BAB IV PAPARAN DAN ANALISIS DATA
Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) mulai diperkenalkan ke masyarakat, khususnya kalangan penegak hukum, pada 7 April 2005 di Balai Sudirman, Jakarta Selatan. Acara perkenalan PERADI, selain dihadiri oleh tidak kurang dari 600 advokat se-Indonesia, juga diikuti oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Menurut Pasal 32 ayat (4) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat), Organisasi Advokat harus terbentuk dalam waktu paling lambat dua tahun sejak undang-undang tersebut diundangkan. Banyak pihak yang meragukan para advokat dapat memenuhi tenggat waktu yang dimaksud oleh undang-undang. Pada kenyataannya, dalam waktu sekitar 20 bulan sejak diundangkannya UU Advokat atau tepatnya pada 21 Desember 2004, advokat Indonesia sepakat untuk membentuk PERADI.
58
59
Kesepakatan untuk membentuk PERADI diawali dengan proses panjang. Pasal 32 ayat (3) UU Advokat menyatakan bahwa untuk sementara tugas dan wewenang Organisasi Advokat dijalankan bersama-sama oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI). Untuk menjalankan tugas yang dimaksud, kedelapan organisasi advokat di atas, pada 16 Juni 2003, setuju memakai nama Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI). Sebelum pada akhirnya sepakat membentuk PERADI, KKAI telah menyelesaikan sejumlah persiapan. Pertama yaitu melakukan verifikasi untuk memastikan nama dan jumlah advokat yang masih aktif di Indonesia. Proses verifikasi sejalan dengan pelaksanaan Pasal 32 ayat (1) UU Advokat yang menyatakan bahwa advokat, penasihat hukum, dan konsultan hukum yang telah diangkat saat berlakunya undang-undang tersebut dinyatakan sebagai advokat sebagaimana diatur undang-undang. Sebanyak 15.489 advokat dari 16.257 pemohon dinyatakan memenuhi persyaratan verifikasi. Para advokat tersebut telah menjadi anggota PERADI lewat keanggotan mereka dalam delapan organisasi profesional yang tergabung dalam KKAI. Sebagian bagian dari proses verifikasi, dibentuk pula sistem penomoran keanggotaaan advokat untuk lingkup nasional yang juga dikenal dengan Nomor Registrasi Advokat. Selanjutnya, kepada mereka yang lulus persyaratan verifikasi
60
juga diberikan Kartu Tanda Pengenal Advokat (KTPA). Di masa lalu, KTPA diterbitkan oleh pengadilan tinggi di mana advokat yang bersangkutan berdomisili. Peluncuran KTPA sebagaimana dimaksud dilakukan pada 30 Maret 2004 di Ruang Kusumah Atmadja, Mahkamah Agung Republik Indonesia. Persiapan kedua adalah pembentukan Komisi Organisasi dalam rangka mempersiapkan konsep Organisasi Advokat yang sesuai dengan situasi dan kondisi di Indonesia. Kertas kerja dari Komisi Organisasi kemudian dijadikan dasar untuk menentukan bentuk dan komposisi Organisasi Advokat yang dapat diterima oleh semua pihak. Persiapan lain yang telah dituntaskan KKAI adalah pembentukan Komisi Sertifikasi. Komisi ini mempersiapkan hal-hal menyangkut pengangkatan advokat baru. Untuk dapat diangkat menjadi advokat, selain harus lulus Fakultas Hukum, UU Advokat mewajibkan setiap calon advokat mengikuti pendidikan khusus, magang selama dua tahun di kantor advokat, dan lulus ujian advokat yang diselenggarakan Organisasi Advokat. Peraturan untuk persyaratan di atas dipersiapkan oleh komisi ini. Setelah pembentukannya, PERADI telah menerapkan beberapa keputusan mendasar. Pertama, PERADI telah merumuskan prosedur bagi advokat asing untuk mengajukan rekomendasi untuk bekerja di Indonesia. Kedua, PERADI telah membentuk Dewan Kehormatan Sementara yang berkedudukan di Jakarta dan dalam waktu dekat akan membentuk Dewan Kehormatan tetap. Pembentukan Dewan Kehormatan di daerah lain saat ini menjadi prioritas PERADI. Ketiga, PERADI telah membentuk Komisi Pendidikan Profesi Advokat Indonesia
61
(KP2AI). Komisi ini bertanggung jawab seputar ketentuan pendidikan khusus bagi calon advokat serta pendidikan hukum berkelanjutan bagi advokat. Baik KKAI maupun PERADI telah menyiapkan bahan-bahan dasar untuk digunakan PERADI untuk meningkatkan manajemen advokat di masa yang akan datang. Penting pula untuk dicatat bahwa hingga saat ini seluruh keputusan, termasuk keputusan untuk membentuk PERADI dan susunan badan pengurusnya, telah diambil melalui musyawarah untuk mencapai kesepakatan berdasarkan paradigma advokat Indonesia. Meski usia PERADI masih belia, namun dengan restu dari semua pihak, PERADI berharap dapat menjadi organisasi advokat yang bebas dan independen, melayani untuk melindungi kepentingan pencari keadilan, dan menjalankan tugas sebaik-baiknya untuk melayani para anggotanya.43 Kantor cabang Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) saat ini sudah tersebar di seluruh Indonesia, termasuk di Malang. Untuk wilayah malang, terdapat sebuah Dewan Pengurus Cabang (DPC) PERADI, yang beralamat di Jl. Candi Sewu No. 10 Malang. Adapun susunan kepengurusannya adalah sebagai berikut : Ketua
:
H. Sutrisno, S.H. M.Hum.
Wakil Ketua I
:
Soehartono Soemarto, S.H., M.Hum.
Wakil Ketua II
:
Iwan Kuswardi, S.H.
Wakil Ketua III
:
H. Robikin Emhas, S.H., M.H.
Wakil Ketua IV
:
Gaspar Ganggas, S.H. Msi
http://peradicabmalang.org. diakses pada : 27 Maret 2011
62
Wakil Ketua V
:
Gunadi Handoko, S.H, M.M., M.H.
Sekretaris
:
Setyo Eko Cahyono, S.H.
Wakil Sekretaris
:
H. Bachtiar Effendi, S.H
Wakil Sekretaris
:
Sudarmadi, S.H., M.H.
Wakil Sekretaris
:
Irawan Sukma, S.H.
Wakil Sekretaris
:
Drs. M. Jupri M. Adi, S.H..MM..M.H.
Bendahara
:
Ink Dwi Ratna Wulandari, S.H.
Wakil Bendahara
:
Sulik Lestyowati, S.H., M.H.
Wakil Bendahara
:
Nur Saifur Rauf, S.H
Wakil Bendahara
:
Zeistina C. Asrini, S.H., M.Hum
BIDANG-BIDANG Bidang Organisasi dan Administrasi Ketua
:
H. Suryadin Achmad, S.H.
Anggota
:
Jeffry Yoda, S.H.M.H. Rudi Subianto, S.H.
Bidang Pengembangan Profesi Advokat Ketua
:
Hasan Djalil, S.H.
Anggota
:
H.Moch. Taqrib, S.H., M.H. Imam Hidayat, S.H.
Bidang Pendidikan dan Pembinaan : Ketua
:
Masbuhin, S.H.
Anggota
:
Solehuddin, S.H., M.H.
63
Much. Mochtar, S.H., Msi Bidang Pengabdian Masyarakat Ketua
:
Wrestiandini, S.H.
Anggota
:
Muhammad Umar Dong, S.H. Erpin Yuliono, S.H. Hamka, S.H. Meity Prawestri, S.H.
Bidang Komunikasi & Humas Ketua
:
Budiono, S.H.
Anggota
:
Ekkum, S.H. Sentot Yusuf Patrikha, S.H. Anas Sulaiman, S.H.
Bidang Hubungan Antar Lembaga Ketua
:
Eko Budhi Prasetyo, S.H..M.H.
Anggota
:
Aristoteles Katjasungkono, S.H. Dwi Wimbo Jusworo, S.H.
Bidang Penelitian dan Pengembangan Hukum Ketua
:
Henny Mono, S.H.
Anggota
:
Tulus Wahjuono, S.H., M.H. Waluyo S Putro, S.H.
64
Bidang Pembelaan Profesi Advokat Ketua
:
Eko Arif Mudji Antono, S.H., M.H.
Anggota
:
Koko Widyatmoko, S.H. Husain Tarang, S.H. Wahyudi Hidayat, S.H Zarkasi Octa Anthony, S.H. Dian Aminudin, S.H Rahab, S.H
Bidang Bantuan Hukum Ketua
:
Henru Purnomo, S.H. M.H.
Anggota
:
Ali Wahyudin, S.H. Indra Herry Narno, S.H. Nanianto, S.H Yudho Prihanto, S.H Nurul Yaqin, S.H. Hari Rumpoko, S.H Djuprianto, S.H. Rudy Sumodiharjo, S.H. Dwi Yudha Puspiko, S.H
Dewan Penasihat Ketua
:
Sugiono, S.H.
Anggota
:
Suhendro Priyadi, S.H.
65
H.Bachtiar Ibrahim, S.H.MHum. Dr. Budi Kusumaningatik, S.H., R Mulyono, S.H. Hadi Sutjipto, S.H..M.H. Haris Fajar Kustaryo, S.H. Rachman Sulaiman, S.H Herry Widjianto, S.H. Drs. Ec. Husni Thamrin, S.H., MBA Abraham Matulessy, S.H. Rochim Asnawie, S.H. Ismail Modal, S.H.
Pemahaman Advokat Anggota DPC PERADI Malang terhadap Perkara Ekonomi Syariah Praktik hukum ekonomi Syariah sebenarnya sudah ada di negeri ini dalam berbagai bentuk sejak umat Islam membangun masyarakat. Misalnya adalah hukum ekonomi Islam dalam bentuk transaksi jual beli, perjanjian dagang, sewamenyewa, gadai, dan lain-lain yang memerhatikan kaidah halal haram dan pelarangan riba. Begitu juga pelaksanaan zakat, infak, sedekah, hibah, wasiat dan kewarisan syari’ah, tetapi semua itu pada umumnya hanya dilaksanakan sebagai hukum diyani murni dan tidak banyak melibatkan keuangan Negara dalam bentuk hukum qadha’i modern di mana terdapat lembaga penyelesaian sengketa dalam hal terjadi sengketa, badan yang bertanggung jawab dalam melaksanakan setiap
66
putusan yang diambil, peraturan perundang-undangan yang jelas, dan lain-lain yang berhubungan. Kehadiran hukum ekonomi Islam dalam Tata Hukum Indonesia dewasa ini, sesungguhnya tidak lagi hanya sekedar tuntutan sejarah dan kependudukan (karena mayoritas beragama Islam) sebagaimana anggapan sebagian orang, lebih jauh dari itu, yaitu karena adanya kebutuhan masyarakat luas setelah diketahui dan dirasakan benar betapa adil dan meratanya system ekonomi syariah dalam mengawali kesejahteraan rakyat sebagaimana yang dicita-citakan para pendiri Negara Republik Indonesia. Ketika berbicara masalah hukum, maka tentunya harus juga dibahas masalah substansi dan aparat penegak hukum. Secara substansi hukum, ekonomi syariah saat ini sudah cukup mendapat perhatian dari berbagai pihak termasuk dari pemerintah. Hal ini dibuktikan dengan diberlakukannya peraturan dan perundangan yang berkaitan dengan ekonomi syariah seperti undang-undang perbankan syariah dan kompilasi hukum ekonomi syariah (KHES). Adapun berkenaan dengan penegak hukum, telah dilakukan wawancara dengan advokat sebagai salah satu aparat penegak hukum di Indonesia. Dalam hal ini adalah advokat anggota DPC PERADI Malang. Pendapat dan pandangan para advokat, cukup beragam dalam menanggapi masalah ekonomi syariah, bahkan ada beberapa advokat yang agak keberatan dan menolak untuk diwawancarai dan diminta pendapat mengenai ekonomi syariah. Salah seorang yang bersedia diwawancarai adalah Bapak Koko Widyatmoko, S.H.. Pada awalnya beliau mengatakan :
67
“Saya kurang begitu paham tentang ekonomi syariah karena masih relative baru. Karena saya praktisi ya, implementasinya masih kurang”44 Pernyataan senada juga disampaikan oleh advoakt lain di PERADI, yaitu Bapak Dian Aminudin, S.H. Pernyataan seperti di atas sekilas menegaskan bahwa sebagai seorang advokat dan praktisi hukum, Bapak Koko Widyatmoko kurang memahami permasalahan ekonomi syariah. Akan tetapi, yang dimaksud kurang begitu memahami adalah pada tataran praktek dan penyelesaian sengketanya. Hal ini terlihat dari pernyataan beliau selanjutnya : “Perkembangannya (ekonomi syariah) cukup bagus. Makanya itu ada (hukum) acara sendiri untuk ekonomi syariah. Kompilasi hukum ekonomi syariah kan ada sendiri. Kalau di pengadilan agama sudah ada kompilasi hukum islam, sekarang sudah ada kompilasi hukum ekonomi syariah. Tapi masih relative baru, implementasinya juga masih kurang. Jadi untuk secara praktek di lapangan kurang diserap.”45 Pernyatan ini menunjukkan bahwa pada dasarnya Bapak Koko Widyatmoko sebagai seorang advokat, sudah cukup memahami perkembangan ekonomi syariah di Indonesia. Akan tetapi, pemahaman itu dianggap kurang lengkap bagi seorang praktisi hukum, mengingat bahwa implementasi peraturan hukum yang berkaitan dengan ekonomi syariah masih relative baru dan masih belum diimplementasikan secara maksimal. Bahkan secara jujur beliau mengatakan bahwa hingga saat ini beliau belum pernah menangani sengketa ekonomi syariah. Demikian juga dengan Bapak Dian Aminudin. Beliau menjelaskan : “Perkembangan ekonomi syariah di Indonesia saya rasa cukup pesat. Baik itu dari segi regulasinya ataupun dari segi pembentukan institusi-institusinya. Dari segi regulasinya bisa 44
Koko Widyatmoko, S.H., Wawancara. Ibid.,Wawancara.
68
kita lihat dari adanya perbankan syariah, peraturan-peraturan bank Indonesia tentang itu sudah cukup banyak. Terus untuk kelembagaannya juga ada yang namanya dewan ekonomi syariah, lalu juga sengketa-sengketa syariah juga sudah terlembagakan berdasarkan UU no. 3 tahun 2006, kalau gak salah, tentang perubahan atas UU peardilan Agama, di situ dinyatakan bahwa sengketa ekonomi syariah menjadi kewenangan dari peradilan agama.”46 Peraturan yang berkaitan dengan ekonomi syariah saat ini memang sudah mulai banyak ditemukan, seperti undang-undang no. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah. Bahkan kompilasi hukum ekonomi syariah sebagai salah satu landasan materiil penyelesaian sengketa ekonomi syariah juga sudah diberlakukan, walaupun ditetapkan melalui peraturan mahkamah agung. Advokat lain nampaknya juga mempunyai pandangan yang sama tentang perkembangan ekonomi syariah di Indonesia ; bahwa ekonomi syariah mengalami perkembangan yang cukup bagus dan signifikan. Akan tetapi, yang bisa menunjukkan perkembangan dan kemajuan ekonomi syariah dengan cukup benar, baik pada permasalahan landasan normatifnya atau di aspek prakteknya di lapangan, hanya Bapak Koko Widyatmoko dan Bapak Dian Aminudin. Adapun yang lain belum bisa menegaskan titik kemajuan dan perkembangan ekonomi syariah itu sendiri. Sebagai contoh, Bapak Irawan Sukma mengatakan : “Menurut saya perkembangannya cukup bagus. Karena pertama kan mayoritas penduduk Negara kita muslim. Yang kedua, kalau pendapat saya, prinsip perbankan syariah dan prinsip perbankan umum itu kurang lebih sama. Hanya saja kalau prinsip perbankan syariah, atau ekonomi syariah, yang saya tahu itu kan lebih mengedepankan asas kesepakatan.” Adapun Bapak Affandi menjelaskan :
Dian Aminudin, SH., Wawancara
69
“Kita gak pernah tahu persis perkembangannya. Yang kita tahu adalah kit abaca media saja. Kita gak pernah meneliti lebih dalam. Hanya saja media, pimpinan bank syariah bicara bahwa perkembangannya bagus, profitnya juga.” Pendapat Bapak Irawan dan Bapak Affandi di atas menunjukkan bahwa beliau berdua tidak terlalu mengikuti perkembangan ekonomi syariah di Indonesia. Sangat berbeda dengan penjelasan Bapak Koko dan Bapak Dian yang menjelaskannya hingga pada perkembangan regulasi hukum dan aturan perundang-undangan yang melandasi praktek ekonomi syariah di Indonesia. Berkenaan dengan penyelesaian sengketa ekonomi syariah, Bapak Koko Widyatmoko menjelaskan : “Dari segi kewenangan, dilihat sengketa ekonomi syariah dalam hal apa? Perdata atau pidana? Kalau perdata, menjadi kewenangan pengadilan agama. Karena pengadilan agama identik dengan hukum islam. Tapi kalau tindak pidana ekonomi, tindak pidana ekonomi kan ada, tentunya sudah menjadi kewenangan pengadilan negeri, bukan pengadilan agama, walaupun yang dilakukan adalah ekonomi syariah. Seandainya mengandung unsur pidana, tetap ke pengadilan negeri.”47 Walaupun belum pernah menangani sengketa ekonomi syariah, dari pernyataan di atas dapat diketahui bahwa Bapak Koko Widyatmoko memang sudah memahami permasalahan ekonomi syariah dengan cukup mendalam. Semua yang disampaikan sudah sesuai dengan undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama, sebagai tata aturan perundang-undangan yang pertama kali secara tegas menetapkan aturan penyelesaian sengketa ekonomi syariah.
Ibid., Wawancara
70
Pendapat yang sedikit berbeda dalam menanggapi sengeketa ekonomi syariah disampaikan oleh Bapak Affandi, SH., beliau mengatakan : “Memang di pasal 49 (UU. No. 3 tahun 2006), kewenangan peradilan agama diantaranya adalah ekonomi syariah. Saya kira semua teman-teman, belum pernah ekonomi syriah diajukan ke pengadilan agama. Sekarang, ekonomi syariah yang bagaimana yang menjadi kewenangan pengadilan agama? Kalau dengan bank syariah berkaitan dengan utang piutang atau penanaman modal. Kalau penanam modal, itu syirkah, pendapatannya bagi hasil. Tapi kalau utang, itu mengikuti bank konvensional, utang piutang, menggunakan jaminan. kalau wan prestasi, perkaranya jadi wewenang pengadilan negeri, bukan pengadilan agama.”48 Pendapat Bapak Affandi di atas berkaitan dengan utang-piutang atau pinjaman dalam system ekonomi syariah nampak sangat bertentangan dengan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Republik Indonesia Nomer 2 tahun 2008. Pasal 309 PERMA tersebut berbunyi : 1) Pihak pemberi pinjaman dapat memaksa peminjam untuk membayar utang dengan segera apabila diduga yang bersangkutan akan melarikan diri dari tanggungjwabnya. 2) Pengadilan dapat memaksa peminjam untuk mencari penjamin atas permohonan pihak pemberi pinjaman.49 Adapun yang dimaksud pengadilan pada ketentuan ini dijelaskan pada Buku I ; Subjek hukum dan amwal, pasal 1 ayat (8), yang berbunyi : Pengadilan adalah pengadilan / mahkamah syar’iyah dalam lingkungan peradilan agama.50 Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dikatakan bahwa segala permasalahan hukum dan sengketa pada aspek perdata dalam konsep ekonomi syariah di Indonesia diselesaikan di lingkungan pengadilan agama, kecuali ada perjanjian lain antara para pihak di perbankan syariah dalam proses penyelesaian 48
Affandi, SH., Wawancara. www.badilag.net diakses pada 27 maret 2011 www.badilag.net diakses pada 27 maret 2011
71
sengketanya dengan tetap menjunjung prinsip syariah. Hal ini seperti yang diatur pada pasal 55 Undang-undang nomor 21 tahun 2008, yang berbunyi : 1) Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama 2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad. 3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah.51 Menanggapi penyelesaian sengketa ekonomi syariah, secara lebih rinci dijelaskan oleh Bapak Nur Saifur Rauf, SH : “Intinya kan kembali lagi ke kesepakatan yang dituangkan, karena itulah yang berlaku sebagai undang-undang. Apakah perjanjian itu bertentangan dengan peraturan yang diaturnya atau tidak.”52 Perjanjian yang dimaksud dalam pernyataan Bapak Nur Saifur Rauf ini adalah kesepakatan yang dilakukan oleh dua pihak yang terlibat transaksi ekonomi syariah. Pendapat senada juga disampaikan oleh Sekretaris DPC. PERADI Malang, Bapak Setyo Eko Cahyono, SH., yang mana beliau juga menekankan konsep ekonomi syariah dan penyelesaian sengketanya pada bentuk dan pelaksanaan perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang terlibat dalam transaksi. Dalam ekonomi syariah, kesepakatan seperti yang dimaksud oleh Bapak Nur Saifur Rauf dan Bapak Setyo Eko Cahyono lebih dikenal dengan akad, sebagaimana dijelaskan dalam Undang-undang No. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah, pasal 1 ayat (13) :
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94 Nur Saifur Rauf, SH., Wawancara.,
72
Akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank syariah atau UUS dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah.53 Ketika dihadapkan pada ketentuan pasal ini, pernyataan Bapak Nur Saifur Rauf dan Bapak Setyo Eko Cahyono yang mengatakan bahwa suatu kesepakatan berlaku sebagai undang-undang bagi pihak yang membuat, memang tidak salah. Akan tetapi, permasalahan sengketa tidak hanya dapat terjadi akibat pengingkaran salah satu pihak terhadap perjanjian, tetapi juga bisa karena ketidaksesuaian perjanjian dengan prinsip syariah. Jika ketidaksesuaian ini memang ditemukan, maka perjanjian tersebut bisa dianggap batal demi hukum. Menyinggung masalah konsep ekonomi syariah ketika dibandingkan dengan konsep ekonomi konvensional, Bapak Irawan Sukma, S.H. mengatakan : “Kalau pendapat saya sendiri, prinsip perbankan umum dan perbankan syariah itu sebenarnya kurang lebih sama. Hanya saja kalau prinsip perbankan syariah atau ekonomi syariah ya, yang saya tahu, itu memang lebih mengedepankan kesepakatan. Kalau ekonomi konvensional sudah ditentukan oleh salah satu pihak. Dalam hal ini adalah penyandang dana.” 54 Ketika ditarik pada permasalahan sengketa ekonomi syariah, pendapat ini serupa dengan sengan pendapat Bapak Nur Saifur Rauf dan Bapak Setyo Eko Cahyono ; penekanannya adalah pada perjanjian dan kesepakatan ketika terjadi transaksi. Penjelasan pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama (selanjutnya disingkat UU Peradilan Agama), menyebutkan bahwa ekonomi Islam adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip Islam.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94 Irawan Sukma, S.H. Wawancara.
73
Ekonomi Islam meliputi Bank Islam, Lembaga Keuangan Mikro Islam, Asuransi Islam, Reasuransi Islam, Reksadana Islam, Obligasi dan Surat Berharga Berjangka Menengah Islami, sekuritas Islami, Pembiayaan Islami, Pegadaian Islami, Dana Pensiun Lembaga Keuangan Islami, dan Bisnis Islami.55 Nampaknya hal ini belum diperhatikan oleh Bapak Irawan sehingga beliau mengatakan bahwa prinsip perbankan umum dan perbankan syariah itu sebenarnya kurang lebih sama. Selain itu, perlu juga dikembalikan pada pendapatnya Muhammad Abdul Manan yang mendefinisikan Ekonomi Islam sebagai ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi yang diilhami oleh nilai-nilai Islam. Nilai-nilai islam sangat tidak memperbolehkan riba, hal-hal yang berkaitan dengan barang ataupun perbuatan yang diharamkan dan segala hal yang membawa mudarat dan merusak moral. Mengedepankan kesepakatan yang disebutkan dalam pernyataan Bapak Irawan Sukma, Bapak Nur Saifur Rauf dan Bapak Setyo Eko Cahyono ini menunjukkan bahwa dalam praktek ekonomi syariah mengharuskan adanya asas saling rela (‘an tarodlin) antara nasabah dan penyandang dana. Berdasarkan prinsip ekonomi Islam, kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang untuk menyejahterakan dirinya, memang tidak boleh dilakukan dengan mengabaikan dan mengorbankan kepentingan orang lain dan masyarakat secara umum. Untuk mencapai hal ini, antara penyandang dana dan nasabah harus membuat sebuah kesepakatan yang bersumber dari kedua belah pihak sehingga dari upaya ini tidak ada salah satu pihak yang merasa diberatkan, apalagi dirugikan.
55
Rivai Veithzal. Andi Buchari. Islamic Economics. Jakarta: Bumi Aksara. 2009. Hlm. 325-326
74
Prinsip yang disampaikan oleh Bapak Irawan Sukma dalam pernyataan singkatnya, sebenarnya masih berupa prinsip yang sangat global dan belum cukup menunjukkan adanya perbedaan yang sangat signifikan antara ekonomi syariah dan ekonomi konvensional. Apalagi ketika berbicara masalah kesepakatan, hubungan dan transaksi dalam ekonomi konvensional juga didahului dengan adanya sebuah kesepakatan antara nasabah dengan penyandang dana. Beliau juga tidak menyinggung masalah riba dan suku bunga, padahal disitulah salah satu perbedaan yang signifikan antara ekonomi syariah dan ekonomi konvensional dapat diketahui. Secara lebih jauh Bapak Irawan menjelaskan pendapatnya tentang kelebihan dan kekurangan ekonomi syariah, yaitu : “Kalau di ekonomi syariah, menurut saya memang kalau kelebihan jelas ; dia mengutamakan asas kesepakatan bersama. Kalau bagi saya. Kekurangannya, mungkin akhirnya tidak bisa menyatu dengan seluruh lapisan masyarakat. Karena itu tadi, unsurnya adalah unsur agama. Iya kan? Gak mungkin bisa. Non muslim gak mungkin lah, ya invest, ya nabung, ya kredit. Itu menurut pandangan saya..”56 Perlu kita ingat bahwa untuk permasalah ekonomi, termasuk ekonomi syari’ah, dalam prakteknya tidak bisa dibeda-bedakan antara muslim dan non muslim. Terbukti bahwa Inggris sebagai pusat keuangan dunia di Eropa, telah mengklaim dirinya sebagai pusat keuangan Syari’ah dunia di Eropa. Terlepas dari jumlah komunitas Muslim di sana yang kuang lebih hanya 2 juta orang, Inggris secara professional memandang Islamic banking sebagai peluang pasar baru yang sangat
Ibid., Wawancara
75
potensial.57 Kenyataannya juga, Direktur Bank Syari’ah Bukopin mengatakan bahwa Bank Syariah Bukopin tidak hanya menjaring nasabah muslim, namun juga menjaring semua golongan, karena sistem perbankan syariah akan dapat dimanfaatkan oleh semua orang.58 Bank Syari’ah Mega Indonesia juga tercatat mempunyai banyak nasabah non-muslim. Bahkan pegawainya sebagian juga dari non Muslim.59 Melihat pernyataan-pernyataan Bapak Irawan Sukma, dapat diketahui bahwa pemahaman beliau akan ekonomi syariah masih bersifat global dan kasuistik, dan secara tegas beliau juga mengatakan bahwa pengetahuan beliau masalah ekonomi syariah lebih banyak didapatkan karena saat ini beliau memang sedang menangani kasus sengketa ekonomi syariah di Surabaya. Pendapat dan pernyataan advokat anggota DPC PERADI Malang di atas, menunjukkan adanya dua fenomena pemahaman terhadap ekonomi syariah di kalangan advokat. Pertama, pemahaman yang bersifat responsive. Yang dimaksud dengan pemahaman responsive adalah pemahaman yang didapat karena mengikuti dan merespon perkembangan dan fenomena hukum di masyarakat serta tidak hanya karena adanya tuntutan penanganan sengketa belaka. Pemahaman ini seperti pemahamannya Bapak Koko Widyatmoko dan Bapak Dian Aminudin; walaupun beliau berdua belum pernah menangani sengketa ekonomi syariah, akan tetapi telah banyak mengetahui praktek dan permasalahan hukum ekonomi syariah di Indonesia. Kedua, pemahaman kasuistik. Yaitu pemahaman akan ekonomi syariah yang lebih banyak diperoleh karena adanya sengketa yang ditangani. 58
http://www.pkesinteraktif.com/content/view/3428/87/lang,id/ diakses pada : 26 Maret 2011 http://www.republika.co.id/berita/20010/ diakses pada : 26 Maret 2011 Majalah Gatra (11 – 24 Oktober 2007), 15 – 16.
76
Seperti Bapak Irawan Sukma, secara tegas beliau mngatakan bahwa beliau lebih banyak memahami karena kebetulan sedang menangani sengketa ekonomi syariah. Perbedaan fenomena dan jenis pengetahuan dapat dilihat lebih jauh dengan menggunakan tingkat pengetahuan perspektif filsafat ilmu. Terdapat tiga landasan yang dapat membedakan fenomena dan jenis pengetahuan, yaitu : ontology, epistemology dan aksiologi. Landasan ontologis menguak tentang objek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut? bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (sepert berpikir, merasa dan
mengindera)
yang
membuahkan
pengetahuan?.
Adapun
landasan
epistimologis berusaha menjawab bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara/tehnik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?. Sedangkan landasan aksiologi akan menunjukkan untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang
merupakan
operasionalisasi
metode
ilmiah
dengan
norma-norma
moral/professional?60 Dilihat dengan tiga landasan ini, sangat jelas terlihat bahwa pemahaman para advokat yang bersedia diwawancarai belum cukup memiliki Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hal. 34-35
77
landasan epistimologis. Bahkan sebagian belum memenuhi landasan ontologis. Hal ini dapat dilihat dengan adanya pendapat sebagian besar advokat yang belum menunjukkan wujud yang hakiki dari ekonomi syariah. Terlepas dari perbedaan fenomena pemahaman ini, terdapat beberapa orang yang menolak untuk diwawancara dan secara tegas mengatakan bahwa meraka memang belum memahami system ekonomi syaraiah, baik pada prakteknya ataupun pada permasalahan hukumnya. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa dari sekian banyak advokat DPC PERADI Malang yang bersedia memberikan keterangan masalah ekonomi syariah, belum cukup memahami permasalahan ekonomi syariah secara komprehensif, dibuktikan dengan adanya beberapa orang advokat yang memberikan pendapat yang kurang sesuai bahkan cenderung bertentangan dengan peraturan-peraturan yang berkenaan dengan ekonomi syariah di Indonesia. Hal ini bisa dikarenakan hukum ekonomi syariah masih berupa hal yang relatif baru dan implementasinya juga masih kurang.