter yang sama lebih banyak menjalankan fungsi "manipulatif', bahkan fungsi "ideologis" karena melayani fungsi-fungsi kekuasaan. Persoalan apakah pemerintahan yang sekarang (pemerintahan Presiden B.J. Habibie) sama dengan pemerintahan sebelumnya (pemerintahan Soeharto) masih menimbulkan perdebatan yang sera. Kelompok yang pro Habibie mengklaim bahwa presiden ketiga itu cukup banyak melaksanakan amanat refonnasi seperti yang ditun6) Munculnya jargon jargonyang dimunculkan oleh masyarakat awam sebagai manifestasi dari adanya wacana tandingan (counter-discourse) terhadap wacana resmi pemerintah, dalam pandangan peneliti, berakar dari fenomena ketidakjujuran itu. Jargon-jargon itu antara lain: "KUHP" (kasih uang habis perkara), "waskat" (pengawasan malaikat), "SUMUT" (semua urusan mesti uang tunai), 'PPP" (putra-putri presiden), "LUBER" (lubang beringin), "UUD" (ujung-ujungnya duit), "pasal 33" ayat (1) bermakna perekonomian Indonesia dia. tw- bersama oleh keluarga, dan "KOPERASI" (kuperasi).
209 tut oleh kelompok pro demokrasi.7 Sebaliknya, kelompok yang kontra dengan Habibie menyebut presiden ketiga itu tidak lebih dan tidak kurang sebagai sambungan dari pemerintahan sebeluirmya.8 Dengan adanya dua pandangan yang bertentangan itu, praanggapan (2) dari kutipan (4) tidak sepenuhnya sesuai dengan realitas yang ads. Terdapat dimensi "manipulatif' dan "ideologis" dari praanggapan itu yang perlu dicermati. Dikotomi ketat antara "pro" dan "anti" terhadap status quo dalam wacana politik hidup begitu subur secara informal di luar wacana pemerintah yang dianggap sebagai "wacana resmi". Wacana-wacana yang dihasilkan oleh aktivis mahasiswa, ketua partai politik, pimpinan LSM, pembela hak asasi manusia (HAM), dan sejumlah pengamat ekonorni dan politik Indonesia banyak berhubungan dengan dikotomi status quo itu. Partai politik peserta pemilu 1999 sebagian besar membuat garis lurus antara kata reformasi dan status quo untuk menjatuhkan partai tertentu, khususnya PG yang selama ini menopang pemerintahan Orde Baru. Garis lurus itu jugs digunakan oleh sebagian besar partai politik untuk menempatkan posisi pemerintah yang sedang berkuasa pads barisan status quo. Sementara itu, sebagian besar partai politik peserta pemilu 1999 itu selalu menempatkan posisinya dalam barisan reformasi, tidak ada yang menempatkan posisi partainya pada barisan status quo. 7) Salah satu buku yang memberikan semacam pembelaan kepada Habibie untuk dapat dikelompokkan ke dalam "reformis" atau "status quo" berjudul Habibie Status Quo? Buku ini merupakan hasil survei terhadap kumpulan fakta yang bertebaran di media massa yang dilakukan oleh kelompok yang menamakan dirinya Tifa Demokrasi. Isinya berupa paparan sebanyak 33 kebijakan penting Habibie yang bernafaskan semangat reformasi seperti dikehendaki oleh kelompok pro demokrasi. 8) Salah satu kritikan dikemukakan oleh Dawam Rahardjo (lihat kutipan [4]) yang mengatakan bahwa pemerintahan yang ada saat ini (pemerintahan Habibie) adalah termasuk status quo karena masih meaggunalcan sistem dan aturan yang lama serta belum terlihat perubahan yang berarti. Atau, laporan utama Gatra (edisi 7 Agustus 199) tentang calon presiden ke-4 RI yang menempatkan Habibie dalam posisi yang tidak menguntungkan. Menurut laporan tersebut, rapor Habibie terdiri atas "dua biru, enam merah". Dua nilai birunya terdiri atas dua hal: (1) membebaskan narapidana politik dan tahanan politik, (2) membuka keran kebebasan pers dan kebebasan politik. Sementara itu, bidang-bidang lainriya memperoleh nilai merah.
210 PG pun yang oleh sebagian besar masyarakat dan partai peserta pemilu diberi predikat partai pendukung status
quo' pada era refomiasi ini menempatkan dirinya dalam
barisan reformasi dengan slogannya yang terkenal "paradigms baru Partai Golkar" dan "Golkar baru bersatu untuk maju". Penggunaan kata baru oleh para pimpinan PG baru itu dapat diperhatikan pada kutipan (5) berikut. Kutipan (5): PG: Partai Golkar baru menyatu dengan reformasi dengan merespon seluruh aspirasi gerakan reformasi. Partai Golkar baru berada di relung-relung Kati rakyat Indonesia. [Data 33.A.1(5)]. Kutipan (5) di atas diambil dan sebagian pidato salah seorang ketua PG pada pembukaan kampanye dialogis yang ditayangkan melalui media televisi. Dalam forum kampanye itu, PG tampil bersama-sama dengan Partai Abul Yatama (PAY) dan Partai Rakyat Indonesia (PARI). Kata baru dalam kutipan (5) diacukan kepada semarigat "reformasi" yang memang menjadi arus besar pemikiran seluruh komponen bangsa pada era pasca-Orde Baru. Hal senada jugs dapat ditemukan pada kutipan (6) berikut Kutipan (6): AT: Golkar baru sudah memperbaharui dirinya untuk menyongsong hari depan yang lebih baik dan lebih maju. Golkar baru memperhatikan perhatian kepada persoalan rakyat. [Data 33.A.1(6)] Kutipan (6) diambil dari jawaban Ketua Umum PG, Akbar Tanjung, dalam kampanye dialogis di televisi. Kampanye itu diikuti oleh peserta dari sejumlah wakil petani, pengojek, sopir, tukang becak, nelayan, dan pedagang kecil. Dengan menempatkan kata "baru"
9) Dalam kampanye pemilihan umurn yang bersifat dialogis di media televisi, misalnya, Partai Golongan Karya menjadi bulan-bulanan dua partai mitra dialog yang hadir. PARI dan PAY yang pernah tampil bersamasama dengan Partai Golkar dalam kampanye dialogis memberikan predikat status quo kepada partai itu. Ketua PAM, Agus Miftah, secara terang-terangan menuduh PG sebagai partai status quo karena itu PG perlu dibubarkan saja Hal yang sama dilakukan oleh simpatisan PAY menyebut PG sebagai partai status quo yang mendatangkan tragedi nasional karena itu PG perlu dihukum.
211 itu, PG berusaha memotong jalur hubungannya dengan "Golkar lama" I° yang oleh kaum penentangnya PG dianggap "penuh dosa" kepada negara-bangsa Indonesia, seperti dikemukakan oleh PARI dan PAY. Kutipan (5) dan (6) berangkat dari praanggapan yang sama, yakni (1) "partai Golkar yang sebelumnya tidak aspiratif dengan persoalan rakyat", dan (2)"sendi-sendi partai Golkar yang sebelumnya banyak yang rusak". Praanggapan (1) dan (2) tersebut menjalankan fungsi sebagai "praanggapan" yang sesungguhnya. Dengan menggunakan parameter kewajaran dan pengetahuan bersama, kedua praanggapan tersebut dalam pandangan peneliti sesuai dengan realitas yang ada. Pengakuan Slamet Effendy Yusuf seperti dipaparkan dalam catatan kaki (10) dapat mempertegas akan ketidakaspiratifnya partai Golkar lama dan rusaknya sendi-sendi dalam Partai Golkar yang lama. Dengan kata baru itu, PG mengidentifikasikan dirinya sama dengan partai-partai lain yang bam lahir atau muncul kembali setelah ramainya era reformasi. PG baru berusaha untuk mempertahankan dan memperoleh citra barn dari para anggota dan para simpatisan baru. Pada waktu yang bersamaan, PG lama itu sedang menghadapi cacian, hujatan, dan tuntutan hukum yang mahadahsyat dari sebagian besar rakyat dengan simbol hujatannya terpusat kepada man-tan Presiders Soeharto. Pada periode sebelumnya, dalam pelaksanaan pemerintahan, keberadaan peran dan fungsi PG dengan pemerintah yang berkuasa, khususnya pada periode pemerintahan ) Salah satu katua Partai Golkar, Slaniet Effendy Yusuf, menegaskan bahwa secara internal banyak sekali perubahan dalam PG di tingkat visi maupun misi. Demikian juga, secara &sternal sangat banyak perubahan yang telah memberi jalan pada reformasi sehingga bisa betjalan saperti yang diharapkan_ Tiga hal dapat dikemukakan, yakni (1) pengambilan keputusan dilakukan secara bottom-up, (2) pengambilan keputusan disconnecting dengan pihak penguasa sebelumnya, di mana ada struktur di luar partai Iebih banyak menentukan dibanding struktur di dalam partai, dan (3) melihat PG lebih menjadi the rolling party bukan seperti yang lama rules party, partainya penguasa, di mana Golkar hanya menjadi mesin pengumpul suara yang digunakan oleh penguasa sebagai alat legitimasi.
212 Soeharto, secara substansi sering tumpang tindih dan kabur. Hal ini tampak pada fenomena pejabat presiden selalu menduduki jabatan Ketua Dewan Pembina Golkar, sebuah jabatan yang amat berkuasa dalam menentukan figur ketua umum partai dan pengurus lainnya. Hal senada juga dapat diperhatikan pada jabatan wakil presiden dan menteri senior dalam kepengurusan dewan pembina PG. Oleh karena itu, logis jika kata status quo tidak pemah dipilih oleh elite partai dart institusi PG dan pemerintah yang berkuasa. Sikap untuk tidak menggunakan kata status quo juga dipilih oleh sejumlah partai baru yang dicurigai sebagai "bayi" yang dilahirkan dan dibiayai oleh PG atau elit politik yang berhubungan dengan PG." Partai-partai tersebut dalam kampanyenya selalu menempatkan dirinya pada barisan yang "anti" atau "musuh" terhadap kelompok status quo dengan argumentasi masing-masing meskipun mereka tidak pernah sekali pun menyebut kata "reformasi". Kalau pun menyebut kata "reformasi", kata itu diberi makna lain atau dipilih hanya sebagai "pemanis" teks kampanye mereka. Hal itu dapat diperhatikan pada kutipan (7) berikut. Kutipan (7): RB: Kalau ditanyakan apakah partai kami itu pendukung status quo, apa yang disebut status quo itu. Kami memang status quo terhadap nilai-nilai luhur bangsa, yakni nilai-nilai Sumpah Pemuda, nilai-nilai perjuangan, dan nilai-nilai kerakyatan. [Data 28.A.1(7)]
Kutipan (7) di atas diambil dart sebagian jawaban yang diberikan oleh pimpinan Partai Republik (PR) dalam kampanye dialogis yang ditayangkan televisi. Dalam kampanye dialogis itu, acara juga diikuti oleh dna partai lainnya, yakni PSII-1905 (nomor peserta 11) Beberapa partai politik barn yang didirikan oleh tokoh-tokoh "mantan" kader Golkar, antara lain Partai Republik, Partai Pilihan Rakyat, dan Partai KAMI dituding memperoleh biaya clan Keluarga Cendana Kasus Partai KAMI yang memiliki logo yang hampir sama dengan PAN dituding oleh Hasballah Saw'. Wakil Sekjen PAN, sebagai bagian skenario kelompok status quo mempertahankan kekuasaannya meskipun suet menemukan bukti yang benar-benar valid tentang keterlibatan kelompok tertentn
21 3 17) dan Partai Persatuan (nomor peserta 34). Kata status quo yang digunakan oleh pimpinan PR itu diberi makna yang berbeda dengan makna yang sedang berkembang di masyarakat Indonesia. c. Klasifikasi dengan Kata "Konstitusi" Klasifikasi ketiga yang sering dimunculkan adalah kata konstitusi. Elite politik yang banyak menggunakan klasifikasi tersebut menganut pandangan konstitusionalisme. Konstitusionalisme merupakan pandangan yang lebih mengedepankan peranan konstitusi atau peraturan perundangan lainnya dengan menomorduakan dimensi aspirasi yang berkembang di masyarakat. Perhatikan kutipan (8) berikut. Kutipan (8): SBY: Yang ingin dibangun TNI adalah kepatuhan kepada UUD sebagai sebuah sumber nilai dasar yang lahir dari negara Proklamasi 17 Agustus 1945. Nilai dasar lainnya adalah Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, serta nilai negara nasional ini. Konstitusionalisme iarus dihargai. Jangan begitu raja dikhianati atau disimpangkan Bahwa dalam realitasnya, karena singkat dan padatnya, UUD kita perlu penambahan, pelengkap, bahkan amandemen, itu dapat kita bicarakan secara nasional pada forum yang berwenang. Dan, mesti betul-betul diabdikan untuk kepentingan nasional. [Data 49.A.1(8)] Kutipan (8) di atas dicuplik dari hasil wawancara lisan Susilo Bambang Yudhoyono dengan sejumlah wartawan. Dalam kapasitasnya sebagai Kepala Staf Teritorial (Kaster) TNI, SBY adalah orang yang tepat untuk menyampaikan pandangan institusi TNI tentang persoalan sosial politik pada era reformasi. Kata konstitusionalisme yang dikemukakan selain berperan sebagai "wadah informasi" tentang pentingnya menghargai dan menjalankan konstitusi, jugs berperan sebagai "penonjol identitas" institusi TNI akan begitu concern-nya dengan persoalan bangsa dalam jangka panjang. Dengan klasifikasi konstitusionalisme tersebut, setiap pemikirmi dan tindakan yang selalu mematuhi konstitusi yang ada berada pada barisan konstitusionalisme. Se-
21k baliknya, pemikiran dan tindakan yang tidak mendasarkan pada konstitusi yang berada pada kelompok barisan inkonstitusionalisme. Dalam konteks ini, banyak elemen reformasi ditafsirkan sebagai sesuatu yang inkonstitusionalisme. Selanjutnya, perhatikan lcutipan (9) berikut. Kutipan (9): DH: Maksudnya bukan demikian, tapi kembalikanlah ke UUD '45. Dalam UUD '45 kedaulatan rakyat dilakukan berdasarkan atas hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakiLan. Jadi, yang diutamakan adalah musyawarahnya. Ini yang pokok dan hams kita terapkan. WAR: Bukan untuk me”garnankan Mega? DH: Bagi kita bukan soal mengamankan Mega. Ini adalah masalah prinsip UUD '45. [Data 11.A.1(9)] Kutipan (9) tersebut dicuplik dari keterangan salah seorang ketua PDI-Perjnangan, Dimyati Hartono, tentang peluang Megawati sebagai calon presiden dalam Sidang Umum (SU) MPR. Dalam konteks ini, DH adalah pribadi yang cukup representatif dalam memberikan pandangan institusi PDI-Perjuangan tentang suatu masalah. Suara DH pada hakikatnya adalah suara PDI-P. Pilihan frasa "kembalikanlah ke UUD '45" selain berperan sebagai "wadah informasi" tentang perlunya kembali kepada Konstitusi RI dalam setiap memecahkan persoalan kenegaraan dan kebangsaan, frasa tersebut juga berperan sebagai "penonjol identitas" bagi institusi PDI Perjuangan yang tidak pernah mundur sejengkal pun dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
12 PDI Perjuangan
meman-
clang bahwa persoalan yang timbul di Indonesia, khususnya semasa pemerintahan Orde
12) Tentang sikap PDI-P terhadap Pancasila dan UUD '45 dikemukakan bahwa PDI-P tetap akan berlandaskan Pancasila. dan UUD '45 tidak hanya dalam perjua_ngannya sekarang, namun juga di dalam peryeleriggaraan negara. Pancasila diyakini kebenarannya sebagai suatu ideologi bangsa yang tepat. Demikian juga, UUD '45 akan tetap dipertahankan dan dipegang denganteguh. Tentang amandemen terhadap Batang Tubuh UUD '45 dikemukakan bahwa PDI-P memandang perubahan UT.TD '45 adalah masniah yang sulit karena prose perubahan tersebut bukan hanya merupakan proses hokum, namun berkaitan dengan ideologi negara, tatanan sopolitik, ekonomi, budaya, dan lain-lain. Adanya tuntutan zaman yang dinamis teiah diantisipasi oieh UUD '45, yakni dengan memberikan akomodasi pada satu peringkat UU yang lebih rendah dari UUD '45 (lihat buku PDI-Perjuangun ivienjawah, 1999:8-1u).
225 Baru, bukan terletak pada konsepsi dasar Pancasila dan UUD '45, melainkan terletak pada implementasi yang korup pada pembuatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, yaki undang-undang teknis. Pandangan senada ditemukan dalam teks-teks kampanye pemilihan umum dari PM (nomor 3), PM Front-Marhaenis (nomor 26), dan PM Massa-Marhaenis (nomor 30). Praanggapan utama dari kutipan (9) di atas dapat dirumuskan, yakni "kita semua (penyelenggara negara) menyimpang dari UUD 1945 seperti dikehendaki oleh para pendiri negara". Praanggapan ini menjalankan fungsi sebagai praanggapan yang sebenarnya_ Banyak sendi-sendi pelaksanaan ketatanegaraan yang berjalan di Indonesia tidak sesuai dengan semangat UUD 1945. Pelaksanaan demokrasi, misalnya, berjalan sesuai dengan penafsiran pemerintah yang sedang berkuasa. Oleh karena itu, PDI Perjuangan memandang perlunya kembali ke jiwa dan semangat UUD 1945. Dalam pengambilan suara, misalnya, PDI Perjuangan kurang menyetujui pelaksanaan pengambilan suara dengan voting dan lebih menyetujui musyawarah untuk mufakat". Platform PDI Perjuangan yang ingin tetap mendasarkan seluruh kegiatannya pada Pancasila dan UUD '45 lebih mengedepankan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kebangsaan dan kenegaraan. Bagi PDI Perjuangan, pengutamaan musyawarah merupakan masalah prinsip dalam UUD '45. Dengan demikian, PDI Perjuangan memiliki kesamaan pandangan dengan pemerintahan Orde Baru yang lebih mementingkan musyawarah untuk mufakat daripada sekedar pemungutan suara 13) Menurut PDI-P, banyak aspek yang baik dari pemerintahan Orde Baru yang harus dipertahankan. PDIPerjuangan memandang pemerintah Orba sebagai berikut. "Pemerintah Orba banyak menuangkan konsep dan pemikiran yang di atas kertas bagus. Kita bisa belajar banyak dari situ_ Hampir semua isi pidato kenegaraan yang disampaikan oleh mantan Presiden Soeharto cukup bagus. Masalah Orde Baru adalah bahwa semua pemikiran dan gagasan yang bagus itu tidak dilaksanakan. Sebaliknya, pelaksanaannya bahkan diselewengkan atau dikorup" (lthat buku PDI Perjuangan Menjawab, 1999:4).
216 d. Klasifikasi dengan Kata "Kerakyatan" Klasifikasi ini meling_kupi klasifikasi yang di dalamnya mencanturnkan kata-kata rakyat atau kerakyatan, seperti kedaulatan rakyat, ekonomi rakyat, ekonomi kerakyatan, dan "pemberdayaan rakyat". Perhatikan kutipan (10) berikut. Kutipan (10): AS: Politik adalah membangun rakyat yang merdeka. Negeri kita ini adalah negeri merdeka tapi rakyatnya masih membungkuk pada kekuasaan dan pemilik modal. Mungkin kultur ini sudah lama terbentuk. Ini adalah kondisi yang tidak sehat. Saya berpendapat, faktor ekonomi menjadi penting karena kemiskinan itu menjadi faktor budaya membungkuk bila terbentuk dari akumulasi waktu yang panjang. Karena itu, jalur kemiskinan harus dipotong. Kita harus membangun suatu budaya merdeka dan sadar akan hak-hak individualnya. [Data 49.A.1(10)] Kutipan (10) di atas dicuplik dari basil wawancara sejumlah wartawan dengan Adi Sasono (AS). Topik yang diangkat adalah sinyalemen tentang hubungan AS dengan Partai Daulat Rakyat (PDR) karena para pendiri PDR adalah sahabat dan teman dekat AS serta dalam program-programnya, PDR mencalonkah AS sebagai calon presiden. Dalam kutipan (10), menurut peneliti, pendayagunaan kata rakyat selain menjalankan peran sebagai "wadah informasi" tentang perlunya membangun rakyat Indonesia menjadi individu-individu yang merdeka dan sadar akan hak-hak individunya itu, kata rakyat tersebut juga sebagai "penonjol identitas" kerakyatan bagi penghasil teks tersebut. Hal ini sesuai dengan realitas sosial politik. Dalam konteks ekonomi kerakyatan, nama AS bukan nama yang asing. Keterlibatannya dalam berbagai kegiatan yang bernuansakan kerakyatan dalam pandangan peneliti sudah tidak diragukan lagi. Begitu gigihnya memperjuangkan ekonomi kerakyatan untuk menandingi ekonomi konalornerat saat menjadi Menteri Koperasi dan Pembinaan Usaha Kecil dan Menengah, sampaisampai muncul istilah Sasonomics untuk memberikan nama terhadap program-program
21.7 ekonomi kerakyatan Adi Sasono', menyusul nama-narna lain yang lebih dahulu muncul, seperti Widjojonomics, Soehartonomics, dan Habibienomics. Penggunaan klasifikasi dengan menggunakan kata kerakyatan dapat dijumpai juga pada pidato-pidato (mantan) Presiden Habibie. Salah satu cuplikan pidato tersebut dapat diperhatikan pada kutipan (11) berikut. Kutipan (11): BJH: [...] Pemilu tahun ini, di dalam keterbatasan waktu dan dalam atmosfir dinamika reformasi yang begitu. tinggi, namun tetap berjalan seperti kita harapkan. Ini berarti bahwa reformasi yang sedang dan akan tents kita laksanakan bukanlah sekedar suatu retorika namun benar-benar langkah serius untuk mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat serta menyelamatkan kehidupan Negara Kesatuan Republik Indonesia. [Data 48 .A. 1 (1 1)]
Kutipan (11) di atas dicuplik dari pidato Presiden Habibie yang ditayangkan melalui media televisi pada tanggal 6 Juni 1999. Kutipan (11) adalah cuplikan sambutan presiders yang ditujukan kepada seluruh masyarakat Indonesia yang akan melaksanakan pemilu tanggal 7 Juni 1999. Dalam proses komunikasi ini, BJH sebagai pribadi yang mewakili institusi eksekutif untuk menyampaikan sesuatu, sementara itu seluruh masyarakat Indonesia tanpa kecuali adalah orang-orang yang "diberi" sesuatu itu. Apa yang disampaikan BJH antara lain berupa informasi, motivasi, dan evaluasi. Kata kerakyatan yang dipilih BJH selain menjalan peran sebagai "wadah informasi", kata tersebut juga berperan sebagai "penonjol identitas". Dalam kutipan (11) di atas, yang ingin disampaikan oleh BJH adalah informasi, motivasi, dan evaluasi terhadap pemilu yang akan berlangsung sebagai jalan untuk me-
14) Istilah Sasonomics dilontarkan oleh Ekky Syachrudin untuk memberikan nama kepada program ekonomi kerakyatan Adi Sasono (AS) meskipun AS sendiri dan Faisal Basri tidak menyetujui istilah tersebut Dalam pandangan AS, ekonomi kerakyatan adalah ekonomi partisipatif yang memberikan akses adil bagi seluruh lapisan masyarakat di dalam proses produksi, distribusi, dan konsumsi nasional, tanpa hares mengorbankan fungsi cumber daya alam dan lingkungan (dikutip dari Jawa Pos, 11-2-1999).
218 nyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, maim yang dipraanggapkan adalah bahwa "selama ini kedaulatan tidak berada di tangan rakyat, tetapi di tangan penguasa". Dengan menggunakan dua parameter yang sudah dipaparkan di muka, praanggapan kutipan (11) tersebut menjalankan fungsinya sebagai praanggapan yang sebenarnya. Perhatikan juga kutipan (12) berikut. Kutipan (12): BJH: [...] Apa yang telah terjadi? Memang, pesta demokrasi ini memang diatur, diawasi, dan saksinya adalah rakyat Indonesia. Kita harus pandai-pandai memberikan ketetapan kepada rakyat bahwa mereka itu tahu siapa sebenamya partaipartai itu. [Data 49.A.1(12)] Kutipan (12) di atas dicuplik dari hasil wawancara sejumlah wartawan senior Indonesia dengan Presiden B.J. Habibie. Topik yang diangkat adalah evaluasi satu tahun pemerintahan Habibie. Kutipan (12) adalah jawaban Habibie tentang peranan rakyat dalam pemilihan umum. Pilihan kata rakyat pada kutipan dapat memberikan pemahaman kepada kita akan strategisnya dan pentingnya rakyat di mata Presiden Habibie. Rakyat bukan semata-mata sebagai orang-orang yang nantinya melaksanakan pemilihan pars calon wakil rakyat. Lebih dari itu, rakyatlah yang menjadi saksi tentang berbagai hal yang berhubungan dengan pemilihan umum itu. Dalam pandangan Habibie, rakyat pada era reformasi ini sudah jauh lebih pintar, lebih kritis, dan lebih canggih daripada periodeperiode sebelumnya. Pada bagian lain, BJH juga memilih kata rakyat dalam hubungannya dengan ekonomi nasional, seperti pada kutipan (13) berikut. Kutipan (13): BJH: lm semua harus dilaksanakan oleh bangsa Indonesia, tanpa dipengaruhi oleh siapa pun juga. Di lain pihak, pemerintah itu harus mengambil kebijaksanaan-kebijaksanaan yang menguntungkan ekonomi nasional pada umumnya, khususnya rakyat. Rakyat itu mencerminkan pasar, pasar domestik. Rakyat di pasar domestik daya belinya belum semakmur seperti rakyat di Eropa atau Jepang [Data 49.A.1(13)]
219 Kata rakyat yang dipilih BJH pada kutipan (13) di atas memberikan pemahaman kepada kita betapa pentingnya rakyat untuk dilindungi 15. Dalam bidang perekonomian nasional, dalam pandangan BJH, rakyat belumlah dapat dikatakan memadai untuk menjalankan rods perekonomian. Rakyat Indonesia belumlah semakmur seperti masyarakat di Eropa atau Jepang yang tingkat perekonomiannya sudah tinggi. Peng)clasifikasian realitas sosial politik dengan menggunakan kata kerakyatan dapat ditemukan juga pada teks-teks kampanye. Dan 98 teks kampanye dan 48 partai peserta pemilu 1999, sebanyak 18 teks kampanye (18,4%) mendayagunakan kata kerakyatan sebagai alat mengklasifikasikan realitas sosial politik Indonesia. Partai-partai itu memandang bahwa salah satu penyebab kegagalan Orde Baru disebabkan tidak ditempatkannya rakyat sebagaimana mestinya. Dalam konteks pembangunan Indonesia, seharusnya rakyatlah yang menjadi subjek pembangunan, bukan sebagai objek pembangunan Perhatikan kutipan (14) berikut. Kutipan (14): PILAR: KesimpuIannya adalah, seperti yang saya katakan tadi„ partai ini namanya Partai. Pilihan Rakyat, yang didirilcan untuk kepentingan rakyat, yang asasnya asas kedaulatan rakyat dengan demikian karena rakyat seperti yang dikatakan oleh Ibu Santoso tadi itu seperti yang terbesar di Indonesia adalah wanita, maka Partai Pilihan Rakyat mempunyai perhatian yang besar terdapat wanita... [Data 39.A. 1 (14)]
Kutipan (14) dicuplik dari hasil wawancara antara wartawan Indosiar dengan sejumlah elit Partai Pilihan Rakyat (PILAR) dalam rangka kampanye dialogis pemilu 1999. Topik yang dikemiikakan adalah asas, tujuan, nisi, dan misi PILAR Dalam kutipan (14) terse15) Dalam pidato pelantikannya, 13.11-1 menyatakan bahwa ekonomi kerakyatan menjadi agenda utama Menurut BJH, pemerintah perlu menerapkan tatanan kebijakan ekonomi baru guna menggeser kebijakan ekonomi sebelumnya yang hanya memberikan keuntungan kepada segelintir orang dan berakibat pada ketimpangan. Adanya ketimpangan akan menimbulkan kecemburuan sosial yang dapat mengakibatkan kerusuhan dan penjarahan massal. Jika dibiarkan terus dapat menimbulkan perpecahan dan disintegrasi bangsa
220 but, kata rakyat yang dipilih memiliki kedudukan yang sangat strategis. Kata rakyat didayagunakan untuk nama partai, tujuan partai, dan asas partai. Dengan demikian, kata rakyat selain menjalankan peran sebagai "wadah informasi" semata-mata, kata rakyat juga menjalankan peran sebagai "penonjol identitas" kerakyatan yang melekat pada par-tai yang bersangkutan. e. Klasifikasi dengan Kata "Keimanan" Klasifikasi kelima yang perlu dikemukakan pada bagian ini adalah klasifikasi de ngan kata keimanan. Kata-kata yang sering digunakan dalam klasifikasi ini, antara lain akhlakulkarimah, firman Allah, akhlak, dan iman. Klasifikasi ini banyak dipilih oleh partai-partai politik yang berasaskan agama. Perhatikan kutipan (15) berikut. PNU: [...] Dengan rahmat Allah swt beserta inayah-nya di negara Republik Indonesia yang kita cintai telah terjadi perubahan yang mendasar. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt di dalam Al-qufan ....'sesungguluiya Allah tidak mengubah nasib suatu bangsa sehingga bangsa itu tidak mengadakan reformasi dalam din mereka sendiri'. Hal itu berarti sunatullah telah berlaku di negara Republik Indonesia. Oleh sebab itu kami umat Islam dari aliran ahli sunnah Ival jamaah yang merupakan bagian dari kebhinekaan bangsa Indonesia dan merupakan dari bagian dari kemajemukan bangsa Indonesia turut bertanggung jawab di dalam ikut menyelamatkan bangsa ini di dalam menjalankan pembangunan itu. [Data 25. A.1(15)] Kutipan (15) dicuplik dari teks kampanye monologis Partai Nandlatul Ummat (PNU) dalam rangka pemilu 1999. Topik yang dikemukakan adalah visi dan misi PNU. Dalam kutipan (15) tersebut, terdapat kata-kata kunci yang mencerminkan posisi penuturnya, yakni kata-kata rahmat Allah, inayah, firman Allah, dan sunatullah. Dengan demikian, katakata yang berkaitan dengan keimanan itu selain menjalankan peran sebagai "wadah informasi", kata tersebut juga bet peran sebagai "penonjol identitas" dari penuturnya. Terda pat fenomena yang menarik, yakni dikaitkannya konsep reformasi dengan firman Allah dan sunatullah. Reformasi dipandang dari dimensi "tangan sang Pencipta".
221 Klasifikasi dengan kata keimanan selanjutnya dapat diperhatikan pada kutipan (16) berikut. Kutipan (16): PDKB: [...] Salam kasih.... Alasan pertama, alasan objektif faktual, yaitu selama 32 tahun Orde Baru diliputi berbagai pelanggaran, terjadi penderitaan, telah terjadi praktik KKN...Dengan demikian berakhirlah masa 32 tahun Orde Baru tanpa kasih. Alasan kedua adalah alasan filosofis konseptual. PDKB meyakini karena kasihnya manusia diciptakan oleh Allah sesuai dengan fitrahnya. Oleh karena itu manusia merupakan ciptaan Allah yang termulia dan dikaruniai oleh kodrat dan harkat yang sama dalam wujud hak asasi manusia. Atas dasar keyakinan itulah visi PDKB adalah kasih, yaitu kasih demi bangsa. Visi merupakan cara pandang, merupakan motivasi yang mendorong pemikiran dan seluruh perjuangan politik PDKB. Dengan demikian, PDKB merupakan partai politik yang terbuka, tanpa mempermasalahkan suku, agama, atau golongan mewujudkan kasih di tengah-tengah kehidupan masyarakat dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. [Data 14.A.1(16)] Kutipan (16) dicuplik dan teks kampanye monologis Partai Demokrasi Kasih Bangsa (PDKB) dalam rangka pemilu tahun 1999. Topik yang dikemukakan adalah visi dan misi PDKB. Dalam kutipan (16) tersebut terdapat kata-kata kunci yang mencerminkan posisi penutur atau penghasil teksnya, yakni kata-kata kasih, Allah, dan kasih demi bangsa. Dengan demikian, kata-kata yang berkaitan dengan keimanan itu selain menjalankan peran sebagai "wadah informasi", kata tersebut jugs berperan sebagai "penonjol identitas" dari penuturnya, yakni partai politik terbuka yang gerak politiknya berlandaskan "kekatolikan". Senada dengan kutipan (15), dalam kutipan (16) terdapat fenomena menarik yakni dikaitkannya konsep keruntuhan Orde Baru dengan konsep kasih. Keruntuhan Orde Baru dipandang dan dimensi "tangan sang Pencipta". 4.1.1.2 Kata-kata yang Diperjuangkan secara Ideologis Pertanyaan kedua yang dilontarkan Fai rcl o ugh (1989:110) berkaitan dengan nil ai pengalaman kosakata adalah "adakah kata-kata yang diperjuangkan secara Ideologis". Kata yang diperjuangkan adalah kata-kata yang diusahakan ditanamkan atau dinaturali-
222sasikan ke dalam pikiran individu masyarakat sasaran melalui berbagai aktivitas agar kata-kata tertentu itu menjadi bagian dari kehidupan individu dan masyarakat itu dan katakata itu dipercayai sebagai sesuatu yang "penting" bagi kehidupannya. Dalam konteks politik Indonesia, banyak kosakata yang diperjuangkan oleh individu atau institusi agar menjadi bagian kehidupan individu atau institusi lain itu. Pemilik kosakata tertentu cenderung menaturalisasikan kosakata itu kepada pihak lain. Perjuangan menaturalisasikan kosakata tertentu itu dilakukan melalui berbagai macam sarana, seperti: wawancara, kampanye melalui televisi, kampanye langsung di lapangan terbuka, pidato-pidato tertentu, slogan-slogan, dan sebagainya. Pada tabel 4.3 berikut ditampilkan sejumlah kosakata yang diperjuangkan secara ideologis melalui berbagai metode penaturalisasian. Tabel 4.3 Kata-Kata yang Diperjaangkan secara Ideologis dalam Teks-Teks Kampanye Partai Politik Peserta Pemilu Tahun 1999 No Nama
Kosakata
Tempat Kosakata
I. PIB
moral, alchlak, budi pekerti
Dengan memilih dan memenangkan slogan partai PIB kits tingkatkan moral, Add* & budi pekerti bangsa Indonesia Indonesia barn yang madani, visi partai nasionalis, dan religius.
Indonesia Baru, madani
KRISNA umat Kristen bangsa 3. PNI
marhaenisme cita-cita prokiamasi NKRI rakyat
PADI
rakyat Bank Petani
Memperjuanglcan aspirasi umat Kristen sebagai bangsa Indonesia Memajukan bangsa
Keteringan
tujuan partai vjs partai
Marhaenisme asas partai Mewujudkancita-cita Proklamasi tujuan perjuangan 17 Agustus 1945, menegakkan, membela, dan mengisi kemerdekaan NKRI Memperjuangican terlaksananya tujuan paijuangan kejahteraan rakyat Rakyat berdnulat negara selamat Membentuk Bank Petani
motto partai tujuan perjuangan
223 Lanjutan Tabel 4.3 asas partai motto partai kata panting
pekik partai asas partai kata kunci kata kunci
misi partai jatidiri partai jatidiri partai jatidiri partai
tujuan partai asas partai komitmen partai
simbol partai asas partai tekad partai
semboyan partai semboyan partai
motto partai slogan partai program utama slogan partai tujuan partai motto partzi
jargon partai pilar partai
5.
KAMI
Al-quran, hadits suara rakyat, suara Tuhan angka lima
6.
PIA
Allahuakbar Islam pluralitas kedaulatan rakyat, kedaulatan Allah
7.
PKU
masyarakat Islami ahlu sunnah waljamaah kebangsaan NU
Al-quran dan Hadits nabi Suara rakyat hares berpedoman pada suara Tuhan Angka lima simbol kemenangan bangsa Indonesia
Allahuakbar Keislaman Pengakuan akan pluralitas Kedaulatan rakyat sebagai mathfestasi kedaulatan Allah Membangun masyarakat Islami yang plural Akidah Islam ahhisunnah waljamaah Berwawasan kebangsaan Menurut visi politik pendiri NU
8.
PMB
kaum yang Iemah Islam bangsa
9.
PPP
ka'bah Islam Indonesia baru
10.
PSII
tauhid ilmu pengetahuan, siasah
Sebersih-bersih tauhid Setinggi-tinggi ilmu pengetahuan dan siasah (politik)
11.
PDI-P
perjuangan pro-Mega pemulihan
Perjuangan kits sudah bulat ProMega Pemulihan kepercayaan
12.
PAY
miskin pengentasan kemiskinan anak yatim, orang miskin
13.
PKM
persaudaraan sembilan pilar
Menguatkan kaum yang lemab Keislaman Persatuan dan kesatuan bangsa
Tandy [(sash lambang kemenangan Keislaman Indonesia baru dengan pemerataan dan keadilan
Abulyatarna adalah partai orang miskin Pengentasan kemiskinan Ingat anak yatim & orang miskin, ingat Abulyatama Pemulihan persaudaraan sejati Sembilan pilar (Islam, Budha, Hindu, Katolik,- Kristen, Kekaryaan Kerabat, Penghayat Kepercayaan, dan Perempuan)
224 Lanjutan Tabel 4.4 14.
PDKB
kasih hak asasi manusia demokrasi lingkungan hidup
Kasih demi bangsa Penegakan hak asasi manusia Penegakan demokrasi Penegakan lingkungan hidup
15.
PAN
reformasi KKN status quo demokrasi, moral agama, kemajemukan
Reformasi kata kunci KKN kata kunci Mengakhiri status quo kata kunci Demokrasi berlandaskan moral visi partai agama, kemanusiaan, & kemajemukan
16.
PRD
orde rakyat sosial demokrasi kerakyatan
Hidup orde rakyat Sosial demokrasi kerakyatan
pekik partai asas partai
17.
PSII-1905 akhlak tauhid ilmu siasah
Akhlakul karimah Sebersih-bersih tauhid Setinggi-tinggi ilmu Sepandai-pandai siasah
pegangan partai doktrin partai doktrin partai doktrin partai
18.
PKD
Kesejahteraan umum adalah hukum tertinggi Justice, equality, empowerment, peace (JEEP)
motto partai
Kembalikan kedaulatan ke tangan rakyat Program pemulihan bangsa
motto partai
Membentuk Indonesia barn dengan masa depan baru Penegakan sistem hukum PARI partainya seluruh rakyat Indonesia
tujuan partai
kesejahteraan umum justice. equality, empowerment. peace
19.
PILAR
rakyat pemulihan
20.
PARI
Indonesia baru penegakan sistem rakyat
21.
PPIIM
ajaran Islam Islam ibadah
22.
PBB
Masyumi pilihan langsung ekonomi tanpa bunga
semboyan partai pilar partai pilar partai pilar partai
visi partai
program partai
program partai slogan partai
Mewujudkan ajaran dan hukum tujuan partai Islam dalam kehidupan individu, masyarakat, serta negara "flak ada alasan untuk fobia terha- slogan partai clap Islam Memilih partai adalah ibadali kata kmci Masyumi sebagai semangat Pilihan presider secara langsung Sistem ekonomi tanpa bunga
slogan partai program partai program partai
225 Lanjutan Tabel 4.3 23.
PSP
merpati putih
Merpati putih tak pemah ingkar _lank Menghapus diskriminasi Memperluas peluang kerja
slogan partai
semboyan partai
nilai keadilan keadilan
Saatnyalah ulama menjadi pemimpin Penegakan nilai-nilai keadilan Keadilan membuka jalan bagi nilai-nilai kebenaran, kebaikan, ketakwaan, dan kebahagiaan
Islam ahlisunnah waljamaah akhlak reformasi akhlak
Islam ahlisunnah waljamaah Akhlakul karimah Reformasi moral/akhlak
asas partai landasan kerja program partai
Marhaen! Marhaenisme dan Pancasila Mengentas kemiskinan Masyarakat adil dan makmur
pekik partai landasan partai program partai tujuan partai
anti diskriminasi memperluas kerja 24.
PK
ulama sebagai pemimpin
tekad partai tekad partai
makna simbol slogan partai
25.
PNU
26.
PM-FM marhaen marhanism, Pancasila kemiskinan adil dan makmur
27.
IPKI
merdeka, Pancasila otonomi dwifungsi rakyat partai masa depan
Merdeka, Pancasila! Otonomi daerah di tingkat Il Dwifungsi rakyat Partai massa depan dengan masa lalu tanpa cacat
partai program partai program partai slogan partai
28.
PR
NKRI nilai budaya social justice
Menegakkan NKRI Penanaman nilai budaya Ekonomi yang berorientni pads
tekad partai program partai program partai
social justice
29.
PID
ashadu hubalillah Islam akhlak
30.
PNI-MM Bung Kamo
marhaenisme
Pilihlah partai yang didirikan Bung Karno atau tidak sama sekali Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat Ini marhaenisme ash
MURBA sosial demokrat rakyat melawan ketidakadilan memerangi kemiskinan
Sosial demokrat yang beragama Membela kepentingan rakyat Melawan ketidakadilan Memerangi kemiskinan
rakyat
31.
PID, ashadu hubalillah Keislaman Akhlakul karimah
pekik partai asas partai landasan kerja kata-kata kunci tujuan partai slogan partai asas partai garis partai garis partai garis partai
226 Lanjutan Tabel 4.3 32. PDI
merdeka otonomi daerah pendidikan keadilan, persatuan
Merdeka, PDI! Otonomi daerah yang seluasluasnya Penaikan anggaran pendidikan Keadilan dan persatuan
pekik partai program partai program partai kata lainci
33.
Golkar
Golkar barn pro reformasi
Golkar baru bersatu untuk maju slogan partai Golkar barn proreformasi yang slogan partai bertahap dan tidak radikal revolusioner Partai Golkar adalah Golkar baru slogan partai
34.
PP
SDM yang berilmu
Menyiapkan SDM yang berilmu, punya motivasi tinggi, kreatit dan memiliki kemampuan yang tepat Keislaman yang terbuka Melindungi hak-hak perempuan Bintang adalah lambang kesucian tertinggi
Islam hak-hak perempuan bintang
35.
36.
37.
PKB
PUDI
PBN
kebenaran
tujuan partai asas partai program partai makna simbol
kebangkitan
PKB membela yang benar Nilai kebenaran Era kebangkitan bangsa
slogan partai kosakata utama strategi politik
demokratis religius kedaulatan rakyat kedaulatan Tuhan tujuh pilar refonnasi
Demokratis religius Kedaulatan rakyat harus mengakui kedaulatan Tuhan Tujuh pilar reformasi
asas partai landasan partai
buruh UMR
Buruh adalah tuan adagium partai UMR berdasarkan kebutuhan hidup agenda partai layak, bukan kebutuhan fisik minimum Anti ekonomi biaya tinggi agenda partai
anti ekonomi biaya tinggi
int; perjuangan
38.
P-MKGR merdeka kebangsaan-kerakyatan, kemanusiaan, moralitas
Merdeka! pekik partai 1Cebangsaan-kerakyatan, kemanu- acas MKGR siaan, moralitas
39.
PDR
Hidup daulat rakyat Pekenaan untuk rakyat adalah daulat rakyat Buruh perkasa adalah daulat rakyat Pemberdayaan ekonomi rakyat Iman, ilmu, dan amal
40.
PCD
daulat rakyat ekonomi rakyat imari„ ilmu, amal
cinta damai tarekat anti-KKN menyelamatkan bangsa
Salam cinta damai Pendekatan tarekat Anti-KKN Menyelamatkan bangsa Indonesia dan kehancuran
pekik partai slogan partai slogan partai program partai dasar penuangan
pekik partai strategi partai kosakata penting misi partai
227 Lanjutan Tabel 4.3 41. PKP
menyelamatkan bangsa Indonesia baru status quo keadilan
4 2 . P-SPSI solidaritas salam solidaritas
Berjuang mennyetamatkan bangsa Berjuang mewujudkan Indonesia
program partai tujuan partai
baru Keadilan
tujuan partai tujuan partai jatidiri partai
Solidaritas pekerja Salam solidaritas untuk seluruh
visi partai pekik partai
Berjuang mengakhiri status quo melalui pemilu
bangsa Indonesia
43.
PNBI
demokrasi NKRI yang kuat, bersih, bebas KKN
Demokrasi
budaya persatuan dan kesatuan
Budaya nasional Menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan Mengutamakan bangsa dan negara
visi partai slogan partai
Panggilan nurani kemanusiaan adalah idealisme Nilai-nilai suci kemanusiaan
slogan partai
Kebhinekaan
kata penting
bangsa dan negara 44.
PBI
kemanusiaan kebhinekaan
45. SUNI
46. PND
Pancasila Proklamasi 1945 Islam ahlusunnah waljamaah Al-quran, Surlah Rasul merdeka
demokrat nasionalis kebangsaan, demokrasi, keadilan 47. PUM1
Allah Islam penegakan hukum pemulihan ekonomi
48. PPI
pekerja reformasi total
Mewujudkan NKRI yang kuat,
platform partai misi partai
bersih, bebas KKN
slogan partai
kata penting
Paricasila Seta kepada Proldamasi 1945
asas partai garis partai Islam ahlusunnah waljama'ah jatidiri partai Al-quran dan Sunnah Rasulullah pegangan partai
Merdeka! Nasional satu, demokrat jaya Menghimpun kekuatan nasionalis Kebangsaan, demokrasi, dan keadilan
salam nasional salam partai tujuan partai . prinsip partat
Allahu akbar, Pl.JM1 jaya! pekikpartai Keislaman asas partai Penegakan hukum dan pemulihan program partai ekonomi
Tiada hari tanpa pekerja, tiada motto partai pembangunan tanpa pekerja Reformasi total merupakan mo tema perjuangan mentum bagi para pekerja unkuk ikut menentukan arah perjuangan politik
Dari tabel 4.3 di alas dapat diperoleh tiga catatan penting sebagai berikut. Pertama, setiap partai politik peserta pemilu memiliki keberagaman kosakata melalui tema-tema yang
228 ingin diperjuangkannya. Tema-tema yang diperjuangkan pada umumnya relatif mudah dapat dikenali dari nama dan asas partainya meskipun tidak seluruhnya. Partai yang berasaskan agama, misalnya, memiliki karakteristik yang membedakannya dengan partai yang berasaskan nasionalisme. Kedua, terdapat berbagai macam sarana dan wahana yang mewadahi tema-tema yang diperjuangkannya itu. Sarana-sarana itu antara lain slogan partai, asas partai, program partai, simbol partai, dan nomor partai. Ketiga, terdapat berbagai metode dalam penaluralisasian tema-tema tertentu kepada masyarakat leas. Metode-metode panaturalisasian itu antara lain kampanye monologis di lapangan terbuka, kampanye dialogis di gedung-gedung tertentu, kampanye monologis melalui media elektronik, kampanye dialogis melalui media elektronik, kampanye melalui pendirian pos-pos komando (posko), kampanye melalui acara keagamaan, kampanye melalui ikian di media massa, kampanye melalui kain rentang, baliho, dan kaos. Dan tiga catatan tersebut, catatan pertama selanjutnya dijabarkan secara lebih jauh karena relevan dengan topik penelitian ini. Kosakata yang diperjnanOcati oleh partai-partai politik pesexta pemilu amat bergantung pada asas partai yang dianut oleh partai yang bersangkutan. Dengan demikian ada hubungan yang erat antara asas partai dengan kosakata yang diperjuangkan secara ideologis itu. Secara ideologis, dari 48 partai politik peserta pemilu tahun 1999 dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok besar, yakni (1) partai politik yang berasaskan agama, (2) partai politik yang berasaskan nasionalisme, (3) partai politik yang berasaskan nasionalisme-agama_ Kelompok pertama adalah partai-partai politik yang secara eksplisit mencantumkan Islam sebagai asas partainva. Kelomnok kedua adalah eartaipartai politik yang mencantumkan Pancasila sebagai asas partainya. Kelompok ketiga adalah partaipartai yang juga mencantumkan Pancasila sebagai asas partai dart mempetjuangkan peran
229 ajaran-ajaran agama dalam mewarnai gerak kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketiga kelompok partai tersebut dapat diperiksa pada tabel 4.4 berikut. Tabel 4.4 Tiga Kelompok Partai Politik Ditinjau dari Asas Partai No.
Nama
Asas
1.
KAMI, PUI, PKU, PMB, PPP, PSII, PSII-05, PPIIM, PBB, PK, PNU, PP
agama
2.
PNI, PADI, PDI-P, PAY, PKM, PRD, PILAR, PARI, PSP, PNI-FM, IPKI, PR, PNI-MM, MURBA, PDI, PG, PUDI, PBN, P-MKGR, PDR, PKP, P-SPSI, PNBI, P131, PND, PPI
nasionalisme
3.
PIB, KRISNA, PDKB, PAN, PK"), PII), PKB, PCD, SUNI, PUMI
nasionalisme-agama
a. Kosakata yang Diperjuangkan Partai yang Berasaskan Agama Dalam penelitian ini, yang dimaksudkan "partai agama" adalah partai politik peserta pemilu tahun 1999 yang mencantumkan asas partainya dengan agama tertentu secara eksplisit. Partai politik kelompok pertama tersebut semuanya mencantumkan "Islam" sebagai asas partainya dengan mencita-citakan masa depan Indonesia yang berlandaskan ajaran-ajaran Islam dalam pelaksanaan kegiatan berbangsa dan bernegara. Beberapa catatan penting yang dapat dikemukakan dipaparkan sebagai berikut. Pertama, kelompok partai ini menonjolkan atribut keislaman dalam aktivitas partainya. Pada umumnya, partai-partai ini menggunakan lambang partai yang beratributkan keisiaman, Lambang partai-partai politik kelompok pertama ini didominasi oleh lambang "bulan" dan "bintang" dengan berbagai variasinya, kemudian diikuti oleh lambang "ka'bah" dan
230 "matahari". Dalam mengawali teks kampanyenya, partai-partai tersebut sering mengucapkan bacaan Allaahu akbar, baik dalam kampanye monologis maupun dialogis. Selain itu, partai-partai tersebut membuka teks kampanye dengan model ceramah agama Islam dan selalu mengutip ayat-ayat suci Al-Quran untuk berbagai tujuan. Kedua, memandang krisis besar yang melanda bangsa Indonesia bersumber pada pelecehan nilai-nilai agama Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ajaran agama sudah tidak lagi menjadi sumber nilai yang membimbing aktivitas sosial-ekonomi, sosial-politik, dan sosial-budaya. Krisis yang terjadi bersumber pada krisis akhlak atau moral, bukan pada krisis yang lain. Manusia-manusia yang menjalankan pemerintahan di Indonesia sudah tidak mengindahkan ajaran-ajaran agama, khususnya agama Islam. Oleh karena itu, ajaran agama yang bersumber dari firrnan-firman Tuhan dipandang sebagai solusi terbaik untuk mengatasi krisis yang terjadi di Indonesia. Ketiga, model masa depan Indonesia yang diidam-idamkan adalah model masyarakat Islam pada zaman Nabi Muhammad. Sesuai dengan Perjanjian Madinah, umat Islam yang jumlahnya paling besar di Indonesia haruslah memegang kekuasaan negara dengan menjalankan syariat Islam yang ada. Sementara itu, terhadap kaum yang minoritas, umat Islam yang jumlahnya paling besar itu haruslah melindungi hak-hak mereka dan tidak boleh menginjak-injak hak mereka itu. Dalam pandangan Islam, agama Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. Agama Islam bukan hanya rahmat bagi orang Islam raja. Keempat, dalam konteks keindonesiaan, partai-partai kelompok pertama tersebut menghargai "pluralitas". Indonesia yang dibangun ciari berbagai latar belakang suku, aeama, ras, dan golongan haruslah dipelihara sebaik-baiknya. Keberagaman itu sebagai kehendak Tuhan yang tidak boleh dimatikan Partai-partai yang berasaskan agama Islam
231 tersebut tetap mengakui pemeluk agama lain untuk tetap menjalan syariat menurut ajaran agama yang dianutnya itu. Sesuai dengan asas partai yang dianut, partai-partai politik kelompok pertama ini memperjuangkan kosakata yang berhubungan dengan keislaman dalam berbagai aktivitas politiknya. Berbagai kosakata yang dipeijuangkan secara ideologic dan penjelasan terhadap penggunaan kata yang bersangkutan dalam wacana politik pada era pasca-Orde Baru seianjutnya dapat diperhatikan pada tabel 4.5 berikut. Tabel 4.5 Kosakata yang Diperjuangkan oleh Partai Politik yang Berasaskan Agama No. Kosakata
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
masyarakat Islam ajaran Islam rahmatan lil alamin peningkatan iman alhamdulillah suara Tuhan atas rahmat Allah firman Allah ayat-ayat suci sunatullah Piagam Madinah
12. 13. 14.
akhlakul karimah reformasi akhlak Al-quran dan hadits
15.
sunah Rasul
16.
pendidikan watak
17.
pendidikan agama
18.
teladan Rasulullah
Keterangan 'masyarakat ideal seperti yang terjadi pada zaman nabi' 'ajaran yang berlandaskan pada Al-quran dan hadits nabi' 'rahmat bagi seluruh alam, bukan hanya umat Islam' 'bertambahnya rasa percaya pada Allah sang pencipta' 'segala puji bagi Allah' 'suara sang Pencipta yang dituangkan dalam kitab suci' 'atas kasih dari sang Pencipta' 'suara sang Pencipta yang terdapat dalam kitab suci' 'suara Allah yang tidak diragukan lagi kebenarannya' 'sesuai dengan kehendak atau yang digariskan Allah' Peijanjian pengaturan hak dan kewajiban dalam rangka kehidupan bermasyarakat/bernegara pada masyarakat Madinah yang plural pada zaman Nabi Muhammad' 'moral yang baik sesuai dengan ajaran agama' 'perubahan secara mendasar pada moral manusia' 'dua pegangan utama bagi umat Islam agar selamat di dunia sampai di akhirat' 'ajaran-ajaran Nabi Muhammad yang terpaparkan di dalam al-hadits' 'pendidikan pengembangan kepribadian atas dasar ajar-an agama' 'pendidikan untuk pengembangan pemahaman, keterampilan, dan sikap terhadap agama Islam' 'contoh-contoh baik dari Nabi Muhammad dalam kehidupan pribadi, sosial, dan bernegara'
232 b. Kosakata yang Diperjuangkan Partai yang Berasaskan Nasionalisme Dalam penelitian ini, yang dimaksudkan partai nasionalisme adalah partai politik peserta pemilu tahun 1999 yang mencantumkan asas Pancasila seperti yang tercantum dalam dasar negara Indonesia. Partai-partai ini memiliki keberagaman latar belakang yang beragam. Paling tidak terdapat empat latar belakang partai-partai kelompok kedua ini. Pertama, partai yang dibangun dengan menonjolkan dimensi kemasyarakatan Indonesia, terutama masyarakat kelompok bawah yang mayoritas miskin. Yang dapat dike lompokkan ke dalam partai ini antara lain PNI, PNI-FM, dan PM-MM. Kedua, partai yang dibangun dengan menonjolkan dimensi kelompok masyarakat tertentu yang hakhaknya memang perlu diperjuangkan. Yang dapat dikelompokkan ke dalam partai ini antara lain PAY, PSP, PBN, Partai SPS1, PBI, PDR, dan PPI. Ketiga, partai yang dibangun dengan menonjolkan dimensi demokratisasi yang harus diperjuangkan dalam konteks sistem politik Indonesia. Yang dapat dikelompokkan ke dalam partai ini antara lain PADI, PRD, PILAR, PARI, PR, MURBA, PDI-P, PDI, PUDI, dan PND. Keempat, partai yang menonjolkan dimensi kebangsaan-kekaryaan yang hams diperjuangkan karena nilai kebangsaan sudah mulai terkikis. Yang dapat dikelompokkan ke dalam partai ini antara lain PG, PKM, IPKI, Partai MKGR, dan PKP. Partai-partai kelompok kedua ini mempeijuangkan nasionalisme Indonesia atas dasar kemajemukan yang membentuk Indonesia. Indonesia yang dicita-citakan haruslah berdiri di atas kemajemukan itu. Sesuai dengan pengelompokan partai yang berasaskan nasionalisme atas dasar latar belakang partai yang sudah Oipapackan di atas, beberapa catatan penting berkaitan dengan kosakata yang diperjuangkan oleh partai politik kelompok kedua ini dapat dikemukakan sebagai berikut.
233 Pertama, partai-partai yang menonjolkan dimensi sosial kemasyarakatan Indonesia memperjuangkan kata marhaen dan marhaenisme melalui semboyan yang sangat terkenal dari penemunya Soekarno, yakni marhaenisme is Pancasila. Pembangunan Indonesia yang dilaksanakan pada hakikatnya diperuntukkan bagi para marhaen itu. Tentang krisis yang terjadi di Indonesia sekarang, partai partai ini memandang bahwa krisis yang terjadi lebih banyak disebabkan ketidakkonsistenan para pelaksana pemerintahan--dalam hal ini pemerintahan Orde Baru—terhadap pelaksanaan Pancasila. Cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 yang mengamanatkan kedaulatan ada di tangan rakyat dan pemihakan kepada mayoritas masyarakat Indonesia yang miskin banyak diselewengkan oleh Orde Baru. Kedua, partai-partai yang menonjolkan dimensi kelompok masyarakat tertentu menampilkan tema-tema perjuangan melalui kosakata yang cukup beragam, antara lain anak yatim, orang miskin, pekerja atau buruh, kelompok minoritas, dan kelompok yang tertindas. PAY sesuai dengan namanya menonjolkan kosakata anak yatim dan orang miskin" Slogannya yang terkenal Abulyatama adalah partai orang miskin atau moto partai ingat anak yatim, ingat Abulyatama; ingat orang miskin, ingat Abulyatama sering dinaturalisasikan melalui berbagai aktivitas politiknya. PSP, PBN, P-SPSI, dan PPI yang berlatar belakang dunia perburuhan. Kosakata yang diperjuangkannya berkaitan dengan hak-hak kaum buruh atau pekerja yang selama ini termarginalkan oleh proses industrialisasi. Kosakata yang diangkat memiliki keberagaman nuansa, dari yang paling moderat sarnpai yang cukup radikal. Kosakata yang moderat antara lain menghapus diskriminast, solidaritas pekerja, tiada hari tanpa pekerja, dan dada pembangunan tanpa pekerja. Sementara itu, kosakata tertentu digunakan dalam ekspresi yang cukup radikal antara lain kata buruh dalam ungkapan buruh adalah than dan kata ekonomi
234 dalam ungkapan anti ekonomi biaya tinggi. PBI yang lahir dari latar belakang marginalisasi kelompok etnis Tionghoa di Indonesia mengangkat kosakata kebhinekaan. Dalam pandangan PBI, Indonesia ba' haruslah dibangun dari nilai-nilai suci kemanusiaan bukan dari nilai-nilai dominasi kelompok tertentu. Yang terakhir, PDR yang lahir dari latar belakang kelompok LSIvt yang bergerak dalam pemberdayaan rakyat kecil mengangkat kosakata melalui tema-tema yang berhubungan dengan pemberdayaan ekonomi rakyat. Ketiga, partai-partai yang menonjolkan dimensi demokratisasi menampilkan kosakata melalui tema-tema yang berkaitan dengan kedaulatan rakyat dengan pelbagai variasinya dalam semboyan, motto, dan program partai di satu pihak dan tema-tema yang lebih beragam di pihak lain_ Tema kedaulatan rakyat ditampilkan oleh PADI, PRD, PILAR, MURBA, PUDI, dan PND. PADI, misalnya, memperjuangkan kosakata melalui motto partai rakyat berdaulat, negara selamat. PRD menerjemahkan kedaulatan rakyat tersebut dalam assay partainya, yakni sosial demokrasi kerakyatan. PILAR menampilkan motto partainya yang cukup terkenal, yakni kembalikan kedaulatan ke tangan rakyat. MURBA menampilkan asas partainya, yakni sosial demokrat yang beragama yang mirip dengan asas PUDI, yakni demokrat religius. PND menampilkan salam partainya yang terkenal, yakni nasional satu, demokrat jaya. Kosakata yang diperj uangkan yang lebih beragam ditampilkan oleh PART, PR., PDI-P, dan PDI. PARI memperjuangkan kosakata Indonesia baru dalam tema membentuk Indonesia barn dengan masa depan baru. PR mempeajuangkan kosakata NKRI melalui terra menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keprihatinannya terhadap persoalan disintegrasi bangsa. PDI-P memperjuangkan tema pemulihan kepercayaan dan motto partai yang lebih
235 simbolis, yakni perjuangan kita sudah bulat. Yang terakhir, PDI memperjuangkan tema keadilan dan persatuan. Keempat, partai-partai yang menonjolkan dimensi kebangsaan-kekaryaan menampilkan tema-tema yang cukup beragam. PKM memperjuangkan kosakata persaudaraan melalui tema pemulihan persaudaraan sejati dengan landasan sembilan pilar-nya. IPKI memperjuangkan kosakata partai masa depan melalui slogannya yang terkanal partai masa depan dengan masa lain tanpa cacat dengan landasan konsep dwifungsi rakyat. PG memperjuangkan kosakata paradigma barn. Slogan-slogan Golkar yang terkenal Golkar baru bersatu untuk maju dan Partai Golkar adalah Golkar baru selalu muncul dalam setiap aktivitas partainya. Partai MKGR memperjuangkan kosakata dalam tematema kebangsaan-kerakyatan, kemanusiaan, dan moralitas. PKP memperjuangkan kosakata mengakhiri status quo melalui ungkapan "berjuang mengakhiri status quo melalui pemilu dengan landasan keadilan." c. Kosakata yang Diperjuangkan Partai yang Berasaskan Nasionalisme-Agama Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan partai nasionalisme-agama adalah partai politik peserta pemilu tahun 1999 yang memiliki latar belakang institusi keagamaan tertentu, tetapi tidak mencantumkan agama tertentu sebagai asas partai_ Mereka itu pada umumnya berasaskan Pancasila. Partai-partai ini memanfaatkan hubungan emosional pemeluk agama tertentu dengan partai politiknya meskipun garis partainya tetap benvajahkan nasionalisme. Secara garis besar partai-partai ini memiliki latar belakang yang berbeda. Pertama, partai-partai yam', berlatar belakang komunitas Islam dan membidik pemilih yang beragama Islam sebagai sasaran pemilihnya. Yang ten -nasuk partai ini adalah PIB, PAN, PID, PKB, PCD, SUNI, dan PUMI. Kedua, partai yang berlatar be -
236 lakang komunitas Kristen dan membidik pemilih yang beragama Kristen sebagai sasaran pemilihnya. Yang termasuk ke dalam partai ini adalah Partai KRISNA. Ketiga, partai yang berlatar belakang komunitas Katolik dan membidik pemilih yang beragama Katolik sebagai sasaran pemilihnya. Yang termasuk ke dalam partai ini adalah PDKB dan PKD. Partai-partai kelompok ketiga ink memperjuangkan tema-tema yang sangat beragam sesuai dengan pengelompokan di atas. Partai-partai yang berlatar belakang komunitas Islam juga memperjuangkan kosakata yang bertema akhlak dengan penekanan pada subsubtema tertentu.
memperjuangkan tema Indonesia baru yang madani, nasionalis,
dan religius. PIB berkeinginan meningkatkan moral, akhlak, dan budi pekerti bangsa Indonesia. PAN memperjuangkan tema reformasi dan demokrasi berlandaskan moral agama, kemanusiaan, dan kemajemukan. PID memperjuangkan tema akhlakul ka rimah dan pekik partainya yang terkenal "PID, ashadu hubalillah". PKB rnemperj uangkan kata kebangkitan dalam ungkapan era kebangkitan bangsa dan slogannya yang terkenal PKB membela yang benar. PCD memperjuangkan kata-kata melalui tema menyelamatkan bangsa Indonesia dari kehancuran dengan pendekatan tarekat-nya. Partai SUM memperjuangkan tema setia kepada Proklamasi 17 Agustus 1945 dengan berlandaskan Al-quran dan Sunnah Rasulullah. PUMI memperjuangkan kata Islam melalui tema-tema penegakan hukum dan pemulihan ekonomi yang berlandaskan asas keisiaman. Kedua, partai politik yang berlatar belakang komunitas Kristen dan membidik beragama Kristen sebagai basis pemilihnya, yakni Partai KRISNA, inemperj angkan kata Kristen melalui tema memperjuangkan aspirasi umat Kristen sebagai bangsa Indonesia. Dalam pandangan KRISNA, selama ini pemeluk Kristen belum
237 menjadi bangsa Indonesia dalam pengertian yang sebenar-benarnya dan belum memperoleh hakhak yang semestinya sebagai bangsa Indonesia. Ketiga, partai politik yang berlatar belakang komunitas Katolik dan membidik pemilih beragama Katolik sebagai basis pemilihnya menampilkan tema kasih dan kesejahteraan umum. PDKB memperjuangkan kata kasih melalui tema-tema penegakan HAM, demokrasi, dan lingkungan hidup" yang berlandaskan pada motto kasih demi bangsa. PKD memperjuangkan kata JEEP melalui ungkapan JEEP: just ice, equality, empowerment, peace yang berlandaskan pada motto kesejahteraan umum adalah hukum tertinggi. 4.1.1.3 Proses-Proses Leksikal Seperti sudah dipaparkan pada bab II sebelumnya, istilah "proses leksikal" digunakan Fowler (1985; 1986) yang mengacu pada 'proses memilih kosakata sebagai salah satu komponen pembentuk wacana oleh kelompok sosial tertentu yang merefleksikan dan mengekspresikan kepentingan kelompok tertentu itu'. Terdapat tiga bentuk proses leksikal, yakni (1) leksikalisasi, (2) kelebihan leksikal, dan (3) kekurangan leksikal. Sementara itu, Fairclough (1989; 1995) menggunakan istilah "pengataan" (wording) yang sejajar dengan istilah leksikalisasi. Terdapat dua bentuk "pengataan", yakni "pengataan kembali" (rewording) dan "kelebihan kata" (overwording). Tujuan kajian terhadap proses-proses leksikal pada wacana politik era pasca-Orde Baru adalah untuk memperoleh gambaran dan pemaharnan yang komprehensif tentane pendayagunaan berbagai kosakata yang menjadi karakteristik wacana politik era pascaOrde Baru yang membedakannya dengan era sebelumnya. Seiring dengan turunnya pemerintahan Orde Baru secara formal dari panggung, politik dan bergulirnya iklim yang baru
238 dalam kehidupan sosial politik Indonesia, banyak kosakata sosial politik yang muncul dan dimunculkan oleh para elite-elite sosial politik Berbagai kosakata yang muncul meliputi (1) kosakata baru sebagai manifestasi wacana tanding terhadap wacana pemerintahan yang sebelumnya berkuasa, dan (2) kosakata lama yang memperoleh aksentuasi barn bersamaan dengan tumbangnya pemerintahan lama. Kosakata jenis pertama ini sebelumnya relatif jarang muncul, bahkan tidak pernah muncul pada era pemerintahan Orde Baru. Jikalau pun muncul, kosakata-kosakata itu dipandang "aneh" oleh pemikiran pada masa itu, bahkan akan dianggap dapat mengguncang sendi-sendi politik pemerintahan Orde Baru. Dan kacamata paradigma kritis, munculnya kosakata baru itu dapat dipandang sebagai cerminan atau wujud wacana tandingan (counter-discourse) terhadap wacana "baku" yang sedang menguasai arus besar pemikiran-pemikiran politik, baik oleh pemerintahar Orde Baru maupun masyarakat pada umumnya. a. Kosakata Utama yang Pertama Muncul Cukup banyak kosakata yang menjadi karakteristik era reformasi yang membeda kannya dengan era sebelumnya. Dua kosakata utama yang pertama muncul adalah refor masi dan status quo. Kata reformasi dan status quo, misalnya, adalah dua kata yani sebenarnya bersifat generik yang tidak menunjuk kepada suatu masa tertentu. Secar leksikal, kata reformasi memiliki arti 'pembentukan kembali kepada keadaan yang lebil baik', sedangkan kata status quo memiliki arti 'keadaan yang berlaku seperti sekarang Akan tetapi, pada perkembangan selanjutnya, dua kosakata itu menjadi trade mark mili individu, institusi, kelompok pendukung era pasca-Orde Baru yang digunakan sebag alat untuk membuat garis demarkasi keadaan sosial-politik di Indonesia. Kata reforma5. diperuntukkan bagi orang, kelompok, institusi pro demokrasi yang menjadi "musul-
239 pemerintahan Orde Baru. Sebaliknya, kata status quo diperuntukkan bagi individu, institusi, dan kelompok yang berkaitan dengan pemerintahan Orde Baru. Dalam perkembangannya, dalam wacana politik era pasca-Orde Baru, dua kosakata itu menjadi satu pasangan yang tidak dapat dipisahkan satu dan yang lainnya. Pada pembahasan selanjutnya dapat diketahui bahwa dua kosakata itu merupakan pasangan yang berantonim secara ideologis yang hidup dalam wacana politik Indonesia. Pada era pasca-Orde Baru dua kosakata itu memperoleh penekanan makna yang dikaitkan dengan sarana untuk memberikan karakteristik tertentu pada sebuah era yang membedakannya dengan era sebelumnya, yakni era Orde Baru. Kata reformasi diberi makna tertentu dengan 'penggantian paradigma. Orde Baru yang dianggap sudah usang dengan paradigma lainnya yang lebih bard. Selanjutnya, dalam wacana politik era pascaOrde Baru ini siapa pun yang bersangkut paut dengan pemerintahan Orde Baru diasumsikan bukan seorang rerormis, sebaliknya siapa pun yang tidak bersangkut paut dengan Orde Baru adalah seorang reformis. Asumsi-asnmsi itu dibangun demikian rupa sehingga mengaburkan konsep reformasi dan reformis itu sendiri. Sementara itu, kata status quo dikaitkan dengan pemerintahan Orde Baru itu sendiri. Individu, organisasi, institusi yang bersangkut pant dengan Orde Baru akan memperoleh predikat status quo meskipun pemikiran-pemikirannya lebih reformis dari seorang reformis, sebaliknya yang tidak bersangkut paut dengan pemerintahan Orde Baru tidak akan memperoleh predikat status quo itu. Sama dengan yang pertama, asumsi-asumsi yang dibangun berkenaan dengan kata status quo ini juga semakin mengaburkan hakikat kata status quo itu sendiri. Perkembangan istilah reformasi dan status quo secara singkat dapat digambarkan pada tabel 4.6 berikut.
240 Tabel 4.6 Pergeseran Makna Kosakata Utama Era Pasca-Orde Baru . No Kosakata 1.
Makna Asli
reformasi
pembentukan kembali kepada bentuk yang le bih baik'
status quo
'keadaan yang berlaku seperti sekarang'
Makria Sekarang
Keterangan
penggantian paradigma terjadi perubaha.n Orba yang dianggap sudah makna dari konsep usang dengan paradigma generik kepada konlainnya yang lebih baru' sep spesifik 'pemerintahan Orde Baru dan pars pendukungnya'
terjadi perubahan makna dari konsep generik kepada konsep spesifik
Kosakata lain yang juga bersamaan muncul dengan kedua kosakata di atas adalah istilah KKN. Bahkan, istilah KKN menjadi latar belakang munculnya istilah reformasi di atas. Fakta menunjukkan bahwa Indonesia pada era pemerintahan Orde Baru yang penuh dengan KKN itu perlu direformasi. Dengan demikian, istilah KKN menjadi identitas dari status quo di atas, bahkan banyak rumusan ekstrem yang lahir dalam wacana politik, yakni KKN adalah status quo. Kosakata yang berupa singkatan ini juga amat intensif digunakan oleh sejumlah elit politik dalam setiap pidato, pernyataan politik, dialog, wawancara, seminar, dan sebagainya. Singkatan KKN dipergunakan jauh lebih intensif daripacia kepanjangannya, yakni korupsi, kolusi, dan nepotisme. KKN semakin banyak dipakai dalam berbagai aktivitas masyarakat.' Berbeda dengan perkembangan kedua kosakata utama di atas yang mengalami gejala perubahan makna, istilah KKN yang sejak semula lahir memiliki makna tertentu dalam perkembangannya tidak mengalami perubahan makna. 16) Dalam perkembangannya, salah satu dan tiga fenomena korupsi, kolosi, dan nepotisme identik dengan KKN. Tvlisalnya, fenomena fkorupsi (+), kulusi (-) dan 'typo-Gm-tie (-)1 tetap dinamakan KKN. Fenornena [korupsi (-), koiusi nepotisme (-)J atau [korupsi kolusi (-), nepotisme (-91 pun dinamakan KKN. Dengan demikian, pada banyak kasus, KKN mengalami gejala spesialisasi (penyempitan makna).
241 b. Perkembangan Lanjut Kosakata Utama I. Perkembangan Kata "Reformasi" Dalam pralctiknya, satu kata reformasi sebagai kata asal kemudian berkembang ke dalam berbagai kata turunannya sesuai dengan konteks yang melingkupinya. Para pemimpin partai politik peserta pemilu dalam kampanyenya, baik monologis maupun logis, secara intensifbanyak mempergunakan kata reformasi dengan berbagai kata turunannya untuk berbagai tujuan. Para elite politik itu begitu pandai dan terampil mendayagunakan istilah reformasi ke dalam berbagai bentukan. Penggunaan kata reformasi ada yang hanya sebagai pemanis pidato dan ada yang menjadi inti dari seluruh pidatonya. Perhatikan kutipan (15) berikut. Kutipan (15): SBP: [...] Oleh karena itu, sistem Orde Baru harus diperbaiki, harus diubah. Saya percaya bahwa tidak ada calon presiden yang akarr_ mampu memperbaiki kesejahteraan hidup rakyat Indonesia tanpa perubahan sistem. Sistem inilah yang disebut dengan tujuh pilar reformasi total. Saya sudah katakan berkali-kali apabila ada yang bertanya apa itu tujuh pilar reformasi total akan saya jawab. [Data 36.A.1(15)] Kutipan (15) di atas dicuplik dari pidato pembukaan debat calon presiden dari seorang Ketua Umum PUDI, SBP, ketua umum partai politik yang lahir pada masa ketika Orde Baru masih berdiri kokoh. Kata reformasi total digunakan untuk memberikan gambaran tentang 'perubahan secara radikal terhadap semua sistem yang dibangun oleh Orde Baru'. Pilihan kata reformasi total pada kutipan (15) di atas merupakan "roh" dari seluruh isi pidato. Dalam kasus itu, kata reformasi telah berkembang menjadi reformasi total. Penutur memberikan proses atribusi kepada kata reformasi itu dengan sebuah metode baeaimana sebuah reformasi itu seharusnya dijalankan. Yang disebut dengan reformasi haruslah "total", tidak boleh dimaknai dengan yang lain.
242 Senada dengan itu, kata reformasi juga digunakan sebagai pembuka pidato kampanye yang selanjutnya amat mewarnai isi pidatonya, seperti kutipan (18) berikut. Kutipan (18): ABT: [...] Para pirsawan yang kami honnati, gerakan reformasi telah merobohkan tembok rezim Orde Baru yang feodalis, demokrasi semu yang sentralistis. PAN lahir dari rahim reformasi, lahir dari seman at pluralisme budaya dan kemajemnkan PAN adalah pendorong utama lokomotif reformasi. PAN adalah kumpulan orang-orang reformis. [Data 15 . A. 1(18)] Kata reformasi yang digunakan dalam kutipan (18) jelas merupakan "roh" atau "jiwa" dari seluruh isi pidato kampanye partai berlambang matahari ini. Kata reformasi berkembang ke dalam berbagai kata turunan. Bandingkan dengan penggunaan kata reformasi yang hanya sebagai kata-kata pemanis, berfungsi sebagai atribut saja, seperti kutipan (19) berikut. Kutipan (19): PAY: Partai Abul Yatama hadir dalam era reformasi. Sesuai dengan namanya, yakni 'bapaknya anak yatim', partai ini berusaha mengurusi para fakir miskin dan anak yatim. Kami bukan partai penghujat, tetapi kami partai yang membawa kesejukan. [Data 12.A.1(19)] Pada kutipan (19) kata reformasi dikembangkan ke dalam bentukan era reformasaidak strategisnya kata reformasi dalam pandangan penuturnya membuat perkembangan kata reformasi tidak begitu signifikan. Hal itu sangat bertolak belakang dengan perkembangan kata reformasi dalam pandangan PAN seperti yang terdapat pada kutipan (18) di atas. Dalam kutipan (18) tersebut, kata reformasi dikembangkan ke dalam berbagai bentuk turunarmya, yakni gerakan reformasi, rahim reformasi, lokomotif reformasi, dan orang-orang reformis. Jika PAY memandang kata reformasi sebagai sesuatu yang memiliki makna 'statis', PAN memandang kata reformasi sebagai sesuatu yang memiliki makna 'dinamis'.
243 Fenomena penggunanaan kata reformasi seperti kutipan (19) di atas juga menghinggapi partai-partai lain yang termasuk "bukan musuh Orde Baru" atau partai "yang diuntungkan pada pemerintahan Soeharto". Bahkan, ada yang lebih ekstrem dengan memandang reformasi yang diujungtombaki oleh mahasiswa sebagai sesuatu yang biasabiasa saja, seperti kutipan (20) berikut. Kutipan (20): PSII: [...] Partai ini bukan lahir karena revolusi atau reformasi, tetapi partai ini lahir karena perintah Allah swt. Partai ini ingin menegakkan amar makruf nahi munkar. [Data 17.A.1(20)] Kutipan (20) ini dicuplik dari pidato kampanye monologis yang ditayangkan oleh TVRI dari pimpinan partai PSII, partai politik yang berasaskan Dienul Islam . Partai ini tidak ingin mengidentikkan kelahiran partainya dengan arus besar semangat gerakan reformasi yang diujungtombaki oleh mahasiswa Indonesia. Akan tetapi, partai ini lebih mengaitkan kelahiran partainya dengan kekuasaan Allah Sang Pencipta Dari kutipan (15) sampai (20) dapat diperoleh pemahaman bahwa kata reformasi dibentuk ke dalam berbagai frasa oleh berbagai elite politik Indonesia. Berbagai bentukan barn kata reformasi secara lebih lengkap ditampilkan pada tabel 4.7 berikut. Tabel 4.7 Perkembangan Bentuk Kata "Reformasi" KOSAKATA reformasi
PROSES perkembangan bentuk
PERKEMBANGAN SELANJUTNYA 1. reformasi total 2. gerakan reformasi 3. rahim reformasi 04 lokornotif refonnasi 5. orang-orang reforrnis 6. era reformasi 7. anti reformasi
244 Lan utan Tabel 4.7 KOSAKATA
PROSES
PERKEMBANGAN SELANJUTNYA 8. reformis 9. tidak reformis 10. kaum reformis 11. barisan reformasi 12. musuh reformasi 13. reformis sejati 14. mereformasi din 15. reformasi politik 16. reformasi ekonomi 17. reformasi hukum 18. reformasi sosial 19. reformasi personil 20. rerormasi konstitusi 21. reformasi bergulir 22. gerakan pro reformasi total 23. orde reformasi total 24. partai yang pro reformasi 25. reformasi yang gradual dan konstitusional 26. reformasi yang terkendali dan damai 27. tahapan reformasi 28. reformasi sesuai jadwal 29. reformasi pembangunan ekonomi 30. kandungan reformasi 31. garangnya reformasi 32. menyatu dengan gerakan reformasi 33. pesan-pesan reformasi 34. menuntaskan reformasi 35. pejuang reformasi 36. suara reformasi 37. kekuatan reformasi
245_ Dari paparan data di atas dapat dirumuskan bahwa kata reformasi dapat memasuki ke segala aspek kehidupan untuk memberikan legitimasi keberadaannya. Menurut pandangan peneliti, dengan memberi label reformasi, para pengguna kata reformasi percaya bahwa segala aktivitas yang dilakukannya akan memiliki niiai lebih. Terdapat fenomena yang menarik dari perkembangan kata reformasi di atas. Dan kacamata morfosintaksis, kata reformasi yang berupa nomina (N) berkembang ke arah depan, belakang, serta ke depan dan belakang sekaligus. Perkembangan ke arah depan bermakna bahwa terdapat pemeri di sebelah kin N. Perkembangan ke arah belakang bermakna bahwa terdapat pemeri di sebelah kanan N. Perkembangan ke erah depan dan belakang sekaligus bermakna bahwa terdapat pemeri di sebelah kin dan kanan N. Perkembangan ke arah depan dari kata reformasi dapat diperhatikan pada Label 4.7 di atas pada perkembangan nomor 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 24, 27, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, dan 37. Terdapat dua catatan yang perlu dikemukakan. Pertama, perubahan status kata reformasi dari inti frasa menjadi pewatas frasa. Hal ini diperhatikan pada bentukan kata gerakan reformasi yang bersusunan "inti(N)+pewatas(N)". Kedua, kata reformasi tetap berupa inti dengan pengembangan ke arah depan. Ditinjau dari kelas kata pemerinya, terdapat tiga kelas kata pemeri kata reformasi, yakni (a) pemeri nomina, seperti pada bentukan lokomotif reformasi (N+N), (b) pemeri ajektiva, seperti pada bentukan anti reformasi (A+N), dan (c) pemeri majemuk [nomina+yang+ajeictiva], seperti pada bentukan partai yang pro reformasi (N+yang+A-FN). Ditinjau dari makna grainatikalnya, terdapat tiga makna yang muncul dari pembentukan kata reformas:. Pertama, makna gramatikal 'untuk, seperti yang terdapat pada bentukan gerakan reformasi. Kedua, makna gramatikal 'posesif, seperti yang terdapat pada bentukan rahim reformasi atau
246 lokomotif reformasi. Ketiga, makna gramatikal 'terhadap', seperti yang terdapat pada bentukan anti reformasi. Perkembangan ke arah belakang dari kata reformasi dapat diperhatikan pada tabel 4.7 di atas pada perkembangan nomor 1, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 25, 26, 28, dan 29. Ditinjau dari kelas kata pemerinya, terdapat dua pemeri kata reformasi, yakni (a) pemeri nomina, seperti yang terdapat pada bentukan reformasi politik (inti[N]+pewatas[N]) atau reformasi konstitusi (inti[N]+pewatas[N]), dan (b) pemeri adjektiva, seperti yang terdapat pada bentukan reformasi total (inti[M-Fpewatas[A]) atau reformasi damai (inti[N]+ pewatas[A]). Terdapat bentukan lain pada pemeri adjektiva yang menggunakan pola "inti+yang+adjektiva", seperti yang terdapat pada bentukan reformasi yang gradual dan konstitusional atau reformasi yang terkendali dan damai. Ditinjau Bari makna gramatikalnya, terdapat dua makna makna yang muncul dari pembentukan kata reformasi. Pertama, makna gramatikal 'carat, seperti yang terdapat pada bentukan reformasi total atau reformasi yang terkendali dan damai. Kedua, makna gramatikal lerhadap', seperti yang terdapat pada bentukan reformasi ekonomi atau reformasi hukum Perkembangan ke arah depan dan belakang dari kata reformasi dapat diperhatikan pada tabel 4.7 di atas pada perkembangan nomor 14, 22, dan 23. Pada bentukan mereformasi diri terdapat fenomena transposisi atau perubahan kelas kata dari nomina kepada verba karena proses afiksasi dengan "me-". Bentukan tersebut mengandung makna gramatikal 'melakukan pekerjaan'. Pada bentukan gerakan pro reformasi total dan orde reformasi total, terdapat perubahan status kata reformasi seperti yang terdapat pada bentukan gerakan reformasi. Kata reformasi tidak menjadi inti frasa, tetapi menjadi pewatas atau atribut frasa.
247 Kata reformasi memperoleh tempat yang amat strategis dalam proses-proses leksikal. Kata tersebut akhirnya juga bersifat ambivalen. Di satu pihak, kata reformasi digunakan dalam wacana politik Indonesia dengan makna yang mengacu kepada semangat reformasi yang diujungtombaki mahasiswa, yakni reformasi di segala bidang tatanan kehidupan Indonesia, baik sosial politik, sosial ekonomi, maupun sosial budaya. Di lain pihak, kata reformasi digunakan dalam wacana politik Indonesia dengan makna yang "agak" menyimpang dari makna semula. Fenomena yang kedua ini banyak didayagunakan oleh interest group yang ingin memperoleh keuntungan pribadi atau kelompoknya. Makna kata reformasi yang diberikan oleh kelompok kedua ini banyak mengalami reduksi, bahkan manipulasi. Hal ini tampak pada fenomena penggunaan kata reformasi oleh individu, institusi, dan kelompok yang jelas-jelas tidak reformis dalam perilakunya. Begitu intensifnya pendayagunaan kata reformasi mengakibatkan makna reformasi menjadi kehilangan makna. Meskipun kata reformasi memperoleh "makna yang positif' pada awal kelahirannya, pendayagunaan yang superintensif kata tersebut oleh pelbagai lapisan masyarakat untuk kepentingan masing-masing membuat kata reformasi mengalami titik jenuh. Kata reformasi telah mengalami penggunaan yang berlebihan dalam
panggung
politik
Indonesia.
Kata
reformasi
telah
mengalami
titik
overlexicalization atau overwording. 2. Perkembangan Kata "Status Ouo" Jika dibandingkan dengan kata reformasi, kata status quo dikembangkan menjadi beberapa leksikal yang jumlahnya jauh lebih terbatas. Pengguna kata status quo jauh bih terbatas dibandingkan kata reformasi. Pada tabel 4.8 berikut ditampilkan perkembangan kata "status quo" yang dihasilkan &eh para elite politik Indonesia.
248 Tabel 4.8 Perkembangan Bentuk Kata "Status Quo" KOSAKATA status quo
PROSES perkembanga n bentuk
PERKEMBANGAN SELANJUTNYA 1. pro status quo 2. anti status quo 3. pendukig status quo 4. penjaga status quo 5. bukan status quo 6. barisan status quo 7. partai status quo 8. masih status quo 9. mempertahankan status quo 10. rezim status quo 11. keiompok status quo 12. berpikiran status quo 13. status quo lama 14. status quo baru
Dan tabel 4.8 di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa kata status quo didayagunakan dalam jumlah yang lebih terbatas. Terdapat fenomena yang menarik dan perkembangan kata status quo di atas. Dari kacamata morfosintaksis, kata status quo berkembang lebih produktif ke arah depan dibandingkan ke arah belakang. Perkembangan ke arah depan dan kata status quo dapat diperhatikan pada tabel 4.8 di atas pada nomor 1 s.d. 12. Ditinjau dari kelas kata pemerinya, terdapat empat kelas kata pemeri kata status quo, yakni (a) pemeri nomina, seperti yang terdapat pada bentukan nenjaga status quo atau partai status quo, (h) pemeri verba, seperti yang terdapat pada bentukan berpikiran status quo atau mempertahankan status quo, (c) pemeri adjektiva, seperti yang terdapat pada bentukan pro status quo atau anti status quo, dan (d) pemeri adverbial, seperti yang terdapat pada bentukan bukan status quo atau masih status quo.
249 Ditinjau dari makna gramatikalnya, beberapa makna yang muncul antara lain (a) makna 'terhadap', seperti yang terdapat pada bentukan pro status quo atau anti status quo, (b) makna 'posesif, seperti yang terdapat pada bentukan penjaga status quo atau kelompok status quo. Perkembangan ke arah belakang dari kata status quo dapat diperhatikan pada tabel 4.8 di atas pada nomor 13 dan 14. Pemeri di sebelah kanan kata status quo adalah adjektiva, seperti yang terdapat pada bentukan status quo lama atau status quo baru. Keduanya memiliki makna gramatikal 'arah'. Perkembangan ke arah belakang dari kata status quo ini relatif tidak produktif. Perlu ditegaskan dalam paparan ini bahwa kata-kata itu banyak dipakai dan didayagunakan oleh para elite politik yang pada masa pemerin-tahan Orde Baru dikenal dengan "kelompok kritis", "musuh orde baru", "korban Orde Baru", dan juga "para pengkhianat Orde Baru". Sebaliknya, kata-kata di atas jarang dipakai dan dimanfaatkan oleh para elite politik yang berhubungan erat dengan pemerintahan Orde Baru. Berbeda dengan kata "reformasi" yang mengalami titik overlexicalization atau overwording, kata status quo tidak mengalami fenomena serupa. Mengikuti pikiran Fowler (1985; 1986), kata status quo mengalami proses yang disebut dengan leksikalisasi. Makna kata status quo relatif tetap seperti ketika gencar-gencamya diteriakkan kaum mahasiswa dan kelompok prodemokrasi pada akhir runtuhnya pemerintahan mantan Presiden Soeharto. 3. Perkembangan Kata "KKN" Jika kata status quo dipergunakan oleh elite poiitik yang lebih terbatas, kata KKN dipergunakan jauh lebih luas. Jika selama ini kata KKN lebih banyak didayagunakan dan dipopulerkan oleh Amien Rais (AR), dalam perkembangan selanjutnya kata KKN diper-
250 gunakan oleh banyak elite politik yang beragam, baik yang memperoleh predikat "pro reformasi" maupun yang "pro status quo". Di antara para cut politik yang ada, AR beserta PAN-nya, menurut pengamatan peneliti, memiliki kreativitas yang tinggi untuk mengembangkan kata KKN ke dalam berbagai frasa yang berintikan kata KKN melalui berbagai aktivitas politiknya. Muncullah kata-kata seperti: praktik KKN, sarang-sarang KKN, rezim lama yang penuh dengan KKN, bersih KKN, terlibat KKN, tidak bersih dari KKN, dan anti-KKN. Perhatikan kutipan (21) berikut. Kutipan (21): AR: [...] Tetapi, lebih daripada itu, sejumlah tugas yang sangat amat penting buat kesejahteraan bangsa Indonesia belum diutik-uiik, belum disinggung saina Mr. Habibie ini. Pertama, sarang-sarang KKN itu masih tetap raja kokoh, kuat, bahkan dalam banyak hal mungkin masih diberi kesempatan tambah kuat lagi.[Data 15.A.1(21)] Kutipan (21) diambil dari pidato dari Ketua Umum PAN, Amien Rais, pada acara debat calon presiden yang diadakan oleh Universitas Indonesia. Dalam kutipan tersebut kata sarang-sarang KKN selain menjalankan peran sebagai "wadah informasi", kata itu juga berperan sebagai "penonjol identitas" kepeloporan AR dalam pemberantasan KKN di Indonesia. Dalam berbagai aktivitas politik lainnya, AR beserta PAN-nya banyak memunculkan kata KKN. Begitu intensifnya digunakan, kosakata ini menjadi amat ideologis. Bahkan, dalam perkembangan selanjutnya, partai yang oleh lawan-lawan politiknya selalu diidentikkan dengan praktik KKN pun, seperti PG, menggunakan kata itu dalam kampanyenya, seperti kutipan (22) berikut. Kutipan (22): PG: [...] Bagi Partai Golkar baru, yang dicita-citakan adalah pemerintah sebagai alat ke..pentingan negara yang bebas dari KKN, penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berw-ibawa, termasuk di dalamnya pemeriksaan mantan Presiden Soeharto, dan pengejawantahan gerakan ekonomi kerakyatan. [Data 33.A.1(22)]
251 Kutipan (22) diambil dari pidato kampanye monologis pengurus teras Partai Golkar, yakni Aulia Rahman, yang ditayangkan lewat TVRI. Dalam kutipan (22) kata bebas dari KKN lebih menjalankan peran sebagai "penutup kesalahan" ". Dalam kasus tersebut, kata KKN digunakan secara amat ideologis karena selama ini biang KKN adalah aparat birokrasi yang notabene adalah orang-orang yang ex officio menjadi anggota PG. Kata KKN selanjutnya berkembang dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam pemilihan seorang kepala daerah atau kepala sebuah instansi, misalnya, salah satu kriteria yang selalu dimunculkan adalah bersih dari KKN atau tidak terlibat KKN. Apabila bersih dari KKN maka seseorang layak menjadi calon kepala daerah atau kepala instansi, sebali lava apabila tidak bersih maka seseorang tidak layak menjadi calon. Sebaliknya, bagi seseorang yang sudah menjadi pejabat tertentu maka is sebaiknya mundur atau dimunditrkan jika tidak bersih dari KKN atau terlibat KKN. Penggunaan kosakata bersib dari KKN atau tidak terlibat KKN dalam derajat yang tidak sepenuhnya sama sejajar dengan penggunaan kata "tidak terlibat PM" dan "tidak terlibat partai -terlarang" pada era pemerintahan Orde Baru. Pada era pasca-Orde Baru ini jika seseorang sudah memperoleh predikat tidak bersih dari KKN atau terlibat KKN, orang tersebut menjadi "tidak layak" untuk menjadi pelayan masyarakat. Hal ini senada dengan keadaan seseorang pada masa Orde Baru yang "tidak layak", "tidak boleh", atau "tidak bisa" menjadi pegawai negeri, pemimpin ormas, atau pejabat politik karena memperoleh predikat , seperti: "terlibat PKI", "tidak bersih lingkungan", "pernah terlibat dalam partai terlarang", "antipembanmman", "ekstrem
Jan "ekstrem kanan".
17) Seperti diketahui bersama, kehancuran perekonomian Indonesia pada era pemerintahan Orde Baru karena parahnya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang diduga dilakukan oleh orang-orang dari PG yang menjalankan pemerintahan. Atas dasar itu, mayoritas partai politik peserta pemilu 1999 dalam kampanyenya selalu mengemukakan kesalahan PG atas peranannya dalam mempertahankan pemerintahan Orde Baru.
252 c. Leksikalisasi dari Berbagai Bidang Kehidupan I. Leksikalisasi dari Bidang Sistem Ketatanegaraan Leksikalisasi yang cukup menonjol untuk dipaparkan pada bahasan ini berasal dan sistem ketatanegaraan. Leksikalisasi ini terdiri atas dua jenis, yakni (1) kosakata lama yang memperoleh aksentuasi barn, dan (2) kosakata barn yang berupa kritikan, reaksi, atau penjungkirbalikan terhadap pelaksanaan ketatanegaraan pada masa pemerintahan Orde Baru sebagai perwujudan adanya "wacana tanding" (counter discourse) terhadap pemerintahan sebelumnya. Kosakata jenis ini dipaparkan pada tabel 4.9 berikut. Tabel 4.9 Leksikalisasi dari Bidang Sistem Ketatanegaraan• KOSAKATA
MAKNA OB
MAKNA POB
parlemen yang kredibel menegakkan demokrasi Orde Baru sistem demokrasi parlementer koalisi - presiden perempuan demokratisasi perbaikan UUD amandemen UUD multi-partai Indonesia baru totalitarianisme sentralisme militerisme absolutisme mengubah sistem Orba pemilihan presiden secara langsung sistem federalisme pemerintah yang good governance otonomi daerah kelompok oposisi dwifungsi ABRI
clean and good goverment
pemerintah yang legitimate
sudah digunakan (+) sudah digunakan (+) wajib digunakan (+) sudah digunakan (-) tidak digunakan tidak digunakan sudah digunakan (+) haram digunalcan () haram digunakan (-) sedikit digunakan (-) tidak digunakan sudah digunakan (-) sudah digunakan (-) haram digunakan sudah digunakan (-) haram digunakan jarang digunakan haram digunakan (-) sudah digunakan (+) sudah digunakan (0) sudah digunakan (-) digunakan (+) sudah digunakan (+) belum digunakan
aksentuasi baru (+) aksentuasi baru (+) banyak digunakan (-) juga digunakan (0) banyak digunakan (+) muncul dalam wacana aksentuasi baru (+) wajib digunakan (+) kebutuhan digunakan (+) banyak digunakan (+) muncul dalam wacana aksentuasi baru (-) aksentuasi baru (-) digunakan (-) aksentuasi baru (-) digunakan (+) sudah digunakan muncul dalam wacana aksentuasi barn (+) aksentuasi baru (+) digunakan (+) digunakan (-) aksentuasi ba' (+) sering. digwiakan (+)
Catatan Malcna OB = Makna POB =
penggunaan kosakata tertentu pada era Orde Baru beserta kandungan makna yang dibawanya (positif/t. negatif/-, netra1/0) penggunaan kosakata tertentu pada era pasta-Orde Baru beserta kandungan makna yang dibawanya (positif/+, negatif/-, netra1/0)
253 Dari tabel 4.9 di atas dapat diketahui adanya empat pola perubahan leksikal antara era Orde Baru dan era pasta.-Orde Baru, yakni (1) pada era OB sudah digunakan (+) dan pada era POB memperoleh aksentuasi bare (+), (2) pada era OB digunakan (+) dan pada era POB banyak digunakan (-), (3) pada era OB haram digunakan (-) dan pada era POB banyak digunakan (+), serta (4) pada era OB haram digunakan atau tidak digunakan dan pada era POB mulai digunakan meskipun terbatas pada wacana. Pola perubahan leksikal model pertama "sudah digunakan (+) pada OB dan digunakan dengan memperoleh aksentuasi bare (+) pada POB" dapat diperhatikan pada penggunaan kata parlemen yang kredibel, menegakkan demokrasi, demokratisasi, totaliterisme, sentralisme, absolutisme, pemerintah yang good governance, dan otonomi daerah. Kosakata-kosakata itu sudah digunakan pada era pemerintahan Orde Baru dan memperoleh aksentuasi yang bare pada masa pasca-Orde Baru karena pada masa pemerintahan Orde Baru kosakata itu lebih merupakan lip service saja. Oleh karena itu, kelompok pro demokrasi mengaksentuasikannya lagi untuk mendapat tempat dalam wacana politik era pasca-Orde Baru dalam iklim yang barn. Pola perubahan leksikal model kedua, yakni "digunakan (+) pada era OB dan digunakan (-) pada era POB" dapat diperhatikan pada penggunaan kata Orde Baru dan dwifungsi ABRI/TNTI. Dua kosakata itu "wajib" digunakan dalam wacana politik era Orde Baru. Siapa pun orang Indonesia tanpa kecuali haruslah menggunakan dan memahami kedua kata tersebut Dua kosakata itu selalu menjadi raateri wajib untuk setiap kegiatan penatarar-penataran yang diadakan. Bahkan, setiap individu yang ingin berkarier dalam dunia politik, dua kosakata itu menjadi kosakata wajib yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Sebaliknya, dalam perkembangannya, kedua kosakata itu menjadi kata yang ber-
254 makna negatif seiring mundumya pemerintahan Orde Baru secara formal dari panggung politik Indonesia. Kata Orde Baru memperoleh makna yang berkaitan dengan kekejaman', 'antidemolcrasi', dan IKKN. Kata dwifungsi ABRITINI memperoleh makna yang berkaitan dengan 'keserakahan' dan lekejamad. Pola perubahan leksikal model ketiga, yakni "haram digunakan (-) pada OB dan se-ring digunakan (±) pada FOB" dapat diperhatikan pada penggunaan kata perbaikan UUD, amandemen UUD, dan mengubah sistem Orba. Pada era Orde Barn, dua kosakata pertama adalah kata yang diharamkan untuk dipakai. Pemerintah Orde Barn memiliki tekad untuk melestarikan UUD karena sifat fleksibelnya. Meskipun UUD memiliki peluang untuk diubah, diamandemen, bahkan diganti dengan yang baru sama sekali, pemerintah Orba dengan didukung oleh Partai Golkar yang memiliki single mayorily dan ABRI/TNI yang memiliki kekuatan militer bertekad menjaga UUD 1945 dengan alasan menjaga kemurnian ajaran. Sementara itu, kata mengubah sistem Orba banyak dimunculkan oleh kelompok penentang Orde Baru dengan tujuan merevisi sistem Orde Baru yang memiliki banyak kelemahan. Pola perubahan leksikal model keempat, yakni "tidak digunakan atau haram digunakan (-) pada era OB dan digunakan pada era POB meskipun terbatas sebagai wacana" dapat diperhatikan pada penggunaan kata presiden perempuan, Indonesia baru, dan sistem federalisme. Kata presiden perempuan, misalnya, pada era Orde Baru adalah kosakata yang rasanya tidak mungkin untuk digunakan. Pada waktu itu, wacana "resmi" yang berlaku untuk seorang presiden adalah "laid-laki" meskipun tidak ada rumusan hitam di alas putih. Kata sistem federalisme adalah kata yang sangat diharamkan pada era Orde Baru. Melalui pelajaran Sejarah Nasional di sekolah formal, sistem federalisme
255 yang pernah berlaku di Indonesia pada era Demokrasi Liberal disebutkan sebagai sistem yang lebih banyak bersifat negatif daripada positifnya. Fenomena kemenangan PDI-P pada pemilu 1999 dan ketimpangan yang semakin mencolok antara pemerintah pusat dan daerah mengakibatkan dua kosakata itu muncul ke permukaan menjadi wacana alternatif yang mungkin saja menjadi pilihan. Sementara itu, kata Indonesia barn yang banyak dipergunakan oleh sebagian besar partai peserta pemilu mengacu kepada cita-cita Indonesia yang lebih adil dengan tidak mengulangi kesalahan-kesalahan Orde Baru. 2. Leksikalisasi dari Bidang Hukum Leksikalisasi lain berasal dan bidang hukum yang berupa ulasan, saran, kritikan, penilaian, dan penjungkirbalikan terhadap pelaksanaan hukum era Orde Baru. Senada dengan kosakata jenis di atas, kosakata ini berupa kosakata "tanding" terhadap wacana "resmi" yang menjadi arus besar pemerintahan Orde Baru. Perhatikan tabel 4.10 berikut. Tabel 4.10 Leksikalisasi dari Bidang Hukum KOSAKATA
reformasi hukum supremasi hukum penegakan budaya hukum pemberantasan mafia peradilan pembebasan tapol dan napol melaporkan harta kekayaan hakim yang bersih dan mandiri law enforcement masalah Soeharto peradilan yang mandiri pemeriksaan Soeharto & kroni-kroninya pengadilan mantan Presiden Soeharto penyelesaian kasus Pak Harto pengusutan harta Soeharto pencabutan lima paket U13 politik provokator penegakan HAM
MAKNA OB
MAKNA POB
belum digunakan sudah digunakan (+) sudah digunakan (+) sudah digunakan (+) jarang digunakan (-) jarang digunakan (+) sudah digunakan (+) sudah digunakan (+) belum digunakan sudah digunakan (+) belum digunakan belum digunakan belum digunakan belum digimakan jararg digunakan belum digunakan sudah digunakan
banyak digunakan (+) aksentuasi baru (+) aksentuasi baru (+) aksentuasi baru (+) sering digunakan (+) banyak digunakan (+) aksentuasi baru (+) aksentuasi baru (-) banyak digunakan (-) aksentuasi baru (+) banyak digunakan (+) banyak digunakan (+) banyak digunakan (+) banyak diganakan (+) banyak digunakan (+) banyak digunakan (-) aksentuasi baru (+)
Catatan Makna OB (makna kata pada era Orde Baru) & makna POB (makna kata pada era pasca-Orde Baru)
Dan tabel 4.10 dapat diketahui adanya tiga pola perubahan penggunaan leksikal tertentu antara era Orde Baru dan era pasca-Orde Baru, yakni (1) "belum digunakan pada era OB dan banyak digunakan pada era POB, (2)"jarang digunakan pada era OB dan banyak digunakan pada era POB, dan (3) "sudah digunakan pada era OB dan memperoleh aksentuasi Baru pada era POW. Pola perubahan penggunaan leksikal model pertama, yakni "belum digunakan pada era OB dan banyak digunakan pada era POB" dapat diperhatikan pada penggunaan katakata reformasi hukum, masalah Soeharto, pemeriksaan Soeharto dan kroni-kroninya, pengadilan mantan Presiden Soeharto, penyelesaian kasus Pak Harto, pengusutan harta Soeharto, dan provokator. Kata reformasi hukum, misalnya, adalah kata yang barn muncul seiring dengan semangat reformasi muncul di kalangan mahasiswa dan kelompok pro demokrasi dan kemudian banyak digunakan sebagai agenda perjuangan berbagai kelompok. Lima frasa yang senada, yakni masalah Soeharto, pemeriksaan Soeharto dan kroni-kroninya, pengadilan mantan Presiden Soeharto, penyelesaian kasus Pak Harto, dan pengusutan harta Soeharto adalah kata yang barn muncul setelah Soeharto mundur secara formal dari panggung politik. Lima kosakata ini menjadi penting pada era pasca-Orde Baru. Sebagian besar partai politik peserta pemilu tahun 1999, men- jadikan "lima frasa yang berhubungan dengan Soeharto" itu sebagai janji-janji partai apabila partai itu memenangkan pemilu, termasuk Partai Golkar yang memiliki keterikatan sejarah dengan mantan Presiden Soeharto. Hal yang sama terjadi pada kata provokator. Kata ini juga barn muncul bersamaan dengan meredupnya pemerintahan Orde Baru. Kata ini senada dengan kata "menunggangi" atau "ditunggangi" yang sering digunakan oleh pemerintah Orde Baru untuk menyebut dalang dan korban setiap terjadi kerusuhan di Indo-
257 nesia. Pada era pasca-Orde Baru, kata yang lebih banyak dipilih adalah provokator dengan meninggalkan kata "menunggangi" atau "ditunggangi". Pola perubahan penggunaan leksikal model kedua, yakni "jarang digunakan pada era Orde Baru dan kemudian banyak digunakan pada era pasca-Orde Baru" dapat diperhatikan pada penggunaan kata pembebasan tapol dan napol, melaporkan harta kekayaan, dan pencabutan lima paket UU politik. Kata pembebasan tapoi dan napol adalah kelompok kata yang menjadi kosakata yang "menakutkan" pada era pemerintahan Orde Baru karena pada era ini banyak tapol dan napol dipenjara karena bertentangan dengan ideologi pemerintahan Orde Baru. Dalam pandangan peneliti, individu-individu Indonesia cenderung enggan menggunakan kosakata ini karena mereka itu tidak mau berkonfrontasi dengan pemerintah yang sedang berkuasa Pada era pasca-Orde Baru, pembebasan tapol dan napol menjadi kelompok kata yang banyak digunakan oleh para pej uang HAM. Kelompok kata ini menjadi parameter apakah pemerintah yang berkuasa itu reformis atau tidak. Hal yang sama terjadi pada kelompok kata melaporkan harta kekayaan. Kata tersebut menjadi "barang mewah" pada era Orde Baru. Dalam pandangan peneliti, rasanya tidak mungkin memunculkan leksikal tersebut ke dalam wacana Orde Baru. Pada perkembangan selanjutnya, dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru dan tuntutan pada pemerintahan yang bersih dan transparan, kata melaporkan harta kekayaan menjadi sebuah tuntutan. Hal senada terjadi pada kelompok kata pencabutan lima UU politik Kelompok kata ini menjadi barang mahal pada era Orde Baru. Pada masa itu banyak individu atau kelompok yang tidak cukup memiliki keberanian memunculkan kosakata itu. Pada perkembangan selanjutnya, kelompok kata itu menjadi parameter bagi pemerintah yang berkuasa pada era pasca-Orde Baru apakah berjiwa reformis atau tidak.
258 Pola perubahan penggunaan leksikal model ketiga, yakni "sudah digunakan pada era Orde Baru dan memperoleh aksentuasi barn pada era pasca-Orde Baru" dapat diperhatikan pada pilihan atau penggunaan kata-kata supremasi hukum, penegakan budaya hukum, pemberantasan mafia peradilan, hakim yang bersih dan mandiri, law enforcement, peradilan yang mandiri, dan penegakan HAM. Kata-kata tersebut sudah sering muncul dalam wacana politik era pemerintahan Orde Baru meskipun dalam realitas dunia hukum perjuangan menegakkan kata-kata itu masih jauh dari berhasil. Hukum masih banyak dilecehkan oleh para perangkat hukum dan masyarakat. Para penegak hukum masih sering mempermainkan hukum. Penghargaan terhadap hak asasi manusia masih jauh dari harapan. Atas dasar itu, pada era pasca-Orde Baru kosakata itu memperoleh aksentuasi baru agar pada era ini tujuan tersebut dapat dicapai sesuai dengan harapan masyarakat Indonesia dan agar kelemahan-kelemahan yang terjadi sebelumnya tidak terulang lagi. 3. Leksikalisasi dari Bidang Ekonomi Leksikalisasi lain yang dikemukakan berasal dari bidang ekonomi yang pada perkembangannya menjadi komoditas politik. Kosakata di bidang ekonomi akhirnya menjadi ideologis. Kosakata yang ada sudah muncul pada era Orde Baru dengan makna 'versi Orde Baru, tetapi kosa-kata itu semakin memperoleh aksentuasi pada era reformasi ini dengan makna yang bergeser, seperti ditampilkan pada tabel 4.11 berikut. Tabel 4.11 Leksikalisasi dari Bidang Ekonomi KOSAKATA
MAKNA OB
MAKNA POB
sudah digunakan (+) sudah digunakan (+) sudah digunakan (-) sudah digunakan (-)
aksentuasi baru (+) aksentuasi barn (+) aksentuasi baru (-) aksentuasi baru (-)
pemberdayaan ekonomi stabilitas moneter krisis moneter pemburukan ekonomi
259 Lanjutan Tabel 4.11
penyehatan perbankan angka inflasi pemulihan ekonomi ekonomi kerakyatan ekonomi konglomerat Sasonomics Widjojonomics Habibienomics
Soehartonomics ekonomi partisipatif ekonomi model Orba antimonopoti dan oligopoli restrukturisasi ekonomi krisis ekonomi kurs rupiah JPS restrukturisasi perbankan privatisasi BUMN letter of intent.
C atatan Makna OB Makna POB
sudah digunakan (+) sudah digunakan sudah digunakan (+) sudah digunakan (4-) sudah digunakan (+) sudah digunakan (+) sudah digunakan (+) sudah digunalcan (+)
aksentuasi baru (+) aksentuasi baru alcsentuasi baru (+) aksentuasi barn (+) peyoratif (-) peyoratif (-) peyoratif (-) peyoratif (-) s u d a h d i g u n a k a n ( - F ) peyoratif (-) sudah digunakan (+) artikulasi baru (+) sudah digunakan (+) peyoratif (-) sudah digunakan (+) artikulasi baru (+) sudah digunakan (+) artikulasi barn (+) sudah digunakan (-) artikulasi baru (-) sudah digunakan artikulasi baru sudah digunakan (+) peyoratif (-) sudah digunakan (+) artikulasi barn (+) sudah digunakan artikulasi baru sudah digunakan (-) artikulasi barn (-)
rnakna kata pada era pemerintahan Orde Baru : makna kata pada era pemerintahan pasca-Orde Baru
Dari Label 4.11 dapat diketahui adanya dua pola perubahan penggunaan leksikal tertentu antara era Orde Baru dan era pasca-Orde Baru, yakni (1) "sudah digunakan pada era Orde Baru dan mendapat aksentuasi ba' pada era pasca-Orde Baru", dan (2) "sudah digunakan pada era Orde Ban' dan digunakan pada era pasca-Orde Ban' dengan makna sekarang menjadi lebih jelek (peyoratif)". Pola perubahan penggunaan leksikal model pertama, yakni "sudah digunakan pada era Orde Baru dan mendapat artikulasi baru pada era pasca-Orde Bane dapat diperhatikan pada penggunaan kata-kata antara lain, seperti pemberdayaan ekonomi, ekonomi kerakyatan, ekonomi partisipatit stabilitas meneter, dan kurs runiah. Kosakata tersebut adalah kosakata lama yang sudah muncul dalam wacana Orde Baru. Tiga kosakata pertama sudah lama dimunculkan oleh pars elit pemerintahan Orde Baru sebagai bentuk
260 operasionalisasi ekonomi Pancasila meskipun perwujudannya masih jauh dari harapan. Oleh karena itu, pada era pasca-Orde Baru tiga kosakata itu memperoleh aksentuasi baru sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Sementara itu, dua kosakata terakhir menjadi kosakata penting karena kedudukannya yang strategis dalam stabilisasi ekonomi. Masuknya Indonesia ke pasar dunia membuat stabilitas moneter dan kurs rupiah menjadi kata kunci yang hams diperhatikan oleh para pelaku ekonomi. Bahkan, dalam perkembangannya, keberhasilan atau tidaknya seorang pemimpin Indonesia diukur dari stabilitas moneter dan kurs rupiah terhadap perdagangan mata uang internasional. Pola perubahan penggunaan leksikal model kedua, yakni "sudah digunakan pada era Orde Barn dan digunakan pada era pasca-Orde Baru dengan makna sekarang menjadi lebih jelek atau mengalatni perubahan makna peyoratif' dapat diperhatikan pada penggunaan kata-kata pada
ekonomi
konglomerat,
Sasonomics,
Widjojonomics,
Habibienomics,
Soehartonomics, ekonomi modeal Orba, dan JPS. Kata ekonomi konglomerat, misalnya, pada era Orde Baru memperoleh tempat yang sangat strategis sebagai penopang perekonomian nasionalls. Akan tetapi, perekonomian model ini ternyata tidak tahan dengan krisis ekonomi global yang membuat ekonomi Indonesia terpuruk, pada era pasca-Orde Barn ekonomi ini digugat sebagai "biang kerok" hancurnya ekonomi Indonesia. Sebagian besar partai politik peserta pemilu tahun 1999 menjadikan anti ekonomi konglomerat menjadi bahan kampanyenya dengan menonjolkan ekonomi kerakyatan. Dengan demikian, wajar jika banyak partai politik dalam kampanyenya mengetengahkan ekonomi model Oriaa dengan ekonomi konglomerat. Akhirnya, kata-kata ekonomi kong18) Mantan Presiden Soeharto dalam banyak kesempatan mengemukakan tiga pilar penyangga perekonomian nasional, yakni (1) BUMN, (2) koperasi, dan (3) konglomerat. Hal im menandakan bahwa ekonomi konglomerat mendapat tempat yang strategis dalam ekonomi model Orde Baru.
26 1 lomerat dan ekonomi model Orba telah mengalami peyoratif Demikian juga, kata Sasonomics, Widjojonomics, Habibienomics, dan Soehartonomics pada perkembangan selanjutnya mengalami penurunan makna dari makna asalnya. "Sasonomics" yang semula bermakna 'ekonomi kerakyatan' akhirnya identik dengan 'ekonomi populis dengan cara membagi-bagi uang tanpa konsep yang jelas'. "Widjojonomics" yang semula bermakna 'ekonomi yang menetes ke bawah' akhirnya identik dengan 'ekonomi pertumbuhan tanpa pemerataan'. "Habibienomics" yang semula bermakna 'ekonomi yang mengintegrasikan teknologi canggih' akhirnya identik dengan 'ekonomi biaya tinggi'. "Soehartonomics" yang semula bermalcna 'ekonomi kekeluargaan' akhirnva identik dengan 'ekonomi keluarga Cendana'. Empat kosakata yang berhubungan dengan konsep ekonomi itu akhirnya mengalami penurunan makna. d. Leksikalisasi Khusus Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan "leksikalisasi khusus" adalah proses memilih kosakata tertentu yang tidak termasuk ke dalam bidang-bidang ketatanegaraan, hukum, atau ekonomi. Terdapat dua macam, yakni (1) leksikalisasi yang berhubungan dengan hal ikhwal pemilu tahun 1999, yakni pemilu multipartai kedua dalam sejarah Indonesia setelah pemilu tahun 1955, dan (2) leksikalisasi yang dinamakan dengan "politik angka", yakni penyakralan atau pementingan sebuah angka atau nomor tertentu dalam wacana politik Indonesia. 1. Leksikalisasi yang Berhubungan dengan Pemilu Tahun 1999 Leksikalisasi khusus yang pertama perlu dikemukakan adalah leksikalisasi yang berasal dari hal-hal yang berkaitan dengan pemilihan umum multipartai tahun 1999. Beberapa dari kosakata itu sudah cukup lama dipeijuangkan sejak era pemerintahan Orde
262 Baru oleh beberapa partai politik tertentu dan barn mendapatkan saat yang tepat pada era pasta.-Orde Baru. Beberapa kosakata itu pada era Orba "dig, mak an" dengan makna negatif , seperti dapat diperhatikan pada tabel 4.12 berikut. Tabel 4.12 Leksikalisasi yang Berhubungan dengan Pemilu Tahun 1999 KOSAKATA
MAKNA OB
MAKNA POB
belum digunakan (-) jarang digunakan (+) sudah digunakan (-) sudah digunakan (+) sudah digunakan (+) sudah digunakan (-)
banyak digunakan (-) banyak digunakan (+) aksentuasi barn (-) aksentuasi baru (+) aksentuasi barn (+) aksentuasi barn (+)
partai gurem pemilu yang jurdil money politics menang atas pilihan rakyat, bukan atas rekayasa kemenangan rakyat atan publik voting
Dart tabel 4.12 dapat diketahui adanya tiga pola perubahan penggunaan leksikal tertentu antara era Orde Baru dan era pasca-Orde Baru, yakni (1) "belum digunakan pada era Orde Baru dan banyak digunakan pada era pasca-Orde Baru", (2) "jarang digunakan pada era Orde Baru dan banyak digunakan pada era pasca-Orde Ban', dan (3) "sudah digunakan pada era Orde Baru dan memperoleh aksentuasi barn pada era pasca-Orde Baru". Pola perubahan penggunaan model pertama, yakni "belum digunakan pada era Orde Baru dan banyak digunakan pada era pasca-Orde Baru" dapat diperhatikan pada penggunaan kata partai gurem. Kata gurem mengacu kepada serangga kecil yang bisa hidup di tempat pengeraman telur ayam. Partai gurem adalah sebutan untuk partai-partai kecil peserta pemilu pada tahun 1999. Pada zaman Orba, kata gurem lebih banyak disandingkan dengan kata "petani" menjadi petani gurem. Kata ini sexing digunakan oleh mantan Presiden Soeharto ketika melakukan kontak tarn dengan para petani dart seiuruh Indonesia. Pada era pasca-Orde Baru, kata gurem digunakan untuk konteks yang berbeda, yakni konteks kepartaian untuk pemilihan umum tahun 1999. Dari seluruh partai peserta
263 pemilihan umum tahun 1999, dari 48 partai yang ada, lima perenamnya (83%) mendapat predikat partai gurem. Pola perubahan penggunaan model kedua, yakni "jarang digunakan pada era Orde Baru dan banyak digunakan pada era pasca-Orde Baru" dapat diperhatikan pada penggunaan kata pemilu yang jurdil. Kata jurdil adalah singkatan dan kata "jujur" dan "adil". Jurdil merupakan asas pemilihan umum tahun 1999 sebagai pelengkap asas LUBER (langsung, umum, bebas, rahasia). Asas jurdil sudah lama diperjuangkan sebagai asas pemilu oleh sebuah partai politik sejak era pemerintahan Orde Baru meskipun tidak berhasil. Baru pada pemilihan umum 1999 usulan itu diakomodasikani! Fakta menunjukkan meskipun sudah ada asas LUBER namun kecurangan dan ketidakberesan pelaksanaan pemilu masih sering terjadi. Bahkan, dalam masyarakat berkembang plesetan LUBER dengan memberikan akronim 'lubang beringin'. Pola perubahan penggunaan model ketiga, yakni "sudah digunakan pada era Orde Baru dan memperoleh aksentuasi bare pada era pasca-Orde Baru" dapat diperhatikan pada penggunaan kata-kata money politics, menang atas pilihan rakyat, bukan atas rekayasa, kemenangan rakyat atau publik, dan voting. Kata money politics adalah istilah yang dibeiikan kepada partai-partai besar yang menggunakan kekuatan uangnya untuk menarik massa dalam pemilu. Dalam pemilu tahun 1999, melakukan money politics termasuk tindalcan berkategori pidana. Partai yang paling banyak terkena tuduhan politik uang adalah PG dan partai gurem tertentu yang dipiakarsai oleh mantan tokoh-tokoh Partai Golkar. Frasa menang atas pilihan rakyat, bukan atas rekayasa dan kemenang19) Asas "jujur" dan "add" sudah lama diperjuangkan oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai asas pemilihan umum, tetapi tidak berhasil. Pada pemilu 1997; PPP sekali lagi memperjuangkan asas jurdil sebagai pelengkap asas LUBER yang sudah ada, tetapi digagalkan oleh Fraksi Karya Pembangunan (FKP) yang memiliki suara mayoritas di DPR-RI.
264 an rakyat atau publik sudah lama digunakan dalam wacana politik Orde Ban'. Kosakata ini sering dimunculkan untuk memberikan komentar tentang proses pemilihan organisasi sosial kemasyarakatan dan organisasi sosial politik melalui sistem pemilihan "musyawarah untuk mufakat". Pada era pasca-Orde Baru, kosakata itu memperoleh aksentuasi barn untuk memberikan penekanan agar setiap proses pemilihan haruslah bersifat demokratis terlepas dan segala rekayasa. Kata terakhir, yakni voting, adalah kata yang agak "diharamkan" pada era Orde Ban' meskipun secara eksplisit dirumuskan dalam konstitusi. Pada pemerintahan era Orde Baru, hasil musyawarah melalui voting memiliki derajat yang lebih rendah daripada hasil musyawarah melalui mufakat. Demokrasi dengan mengedepankan musyawarah untuk mufakat amat dijunjung tinggi dalam setiap pengambilan keputusan dengan menomorduakan model voting. Dalam pemikiran Orde Baru. hasil voting mencerminkan adanya demokrasi yang tidak bulat, sementara itu hasil "mufakat" mencerminkan demokrasi yang bulat yang sesuai dengan demokrasi Pancasila. 2. Leksikalisasi dari "Politik Angka" Dalam penelitian ini, yang dimaksudkan dengan "politik angka" adalah penyakralan dan pementingan angka, nomor, atau bilangan terentu yang memiliki makna politis. Terdapat dua macam leksikalisasi "politik angka", yakni (1) leksikalisasi yang berhubungan dengan masa pemerintahan tertentu, dan (2) leksikalisasi yang berhubungan dengan nomor unit partai tertentu dalam pemilihan umum tahun 1999. a) Leksikalisasi yang Berkaitan dengan Masa Pemerintahan Terdapat satu fenomena yang cukup menarik dalam gejala ;eksikalisasi ini, yakni proses leksikalisasi dan "politik angka" yang berhubungan dengan masa sebuah pemerintahan tertentu. Pada era ini, pilihan leksikal dengan memanfaatkan "angka" cukup me-
265 nonjol. Terdapat berbagai pilihan angka dengan pemfokusan yang berbedabeda antara satu dengan yang lainnya. Fokus itu ditekankan pada peristiwa tertentu, seperti (1) usia orde bare, (2) orde lama dan orde barn, dan (3) usia Indonesia merdeka. Kosakata-kosakata itu meliputi 32 tahun, masa 30 tahun, kurang lebih 30 tahun, 30 tahun terakhir, 32 tahun terakhir, 40 tahun terakhir, kurang lebih 50 tahun terakhir, dan 53 tahun terakhir. Penggunaan kata-kata itu mengikuti pola "belum digunakan pada era Orde Baal dan banyak digunakan dengan makna yang negatif pada era pasca-Orde Baru". Angkaangka di atas banyak dipergunakan pars elite politik dalam kampanyenya, baik yang dialogis maupun yang monologis. Angka-angka 32, 30-an, dan kurang lebih 30 digunakan dengan frekuensi yang cukup tinggi, terutama oleh pars elite politik yang menjadi "korban Orde Baru" atau "musuh Orde Baru" dalam memberikan citra negatif terhadap Orde Baru. Bahican, dalam kampanye pemilu tahun 1999 banyak partai politik peserta pemilu yang mengawali kampanyenya dengan memaparkan ape yang terjadi di angka 32 dan 30an itu. Angka 32 dan 32-tahunan itu akhimya menjadi bersifat politis-ideologis. Sementara itu, angka 40, 50-dan 53 banyak dipergunakan oleh partai politik yang memiliki hubungan sejarah dengan pemerintahan Orde Lama. Perhatikan kutipan (23) berikut. Kutipan (23): PNI: Merdeka! Saudara-saudara sebangsa dan setanah air, negara dan bangsa rakyat Indonesia benar-benar berada dalam keadaan yang amat menglchawatirkan oleh karena kesalahan dalam mengurus pemerintahan selama 30 tahun [...]
[Data 3.A.1(23)] Kutipan (23) adalah bagian pembukaan pidato kampanye monologis dari Ketua Partai Nasional Indonesia yang ditayangkan melalui media televisi, partai politik yang didirikan pertama kali oleh presiders pertama Indonesia Penggunaan angka 30 tahun pada kutipan (23) jelas mengimplikasikan bahwa angka itu memiliki urgensi untuk diketengahkan se-
a66. jak awal pidato kampanye. Dalam pandangan PNI, masa 30 tahun adalah masa kegelapan
dan
kedzaliman,
yakni
'adanya
salah
urus
penyelenggaraan
pemerintahan Indonesia'. Begitu rusaknya tatanan yang ada sehingga wajar jika angka itu diketengahkan sejak awal. Beberapa partai politik lain memiliki pola yang sama dengan PM dalam menyampaikan pidato kampanyenya, seperti dapat diperhatikan pada kutipan (24) berikut. Kutipan (24): SBP: [...] Sistem Indonesia baru inilah yang menurut pendapat saya sistem yang demokratis yang menolak adanya sistem totalitarism, menolak adanya sentralisme. Kerusakankerusakan yang ditimbulkan oleh rezim Soeharto selaina 30 tahun. Mikan alang kepalang, baik sistem sosial ekonomi politik maupun budaya ditambah dengan pertumpahan darah di mana-mana di Indonesia....Dan oleh karena itu, saya menghinthau kepada rakyat Indonesia lainnya yang ingin merdeka, seperti: Gera-'can Sulawesi Merdeka, di Maluku, di Irian., bahkan Riau pun ingin merdeka, bahwa sesungguhnya yang menjadi biang ketok semua _____ kejahatan-kejahatan Orde Baru selama 30 tahun. [Data 36.A.1(24)] Kutipan (24) adalah cuplikan pidato pembukaan Sri Bintang Pamungkas dalam debat ca-Ion presiders dari Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI). Jika dalam pandangan PM, angka 30 identik dengan 'salah urns', dalam pandangan PUDI angka 30 tahun identik dengan 'kerusakan-kerusakan sistem sosial, politik, dan budaya' yang tidak terperikan yang mengakibatkan disintegrasi bangsa. Berbeda dengan kutipan di atas, Partai Bulan Bintang, partai politik berasas Islam yang mengklaim sebagai partai penerus semangat Partai Masyumi yang sudah dibubarkan oleh Soekarno pada tahun 1960-an, memandang bahwa angka yang memiliki signifikansi adalah angka 53. Perhatikan kutipan (25) berikut. Kutipan (25): Yllvl: [...] Karena itu, yang paling penting bagi kita sekalian adalah mencegah terulangnya kesulitan-kesulitan ini, jangan nasib masa depan suatu bangsa diserahkan pada satu orang seperti yang terjadi di 53 tahun belakangan ini yang pada akhimya menyulitkan kita bersama. [Data 22.A.1(25)]
267 Kutipan (25) diambil dari cuplikan pidato pembukaan Yusril Thza Mahendra dalam debat calon presiden dan Ketua Umum PBB yang ditayangkan lewat televisi. Jika diperhatikan, dalam pandangan PBB rentangan 53 tahun yang di dalamnya terdapat pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru, memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda. Kerusakankerusakan sistem yang ada terjadi karena adanya kekuasaan absolut pada satu tangan yang sama-sama dipraktikkan oleh Orde Lama dan Orde Baru, bukan pada Orde Baru saja, seperti dapat diperhatikan pada kutipan (23) dan (24) sebelunmya. Pementingan angka 40, 50, dan 53 seperti dikemukakan oleh PBB juga dilakukan oleh partai-partai yang memiliki ikatan sejarah dengan Partai Masyumi yang sudah dibubarkan oleh Soekarno itu. Partai-partai itu antara lain Partai Masyumi Baru dan Partai Politik Islam Indonesia Masyumi. b) Leksikalisasi yang Berkaitan dengan Nomor Urut Partai pada Pemilu Tahun 1999 Sementara itu, politik angka lainnya yang juga cukup menarik adalah penyakralan nomor urut partai peserta pemilihan umum tahun 1999 untuk menarik para simpatisan partai. Nomor peserta pemilu yang hasilnya diperoleh melalui undian itu dalam pandangan elite partainya memiliki makna khusus. Angka-angka yang dianggap sakral atau keramat itu dapat diperhatikan pada tabel 4.12 berikut. Tabel 4:13 Leksikalisasi yang Berkaitan dengan Nomor Urut Partai KOSAKATA
MAKNA OB
MAKNA POB
sudah digunakan (+) belum digunakan belum digunakan belum digunakan belum digunakan belum digunakan
digunakan (+) digunakan (+) digunakan (+) digunakan (+) digunakan (+) digunakan (+)
angka 1 angka 5 angka 17 angka 28 angka 44 angka 45
268 Dari tabel 4.13 dapat diketahui adanya dua pola perubahan penggunaan leksika1tertentu antara Orde Baru dan era pasca-Orde Baru, yakni (1) "swish digunakan pada era Orde Baru dan digunakan (lagi) pada era pasca-Orde Baru", dan (2) "belum digunakan pada era Orde Baru dan digunakan pada era pasca-Orde Baru_ Pola perubahan penggunaan leksikal model pertama, yakni "sudah digunakan pada
era Orde Baru dan digunakan pada era pasca-Orde Baru" dapat diperhatikan pada
pcnggunaan angka 1. Pada era Orde Baru, angka 1 dikeramatkan oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang memiliki nomor urut satu. Dalam pandangan PPP, angka 1 adalah lembang leesaan' dan lemenangan'. Pada era pasca-Orde Baru, angka 1 dikeramatkan oleh Partin Indonesia Baru (PIB). PPP tidak lagi mengeramatkan angka tersebut karena dalam pemilu tahun 1999 partai tersebut memperoleh nomor undian "9". Dalam pemilu tahun 1999, angka 1 adalah nomor peserta pemilu bagi Partai Indonesia Ban' (PIB). Dalam pandangan PIB, angka 1 memiliki beberapa makna. Pertama, angka 1 sesuai dengan lambang partai yang bertuliskan Allahu Akbar 'Allah Mahabesar'. Angka 1 adalah lambang keesaan Allah Sang Pencipta sekaligus lambang lebesaran' sang Pencipta. Kedua, angka 1 adalah nomor yang diidam-idamkan bagi Para juara, bukan nomor lainnya. Hal ini dapat diperhatikan pada kutipan (26) berikut. Kutipan (26): PIB: PIB nomor 1, .A,Ilahuakbar.K.alau sudah adz nomor satu, untuk apa mencari nomor lain. Kami bukan partai status quo, bukan partai kroni keluarga Cendana. Kami partai mitik unist Islam seluruh Indonesia.[Data 1.A.1(26);
Kutipan (26) diambil dari cupiikan pidato pembukaan kampanye dialogis pimpinan partai FIB an ditayangkan lewat teleVisi. Dalam kampanye itu, hadir juga dua partai lainnya, yalmi Partai Buruh Nasional (nomor 37) dan Partai Pekeija Indonesia (nomor 48). Dan
269 kutipan tersebut jelaslah bahwa angka 1 bagi PIB memiliki signifikansi tertentu, yakni sebagai penonjol identitas partai yang mengharapkan simpati dari para pemilih Indonesia yang sebagian besar pemeluknya beragama Islam. Pola perubahan penggunaan leksikal model kedua, yakni "belum digunakan pada era Orde Baru dan digunakan pada era pasca-Orde Baru" dapat diperhatikan pada penggunaan angka-angka 5, 17, 28, 44, dan 45 Angka 5, misalnya, adalah nomor peserta pemilu bagi Partai Kebangkitan Muslimin Indonesia (Partai KAMI), partai yang berasaskan Al-Qur'an dan Hadist. Angka 5 bagi elit partai KAMI memiliki tiga makna yang berkaitan dengan Pancasila, 'rukun Islam', dan jumlah salat wajib' setiap hari bagi pemeluk agama Islam. Perhatikan kutipan (27) berikut. Kutipan (27): KIVU: Nomor peserta "S"bagi KAMI memiliki makna yang amat dalam. Pertama, angka "5" adalah simbol kemenangan bagi bangsa Indonesia, yakni ideologi negara Pancasila_ Kedua, angka "5" lima adalah manifestasi rukun Islam yang jumlahnya juga "5". Ketiga, angka "5" juga merupakan jumlah salat wajib bagi kaum muslimin setiap han. [Data 5.A. 1(27)]
Kutipan (27) dicuplik dari pidato kampanye monologis partai KAMI yang ditayangkan mclalui televisi. Makna 5 yang pertama sesuai dengan misi dan tujuan partai ini yang mendambakan pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen meskipun partai ini berasas Al-Qur'an dan Hadist. Partai ini tidak ingin mengubah ideologi negara Pancasila dengan ideologi Islam. Makna 5 yang kedua sesuai dengan lima rukun Islam yang hams dilakukan oleh kaum muslimin yang merupakan simpatisan dan pendukung Partai KAMI, yakni (1) membaca dua kalimat syahadat, (2) menjalankan salat, (3) melaksanakan puasa, (4) membayar zakat, dan (5) melaksanakan ibadah haji ke tanah suci bagi yang mampu. Makna 5 yang ketiga sesuai dengan kewajiban kaum muslimin
270 untuk melaksanakan salat wajib sebanyak lima kali dalam sehari, yakni Isar, subuh, dhuhur, `asar, dan maghrib. Kata "Islam" itu sendiri merupakan akronim dari lima salat wajib tersebut. Angka kedua, yakni 17 adalah nomor peserta pemilu bagi Partai Syarikat Islam Indonesia-1905 (PSII 1905) yang berasaskan Dienul Islam. Dalam menafsirkan angka 17 itu, partai PSII mengaitkannya dengan 17 rakaat dan tanggal 17. Angka 17 rakaat adalab jumlah minimal pemeluk agama Islam menjalankan salat wajib (fardlu) setiap hari. Kewajiban menjalankan salat wajib bagi pemeluk agama Islam sesuai dengan asas partai. Tanggal 17 yang dimaksud adalah tanggal ketika bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya lepas dari cengkeraman penjajah. Dengan deinikian, angka 17 dalam pandangan PSII-1905 memiliki dimensi vertikal dan horisontal dalam pemaknaannya, yakni makna 'kepatuhan' dan 'kebangsaan'. Angka ketiga, yakni 28 adalah nomor peserta pemilu bagi Partai Republik (PR). Angka 28 bagi PR memiliki makna sakral, yakni angka 28 memiliki dimensi kesejarahan tahun 1928. Pada tahun itu Para pemuda dari segenap suku bangsa di seluruh Nusantara bersatu dengan mengikrarkan sumpah kebangsaaan yang disebut Sumpah Pemuda. Ini sesuai dengan tujuan PR yang salah satunya adalah menegakkan dan memelihara kesatuan serta persatuan Republik Indonesia. Angka keempat, yakni 44 adalah nomor peserta pemilu bagi Partai Bhinneka Tunggal Ika Indonesia (PBI). Angka 44 bagi PBI memiliki makna khusus, yakni simbol dari 'dna kursi yang sama-sama bentuk dan fungsinya. ini sesuai dengan platform PBI yang ingin memperjuangkan persamaan hak bagi setiap warga negara dengan tanpa memandang perbedaan suku, agama, ras, golongan , jenis kelamin, dan sebagainya. Dalam
271 pandangan PBI, setiap warga tanpa kecuali memiliki hak, kewajiban, dan kedudukan yang sama untuk hidup di bumi Indonesia. Angka kelima, yakni 45 adalah nomor peserta pemilu bagi Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia (SUNI). Angka 45 bagi partai SUNI adalah angka keramat bagi bangsa Indonesia, yakni proklamasi kemerdekaan tahun 1945. Ini sesuai dengan harapan partai SUM bahwa cita-cita proklamasi kemerdekaan 45 semoga saja dapat diwujudkan menjadi kenyataan, yakni masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar (UUD) 1945 di bawah naungan Allah yang Mahaadil. 4.1.1.4 Relasi Makna yang Signifikan secara Ideologis Dalam pandangan Fairclough (1989:116) keberadaan kata-kata tertentu dalam hubungannya dengan relasi maknanya sering memiliki signifikansi ideologis. Relasi makna yang sering memiliki signifikansi ideologis meliputi
anionimi, sinonimi,
dan
hiponinzi.
Dalam wacana politik Indonesia pasca-Orde Baru, ketiga relasi makna utama itu dapat dilacak dan dianalisis keberadaannya, seperti dipaparkan berikut ini. a. Antonimi Antonim adalah kata yang berlawanan makna dengan kata yang lain (Richards, Platt, & Platt, 1992:18). Relasi makna pertama yang signifikan secara ideologis pada era pasca-Orde Ban' ini adalah keberadaan kata reformis yang dipertentangkan dengan status quo. Secara semantic, dua kata ini pada hakikatnva adalah kata yang tidak berantonim sehingga tidak dapat dipertentangkan. Status quo dan reformis adalah dua hal yang berbeda. Status quo itu adalah sebuah kondisi kekuasaan atau yang sedang herkuasa, sedangkan reformis itu berkaitan dengan sebuah paradigrna tentang 'perlunya pembaharuan terhadap sesuatu'. Dengan demikian, dapat saja orangnya adalah orang la-
272 ma, tetapi paradigmanya barn, demikian juga sebaliknya, orangnya barn, tetapi berparadigma lama. Dua kosakata itu, dalam perkembangan selanjutnya melesat berkembang menjadi dua kata yang berantonim dan diikuti oleh sejumlah kata turunannya yang diperlakukan sebagai kata yang berantonim. Kata-kata utama wacana politik era reformasi yang berantonim itu dapat diperhatikan pada tabel 4.13 berikut ini. 'label 4.14 Antonini Utama yang Bersifat Ideologis KATA UTAMA
MAKNA
reformis
'orang atau kelompok yang berpaham sangat menyetujui pembaha ruan di segala bidang'
pro reformasi 'paham yang berada atau berdiri pada kelompok yang menyetujui adanya pembaharuan di segala bidang' anti reformasi 'paham yang berada atau berdiri pada kelompok yang tidak menyetujui adanya pembaharuan di segala bidang'
ANTONEVI status quo
pro status quo
anti status qua
MAKNA 'situasi dan kondisi zaman seperti yang ada pada zaman sekarang' 'paha-m yang berada atau berdiri pada kelompok yang menyetujui adanya keadaan yang tetap atau stagnasi di segala bidang' 'paham yang berada atau berdiri pada kelompok yang tidak menyetujui adanya keadaan yang tetap atau stagnasi di segala bidang'
Dari tabel 4.14 di otas dapat diketahui bahwa dalam wacana politik Indonesia, antonimi yang berlaku adalah antonim mutlak. Rumus untuk antonim mutlak ini adalah "Jika (A) adalah antonim (B) maka (-A) = (B) dan (-B) = (A)". Jika rumus itu kan kepada gejala antonimi di atas, garnbaran antonimi itu akar terlihat sebagai berikut.
reformis x status quo tidak reformis = status quo bukan status quo = reformis proreformasi x prostatus quo
273
bukan proreformasi = prostatus quo bukan prostatus quo = proreformasi antireformasi x antistatus quo tidak antireformasi = antistatus quo tidak antistatus quo = antireformasi Gejala penggunaan antonimi seperti terpapar pada deretan kata di atas banyak
digunakan oleh pars elite politik, baik yang menyetujui dikotomi seperti itu maupun yang tidak menyetujuinya. Para tokoh dari partai politik yang oleh masyarakat umum terkelompok pada golongan status quo, misalnya, tidak menyetujui pembagian garis atas dasar dikotomi itu. Dalam pandangan kelompok ini, secara leksikal pun dua kata itu memang bukanlah dua kata yang berantonim. Perhatikan kutipan (28) berik-ut. Kutipan (28): SEY: Sikap itu mtmcul karena dilandasi apriori (su'udzon). Karena apa? Partai-partai lain sebagai kompetitor mengambil langkah paling mudah untuk mencari popularitas. Yaitu, membuat garis yang bernama status quo dan "reformis" Padahal, secara pemikiran, mereka yang mengatakan reformis itu pemikirannya masih kuno semua. [Data 33.A.1(28)]. Kutipan (28) dicuplik dari ujaran lisan Slamet Effendy Yusuf, seorang clit Partai Golkar yang selama kurang lebih 30 tahun menopang pemerintahan Orde Baru. Ujaran itu disampaikan dalam wawancara dengan sejumlah wartawan cetak. Sejumlah elit partai Golkar, seperti pada kutipan (28) di atas tidak sependapat dengan pandangan yang mendikotomikan antara kata status quo di satu pihak dan reformis di pihak lainnya karena dua kata itu memang tidak tepat ditempatkan pada dua sudut yang saling bertentangan. Sementara itu salah seorang elit politik dari kelompok reformis memiliki pandangan yang agak bertenaangan dengan elit
dalam kutipan (28) di atas. Dalam
pandangannya, tersirat bahwa dua istilah di atas, yakni status quo dan reformasi adalah dua kata yang beroposisi. Dawarn Rahardjo, misalnya, memandang dua kosakata tersebut
274 sebagai istilah yang terkelompok dalam satu perspektif saja, yakni perspektif pemerintah yang berkuasa. Tuturan DR itu dapat diperhatikan pada kutipan (29) berikut. Kutipan (29): DR: Dalam konteks wacana politik saat ini status quo dan reformis itu adalah pemerintahan itu sendiri. Kalau kita mau jujur, maka pemerintahan yang ada saat ini adalah termasuk status quo yang artinya masih menggunakan sistem dan aturan yang lama serta belum terlihat perubahan yang berarti. ...Memang saya mendengar penyidikan telah mencapai sekian kali lipat, tetapi penuntutannya kan masih kurang. Berapa banyak pejabat yang diduga terlibat korupsi disidik? Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa pemerintah yang sekarang secara umum masih bersifat status quo. [Data 15.A. 1(29)] Kutipan (29) dicuplik dari ujaran lisan Dawam Rahardjo, elit politik PAN, partai yang mendapat predikat lokomotif reformasi. Ujaran itu disampaikan dalam wawancara dengan sejumlah wartawan media cetak untuk mengomentari pemerintahan Presiden B.J. Habibie. Politik antonimi dalam kutipan (29) selain menjalankan peran sebagai "wadah informasi", antonimi itu juga menjalankan peran sebagai "pengontrol" kelompok lain yang tidak menyetujui politik antonimi tersebut. Politik antonimi itu juga menjalankan peran sebagai "penonjol identitas". Pada kutipan (29) di atas, status quo dan reformis dipergunakan dalam -fungsi adjektiva. Secara morfologis, reformis adalah adjektif yang senada dengan kata-kata seperti: nasionalis, agamis, liberalis, dan sebagainya, sementara itu status quo adalah nomina, sama dengan kata reformasi yang juga nomina. Kosakata lain yang muncul sebagai bentuk politik antonimi adalah munculnya kata ekonomi kerakyatan sebagai oposisi ekonomi konglomerat. Beberapa partai politik yang menonjolkan program partainya dengan "ekonomi kerakyatan" atau ekonomi rakyat dengan mengambil tempat yang oposisi dengan kata ekonomi konglomerat yang sempat menjadi saiah satu andalan dalam pilar ekonomi Orde Baru. Dalam konteks ini, kata ekonomi kerakyatan berdiri di nisi tertentu, sebaliknya kata ekonomi konglomerat
275 berada di sisi yang lain. Bahkan, beberapa partai politik memprogramkan anti ekonomi konglomeratif dalam kebijakan partainya. Perhatikan kutipan (30) berilatt Kutipan (30): PDI: Dalam bidang ekonomi, PDI sudah lama berjuang menegakkan konsep ekonomi kerakyatan yang memiliki ketahanan yang sangat tinggi,tetapi pemerintah Orde Baru telah membangun perekonomian yang bersifat konglomeratif yang hanya bertumpu pada sekelompok orang saja. Sistem konglomerasi yang selama ini dibangga-banggakan dan dikatakan fundamental ekonomi kita kuat temyata sangat rentan terhadap badai perekonomian global. Sistem ekonomi konglomerasi membuat perekonomian kita terpuruk hingga saat ini. Untuk menggantikan ekonomi konglomerasi yang telah runtuh itu kami tents berjuang membangun ekonomi kerakyatan yang benar-benar bertumpu pada keraampuan rakyat. [Data 32.A. 1(30)1 Kutipan (30) di atas dicuplik dari kampanye monologis Partai Demokrasi Indonesia yang ditayangkan melalui media televisi. Dalam pandangan PDI, ekonomi konglomerat sangat anti terhadap konsep "kerakyatan" karena hanya dilakukan oleh sedikit pelaku ekonomi. Karena sifatnya yang "tidak merakyat" itu, PDI mengusulkan penerapan ekonomi kerakyatan yang merniliki sifat "merakyat" karena benar-benar bertumpu kepada kemampuan rakyat Indonesia. Hal yang sama terjadi juga pada politik antonimi antara kata ekonomi kerakyatan dan ekonomi biaya tinggi, seperti dilontarkan oleh Partai Buruh Nasional, atau antara kata ekonomi rakyat dan ekonomi pemodal, seperti dilontarkan oleh Partai Masynmi Baru, atau juga antara kata ekonomi kerakyatan dan ekonomi model Orba seperti dilontarkan oleh Adi Sasono2° dan Partai Daulat Rakyat. Politik antonimi itu juga diperjuangkan oleh tiap-tiap partai politik melalui berbagai aktivitas politiknya. Kosakata ketiga sebagai bentuk politik antonimi adalah munculnya dikotomi kata Golkar dan Partai Golkar yang dinaturalisasikan oleh Partai Golkar. Yang dimaksud
20) Wawacana Adi Sasono dengan sejumlah wartawan media massa tentang ekonomi kerakyatan dapat dilihat pada harian Aiwa Pos edisi 11 Februari 1999.
276 dengan Golkar adalah organisasi politik peserta pemilu yang kurang lebih tiga puluh tahun mendukung pemerintahan Orde Baru yang memiliki sifat "anti reformasi" dan "pro status quo". Sementara itu, yang dimaksud dengan Partai Golkar adalah Golkar barn dengan "paradigma baru"-nya, yakni pro reformasi yang bertahap dan tidak radikal revolusioner. Dalam setiap aktivitas politiknya, sejumlah elit Partai Golkar selalu mengetengahkan dikotomi itu. Hal ini merupakan fenomena yang cukup menarik. Dalam pandangan peneliti, dengan kebijakan politik yang bersifat "menidak" terhadap dirinya sendiri dalam baju yang lama, Partai Golkar berusaha untuk menarik simpati para pendukungnya yang sudah jauh berkurang dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Politik antonimi Partai Golkar itu dapat diperhatikan pada tabel 4.15 berikut Tabel 4.15 Antonimi Partai Golkar yang Bersifat Ideologis NO
GOLONGAN KARYA
PARTAL GOLONGAN KARYA
1
anti reformasi
pro reformasi yang bertahap dan tidak radikal revolusioner
2
pro status quo
terbuka mandiri demokrati s moderat solid mengakar responsif
Jika diperhatikan tabel 4.15 tersebut terdapat fenomena yang menarik yakni berubah totalnya ciri baju yang dikenakan oleh sebuah partai politik yang substansinya masih tetap sama. Dengan demikian, antonimi dalam kasus tersebut sangat bermuatan politisideologis. Kosakata Partai Golkar mengambil posisi pada sudut yang beroposisi dengan Golongan Karya yang pernah menjadi penopang utama pemerintahan Orde Baru. Satu kata kunci yang sering dimunculkan oleh elit PG adalah istilah disconnecting antara "Partai Golkar" dengan "Golkar dan pihak penguasa sebelumnya".
277 Kosakata keempat sebagai bentuk politik antonimi adalah munculnya dikotomi kata sistem Indonesia baru dengan sistem Orde Baru,
seperti sering
dinaturalisasikan oleh Sri Bintang Pamungkas. Perhatikan kutipan (31) berikut. Kutipan (31): SBP: [...] Sebelum itu jauh sebe1umnya kami telah menyusun sistem baru, Indonesia bans. Sesuai dengan namanya mau menggantikan sistem Orde Baru. Sistem Indonesia baru inilah yang menurut pendapat saya sistem yang demokratis yang menolak adanya sistem totaliarism, menolak adanya sentralisme, menolak adanya militerisme. [Data 36.A.1(31)] Dalam kutipan (31) jelas tampak adanya usaha SBP untuk "menidak" terhadap "sistem Orde Baru" yang memiliki sifat-sifat totaliarism, sentralisme, dan militerisme dengan menaturalisasikan konsep "sistem Indonesia Baru" yang anti terhadap totaliarism, sentralisme, dan militerisme. Kosakata lain yang muncul sebagai bentuk politik antonimi adalah penggunaan kata kawasan barat Indonesia dan kawasan timur Indonesia seperti dikemukakan oleh Marwah Daud Ibrahim, salah seorang elit Partai Golkar dari kelompok Iramasuka. Perhatikan kutipan (32) berikut. Kutipan (32): MDI: Ide dasar Iramasuka semestinya untuk mengimbangkan pemerataan antara kawasan barat dan timur. Sebab harus diakui, selama berpuluh-puluh tahun, pembangunan di negeri ini hanya terkonsentrasi di kawasan barat. Kawasan timur hanya dijadikan wilayah pemerasan. Alain di sana diporakporandakan terusmenerus. [Data 33.A.1(32)] Antonimi yang dinaturalisasikan oleh MDI tersebut cukup menarik. Kawasan barat In-
donesia di satu pihak dan kawasan timur Indonesia di lain pihak memiliki sejumlah karakteristik yang sifatnya bertolak belakang. Barat memiliki sifat 'maju', sebaliknya timur memiliki sifat 'terbelakang'. Barat memiliki sifat 'memeras', sebaliknya timur memiliki sifat 'diperas'. Barat memiliki sifat 'menikmatit, sebaliknya timur memiliki sifat 'dinik-
278 mati'. Barat memiliki sifat tmemorak-porandalcad, sebaliknya timur memiliki sifat 'diporak-porandalcan'.Sifat-sifat itu dapat dikembangkan ke dalam berbagai rumusan. Sisi yang menarik lainnya adalah keberadaan akronim yang tidak simetris. Jika "kawasan timur Indonesia" sering disingkat KTI, "kawasan barat Indonesia" tidak ada seorang pun yang menyingkat KBI. Dalam pandangan peneliti, akronimisasi ini mengandung nuansa politis-ideologis. Termasuk ke dalam fenomena politik antonimi adalah dikotomi kata Jawa dan luar Jawa,serta muslim dan nonmuslim dalam setiap persoalan social politik. b. Sinonimi Keberadaan antonimi yang amat ideologis di alas sekaligus mengimplikasikan keberadaan sinonimnya. Menurut Richards, Platt, & Platt (1992:368) sinonim adalah "sebuah kata yang memiliki makna yang sama atau hampir sama dengan kata yang lainnya". Secara lebih luas, sinonimi memiliki beberapa rumusan definisi. Pertama, sinonimi berkaitan dengan leksem-lelcsem dengan acuan ekstralinguistik yang sama. Kedua, sinonimi berkaitan dengan leksem-leksem yang mengandung makna yang sama. Ketiga, sinonimi berkaitan dengan leksem-leksem yang dapat disubstitusi dalam konteks yang sama. Politik sinonimi dalam wacana politik Indonesia era pasca-Orde Baru cukup menonjol. Dibandingkan dengan antonimi, penggunaan sinonimi memiliki frekuensi yang lebih banyak. Tiga kata utama untuk politik sinonimi, yakni reformis, pro reformasi, dan anti reformasi beserta kata sinonimnya banyak digunakan oleh para elite politik dalam memberikan pernyataan-pernyataan politisnya. Sama dengan politik antonimi, dalam sinonimi pun berlaku sinonim mutlak. Rumus untuk sinonim ini adalah (A) = (B). Konsekuensinya adalah bahwa bila seseorang memperoleh predikat reformis berarti sekaligus is adalah seorang yang anti-status quo, paham proreformasi bermakna sekaligus
279 bermakna anti-status quo, dan paham antireformasi bermakna sekaligus pro-status quo. Pada era pasca-Orde Baru ini sinonimi utama yang signifikan secara ideologis muncul dalam wacana politik dapat diperhatikan pada Label 4.16 berikut. Tabel 4.16 Sinonimi Utama yang Bersifat Ideologis KOSAKATA
MAKNA
SINONIM
MAKNA
reformis
'orang atau kelompok yang berpaham sangat menyetujui pembahaman di segala bidang'
anti status quo
'orang atau kelompok yang berada atau berdin pada kelompok yang sangat tidak menyetuj-ui adanya keadaan yang tetap atau stagnasi di segala bidang'
pro reformasi
'paham yang berada atau berdiri pada kelompok yang menyetujui pembaharuan di segala bidang'
anti status quo
'paham yang berada atau berdiri pada kelompok yang sangat tidak menyetujui adanya keadaan yang tetap atau stagnasi di segala bidang'
anti reforrnasi
'paham yang berada .thn berdiri pada kelompok yang tidak menyetujui adanya pembaharuan di segala bidang'
pro status quo
'paham yang berada atau berdiri pada kelompok yang sangat menyetujui adanya keadaan yang tetap atau stagnasi di segala bidang'
Apabila rumus sinonimi di atas diaplikasikan dalam konteks wacana politik Indonesia, aplikasi politik sinonimi itu dapat dipaparkan sebagai berikut. Jika seorang elit politik atau partai politik tertentu memperoleh predikat reformis, berarti individu atau partai itu sekaligus memperoleh predikat anti status quo. Jika seorang ketua LSM atau seorang menteri kabinet sudah memperoleh predikat proreformosi, berarti orang itu memperoleh predikat anti status quo sekaligus. Jika seorang mahasiswa memperoleh sebutan anti reformasi, mahasiswa tersebut otomatis akan memperoleh sebutan pro
280 status quo. Politik sinonimi seperti itu secara tersirat diterapkan oleh Partai Golongan Karya di dalam memandang Golongan Karya (lama) seperti dapat diperhatikan pada tabel 4.15 di atas. Ketiga leksikon utama, yakni reformis, pro reformasi, dan anti reformasi beserta sinonimnya menjadi amat ideologis dalam perkembangannya, jauh berkembang dari makna leksikalnya yang lahir pada akhir pemerintahan Orde Baal atau akhir pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Ketiga leksikon utama di atas didayagunakan dan dinaturalisasikan oleh setiap orang untuk tujuan masing-masing. Misalnya, seorang penjual masakan yang ingin meningkatkan daya tarik penjualannya, penjual itu dengan sengaja memasang iklan harga reformasi. Di lorong-lorong gedung perkuliahan banyak tulisan yang berbunyi pahlawan reformasi untuk memberikan pujian kepada seorang mahasiswa yang berani menentang keputusan ketua jurusan. Pendayagunaan sinonimi yang memiliki signifikansi ideologis dilakukan oleh para elite partai politik peserta pemilu tahun 1999 untuk menarik para simpatisan atau pemilih untuk memilih partainya. Dengan politik sinonimi itu, para pemilih ditempatkan pada posisi yang dilematis, memilih atau tidak sama sekali. Perhatikan paparan kalimat-kalimat yang mendayagunakan politik sinonimi pada tabel 4.17 berikut. Tabel 4.17 Perkembangan Sinonimi yang Bersifat Ideologis NO
KOSAKATA
PEMARKAH SINON1M
SINONIM
menunda kehendak rakyat
sama dengan
menunda kehendak reformasi
2
pengerahan massa
sama dengan
perendahan martebat manusia
3
ekonomi rakyat
adalah
daulat rakyat
4
kemenangan PDR
adalah
kemenangan kaum rniskin
kemenangan PDR
berarti
kemenangan rakyat
281 6
memilih Partai Golkar
sama dengan
mempertahankan NKRI
7
memilih Partai Golkar
sama dengan
menanti disintegrasi bangsa
8
memilih Partai SPSI
berarti
mengakhiri (crisis di segala bidang
9
hidup Partai SPSI
0
hidup reformis
10
mengabaikan kesehatan wanita
berarti
mengabaikan generasi penerus
11
PND
adalah
partai masa depan
12
kalau ada yang menolak SI
berarti
menghalangi usaha reformasi pemerintah
13
bila ada pihak-pihak yang menolak SI
berarti
hanya ingin merusak negara ini
14
penguasa pengusaha
adalah
pengusaha penguasa
adala h
Kalimat-kalimat di atas hanyalah sebagian dari pendayagunaan politik sinonimi yang dilakukan para elite partai politik peserta pemilu. Dari tabel 4.17 di atas dapat diketahui bahwa dalam politik antonimi para elite politik banyak mendayagunakan pemarkah sinonim antara lain: "sama dengan", "adalah", "berarti", dan "zero". Sama dengan yang terjadi pada pilihan antonimi, dalam sinonimi juga bersifat ologis. Kalimat "ekonomi rakyat adalah daulat rakyat", misalnya, bagian yang terdefinisi, yakni "ekonomi rakyat" tidak memiliki kesejajaran atau kesamaan dengan bagian yang mendefinisikan, yakni "daulat rakyat". Hal ini menyimpang dan menyalahi kaidah sinonimi yang ada. Mengikuti pandangan Palmer (1981:88), sebuah sinonimi akan mengikuti formula universal, yakni Vx(A(x)-->B(x). Lambang Vx adalah penjumlah universal (universal quantifier) yang bermakna 'untuk semua'. Lambang A adalah bagian kalimat yang teridentifikasi. Lambang B adalah bagian kalimat yang mengidentifikasikan. Formula tersebut dapat dibaca "semua A adalah B dan semua B adalah A". Dengan demikian, kalimat di atas seharusnya dapat dimaknai "semua ekonomi rakyat adalah daulat rakyat dan semua daulat rakyat adalah ekonomi rakyat". Sinonirni seperti inn tidak memberikan
282 gambaran realitas yang sebenarnya. Semua ekonomi rakyat jelas tidak sepenuhnya berarti daulat rakyat dan semua daulat rakyat tidak sepenuhnya ekonomi rakyat. Masih ada peluang elemen di luar daulat rakyat yang dapat disebut ekonomi rakyat. Kalimat yang lain, misalnya "memilih Partai Golkar sama dengan mempertahankan NKRI" adalah fenomena pilihan sinonimi yang bersifat ideologis-politis. Dengan mengikuti formula Palmer di atas, kalimat tersebut dapat dimaknai "semua (yang) memilih Partai Golkar sama dengan mempertahankan NKRI dan semua (yang) mempertahankan NKRI sama dengan memilih Partai Golkar". Sinonimi seperti ini tidak memberikan gambaran realitas yang sebenarnya. Semua yang memilih Partai Golkar tidak sepenuhnya sama dengan mempertahankan NKRI dan semua yang mempertahankan NKRI tidak sepenuhnya sama dengan memilih partai Golkar. Realitas sosial menunjukkan bahwa yang ingin mempertahankan NKRI bukan hanya Partai Golkar, melainkan juga partai-partai lain di luar Partai Golkar. Kalimat-kalimat lain dapat diterangkan dengan mengikuti formula universal dari Palmer di atas. Fenomena pilihan sinonimi dalam wacana politik pada hakikatnya adalah fenomena pelanggaran formula universal itu. Dalam pandangan peneliti, hal ini bukan persoalan yang alamiah atau arbitraris, melainkan fenomena yang direncanakan secara
matang
sebagai
bagian
dari
strategi
besar
penghasil
teks
dalam
menaturalisasikan berbagai informasi politik ke dalam alam pikiran para pendukung dan simpatisan partainya. c. Hiponimi Hiponimi adalah hubungan antara dua kata di mana rnakna satu kata meliputi makna kata yang lain (Richards, Platt, & Platt, 1992:169). Hubungan dalam hiponimi bersifat unilateral atau searah, berbeda dengan sinonimi yang memiliki hubungan bilateral
283 atau simetris. Hiponimi mengandung hubungan transitif, artinya jika A adalah hiponim dari B dan B adalah hiponim dari C maka A seharusnya merupakan diponim dari C. Dalam hiponimi terdapat dua hal, yakni (1) hiponimi tingkat atas disebut dengan superordinat, dan (2) hiponimi tingkat bawah disebut dengan subordinat atau hiponim. Dalam wacana politik Indonesia era pasca-Orde Baru ini, politik hiponimi cukup didayagunakan oleh partai-partai peserta pemilu dalam kampanyenya. Dalam pandangan peneliti, pendayagunaan politik hiponimi ini adalah memperjuangkan sebuah atau beberapa kosakata tertentu yang dianggap "penting" oleh partai politik tertentu yang memiliki sejumlah kosakata subordinat yang mungkin saja kata subordinat itu dianggap "penting" atau menjadi superordinat oleh partai lain. Tujuannya adalah agar pidato yang disampaikannya bersifat argumentatif-persuasif. Dalam fenomena ini, yang terjadi adalah proses perebutan nilai yang dianggap penting atau utama yang membawahkan nilai lain yang diasumsikan kurang penting atau nilai pendukung. Beberapa partai politik peserta pemilu tahun 1999, seperti PKB, PK, PKD, serta PDKB, sangat mendayagunakan politik hiponimi. Partai Kebangkitan Bangsa, misalnya, memandang bahwa
kebenaran adalah pusat dari semua nilai akan bermuara.
PK mengedepankan bahwa kosakata yang menjadi superordinat adalah nilai keadiian. PKD mengedepankan bahwa kosakata yang menjadi superordinat adalah nilai kesejahteraan umum. PDKB menganggap bahwa kosakata yang menjadi superordinat adalah nilai integrasi bangsa. Dalam pidato kantpanye secara monologis-lisan yang ditayangkan melalui TVRI, Ketua Umum PKB mendayagunakan politik hiponimi dalam pidato kampanyenya, seperti dapat diperhatikan pada kutipan (33) sebagai berikut.
284 Kutipan (33): MA.1: [...] yang kita harapkan adalah menuntaskan reformasi secara total dan damai untuk sampai kepada tatanan masyarakat, bangsa, dan nasional yang benar, yang berkedaulatan rakyat, yang berdemokrasi. Oleh karena itu, PKB selalu mengedepankan nilai kebenaran sesuai dengan semboyan PKB "membela yang benar". PKB membawa aspirasi bangsa dengan tidak membeda-bedakan suku, agama, ras, dan asal-usul atas dasar nilai-nilai demokrasi, nilai hukum, nilai kedaulatan rakyat, nilai kesamaan yang kesemuanya dirangkum dalam satu nilai, yakni nilai kebenaran. [Data 35.A.1(33)] Darikutipan(33)dapatdiperolehpemahamanbahwaelitPKBmendayagunakanhiponimiuntukkepentingantertentu.Semuanilaiyangbalksemuaberpusat padasatunilai,yaknikebenaran.Dariteorihiponimi,katanilaikebenaranmendudukisuperordinat,sedangkannilai-nilai"demokrasi","hukurn","kedaulatan rakyat",dan"kesamaan"mendudukiInponim.PolitikhiponimiPKBitudapatdiperhatikanpadagambar4.1berikut.Nilaikebenaranyangdinaturalisasikanoleh PKBsebagaisuperordinatsangatrelevandengansemboyanPKB,yakni"majutakgentar,membelayang nal
benar". Dengan demikian, semua prog-
nilai
demokrasi hukum kedaulatan rakyat kesamaan
ram aksi PKB mengarah kepada satu Nilai Kebenaran
nilai
Gambar 4.1 Pont& Hiponimi PKB
k ok, yakni nilai kebenaran. nilai
"demokrasi", "hukum", "kedaulatan
nilai
rakyat" dan "kesamaan" hanyalah nilai antara atau nilai pendukung untuk menuju kepada nilai utama itu. Hubungan antara nilai "demokrasi", "hukum", "kedaulatan falcyat", "kesamaan" dan nilai kebenaran adalah hubungan hiponnn. Hubungan antara kohiponim.
yang terdapat pada subordinatnya adalah hubungan
285 Sementara itu, PK mengedepankan bahwa kosakata utama yang menjadi superordinat adalah nilai keadilan. Hal ini dapat diperhatikan pada kutipan (34) berikut. Kutipan (34): NMI Indonesia sebenamya kaya, tapi yang makmur sebagian karena proses pengelolaannya belum adil. Keadilan membuka jalan bagi nilai-nilai kebenaran, kebaikan, ketakwaan, dan kebahagiaan. [Data 24.A.1(34)] Kutipan (34) diambil tuturan Nur Mahmudi Ismail, Ketua Umum Partai Keadilan, ketika memberikan keterangan lisan kepada wartavvan. Dari kutipan itu jelas bahwa PK mengedepankan nilai keadilan yang memiliki subordinat nilai kebenaran, nilai kebaikan, nitai ketakwaan, dan nilai kebahagiaan. Kosakata utama yang dinaturalisasikan oleh NMI sesuai dengan nama partai yang dipimpinnya, yakni Partai Keadilan. Dalam pandangan NMI, persoalan yang terjadi di Indonesia secara nasional adalah adanya ketidakadilan dalam berbagai bidang kehidupan, yakni bidang sosial politik, sosial ekonomi, dan sosial budaya. Politik hiponimi PK itu dapat diperhatikan pada gambar 4.2 berikut. Dari gambar 4.2 tersebut dapat dikeNilai Kim
tahui hubungan antara nilai-nilai
\ nitai kebenaran kebaikan
N N \ nilai nilai ketakwaan kebahagiaan
benaran, kebaikan, ketakwaan, dan kebahagiaan dengan nilai keadilan. Keberadaan nilai kebenaran dalam gambar 4.1 dan 4.2 merupakan feno-
mena
4.2 Patik Hiponimi Partai Keathlan
mena yang menarik. Jika dalam gambar 4.1 nilai kebenaran berada pada posisi superordinat, sebaliknya dalam gambar 4.2 nilai kebenaran berada pada posisi subordinat. Fenomena ini, dalam pandangan peneliti, semakin memperkuat adanya pertimbangan politis-ideologis dalam memilih nilai utama
286 untuk dinaturalisasikan melalui berbagai aktivitas politik sebuah partai politik. Apa yang menjadi nilai
ittatna
dari sebuah partai, mungkin saja menjadi nilai tambahan bagi partai
lainnya. Dalam pandangan peneliti, fenomena ini menjadi contoh adanya peranan institusi dalain menentukan perspektivitas pilihan sebuah nilai kehidupan yang dianggap pokok ataii utama dan berbagai nilai kehidupan yang dianggap sebagai nilai tambahan. Institusi yang mengutamakan nilai kebenaran akan memandang nilai itulah yang menjadi nilai utama. Sebaliknya, institusi yang mengutamakan nilai keadilan akan memandang nilai itulah yang menjadi nilai utama Politikhiponimisepertikeduacontohdiatasju2adidayagunakanolehPartaiKatolikDemokrat.DalampandanganPKD,nilaiutamayangmenjadihukum tertinggiadalahnilaikesejahteraanumum.Pemilihannilaiutamainisesuaidenganmotopartainya,yaknisaluspopulisepremelexlesejahteraanumumadalahhukum tertinggi`.Nilaiutamainidigerakkanolehsejumlahnilaibawahan,yakninilaikeadilan,nilaikesetaraan,nilaipemberdayaan,dannilaiperdamaian.Dalamberbagai aktivitaspolitiknya,empatnilaibawahanituolehparselitepolitikPKDselaludinaturalisasikandenganakronimJEEPyangmerupakansingkatandariempatkatabahasa Inggris,yaknijustice,equality,empowerment, serta peace. Akronim JEEP me-
ZAN
ngandung makna bahwa PKD bisa menjadi
rz / \
/ \ \
"wahana" atau kendaraan politik bagi kaum
n i l ai
Leacirtan
,/ Nilai Kesejahteraan Umum %Alai -
1 .]actaraan
nihti
pemberdavaan padamaian
yang bemgarna Katolik di Indonesia. Politik hiponimi PKD itu dapat diperhatikan pada PKD
gambar 4.3 berikut.
Gambar 43 Palitik
Hipottimi
287 Senada dengan uraian sebelumnya, terdapat fenomena yang menarik, yakni keberadaan nilai keadilan antara PKD dan PK. Oleh PKD, nilai keadilan dipandang sebagai nilai bawahan atau nilai subordinat dan nilai utama nilai kesejahteraan umum. Sebaliknya, oleh PK nilai keadilan dipandang sebagai nilai pokok atau utama yang membawahi nilainilai lainnya. Politik hiponimi selanjutnya digunakan oleh Partai Demokrasi Kasih Bangsa (PDKB). Dalam pandangan PDKB, nilai utama yang perlu dijunjung tinggi adalah nilai integrasi bangsa yang hams dibangun dan tiga pilar pokok, yakni penegakan hak asasi manusia, demokrasi, dan lingkungan hidup. Latar belakang Indonesia yang sangat majemuk itu haruslah menampatkan nilai integrasi bangsa sebagai nilai pokok atau utama. Politik hiponimi PDKB dapat diperhatikan pada gambar 4.4 berikut. Senada dengan paparan sebelumnya, Nilai Integrasi Bangsa
dalam gambar 4.4,
nilai demokrasi N N. N PDKB merupakan penegakan HAM
dalam pandangan
N.
nilai subordinat
yang berada di baGambar 4.4 Politik Iliponimi PDKB
'- hidup demokrasi an
lingkung
wahnilaiintegrasibangsa.Halinisangatberbedadenganpolitik hiponimiyangterdapattekskampanyeSriBintangPamungkas (SBP)yangmenempatkannilaidemokrasisebagainilaitertinggiyangharusdiperjuangkanolehsegenappartaipolitik.Dalampidatopembukaandebatcalon presidenyangdiarlakanolehUniversitasIndonesia,KetuaUmumPLTDIinimendefmisikankatademokratisyangsesuaidengansemangatreformasi. Selanjutnya,perhatikankutipan(35)berikut.
288 Kutipan (35): SBP: [...] Sistem Indonesia bare inilah yang menurut pendapat saya sistem yang demokratis yang menolak adanya sistem totalitarism, menolak adanya sentralisme, menolak adanya militerisme. [Data 36.A.1(35)]. Politik hiponimi dari PUDI seperti yang terdapat dalam kutipan (35) di atas dapat dipaparkan pada gambar 4.5 berikut ini. Seperti dapat diperhatikan pada gambar 4.5, PUDI menempatkan nilai demok-
Sistem yang Demokratis AN N
rasi sebagai nilai utama yang hams diperjuangkan melalui berbagai metode -
z
N
menolak totalitarisme
menolak sentralisme
Gambar 4.5 PolitikHiponimi PUDI
menolak militerisme
naturalisasi. Terwujudnya nilai demokrasi itu hams dibangun dad tiga nilai bawahan yang berupa tindakan negasi atau penolakan terhadap sesuatu, yakni
menolak totaliterisme, menolak sentralisme, dan menolak militerisme. Dalam pandangan PUDI, hancurnya Indonesia disebabkan adanya penyelewengan nilai-nilai demokrasi universal yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru, khususnya pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Meskipun pemerintahan Orde Baru mengklaim melaksanakan demokrasi Pancasila, dalam pandangan PUDI, demokrasi yang dilaksanakan oleh Orde Baru jauh dari nilai-nilai demokrasi yang universal itu. Pendayagunaan politik hiponimi, seperti sudah dipaparkan di atas, juga dilakukan oleh Partai Nasional Indonesia (PNI), peserta nomor 3 peinilu tahun 1999. Dalam pandangan PNI, sasaran akhir partainya adulah menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Nilai utama itu dibangun dari empat nilai bawahan yang dilakukan dengan
289 cara penolakan, yakni tidak nepotis, tidak kapitalis, tidak konglomeratif, dan tidak korup. Hubungan antara superordinat dengan subordinat dari politik hiponimi PM dapat diperhatikan pada gambar 4.6 berikut. Dari gambar 4.6 tersebut dapat diketaPemerintah yang Bersih dan Berwibawa
hui bahwa untuk menciptakan pemerintah yang "bersih" dan "berwibawa" di-
/ N
tidak nepotis
tidak kapitalistis
N.
tidak tidak konglomeratif korup
Gambar 4.6 Politik Hiponimi PM
bangun dari aspek-aspek pembentuknya, yakni "tidak nepotis", "tidak kapitalistis", "tidak konglomeratif', dan "tidakkorup".HalinisesuaidenganpengamatanPMbahwakehancuran Indonesiadewasainikarenamembudayanyapenyakitpenyakit"nepotis",
"kapitalis","konglomeratif',dan"korup".Penyakit-penyakititusangatbertentangandenganfilosofinegara,yakniPancasila. Gejala-gejala pendayagunaan hiponimi seperti contoh-contoh di atas memiliki frekuensi yang cukup banyak dilakukan oleh para pemimpin partai politik peserta pemilu 1999. Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa politik hiponimi dalam pandangan peneliti memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam menaturalisasikan sebuah nilai utama agar mendapatkan tempat dalam hati dan pikiran para pendengar. Contoh di atas di atas hanyalah sebagian dari berbagai politik hiponimi yang dilakukan oleh banyak par-tai politik peserta pemilu tahun 1999. 4.1.1.5 Metafora Sebelum tahap analisis terhadap pendayagunaan metafora dalam wacana politik Indonesia, terlebih dahulu dipaparkan beberapa hal ikhwal yang berkaitan dengan meta-
290 fora, khususnya metafora dalam pandangan linguistik. Metafora adalah ungkapan kebahasaan yang maknanya tidak dapat dijangkau secara langsung dari lambang yang dipakai karena makna yang dimaksud terdapat pada predikasi ungkapan kebahasaan itu (Wahab, 1990:142). Metafora jugs mengandung makna tentang pemahaman dan pengalaman akan sejenis hal yang dimaksudkan dengan perihal yang lain. Hal ini senada dengan pendapat Richards, Platt, & Platt (1992:139) bahwa dalam metafora itu sesuatu yang dideskripsikan diganti dengan uraian lain yang dapat dibandingkan. Dalam pandangan lingistik, terdapat tiga jenis metafora, yakni (1) metafora nominatif, baik nominatif subjektif maupun nominatif objektif, (2) metafora predikatif, dan (3) metafora kalimat. Metafora nominatif subjektif adalah metafora yang lambang hasnya muncul hanya pada subjek kalimat (pokok kalimat), sementara komponenkomponen kalimat yang lain tetap dinyatakan dengan kata-kata yang mempunyai makna langsung. Pada metafora nominatif objelctif, lambang kias hanya muncul pada objek kalimat atau komplemen, sementara komponen lain dari kalimat tetap dinyatakan dengan kata yang mempunyai makna langsung. Dalam metafora predikatif, kata-kata lambang kias hanya terdapat pada predikat kalimat, sedangkan subjek dan objeknya (jika ada) masih dinyatakan dalam makna langsung. Metafora yang terakhir, yakni metafora kalimat adalah metafora yang seluruh lambang kias yang dipakai tidak terbatas pada nominatif dan predikatnya saja, melainkan seluruh komponen dalam kalimat metaforis itu merupakan lam-bang kias. Dalam dunia politik, analisis terhadap metafora mentpakan langkah awal memahami bahasa politik itu (Beard, 2000:19). Metafora disematkan ke dalam cara bagaimana kita mengkonstruksikan dunia di sekitar kita dan cara dunia dikonstruksikan oleh orang
291 lain untuk kites Dalam pandangan Beard (2000:21) sumber metafora secara umum berkaitan dengan "olahraga" dan "perang" yang keduanya melibatkan pertandingan fisik dalam berbagai cara. Gibbs mengemukakan tiga catatan penting berkaitan dengan matefora politik (Beard, 2000:22). Pertama, metafora bukan hanya sebagai alat retoris semata-mata, tetapi menunjukkan bagaimana masyarakat memahami politik. Kedua, kunci metafora politik melibatkan konsep-konsep "musuh" dan "lawan", melibatkan konsep-konsep "pemenang" dan "pecundang". Ketiga, metafora tidak memberikan saran bahwa sebuah pemerintahan dapat dicapai melalui diskusi, kerjasama, dan bekerja bersama-sama. a. Metafora Nominatif Wacana politik Indonesia mendayagunakan pilihan metafora nominatif, baik nominatif subjektif maupun nominatif objektif yang memiliki maksud dan tujuan tertentu. Pemakaian metafora nominatif muncul dalam wacana politik yang dihasilkan oleh berbagai elit politik, baik dan elite partai politik peserta pemilu tahun 1999 maupun elite pemerintahan yang berkuasa. Secara kuantitas, pilihan jenis metafora nominatif lebih banyak didominasi oleh pilihan metafora nominatif objektif. Sementara itu, metafora nominatif subjektif dipergunakan secara relatiflebih sedikit. Pilihan metafora nominatif subjektif, misalnya, dapat diperhatikan pada kutipan (36) berikut. Kutipan (36): GD: Wong reshuffle di tubuh milker raja juga orang-orang dia. Bahkan, saya curiga berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintahan sekarang juga masih bergantung pada dia. [Data 35.A. 1(36)]
Kutipan (36) di atas dicuplik dari wawancara lisan Gus Dur dengan sejumlah wartawan media massa. Dalam wawancara itu, sejumlah wartawan mempertanyakan tindakan kontroversial Gus Dur yang masih sering mengunjungi mantan Presiden Soeharto di rumah-
292 nya di Jalan Cendana, Jakarta Sebagai elite politik Gus Dur wajib memberikan keterangan tentang tindakannya yang melawan arus itu. Sementara itu, sebagaian besar masyarakat menuntut agar mantan presiden kedua Indonesia itu segera diadili karena kesalahankesalahannya pada masa lalu ketika menjabat presiden selama lebih kurang tiga puluh tahun. Dalam pandangan Gus Dur, meskipun Pak Harto sudah tidak menjabat presiden secara formal, tetapi pengaruhnya dari "belakang lap?' terhadap pengambilan keputusan jalannya pemerintahan Habibie dan ABRUTNI masih sangat besar. Gus Dur memilih metafora tubuh untuk mewakili konsep "institusi" ABRJJTNI. Dalam kutipan (36) di atas kata tubuh menjalankan peran "menghidupkan" kata yang mengikutinya. Penggunaan kata "ABRI/TNI" yang didahului kata tubuh menjadikan susunan kata tersebut menjadi lebih animate. Penggunaan metafora nominatif subjektif seperti kutipan di atas dapat diperiksa pada kutipan (37) berikut. Kutipan (37): Alt: [...] Tetapi, lebih dari itu sejimilah togas yang sangat amat penting buat kesejahteraan bangsa Indonesia itu belum diuthik-uthik, belum disinggung sama Mister Habibie ini Pertama, sarang-sarang KKN itu masih tetap saja kokoh, kuat, bahkan dalam banyak hal mungkin masih diberi kesempatan tambah kuat lagi. [Data 15.A.1(37)] Kutipan (37) di atas dicuplik dan pidato Amien Rais pada acara debat calon presiden yang terbuka untuk umum yang ditayangkan oleh media televisi. Menjawab pertanyaan moderator debat, Amien Rais memberikan catatan bahwa salah satu kelemahan dalam pemerintahan Presiden Habibie adalah masih bertahannya kebiasaan atau tradisi pemerintahan Soetiarto yang penuh dengan korupsi. kclusi, dan nepotisme. Bahkan, dalam pandangan Ketua Partai Amanat Nasional (PAN) ini, KKN di Indonesia ada kecenderungan bertambah kokoh dan kuat. Begitu kuatnya, tokoh reformasi itu memilih meta-
293 fora sarang yang maknanya identik dengan 'rumah tinggal', yakni suatu tempat yang bersifat relatif permanen yang berfungsi sebagai tempat tinggal penghuninya. Kata sarang juga dapat dimaknai dengan `tempat berkembang
Dengan kata sarang KKN
yang dipilih membuat publik menjadi lebih yakin akan keberadaan KKN yang semakin merajalela itu. Yang menarik dari pilihan metafora di atas adalah penaturalisasian kata sarang yang memiliki asosiasi makna binatang'. Sarang adalah "rumah tinggal sejumlah binatang". Dalam pandangan peneliti, jika kita menyetujui pandangan Beard (2000) bahwa pilihan metafora mencerminkan bagaimana seseorang mengkonstruksikan realitas di sekitarnya, pendayagunaan kata sarang oleh Amien Rais itu memberikan informasi tentang bagaimana Amien Rais mengkonstruksikan realitas KKN yang sudah sangat membudaya di lingkungan kita. Selain mendayagunakan metafora nominatif-subjektif, wacana politik Indonesia juga mendayagunakan metafora nominatif-objektif. Pilihan metafora nominatif objektif dapat diperhatikan pada kutipan (38) berikut. Kutipan (38): GD: [...] Sekalipun pemerintah sudah membentuk tim untuk mengusut kasus itu, bahlcan telah membentuk tim pencari fakta, namun belum menghasilkan buah yang memuaskan. Kita masih menunggu basil kerja tim ink [Data 35.A.1(38)] Kutipan (38) di atas dicuplik dari ujaran lisan Gus Dur dalam menjawab pertanyaan dari sejumlah wartawan media massa. Salah satu persoalan yang ditanyakan adalah masalah keterlambatan Pernerintah Indonesia. terutama aparat penegak hukurn, dalam menyelesaikan kasus kerusuhan massal pada bulan Mei 1998. Dalam pandangan Gus Dur, pemerintah Indonesia kurang sigap menuntaskan masalah tragedi kemanusiaan itu. Pada
294 bagian lain Gus Dur juga mendayagunakan metafora nominatif objektif seperti kutipan (39) berikut. Kutipan (39): GD: [...] Mereka minta jaminan hukum. Nah, kita ini punya apa. Paling hanya bisa menghimbau. Karena itulah, pemerintah harus mengambil langkah yang konkret dalam menangani kasus itu.[Data 35.A.1(37)] Dalam kutipan (39) Abdurrahman Wahid menggunakan kata langkah untuk menggantikan "kebijakan". Secara leksikal, kata langkah mengandung makna 'jangkah kaki' atau 'perbuatan'. Dengan demikian, dalam teks itu GD berusaha untuk "menghidupkan" kata "kebijakan". Pendayagunaan jenis metafora seperti di atas didayagunakan juga oleh Sri Bintang Pam ungkas, Ketua Partai Uni Demokrasi Indonesia, seperti dapat diperhatikan pada kutipan (40) berikut. Kutipan (40): SBP: [...] Tampaknya Habibie akan mengulang proses ini. Hebatnya, melalui ICMI connection itu, Amien diikutkan dalam permainan. Lihat saja sendiri pada minggu lalu Amien bertemu dengan Habibie. Semua itu merupakan setting politik yang bergerak dari ICMI [Data 36.A.1(40)] Kutipan (40) di atas dicuplik dari ujaran lisan Sri Bintang Pamungkas dalam wawancara dengan sejumlah wartawan. Pertanyaan yang diajukan oleh sejumlah wartawan kepada musuh utama pemerintahan mantan Presiden Soeharto ini adalah tentang persoalan langkah Habibie dalam mengokohkan pencalonannya kembali sebagai Presiden Republik Indonesia dengan jalan merangkui beberapa elemen partai politik yang memiliki massa yang signifikan. Sri Bintang menggunakan metafora setting dalam membicarakan aktivitas politik Habibie. Jika dicermati, kata setting pada mulanya digunakan dalam bidang teater, drama, atau sandiwara. Dalam konteks ini, pendayagunaan metafora nominatif
295 setting dalam kutipan (40) di atas di atas memberikan pemahaman bahwa Ketua PUDI memandang persoalan politik adalah persoalan teater di mana di dalamnya ada pemain, alur, sutradara, skenario, babak, latar, dan sebagainya. Dalam pandangan PUDI, setiap aktor politik menjalankan peran tertentu yang menyerupai peran-peran dalam teater. Penggunaan metafora nominatif objektif yang memiliki kemiripan dengan kutipan (40) di atas dapat ditemukan pada kutipan (41) berikut. Kutipan (41): MDI: [...] Jadi menurut saya, ini kesempatan emas bagi Golkar untuk memasuki fase benlcutnya. Yakni, fase demokrasi dan fase kebebasan yang mulai dinilanati sejak Pak Akbar menjadi ketua Partai Golkar. [Data 33.A.1(41)] Kutipan (41) di atas dicuplik dan ujaran lisan elit politik Partai Golkar, Marwah Daud Ibrahim (MDI), dalam wawancara dengan sejumlah wartawan. Topik pertanyaan yang diajukan kepada tokoh wanita asal Sulawesi Selatan (Sulsel) itu adalah tentang perseteruannya dengan elit Partai Golkar lainnya, Marzuki Darusman, tentang pencalonan kernbali Habibie sebagai presiden Republik Indonesia. MDI menggunakan metafora emas yang dilekatkan sesudah kata "kesempatan". Secara etimologis, kata emas bermakna 'logam yang mahal'. Jika diperuntukkan kepada perhiasan, emas merupakan benda perhiasan yang amat berharga dan mahal harganya. Harga dan nilai emas di pasar ditentukan oleh naik turunnya harga dan nilai mata uang dolar di pasar internasional yang se-ring sulit diduga, termasuk kurs dolar terhadap mata uang rupiah. Naiknya harga dolar akan mempengaruhi naiknya harga emas, demikian juga sebaliknya. Frasa kesempatan emas inenginformasikan bahwa "kesempatan yang berharga dan mahal harganya" itu datangnya sulit diduga dan belum tentu datang untuk kedua kalinya karena itu harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
296 Frasa setting politik dan kesempatan emas di atas memiliki kemiripan dalam mendayagunakan metafora nominatif ke dalam frasa subordinatif Selanjutnya perhatikan pendayagunaan metafora nominatif dari elit politik PAN, Dawam Rahardjo, seperti pada kutipan (42) dan dari elit politik Partai Golkar, Marzuki Darusman, seperti kutipan (42) di bawah ini. Kutipan (42): DR: Menurut saya apa yang dilakukan oleh partai-partai yang melakukan komunike, bails di Paso inaupun yang di Karulca Candra adalah hanya merupakan manuver politik saja, bahkan itu bisa jadi merupakan bentuk ketidakpercayaan diri partai tersebut dengan kekuatan mereka serta khawatir dengan kekuatan Golkar. [Data 15.A. 1(42)] Kutipan (43): MD: [...] Kesimpulan TGPF tentang tanggal 14 Mei itu hanya sebagai titik pangkat dalam menyelidiki lebih jauh bagaimana sebenarnya anatomi dari proses politik yang pada saat yang sama mengalami juga eskalasi kekerasan. [Data 33.A.1(43)] Kutipan (42) di alas dicuplik dari ujaran lisan Dawam Rahardjo (DR) dalam wawancara dengan sejumlah wartawan_ Topik yang diajukan kepada DR adalah komunike partai-partai peserta pemilu untuk membentuk suatu aliansi strategis dan koalisi antarpartai untuk membendung kemenangan Partai Golkar. DR mendayagunakan metafora nominatif manuver politik Secara etimologis, kata manuver adalah istilah untuk aktivitas kapal atau pesawat dalam peperangan atau latihan perang yang membentuk formasi gerakan tertentu. Dalam manuver terkandung makna 'sulit dilakukan, mengandung keberanian, dan ada efek bahayanya'. Dengan demikian, manuver dalam politik memiliki kesepadanan makna dengan makna kata manuver dalam konteks peperangan. Kutipan (43) di atas dicuplik dari ujaran lisan Marzuki Darusman (MD) dalam wawancara dengan sejumlah wartawan. Topik yang diajukan kepada elit Partai Golkar da-
297 lam kapasitasnya sebagai Ketua Tim Gabungan Pencari Fakta itu adalah masalah kerusuhan 13-15 Mei 1998 yang clikaitkan dengan pertemuan sejumlah tokoh militer dan sipil di Markas Kostrad. MD menggunakan metafora titik pangkal untuk memberikan sebutan kepada "pertemuan sipil-militer" itu. Secara etimologis, pangkal mengandung arti bagian yang dibawah (besar)' atau bagian yang mula-mula'. Frasa, titik pangkal dalam kutipan (41) itu mengandung makna 'asal muasal pokok masalah'. Untuk persoalan yang sama, dalam bagian lain wacana tersebut, MD juga menggunakan metafora titik simpul. Secara etimologis, kata simpul mengandung makna fikatan tali'. Dengan demikian, "pertemuan sipil-militer di Makostrad" merupakan asal-muasal pokok masalah kerusuhan Mei yang sulit diuraikan kasusnya secara satu persatu. Terdapat kekhasan lain dalam metafora yang didayagunakan dalam wacana politik Indonesia. Beberapa elit politik mendayagunakan metafora nominatif dengan jalan nominalisasi. Hal itu dapat diperhatikan pada kutipan (44) berikut. Kutipan (44): FB: [...] Tetapi, krisis ekonomi yang melanda Indonesia ini menyadarkan Bank Dunia bahwa efektivitas bantuan itu akan terganggu akibat banyak kebocoran. Dulu mereka mengklaim 95 persen tidak ada masalah. [Data 15.A..1(44)]
Kutipan (44) di atas dicuplik dari ujaran lisan Faisal Basri ekonom kritis yang juga elit politik Partai Amanat Nasional (PAN). Ujaran itu muncul dari FB dalam wawancara dengan sejumlah wartawan. Pertanyaan yang diajukan kepada politisi yang juga dosen di FE UI adalah masalah kebocoran dana bantuan Bank Dunia oleh pejabat RI_ Dalam pandangan F 3, isu sinyaleinen kebocoran bantuan Bank Dunia FB bukan mengada-ada dan merupakan dugaan yang memiliki dasar berpijak. Dalam wawancara itu FB menggunakan metafora kebocoran terhadap kasus korupsi di Indonesia. Secara morfoiogis, kata
298 kebocoran dibentuk melalui proses afiksasi dari bentuk dasar adjektif bocor dan afiks "ke-an". Hasil afiksasi kedua morfem itu adalah bentuk nomina. Oleh karena itu, proses terbentuknya kosakata yang dimaksud dinamakan juga nominalisasi. Jika dianalisis, kata bocor mengandung makna 'berlubang hingga dapat kemasukan air atau isinya dapat keluar'. Dengan demikian, kata kebocoran dalam kutipan (42) mengandung makna berlubang dan isinya keluar'. Pendayagunaan metafora nominatif seperti kutipan (44) di atas dapat diperhatikan juga pada kutipan (45) berikut. Kutipan (45): KHD: [.. Kemudian, pengebirian proses demokratisasi atas pembangunan ekonomi jus-tru
menjadi bumerang. Hari ini ekonomi kita sangat terpuruk. utang luar negeri kita menumpuk, serta masyarakat dan politisi tak terberdayakan. [Data 24.A.4(23)) Kutipan (45) di atas dicuplik dari ujaran lisan K.H. Didin Hafiuddin (KHD), elite politik yang juga calon presiden dari Partai Keadilan (PK). Ujaran itu muncul dalam acara debat calon presiden yang diadakan oleh Universitas Indonesia dan disiarkan secara langsung ke seluruh pelosok tanah air melalui media televisi. Dua pilihan metafora yang muncul dalam wacana politik yang dihasilkan KHD adalah kata pengebirian dan kata bumerang. Metafora pertama dipilih melalui proses nominalisasi, sedangkan metafora kedua dipilih melalui cara "biasa", yakni pemanfaatan sesuatu untuk mengekspresikan suatu yang lain. Nominalisasi pada kata pengebirian dibentuk melalui afiksasi dari bentuk dasar verba kebiri mendapat konfiks "ke-an". Secara leksikal, kata kebiri bermakna 'menghilangkan jantannya'. Dengan demikian, kata pengebirian pada kutipan (45) di atas mengandung ntak-tia 'menghilangkan sendi-sendi yang amat pokok atau fundamental'. Sementara itu, kata bumerang adalah jenis senjata yang dimiliki suku Aborigin di Australia yang memiliki kekhasan dapat kembali kepada pemiliknya setelah senjata itu digu-
299 nakan untuk kepentingan tertentu. Kata bumerang pada kutipan (43) di atas mengandung makna 'kembali mengenai diri sendiri'. Terdapat kekhasan lain dalam metafora nominatif yang didayagunakan elite politik dalam wacana politik Indonesia. Hal ini tampak pada teks politik Sri Bintang Pamungkas, Ketua Umum PUDI, ketika mengikuti debat calon presiden yang diadakan oleh Ul. Perhatikan kutipan (46) berikut. Kutipan (46): SBP: Yang dijual adalah ide, yang dijual adalah konsep, bukan bendera, bukan pengerahan massa. Kita pun tidak mampu membangun podium yang harganya seratus juta [Data 36.A.1(46)] Berbeda dengan metafora nominatif yang sudah dipaparkan di atas, pilihan metafora yang dimunculkan Sri Bintang Pamungkas (SBP) dalam kutipan (46) adalah menggunakan metode "nominalisasi+yang". Dalam menjawab pertanyaan sejumlah wartawan, SBP, misalnya, menggunakan frasa yang dijual. Proses nominalisasi frasa yang dijual berasal dari verba dijual yang diikutkan setelah kata yang. Secara morfologi, konjungsi "yang" yang diikuti verba atau adjektif berfungsi membentuk nomina. Dengan demikian, "yang dijual" merupakan kelas kata nomina. Verba dasar "jual" sebagai bentuk dasar dari kata kompleks "dijual" memiliki makna 'memberikan sesuatu dengan ganti uang'. Meskipun frasa "yang dijual" adalah nomina, makna "yang dijual" dalam kutipan (46) di atas mengandung makna 'memberikan sesuatu, berkaitan dengan perdagangan'. Pilihan frasa yang dijual dapat memberikan pemahaman kepada kita tentang bagaimana SBP mengkonstruksikan realitas "ide" atau "konsep" yang harus dinaturalisasikan kepada publik. Terdapat nuansa makna materialisme dalam pilihan metafora nominatif SBP, yakni sebuah ide atau program yang diukur dengan sejumlah uang.
300 b. Metafora Predikatif Wacana politik Indonesia juga mendayagunakan pilihan metafora predikatif. Pilihan metafora predikatif yang muncul cukup signifikan dalam memberikan gambaran tentang dimensi ideologi dalam wacana politik Indonesia. Beberapa verba metaforis, seperti dibantai, membekukan, memeriksa, dicabik-cabik, ngotot-ngototan, mencairkan, kebakaran jenggot, membidik, dilibas, bercermin, bercakar, bertaring, menyeret, mrotoli, digebukin, menggembar-gemborkan, dan menjual muncul dalam ujaran para elite politik. Perhatikan kutipan (47) berikut. Kutipan (47): SH: Saya bersyukur sekali kawan-kawan seperti Bang Buyung, Adi Andojo, Andi Mallarangeng, dan juga memiliki kesadaran kuat. Kadang-kadang mereka rela dibantai orang untuk mempertahankan idealisme yang baik. [Data 49.A.1(47)]
Kutipan (47) di atas dicuplik dari ujaran lisan Syarwan Hamid, Menteri Dalam Negeri dalam Kabinet Refoimasi Pembangunan, dalam wawancara dengan sejumlah wartawan media massa. Topik yang diajukan kepada purnawirawan perwira tinggi ABRI/TNI itu adalah pelaksanaan pemilu 1999 yang diharapkan berlangsung benar-benar jujur dan adil tanpa ada tekanan, tanpa ada pesanan dari siapa pun. Termasuk di dalam pembahasan itu adalah keberadaan KPU yang penuh dengan persoalan karena orang-orang yang duduk di dalamnya mulai mementingkan diri sendiri dan kelompoknya, bukan mementingkan bangsa secara keseluruhan. Dalam wawancara itu, SH menggunakan metafora dibantai yang sebenarnya bukan istilah politik. Secara leksikal, verba bantai memiliki makna 'menyemhelih binatane, seperti lembu, kerbau, dan sebagainya'. Dengan demikian, verba dibantai memiliki asosiasi makna 'kebinatangan'. Jika kata bantai itu dipergunakan dalam konteks wacana politik, terdapat kesan 'sarkasme' dalam penggunaan itu. Dengan
301 demikian, kata dibantai dalam kutipan (47) di atas mengandung makna Vikalahlcan dan diperlakukan seperti hewan potong'. Pilihan dan penaturalisasian metafora predikatif yang memiliki nuansa makna 'sarkasme' seperti kutipan (47) di atas dapat diperhatikan juga pada kutipan (48) berikut. Kutipan (48): SBP: Menurut saya, Habibie sedang membidik Mega dan PDI Perjuangan-nya. Terlalu berat dan sulit bagi dia kalau membidik rakyat secara keseluruhan. Apalagi selama ini rakyat sudah melihat kiprah Habibie. Dengan mendekati keluarga Bung Kamo, barangkali Habibie punya angan-angan mengumpulkan dua partai besar, PDI Perjuangan dan Golkar. Ini juga kalau dilihat dari pemyataan orang-orang Habibie, seperti Achmad Tirtosudiro. Secara tersirat, Tirto kan mengatakan akan mendukung Mega anal ICMI tidak dilibas. [Data 36.A.1(48)] Kutipan (48) di atas dicuplik dari ujaran lisan Sri Bintang Pamungkas dalam wawancara dengan wartawan media massa. Topik yang dibahas adalah masalah manuver Habibie yang tampaknya proaktif dengan tuntutan reformasi agar memperoieh kredit poin untuk pencalonannya kembali sebagai presiden. Wacana yang dihasilkan oleh Ketua PUDI itu mendayagunakan metafora membidik, kiprah, dan dilibas. Kata membidik dan dilibas memiliki nuansa makna yang senada dengan dibantai Secara leksikal, kata bidik memiliki makna 'mengarahkan senapan dan sebagainya dengan memincingkan mata sebelah'. Sama dengan kata dibantai di atas jika kata membidik dipilih dalam wacana politik mengandung nuansa makna sarkasme. Dengan demikian, metafora membidik dalam kutipan (48) mengandung makna 'mengincar dengan serius agar jangan sampai terlepas'. Demikian juga, kata dilibas yang digunakan dalam wacana politik mengandung nuansa makna sarkasme. Kata libas
makna
dihabisi, ditumpas, tidak diberi
kesempatan hidup'. Sementara itu, kata kiprah secara leksikal berasal dari dunia pewayangan yang bermakna 'gerakan yang menunjukkan kejantanan dari tokoh wayang yang
302 numnya memiliki sifat jahat, seperti Suyudono dan Rahwana'. Nuansa sark asme seperti tparan di atas dapat juga diperhatikan pada kutipan (49) berikut. utipan (49): FB: Kalau target mendapat USD 1 miliar dilakukan dengan jual murah-murah dan obral, bisa saja target itu tercapai. tetapi, yang benar saja. Ini harta dan kekayaan negara. Jangan sampai dicabik-cabik begitu. Sudah tahu kondisi perekonomian kita sedang dilanda }crisis dan di sana banyak bolong, ini mau menjual BUMN dengan harga obral. [Data 15.A.1(49)] .utipan (49) di atas dicuplik dari ujaran lisan Faisal Basri menjawab pertanyaan wartaan. Topik yang dibahas adalah program privatisasi BUMN yang dilakukan oleh Menteri egara Pembinaan BUMN. Dalam wacana yang dihasilkan oleh Sekretaris PAN itu terapat pendayagunaan metafora dicabik-cabik untuk memberikan penilaian terhadap tngkah privatisasi yang terkesan asal-asalan tanpa ada perencanaan yang matang. Secara :ksikal, kata cabik memiliki makna 'sobek atau robek'. Kata dicabik-cabik memiliki iakna 'disobek-sobek atau dirobek-robek'. Penggunaan kata dicabik dalam wacana olitik mengandung nuansa makna sarkasme. Kata dicabik biasanya digunakan dalam onteks binatang buas, seperti harimau, singa, dan kucing ketika memakan mangsanya. . Metafora Kalimat Dalam wacana politik Indonesia terdapat fenomena pendayagunaan metafora kaimat oleh beberapa elite politik. Beberapa elite politik menyelipkan metafora kalimat [slam wacana politik yang dihasilkannya. Dalam wawancara dengan sejumlah wartawan, corang tokoh LSM Adi Sasono (AS), misalnya, mendayagunakan pilihan metafora kalinat ketika menyatnpaikan pendapatnva tentang datangnya angin reformasi yang diuungtombaki oleh mahasiswa Indonesia sebagai sebuah keniscayaan seperti perjalanan iukum-hukum alam. Perhatikan kutipan (50) berikut.
303 itipan (50): AS: [...] Dalam sejarah kita era baru selalu dimulai dan kelompok generasi muda. Jadi, fajar telah menyingsing. Tidak ada yang bisa menahan matahari terbit esok hari. [Data 49.A.1(50)] clam kutipan (50) di atas, AS mendayagunakan pilihan metafora kalimat dalam mem:rikan komentar tentang datangnya era reformasi yang tidak dapat dibendung. Kalimat jar telah menyingsing memberikan gambaran tentang keadaan akan datangnya zaman Liu menggantikan zaman "lama". Kalimat matahari terbit esok hari memberikan make tentang 'kepastian datangnya era baru yang lebih menyegarkan'. Metafora kalimat dam kutipan (50) di atas mengandung makna 'datangnya era baru, yakni era reformasi, iatu era yang berupa suatu keharusan dan tidak dapat dicegah kedatangannya untuk Lenggantikan era lama yang semakin usang' Siapa pun tidak dapat mencegah datangnya To baru itu meskipun dengan menggunakan senjata yang mematikan. Pendayagunaan metafora kalimat dalam wacana politik seperti yang terdapat pada utipan (50) di atas dapat diperhatikan juga pada kutipan (51) berikut. :utipan (51): AM: [...] Hadirin yang ada di rumah dan yang ada di studio. Jadi, kita ini sekarang berdiri di atas rumah yang telah runtuh. Dan yang ingin kita lakukan adalah membangun kembali rumah Indonesia. [Data 24.A.1(51)] :utipan (51) di atas dicuplik dari ujaran lisan Anis Matta (AM), Sekretaris Jenderal Parai Keadilan (PK), dalam kampanye dialogis yang ditayangkan melalui televisi. AM nendayagunakan metafora kalimat untuk memberikan gambaran yang lebih konkret entang kondisi sosial-politik, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya Indonesia yang begitu )arah. Metafora kalimat kita ini sekarang berdiri di atas rumah yang telah runtuh itu nemberikan pemahaman tentang bagaimana PK memandang hakikat krisis multidimensi
301+ ng terjadi di Indonesia. Untuk membangun rumah Indonesia yang telah runtuh itu, ng dilakukan bukan program perbaikan atau bukan program tambal sulam, tetapi seba.nya yang dilakukan adalah pembangunan kembali secara total dengan bahanbahan ng "mungkin saja" barn. Pendayagunaan metafora kalimat juga dilakukan oleh Partai Golkar dalam kamnye dialogis. Dalam menyikapi berbagai kritikan terhadap PG, khususnya pelaksanaan molcratisasi dalam tubuh partai, elit politik PG menggunakan metafora kalimat seperti rtipan (52) berikut. atipan (52): AR:
Sekarang Golkar sudah memberikan penyuluhan-penyuluhan kepada masyarakat supaya kedaulatan itu ada di tangan rakyat. Yang berdaulat itu ralcya, bukan pemimpin..Profpram Golkar adalah program yang mengutamakan rakyat yang berdanlat. DPD-DPD I tetap melaksanakan itu bahwa pemilihan ketua umum kita berangkat dari bawah. Tidak ada kiriman-kiriman lagi seperti membeli kucing dalam karung. [Data 33.A.1(52)]
[etafora kalimat dalam kutipan (52) di atas digunakan untuk memberikan penegasan shwa PG dengan paradigma barunya adalah partai yang memiliki semangat dan bernafas formasi. Kebiasaan-Golkar lama yang selalu menentukan pemimpin dan pengurusnya as penunjukan Ketua Dewan Pembina, dalam PG barn kebiasaan itu sudah dikikis ha-S. Kekuatan arus bawah yang menjadi tema utama reformasi sudah diaplikasikan dalam iri PG. Pemimpin partai bukan kucing dalam karung yang dipilihkan secara mutlak leh atasan. Sebaliknya, pemimpin partai haruslah dipilih atas suara arus bawah yang iayoritas meskipun pemimpin itu "bisa saja" tidak disenangi oleh berbagai pihak yang iemiliki kepentingan tertentu. Dalam memilih pemimpin, PG melalcsanakannya secara emokratis dengan menolak kucing dalam karung itu. Dengan demikian, memilih peninpin ibaratnya jangan seperti membeli kucing dalam karung.
305 Fenomena yang menarik dari pilihan PG terhadap metafora kucing untuk membekan bandingan dengan "pemimpin". Konsisten dengan pandangan Beard (2000) bahwa lihan metafora mencerminkan bagaimana seseorang mengkonstruksikan realitas di setamya, pendayagunaan metafora kucing dalam karung oleh PG memberikan informasi :ntang bagaimana PG mengkonstruksikan realitas pemimpin dalam tubuh partai itu. Pendayagunaan metafora kalimat yang senada juga dilakukan oleh Abdurrahman Jahid, deklarator PKB, seperti dapat diperhatikan pada kutipan (53) berikut. .utipan (53): GD: Ini bisa dijawab dalam satu tarikan napas. NU sebagai janz'iyah tidak menjadi partai polink. NU sudah enjoy dan pas sebagai organisasi kemasyarakatan Islam. Mereka itu perk' dibuatkan wadah biar tidak gentayangan. [Data 35.A.1(53)] :utipan (53) adalah cuplikan keterangan GD untuk memberikan penegasan bahwa PKB dalah partai "anak kandung" NU karena disamping PKB terdapat tiga partai politik larmya yang juga didirikan oleh elite politik dari lingkungan NU, yakni (1) Partai SUNI, 2) Partai Nandlatul Ummat (PNU), dan (3) Partai Kebangkitan Umat (PKU). Kata walah dalam kutipan (53) mengandung makna 'tempat menampung sesuatu'. Frasa genta7angan umumnya digunakan untuk memberikan sebutan bagi gerakan atau perpindahan 'roh halus atau makhluk halus lainnya". Pilihan kata gentayangan mengimplikasikan nakna bahwa makhluk itu tidak memiliki tempat yang pasti. Ini adalah sebuah fenomena menarik, yakni bagaimana seorang elite politik membandingkan anggota sebuah institusi ktagamaan tertentu dengan gerakan roh halus atau makhluk halus lainnya. Paparan di atas hanyalah sebagian dari pendayagunaan metafora dalam teks-teks politik era pasca-Orde Baru_ Satu catatan penting dapat dikemukakan bahwa dalam pendayagunaan metafora, partai-partai politik yang tergolong "partai gurem" cenderung men-
306 ayagunakan metafora yang "menggigit". Beberapa metafora dapat dipaparkan secara ngkat sebagai berikut. partai kami bertekad menyeret Soeharto (Partai Buruh Nasional) kita berkubang dalam lumpur kemelaratan (Partai Masyumi Baru) kubangan kesulitan dan kemiskinan (Partai Republik Indonesia) rezim bercakar tajam (Partai Islam Demokrat) sekali layar terkembang, surut kita berpantang (Partai Islam Demokrat) binatang ekonomi bertaring kuat (Partai Islam Demokrat) PG, partai yang sering melalukan serangan fajar (Dawam Rahardjo) banyak partai yang mencuri start kampanye (Partai Golkar) benaug merah sejarah yang terputus scat Orde Baru (Partai Nasional Bangsa Indonesia) Kata menyeret memiliki nuansa makna yang isarkasmel. Kata ini lebih cocok jika ikaitkan dengan dunia "binatang" atau "barang". Metafora berkubang dalam lumpur ernelaratan dan kubangan kesulitan dan kemiskinan memiliki nuansa makna yang .arkasme. Frasa berkubang dalam lumpur itu identik dengan dunia "binatang", seperti erbau. Metafora rezim bercakar tajam dan binatang ekonomi bertaring kuat juga aemiliki nuansa makna yang isarkasme. Frasa cakar tajam dan bertaring kuat itu idenik dengan dunia "binatang buas pemakan daging" atau karnivora. Metafora sekali layar erkembang, surut kita berpantang memiliki makna 'tekad yang menyala-nyala'. Metabra ini identik dengan dunia pelayaran. Metafora serangan fajar berkaitan dengan dunia 'peperangan". Metafora ini mengandung nuansa makna 'sarkasme'. Metafora mencuri ;tart kampanye juga mengandung nuansa makna yang (sarkasme'. Metafora ini diambil sari dunia olahraga atletik. Demikian juga, metafora benang merah sejarah tidak metgandung nuansa makna yang 'sarkasme'. Metafora ini diambil dart dunia pertekstilan. Dengan pendayagunaan metafora seperti itu konsep yang semula tampak "biasa-biasa saja" membuat menjadi "lebih hidup", "lebih menggigit", bahkan "hiperbolis".
307 .1.2 Nilai Relasional .1.2.1 Ekspresi Eufemistik Secara umum, penggunaan ekspresi eufemistik dalam wacana politik yang lahir ada era pasca-Orde Baru ini tidak begitu banyak, bahkan dapat dikatakan amatlah ter atas, baik wacana yang dilahirkan oleh elite politik dari eksekutif maupun para elite olitik dari partai-partai politik peserta pemilu tahun 1999. Pernyataan-pernyataan para Jenteri yang muncul di media massa sangat jarang menggunakan eufemisme. Demikian iga, materi kampanye partai politik di televisi maupun yang langsung di lapanganpangan terbuka jarang menggunakan eufemisme. Sebaliknya, pilihan kata yang muncul vi h didominasi oleh nuansa "kelangsungan", bahkan "kekasaran". Jika pada era Orde aru, politik eufemisme banyak didayagunakan pada teks -teks politik untuk berbagai ijuan dan keperluan, pada era pasca-Orde Baru ini yang menonjol adalah pendayagunaa "ekspresi kelangsungan" dan "ekspresi kekasaran". Kalau pun muncul, ekspresi eufeiistik pada era pasca-Orde Baru itu hanyalah menirukan apa yang sering disampaikan ara elite politik pada era Orde Baru. Pada era pasca-Orde Baru, ekpresi kelangsungan memudahkan publik memahami bahasa politik yang diungkapkan oleh para elite olitik Indonesia. Salah satu ekspresi eufemistik yang muncul adalah penggunaan frasa bantuan sing. Frasa ini dipergunakan untuk memperhalus kata "pinjaman" atau "utang". Frasa antuan asing sudah lama digunakan dalam wacana politik pada era Orde Baru untuk ienghaluskan kata-kata "pinjaman", "utang", dan "kredit" yang biasanya diperoleh ielalui organisasi dana internasional, seperti: IGGI, CGI, IMF, World Bank, dan sebaainya. Selanjutnya perhatikan kutipan (54) berikut ini.
308 utipan (54): KKG: Selama 32 tahun, Orba mengandalkan bantuan asing sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan. Mulanya, kita bisa dibuat percaya bahwa penggunaan bantuan sifatnya hauya sebagai pelengkap. Kata pemerintah Orba, bantuan asing semalcin lama seinakin berkurang dan pembangunan kita sepenulmya mengandalkan pembiayaan secara mandiri. {Data 11.A.2(1)] utipan (54) dicuplik dan pernyataan lisan Kwik Kian Gie, salah seorang elit PDT, partai trig memenangkan pemilu tahun 1999 dalam wawancara dengan sejumlah wartawan tedia massa. Tentunya, dalam pemikiran KKG, bantuan asing yang dimaksud adalah rtang" atau "pinjaman". Indonesia sebagai negara pengutang memiliki kewajiban megembalikan utang itu serta disertai dengan kewajiban membayar bunga pinjamannya. ata bantuan memiliki konotasi bahwa peminjam tidak memiliki kewajiban mengernalikan bantuan itu. Kata bantuan asing sudah begitu lama dinaturalisasikan dalam pikiran seluruh iasyarakat Indonesia melalui berbagai aktivitas politik para elite pemerintah Orde Baru. egitu lamanya kata itu dipergunakan dalam kehidupan sosial masyarakat, menurut landangan peneliti, sampai-sampai masyarakat tidak menyadari bahwa semua itu adalah hutang" yang harus kita kembalikan kepada si peminjam. Bahkan, KKG, seorang penimpin partai politik yang terkenal kritis dengan berbagai kebijakan ekonomi pemeintah Orde Baru pun sampai-sampai menggunakan istilah bantuan, bukan istilah "utang" itau "pinjaman". Masih dari pimpinan partai pemenang pemilu, ekspresi eufemistik juga digunakan intuk memperhalus sebuah maksud karena jika digunakan bentuk aslinya akan menda.angkan ketersinggungan. Perhatikan kutipan (55) berikut ini. K utipan (55):
309 SSG: Saya selalu berkata bahwa kongres PDI jalan terus. Itu ada kerusuhan kalau ada pihak ketiga yang night mengacau. Seperti dulu, aparat-aparat keamanan disuruh pa-, kai baju PDI. Dan kita punya bukti cukup banyak Jadi, kalau ada kekac,anan, itu jelas bukan berasal dari warga PDI, melainkan dan faktor ekstern yang sengaja mendiskreditkan PDI agar tidak disenangi rakyat. [Data 11.A.2(2)] utipan (55) dicuplik dari ujaran lisan pimpinan PDI ketika diwawancarai oleh wartawan iedia cetak. Yang dimaksud faktor ekstern dalam kutipan itu adalah 'pemerintah Orde ,aru yang sedang berkuasa'. Dalam pandangan peneliti, PDI sebagai partai politik cukup isegani oleh pemerintah Orde Baru, khususnya mantan Presiden Soeharto. PDI di bawah impinan Megawatt Soekarnoputri tidak begitu tunduk dengan kebijalon pemerintah )rde Baru. Pemerintah yang berkuasa sering menggunakan jargon "PDI tidak akomodaif'. Hal ini sangat berbeda dengan kondisi PDI ketika dipimpin Soerjadi yang sangat iropemcrintah Orde Baru. Oleh karena itu, pemerintah melalui berbagai kebijakannya )erusaha untuk menghambat gerak PDI. JiKa disimak kutipan (54) dan (55) di atas, pendayagunaan ekspresi eufemistik un:uk kepentingan politik sudah muncul pada saat pemerintahan Orde Baru, khususnya pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Ketika Soeharto secara formal sudah turun dari pemerintahan, ekspresi eufemistik itu masih didayagunakan oleh beberapa elite politik yang ada. Beberapa ekspresi eufemistik yang masih muncul pada era pasca-Orde Baru dapat diperhatikan pada tabel 4.18 berikut. Tabel 4.18 Beberapa Ekspresi Eufemistik pada Era Pasca-Orde Baru EKSPRESI EUFEMISTIK
EKS. SEBENARNYA PENGRASIL
1. Kondisi ini akan btrtambah buruk k2rena masih banyak pensimpin parpol yang belum dewasa.
"kekaaak-kanakan"
SEY
2. Ini rnasalah teknis raja Bukan karena ada masalah -masa- "pemberian utang" GKS lah tertentu yang menyebabkan penundaan pencairan dana karena letter of intent sudah diterima mereka
310 anjutan label 4.18 Tetapi, kerukunan umat beragama itu munculnya dari ba wah. Tugas pemerintah hanya memfasilitasi.
"ikut campur terlibat"
MF
Sebagian besar atialah pandangan yang positif dan konstruktif, sebagian kecil adalah pandangan yang benar tetapi masih harus dibahas lebih lanjut. Sebagian lagi adalah masalah yang terlalu dilebih-lebihkan,didramatisasi, digeneralisasi, disimplifikasi,kadang-kadang juga meng gunakan analogi yang tidak tepat.
"mengada-ada"
SBY
Say-a melihat bahwa keinginan demikian kurang tepat, kurang Iogis, dan kurang reatistis.
"salah dan tidak masuk aka„
SBY
Kita sebaiknya percaya bahwa DPR mampu menga komodasikan keinginan reformasi.
"ragu-ragu dengan ke mampuan DPR
AWM
Pak Amien bilang, sebagai partai yang hanya dapat 9% kurang pantaslah terlalu menonjolkan diri.
"tidak balk"
Tapi yang jelas, ini bukan OTh (organisasi tar.pa bentuk)
"liar"
Untuk rnenghindari penggunaan fasilitas negara, mereka "penyelewengan" akan mengambil cuti.
ABT
MD AT
atatan: EY= Slamet Effendy Yusuf iKS= Ginandjar Kartasasmita IF= Malik Fajar BY= Susilo Bambang Yudhoyono
AWM= Abdul Wahab Makodongan ABT= Abdiilah nobs MD= Marzuki Darusman AT= Akbar Tarijung
)ati tabel 4.18 di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa ekspresi eufemistik yang dihailkan merupakan ekspresi yang sudah muncul pada eca. Orde Baru. Fenomena yang mearik dari tabel 4.18 di atas adalah keberadaan ekspresi eufemistik yang dimunculkan lada era pasca-Orde Baru sebagian besar (89%) dihasilkan pleb para elite politik yang ernah menjadi "orang-orang" penting pada era pemerintahan Orba. Sebaliknya, hanya ebagaian kecil saja ekspresi eufemistik yang dipilih oleh orang-orang di luar Orde Baru.
311 .1.2.2 Kata-Kata Formal dan Informal yang Mencolok Pertanyaan yang dikemukakan Fairclough (1989:111) berhubungan dengan persoan ini adalah "adakah kata-kata formal dan informal yang mencolok sekali". Kedua ujud pilihan kata itu berada di bawah payung persoalan formalitas (formality), yakni ;buah kepemilikan yang lazim dalam banyak masyarakat, baik pada tingkat praksis mum wacana, yang berkenaan dengan prestise sosial yang tinggi dan akses yang terbatas airclough, 1989: 65). Dalam persoalan ini yang terjadi adalah tuntutan formalitas dalam ;buah relasi sosial. Hal ini jelas dalam tampak dalam kosakata yang secara konsisten Tjadi pilihan yang fakultatif dari pilihan yang lebih formal sampai pilihan yang tidak )rmal dari alternatif yang tersedia. Formalitas juga berkenaan dengan ekspresi kesanman yang menyangkut persoalan saling menjaga muka (face) antarpartisipan, saling Lenjaga status dan posisi partisipan. Kata-Kata Formal Wacana politik Indonesia pada era pasca-Orde Baru banyak memanfaatkan aspek )rmalitas itu, khususnya dalam bentuk-bentuk linguistiknya. Pada tataran kosakata, Lisalnya, wacana politik banyak mendayagunakan istilah-istilah asing. Keberadaan islah-istilah itu dapat dipandang sebagai pemarkah identitas sosial penuturnya. Beberapa Lite politik sering memilih kosakata tertentu, seperti dapat disimak pada kutipan (56) erikut. .utipan (56): SE \':
Dalam memandang hakikat partai, kita melihat partai ini harus menjadi partainya rakyat, yang ingin menjadi the rulling party bukan seperti yang lama rules party, partainya penguasa di mana Golkar hanya menjadi mesin pengumpul suara yang digunakan oleh penguasa sebagai alat legitimasi. Sekarang ini tidak. [Data 33.A.2(3)]
312 ttipan (54) di atas dicuplik dari ujaran lisan Slamet Effendy Yusuf, seorang elite PG lam wawancara kepada sejumlah wartawan media massa. Pertanyaan yang dimunculn wartawan adalah tentang bagaimana tanggapan elite PG terhadap adanya tuduhan ttus quo pada PG. Dalam wawancara itu, muncul istilah-istilah yang dapat menunjukn markah identitas sosial penuturnya, seperti: bottom up, top down, a priori, paradigi, disconnecting, common enemy, partisanship, civil war, pemerintahan yang totaliter, 'nsense, dan visi maupun mini. Kehadiran kosakata asing itu, dalam pandangan peneliti alah bagian dari strategi penuturnya untuk menunjukkan autoritas dan superioritas PG hadapan p et ut urn ya , yan g d al am hal i ni adal ah m as ya rak at Indon esi a. Den gan d em i ki , kosakat a asi n g yan g di pi l i h sel ai n berper an seba gai " w adah i nform asi " j u ga ya n g l e -h p ent i ng adal ah berper an seba gai "p engont rol " t e rhadap pet ut ur sert a seb a ga i "penon i dent i t as" ba gi penut urn ya . Hal senada dapat diperiksa pada ujaran lisan seorang menteri dalam bidang ekogni pada Kabinet Reformasi Pembangunan ketika menjawab pertanyaan dari sejumlah artawan. Pada wawancara itu banyak dimunculkan istilah-istilah yang bermarkah foral, khususnya dari bidang ekonomi sesuai dengan bidang garapan menteri di alas. Peraikani kutipan (57) berikut ini. utipan (57): AS: [...1 Bahkan„ pertumbuhan sempat mencapai 8,3 persen pada akhir pelita VI. Namutt, ini tidak diikuti pemerataan. Teori trickle down effect yang diagung-agungkan itu tidak terbukti. Yang terjadi justsu kesenjangan semakin lebar, baik antarwiiayah, sektor, maupun pelaku ekonomi. Hasil-hasil petnbangtman, sebagaimana kita lihat, hanya dinikmati scbagian kecil masyarakat [Data 39.A.2(4)] utipan (57) dicuplik dari scbagian teks wawancara Adi Sasorio dengan wartawan Jawa us. Pertanyaan yang diajukan wartawan adalah masalah tanggapan AS terhadap pelaksa-
313 Ian ekonomi kerakyatan yang menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Dalam kupan (57) AS memunculkan kata trickle down effect, nama sebuah teori ekonomi yang pilih pemerintah Orde Baru untuk mengembangan sistem perekonomian nasional. Katatta formal lain yang muncul dalam teks itu itu adalahpolitical will, resource based eco)my, regulasi yang memihak rakyat, hollow middle, paradigma lama, paradigma baru, rcses, ekonomi partisipatif, dan dualistik struktur ekonomi nasional. Pilihan kosakata ;ing ini dapat menunjukkan keberadaan autoritas dan superioritas penuturnya. Dan kaanata kotnunikasi politik, pilihan kata-kata formal itu dapat "mempengaruhi", "meng"mempesonakan", bahkan "membingungkan" penerimanya. Jika kata-kata itimidasi", perti itu dapat membingungkan penerimanya, misalnya, AS sebagai pemegang jabatan ia harus berpikir bahwa pars penerima teks itu bukan hanya sebagian masyarakat ing terbatas, tetapi juga sebagian masyarakat lain yang juga menjadi "penikmat teks ,Tara tidak langsung". Istilah "penikmat teks secara tidak langsung" digunakan dalam z,nelitian ini sebagai adaptasi dart konsep "pembaca tidak langsung" (implied reader) an Leech & Short (1981). Yang dimaksud dengan "penikmat teks tidak langsung" adath penikmat hipotetis yang bersama-sama dengan penutur atau penghasil teks politik ang tidak hanya memiliki pengetahuan latar belakang yang sama, tetapi juga memiliki merangkat presuposisi, simpati, dan standar yang sama apakah sesuatu itu menyenangan atau tidak, baik atau jelek, serta benar atau salah. Dengan memperhatikan "penikmat tidak langsung" itu, pengaruh yang mempesonakan atau membingkan dart sebuah kemungkinan kecil teijadi. Agak berbeda dengan dua kutipan di atas, berikut ini disajikan contoh teks dart .bdurrahman Wahid, seorang elit partai PKB yang sekarang menduduki lembaga kepre-
314 lenan Indonesia. Ciri formal tidak ditunjukkan dan berbagai kosakata bahasa Inggris, api dan pilihan kata atau ungkapan bahasa Arab_ Hal itu dapat diperhatikan pada kuan (58) berikut. Ltipan (58): GD: Tapi, yang penting saya telah berusaha melakukan yang terbaik_ Di dalam hadist nabi diajarkan bahwa niat baik seorang muslim lebih baik daripada amal perbuatannya. Niyyzuttul mukmini Idiairun min amalihi. Jack, kalau apa yang saya lakukan itu ternyata gagal, mestinya tidak hanya dilihat dan kegagalan itu. Tapi, juga harus diukur dan niatnya. [Data 35.A.2(5)] itipan (58) di atas dicuplik dari hasil wawancara lisan antara Gus Dur dengan sejumiah trtawan media massa. Kalimat yang dicetak miring di atas dapat memuncukan kesan to nada tuturan yang formal meskipun sebagian besar masyarakat Indonesia beragatna am. Dalam pandangan GD, apa yang diiakukannya bukanlah ambisi pribadi atau amlembaga yang dipimpinnya, tetapi apa yang dilakukan GD memiliki landasan hukum rmal, yakni hadist nabi. Dalam wacana yang lengkap GD tidak terlalu banyak mendagunakan politik formalitas dalam bahasa Inggris. Hampir semua pilihan bahasa yang la tidak menunjukkan sifat formal. Hanya satu kata formal yang muncul, yakni kata shuffle, sebaliknya GD banyak metnunculkan kata-kata informal yang akan dipaparkan Ida subbab berikut. Fenomena seperti kutipan (56), (57), dan (58) di atas banyak terjadi dalam wacana Aitik Indonesia. Pada tabel 4.19 berikut dipaparkan beberapa pilihan leksikal yang dart
pemarkah aspek formalitas penggunaan bahasa.
abel 4.19 Daftar Kosakata Formal sari Beberapa Partai Politik NTO
PARTAI
I
PAY
KOSAKATA FORMAL moral force political force
NO
PARTAI
9
PCD
KOSAKATA FORMAL national building character building
315 mjutan Tabel 4.19 40
PA_RTM
NO
PARTAI
■
KAMI
ekonomi nba konglomeratisme sekularisme liberalisme kapitalisme
10
PUI
PSII
amar makruf nahi munkar masyarakat jahiliah masyarakat madani
11
PN1-FM
PNI
nepotis kapitalis konglomeratif pendidikan yang demokratis
12
PPP
PAN
rezim orba yang feodalistis demokratisasi bangsa semangat pluralisme budaya rekonsiliasi bangsa masyarakat madani good gevernance character & nation building erosi nasionalisme erosi patriotisme
13
PNBI
subordinat kapitalisme intemasional posisi strategis-dialektis aktualicasi jiwa kejuangan revolusi moral dan mental era peperangan budaya aktualisasi kesadaran bela negara membangun orde rakyat kesabaran revol'isioner antitesis kapitalisme intemasional strategi global budaya
PKD
sumber moralitas equality empowerment justice peace
14
PBB
r
PG
paradigms baru mekanisme bottom up kristalisasi monopoli interpretasi kesetaraan gender masyarakat madani
15
PN1-MM
anti monolitik reformasi konstitusi sharing yang adil ijtihad politik status quo lama status quo barn anti konglomerasi American minded anti federal state marhaenisme is Pancasila
I
PKB
16
PK
KOSAKATA FORMAL
rule of law judicial review constitutional reform transformasi masyarakat madani rekonsiliasi nasional politik akhlakul karimah
KOSAKATA FORMAL pengakuan pluralitas hasrat demokratisasi kedaulatan Allah constitutional reform judicial review kemiskinan struktural kemiskinan absolut kemiskinan spriritual amar makruf nahi munkar tindakan walk-out krisis akhlak era globalisasi
konsolidasi nasional recovery krisis ekonomi rckonsiruksi masa depan masyarakat madani ambivalensi sikap marginalisasi peran agama amar makruf nahi munkar redefinisi doktrin ABRI
316 njutan Tabel 4.19 7
PART
sosial demokrast yang religius oligarkis dan monolit demoralisasi dehumanisasi dekulturasi destabilisasi eksploitasi kapital manifesto politik ABRI restrukturisasi ekonomi demokratisasi komprehensif pragmatisme-materialisme negara sebagai kontrak sosial national state system judicial review rekonsolidasi otoritarian moral force kepoliticalforce cita-cita the founding fathers menegakkan rule of law constitutional reform centre capital ke grass capital centre economy ke grass economy
18
PK
totalitarisme absolutisme sentralisme law enforcement instabilitas di bidang politik disintegrasi bangsa Habibie connection ICMI connection
19
IPKI
krisis kebangsaan neoOrla neo-Orba
Dart paparan di atas, partai-partai politik peserta pemilu banyak mendayagunakan litik formalitas dalam menyampaikan program-programnya. Satu catatan penting dapat cemukakan bahwamendayagu. partai-partai politik yang relatif ba' cenderung lebih kan politik formalitas dalam teks-teks kampanyenya. PARI, misalnya, melalui ketua iumnya banyak mendayagunakan kosakata bermarkah formal dalam bidang sosial poik dan sosial ekonomi. Hal yang sama jugs dilakukan oleh beberapa partai politik lain ng relatif baru, seperti PNBI, PUDI, PK, dan sebagainya. Sementara itu partai-partai na, seperti PPP, PG, dan PDI-P, tidak begitu banyak memanfaatkan politik formalitas. ogram-program partai disampaikan melalui kosakata yang bet nada "biasa-biasa" atau atar-datar" saja yang sudah akrab dengan persepsi sebagian besar masyarakat Indonesia. ereka itu lebih banyak menggunakan kosakata sehari-hari (colloquial).
317 Kosakata-kosakata di atas dalam pandangan sebagian masyarakat Indonesia mungkin saja tidak bermarkah formal. Akan tetapi, seorang elite politik hams berpikir bahwa keseluruhan mitra tutur dalam komunikasi politik adalah keseluruhan masyarakat Indonesia yang memiliki keberagaman latar belakang kemampuan, baik dalam memahami persoalan sosial-ekonomi, sosial-politik, dan sosial-budaya maupun kemampuan dalam Denguasaan bahasa Indonesia, khususnya bahasa Indonesia ragam politik dan birokrasi. Mitra tutur dalam komunikasi politik bukan hanya masyarakat yang ada di kota-kota be>ar yang amat akrab dengan pilihan kosakata-kosakata politik di atas, tetapi juga yang ter3ebar ke seluruh penjuru tanah air yang tidak begitu mengetahui dan memahami kosakaa-kosakata itu. Ditinjau dari sudut petutur, pilihan terhadap berbagai kosakata yang bermarkah fornal di atas akan berpengaruh terhadap nada percakapan atau nada tuturan yang juga fornal. Sebuah nada tuturan yang formal akan menciptakan sebuah jarak sosial antara penuur (elite politik) dengan petutur (masyarakat luas). Terciptanya sebuah jarak sosial bermplikasi terhadap ketidakidealan sebuah komunikasi politik, yakni kesamaan pemahamm antara apa yang disampaikan oleh elite politik dengan apa yang dipahami oleh masyaakat luas. Ini sesuai dengan rumusan Leech & Short (1981:314) bahwa sebuah gaya fornal diasosiasikan dengan "jaralc" dari komunikasi publik yang serius. Pilihan bentuk-benuk formal itu dapat dipandang sebagai ketidaktepatan atau ketidakcocokan dalam meiyesuaikan dengan konteks situasi dan konteks budaya yang melingkupinya. r. Data-Rata Informal Selain mendayagunakan politik formalitas yang berkenaan dengan identitas status Ian posisi subjek, wacana politik Indonesia juga mendayagunakan politik informalitas
318 yang memiliki makna sosial yang beragam. Dan pilihan kosakata yang ada, pilihan kata dari bahasa daerah Jawa begitu mendominasi, baik dan elite politik berlatar belakang etnis sulcu Jawa maupun yang non-Jawa. Politik informalitas didayagunakan untuk berbagai tujuan_ Pada kasus tertentu, politik informalitas dipilih sebagai sarana untuk memberikan olok-olok kepada kebijakan tertentu. Dalam kasus seperti itu, banyak muncul kosakata bermarkah informal meskipun topik yang dibahas tergolong persoalan yang cukup berat, seperti kutipan (59) berikut. Kutipan (59): FB: Karen itu, jangan-jangan privatisasi ini untuk mendukung pemenangan Golkar. lni jangan-jangan. Dulu Tanri Abeng, dalam kasus 2 persen untuk Golkar, membantah BUMN tidak memberikan dana politik. Memapg, bukan dia yang memberikan. Kekuasaan itu memang begitu, cenderung otoriter. Mentang-mentang berkuasa, lalu bertindak arogan. Mestinya ingat, mandat dia sebagai menteri sangat terbatas. Jangan karena jadi menteri lain memaksakan kehendak. [Data 15.A.2(6)] Kutipan (59) di arcs dicuplik dari ujaran lisan pimpinan partai berlambang matahari bersinar lima betas dalam wawancara dengan sejumlah media cetak. Topik pertanyaan yang diajukan kepada Faisal Basri itu adalah sekitar persoalan privatisasi BUMN yang sedang menjadi wacana perdebatan politik Indonesia. Privatisasi itu menjadi persoalan karena privatisasi yang dilakukan oleh Menteri Negara Pembinaan BUMN menimbulkan kesan di masyarakat hanYa menjual aset-aset BUMN tanpa adanya perencanaan yang matang. Pilihan kata-kata informal ditunjukkan oleh pilihan kosakata yang berasal Bari bahasa daerah dan kosakata sehari-hari, seperti jangan-jangan dan mentang-mentang. Dalam teks yang lengkap beberapa kosakata Jawa, seperti bolong juga muncul. Kehadiran katakata bermarkah informal di atas cukup mempengaruhi keinformalan wacana secara keseluruhan meskipun pada bagian wacana tertentu pendayagunakan formalitas juga muncul, seperti dapat diperhatikan pada kutipan (60) berikut.
319 :utipan (60): FB: Bikinlah blue print privatisasi yang benar. Bukan banya mengejar target kenangan melulu. Privatisasi seharusnya disiapkan dengan baik, can momentum yang baik sehingga mendapat harga yang baik pula. Dengan perencanaan yang baik, privatisasi bisa memperbailci strulctur pasar yang pada gilirannya akan memberi kontribusi bagi penyelesaian kemelut ekonomi. Jangan asal jual dan ngotot-ngototan mencapai target keuangan begitu. [Data 33.A.1(54)] endayagunaan formalitas dalam kutipan (60) di atas tampak dari pilihan leksikal dan alimatnya yang mengakibatkan terbentuknya formalisme retoris pada sebagian teks. tetapi, secara keseluruhan nada informal yang muncul dalam teks terasa lebih doiinan. Kosakata-kosakata lain bermarkah informal yang hadir dalam wacana itu antara tin jual murakinurah dan obral, banyak &Wong, harga obral, jangan sok kuasa dan roganiab, hambur-hambur uang, dan jangan asal jual dan ngotot-ngototan. Politik iformalitas juga digunakan oleh para elite politik untuk memberikan kritilcan, penilaian, an bahkan "relecehan" terhadap realitas yang amat tidak sesuai dengan tatanan normatif ang ada. Realitas yang bertentangan dengan norma-norma yang ada itu sudah berlangung lama sehingga amat mengganggu rasa keadilan masyarakat. Meskipun kosakata ang dipilih bermarkah informal, nada pengucapan yang muncul adalah nada sarkasme. Pada wacana lain, Faisal Basri j uga mendayagunakan politik informalitas dengan nenggunakan piranti modus kalimat, kosakata dan ragam kalimat bahasa daerah, dan artikel tertentu. Piranti modus kalimat yang dimaksud adalah pendayagunaan kalimat anya untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan mitra bicara. Hal itu dapat diperiatikan pada kutipan (61) berikut. (.utipan (61): FB: Lain, apa ekonomi kerakyatan itu? Misalnya, kita impor sapi terus kita berikan ke koperasi, begitu? Konsepnya dung yang jelas. Jangan reaksioner. Wong DPR-nya saja seperti itu. Wajar kb.awatir ada Sasonomics.[Data 15.A.2(7)]
320 ada pengucapan yang muncul dan kutipan (61) adalah nada kepercakapanan (conversamalization), yaitu suatu kecenderungan perubahan ke arah informalitas bahasa. Berbaii piranti teks yang ada mendukung terbentuknya kesan informalitas itu. Senada dengan kutipan (59) dan (61) pendayagunaan informalitas banyak dilakuto oleh Gus Dur, elite politik yang sekarang menjadi orang nomor satu di Indonesia. lite politik yang juga. deklarator PKB ini memanfaatkan politik informalitas seperti yang rdapat dalam kutipan (62) berikut. utipan (62): GD: Ya, biarkan saja. Saya tahu kalau saya dikatakan gombal dan mencla-mencle. Tapi, yang penting saya telah berusaha melakukan yang terbaik....[Data 35.A.1(8)].
.utipan (62) di atas dicuplik dari ujaran lisan Gus Dur ketika menjawab pertanyaan warswan tentang perilakunya yang kontroversial dengan sering mendatangi mantan Presiden oeharto padahal opini publik yang terbentuk menghendaki untuk mengasiugkan mantan enguasa Orde Baru itu. Kehadiran dua kosakata bahasa Jawa pasaran, yakni gombal dan iencla-mencle amat mempengaruhi karakteristik wacana tersebut menjadi amat infornal. Kedua kosakata itu dipilih untuk menunjukkan sikap acuh tak acuh Gus Dur atas erbagai kritikan, tudingan, dan penilaian masyarakat umum atas perilaku Gus Dur yang ering menentang anus. Kehadiran kosakata "pasaran" itu dapat memerankan fungsi "petonjol identitas" Gus Dur, yakni sikapnya yang_cenderung_dekonstruktif terhadap berba;ai realitas yang ada. Gus Dur telah banyak melakukan dekonstruksi terhadap berbagai trus besar pandangan yang sedang berlaku di masyarakat. Dalam perkembangan selanutnya, gaya Gus Dur yang dekonstruktif yang sudah muncul ketika yang bersangkutan nenjadi Ketua NU itu secara konsisten muncul dalam teks-teks yang dihasilkan Gus Dur. Selanjutnya, perhatikan kutipan (63) berikut.
321 .utipan (63): GD: Wong mereka tidak tahu kok. Dijelaskan bagaimana lagi. Sudah saya katakan tadi, secara riil Pak Harto memang masih punya kekuasaan. Sehingga saya berpandangan bahwa Pak Harto perlu diajak rembukan. Kalau orang lain menganggapnya tidak punya pengaruh dan kekuasaan lagi, ya terserah. Saya tidak akan memaksa mereka punya pemahaman seperti saya. Saya juga tidak akan memaksa mereka agar mengajak Pak Harto rembukan. [Data 35.A.2(9)] Ialam kutipan (63) pilihan kata wong, kok, rembukan, dan ya terserah mempengaruhi ;rbentuknya nada informal pada kutipan teks tersebut. Sebagai perbandingan, dalam wama yang lain, sebaliknya, politik formalitas juga digunalcan oleh Gus Dur dalam mengoientari peristiwa tragedi kerusuhan Mei 1998. Hal itu dapat diperhatikan pada kutipan i4) berikut. .utipan (64): GD: Pemerintah sekarang behun menunjuldcan sikap yang serius dalam menangani kasus kerusuhan Mei lalu. Sekalipun pemerintah sudah membentuk tim untuk mengusut kasus itu, balikan telah membentuk tim pencari fakta, namun belum menghasilkan buah yang memuaskan. Kita masih menunggu basil kerja tim itu. Sementara itu, masyarakat intemasional berharap agar inasalah ini segera. tuntas. Kalau penanganan kasus itu tidak tuntas, pemerintah akan tents dikecam. [Data 35.A.2(55)] .utipan (64) dicuplik dari jawaban lisan Gus Dur terhadap pertanyaan dari sejumlah wartwan media cetak. Dalam kutipan (64) Gus Dui• amat serius dan sungguh-sungguh dalam tembicarakan tragedi kemanusiaan yang menimpa suku Tiong Hoa di Indonesia yang iemperoleh sorotan dunia intemasional itu. Akibat kerusuhan itu, Indonesia memperoleh redikat bangsa pelanggar HAM. Oleh karena itu, pilihan kosakata yang muncul bermarah formal. Pilihan kata yang bermarkah informal tidak muncul dalam wacana itu. Nada ang dimunculkan dalam teks itu adalali nada formalisme retoris. Beberapa elit politik lain, seperti Dimyati Hartono, Sri Sultan HE X, dan Amien .ais, Akbar Tanjung, dan Abdillah Toha juga mendayagunakan politik informalitas untuk ujuan-tujuan tertentu. Pendayagunaan pilihan kata bermarkah informal umumnya dilaku-
322 m dalam wawancara dengan sejumlah wartawan media massa. Dalam peristiwa komukatif yang lebih resmi, pilihan kata bermarkah informal jarang dilakukan. Perhatikan itipan (65) berikut. utipan (65): DH: Mega talon presiden PDI Perjuangan adalah harga mati. Tidak bisa ditawar lagi karena menjadi keputusan kongres. Kita berjuang untuk itu. Tidak ada altematif. Keputusan itu hanya bisa diubah oleh kongres. Kita biasakan menaati aturan. Apa pun yang menjadi keputusan kongres, we fight for it! Kita paling konsisten dalam penegakan hukum. Orang lain baru ngomong, kita sudah jalan. Orang lain bersemboyan, kita sudah digebukin. [Data 11.A.20
utipan (65) ini dicuplik dari wawacara Dimyati Hartong) dengan sejumlah wartawan meis
Topik yang diangkat adalah isu pencalonan Megawati sebagai Presiden Indo-
esia ke-4 yang sudah diputuskan oleh konggres PDI Perjuangan. Dalam kutipan (65) itu 111 mendayagunakan kosakata bahasa Jawa yang bercampur dengan dialek Betawi. Pilihlkosakata ngomong dan digebukin dalam paraton/paragraf itu memberikan penegasan 3.hadap paparan sebelumnya bahwa pencalonan Megawati sebagai presiden merupakan eputusan bulat dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Dalam kasus ini, terdapat fenomena ang unik, yakni mendayagunakan kosakata kolokial untuk mencapai tujuan yang serius ntuk mendukung pilihan kosakata sebelumnya yang menggunakan bentukan yang formal an ekspresi bahasa Inggris. Dalam teks lain yang berisi topik pencalonan Megawati sebagai presiden, DH titak sekali pun mendayagunakan politik informalitas_ Sebaliknya, DH hanya mendaya/ ;unak,an politik formalitas melalui pilihan kata dan kalimat tertentu untuk mencapai efek Ian tujuan yang lebih serius, yakni munculnya nada formal dalam teks yang dihasilkankya. Nada formal dapat menimbulkan kesan "imperatif' pada tanggapan petuturnya. Seanjutnya perhatikan kutipan (66) berikut.
323 itipan (66): HB: Ya, dia ngomong Ulan saya jadi calon presiden dari Golkar. Memang tidak saya tegaskan, kok. Saya bersikap ngapain hams saya tegaskan. Pemilu saja belum berlangsong Partai politik joga belum ada kepastian konstelasi politiknya. Kita ini kan bermain politik. Lha wong pemilu saja belum. [Data 49.A.2(11)] itipan (66) di atas dicuplik clari hasil wawancara wartawan media massa dengan Sri ltan Hamengku Buwono (HB) X. Topik yang ditanyakan adalah isu seputar pencalonrya sebagai caion presiden oleh Partai Golongan Karya. Dalam cuplikan teks di atas, 3 mendayagunakan kata-kata bahasa Jawa dan dialek Betawi, seperti ngomong, kok, vain, dan wong yang memerankan penonjol identitas dan penghasil teksnya. Dalam ,steks lain, BB lebih cenderung mendayagunakan politik informalitas ini. Pendayagunaan politik informalitas dalam wacana politik Indonesia juga muncul [am ujaran Amien Rais, seorang ketua umum partai yang mendapat predikat "lokomotif ormasi". Perhatikan kutipan (67) berikut. itipan (67): AR [...] Kemudian saya hams adil dalam hal ini bahwa Mister Habibie says kira sudah melakukan beberapa hal yang cukup terpuji, yaitu menjamin kebebasan pers, membuka kebebasan mimhar, dan juga melepaskan sejumlah tahanan politik itu saya kira perlu kita anggap sebagai kredit poin bagi Mister Habibie. Tetapi lebih daripada itu, sejumlah tugas yang sangat amat penting buat kesejahtetaan bangsa itu belum diuthik-uthik, belum disinggung sama Mister Habibie 15.A.2(12)] itipan (67) di atas dicuplik dari pidato pembukaan Ketua Umum Partai Amanat Nasial dalam acara debat calon presiden yang diadakan oleh Universitas Indonesia dan ditaigkan langsung oleh media televisi. Dalam teks itu, AR mendayagunakan kosakata rasa Jawa diuddk-uthik 'diseniuh dan dikeijakan'. Pilihan kosakata itu selain sebagai dah informasi juga berfungsi sebagai penonjol identitas. Pilihan kosakata diuthikiik lebih dimungkinkan karena pertimbangan ketepatan representasi kata terhadap litas yang dimaksud_ Kata "disinggung" dalam bahasa Indonesia yang digunakan untuk
324 ','njelaskan makna diuthik-uthik tidak sepenuhnya representatif terhadap konsep yang naksudkan. Pilihan kosakata itu sekaligus j uga sebagai penonjol identitas penghasil akan latar belakang dan intensifnya dalam kehidupan dengan kebudayaan etniknya. nutur yang berbahasa pertama bahasa daerah sering mengalami kesulitan mencari ilah untuk sebuah konsep tertentu dalam bahasa Indonesia. Perhatikan kutipan (68) rikut. ttipan (68): AR: Secara pribadi saya tak punya motivasi tinggi untuk memperebutkan kursi presiden. Berhubung PAN adalah terkecil dari lima besar. Namun, pemilihan presiden di MPR itu masih memungkinkan saya untuk mengikuti proses itu. Jadi, sekarang saya stel kendho saja. [Data 15.A.2(13)] itipan (68) dicuplik dari basil wawancara media massa dengan Amien Rais. Topik yang tngkat adalah bagaimana sikap Amien Rais tentang ambisinya menjadi Presiden RI dem hasil pemilu yang menempatkan PAN di urutan kelima dari lima besar partai pemerig pemilu. Dalam teks itu, AR mendayagunakan ungkapan Jawa, yakni stel kendho tuk menggantikan ungkapan bahasa Indonesia "menahan diri". Perhatikan juga kutipan )) berikut. itipan (69): AR: Tokoh luar itu lucu bin ajaib. Karena orang yang tidak pemah kelihatan, tidak ikut pemilu, tidak pemah punya konstituen tiba-tiba menjadi presiden. Itu ketemu pirung perkara. [Data 15.A.2(14)] tlam kutipan (69) AR mendayagunakan ekspresi informalitas, seperti lucu bin ajaib n ketemu pirang perkara yang membuat teks secara keseluruhan memiliki nada inrmal meskipun pokok persoalan yang dibicarakan cukup serius. Ungkapan ketemu ping perkara dipilih untuk menggantikan konsep 'tidak beralasan dan tidak tepat'. igkapan dari Amien Rais yang mendayagunakan politik informalitas yang muncul da-
325 lam teks-teks lain secara konsisten senada dengan munculnya gaya dekonstruksi Gus Dur di atas. Beberapa ungkapan AR dalam memanfaatkan politik informalitas dapat diperhatikan pada paparan berikut.
Golkar makin remuk, mrotoli dari waktu ke waktu Jangan sampai PAN menjadi kancil pilek Birokrasi kita perlu adanya sodhokan moral Jangan sampai terjadi, apakah politik dagang sapi, dagang kuda, dagang kambing, atau dagang kucing. Dalam wacana politik Indonesia era pasca-Orde Baru, terdapat fenomena yang cu-
kup unik berkaitan dengan pendayagunaan informalitas di atas, yakni munculnya fenomena camper kode (code-mixing) bahasa Jawa dalam ujaran lisan yang dasar bahasanya (language base) adalah bahasa Indonesia dalam teks-teks politik yang dihasilkan oleh elite politik non-Jawa. Perhatikan kutipan (70) berikut: Kutipan (70): AN: You saja tidak berani menyimpan hang kok mengharap orang Londo mau masuk ke sini. Pada zaman sekarang ini, orang Jawa bilang zaman edan. Bagaimana tidak, penembakan mahasiswa, kerusuhan Ketapang, bagaimana penyelesaiannya? Apa you bangga mempunyai bangsa demikian? [Data 49.A.2(15)] Kutipan (70) di atas dicuplik dari ujaran lisan seorang pengamat ekonomi yang sekarang .menjabat sebagai salah seorang pimpinan bank sentral. Pengamat ekonomi tersebut memiliki latar belakang etnis Barak atau Tapanuli. Dalam kutipan (70) di atas dua pilihan kosakata bermarkah informalitas, yakni Londo dan edan adalah kosakata yang sering muncul dalam komunikasi yang berpartisipan elite politik yang berlatar belakang Jawa. Dalam komunikasi antarpenutur bahasa Jawa sering muncul pilihan kosakata wong Londo 'orang asingt dan jaman edan 'zaman yang penuh dengan kegilaan'. Akrabnya ungkapan wong Londo danjaman edan merupakan wuj ud tidak terputusnya masyarakat Jawa dari sejarah masa lalunya. Fenomena itu juga dapat memberikan gambaran tentang
326 egitu kentalnya ungkapan Jawa dalam mempengaruhi penutur yang non-Jawa. Disukai tau tidak, diakui atau tidak, disadari atau tidak, kebudayan Jawa cukup determinatif teradap kebudayaan lainnya. Hal senada juga ditemukan pada wacana lain, seperti kutipan 71) berikut. .utipan (71): SH: Tidak. Mereka mengerti kok. Apalagi sekarang mereka tahu bahwa pemilu berjalan jurdil dan itu diakui. Itu artinya ekonomi kita punya landasan untuk berkembang terus. Semua menyadari dan menurut saya mengapresiasi kok. Memang, ada tahap yang saya agak ngenes menghadapi kesalahpengertian orang....[Data 49.A.1(16)]
utipan (71) di atas dicuplik dari ujaran lisan Menteri Dalam Negeri dalam wawancara engan sejumlah wartawan media massa. Kehadiran kosakata bahasa Jawa "pasaran", a.kni kata ngenes menjadikan gejala pendayagunaan itu menjadi fenomena yang unik. enada dengan kutipan sebelumnya, elite politik dalam kutipan (71) tersebut memiliki Aar belakang etnik yang non-Jawa, yakni etnik Melayu-Riau. Pendayagunaan politik informalitas seperti terdapat pada kutipan di atas cukup bayak muncul dalam wacana politik Indonesia meskipun tidak seintensif politik formalasnya. Ekspresi informal di atas cukup memberikan nuansa pada tingkat keinformalan '.;buah teks secara keseluruhan. Pendayagunaan kosakata bermarkah informal banyak iuncul dalam teks-teks hasil wawancara dan sedikit sekali muncul dalam teks-teks kamanye partai politik. Dengan mendayagunakan politik informalitas ini kesan yang dimunulkan adalah kesan "intim" antara penutur dengan petuturnya. .1.3 Nilai Ekspresif Nilai ekspresif, mengikuti pandangan Fairclough (1989:112) berisi "jejak" (a trot?) dan "isyarat" (a cue) evaluasi dan penghasil teks. Nilai ekspresif berhubungan dengan lentitas subjek dan identitas sosial yang selanjutnya berhubungan dengan nilai-nilai sub-
327 ;ktif. Berkaitan dengan nilai ekspresif tersebut, ada dua macam evaluasi yang dikemuakan, yakni (1) evaluasi positif dan (2) evaluasi negatif Pada paparan sebelumnya tentang proses leksikal, masalah evaluasi positif dan neatif Bari penghasil teks terhadap realitas sosial-politik, sosial-ekonomi, dan sosialbudaa secara tidak langsung sudah terbahas. Hal ini dapat diperhatikan pada tabel 4.7, 4.8, 9, 4.10, 4.11, dan 4.12. Dalam tabel-tabel itu secara langsung dibubuhkan tanda positif 1-) dan negatif (-) pada setiap proses leksikal yang digunakan pada era Orde Baru dan asca-Orde Baru meskipun tidak semua kata yang dipilih oleh penghasil teks selalu megandung evaluasi positif atau negatif itu. .1.3.1 Evaluasi Positif Dalam wacana politik Indonesia era pasca-Orde Baru, muncul banyak kosakata ntuk mengekspresikan "evalnasi positif' itu, baik ditinjau dari sudut penghasil wacana, akni pars elite politik maupun dari sudut penikmat atau penerima wacana, yakni masyaakat pada umumnya. Secara historis ada dua jenis evaluasi positif, yakni (1) evaluasi ositif yang sudah muncul sejak era Orde Baru dan (2) evalnasi positif bare muncul sejak ra pasca-Orde Baru. Evaluasi yang kedua ini pada umumnya adalah jenis kosakata yang adir untuk mengisi wacana tanding (counter discourse) terhadap wacana yang baku pada ;ra sebelumnya. Kosakata-kosakata "lama" yang mengekspresikan evaluasi positif terhadap realitas ,osial-ekonomi, sosial-politik, dan sosial-budaya pada zaman Orde Baru hadir kembali Liam jumlah yang cukup banyak meskipun secara kualitatif kehadiran kata itu tidak )egitu memberikan warna terhadap anus besar wacana politik pada era pasca-Orde Baru. meskipun sama, kosakata itu ditafsirkan dan dimaknai secara kontekstual sesuai dengan
328 mangat zaman baru yang memilih strategi "menidak" dengan era Orde Baru, yakni era sca-Orde Baru. Pilihan ungkapan seperti ekonomi yang berorientasi kepada keadilan sial (social justice), misalnya, sudah lama didengung-dengungkan sejak era pemeitahan mantan Presiden Soeharto. Kosakata itu kemudian memperoleh "revitalisasi" da era pasca-Orde Ban' dengan memberikan penilaian terhadap 'Mar belakang praktik onomi Orde Baru yang dinilai tidak mencerminkan keadilan sosial. Oleh karena itu, .onomi yang berorientasi kepada keadilan sosial hams dimaknai sebagai 'ekonomi ng benar-benar mencerminkan keadilan sosial yang hakiki dengan meninggalkan kebiaan-kebiasaan yang kotor seperti era Orde Barn'. Hal yang sama terjadi pada ungkapan lama lain yang tetap muncul dalam wacana link era pasca-Orde Baru, antara lain otonomi daerah, ekonomi kerakyatan, pengapan akan pluralitas, nilai kebenaran, nilai demokrasi, nilai hukum, nilai kedatdati rakyat, memelihara kesatuan dan persatuan Indonesia, masyarakat Bhinneka inggal Ika, orientasi pada kepentingan rakyat, bentuk negara kesatuan, pemerinii yang good governance, dan wakil rakyat yang representatif. Kosakata itu masih pergunakan dalam wacana politik pada era pasca-Orde Baru dengan memperoleh akntuasi baru dan revitalisasi yang sebenar-benarnya. Kosakata itu haruslah dimaknai lam pengertian yang sebenarnya, buican atas tafsiran sebuah pemerintahan yang akan elahirkan makna tertentu yang bersifat ideologis. Pengalaman selama ini mengajarkan ;pada kita bahwa setiap periode pemerintahan tertentu cenderung menafsirkan "kosaka" tertentu menurut ideologinya sendiri. Kosakata-kosakata "barn" yang mengekspresikan evaluasi positif terhadap realitas sosial-politik, dan sosiai-budaya era reformasi maupun evaluasi terhadap
329 Orde Baru begitu banyak muncul dalam wacana politik Indonesia. Terdapat beberapa nis kosakata "baru" itu, yakni (1) kosakata utama yang dijadikan tema perjuangan, (2) )sakata "pendobrak" tradisi orde baru, (3) kosakata "harapan-harapan" yang diinginkan. Kosakata jenis pertama berpusat pada kata reformasi yang selalu dijadikan bahan jakan oleh para elite politik. Kosakata-kosakata seperti reformasi, reformasi secara tat dan damai, lokomotif reformasi, mengandung pesan-pesan reformasi, pahlawan formasi, menyatu dengan reformasi, merespon aspirasi gerakan reformasi, refor is, suara reformasi, kekuatan reformasi, dan mereformasi semua peraturan peruningan yang tidak sesuai yang mengandung evaluasi positif dari sejumlah penghasil ks banyak digunakan untuk berbagai aktivitas politik. Kosakata bermarkah evalnasi isitif jenis pertama di atas didayagunakan oleh para elit partai, baik oleh para pimpinan nal politik peserta pemilu tahun 1999, pimpinan ABRUTNI, mauptm oleh para anggota ibinet Reformasi Pembangunan meskipun dengan perspektivitas makna yang beragam. irena bermarkah positif, kosakata di atas benar-benar didayagunakan secara intensif .n ekstensif. Kosakata jenis kedua yang berupa kosakata "pendobrak" tradisi Orde Baru yang tuduh oleh kaum "reformis" sebagai orde yang penuh dengan ketidakadilan sosialonomi, sosial-politik, dan sosial-budaya banyak didayagunakan oleh para elite politik ng pada era Orde Baru memperoleh predikat "musuh Orde Baru". Berbagai ungkapan, perti mengikis habis KKl, memperkecil jarak kaya-miskin, mengembalikan kedautan rakyat, penegakan tiukum dan HAM, bebas ICKN, tidak nepotis, tidak kapitalis, tidak korup, pemerataan sama dengan pertumbuhan, perombakan total sistem rde Baru, dan kita tinggalkan budaya lama juga cukup banyak didayagunakan oleh
330 tum reformis untuk menegakkan kembali berbagai penyimpangan yang terjadi pada era rde Baru. Ungkapan-ungkapan itu memiliki sifat yang imperatif bagi pihak-pihak yang asih berpikir dan berperilaku "lama". Kosakata pendobrak yang inuncul pada era Itasca-Orde Barn itu merupakan bentuk :alcsi adanya realitas sosial-politik, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya pada era sebelumia yang jauh dari harapan masyarakat Indonesia. Hal ini dipaparkan dalam bentuk tabel perti dapat diperhatikan pada tabel 4.20 berikut. abet 4.20 Beberapa Kosakata Pendobrak Tradisi Orde Baru >
REALITAS ERA ORDE BARU • KKN di sebagian besar sektor kehidupan • jurang kaya-miskin semakin lebar • menguatnya autoritarianisme • pelecehan hukum dan HAM • pertumbuhan & pemerataan ekonomi tidak seimbang menguatnya budaya menerabas • menguatnya budaya "instari" • menguatnya budaya: materialisme, hedonisme, sekularisme, dan ekonomisme
.
-
KOSAKATA PENDOBRAK • mengikis habis KKN • bebas KKN • memperkecil jarak kayamiskin • mengembalikan kedaulatan rakyat • penegakan hukum dan HAM • tidak nepotis • tidak korup • tidak kapitalistis • pemerataan sama dengan pertumbuhan • perombakan total sistem Orde Baru • kita tinggalkan budaya lama
)ari tabel 4.20 di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa realitas pelaksanaan sistem )rde Baru yang dituduh banyak diwarnai dengan ketidakadilan menjadi sumber utama nunculnya berbagai kosakata jenis kedua di atas. Kosakata jenis kedua ini begitu diperuangkan sebagai prasyarat terbentuknya sistem Indonesia baru yang diidam-idamkan. rika mengir_girikap suatu sistem Indonesia ham yang lebih demokratis, sistem budaya Lana yang begitu subur tumbuh pada era pemerintahan Orde Baru yang bersifat mengham3at dan merusak hams dikikis habis. Kosakata yang barn yang diharapkan adalah kosaka-
331 kosakata lahir sesuai dengan semangat zaman barn yang lebih adil, terbuka, dan menljung hak asasi dan hukum dengan meninggalkan serta menanggalkan kosakata Orde iru yang sudah usang. Kosakata jenis ketiga yang berupa kosakata "harapan-harapan" bagi suatu sistem donesia barn, sebuah sistem yang diharapkan mendobrak dan memperbaiki sistem rig dibangun oleh pemerintahan Orde Baru. Beberapa kosakata yang muncul sebagai xesentasi berbagai subsistem yang diharapkan dapat menopang sistem Indonesia barn ng diidam-idamkan. Kosakata-kosakata seperti perubahan konstitusi, perlunya rensiliasi, merombak sistem peradilan, law enforcement, membebaskan tapol dan Lpol, pengadilan yang independen, masyarakat madani, meninggalkan monopoli terpretasi, menyongsong era Indonesia baru, membangun Indonesia baru, pembasan kekuasaan presiden, dan paradigma barn. Kosakata barn tersebut pada era sebelumnya adalah kata yang dianggap tabu clan wacana politik Indonesia. Dua kosakata baru itu, yakni pembatasan kekuasaan prelen dan paradigma barn mendapat tempat yang strategis dalam wacana politik. Masa pan demokrasi Indonesia adalah persoalan suksesnya mengatur lembaga kepresidendan penerapan paradigma barn. Banyak dugaan bahwa kerusakan pelaksanaan >tem Orde Baru terjadi karena kekuasaan presiden yang begitu besar di atas kekuasaan mbaga tinggi dan tertinggi lainnya. Atas dasar itu, kekuasaan presiden diusulkan untuk batasi, baik wewenang maupun jumlah masa jabatan_ Begitu rusaknya pelaksanaan sism sebelumnya, semua komponen Orde Baru dalam menatap sistem Indonesia barn-item yang diimpikan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia—banyak mengemukairi konsep paradigma baru untuk merevisi paradigma yang selama ini dianutnya. Pa-
332 idigma lama dalam bidang sosial-politik, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya haruslah iganti dengan paradigma baru yang lebih mampu menjawab persoalan negara-bangsa idonesia secara hakiki. Oleh karena itu, kata paradigma baru menjadi sangat populer i tengah masyarakat. Kata paradigma baru banyak didayagunakan oleh sejumlah komonen penyokong tiang Orde Baru, antara lain: Partai Golongan Karya, institusi ABRI/ NI, dan birokrasi Indonesia dalam rangka menyesuaikan dengan semangat reformasi ang menjadi ants besar wacana politik Indonesia pada era pasca-Orde Baru. .1.3.2 Evaluasi Negatif Selain evaluasi positif, dalam wacana politik Indonesia era pasca-Orde Baru bayak diwarnai munculnya kosakata yang mengekspresikan evaluasi yang bersifat negatif, aik ditinjau dan sudut penghasil wacana--para elite politik-- maupun penerima wacana olitik itu--masyarakat awam pada umumnya. Kosakata-kosakata yang bermarkah negatif u sebagian besar diacukan kepada pemerintahan Orde Baru, baik institusi maupun petIcsananya. Partai-partai politik peserta pemilu tahun 1999 tampaknya mendayagunakan celemahan" dan "keburukan" Orde Baru sebagai pembangun wacana politiknya masinglasing. Sementara itu, beberapa partai politik korban pemerintahan Soekarno juga meianfaatkan "kelemahan" dan "keburukan" pemerintahan yang sering disebut Orde Lama leh pemerintahan Soeharto sebagai bahan pembentuk wacana politiknya. Bagi partai olitik kategori terakhir ini, pemerintahan Soekamo dan Soeharto selain memiliki keAlihan juga memiliki banyak "kelemahan" dan "keburukan" yang perlu disikapi oleh komponen bangsa secara arif. Kelemahan-kelemahan yang menjadi bahan evaluasi negatif meliputi bidang-biang: perundang-undangan dan hukum, dan suprastruktur politilc, karakteristik pelaksana
333 titusi Orde Baru, dan ekonomi. Kosakata-kosakata bermarkah negatif dalam bidang ..rundang-undangan dan hukum" antara lain undang-undang pemilu yang tidak demoatis, perundang-undangan kita lemah, lembaga tinggi tidak terdefinisi, demokrasi nu yang sentralistis, mafia peradilan, pemikiran antidemokrasi, dan negara yang Eak tact hukum. Beberapa kosakata kunci, seperti tidak demokratis, lemah, tidak definisi, sentralistis, dan antidemokrasi tidak dapat dilepaskan dari karakteristik rundang-undangan dan hukum pada era pemerintahan Orde Baru yang diakui banyak iak tidak memihak kepada kepentingan masyarakat, tetapi memihak kepada penguasa. Kosakata-kosakata bermarkah negatif dalam bidang "suprastruktur politik" seperti kayasa, oligarkis, rekonsilidasi otoritarianisme, pengerahan massa, belum demoatis, dan money politics juga banyak digunakan pada era pasca-Orde Baru. Berbagai sakata di alas sangat lekat dengan pemerintahan Orde Baru. Kata rekayasa, inisalnya, nua proses politik di Indonesia tidak lepas dari rekayasa itu. Demikian juga, kata olirids, otoritarianisme, pengerahan massa, money politics juga predikat yang diarahn kepada pemerintahan pengganti Orde Lama ini. Sebagian besar partai politik korban de Baru selalu mengangkat isu-isu tersebut untuk mencari simpati dari para calon milih. Bahkan, kata money politics yang dimunculkan dalam wacana politik selalu dengan partai-partai pendukung pemerintahan Orde Baru, yakni PG dan partairtai kecil yang dicurigai didirikan oieh sejumlah simpatisan PG. Kosakata-kosakata bermarkah negatif dalam bidang "karakteristik pelaksana dan laksanaan institusi Orde Baru secara umurn" begitu banyak muncul, seperti Orde Baru lak demokratis, infrastruktur hancur, demoralisasi, dehumanisasi, dekulturasi, engeringkan nilai jati diri, militerisme, 32 tahun Orba, keluarga Soeharto dan
334 atus quo, produk Orba, negara yang sangat korup, negara pelanggar HAM, krisis segala bidang, merajalelanya KKN, erosi nasionalisme dan patriotisme, serta ,
ntralistik Di antara kosakata bermarkah negatif, kosakata yang berkaitan dengan
:laksana dan pelaksanaan Orde Baru ini secara kuantitatif cukup banyak. Dari paparan
sakata di alas tampaknya tidak ada satu sifat positif pun yang melekat pada Orde
Baru, tususnya dari pandangan partai-partai pesaing Partai Golkar. Sementara itu, Partai GolLr lebih banyak menampilkan kosakata bermarkah positif. Kata 32 tahun, misalnya, sebagian besar lawan politik Partai Golkar sering diidentikkan dengan periode "keJapan" dan "ketidakadilan" dalam pemerintahan di Indonesia. Hal senada dijumpai juga Lda pilihan kata keluarga Soeharto, kroni, KKN, status quo, dan militerisme. Kosakata-kosakata bermarkah negatif dalam bidang "ekonomi", khususnya eko)mi OrdeBaru juga banyak dimunculkan antara lain monolit, oligopoli, kapitalistis, !nyelewengan JPS, eksploitasi kapital, ekonomi biaya tinggi, teori trickle down feet, dan konglomerat. Beberapa kosakata, seperti monoht, oligopoli, kapitalistis, £ploitasi kapital,thn ekonomi biaya tinggi adalah kritikan-kritikan yang dilontarkan eh sej umlah partai politik terhadap pelaksanaan ekonomi Orde Baru. Kata konglomemisalnya, yang memperoleh konotasi makna positif karena mendapat predikat Rhotru perekonomian nasional pada era Soeharto akhirnya memperoleh konotasi makna Ong negatif karena dituduh sebagai biang kehancuran perekonomian nasional. Kata i trickle down effect 'teori menetes ke bawah' mendapat tempat yang istimewa dalam acana politik Indonesia era pasca-Orde Barn. Aplikasi teori ekonomi yang diagung-
;ungkan dan dipuja-puja pada era Orde Baru, temyata tidak seideal yang diharapkan. ida awalnya, teori itu dipilih dengan tujuan untuk mencapai pemerataan ekonomi dalam
335 rangka keadilan sosial. Kelompok pelaku ekonomi yang menikmati kue pertumbuhan onomi diharapkan dapat "meneteskan" rezekinya itu kepada kelompok ekonomi yang lemah. Ternyata harapan yang cukup mulia itu tidak pemah terlaksana, bahkan kenpok yang sudah kaya semakin memperkaya dirinya, sementara itu kelompok miskin nakin tidak berdaya. Akhirnya, aplikasiteori itu semakin mengakibatkan kesenjangan rig begitu besar antara kelompok kaya dan kelompok miskin. Kosakata lain yang bermarkah negatif seperti Orde Lama belum demokratis, integrasi, dan federasi juga muncul dalam wacana politik Indonesia pada era pascade Baru. Kosakata pertama orde lama belum demokratis dilontarkan oleh -
beberapa tai yang lahir dan partai politik yang pernah jaya pada era Soekarno. Partai yang berribang "bulan dan bintang" memiliki kecenderungan melontarkan isu tersebut. Pada era de Baru, kata Orde Lama sudah diberi makna yang negatif oleh era Orde Baru, yakni rtu periode pemerintahan yang penuh dengan ketidakadilan sosial, kemiskinan, dan tidakteraturan pembangunan ekonomi. Kosakata kedna disintegrasi adalah istilah yang dilontarkan oleh lawan-lawan kik Orde Baru terhadap akibat-akibat dalam bidang sosial-ekonomi, sosial-politik, dan >ial-budaya karena penanganan yang salah oleh Orde Barn terhadap terhadap seinua )ek kehidupan. Kata itu berkembang menjadi beberapa kosakata, seperti disintegrasi ngsa dan disintegrasi sosial. Bahkan, beberapa partai politik peserta pemilu tahun ?91 selalu mengemukakan kata disintegrasi jika PG memenangkan Kosakata terakhir federasi adalah kosakata politik yang dilontarkan oleh Partai aanat Nasional untuk mengatasi persoalan bangsa. Dalam pandangan PAN, perlu dicari untuk memecahkan munculnya gejala separatisme yang dapat mengakibatkan
336 disintegrasi bangsa dengan jalan membentuk pemerintahan federal, seperti pernah dipraktikkan dalam Republik Indonesia Serikat. Dengan federalisme, pemerintah daerah dapat mengelola daerahnya masing dengan seluas-luasnya. Dalam wacana politik Indonesia, rata federasi masih memperoleh konotasi makna yang negatif karena sebagian besar partai peserta pemilu tetap menghendaki bentuk negara kesatuan seperti yang sudah beralan selama ini dengan penerapan autonomi daerah yang seluas-luasnya. 1.1.4 Catatan Penutup: Sebuah Penjelasan Paparan di atas masih belum menjawab persoalan "mengapa" sebuah bentukan ko;akata tertentu dipilih dan dianggap istimewa oleh elite politik tertentu, sebaliknya diting;alkan dan tidak dianggap istimewa oleh elite politik lainnya. Rumusan ini mengantarkan vita kepada tahap eksplanasi yang menjadi analisis terakhir dalam analisis wacana kritis. )alam tahap eksplanasi ini wacana politik Indonesia era pasca-Orde Ban) akan ditempatcan dalam sebuah elemen dari "proses sosiokultural" pada dua tataran, yakni (1) tataran nstitusional dan (2) tataran sosial. Tahap eksplanasi ini akan menunjukkan bagaimana cedua proses itu secara ideologis ditentukan oleh relasi-relasi kekuasaan dan pertarungan celcuasaan pada kedua tataran. Tahap ini juga akan menunjukkan bagaimana proses sosi)kultural itu secara ideologis determinatif dari relasi-relasi kekuasaan dan pertarungan cekuasaan pada kedua tataran itu. Mengambil pandangan Fairclough (1989:192-194), tahap eksplanasi ini dikem)angkan dari dua pertanyaan besar yang akan menjadi acuan dalam paparan ini. Pertanyapertama yang diajukan adalah "proses institusional apa yang terjadi dalam teks politik ra pasca-Orde Baru dan bagaimana proses itu secara ideologis 'ditentukan' oleh relasielasi kekuasaan dan pertarungan kekuasaan serta determinatif dari relasi-relasi kekua-
337 saan dan pertarungan kekuasaan pada kedua tataran di atas". Untuk menjawab pertanyaan pertama ini peneliti mendayagunakan berbagai informasi yang terdapat dalam institusi politik, seperti portal politik, parlemen, institusi pemerintahan, dan media massa. Pertatyaan kedua yang diajukan adalah "proses sosiokultural apa yang terjadi dalam teks Jolitik dan bagaimana proses itu secara ideologis 'ditentukan' oleh relasi-relasi kekuasaan Ian pertarungan kekuasaan serta determinatif dari relasi-relasi kekuasaan dan pertarunam kekuasaan pada kedua tataran di atas". Untuk menjawab pertanyaan kedua, peneliti nendayagunakan berbagai informasi yang terdapat dalam sistem sosial dan budaya Indonesia yang melatarbelakangi para elite politik Indonesia. 1.1.4.1 Proses Institusional Terdapat sebuah proses institusional yang cukup kompleks dalam wacana politik ndonesia pada era pasca-Orde Baru. Proses itu berupa "pertarungan" lintas institusi yang Ichirnya bermuara ke dalam wacana politik. Pilihan dan pemaknaan terhadap istilah poitik tertentu amatlah dipengaruhi oleh asumsi-asumsi yang dibangun elite politik pada ataran institusi. Pemaknaan terhadap kata reformasi, misalnya, amatlah ditentukan oleh nstitusi yang melingkupi dan mendeterminasi elite politik. Dalam konteks ini terdapat uatu "pertarungan pemaknaan" yang amat kontradiktif dan saling berseberangan antara nstitusi pemerintah yang dianggap resmi dan institusi kemahasiswaan yang dianggap idak resmi. Meskipun begitu, institusi pemerintah berusaha menemukan formula akomoIasi
menjembatani polarisasi dalam pemaknaan kata reformasi itu. Dari semula
menolak nientah-mentah" makna reformasi versi institusi kemahasiswaan, yakni 'peruahan di segala bidang secara total' akhimya dirumuskan makna akomodasi, yakni 'pentahan di segala bidang dengan sesuai konstitusi secara bertahap'. Dengan demikian, per-
338 -
ungan pemaknaan terhadap kosakata politik tidak lagi bersifat konfrontatif. Yang
rkembang selanjutnya adalah tidak adanya "regim kebenaran" (regime of truth)21dalam ;mberikan pemaknaan dan penafsiran makna terhadap kosakata politik tertentu. Dalam nteks yang lebih luas, "wacana resmi" dan "wacana tanding" berkomunikasi secara diactis melalui sebuah pertarungan tertentu. Dari kacamata analisis wacana kritis, dalam rtarungan ini tidak ada seorang pun yang terlepas dari rezim-rezim kebenaran ini. Dalam memberikan makna terhadap kata status quo, yang terjadi adalah proses ertarungan pemaknaan" antara institusi pemerintah dan Partai Golkar di satu pihak dan stitusi mahasiswa serta kelompok pro demokrasi di lain pihak. Dengan menggunakan gumentasinya masing-masing, kata status quo ditempatkan dalam posisi yang amat ideogis. lnstitusi mahasiswa dan kelompok pro demokrasi menggunakan dan memaknai tta status quo atas dasar alasan yang berbeda dengan institusi pemerintah yang sedang ;rkuasa dan Partai Golkar. Institusi mahasiswa dan kelompok pro demokrasi memaknai ita status quo dalam oposisinya dengan kata reformasi. Sebaliknya, institusi Partai olkar, khususnya, mengajak masyarakat Indonesia menggunakan dan memaknai kata atus quo sesuai dengan makna lelcsikal dan etimologinya, sebuah istilah yang bersifat :.,nerik yang tidak mengacu kepada suatu periode pemerintahan atau rezim tertentu. Pros dialektika pemaknaan terhadap kata tersebut pada perkembangan selanjutnya berjalan ;cara tidak seimbang. Relasi-relasi kekuasaan yang dibangun oleh institusi mahasiswa an kelompok pro demokrasi lebih berhasil "memaksa" ke mana arah pemaknaan kata talus quo daripada relasi kekuasaan yang dibangun oleli Partai Golkar. 1) Istilah rezim kebenaran (regime of truth) digunakan dalam Birch (1996:75) dalam konteks strategi pegendalian dan penguasaan wacana publik melalui kolonisasi, marginalisasi, pemberian, dan sebagainya. Seap penghasil teks berusaha agar apa yang dihasilkannya dapat diterima, cocok, tepat, dan dominan sehingga aenjadi teks yang dianggap resmi.
339 Dalam memberikan makna terhadap kata konstitusionalisme, yang terjadi dalam vacana politik Indonesia era pasca-Orde Barn adalah "pertarungan pemaknaan" antara nstitusi TNIIABRI di satu pihak dan institusi mahasiswa serta kelompok pro demokrasi li lain pihak. Institusi TNI/ABRI yang mengklaim dirinya sebagai penjaga negara akan nenggunakan dan memaknai kata tersebut atas dasar "kesetiaannya pada negara dan langsa". Sebaliknya, institusi mahasiswa memaknai kata tersebut dalam pengertian Teolalisme' atau 'simbol kejumudan'. Dalam perkembangan selanjutnya, dua pemaknaan ini erus berdialektika dalam segala aspek kehidupan. Kedua makna itu masih "bertarung" mtuk memperebutkan tempat sesuai dengan tuntutan zamannya. "Pertarungan pemaknaan" terhadap kata konstitusionalisme juga berlangsung anara partai-partai yang berakar pada ajaran Soekarno dan partai-partai yang berasas dan )erbasis massa Islam. Institusi partai-partai yang mengklaim sebagai pewaris ajaran Soezarno sangat berkepentingan dengan pelestarian ajaran Pancasila dan Undang-Undang )asar 1945 sesuai dengan ideologi institusi partai yang dianut. Dalam pandangan instiusi partai ini persatuan Indonesia hanya dapat dicapai melalui perekat ajaran para foundng fathers yang clilahirkan dalam bentuk ideologi dan konstitusi negara. Sebaliknya, intitusi partai yang berasaskan Islam dan berbasis massa Islam memandang bahwa segala ;iptaan manusia tidak ada yang abadi. Yang abadi hanyalah ciptaan Tuhan Sang Pencipta. \pa pun bentuknya, selama itu ciptaan manusia tidak ada yang abadi serta memiliki batyak kelemahan sesuai dengan sifat manusia yang lemah. Institusi ini sadar bahwa menuut ajaran agama, manusia adalah makhluk yang lemah atau dhaif. Dan si pencipta yang nemiliki banyak kelemahan tidak akan mungkin menghasilkan karya yang sempuma tanis
Dan pertarungan ini memunculkan istilah pro amandemen dan anti amande-
31+0 en terhadap konstitusi. Dalam konteks ini, yang terjadi adalah adanya "pertarungan ttoritas" antara kedua blok institusi partai politik. Dalam memberikan makna terhadap kata kerakyatan, yang terjadi adalah "proses :rlombaan pengejawantahan" dan semua institusi pemerintahan yang berkuasa dan initusi politik yang ada. Masing-masing institusi mengklaim dirinya sebagai pengartikusi resmi kata kerakyatan itu. Masing-masing institusi merasa dirinya sebagai autoritas :ngartikulasi kata-kata atau frasa yang mengandung kerakyatan, seperti kedaulatan kyat, ekonomi rakyat/kerakyatan, dan pemberdayaan rakyat. Melalui relasi-relasi :kuasaan yang dimilikinya, masing-masing institusi yang ada menggunakan dan memakkata kerakyatan itu untuk menarik simpati dan masyarakat Indonesia. Dalam konks ini, kata kerakyatan menjadi senjata solidaritas institusi politik di hadapan masyakat Indonesia. Proses institusi juga terjadi dalam fenomena pilihan antonimi dan hiponimi. Dalam ttonimi, misalnya, pilihan terhadap kata-kata tertentu yang dipandang sebagai kata yang Tantonim pada hakikatnya adalah proses pertarungan antarinstitusi yang mendeterrnisi subjek penghasil teksnya. Dikotomi kata-kata, seperti reformis x status quo, ekonoi kerakyatan x ekonomi konglomerat, ekonomi kerakyatan x ekonomi biaya tinggi, Lonomi kerakyatan x ekonomi pemodal, ekonomi kerakyatan x ekonomi model Orde aru, sistem Orde Baru x sistem Indonesia barn, kawasan barat Indonesia x kawast timur Indonesia, Jawa x luar Jawa, dan musiim x nonmuslim sangat bersifat ideogis yang dapat dimakuai dari proses pertarungan autarinstitusi yang berlangsurtg lama in sangat rumit. Sebagian besar pasangan kosakata tersebut berantonimi secara ideolospolitis meskipun secara etimologis tidak selalu berantonim.
341 Hal senada juga amat tampak pada pilihan hiponimi. Pilihan terhadap kosakata terntu yang dianggap sebagai kosakata utama atau pokok yang akan menduduki superornat pada hakikatnya adalah sebuah proses perebutan sebuah nilai yang dianggap penting in beberapa nilai lainnya dianggap sebagai nilai pendukung yang menduduki subordinat. lihan kosakata tertentu, seperti nilai kebenaran antara PKB dan PK, nilai keadilan itara PK dan PKD, serta nitai demokrasi antara PKB, PDKB, dan PUDI, misalnya, enunjukkan adanya pertarungan antarinstitusi meskipun tidak secara langsung berhaman satu lawan satu. Ideologi yang berada di belakang subjek institusi akan mengarahm ke mana sebuah pilihan kosakata itu dianggap penting atau diistimewakan, sementara 3sakata yang lain dianggap tidak terlalu penting atau dikemudiankan. Proses mengistiiewakan dan mengemudiankan sebuah pilihan kata tertentu dapat dipandang sebagai agian dari politik komunikasi yang sedang dilakukan oleh elite politik tersebut. Masih banyak contoh yang dapat dikemukakan berkenaan dengan dimensi proses istitusi berkaitan dengan penggunaan atau pilihan kata dalam wacana politik pada era asca-Orde Baru. Keberadaan nilai elcspresif kosakata politik yang bermuara pada evalusi positif dan negatif yang dimiliki kosakata politik, misalnya, dapat menambah perbenlaharaan contoh dari proses institusi itu. Sebuah kosakata yang mengekspresikan suatu alai positif tertentu adalah hasil dari proses pertarungan antarinstitusi yang berlangsung nelalui proses yang rumit melalui relasi-relasi pengendalian dan penguasaan tertentu. Dari paparan di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa pilihan terhadap kosakata ertentu dalam wacana politik pada era pasca-Orde Elam bukan semata-mata persoalan nengartikulasikan dan mengaksentuasikan sebuah bentuk tertentu. Lebih jauh dari itu, lersoalan pilihan terhadap kosakata dalam wacana politik adalah persoalan konteks in-
342 t uasi onal yan g m el i ngkupi subj ek p engh asi l t eks. S ubj ek -subj ek i t u berada di b aw ah sebuah st rukt ur yan g m end et erm i nasi n ya. Dal am wacan a pol i t i k, pi l ihan kosakat a i n g m u ncul bukan l a gi pi l i han pri badi el i t e pol i t i k ya n g m erdek a, t et ap i pi l i han i t u l ebi h inyak ditentukan oleh ideologi institusi yang berada di belakang subjek itu. .1.4.2 Proses Sosiokultural Terdapat proses sosiokultural yang cukup kompleks dalam wacana politik Indonea pada era pasca-Orde Baru. Proses itu berupa "pertarungan" sistem sosiobudaya "lama" engan sistem sosiobudaya "baru". Sistem budaya lama Indonesia yang didominasi oleh istem budaya Jawa mendapat tantangan sistem budaya yang lebih global yang secara ormatif tidak sesuai dengan budaya lama. Memanfaatkan pandangan Alisj ahbana (1982; 986), proses sosiokultural yang terjadi dalam wacana politik Indonesia adalah "pertaungan" antara sistem budaya "ekspresif' dan "progresif'. Sistem budaya ekpresif adalah istem budaya yang didominasi oleh nilai-nilai agama, seni, dan nilai solidaritas. Sistem ludaya ekspresif banyak dijumpai pada sistem budaya etnik. Sistem budaya progresif tdalah sistem budaya yang didominasi oleh nilai-nilai teori dan ekonomi. Sistem budaya ni terdapat pada masyarakat yang sudah maju. Masih berkuasanya alam pikiran lama yang tercermin dalam pilihan kata pada teks ,rang dihasilkan oleh elite politik Indonesia, seperti kata konstitusionalisme beserta ko3akata lain, seperti gotong royong, serasi-selaras-seimbang, mikul dhuwur mendhem iero, dan sebagainya merupakan bukti masih berkuasanya alam pikiran dalam kebudayaan ekspresif Pilihan ungkapan-ungkapan, seperti reformasi yang gradual dan konstitusional, reformasi yang terkendali dan damai, dan reformasi sesuai jadwal dapat cilacak pada konsep keseimbangan atau harmoni pada sistem budaya tradisi. Dalam budaya
343 wa, misalnya, segala sesuatu haruslah diacukan kepada konsep yang paling dasar, yakni selarasan dengan dunia atau kosmos, baik makrokosmos (jagad gedhe) maupun mikkosmos (jagad cilik). Jagad besar mencakup semua lingkungan tempat seseorang hiip, sebaliknya jagad kecil adalah diri dan batin manusia itu sendiri. Jagad kecil harus usahakan sedemikian rupa dijaga keselarasannya, yakni keselarasan hubungan batin dan smaninya_ Jagad kecil sebagai bagian dari jagad besar hams terus dijaga agar hubunganra dengan unsur-unsur yang lain dari jagad besar tetap selaras. Pilihan kata-kata gradu, konstitusional, terkendali, damai, dan sesuai jadwal dapat dipahami sebagai wujud ituk tetap menjaga keharmonisan hubungan antara makrokosmos dan mikrokosmos. pa pun perubahan yang diinginkan haruslah tetap menjaga keharmonisan antara jagad ;sar dan jagad kecil itu. Pada waktu yang sama kehidupan sistem budaya progresif tidak dapat dihindarkan. ntutan masyarakat untuk dapat hidup lebih maju mendorong semakin berkuasanya nilai on dan ekonomi. Dalam sistem budaya ini, peranan ilmu pengetahun dalam memecahm masalah-masalah kehidupan amatlah strategis. Demikian juga, kemajuan ekonomi .enjadi parameter apakah sebuah bangsa itu maju dan tidak. Bangsa yang maju adalah ingsa yang kuat secara ekonomis. Prinsip efisiensi dijunjung tinggi. Metode konflik dan mnpetisi secara terbuka menjadi bagian dan nilai-nilai yang dianjurkan demi kemajuan. ilihan ungkapan reformasi total oleh sebagian elite politik dapat dilacak pada sistem ilai budaya yang progresif itu. Dengan demikian, pemaknaan kata reformasi di atas dapat dipandang dari proses )siokultural, yakni "pertaningan" antara sistem budaya lama yang ekspresif dengan sism budaya barn yang progresif. Sistem budaya ekspresif mengedepankan kosakata gra-
344 ual, konstitusional, terkendali, damai, dan sesuai jadwal sebagai wujud dari penevan konsep keselarasan. Sebaliknya, sistem budaya progresif mengedepankan kata total ebagai wujud dari penerapan konsep efisiensi, konflik, dan kompetisi. Pertentangan antra "tradisi" dan "modernitas" dalam kehidupan sosial yang lebih luas dapat diketahui ada tataran pilihan sebuah kosakata tertentu. Selain dapat dilihat dari suatu proses "pertarungan" antarsistem budaya, wacana potik Indonesia era pasca-Orde Baru dapat juga dilihat dari "usaha elite politik untuk
emberikan kontribusi ke arah perjuangan sosial. Elite politik begitu intensif
memperjurigkan apa yang begitu diyakininya melalui teks-teks politiknya. Hal ini dapat diperhakan pada pendayagunaan "politik angka". Angka satu, lima, dan tujuh betas banyak iperjuangkan oleh partai-partai yang memiliki nomor urut partai yang sesuai dengan igka-angka itu. Dalam konteks ini, aktivitas politik dipercayai sebagai bagian dari akvitas religius. Aktivitas politik bukan semata-mata bersifat horisontal, tetapi aktivitas Dlitik bersifat vertikal. Dengan demikian, dalam pandangan penghasil wacananya, meentukan suara kepada partai yang bernomor satu, lima, dan tujuh belas selain dapat di-
andang dari aspek pemenuhan dan pelaksanaan hak-hak politik sebagai warga negara, tga dapat dipandang dari usaha mengharap berkah dan karunia dari Sang Pencipta bagi ehidupan setelah mati.
345 1.2 Pendayagunaan Gramatika dalam Wacana Politik Mengikuti pandangan Fairclough (1989; 1995), aspek gramatika dalam penelitian )erupa aspek-aspek yang berhubungan dengan persoalan-persoalan klausa atau kalimat. ajian terhadap aspek gramatika akan berisi tiga rincian fitur yang dimilikinya. Pertama, :ajian "nilai pengalaman" meliputi kajian terhadap pilihan-pilihan: (a) ketransitifan, (b) (c) pilihan kalimat aktif-pasif, dan (d) pilihan kalimat positif-negatif Kelua, kajian "nilai relasional" meliputi kajian terhadap pilihan-pilihan: (a) modus kalimat, b) modalitas relasional, dan (c) pronomina persona. Kajian terhadap modus kalimat perian dan penafsiran terhadap pilihan kalimat deklaratif, interogatif, dan imperatif ",.ajian terhadap modalitas relasional berisi perian dan penafsiran terhadap berbagai mo[al yang berkenaan dengan persoalan autoritas satu partisipan dalam hubungannya degan partisipan lainnya. Kajian terhadap pronomina persona akan berisi tentang perian an penafsiran tentang strategi elite politik dalam menghadirkan dirinya di hadapan mayarakat Indonesia. Ketiga, kajian "nilai ekspresif' meliputi kajian terhadap pilihan moalitas yang berkenaan dengan autoritas penutur dalam kaitannya dengan kebenaran reresentasi realitas. Nilai Pengalaman
pt.1.1 Ketransitifan Teori ketransitifan ini bersumber dari fungsi representasional bahasa, yakni fungsi iahasa yang bertugas (1) menyandikan (encode) pengalaman tentang dunia dan (2) memawa gambaran tentang realitas. Gambaran mental itu dapat berupa struktur frasa, klausa, an kata. Salah satu pertanyaan pokok yang dimunculkan Fairclough (1989:120) dalam ienganalisis wacana dengan paradigma kritis adalah "tipe-tipe proses dan partisipan apa
31+6 aja yang menonjol". Seperti sudah dipaparkan pada bab II, istilah "proses" dan "partisian" dalam pandangan Fairciough (1989) diacukan kepada sistem atau teori ketransitifan. )alam pandangan Halliday (1985; 1994) sistem ketransitifan (transitivity system) ini ienjelaskan berbagai macam proses yang terlibat dan struktur yang mewujudkannya. Kajian terhadap ketransitifan akan menghasilkan perian tentang berbagai pilihan roses dan partisipan dalam klausa. Sebagai contoh, analisis terhadap teks politik yang ihasilkan oleh 26 elite politik diperoleh informasi bahwa klausa material mendominasi eseluruhan proses yang digunakan. Hal itu dapat diperhatikan pada tabel 5.1 berikut. :abet 5.1 Pilihan Sistem Ketransitifan dalam Teks-Teks yang Dihasilkan oleh 26 Elite Politik Indonesia era Paca-Orde Baru To
Nana Politikus
E proses dianahsts
material E (%)
mental E (%)
1.
SH AT GD DR MDI HS MD FB SSS AWM SBY SEY HM SBP ATS YIM KHD AR KKG DH AS RH AMS YAB MLD ABT
90 55 60 29 144 28 57 82 36 40 78 98 38 106 14 80 61 48 26 24 48 80 24 30 20 22
48(53,3)* 21(38,2)* 28(46,6)* 7(24,1) 87(60,4)* 15(53,6)* 32(56,1)* 60(73,2)* 19(52,8)* 32(80,0)* 56(71,8)* 60(61,2)* 24(63,2)* 68(64,2)* 6(42,9)* 43(53,8)* 31(50,8)* 31(64,6)* 17(65,4)* 14(58,3)* 32(66,7)* 52(65,0)* 17(70,8)* 20(66,7)* 5(25,0) 7(31,8)
22(24,4) 21(38,2)* 23(38,4) 5(17,3) 21(14,6) 7(25,0) 11(19,3) 10(12,2) 5(13,9) 5(12,5) 7(8,9) 17(17,3) 3(7,9) 18(16,9) 5(35,8) 15(18,8) 13(21,3) 8(16,7) 3(11,5) 4(16,7) 4(8,3) 14(17,5) 4(16,7) 6(20,0) 9(45,0)* 7(31,8)
2. 3. 4. 15. 6. 17. 18. 19.
0. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. [9. !O. 11. 12 13. 14. ?5. 16.
2atatan: ( )* Pilihan sistem ketransitifan dalam klausa yang menonjol
relasi E (%) 20(22,2) 13(23,6) 9(15,0) 17(58,6)* 36(25,0) 6(21,4) 14(24,6) 12(14,6) 12(33,3) 3(7,5) 15(19,2) 21(21,4) 11(28,9) 20(18,9) 3(21,4) 22(27,5) 17(27,9) 9(18,8) 6(23,1) 6(25,0) 12(25,0) 14(17,5) 3(12,5) 4(13,3) 6(30,0) 8(36,4)*
347 Dari tabel di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa proses "material" atau pro-3 "tindakan" dalam klausa begitu menonjol didayagunakan dalam wacana politik basa Indonesia pada era pasca-Orde Baru. Sebagai gambaran awal, dari 26 ujaran elite litik yang dianalisis, dapat dikemukakan empat hal penting sebagai berikut. Pertama, bagian besar teks politik, yakni teks yang dihasilkan oleh 23 elite politik, begitu didoinasi oleh proses material. Kedua, teks politik dari 2 elite politik, yakni Dawam Raharo (DR) dan Abdillah Toha (ABT), didominasi proses relasional atau proses atribusi. ;,dua elite politik itu (DR & ABT) adalah Ketua Partai Amanat Nasional (PAN). Keti1, 1 teks politik mendayagunakan dua proses yang sama-sama dominan, yakni proses aterial dan mental, secara seimbang. Teks politik ini dihasilkan oleh Akbar Tanjung
a), Ketua
Umum Partai Golongan Karya (PG). Keempat, 1 teks politik didominasi oleh roses mental atau proses merasakan secara dominan. Teks ini dihasilkan oleh Muladi vILD), salah seorang Ketua PG. Secara umum, proses material lebih mendominasi teks:Ics politik pada era pasca-Orde Baru. Belum seluruh ujaran elite politik dianalisis, baik dari segi penghasil wacana ma-pun jenis wacananya. Namun, dalam pandangan peneliti, kecenderungan adanya pendaagunaan klausa proses material atau tindakan oleh para elite politik Indonesia dapat diertanggungjavvabkan secara metodologis. Oleh karena itu, jika elite politik Indonesia ;bih banyak menonjolkan aspek-aspek yang berkaitan dengan "perbuatan", "kejadian", Ian "perilaku", hasil analisis sistem ketransifan di atas dapat memberikan jawaban awal entang kecenderungan-kecenderungan dalam budaya politik Indonesia yang lebih meigedepankan perilaku-perilaku yang mengandalkan kekuatan fisik daripada kekuatan )tak atau nalar.
348 Proses Material Proses material disebut juga proses tindakan. Berbagai pilihan klausa yang ber -oses "material" begitu mendominasi ketransitifan dalam berbagai wacana politik baha. Indonesia. Tiga kategori makna yang terkandung dalam klausa material, yakni makna erbuatan', 'kejadian, dan 'perilaktt, semuanya muncul dalam wacana. Dan analisis teridap teks yang dihasilkan oleh 26 elite politik menunjukkan bahwa proses material degan makna 'perbuatad dan 'kejadian' mendominasi teks dan makna 'perilaku' menduduki )sisi yang paling akhir. Selanjutnya, perhatikan tabel 5.2 berikut. abel 5.2 Pilihan Klausa Proses Material dalam Teks-Teks yang Dihasilkan 26 Elite Politik Indonesia era Pasca-Orde Baru o
Nama
E Proses Material
Perbuatan E (%)
Kejadian E (%)
Perilaku E (%)
I
SF. AT GD DR MDI HS MD FB SSS AWM SBY SEY HM SBP ATS YIM KHD AR KKG DH AS RH AMS AN ABT MLD
27 21 29 13 34 7 26 46 12 15 40 28 14 23 3 25 20 29 11 30 29 30 14 14 7 5
12(44,4)* 14(66,7)* 10(34,5) 5(38,5)* 13(38,2) 3(42,9) 6(23,1) 16(34,8) 6(50,0)* 5(33,3) 23(57,5)* 15(53,6)* 3(21,4) 11(47,8)* 1(33,3) 18(72,0)* 7(35,0) 14(48,3)* 4(36,4) 10(33,3) 11(37,9) 20(66,7)* 7(50,0)* 6(42,9) 5(71,4)* 5(100)*
12(44,4)* 6(28,6) 16(55,2)* 5(38,5)* 20(58,8)* 4(57,1)* 19(73,1)* 30(65,2)* 6(50,0)* 10(66,7)* 17(42,5) 12(42,9) 11(78,6)* 11(47,8)* 2(66,7)* 7(28,0) 13(65,0)* 12(41,4) 7(63,6)* 18(60,0)* 18(62.1)* 10(33,3) 7(50,0)* 8(57,1)* 2(28,6) 0(0,00)
3(11,1) 1(4,8) 3(10,3) 3(23,1) 1(2,9) 0(0,00) 1(3,8) 0(0,00) 0(0,00) 0(0,00) 0(0,00) 1(3,6) 0(0,00) 1(4,3) 0(0,00) 0(0,00) 0(0,00) 3(10,3) 0(0,00) 2(6,7) 0(0,00) 0(0,00) 0(0,00) 0(0,00) 0(0,00) 0(0,00)
). 3. 1_ 5. 5. 7. 8. 9. 0. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 0. ,1. .2. 3, :4. 5. 6.
l',atatan: O* Pilihan proses material dalam klausa yang menonjol
349 Dari tabel 5.2 di atas dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut. Pertama, eks-teks politik yang dihasilkan oleh .18 elite politik didominasi proses material yang iermakna 'kejadian'. Kedua, teks-teks politik yang dihasilkan oleh 13 elite politik didoninasi proses material yang bermalcna 'perbuatan'. Ketiga, teks-teks politik yang dihasil:an 5 elite politik didominasi dua proses material secara seimbang, yakni makna 'perluatan' clan 'kejadian'. Keempat, tidak ada teks politik yang didominasi oleh proses mateial dengan makna 'perilaku'. Seperti sudah dipaparkan pada bab 11, pilihan ketransitifan menurut Fowler (1985) ienunjukkan pilihan pandangan dunia (world-view) atau ideologi penuturnya. Pilihan etransitifan yang berbeda dalam klausa sering berarti adanya perbedaan ideologi itu. Hail penelitian ini menunjukkan bahwa posisi ideologis penutur dapat muncul dalam "pro"partisipan", baik aktor atau agen maupun tuivan (goal), serta "keterangan". Bebees", 1pa elite politik menyembunyikan posisi ideologis secara beragam. Dari tabel 5.2 dapat iketahui bahwa para elite politik Indonesia lebih menyukai menyampaikan ide-ide polik yang memiliki makna 'kejadian' dan 'perbuatan'. Pam elite lebih banyak menyandikan ejadian-kejadian di sekitarnya, sebaliknya sedikit menyandikan perilaku. Berbagai verba ang menduduki proses dalam klausa, seperti: merusak, menyelamatkan, menyampaian, menjalankan, memberikan, menolak, memilih, mendukung, mengklaim, melakuan, menindak, membekukan, meminta, mengandalkan, mengubah, menyerap, iemberikan, memainkan, mendorong, berkunjung, bertindak, membangun, menuniskan, bergerak, membidik, mengemban, memprioritaskan, membubarkau, menuntskan, memberantas, menyeret, dan sebagainya banyak didayagunakan oleh para elite olitik Indonesia di atas pada era pasca-Orde Baru.
350 Dari analisis ketransitifan di atas dapat diketahui ideologi dan posisi ideologis para elite politik di Indonesia dalam keseluruhan wacana politik Indonesia. Berikut ini dipaparkan beberapa ideologi yang muncul dari tuturan elite politik. Yang dimaksud ideologi dalam penelitian ini mengikuti pandangan Beard (2000:118), yakni seperangkat ide atau nilai yang dipegang oleh kelompok atau individu. Seperti sudah dipaparkan pada bagian sebelumnya, ideologi elite politik dapat dimunculkan melalui "agen", "proses", "goal", maupun "keterangan" dalam klausa. I. Ideologi Elite Politik "Mempertahankan apa yang Sudah Ada" Dan analisis ketransitifan dapat diketahui beberapa elite politik Indonesia yang berideologi "mempertahankan apa yang sudah ada". Ideologi ini adalah ideologi yang umumnya dipercayai oleh elite politik yang sedang mengemban tugas sebagai pelaksana pemerintahan Indonesia dan elite politik lain yang menginginkan sebuah reformasi yang berlangsung dalam keadaan damai. Ideologi tersebut umumnya memiliki karakteristik, antara lain: (1) menonjolkan peranan pembangunan, (2) menyakralkan dan mempertahankan UUD 1945, (3) tidakmengakomodasi suara-suara di luar lembaga formal pemerintahan, dan (4) menyakralkan jabatan-jabatan eksekutif di pemerintahan. Selanjutnya, perhatikan kutipan (72) berikut. Kutipan (72): SH: Saya kira, kalau dibandingkan, jumlah rakyat yang mendukung digelar SI jauh lebih banyak. Sebab, misi rakyat yang ingin tetap melaksanakan SI ingin menyelamatkan negara dan bangsa. [Data 49.B.1(1)] Kutipan (72) di atas dicuplik dari tuturan Menteri Dalam Negeri, Syarwan Hamid (SH) dalam keterangan persnya kepada sejumlah wartawan. Persoalan yang dikemukakan adalah komentar Mendagri terhadap pelaksanaan Sidang Istimewa (SI) yang masih me-
351 nimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Yang tercetak tebal dalam kutipan (72) di atas merupakan klausa yang berjenis proses material yang di dalamnya mengandung ideologi penuturnya. Ideologi itu dapat diperhatikan pada verba yang digunakan, yakni kata menyelamatkan. Kategori makna klausa ini adalah 'perbuatad atau 'tindakad. Klausa di atas dapat dianalisis ketransitifannya sebagai berikut. misi rakyat yang ingin tetap melaksanakan SI
ingin menyelamatkan
negara dan bangsa
aktor
proses perbuatan
goal
Dalam pandangan SH, situasi dan kondisi bangsa ini sudah sangat mengkhawatirkan. Oleh karena itu, negara dan bangsa perlu diselamatkan. Verba menyelamatkan dari bentuk dasar selamat memiliki makna lerhindar dari bahaya' atau 'tidak mendapatkan kecelakaan'. Kosakata ini banyak digunakan dalam konteks, seperti "menyelamatkan penumpang", "menyelamatkan korban bencana alam", "menyelamatkan anak dari ancaman binatang bias", "menyelamatkan masyarakat dari ancaman penyakit masyarakat", dan sebagainya. Dengan demikian, verba menyelamatkan mengandung makna 'melepaskan dari bahaya yang mengancam Dengan demikian, dalam kutipan (72) di atas, analisis terhadap ideologi penuturnya dapat dikemukakan sebagai berikut. Pertama, pandangan penutur terhadap kondisi negara dan pemerintahan Indonesia disampaikan lewat verba yang menduduki "proses" itu. Negara Indonesia dapat diidentikan dengan "sesuatu" yang berada dalam keadaan yang sedang terancam bahaya yang datang dari War. Sebagai individu yang berada di dalam lingkaran institusi pemerintahan, jelaslah SH memiliki kepentingan untuk menyukseskan Sidang Istimewa (SI) MPR dan memiliki kepentingan untuk membujuk, mengajak, serta mempengaruhi anggota masyarakat lainnya yang masih bersikap acuh
352 tak acuh atau apatis terhadap pelaksanaan SI tersebut. Kedua, penyembunyian atau pengaburan "agen" atau goal yang ingin mengancam negara dengan cara nominalisasi. Nominalisasi seperti itu dapat mengurangi intensitas makna 'ancaman'. Persoalan nominalisasi ini selanjutnya diuraikan pada bagian selanjutnya. Dan perspektif yang tidak jauh berbeda dengan paparan sebelumnya, seorang Ketua Umum Partai Golkar, Ir. Akbar Tanjung (AT) memberikan penilaian tentang pelaksa naan sidang umum (SI) seperti kutipan (73) berikut. Kutipan (73): AT: Bila SI tidak dilakukan, kita tidak bisa menjalankan reformasi secara konstitusional dan gradual. Karena, inilah langkah menuju reformasi total ini. Salah satu kuncinya dengan melakukan SI. Data 49.B.1(2)].
Klausa yang bercetak tebal dalam kutipan (73) tersebut dapat dianalisis ketransitifannya sebagai berikut. kita
tidak bisa menjalankan
reformasi
secara konstitusional dan gradual, bila SI tidak dilakukan
aktor
proses perbuatan
goal
keterangan
Kutipan (73) di atas merupakan sebagian keterangan pers AT ketika menyampaikan kepada sejumlah wartawan. Persoalan yang diangkat adalah sekitar pro dan kontra terhadap pelaksanaan Sidang Istimewa MPR. Tiga hal yang perlu dikemukakan sehubungan dengan posisi ideologis penutur dalam kutipan (73) di ens. Pertama, pilihan aktor atau agen dengan pronomina persona kita. Pronomina kita bersifat inklusif dengan mengikutsertakan keterlibatan mitra tutur. Ini amat bersifat politis untuk mengaiak orang lain terlibat di dalam persoalan itu. Kedua, penggunaan bentuk negasi dalam verba yang menduduki proses dalam klausa. Pilihan frasa tidak bisa menjalankan mengandung makna tidak adanya pilihan bagi kita atau paling tidak menggiring pendengar kepada pilihan diko-
353 tomis yang hitam-putih, yakni melakukan SI atau tidak. Ketiga, posisi ideologis penutur diletakkan pada keterangan klausa, yakni (1) pilihan klausa subordinatif bila SI tidak dilakukan, dan (2) frasa secara konstitusional dan gradual. Penempatan (1) pada awal tuturan memberikan makna bahwa penutur memandang begitu pentingnya arti SI bagi pemerintah yang sedang berkuasa. Penonjolan klausa subordinatif ke depan itu mengakibatkan peran agen atau aktor sedikit tidak begitu penting. Demikian juga dengan penempatan posisi ideologis penutur pada bagian keterangan atau penjelasan klausa. Pilihan frasa secara konstitusional dan gradual adalah jargon yang dikembangkan oleh para pihak ekselcutif atau pelaksana pemerintahan baik sipil maupun ABRI untuk memberikan tandingan kepada konsep secara total yang dikembangkan oleh mahasiswa dan kelompok pro demokrasi lainnya. Kutipan (72) dan (73) di atas dapat diidentifikasi sebagai ideologi yang "mempertahankan apa yang sudah ada". Tatanan sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang sudah terbangun dalam rentang waktu yang panjang dipercayai oleh sebagian elite politik Indonesia sebagai sesuatu yang harus dipertahankan. Pikiran atau tindakan untuk mengubah sistem yang ada tidak mendapatkan tempat, bahkan dianggap bermusuhan. Sistem yang ada dianggap sebagai sistem terbaik begitu dinaturalisasikan melalui berbagai aktivitas. Beberapa kasus, seperti mengkritik kebijakan pemerintah, menafsirkan ideologi negara dengan penafsiran selain Pancasila, serta tindakan mengubah sistem yang lain disikapi dan dianggap sebagai pandangan atau gerakan yang "antipembangunan". Ideologi yang sejenis dengan kutipan (72) dan (73) di atas dapat ditemukan juga dalam teks politik dan elite politik lainnya pada era pasca-Orde Baru. Hal itu dapat diperhatikan pada kutipan (74) berikut.
354 Kutipan (74): SB Y: Pembaharuan yang didukung ABRI itu tentu hares yang konstitusional, konseptual, gradual, tepat sasaran, dan sesuai urgensinya. ABRI tidak pernah akan mendorong dan mendukung pembaruan yang revolusioner, radikal,dan dramatis.Sehab
di situ akan mengandung kerawanan yang tinggi, resiko yang tinggi, dan instabilitas dalam gerak pembangunan.[Data 49.B. 1(3)] Kutipan (74) dicuplik dari hasil wawancara dari individu yang berkompeten memberikan keterangan tentang hal ikhwal politik dalam institusi ABRI/TNI, yakni Kepala Staf Teritonal ABRU TNT Letnan Jendral TNI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Klausa yang bercetak tebal adalah contoh klausa yang mengandung ideologi penuturnya. Klausa itu dapat dianalisis sebagai berikut. ABRI
tidak pernah akan mendo- pembaruan yang revolusiorong dan mendukung ner, radikal, dan dramatis
aktor
proses material
goal
0 keterangan
Beberapa catatan posisi ideologi penutur yang dapat dikemukakan terhadap klausa tercetak miring pada kutipan (74) di atas. Pertama, penutur mendayagunakan semacam gaya bahasa tautologi 'gaya bahasa yang menggim akar} sinonim' dalam klausa, yakni verba yang menduduki proses materialnya. Penggunaan kata mendorong dan mendukung dalam satu rangkaian tuturan jelas memiliki signifikansi tertentu, yakni memberikan penekanan tentang pentingnya frasa yang mengikuti proses materialnya. Kedua, frasa yang menduduki "tujuan" menunjulckan sikap institusi ABRUTNI dalam menyikapi gerakan reformasi "total" yang digerakkan oleh mahasiswa Indonesia dan sejumlah tokoh yang terkelornpok ke dalam gerakan prodemokrasi. ABRI memaknai reformasi total dengan makna 'pembaruan yang revolusioner, radikal, dan dramatis'. Penafsiran makna reformasi total oleh institusi ABRI tersebut jelas menunjukkan posisi ideologi yang segaris dengan
355 pemerintahan yang sedang berkuasa, yakni 'perubahan yang pelan-pelan sesuai dengan aturan yang berlaku', bukan 'perubahan yang revolusioner, radikal, dan dramatis'. Apa yang disampaikan oleh SBY di atas tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) ABRI tahun 1988 Brigjen TM Abdul Wahab Makodongan (AWM), seperti dalam kutipan (75) dan (76) serta Ketua Fraksi ABRITINI DPR Letjen TM Hari Sabarno (HS), seperti dalam kutipan (77) berikut. Kutipan (75): AWM: Sebelum saya menjelaskan hal tersebut perlu ditekankan di sini bahwa ABRI dalam gerakan reformasi selalu mendukung reformasi yang mengarah ke kondisi yang lebih balk- Perubahan atau reformasi itu tentu tidak bisa dilakukan secara total, harus pelan-pelan. Sekarang ini, tampaknya belum ada kesepakatan bersama coal itu. [Data 49.B.1(4)]
Kutipan (75) di atas dicuplik dari hasil wawancara AWM dengan sejumlah wartawan media cetak dan elektronik. Persoalan yang diangkat adalah bagaimana tanggapan institusi ABRITTNI terhadap aksi-aksi unjuk rasa ataupun demonstrasi mahasiswa dan gerakan pro demokrasi yang marak di berbagai kampus di Indonesia. Dalam setiap aksinya, para mahasiswa itu selalu meneriakkan kata "reformasi", terhadap berbagai aspek kehidupan. Sato catatan penting berkaitan dengan kutipan (75) di atas dapat dikemukakan bahwa susunan Idausa dapat didayagunakan untuk penonjolan atau penyembunyian posisi ideologis. Hal itu dapat diperhatikan pada klausa pertama kutipan (75) di atas. Klausa yang di dalatnnya mengandung ideologi ABRI diletakkan dalam klausa subordinatif atau anak kalimat dan tidak ditempatkan sebagai induk kalimat. Fenomena ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa ABRI berusaha menyembunyikan posisi ideologisnya atau minimal tidak menonjolkan posisi ideologis dalam arus reformasi yang begitu dahsyat. Penyembunyian klausa yang memuat ideologis adalah bagian dan strategi elite politik da-
356 lam menjalankan politik komunikasinya. Pada era pasca-Orde Baru di mana sejumlah pendukung pemerintahan Orde Baru memperoleh hujatan dari berbagai pihak, apa yang dilakukan oleh ABRI/TNI bukan sesuatu yang luar biasa. Dua klausa tanggapan AWM terhadap gerakan reformasi yang dapat memberikan informasi tentang posisi ideologis penuturnya dikemukakan pada bagian ini. Klausa pertama (disebut 75a) pada bagian yang tercetak tebal dalam kutipan (75) di atas dapat dianalisis ketransitifannya sebagai berikut. ABRI dalam gerak- selalu mendukung an reformasi
reformasi yang mengarah ke kondisi yang lebih baik
0
aktor
goal
keterangan
proses perbuatan
Beberapa catatan dapat dikemukakan berkaitan dengan kutipan (75a) di atas. Pertama, pengeksplisitan identitas aktor yang berupa agen dalam klausa. Sebagai wakil dari institusi, penutur tidak menggunakan pronomina persona tertentu, seperti "kami" atau "kita", atau "saya". Sebaliknya, penutur menggunakan nomina tertentu, yakni nama institusi yang diwakilinya, yakni ABRI. Kedua, frasa yang menduduki goal menunjukkan sikap institusi ABRITTNI dalam menyikapi dan memaknai gerakan reformasi "total" yang digerakkan oleh mahasiswa Indonesia dan sejumlah tokoh prodemokrasi lainnya. Dalam pandangan ABRIiTNI, reformasi haruslah mengarah kepada kondisi yang lebih baik dari sebelumnya. Oleh karena itu reformasi harus dilaksanakan secara hati-hati dengan jadwal yang direncanakan secara matang. Reformasi tidak boleh dijalankan secara total, sebaliknya reformasi harus dijalankan secara pelan-pelan, seperti dapat diperhatikan pada klausa selanjutnya dalam kutipan (75) di atas. Klausa kedua tersebut (75b) dapat dianalisis sistem ketransitifannya sebagai berikut.
357 perubahan atau reformasi itu
tentu tidak bisa dilakukan
0
secara total, harus pelan-pelan
goal
proses perbuatan
aktor
keterangan
Beberapa catatan dapat dikemukakan berkaitan dengan analisis ketransitifan dalam (75b) di atas. Pertama, penonjolan bentuk yang dianggap sinonimnya dari konsep yang seharusnya lebih dikedepankaft Penutur menonjolkan pilihan kata perubahan daripada kata reformasi padahal topik yang sedang dibicarakan adalah masalah reformasi. Dan kasus itu, dapat diperoleh pemahaman bahwa penutur memperlakukan fenomena "reformasi" sebagai suatu hal yang tidak terlalu penting. Kedua, penggunaan bentuk negatif dalam frasa yang menduduki proses. Hal ini mengindikasikan ideologi ABRI/TNI yang tidak memberikan altematif pilihan dalam penafsiran sesuatu. Cara berpikir yang bersifat dikotomi menjadi ciri khas institusi ini. Ketiga, tidak hadirnya unsur aktor dalam klausa. Ada dua kemungkinan penafsiran yang dapat dikemukakan, yakni (1) penutur dengan sengaja tidak memunculkan aktor yang berupa persona pelaku ini karena sudah menjadi pengetahuan umum bagi matyaralcat banyak, atau (2) penutur dengan sengaja menyembunyikan aktor yang berupa persona karena kepentingan ideologis. Keempat, penafsiran ABRI/ TNI tentang reformasi yang dimunculkan dalam frasa yang menduduki keterangan. Hal ini relevan dengan catatan pertama yang sudah dipaparkan sebelumnya. Dengan demikian, posisi ideologis ABRI/TNI selain dapat diperhatikan dalam penempatan klausa yang mengandung ideologi dalam klausa subordinatif atau anak kalimat, dapat juga diperhatikan dalam pilihan agen dengan sinonim, ketidakhadiran atau penyembunyian aktor, dan pilihan antonim dalam frasa yang menduduki keterangan. Selanjutnya perhatikan kutipan (76) berikut.
358 Kutipan (76): AWM: Sekarang ini, tampaknya, belum ada kesepakatan bersama soal itu. Jangan lupa juga, reformasi harus dijalankan sesuai dengan UUD 1945, Pancasila, memperhatikan stabilitas nasional, persatuan dan kesatuan bangsa, serta dilakukan secara berkesinambungan. [Data 49.B.1(5)]
Kutipan (76) di atas adalah bagian lanjutan dari kutipan (75) sebelumnya. Satu catatan penting dapat dikemukakan di sini. ABRI memandang pentingnya "reformasi yang sesuai konstitusi" dengan mendayagunakan frasa jangan lupa juga pada awal klausa yang mengandung ideologi ABRI/TI41 itu. Dengan menggunakan frasa jangan lupa juga itu untuk mengawali klausa membuat klausa lanjutannya menjadi begitu penting untuk diperhatikan oleh pendengar. Yang tercetak tebal adalah klausa kompleks yang terdiri atas tiga klausa sederhana. Klausa kompleks ini dapat dianalisis sistem ketransitifannya menjadi tiga analisis sebagai berikut. Klausa pertama (76a) yang berbunyi reformasi harus dijalankan sesuai dengan UUD 1945, Pancasila dapat dianalisis sebagai berikut. 0
reformasi
harus dijalankan
goal
proses perbuatan aktor
sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila keterangan
Catatan yang dapat dikemukakan dan analisis di atas adalah sebagai berikut_ Pertama, ketidakhadiran unsur aktor dalam klausa. Pengisi unsur aktor yang harus menjalankan reformasi ini dapat bermacam-macam sesuai dengan yang dikehendaki oleh penuturnya. Hanya saja, karena makna reformasi sudah ditentukan oleh penutur dengan rambu-rambu UUD 1945 dan Pancasila, pengisi aktornya menjadi bersifat ideologis. Kedua, pernalcnaan ABRI/TNI terhadap hakikat reformasi dimunculkan dalam frasa yang menduduki keterangan, yakni frasa sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila. Dalam klausa ini, pe-
359 nutur lebih menonjolkan peran keterangan daripada peran aktor. Dan analisis tersebut dapat dipahami bahwa yang lebih penting adalah reformasi yang sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila, bukan siapa yang menjalankan reformasi itu. Yang penting adalah "apanya", bukan "siapanya". • Klausa kedua (76b) yang berbunyi reformasi memperhatikan stabilitas nasional, persatuan, dan kesatuan bangsa dapat dianalisis sebagai berikut. reformasi
memperhatikan
stabilitas nasional, persatuan, dan kesatuan
0
aktor
proses mental
goal
keterangan
Catatan yang dapat dikemukakan dari analisis di atas adalah sebagai berikut. Pertama, penonjolan unsur goal dalam memaknai hakikat reformasi. Daiam pandangan ABRI, reformasi haruslah memperhatikan stabilitas nasional, persatuan, dan kesatuan. Kedua, pilihan aktor dalam klausa yang bukan pronomina, tetapi lebih mendayagunakan nomina. Dalam kasus ini, aktor dalam klausa adalah agen yang tidak bemyawa (inanimate) dalam proses mental atau proyeksi. Agen yang dihadirkan berupa nomina abstrak, yakni kata reformasi. Fenomena menarik dan kutipan (76) dan analisis (76a) dan (76b) adalah disisipkannya proses mental ke dalam klausa kompleks yang berupa proses material. Jika disusun, klausa kompleks (tercetak tebal) pada kutipan (76) terdiri atas proses "materialmental-material". Hal ini memperkuat temuan penelitian sebelumnya bahwa anus besar pilihan ketransitifan dalam klausa dalam teks-tens politik bahasa Indonesia yang dihasilkan oleh para elit politik Indonesia adalah pendayagunaan proses material atau tindakan secara lebih menonjol dibandingkan proses lainnya.
360 Klausa ketiga (76c) yang berbunyi reformasi dilakukan secara berkesinambangan dapat dianalisis sistem ketransitifannya sebagai berikut. reformasi
dilakukan
goal
proses perbuatan
0 aktor
secara berkesinambungan keterangan
Beberapa catatan dikemukakan clari analisis di atas adalah sebagai berikut. Pertama, ketidakhadiran unsur aktor yang berupa yang berupa "pelaku" dalam klausa. Ini merupakan fenomena yang menarik. Pertanyaan tentang siapa yang harus melakukan reformasi akan mendatangkan jawaban yang beragam karena masih belum menyatunya pandangan ten-tang maim reformasi itu. Jawaban terhadap pertanyaan itu bisa bermacam-macam. Kedua, pandangan ABRI/TNI dalam memaknai cara melaksanakan reformasi yang muncul dalam frasa yang menduduki keterangan. Dari analisis tersebut dapat diperoleh pemahaman bahwa yang terpenting bagi institusi ABRIJTNI adalah "cara melakukan reformasi", bukan siapa yang melakukannya. Selanjutnya, perhatikan kutipan (77) berikut. Kutipan (77): HS: Sikap DPR sebenamya sudah jelas. Pemikiran tentang perlunya reformasi, baik itu refonnasi politik, hukum, dan ekonomi sebenamya sejalan dengan pemikiran DPR. Dalam berbagai kesempatan pun ketua DPR setalu menandaskan hal ini. Tetapi, kan reformasi tidak begitu saja langsung membawa hasil. Semuanya harus dilakukan secara gradual dan konstitusional. Sekali lagi, membangun rumah bukan berarti merobohkan rumah. [Data 49.B.1(6)] Kutipan (77) adalah sebagian dari keterangan Ketua Fraksi ABRYTNI di DPR, Letjen Hari Sabarno (HS) kepada sejumlah wartawan media cetak dan elektronik. Topik pembicaraannya adalan tanggapan fraksi ABRI DPR tentang tuntutan sej umlah kelompok masyarakat, terutama mahasiswa, yang meminta agar lima paket undang-undang politik dicabut karena hanya memasung kehidupan demokrasi. Seperti diketahui, ABRI pada periode sebelumnya adalah penyangga pemerintahan Orba yang berusaha mempertahankan lima
361 paket UU politik tersebut. Klausa yang tercetak tebal dalam kutipan (77) di atas dapat dianalisis sistem ketransitifannya sebagai berikut. semuanya
harus dilakukan
0
secara gradual dan konstitusional
goal
proses material
aktor
keterangan
Beberapa catatan dapat dikemukakan di sini. Pertama, ketidakhadiran aktor dalam klausa tersebut. Fenomena ini senada dengan yang muncul dalam klausa (75b), (76a), dan (76c). Kedua, pandangan institusi ABRUTNI dalam memaknai hakikat pelaksanaan reformasi yang dimunculkan dalam frasa yang menduduki keterangan yakni secara gradual dan konstitusional. Fenomena ini juga senada dengan yang muncul dalam klausa (75b), (76a), dan (76c). Dari analisis terhadap klausa dalam kutipan (73), (74), (75), dan (76) dapat diperoleh pemahaman bahwa sebagai institusi yang dikenal cukup solid dalam sistem kepemimpinannya, pendayagunaan klausa dalam wacana politik oleh para elite institusi ABRUTNI tersebut memiliki kemiripan. 2. Ideologi Elite Politik "Pembaharuan di Segala Bidang Kehidupan" Dari analisis ketransitifan dapat diketahui adanya beberapa elite politik Indonesia yang berideologi "pembaharuan di segala bidang". Ideologi ini adalah ideologi yang umumnya dipercayai oleh elite politik yang menuntut turunnya Presiden Soeharto dari singgasana kepresidenan atau dari kalangan eksekutif yang juga menuntut adanya demokratisasi di segala bidang. Perhatikan kutipan (77) berikut. Kutipan (77): SBP: Jika pemilihan umum mendatang ini kalau pada akhimya hams menimbulican kembali, harus membangkitIcan kembali orde barn, disintegrasi pasti akan terjadi. Oleh karena itu, Orde Baru harus ditumbangkan. Apa pun yang terjadi, Orde Baru yang ingin menang harus dikalahkan. Mereka harus dihukum. [Data 36.B. 1(7)]
36 2 Kutipan (77) tersebut merupakan cuplikan teks politik yang dihasilkan oleh Sri Bintang Pamungkas dalam acara debat calon presiden yang diadakan oleh Universitas Indonesia dan disiarkan secara langsung melalui media elektronik. Kutipan (77) tersebut dibangun oleh klausa-klausa yang berproses "material". Sistem ketransitifan pada klausa pertama (77a), kedua (77b), ketiga (77c), dan keempat (77d) mengandung makna 'kejadian'. Satu catatan penting dapat dikemukakan berkaitan dengan kutipan (77) di atas adalah menonjolnya ragam pasif dalam pilihan klausanya. Jika Orwell (1946) menyarankan penggunaan ragam aktif dalam kalimat-kalimat bahasa politik, pilihan ragam pasif dari SBP di atas memiliki makna ideologis tertentu. Dalam kutipan (77) tersebut, SBP lebih menonjolkan goal daripada "aktor". Artinya, yang lebih penting dalam klausa tersebut adalah "tujuan" dan proses yang ada, bukan "siapa" yang melakukan proses itu. Hal ini dapat diperhatikan dan analisis sistem ketransitifan klausa (77a), (77b), (77c), dan (77d) berikut. Klausa (77a) yang berbunyi jika pemilihan umum mendatang ini kalau pada akhirnya harus menimbulkan kembali, harus membangkitkan kembali Orde Baru, disintegrasi pasti akan terjadi dapat dianalisis sebagai berikut. disintegrasi
pasti akan terjadi
0
jika pemilihan umum mendatang ini kalau pada akhirnya harms menimbulkan kembali, harus membangkitkan kembali orde bare
goal
proses kejadian
aktor
keterangan
Beberapa catatan dapat dikemukakan sebagai berikut. Pertama, ketidakhadiran aktor dalam klausa karena dalam klausa tersebut yang lebih ditonjolkan adalah goal-nya, yakni "disintegrasi". Kedua, pengedepanan unsur keterangan klausa dalam teks secara keseluruhan memberikan pemahaman akan ideologi penutur yang anti Orde Baru. Unsur yang
363 menduduki keterangan berupa paparan tentang 'syarat' atau 'pengandaiarf. Dengan pola ekspresi "jika...maka...", dalam pandangan peneliti klausa tersebut memiliki kekuatan imperatif bagi penerima wacana. Klausa (77b) yang berbunyi Orde Baru harus ditumbangkan dapat dianalisis sistem ketransitifannya sebagai berikut. Orde Baru
harus ditumbangkan
0
0
goal
proses kejadian
aktor
keterangan
Satu catatan penting dapat dikemukakan, yakni ketidakhadiran aktor dalam klausa. Klausa tersebut dibangun oleh dua unsur, yakni goal dan proses. Dalam klausa itu unsur yang terpenting adalah goal-nya, bukan aktornya. Klausa itu memprasyaratkan bahwa pemerintahan Orde Baru sebagai musuh bersama telah melakukan sesuatu yang merugikan bangsa sehingga perlu untuk ditumbangkan. Dalam konteks ini, presuposisi yang ada tidak sepenuhnya menjalankan fungsinya sebagai presuposisi, tetapi lebih berfungsi "ideologis", yakni merepresentasikan ideologi penghasil teks yang 'anti Orde Baru'. Klausa (77c) yang berbunyi Orde Baru yang ingin menang hams dikalahkan dapat dianalisis sistem ketransitifannya sebagai berikut. Orde Baru yang ingin menang
harus dikalahkan
0
0
goal
proses kejadian
aktor
keterangan
Sama dengan penjelasan terhadap klausa (77b) di atas, klausa (77c) ini juga tidak menghadirkan aktor dan lebih mengedepankan kehadiran goal-nya. Kelompok kata yang menduduki goal, yakni Orde Baru yang ingin menang memperoleh pengedepanan posisi. Klausa di atas mempersyaratkan bahwa Orde Barn yang pernah berbuat kesalahan terhadap bangsa Indonesia dan memiliki ambisi untuk memenangkan pemilihan umum. Da-
364 lam konteks ini, presuposisi yang ada menjalankan fungsi yang "sesungguhnya". Presuposisi yang ada sekaligus menjalankan fungsi "ideologis", yakni merepresentasikan ideologi penghasil teks yang 'anti Orde Baru'. Klausa terakhir, klausa (77d), yang berbunyi mereka harus dihukum dapat dianalisis sistem ketransitifannya sebagai berikut. mereka
harus dihukum
0
0
goal
proses kejadian
aktor
keterangan
Satu catatan penting dapat dikemukakan berkaitan dengan analisis klausa (77d) adalah tidak hadimya unsur aktor dalam klausa Hal ini sama dengan klausa-ldausa sebelumnya. Klausa itu terdiri alas dua unsur, yakni goal dan proses. Klausa itu mempersyaratkan bahwa Orde Baru telah melakukan kesalahan yang berhubungan dengan "pidana" atau "perdata". Dalam konteks ini, presuposisi yang ada menjalankan fungsinya sebagai "presuposisi yang sesungguhnya". Kebijakan-kebijakan Orde Baru yang berkaitan dengan kehidupan sosial-politik, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya akhimya menjerumuskan Indonesia ke dalam krisis berkepanjangan yang sulit untuk diselesaikan. Ideologi yang menginginkan "pernbaharuan di segala bidang" atau "anti Orde Baru" itu jugs dapat ditemukan dalam klausa-klausa yang muncul dalam teks-teks kampanye partai politik peserta pemilu tahun 1999. Bahkan, sebagian besar partai-partai itu mendayagtmalcan ideologi "pembaharuan di segala bidang" clan "anti Orde Baru" secara intensif dan ekstensif dalam berbagai aktiviias c Ideologi Elit Pollak
"Pementingan Sistem yang Mantap, bukan Figur"
Elite politik kelompok ketiga ini memandang bahwa rusaknya perikehidupan sosial-politik, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya Indonesia disebabkan oleh belum adanya
365 sistem yang mantap dalam setiap bidang kehidupan itu. Era pemerintahan Soekarno yang ditandai oleh pengkultusan individu Soekarno sebagai Panglima Besar Revolusi (PBR) berakhir dengan tragedi sosial politik yang menyedihkan. Era yang disebut dengan Orde Lama itu ditandai dengan menonjolnya figur Soekamo dalam setiap pengambilan keputusan. Era pemerintahan Soeharto yang ditandai oleh pengkultusan individu Soeharto sebagai Bapak Pembangunan jugs berakhir dengan tragedi sosial-politik dan sosial-ekonomi yang menyedihkan, khususnya krisis ekonomi dan krisis kepercayaan yang begitu • panjang. Era yang disebut dengan Orde Baru itu identik dengan figur Soeharto dalam setiap gerak kehidupan. Oleh karena itu, pada era pasca-Orde Baru sejumlah elite politik memandang bahwa kesalahan dua periode pemerintahan yang mementingkan figur itu diharapkan tidak terulang. Perhatikan kutipan (78) berikut. Kutipan (78): Y1B: Jangan nasib masa depan suatu bangsa diserahkan pada satu orang seperti yang terjadi di 53 tahun belakangan ini yang pada alchimya menyulifican kita bersama. Suatu negara yang kuat barns dibangun di atas suatu sistem yang kuat. Kits bangun suatu sistem, bukan tunduk pada orang. [Data 22.B.1(8)]
Kutipan (78) itu dicuplik dari teks yang dihasilkan Yusril Ihza Mahendra dalam debat calon presiden yang diadakan oleh Universitas Indonesia dan disiarkan secara langsung melalui media elektronik. Tiga kalimat dalam kutipan (78) cukup memberikan informasi tentang posisi ideologi penghasil teksnya. Klausa pertama (78a) yang berbunyi nasib masa depan suatu bangsa diserahkan pada satu orang seperti yang terjadi di 53 tahun belakangan ini dapat dianalisis sistem ketransitifaimya sebagai berikut nasib masa depan suatu bangsa
diserahkan
0
pada satu orang seperti yang terjadi di 53 tahun belakangan ini
goal
proses kejadian
aktor
keterangan
366 Beberapa catatan dapat dikemukakan berkaitan dengan analisis klausa (78a) di atas. Pertama, ketidakhadiran unsur yang menduduki aktor dalam klausa. Hal ini senada dengan yang terjadi pada klausa-klausa sebelumnya. Kedua, posisi ideologis yang cenderung netral dapat diperhatikan pada unsur yang menduduki keterangan dalam klausa. YIlVI sebagai penghasil klausa (78a) memandang bahwa sepanjang usia kemerdekaan Indonesia yang sudah berumur 53 tahun itu, sistem pemerintahannya lebih mengandalkan karisma tokoh atau figur seseorang yang dianggap berjasa besar bagi bangsa Indonesia. Ketiga, pilihan kata diserahkan untuk bagian yang menduduki proses. Kata diserahkan berasal dari bentuk dasar serah yang memiliki makna imemberikant. Dengan demikian, kata diserahkan bermalcna 'diberilcan'. Dalam sebuah negara modem yang demokratis, sebuah jabatan politis hams diperoleh melalui pertarungan politis. Kata diberikan hanya cocok dipergunakan untuk sistem kenegaraan yang menganut sistem kerajaan yang monarkhi di mana jabatan politis merupakan jabatan yang turun-temurun. Realitas sistem politik Indonesia selama 53 tahun lebih berupa proses "penyerahan", bukan proses kompetisi yang jujur dan adil. Klausa kedua (78b) yang berbunyi suatu negara yang kuat harus dibangun di atas suatu sistem yang kuat dapat dianalisis sistem ketransitifannya sebagai berikut. suatu negara yang kuat
hams dibangun
0
di atas sistem yang kuat
goal
proses kejadian
aktor
keterangan
Beberapa catatan dapat dikemukakan berkaitan dengan analisis klausa 78b di atas. Pertama, ketidakhadiran aktor dalam klausa sama seperti dalam klausa-klausa sebelumnya. Dalam kasus ifli, penghasil teks memandang bahwa yang penting dalam klausa itu adalah "apa yang hams dibangun", bukan "siapa yang membangun". Dalam perspektif lain, da-
367 lam klausa yang berproses kejadian kehadiran aktor tidak begitu signifikan, sebaliknya kehadiran goal merupakan sebuah kewajiban. Kedua, sistem yang kuat merupakan prasyarat sebuah negara yang kuat. Tidak boleh lagi sebuah negara dibangun di atas karisma seseorang yang dianggap berjasa bagi sebuah negara. Ketiga, kata dibangun mengimplikasikan bahwa sebuah negara selalu dalam proses "menjadi", semuanya harus terus-menerus diusahakan oleh para elit politik sebuah negara. Klausa ketiga (78c) yang berbunyi kita bangun suatu sistem, bukan tunduk pada orang dapat dianalisis sistem ketransitifannya sebagai berikut. kita
bangun
suatu sistem
bukan tunduk pada orang
aktor
proses perbuatan
goal
keterangan
Beberapa catatan dapat dikemukakan berkaitan dengan analisis klausa (78c) di atas. Pertama, penggunaan pronomina persona kita pada klausa. Pronomina tersebut memiliki makna inklusif, dalam pengertian bahwa tugas membangun suatu sistem yang kuat adalah tugas seluruh bangsa Indonesia, bukan hanya "saya" atau "kami". Kedua, pemilihan kata bangun dalam bagian yang menduduki proses. Secara leksikal, kata bangun mengandung makna 'bentuk'. Hal ini mengimplikasikan bahwa "sistem" bukanlah suatu barang jadi, tetapi sesuatu yang harus dibentuk melalui proses yang panjang. Proses itu dapat juga bersifat trial and error yang dilakukan secara sadar melalui usaha yang terencana melalui beberapa generasi. Sistem bukanlah sesuatu yang bersifat instan, sebaliknya sistem harus dibentuk melalui proses yang lama. Beberapa partai politik yang memiliki hubungan sejarah dengan Partai Masyumi yang pernah berjaya pada era Orde Lama dan alchirnya dibubarkan oleh Presiden Soekarno banyak mendayagunakan klausa dengan ketransitifan seperti yang muncul dalam ku-
368 tipan (78) di atas. Dan analisis terhadap sistem ketransitifan yang terdapat pada klausaklausanya dapat diketahui posisi ideologis mereka, yakni ideologi yang mementingkan sistem yang mantap, bukan mementingkan figur atau tokoh. b. Proses Mental atau Proses Proyeksi Memperhatikan pendapat Halliday (1985:111), proses mental dapat diklasi fikasikan menjadi tiga golongan besar, yakni (1) persepsi, (2) afeksi, dan (3) kognisi. Yang termasuk proses persepsi, antara lain melihat, mendengar, dan memandang. Yang termasuk proses afeksi, antara lain menyukai, khawatir, optimis, dan merasa. Yang termasuk proses kognisi, antara lain berpikir, berpendapat, mengetahui, dan memahami. Dalam Halliday (1994), proses mental berubah namanya menjadi proses proyeksi, seperti dapat ditemukan dalam paparan Butt et al. (1995). Terdapat perkembangan teori dalam pandangan Halliday terbaru ini. Jika dalam Halliday (1985) proses verbal berdiri sendiri di luar proses mental, dalam Halliday (1994) proses verbal dimasukkan ke dalam proses mental atau proses proyeksi. Dalam penelitian ini, klasifikasi ketransitifan proses mental mengikuti pandangan Halliday (1985) dan Halliday (1994) tersebut. Keempat subproses proyeksi atau mental secara umum didayagunakan dalam teksteks politik bahasa Indonesia. Dan teks-teks politik yang dihasilkan oleh 26 elite politik yang dianalisis pada tahap awal dapat dipaparkan sebagai berikut. Pertama, 11 elite politik menghasilkan teks-teks politik yang didominasi oleh proses afeksi. Kedua, 9 elite politik menghasilkan teks-teks politik yang didominasi oleh proses kognisi. Ketiga, 5 elite politik menghasilkan teks-teks politik yang didominasi oleh proses persepsi. Keempat, 4 elite politik menghasilkan teks-teks politik yang didominasi oleh proses verbal. Paparan secara lebih lengkap dapat diperhatikan pada tabel 5.3 berikut.
36 ,9 Tabel 53 Pilihan Klausa Proses Proyeksi atau Mental dalam Teks-Teks yang Dihasilkan oleh 26 Elite Politik era Pasca-Orde Baru No
Nama Elite
E Proses Proyeksi
Persejosi E (%).
Afeksi E (%)
Kognisi E (%)
01. 02. 03. 04. 05. 06. 07. 08. 09. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.
SH AT GD DR MDI HS MD FB SSS AWM SBY SEY HM SBP ATS YIM KHD AR KKG DH AS RH AMS AN ABT MILD
27 21 20 8 20 5 13 10 6 6 30 16 4 22 8 9 16 15 4 23 7 12 3 4 7 9
1(3,70) 2(9,5) 1(5,0) 5(62,5)* 5(25,0) 0(0,00) 5(38,5)* 3(30,0)* 0(0,00) 0(0,00) 7(23,3) 6(37,5)* 2(50,0)* 3(13,6) 0(0,00) 0(0,00) 4(25,0) 3(20,0) 0(0,00) 6(26,1) 2(28,6) 3(25,0) 1(33,3) 0(0,00) • 0(0,00) 2(22,2)
10(37,0)* 8(38,1)* 8(40,0)* 0(0,00) 3(15,0) 0(0,00) 3(23,1) 2(20,0) 4(66,7)* 3(50,0)* 7(23,3) 5(31,3) 1(25,0) 5(22,7) 3(37,5)* 4(44,4)* 3(18,8) 10(66,7)* 2(50,0)* 5(21,7) 3(42,9)* 1(8,3) 0(0,00) 1(25,0) 2(28,6) 5(55,6)*
8(29,6) 6(28,6) 7(35,0) 3(37,5) 8(40,0)* 3(60,0)* 4(30,8) 3(30,0)* 1(16,7) 2(33,3) 9(30,0)* 3(18,8) 1(25,0) 8(36,4)* 3(37,5)* 4(44,4)* 3(18,8) 1(6,7) 1(25,0) 4(17,4) 2(28,6) 2(16,6) 0(0,00) 2(50,0)* 4(57,1)* 1(11,1)
Verbal E (%) 8(29,6) 5(23,8) 4(20,0) 0(0,00) 4(20,0) 2(40,0) 1(7,7) 2(20,0) 1(16,7) 1(16,7) 7(23,3) 2(12,5) 0(0,00) 6(27,3) 2(25,0) 1(11,1) 6(37,5)* 1(6,7) 1(25,0) 8(34,8)* 0(0,00) 6(50,0)* 2(66,6)* 1(25,0) 1(14,3) 1(11,1)
Catatan: Singkatan nama elit politik sudah dipaparkan pada bagian sebelumnya. ( )* Sistem ketransitifan yang menonjol
Paparan dalam tabel 53 di atas memberikan informasi yang menarik. Elite politik Indonesia memiliki kecenderungan mendayagunakan proses mental yang berkategori afeksi. Sementara itu, proses kognisi, persepsi, dan verbal secara berturut-turut mengikuti proses afeksi. Memang, belum sernua teks politik dart bebet apa elite politik lainnya yang dianalisis. Akan tetapi, kecenderungan itu dalam pandangan peneliti akan dijumpai juga dalam teks-teks politik lainnya. Beberapa verba dalam bahasa Indonesia, seperti kira/ mengira, khawatir, menghargai, menyadari, yakin, menduga, menebak, (me)rasa,
370 kecewa, curiga, (ber) harap, (meng)anggap, dan sebagainya banyak mendominasi tuturan-tuturan para elite politik Indonesia. Kata kira dan rasa, khususnya, dalam konstruksi seperti saya kira, kami kira, saya rasa, dan kami rasa kemunculannya memiliki
frekuensi
yang
tinggi
dalam
teks-teks
politik
tersebut.
Hal
ini
menginformasikan bahwa elite politik Indonesia lebih mengedepankan verba yang memiliki makna 'afeksi'. Sementara itu, proses proyeksi yang bermakna 'kognisi', 'persepsi', dan verbal tidak begitu intensif dipilih. Elite politik lebih banyak mendayagunakan verba yang lebih menonjolkan dimensi perasaan. Tabel 5.3 memunculkan pertanyaan "apakah klausa proses proyeksi yang bermakna afeksi itu cocok digunakan dalam teks-teks politik yang akan selalu melibatkan orang banyak sebagai penerimanya". Teks politik yang dihasilkan oleh elite politik adalah satu unsur dan sebuah politik komunikasi yang di dalamnya akan selalu melibatkan mekanisme pengendalian dan penguasaan. Kedua mekanisme ini, dalam pandangan peneliti, haruslah melibatkan sebuah cara bertutur yang mantap dan pasti agar daya kontrol dan kuasa itu dapat berjalan efektif Sebuah cara bertutur yang didominasi oleh aspek perasaan pada din penuturnya amatlah tidak kondusif bagi pelaksanaan politik komunikasi. Ungkapan saya rasa dan saya kira, misalnya, memunculkan nuansa malcna 'fidak begitu yakin dengan apa yang dikemukakannya'. Dalam komunikasi politik, klausa yang bertipe proses proyeksi dengan makna 'persepsi' dan 'kognisi' agaknya lebih sesuai dengan pengucapan dalam wacana politik. c. Proses Relasi atau Proses Menjadi Proses relasi atau proses menjadi terdiri atas tiga modus, yakni (1) atributif, dan (2) identifikasi (Halliday, 1985), serta (3) eksistensial (Halliday, 1994). Proses atributif
37dicirikan dengan "a is an attribute off, sementara proses identifikasi dicirikan oleh "a is the identtb) off. Proses eksistensial dicirikan dengan penggunaan kata "ada" atau "tidak ada". Dua modus yang pertama masing-masingnya memiliki tiga tipe, yakni (1) intensif, (2) keadaan, dan (3) posesif. Paparan secara lengkap, lihat bab II halaman 171-174. Teks-teks politik bahasa Indonesia pada era pasca-Orde Baru juga mendayagunakan proses-proses relasi secara beragam. Terdapat elite politik yang mendayagunakan ketiga proses dalam klausa relasi dan ada juga yang lebih dominan pada klausa tertentu. Selanjutnya, perhatikan tabel 5.4 berikut. Tabel 5.4 Pilihan Klausa Proses Relasi dalamTeks-Teks yang Dihasilkan oleh 26 Elite Politik era Pasca-Orde Baru No
01. 02. 03. 04. 05. 06. 07. 08. 09. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.
Nama
E Proses Relasi
Atributif (%)
Identifikasi (%)
Eksistensial
SH AT GD DR MIDI HS MD FB SSS AWM SBY SEY HM SBP ATS YIM KHD AR KKG DH AS RH AMS AN ABT MLD
20 21 10 11 27 6 23 14 6 2 22 22 12 16 6 6 7 21 4 29 24
8(40) 7(33) 4(40) 3(27) 13(48)* 3(50)* 14(61)* 3(21) 4(67)* 0(0) 8(36) 7(32) 4(33)* 6(37) 3(50)* 0(0) 2(29) 12(57)* 1(25) 12(41) 4(17)
10(50)* 9(43)* 5(50)* 8(73)* 10(37) 3(50)* 8(35) 6(43)* 1(17) 0(0) 12(55)* 14(64)* 4(33)* 10(63)* 3(50)* 6(100)* 5(71)* 7(33) 3(75)* 14(48)* 14(58)*
0
0(0)
0(0)
6
1(17)
5(83)*
0
0(0)
0(0)
8 6
0(0) 5(83)*
6(75)* 0(0)
2(10) 5(24) 1(10) 0(0) 4(15) 0(0) 1(4) 5(36) 1(17) 2(100)* 2(9) 1(5) 4(33)* 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) 2(10) 0 0 () 3(10) 6(25) 0 0 () 0(0) 0(0) 2(25) 1(17)
372 Dan tabel 5.4 di atas dapat diketahui beberapa hal penting sebagai berikut. Pertama, teks politik dari 15 elite politik didominasi oleh klausa relasi yang bermakna 'identifikasi'. Kedua, teks politik dari 6 elite politik didominasi oleh klausa relasi yang bermalcna tatribusf. Ketiga, teks politik dari 2 elite politik didominasi oleh klausa relasi yang bermakna 'aksistensial'. Keempat, teks politik dari 2 elite politik didominasi oleh dua klausa relasi yang bermakna latribusi' clan 'identifikasi'. Kelima, teks politik dari 1 elite politik didominasi oleh tiga klausa relasi secara seimbang yang bermakna 'atribusi', 'identifikasi', dan 'eksistensial'. Keenam, teks politik dari 2 elite politik tidak mendayagunakan sama sekali klausa relasi. Dengan demikian, elite politik Indonesia era pasca-Orde Baru memiliki kecenderungan mendayagunakan klausa relasi yang memiliki makna Identifikasit. Klausa identifikasi adalah sistem ketransitifan yang kedudukan antara "teridentifikasi" (identified) dan "pengidentifikasi" (identifier) dapat dibalik (reversible) dalam penggunaannya. Sebuah rumusan, seperti a adalah b dapat digunakan secara berkebalikan b adalah a secara bebas. Banyak tuturan elite politik Indonesia yang mendayagunakan klausa identifikasi dengan memanfaatkan konjungsi adalah itu. Bahkan, identifikasi dengan adalah ini mendominasi dari keseluruhan klausa identifikasi. Perhatikan kutipan (79) berikut. Kutipan (79): SBY: [...] Saya mencatat ada banyak pandangan dan pemilciran darifloor. Sebagian besar adalah pandangan yang positif dan konstruktif. Sebagian kecil adalah pandangan yang besar, tempi masih hams dibahas lebih lanjut karena masalahnya tidak sederhana. Sebagian lagi adalah masalah yang terlalu didramaiisasi, digeneralisasi, disimplifikasi, kathmg-kadang juga menggunakan analogi yang tidak tepat. [Data 49.B.1(9)] Kutipan (79) dicuplik dari teks basil wawancana Susilo Bambang Yudhoyono dengan sejumlah wartawan media mass& Masalah yang diangkat adalah persoalan dialog yang dita-
373 warkan ABRI kepada mahasiswa Indonesia untuk mengatasi persoalan politik Indonesia. Pada kutipan (79) itu terdapat tiga klausa, yakni klausa 2, 3, dan 4, yang mendayagunakan klausa identifikasi dengan konjungsi adalah. Klausa kedua yang berbunyi sebagian besar adalah pandangan yang positif dan konstruktif dapat dianalisis sistem ketransitifannya sebagai berikut. sebagian besar teridentifikasi
adalah proses relasional
pandangan yang positif dan konstruktif pengidentifikasi
Urutan klausa kedua dengan teridentifikasi+proses relasional+pengidentifikasi dapat dibalik secara bebas dengan urutan pengidentifikasi+proses relasional+teridentifikasi. Analisis yang sama dapat diterapkan pada klausa ketiga dan keempat Sebagian besar, klausa identifikasi yang didayagunakan oleh elite politik Indonesia pada era pasca-Orde Baru menggunakan pola-pola seperti itu. Bahkan, dan tabel 5.4 di atas dapat diketahui bahwa seluruh klausa relasional yang dipilih oleh beberapa elite politik semuanya merupakan klausa identifikasi dengan konjungsi adalah. Pada beberapa kasus, pendayagunaan klausa relasional dengan konjungsi adalah memiliki kekhasan karena tidak dapat dibalik secara bebas seperti klausaklausa pada kutipan (79) di atas. Selanjutnya perhatikan kutipan (80) berikut. Kutipan (80): DR: Dalam konteks wacana politik saat ini status quo dan reformis itu adalah pemerintahan itu sendiri. Kalau kita mau jujur, maka pemerintahan yang ada saat ini adalah termasuk status quo, yang artinya masih menggunakan sistem dan aturan yang lama serta belum terlihat perubahan yang berarti. [Data 15.B.1(10)] Kutipan (80) dicuplik dari teks hasil wawancara Dawam Rahardjo (DR) dengan sejumlah wartawan media massa. Topik yang diangkat adalah tanggapan terhadap konsep Indo-
374 nesia barn atau Indonesia masa depan yang diidam-idamkan termasuk pandangannya ten-tang pemerintahan Presiden Habibie. Dalam kutipan (80) kalimat pertama dan kedua mengandung klausa yang menggunakan konjungsi adalah. Klausa pertama yang berbunyi dalam konteks wacana politik saat ini status quo dan reformis adalah pemerintahan itu sendiri dapat dianalisis sistem ketransitifannya sebagai berikut. status quo dan reformis pengidentifikasi
adalah proses relasional
pemerintahan itu sendiri
dalam konteks wacana politik saat ini
teridentifikasi
keterangan
Satu catatan penting dapat dikemukakan berkaitan dengan analisis sistem ketransitifan di atas adalah bahwa penghasil teks mendayagunakan urutan pengidentifikasi+proses relasional+teridentifikasi dalam kluasa relasional. Lazimnya, sebuah klausa identifikasi dituangkan dalam urutan teridentifikasi+proses relasional+pengidentifikasi. Dengan demikian, urutan proses relasional yang didayagunakan oleh DR memiliki makna ideologis-politis tertentu yang ingin mengedepankan bagian klausa yang menjadi pengisi pengidentifikasi. Model penggunaan klausa yang berproses relasi atau proses menjadi dengan ma'am 'identifikasi' seperti ini banyak dijumpai dalam teks-teks kampanye partai politik peserta pemilu tahun 1999. Pola yang berbeda dengan klausa pertama kutipan (80) dapat ditemukan pada klausa kedua yang menggunakan urutan teridentifikasi+proses relasional+pengidentifikasi pada kutipan yang sama seperti lazimnya digunakan pada klausa-klausa pada kutipan (79) di alas. Hanya saja, klausa kedua pada kutipan (80) tidak dapat dibalik secara bebas seperti klausa-klausa pada kutipan (79) sebelumnya. Susunan klausa seperti ini mengandung makna, yakni penutur ingin menonjolkan unsur yang menduduki "teridentifikasi".
375 4.2.1.2 Nominalisasi Fenomena nominalisasi banyak didayagunakan dalam teks-teks politik Indonesia pada era pasca-Orde Ban'. Seperti sudah dipaparkan pada bab II bahwa pilihan nominalisasi memiliki signifikansi ideologis tertentu. Fairclough (1989) dan Butt et al. (1995) mengaitkan nominalisasi dengan nilai pengalaman klausa. Berikut ini dipaparkan hal ikhwal pendayagunaan nominalisasi era pasca-Orde Baru, yakni paparan tentang fungsi nominalisasi dalam klausa yang di dalamnya termasuk juga paparan tentang berbagai nominalisasi yang digunakan. Ditinjau dari fungsinya dalam klausa, berbagai nominalisasi yang ada menduduki fungtor-fungtor: (1) partisipan, (2) proses, dan (3) keterangan. Kemunculan nominalisasi dalam fungtor-fungtor itu memiliki frekuensi yang cukup beragam. Terdapat nominalisasi yang muncul dalam fungtor tertentu dengan frekuensi yang cukup tinggi, misalnya nominalisasi partisipan. Sebaliknya, terdapat nominalisasi fungtor tertentu dengan frekuensi yang cukup rendah. a. Nominalisasi Partisipan Nominalisasi yang menduduki partisipan dapat digolongkan menjadi dua kelompok, yakni (1) nominalisasi yang menduduki agen, dan (2) nominalisasi yang menduduki goal dalam klausa. Nominalisasi yang menduduki partisipan, baik agen maupun goal banyak muncul dalam teks-teks politik yang dihasilkan oleh sejumlah elite politik Indonesia era pasca-Orde Baru. Berikut ini dipaparkan dua jenis nominalisasi itu. Pertama, nominalisasi yang menduduki agen dalam klausa. Ncminalisasi agen ini muncul dengan sejumlah bentuk, antara lain seperti "nominalisasi `1\1+yang"', "nominalisasi 'yang"', "nominalisasi itanyam, "nominalisasi lanya±yangm, dan sebagainya yang
376 akan dipaparkan kemudian. Beberapa nominalisasi yang menduduki agen klausa dapat diperhatikan pada paparan berikut.
Misi rakyat yang ingin tetap melaksanakan SI ingin menyelamatkan negara dan bangsa (SH). Pemerintah, seperti yang pernah disampaikan Presiden Habibie ingin menjalankan agenda reformasi sesuai jadwal (SH). Apa yang kita gunakan sebagai pengganti lima UU yang dicabut tersebut? (HS) Pemikiran tentang perlunya reformasi, balk reformasi politik, hukum, dan ekonomi sebenamya sejalan dengan pemikiran DPR (HS). Yang menjadikan kelompok Iramasuka mendukung beliau karena perhatian yang dimiliki beliau pada kawasan ini memang cukup besar (MDI). Berbagai kebijakan yang beliau lakukan selama menjadi presiden saat ini sangat berarti bagi orangorang daerah (MD). Toni trickle down effect yang diagung-agungkan itu tidal( terbukti (AS). Paradigma ekonomi barn ini diharapkan dapat mendorong tumbuhnya pengusaha kecil, menengah, dan koperasi (AS). Yang terpenting bahwa PDI telah membuktikan sebagai partai besar yang dipilih rakyat (DH). Yang sesungguhnya terjadi bukan bantuan, tetapi utang kepada pihak asing (KKG). Pos penerimaan dalam APBN yang diisi dari bantuan asing akan berkurang (KKG). Kampannye dalam bentuk pengerahan massa berpotensi menimbulkan bentrokan antarpendukung partai-partai (SEY). Yang perlu dirumuskan antara lain waktu atau jadwal kampanye (SEY). Kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh rezim orde baru Soeharto selama tiga puluh tahun bukan alang kepalang, baik sistem sosial ekonomi, politik, maupun budaya ditambah daigan pertum pahan darah di mana-mana di Indonesia (SBP). Mereka yang bertanggung jawab adalah orde baru, pars pengikut Soeharto, termasuk Pak Habibie, termasuk Pak Wiranto, termasuk Harmoko (SBP). Yang paling penting bagi kita sekalian adalah mencegah terulangnya kesulitan-kesulitan ini (YIM). Yang paling diperjuangkan dan khususnya saya perjuangkan adalah upaya untuk membangun suatu sistem yang kuat (VIM). Dialog yang ditawarkan pimpinan ABRI itu adalah niat baik, prakarsa untuk membangun sebuah komunikasi politik di_antara sesama komponen masyarakat (SBY). Dialog yang dilakukan tentunya dalam kerangka sistem, bukan di luar sistem (SBY). Kalau Anda menanyakan kepada saya yang paling ideal tentu saja jawabannya adalah Amien Rais. Itu yang paling ideal. (DR). Apa yang dilakukan oleh partai-partai yang melakukan komunike, balk yang di Paso maupun yang di Kartika Candra adalah hanya merupakan maneuver politik saja, bahkan itu bisa jadi merupakan bentuk ketidakpercayaan diri partai tersebut dengan kekuatan mereka serta khawatir dengan kekuatan Golkar (DR).
Yang bercetak tebal dalam paparan di atas adalah nominalisasi yang menduduki agen dalam klausa_ Nominalisasi jenis pertama ini dalam teks-teks politik bahasa Indonesia era pasta-Orde Baru cukup dominan. Selanjutnya, perhatikan kutipan (81) berikut. Kutipan (81): SH: [...] Saya kira kalau dibandingkan, jumlah rakyat yang mendukung digelar SI jauh leblh banyak. Sebab, mini rakyat yang ingin tetap melaksanakan SI ingin menyelamatkan negara dan bangsa. [Data 49.B.2(11)]
377 Kutipan (81) dicuplik dari teks basil wawancara wartawan media massa dengan Syarwan Hamid (SH). Topik yang diangkat adalah persoalan pelaksanaan Sidang Istimewa yang masih menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Dalam kutipan (81) terdapat pendayagunaan nominalisasi pada konstruksi misi rakyat yang ingin tetap melaksanakan SI yang menduduki partisipan. Ditinjau dari susunan fungtornya, klausa kedua itu disusun dengan pola "agen+proses+goa/ll dengan nominalisasi sebagai pengisi bagian klausa yang menduduki agen itu. Jika dikembalikan kepada ide dasar Halliday bahwa pemolaan klausa adalah sebuah model variabel dari pengalaman manusia", pilihan nominalisasi agen dalam susunan "agen+proses+goar itu merupakan model variabel bagaimana elite politik Indonesia memandang pengalaman atau realitas, yakni masalah pelaksanaan Sidang Istimewa yang masih pro dan kontra itu. Dalam kasus itu, penghasil teks memandang bahwa misi ingin menyelamatkan negara dan bangsa sebagai bagian yang menduduki "proses" lebih penting daripada misi rakyat yang ingin tetap melaksanakan SI sebagai bagian yang menduduki "partisipan" meskipun dalam kenyataannya pelaksanaan SI adalah pintu gerbang untuk menyelamatkan negara dan bangsa. Dalam teori fungsional, proses lebih penting daripada partisipan atau "proses" lebih penting daripada "sesuatu". Dengan demikian, terdapat fenomena yang unik dalam nominalisasi SH itu, yakni "menyembunyikan" ide dasar yang lebih penting ke dalam penggunaan nominalisasi agen dan mengedepankan ide yang kurang penting ke dalam "proses" klausa. Pendayagunaan nominalisasi seperti yang dilakukan SH di atas banyak dilakukan oleh elite-elite politik lainnya, baik dari pihak pemerintah yang berkuasa maupun dari kelompok oposisi. Hal ini dapat diperhatikan pada kutipan (82) berikut.
378 Kutipan (82): KKG: [...] Sikap seperti ini memang membawa konsekuensi. Misalnya, jika bantuan asing seperti bantuan CGI diperkecil maka proyek-proyek yang mengandalkan bantuan asing akan dipangkas. Pos penerimaan dalam APBN yang diisi dari bantuan asing juga akan berkurang. [Data 11.B.2(12)] Kutipan (82) dicuplik dari teks hasil wawancara sejumlah wartawan media massa dengan Kwik Kian Gie (KKG), salah seorang elit politik PDI Perjuangan. Topik yang diangkat adalah tanggapan KKG tentang masalah utang dari CGI yang menjadi andalan untuk menutupi defisit APBN. Dalam kutipan (82) itu terdapat pendayagunaan nominalisasi agen pada bentukan pos penerimaan dalam APBN yang diisi dari bantuan asing. Dengan demikian, klausa tersebut disusun dengan pola "agen+proses" dengan pendayagunaan nominalisasi untuk mengisi bagian klausa yang menduduki agen itu. Jika dikembalikan kepada ide Halliday seperti analisis dalam kutipan (81) di atas, pilihan nominalisasi agen dalam susunan "agen+proses" adalah model variabel tentang bagaimana elit politik Indonesia memandang aspek pengalaman atau realitas yang ada, yakni peranan utang CGI untuk menutupi defisit APBN. Dalam kasus itu, penghasil teks memandang bahwa pos APBN juga akan berkurang sebagai Idausa utama lebih penting daripada adanya pos penerimaan APBN dari utang lembaga keuangan asing meskipun dalam kenyataannya keberadaan "utang asing" itu jauh lebih penting dan mendasar daripada keberadaan pos APBN yang akan berkurang. Jumlah utang luar negeri Indonesia yang semakin membesar dari tahun ke tahun menjadi persoalan yang sangat berat bagi anak cucu penerus pemimpin Indonesia. Nominalisasi agen hadir dalam berbagai bentuk, antara lain (1) nominalisasi "nomina+yang", (2) nominalisasi "Yang", dan (3) nominalisasi "tanya+yang". Pertama, nominalisasi dengan bentuk "nomina+yang" dapat diperhatikan pada contoh-contoh ke-1, 2, 6,
379 7, 11, 14, 15, 18, dan 19 pada paparan di di atas. Nominalisasi bentuk pertama ini didayagunakan secara lebih ekstensif dalam teks-teks politik era pasca-Orde Baru. Kedua, nominalisasi dengan bentuk "Yang" dapat diperhatikan pada contoh-contoh ke-5, 9, 10, 13, 16, dan 17. Ketiga, nominalisasi dengan bentuk "tanya+ yang" dapat diperhatikan pada contoh-contoh ke-3 dan 21. Apa pun bentuk nominalisasi yang dipilih, terdapat satu fenomena yang menarik yakni keberadaan nominalisasi sebagai alat untuk mencapai tujuan ideologis-politis tertentu. Pilihan nominalisasi bukan semata-mata alasan linguistis yakni menominalkan suatu verba atau adjektiva tertentu melalui proses tertentu, tetapi lebih jauh dan itu pilihan nominalisasi merupakan sarana yang sangat strategis untuk keperluan menyembunyikan "agenda tertentu" dalam mencapai tujuan ideologic tertentu. Kedua, nominalisasi yang menduduki goal dalam klausa. Goal dalam kasus ini bermalum luas bergantung pada klausa yang dipilih. Termasuk ke dalam konsep goal ini adalah goal itu sendiri, fenomena, ucapan, dan atau proyeksi . Jika yang muncul adalah proses material, nominalisasi yang dimaksud adalah nominalisasi goal. Jika yang muncul adalah proses mental, nominalisasi yang dimaksud adalah nominalisasi fenomena. Jika yang muncul adalah proses verbal, nominalisasi yang dimaksud adalah nominalisasi ucapan. Nominalisasi goal ini muncul dalam tiga bentuk, yakni (1) "nominalisasi 'N+ yang"', (2) "nominalisasi 'tanya+ yang"', dan (3) "nominalisasi rbahwa+N" yang akan dipaparkan kemadian. Beberapa nominalisasi yang menduduki goal klausa dapat diperhatikan pada paparan berikut.
Mereka harusnya menjelaskan poin-poin mana yang ditolak (SH). Saya tidak munafik ingin mencari peluang-peluang yang mungkin menguntungkan saya (SH). Kalau terus-menerus dibiarkan, bisa dipastikan akan menimbulkan dampak yang kurang baik bagi negeri ini (MDI).
380
Selama ini perbedaannya sangat jelas. Di sate sisi, Pak Akbar mengatakan bahwa Pak Marzuki belum keluar dari ketentuan rapim (MDI). Komentar itu mengada-ada, Kita ini kan mengurifs puluhan juta rakyat kecil yang kehidupan ekonominya kita dorong terus (AS). Mbak Mega adalah seorang negarawan. Karena itu, dia menjunjung tinggi aturan main yang ditetapkan (DH). Mereka harus mematuhi peraturan-peraturan pemilu, balk yang ada dalam UU Politik maupun yang dirumuskan KPU (SEY). Saya melihat bahwa dari sudut pandang agama Islam yang saya anut perkara gender itu memang sudah amat jelas sekali (AR). Mereka kan mendengarjuga bahwa kita meminta mereka pulang (GD). Saya melihat bahwa keinginan demikian kurang tepat, kurang logis, dan kurang realistis (SBY). Sebab, di situ akan mengandung kerawanan yang tinggi, resiko yang tinggi dan instabilitas dalam gerak pembangunan (SBY). Saya melihat apa yang dilakukan PDI Perjuangan bukan sesuatu yang luar biasa (HM).
Yang tercetak tebal pada paparan di atas adalah nominalisasi yang menduduki goal dalam klausa. Nominalisasi yang menduduki goal klausa dalam teks-teks politik bahasa Indonesia relatif cukup banyak meskipun tidak sebanyak nominalisasi agentifnya. Untuk memperoleh gambaran secara lebih komprehensif terhadap pendayagunaan nominalisasi goal, selanjutnya perhatikan kutipan (83) berikut. Kutipan (83): SBY:
Saya melihat bahwa keinginan demikian kurang tepat, kurang logis, dan kurang realistis. Pengambilan kebijakan di negara kita tidak hanya dilakukan oleh
presiden....Secara vertikal dan horisontal, banyak pihak yang berperan dalam perumusan kebijaksanaan. [Data 49.B.1(13)] Kutipan (83) dicuplik dari teks basil wawancara sejumlah wartawan media massa dengan Letnan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono dalam kapasitasnya sebagai Kaster TNI. Topik yang diangkat adalah masalah permintaan sejumlah elemen mahasiswa Indonesia untuk berdialog dengan presiden. Dalarn kutipan (83) di atas terdapat "nominalisasi fenomena" pada klausa pertama_ yakni bahwa keinginan demikian kurang tepat, kurang logis, dan kurang realistis. Klausa pertama disusun dengan urutan "pengindera+proses mental+ fenomena". Fenomena ini memberikan pemahaman bahwa bagian klausa yang menduduki fenomena kurang memperoleh pementingan dibandingkan dengan bagian
381 klausa yang menduduki prosesnya meskipun dalam fenomena itu sebenarnya tersembunyi ide yang lebih penting daripada bagian sebelumnya. Pendayagunaan nominalisasi yang senada dengan klausa pertama kutipan (83) di atas selanjutnya dapat diperhatikan pada kutipan (84) berikut. Kutipan (84): MDI:Selama ini perbedaannya sangat jelas. Di sate sisi, Pak Akbar mengatakan bahwa Pak Marzuki belum keluar dari ketentuan rapim. Tetapi di pihak lain, kita menganggap apa yang dilakukannya sudah di luar keputusan rapim. Nah, karena ada perbedaan pandang itulah, akhimya pertemuan tersebut perlu dilakukan. Kita perlu mengadakan dialog.... [Data 33.B.1(14)] Kutipan (84) dicuplik dan teks hasil wawancara wartawan Jawa Pos dengan Marwah Daud Ibrahim, salah seorang elit politik Partai Golkar dari kelompok Iramasuka Nusantara. Topik yang diangkat adalah persoalan pencalonan Habibie sebagai calon Presiden dari Partai Golkar. Dalam kutipan (84) di atas terdapat pendayagunaan nominalisasi pada klausa kedua, yakni bahwa Pak Marzuki belum keluar dari ketentuan rapim. Klausa kedua disusun dengan urutan "pengucap+proses+ucapan". Hal ini memberikan pemahaman bahWa klausa yang tnemperoleh nominalisasi diperlakukan sebagai bagian yang tidak terlalu penting daripada bagian klausa yang menduduki "proses verbal". Nominalisasi yang ada hanya berupa "kutipan" atau "ucapan". Nominalisasi goal hadir dalam berbagai bentuk, yakni (1) nominalisasi "N+yang", (2) nominalisasi "bahvva+N", dan (3) nominalisasi "tanya+yang". Nominalisasi "N+yang" dapat diperhatikan pada contoh-contoh ke-1, 2, 3, 5, 6, 7, dan 11. Nominalisasi bentuk pertama ini didayagunakan secara lebih ektensif oleh elite politik. Nominalisasi "bahwa+N" dapat diperhatikan pada contoh-contoh ke-4, 8, 9, dan 10. Nominalisasi dengan formula "tanya+yang" dapat diperhatikan pada contoh ke-12.
382 b. Nominalisasi Proses Dalam pandangan Halliday (1985; 1994) pemolaan pengalaman manusia dalam kerangka fungsi pengalaman bahasa terpusat pada konsep "proses" yang selanjutnya diikuti oleh konsep "partisipan", dan "keterangan". Dalam konteks wacana politik Indonesia era pasca-Orde Baru, kepusatan "proses" dalam melaporkan pengalaman manusia tidak berkorelasi dengan pendayagunaan nominalisasi yang menduduki proses. Dari teksteks politik yang dianalisis, nominalisasi yang menduduki proses klausa tidak muncul dalam penggunaan, tidak seperti yang terjadi pada nominalisasi agen dan goal klausa di atas yang begitu dominan dalam teks-teks politik. Fenomena tidak munculnya pendayagunaan nominalisasi proses dapat dicari jawabnya pada teori ketransitifan Halliday (1985: 1994) yang di dalamnya terdapat subbahasan tentang nominalisasi. Jika nominalisasi didayagunakan elite politik Indonesia untuk mengurangi penonjolan sebuah kluasa tertentu yang penting untuk melaporkan realitas di sekitar manusia, sangat tidak masuk akal jika nominalisasi itu ditempatkan pada bagian klausa yang menduduki proses sebagai pusat klausa. Seperti sudah dipaparkan di depan, proses dalam klausa adalah aspek utama dari nilai pengalaman bahasa sebagai alat untuk melaporkan realitas atau pengalaman manusia. c. Nominalisasi Keterangan Analisis terhadap teks-teks politik Indonesia era pasca-Orde Baru menunjukkan bahwa nominalisasi yang menduduki keterangan dalam klausa juga didayagunakan oleh sejumlah elite politik. Berbeda dengan nominalisasi partisipan yang frekuensi pemunculannya begitu tinggi, nominalisasi keterangan hanya memiliki frekuensi yang rendah. Nominalisasi keterangan ini muncul dalam bentuk tunggal, yakni nominalisasi "N+yang".
383 Pendayagunaan nominalisasi keterangan dalam teks-teks politik Indonesia era pascaOrde Baru selanjutnya dapat diperhatikan pada paparan berikut.
Khusus usaha menengah, posisinya sangat penting untuk mengisi hollow middle yang selama ini menjadi persoalan besar dalam ciri dualistik struktur ekonomi nasional (AS). Kemungkinan besar Habibie juga akan mendapat dukungan dari partai Islam yang tampaknya khawatir dengan kelompok Megawati yang tidak sesuai dengan mereka maka partai Islam ini pasti akan menulih mendukung Habibie daripada mendukung Megawati yang tidal( jelas (DR).
Yang tercetak tebal pada paparan di atas adalah nominalisasi yang menduduki keterangan atau keadaan (circumstance) dalam klausa. Contoh nominalisasi (1) dalam paparan di atas adalah cuplikan dan teks hasil wawancara wartawan Jawa Pos dengan Adi Sasono (AS). Topik yang diangkat adalah masalah ekonomi kerakyatan yang menjadi tema perjuangan AS sebagai Menteri Koperasi dan Pembinaan Usaha Kecil, Menengah, dan Koperasi. Klausa yang memuat nominalisasi (1) disusun dengan urutan "partisipan+proses+ keterangan". Dalam klausa itu terdapat nominalisasi keterangan, yakni untuk mengisi hollow middle yang setama ini menjadi persoalan besar dalam ciri dualistik struktur ekonomi nasional. Susunan klausa dengan nominalisasi keterangan itu memberikan pemahaman bahwa bagian klausa yang menduduki keterangan kurang memperoleh pementingan dibandingkan dengan bagian yang menduduki proses dalam klausa. Contoh nominalisasi (2) dalam paparan adalah cuplikan dari teks hasil wawancara wartawan Skandal dengan Dawam Rahadjo (DR). Topik yang diangkat adalah penilaian Partai Amanat Nasional terhadap reformasi yang dilaksanakan oleh Kabinet Presiden Habibie. Klausa yang memuat nominalisasi (2) disusun dengan urutan "agen+proses+ goa/+keterangan". Dalam klausa itu terdapat nominalisasi keterangan, yakni clan partai Islam yang tampaknya khawatir dengan kelompok Megawati yang tidak sesuai dengan mereka. Susunan klausa dengan nominalisasi keterangan itu memberikan pema-
384 haman bahwa bagian klausa yang menduduki keterangan kurang memperoleh pementingan dibandingkan dengan bagian yang menduduki proses dalam klausa. 4.2.1.3 Kalimat Aktif dan Pasif Secara umum, teks-teks politik Indonesia era pasca-Orde Baru lebih didominasi oleh penggunaan kalimat aktif dibandingkan dengan kalimat pasif. Dengan demikian, jika fenomena ini diacukan kepada pendapat Orwell (1946) yang menganjurkan agar elite politik lebih menggunakan kalimat aktif dibandingkan dengan kalimat pasif, realitas pendayagunaan bahasa politik Indonesia era pasca-Orde Baru sudah relatif ideal seperti anjuran Orwell di atas. Untuk selanjutnya, paparan pada bagian ini difokuskan pada ragam kalimat pasif. Dalam pandangan Fairclough (1989:124) persoalan kalimat aktif dan pasif berkaitan erat dengan persoalan "proses tindakan" dalam kerangka sistem ketransitifan. Proses tindakan yang dimunculkan dengan ragam pasif sering memunculkan kalimat pasif tanpa kehadiran agen (agentless passive) yang pada tataran selanjutnya dapat mengakibatkan "kausalitas" dan "peragenan" yang tidak jelas. Dengan demikian, pilihan kalimat pasif sebagai pembangun teks-teks politik akan memiliki signifikansi ideologis tertentu sebagai bagian dari strategi komunikasi politiknya. Elite politik Indonesia era pasca-Orde Baru juga mendayagunakan secara intensif bentuk kalimat pasif untuk berbagai aktivitas politiknya. Terdapat tiga bentuk pasif, yakni (1) pasif di-, (2) pasif dengan pengedepanan objek, dan (3) pasif ter. Tiga bentuk pasif tersebut selanjutnya dipaparkan sebagai berikut. Penyebaran Dendayagunaan bentuk pasif oleh elite politik Indonesia era pasca-Orde Baru selanjutnya dapat diperhatikan pada tabel 5.5 berikut.
385 Tabel 5.5 Pendayagunaan Bentuk Pasif oleh 21 Elite Politik Indonesia era PascaOrde Baru No
Nama Elite Politik
Pasif di
Pasif Persona
Pasif ter
1. 2. 3.
SH AT DR GD HM SBP AWM SSG FB SBY MD AS KKG HS DH SEY MDI AN YIM KHD AR
-1-1++ ++ ++
+ + +
+ -
-H-
-
+
-4-+
-
-F-F
+
4.
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
12. 13.
14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
++
-1-+ -H-H-
+ +
-4-1++
++ ++
+ + +
+
++ -H-
-
+
+ +
-4-4-
-
-H-
+
-I-F
+
-F-F
+
Catatan: -H- = banyak didayagunakan + = sedikit didayagunakan = tidak didayagunakan.
Dan tabel 5.5 di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa bentuk pasif "di-" lebih banyak didayagunakan oleh elite politik Indonesia untuk berbagai aktivitas politiknya, diikuti oleh pasif dengan verba "ter-" dan pasif persona. Penjelasan tentang pendayagunaan ketiga bentuk pasif di atas selanjutnya dipaparkan pada bagian berikut. a. Kalimat Pasif dengan Verba "di-" Basil analisis menunjukkan bahwa bentuk kalimat pasif dengan verba "di-" paling banyak didayagunakan dalam teks-teks politik pada era pasca-Orde Baru. Selanjutnya perhatikan kutipan (85) berikut.
386 Kutipan (85): SH: Memang, dari awal diakui di sana sini ada kelemahan. Sebagai sebuah lembaga baru, dan di dalamnya juga terdiri atas orang-orang yang berbeda, pemerintah berusaha mencermati dengan dekat sekali. Pendekatan ini dilakukan dengan landasan pada keharmonisan hubungan antara pemerintah anggota KPU lainnya. [Data 49. B.1(15)]
Kutipan (85) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Jawa Pos dengan Syarwan (SH). Topik yang diangkat adalah masalah Komisi Pemilihan Umum yang langkahlangkahnya semakin kontra produktif. Pada kutipan (85) tersebut kalimat pertama dibangun dari ragam pasif, kalimat kedua dibangun dari ragam aktif, kalimat ketiga dibangun dari ragam pasif. Pada kalimat pertama, ketidakhadiran agen menimbulkan satu pertanyaan penting, yakni "siapa yang mengakui?". Jika yang berbicara adalah SH selaku Menteri Dalam Neget i yang sekaligus penanggung jawab KPU, jawaban terhadap pertanyaan itu adalah "pemerintah". Dalam kasus itu SH tidak mengedepankan agen pemerintah yang menjadi "penanggung jawab KPU dengan mengakui kelemahan-kelemahan kinerjanya", tetapi lebih menyembunyikan kehadiran agen dengan mendayagunakan pasif tanpa kehadiran agen, peranan "agen yang bertanggung jawab" dinetralkan. Pada kalimat kedua, SH mendayagunakan bentuk kalimat aktif dengan mengedepankan kehadiran agen dalam kalimat. Ketidakhadiran goal dalam kalimat itu tidak menimbulkan pertanyaan karena secara eksplisit sudah hadir dalam keterangan yang diekspresikan lebih dahulu daripada klausa intinya, yakni agen dan proses. Dalam kalimat kedua, kegiatan mencermati dilakukan oleh lembaga yang merasa sangat berjasa, yakni pemerintah. Dengan demikian, pilihan ragam aktif dengan menonjolkan peranan agen mengandung makna ideologis-politis.
387 Pada kalimat ketiga, SH mendayagunakan bentuk kalimat pasif dengan ketidakhadiran agen. Jika diperhatikan, ketidakhadiran agen pada kalimat ketiga ini berbeda dengan kalimat pertama. Pada kalimat ketiga, ketidakhadiran agen tidak menimbulkan permasalahan yang signifikan terhadap penghilangan agen. Agen dapat ditemukan dalam teks secara keseluruhan. Agen pada kalimat ketiga haruslah dicari hubungannya dengan kalimat yang lain. Pilihan bentuk kalimat pasif pada kalimat ketiga relatif tidak mengandung makna ideologis-politis. Model-model pendayagunaan bentuk pasif seperti path kutipan (85) di atas banyak muncul dalam teks-teks lain yang dihasilkan oleh sejumlah elite politik Indonesia era pasca-Orde Baru. Hal ini dapat diperhatikan pada kutipan (86) berikut. Kutipan (86): SBY: Dalam paradigma bare kami, ya, TNI ingin memberikan ruang yang lebih luas kepada komponen bangsa di luar TNI untuk mengambil inisiatif yang tepat. Sebab, kalau kita yang mengambil prakarsa, suasana psikologis bangsa belum memungkinkan. Niat baik TNI untuk ikut menjadi solusi dengan cepat bisa ditangkap sebagai intervensi bare TNI dalam politik nasional. Tapi, Icami tidak apatis, tidak masa bodoh. Kami tetap mencermati dinamika yang berkembang sekarang. [Data 49. B.1(16)] Kutipan (86) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Gatra dengan Susilo Bambang Yudhoyono, selaku Kepala Staf Teritorial TNT. Topik yang diangkat adalah pandangan TNI dalam perpolitikan nasional setelah era dwifungsi ABRI dihapuskan. Dalam kutipan (86) terdapat pendayagunaan bentuk aktif dan pasif sekaligus dalam satu paragraf basil dari pertanyaan wartawan Gatra, yakni "mengapa TNI tak mengambil inisiatif membicarakan soal amandemen UUD 1945 dengan kelompok masyarakat lain". Bentuk aktifnya ditunjukkan oleh keberadaan verba-verba memberikan, memungkinkan, dan mencermati. Sementara, bentuk pasifnya ditunjukkan oleh keberadaan verba ditangkap. Pilihan
388 bentuk aktif dalam kalimat 1, 2, dan 6 mengimplikasikan adanya penonjolan agen, yakni TNI, kita, dan kami. Hal ini jelas mengandung makna ideologis-politis. Pilihan bentuk pasif tanpa kehadiran agen pada kalimat 4 juga mengandung makna ideologis tertentu. Kalimat tersebut tersebut lebih mengedepankan unsur goal, yakni niat baik TM. Penutur sebagai representasi dari institusi TNI memiliki kepentingan untuk itu. Sebaliknya, jawaban terhadap "siapa yang menangkap" tidak begitu penting. Dengan demikian, untuk mencapai tujuan politiknya penutur begitu memaksimalkan peranan bentuk aktif dan pasif sebagai sarana untuk menonjolkan atau menghilangkan peranan agen dalam klausa. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah model pendayagunaan bentuk aktif dan pasif hanya dilakukan oleh elite politik dari pemerintah yang berkuasa. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perhatikan kutipan (87) berikut. Kutipan (87): DH: [...] Tahun 1997, ketika pidato pertanggungjawaban Soeharto, Mbak Mega mengatakan MPR jangan menerima pertanggungjawaban Soeharto. Itu nanti akan menimbulkan bencana nasional. Nah, temyata tepat. Apa orang seperti itu dikatakan takut bicara keliru? Ketika Soeharto dicalonkan lagi sebagai presiden, sekali lagi, Mbak Mega mengeluarkan statement-nya agar jangan sampai memilih kembali Soeharto. Waktu itu, tokoh-tokoh reformis itu kan masih tidur. Kan objektivitas berpikir seperti ini hams dibuat. [Data 11.B.1(17)] Kutipan (87) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Gatra dengan Dimyati Hartono, salah seorang elite politik Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Topik yang diangkat adalah seputar pencalonan Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden dari PDI Perjuarigan. Dalam kutipan (87) di atas, DH begitu intensif mendayagunakan bentuk aktif dan pasif secara simultan untuk mencapai tujuan politis tertentu. Bentuk aktif ciicirikan oleh penggunaan verba-verba mengatakan, menimbulkan, mengeluarkan", dan tidur". Pilihan terhadap bentuk aktif ini mengandung makna bahwa DH ingin menonjolkan
389 peranan agen dalam klausa, yakni Mbak Mega, penerimaan pertanggungjawaban presiden Soeharto, dan tokoh-tokoh reformis. Bentuk pasif "di-" dengan ketidakhadiran agen dicirikan oleh penggunaan verba-verba dikatakan dan dibuat. Pilihan terhadap bentuk pasif "di-" ini mengandung makna bahwa DH ingin menonjolkan peran-an goal dalam klausa, yakni Mbak Mega, dan objektivitas berpikir versi PDI. Sementara, jawaban terhadap siapa yang "mengatakan" dan "membuat" itu tidak penting. Penonjolan goal dalam konstruksi pasif "di-" seperti yang terdapat pada konstruksi di atas dapat ditemukan pada tuturan AR, seperti terdapat dalam kutipan (88) berikut. Kutipan (88): AR: Ini memang fenomena yang menarik. Saya kira, bukan polling Gatra solo, polling lembaga lain indikasinya juga ke sana. Kalau masyarakat ditanya calon presiden yang paling potensial, biasanya saya disebut yang paling sering. Ketika pertanyaannya pada partai politik itu justru PAN adalah nomor dua atau nomor tiga. Nah, karena itu, Sidang Umum MPR jadi sangat krusial. [Data 15.B.1(18)]
Kutipan (88) adalah cuplikan dari teks hasil wawancara wartawan Gatra dengan Amien Rais. Topik yang diangkat adalah tanggapan AR terhadap pencalonan Habibie sebagai calon presiden dari Partai Golkar. Dalam kutipan (88) itu AR mendayagunakan bentuk pasif "di-" dengan ketidakhadiran agen, seperti terdapat pada bentukan disebut. Dalam konstruksi itu, kehadiran goal saya sebagai maujud yang disebut menjadi lebih penting daripada "siapa yang menyebut". AR sebagai penghasil teks memiliki kepentingan menonjolkan saya untuk tujuan politisnya. Dan paparan di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa bentuk aktif dan pasif "di" didayagunakan oleh elite politik Indonesia, baik dari pihak pemerintah yang berkuasa maupun dari kelompok oposisi. Pilihan bentuk aktif dan pasif "di" oleh elite politik mengandung kepentingan ideologis-politis tertentu. Ketidakhadiran agen dalam pasif "di-" me-
390 nimbulkan kesan bahwa ekspresi tersebut lebih bersifat impersonal, kaku, dan formal. Dari sudut paradigma kritis, pilihan bentuk alctif dan pasif yang mengimplikasikan posisi ideologis tertentu dapat dipandang sebagai salah satu bentuk politik komunikasi yang di dalamnya terdapat dimensi penguasaan dan pengendalian. b. Kalimat Pasif dengan Pengedepanan Objek Mengikuti pendapat Chung (1976) seperti yang sudah dipaparkan pada bab II, bentuk pasif pengedepanan objek adalah konstruksi pasif seperti pada "saya munculkan", "saya katakan", "saya pilih", dan sebagainya. Bentuk pasif dengan pengedepanan objek disebut juga pasif persona. Selanjutnya perhatikan kutipan (89) berikut. Kutipan (89):. SSG: [...] Ya, tinggal sekarang istilahnya adalah good will daripada mereka. Apakah bangsa dan negara mau dipecah belah? Apakah bangsa ini mau diadu antara satu dengan yang lain. Yang penting kami mempunyai satu pemikiran agar kongres ini...Yang jelas materi kongres sudah kita siapkan, ketetapan dan keputusan kongres juga sudah kita tetapkan. [Data 11.B.1(19)]
Kutipan (89) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Skandal dengan Soetardjo Soerjogoeritno, salah seorang elite politik Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Masalah yang diangkat adalah persiapan PDI-P untuk kongres di Bali yang salah satu agenda utamanya adalah mencalonkan Megawati sebagai calon presiden dari PDI-P. Dalam kutipan (89) itu SSG mendayagunakan bentuk pasif secara lebih menonjol daripada bentuk aktifnya. Bentuk pasif yang dipilih ada dua jenis, yakni pasif "di-" pada verba dipecah belah dan diadu, dan pasif persona pada verba kita siapkan dan kita tetapkan. Pertama, pada verba pasif "di-", SSG ingin menonjolkan peran goal, yakni "bangsa dan negara". Sementara itu, siapa yang menjadi agen yang "memecah belah" dan "mengadu" sudah sangat jelas dan menjadi pengetahuan umum bagi sebagian besar ma-
391 syarakat Indonesia Pada masa lalu, "pemerintah yang berkuasa" selalu yang ditunjuk sebagai aktor pemecah belah sejumlah institusi yang melawan atau berseberangan pandangan dengan pemerintah yang berkuasa Kedua, pada bentuk pasif pengedepanan objek atau pasif persona, SSH ingin menonjolkan peran agen dalam klausa, yakni kita. Sementara itu, bentuk aktif yang dipilih dicirikan oleh verba mempunyai. Pada bentuk aktif ini, SSH juga ingin menonjolkan keberadaan agen, yakni kami. Pilihan bentuk aktif dan pasif oleh salah seorang elite politik PDI-P di atas mengandung makna ideologis-politis tertentu, yakni ideologi partai yang diperjuangkan oleh penghasil teksnya. Selanjutnya perhatikan kutipan (90) berikut. Kutipan (90): AR: Saya tetap optimistis. Seperti kita ketahui, partai besar yang lain adalah Partai Persatuan Pembangunan. Kits tahu PPP secara resmi tidak mencalonkan Habibie. Jadi, Habibie hanya dicalonkan oleh Golkar yang makin lemah. Maka, sulit bagi Habibie untuk mencapai anglca 50%. [Data 15.B.1(20] Kutipan (90) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Gatra dengan Amien Rais, Ketua Umum Partai Amanat Nasional. Topik yang diangkat adalah tanggapan AR tentang pencalonan Habibie sebagai talon presiden dari Partai Golkar. Dalam kutipan (90) AR mendayagunakan bentuk pasif pada konstruksi verba kita tahu dan dicalonkan. Pada pasif yang pertama, pilihan terhadap bentukan kita tahu oleh AR mengandung dua makna. Pertama, penghasil teks menonjolkan peranan agen dalam klausa, yakni kita, tempat penghasil teks termasuk di dalamnya. Dalam konteks ini, AR memiliki kepentingan untuk menonjolkar► peran keagenannya. Kedua, penghasil teks menciptakar. inklusivitas hubungan antara penghasil teks dengan penerima teks. Dengan politik inklusivitas itu, jarak individu dan jarak sosial antara penghasil teks dan penerima teks
392 menjadi dekat. Ini didukung fakta bahwa pilihan pasif persona, seperti kita tahu akan menimbulkan kesan sebuah ekspresi yang bersifat personal, lentur, dan informal. Pada pasif yang kedua, pilihan terhadap konstruksi verba dicalonkan dengan kehadiran goal dan agen secara lengkap mengandung dua makna. Pertama, pilihan kata "Habibie" sebagai goal yang ditonjolkan adalah fenomena yang biasa karena memang topik yang diangkat adalah persoalan "Habibie" sebagai calon presiders. Penonjolan mau j d "Habibie" dalam ekspresi bentuk pasif adalah dalam rangka menyesuaikan dengan topik yang dipilihnya. Kedua, pengeksplisitan kehadiran agen, yakni "Golkar" oleh penghasil teks memiliki tujuan tertentu. Dalam konteks ini, jawaban terhadap pertanyaan "siapa mencalonkan Habibie" atau "Habibie dicalonkan oleh siapa" merupakan sesuatu yang amat signifikan untuk dikemukakan sebagai bagian dari strategi penutur untuk memojokkan Habibie karena dicalonkan oleh institusi yang dianggap "cacat". Dan kacamata paradigma kritis, pilihan pasif persona yang berkesan lebih perso nal, lentur, dan informal seperti dilakukan oleh beberapa elite politik dapat dipandang sebagai usaha untuk menaturalisasikan peran agen dalam klausa untuk menjadi bagian dunia bawah sadar masyarakat Indonesia. Politik komunikasi tidak hams identik dengan penguasaan dan pengontrolan dalam alam sadar, tetapi juga penaturalisasian secara tidak atau bawah sadar itu. c. Kalimat Pasif dengan Verba "ter-" Seperti sudah dipaparkan sebelumnya bahwa bentuk pasif dengan verba "ter-" ti dak begitu intensif didayagunakan oleh elite politik Indonesia pada era pasca-Orde Baru. Untuk memperoleh gambaran tentang penggunaan pasif "ter-" dalam wacana politik, perhatikan kutipan (91) berikut.
393 Kutipan (91): DR: [...] Contohnya berkaitan dengan kasus korupsi, kita tihat sampai sae ini belum terlihat usaha yang keras dan benar-benar serius dari pemerintah dalam memberantas KKN, padahal pemerintah sudah dibekali aturan yang cukup kuat namun usaha untuk hal itu masih belum terlihat serius. [Data 15.B.1(21)] Kutipan (91) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Skandal dengan Dawam Rahardjo, seorang elit politik Partai Amanat Nasional. Topik yang diangkat adalah penilaian DR terhadap satu tahun pemerintahan Presiden Habibie. Pada kutipan (91) itu terdapat pendayagunaan bentuk pasif "ter-", yakni pada bentukan verba terlihat. Pilihan terhadap verba terlihat berimplikasi terhadap kehadiran agen dan tidak menuntut kehadiran goal. Jawaban terhadap siapa yang melihat menjadi tidak penting dalam bentuk pasif seperti itu. Yang lebih penting adalah goal dan prosesnya. Senada dengan pasif "di-", bentuk pasif "ter-" ini mengandung makna dan memiliki karakteristik yang lebih impersonal dan lebih formal. Fenomena pendayagunaan bentuk pasif "ter-" seperti kutipan (91) di atas dapat diperhatikan pada kutipan (92) berikut. Kutipan (92): SBP: Kalau ini berhasil bisa jadi yang berkoalisi nanti justru PDI Perjuangan. Golkarnya Habibie, dan PAN. Siapa yang menjadi presiden. itu soal nanti. Yang terpenting, ICMI-connection ini tidak terpotong dalam kekuasaan nanti. Lagi pula, Tirto sudah bilang massa Amien dengan PAN-nya bukan sekarang, tetapi nanti. Lima tahun ke depan. Secara tersirat, Tirto kan mengatakan akan mendukung Mega asal ICMI tidak dilibas. Masalahnya, apakah Amien Rais dengan partainya mau dengan PDI Perjuangan. Itu yang masih hares ditunggu. [Data 36.B.1(22)] Kutipan (92) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Jawa Pos dengan Sri Bintang Pamungicas, Ketua Umum PUDI. Topik yang diangkat adalah masalah koalisi antarpartai dalam membentuk pemerintahan setelah hasil pemilu tahun 1999 diumumkan hasilnya. Pada kutipan (92) terdapat pendayagunaan bentuk pasif "ter-" pada kalimat "Yang ter-
394 penting, ICMI-connection ini tidak terpotong dalam kekuasaan nanti". Persoalan pasif seperti ini sama dengan kutipan (91) di atas. Jawaban terhadap pertanyaan "siapa yang memotong" menjadi tidak signifikan. Kalimat dengan susunan "agen+proses kejadian+keterangan" itu mengandung makna yang impersonal dan formal. Yang harus dijelaskan adalah persoalan urutan intensitas pilihan bentuk pasif yang diawali bentuk "di-", "
dan yang terakhir "pasif persona". Mengapa bentuk "di-" dan
"ter-" lebih mendominasi teks-teks politik pada era pasca-Orde Baal ini? Mengapa bentuk "pasif persona" sedikit didayagunakan? Dua pertanyaan ini mengarahkan kita kepada pemahaman bahwa elite politik Indonesia lebih menyukai memilih dan mendayagunakan bentuk pasif yang mengandung makna impersonal, kaku, serta formal dan kurang menyukai bentuk pasif yang mengandung makna personal, lentur, dan informal. 4.2.1.4 Kalimat Positif dan Negatif Seperti sudah dipaparkan pada bab II, nilai pengalaman umumnya dipaparkan dalam kalimat positif. Pada kasus tertentu, nilai pengalaman dikemukakan dalam kalimat negatif. Dengan demikian, pilihan terhadap kalimat negatif tertentu akan memiliki signifikansi tertentu. Pertanyaan yang layak dimunculkan adalah "mengapa elite politik Indonesia pada era pasca-Orde Ban' lebih memilih kalimat negatif jika nilai pengalaman itu dapat diungkapkan dalam kalimat positif'. Dua pilihan kalimat itu selanjutnya dipaparkan secara bergantian. a. Kalimat Positif Dalam wacana politik Indonesia era pasca-Orde Baru, pilihan kalimat positif lebin banyak didayagunakan oleh para elite politik Indonesia dibandingkan dengan pilihan kalimat negatifnya. Untuk memberikan pemahaman bahwa kalimat positif lebih banyak
395 didayagunakan untuk melaporkan nilai pengalaman realitas sosial politik, selanjutnya perhatikan kutipan (93) berikut. Kutipan (93): DH: Kita ini sering berasumsi, yang punya, katakanlah apriori untuk mendiskreditkan seseorang. Kadang kita kehilangan objektivitas berpikir. Dikatakan Mbak Mega takut keliru. Tapi orang lupa tahun 1993, ketika pemimpin-pemimpin yang sekarang berkoar refonnis masih tidur, orang pertama yang berani menentang Soeharto adalah Megawati. [Data 11.B.4(1)]
Kutipan (93) dicuplik Bari teks hasil wawancara wartawan Gatra dengan Dimyati Hartono, salah seorang elit PDI-P. Topik yang diangkat adalah pencalonan Megawati sebagai calon Presiden Indonesia. Kutipan (93) adalah satu jawaban utuh DH terhadap pertanyaan "apa diamnya Mega karena takut salah". Nilai pengalaman dari realitas sosial politik semua dilaporkan oleh DH dengan menggunakan kalimat positif. Kutipan itu dapat menginformasikan bahwa kalimat positif lebih banyak didayagunakan dalam wacana politik. Dan satu paragrafjawaban, tidak satu pun penghasil teks (DH) mendayagunakan kalimat negatif. Sebagai gambaran kasar, sebuah teks yang dihasilkan oleh DH yang terdiri atas sembilan paragrafjaWaban terhadap sembilan pertanyaan, enam di antaranya adalah paragraf yang dibangun oleh kalimat-kalimat positif. Sementara, tiga paragraf yang lain dibangun oleh campuran kalimat positif dan negatif dengan jumlah kalimat positif lebih banyak daripada kalimat negatifnya. Mengikuti cara berpikir Leech (1983:164), kutipan (93) di atas dapat dianalisis sebagai berikut. Pertama, satu paragraf dalam kutipan (93) dibangun oleh lima proposisi positif, yang meliputi (1) kita sering mendiskreditkan seseorang, (2) kita kehilangan objektivitas berpikir, (3) orang sering mengatakan Megawati takut berbuat keliru, dan (4) tahun 1993 Megawati berani menentang Soeharto. Kedua, DH mengatakan kepada warta-
396 wan Gatrabahwa 1-2-3-4. Dalam konteks ini, wartawan Gatra sebagai penerima atau petutur dapat menjadi representasi seluruh masyarakat Indonesia. Ketiga, proses pada kedua itu bertujuan membuat wartawan dan seluruh masyarakat Indonesia mengetahui bahwa 12-3-4. Keempat, DH percaya bahwa 1-2-3-4. Kelima, DH percaya bahwa wartawan dan seluruh masyarakat Indonesia tidak mengetahui bahwa 1-2-3-4. Keenam, DH percaya bahwa sebaiknya wartawan dan seluruh masyarakat Indonesia mengetahui 1-2-3-4. Paparan di atas adalah contoh pendayagunaan kalimat positif oleh elite politik yang menjadi oposan pemerintah yang berkuasa. Pendayagunaan kalimat-kalimat positif dalam membangun teks politik dapat diperhatikan juga pada tuturan salah seorang petinggi institusi TNI. Perhatikan kutipan (94) berikut. Kutipan (94): SBY: TNI sebagai lembaga membangun semacam harapan atau kriteria. TNI juga mengembangkan konsep secara organisasional, kira-kira GBHN nanti seperti apa. Dart situ, setiap anggota fraksi TNI akan paham garis organisasi, sikap, dan pandangan politik lembaganya. Dari situ sudah cukup bagi kami untuk mendorong mereka mengambil bagian secara baik dalam persidangan. Silakan berpartisipasi secara sehat, demokratis, dan bertanggung jawab. [Data 49.B.1(24)] Kutipan (94) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Gatra dengan Susilo Bambang Yudhoyono. Topik yang diangkat adalah peranan fraksi TNI dalam Sidang Umum MPR setelah TNI menghapus fungsi politik praktisnya. Kutipan (94) adalah satu paragraf jawaban lengkap dari sebuah pertanyaan "pimpinan TNI masih akan mengontrol anggota fraksinya, atau mereka bebas menentukan sikap". Paragraf tersebut dibangun oleh lima kalimat positif dan tanpa kalimat negatif. Kutipan (94) di alas dapat dianalisis sebagai berikut. Pertama, paragraf itu dibangun oleh empat proposisi positif, yakni (1) TNI membangun kriteria, (2) TNI mengembang konsep secara organisasional, (3) anggota fraksi TNI paham garis organisasi, sikap, dan pandangan politik lembaganya, dan (4) TM mem-
397 persilakan anggota fraksinya untuk berpartisipasi dalam persidangan secara sehat, demokratis, dan bertanggung jawab. Kedua, SBY mengatakan kepada wartawan Gatra dan seluruh masyarakat Indonesia bahwa 1-2-3-4. Ketiga, proses pada kedua itu bertujuan membuat wartawan Gatra dan seluruh masyarakat Indonesia mengetahui bahwa 1-2-3-4. Keempat, SBY percaya bahwa 1-2-3-4. Kelima, SBY percaya bahwa wartawan Gatra dan seluruh masyarakat Indonesia tidak mengetahui bahwa 1-2-3-4. Keenam, SBY percaya bahwa sebaiknya wartawan Gatra dan seluruh masyarakat Indonesia mengetahui bahwa 1-2-3-4. Kutipan (93) dan (94) adalah dua contoh dan banyak pendayagunaan kalimat positif dalam teks-teks politik pada era pasca-Orde Baru. Analisis tahap ketiga dari dua analisi s di atas tampak belum sepenuhnya tepat mewakili tujuan komunikasi tersebut. Apa yang disampaikan oleh elite politik tidak semata-mata harus "diketahui", tetapi lebih jauh apa yang disampaikan haruslah "dipercayai" oleh penerima atau petutur. Pilihan terhadap kalimat positif dalam teks-teks politik mengimplikasikan makna bahwa penghasil teks mengambil isu terhadap realitas secara eksplisit. Nilai pengalaman yang dilaporkan oleh penghasil teks sesuai dengan kasus yang ada di dalam realitas, tidak menggunakan negasi dari realitas itu. Dengan demikian, komunikasi yang terjadi dalam teks-teks politik itu lebih bersifat langsung. b. Kalimat Negatif Daiam teks-teks politik Indonesia era pasca-Orde Baru, kalimat negatif yang dipilih menggunakan tiga bentuk kosakata peniatkali negatif, yakni "tidak", "bukan", dan "jangan". Untuk memperoleh pemahaman pendayagunaan kalimat negatif dalam teksteks politik Indonesia era pasca-Orde Baru, selanjutnya perhatikan (95) berikut.
398 Kutipan (95): ABT: Sudah kita putuskan dalam rapat di Dewan Pimpinan Pusat PAN bahwa kami tidak akan berkoalisi dengan siapa-siapa. Kami tak ingin mengambil inisiatif mencalonkan Amien sebagai presiden. Tapi, kalau ada anggota MPR yang mencalonkan Amien, ya itu terserah mereka. Pak Amien bilang, sebagai partai yang hanya dapat 9%, kurang pantaslah terlalu menonjolkan diri. [Data 15.B.1(25]
Kutipan (95) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Gatra dengan Abdillah Thoha (ABT), salah seorang elite Partai Amanat Nasional. Topik yang diangkat adalah mundurnya Amien Rais dari bursa calon presiden karena perolehan suara PAN dalam pemilihan umum 1999 yang tidak signifikan (9% suara). Dalam kutipan itu terdapat pendayagunaan bentuk negatif, yakni kalimat 1, 2, dan 4. Bentuk negatif pada kalimat pertama ditandai oleh penggunaan kata tidak, pada kalimat kedua ditandai oleh tak, dan pada kalimat keempat ditandai oleh kata kurang. Kalimat pertama kutipan (95) mengandung proposisi negatif, yakni "kami (PAN) tidak akan berkoalisi dengan siapa-siapa". Mengikuti cara berpikir Leech (1983:164), kalimat dapat dianalisis sebagai berikut. Pertama, kalimat pertama dibangun dari proposisi negatif, yakni
tidak akan berkoalisi dengan siapa-siapa". Kedua, ABT menga-
takan kepada wartawan Gatra dan seluruh masyarakat Indonesia bahwa "kami tidak akan berkoalisi dengan siapa-siapa". Ketiga, komunikasi pada analisis kedua bertujuan membuat wartawan Gatra dan seluruh masyarakat Indonesia mengetahui bahwa "kami tidak akan berkoalisi dengan siapa-siapa". Keempat, ABT percaya bahwa "kami tidak akan berkoalisi dengan siapa-siapa". Kelima, ABT percaya bahwa wartawan Gatra dan seluruh masyarakat Indonesia tidak mengetahui bahwa "kami tidak won berkoalisi dengan siapasiapa". Keenam, ABT percaya bahwa sebaiknya wartawan Gatra dan seluruh masyarakat Indonesia mengetahui bahwa "kami tidak akan berkoalisi dengan siapa-siapa". Ketujuh,
399 ABT sebelumnya telah cenderung percaya atau ABT yakin bahwa wartawan Gatra dan seluruh masyarakat Indonesia sebelumnya telah cenderung percaya bahwa "kami tidak akan berkoalisi dengan siapa-siapa" itu benar. Kalimat kedua kutipan (95) mengandung proposisi negatif, yakni "kami (PAN) tidak mencalonkan Amien sebagai presiden". Mengikuti cara berpikir Leech (1983:165), kalimat kedua itu dapat dianalisis sebagai berikut. Pertama, kalimat kedua dibangun dari proposisi negatif, yakni "kami tidak mencalonkan Amien sebagai presiden". Kedua, ABT mengatakan kepada wartawan Gatra dan seluruh masyarakat Indonesia bahwa "kami tidak mencalonkan Amien sebagai presiden". Ketiga, komunikasi pada analisis kedua bertujuan membuat wartawan Gatra dan seluruh masyarakat Indonesia mengetahui bahwa "kami tidak mencalonkan Amien sebagai presiden". Keempat, ABT percaya bahwa "kami tidak mencalonkan Amien sebagai presiden". Kelima, ABT percaya bahwa. wartawan Gatra dan seluruh masyarakat Indonesia tidak mengetahui bahwa "kami tidak akan mencalonkan Amien sebagai presiden". Keenam, ABT percaya bahwa sebaiknya wartawan Gatra dan seluruh masyarakat Indonesia mengetahui bahwa "kami tidak akan mencalonkan Amien sebagai presiden". Ketujuh, ABT sebelumnya telah cenderung percaya atau ABT yakin bahwa wartawan Gatra dan seluruh masyarakat Indonesia sebelumnya telah cenderung percaya bahwa "kami tidak akan mencalonkan Amien Rais sebagai presiden" itu adalah sesuatu yang benar. Kalimat keernpat dalam kutipan (95) di atas dapat dianalisis dengan model analisis Leech seperti sudah diaplikasikan pada kalimat pertama dan kedua di atas. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah "mengapa elite politik memilih menggunakan kalimat negatif tersebut". Kalimat pertama yang berbunyi sudah kita putuskan dalam rapat di
400 Dewan Pimpinan Pusat PAN bahwa 'kami tidak akan berkoalisi dengan siapasiapa"' jika dipositifkan menjadi "sudah kita putuskan dalam rapat di Dewan Pimpinan Pusat PAN bahwa 'kami akan berjuang sendirian"'. Dalam kasus ini kalimat positif yang ada menjadi terlalu luas dibandingkan dengan kalimat negatifnya. Konsep "tidak berkoalisi" jauh lebih informatif mewakili konsep yang dimaksud dibandingkan dengan "berjuang sendirian" yang memiliki makna yang terlalu umum yang tidak hanya dalam konsep dunia politik saja. Proposisi pasif tersebut dipilih karena memang proposisi aktifnya tidak mewakili sepenuhnya konsep yang dimaksud atau bentuk positifnya bermakna terlalu Inas. Dengan demikian, bentuk negatif pada kalimat pertama kutipan (95) memang benarbenar menjalankan fungsinya sebagai "negasi". Persoalan di atas berbeda dengan yang dipaparkan oleh Leech (1983:101) tentang fenornena kalimat negatif di mana bentuk negatifnya lebih tidak informatif (negative uninformativeness) daripada bentuk positifnya. Seperti dicontohkan oleh Leech, kalimat Abraham Lincoln tidak ditembak oleh Ivan Mazeppa mengandung makna bahwa jumlah populasi fakta-fakta negatif jauh lebih besar daripada jumlah populasi fakta-fakta positif Jumlah orang yang tidak menembak Abraham Lincoln berjuta-juta kali lebih banyak daripada jumlah orang yang menembaknya. Oleh karena itu bentuk negatif itu sangat kurang informasinya dibandingkan dengan bentuk positifnya, yakni Abraham Lincoln ditembak oleh John Wilkes Booth. Dengan demikian, dalam kasus ini kalimat negatif seharusnya dihindari jika kalimat positif dapat digunakan. Fenomena ketidakinformatifan negatif dapat dijumpai dalam pendayagunaan bentuk negatif pada kalimat kedua. Bentuk pasif yang berbunyi kami tak ingin mengambil inisiatif mencalonkan Amien sebagai presiders jika dipositifkan menjadi kami meng-
401 ambit sikap pasif untuk mencalonkan Amien sebagai presiden. Dalam kasus ini, sikap yang diambil oleh DPP PAN adalah "pasif' terhadap pencalonan Amien Rais karena suara PAN yang sangat tidak signifikan untuk mengambil inisiatif DPP PAN mengambil sikap "tabu diri" dengan keadaan yang dimilikinya. ABT secara normatif seharusnya menggunakan bentuk positif dan tidak menggunakan bentuk negatif Bentuk positifnya jauh lebih informatif dan lebih langsung daripada bentuk negatifnya. Dengan demikian, pilihan bentuk pasif dalarn kalimat kedua kutipan (95) di atas menjalankan fungsinya yang "manipulatif', bahkan "ideologis". Pendayagunaan bentuk-bentuk negatif seperti kutipan (95) di atas dapat dijumpai juga pada teks politik yang dihasilkan oleh elit politik lainnya. Selanjuthya perhatikan kutipan (96) berikut. Kutipan (96): SBY: Saya mencatat ada banyak pandangan dan pernikiran dari floor. Sebagian besar adalah pandangan yang positif dan konstruktif. Sebagian kecil adalah pandangan yang benar, tetapi masih harus dibahas lebih lanjut karena masalahnya tidak sederhana. Sebagian lagi adalah masalah yang terlalu dilebih-lebihkan, didramatisasi, disimplifikasi, kadang-kadang juga menggunakan analogi yang tidak tepat. Sehingga says jelaskan sikap dan pandangan politik ABRI/TNI untuk menampik hal-hal yang kurang realistik, kurang objektif, kurang berdasar itu. [Data 49.B.1(26] Kutipan (96) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Republika dengan Susilo Barn-bang Yudhoyono, seorang elit politik dari institusi ABRI/TNI. Topik yang dibahas adalah tuntutan mahasiswa dan masyarakat Indonesia untuk mendialogkan reformasi dengan pemerintas yang berkuasa. Dalam kutipan (96) terdapat pendayagunaan bentuk negatif, yakni dalam konstruksi tidak sederhana pada kalimat ketiga, konstruksi tidak tepat pada kalimat keempat, kurang realistik, kurang objektif, kurang berdasar" pada kalimat kelima atau kalimat terakhir. Bentuk-bentuk negatif itu menjalan fungsinya
402 secara beragam, ada yang benar-benar berfungsi sebagai "negasi", ada yang menjalankan fungsi yang "manipulatif', dan bahkan ada yang "ideologis". Kalimat ketiga kutipan (96) di atas, yakni rumusan "sebagian kecil adalah pandangan yang benar, tetapi masih harus dibahas lebih lanjut karena masalahnya tidak sederhana" dapat dirumuskan dengan bentuk positifnya, yakni "sebagian kecil adalah pandangan yang benar, tetapi masih harus dibahas lebih lanjut karena masalahnya rumit". Konstruksi negasi tidak sederhana memiliki kesamaan makna dengan konstruksi positif rumit. Dalam pemakaian, secara normatif seharusnya penghasil teks tersebut lebih tepat menggunakan bentuk positifnya. Dengan demikian, terdapat fungsi manipulatif, bahkan ideologis dari bentuk negatif yang dipilih oleh elite politik yang bersangkutan. Fenomena yang sama teijadi juga pada pilihan negasi pada kalimat keempat kutipan (96) di atas, yakni konstruksi "sebagian lagi adalah masalah yang terlalu dilebih-lebihkan, didramatisasi, disimplifikasi, kadang-kadang juga menggunakan analogi yang tidak tepat". Ungkapan tidak tepat dapat dirumuskan bentuk positifnya, yakni salah. Jika kedua kata itu dapat saling menggantikan, secara normatif, penutur seharusnya menggunakan bentuk positifnya. Dengan demikian, terdapat fungsi manipulatif, bahkan ideologis dari bentuk negatif yang dipilih oleh elite yang bersangkutan. Kalimat kelima kutipan (96) di atas, yakni rumusan "saya jelaskan sikap dan pandangan politik ABRI/TNI untuk menampik hal-hal yang kurang realistik, kurang objektif, kurang berdasar itu" dapat dirumuskan dengan bentuk positifnya, yakni "saya jelaskan sikap dan pandangan politik ABRI/TNI untuk menampik hal-hal yang imajinatif, subjektif, dan semaunya saja (Jawa: ngawur). Konstruksi kurang realistik tidak sepenuhnya bersinonim dengan kata imajinatif Dengan demikian, dalam penggunaan-
403 nya kedua kata itu memiliki perilaku yang tidak sama. Konstruksi kurang objektif tidak sepenuhnya bersinonim dengan subjektif karena sesuatu yang kurang objektif belum tentu subjektif. Dalam konteks objektif ini, selain subjektif terdapat pilihan kata intersubjektif. Konstruksi kurang berdasar sulit ditemukan bentuk positifnya dalam kata bahasa Indonesia. Dengan demikian, pada kalimat kelima, bentuk negatifnya lebih tepat, lebih cocok, dan lebih sesuai digunakan daripada bentuk positifnya. Pilihan negasi pada kalimat kelima ini menjalankan fungsi sebagai negasi yang sebenarnya. Dalam konteks komunilcasi politik, elite politik yang bersangkutan sudah sesuai secara normatif dalam memilih bentuk negatif itu. Bentuk negasi yang dipaparkan sebelumnya.ditandai oleh penggunaan kata-kata "tidak", "tak", dan "kurang". Berikut ini, dipaparkan pendayagunaan bentuk negasi yang lain, seperti terdapat pada kutipan (97) berikut. Kutipan (97): YIM: Kesulitan-kesulitan seperti ini, dalam bidang ekonomi, sosial, politik, ancaman disintegrasi bangsa, kerawanan sosial, instabilitas di bidang politik, dan sebenarnya bukan pertama-tama dalam sejarah republik ini. [Data 22.B.1(27)] Kutipan (97) dicuplik dari teks pidato pembukaan debat calon presiden oleh Yusril Ihza Mahendra yang diadakan oleh Universitas Indonesia dan ditayangkan melalui media televisi. Topik yang diangkat oleh YIM adalah perlunya membangun sistem yang kuat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang selama ini lebih mengandalkan figur pribadi tertentu. Dalam kutipan (97) di atas penghasil teks mendayagunakan bentuk negasi, yakni disintegrasi dan instabilitas. Bentuk negatif disintegrasi merupakan padanan bentuk positif perpecahan, sementara itu instabilitas merupakan padanan bentuk kekacauan atau kegoncangan. Dalam penggunaan, bentuk negatifnya memiliki makna yang lebih
4-04 teknis daripada bentuk positifnya. Dengan demikian, secara normatif penghasil teks sudah menggunakan bentuk pasif secara tepat. Bentuk negasi dalam kutipan (97) menjalankan fungsinya sebagai negasi yang sebenamya. Bentuk negasi yang menjalankan fungsi "manipulatif', bahkan "ideologis" dapat diperhatikan pada kutipan (98) berikut. Kutipan (98): MDI: Kalau ingin melakukan komunikasi secara jujus, kelebihan semacam itu mestinya diungkapkan juga. Saya setuju bila pers mengungkap beberapa ketidakmampuan dan ketidakberhasilan Pak Habibie. Tapi agar informasi itu adil dan jujur, kelebihan-kelebihan yang dimiliki beliau juga harus diberitakan secara imbang. Kesalahan satu bagi beliau seakan begitu saja menghilangkan beberapa kelebihan yang dimildci Pak Habibie. Itu namanya tidak adil. [Data 33.B.1(28)j Kutipan (98) dicuplik dan teks hasil wawancara wartawan Jawa Pos dengan Marwah Daud Ibrahim, salah seorang elite Partai Golkar dari kelompok Iramasuka Nusantara. Topik yang diangkat adalah peranan kelompok Iramasuka Nusantara dalam pencalonan B.J. Habibie sebagai presiden dan Partai Golkar. Dalam kutipan (98) terdapat tiga bentuk pasif, yakni ketidakmampuan, ketidakberhasilan, dan tidak adil. Kata negatif ketidakmampuan memiliki bentuk positif kebodohan dan kelemahan, kata ketidakberhasilan memiliki bentuk positif kegagalan, serta tidak adil memiliki bentuk positif aniaya. Dalam penggunaannya, kata-kata negatif itu memiliki makna yang lebih halus dan lebih tidak langsung. Kata-kata negatif itu memiliki nuansa eufemisme. Sementara itu, katakata positifnya memiliki makna yang lebih langsung dan lebih lugas. Secara normatif, dalam komunikasi politik yang lebih jujur dan terbuka, pilihan bentuk positiflah yang lebih sesuai. Pilihan bentuk negatif memiliki signifikansi ideologis tertentu. Dengan demikian, pilihan bentuk negatif dalam kutipan (98) menjalankan fungsi "manipulatif', dan bahkan "ideologis".
405 Dari paparan di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa bentuk negasi yang dipilih dan didayagunakan oleh elite politik pada era pasca-Orde Baru menjalankan beberapa peran. Terdapat bentuk negasi yang menjalankan peran sebagai "negasi yang sebenarnya" karena bentuk positifnya tidak cocok untuk digunakan atau bentuk positifnya terlalu luas. Selain itu, terdapat juga bentuk negasi yang menjalankan peran sebagai "manipulatif' karena penggunaannya dipaksakan sementara bentuk positifnya tersedia. Terdapat juga bentuk negasi yang menjalankan peran sebagai "ideologis" jika bentuk negasinya itu dipaksakan penggunaannya dan dipetjuangkan melalui berbagai aktivitas politik penghasil teks. Peran bentuk negasi yang "manipulatif" dan "ideologic" sering tidak dapat dipisahkan dalam pilihan bentuk negasi itu. 4.2.2 Nilai Relasional 4.2.2.1 Modus Kalimat Modus kalimat berkaitan dengan cam bagaimana kalimat itu diekspresikan kepada mitra bicara atau orang lain. Salah satu pertanyaan yang dilontarkan oleh Fairclough (1989:111) berkaitan dengan nilai relasional gramatika adalah "modus apa saja yang digunakan". Jawaban terhadap pertanyaan itu adalah paparan tentang pendayagunaan kalimat-kalimat deklaratif, interogatif, dan imperatif. a. Kalimat Deklaratif Secara umum, kalimat deklaratif mendominasi teks-teks politik era pasca-Orde Baru. Fenomena ini mungkin saja berlaku pada teks-teks lain. Hal ini mengandung makna bahwa elite politik Indonesia sebagai penghasil teks berperan sebagai pemberi informasi, sementara itu masyarakat Indonesia sebagai penerima informasi. Selanjutnya, perhatikan kutipan (99) berikut.
406 Kutipan (99): AT:
Saya nggak tahu dari mana isu-isu mengenai munaslub. Saya kira, isu itu dari orang yang tak bertanggung jawab, yang ingin memecah belah Golkar. Mungkin, mereka tidak suka Golkar solid dan maju. Saya kira, isu itu tak mempengaruhi suasana rapim. [Data 3 3 .B .2( 1)]
Kutipan (99) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Gatra dengan Akbar Tanjung (AT), Ketua umum Partai Golkar. Topik yang diangkat adalah isu penggantian Akbar Tanjung sebagai Ketua Partai Golkar setelah Habibie ditunjuk sebagai calon tunggal presiden dari Partai Golkar. Kutipan (99) adalah paragraf jawaban yang lengkap dari sebuah pertanyaan yang diajukan kepada AT, yakni "kalau tak berhasil menjadikan Habibie sebagai calon tunggal, kabarnya bakal ada munaslub untuk mendongkel Anda. Mengapa?" Mengikuti alur berpikir Leech (1983:114), dari kacamata sintaksis, paragraf tersebut dibangun oleh empat "kalimat deklaratif'. Dan kacamata semantik, paragraf tersebut dibangun oleh empat "proposisi". Dari kacamata pragmatik, paragraf tersebut dibangun oleh empat "pernyataan". Kalimat deklaratif pertama, yakni saya nggak tahu dari mana isu-isu munaslub menempatkan penutur (elite politik) sebagai pemberi informasi dan petutur (masyarakat Indonesia) sebagai penerima informasi. Dalam konteks tindak ujaran, kalimat pertama ini menjalankan fungsi tindak ujaran representatif atau asertif, yakni mengikat penuturnya kepada kebenaran atas apa yang dikatakannya. Dalam kalimat pertama, penutur "menyatakan" sesuatu kepada orang lain. Kalimat lain yang memiliki karakteristik yang sama dengan kalimat pertama adalah kalimat keempat atau terakhir. Kalimat deklaratif kedua, yakni Saya kira, isu itu dari orang yang tak bertanggung jawab, yang ingin memecah belah Golkar menempatkan penutur dan petutur dalam posisi yang beragam secara simultan. Dalam kalimat itu, penutur dapat berposisi se-
407 bagai pemberi informasi dan dapat juga sebagai "pemerintah". Sementara itu, petutur dapat berposisi sebagai penerima informasi dan dapat juga sebagai "orang yang diperintah untuk berbuat sesuatu", yakni berbuat untuk tidak menyebarkan isu-isu yang merugikan Partai Golkar. Dalam konteks tindak ujaran, kalimat kedua ini menjalankan fungsi tindak ujaran direktif, yakni tindak ujaran yang dimaksudkan agar pendengar melakukan tindakan yang disebutkan dalam ujaran itu. Dalam kalimat pertama, penutur "menantang" orang yang berusaha memecah belah Partai Golkar agar tidak mengulangi apa yang sudah dikerjakannya.Tindak menantang itu dapat juga bermakna bahwa siapa pun yang berusaha memecah belah Partai Golkar akan dihadapi oleh kader-kader Partai Golkar dalam rangka mempertahankan institusi partainya. Fenomena seperti kalimat deklaratif kedua ini dapat dijumpai juga pada kalimat deklaratif ketiga. Pendayagunaan kalimat deklaratif seperti paparan di atas dapat dijumpai juga pada tuturan elite politik lainnya, seperti yang terdapat pada kutipan (100) berikut. Kutipan (100): AR: [...] Saya terlalu yakin, jika Golkar dibiarkan sendiri, dia akan kempes dan tidak akan pernah melampaui 12% peraihan suaranya. Itu berarti berita gembira buat bangsa Indonesia. Sebab kita perlu pembaharuan. Golkar tidak boleh lagi memimpin bangsa ini karena putra terbaik bangsa yang lain yang akan memimpin bangsa memasuki abad ke-21. [Data 15.B.2(2)] Kutipan (100) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Gatra dengan Amien Rais. Topik yang diangkat adalah tanggapan PAN terhadap pencalonan Habibie sebagai calon presiden dari Partai Golkar. Pada kutipan (100) tersebut, dari kacamata sintaksis, empat kalimat pembangun paragraf tersebut semuanya adalah kalimat deklaratif. Dari kacamata semantik, paragraf tersebut dibangun oleh empat proposisi. Dari kacamata pragmatik, paragraf tersebut dibangun oleh empat pernyataan.
408 Kalimat deklaratif pertama, yakni saya terlalu yakin jika Golkar dibiarkan sendiri, dia akan kempes dan tidak akan pernah melampaui 12% peraihan suaranya menempatkan penutur (elit politik) sebagai pemberi informasi dan petutur (masyarakat Indonesia) sebagai penerima informasi. Dalam konteks tindak ujaran, kalimat pertama ini menjalankan fungsi tindak representatif atau asertif. Dalam kalimat itu, penutur "menyatakan" sesuatu kepada orang lain atau masyarakat Indonesia. Kalimat lain yang memiliki karakteristik dengan kalimat deklaratif pertama adalah kalimat kedua. Kalimat deklaratif ketiga, yakni kita perlu pembaharuan menempatkan penutur dan petutur dalam posisi yang beragam. Dalam kalimat itu, penutur dapat berposisi sebagai pemberi informasi dan dapat juga sebagai "pejanji". Sementara itu, petutur dapat berposisi sebagai penerima informasi dan dapat juga sebagai "pengharap". Dalam konteks tindak ujaran, kalimat ketiga ini menjalankan fungsi tindak representatif. Penutur "menyatakan" sesuatu kepada orang lain. Kalimat ketiga ini juga menjalankan fungsi tindak komisif Penutur "berjanji" kepada orang lain jika partainya memenangkan pemilihan umum penutur itu akan melakukan pembaharuan di segala bidang. Kalimat deklaratif keempat, yakni Golkar tidak boleh lagi memimpin bangsa ini karena putra terbaik bangsa yang lain yang akan memimpin bangsa memasuki abad ke-21 menempatkan penutur pada posisi penutur dan petutur dalam posisi yang juga beragam. Dalam kalimat itu, penutur dapat berposisi sebagai pemberi informasi dan dapat juga sebagai "pelarang". Sementara itu, petutur dapat berposisi sebagai penerima informasi dan dapat juga sebagai "pengharap". Dalam konteks tindak ujaran, kalimat keempat ini menjalankan fungsi tindak representatif Penutur "menyatakan" sesuatu kepada orang lain. Kalimat keempat itu juga menjalankan fungsi tindak deklarasi, yakni tindak
409 ujaran yang dilakukan penutur dengan maksud untuk menciptakan hal tertentu yang baru. Penutur "melarang" suatu golongan tertentu untuk memerintah negara ini karena akumulasi kesalahan yang pernah dibuatnya yang akhirnya menyengsarakan rakyat Indonesia. Dan kutipan (99) dan (100) di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa pendayagunaan kalimat deklaratif dalam teks-teks politik dapat berimplikasi pada posisi penutur dan petutur dalam peristiwa komunikatif tertentu. Sebuah kalimat dekiaratif dapat menjalankan fungsi tindak ujaran tertentu atau bahkan berbagai tindak ujaran. Selanjutnya, perhatikan kutipan (101) berikut. Kutipan (101): YIM: [...] Oleh karena negara adalah suatu organisasi kekuasaan maka tataran di dalam negara harus diatur secara tegas kemungkinan terjadinya penyimpangan-penyimpangan karena kekuasaan itu sebenarnya sangat menggoda.Tidak ada seorang pun di antara kita yang berani menjamin bahwa meskipun pada awalnya is seorang yang idealis tetapi jika kekuasaan telah berada di tangannya maka kekuasaan itu itu senantiasi akan membuka peluang suatu kediktatoran baru di masa depan. Karena itu, yang paling penting bagi kita sekalian adalah mencegah terulangnya kesulitan-kesulitan ini. [Data 22.B.2(3)] Kutipan (101) dicuplik dari teks pidato Yusril Ihza Mahendra pada pembukaan debat calon presiden yang diadakan oleh UI dan disiarkan oleh media televisi. Topik yang diangkat adalah perlunya membangun sistem yang kuat yang tidak berorientasi pada figur dalam sistem tata negara Indonesia. Pengalaman menunjukkan bahwa selama 53 tahun usia Indonesia merdeka pelaksanaan pemerintahan lebih berorientasi pada figur pemimpin tertentu yang mengakibatkan muncuinya sebuah pemerintahan yang diktator daripada penciptaan sistem yang kuat. Mundumya pemimpin tertentu identik dengan malapetaka. Dan kacamata sintaksis, kutipan (101) di atas dibangun oleh tiga kalimat deklaratif Dari kacamata semantik, kutipan yang sama dibangun oleh minimal tiga proposisi. Dari kacamata pragmatik, kutipan itu dibangun oleh tiga pernyataan.
kb Kalimat deklaratif pertama menempatkan penutur sebagai pemberi informasi dan petutur sebagai penerima informasi. Dalam konteks tindak ujaran, kalimat pertama ini menjalankan fungsi tindak representatif Penutur "menyatakan" sesuatu kepada orang lain sehingga orang lain mengetahui informasi tersebut, yakni perlunya mengatur tatanan negara Indonesia. Dengan aturan yang ketat akan terbentuk sebuah sistem yang kuat sehingga siapa pun orang yang mengisi sistem itu harus menaati sistem yang ada. Kalimat deklaratuf kedua menempatkan penutur dan petutur dalam posisi yang beragam. Dalam kalimat itu, penutur dapat berposisi sebagai pemberi informasi dan dapat juga sebagai "pengkiritik". Sementara itu, peturur dapat berposisi sebagai penerima informasi dan dapat juga berposisi sebagai "pengharap", Dalam konteks tindak ujaran, kalimat kedua ini menjalankan fungsi tindak ekspresif, yakni tindak ujaran yang dilakukan dengan maksud agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam ujaran itu. Kalimat kedua itu berupa "kritikan" penutur terhadap individuindividu yang akan menduduki kursi kekuasaan yang bersifat sangat menggoda. Kalimat deklaratif ketiga juga menempatkan penutur dan petutur dalam posisi yang beragam. Dalam kalimat itu, penutur dapat berposisi sebagai pemberi informasi dan dapat juga sebagai "penyaran", sementara itu petutur berposisi sebagai penerima informasi. Dalam konteks tindak ujaran, kalimat ketiga itu menjalankan fungsi tindak direktif Penutur "menyarankan" kepada orang lain agar hati-hati untuk tidak mengulang lagi kesulitan-kesulitan yang pernah terjadi dalam sistem pernerintahar. Indonesia. Paparan terhadap kutipan (99), (100), dan (101) memberikan pemahaman bahwa pilihan terhadap kalimat deklaratif sebagai saran pembentuk teks politik memiliki dimensi yang cukup menarik. Sebuah modus kalimat deklaratif tidaklah selalu berkorelasi
411 dengan posisi subjek tertentu. Sebuah kalimat deklaratif dapat juga memberikan informasi berbagai posisi yang diemban subjek tertentu. Pilihan terhadap kalimat deklaratif tidaklah sesederhana seperti yang sudah diduga oleh Fairclough (1989). b. Kalimat Interogatif Kalimat interogatifjuga cukup banyak didayagunakan dalam teks-teks politik Bahasa Indonesia pada era pasca-Orde Baru. Untuk memperoleh gambaran yang komprehensif pendayagunaan kalimat interogatif dalam teks-teks politik, selanjutnya perhatikan kutipan (102) berikut. Kutipan (102): HM: Lho, kan jelas siapa orang-orang yang berada di PDI Perjuangan. Itu seperti Jacob Tobing yang mantan ketua Bapilu Golkar 1997, Theo Syafei, dan lain-lain, masak begitu mudahnya loncat ke PDI Perjuangan. Bukankah mereka orang yang dulu dipakai Orde Baru? Apakah PDI Perjuangan tidak khawatir kebiasaan Orde Baru akan ditularkan kepada mereka? [Data 22.B.2(4)].
Kutipan (102) di atas adalah cuplikan dan wawancara salah seorang ketua Partai Bulan Bintang, Hartono Mardjono, dengan beberapa wartawan media massa. Topik yang diangkat wartawan adalah tanggapan dari PBB tentang begitu banyaknya calon legislatif PDI yang didominasi oleh calon yang beragama non-Islam. Dalam kutipan (102) terdapat dua kalimat interogatif, yakni kalimat ketiga dan keempat. Kalimat interogatif pertarna, yakni bukankah mereka orang yang dulu dipakai Orde Baru? tidak menempatkan posisi tertentu secara normatif pada penutur maupun petutur. Jika dalam kalimat interogatif yang biasa menempatkan penutur sebagai subjek yang mentinta informasi dan petutur adalah subjek yang menyediakan informasi, analisis terhadap kalimat tersebut akan menemui kendala. Dalam kasus ini, penutur lebih sebagai penyedia informasi dan petutur sebagai penerima informasi. Dengan demikian, kalimat
412 tersebut yang secara sintaksis adalah kalimat interogatif, secara semantis bukanlah pertanyaan, tetapi lebih berupa proposisi yang seharga dengan kalimat deklaratif. Kalimat tersebut secara pragmatik bukanlah bertanya, tetapi lebih berupa pernyataan. Kalimat tersebut menjalankan fungsi sebagai tindak representatif Penutur "menyatakan" sesuatu kepada orang lain, yakni "para pemikir PDI Perjuangan sekarang berasal dari tokohtokoh Partai Golkar yang pernah lama dipakai oleh pemerintahan Orde Baru". Kalimat interogatif kedua, yakni apakah PDI Perjuangan tidak khawatir kebiasaan Orde Baru akan ditularkan kepada mereka? juga tidak menempatkan posisi tertentu secara normatif pada penutur maupun petutur. Dalam kalimat interogatif kedua, penutur bukan sebagai subjek yang meminta informasi dan petutur sebagai subjek yang menyediakan informasi, tetapi penutur adalah orang yang menyediakan informasi dan petutur adalah subjek yang menerima informasi. Senada dengan rumusan sebelumnya, kalimat interogatif kedua tersebut secara sintaksis adalah kalimat interogatif. Dan kacamata semantik, kalimat tersebut bukanlah pertanyaan, tetapi lebih berupa proposisi. Dan kacamata pragmatik, kalimat tersebut bukanlah aktivitas bertanya, tetapi lebih berupa pernyataan. Dalam konteks tindak ujaran, kalimat interogatif kedua tersebut menjalankan fungsi sebagai tindak direktif. Penutur "memperingatkan" kepada petutur, yakni PDI Perjuangan, untuk selalu menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menghadapi sejumlah elite hasil "lompat pagar". Yang dimaksud elite "lompat pagar" ini adalah elite atau pimpinan PDI-P yang sebelumnya
anggota Partai Golkar yang sekarang me-
warnai paradigma berpikir PDI-P.. Pendayagunaan kalimat interogatif dalam teks-teks politik pada era pasca-Orde Baru seperti di atas dapat juga diperhatikan pada kutipan (103) berikut.
413 Kutipan (103): DR:Memang saya mendengar penyidikan telah mencapai sekian kali lipat tetapi penuntutannya kan masih kurang dan ini bisa kita lihat dari pemberitaan di mass media. Berapa banyak pejabat yang diduga terlibat korupsi disidik? Dan sini kita dapat menyimpulkan bahwa pemerintah yang sekarang secara umum masih bersifat status quo. [Data 15.B.2(5)] Kutipan (103) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Skandal dengan Dawam Rahardjo. Topik yang diangkat adalah pandangan PAN tentang konsep Indonesia baru. Dalam paragraf tersebut DR mendayagunakan satu kalimat interogatif, yakni "berapa banyak pejabat yang diduga terlibat korupsi disidik" untuk mencapai tujuan tertentu. Dari kacamata sintaksis, kalimat yang tercetak miring dalam paragraf tersebut adalah kalimat interogatif Secara normatif kalimat tersebut seharusnya menempatkan penutur pada posisi sebagai subjek yang meminta atau mengharapkan informasi dan menempatkan petutw sebagai penyedia informasi. Akan tetapi, dalam kasus tersebut posisi penutur lebih banyak sebagai "pemberi informasi" dan posisi petuturnya sebagai "penerima informasi". Kalimat tersebut secara semantis bukanlah sebuah pertanyaan yang digunakan untuk "bertanya", tetapi lebih berupa proposisi untuk menyampaikan sebuah "pernyataan" tertentu. Kalimat tersebut dalam konteks tindak ujaran menjalankan fungsi representatif Penutur "menyatakan" sesuatu kepada orang lain bahwa 'sangat sedikit pejabat yang diduga terlibat itu disidik'. Terdapat fenomena yang menarik dalam kutipan (103) di atas, yakni keberadaan kalimat interogatif yang dapat ditemukan jawabannya secara implisit dengan melihat hubungan antara kalimat kedua dan ketiga. Kalimat terakhir yang berbunyi "dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa pemerintah yang sekarang secara umum masih bersifat status quo" mengimplikasikan bahwa 'sangat sedikit pejabat yang diduga terlibat KKN itu
4-14 disidik'. Hal ini dapat diketahui dari keberadaan parameter sifat reformis yang salah satunya adalah penyidikan pejabat yang diduga melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Jika orang yang diduga KKN disidik berarti pemerintah sekarang bersifat reformis, sebaliknya jika orang yang diduga KKN belum disidik berarti pemerintah yang sekarang masih bersifat status quo. Selanjutnya, perhatikan kutipan (104) berikut. Kutipan (104): KKG: Bagaimanapun, kita berkepentingan mengubah persepsi masyarakat. Masyarakat harus disadarkan bahwa membangun dengan mengandalkan utang bukan jalan yang bijaksana. Setelah 32 tahun kita mengandalkan utang, hasilnya seperti se-karang kan? Utang tidak terkendali lagi. Utang ratusan triliun ini siapa yang menanggung kalau bukan anak cucu kita. [Data 11.B.2(6)]
Kutipan (104) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Jawa Pos dengan Kwik Kian Gie. Topik yang diangkat adalah peranan utang luar negeri terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Fenomena yang menarik dari kutipan (104) adalah pendayagunaan kalimat interogatif dan pencantuman jawaban terhadap pertanyaan itu secara eksplisit oleh penghasil teksnya. Dalam kutipan (104) terdapat kalimat interogatif, yakni setelah 32 tahun kita mengandalkan utang, hasilnya seperti sekarang, kan? diikuti oleh kalimat jawab, yakni "utang tidak terkendali lagi". Teijadi sebuah proses monolog untuk membawa petutur memahami suatu masalah yang cukup penting, minimal dalam pandangan penuturnya. Demilcian juga, dalam kalimat interogatif terakhir penutur serta merta memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang diajukannya sendiri. Kalimat interogatif pertama dan kedua pada kutipan (104) di atas menempatkan penutur sebagai pemberi informasi dan petutur sebagai penerima informasi. Dengan demikian, kalimat yang tercetak tebal pada kutipan (104), ditinjau dari kacamata sintaksis, adalah kalimat interogatif. Ditinjau dari kacamata semantik, kedua kata di atas bukanlah
415 "pertanyaan", melainkan lebih berupa "proposisi". Dari kacamata pragmatik, kedua kata di atas bukanlah aktivitas "bertanya", melainkan lebih berupa aktivitas "menyatakan sesuatu" kepada orang lain. Dengan demikian, kedua kalimat di atas, dalam konteks tindak ujaran, menjalankan tindak asertif. Penghasil teks "menyatakan" sesuatu kepada orang lain, yakni bahwa "utang yang dijadikan andalan dalam pembangunan malah membawa kesengsaraan dan kemelaratan" dan "yang menanggung utang yang begitu besar adalah generasi penerus pemimpin bangsa yang notabene tidak ikut utang". Selanjutnya, perhatikan kutipan (105) berikut. Kutipan (105): MDI: Kalau yang kalah akan terus melakukan protes, lalu bagaimana negara ini akan bisa membangun? Kapan kita bisa berdemokrasi? Begitu juga bila Pak Habibie terpilih dengan beds dua kursi, kita juga harus bisa menerimanya. Jangan melakukan protes dengan mengerahkan massa. [Data 33.B.2(7)]
Kutipan (105) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Jawa Pos dengan Marwah Daud Ibrahim, salah seorang elite Partai Golkar. Topik yang diangkat adalah pencalonan Habibie sebagai calon presiden dari Partai Golkar yang masih menimbilkan pro dan kontra di dalam tubuh Partai Golkar sendiri. Dalam kutipan (105) di atas dua kalimat interogatif secara berturut-turut didayagunakan oleh MDI. Dua kalimat interogatif tersebut dikemukakan dengan berdasar pada sebuah "pengandaian" atau "persyaratan", yakni "kalau yang kalah akan tents melakukan protes. Dengan demikian, kedua kalimat itu tidak memerlukan jawaban. Dari kacamata sintaksis, kalimat tersebut memang kalimat interogatif Dari kacainata semantik, kalimat tersebut bukanlah pertanyaan, tetapi lebih berupa proposisi. Dari kacamata pragmatik, kalimat tersebut bukanlah aktivitas bertanya, tetapi lebih merupakan aktivitas "menyatakan" sesuatu. Penghasil teks ingin menyatakan bahwa untuk bisa membangun dan bisa berdemokrasi harus berangkat dari suatu landasan terten-
416 tu, yakni setiap pelaku demokrasi haruslah siap untuk menang dan sekaligus siap untuk kalah. Pihak yang menang hams menghormati pihak yang kalah, sebaliknya pihak yang kalah hams menghormati pihak yang menang dan tidak boleh melakukan protes. Dan paparan terhadap pendayagunaan kalimat interogatif yang terdapat pada kutipan (102), (103), (104), dan (105) dapat diperoleh suatu pemahaman, yakni terdapat kesamaan karakteristik kalimat interogatif yang didayagunakan. Pada kutipankutipan tersebut kalimat interogatif yang didayagunakan tidaklah memerlukan j awaban. Jika terdapat kalimat yang memerlukan jawaban, maka jawaban itu sudah disediakan oleh penghasil teksnya atau penerima dapat menarik kesimpulan dari keberadaan konteks linguistik, konteks lokal, dan konteks globalnya. Yang menjadi pertanyaan "mengapa elite politik memiliki kecenderungan memilih 'kalimat interogatif yang tidak bertanya' atau 'kalimat interogatif yang menyatakan' daripada kalimat "interogatif yang benar-benar bertanya?" Jawaban terhadap pertanyaan tersebut dapat dicari pada karakteristik komunikasi yang terjadi pada kutipan (102) sampai (105) di atas. Contoh kutipan di atas berupa komunikasi politik yang berupa wawancara di mana salah satu partisipan meminta informasi dan partisipan lainnya memberikan informasi. Dengan demikian, terdapat hubungan antarpartisipan yang tidak sederajat yang mengakibatkan tidak terjadi distribusi komunikasi yang adil dan ideal. Elite politik tidak memiliki kesempatan untuk memilih "kalimat interogatif yang benar-benar bertanya" dalam jenis komunikasi itu karena mitra komunikasinya tidak memiliki kapasitas politis tertentu untuk menjawab pertanyaan yang mungkin diajukan oleh elite politik penghasil teks itu. Dalam pandangan peneliti, secara kodrati jenis komunikasi seperti itu lebih berorientasi pada elite politik yang diwawancarai.
4-17 Contoh di atas akan berbeda jika komunikasi itu terjadi antara elit politik satu de ngan elit politik lainnya. Selanjutnya, perhatikan kutipan (106) berikut. Kutipan (106): ROT: Pertama-tama kami ingin menyampaikan pertanyaan kepada rekan kami dari Partai Masyumi. Pada tahun 60 Partai Masyumi dibubarkan oleh pemerintahan Soekarno. Mungkin alasan politik atau alasan hukuin saya tidak tahu. Bagaimana pandangan Partai Masyumi terhadap partai-partai politik yang ikut bertanggung jawab terhadap dosa-dosa politik pada zaman Orde Baru?Ada dua partai politik pada saat itu dan satu Golkar. Menurut pendapat kami mereka pun mempunyai dosa politik. Apakah terhadap mereka harus juga dikenakan sanksi politik, atau dibubarkan, atau bagaimana? Bagaimana sikap Masyumi terhadap hal seperti itu? Kemudian mengenai Partai Pekerja Indonesia, bagaimana konsep daripada Partai Pekerja Indonesia terhadap kenyataan sekarang ini terhadap kurang lebih 20 juta rakyat Indonesia menganggur?, Konsep bagaimana partai ini bisa menyelesesaikan masalah ini supaya masaiah ini tidak menjadi masalah yang rumit bagi negara kita?. Terima kasih. MOD: Saya persilahkan Saudara Abdullah Hehamahua menjawab dulu, kemudian giliran Pak Saleh Said Harahap untuk menjawab pertanyaan. Saya persilakan. AH: Terima kasih. Pertanyaan yang menarik. Sikap Masyumi terhadap Golkar dan mitranya selama pemerintahan Orde Baru. Jelas. Pada penjelasan saya tadi. Pada start pertama jika Partai Masyumi ditakdirkan untuk memerintah Indonesia maka Soeharto dan seluruh kroninya hams ditangkap dan diadili.[...] SSH: Bapak-bapak yang saya hormati dan bapak yang saya segani Bapak R.O. Tambunan. Sebenarnya jelas, Partai Pekerja Indonesia mempunyai satu kata perjuangan, yaitu tidak mungkin masyarakat sejahtera kalau dia menganggur, sampai kiamat pun dia tak mungkin sejahtera kalau dia menganggur. [Data 19/21/48.B.2(8)] Kutipan (106) dicuplik dari teks kampanye dialog antara Partai Pilihan Rakyat, PPIIM, dan Partai Pekerja Indonesia. Kampanye dialogis itu ditayangkan melalui media televisi dipimpin oleh seorang moderator dengan juru kampanye masing-masing R.O. Tambunan dari PILAR, Abdullah Hehamahua dari Partai Politik Islam Indonesia Masyumi, dan Sa leh Said Harahap dari Partai Pekerja Indonesia. Teks tersebut adalah bagian dari sesi ta nya jawab antara masing-rnasing juru kampanye. R.O. Tambunan dari PILAR memperoleh kesempatan pertama untuk mengajukan pertanyaan kepada juru kampanye kedua par -tai lainnya. Kedua partai lairmya kemudian diberi kesempatan oleh moderator untuk men jawab pertanyaan dari pertanyaan PILAR.
418 Dalam kutipan (106) terdapat tiga kalimat interogatif yang ditujukan kepada jurkam PPIIM dan dua kalimat interogatif yang ditujukan kepada jurkam PPI. Terdapat fenomena yang unik dalam pilihan kalimat interogatif tersebut. Tiga kalimat interogatif yang ditujukan kepada PPIIM, yakni (1) bagaimana pandangan Partai Masyumi terhadap partai-partai politik yang ikut bertanggung jawab terhadap dosa-dosa politik pada zaman Orde Baru, (2) apakah terhadap mereka harus juga dikenakan sanksi politik, atau dibubarkan, atau bagaimana, dan (3) bagaimana sikap Masyumi terhadap hat seperti itu. Ketiga kalimat interogatif itu dirumuskan dari satu proposisi yang sama, yakni "PPIIM mempunyai pandangan terhadap partai-partai pendukung pemerintahan Orde Baru". Ketiga kalimat interogatif itu masing-masingnya tidak memerlukan jawaban sendiri-sendiri, tetapi cukup dijawab dengan satu jawaban karena ketiga kalimat interogatif itu mengacu kepada jawaban yang sama. Pola kalimat interogatif seperti yang didayagunakan oleh ROT kepada PPIIM itu dapat diperhatikan pada ROT yang ditujukan pada PPI. Kalimat interogatif pertama bagaimana konsep daripada Partai Pekerja Indonesia terhadap kenyataan sekarang ini terhadap kurang lebih 20 juta rakyat Indonesia yang menganggur dan kalimat kedua konsep bagaimana partai ini bisa menyelesaikan masalah ini supaya masalah ini tidak menjadi masalah yang rumit bagi negara kita dirumuskan dari proposisi yang sama, yakni "PPI mempunyai tanggapan tertentu terhadap pengangguran di Indonesia". Kedua kalimat interogatif itu memerlukan satu jawaban saja. Kedua pendayagunaan kalimat interogatif di atas membentuk pola tertentu. Pola itu dapat dijelaskan melalui gambar 5.1 berikut.
419
1
'
K1-1
/1 . P
J
'/ M-2
I 1 I\ 1 1
Catatan P= proposisi KI-1= kalimat interogatif pertama KI-2= kalimat interogatif kedua Kin= kalimat interogatif selanjutnya J= jawaban .1
KI-n
I
Dan gambar 5.1 tersebut dapat diketahui bahwa setiap penanya memiliki proposisi tertentu yang kemudian
Gambar 5.1 Pola Pendayagunaan Kalimat Interogatif dalam Teks-Teks Politik
dijabarkannya ke dalam beberapa
kalimat interogatif. Jumlah kalimat interogatif yang dilahirkan dart satu proposisi tersebut sangat relatif bergantung pada tingkat kerumitan jawaban yang hams diberikan kepacla penanya. Semakin sederhana atau semakin konkret pertanyaan yang diajukan semakin sedikit jumlah kalimat interogatif yang dilahirkannya. Sebaliknya, semakin kompleks atau semakin abstrak pertanyaan yang diajukan semakin banyak jumlah kalimat interogatif yang dilahirkannya. Selanjutnya, jawaban yang diberikan oleh mitra dialog merangkum ketiga pertanyaan karena antara pertanyaan yang satu dan pertanyaan lainnya memiliki kecenderungan arah jawaban yang sama. Model pendayagunaan beberapa kalimat interogatif dalam bertanya seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya cukup banyak muncul dalam kampanye dialogis pemilu tahun 1999. Selain pendayagunaan beberapa kalimat interogatif dalam satu tahapan bertanya, terdapat juga pendayagunaan kalimat interogatif yang bersifat langsung, yakni bertanya dengan rnendayagunakan satu kalimat interogatif. Perhatikan kutipan (107) berikut. Kutipan (107): MOD: Sekarang giliran bertanya selanjutnya adalah Bapak Abdullah Hehamahua dad Partai Masyumi. Silakan mengajukan pertanyaan Anda! AH: Saudara dart PILAR, pertanyaan yang saya ajukan berkaitan dengan statement yang tadi anda ajukann jika PILAR memegang kekuasaan maka akan melakukan
420 pembersihan KKN. Bagaimana membersihkan KKN di Indonesia?Dari PPI yang menarik adalah mencalonkan Sri Sultan sebagai calon presiden. Sementara itu, Golkar juga mengajukan calon presiden yang salah satunya adalah Sri Sultan. Apakah antara PPI dan Golkar ada kemitraan dalam pencalonan presiden? [Data 21.B.2(9)] Kutipan (107) adalah lanjutan dialog yang sudah dipaparkan pada kutipan (106) di atas. Pada kutipan (107) merupakan tahapan pemberian giliran bertanya kepada juru kampanye PPIIM, Abdullah Hehamahua. Berbeda dengan kutipan (106), dalam kutipan ini AH menggunakan satu kalimat interogatif untuk bertanya kepada dua juru kampanye yang lain. Satu pertanyaan kepada PILAR , yakni bagaimana membersihkan KKN di Indonesia? dan satu pertanyaan untuk PPI, yakni apakah antara PPI dan Golkar ada kemitraan dalam pencalonan presiden? diajukan oleh Ketua Umum PPIIM dalam termin tanya jawab tersebut. Dari paparan di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa kalimat interogatif cukup banyak didayagunakan dalam teks-teks politik Indonesia pada era pasca-Orde Baru meskipun tidak sebanyak kalimat deklaratifnya. Jenis kalimat interogatif yang didayagunakan cukup beragam, dan kalimat interogatif yang "tidak bertanya" sampai pada kalimat interogatif yang "benar-benar bertanya". c. Kalimat Imperatif Selain kalimat deklaratif dan interogatif, kalimat imperatif juga didayagunakan dalam teks-teks politik Indonesia era pasca-Orde Baru. Hal itu dapat diperhatikan pada kutipan (108) berikut. Kutipan (108): AS: Kita ingin terjadi perubahan mendasar. Tidak boleh lagi hanya pengusaha besar yang terlibat kegiatan pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya.Ke depan kita berharap para pengusaha kecil, menengah, dan koperasi yang jumlahnya mencapai 40 juta ikut menikmati hasil-hasil pembangunan dan terlibat aktif dalam proses produksi serta distribusi nasional. [Data 49.B.2(10)]
1
4-21-
Kutipan (108) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Jawa Pos dengan Adi Sasono (AS). Topik yang diangkat adalah masalah politik ekonomi kerakyatan yang menjadi program utama Departemen Koperasi dan Pembinaan Usaha Kecil dan Menengah yang dipimpin oleh AS. Dalam kutipan (108) tersebut AS mendayagunakan kalimat imperatif untuk tujuan melarang pelaksanaan prinsip ekonomi yang tidak mengacu kepada konsep "kerakyatan". Kalimat imperatif itu dimarkahi oleh penggunaan kita ingin, tidak boleh lagi, dan kita berharap. Dalam kasus ini, AS sebagai penutur adalah subjek yang "meminta", "melarang", "memerintahkan" sesuatu kepada orang atau pihak lain untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu. Kalimat-kalimat tersebut memiliki makna "perintah" sehingga subjek yang menjadi tujuan perintah itu secara normatif hams melaksanakan perintah itu. Mitra tutur atau petutur yang dimaksud dalam "permintaan", "pelarangan", dan "pemerintahan" itu bukanlah orang kedua yang diajak berbicara, tetapi orang ketiga yang tidak hadir dalam peristiwa komunikatif itu, yakni para pelaku perekonomian yang selama ini disebut konglomerat dan sangat diuntungkan oleh pelaksanaan ekonomi model Orde Baru. Kalimat imperatif pertama yang bermarkah kita ingin berimplikasi pada keinginan penutur kepada pihak lain agar melakukan sebuah tindakan yang sangat diinginkan oleh penuturnya itu. Kalimat imperatif kedua yang bermarkah tidak boleh lagi merupakan larangan penutur yang berimplikasi pada perluasan keterlibatan pengusaha dalam kegiatan ekonomi kerakyatan. Kalimat jai sekaligus juga larangan kepada pihak-pihak tertentu untuk melakukan sesuatu. Kalimat imperatif ketiga dengan markah utama kita berharap berimplikasi pada harapan penutur kepada pihak lain agar melakukan sebuah tindakan yang sangat diharapkan oleh penuturnya itu.
4-22 Pendayagunaan kalimat imperatif dengan menggunakan pemarkah imperatif lain dapat diperhatikan pada kutipan (109) berikut. Kutipan (109): SBY: Jangan ada gerakan-gerakan keluar dari kampus yang hanya mengganggu ketertiban. Jangan ada gerakan, meskipun di dalam kampus, yang melebihi batas kepatutan. Pada dasamya, ABRI lebih mengimbau ekspresi politik, penyampaian aspirasi politik yang lebih tepat, lebih tertib, menggunakan saluran yang ada, mekanisme yang ada. [Data 49. B.2(11)] Kutipan (109) dicuplik dari teks basil wawancara wartawan Republika dengan Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY). Topik yang diangkat adalah persoalan gerakan mahasiswa yang meneriakkan reformasi total. Dalam kutipan tersebut, SBY mendayagunakan tiga kalimat imperatif. Ketiga kalimat itu ditandai oleh penggunaan konstruksi jangan ada dan mengimbau. Kalimat imperatif pertama secara semantis merupakan bentuk "larangan" kepada pihak mahasiswa dan kelompok pro demokrasi lainnya untuk tidak mengadakan unjuk rasa di jalan karena akan dapat mengganggu ketertiban umum. Kalimat imperatif kedua secara semantis merupakan bentuk "larangan" kepada pihak mahasiswa untuk tidak mengadakan gerakan yang melebihi "sopan santun" berunjuk rasa. Kalimat imperatif ketiga secara semantis merupakan bentuk "imbauan" kepada semua pihak agar dapat mengekspresikan kemauan politik secara konstitusional dan tidak ke luar dan konstitusi itu. Ketiga kalimat imperatif tersebut secara pragmatik berupa impositif "pembebanan" kepada petutur untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Pendavagunaan kalimat imperatif dalam teks-teks politik era pasca-Orde Baru. selain menggunakan pemarkah tidak boleh, berharap, jangan, dan imbau juga menggunakan "verba imperatif', pemarkah "supaya+verba imperatif pasif'. Selanjutnya perhatikan kutipan (110) berikut.
423 Kutipan (110): SH: Materi SI itu kan sudah disepakati di MPR. Dan, yang bertugas menggodok mate: kan ada sendiri. Jadi, kalau ada suara tidak puas, sampaikan saja ke MPR. [Data 49.B.2(12)] Kutipan (110) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Jawa Pos dengan Syarwan Hamid (SH). Topik yang diangkat adalah masalah pelaksanaan Sidang Istimewa MPR untuk mempersiapkan sejumlah ketetapan bagi pembentukan pemerintahan baru yang lebih diakui oleh rakyat. Dalam kutipan tersebut, SH mendayagunakan kalimat imperatif dengan verba imperatif "sampaikan". Kalimat ini secara semantic merupakan bentuk "perintah" dari penutur kepada pihak petutur untuk melakukan sesuatu seperti dikehendaki oleh penuturnya. Kalimat tersebut secara pragmatik akan memberikan pembebanan kepada petutur untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu seperti yang dikehendaki oleh penuturnya. Perhatikan juga kutipan (111) berikut. Kutipan (111): GD: Jadi, pemerintah harus tegas sajalah. Siapa yang membuat kerusuhan itu supaya ditindak saja. Jangan dibiarkan. Kalau tindakan nyata sudah dilakukan, orangorang yang lari ke luar negeri itu segera pulang. [Data.35.B.2(13)] Kutipan (111) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Topik yang diangkat adalah masalah penanganan kerusuhan Mei 1998 yang berjalan sangat lambat, bahkan terkesan stagnasi. Dalam kutipan tersebut GD mendayagunakan kalimat imperatif dengan verba imperatif pasif. Kalimat tersebut secara semantis merupakan "perintah" dari seorang penutur kepada petutur agar melakukan sesuatu seperti dikehendaki oleh petuturnya. Kalimat tersebut secara pragmatik memberikan pembebanan petutur untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu seperti dikehendaki oleh penuturnya. Sedikit berbeda dengan kutipan (110) di atas, dalam kasus ini, bagi
424 petutur kalimat ini mengandung nuansa yang lebih halus karena penggunaan kata supaya sebelum verba imperatifnya. Petutur akan merasa bahwa penutur tidak memerintah secara langsung. Pendayagunaan kalimat imperatif dalam teks-teks politik era pasca-Orde Baru juga menggunakan kata ingin, seperti yang terdapat dalam kutipan (112) berikut. Kutipan (112): PSP: Kami ingin agar pemilu ini berjalan cinta dan damai. Kita ingin memperjuangkan hak asasi dan hak-hak politik kaum perempuan. Kami juga ingin bagaimana kedaulatan rakyat itu dapat tegak. [Data 23.B.2(14)]
Kutipan (112) dicuplik dan teks kampanye dialogis Partai Solidaritas Pekerja (PSP) untuk pemilihan umum 1999. Topik yang diangkat adalah pemaparan program-program par-tai jika partai itu dipercayai oleh rakyat untuk duduk di dalam Dewan Penvakilan Rakyat. Dalam kutipan tersebut juru kampanye PSP mendayagunakan kalimat imperatif dengan kata ingin. Dengan demikian, kalimat tersebut secara semantis merupakan "keinginan" elit politik PSP untuk berbuat sesuatu jika PSP dipercayai rakyat, secara pragmatik kalimat tersebut akan memberikan pembebanan kepada petutur agar sesuatu yang diinginkan oleh penuturnya dapat diwujudkan. Kalimat tersebut juga sekaligus "keinginan" elit politik PSP agar komponen bangsa yang lain juga memperjuangkan program serupa jika mendapat mandat dari pemilihnya. Senada dengan kutipan (111) tersebut, kutipan (112) merupakan imperatif yang bersifat tidak langsung sehingga dalam diri petuturnya terdapat kesan "solidaritas", bukan "kekuasaan". Pendayagunaan kalimat imperatif dalam teks-teks politik era pasca-Orde Baru juga menggunakan kata-kata ajakan, seperti marilah. Hal ini dapat diperhatikan pada kutipan (113) berikut.
425 Kutipan (113): AWM: Saya berharap semua pihak jangan berapriori dulu. Jangan berburuk sangka. Dailog belum digelar, tetapi sudah ada yang menyatakan menolak. Dari situ bisa saja muncul berbagai kesamaan. Karena itu, sebaiknya, marilah kita berdialog dulu. [Data 49. B .2(15)]
Kutipan (113) dicuplik dari teks basil wawancara wartawan Jawa Pos dengan A. Wahab Makodongan. Topik yang diangkat adalah masalah dialog yang ditawarkan oleh pimpinan TNI kepada komponen mahasiswa yang menuntut adanya reformasi total di segala bidang kehidupan. Dalam kutipan tersebut, AWM mendayagunakan tiga kalimat imperatif, yakni kalimat pertama dengan markah berharap, kalimat kedua dengan markah jangan, dan kalimat kelima dengan markah marilah. Kalimat pertama itu secara semantis merupakan "pengharapan" penutur kepada pihak lain agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kalimat kedua itu secara semantis merupakan "larangan" yang disampaikan penutur kepada pihak lain agar tidak melakukan sesuatu. Kalimat kelima itu secara semantis merupakan "ajakan" penutur kepada pihak lain agar melakukan sesuatu secara bersama-sama antara penutur dan pihak lain itu. Dari paparan di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa selain kalimat deklaratif dan interogatif, kalimat imperatif juga didayagunakan di dalam teks-teks politik Indonesia era pasca-Orde Baru. Berbagai bentuk kalimat imperatif dari yang bersifat langsung sampai yang tidak langsung didayagunakan untuk tujuan politis penghasil teksnya. Apa pun bentuk imperatif yang dipilih, dari kacamata pragmatik penggunaan kalimat ini berimplikasi pada "pembebanan" kepada petutur agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu seperti yang dikehendaki oleh penuturnya. Dari keseluruhan pendayagunaan modus kalimat yang ada, kalimat deklaratif dengan makna "menyatakan" menduduki tempat pertama dalam jurnlah. Kalimat interogatif
426 yang didayagunakan pun secara sernantis juga lebih banyak berkaitan dengan makna "menyatakan" itu. Hal ini berarti bahwa posisi elite politik Indonesia dalam teks-teks politik lebih banyak mengambil posisi sebagai "pemberi informasi", sementara itu masyarakat Indonesia lebih banyak sebagai "penerima informasi". 4.2.2.2 Modalitas Relasional Pertanyaan pokok yang dikemukakan Fairclough (1989:126) berkaitan dengan modalitas relasional adalah "adakah fitur-fitur penting dan modalitas relasional". Modalitas relasional berkenaan dengan persoalan autoritas satu partisipan dalam hubungannya dengan partisipan lainnya dalam komunikasi. Modalitas relasional berbeda dengan modalitas ekspresif. Yang terakhir ini adalah modalitas yang berkenaan dengan persoalan autoritas penutur terhadap kebenaran dan kemungkinan dari suatu representasi realitas. Modalitas ekspresif berkenaan dengan evalliasi penutur terhadap kebenaran. Modalitas relasional ini cukup banyak didayagunakan dalam teks-teks politik Indonesia era pasca-Orde Baru. Beberapa makna yang muncul berkenaan dengan pilihan modalitas relasional ini, antara lain: 'keharusan', 'keteramalan', 'kemampuan', 'kepastian', 'kemungkinan', keinginan', 'harapan', 'pembiaran', dan 'perintah'. Modalitasmodalitas itu secara formal ditunjukkan oleh penggunaan modal tertentu sebagai wujud tingkat jaminan atau komitmen penuturnya. Tiap-tiap pilihan modalitas relasional tersebut dipaparkan sebagai berikut. a. Modalitas yang Menyatakan 'Keharusan' Modalitas yang menyatakan makna 'keharusan' ditandai oleh penggunaan katakata, antara lain harus, mesti, wajib, harusnya, dan seharusnya. Perhatikan kutipan (114) berikut.
427 Kutipan (114): MD:
Ya, kalau yang kecil-kecil ini ditumpuk-tumpuk, kan menjadi besar juga. Dan tentu, sokongan kepadanya akan bertambah banyak, khususnya dari kaum reformis. Tetapi, bagaimana pun dia harus mencari formula yang lebih tepat agar hasilnya cukup efekti khususnya soal pengusutan Pak Harto. [Data 33.B.2(16)]
Kutipan (114) dicuplik dari teks basil wawancara wartawan Jawa Pos dengan Marzuki Darusman, salah seorang elite Partai Golkar. Topik yang diangkat dalam wawancara adalah masalah langkah-langkah yang diambil Presiden Habibie dalam rangka mengumpulkan poin untuk pencalonannya kembali sebagai presiden keempat RI. Dalam kutipan tersebut (114) tersebut MD menggunakan modal harus untuk menyatakan bahwa apa yang dikemukakannya adalah sesuatu yang amat penting sehingga "wajib" dilakukan oleh Habibie. Kata harus dalam kalimat di atas mengandung imlikasi imperatif bagi sasaran yang dituju. Selanjutnya, perhatikan juga kutipan (115) berikut. Kutipan (115): SH: Beberapa penolakan partai-partai itu bisa menjadi masukan bagi dewan. Sebab, memang banyak pandangan-pandangan yang perlu didengarkan. Tetapi, jangan terlalu cepat menolak. Mereka harusnya menjelaskan poin-poin mana yang ditolak. Itu harus dijelaskan lagi. [Data 49.B.2(17)]
Kutipan (115) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Indonesia dengan Syarwan Hamid. Topik yang diangkat adalah masalah penolakan oleh sebagian komponen bangsa terhadap rencana pelaksanaan Sidang Istimewa MPR. Dalam kutipan tersebut, SH mendayagunakan tiga modal yang menyatakan makna 'keharusan', yakni perk, harusnya, dan harus. Modal harus memiliki makna 'keharusan' yang paling tinggi, kemudian diikuti harusnya dan yang terakhir adalah perk. Satu rumusan penting berkaitan dengan contoh kutipan (114) dan (115) di atas adalah masalah penonjolan autoritas oleh penutur terhadap pihak lain agar melakukan
428 suatu tindakan tertentu yang tidak dapat ditawar-tawar. Elite politik ingin menunjukkan bahwa posisi yang sedang didudukinya dan aktor yang sedang diperankannya itu memiliki kekuatan imperatif dan direktif untuk menggerakkan orang lain dalam suatu komunikasi politik yang sering bersifat timpang. b. Modalitas yang Menyatakan 'Keteramalan' Modalitas yang menyatakan malcna 'keteramalan' ditandai oleh penggunaan katakata, antara lain akan, saya kira, saya rasa, saya pikir, agaknya, kelihatannya, diduga, dikira, pada hemat saya, dan menurut pendapat saya. Modalitas jenis ini banyak didayagunakan dalam teks-teks politik Indonesia era pasca-Orde Baru. Perhatikan kutipan (116) berikut. Kutipan (116): SBP:
Untuk mewujudkan Indonesia, siapa pun yang menjadi presiden nanti jika tidak mewujudkan Indonesia baru saya kira akan gagal untuk mewujudkan ke makmuran yang abadi bagi masyarakat Indonesia. [Data 36.B.2(18)]
Kutipan (116) dicuplik dan teks pembukaan debat calon presiden yang disampaikan oleh Sri Bintang Pamungkas. Topik yang dikemukakan oleh SBP adalah perlunya melakukan reformasi total di semua bidang kehidupan untuk mewujudkan suatu sistem Indonesia bare untuk menggantikan sistem Orde Baru yang tidak mencerminkan prinsip-prinsip demokrasi. Dalam kutipan (116) SBP mendayagunakan dua modal yang menyatakan 'keteramalan' sekaligus, yakni saya kira dan akan. Dua modal tersebut dipergunakan SBP untuk memberikan "ramalan" atau "prediksi" bagi siapa saja yang nantinya menduduki presiden keempat Republik Indonesia. Dalam prediksi SBP, Indonesia ba' adalah syarat mutlak keberhasilan seorang presiden di Indonesia. Selanjutnya, perhatikan juga kutipan (117) berikut.
1
+29
Kutipan (117): AS:Secara politis, format ekonomi baru ini, tidak lain, dimaksudkan untuk menciptakan suatu perekonomian berbasis ekonomi pasar. Meski begitu, ini tidak berarti dunia usaha berskala besar akan dirugilcan, apalagi dilarang. Nantinya, akan ada aturan yang tegas, jelas, dan transparan yang memisahkan masalah kekuasaan politik dengan kegiatan ekonomi. Prinsipnya, ada peraturan yangnnantinya bisa menjamin keadilan. Jadi, praktik KKN bisa dicegah sedini-dininya. [Data 49. B.2(19)] Kutipan (117) dicuplik dari teks hasil wawancara antara wartawan Jawa Pos dengan Adi Sasono. Topik yang diangkat adalah masalah ekonomi kerakyatan yang sedang digulirkan sebagai program utama Departemen Koperasi dan Pembinaan Usaha Kecil dan Menengah dalam Kabinet Reformasi Pembangunan. Dalam kutipan (117) AS mendayagunakan modal yang menyatakan 'keteramalan', yakni akan. Dengan modal ini, penghasil teks memiliki prediksi tentang suatu masa depan perekonomian jika diatur sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi ekonomi yang mementingkan masyarakat banyak. Selain modal akan dan saya kira, modalitas relasional yang menyatakan makna 'keteramalan' juga dinyatakan dengan konstruksi "pasti tidak mungkin", seperti dapat diperhatikan pada kutipan (118) berikut. Kutipan (118): SBY: Kalau dialog diharapkan bisa menyelesaikan semua masalah saya kira itu pandangan yang tidak tepat. Bagaimana mungkin sebuah dialog yang digelar sekali dua kali mampu menyelesaikan segenap agenda pembangunan, menuntaskan berbagai masalah, apalagi kalau lingkupnya sangat luas dan masalalmya juga tidak sederhana. Pasti tidak mungkin sebuah dialog harus menyelesaikan semua masalah apalagi kalau diinginkan tindak lanjut dengan segera dan tuntas. [Data 49. B.2(20)] Kutipan (118) dicuplik dan teks basil wawancara wartawan Republika dengan Susilo Bambang Yudhoyono. Topik yang diangkat adalah masalah pelaksanaan Sidang Istimewa yang diagendakan untuk mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945. Dalam kutipan (118) tersebut SBY mendayagunakan modal yang menyatakan 'keteramalan', yakni saya
430 kira, dan pasti tidak mungkin. Demikian juga, kehadiran konstruksi interogatif bagaimana mungkin memperkuat adanya makna keteramalan itu. Dengan modal-modal tersebut, penghasil teks memprediksi adanya sebuah ketidakberhasilan dalam menuntaskan masalah-masalah bangsa yang besar dan rumit hanya melalui beberapa tahapan dialog. Dan kutipan (116), (117), dan (118) di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa melalui teks-teks politiknya, sejumlah elite politik Indonesia menempatkan dirinya sebagai "pemrediksi" tentang berbagai hal yang berkaitan dengan sosial ekonomi, sosial politik, dan sosial budaya. Ketepatan akan prediksi itu akan menambah nilai elite yang bersangkutan untuk mencapai tujuan politisnya melalui berbagai aktivitas politisnya itu. c. Modalitas yang Menyatakan 'Kemampuan' Modalitas yang menyatakan makna 'kemampuan' ditandai oleh penggunaan katakata dapat, bisa, mampu, dan sanggup. Perhatikan kutipan (119) berikut. Kutipan (119): MD: Langkah-langkah komprehensif ini dapat menjadikannya sebagai simbol perubahan. Sulitnya saat ini kan cap yang mengatakan Pak Habibie tidak ada bedanya dengan Pak Harto. Karena itu, untuk soal yang satu ini harus segera ditegaskan dan dilakukan. {Data 33.B.2(21)] Kutipan (119) dicuplik dan teks hasil wawancara wartawan Jawa Pos dengan Marzuki Darusman. Topik yang diangkat adalah masalah pencalonan B.J. Habibie sebagai calon presiden dan Partai Golkar. Dalam kutipan (119) MD mendayagunakan modal yang menyatakan kemampuan', yakni dapat. Dengan keberadaan modal dapat dalam kalimat itu menginformasikan bahwa penghasil teks ingin menunjukkan 'kemampuan' untuk melakukan sesuatu. Dimensi 'kemampuan' ini semakin dipertegas oleh pendayagunaan modal harus dalam paragraf yang sama yang menyatakan makna 'keharusan'. Selanjutnya, perhatikan juga kutipan (120) berikut.
4.31 Kutipan (120): DH: Mega sebagai talon Presiden PDI Perjuangan adalah harga mati. Tidak bisa ditawar lagi karena menjadi keputusan kongres. Kita berjuang untuk itu. Tidak ada alternatif. Keputusan itu hanya bisa diubah oleh kongres. Kita biasakan menaati aturan. [Data 11.B.2(22)] Kutipan (120) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Gatra dengan Dimyati Hartono, salah seorang elite PDI Perjuangan. Topik yang diangkat adalah masalah pencalonan Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden dari PDI Perjuangan meskipun terdapat gerakan yang mempersoalkan perempuan sebagai presiden. Dalam kutipan (120) DH mendayagunakan modalitas yang menyatakan 'kemampuan', yakni bisa. Dengan modal bisa itu penghasil teks ingin menunjukkan kemampuannya untuk berbuat sesuatu yang diperjuangkan. Penggagalan Megawati sebagai calon Presiden Republik Indonesia hanya mampu dilakukan melalui kongres PDI Perjuangan. Kutipan (119) dan (120) di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa melalui teksteks politiknya, sejumlah elite politik Indonesia menempatkan dirinya sebagai "pelaku yang memiliki kemampuan" untuk melakukan berbagai hal. Ini adalah konsekuensi dari posisi yang didudukinya yang menuntut sejumlah 'kemampuan'. Dengan kemampuan yang dimilikinya berarti elite itu memiliki sejumlah kelebihan yang tidak dimiliki oleh elite politik lain yang selanjutnya menambah autoritas yang ada pada dirinya. Dengan dimilikinya autoritas itu, penutur akan semakin menghargai keberadaan penutur itu yang memang layak menjadi pemimpin. d. Modalitas yang Menyatakan 'Kepaitian' Modalitas yang menyatakan makna 'kepastian' ditandai oleh penggunaan katakata, antara lain pasti, tentu, saya yakin, saya percaya, dan tentunya. Perhatikan kutipan (121) berikut.
432 Kutipan (121): YIM: Kesulitan-kesulitan seperti ini sebenarnya bukan pertama-tama terjadi dalam sejarah republik ini. Kita sudah berulang kali mengalami kesulitan-kesulitan seperti ini, tetapi alhamdulillah berkat rahmat Allah swt dan berkat perjuangan kita bersama kesulitan-kesulitan seperti itu satu per satu dapat kita atasi bersama-sama. Saya yakin dan percaya sebagai bangsa yang pernah ditimpa pengalaman-pengalaman yang cukup berat 53 tahun terakhir ini, saya yakin kita mampu menyelesaikan persoalan-persoalan besar yang dihadapi oleh bangsa ini. [Data 22. B.2(23)] Kutipan (121) dicuplik dan teks pidato pembukaan debat calon presiden yang disampaikan oleh Yusril Ihza Mahendra. Topik yang diangkat adalah perlunya membangun sistem pemerintahan yang kuat di Republik Indonesia. Dalam kutipan (121) tersebut YIM mendayagunakan modal yang menyatakan makna kepastiad, yakni saya yakin dan saya percaya. "Kepastian" bukan semata-mata kepastian yang buta yang tanpa pijakan. Sebaliknya, "kepastiar." itu berdasar pada rahmat Sang Pencipta. Dalam konteks ini, penghasil teks menggunakan kata alhamd u I i Ila h yang bermakna 'segala puji bagi Allah'. Dengan menggunakan modal saya yakin dan saya percaya elite politik penghasil teks ingin menunjukkan "optimisme"-nya akan terjadinya sesuatu yang diharapkan oleh penghasil teks itu. Selanjutnya, perhatikan juga kutipan (122) berikut. Kutipan (122): MLD: Walau begitu saya yakin dengan kemampuan Akbar. Di Sidang Umum MPR nanti, dia pasti mampu mengatasi persoalan perbedaan pendapat itu. Sikapnya yang tenang dan bijaksana pasti akan mampu menyelesaikan persoalan. [Data 33.B.2(24)] Kutipan (122) dicuplik dan teks hasil wawancara wartawan Gatm dengan Muladi, salah seorang elite Partai Golkar. Topik yang diangkat adalah munculnya gerakan di dalam tubuh Partai Golkar yang menolak Habibie sebagai calon presiden dari Partai Golkar. Dalam kutipan (122) tersebut penghasil teksnya menggunakan modal yang menyatakan
433 makna 'kepastian', yakni saya yakin dan pasti. Makna 'kepastian' itu menjadi semakin intensif dengan kehadiran kata mampu dan akan mampu yang memiliki makna 'kemampuan' dalam konstruksi pasti mampu dan pasti akan mampu. Dalam pandangan MLD, Ketua Umum Partai Golkar akan "tidak boleh tidak" mampu menyelesaikan masalah perpecahan di dalam tubuh Partai Golkar itu. Kutipan (121) dan (122) di atas dapat memberikan pemahaman bahwa melalui teks-teks politiknya sejumlah elite politik Indonesia dapat menunjukkan sesuatu yang pasti dalam bidang-bidang sosial budaya, sosial politik, dan sosial ekonomi. Dengan modal yang menyatakan 'kepastian' tersebut penghasil teks ingin menunjukkan sesuatu yang pasti akan terjadi kepada elite politik lain atau masyarakat Indonesia pada umumnya sebagai bentuk penonjolan autoritas yang dimilikinya. e. Modalitas yang Menyatakan 'Kemungkinan' Modalitas yang menyatakan makna 'kemungkinan' ditandai oleh penggunaan katakata, antara lain dapat, mungkin, boleh, bisa, dapat saja, bisa saja, barang-kali, boleh jadi, dan bisa jadi. -Secara leksikal, kata mungkin berarti 'tidak mustahil. Perhatikan kutipan (123) berikut. Kutipan (123): SH: [...] Tetapi, dari awal sebenarnya orientasi kita adalah penyelenggaraan pemilu yang sukses, yaitu pemilu yang berlangsung secara jujur dan adil atau jurdil. Tetapi, belakangan memang muncul masalah-masalah di KPU. Barangkali munculnya masalah-masalah itu karena kekhawatiran keberadaan partai-partai kecil di KPU. [Data 49.B.2(25)] Kutipan (123) dicuplik dan teks hasil wawancara Nkartawan J C1WC1 Nos dertgan Syarwan -
Hamid. Topik yang diangkat adalah keberadaan Komisi Pemilihan Umum yang mulai disorot masyarakat karena berbagai persoalan yang melanda tubuh institusi itu. Dalam
1
4.3
44- kutupan (123) tersebut penghasil teks menggunakan modal yang menyatakan 'kemungkinan', yakni barangkali. Selain itu, SH juga menggunakan modal lainnya, yakni sebenarnya dan memang. Dengan modal barangkali SH menduga adanya sesuatu yang mungkin berkenaan dengan keberadaan partai-partai gurem yang diduga sebagai penyebab semrawutnya KPU. Selanjutnya, perhatikan juga kutipan (124) berikut. Kutipan (124): HM:
Ya, kalau tidak, janji itu hanya omong kosong belaka. Dan itu akan memunculkan dua hal yang akan ditanggung PDI Perjuangan. Pertama, barangkali untuk pertama dan terakhir kali PDI-P memenangi pemilu. Kedua, akan berakibat semakin sulitnya posisi PDI-P dalam mengegolkan Megawati menjadi presiden sebab kelompok lain tentu banyak yang tidak simpati. [Data 22.B.2(26)]
Kutipan (124) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Aiwa Pos dengan Hartono
Mardjono, salah seorang ketua Partai Bulan Bintang. Topik yang diangkat adalah mengemukanya isu calon legislatif nonmuslim yang mendominasi daftar calon leeislatif PD1 Perjuangan yang diajukan ke KPU. Dalam kutipan tersebut penghasil teks menggunakan beberapa modal, yakni kata akan yang mengandung makna 'keteramalan', kata barangkali yang mengandung makna 'kemungkinan', dan kata tenth yang mengandung makna 'kepastian'. Yang menarik dari kutipan (124) di atas adalah penggunaan beberapa modal yang saling berkaitan antara sate dengan lainnya, baik yang sifatnya beroposisi seperti 'keteramalan' dengan 'kemungkinan' serta yang saling mendukung seperti 'keteramalan' dengan 'kepastian'. Kutipan (123) dan (124) di atas dapat memberikan pemahaman bahwa melalui teks-teks politiknya, sejumlah elite politik Indonesia dapat mengungkapkan adanya "kemungkinan-kemungkinan" dari fenomena dunia sosial di sekelilingnya. Kemungkinankemungkinan itu berkaitan dengan keteramalan dan kepastian, bahkan mungkin saja ber-
435 kaitan dengan makna-makna modalitas lainnya. Dengan mendayagunakan modalitas ini elite politik ingin menunjukkan autoritas kepada elite politik lainnya dan masyarakat Indonesia tentang kemampuannya dalam membuat prediksi-prediksi yang dapat dipercaya kebenarannya. f. Modalitas yang Menyatakan 'Keinginan' Modalitas yang menyatakan makna 'keinginan' ditandai oleh penggunaan katakata, antara lain ingin, mau, hendak, menghendaki, berhasrat, berniat, berketetapan, dan mudah-mudahan. Perhatikan kutipan (125) berikut. Kutipan (125): SH: Bila ada pihak-pihak yang menolak sidang istimewa, berarti hanya ingin merusak negara ini. SI adalah landasan bagi pemilu. Saya kira kalau dibandingkan, jumlah rakyat yang mendukung digelar SI jauh lebih banyak sebab misi rakyat yang ingin tetap melaksanakan SI ingin menyelamatkan bangsa dan negara. [Data 49.B. 2(27)]
Kutipan (125) dicuplik dan teks basil wawancara wartawan Jawc Pos dengan Syarwan Hamid. Topik yang diangkat adalah pro dan kontra pelaksanaan Sidang Istimewa MPR tahun 1999 sebagai jalan satu-satunya untuk mengakhiri krisis politik di Indonesia pasca pemerintahan Orde Baru. Dalam kutipan (125) penghasil teks menggunakan tiga modal ingin dalam satu paragraf. Penutur juga menggunakan modal yang menyatakan 'keteramalan', yakni saya kira. Dengan modalitas yang menyatakan 'keinginan', penghasil teks ingin menunjukkan bahwa dalam diri elite politik terdapat dimensi-dimensi yang berusaha akan diraih atau dicapainya. Selanjutnya, perhatikan juga kutipan (126) berikut. Kutipan (126): ABT: Sudah kita putuskan dalam rapat di Dewan Pimpinan Pusat PAN bahwa kami tak akan berkoalisi dengan siapa-siapa. Kami tak ingin mengambil inisiatif mencalonkan Amien sebagai presiden. Tapi, kalau ada anggota MPR yang mencalonkan Amien, ya itu terserah mereka. Pak Amien bilang sebagai partai yang hanya dapat 9%, kurang pantaslah terlalu menonjolkan diri. [Data 15.B.2(28)]
436 Kutipan (126) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Gatra dengan Abdillah Toha, salah seorang ketua Partai Amanat Nasional. Topik yang diangkat adalah mundurnya Amien Rais dari bursa calon presiden karena perolehan suara PAN yang tidak signifikan. Dalam kutipan (126) tersebut penghasil teks menggunakan dua modal, yakni tak akan yang menyatakan makna 'keteramalan' dan tak ingin yang menyatakan makna 'keinginan" atau "ketidakinginan". Dengan menggunakan modal tak ingin penghasil teks ingin menunjukkan bahwa PAN tidak memiliki hasrat mencalonkan Amien sebagai presiden. g. Modalitas yang Menyatakan 'Harapan' Modalitas yang menyatakan makna 'harapan' ditandai oleh penggunaan katakata, antara lain harap, mengharapkan, berharap, mudah-mudahan, semoga, dan hendaknya. Perhatikan kutipan (127) berikut. Kutipan (127): AS:[...] Kita ingin terjadi perubahan mendasar....Ke depart_ kita berharap para pengusaha kecil, menengah, dan koperasi yang jumlahnya mencapai 40 juta ikut menikmati hasil-hasil pembangunan dan terlibat aktif dalam proses produksi serta distribusi nasional. Kita yakin kalau kita beri perhatian dan perkembangannya didorong, mereka akan mampu memberikan kontribusi besar bagi perekonomian nasional [Data 49.B.2(29)] Kutipan (127) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Jawa Pos dengan Adi Sasono. Topik yang diangkat adalah masalah ekonomi kerakyatan yang menjadi program utama departemen yang dipimpinnya dalam Kabinet Reformasi Pembangunan. Dalam kutipan (127) AS menggunakan beberapa modal sekaligus, yakni ingin yang menyatakan makna 'keinginan', berha rap yang menyatakan makna 'harapan', "yakin" yang menyatakan makna 'kepastiarf, dan akan yang menyatakan makna 'keteramalan'. Dengan modal berharap penghasil teks ingin menunjukkan kepada elit politik lain dan masyarakat Indonesia bahwa is menanti-nantikan sesuatu agar terj adi, yakni keterlibatan aktif pengusaha
437 kecil, menengah, dan koperasi dalam proses perekonomian nasional. Selanjutnya, perhatikan juga kutipan (128) berikut. Kutipan (128): SEY: Yang perlu dirumuskan antara lain waktu dan jadwal kampanye. Mereka juga perlu merumuskan model-model dan etika kampanye. Saya berharap partaipartai yang akan kampanye nanti menjual produk atau program mereka sendiri. Kami juga mengusulkan, kalau memang suatu partai bisa membeli jam tayang untuk kampanye, KPU harus memberi kesempatan. [Data 33.B.2(30)] Kutipan (128) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Jawa Pos dengan Slamet
Effendy Yusuf, salah seorang elite Partai Golkar. Topik yang diangkat adalah masalah pelaksanaan kampanye terselubung yang sudah marak dilakukan oleh partai-partai politik peserta pemilu 1999. Dalam kutipan (128) di atas penghasil teks menggunakan beberapa modal, yakni berha rap yang menyatakan 'harapan', akan yang menyatakan 'keteramalan', dan harus yang menyatakan 'keharusan'. Dengan modal berharap penghasil teks ingin menunjukkan suatu himbauan kepada elit partai politik lain agar dapat berkompetisi secara sehat dengan tidak boleh menjelek-jelekkan program partai lainnya. Partaipartai politik haruslah mengkampanyekan program-program mereka sendiri. h. Modalitas yang Menyatakan Tembiaran' Modalitas yang menyatakan makna 'pembiaran' ditandai oleh penggunaan katakata biar, biarlah, dan biar sajalah. Perhatikan kutipan (129) berikut. Kutipan (129): DH: Yang terpenting, PDI-P telah membuktikan sebagai partai besar yang dipilih rakyat. Biar sajalah orang menafsirkan apa saja soal kedatangan Mbak Mega. Yang jelas, kami n-,emiliki sikap yang objektif dan jemih. [Data 11.B.2(31)]
Kutipan (129) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Jawa Pos dengan Dimyati Hartono. Topik yang diangkat adalah kunjungan Megawati ke Timor Timur sebelum pe-
438 laksanaan jajak pendapat dimulai. Dalam kutipan tersebut penghasil teks menggunakan modal yang menyatakan makna 'pembiaran', yakni biar sajalah. Dengan modal biar sajalah DH ingin menunjukkan sikap partainya yang "tidak peduli", "tidak melarang",
dan "tidak meneguhkan" terhadap suatu hal, yakni berbagai macam penafsiran tentang kedatangan Ketua Umum PDI Perjuangan itu ke Timor Timur. Selanjutnya, perhatikan j uga kutipan (130) berikut. Kutipan (130): GD: Ya, biarkan saja. Saya tahu kalau saya dikatakan gombal dan mencla-mencle. Tapi, yang penting, saya telah berusaha melakukan yang terbaik... Jadi kalau apa yang saya lakukan itu temyata gagal, mestinya tidak hanya dilihat dari kegagalan itu. Tapi, juga harus diukur dari niatnya. Karena itu, soal orang punya penafsiran macam-macam, saya tidak peduli. [Data 35.B.2(32)} Kutipan (130) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Jawa Pos dengan Abdurrah-
man Wahid. Topik yang diangkat adalah kontroversi kunjungan Gus Dur ke rumah mantan Presiden Soeharto sementara publik menghendaki untuk mengisolasi mantan penguasa pemerintahan Orde Ban'. Dalam kutipan (130) penghasil teks menggunakan modalitas yang menyatakan makna 'pembiaran', yakni biarkan saja. Dengan modal biarkan saja GD ingin menunjukkan sikap pribadinya yang "tidak peduli", "tidak melarang", dan "tidak meneguhkan" terhadap suatu hal kepada elit politik lain atau masyarakat Indonesia pada umumnya, yakni hujatan yang ditujukan kepada dirinya karena mendatangi orang yang dianggap sebagai musuh sebagian besar masyarakat. Selanjutnya, perhatikan juga kutipan (131) berikut. Kutipan ( 131): YAB: Tak ada alasan menolak pertanggungjawaban Presiden Habibie hanya karena terganjal Tap MPR Nomor VI/MPR/1978. Hams dipahami, masalah Timtim adalah persoalan internasional. Kita selama ini boleh saja mengklaim Timtim sebagai wilayah Indonesia. Tapi dalam pergaulan intemasional kita selalu diru-
439 gikan. Sebab, mereka memandang Timtim bukan wilayah Indonesia. Makanya, pelaksanaan jajak pendapat merupakan jalan terbaik. [Data 33.B.2(33)] Kutipan (131) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Jawa Pos dengan Yasril Ananta Baharudin, salah seorang elite Partai Golkar. Topik yang diangkat adalah tanggapan terhadap kemungkinan ditolaknya pertanggungjawaban Presiden Habibie dalam Sidang Umum MPR karena masalah Timor Timur. Dalam kutipan (131) tersebut menggunakan modalitas yang menyatakan makna 'pembiaran', yakni boleh saja. Sama dengan, modal "biar sajalah" dalam kutipan (129) dan (130) di atas, modal boleh saja mengandung makna 'tidak peduli', 'tidak melarang', dan `tidak meneguhkan'. Dengan demikian, YAB sebagai tokoh Partai Golkar dari faksi Iramasuka Nusantara ingin menunjukkan sikap faksinya yang tidak peduli, tidak melarang, dan tidak meneguhkan terhadap sikap elite politik lain yang mengklaim Timtim sebagai bagian dari Indonesia. h. Modalitas yang Menyatakan 'Perintah' Modalitas yang menyatakan makna 'perintah' ditandai oleh penggunaan katakata, antara lain wajib, harus, melarang, dilarang, tidak boleh, memerintahkan, dan jangan. Perhatikan kutipan (132) berikut. Kutipan (132): SBP: Saya selama ini sudah mengatakan bahwa para penjahat itu harus dihukum terlebih dahulu. Saya tidak mengatakan orde baru harus bubar. Tetapi, menurut pendapat saya, mereka harus dihukum. Golkar dan kroni-kroninya harus tidak boleh ikut pemilu. [Data 36.B.2(34)]
Kutipan (132) dicuplik dari teks pidato pembukaan debat calon presiden yang disampaikan oleh Sri Bintang Pamungkas. Topik yang diangkat adalah perlunya mengadili semua elemen yang terkait dengan pemerintahan Orde Baru sebagai syarat membentuk suatu sistem Indonesia Baru. Dalam kutipan (132) penghasil teks menggunakan beberapa mo-
440 dal, yakni harus yang menyatakan 'perintah', dan harus tidak boleh yang menyatakan larangan'. Dengan modal harus penghasil teks ingin menunjukkan autoritasnya di hadapan elit politik lainnya dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan yang dapat memberikan perintah kepada pihak lain atau pihak yang berwenang untuk melakukan sesuatu. Selanjutnya, perhatikan juga kutipan (133) berikut. Kutipan (133): SBY: [...] Maka, mesti dilakukan kajian secara mendalam dan saksama. Saya kira kurang cukup waktu untuk melakukan pekerjaan besar ini. Lebih baik bersepakat dulu secara nasional, perubahan macam apa, dengan cara apa. Apa cukup dengan Tap Majelis yang memperjelas sebagaimana Tap yang mengatur masa jabatan presiden? Atau dielaborasi dalam UU? Atau barangkali amandemen?[Data 49. B.6(35)]
Kutipan (133) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Gatra dengan Susilo Bambang Yudhoyono. Topik yang diangkat adalah tanggapan TNI terhadap pro dan kontra agenda utama SU MPR 1999. Dalam kutipan tersebut SBY menggunakan modalitas yang menyatakan 'perintah', yakni mesti. Dalam kutipan tersebut, SBY juga menggunakan modal saya kira yang menyatakan makna 'keteramalan'. Dengan modal mesti tersebut penghasil teks ingin menunjukkan autoritasnya kepada elite politik lain dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan agar elite politik Indonesia dapat berbuat sesuatu, yakni melakukan kajian yang mendalam, seksama, dan pertimbangan yang benar-benar masak sebelum melaksanakan amandemen atau pun perubahan terhadap pasal-pasal dalam Batang Tubuh UUD 1945. j. Modalitas yang Menyatakan 'Permintaant Modalitas yang menyatakan makna 'permiritaan' ditandai oleh penggunaan katakata, antara lain saya minta, saya mohon, silakan, tolong, dan mohon. Perhatikan kutipan (134) berikut.
441 Kutipan (134): SBY: Saya khawatir jika agendanya terlalu banyak justru nanti hasilnya tidak sempurna. Bisa jadi menimbulkan cacat barn dan tetap tersisa meski Sidang Umum MPR selesai. Jadi, tolong ini benar-benar dipahami oleh seluruh rakyat apalagi kalau ingin selesai dalam waktu kurang dan tiga bulan. [Data 49.B.2(36)] Kutipan (134) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Gatra dengan Susilo Barnbang Yudhoyono. Topik yang diangkat adalah tanggapan TNI terhadap pro dan kontra agenda utama SU MPR 1999. Dalam kutipan (134) SBY menggunakan modalitas yang menyatakan makna 'permintaan', yakni tolong. Dengan modal tolong tersebut penghasil teks meminta kepada seluruh masyarakat Indonesia umumnya dan khususnya elite politik agar benar-benar memahami plus minus amandemen terhadap Batang Tubuh UUD 1945 jika dilakukan dengan tergesa-gesa tanpa perencanaan yang matang. Efek yang diharapkan adalah kepatuhan mitra tutur untuk memenuhi permintaan penghasil teks. 4.2.2.3 Strategi Kehadiran Diri Strategi pars elite politik "menghadirkan dirinya" dalam komunikasi politik adalah persoalan bagaimana sejumlah elite politik Indonesia itu memilih bentuk pronomina persona ketika berkomunikasi dengan orang atau partisipan lain. Pilihan strategi kehadiran diri berimplikasi terhadap jarak sosial yang tercipta antara penutur dan petururnya. Beberapa strategi kehadiran diri yang digunakan dan dipilih oleh elite politik dalam komunikasi adalah (1) penggunaan pronomina persona jamak kita, dan (2) penggunaan pronomina jamak kami, (3) penggunaan pronomina persona tunggal saya, dan (4) peneeunaan nomina tertentu sebagai pengeanti pronomina. a. Strategi Kehadiran Did dengan Kita Pronomina persona kita cukup mendominasi dalam sejumlah pilihan strategi yang ada. Seorang elite politik dan pihak pemerintah yang berkuasa, misalnya, banyak meng-
442 gunakan kita ketika memberikan keterangan kepada khalayak. Hal itu dapat diperhatikan pada kutipan (135) berikut. Kutipan (135): HM: Bukan coal menang atau kalah. Karena pada prinsipnya yang menuntut itu bukan kita sebagai partai. Tetapi, rakyat Indonesia telah menegur PDI Perjuangan, mengapa PDI Perjuangan mau dijadikan tunggangan kelompok tertentu...[Data 22. B.2(37)] Kutipan (135) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Jawa Pos dengan Hartono
Mardjono. Topik yang diangkat adalah pro dan kontra calon legislatif nonmuslim yang mendominasi daftar caleg PDI Perjuangan yang diusulkan ke KPU. Dalam kutipan (135) penghasil teks menghadirkan dirinya dengan pronomina persona kita. Pronomina kita adalah pronomina persona jamak yang bersifat inldusif. Dalam kita terkandung kehadiran "saya" dan "Anda", "penutur" dan "petutur". Terdapat fenomena yang menarik dalam kutipan tersebut, yakni konstruksi kita sebagai partai. Secara normatif, penghasil teks seharusnya hadir dengan menggunakan pronomina persona "kami" sebagai media menghadirkan dirinya karena memang tuntutan yang paling keras berkaitan dengan dominannya caleg nonmuslim PDI Perjuangan dikemukakan oleh sejumlah elite partai dari Partai Bulan Bintang. Dalam konteks ini, penutur "melibatkan" dan "menyeret" petutur ke dalam persoalan yang mungkin saja hanya dipersoalkan oleh penutur secara eksklusif. Penutur memandang masalah tersebut bukan masalah saya semata yang bersifat eksklusif, tetapi kita yang bersifat inklusif Dalam kutipan (135) di atas terciapat proses pelibatan partisipan dari eksklusif ke inldusif. Fenomena seperti itu banyak dijumpai dalam pilihan strategi kehadiran diri oleh sejumlah elite politik pada era pasca-Orde Baru. Perhatikan juga kutipan (136) berikut.
443 Kutipan (136): SBP: Justru kelebihan [daripada] PUDI adalah itu. Kita ingin tentunya mengubah sistern. Pada masa lalu kita tidak melihat di mana-mana, saya kira sebagian besar dari partai-partai kita ini terjebak di dalam alam pikiran lama. ...Jadi memang kita sengaja tidak mengerahk[e]n massa. Kita pun tidak mampu. Kita pun tidak mampu membikin yang namanya podium seharga seratus juta. Kita tidak menjual bendera, kita tidak menjual massa. Kita menjual visi. Kita menjual konsep. [Data 36.B.2(38)]
Kutipan (136) dicuplik dari teks jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh moderator debat dalam sesi dialog debat calon presiden. Kutipan tersebut adalah sebagian jawaban yang disampaikan oleh Sri Bintang Pamungkas. Topik yang diangkat adalah penawaran program PUDI jika memenangkan pemilihan umum 1999. Dalam kutipan (136) tersebut penghasil teks menggunakan pronomina kita secara intensif. Pronomina kita digunakan sebanyak sepuluh kali. Dari sepuluh kali penggunaan, satu kali kita digunakan sebagaimana seharusnya seperti dalam konstruksi partai-partai kita, sementara itu sembilan kali kita mengandung makna politis. Sama dengan yang terdapat dalam kutipan (135) sebelumnya, penggunaan sebanyak sembilan kali kita dalam kutipan (136) juga mengandung makna pelibatan petutur ke dalam persoalan yang dihadapi oleh penutur meskipun petutur belum tentu menghadapi persoalan yang sama. Terdapat proses pelibatan dari eksklusif ke arah inklusif. Saya atau kami dengan sengaja melibatkan dan menyeret Anda ke dalam persoalan saya atau kami sehingga tampaknya menjadi persoalan kita. Selanjutnya, perhatikan juga kutipan (137) berikut. Kutipan (137): HS: Kita hams berpikir jemih dalam menyikapi masalah ini. Kalau saya boleh menggunakan analogi, kita ini kan berkeinginan memperbaiki rumah. Menurut saya, cara memperbaikinya bukan dengan merobohkan rumah yang telah kita bangun. Kalau dicabut, maka akan terjadi kekosongan peraturan. Apa yang kita gunakan sebagai pengganti lima UU yang dicabut tersebut. [Data 49.B.2(39)]
444 Kutipan (137) dicuplik dari teks basil wawancara wartawan Jawa Pos dengan Hari Sabarno, salah seorang elit dari Fraksi TNI. Topik yang diangkat adalah komentar TIN terhadap tuntutan pencabutan lima paket UU Politik karena tidak sesuai dengan semangat reformasi. Dalam kutipan (137) HS menggunakan pronomina kita dan says dalam penggunaan yang seharusnya. Penggunaan kita dalam kutipan tersebut mengimplikasikan keterlibatan "penutur" dan "petutur" dalam pengertian yang seharusnya. Kita dalam kutipan tersebut tidak mengandung makna politis. Kita yang digunakan dalam kutipan tersebut dipilih dengan makna orang pertama jamak yang inklusif. Selanjutnya, perhatikan juga kutipan (138) berikut. Kutipan (138): SSG: Itu nanti di dalam rangka ini, terserah kebijakan. Apakah istilah pendamping, apaapa itu urusan nanti. Yang penting kami mempunyai satu pemikiran, agar kongres ini...Yang jelas mated kongres sndah kits siapkan, ketetapan atau keputusan kongres juga sudah kita tetapkan. Sehingga untuk menghemat waktu dan menghemat dull, kita tidak menghendaki adanya bantuan dari pemerintah. [Data 11.B.2(40)]
Kutipan (138) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Skandal dengan Soetardjo Soerjogoentno, salah seorang elit PDI Perjuangan. Topik yang diangkat adalah masalah persiapan kongres PDI-P di Bali. Dalam kutipan (136) SSG menggunakan pronomina persona kami dan kita untuk acuan persona yang sama, yakni orang pertama jamak yang elcsIdusil Secara normatif, kita dalam kutipan tersebut adalah kami. Dengan demikian, terdapat fenomena penggunaan yang "goyah" antara kami dan kita untuk acuan persona yang sama. Penghasil teks terombang-ambing dalam pelibatan partisipan komunikasi antara yang eksklusif dan inklusif. Keterombang-ambingan penutur, dari pandangan paradigma kritis sebagai bagian dari politik komunikasi yang dijalankan oleh elite politik dalam pelaksanaan pengendalian dan dan penguasaan penutur kepada petuturnya.
445 b. Strategi Kehadiran Diri dengan Saya Sama dengan paparan di atas, strategi kehadiran diri dengan pronomina persona saya juga banyak digunakan oleh para elite politik dalam menjalankan komunikasi politiknya. Perhatikan kutipan (139) berikut. Kutipan (139): GD: Begini, tujuan saya mendatangi Pak Harto hingga tujuh kali itu kan untuk memberikan penjelasan kepada yang bersangkutan bahwa kondisi bangsa ini sedang seperti ini. Sehingga saya menyarankan agar Pak Harto bersedia membantu dengan melakukan begini dan begitu. Dulu, saya berharap hati Pak Harto bisa ditakhlukkan. Tetapi, setelah tujuh kali saya lakukan, ternyata saran-saran saya itu tidak dilaksanakan . [Data 33 .B.2(41)] Kutipan (139) dicuplik Bari teks hash wawancara wartawan Jawa Pos dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Topik yang diangkat adalah tanggapan Gus Dur terhadap komentar masyarakat yang memojokkan dirinya karena perilakunya yang kontroversial dengan mendatangi rumah mantan Presiden Soeharto. Dalam kutipan (139) GD menggunakan lima kali pronomina persona saya. Penggunaan saya oleh Gus Dur tersebut mengandung makna bahwa GD menghadirkan dirinya sebagai orang pertama tunggal. Dalam konteks tersebut GD menggithakan pronomina saya sesuai dengan aturan normatif penggunaan pronomina tersebut. Dengan demikian, pilihan tersebut tidak mengandung muatan kepentingan ideologis tertentu. Selanjutnya, perhatikan juga kutipan (140) berikut. Kutipan (140): AR: [...] Kemudian mengapa saya punya confidence untuk running for president, apa yang bisa saya tawarkan kepada rakyat Indonesia. Yang pertama barangkali track record saya yang insyaallah bersih dari insyaallah saya tidak kena pencemaran atau polusi, tidak bersinggungan dengan rezini lama Orde Baru. Saya kira sekian. Ter:ma kasih. [Data 15.B.2(42)] Kutipan (140) dicuplik dari teks pidato pembukaan debat calon presiden yang disampai kan oleh Amien Rais. Topik yang diangkat adalah perlunya segera menyelenggarakan
L446 pemilu untuk mengakhiri krisis politik di Indonesia. Dalam kutipan (140) di atas AR menggunakan strategi kehadiran diri dengan pronomina persona saya. AR hadir debat tersebut sebagai "orang pertama tunggal". Sesuai dengan konteks komunikasinya, yakni "debat calon presiden" yang bertujuan menguji wawasan orang per orang para calon presiden, penggunaan saya oleh AR tersebut sesuai dengan nonna penggunaan pronomina yang berlaku. Selanj utnya, perhati kan j uga kutipan (141) berikut. Kutipan (141): SBY: Asumsi yang dibangun oleh sebagian masyarakat—saya tidak yakin kalau asumsi itu pandangan seluruh masyarakat Indonesia—saya amat yakin itu buah pikiran kelompok masyarakat. ABRI sangat tidak setuju dengan asumsi-asurnsi itu dan memang bukan itu tujuan ABR1 untuk mengadakan dialog. Saya tidak sependapat dengan pandangan "coba kita lihat, mampu tidak pemerintah menyelesaikan krisis ini dalam jangka waktu sekian bulan". Bagi ABRI, apa memang hanya tanggung jawab pemerintah menyelesaikan krisis. Tanggung jawab kita. [Data 49.B.2(43)]
Kutipan (141) dicuplik dan teks hasil wawancara wartawan Republika dengan Susilo Bambang Yudhoyono. Topik yang diangkat adalah tanggapan institusi TNI/ABRI terhadap tuntutan reformasi yang dikemukakan oleh mahasiswa Indonesia. Dalam kutipan (141) tersebut penghasil teks hadir dengan beberapa strategi, yakni pronomina persona saya dan kita, serta nomina ABRI. Penggunaan saya dalam kutipan (141) menimbulkan pertanyaan pokok. Siapakah saya dalam kutipan tersebut? Pronomina saya dapat mengacu kepada "SBY sebagai orang pertama tunggal" yang lepas Bari baju institusinya. Pronomina saya juga dapat mengacu kepada "SBY sebagai orang pertama tunggal yang menggunakan baju institusi". Dalarn konteks institusi TNILABR I, sejumlah agen yang hadir akan menyuarakan "suara kolektif' sesuai dengan garis kepemimpinan TNI/ ABRI yang bersifat lini. Dengan demikian, pronomina saya dapat mendua makna, yakni saya sebagai orang pertama tunggal dan saya sebagai institusi TNI/ABRI. Untuk menambah pema-
447 haman tentang pilihan strategi kehadiran diri dengan saya, selanjutnya perhatikan juga kutipan (142) berikut. Kutipan (142): SEY: Bisa dikatakan andil yang terbesar itu. Bisa Anda bayangkan kalau seandainya saya sebagai salah sate ketua harian Partai Golkar mengintruksikan untuk meladeni, apa jadinya nanti. Tapi kita masih memikirkan nasib bangsa dan negara ini. Seandainya kita meladeni maka akan terjadi apa yang dinamakan civil war atau perang sipil. [Data 33.B.2(44)] Kutipan (142) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Skandal dengan Slamet Ef-
fendy Yusuf, salah seorang ketua harian Partai Golkar. Topik yang diangkat adalah tanggapan Partai Golkar terhadap hujatan sejumlah komponen masyarakat yang ditujukan kepada Partai Golkar karena partai ini dianggap memiliki saham di dalam proses kehancuran bangsa. Dalam kutipan (142) tersebut SEY menggunakan dua strategi kehadiran diri, yakni strategi saya dan kita. Penggunaan pronomina saya dalam kalimat di atas sesuai dengan norma sosiolinguistis yang berlaku, yakni "orang pertama tunggal". Hanya saja, dalam konteks tersebut, penggunaan saya mengandung nuansa makna "penonjolan kekuasaan". Sementara itu, penggunaan pronomina kita dalam kedua kalimat di atas mengandung makna ideologis-politis, yakni melibatkan petutur ke dalam persoalan penutur meskipun petutur itu belum tentu menghadapi persoalan yang sama. Dua fenomena itu mengandung proses pelibatan partisipan "orang kedua" ke "orang pertama jamak" dalam sebuah komunikasi politik. c. Strategi Kehadiran Diri dengan Kami Meskipun tidak sebanyak pronomina kita, strategi kehadiran diri dengan pronomina persona kami juea cukup banyak digunakan oleh para elit politik dalam menjalankan komunikasi politiknya. Seperti sudah dipaparkan pada bagian sebelumnya, pronomi-
448 na persona kami sering digunakan secara bergantian dengan kita. Perhatikan kutipan (143) berikut. Kutipan (143): MDI: Begin, sebelum saya menjawab pertanyaan Anda tersebut, terlebih dahulu saya ingin menjelaskan tentang Iramasuka yang Anda sebut tadi. Ide dasar Iramasuka semestinya untuk mengimbangkan pemerataan antara kawasan barat dan timur. ...Persoalan itu bagi kami merupakan persoalan serius. Kalau terus menerus dibiarkan, bisa dipastikan akan menimbulkan dampak yang kurang baik bagi negeri ini. [Data 33.B.2(45)] Kutipan (143) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Jana Pos dengan Marwah Daud Ibrahim. Topik yang diangkat adalah peran kaukus Iramasuka Nusantara dalam memperjuangkan pemerataan pembangunan di kawasan timur Indonesia. Dalam kutipan tersebut MDI menggunakan dua strategi kehadiran diri, yakni strategi saya dan kami. Kedua strategi tersebut digunakan sebagaimana seharusnya sesuai dengan norma-norma sosiolinguistis. Penggunaan saya oleh MDI dalam konteks 'orang pertama tunggal', yakni sebagai pribadi is wajib menjawab pertanyaan dan mitra bicara (wartawan) dengan tanpa melibatkan institusi kolektifnya. Demikian juga, penggunaan kami dalam kalimat terse-but mengandung makna 'orang pertama jamak', yakni sebagai sekelompok orang yang termasuk ke dalam kelompok saya dan aku yang berlcwnpul menjadi kami yang merasakan adanya ketidakadilan dalam pembangunan. Dalam pandangan MDI, kelompok orang yang termasuk Anda, kamu, kalian, dan kalian semua tidak termasuk ke dalam kelompok yang merasakan ketidakadilan itu. Sebaliknya, Anda, kamu, kalian, dan kalian semua mungkin saja orang yang melakukan penyebab ketidakadilan itu. Dengan demikian, penggunaan kami dalam kutipan (143) di atas sudah sesuai dengan norma sosiolinguistis, yakni pronomina saya untuk orang pertama tunggal dan kami untuk orang pertama jamak. Selanjutnya, perhatikan juga kutipan (144) berikut.
449 Kutipan (144): SEY: [...] Saya berharap partai-partai yang akan berkampanye nanti menjual produk atau program mereka sendiri....Kami juga mengusulkan agar model debat antarparpol lebih diperbanyak. Baik itu melalui media elektronik maupun media cetak. Kami juga mengusulkan kalau memang suatu partai bisa membeli jam tayang untuk kampanye, KPU hams memberikan kesempatan. [Data 33.B.2(46)] Kutipan (144) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Jawa Pos dengan Slamet Effendy Yusuf. Topik yang diangkat adalah tanggapan Partai Golkar terhadap pelaksanaan kampanye pemilu secara tidak langsung sebelum jadwal kampanye diumumkan. Dalam kutipan tersebut SEY menggunakan dua strategi kehadiran diri, yakni strategi saya dan kami. Penggunaan pronomina saya dalam kutipan di atas sesuai dengan norma-norma interaksi, yakni saya dalam pengertian 'orang pertama tunggal'. Sebagai pribadi is memiliki hak untuk menggunakan pronomina saya dalam mengemukakan suatu pendapat. Demikian juga, penggunaan pronomina kami dalam kutipan tersebut hadir dalam pengertian 'orang pertama jamak'. Sebagai pribadi yang membawa misi partai, SEY mewakili institusi Partai Golkar yang di dalamnya berkumpul sejumlah aku atau saya yang secara kolektif mengusulkan sesuatu kepada pihak lain. Pronomina kami, seperti sudah dipaparkan sebelumnya, sexing digunakan secara bergantian dengan kita untuk kepentingan politis, seperti pada kutipan (145) berikut. Kutipan (145): SBY: Dalam paradigma bare kami ya, TNI ingin memberikan ruang yang lebih luas kepada komponen bangsa di luar TNI untuk mengambil inisiatif yang tepat. Sebab, kalau kita yang mengambil prakarsa, suasana psikologis bangsa belum memungkinkan. Niat baik TNI untuk ikut mencari solusi dengan cepat bisa ditangkap Eebagai intervensi barn TNI dalam politik nasional. Tapi, kami tidak apatis, tidak masa bodoh. Kami tetap mencermati dinamika yang berkembang sekarang. [Data 49.B.7(11)] Kutipan (145) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Gatra dengan Susilo Barnbang Yudhoyono. Topik yang diangkat adalah masalah usulan dari berbagai komponen
450 masyarakat agar UUD 1945 diamandemen dalam Sidang Umum MPR 1999. Dalam kutipan tersebut SBY menggunakan dua macam strategi kehadiran diri, yakni strategi ka-mi dan kita. Penggunaan pronomina kami dalam kutipan di atas sesuai dengan norma-norma interaksi, yakni kam dalam pengertian 'orang pertama jamak'. Kami dalam ku-tipan di atas adalah 'kumpulan dari orang pertama tunggal' yang duduk di dalam institusi TNUABRI. Dengan demikian, penggunaan kami dalam konstruksi "paradigma baru kami", "kami tidak apatis", dan "kami tetap mencermati dinamika" sudah sesuai dengan penggunaan yang seharusnya. Akan tetapi, ketika kami ingin mengambil prakarsa politik Indonesia, penghasil teks hadir dengan kita. Ini sekali lagi menunjukkan bahwa penutur tidak bersedia menanggung resiko sendiri, tetapi melibatkan petutur atau orang ke dua untuk terlibat di dalam persoalan penutur. d. Strategi Kehadiran Diri dengan Nomina Tertentu Selain tiga strategi di atas, sejumlah elite politik hadir dengan memilih strategi dengan menggunakan nomina tertentu untuk menggantikan kata-kata kita, saya, atau kami. Perhatikan kutipan (146) berikut. Kutipan (146): SEY: Golkar memandang kurun waktu tersebut terlalu lama. Sekarang ini kan sebenarnya telah terjadi kampanye partai-partai di masyarakat. Partai-partai saat ini bebas menggelar deklarasi, memasang spanduk, umbul-umbul, bendera, dan membangun posko-posko. Jadi, kampanye ini sebenarnya sudah dimulai. [Data 33. B.2(48)] Kutipan (146) dicuplik dan teks basil wawancara wartawan Jawa Pos dengan Slamet Effendy Yusuf. Topik yang diangkat adalah masalah niulai maraknya kampanye terselubung partai-partai peserta pemilihan umum tahun 1999. Dalam kutipan (146) penghasil teks hadir dengan menggunakan strategi "nomina", yakni Golkar. Meskipun pertanyaan yang diaju-kan itu ditujukan kepada Anda, penghasil teks tidak menjawab dengan pronomina
451.
diaju-kan itu ditujukan kepada Anda, penghasil teks tidak menjawab dengan pronomina tertentu, seperti saya, kami, atau bahkan kita. Dalam konteks ini, SEY lebih memilih hadir dengan wajah institusinya. Hal ini sesuai dengan hakikat wacana institusi di mana subjek individu akan lebur ke dalam subjek institusi. Suara yang diaktualisasikan oleh subjek individu adalah hasil dan banyak tangan individu-individu yang terlibat dalam institusi tersebut. Selanjutnya, perhatikan juga kutipan (147) berikut. Kutipan (147): ABT: Sudah kita putuskan dalam rapat di Dewan Pimpinan Pusat PAN bahwa kami tak akan berkoalisi dengan siapa-siapa. Kami tak ingin mengambil inisiatif mencalonkan Amien sebagai presiden....[Data 15.B.2(49)] Kutipan (147) dicuplik dan teks hasil wawancara wartawan Gatra dengan Abdillah Toha. Topik yang diangkat adalah masalah mundurnva Amien Rais dan bursa calon presiden karena perolehan PAN yang tidak signifikan pada pemilu tahun 1999. Dalam kutipan (147) penghasil teks hadir dengan strategi pronomina kita dan kami meskipun pertanyaan yang diajukan ditujukan kepada institusi PAN. Hal ini berbeda dengan fenomena pilihan strategi kehadiran diri dengan nomina meskipun pertanyaan yang diajukan ditujukan kepada pronomina kedua Anda. Fenomena pilihan strategi kehadiran diri dengan penggunaan nomina tertentu seperti pada kutipan (146) di atas banyak dijumpai dalam teks-teks kampanye partai politik peserta pemilu tahun 1999. Dalam menyampaikan program-programnya atau dalam dialog antarpartai, para juru kampanye cenderung hadir dengan strategi kehadiran nomina, yakni nama partai yang diwakilinya. Hal ini wajar karena para jurkam itu hadir atas nama partainya, bukan atas nama pribadi. pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada jurkam tertentu selalu menggunakan nomina nama partai, bukan pronomina tertentu.
452 4.2.3 Nilai Ekspresif Sesuai dengan jalan pikiran Fairclough (1989:128), piranti gramatika yang mengandung nilai ekspresif adalah modalitas, khususnya modalitas ekspresif. Seperti sudah dipaparkan pada bagian sebelumnya, modalitas ekspresif berkenaan dengan persoalan autoritas penutur dalam kaitannya dengan kebenaran atau kemungkinan representasi realitas. Modalitas ekspresif akan berupa evaluasi penutur terhadap kebenaran. Senada dengan modalitas relasional, modalitas ekspresif terdiri atas modalitas yang menyatakan makna 'keharusan', 'keteramalan', 'kemampuan', 'kepastian', dan sebagainya. 4.2.3.1 Modalitas yang Menyatakan 'Keharusant Modalitas yang menyatakan makna 'keharusan' ditandai oleh penggunaan katakata modal, antara lain harus, mesti, wajib, harusnya, dan seharusnya. Perhatikan kutipan (148) berikut. Kutipan (148): AWM: Sebelum saya menjelaskan hal tersebut perlu ditekankan di sini bahwa ABRI dalam gerakan reformasi selalu mendukung reformasi yang mengarah ke kondisi yang lebih baik. Sekarang ini tampaknya belum ada kesepakatan bersama soal itu. Jangan lupa, reformasi harus dijalankan sesuai dengan UUD 1945, Pancasila, memperhatikan stabilitas nasional, persatuan dan kesatuan bangsa, serta dilakukan secara kesinambungan. [Data 49.B.3(1)] Kutipan (148) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Jawa Pos dengan Abdul Wahab Makodongan, Kepala Pusat Penerangan TNI/ABRI. Topik yang diangkat adalah tanggapan institusi 'TNI/ABRI terhadap tuntutan mahasiswa dan kelompok pro demokrasi agar pemerintah mereformasi segala bidang. Dalam kutipan (148) di atas penghasil teks menggunakan modalitas yang menyatakan makna 'keharusan'. Dengan modal harus tersebut institusi TNI/ABRI ingin menunjukkan autoritasnya dalam memandang kebenaran, yakni reformasi yang baik adalah reformasi yang dijalankan sesuai dengan UUD 1945
453 dan Pancasila, reformasi yang memperhatikan stabilitas nasional dan persatuan serta kesatuan bangsa, reformasi yang dilakukan secara kesinambungan. Selanjutnya, perhatikan juga kutipan (149) berikut. Kutipan (149): SBP: Kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh rezim Soeharto selama tiga puluh tahun, bukan alang kepalang, baik sistem sosial, ekonomi, politik, maupun budaya, ditambah dengan pertumpahan darah di mana-mana di Indonesia. Oleh karena itu, sistem ini harus diperbaiki, harus diubah. Orde Baru harus ditumbangkan. Apa pun yang terjadi, Orde Baru yang ingin menang harus dikalahkan. [Data 36.B. 3(2)]
Kutipan (149) dicuplik dan teks pidato pembukaan debat calon presiden yang disampaikan oleh Sri Bintang Pamungkas. Topik yang diangkat adalah masalah kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh pemerintahan Orde Ban' selama lebih kurang tiga puluh tahun berkuasa di Indonesia. Dalam kutipan (149) tersebut penghasil teks menggunakan modalitas yang menyatakan makna leharusare. Dengan modal harus tersebut, SBP sebagai ketua partai yang menjadi simbol perlawanan terhadap Orde Baru ingin menunjukkan autoritasnya dalam memandang kebenaran, yakni tidak diperbolehkannya Orde Baru untuk muncul kembali di panggung politik Indonesia karena dosa dan kesalahan yang sudah diperbuat selama memerintah. 4.2.3.2 Modalitas yang Menyatakan 'Keteramalan' Modalitas yang menyatakan makna 'keteramalan' ditandai oleh penggunaan katakata, antara lain akan, saya kira, saya rasa, saya pikir, agaknya, kelihatannya, diduga, dikira, dan menu rut pendapat saya. Perhatikan kutipan (150) berikut. Kutipan (150): SH: Saya kira ide pembentukan komite itu sendiri akan menimbulkan berbagai permasalahan. Siapa yang nantinya memberikan mandat. Siapa yang akan membentuk. Kepada siapa akan bertanggung jawab. [Data 49.B.3(3)]
454 Kutipan (150) di atas dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Jawa Pos dengan Syarwan Hamid. Topik yang diangkat adalah tanggapan pemerintah terhadap ide pembentukan Komite Nasional untuk menggantikan MPR yang masih dianggap produk pemerintahan Orde Baru. Dalam kutipan tersebut SH menggunakan modalitas yang menyatakan makna 'keteramalan'. Dengan modal saya kira dan akan penghasil teks ingin menunjukkan autoritasnya dalam memberikan "prediksi" atau "ramalan" terhadap suatu kebenaran akan realitas, yakni pembentukan Komite Nasional hanya akan mendatangkan berbagai persoalan yang sulit untuk dipecahkan. 4.2.3.3 Modalitas yang Menyatakan 'Kepastian' Modalitas yang menyatakan makna Icepastian' ditandai oleh penggunaan kata-kata antara lain pasti, tentu, saya yakin, saya percaya, dan tentunya. Perhatikan kutipan (151) berikut. Kutipan (151): AR: Saya terlalu yakin jika Golkar dibiarkan sendiri dia akan kempes dan tidak akan pemah melampaui 12% peraihan suaranya. Itu berarti berita gembira buat bangsa Indonesia sebab kita perlu pembaharuan.Golkar tidak boleh lagi memimpin bangsa ini karena putra terbaik bangsa yang lain yang akan memimpin bangsa memasuki abad ke-21. [Data 15 .B .3(4)] Kutipan (151) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Gatra dengan Amien Rais. Topik yang diangkat adalah tanggapa AR terhadap pencalonan Habibie sebagai calon presiden dari Partai Golkar. Dalam kutipan (151) di atas penghasil teks menggunakan modalitas yang menyatakan 'kepastian'. Dengan modal terlalu yakin AR ingin menunjukkan aatoritasaya dalam memberikan evali Iasi kepada elite politik lain dan seluruh masyarakat Indonesia bahwa realitas yang ada pada Partai Golkar semakin hari menunjukkan adanya pembusukan.
455 4.2.3.4 Modalitas yang Menyatakan 'Harapan' Modalitas yang menyatakan makna 'harapan' ditandai oleh penggunaan kata-kata antara lain harap, mengharapkan, berharap, mudah-mudahan, semoga, dan hendaknya. Perhatikan kutipan (152) berikut. Kutipan (152): AR: Kemudian yang ketiga saya melihat bahwa kesempatan yang paling bogus untuk menaucapkan masa lalu yang penuh dengan KKN, yang penuh dengan kedzaliman sosial ekonomi dan lain-lain itu memang lewat pemilu saja yang free dan fair yang jujur dan adil dan mudah-mudahan dengan pemilu yang jurdil itu bisa dimiliki sebuah parlemen DPR yang juga kredibel di mata rakyat dan mudahmudahan pemerintahan mendatang juga cukup absah mewakili kita dengan itu saja kira-kira kita sudah membangun sistem demokrasi kita di masa-masa mendatang. [Data 15. B.3(5)] Kutipan (128) dicuplik dari teks pidato pembukaan debat calon presiden yang disampaikan oleh Amien Rais. Topik yang diangkat adalah pandangan Amien Rais sebagai kandidat calon presiden tentang situasi dan kondisi bangsa Indonesia. Dalam kutipan (128) penghasil teks menggunakan modalitas yang menyatakan makna 'harapan', yakni mudahmudahan. Dengan modal mudah-mudahan penghasil teks ingin menunjukkan autoritasnya dalam berharap terhadap sesuatu kepada elite politik dan seluruh masyarakat Indonesia, yakni pemilu yang jujur dan adil akan menghasilkan parlemen yang kredibel dan pemerintahan yang absah. Dan paparan di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa modalitas dalam bahasa Indonesia cukup didayagunakan dalam pemunculan autoritas individu atau institusi, baik yang berkaitan dengan partisipan lain dalam komunikasi maupun berkaitan dengan evaluasi terhadap kebenaran realitas. Satu catatan venting dapat dikemukakan bahwa modalitas relasional dan ekspresif ini tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Satu contoh kutipan modalitas mungkin saja dapat ditinjau dari kedua modalitas tersebut.
456 4.2.4 Catatan Penutup: Sebuah Penjelasan Paparan di atas masih belum menjawab persoalan "mengapa" sebuah bentukan gramatika tertentu dipilih dan dianggap istimewa oleh elite politik tertentu, sebaliknya ditinggalkan dan tidak dianggap istimewa oleh elite politik lainnya. Rumusan ini mengantarkan kita kepada tahap eksplanasi yang menjadi analisis terakhir dalam analisis wacana kritis. Dalam tahap eksplanasi ini wacana politik Indonesia era pasca-Orde Baru akan ditempatkan dalam sebuah elemen dari "proses sosiokultural" pada dua tataran, yakni (1) tataran institusional dan (2) tataran sosial. Tahap eksplanasi ini akan menunjukkan bagaimana kedua proses itu secara ideologis ditentukan oleh relasi-relasi kekuasaan dan pertarungan kekuasaan pada kedua tataran. Tahap ini juga akan menunjukkan bagaimana proses sosiokultural itu secara ideologis determinatif dari relasi-relasi kekuasaan dan pertarungan kekuasaan pada kedua tataran itu. Mengambil pandangan Fairclough (1989:192-194), tahap eksplanasi ini dikembangkan dari dua pertanyaan besar yang akan menjadi acuan dalam paparan ini. Pertanyaan pertama yang diajukan adalah "proses institusional apa yang terjadi dalam teks politik era pasca-Orde Baru dan bagaimana proses itu secara ideologis 'ditentukan' oleh relasirelasi kekuasaan dan pertarungan kekuasaan serta determinatif dari relasi-relasi kekuasaan dan pertarungan kekuasaan pada kedua tataran di atas". Untuk menjawab pertanyaan pertama ini peneliti mendayagunakan berbagai informasi yang terdapat dalam institusi politik, seperti partai politik, parlemen, institusi pemerintahan, dan media massa. Pertanyaan kedua yang diajukan adalah "proses sosiokultural apa yang terjadi dalam teks politik dan bagaimana proses itu secara ideologis 'ditentukan' oleh relasi-relasi kekuasaan dan pertarungan kekuasaan serta determinatif dari relasi-relasi kekuasaan dan pertarung-
457 an kekuasaan pada kedua tataran di atas". Untuk menjawab pertanyaan kedua, peneliti mendayagunakan berbagai informasi yang terdapat dalam sistem sosial dan budaya Indonesia yang melatarbelakangi para elite politik Indonesia. 4.2.4.1 Proses In stit us lona' Terdapat sebuah proses institusional yang cukup kompleks dalam wacana politik Indonesia pada era pasca-Orde Baru. Proses itu berupa "pertarungan" lintas institusi _yang akhirnya bermuara ke dalam wacana politik. Pilihan dan pemaknaan terhadap penggunaan bentuk-bentuk gramatika tertentu amatlah dipengaruhi oleh asumsi-asumsi yang dibangun elite politik pada tataran institusi. Dalam pilihan sistem ketransitifan, misalnya, amatlah ditentukan oleh institusi yang melingkupi dan mendeterminasi elite politik. Da-lam konteks ini terdapat suatu "pertarungan pilihan ketransitifan" yang amat kontradiktif antara institusi pemerintah yang dianggap resmi dan institusi nonpemerintah yang mengklaim dirinya sebagai kelompok pro demokrasi. Institusi pemerintah sangat menonjolkan peran "proses" klausa sebagai pembawa ideologi institusi. Verba-verba yang menduduki proses, yakni ingin menyelamatkan, tidak bisa menjalankan, tidak pernah akan mendorong dan mendukung, dan selalu mendukung cukup ditonjolkan dalam pilihan klausa. Verbaverba yang mendatangkan makna tmempertahankan apa yang sudah ada' begitu diperjuangkan melalui berbagai proses naturalisasi agar menjadi bagian dari kesadaran masyarakat Indonesia. Sebaliknya, institusi nonpemerintah sangat menonjolkan peran "goal" dalam klausa atas ungkapan-ungkapan politik yang lebih didominasi ragam pasif Nomina-nomina seperti disintegrasi, Orde Baru, Orde Baru yang ingin menang, dan mereka (Orde Baru) cukup ditonjolkan dalam pilihan klausa. Nomina-nomina yang mendatangkan makna 'pembaharuan di segala bidang kehidupan' begitu diperjuangkan
k58 melalui-berbagai proses naturalisasi agar menjadi bagian dari kesadaran masyarakat Indonesia. Di luar kedua institusi di atas, institusi yang memiliki sejarah masa lalu dengan Partai Masywni yang pernah jaya pada pada pemerintahan Orde Lama dan sudah dibubarkan oleh Soekarno menonjolkan peran "keterangan" klausa sebagai pembawa ideologi konstitusi. Pengisi keterangan, seperti di atas sistem yang kuat, pada satu orang seperti yang terjadi di 53 tahun belakangan ini, dan bukan tunduk pada orang menempatkan posisi ideologi penghasil teksnya, yakni "pementingan sistem yang mantap, bukan pada figur". Ideologi itu begitu diperjuangkan melalui berbagai proses naturalisasi agar menjadi bagian dari kesadaran masyarakat Indonesia. Dalam pilihan nominalisasi, antara institusi pemerintah yang berkuasa dengan institusi kelompok pro demokrasi tidak terlalu terjadi pertarungan antarinstitusi itu. Terdapat kesamaan dalam pilihan nominalisasi itu, yakni adanya kecenderungan menyembunyikan ide dasar yang lebih penting ke dalam penggunaan nominalisasi agen dan mengedepankan ide yang kurang penting ke dalam bagian yang menduduki "proses" dalam klausa yang menggunakan pola urutan "agen+proses+goal" atau "agen+proses". Dalam pilihan kalimat pasif, antara institusi pemerintah yang berkuasa dengan institusi kelompok pro demokrasi tidak terlalu terjadi pertarungan antarinstitusi itu. Terdapat kesamaan dalam pilihan kalimat pasif, yakni terdapatnya kecenderungan memilih bentuk pasif yang berverba "di-", kemudian diikuti oleh pasif dengan verba "ter-", dan yang terakhir pasif dengan pengedepanan objek atau pasif persona. Dengan demikian, elite politik Indonesia memiliki kecenderungan menggunakan pasif tanpa kehadiran agen. Pilihan bentuk ini mengakibatkan persoalan "kausalitas" dan "peragenan" yang tidak jelas. Ketidakhadiran agen dalam pilihan pasif "di-" menimbulkan kesan bahwa ekspresi
459 tersebut lebih bersifat impersonal, kaku, dan formal. Sebaliknya, bentuk pasif yang dapat menim-bulkan kesan sebuah ekspresi yang bersifat personal, lentur, dan informal tidak terlalu dipilih oleh elite politik Indonesia. Dalam pilihan kalimat positif dan negatif, antara institusi pemerintah yang berkuasa dengan institusi kelompok pro demokrasi tidak terlalu terjadi pertarungan antarinstitusi itu. Terdapat kesamaan dalam pilihan kalimat positif dan negatif, yakni kecenderungan memilih bentuk negatif yang menjalankan fungsi "manipulatif" dan "ideologis". Elite politik Indonesia cenderung menggunakan bentuk negatif meskipun terdapat bentuk positifnya yang lebih bersifat langsung dalam melaporkan realitas. Fenomena tidak terjadinya pertarungan antarinstitusi juga terjadi pada pilihanpilihan modus kalimat, modalitas relasional, strategi kehadiran diri, dan modalitas ekspresif Terdapat kecenderungan fenomena yang sama dalam pilihan masing-masing bentuk gramatika tersebut. Pilihan modus-modus kalimat deklaratif, interogatif, dan imperatif yang dilakukan oleh sejumlah elite politik Indonesia, baik dan institusi pemerintah maupun nonpemerintah memiliki kecenderungan yang sama. Demikian juga dengan yang terjadi dalam pilihan-pilihan modalitas dan strategi kehadiran diri juga menunjukkan kecenderungan karakteristik yang sama. 4.2.4.2 Proses Sosiokultural Terdapat sebuah proses sosiokultural yang cukup kompleks dalam wacana politik Indonesia pada era pasca-Oide Baru. Proses itu berupa "pertarungan" lintas sistem sosiobudava "lama" dan sistem sosiobudaya "barn". Sistern budaya lama Indonesia yang didominasi oleh sistem budaya Jawa mendapat tantangan sistem budaya yang lebih global yang secara normatif tidak sesuai dengan budaya lama. Memanfaatkan pandangan Ali-
460 sjahbana (1982:1986), proses sosiokultural yang terjadi dalam wacana politik Indonesia adalah "pertarungan" antara sistem budaya "ekspresif' dan "progresif', termasuk di dalamnya sistem budaya yang berdasarkan "agama". Masih berkuasanya alam pikiran lama yang tercermin dalam pilihan sistem ketransitifan yang dilakukan oleh sejumlah elite politik Indonesia. Sistem budaya lama yang dipersonifikasikan pada diri institusi pemerintah yang berkuasa mendapat tantangan dari sistem budaya baru yang dipersonifikasikan pada din institusi nonpemerintah. Sistem budaya lama yang bermuara pada ideologi mempertahankan apa yang sudah ada mendapat tantangan dari sistem budaya baru yang bermuara pada ideologi pembaharuan di segala bidang kehidupan. Pada tataran gramatika ini, pertarungan antara "sistem budaya lama" dengan "sistem budaya barn" mendapat bantuan pencerahan dari jalan tengah, yakni dari sistem budaya Islam, sistem budaya agama dari salah satu agama besar di Indonesia. Dalam pandangan sistem budaya ini, ajaran agama haruslah dijadikan sumber moral dalam menjalankan aturan pemerintahan. Oleh karena itu, yang terpenting dalam melaksanakan roda pemerintahan Indonesia adalah perlunya diperjuangkan ideologi yang dapat memperbaiki Indonesia, yakni pementingan sistem yang mantap, bukan figur. Dua catatan penting tentang sistem budaya agama Islam perlu dikemukakan. Pertama, dalam kaitannya dengan nilai kuasa, Islam memandang bahwa kekuasaan ada sematamata di tangan Allah dan manusia sebagaimana isi alam yang lain takhluk sepenuhnya kepada-Nya. Allah adalah sumber dari segala kekuasaan. Ini amat relevan dengan jabaran ideologi yang diperjuangkan, yakni menemukan "aturan main yang mantap, bukan tokoh yang memiliki banyak kelemahan di hadapan Tuhan". Kedua, dalam kaitannya dengan nilai solidaritas, Islam mengajarkan bahwa kedudukan manusia itu sama saja di hadapan
461 Tuhan dan alam semesta. Islam tidak memandang asal-usul, suku, pekerjaan, status kedudukan, kekuasaan, dan sebagainya. Semuanya sama di hadapan Tuhan-Nya. Yang membedakan satu dengan lainnya adalah tingkat ketakwaan tiap-tiap individu. Ideologi "pementingan pembentukan sistem yang mantap" diperjuangkan dalam rangka untuk mengaplikasikan nilai solidaritas itu. Sesama manusia hams sating mengasihi karena mereka itu pada hakikatnya bersaudara. Nilai demokratis dijunjung tinggi. Selain dapat dipandang dari pertarungan lintas sistem sosiokultural, pendayagunaan gramatika juga dapat dipandang dari perspektif usaha elite politik untuk memberikan "kontribusi ke arah perjuangan sosial". Perjuangan elite politik dalam menaturalisasikan ideologi yang dipegangnya dilakukan melalui pendayagunaan aspek-aspek gramatika itu. Pendayagunaan kalimat negatif, misalnya, elite politik memiliki kecenderungan yang cukup besar memilih bentuk-bentuk negasi yang menjalankan fungsi manipulatif dan ideologis. Elite politik lebih memiliki kecenderungan memilih bentuk negatif meskipun ide itu dapat disampaikan dalam bentuk positifnya. Sebaliknya, bentuk negasi yang menjalankan fungsi "negasi yang sesungguhnya" sedikikit dipilih. Dalam konteks pilihan pronomina persona pertama inldusif dan eksklusif yang sering ditumpangtindihkan, kita dapat menyikapinya sebagai goyahnya elite politik dalam menempatkan posisi dalam dua institusi, yakni institusi partai atau kelompok in-group-nya dengan institusi masyarakat yang lebih bias. Kedua institusi memiliki kekuatan determinasi yang amat besar sehingga elite politik sering tidak memiliki kesempatan dalam menampilkan jatidirinya. Identitas yang muncul adalah identitas kolektif yang tidak dapat dihindarkan. Tindak ujaran yang dikemukakan juga merupakan tindak ujaran kolektif sebagai perwujudan subjek institusinya. Individu yang unik sering terkungkung oleh "tangan-tangan" di balik institusi itu.
462 4.3 Pendayagunaan Struktur Teks dalam Wacana Politik Kajian terhadap struktur tekstual akan berisi rincian tentang (1) konvensi-konvensi interaksional yang digunakan, dan (2) pengurutan dan penyusunan teks. Kajian ten-tang konvensi interaksional yang digunakan akan memerikan (a) sistem pengambilan giliran (turn-taking), dan (b) pengontrolan mitra tutur. Kajian tentang pengurutan dan penyusunan teks akan memerikan tentang bagaimana teks-teks politik itu disusun secara berurutan Bari awal sampai akhir. Dua pertanyaan besar yang muncul berkaitan dengan struktur tekstual politik Indonesia pada era pasca-Orde Baru adalah (1) konvensi-konvensi interaksional apa yang digunakan dalam teks-teks politik, dan (2) bagaimana elemen-elemen teks-teks politik diurutkan sehingga terbentuk sebuah teks politik yang utuh. Pertanyaan pertama ditujukan kepada teks-teks politik yang terkategorikan ke dalam teks-teks dialog. Pertanyaan kedua ditujukan kepada teks-teks politik, baik yang berupa dialog maupun monolog. Analisis terhadap struktur teks politik akan menginformasikan berbagai hal yang berkaitan dengan "kekuasaan dan "solidaritas" yang diaktualisasikan melalui struktur teks itu. Secara garis besar, hasil analisis menunjukkan bahwa elite politik Indonesia pada era pasca-Orde Baru begitu mendayagunakan piranti struktur teks untuk kepentingan politikriya. Gilir tutur, misalnya, banyak didayagunakan oleh elite politik untuk menunjukkan kekuasaan yang dimilikinya. 4.3.1 Konvensi Interaksional Dua hal yang inenonjol dalam konvensi interaksi dalam teks-teks dialog politik era pasca-Orde Baru adalah (1) pengelolaan gilir-tutur (turn-taking), dan (2) sistem pengontrolan antarpartisipan. Untuk yang pertama, pengelolaan gilir-tutur dalam teks-teks
463 politik dilakukan melalui seperangkat aturan dengan moderator dialog sebagai pengelola pokok dialog. Proses transisi dan distribusi tutur dalam dialog politik diatur sedemikian rupa sehingga setiap partai peserta pemilu memiliki hak dan kewajiban berbicara secara adil dan merata. Untuk yang kedua, pengontrolan partisipan satu kepada partisipan lainnya dilakukan melalui berbagai metode, dari yang bersifat tidak langsung sampai yang bersifat langsung. 4.3.1.1 Pengelolaan Gilir-Tutur Ditinjau dari partisipan yang terlibat, terdapat dua jenis teks politik yang berupa dialog. Pertama, teks politik yang berupa wawancara oleh wartawan dengan elite politik tertentu. Teks ini lebih banyak berupa aktivitas meminta dan memberikan informasi antara wartawan dengan elite politik tertentu. Kedua, teks politik yang berupa dialog antarelite politik dalam membahas persoalan tertentu. Teks ini lebih banyak berupa aktivitas berdiskusi terhadap berbagai persoalan antarelite politik Indonesia. Mereka secara resiprokal bertanya, meminta dan memberikan pendapat, menguji dan menawarkan konsep, membandingkan program, dan sebagainya. a. Dalam Teks yang Berupa Wawancara Teks politik yang berupa wawancara dilakukan antara wartawan media massa dengan salah seorang elite politik tertentu. Satu fenomena menarik dari teks politik dalam bentuk wawancara pada era pasca-Orde Baru dibandingkan dengan era Orde Baru adalah posisi yang diambil wartawan. Perhatikan kutipan (153) berikut. Kutipan (153): WAR: Kalau tak berhasil menjadikan Habibie sebagai calon tunggal, kabarnya bakal ada munaslub untuk mendongkel Anda. Mengapa? AT: Saya nggak tahu dari mana isu-isu mengenai munaslub itu. Saya kira, isu itu dari orang yang tidak bertanggung jawab, yang ingin memecah belah Golkar. Mungkin, mereka tidak suka Golkar solid dan maju. Saya kira, isu itu tak mempengaruhi suasana rapim.
464 WAR: Rekan-rekan Anda di Golkar mengharapkan Anda sebagai calon, kenapa Anda menolak? AT: Ya, kan sudah saya bilang. Saya tidak dalam posisi untuk calon presiden. Bahwa nama saya masuk, tentu itu suatu penghormatan bagi saya sebagai ketua umum. Tapi, saya tidak dalam posisi menjadi calon. WAR: Anda punya hambatan psikologis terhadap Habibie? AT: Nggak ada. Karena saya tidak dalam posisi untuk itu, saya tidak merasa ada hambatan apaapa. WAR: Jadi, Anda memang tidak slap menjadi presiden, walau dicalonkan forum? AT: Tidak mungkin itu, karena memang kita..Kan saya sudah mengatakan saya tidak d alam posisi menjadi calon presiden. Saya tidak bersedialah menjadi calon presiden. WAR: Karena apa? AT: Saya menganggap ada yang lebih pantas, yang lebih tepat, yang lebih cocok WAR: Polling terakhir yang kami lakukan menunjukkan 41% untuk PDI Perjuangan dan 27% untuk Golkar. Komentar Anda? AT: Jajak pendapat itu, ya dilihat dari mana, respondennya di mana, dan kota-kotanya di mana. Apakah itu bisa mewakili seluruh Indonesia? Kan tergantung tempat dan walctunya. [Data 33.C.1(1)]
Kutipan (153) dicuplik dan teks hasil wawancara wartawan (WAR) Gatra dengan Akbar Tanjung (AT). Topik yang diangkat adalah masalah pencalonan Habibie sebagai calon tunggal presiden dari Partai Golkar. Beberapa catatan penting dapat dikemukakan berkait dengan kutipan (153) adalah (1) pengambilan posisi wartawan, (2) piranti distribusi giliran, dan (3) sifat kelangsungan pertanyaan yang diajukan oleh wartawan. Pertama, pengambilan posisi wartawan di hadapan elite politik yang diwawancarai adalah posisi koordinatif. Dalam pandangan peneliti, wartawan berangkat dari asumsi adanya kesetaraan hak dan kewajiban dalam komunikasi politik. Hal ini dapat diperhatikan dan pilihan pronomina persona kedua Anda yang ditujukan kepada elite politik yang bersangkutan. Pilihan ini memberikan makna bahwa dalam pandangan wartawan elite politik memiliki kedudukan yang sejajar dengan dirinya. Hal ini akan berbeda jika wartawan menyebut elite politik dengan pronomina persona Bapak, seperti yang sering digunakan pada era Orde Baru. Pilihan pronomina persona Anda memberikan pemahaman tenting jarak sosial yang berbeda dengan pilihan pronomina persona Bapak. Nilai solidaritas akan tercipta dalam pilihan pronomina Anda. Sebaliknya, nilai kekuasaan akan lebih menonjol dalam pilihan pronomina persona Bapak.
465 Kedua, piranti linguistis untuk distribusi giliran berbicara sangat mudah dikenali. Hal ini sesuai dengan jenis peristiwa komunikatifnya yang berupa wawancara politik yang lebih bersifat satu arah dengan tanpa perubahan partisipan. Piranti distribusi giliran berbicara sangat tampak pada pertanyaan yang diajukan wartawan. Dalam wawancara lisan, piranti distribusi dapat dikenali dari "isi" rumusan pertanyaan dan "intonasi" menaik dalam kalimat interogatif. Wartawan dalam konteks ini hanya akan berperan sebagai "penanya" dan "pencari informasi". Piranti-piranti dipaparkan sebagai berikut.
Mengapa? (pertanyaan ke-1) Kenapa Anda menolak? (pertanyaan ke-2) Anda punya hambatan psikologis terhadap Habibie? (pertanyaan ke-3) Anda memang tidak siap menjadi presiden walau dicalonkan forum? (pertanyaan ke-4) Karena apa? (pertanyaan ke-5) Komentar Anda? (pertanyaan ke-6)
Sebaliknya, elite politik hanya akan berperan sebagai "penjawab", "penyedia", dan "pemberi informasi". Peran-peran partisipan sebagai "penanya" dan "penjawab" dijalankan oleh elite politik relatif tetap, artinya peran itu tidak akan berganti subjek pengisinya. Dengan deinikian, wartawan sebagai "penanya" cenderung menggunakan kalimat interogatif yang berupa pertanyaan untuk memperoleh jawaban tertentu. Ketiga, kalimat-kalimat interogatif yang diajukan oleh wartawan cukup menonjol sifat "kelangsungannya". Pilihan-pilihan ekpresi kebahasaan, seperti untuk mendongkel Anda, Anda menolak, dan Anda memang tidak siap menjadi presiden dapat memberikan gambaran akan sifat kelangsungan itu. Kata mendongkel, misalnya, cukup menonjol sifat kelangsungan, bahkan memiliki nuansa makna yang cukup kasar jika digunakan dalam konteks menurunkan seorang pemimpin organisasi dari posisi ketua umum. Meskipun menggunakan verba metafora, kosakata itu menonjol sifat kelangsungannya.
1+66 Piranti linguistis yang digunakan oleh pewawancara seperti kutipan (153) di atas amat mudah ditemukan dalam teks. Beberapa ekspresi kebahasaan, seperti mengapa, kenapa Anda menolak, karena apa, dan komentar Anda seperti sudah dipaparkan di atas memberikan informasi atau signal kepada mitra tutur untuk segera memasuki giliran berbicara. Selain piranti linguistis tersebut, mitra tutur juga dapat mengenalinya dari piranti suprasegmental, yakni intonasi tanya yang selalu muncul dalam setiap ekspresi kebahasaan wartawan. Selanjutnya, perhatikan juga kutipan (154) berikut. Kutipan (154): WAR: Sekarang tentang dana kampanye Golkar. Dan mana sekarang sumbangan dana diperoleh, setelah dana dari Yayasan Dakab sudah distop? AT: Kami sudah tidak lagi terima dana Dakab. Dan kami sudah mengembalikan dana yang kita pakai ke Yayasan Dakab. Sekarang cumber dana kami berasal dari para simpatisan. Pada waktu yang lalu, masih ada dana-dana yang merupakan peninggalan kepengurusan lama, ada juga sebagian yang disimpan di bank. WAR: Ada kabar, Golkar disumbang BUMN dan Grup Texmaco? AT: Tidak ada itu sama sekali, tidak ada karena kita punya pembukuan. Tidak ada dana bantuan dari Texmaco. Tetapi, memang ada simpatisan kami yang memberikan dana. WAR: Ada suara-suara yang mengusulkan agar Golkar membubarkan dirt AT: Yang paling berhak menentukan Golkar itu bubar atau tidak, internal Golkar sendiri. Kecuali jika Golkar melakukan kegiatan-kegiatan yang menurut undang-undang melanggar prinsip-prinsip dasar kehidupan bermasyarakat dan bemegara, barn aparatur hulaun membubarkan. Kalau masyarakat ingin membubarkan Golkar, itu tidak relevan. Kita ingin mengetahui apa alasan-alasan pembubaran itu. Atas dasar apa mereka minta Golkar dibubarkan. Apa salah Golkar kepada negara, kepada republik ini? Golkar kan sudah turut berjasa, ikut membangun bangsa dan negara ini. Kalau pertanyaannya dahulu, mengapa seseorang diizinkan berkuasa sekian lama? Pertanyaan itu jangan hanya ditanyakan khusus kepada Golkar. Tanyakan kepada semua kekuatan social politik di negara ini. Semua ikut nanggung. Nggak boleh seluruh kesalahan ditimpakan kepada Golkar. [Data 33 . C. I (2)]
Kutipan (154) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Gatra (WAR) dan Akbar Tanjung (AT). Topik yang diangkat adalah tanggapan Ketua Umum Partai Golkar tersebut terhadap berbagai hujatan yang ditujukan kepada Partai Golkar. Hujatan itu meliputi tudingan melakukan praktik politik uang, pro status quo, serta pelopor korupsi, kolusi, dan nepotisme. Beberapa hal penting berkaitan dengan gilir-tutur pada kutipan (154) di atas dikemukakan sebagai berikut.
467 Pertama, sesuai dengan jenis peristiwa komunikatif, yakni wawancara, distribusi gilir tutur sangat ditentukan oleh wartawan sebagai "penanya". Wartawan memiliki "kekuasaan" yang besar dalam menentukan arah tuturan yang disampaikan oleh elite politik. Bahkan, dalam banyak hal pertanyaan yang diajukan kepada elite politik selalu memojokkan elite politik yang bersangkutan. Kedua, keteraturan gilir-tutur dalam kutipan di atas amat jelas. Pilihan kalimat interogatif dalam tuturan wartawan mengindikasikan terjadinya gilir-tutur pada tahapan selanjutnya. Sesuai dengan norma interaksi, partisipan yang ditanya memiliki kewajiban moral dan sosial untuk menjawab pertanyaan itu. Kutipan (153) dan (154) di atas memberikan pemahaman akan amat berkuasanya wartawan dalam sebuah peristiwa komunikasi politik. Untuk memberikan gambaran yang komprehensifterhadap gilir-tutur dalam teks politik, selanjutnya perhatikan juga kutipan (155) berikut. Jika dalam kutipan (153) dan (154) elite politik yang ditanya wartawan adalah orang yang menjadi bagian integral pemerintahan Orba, dalam kutipan (155) berikut elite politik yang ditanya wartawan adalah orang dan kelompok reformis. Kutipan (155): WAR: ABT:
Setelah tak mencapai target, arah politik PAN selanjutnya ke mana? Sudah kita putuskan dalam rapat di Dewan Pimpinan Pusat PAN bahwa kami tak akan berkoalisi dengan siapa-siapa Kami tak ingin mengambil inisiatif mencalonkan Amien sebagai presiden. Tapi, kalau ada anggota MPR yang mencalonkan Amien, ya itu terserah mereka. Pak Amien bilang, sebagai partai yang hanya dapat 9%, kurang pantaslah terlalu menonjolkan diri. WAR: Apakah PAN punya calon altematif? ABT: Saya kira, sampai saat ini belum. Yang jelas bukan B.J. Habibie. Sampai sekarang, belum ada rencana untuk mencalonkan siapa-siapa. WAR: Katanya, PAN akan berkoalisi dengan Golkar untuk menggclkan Habibie? ABT: Nggak betid itu, benta-berita itu tidak benar. Golkar sudah dicoret dari daftar. Kalaupun Golkar minus Habibie seperti banyak diisukan sekarang, tetap tidak akan berkoalisi. Kultur Golkar sulit berubah. Kalau kita diasosiasikan dengan Golkar, hancur partai kita WAR: Kalau begitu, mengapa Amien Rais sampai harus bertemu Presiden Habibie? ABT: Amien Rais memang bertemu dengan Habibie, tapi dalam rangka silaturahrni dan mendapatkan masukan. Yang perlu ditegaskan di sini, pertemuan itu bukan atas inisiatif Amien, melainkan atas permintaan Habibie. [Data 15.C. 1(3)]
468. Kutipan (155) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Gatra (WAR) dengan Abdillah Toha (ABT). Topik yang diangkat adalah tanggapan pengurus teras PAN atas perolehan suara PAN yang tidak signifikan untuk pencalonan Amien Rais sebagai Presiden Republik Indonesia. Dalam kutipan (155) distribusi gilir-tutur amat ditentukan oleh wartawan. Meskipun tidak sebesar seperti kutipan (153) dan (154), dalam (155) kekuasaan wartawan masih cukup besar. Pilihan kalimat interogatif , seperti "katanya, PAN akan berkoalisi dengan Golkar untuk mengegolkan Habibie" menunjukkan kekuasaan yang dimiliki wartawan. Pertanyaan yang dikemukakan wartawan adalah isu yang berkembang di kalangan masyarakat yang tingkat kebenarannya masih perlu dipertanyakan dan dikonfirmasikan kepada elite politik yang bersangkutan. Dimensi kekuasaan yang dimiliki wartawan terhadap elite politik Indonesia dapat diketahui dari jenis pertanyaan yang diajukan wartawan terhadap elite politik itu. Sebaliknya, dimensi kekuasaan yang dimiliki wartawan sekaligus dapat diketahui dari jenis jawaban yang dikemukakan oleh elite politik tersebut. Terdapat beberapa bentuk pertanyaan yang umumnya diajukan, yakni (1) pertanyaan yang sungguh-sungguh (sincere questions), (2) pertanyaan retoris (rhetorical questions), (3) pertanyaan klarifikasi (clarification question), dan (4) pertanyaan konfirmasi (confirmatory question). Mengikuti pandangan Green (1989:154) pertanyaan yang sungguh-sungguh menunjukkan bahwa penutur menginginkan beberapa informasi tentang apa yang dipercayai oleh petutur. Pertanyaan retoris menunjukkan bahwa penutur menganggap bahwa petutur tidak hanya mengetahui jawaban terhadap pertanyaan itu, tetapi juga petutur mengetahui bahwa penutur dan orang lainnya juga mengetahui jawabannya. Pertanyaan retoris juga menunjukkan bahwa penutur menganggap petutur tidak hanya tidak mengetahui jawaban, tetapi orang
469 lain juga tidak mengetahui jawaban itu. Pertanyaan kiarifikasi menunjukkan bahwa penutur mengetahui apa yang sudah dibicarakan, tetapi penutur tidak yakin apa yang dibicarakan. Pertanyaan konfirmasi menunjukkan bahwa penutur mempunyai dugaan tentang kebenaran jawaban, tetapi penutur tidak yakin dengan kebenaran jawaban itu. Dari analisis terhadap berbagai jenis & fungsi jawaban yang dikemukakan elite politik dari pertanyaan yang diajukan wartawan dapat diketahui tingkat kekuasaan dalam komunikasi politik. Berbagai jenis dan fungsi jawaban yang dikemukakan 23 elite politik pada era pasca-Orde Baru dapat diperhatikan pada bagan 6.1 berikut. Bagan 6.1 Jenis dan Fungsi Jawaban 23 Elit Politik pada era Pasca-Orde Baru dari Pertanyaan yang Diajukan Wartawan NO
ELIT
JAWABAN DARI PERTANYAAN
E JAWABAN Sungguh-sungguh
01. 02. 03. 04. 05. 06. 07. 08. 09. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. IS. 19. 20. 21. 22. 23.
DH ABT SBY MD MLD AT AR AS DR MDI KKG SEY GD SH HS HM SBP SSG AWM FB AMS AB H13
20 11 27 20 10 30 15 17 6 19 5 15 11 17 4 8 5 11 5 19 13 12 15
4 3 13* 5 4* 9 5 4 4* 7 2 7* 2 2 1 2 3* 1 1 8* 4 3 3
Catatan: * Jumlah yang dominan
Retorts
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Klarifikasi
9* 3 10 12* 4* 11* 7* 5 2 10* 3* 4 5* 9* 0 5* 0 4 3* 6 8* 8* 7*
Konfirmasi
7 5* 4 2 2 10 3 8* 0 2 0 4 4 6 3* 1 2 6* 1 5 1 1 5
47 0 Dart tabel 6.1 di atas dapat dikemukakan beberapa catatan penting sebagai berikut. Pertama, jawaban terhadap pertanyaan yang berfungsi untuk "mengklarifikasi" dan "mengkonfirmasi" suatu hal cukup mendominasi jawaban elite politik Indonesia. Jawaban-jawaban tersebut berupa upaya mengklarifikasi dan mengkonfirmasi dari berbagai pertanyaan yang berupa "tuduhan", "dugaan", "perkiraan", "sangkaan", dan "prediksi" terhadap berbagai hal yang ada pada elite politik Indonesia. Sebelum mengajukan pertanyaan, dalam pandangan peneliti, wartawan Indonesia sudah membawa "anggapan", "asumsi", dan "dugaan" terhadap sesuatu yang dimiliki elite politik. Dengan demikian, pertanyaan yang diajukan wartawan memiliki kecenderungan "menyudutkan", "mengarahkan", bahkan "memprovokasi" elite politik. Kedua, tidak terdapat satu pertanyaan retoris pun yang diajukan wartawan Indonesia kepada sejumlah elite politik di atas. Hal ini masuk akal karena pertanyaan yang diajukan wartawan selalu memiliki pamrih untuk dijawab elite politik. Pertanyaan retoris cenderung hanya digunakan oleh elite politik. Dari penjelasan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pada era pasca-Orde Baru ini, elite politik tidak terlalu cukup memiliki kekuasaan yang besar. Sebaliknya, wartawan memiliki kekuasaan yang cukup besar di hadapan elite politik Indonesia pada umumnya. Jenis dan fungsi pertanyaan yang diajukan wartawan yang didominasi oleh tujuan "mengklarifikasi" dan "mengkonfirmasi" dibandingkan dengan "pertanyaan yang sungguh-sungguh" untuk memperoleh informasi yang belum diketahuinya dapat memberikan informasi tentang dimensi kekuasaan itu. b. Dalam Teks yang Berupa Dialog Teks politik yang berupa dialog berupa aktivitas membicarakan atau mendiskusikan berbagai masalah politik antara sejumlah elite politik Indonesia yang dipimpin oleh
471 seorang moderator atau fasilitator. Berbeda dengan teks yang berupa wawancara, dalam teks yang berupa dialog ini proses gilir-tuturnya jauh lebih rumit karena setiap partisipan secara normatif memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam komunikasi politik itu. Pengambilan tuturan dalam teks yang berupa dialog menjadi fenomena yang sangat menarik untuk mengungkapkan dimensi kekuasaan yang ingin ditonjolkan oleh elite politik tertentu. Perhati kan kutipan (156) beri kut. Kutipan (156): MOD: BS:
MOD: PEN: MODPEN:
MOD: BS:
[...] sangat relevan dan sangat menjurus masalah...dalam rangka menciptakan suatu kampanye...dan bila perlu yang dengan akhlak. Silakan, Pak! Barangkali dengan nada yang mudah-mudahan kemungkinan tidak mengeluarkan pernyataan seperti itu. Karena bagairnanapun juga kesatuan dan persatuan bangsa harus di atas segalanya, Dan untuk itu hams bersama-sarna. Indonesia yang kokoh ini tidak bisa dibangun oleh orang perorangan dan dengan kesombongan arogansi. Terima kasih. Terutama antara barisan reformasi, ya Pak. Aaa...masih ada waktu barangkali...saya berusaha untuk fair, adil...sekarang ganti kepada yang ada di depan. Silakan! Terima kasih saudara moderator. Selamat malam. Assalamualaikum wr. wb. Tadi Anda sudah menyatakan [...] [Namanya...namanya] Nama saya...dari Partai Persatuan Pembangunan, satu pertanyaan kepada PADI...tadi Anda mengedepankan berkali-kali soal pentingnya kedaulatan rakyat, tapi saya belum melihat gambaran jelas program PADI sendiri dalam...apa yang sudah diupayakan oleh PADI... apakah misalnya PADI ingin setelah dipilih nanti masuk sidang umum oleh..dalam waktu dekat atau dalam punya program khusus memilih presiden langsung oleh rakyat atau misalnya caleg hams menyuarakan aspirasi rakyat itu belum kami dengar, sementara kami sendiri P3 sudah berjuang cukup lama dan apakah PADI bersedia mendukung upaya-upaya yang sudah dilaksanakan oleh P3 selama ini? Terima kasih, Paid Assalamualaikum wr.wb. Silakan, Pak Bambang! Ya, terima kasih. Memang...sebelum PADI berserikat menjadi suatu partai, saya kira PADI sudah memberikan banyak masukan kepada temen-temen partai P3 di DPR. Banyak sekali kita memberikan masukan, terutama pembatasan terhadap Undang-Undang Dasar 45 dan sebagainya. Sebelum kita menjadi partai kita sudah banyak memberikan masukan sebab kita melihat bahwa PADI berpendapat bahwa peijuangan untuk memantapkan kedaulatan rakyat tidak bisa diperjuangkan oleh PADI sendiri. PADI tidak pemah merasa dirinya besar, tidak pemah merasa dirinya benar, tidak pemah merasa mau menangan sendiri, gitu lho. [Data 4.C. 1 (4)]
Kutipan (156) dicuplik dari teks kampanye diaiogis pemilu 1999 yang ditayangkan oleh TVRI. Dalam kampanye itu hadir tiga partai, yakni PADI, PPP, dan PKU, yang masingmasing diwakili oleh juru kampanye partai yang bersangkutan. Dalam kutipan (156) tersebut terdapat proses dialogis antara moderator (MOD), Bambang Sulistomo (BS) yang
472 mewakili PADI, dan penanya (PEN) dari simpatisan partai politik tertentu. Topik yang muncul dalam kutipan tersebut adalah program yang ditawarkan dan sudah dikerjakan oleh Partai Aliansi Demokrat Indonesia. Beberapa hal berkaitan dengan gilir tutur pada kutipan (156) dapat dikemukakan sebagai berikut. Pertama, moderator mengambil giliran di saat salah seorang penanya masih berbicara. Moderator memotong suatu unit tuturan yang belum selesai. Hal ini dilakukan karena penanya tidak mematuhi norma-norma berbicara yang sudah disepakati, yakni menyebutkan identitas dan afiliasi partai politiknya. Apa yang dilakukan moderator, dalam konteks tersebut, bukanlah aib tetapi sebuah langkah yang "bijaksana" yang sangat diharapkan sesuai dengan norma-norma kampanye dialogis yang sudah disepakati bersama. Kedua, pendistribusian giliran bertutur oleh moderator secara eksplisit menggunakan ekspresi linguistis tertentu, yakni "silakan, Pak", "silakan", dan "silakan, Pak Barn-bang". Dengan piranti linguistik itu, partisipan akan secara mudah mengambil kesempatan untuk bertutur. Ketiga, masa panjang giliran yang diperoleh BS secara leluasa dapat dimanfaatkan secara normal tanpa mendapat "pemotongan" dari moderator. Hal ini terjadi karena BS sudah mematuhi salah satu norma pokok dalam kampanye dialogis, yakni menjawab secara langsung kepada pokok masalah. Patuh atau tidaknya partisipan dalam mematuhi norma dialog berpengaruh pada ada atau tidaknya intervensi moderator terhadap proses dialog itu. Dalam kutipan (156) proses pengambilan giliran tidak terlalu menimbulkan masalah karena para pelaku dialog inenjalankan tugas dan kewajibannya relatif sesuai dengan norma dialog yang disepakati. Pada bagian berikut ditampilkan contoh dialog yang proses gilir-tuturnya relatif lebih rumit. Selanjutnya, perhatikan kutipan (157) berikut.
473 Kutipan (157): MOD I: Tadi Anda mengatakan bahwa kami tidak ingin menjual bendera, tapi menjual gagasan. Menjual gagasan butuh tenaga pemasaran. Pertanyaannya adalah sejauh ini rakyat melihat tenaga pemasarannya hanyalah Bung Bintang dan tidak melihat tenaga pemasaran lainnya yang secara sistemik dan terorganisir. Yang kedua[selama ini] SBP: [Saya, saya] khawatir Bung Eep Saifullah ketinggalan zaman. Sudah sangat terkenal sekali sejak sembilan puluh enam. Jadi, saya harapkan Saudara betul-betul meneliti dan kemarin Kompas telah membedah partai-partai baru, dan termasuk di situ PUDI. Betul untuk memperbaiki republik ini dan menyejahterakan kehidupan rakyat [Indonesia]. MOD2: [Saya kira] betul Bung Eep masih ada waktu untuk belajar. Tapi saya ingin tanya. Lni yang kedua Bung Bintang. Akhir-akhir ini isu tentang Napol dan eks Napol PKI merebak kembali. Pertanyaan saya, bila Anda dipilih menjadi presiden, akankah Anda mengakomodasikan eks Napol PM ini ke dalam [kabinet Anda] SBP: [Para tapol dan napol itu musuh Soeharto]. Saya pun musuh politik Soeharto. Kita Tidal( perlu khawatir dengan keberadaan mereka [itu] MOD2: [Pertanyaan saya] Pertanyaan saya, akankah Anda mengakomodasi napol PKI itu ke dalam kabinet Anda? SBP: Mereka telah dihukum. Kalau mereka mernpiinyai kemampuan yang hebat dan diandalkan bagaimana juga dapat dipersandingkan dengan warganegara yang lainnya. Mereka mempunyai kesempatan. MOD1: Satu hal Bung Bintang, harus diklarifikasi dengan baik. Ini bukan soal ketinggalan zaman atau perlu belajar karena kebebasan pers sekarang. Dan saya kira sangat dapat mengingat jauh lebih baik. Bagaimana berkiprah. Dengan studi yang saya lakukan PUDI adalah Bung Bintang sehingga muncul pertanyaan bagaimana mungkin rakyat dapat mempertanyakan kepada Bung Bintang dan [... ] SBP: [!That's wrong is that] What's wrong is that? [Data 36.C. 1(5)]
Catatan: Tempat terjadinya pemotongan tuturan Kutipan (157) dicuplik dari teks debat calon presiden pada sesi tanya jawab antara moderator dengan pars calon. Dalam kutipan itu terjadi proses dialog antara moderator pertama (MOD1), moderator kedua (MOD2), dan salah seorang calon presiden peserta debat, yakni Sri Bintang Pamungkas (SBP). Persoalan yang diangkat untuk ditanyakan kepada SBP adalah adanya kontradiksi dalam program perjuangan PUDI dengan realita yang ada pada partai itu. Di satu pihak program PUDI lebih mengedepankan pembentukan sistem Indonesia barn yang kuat dan membangun partai yang tidak menjual "bendera" dan tidak menjual "massa" dengan lebih mengedepankan penawaran "konsep" dan "program" partai. Di lain pihak, PUDI hanya dikenal karena ketua umumnya menjadi musuh besar pe-
474 nguasa pemerintahan Orde Baru, yakni mantan Presiden Soeharto, dibandingkan dengan program-program partai yang ditawarkan kepada masyarakat Indonesia. Beberapa catatan yang dapat dikemukakan dengan masalah gilir-tutur yang terdapat pada kutipan (157) adalah sebagai berikut. Pertama, pengambilan giliran dengan jalan memotong waktu tuturan masih sedang berlangsung amat menonjol. SBP melakukan pemotongan tuturan yang menjadi hak partisipan lain--dalam hal ini moderator--sebanyak tiga kali. Satu kali memotong waktu tuturan moderator kedua dan dua kali memotong waktu tuturan moderator kesatu. Moderator kedua melakukan hal yang sama sebanyak dua kali, yakni memotong waktu tuturan SBP masih berlangsung. Bahkan, dari proses pemotongan tuturan itu mengakibatkan terjadinya "tumpang tindih tutur" sebanyak empat kali, yakni (1) pemotongan tuturan MOD1 oleh SBP (bans 5), (2) pemotongan tuturan SBP oleh MOD2 (bans 10 dan 17), dan (3) pemotongan tuturan MOD2 oleh SBP (baris 14). Kedua, moderator kesatu dan kedua serta SBP sama-sama ingin menunjukkan kekuasaan yang dimilikinya. Pertanyaan yang diajukan oleh MOD1 dan MOD2 lebih didominasi oleh berbagai "gugatan" konsep yang ditawarkan salah seorang kandidat calon presiden. Sebaliknya, SBP menggugat berbagai pertanyaan dan pemyataan yang diajukan oleh moderator kesatu dan kedua itu. Dalam pandangan SBP, banyak pertanyaan dan pernyataan yang diajukan moderator karena kurang memahami apa yang dimaui oleh PUDI umumnya dan SBP khususnya. Menggunakan kerangka berpikir Fairclough (1989: 184), SBP memandang bahwa apa yang dikemukakan oleh moderator termasuk ke dalam kategori pertanyaan atau pernyataan yang "tak pantas" (undue) dalam mengomrol jawaban SBP tersebut. Untuk memperdalam persoalan gilirtutur itu, selanjutnya perhatikan juga kutipan (158) berikut.
475 Kutipan (158): MOD: Apa yang kira-kira yang dapat disimpulkan dari kejadian itu, dan kalau Anda jadi presiden persoalan-persoalan itu mau diapain? YIM: Baik terima kasih. Pertama, kalau dilihat secara filosofis sampai hari kiamat pun kita kejahatan itu akan tetap ada di muka bumi ini. Mustahil kita akan melenyapkan kejahatan itu secara total....Masalahriya adalah dalam pendidikan kita sekarang dianggap Indonesia itu satu keseragaman untuk kemudian diperlakukan secara sama, Karena kejadian di Tasikmalaya dulu, seorang polisi menempeleng seorang kiyai, padahal kita tahu kalau kiyai ditempeleng para santrinya akan ngamuk. Jadi, ini persoalannya adalah kekeliruankekeliruan kita dalam melakukan pendekatan-pendekatan sehingga masyarakat yang majemuk yang sebenamya mempunyai potensi yang besar bibit disintegrasi itu tidak ditangani secara sungguh-sungguh yang dapat menenangkan semua pihak. Saya melihat bahwa krisis di bidang ekonomi dan politik [...] SBP: [Ya, saya kira] yang terjadi yang terlupakan oleh Saudara Yusril adalah absolutisme, sentralisme, dan militerisme yang kemudian mengakibatkan bermacam pembunuhan-pembunuhan. Ini yang dilupakan. Itulah yang membikin disintegrasi. Terima [kasih] MOD2: [Ya] Ada pertanyaan lagi, ini titipan dari mahasiswa kedokteran. Sesuai dengan fakultas kedokteran maka pertanyaannya ini ada kaitannya dengan kesehatan. Data kesehatan terakhir menunjukkan bahwa gangguan penyakit jantung dan pare semakin menjadi sebab pertamanya kematian di Indonesia. Sementara itu, telah banyak penelitian menunjukkan bahwa rokok menjadi salah satu penyebab utama timbulnya penyakit jantung dan paru-paru. Mengingat tingginya moralitas di Indonesia Anda sebagai seorang perokok apa yang akan Anda lakukan bila menjadi seorang presiden untuk menurunkan resiko angka penyebab penyakit jantung dan paru-paru. Sila[kan]. YIM: Pertama, kita harus memberikan semua perlindungan yang sama kepada warganegara. Kita tidak boleh memberikan diskriminasi kepada rakyat atas dasar mereka merokok atau tidak. itu yang pertama.Yang kedua, sudah tentu merokok akan mengganggu orang di ruangan ber-AC seperti ini. Negara harus menyediakan suatu tempat yang memang khusus untuk para perokok itu. Keadilan harus kita junjung, jangan kita tidak suka kepada seseorang karena sifat-sifat yang melekat pada orang itu kemudian keberadaan orang itu kita basmi. Kita sebenamya berpotensi menjadi ditaktor. Kalau saya tidak setuju dengan Saudara Imam, banyak yang tidak setuju dengan Anda dengan pertanyaannya, atau saya tidak setuju dengan Saudara Eep yang mengatakan bahwa saya penulis pidato Soeharto sehingga Soeharto terpilih berkali-kali. Soeharto sudah menjadi presiden ketika saya kelas 3 SD Bung Eep, kita harus menyadari itu, dan kemudian saya masuk ke sekretariat negara pada tahun 1995, pada bulan April 1995. Jadi soal merokok, saya kira ada hak-hak yang diberikan kepada mereka, baik proses penyadaran kepada mereka, baik proses penyadaran kepada din sendiri. Ini yang mesti dilakukan. Saya menyadari hal itu. Kita semua menyadari kita semua mempunyai kelemahan-kelemahan. Saya kira sangat naif jika seseorang merokok kemudian dia dijegal kesempatannya untuk menjadi presiden. Demokrasi apa ini? Untuk Saudara mahasiswa kedokteran yang dijurubicarai oleh Pak Imam Prasojo, apa tidak ada pertanyaan yang lebih bermutu untuk seorang kandidat presiden daripada pertanyaan tentang rokok? [Data 22. C .1(6)]
Kutipan (158) dicuplik dari teks debat calon presiden pada sesi tanya jawab antara moderator dengan para calon presiden. Dalam kutipan itu terjadi proses dialog antara moderator pertama (MOD) dan moderator kedua (MOD2) dengan salah seorang calon presiden
476. peserta debat, yakni Yusril Ihza Mahendra (YIM). Dalam sesi dialog itu hadir juga partisipan lain, yakni SBP. Persoalan yang diangkat untuk ditanyakan kepada YIM terdapat dua hal, yakni masalah kejahatan yang semakin marak di Indonesia dan masalah kesehatan, khususnya merokok yang menjadi kebiasaan salah seorang calon presiden itu. Beberapa catatan dapat dikemukakan berkaitan dengan masalah gilir-tutur yang terdapat dalam kutipan (158) sebagai berikut. Pertama, terdapat beberapa pengambilan giliran dengan jalan memotong waktu tuturan masih berlangsung. Hal ini dapat diperhatikan pada (1) pemotongan tuturan YIM oleh SBP (bans 13), (2) pemotongan tuturan SBP oleh MOD2, dan (3) pemotongan tuturan MOD2 oleh YIM. Sama dengan yang terjadi pada kutipan (157), pemotongan tuturan mengakibatkan terjadinya "tumpang tindih tutur". Kedua, moderator dan YEA sama-sama ingin menunjukkan kekuasaan yang dimilikinya. Moderator kedua, khususnya, berusaha untuk menguasai YIM dengan pertanyaanpertanyaannya yang cukup "memojolckan". Sebaliknya, YIM juga menggugat dan memprotes pernyataan yang disampaikan moderator dan pertanyaan yang diajukannya karena dalam pandangan YIM pertanyaan dan pernyataan itu tidak sepenuhnya sesuai dengan realitas yang ada. Ketiga, munculnya partisipan lain (SBP) dengan langsung mengambil giliran ketika tuturan partisipan lain sedan berlangsung meskipun waktu gilir tutur tidak berada pada SBP. Sesi ini adalah sesi tanya jawab antara moderator dan YIM, sementara itu sesi tanya jawab antara moderator dan SBP sudah berlalu beberapa waktu sebelumnya. Dalam konteks ini terdapat fenomena yang menarik, yakni pemotongan tuturan YIM oleh SBP meskipun tidak mendapat signal dari pengatur dialog, yakni moderator, untuk memajukan konsepnya yang belum disinggung oleh YIM. Selanjutnya, perhatikan juga kutipan (159) berikut.
477 Kutipan (159): MOD3: Saya ingin tahu pandangan dari Bung Amien, kalau nanti sudah menduduki singgasana kepresidenan ini apakah memang masalah yang dihadapi perempuan itu begitu besamya dan hanya dapat diselesaikan oleh satu kementerian yang namanya kementerian peranan wanita. Nah kira-kira gimana gitu? AR: Baiklah, Bu Harkristuti Harkrisnowo, saya melihat bahwa dari sudut pandang agama Islam yang saya anut, perkara jender itu memang sudah amat jelas sekali. Di dalam kitab suci dikatakan bahwa "mukmin laki-laki maupun perempuan duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi di hadapan Allah swt". Nah, kalau prinsip wahyu ini kita turunkan ke dalam prinsip moral kemudian kita ejawantahkan ke dalam kehidupan sosial ekonomi kita maka saya ingin melihat ke depan makin banyak tokoh-tokoh wanita kita yang masuk ke lembaga legislatif, yudisial atau lembaga pengawasan dan lembaga eksekutif, dan jangan lupa bahwa suara perempuan lebih banyak daripada suara laki-laki. Kalau tidak salah pemilih perempuan 52 persen dan lak-laki 48 persen. Ini [maklum] MOD3: [Bahkan lima puluh tujuh persen saya kira_] AR: [Are you sure?] kalau lima tujuh persen ada selisih [sepuluh persen] MOD3: [Itu artinya suara perempuan].. AR: [Oke-oke] apa pun bottom line-nya adalah bahwa suara perempuan lebih banyak daripada laki-laki sehingga jika saya ditakdirkan Allah menjadi pemimpin negeri ini, Mbak Harkristuti don't worry saya akan kasih kesempatan sebanyak mungkin bidang-bidang yang sekarang ini belum dimasuki oleh kaum wanita kita, untuk menjadi menteri-menteri, dirjen, bupati, apalagi wapres. Anda akan saya pertimbangkan. Jadi, saya kira itu jawaban saya. MOD3: Apakah menurut Bung Amien, urusan peranan wanita itu bisa [eee] AR: [Saya kira] UPW itu mencurigakan, malah merupakan comminstanding departement, departemen yang mengina wanita. Sepertinya wanita itu makhluk khusus, laki-laki itu makhluk normal. Kita kembali ke zaman dulu bahwa wanita itu subhuman, separo manusia. Jadi akan lucu kalau UPW dipertahankan. Saya sarankan untuk dibubarkan saja supaya duduk sama rendah berdiri sama tinggi. [Data 15.C.1(7)]
Kutipan (159) dicuplik dari teks debat calon presiden pada sesi tanya jawab antara moderator dengan para calon presiden. Dalam kutipan itu terjadi proses dialog antara moderator ketiga (MOD3) dengan salah seorang calon presiden peserta debat, yakni Amien Rais (AR). Persoalan yang diangkat untuk ditanyakan kepada AR adalah masalah kedudukan perempuan dalam konteks keindonesiaan dan masalah keberadaan menteri yang mengurusi wanita. Beberapa catatan dapat dikemukakan berkaitan dengan masalah gilir-tutur yang terdapat dalam kutipan (159) sebagai berikut. Pertama, terdapat beberapa pengambilan giliran dengan jalan memotong waktu tuturan masih berlangsung. Hal ini dapat diperha-
478 tikan pada (1) pemotongan tuturan AR oleh MOD3 (bans 14 dan 17) dan (2) pemotongan tuturan MOD3 oleh AR (bans 16, 18, dan 25). Sama dengan yang terjadi pada kutipan (157) dan (158), pemotongan tuturan dalam kutipan (159) mengakibatkan terjadinya "tumpang tindih tutur". Kedua, moderator dan AR ingin menunjukkan kekuasaan yang dimilikinya. MOD3 berusaha menguasai AR dengan pertanyaan-pertanyaan yang cukup problematis, bahkan masalah yang masih kontroversi. MOD3 juga berusaha menguasai AR dengan beberapa kali memotong tuturan AR ketika tuturan itu masih sedang berlangsung. Bahkan, saat memotong tuturan itu, MOD3 berusaha untuk mengarahkan jawaban AR menurut jalan pemikiran MOD3. Sebaliknya, AR juga tidak mau begitu saja dikuasai oleh MOD3 dengan jalan memotong tuturan MOD3 yang sedang berlangsung. Dua hal yang terjadi ketika AR memotong tuturan MOD3, yakni (1) mengklarifikasikan apakah tuturan yang disampaikan oleh MOD3 itu benar atau tidak dengan piranti pengklarifikasi tertentu, yakni "Are you sure?", dan (2) menjawab secara langsung pertanyaan MOD3 ketika pertanyaan itu belum selesai dikemukakan secara lengkap oleh MOD3. Hal ini memberikan informasi bahwa AR cukup menguasai persoalan yang diajukan oleh moderator. Hal ini sekaligus dapat ditafsirkan bahwa AR ingin menunjukkan kepada masyarakat Indonesia akan kesiapannya menjadi calon presiden atas dasar kapabilitas yang dimilikinya. Dari paparan di atasdapat diperoleh pemahaman bahwa persoalan gilir-tutur merupakan piranti yang dapat digunakan untuk menunjukkan kekuasaan yang dimiliki individu dalam komunikasi politik pada era pasca-Orde Baru. Pengambilan giliran bukan semata-mata pergantian siapa yang berperan sebagai penutur dan siapa yang selanjutnya berperan sebagai petutur. Lebih dari itu, pengambilan giliran berkaitan erat dengan dimensi kekuasaan yang melekat pada partisipan komunikasi.
47/ 9 Dari analisis gilir-tutur dalam teks yang berupa wawancara dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. Pertama, pengambilan posisi wartawan yang koordinatif di hadapan elite politik mengimplikasikan adanya kekuasaan wartawan yang "sejajar" dengan kekuasaan yang dimiliki oleh elite politik itu. Kedua, piranti linguistis yang digunakan wartawan sebagai sarana mendisli _ ibusikan giliran berbicara relatif mudah dikenali. Wartawan sebagai "penggali informasi" cnderung menggunakan kalimat interogatif untuk ditujukan kepada elite politik sebagai "penyedia informasi". Wartawan cenderung menggunakan bahasa yang "langsung" menuju sasaran. Ketiga, pertanyaan yang diajukan wartawan kepada elite politik didominasi oleh pertanyaan yang bertujuan untuk "mengklarifikasikan" dan "mengkonfirmasikan" sesuatu. Dari analisis gilir-tutur dalam teks yang berupa dialog dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, pendistribusian giliran bertutur oleh moderator secara eksplisit menggunakan piranti linguistik tertentu. Piranti itu antara lain "silakan", "silakan, Pak", "silakan, Pak+nama diri", "langsung saja, Pak", dan sebagainya. Kedua, masa panjang giliran yang diperoleh oleh individu peserta diskusi bergantung pada jawaban yang diberikan partisipan. Jika partisipan menjawab pertanyaan sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dalam diskusi, moderator cenderung tidak mengintervensi masa tuturan partisipan. Jika partisipan menjawab pertanyaan tidak sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dalam diskusi, moderator cenderung mengintervensi masa tuturan partisipan dengan jalan memo-tong tuturan ketika tuturan itu masih berlangsung. Ketiga, kekuasaan yang dimiliki individu sering diaktualisasikan melalui pengambilan tuturan yang sering tidak mematuhi normanorma komunikasi. Akibatnya, pengambilan tuturan mengakibatkan terjadinya tumpang tindih tutur. Moderator menunjukkan kekuasaannya melalui pengarahan jawab-
480 an yang diberikan partisipan. Sebaliknya, partisipan menunjukkan kekuasaannya melalui pemrotesan pertanyaan dan pernyataan yang dikemukakan oleh moderator. 4.3.1.2 Sistem Pengontrolan Partisipan Analisis terhadap sistem pengambilan tuturan di atas secara eksplisit menginformasikan adanya pengontrolan satu partisipan terhadap partisipan lainnya dalam peristiwa komunikatif tertentu. Sistem pengontrolan satu partisipan terhadap partisipan lainnya menggunakan berbagai metode pengontrol. Dan analisis terhadap teks-teks yang dihasilkan oleh sejumlah elite politik Indonesia pada era pasca-Orde Baru dapat diketahui bahwa elite politik Indonesia mengontrol elite politik lainnya dalam dialog dengan sejumlah metode, antara lain (1) interupsi, (2) penegasan, (3) pengarahan topik, dan (4) formulasi. a. Pengontrolan dengan Interupsi Salah satu bentuk bagaimana partisipan satu mengontrol partisipan lainnya dalam dialog politik adalah "menginterupsi" jawaban yang diberikan oleh partisipan tertentu. Perhatikan kutipan (160) berikut. Kutipan (160): MOD: Selanjutnya saya persilakan Partai Rakyat Indonesia untuk mengajukan masing-masing satu pertanyaan. PARI: Saya tidak mengajukan pertanyaan, tapi penawaran. Karena saya sudah dengar latar betakang danplOann dari Abul Yatama. Saya anggap Partai Abul Yatama agak spesifik Lahir dari lingkungan yayasan anak yatim, memperjuangkan anak yatim. Saya pikir itu bagian yang integral dari program perjuangan Partai Rakyat Indonesia_ Mengapa Abul Yatama tidak bergabung saja. Kemudian untuk Partai Golkar. Asas sama, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45, negara kesatuan sama, spirit proldamasi sama, mengapa tidak bergabung kepada Partai Rakyat saja. PGK: Inilah demokrasi yang kita kembangkan. Setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Setiap warga negara berhak membuat partai, dan tentu saja membuat [ormas]. MOD: [Partai] Rakyat, oartai Rakyat, apa sudah selesai? PARI: Betum. Satu lagi, Golkar, saya memang memuji, struktumya masih baik, tetapi popularitas turun. Bicara masa depan, sulit kata-kata yang akan diucapkan Golkar karena persoalan 32 tahun amat beratnya. Saya tanya yang ringan saja, tidak yang berat-berat. Bagaimana itu, bantuan dari Partai LDP kepada Golkar? Kalau memang itu beta] ada bantuan, itu pelanggaran. Yang kedua, apa bettil Golkar terlibat JPS? Ini tanya bukan menuduh. Betul nggak terlibat. Dan yang ketiga [...]
1481 MOD: PARI: PGK: MOD: PGK:
PARI: PGK:
PART: PGK:
[Baik], sudah selesai. [Satu] raja. Yang ketiga, apa betul ada money politic untuk memperoleh dukungan massa. Itu pertanyaan. Jadi itu pertanyaan dan [...] [Sebelum] diberikan jawaban, hanya satu pertanyaan yang berhak dijawab. Yang penting money politic ya. Saya tidak tahu kalau kita lihat di mass media maupun juga dalam pertemuan-pertemuan denga kawan wartawan, Golkar ini dituduh money politic. Ini tidak tahu, apakah money politic dalam konteks bantuan, money politic curiga dalam rangka hasil politik. Tapi, marilah kita lihat kebijakan elit partai bahwa tidak ada satu pun kebijaksanaan internal dari Golkar yang membenkan arahan kepada bawahan untuk menarik dukungan massa dengan cara itu, manarik hari rakyat. [How to winning...] [Tapi], dari mana uang kok begitu banyak? Dan sumbangan Para simpatisan Golkar. Golkar ini kan besar. Nanti kan ada audit. Mana yang betul-betul bersih, dan mana yang [...] [Yayasan] Dakab apa masih membantu? Tidak ada. [Data 12/20/33 .0 . 1(8)]
Kutipan (160) dicuplik dari teks kampanye dialogis yang ditayangkan oleh TVRI. Peserta kampanye dialogis itu berasal dari Partai Abul Yatama (PAY), Partai Rakyat Indonesia (PARI), dan Partai Golongan Karya (PGK). Setiap partai diwakili oleh juru kampanye partai masing-masing. Kutipan (160) adalah sesi tanya jawab antarjuru kampanye di mana PARI melalui Ketua Umumnya, Agus Miftah, memperoleh giliran mengajukan pertanyaan kepada kedua partai lainnya. Beberapa catatan berkaitan dengan sistem pengontrolan partisipan dalam kutipan (160) dapat dipaparkan sebagai berikut. Pertama, Partai Rakyat Indonesia yang dijurubicarai oleh Agus Miftah beberapa kali menginterupsi tuturan juru kampanye PGK (bans 32 dan 36). Dengan interupsi itu, PART dapat menghentikan kontribusi PGK dalam dialog itu. Dalam bentuk lain, interupsi PARI juga dapat menghentikan kontribusi yang oleh PART dianggap tidak relevan dengan jawaban pertanyaan yang dikehendaki oleh PART. Kedua, interupsi yang dilakukan oleh PARI tidak melalui fasilitator diskusi. Dengan de-
mikian, terjadi "pelanggaran" norma-norma interaksi oleh PART dalam komunikasi politik di atas. Pelanggaran-pelanggaran terhadap beberapa norma interaksi dalam komu-
482 nikasi politik di atas dapat ditafsirkan sebagai usaha PARI untuk menunjukkan kekuasaan yang dimilikinya. Sebagai partai yang relatif baru lahir, usaha PARI untuk menunjukkan kekuasaan ini bertujuan untuk menarik simpati para calon pemilihnya. Perlu dipaparkan di sini bahwa pengontrolan partisipan satu kepada partisipan yang lain yang terjadi di dalam kutipan (160) tidak semata-mata menggunakan metode interupsi, tetapi juga menggunakan metode lainnya, seperti "penegasan" yang akan dipaparkan pada bagian tersendiri. Selanjutnya, perhatikan juga kutipan (161) berikut. Kutipan (161): MAJ:
DH:
MAJ:
DH:
Dan satu sistem nasional yang tidak demokratik, sentralistik, otoriter, menjadi satu sistem nasional yang demokratik, yang terbuka, transparan, yang accountable . Berangkatnya gampang aja, kalau bicara demokrasi dart segi-segi nilai bahwa ada nilai kebebasan, tetapi juga ada nilai politik, persamaan atau kesetaraan menuju apa, menuju persaudaraan sejati. Kebebasan diberikan, kesetaraan harus ada itu dalani rangka bersaudara. Lha, oleh sebab itu, sikap diskriminatif itu tidak demokratis. Dengan demikian, apabila pada dirinya punya nilai-nilai yang tidak diskriminatif berarti itu kelompok reformis. Lalu yang kedua, itu semua dilakukan agar nilai demokrasi tidak hanya sekedar menjadi retorika, tetapi juga diaktualisasikan. Untuk dapat teraktualisasikan saya kira ada dua hal, yaitu constitutional reform dan cultural reform. Karena constitutional reform saya kira tidak cukup perlu ada cultural reform. ... Orang hams masuk pasal 37, orang hams menerima perubahan. Tetapi, perubahan tidak sekedar diubah, tetapi juga perlu dihindarkan dart [penyimpangan dart UUD 1945. Oleh karena itu,]. [Jadi, saya kira saya setuju] cuma kita hams punya koridor yang jelas. Jangan sampai reformasi itu bertujuan untuk- membentuk negara baru, bikin undang-undang dasar baru, dasar negara baru. Nair, ini yang [keliru] [Oleh karena itu, saya tambahkan] dalam constitutional reform itu kita harus ya bahwa Pembukaan Undang-Undang 45 Dasar itu tidak boleh diubah. Itu merupakan satu kesepakatan, ya, karena Undang-Undang Dasar 45 itu merupakan kesepakatan para republik yang hams kita jaga bersama. Ya, tapi, di samping itu kita juga membutuhkan analisis yang tajam terhadap pemerintahan 32 tahun. Yang terjadi 32 tahun ini, kita ada pertanyaan begini "sebenamya terpuruknya bangsa kita ini, apa sih sebabnya?". Apa karena konsep dasar yang namanya Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45 itu yang nggak bener atau implementasinya yang nggak bener. Nah, itu. Kita melihat temyata implementasinya yang nggak bener. [Data 9/11/35. C .1(9)]
Kutipan (161) dicuplik dart teks dialog politik yang ditayangkan oleh Surya Citra Televisi (SCTV). Dialog yang dipimpin oleh seorang moderator itu diikui oleh tiga elit partai politik, masing-masing Matori Abdul Jalil (MAJ) dart PKB, Dimyati Hartono (DH) dart PDI Perjuangan, dan Zarkasih Noer (ZN) dart PPP. Topik yang diangkat adalah seputar hasil
483 pemilihan umum 1999, kabinet koalisi, dan amandemen konstitusi. Dalam kutipan (161) DH menginterupsi dengan jalan mengambil giliran berbicara meskipun MAJ masih berbicara (baris 14). Interupsi itu mengakibatkan terjadinya tumpang tindih tutur, yakni ketika MAJ sedang mengucapkan "penyimpangan dari UUD 1945, oleh karena itu"dengan tuturan DH "jadi, saya kira saya setuju". Dengan interupsi yang dilakukan DH, kontribusi yang diberikan oleh MAJ menjadi terhenti sementara. Yang menarik dari interupsi yang terdapat pada kutipan (161) adalah adanya fenomena "interupsi resiprokal", yakni tindakan saling menginterupsi antara MAJ dan DH untuk menghentikan kontribusi yang diberikan mitra tutur. Setelah DH menginterupsi MAJ (baris 14), kemudian berganti MAJ menginterupsi DH (bans 18). Dan dimensi kekuasaan peristiwa ini dapat dimaknai bahwa kedua elit politik itu saling menunjukkan kekuasaan yang dimilikinya. Di satu sisi, DH sebagai representasi dari partai pemenang pemilihan umum tentu ingin menunjukkan bahwa masa depan Indonesia pasca-Habibie akan sangat ditentukan oleh berbagai pemikiran PDI. Di sisi lain, MAJ sebagai representasi PKB juga ingin menunjukkan bahwa partai yang dibidani oleh organisasi NU, yang memiliki anggota lebih kurang 40 juta, juga berhak menyumbangkan berbagai pemikiran tentang Indonesia masa depan. b. Pengontrolan dengan Penegasan Bentuk kedua bagaimana partisipan satu mengontrol partisipan lainnya dalam dialog politik pada era pasca-Orde Baru adalah "meminta penegasan" penutur lainnya ten-tang berbagai hal. Perhatikan kutipan (162) berikut. Kutipan (162): MOD: [Sebelum] diberikan jawaban, hanya satu pertanyaan yang berhak dijawab. PGK: Yang penting money politic ya. Saya tidal( tahu kalau kits lihat di mass media maupun ju-
1+84 ga dalam pertemuan-pertemuan denga kawan wartawan, Golkar ini dituduh money politic. Ini tidak tabu, apakah money politic dalam konteks bantuan, money politic curiga dalam rangka basil politik. Tapi, marilah kita lihat,kebijalcan elit partai bahwa tidak ada satu pun kebijaksanaan internal dari Golkar yang memberikan arahan kepada bawahan untuk menarik dukungan massa dengan cara itu, manarik hari rakyat. [How to winning...] PART. [Tapi], dari mana itu uang Golkar kok begitu banyak? PGK: Dari sumbangan para simpatisan Golkar. Golkar ini kan besar. Nanti kan ada audit. Mana yang betul-betul bersih, dan mana yang [...] PART: [Yayasan] Dakab apa masih membantu? PGK: Tidak ada, [Data 12/20/33.C.1(10)]
Kutipan (162) dalam bentuk yang lebih panjang sudah dikemukakan pada kutipan (160) di atas. Dua pertanyaan yang dikemukakan oleh PARI dapat dipandang sebagai upaya PART untuk memperoleh penegasan tentang "sumber dana Golkar" yang selama masa pemerintahan Orde Baru menjadi sesuatu yang sangat misterius. Karena begitu misterius, masyarakat akhirnya menduga-duga bahwa sumber dana Golkar berasal dari dana Yayasan Dakab yang dibentuk oleh mantan Presiden Soeharto. Sumber dana Dakab diambil melalui pemotongan dana tertentu dari para pengusaha besar. 1uran ini merupakan iuran wajib sebagai sebuah bentuk komitmen pengusaha dalam memenangkan partai yang menjadi mesin pengumpul suara bagi pemerintahan Orde Baru. Selanjutnya, perhatikan juga kutipan (163) berikut. Kutipan (163): MOD: Kesempatan berikutnya kepada Partai Syarikai Islam Indonesia 1905 untuk mengajukan pertanyaan kepada kedua juru kampanye. Silakan, Pak. PSII: Pertama-tama ingin saya sampaikan kepada Partai Republic Kami dari Partai Syarikat Islam Indonesia '05 ini sudah terlampau banyak tampil untuk hal-hal seperti ini. Barangkali di kesempatan yang berbahagia ini kami tidak akan menanyakan hal-hal yang sangat ekstrem barangkali. Kami di sini ingin ada kejelasan, apakah benar, ada sekelompok orang mengatakan Partai Republik ini partainya status quo, begitu. Sama saja dengan partainya Partai Persatuan. Itu yang kami ingin tahu, barangkali. Terima kasih. Karena bagi kami, semua partai ini sama saja. Itu barangkali yang kaini tanyakan. MOD: Satu pertanyaan untuk Partai Persatuan. Silakan. PSII: Barangkali sama. Kami ingin tariyakan kepada Partai Persatuan. Nampaknya Partai Parsatuan ada semacam multilintas. Dalam arti memiliki lambang yang sangat semarak. Nampaknya cukup hijau di mana-mana Meskipun kehijauannya itu dibantu oleh rekannya.
Apakah Partai Persatuan itu merupakan bagian dari partai status quo, barangkali begitu. [Data 17/28/34.C.1(11)]
485 Kutipan (163) dicuplik dari teks kampanye dialogis yang ditayangkan oleh TVRI. Kampanye dialogis yang dipimpin oleh seorang moderator (MOD) ini diikuti oleh tiga juru kampanye dari Partai Republik (PR), Partai Syarikat Islam Indonesia 1905 (PSII), dan Partai Persatuan (PP). Kutipan (163) adalah sebagian sesi tanya jawab antarjuru kampanye dengan giliran bertanya diberikan kepada PSII '05. Topik yang diangkat adalah masalah predikat status quo atau tidak yang ada pada dua partai mitra dialog PSII '05. Dengan demikian, dalam kasus itu PSII 1905 ingin memperoleh "penegasan" dari dua partai lainnya tentang tuduhan atau dugaan bahwa kedua partai itu merupakan bagian dari pemerintahan Orde Bann yang dijadikan simbol status quo itu. Pertanyaan dengan menggunakan piranti "apa benar" (bans 6) adalah bentuk dari permintaan penegasan dari orang lain terhadap suatu hal yang masih bersifat tidak jelas atau samar-samar. Dengan meminta penegasan itu, apa yang dituduhkan PSII 1905 kepada kedua partai politik mitra dialog dapat diperoleh suatu kebenaran yang nyata dari sumber aslinya. c. Pengontrolan dengan Pengarahan Topik Bentuk ketiga bagaimana partisipan satu mengontrol partisipan lainnya dalam dialog politik pada era pasca-Orde Baru adalah "mengarahkan topik" yang hams dikemukakan oleh partisipan lainnya. Dengan pengarahan topik tersebut, jawaban yang diberikan oleh partisipan lainnya akan cenderung sesuai dengan pengarahan yang diberikan. Perhatikan kutipan (164) berikut. Kutipan (164): MOD: Selanjutnya akarr_ ada tanya jawab dari ketiga partai.masing-masing kepada juru karnpanye satu pertanyaan. Saya mulai dari Partai Abul Yatama. Silakan, Pak. PAY: Terima kasih. Pertama saya tujukan kepada Bapak KH Agus Miftah. Tadi disebutkan bahwa sektor nil yang sekarang terpuruk akan diupayakan untuk bangkit kembali untuk mengangkat seluruh derajat bangsa Indonesia ini. Upaya apa yang secara nyata telah dirintis atau pun disiapkan oleh Partai Rakyat Indonesia. PARI: Karena partai politik itu bukan LSM [...]
1+86 MOD:
[Maaf], sebelum dijawab, silakan satu pertanyaan lagi kepada Golongan Karya. PART: 0, begitu. PGK: Pak Nugroho jangan hanya tanya kepada Partai Rakyat Indonesia saja, dong. Partai Golkar juga ada [ha, ha, ha]. PAM: [Cukup] mewakili. PAY: Baik, kepada Bapak Haji Aulia Rahman dari Golkar, kami ingin tanyakan. Satu hal yang mungkin menjadi pertanyaan kita bersama. Satu saja Pak "apa yang telah disumbangkan secara nyata oleh Golkar kepada masyarakat Indonesia selama ini?" Terima kasih. MOD: Saya persilakan PARI untuk [menjawab] [Data 12/20/33 . C . 1(12)]
Kutipan (164) 'dicuplik dari teks kampanye dialogis yang ditayangkan melalui TVRI. Teks ini merupakan bagian awal dari teks yang sudah dipaparkan pada kutipan (160) di atas. Pertanyaan yang diajukan oleh PAY, yakni "upaya apa yang secara nyata telah dirintis atau pun disiapkan oleh Partai Rakyat Indonesia" (bans 5-6) dan "apa yang telah disumbangkan secara nyata oleh Golkar kepada masyarakat Indonesia selama ini" (bans 15-16) merupakan usaha PAY untuk "mengarahkan pokok persoalan yang harus dikemukakan oleh dua partai mitra dialognya. Dengan pertanyaan itu, jawaban PARI dan PGK tidak akan keluar dari koridor yang sudah ditentukan. Ini sesuai dengan norma di skusi atau dialog, yakni partisipan menjawab sesuai dengan isi pertanyaan yang diajukan. Jawaban yang keluar dari isi pertanyaan akan memperoleh "resiko dialogis", yakni memperoleh interupsi dari moderator atau bahkan memperoleh interupsi dari penanya. Selanjutnya, perhatikan juga kutipan (165) berikut. Kutipan (165): MAJ:
DH:
MAJ:
Oleh karena itu, saya tambahkan, dalam constitutional reform itu kita hams ya bahwa Pembukaan Undang-Undang 45 Dasar itu tidak boleh diubah. Itu merupakan satu kesepakatan, ya, karena Undang-Undang Dasar 45 itu merupakan kesepakatan para pendiri republik yang hams kita jaga bersama, Ya, tapi, di samping itu kita juga membutuhkan analisis yang tajam terhadap pemerintahan 32 tahun. Yang terjadi 32 tahun ini, kita ada pertanyaan begini "sebenamya ierpurulawa bangsa kita ini, apa sih sebabnya?". Apa karena konsep dasar yang namanya Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45 itu yang nggak bener atau implementasinya yang nggak bener. Nah, itu. Kita melihat temyata implementasinya yang nggak bener. Tapi persoalannya begini, ya Pak Dim, ya Kalau kita bicara tentang implementasi, kita
akan bicara tentang sistem dan struktur. Kalau struktumya seperti struktur kursi ini, slonjor saja nggak bisa bagai kita bisa duduk dalam pengertian [terlentang].
487 MAJ:
DH:
[Ya, ya, saya mengerti] [Oleh karena itu], sekarang bagaimana constituional reform dalam pengertian sebatas, misalnya bagaimana masa jabatan presiden yang akan datang itu [dibatasi]. [Itu saya setuju], itu saya setuju. Jadi, misalnya begini. Kita jangan sampai meninggalkan jalan yang diberik[e]n oleh undang-undang dasar itu sendiri. Kita mesti hati-hati terhadap amandemen, apa reform konstitusi [...] [Data 9/11/35.C.1(13)]
Kutipan (165) merupakan lanjutan dari dialog yang sudah dipaparkan pada kutipan (161) di atas. Pernyataan MAJ (baris 10-12) merupakan usaha MAJ untuk "mengarahkan" pokok persoalan yang hams dikemukakan oleh DH. Adanya "arahan topik" yang disampaikan oleh MAJ itu membuat jawaban DH mengikuti arahan dari MAJ itu. Meskipun pada awalnya jawaban DH terdapat kesan adanya "anti amandemen" (baris 5-9), munculnya arahan topik dari MAJ mengakibatkan terdapatnya pergeseran pada jawaban DH yang "menerima" amandemen meskipun dalam konsep yang terbatas (bans 17). d. Pengontrolan dengan Formulasi Bentuk keempat bagaimana partisipan satu mengontrol partisipan lainnya dalam dialog politik pada era pasca-Orde Baru adalah "memformulasikan" apa yang sudah disampaikan sebelumnya. Bentuk keempat pengontrolan ini juga dapat berupa "memformulasikan" apa yang sudah disampaikan oleh mitra tutur pada waktu sebelumnya. Perhatikan kutipan (166) berikut. Kutipan (166): DH:
Permasalahannya, kita mesti menyadari, konstitusi itu bukan cuma mengatur aturan-aturan hukum. Di situ ada filsafat, di situ ada dasar negara, konsep ketatanegaraan, sistem politik, sistem sosial budaya, ada semua. Kalau kita mau merubah, itu mesti harus betul-betul dari hasil penelitian, pengkaiian yang betul. Jangan sampai nanti merubah, kita menemukan yang satu rusak yang lain. Undang-undang dasar itu sebenamya, yang dikemukakan oleh Pak Maori tacli betul sekali, gimaiia caranya presiden agar jangar_ terlain berkuasa? Di sana kita bisa moricari cara lain_ Kita buat undang-undang tentang status, kedudukan, dan tanggung jawab presiden. Di situ diatur. Kalau melanggar bagaimana? Itu yang kita atur yang selama ini tidak ada. MOD: Jika dikaitkan dengan nanti pemerintahan gotong royong atau koalisasi atau ana nun namanya bagaimana nanti kedudukan presiden? DH: Tidak ada masalah karena ini mengatur CR111ruhrtya ini tic•n■_:.,Ynn TittKih Apalz-h nPR_ atau di luar DPR masyarakat dapat mengontrol, presiden salah, telah melanggar aturan.
488 MAJ:
Soty, cuma pengertiannya begini. Harapan saya begini, kehatian-hatian jangan melalui pendekatan konservatif. Selama ini kadang-kadang kita sangat berhati-hati, dengan menggunakan istilah seperti tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa, jangan sampai menuju ke arah itu. Keberhati-hatian itu keberhati-hatian dalam pengertian yang sesungguhnya. DH: Jadi, esensinya harus dipegang betul. Esesnsinya adalah terpuruknya bangsa ini karena sentralisasi kekuasaan. Sentralisasi kekuasaan itu di tangan presiden. Bagaimana itu dibatasi? MOD: Kalau itu menyangkut dengan undang-undang dasar, bisa dong, undang-undang dasar itu di ubah . DH: Secara teori, bisa. Karena ada, tadi disebut tentang pasal 37. ZN: Dan, memang kalau dikaitkan dengan Undang-Undang Dasar 1945 kita kan menganut sistem presidensil, kan. Bagaimana kaitannya dengan koalisi tadi kan. Padahal, di satu pihak terdapat hak prerogatif presiden untuk mengangkat pembantu-pembantunya. Di sinilah barangkali kita harus melihat kembali Undang-Undang Dasar 1945 itu. Atau dengan kata lain, kita tidak usah mentabukan amandemen, Iah. Kita sesuaikan dengan situasi dan kondisi kita. DH: Saya bukan masalah tabu. Tapi, saya ingin apakah cara yang kita tempuh, apakah amandemen it is only one, kan tidak. Apakah dengan undang-undang itu terbuka peluangnya menurut Undang-Undang Dasar 1945. Lha ini yang harus kita kaji. MOD: Tetapi, kalau kita berbicara pemerintahan koalisi kalau dengan model seperti yang ada sekarang seperti tidak punya makna. MM: Saya kira bukan masalah bermakna atau tidak bermalcria, Kembali pada yang dikemukakan oleh Pak Dimyati tadi, ada satu jiwa di dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila itu, yaitu jiwa gotong-royong. Jadi kalau orang sudah memerintah, o ini pemerintahan partai saya, tidak. Lalu kemudian dari situ, sekaligus kita melakukan constitutional reform dan cultural reform. Kita berhati-hati. Kita serius. Kita pelajari sungguh-sungguh. Tidak dalam pengertian kita bersikap konservatif Sehingga berharap tidak ada amandemen.... [Data 9/11/35.0 . 1(14)]
Kutipan (166) merupakan kelanjutan dan teks dialog yang sudah dipaparkan pada kutipan (165) di atas. Dalam kutipan itu, DH dan MAJ "memformulasikan" kembali jawaban yang sudah dikemukakan sebelumnya. Tuturan DH pada baris 19-21, yakni masalah "terpuruknya bangsa Indonesia", merupakan formulasi ciari tuturan DH sebelumnya (lihat kutipan 165 baris 5-9). Tuturan DH pada kutipan (166) baris 5-9, yakni "pengaturan kekuasaan presiden", merupakan formulasi tuturan MAJ sebelumnya (lihat kutipan 165 baris 14-16). Tuturan MAJ pada baris 40-43, yakni masalah "constitutional reform dan cultural reform", merupakan formulasi dari tuturan MAJ sebelumnya (lihat kutipan 161 baris 9-11). Tuturan MAJ pada baris 37-39, yakni "jiwa yang terdapat dalam UndangUndang Dasar 1945 dan Pancasila", merupakan formulasi dari tuturan DH sebelumnya (lihat kutipan 166 baris 1-5).
489 Dengan memformulasikan kembali pandangan pribadi maupun pandangan orang lain, seorang penutur dapat mengarahkan ke mana topik itu akan dibawa. Suka atau tidak suka orang lain akan mengikuti arah topik yang kita kehendaki, yang pada kasus tertentu akan meninggalkan arah topik yang dikehendaki oleh orang lain. Dengan metode formuIasi itu juga seseorang dapat menunjukkan kekuasaannya di hadapan orang lain agar "tunduk" dengan kemauan seorang penutur. Dalam dimensi yang netral, metode formulasi juga akan membantu mitra dialog mudah memahami jalan pikiran yang dilontarkan ke dalam forum dialog itu. Dalam sebuah uraian yang panjang, metode formulasi merupakan satu tuntutan agar partisipan dialog tidak "kehilangan jejak" dalam mengikuti alur pokok pikiran yang harus dibicarakan. Ini sangat bermanfaat dalam dialog yang tidak lain berlangsung dalam komunikasi lisan. Selanjutnya, perhatikan juga kutipan (167) berikut. Kuti pan (167): PART: Baik. Memang kalau merasa menjadi rakyat Indonesia, memang ini partainya. Jadi pertanyaannya Bapak itu, memang pertanyaan yang baik, tapi sekarang ini partai, bukan LSM. Terutama yang akan kami kemukakan adalah konsep kebijakan. Kalau Partai Rakyat Indonesia memenangkan pemilu dan saya menjadi presiden Republik Indonesia inilah kebijakan yang akan saya lakukan. Tadi sudah saya katakan, kita akan mengadakan restrukturisasi ekonomi secara menyeluruh. .Ini jawaban saya, Pak. Ringkas tapi tepat. Entah jawaban Golkar. MOD: Silakan Partai Golkar untuk menjawab! PGK: Memang jawaban dari partai kami, nomor 33 ini, seperti ditanyakan oleh Partai Abul Yatama apa yang akan, sudah, atau telah diprogramkan Golkar dalam membawa bangsa ini ke milenium ketiga. Pertama, mengajak masyarakat RI, visi baru kita tetap setia kepada Pancasila dan UUD 45. Itu yang pertama. Yang kedua adalah memberikan pendidikan politik supaya pendidikan politik yang Orde Baru, yaitu pendidikan dengan pendekatan terpusat, Golkar sudah memberikan penyuluhan-penyuluhan agar kedauatan itu ada di tangan rakyat. Yang berkuasa itu rakyat, bukan pernimpin. Di bidang ekonomi, sederhana saja. Akses pengusaha kecil menjadi dasar pertumbuhan ekonomi. Selama ini, selama Orde Baru, pendekatan konglomerasi itu tidak memenuhi harapan seluruh bangsa Indonesia. Jadi kedaulatan dan keadilan, baik dalam bidang politik maupun ekonomi dan lain-lain. Itu program Golkar. Program yang meneutamakar rakyat. Rakyat yang kita ketengahkan. Kedaulatan ada di tangan rakyat. Semua berasal dari [bawah]. PARI: [Itu] baru janji PGK: Kita aktualisasikan janji itu. Temyata di mass media di sana dapat kita baca bahwa pemilihan ketua. umum Golkar semua berasal dari bawah, tanpa rekayasa Kalau Bung Agus Miftah berbicara bahwa itu baru janji, lihat saja bagaimana pemilihan ketua DPD-DPD, semua berasal secara bottom-up. [eee] MOD: [Baik] dan Golongan Karya waktu sudah selesai. [Data 12/20/33.C.1(15)]
490 Kutipan (167) merupakan bagian awal dari teks kampanye dialogis yang sudah dipaparkan pada kutipan (160) di atas. Kutipan (167) merupakan babak tanya jawab antarjuru kampanye dengan giliran bertanya berada pada Partai Abul Yatama. Dua partai lain, yakni PARI dan PGK memperoleh giliran menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh PAY. Jawaban yang dikemukakan oleh PARI yang menggunakan piranti "tadi sudah saya katakan" (baris 5-6) merupakan formulasi dari apa yang sudah dikemukakan pada sesi "penyampaian visi dan misi partai", tahap pertama dalam kampanye dialogis. PARI tidak susah-susah mencari jawaban yang bersifat "baru" terhadap pertanyaan yang dilontarkan oleh PAY, tetapi cukup mengulangi atau merumuskan kembali dari uraian yang sudah dikemukakan sebelumnya. Sebaliknya, jawaban yang diberikan oleh PGK dalam menjawab pertanyaan PAY merupakan sebuah "uraian baru", bukan basil formulasi atau reformulasi dari apa yang sudah dikemukakan sebelumnya. Hal ini disebabkan PGK dalam babak "penyampaian visi dan misi partai" tidak menyampaikan program-program partai, tetapi lebih banyak mengemukakan "paradigma baru Golkar" untuk membedakannya dengan "Golkar lama". 4.3.2 Pengurutan Teks Persoalan pengurutan teks adalah persoalan "linearisasi", yang dalam pandangan Brown & Yule (1983:125) adalah persoalan bagaimana penghasil teks mengurutkan katakata tunggal menjadi kalimat dan mengurutkan kalimat-kalimat ke dalam sebuah teks yang lebih besar. Dalam wacana politik, misalnya, apa yang disampaikan pertama-tama oleh elite politik sebagai penghasil teks akan mempengaruhi tafsiran teks selanjutnya. Dari analisis terhadap teks-teks politik yang berupa monolog yang dihasilkan oleh sejumlah elite politik Indonesia era pasca-Orde Baru dapat diketahui bahwa elite politik In-
491 donesia mengurutkan unsur-unsur pembangun teks dengan menggunakan pola-pola tertentu. Pola-pola yang dipilih oleh sejumlah elit politik mendatangkan implikasi ideologic tertentu yang sering tidak disadari oleh para pendengarnya. 4.3.2.1 Pota Umum Perlu dikemukakan pada bagian ini, terdapat "kesamaan pola" umum pengurutan unsur-unsur teks dalam teks politik. Semua teks monologis dibangun dari urutan unsur teks yang sama. Semua teks monologis dikembangkan dengan linearisasi tematisasi yang sama. Secara garis besar, teks politik Indonesia era pasca-Orde Baru diurutkan dengan menggunakan pola urutan: (1) (2) (3) (4)
pembukaan (mengawali teks dengan salam dan atau dengan pekik partai tertentu) eksposisi (memaparkan berbagai hal yang berhubungan dengan partai tertentu) persuasi (merayu penonton agar memilih partai tertentu) penutup (mengakhiri teks dengan salam).
Unsur-unsur pokok (1)-(2)-(3)-(4) di atas pada umumnya ditata secara kronologis. Hanya Baja, ada beberapa partai politik yang menatanya dengan (1)-(2/3)-(4) atau (1)-(3/2)-(4), dalam pengertian bahwa unsur eksposisi dan persuasi ditata dengan saling bergantian. Yang membedakan antara satu partai dengan partai lainnya adalah "penekanan" dan "pengisian" materi pada tahap eksposisi. Terdapat partai yang secara relatif komprehensif memaparkan hal ikhwal yang berkaitan dengan partai politik tertentu. Paparan tersebut secara normatif berangicat dan asumsi bahwa apa yang dipaparkannya itu sesuai dengan ekspektasi pendengamya. Sebaliknya, terdapat partai tertentu yang hanya memaparkan satu isu penting menurut pandangan partai tertentu yang belum tentu sesuai dengan ekspektasi pendengarnya. Paparan ini sangat berorientasi pada kepentingan penuturnya. Berikut ini dikemukakan beberapa pengembangan pola umum pengurutan teks yang menonjol dari teks kampanye monologis pemilihan umum tahun 1999.
492 4.3.2.2 Pola Pengembangan a. Pola I Pola yang pertama adalah urutan ideal dari sebuah teks monolog kampanye. Secara normatif, sesuai dengan ekspektasi masyarakat dalam mengikuti kampanye monologis, sebuah teks paling tidak mengandung berbagai elemen yang "seharusnya" ada dalam sebuah teks politik. Pola pertama yang diasumsikan lengkap ini dibangun dari unsur-unsur teks kampanye monologis sebagai berikut. Pertama, teks diawali dengan "salam pembuka". Terdapat beberapa model salam pembuka, yakni (1) "assalamualaikum wr. wb.", (2) "assalamualaikum wr. wb. + ayatayat suci Al-Quran, (3) "assalamualaikum wr. wb." + salam sejahtera bagi kita semua, (4) "selamat malam", (5) "selamat malam + salam kasih", dan (6) salam + pekik partai. Pilihan berbagai salam pembuka akan memberikan prosedur interpretatif bagi pendengar atau penganalisis akan identitas partai politik yang sedang berkampanye. Salam pembuka yang disampaikan dengan assalamualaikum wr. wb. + ayat-ayat suci Al-Quran, misalnya, secara normatif akanmenginformasikan kepada pendengar akan identitas partai yang berkampanye, yakni (1) berasaskan Islam, dan (2) berbasis massa Islam meskipun menggunakan asas Pancasila. Salam pembuka yang disampaikan dengan assalamualaikum wr. wb. + pekik nasional akan menginformasikan kepada pendengar akan identitas partai yang berkampanye, yakni partai politik yang berasaskan Pancasila dan berbasis massa yang berpandangan hidup nasionalisme. Salam pembuka yang disampaikan dengan "saiam kasih + selamat rnalam" akan menginformasikan kepada pendengar akan identitas partai yang berkampanye, yakni partai yang berbasis massa Nasrani. Pilihan salam pembuka mengandung signifikansi ideologis tertentu.
493 Satu catatan penting yang perlu dipaparkan berkaitan dengan paparan di atas adalah pilihan salam pembuka tidak selalu sepadan dengan identitas elit atau partai yang dimaksud. Sebuah partai yang berbasis massa Kristen, yakni Partai Krisna, dalam kampanyenya memilih salam pembuka dengan as'salamualaikum wr. wb. Ini merupakan fenomena yang cukup menarik. Jawaban yang dapat dikemukakan. Pertama, Partai Krisna memandang bahwa salam as.s.alatnualaikum wr. wb. adalah salam nasional. Ini berarti yang berhak menggunakan salam tersebut adalah seluruh masyarakat Indonesia tanpa kecuali dan tanpa membedakan latar belakang agama yang dianutnya. Kedua, Partai Krisna membidik calon pemilih partai bukan hanya masyarakat Indonesia yang berlatar belakang Kristen--hal ini dapat dilihat dan nama partai yang dipilih--, tetapi juga masyarakat Indonesia yang beragama Islam yang notabene sebagai pemeluk agama terbesar di Indonesia. Kedua, paparan teks selanjutnya diikuti oleh paparan tentang identitas partai yang bersangkutan. Yang dipaparkan antara lain meliputi (1) nama partai, (2) para pendiri dan tokoh terkenal partai, (3) tanggal berdiri partai, (4) latar belakang pendirian partai, (5) nomor urut partai dalam pemilihan umum 1999 dan makna gambar atau logo partai, serta (6) tempat deklarasi pendirian partai. Dalam pandangan elit partai, identitas partai yang dipilih mengandung makna tertentu yang mencerminkan visi dan missi partai. Bahkan, seperti sudah dipaparkan pada analisis kosakata, nomor partai tertentu mengandung makna yang amat dalam meskipun nomor unit pemilu itu adalah hasil dari undian yang dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum. Ketiga, paparan teks selanjutnya diikuti oleh paparan tentang program-prom am partai. Bagian ini umumnya merupakan uraian yang cukup panjang. Program-program partai umumnya meliputi bidang-bidang (1) politik, (2) ekonomi, (3) hukum, (4) sosial
494 budaya, dan (5) hankamnas. Setiap bidang tersebut dijabarkan secara rinci sesuai visi dan missi partai yang bersangkutan. Dalam memaparkan bagian ini sebagian besar menggunakan metode pemaparan "komparasi", yakni menampilkan realitas pelaksanaan bidang tertentu pada era pemerintahan Orde Baru yang penuh dengan "ketidakadilan" itu yang selanjutnya dibandingkan dengan pandangan dan harapan partai terhadap konsep serta pelaksanaan bidang yang dimaksud. Keempat, paparan teks selanjutnya diikuti oleh paparan tentang tahap persuasi, yakni aktivitas juru kampanye mempersuasi masyarakat Indonesia agar memilih partai yang bersangkutan. Pada bagian ini para jurkam menampilkan berbagai keunggulan partai sebagai satu-satunya partai yang akan dapat memberikan jawaban masa depan Indonesia yang diharapkan oleh setiap orang. Untuk memperkuat daya persuasinya, para juru kampanye dan partai yang berasaskan Islam dan berbasis massa Islam tidak segan-segan mengutip ayat-ayat suci Al-Quran yang relevan dengan konteks yang dimaksud. Sementara itu, partai lain mendayagunakan pantun-pantun tertentu yang relevan. Kelima, paparan teks selanjutnya diakhiri dengan penutup. Terdapat beberapa model yang dipilih, yakni (1) "assalamualaikum wr. wb.", (2) "ayat suci Al-Quran + assalamualaikum wr. wb., (3) "sekian + terima kasih + selamat malam", dan (4) "salam penutup + pekik partai". Pilihan salam penutup "sepadan" dengan salam pembukanya. Pola pengurutan teks dengan model yang pertama secara normatif sesuai dengan ekspektasi pendengar terhadap hakikat sebuah teks politik. Masyarakat Indonesia pada umumnya "berharap" bahwa apa yang disampaikan melalui sebuah kampanye monologis dapat memberikan dan memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi minimal sebuah partai politik tertentu. Model pertama ini umumnya dipilih oleh partai-partai politik yang
495 relatif baru. Partai politik yang ban' berdiri setelah jatubnya pemerintahan Orde Ban' memiliki kepentingan tertentu untuk menampilkan pola pertama ini. Model pertama ini dapat divisualisasikan seperti gambar 6.1 berikut. Catatan gambar 6.1: 1 2 2a 2b
1. Pembukaan
2. Eksposisi 2a. Identitas partai 2b. Program-program partai 3. Persuasi 4. Penutupan
3 4 Gambar 6.1 Pola I Pengurutan Teks Politik
b. Pola
II
Pola yang kedua adalah urutan penahapan dengan menonjolkan bagian tertentu dan "meniadakan" bagian lainnya. Pilihan pola kedua ini amat ideologis karena "memaksa" pendengar untuk mengikuti pilihan tematik sesuai kehendak partai dan "memaksa" pendengar untuk tidak mengetahui hal lain yang penting bagi pendengarnya itu. Pola kedua ini dibangun dari unsur-unsur teks kampanye monologis sebagai berikut. Pertama, teks diawali dengan "salam pembuka". Terdapat beberapa model salam pembuka, yakni (1) "assalamualaikum wr. wb.", (2) "assalamualaikum wr. wb. + ayatayat suci Al-Quran, (3) "assalamualaikum wr. wb." + salam sejahtera bagi kita semua, (4) "selamat malam", (5) "selamat malam + salam kasih", dan (6) salam + pekik partai. Pilihan berbagai salam pembuka akan memberikan prosedur interpretatif bagi pendengar akan identitas partai politik yang sedang berkampanye. Bagian pertama ini relatif sama dengan pola I di atas.
966 Kedua, paparan teks selanjutnya diikuti oleh paparan tentang satu hal penting menurut kacamata partai yang bersangkutan. Partai Golkar, misalnya, memaparkan secara panjang lebar tentang "paradigma barn" Golkar dengan "agak" mengesampingkan paparan tentang program-program partai. Partai Rakyat Indonesia secara panjang lebar memaparkan gerakan reformasi yang diujungtombaki oleh mahasiswa Indonesia. Dalam pandangan PARI, reformasi adalah segala-galanya sebagai pintu gerbang memasuki Indonesia barn. Partai Persatuan Pembangunan secara terinci memaparkan perjalanan panjang partai yang penuh dengan dinamika dan kesalahan-kesalahan masa lalu yang sudah diperbuat oleh pemerintahan Orde Baru. Misalnya, partai ini selalu mengemukakan tindakan walk-out yang cukup menggemparkan pada Sidang Umum MPR tahun 1978 ketika majelis menetapkan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) ke dalam sebuah ketetapan MPR. Ketiga, paparan teks selanjutnya diikuti oleh paparan tentang tahap persuasi, yakni aktivitas juru kampanye mempersuasi masyarakat Indonesia agar memilih partai yang bersangkutan. Pada bagian ini Para jurkam menampilkan berbagai keunggulan partai sebagai satu-satunya partai yang akan dapat memberikan jawaban masa depan Indonesia yang diharapkan oleh setiap orang. Untuk memperkuat dava persuasinya, para juru kampanye dari partai yang berasaskan Islam dan berbasis massa Islam tidak segan-segan mengutip ayat-ayat suci Al-Quran yang relevan dengan konteks yang dimaksud. Sementara itu, partai lain mendayagunakan pantun-pantun tertentu yang relevan. Bagian ketiga ini relatuf sama dengan pola I di atas. Keempat, paparan teks selanjutnya diakhiri dengan penutup. Terdapat beberapa model yang dipilih, yakni (1) "assalamualaikumwr. wb.", (2) "ayat suci Al-Quran + assa-
497 lamualaikum wr. wb., (3) "sekian + terima kasih + selamat malam", dan (4) "salam penutup + pekik partai". Pilihan salam penutup "sepadan" dengan salam pembukanya: Pola pengurutan teks dengan model kedua ini sangat menonjolkan dimensi kekuasaan dari pihak elite atau partai politik. Pada tahap eksposisi, partai politik hanya memberikan sesuatu yang sesuai dengan kehendak partai, bukan atas ekspekstasi pendengarnya. Modal kedua ini dapat divisualisasikan seperti gambar 6.2 berikut. Catatan gambar 6.2: 1 2 2a
1. Pembukaan 2. Eksposisi 2a. Aspek tertentu yang dianggap pentin 3. Persuasi 4. Penutupan
3 4
Gambar 6.2 Pola II Pengurutan Teks Politik
c. Pola III Pola yang ketiga adalah urutan penahapan dengan linearisasi yang "amburadul", dalam pengertian bahwa pemaparan identitas partai, program-program partai, dan persuasi tidak diurutkan secara teratur sehingga mudah dipahami oleh pendengamya. Pola ketiga ini dibangun dari unsur-unsur teks kampanye monologis sebagai berikut. Pertama, teks diawali dengan "salam pembuka". Terdapat beberapa model salam pembuka, yakni (1) "assalamualaikum wr. wb.", (2) "assalamualaikum wr. wb. + avatayat suci Al-Quran, (3) "assalamualaikum wr. wb." + salam sejahtera bagi kita semua, (4) "selamat malam", (5) "selamat malam + salam kasih", dan (6) salam + pekik partai. Pilihan berbagai salam pembuka akan memberikan prosedur interpretatif bagi pendengar
498 akan identitas partai politik yang sedang berkampanye. Bagian pertama ini relatif sama dengan pola I dan II di atas. Kedua, paparan teks selanjutnya diikuti oleh paparan tentang banyak hal yang berkaitan dengan partai. Secara tematik, bagian ini secara implisit berisi visi dan missi partai, program-program partai, identitas partai. Hanya saja, dalam pengurutannya, bagian kedua ini tidak ditata secara linear yang memudahkan pemahaman pendengar. Terdapat kesan, juru kampanye menggunakan logika berpikir yang berputar-putar. Ketiga, paparan teks selanjutnya diakhiri dengan penutup. Terdapat beberapa model yang dipilih, yakni (1) "assalamualaikum wr. wb.", (2) "ayat suci Al-Quran + assalamualaikum wr. wb., (3) "sekian + terima kasih + selamat malam", dan (4) "salam penutup + pekik partai". Pilihan salam penutup "sepadan" dengan salam pembukanya. Pola pengurutan teks dengan model ketiga ini menimbulkan kesan bahwa penghasil teks tidak merencanakan secara matang teks yang dipaparkannya. Pada tahap eksposisi, partai politik secara panjang lebar memaparkan berbagai hal yang berkaitan dengan partai politiknya dengan menggunakan pilihan penahapan yang sulit dipahami. Model ketiga ini dapat divisualisasikan seperti gambar 6.3 berikut. Catatan gambar 6.3: 1 2a 2b 3 Gambar 6.3 Pola III Pengurutan Teks Politik
1. Pembukaan 2a Eksposisi/persuasi 2b Persuasi/eksposisi 3. Penutupan
499 4.3.3 Catatan Penutup: Sebuah Penjelasan Paparan di atas masih belum menjawab persoalan "mengapa" sebuah penyusunan struktur tekstual tertentu dipilih dan dianggap istimewa oleh elite politik tertentu, sebaliknya ditinggalkan dan tidak dianggap istimewa oleh elite politik lainnya. Rumusan ini mengantarkan kita kepada tahap eksplanasi yang menjadi analisis terakhir dalam analisis wacana kritis. Dalam tahap eksplanasi ini wacana politik Indonesia era pasca-Orde Baru akan ditempatkan dalam sebuah elemen dari "proses sosiokultural" pada dua tataran, yakni (1) tataran institusional dan (2) tataran sosial. Tahap eksplanasi ini akan menunjukkan bagaimana kedua proses itu secara ideologis ditentukan oleh relasi-relasi kekuasaan dan pertarungan kekuasaan pada kedua tataran. Tahap ini juga akan menunjukkan bagaimana proses sosiokultural itu secara ideologis determinatif dari relasi-relasi kekuasaan dan pertarungan kekuasaan pada kedua tataran itu. Mengambil pandangan Fairclough (1989:192--194), tahap eksplanasi ini dikembangkan dari dua pertanyaan besar yang akan menjadi acuan dalam paparan ini. Pertanyaan pertama yang diajukan adalah "proses institusional apa yang terjadi dalam teks politik era pasca-Orde Baru dan bagaimana proses itu secara ideologis 'ditentukan' oleh relasi-relasi kekuasaan dan pertarungan kekuasaan serta determinatif dari relasi-relasi kekuasaan dan pertarungan kekuasaan pada kedua tataran di atas". Untuk menjawab pertanyaan pertama ini peneliti mendayagunakan berbagai informasi yang terdapat dalam institusi politik, seperti partai politik, parlemen, institusi pemerintahan, dan media massa. Pertanyaan kedua yang diajukan adalah "proses sosiokultural apa yang terjadi dalam teks politik dan bagaimana proses itu secara ideologis ditentukan' oleh relasi-relasi kekuasaan dan pertarungan kekuasaan serta determinatif dari relasi-relasi kekuasaan dan pertarung-
500 an kekuasaan pada kedua tataran di atas". Untuk menjawab pertanyaan kedua, peneliti mendayagunakan berbagai informasi yang terdapat dalam sistem sosial dan budaya Indonesia yang melatarbelakangi para elite politik Indonesia. 4.3.3.1 Proses Institusional Terdapat sebuah proses institusional yang cukup kompleks dalam wacana politik Indonesia pada era pasca-Orde Baru. Proses itu berupa "pertarungan" lintas institusi yang akhirnya bermuara ke dalam wacana politik. Pilihan dan pemaknaan terhadap struktur tekstual tertentu amatlah dipengaruhi oleh asumsi-asumsi yang dibangun elite politik pada tataran institusi. Dalam pengambilan gilir-tutur, misalnya, yang terjadi adalah "pertarungan" antarinstitusi, yakni antara institusi partai yang sudah berdiri pada era pemerintahan Orde Baru dan institusi partai yang baru berdiri pada era pasca-Orde Baru. Tiga partai "lama", yakni PPP, PG, dan PDI bekerja keras mengambil gilir-tutur dalam setiap kampanye dialogis untuk mempertahankan diri dari serangan lawan-lawan politiknya. Sebaliknya, partai-partai "baru" begitu aktif mengambil gilir tutur untuk menunjukkan kekuasaannya di hadapa elite politik lairmya dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Pertarungan itu dapat diperhatikan pada begitu banyaknya munculnya tumpang tindih tutur dalam teks-teks politik yang bersifat dialogis. Dalam pengontrolan mitra tutur, yang terjadi adalah "pertarungan" antarinstitusi, yakni antara institusi partai yang sudah berdiri pada era pemerintahan Orde Baru dan institusi partai yang barn berdiri pada era pasca-Orde Baru. Tiga partai lama, yakni PPP, PG, dan PDI bekerja keras mempertahankan din dari pengontrolan partaipartai lawan politiknya. Mitra dialog ketiga partai politik lama itu cenderung mengontrol arah topik jawaban yang dikehendakinya. Sebaliknya, partai-partai barn begitu aktif mendayaguna-
501 kan berbagai metode pengontrolan kepada partai-partai lama sebagai manifestasi kekuasaan yang ingin dinaturalisasikannya kepada mitra dialognya. Dalam penataan elemen-elemen teks monologis, misalnya, yang terjadi adalah suatu "pertarungan" antarinstitusi, yakni institusi yang bersangkut paut dengan pemerintahan Orde Baru, yakni PG, dan institusi yang tidak bersangkut paut dengan pemerintahan Orde Baru itu, yakni partai di luar PG. Fenomena yang terjadi adalah "persaingan" dalam penataan elemen-elemen teks politik. Institusi PG menggunakan penataan teks politik ke dalam pola II, yakni memberikan penekanan pada tahap eksposisi dengan materi yang dianggap penting oleh institusi ini. Fakta menunjukkan bahwa PG banyak memaparkan secara panjang lebar materi tentang konsep "paradigma barn Golkar", yakni cara pandang dan cara bersikap dari PG untuk menyelaraskan dengan semangat reformasi yang dikumandangkan mahasiswa dan kelompok prodemokrasi. Sebaliknya, institusi non-PG menata teks politiknya ke dalam dua cara. Pertama, institusi yang menata teks politik ke dalam pola II, sama dengan institusi PG. Yang membedakannya adalah pengisi bagian eksposisi yang lebih-banyak menyoroti kelemahan-kelemahan atau kebobrokan-kebobrokan pemerintahan Orde Baru yang di dalamnya termasuk PG. Kedua, institusi yang menata teks politiknya ke dalam pola I, yakni pola penataan yang relatif lengkap dari sebuah teks politik monologis sesuai dengan ekspektasi masyarakat Indonesia. 4.3.3.2 Proses Sosiokultural Terdapat proses sosiokultural yang cukup kompleks dalam wacana politik Indonesia pada era pasca-Orde Baru. Proses itu berupa "pertarungan" sistem sosiobudaya "lama" dengan sistem sosiobudaya "bare". Sistem budaya lama Indonesia yang didominasi oleh sistem budaya Jawa mendapat tantangan sistem budaya yang lebih global yang secara
502 normatif tidak sesuai dengan budaya lama. Proses pertarungan juga berlangsung antara "sistem budaya tradisi" dan "sistem budaya agama". Memanfaatkan pandangan Alisjahbana (1982; 1986), proses sosiokultural yang terjadi dalam wacana politik Indonesia adalah "pertarungan" antara sistem budaya "ekspresif' dan "progresif'. Sistem budaya ekpresif adalah sistem budaya yang didominasi oleh nilai-nilai agama dan seni. Sistem budaya progresif adalah sistem budaya yang didominasi oleh nilai-nilai teori dan ekonomi. Pertarungan ini dapat diperhatikan pada sifat teks yang disusunnya. Partai-partai yang memiliki latar belakang marhaenisme, misalnya, cenderung menyusun teks dengan nada ketidaklangsungan, sebaliknya partai-partai yang berasaskan dengan "sosial demokrasi" cenderung menyusun teks dengan nada kelangsungan. Dalam proses sosiokultural juga terjadi pertarungan antara sistem budaya tradisi dan sistem budaya agama (Islam). Dalam penyusunan teks politiknya, elite politik yang lebih dikuasai oleh sistem budaya tradisi cenderung membangun teks dengan mengemukakan landasan-landasan yang berasal dari nilai tradisi, misalnya nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh sistem budaya tertentu. Sementara itu, elite politik yang lebih dikuasai oleh sistem budaya agama (Islam) cenderung membangun teks politiknya dengan mengemukakan landasan-land2san yang berasal dari kitab suci Al-Quran dan Al-Hadits. Bahkan, ayat-ayat suci AI-Quran dan sabda Nabi digunakan sebagai pembangun teks politik mereka, mulai dari perribukaan, isi, sampai pada penutupan.