BAB IV Pandangan jemaat GPIB Bukit Harapan Surabaya tentang diakonia 4.1. Diakonia sebagai perwujudan Hukum Kasih Gereja dapat dikatakan sebagai gereja apabila dia sudah dapat menjalankan fungsinya, yaitu sebagai sarana dalam karya penyelamatan Allah untuk dunia dan umat manusia. Melayani atau pelayanan (diakonia) merupakan salah satu dari tiga tugas panggilan gereja. Gereja tidak boleh dibatasi semata-mata hanya hal-hal yang bersifat ritual (ibadah, kebaktian, liturgi dan doa). Memang hal-hal yang bersifat ritual penting untuk manusia dalam menghadapi kehidupan dunia nyata yang keras, akan tetapi dunia nyata yang keras ini jauh lebih besar daripada kebutuhan manusia akan ritual. Oleh sebab itu diakonia gereja jangan disempitkan maknanya hanya sebatas hal-hal yang bersifat ritual. Karena keimanan kita harus meliputi dunia nyata yang keras, bukan terbatas pada dunia ritual. 1 Apabila pelayanan dianggap sebagai aspek ritual atau alat untuk membantu organisasi gereja, maka pelayanan tidak akan pernah menjadi pelayanan sosial yang menjangkau masyarakat luas.2 Diakonia bukan sekedar memberi uang, tetapi diakonia merupakan panggilan untuk berbagi solidaritas dengan yang miskin dan tertindas. 3 Mengapa kemiskinan menjadi masalah yang penting dan membutuhkan banyak perhatian, karena kemiskinan bukanlah akibat dari kehendak jelek orang miskin itu sendiri, misalnya malas atau judi, melainkan akibat strukturisasi proses-proses ekonomi, politik, sosial, dan ideologis, bahwa masyarakat dibelenggu faham-faham yang menutup-nutupi ketidakadilan 1
Emanuel Gerrit Singgih, Reformasi dan Transformasi..., 24 Ibid 3 Josef. P. Widyatmadja, Diakonia Sebagai..., 40-43 2
dan kemiskinan dan memperlihatkannya sebagai faktor-faktor objektif belaka. Pada intinya kita sebagai orang Kristen dan gereja berkewajiban untuk sedapat-dapatnya menghilangkan sebabsebab kemiskinan, khususnya untuk membongkar struktur proses-proses ekonomis dan strukturstruktur kekuasaan yang melestarikan ketidakadilan sosial4. Disamping itu mengapa gereja ditekankan untuk memperhatikan masalah kemiskinan. Karena di dalam kitab suci orang Kristen yang menjadi pedoman hidup orang Kristen itu sendiri, di dalamnya banyak terdapat ayat-ayat yang mengajarkan kepada umatNya untuk mempedulikan orang miskin. Dalam hal ini gereja diperingatkan secara langsung untuk benar-benar mempedulikan orang miskin, karena orang miskin merupakan bagian dari keberadaan orang Kristen dan gereja. Untuk itulah kehadiran gereja di dunia ini. Bukan untuk dirinya sendiri, melainkan juga untuk mereka yang tertindas dan miskin. Gereja hadir untuk berpihak kepada yang lemah, yang tidak berdaya, yang miskin dan yang terpinggirkan. Jika gereja tidak mempedulikan dan berpihak kepada yang lemah, maka kehadiran gereja tidak memiliki makna. Agar pemikiran di atas menjadi relevan, setidaknya gereja harus didorong untuk hidup dalam kesederhanaan. Dan wujud dari rasa solidaritas gereja kepada orang-orang miskin yang masih belum terentaskan di Indonesia ini adalah gereja harus melakukan kritik internal secara terus-menerus terhadap berbagai aktivitas dan pelayanannya yang hanya menonjolkan kemeriahan, namun tidak berdampak kepada perubahan sikap dan sensitivitas jemaat terhadap berbagai persoalan kemiskinan di masyarakat. Untuk mengatasi persoalan kemiskinan yang sedemikian kompleks ini, gereja dituntut bergerak secara rendah hati bersedia bekerja sama dengan umat beragama lainnya dalam menanggulangi kemiskinan. Dan yang perlu digarisbawahi
4
J. B. Banawiratma (Ed), Kemiskinan dan Pembebasan (Yogyakarta: Kanisisus, 1987), 37-39.
pula, bahwa gereja adalah perpanjangan tangan Tuhan di bumi. Untuk itu gereja harus turut berperan aktif dalam penanggulangan kemiskinan, bukan hanya sekedar memberikan sembako pada hari raya Natal atau perayaan-perayaan gerejawi lainnya. Yesus harus dijadikan teladan dalam menyikapi masalah ini, agar kita tidak hanya menjadi penonton dan penaggap dari sebuah wacana kemiskinan. Pada awal gereja GPIB Bukit Harapan Surabaya sebelum dilembagakan, GPIB Bukit Harapan Surabaya sama sekali tidak peduli dengan diakonia. Karena pada saat itu para anggota TNI – AD hanya merindukan suasana ibadah. Melihat kondisi seperti ini jemaat GPIB EbenHaezer Surabaya tidak mau menutup mata, sehingga GPIB Bukit Harapan Surabaya menjadi pos pelayanan. Seiring berjalannya waktu GPIB Bukit Harapan Surabaya dilembagakan atau sudah dianggap mandiri oleh jemaat GPIB Eben-Haezer Surbaya dan Majelis Sinode. Sehingga pada akhirnya GPIB Bukit Harapan memikirkan dan memperhatikan tentang pelayanan diakonia. Program-program diakonia yang gereja-gereja laksanakan memiliki tujuan sebagai bentuk pelayanan kasih gereja kepada sesama. Begitu juga dengan gereja GPIB Bukit Harapan Surabaya, jemaatnya mempunyai pandangan dan pemahaman bahwa pelayanan diakonia dilakukan untuk mewujud nyatakan kasih kepada sesamanya. Program diakonia yang dibuat oleh GPIB Bukit Harapan Surabaya sudah memberikan perhatian tidak hanya kepada warga jemaatnya sendiri. Pihak luar baik dari kepercayaan yang sama ataupun tidak, sudah mendapatkan perhatian juga oleh GPIB Bukit Harapan Surabaya, seperti pengobatan umum dan gigi gratis, pembagian sembako kepada warga sekitar gereja, dan berbagi keperluan sekolah untuk anak-anak di sekitar gereja GPIB Bukit Harapan Surabaya.
Tujuan dari kegiatan diakonia yang dilaksanakan di GPIB Bukit Harapan Surabaya adalah membantu meringankan beban penderitaan dari pihak-pihak yang sangat membutuhkan sebagai perwujudan nyata misi gereja di tengah dan bersama masyarakat. Tujuan lainnya adalah menolong untuk kemudian seseorang atau keluarga tersebut dapat berusaha menolong dirinya sendiri. Sangat disayangkan bantuan atau pelayanan gereja yang diberikan selama ini belum maksimal. Jenis diakonia yang masih di pakai oleh GPIB Bukit Harapan Surabaya adalah diakonia karitatif yang diberikan kepada jemaat. Sehingga dapat dikatakan bahwa hubungan yang dibentuk dalam kegiatan diakonia ini masih merupakan bentuk hubungan subyek – obyek. Hal ini ditujukkan dengan belum adanya perubahan yang signifikan dari jemaat yang menerima bantuan diakonia. Dalam pelaksanaan program diakonia di GPIB Bukit Harapan Surabaya juga memiliki suatu standar mengenai siapa saja yang berhak menerima bantuan pelayanan diakonia. Pelayanan diakonia di GPIB Bukit Harapan Surabaya dilakukan kepada orang sakit, janda dan duda yang tinggal di wilayah pelayanan jemaat GPIB Bukit Harapan Surabaya. 5 Dampak yang dapat dihasilkan dari kegiatan diakonia di GPIB Bukit Harapan Surabaya masih jangka pendek. Jangka pendek yang dimaksud di sini adalah bantuan diakonia yang diberikan hanya bersifat sementara. Hal ini dapat menyebabkan ketergantungan dari masyarakat miskin sebagai penerima bantuan kepada pihak gereja. Ketergantungan masyarakat miskin semakin membesar dikarenakan pandangan jemaat GPIB Bukit Harapan Surabaya tentang diakonia yang dilaksanakan mayoritas masih berupa pemberian bantuan dalam bentuk barang dan uang (diakonia karitatif).
5
Hasil wawancara dengan Bpk. Thomas tito, 18 Agustus 2012.
Dalam proses pelakasanaan diakonia di GPIB Bukit Harapan Surabaya ini ada tiga faktor yang mempengaruhi pandangan dan pemahaman jemaat terhadap diakonia: 4.1.1. Faktor ekonomi Dari tindakan yang selama ini dilakukan menunjukkan bahwa masih minimnya pelayanan, sehingga pelayanan tersebut terkesan bersifat bantuan. Tidak dapat dipungkiri bahwa, kemampuan dari segi ekonomi akan sangat menentukan tingkat pelayanan yang dapat dilakukan oleh gereja. Pembagian dana yang dilakukan oleh GPIB Bukit Harapan Surabaya terhadap tiga tugas panggilan gereja mengalami suatu ketimpangan di mana kegiatan-kegiatan yang mengarah pada kegiatan pelayanan sosial mendapatkan porsi dana yang lebih kecil dibandingkan dengan kegiatan-kegiatan persekutuan dan pembangunan gereja. Hal ini tentu saja menyebabkan komisi yang membidangi kegiatan-kegiatan diakonia perlu melakukan seleksi terhadap program-program diakonia yang ada. Kurangnya dana yang dialokasikan untuk komisi diakonia menyebabkan komisi diakonia di GPIB Bukit Harapan Surabaya mengalami kesulitan untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan diakonia. 4.1.2. Faktor Teologi Jemaat GPIB Bukit Harapan Surabaya kurang memiliki pandangan teologi terhadap diakonia. Hal ini disebabkan kurangannya pembinaan gereja terhadap jemaatnya tentang diakonia. Pembekalan-pembekalan yang selama ini banyak diberikan oleh gereja kepada jemaat adalah pemahaman tentang ajaran dan iman. Sehingga pelaksanaan diakonia yang dilakukan oleh gereja berjalan tanpa didasari oleh pandangan teologi yang dimiliki jemaat. Proses diakonia yang dilakukan hanya sebagai formalitas dan merealisasikan program-program diakonia yang sudah gereja rencanakan dalam program kerja tahunan gereja.
4.1.3. Faktor Sosial Kehidupan Jemaat GPIB Bukit Harapan Surabaya dengan lingkungan sekitar sangat baik, hal ini dapat dilihat dengan adanya partisipasi dari masing-masing jemaat di dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan RT atau RW di sekitar rumah mereka. Dengan bermodalkan pembawaan supel yang di miliki jemaat, sehingga di dalam proses diakonia yang dilaksanakan, gereja tidak mengalami kendala di dalam membangun relasi dengan orang yang menerima bantuan diakonia. Upaya untuk merealisasikan diakonia yang transformatif membutuhkan proses dan waktu yang panjang, Sehingga fungsi dan tugas panggilan gereja yang sebenarnya bisa nampak dan gereja benar-benar mamaknai tugas dan panggilannya sebagai perpanjangan tangan Tuhan di bumi. Jadi dengan demikian kesejahteraan bagi rakyat miskin dan tertindas bisa terwujud. 4.2. Diakonia yang Bersifat Transformatif Diakonia yang dilaksanakan oleh Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB) Bukit Harapan masih bersifat diakonia karitatif. Dalam artian bahwa diakonia tersebut dilaksanakan dengan memberikan bantuan langsung kepada orang-orang miskin. Orang-orang miskin yang dimaksud dalam hal ini adalah jemaat yang tergolong dalam kelompok ekonomi lemah. Namun dalam kenyataannya, diakonia yang ada dalam Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB) Bukit Harapan tidak hanya diberikan bagi kaum yang miskin saja, melainkan juga diberikan bagi orang-orang yang mampu dalam hal ekonomi. Berdasarkan realita yang terjadi di jemaat Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB) Bukit Harapan, jemaat membutuhkan sesuatu yang baru dari diakonia yang sudah ada. Diakonia yang diharapkan disini adalah diakonia yang bersifat transformatif.
Diakonia Transformatif adalah diakonia yang lebih kepada pemberdayaan jemaat, penyadaran akan pemikiran daripada jemaat. Perubahan cara pandang pemikiran terhadap suatu permasalahan adalah tujuan dari diakonia transformatif. Perubahan pemikiran dalam hal ini yang dimaksud adalah penyadaran pemikiran dari orang-orang yang mampu secara ekonomi. Orang yang mampu secara ekonomi diharapkan untuk lebih berpikir kritis, bahwa mereka tidak layak mendapatkan diakonia dari gereja dalam bentuk uang seperti yang didapatkan oleh jemaat yang mempunyai perekonomian lemah. Orang-orang yang mampu secara ekonomi mendapat pelayanan diakonia berupa kunjungan ketika mereka sakit. Hal ini membuktikan bahwa gereja juga mempunyai keprihatinan terhadap orang-orang yang mampu secara ekonomi. Dengan adanya perubahan pemikiran dari orang-orang mampu, pelayanan diakonia yang dilakukan oleh gereja dapat menjadi lebih luas lagi. Pelayanan diakonia yang dilakukan tidak hanya sebatas diakonia karitatif kapada jemaat saja, tetapi sudah dapat dilaksanakan kepada masyarakat sekitar gereja. Dengan adanya perubahan pemikiran dari jemaat yang mampu secara ekonomi, dana yang relatif kecil yang diberikan oleh gereja kepada komisi diakonia dapat dipakai untuk pelayanan diakonia yang lebih kreatif lagi.