BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Latar Belakang Timbulnya Pemikiran Pendidikan Ki Hadjar Dewantara Lingkungan hidup pada masa Ki Hadjar Dewantara kecil sangat besar pengaruhnya terhadap jiwanya yang sangat peka terhadap kesenian dan nilai-nilai kultural maupun religius (Ki Suratman, 1989 : 132). Pendidikan yang diperolehnya di lingkungan keluarga sudah mengarah dan terarah ke penghayatan nilai-nilai kultural yang sesuai dengan lingkungannya. Pendidikan keluarga tersebut tersalur melalui pendidikan kesenian (cerita wayang kulit, sastra, gending, seni suara), pendidikan adat (sopan santun, tata krama, kehidupan keraton) dan pendidikan agama (filsafat Hindu dan ajaran Islam), yang kemudian berpengaruh kepada sifat kepribadiannya. Dr. Wahidin Sudirohusodo kepada para pelajar STOVIA (sekolah dokter Jawa) telah menganjurkan agar para pelajar tersebut mendirikan organisasi yang bertujuan memajukan pendidikan dan meninggikan martabat bangsa. Gagasan ini disambut baik oleh para pelajar STOVIA. Pada 20 Mei 1908, Sutomo beserta kawan-kawannya seperti Cipto Mangunkusumo dan Gunawan mendirikan sebuah organisasi kebangkitan nasional, yakni Budi Utomo (BU). Waktu itu Ki Hadjar Dewantara juga menjadi pelajar di STOVIA, beliau bersekolah disana selama tahun 1905-1910, namun tidak sempat tamat karena sakit. Ki Hadjar aktif dalam bagian seksi propaganda BU untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia mengenai
30
pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Sepak terjangnya kemudian makin nampak lagi dalam organisasi Indische Partij, Tiga Serangkai dan Komisi Bumiputera yang waktu itu lebih banyak berhaluan politik.
Selain berorganisasi, Ki Hadjar juga aktif sebagai wartawan dan
penulis. Tulisan-tulisannya yang berisi kritikan serta ejekan terhadap penguasa kolonial Belanda masa itu menghasilkan beberapa resiko, diantaranya hukuman penahanan penjara dan pembuangan atau pengasingan oleh pemerintah kolonial Belanda. Pembuangan Ki Hadjar Dewantara ke Belanda menjadi titik baru perjuangan Ki Hadjar. Kepergiannya tersebut merupakan kesempatan untuk memperluas pengetahuan, pandangan hidup, bakat dan jiwanya dengan dasardasar yang lebih luas terutama dibidang pendidikan dan kebudayaan. Ki Hadjar berkesempatan
untuk
memperkaya
ilmu
dan
pengalamannya
tentang
pendidikan, untuk selanjutnya bisa merumuskan sistem pendidikan yang paling tepat bagi pemuda Indonesia. Hal ini terutama setelah ia yakin bahwa kolonialisme tidak mungkin hanya dilawan melalui kegiatan bidang politik saja, melainkan melalui segala bidang kehidupan termasuk juga perlawanan melalui bidang pendidikan dan kebudayaan. Selama perjuangan di Belanda, isteri Ki Hadjar, Nyi Hadjar (Sutartinah Sasraningrat) mempunyai arti penting tersendiri. Nyi Hadjar merupakan pemberi semangat Ki Hadjar Dewantara yang utama dalam masa pengasingan yang berat, termasuk pemberi saran dan masukan untuk mengusahakan pendidikan bagi tanah air Indonesia. Mereka berdua aktif
31
belajar, menimba teknik dan aspek-aspek material barat dengan jiwa dan moral Indonesia. Nyi Hadjar sempat belajar memperdalam ilmu pengetahuan hingga meraih ijazah Guru Frobel, sedangkan Ki Hadjar Dewantara berhasil meraih Akte Guru Eropa. Ki
Hadjar
berhasil
menemukan
perbedaan
asasi
dalam
membandingkan kondisi pendidikan di negeri Belanda dan Indonesia. Di negeri Belanda diterapkan pendidikan nasional, sedangkan di Indonesia masih diberikan pendidikan kolonial. Pendidikan nasional bagi pelajar atau pemuda di Belanda hasilnya dinilainya sangat positif, sedang pendidikan kolonial yang diterima pemuda Indonesia ternyata tidak memungkinkan berkembangnya pribadi pemuda Indonesia yang berjiwa kebangsaan. Kesimpulannya ialah bahwa kepada pemuda di Indonesia, seharusnya juga diberikan pula pendidikan nasional, yakni pendidikan nasional Indonesia. Pada bulan September 1919, Ki Hadjar kembali ke Indonesia. Sekembalinya Ki Hadjar Dewantara ke tanah air tersebut, keadaan masyarakat belum banyak berubah akibat penjajahan kolonial. Pada waktu itu masih jarang sekali rakyat Indonesia yang sadar dan bisa menuntut ilmu, karena pemerintah kolonial Belanda sangat membatasi kemauan rakyat Indonesia untuk menuntut pendidikan dan pengajaran. Hanya sedikit sekali yang dapat menuntut ilmu, yakni anak kaum ningrat dan orang kaya. Anak-anak dari golongan rakyat biasa atau lapisan bawah tidak mampu membiayai sekolah putra-putrinya. Tiada arah pendidikan yang mendewasakan rakyat, adanya hanya “manut” dan sangat menonjol adanya pengajaran waktu itu hanya untuk mencukupi kepentingan
32
penjajah (Ki Sarino Mangun Pranoto dalam buku 60 Tahun Taman Siswa, 1982 : 75). Pada tahun 1921, Ki Hadjar Dewantara bergabung dengan kelompok diskusi kebudayaan, Sarasehan Selasa Kliwonan, yang rupanya menjadi dorongan akhir pada keberhasilan keputusannya untuk mendirikan suatu sistem sekolah nasional. Selama diskusi-diskusi dalam kelompok itu, ia merencanakan suatu pendidikan yang asli Bumiputera, yang akan menanam nilai-nilai kemerdekaan dan nasionalisme pada kaum muda sebagai dasar perjuangan politik untuk kemerdekaan. Bagi Ki Hadjar, bangsa Indonesia harus segera mempersiapkan suatu konsep pendidikan nasional bagi seluruh rakyat Indonesia supaya bangsa kita lebih tahu akan nasibnya sendiri dan mudah bersatu untuk menuju kearah tercapainya kemerdekaan. Sesuai dengan dasar dan maksudnya, maka pendidikan dan pengajaran harus berlandaskan semangat jiwa nasional, jiwa merdeka dan kerakyatan demi berhasilnya cita-cita negara. Sehingga pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang bercorak nasional pada awalnya muncul dalam rangka mengubah sistem pendidikan kolonial menjadi sistem pendidikan nasional yang berdasarkan pada kebudayaan sendiri. Akhirnya pada tahun 1922, Ki Hadjar mendirikan sekolah Taman Siswa yang pertama di Yogyakarta. Sekolah ini dalam perkembangannya menjadi contoh hasil yang jelas dari usaha-usaha pendidikan yang dengan teliti dikembangkan dan dirancang oleh Ki Hadjar Dewantara untuk memecahkan persoalan-persoalan yang timbul akibat benturan dan ketimpangan antara
33
pendidikan barat dan timur. Tanpa membelakangi pendidikan barat, sekolah Taman Siswa berusaha membulatkan konsep pendidikan Indonesia yang akarakarnya berasal dari kebudayaan sendiri sebagai kepribadian nasional. Perguruan Taman Siswa lahir untuk mendobrak sistem pendidikan saat itu yang tidak cocok dengan kebutuhan perjuangan bangsa Indonesia melalui dunia pendidikan. Taman Siswa didirikan untuk merombak sistem kolonial bagi rakyat Indonesia yang intelektualistis, individualistis dan materialistis menjadi sistem pendidikan nasional yang memberikan pendidikan kecakapan dan keterampilan (keprigelan), yang membina sikap-sikap untuk mengatasi masalah hidup (Manshuri dalam buku Pendidikan dan Pembangunan 50 Tahun Taman Siswa, 1976 : 45). B. Pendidikan dalam Perspektif Ki Hadjar Dewantara a. Dasar Pendidikan Pendidikan adalah salah satu usaha untuk memberikan segala nilainilai kebatinan, juga ada pada hidup rakyat yang berkebudayaan, kepada tiaptiap turunan baru, tidak hanya berupa pemeliharaan, akan tetapi juga dengan maksud memajukan serta memperkembangkan kebudayaan menuju keluhuran hidup manusia (ceramah Ki Hadjar Dewantara dalam Rapat Besar Umum Taman Siswa, Pusara 1952 : 159). Pendidikan pada umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect), dan tubuh anak (Ki Hadjar Dewantara, Pusara Jilid XIII No 3 Edisi Januari 1951 : 41). Maksudnya supaya usaha pendidikan itu dapat
34
memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik dapat selaras dengan alam dan masyarakatnya. Pendidikan ialah sebagai laku-kodrat (instinct) dalam hidup manusia yang beradab serta bersifat kebudayaan (ceramah Ki Hadjar Dewantara dalam Rapat Besar Umum Taman Siswa, Pusara 1952 : 159). Kebudayaan adalah perwujudan budi (Ki Hadjar Dewantara dalam Pusara, 1952 : 170). Manusia dengan sadar akan senantiasa mengembangkan, mengarahkan, mengatur segala daya dan kekuatannya guna menyempurnakan kebudayaan yang sudah ada maupun menciptakan kebudayaan baru yang bermanfaat dan selaras bagi perkembangan kehidupan seluruh jiwa dan badannya. Pendidikan yang bersifat kebudayaan dimaksudkan untuk memberi tuntunan didalam hidup terhadap berkembangnya tubuh dan jiwa kanak-kanak agar kelak dalam pribadinya, anak-anak tersebut dapat memperoleh kemajuan lahir dan batin. Kemajuan lahir dan batin anak harus menuju kearah adab dan kemanusiaan, sehingga mereka dapat menjaga diri mereka dari pengaruhpengaruh negatif dari apapun yang disekelilingnya. Adab dan kemanusiaan berarti adanya keluhuran serta kehalusan dalam kecerdasan budi manusia baik bagi dirinya maupun orang-orang lain yang berada dalam satu lingkungan yang sama dan menimbulkan kebudayaan bersama. Dalam usaha pendidikan yang berdasarkan kebudayaan itulah akan termasuk pula dengan sendirinya usaha-usaha untuk mempertinggi taraf hidup kemasyarakatan dimana alam kebangsaan ikut berhubungan. Didalam hubungan kemanusiaan dan kebangsaannya, tiap-tiap manusia berhak dan wajib bersama-
35
sama dengan manusia lain menyelenggarakan kehidupan bersama berdasarkan saling hormat-menghormati, sehingga dengan demikian akan terwujud masyarakat yang hidup didalam alam kekeluargaan. Tujuan pendidikan kebangsaan adalah untuk menghilangkan ras diskriminasi didalam tatanan sosial kehidupan masyarakat. Sehingga dalam segala bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara, apalagi kesempatan dalam memperoleh pendidikan, tidak boleh ada pembedaan dan pemisahan kedudukan, pangkat, warna kulit, golongan darah maupun keturunan. Pendidikan kebangsaan mendidik anak untuk berwatak kuat, berpandangan luas (senang mencari ilmu pengetahuan sendiri), kemauan belajar yang tinggi, suka bekerja atas dasar gotong royong demi kesejahteraan bersama. Anak dididik untuk menjadi warga negara Indonesia yang demokratis, jujur, dan cinta tanah air. Pikiran anak yang seperti itu dapat dikembangkan melalui berbagai jenis pelajaran, diantaranya pelajaran agama, kesenian (contohnya: permainan, tarian dan nyanyian tradisional), pelajaran kesusilaan, olahraga, keterampilan, serta kegiatan-kegiatan lain yang harus melihat kemampuan dan bakat masing-masing anak. Inilah pendidikan yang pada akhirnya akan bersifat kemerdekaan. Kemerdekaan adalah suasana atau alam dimana segala kehidupan ada didalam keadaan yang selaras, sehingga manusia tidak merasa adanya pembatasan-pembatasan dan paksaan lahir dan batin yang berupa rasa angkuh, serakah, kebencian, rendah diri, takut, dan lain-lain. (Ki Hadjar Dewantara
36
dalam Pusara 1952 : 170). Suasana seperti ini bagi Ki Hadjar adalah syarat mutlak guna tumbuh dan berkembangnya kepribadian yang sekuat-kuatnya. Didalam suasana alam merdeka, potensi serta kepribadian anak dapat tumbuh dan berkembang dengan bebas namun tetap selaras dengan keadaan-keadaan kekuatan alam lain yang hidup disekelilingnya baik dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat. Jika sikap pendidik terlalu keras dan memaksa, maka jiwa anak bisa tertekan sehingga pertumbuhan potensinnya akan mengalami hambatan. Pendidikan juga harus ditujukan kepada kecakapan panca indra, tajamnya pikiran, jernihnya perasaan, tetap dan kuatnya kemauan serta budi pekerti yang matang. Itulah tiang-tiang kemerdekaan hidup. Sari pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan selanjutnya juga terangkum dalam poin-poin penting berikut: 1.
Segala syarat, usaha dan cara pendidikan harus sesuai dengan kodratnya suatu keadaan.
2.
Kodratnya keadaan tadi telah ada dan tersimpan dalam adat-istiadat masing-masing rakyat dan daerah. Karena bergolong-golong dan beraneka ragam maka kodrat keadaan tersebut merupakan kesatuan dengan sifat perikehidupan sendiri-sendiri. Sifat-sifat itu muncul dari campurnya semua daya upaya untuk mendapat hidup tertib dan damai.
3.
Adat istiadat sebagai sifat daya dan upaya akan kehidupan yang tertib dan damai itu tak lepas dari pengaruh “jaman” dan “alam”.
37
Oleh karena suatu adat istiadat bisa saja berubah bentuk isi dan iramanya. 4.
Kita perlu mengetahui dan mempelajari keadaan jaman yang telah sampai perkembangannya di jaman sekarang. Hal ini bertujuan untuk agar supaya kita bisa belajar dan tak mengulangi kesalahan di masa lalu pada masa yang akan datang.
5.
Pengaruh baru adalah ketika terjadi kontak budaya antar bangsa. Kita harus selalu waspada dan teliti dalam memilih mana yang baik untuk menambah kemuliaan hidup yang masih selaras dengan corak budaya bangsa kita. Ki Hadjar Dewantara dalam mempertimbangkan dasar pendidikan
yang tepat bagi bangsa Indonesia seperti yang sudah dijelaskan diatas didasarkan atas beberapa faktor penting, yakni: 1.
Setiap anak memiliki kekuatan kodrat yang dalam perkembangannya perlu mendapat tuntunan-tuntunan melalui pendidikan. Anak akan mendapat kecerdasan yang lebih luas sekaligus terlepas dari segala macam pengaruh yang tidak baik. Pendidikan juga akan menuntun mereka sebagai manusia sekaligus anggota masyarakat yang dapat memperbaiki sifat dan perilakunya yang belum tepat untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan hidup.
2. Pertumbuhan
seorang
anak
berlangsung
secara
evolusioner,
sehingga akan menimbulkan tahapan dan kondisi yang berbedabeda. Dalam setiap tingkatan perkembangan kodratnya tersebut,
38
misalnya dari segi usia, keadaan fisik dan psikis, perlu diikuti dengan tuntunan-tuntunan hidup. Sudah seharusnya masing-masing anak mendapat perhatian dan pendekatan yang tepat dan sesuai dengan perkembangan kodrat yang sedang dialaminya. Anak-anak yang memiliki perkembangan kodrat yang tidak normal (cacat fisik, keterbelakangan mental, dan sebagainya) tentunya harus mendapat perhatian dan tuntunan dengan cara yang khusus. 3. Setiap anak mempunyai sifat dan kepribadian yang berbeda-beda. Maka seorang pendidik baik guru maupun orang tua harus memperhatikan bahwa kondisi setiap anak itu tidak sama, masingmasing memiliki kelebihan dan kelemahan yang berbeda. Sehingga pendekatan halus dan pelan kepada individual anak akan lebih mengena sesuai dengan keperluan anak didik pada saat dan dalam keadaan yang tepat pula. 4. Setiap manusia mempunyai hasrat untuk dihormati dan diperlakukan sesuai dengan martabat kemanusiaannya. Dalam kondisi yang bagaimanapun pada dasarnya manusia menghendaki untuk dihargai dan diperlakukan oleh orang lain sesuai dengan kemanusiannya. Sehingga tugas pendidik adalah menumbuhkan rasa harga diri yang baik dan kuat pada anak. Harga diri ini merupakan modal utama dalam mengembangkan kepribadiannya. 5. Manusia adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Didalam usaha peningkatan dirinya secara individu, seorang anak
39
juga perlu mendapat perhatian untuk menumbuhkan kesadaran bermasyarakat
dan
berbangsa.
Pendekatan
ini
akan
menghindarkannya dari sifat dan sikap individualisme, yang selanjutnya diharapkan akan menjunjung tinggi kepentingan bersama, bangsa dan negara daripada kepentingan sendiri. b. Muatan Pendidikan Pendidikan yang teratur bagi Ki Hadjar Dewantara adalah pendidikan yang bersandar atas ilmu pendidikan yang tidak berdiri sendiri, melainkan selalu memerlukan sumbangan dari ilmu-ilmu lain. Beberapa contoh ilmu yang menjadi syarat penting sebagai muatan dalam ilmu pendidikan dalam hal ini adalah: 1. Ilmu Agama (rohani) Di dunia ini derajat manusia dianggap yang paling luhur. Tiap-tiap agama mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk yang mulia, dikaruniai Tuhan dengan sifat utama yang tidak sama dengan makhluk ciptaan lainnya yakni adanya cipta, rasa, dan karsa. Oleh karena itu, pendidikan harus mengandung nilai-nilai religius untuk menumbuhkan iman serta selalu mengingatkan anak akan adanya Tuhan sebagai penguasa jagad raya. Pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai religius pastilah juga akan selalu menggunakan caracara dan usaha mendidik (pengajaran) yang baik dan benar. 2. Ilmu jiwa manusia (psikologi)
40
Ki Hadjar Dewantara dalam majalah Keluarga tahun ke-I No.6 Edisi Mei 1937 memberikan beberapa penjelasan mengenai jiwa, yakni: a. Jiwa merupakan kumpulan macam-macam kekuatan atau kecakapan dalam hidup batin manusia, misalnya : pikiran, perasaan dan kemauan. b. Jiwa menyebabkan manusia dapat berpikir, berperasaan dan berkehendak (budi). Salah satu masalah pendidikan yang penting ialah bagaimana dan seperti apa masuknya pengaruh-pengaruh yang akan membentuk dasar jiwa anak, yakni segala pengaruh yang masuk kedalam hidup anak-anak sedari kecil. Pengaruh-pengaruh yang baik dan tepat dalam aktivitas pendidikan akan membentuk dasar jiwa anak yang baik pula, begitupun sebaliknya. 3. Ilmu hidup jasmani Ilmu jasmani digunakan sebagai acuan dalam memberikan pendidikan tubuh kepada anak-anak. Pendidikan tubuh akan mempergunakan segala gerak badan yang pantas untuk memajukan kesehatan, menghaluskan tingkah laku, mengolah tenaga dan kemampuan anak agar menjadi pribadi yang kuat, terampil, cekatan, teliti dan tertib. Gerak badan yang pantas berarti jangan sampai merusak rasa kesucian dan menyalahi kodrat, terutama gerak badan bagi perempuan (Ki Hadjar Dewantara dalam Pusara Jilid XIII No. 5 Edisi April 1951: 44). Berhubungan dengan maksud pendidikan
41
tubuh secara nasional, maka hendaknya hasil kebudayaan yang mengandung wirasa, wirama dan wiraga dapat terus diajarkan misalnya seni tari, seni drama atau sandiwara, wayang, lagu dan permainan (dolanan) tradisional. 4. Ilmu Moral-Kesopanan (etika) dan Keindahan (estetika) Berpadunya nilai etika dan estetika dengan ilmu pendidikan dalam pemikiran seorang Ki Hadjar Dewantara telah menghasilkan konsep pendidikan budi pekerti pada eranya. Pendidikan budi pekerti harus mempergunakan syarat-syarat yang selaras dengan jiwa kebangsaan yakni menuju pada tata krama, kesusilaan, ketertiban dan kedamaian lahir maupun batin. c. Alat Pendidikan “Peralatan” pendidikan dalam pemikiran Ki Hadjar Dewantara dimaksudkan sebagai cara mendidik. Cara mendidik sangat banyak macamnya, namun diantaranya terdapat beberapa yang dianggapnya pokok, yakni: 1. Memberi contoh Anak akan mengenal sesuatu hal yang baik jika pendidik langsung mempercontohkan kepadanya. Maka seorang pendidik wajib mengatur segala perbuatan didepan anak dengan sebaik-baiknya di berbagai lingkungan, baik di sekolah, di rumah, di masyarakat, di jalan, di berbagai tempat. Pada umumnya anak akan suka dan sering mencontoh kebiasaan pendidik tersebut. Sehingga sikap dan perilaku pendidik harus memperlihatkan nilai-nilai seperti ketertiban,
42
ketetapan
(janji),
ketepatan
(disiplin),
kerajinan,
kejujuran,
kebenaran, mencontohkan hal-hal yang berkaitan dengan tanggung jawab dan kewajiban anak pula. Hal inilah yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh para pendidik khususnya guru dan orang tua. 2.
Pembiasaan dalam pergaulan (pakulinan) Didalam pergaulan sehari-hari dengan orang tua, saudara, guru, teman, maupun siapa saja, anak harus dibiasakan berperilaku yang baik sesuai nilai dan norma yang berlaku. Pembiasaan perilaku yang baik dalam pergaulan ini akan membentuk kebiasaan-kebiasaan anak yang selanjutnya akan dilakukan secara berulang sesuai situasi dan kondisi yang sedang dihadapinya. Hasilnya adalah dalam pergaulan itu, akan terlihat anak-anak yang mempunyai kebiasaan baik seperti suka menolong, tulus hati, ramah, dan sopan. Anak yang masih mempunyai kebiasaan kurang baik tidak boleh dibiarkan begitu saja. Guru dan orang tua harus memberikan pengarahan dan perhatian yang lebih untuk menambah pengertian anak agar merubah kebiasaan buruk itu.
3.
Pengajaran (wulang-wuruk) Pengajaran adalah pendidikan yang bermaksud memberi ilmu pengetahuan ataupun latihan-latihan kecakapan atau kepandaian yang semuanya ditujukan kearah kesediaan, kesanggupan serta kemampuan untuk melakukan segala kewajiban hidup dan penghidupan (Ceramah Ki Hadjar Dewantara dalam Rapat Besar
43
Umum Taman Siswa, Pusara 1952 : 160). Pengajaran juga merupakan usaha untuk mendidik pikiran dan melatih kecakapan dan
kepandaian
yang
terutama
dipergunakan
untuk
memperkembangkan dan mencerdaskan pikiran, serta untuk menyiapkan kesediaan dan kemampuan hidup didalam masyarakat (Ki Hadjar Dewantara dalam Pusara Jilid XIII No. 5 Edisi April 1951 : 81). Pengajaran di sekolah-sekolah harus berarti bahwa anak tidak hanya mendapat pelajaran yang bersifat pengetahuan akademis, namun juga harus disertakan pula pelajaran yang dapat menambah perkembangan kepribadian anak. Isi pengajaran yang berdasarkan kebudayaan bangsa akan mempertumbuhkan semangat kebangsaan yang kuat. Pelajaran-pelajarannya bisa diambil dari sumber-sumber keagamaan, adat istiadat, kesenian, bahasa daerah, sejarah kebangsaan dan sebagainya. 4. Hukuman dan Perintah Hukuman dalam kerangka pikir seorang Ki Hadjar Dewantara dimaksudkan untuk menghidupkan rasa keadilan pada anak serta memberikan pengertian bahwa segala perbuatan orang yang tidak baik itu akan membuat akibat sendiri-sendiri. Barangsiapa bersalah maka akan menerima hukuman. Hukuman ini diberikan agar anak mengerti dengan benar akan kesalahannya dan tidak mengulangi kesalahan itu kembali. Dalam konteks ilmu pendidikan, menurut Ki
44
Hadjar, hukuman kepada anak tidak boleh diberikan dengan seenaknya, melainkan harus dibatasi oleh tiga aturan, yaitu: 1. Hukuman harus selaras dengan kesalahan anak, 2. Hukuman harus dilakukan dengan adil, 3. Hukuman harus lekas dijatuhkan. Dari ketiga aturan tersebut, beberapa contoh aplikasi dalam masalahnya adalah sebagai berikut: 1. Jika seorang anak kedapatan tidak membuang sampah pada tempatnya maka orangtua akan menyuruh si anak memungut kembali sampah tersebut dan menyuruh membuang ketempat sampah; jika seorang siswa kedapatan mengotori kelas, maka guru segera menyuruh si anak untuk membersihkannya. 2. Jika dirumah anak tidak membereskan mainannya seusai bermain, maka orang tua menyuruhnya merapikan kembali. 3. Jika ada anak yang tidak mengerjakan tugas atau pekerjaan rumah, maka guru lebih baik memberikan tugas atau pekerjaan rumah tambahan. Contoh-contoh hukuman yang diberikan diatas adalah hukuman yang tidak bersifat siksaan. Sedangkan hukuman yang bersifat siksaan seperti berdiri dibelakang papan tulis dalam waktu tertentu, dicubit, menjewer kuping dan sebagainya berakibat lama kelamaan anak akan kehilangan kecintaannya kepada si pemberi hukuman.
45
5.
Perilaku Salah satu tujuan pendidikan ialah sebagai penuntun manusia dalam berperilaku sehari-hari diberbagai lingkungan hidup. Dalam hal ini pendidik akan menjadi pemimpin atau ketua dari penuntun laku anak. Cara-cara berperilaku seorang pendidik yang baik dan tepat menurut Ki Hadjar Dewantara terangkum dalam sistem among. Among berarti asuhan dan pemeliharaan dengan penuh suka cita, dengan memberi kebebasan anak asuhan untuk berkembang sesuai kemauan, kemampuan dan kemanusiaan.
6.
Pengalaman lahir dan batin (tringa: ngerti, ngrasa, nglakoni) Ki Hadjar Dewantara mempunyai pandangan bahwa segala ajaran yang kita anut, dan terhadap semua paham hidup yang kita peluk, diperlukan pengertian, kesadaran dan kesungguhan untuk melaksanakannya. Begitu pula dalam dunia pendidikan, pendidik dan anak didik sama-sama memiliki kesempatan untuk mengerti, menyadari dan melakukan hal-hal yang diajarkan. Jika demikian maka pendidikan itu tidak hanya sekedar teori-teori. Keberhasilan pendidikan sejatinya lebih bisa dilihat melalui penerapan atau aplikasi. Dari penjelasan mengenai pandangan Ki Hadjar Dewantara tentang
pendidikan diatas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa beliau menjadikan kodrat manusia (anak) sebagai dasar dan pusat perhatian. Didalam proses pertumbuhan dan hidupnya, setiap anak ingin menerima dan menghayati dunianya sendiri dalam segala bentuk, sehingga mereka menginginkan pula suatu kebebasan
46
dalam mengembangkan diri. Kebebasan disini bukan berarti bahwa anak itu dapat dibiarkan berbuat semaunya sendiri. Kebebasan diartikan sebagai kemungkinan bagi anak untuk mengembangkan dirinya seluas mungkin, yang disertai dengan tanggungjawab dan disiplin diri dan pengawasan dari berbagai pihak, sehingga anak-anak dapat berkembang merdeka dan serasi sesuai jiwanya. Yang tak kalah penting ialah dalam rasa kebebasan atau kemerdekaan itu, jiwa anak harus selalu terikat dengan budaya bangsa sendiri. Pendidikan yang dicita-citakan oleh Ki Hadjar Dewantara adalah Pendidikan Nasional. Hal ini diinsyafi benar oleh Ki Hadjar Dewantara, bahwa perjuangan kemerdekaan bangsa harus didasari jiwa merdeka dan jiwa nasional dari bangsa itu. Hanya orang-orang yang berjiwa merdeka saja yang sanggup berjuang menuntut dan selanjutnya mempertahankan kemerdekaan. Syaratnya ialah Pendidikan Nasional, dan pendidikan merdeka pada anak-anak yang akan dapat memberi bekal kuat untuk membangun karakter bangsa. (Haryanto, 2011 : 15). C. Pendidikan Karakter dalam Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara Ki Hadjar Dewantara memberi penjelasan bahwa watak atau karakter merupakan perpaduan daripada segala tabiat manusia yang bersifat tetap, sehingga menjadi tanda yang khusus untuk membedakan orang yang satu dengan yang lain. Sebenarnya bersatunya pikiran, perasaan dan kemauan itulah yang merupakan budi manusia. Ketiga-tiganya adalah syarat mutlak untuk mewujudkan manusia susila atau makhluk yang beradab. (Ki Hadjar Dewantara, 1977 : 407).
47
“Budi pekerti” atau “watak” atau “karakter” yaitu bulatnya jiwa manusia (Ki Hadjar Dewantara dalam Dwi Siswoyo dkk, 2007 : 169). Budi itu sendiri merupakan alat batin manusia untuk menimbang baik buruk, benar salah, luhur hina, halus kasar, dan sebagainya (bermuatan cipta, rasa, karsa) yang mempengaruhi, mengarahkan dan menuntun semua perbuatan manusia. Budi adalah kesatuan antara pikiran, perasaan dan kemauan, sedangkan “pekerti” itu artinya “tenaga”. Jadi “budi pekerti” itu sifatnya adalah jiwa manusia, mulai dari angan-angan hingga berubah menjadi tenaga (usaha dan tindakan). Budi pekerti merupakan hasil aktualisasi diri dari budi yang dimiliki dalam perbuatan manusia baik yang nampak maupun tidak. Budi pekerti yang bersifat tetap dan menonjol akan membentuk watak seseorang. Sedangkan watak adalah merupakan bagian integral dari kepribadian manusia, dan kepribadian itu baik secara individual maupun sebagai bangsa merupakan jati diri seseorang atau bangsa itu. Sehingga pada akhirnya budi pekerti merupakan realisasi dan sekaligus menunjukkan jati diri. Pendidikan budi pekerti yang dicetuskan oleh Ki Hadjar merupakan usaha penting dalam menghindari praktik pendidikan yang berat sebelah. Maksudnya ialah pendidikan yang hanya mementingkan kemampuan akademik anak. Ki Hadjar Dewantara sejak awal pendirian perguruan Taman Siswa telah menolak adanya gejala tersebut. Dalam sekolah yang didirikannya itu, beliau menentukan suatu alternatif baru dalam pendidikan,
yakni mengupayakan
pendidikan yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan
48
cipta, rasa, dan karsa dalam satu integralitas yang selaras dan harmonis dengan alam dan jiwanya. Itulah corak budi pekerti manusia yang luhur, yang berwatak baik akan berperilaku baik pula. Ki Hadjar Dewantara selalu mencari sintesa antara kepentingan individu manusia dan kepentingan hidup bersama manusia didalam setiap konsepsi dan ajaran hidupnya. Hak seseorang tidak boleh melanggar hak orang lain,
dengan
perwujudan
hak
seseorang
tidak
boleh
meninggalkan
kewajibannya terhadap kehidupan bersama (Ki Suratman, 1991 : 3). Atas dasar yang seperti itu, maka pendidikan budi pekerti dalam pemikiran Ki Hadjar Dewantara
mempergunakan
syarat-syarat
yang
selaras
dengan
jiwa
kebangsaaan menuju kesucian, ketertiban dan kedamaian lahir batin, tidak saja syarat-syarat yang sudah ada dan ternyata baik, melainkan juga syarat-syarat jaman baru yang berfaedah dan sesuai dengan maksud dan tujuan bersama. Ajaran maupun konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara selalu berlatar belakang dari berbagai nilai, terutama kebudayaan, kebangsaan, kemanusiaan, kerakyatan, alam, dan spiritual. Berikut ini merupakan kumpulan konsep pendidikan hasil pemikiran Ki Hadjar Dewantara yang memiliki urgenitas dengan pendidikan karakter: 1. Trisentra (Tripusat) Pendidikan Didalam proses tumbuh kembangnya seorang anak, Ki Hadjar Dewantara memandang adanya tiga pusat pendidikan yang memiliki peranan besar. Semua ini disebut “Tripusat Pendidikan”. Tripusat Pendidikan mengakui adanya pusat-pusat pendidikan yaitu;
49
1). Pendidikan di Lingkungan Keluarga “Alam keluarga adalah pusat pendidikan yang pertama dan yang terpenting, oleh karena sejak timbulnya adab kemanusiaan hingga kini, hidup keluarga itu selalu mempengaruhi bertumbuhnya budi pekerti dari tiap-tiap manusia” (Sumber: Ki Hadjar Dewantara, Wasita Tahun 1 No.4 Juni 1935). “Alam keluarga itu buat tiap-tiap orang adalah alam pendidikan yang permulaan. Pendidikan disitu pertama kalinya bersifat pendidikan dari orang tua, yang berkedudukan sebagai guru (penuntun), sebagai pengajar dan sebagai pemimpin pekerjaan (pemberi contoh). Tiga bagian itu didalam hidup keluarga belum terpisah-pisah akan tetapi bersifat total” (Sumber : Ki Hadjar Dewantara, Keluarga No.4 Tahun I Oktober 1937)
Pemikiran Ki Hadjar Dewantara mengenai alam keluarga sebagai pusat pendidikan diatas, didasarkan pada hal-hal berikut: a. Setiap keluarga pada dasarnya menginginkan anak-anak yang kelak akan sanggup dan mampu melaksanakan segala yang baik untuk kehidupannya. Sehingga pendidikan dalam keluarga merupakan usaha pendidikan yang berlaku sebagai kodrat (instinct). b. Didalam
lingkungan
keluarga,
seorang
anak
berkomunikasi,
bersosialisasi dengan seluruh warga keluarga itu seperti ayah, ibu, saudara-saudarinya, kakek, nenek dan siapa saja yang tinggal bersamanya didalam rumah tersebut. c. Rasa cinta, rasa bersatu, rasa kebersamaan dan perasaan-perasaan lain pada umumnya yang dirasakan anak dalam keluarga sangat berperan dalam membentuk jiwa anak, khususnya dalam pendidikan budi pekerti.
50
d. Didalam keluarga terdapat banyak kesempatan untuk mendidik anak secara pribadi (individual) sehingga pendidikan yang diberikan akan terasa lebih mendalam. Orang tua dapat menanamkan benih-benih kebatinan anak sejak masa kecil (pra sekolah). Ayah atau ibu akan dapat berdiri bebas sebagai guru, sebagai pengajar kecerdasan pikiran serta pemberi ilmu pengetahuan dasar dan pemberi contoh-contoh laku kesosialan. Hal ini merupakan hak setiap orang tua yang tidak bisa diganggu gugat oleh orang lain. 2). Lingkungan Sekolah (perguruan) Alam perguruan merupakan pusat perguruan yang teristimewa berkewajiban mengusahakan kecerdasan pikiran (perkembangan intelektual) beserta pemberian ilmu pengetahuan (balai-wiyata). Pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang lingkungan sekolah sebagai salah satu pusat pendidikan didasarkan oleh beberapa hal seperti berikut: 1. Di sekolah terjadi berbagai aktivitas pendidikan, diantaranya: - pemberian berbagai ilmu pengetahuan - pengajaran; pembekalan berbagai keterampilan kepada anak didik, - menyediakan fasilitas-fasilitas dan kesempatan kepada anak didik untuk
mengembangkan
kemampuan,
bakat
dan
minat
melalui
organisasi, kegiatan intra maupun ekstrakurikuler. 2. Sekolah merupakan salah satu pusat latihan anak untuk bersosialisasi. Orang-orang yang ada dilingkungan sebuah sekolah adalah merupakan komunitas, dimana terjadi pergaulan antara siswa dengan siswa, siswa
51
dengan pamong, dengan pegawai atau karyawan lain, bahkan dengan masyarakat sekitarnya. Jadi anak-anak belajar berinteraksi, saling pengaruh mempengaruhi. 3. Kewajiban perguruan sebagai badan pendidikan ialah untuk memberi dasar
pada
pendidikan
yang
diberikan,
sesuai
dengan
pertanggungjawabannya dalam memberi bekal hidup pada anak didik, salah satunya melatih siswa untuk mengabdi pada perikemanusiaan (Ki S Mangunsarkoro, Pusara Jilid XIV No. 8 : 21). 4. Jika pendidikan budi pekerti di keluarga terpisah dengan pendidikan di alam perguruan (sekolah), maka pendidikan budi pekerti akan menjadi sia-sia, oleh karena sekolah juga memiliki pengaruh yang kuat terhadap perkembangan diri seorang anak. 3). Alam Pemuda (Masyarakat) Alam pemuda sekarang ini telah diperluas menjadi lingkungan atau alam kemasyarakatan sebagai tempat seorang anak berlatih membentuk watak dan kepribadiannya.
Usaha pembangunan jiwa pemuda asalkan
dilakukan bersama-sama dengan usaha pembangunan dalam masyarakat kita, pasti akan membawa banyak manfaat (Ki Hadjar Dewantara dalam Pusara Jilid XIV No.5 Edisi September 1952 : 59). Pendidikan dalam masyarakat dapat dilakukan oleh: a. Lembaga keagamaan : pendidikan yang selalu diintegerasikan dengan ajaran keagamaan, misalnya pesantren kilat di masjid dan sekolah minggu di gereja.
52
b. Organisasi pemuda : usaha pendidikan juga dilaksanakan didalam organisasi-organisasi
dengan
tujuan
dan
sasaran
utamanya
mengembangkan kemampuan para pemuda, misalnya: perkumpulan olahraga, karang taruna (pendidikan kepemimpinan), dan lain-lain. Ketiga lingkungan pendidikan tersebut sangat berkaitan erat satu dengan lainnya, tidak bisa dipisah-pisahkan dan memerlukan kerjasama yang sebaikbaiknya untuk memperoleh hasil pendidikan maksimal seperti yang dicita-citakan. Untuk mencapai keberhasilan pendidikan, harus ada keharmonisan diantara ketiga pusat pendidikan ( Ki Soenarno HD, 1989 : 125). Alam pemuda atau masyarakat sangat besar pengaruhnya pada penguasaan diri seorang anak dalam pembentukan watak atau karakter. Sebab didalam alam ini pulalah kenakalan anak sering muncul. Penyebabnya karena banyak faktor, diantaranya: salah pergaulan, penyalahgunaan kemajuan teknologi informasi, imitasi budaya barat yang negatif, dan sebagainya. Dalam hal ini jika terdapat hubungan yang erat antara sekolah (perguruan) dengan keluarga (rumah) dan lingkungan pergaulan dalam masyarakat, maka berlangsungnya pendidikan terhadap anak selalu dapat diikuti serta diamati, agar dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Sehingga seminimal mungkin anak dapat terselamatkan dari berbagai bentuk penyimpangan sosial. Hal tersebut menunjukkan pula bahwa pendidikan sangat bisa diusahakan dan dilakukan secara luas. Berlangsungnya pendidikan tidak hanya menjadi tugas sebuah sekolah yang seiring kemajuan jaman dianggap paling bertanggungjawab dalam menangani masalah pendidikan anak. Ki Hadjar Dewantara tidak
53
memandang perguruan atau sekolah sebagai lembaga yang memiliki orientasi mutlak dalam proses pembentukan karakter anak.
Beliau justru memandang
pendidikan sebagai suatu proses yang melibatkan unsur-unsur lain di luar sekolah. Sebab pendidikan seharusnya tidak hanya terbatas kita peroleh dari dalam sekolah formal maupun informal, namun kita juga harus aktif melaksanakan dan mencari nilai-nilai pendidikan itu didalam masyarakat. Maka pendidikan itu akan berlangsung terus menerus dan tidak mengenal usia. 2. Sistem Among Sistem Among merupakan sistem pendidikan dari Ki Hadjar Dewantara dari yang diaplikasikan sepenuhnya didalam perguruan Taman Siswa. Kata “among” berasal dari bahasa Jawa yang memiliki arti mengasuh, mengabdi dengan pengorbanan agar yang dimong merasa bahagia (Dwi Siswoyo, 2008 : 136). Tujuan metode among adalah membina kemandirian dan kedisiplinan pribadi, mengganti cara mengajar konvensional (penuh perintah dan paksaan) dengan cara pengajaran baru yang lebih mengutamakan kemerdekaan dan ketertiban. Ki Hadjar Dewantara menjelaskan bahwa pendidikan Taman Siswa bercita-cita mendorong jiwa raga anak-anak secara bebas dan menuju pada adab perikemanusiaan. Dasar pemikiran ini adalah bahwa anak mempunyai kodrat untuk tumbuh dan berkembang secara merdeka. Oleh sebab itu, maka metode among ini memiliki beberapa ciri khas, diantaranya:
54
1. Anak-anak dibiasakan untuk cinta kepada cita-cita sosial sehingga kelak anak tidak akan memiliki sifat individualis, namun mendahulukan kepentingan bersama. 2. Anak-anak dibiasakan untuk bergotong royong, bantu-membantu, bekerjasama dengan orang lain. 3. Anak-anak diberi kesempatan untuk berinteraksi, bersosialisasi dan berorganisasi. Lebih lanjut dapat penulis katakan bahwa prinsip dari metode among adalah memberi kemerdekaan kepada anak didik untuk aktif belajar, mencari ilmu, mengembangkan dirinya dengan cara mereka sendiri. Tugas pendidik adalah menjaga agar kemerdekaan yang diberikan kepada anak ialah kebebasan yang bertanggungjawab, tidak membahayakan keselamatan diri sendiri atau orang lain. Sehingga cara pendidikan among bermaksud memberikan kesempatan sebanyak-banyaknya kepada anak untuk membina disiplin pribadi dan untuk mengembangkan pribadinya secara wajar melalui pemahaman, usaha dan pengalaman sendiri. Sedangkan para pendidik sebagai pemimpin proses pendidikan diharuskan banyak memberi bimbingan dan tuntunan. Dalam sistem among, pendidik dan anak didik sama-sama memperoleh pengalaman sesuai konsep Tringa: ngerti = mengerti, ngrasa = merasa, nglakoni = melakukan. Oleh karena itu, pendidik sebagai pemimpin anak didik diwajibkan bersikap sesuai Trilogi Kepemimpinan, yaitu :
55
1. Ing ngarsa sung tuladha, Secara etimologi, kata ing = di, ngarsa = depan, sung = memberi, tuladha = contoh atau tauladan. Maksudnya adalah orang-orang yang berada didepan sebagai pemimpin dan pendidik (orang tua, guru dan tokoh masyarakat) harus dapat menjadi contoh yang baik bagi orangorang (anak) yang dipimpin dan dididiknya. Didalam menghadapi penilaian umum, pendidik harus menjadi teladan dengan mewujudkan tujuan dan cita-cita pendidikan bagi anak secara konsisten dan konsekuen. 2. Ing madya mangun karsa Secara etimologi, kata ing = di, madya = tengah, mangun = membangun, karsa = inisiatif. Maksudnya ialah seorang pendidik harus bisa: membangun inisiatif ditengah-tengah anak didikanya, memperbaiki keadaan-keadaan yang bersifat negatif menjadi positif, senantiasa
memberi
motivasi,
membangkitkan
semangat,
menumbuhkan daya aktivitas dan kreativitas sesama dalam hidup. memberikan ide, saran, masukan serta kritik yang membangun. 3. Tut wuri handayani. Secara etimologi, kata tut berasal dari kata ngetutke = mengikuti, wuri = mburi = belakang, handayani = wibawa. Maksudnnya seorang pendidik harus menarik diri kebelakang untuk mengikuti dan mengawasi anak
56
didik namun tetap memberi pengaruh dan menunjukkan kewibawaan. Beberapa contoh kewibawaan itu ialah: Tetap memberi kemerdekaan pada anak didik untuk berkembang sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya. Pendidik tidak bersikap otoriter, tidak memiliki keinginan sedikitpun untuk menguasai atau memaksa anak didik. Senantiasa memberi koreksi dengan sabar jika anak didik melakukan tindakan yang salah, bukan memberikan hukuman yang sewenang-wenang. Pendidik tidak bertindak dan berkata kasar terhadap anak, mengasuh dan mendidik dengan penuh kasih sayang, perhatian, serta bersikap adil ( tidak diskriminasi). Dari penjelasan diatas, dapat penulis simpulkan bahwa secara keseluruhan metode among dijalankan atas dasar jiwa dan semangat kekeluargaan serta kemerdekaan bagi anak. Tujuan utama dari metode ini adalah pembinaan swadisiplin pada anak. Maksud dari swadisiplin tersebut yakni pribadi yang dapat merdeka. Merdeka dalam artian bukan hidup penuh dengan kebebasan yang mutlak, melainkan hidup merdeka menurut nilai-nilai hidup tertentu yang oleh masingmasing anak dihayati secara otonom (sendiri-sendiri), dan dilaksanakan secara sukarela dan ikhlas. Sifat sukarela dan ikhlas dalam anak tersebut muncul karena dalam hidupnya mereka juga telah terbebas dari rasa dipaksa dan terpaksa, bebas dari ketidakadilan, bebas dari hukuman yang bersifat menyiksa, bebas dari rasa
57
perselisihan dan permusuhan. Sebaliknya, hidup anak yang merdeka itu dipenuhi dengan suasana kegembiraan, keharmonisan yang selalu dipelihara. Pelaksanaan metode among dapat menghasilkan jiwa anak yang merdeka lahir batinnya. Maksudnya
adalah anak-anak yang berjiwa dinamis dan maju,
memikiki semangat untuk beraktivitas dan berkreativitas, hidup tentram dan tenang, mampu mengendalikan diri, memiliki kebijaksanaan dan kesabaran, mampu menghadapi permasalahan bahkan menemukan solusi dari pemecahan masalah tersebut. 3. Pancadarma Pancadarma merupakan ciri khas dari perguruan Taman Siswa yang sebelumnya dikenal dengan sebutan “Dasar-Dasar Taman Siswa 1947”. Pancadarma dinyatakan sebagai lanjutan cita-cita Ki Hadjar Dewantara dan kawankawannya
yang
tergabung
dalam
“Paguyuban
Selasa
Kliwonan”
(Ki
Mangunsarkoro, Pusara edisi Maret 1952 : 6). Selanjutnya tentang konsep Pancadarma, Ki Hadjar Dewantara menyatakan sebagai berikut : “Dasar-dasar yang termaktub didalam Pancadarma kita, yaitu : 1. Kemerdekaan, 2. Kodrat Alam, 3. Kebudayaan, 4. Kebangsaan, dan 5. Kemanusiaan, dengan sendirinya mendorong asas (yakni aliran, haluan, anjuran tekad, niat, dan kemauan), supaya kita berbuat segala apa yang berdasarkan lima dasar tersebut” (Sumber : Asas-asas dan Dasar Tamansiswa dalam Buku Seri Ketamansiswaan IV, Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa : 1984 )
Urutan dari masing-masing dasar dalam Pancadarma adalah bukan sesuatu yang berdiri sendiri-sendiri, tidak boleh diartikan pula bahwa urutan tersebut menunjukkan tingkat keutamaan dan kepentingannya. Pancadarma merupakan suatu konsep yang berkesinambungan, yang kelima dasarnya harus dijalankan
58
secara selaras dan seimbang guna mencapai cita-cita yang diinginkan. Untuk lebih memperjelas hal ini, Ki Hadjar memberikan penggambaran sebagai berikut: “Berilah kemerdekaan dan kebebasan kepada anak-anak kita, bukan kemerdekaan yang leluasa, namun yang terbatas oleh tuntutan kodrat-kodrat alam yang khas atau nyata, dan menuju kearah Kebudayaan, yakni keluhuran dan kehalusan hidup manusia. Agar kebudayaan tadi dapat menyelamatkan dan membahagiakan hidup dan penghidupan diri dan masyarakat maka perlulah dipakainya dasar kebangsaan, akan tetapi jangan sekali-kali dasar ini melanggar atau bertentangan dengan dasar yang lebih luas, yaitu dasar kemanusiaan.” (Sumber: Ki Hilmi Yusuf dalam buku “Ki Hadjar Dewantara dalam Pandangan Para Cantrik dan Mantrinya”, 1989 : 57)
Berdasarkan penjelasan dan keterangan tentang konsep Pancadarma oleh Ki Hadjar Dewantara serta murid-muridnya yang kemudian menjadi pamong di perguruan Taman Siswa, maka konsep Pancadarma untuk pendidikan karakter dapat penulis perjelas sebagai berikut: 1). Kemerdekaan Pendidikan atas dasar kemerdekaan merupakan salah satu bentuk pengamalan sila kedua Pancasila, yakni “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”. Kemerdekaan merupakan salah satu karunia dari Tuhan kepada setiap manusia, yakni hak untuk mengatur hidupnya sendiri, namun dengan mengingat dan berpegang pada syarat-syarat tertentu guna tertib dan damainya masyarakat. Karena itu maka kemerdekaan harus diartikan sebagai swadisiplin atas dasar nilai-nilai yang luhur, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Kemerdekaan
harus
menjadi
dasar
yang
kuat
untuk
mengembangkan pribadi yang sadar akan suasana yang selaras dalam hidup bermasyarakat. Oleh sebab itu, pendidik dan anak didik berkewajiban untuk :
59
a. Memegang hak untuk mengatur hidupnya sendiri. b. Menghormati hak orang lain. c. Mengembangkan swadisiplin diri. d. Menjaga maupun mengusahakan keharmonisan dan ketertiban bersama. Beberapa contoh sikap diatas, jika dipakai dan diaplikasikan didalam setiap sendi kehidupan masyarakat Indonesia maka akan berujung pada tercapainya “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” 2). Kodrat Alam Pendidikan berdasarkan kodrat alam merupakan salah satu bentuk pengamalan sila pertama Pancasila, yakni “KeTuhanan Yang Maha Esa”. Kodrat alam sebagai perwujudan kekuasaan Tuhan mengandung arti bahwa, pada hakekatnya manusia sebagai makhluk Tuhan adalah satu dengan alam semesta ini. Karena itu, usaha pendidikan harus selaras dengan unsur-unsur alam. Sebagai contoh penerapannya, maka pendidik dan anak didik berkewajiban untuk : a. Beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa. b. Menghormati, menjaga dan menyelaraskan diri dengan alam semesta. c. Pendidik senantiasa memasukkan nilai-nilai keagamaan dan alam dalam kegiatan pendidikan dan pengajaran. 3). Kebudayaan Kebudayaan sebagai salah satu dasar pendidikan mengandung arti bahwa pendidikan harus ikut pula menjaga dan memelihara nilai-nilai dan bentuk kebudayaan nasional. Dalam memelihara kebudayaan nasional itu yang paling
60
penting adalah membawa kebudayaan nasional itu kearah kemajuan yang sesuai dengan perkembangan masyarakat tanpa melunturkan corak dan nilai-nilai dasar dari budaya tersebut. Dalam hal ini pendidik dan anak didik berkewajiban untuk : a. Menjunjung tinggi nilai-nilai hidup yang luhur, seperti: adat istiadat, tradisi dan tata krama. b. Mencintai, memelihara, memajukan kebudayaan nasional. c. Bersikap selektif terhadap kebudayaan asing yang masuk d. Pendidik memanfaatkan budaya nasional sebagai salah satu bahan atau sumber pengajaran, misalnya dalam seni tari, seni rupa, seni musik. 4). Kebangsaan Dasar kebangsaan juga merupakan ciri khas pengamalan Pancasila sebagai pedoman hidup bangsa Indonesia, yakni sila “Kerakyatan
yang
Dipimpin
oleh
Hikmat
“Persatuan Indonesia” dan dalam
Permusyawaratan/
Perwakilan”. Dasar ini mengandung arti bahwa rakyat Indonesia harus memiliki rasa cinta tanah air, rasa satu bangsa Indonesia, untuk menggapai kesejahteraan bersama. Sehingga pendidik dan anak didik berkewajiban untuk: a. Menjunjung tinggi kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi dan kelompok. b. Saling bekerjasama melalui konsep hidup gotong royong dan musyawarah untuk mufakat. c. Menghindari permusuhan antar warga negara maupun kebencian terhadap bangsa lain.
61
d. Berperan serta dalam mengisi kemerdekaan dan mencapai cita-cita nasional. e. Menjunjung tinggi semangat Bhinneka Tunggal Ika untuk persatuan dan kesatuan bangsa. 5). Kemanusiaan Dasar kemerdekaan, kebudayaan dan kebangsaan dalam pendidikan tidak boleh bertentangan dengan dasar kemanusiaan, bahkan harus menjadi sifat dan bentuk laku yang nyata. Dasar Kemanusiaan merupakan pengamalan dari sila-sila Pancasila sebagai tuntunan dasar dalam kehidupan rakyat Indonesia, khususnya sila “ Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab ”. Oleh karena itu, pendidik dan anak didik berkewajiban : a. Memiliki sifat dan sikap kemanusiaan yang timbul dari keluhuran akal dan budi. b. Saling tolong menolong, memiliki sifat tepa selira. c. Saling menghormati perbedaan antar manusia, misalnya perbedaan ras, suku, warna kulit, dan sebagainya. d. Memiliki maupun berlaku cinta-kasih terhadap sesama. 4. Teori Trikon Kebudayaan
sebagai
salah
satu
dasar
pendidikan
harus
dikembangkan sesuai Teori Trikon Ki Hadjar Dewantara. Teori Trikon merupakan usaha pembinaan kebudayaan nasional yang mengandung tiga sifat dasar yaitu kontinuitas, konsentrisitas, dan konvergensi.
62
a.
Dasar Kontinuitas
Pendidikan nasional adalah juga usaha kebudayaan, yaitu suatu usaha untuk memperbaiki dan mempertingi derajat turunan seseorang dan bangsa. Ki Hadjar Dewantara menjelaskan bahwa budaya, kebudayaan atau garis hidup bangsa itu sifatnya berkelanjutan, tak terputus-putus. Kehidupan suatu bangsa yang dipenuhi dengan perkembangan dan kemajuan kebudayaan akan terus menerima pengaruh nilai-nilai baru baik dari perkembangan sendiri maupun dari luar. Unsur kebudayaan asli dan tradisional yang masih berguna harus tetap dikembangkan dan dibina terus menerus tanpa terputus. Dalam hal ini kontinuitas dapat diartikan bahwa dalam mengembangkan dan membina karakter bangsa harus merupakan kelanjutan dari budaya sendiri. Sehingga kontinuitas sangat berpegang teguh pada kewajiban untuk mewariskan dasardasar budaya bangsa Indonesia secara terus menerus. b. Dasar Konsentris Dasar konsentris berarti bahwa dalam mengembangkan kebudayaan, kita harus mementingkan kebudayaan Indonesia sendiri sebagai sentralnya, namun juga bersikap terbuka dengan budaya asing maupun budaya baru yang masuk. Syarat mutlaknya ialah keterbukaan itu harus disertai sikap yang kritis dan selektif terhadap pengaruh dan dampak-dampak dari kebudayaan di sekitar kita. Unsurunsur yang selaras dan sesuai dengan corak kepribadian bangsa dapat diambil guna memperkaya dan mempertinggi mutu kebudayaan kita. Begitupula dengan usaha pendidikan karakter bagi anak, pendidikan yang diusahakan itu harus berakar pada budaya bangsa Indonesia, meskipun lagi-lagi tidak tertutup
63
kemungkinan untuk mengakomodir budaya luar yang baik dan selaras dengan budaya bangsa. Dapat penulis simpulkan bahwa dasar konsentris berpegang pada pemanfaatan apek-aspek dalam budaya luar untuk pengembangan budaya yang bersifat nasional Indonesia. c. Dasar Konvergensi Dasar konvergensi bermaksud menyatukan kebudayaan sendiri dengan kebudayan asing demi kemajuan bersama. Dalam hubungannya dengan usaha pendidikan karakter bagi anak, dasar konvergensi berarti bekerja sama dengan bangsa lain untuk mengusahakan pembinaan karakter dunia sebagai kebudayaan kesatuan umat sedunia (konvergen), tanpa mengorbankan kepribadian atau identitas bangsa masing-masing. Oleh sebab itu, seperti apapun bentuk perkembangan jaman, ciri atau corak khas kebudayaan bangsa Indonesia tidak harus ditiadakan demi membangun kebudayaan dunia. Dari keterangan ini dapat penulis simpulkan bahwa dasar konvergensi berpegang pada pemanfaatan aspek-aspek budaya (baik nasional maupun internasional) sebagai dasar hidup masyarakat global (bersama). D. Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara Untuk Pendidikan Karakter Bangsa di Sekolah Dasar (SD) Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa Pendidikan budi pekerti didalam lingkungan keluarga seiring kemajuan jaman telah mulai sedikit diabaikan. Dilain pihak, lingkungan sosial (masyarakat) tidak memiliki banyak kesadaran bahwa tindakan, perhatian dan kepedulian mereka terhadap anak pada dasarnya akan memberikan pengaruh yang cukup besar pada pengembangan kepribadian anak tersebut. Keluarga dan
64
masyarakat dewasa ini cenderung lebih mempercayakan pendidikan anak yang sepenuhnya pada lingkungan sekolah. Maka lingkungan sekolah mau tidak mau menempati baris terdepan dalam usaha peningkatan mutu pendidikan karakter yang sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan. Pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang terumuskan dalam beberapa konsep dan berhasil direalisasikan didalam Perguruan Taman Siswa harusnya direvitalisasikan kedalam sekolah-sekolah masa kini. Apalagi dalam lingkup Sekolah Dasar (SD) sebagai jenjang pendidikan formal yang mendasar dan amat penting bagi anak. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dengan kurikulum yang pengembangannya kini diotonomikan kepada sekolah harus dimanfaatkan seluas-luasnya demi tercapainya visi dan misi sekolah. Dalam hal ini penulis meyajikan SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa Yogyakarta sebagai sekolah percontohan yang berhasil melaksanakan pendidikan karakter yang berlandaskan konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara. a. Profil SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa Nama Sekolah
: SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa
Alamat
: Jalan Tamansiswa No. 25 Wirogunan Kecamatan Mergangsan Yogyakarta 55151, Telp (0274) 388546
Tahun Berdiri
: 1992
Status - Akreditasi : Swasta - A E-mail
:
[email protected]
65
Visi
: “Menjadi sekolah bermutu, berbasis seni budaya dan pendidikan budi pekerti luhur”
Misi •
:
Melaksanakan kegiatan pembelajaran yang efektif, efisien dan terukur untuk mewujudkan pendidikan bermutu.
•
Menyelengarakan pendidikan kesenian dan penanaman nilai-nilai budaya untuk mewujudkan pendidikan berbasis seni budaya.
•
Menerapkan “among system” dengan tekanan keteladanan silih asah, silih asih dan silih asuh implementasi pendidikan budi pekerti luhur.
b. Strategi SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa Visi dan misi sekolah yang hendak dicapai tersebut diatas hanya dapat terwujud dengan dukungan dan peran serta para pemangku kepentingan pendidikan. Untuk itu strategi yang dipilih SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa dalam upaya mencapai tujuan tersebut ialah dengan semangat gotong royong yang dilandasi kekeluargaan. Dalam hal manajemen sekolah, SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa menerapkan sistem manajemen terbuka, dengan mematuhi “Tri Pantangan” dari Ki Hadjar Dewantara yakni: 1. Pantang menyalahgunakan kekuasaan, 2. Pantang menyalahgunakan kehartabendaan, 3. Pantang menyalahgunakan kewenangan. SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa secara bertahap dimonitoring, dievaluasi, dan dikendalikan setiap kurun waktu tertentu untuk
66
mencapai Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang diberlakukan secara nasional. Atas dasar kesepatan dengan dewan guru (pamong), komite sekolah, manajemen sekolah, dan penyelenggara pendidikan, SKL SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa dirumuskan sebagai berikut: 1. Menjalankan ajaran agama yang dianut siswa sesuai dengan tahap perkembangan anak. 2. Mampu mengaktualisasikan diri dalam berbagai bentuk seni budaya, olahraga dan mendalami cabang ilmu pengetahuan yang dikehendaki sesuai potensi yang dimiliki. 3. Mematuhi aturan sosial yang berlaku dalam lingkungannya. 4. Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, golongan, dan sosial ekonomi pada masyarakat sekitarnya. 5. Menunjukkan kemampuan berpikir secara logis, kritis dan kreatif dengan bimbingan pamong (guru). 6. Menunjukkan kecintaan dan kepedulian terhadap lingkungan, kebanggaan terhadap bangsa, negara, tanah air Indonesia. 7. Mampu menampilkan diri dalam kebiasaan sopan santun dan berbudi pekerti luhur sebagai cerminan akhlak mulia dan iman takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. 8. Menunjukkan
kebiasaan
hidup
bersih,
sehat,
bugar,
aman
dan
memanfaatkan waktu luang. 9. Bekerjasama dalam kelompok, tolong menolong, dan menjaga diri sendiri dalam pergaulan di lingkungan keluarga, teman, sekolah dan masyarakat.
67
10. Mampu melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi. c. Landasan Filosofis Pengembangan Kurikulum SD
Taman
Muda
Ibu
Pawiyatan
Tamansiswa
didalam
mengembangkan kurikulum sekolah berlandaskan dan berpegang teguh pada pemikiran Ki Hadjar Dewantara bahwa pendidikan adalah usaha kebudayaan dan sekolah adalah taman persemaian kebudayaan. Satuan pendidikan sebagai pusat pengembangan kebudayaan tidak terlepas dari nilai-nilai budaya yang dianut oleh bangsa tersebut. Bangsa Indonesia memiliki nilai-nilai budaya yang dianut dan bersumber dari Pancasila sebagai falsafah hidup berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Nilai-nilai budaya itu ialah nilai keTuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan dan kesatuan, nilai kerakyatan serta nilai keadilan sosial. Kesemua nilai ini dijadikan dasar filosofis dalam pengembangan kurikulum satuan pendidikan di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa. d. Struktur dan Muatan Kurikulum Struktur kurikulum dalam SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa meliputi sejumlah mata pelajaran termasuk muatan lokal dan program pengembangan diri yang kesemuanya mengandung maksud dan tujuan pembinaan pendidikan karakter. Mata Pelajaran Kelompok mata pelajaran di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa memiliki cakupan dan kegiatan masing-masing namun semuanya tetap mengacu
68
pada Peraturan Pemerintah (PP) No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). 1. Pendidikan Agama Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia terdiri dari Pendidikan Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu dengan tujuan membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Ruang Lingkupnya berupa perwujudan pendidikan agama yang bermanfaat dalam pembinaan akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti atau moral. 2. Pendidikan Kewarganegaraan a. Tujuan: • Agar peserta didik berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan. • Agar peserta didik berpartisipasi secara aktif dan bertanggungjawab, bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta anti korupsi. • Agar peserta didik berkembang secara demokratis dan positif untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa lain secara harmonis. b. Ruang Lingkup, meliputi aspek-aspek: • Persatuan dan Kesatuan Bangsa : kerukunan, keadilan, sumpah pemuda, bela negara, kesetaraan gender, cinta tanah air. • Konsep pancasila, gotong royong, norma, hukum dan peraturan.
69
• Hak asasi manusia : hak dan kewajiban anak, persamaan kedudukan, kebebasan berpendapat , penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM). 3. Bahasa Indonesia a. Tujuan, peserta didik mampu: • Berkomunikasi sesuai dengan etika yang berlaku baik secara lisan maupun tertulis. • Menghargai dan bangga menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. • Memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan dan memperhalus budi pekerti. b. Ruang Lingkup: meliputi aspek-aspek mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis. 4. Matematika a. Tujuan, peserta didik mampu: • Memahami konsep matematika secara akurat, efisien dan tepat dalam pemecahan masalah sesuai penalaran. • Memiliki rasa ingin tahu, perhatian, minat dalam mempelajari matematika untuk menumbuhkan sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. b. Ruang Lingkup: meliputi aspek-aspek seperti bilangan, pengukuran dan pengolahan data. 5. Ilmu Pengetahuan Alam a. Tujuan, peserta didik mampu:
70
• Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan, keteraturan alam ciptaan-Nya. • Mengembangkan konsep pengetahuan IPA yang bermanfaat bagi kehidupan. • Meningkatkan kesadaran untuk berperanserta memelihara dan menjaga kelestarian alam. b. Ruang Lingkup, meliputi aspek-aspek seperti: makhluk hidup serta interaksinya, sifat dan kegunaan benda, bumi dan alam semesta. 6. Ilmu Pengetahuan Sosial a. Tujuan, peserta didik mampu: •
Mengenal konsep-konsep yang berkaitan
dengan kehidupan
masyarakat dan lingkungannya: hak dan kewajiban, bela negara, kesetaraan gender, ketaatan pada hukum, dan lain-lain. •
Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, berkomunikasi, rasa ingin tahu, bekerjasama dalam masyarakat yang majemuk (keterampilan dalam kehidupan sosial).
•
Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan.
b. Ruang Lingkup, meliputi aspek-aspek seperti: manusia, tempat dan lingkungan sosial, waktu dan perubahan sosial, Kebudayaan dan sistem sosial.
71
7. Seni Budaya dan Keterampilan Seni Budaya dan Keterampilan masuk kedalam rumpun mata pelajaran estetika
yang
dimaksudkan
untuk
meningkatkan
sensitifitas
anak,
kemampuan berekspresi, kemampuan mengapresiasi keindahan dan harmoni. a. Tujuan lainnya ialah peserta didik mampu: •
Memahami pentingnya seni budaya dan keterampilan serta memberikan sikap apresiasi.
•
Menampilkan kreativitas-kreativitas dan peran serta dalam seni budaya dan keterampilan dalam berbagai tingkat.
b. Ruang Lingkup, meliputi aspek-aspek: •
Seni Rupa: mencakup pengetahuan, keterampilan dan nilai dalam menghasilkan karya seni berupa lukisan, patung, ukiran, cetakmencetak, dan sebagainya.
•
Seni Musik: mencakup kemampuan olah vokal, menyanyikan lagu dan memainkan alat musik khususnya yang masih bersifat tradisional.
•
Seni Tari: mencakup keterampilan gerak berdasarkan olah tubuh.
•
Seni
Drama:
mencakup
keterampilan
pementasan
dengan
memadukan seni tari, seni musik dan peran dengan jalan cerita yang mengandung nilai budi pekerti luhur. •
Keterampilan:
mencakup
aspek
kecakapan
keterampilan personal, sosial dan akademik.
72
hidup
berupa
8. Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan a. Tujuan, peserta didik mampu: •
Mengembangkan kemampuan pengelolaan diri dalam upaya pemeliharaan kesehatan jasmani.
•
Meningkatkan pertumbuhan fisik dan keterampilan gerak dasar.
•
Mengembangkan sikap sportif, jujur, disiplin, bertanggung jawab, kerjasama dan percaya diri.
b. Ruang Lingkup, meliputi aspek-aspek: •
Permainan dan olahraga: permainan dan olahraga tradisional, bela diri, atletik, dan sebagainya.
•
Aktivitas pengembangan jasmani: senam kesehatan jasmani.
•
Pendidikan luar kelas: berkemah, jelajah alam.
•
Kesehatan: penanaman budaya hidup sehat dalam kehidupan seharihari khususnya yang terkait dengan perawatan tubuh agar tetap sehat.
•
Budaya hidup sehat termasuk kesadaran, sikap, dan perilaku hidup yang bersifat individual dan kolektif kemasyarakatan seperti keterbebasan dari bahaya narkoba, HIV/AIDS, dan penyakitpenyakit lain.
Muatan Lokal Muatan lokal yang dipilih ditetapkan berdasarkan cirri khas, potensi dan keunggulan daerah serta ketersediaan sarana dan prasarana maupun tenaga pendidik. Sasaran pembelajaran muatan lokal adalah pengembangan jiwa
73
kewirausahaan dan kemandirian serta penanaman nilai-nilai sosial budaya. Nilainilai kewirausahaan dan kemandirian yang dikembangkan antara lain meliputi : inovasi, kreativitas, berpikir kritis, komunikasi dan etos kerja. Sedangkan nilai sosial budaya yang dikembangkan adalah meliputi : nasionalisme, patriotisme, kekeluargaan, kejujuran, disiplin, tanggungjawab, peka terhadap lingkungan dan kerjasama. Penanaman nilai-nilai kewirausahaan, kemandirian serta nilai-nilai sosial budaya tersebut diintegerasikan dalam proses pembelajaran yang dikondisikan agar nilai-nilai tersebut menjadi sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari. SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa mengembangkan dan melaksanakan muatan lokal sebagai berikut: 1.
Pendidikan Ketamansiswaan a. Tujuan, peserta didik mampu: • Berpikir secara kritis, rasional dan kreatif dalam merespon hidup dan kehidupan
dengan
berpijak
pada
nilai-nilai
Ketamansiswaan
(Pancadarma). • Berpartisipasi secara aktif dan bertanggungjawab, bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara untuk mewujudkan masyarakat tertib, damai dan bahagia. b. Ruang Lingkup, meliputi aspek-aspek: mengenal serta meneladani sosok Ki Hadjar Dewantara, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Ketamansiswaan.
74
2.
Bahasa Jawa a. Tujuan, peserta didik mampu: • Mengembangkan
kemampuan
dan
keterampilan
berkomunikasi
dengan menggunakan bahasa Jawa (unggah-ungguh basa). • Meningkatkan kepekaan dan penghayatan terhadap karya sastra Jawa. • Memupuk tanggungjawab untuk melestarikan bahasa tradisional sebagai budaya daerah dan salah satu unsur budaya nasional. b. Ruang Lingkup: mencakup komponen kemampuan berbahasa, bersastra dan berbudaya Jawa serta meliputi aspek mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis. 3. Bahasa Inggris Tujuan dari mata pelajaran bahasa Inggris adalah agar peserta didik memiliki keterampilan-keterampilan
dalam
penggunaan
dan
pengembangan
kemampuan berbahasa Inggris sebagai bahasa internasional. Sehingga peserta didik mampu bersaing dan mampu menjawab tuntutan jaman. Pengembangan Diri Kegiatan pengembangan diri adalah kegiatan di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa yang bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat dan minat. Kegiatan ini mencakup dua program kegiatan, yakni: 1. Kegiatan Pengembangan Diri Secara Terprogram
75
Kegiatan ini dilaksanakan dengan perencanaan khusus dalam kurun waktu tertentu untuk memenuhi kebutuhan peserta didik secara individual maupun kelompok melalui penyelenggaraan kegiatan sebagai berikut: a. Kegiatan Bimbingan dan Konseling Nilai yang ingin ditanamkan dalam kegiatan ini ialah kemandirian, percaya diri, pengendalian diri, kejujuran, disiplin, bertanggungjawab, komunikatif, keberanian dalam mengambil keputusan. Sehingga kegiatan ini menjadi usaha penting dalam pembinaan karakter atau kepribadian anak. Strategi pelaksanaannya berupa layanan konseling individual dan layanan konseling kelompok melalui tatap muka dengan guru kelas. Didalam layanan konseling tersebut, guru harus memberikan berbagai motivasi dan tuntunan. b. Kegiatan Ekstrakurikuler: Nilai yang ingin ditanamkan dalam kegiatan ini adalah kedisiplinan, kerjasama, semangat kebangsaan, kerja keras, ketekunan, serta kepedulian sosial dan lingkungan alam. Strategi pelaksanaannya berupa latihan
kepemimpinan,
latihan
beorganisasi,
pengembangan
keterampilan dan kemampuan melalui kegiatan-kegiatan: Pramuka, Baca Tulis Al Quran, Teknologi Informasi dan Komunikasi (komputer), Patroli Keamanan Sekolah (PKS), Seni Tari , Seni Musik; Marching Band, Bina Vocal dan Karawitan, Olahraga; Bela Diri (Pencak Silat) dan Sepak Bola.
76
2. Kegiatan Pengembangan Diri Secara Tidak Terprogram Kegiatan ini dilaksanakan sebagai kegiatan pembiasaan yang merupakan proses pembentukan, penanaman, dan pengamalan nilai-nilai luhur untuk menuntun sikap perilaku budi pekerti luhur, yang berupa: a. Kegiatan Rutin (kegiatan yang dilakukan secara terjadwal). • Contohnya: upacara bendera setiap hari Senin dan hari besar nasional, berbaris didepan kelas sebelum masuk kelas, Semutlis (sepuluh menit membersihkan lingkungan sekolah), Java day, English day, piket kelas, berdoa sebelum dan sesudah pelajaran. b. Kegiatan Spontan (kegiatan yang tidak terjadwal dalam kejadian khusus). • Contohnya: 3S (Senyum, Salam dan Sapa), meminta maaf jika berbuat kesalahan, berterimakasih, peduli terhadap sesama, peduli terhadap lingkungan sekitar, membuang sampah pada tempatnya. c. Keteladanan • Merupakan bentuk-bentuk kepribadaian yang dapat dijadikan contoh atau teladan semua orang. • Contohnya: sikap dan perilaku guru yang sesuai dengan metode among, mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi, tepat waktu dan disiplin diri, santun dalam bertindak dan berbicara, jujur dan berani mengambil keputusan, memberikan perlindungan terhadap yang lemah, berpenampilan rapi dan bersih, pengendalian diri, menghargai pendapat orang lain, dan sebagainya.
77
e. Relevansi Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ditegakkan atas prinsipprinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Nilainilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-nilai luhur yang mengatur berbagai sendi kehidupan rakyat Indonesia. Pendidikan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan serta kemauan dalam menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara. Konsep-konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang masih dapat dipakai dan dikembangkan untuk pendidikan karakter masa kini telah diidentifikasi sesuai falsafah Pancasila serta memperhatikan hal-hal berikut: 1. Budaya Nilai-nilai budaya yang diakui oleh masyarakat akan menjadi dasar hidup dari masyarakat itu sendiri. Sehingga posisi budaya amatlah penting dalam kehidupan antar anggota masyarakat. Dengan demikian budaya haruslah tetap menjadi sumber nilai utama dalam pendidikan karakter bangsa. 2. Tujuan Pendidikan Nasional Tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai kehidupan yang harus dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia. Nilai kehidupan tersebut akan menunjukkan kualitas yang dimiliki. Oleh karena itu, tujuan pendidikan nasional adalah sumber yang paling operasional dalam pengembangan pendidikan karakter bangsa. Pendidikan Nasional ialah pendidikan yang beralaskan garis hidup bangsanya (cultureel – nasional) dan ditujukan untuk
78
keperluan perikehidupan yang dapat mengangkat derajat negeri dan rakyatnya, sehingga pantas bekerja bersama-sama dengan bangsa lain untuk kemulyaan segenap manusia diseluruh dunia (Ki Hadjar Dewantara dalam Wasita Jilid II No. 2 Edisi Juli – Agustus 1930) Berdasarkan sumber-sumber atau dasar acuan tersebut, teridentifikasi sejumlah nilai dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara untuk pendidikan karakter bangsa yang wajib diaplikasikan dilingkungan sekolah, yakni: 1. Religius: sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleransi, hidup rukun dengan pemeluk agama lain. 2. Jujur: perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan dan pekerjaan. 3. Swadisiplin diri: tindakan pengendalian diri sendiri yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. 4. Sopan santun: sikap, perkataan dan perbuatan yang dihasilkan dari budi pekerti yang luhur, mencerminkan etika dan estetika. 5. Mandiri: sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan kewajiban dan melaksanakan tanggungjawab. 6. Kreatif, Pantang Menyerah, Ulet, Teliti dan Terampil: berinisiatif, berusaha menghasilkan sesuatu dengan ide-ide baru, bersungguh-sungguh, tidak mudah putus asa saat menghadapi kegagalan dan masalah. 7. Semangat Kebangsaan dan Cinta Tanah Air : cara berpikir, bertindak dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara diatas
79
kepentingan diri dan kelompoknya, menunjukkan kesetiaan, kepedulian dan penghargaan yang tinggi terhadap bangsanya sendiri. 8. Cinta Damai: sikap, perkataan dan perbuatan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. 9. Peduli Lingkungan Alam: sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah
kerusakan
pada
lingkungan
alam
disekitarnya,
dan
mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam. 10. Peduli Lingkungan Sosial: sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan kepada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. f. Strategi Pelaksanaan Pendidikan Karakter Bangsa
Mengacu pada pembahasan tentang struktur dan muatan kurikulum diatas, dapat diperoleh suatu kesimpulan bahwa pada prinsipnya di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa, pengembangan konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara untuk pendidikan budaya dan karakter bangsa dilaksanakan secara terintegrasi kedalam berbagai mata pelajaran, muatan lokal, pengembangan diri dan keteladanan di sekolah. Didalam upaya pengintegrasian nilai-nilai dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang relevan dengan pendidikan karakter bangsa dengan kehidupan di alam sekolah, hendaknya diperhatikan pula adanya beberapa strategi berikut:
1.
Di sekolah, tugas pokok guru ada tiga: - Melanjutkan pembinaan pendidikan keluarga karena guru berperan sebagai orangtua di sekolah.
80
- Membetulkan pendidikan keluarga yang salah atau yang kurang baik, misalnya: anak yang mempunyai kebiasaan berkata kotor harus diberi pembinaan yang serius agar kebiasaan buruk itu bisa dihentikan. - Memberi pendidikan karakter atau nilai-nilai luhur yang belum pernah diberikan dalam keluarga yakni yang terintegerasi melalui mata pelajaran yang diajarkan di sekolah, misalnya: Didalam mata pelajaran matematika, ketika anak diajarkan mengerjakan soal-soal yang menuntut sebuah jawaban yang eksak (pasti), maka selama proses mengerjakan dan menemukan jawaban, guru membimbing siswa dengan menanamkan nilai ketelitian, kesabaran, pantang menyerah dan keuletan, nantinya hasil keeksakan tersebut akan menunjukkan sebuah nilai kejujuran. Didalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial, ketika anak diajarkan mengenai sejarah nasional, maka guru tidak hanya bertugas menyampaikan materi, namun guru harus menanamkan semangat perjuangan para tokoh nasional, misalnya mencontohkan gaya bicara Ir. Soekarno yang tegas dan lantang ketika berpidato, menceritakan pengalaman pahlawan nasional yang gagah berani dan pantang menyerah ketika menghadapi kaum penjajah. Didalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam, maka guru dalam menyampaikan materi harus senantiasa menanamkan nilai-nilai penghormatan terhadap alam sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga anak akan dibiasakan pula untuk menjaga
81
kelestarian alam termasuk hal-hal didalamnya, misalnya: membuang sampah pada tempatnya, menyiram tanam-tanaman, mendidik pemakaian listrik dan alat-alat elektronik secara baik dan benar; memadamkan lampu jika sudah tidak dipakai, mematikan televisi jika sudah tidak dilihat, dan sebagainya. 2. Sekolah dan guru dapat menambah ataupun mengurangi nilai-nilai tersebut diatas sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan hakekat-hakekat dalam Kurikulum berupa Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD). 3. Terdapat dua indikator pendidikan karakter yang sesuai nilai-nilai budaya dan karakter bangsa:
Indikator Sekolah dan Kelas Indikator ini berkenaan dengan kegiatan sekolah yang diprogramkan sehari-hari atau rutin. Oleh karena itu, indikator sekolah dan kelas menunjuk kepala sekolah, guru, karyawan atau pegawai lain di sekolah sebagai penanda untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi satuan pendidikan. Indikator Mata Pelajaran Indikator mata pelajaran menggambarkan perilaku seorang peserta didik berkenaan dengan matapelajaran tertentu. 4. Perilaku yang dikembangkan oleh kedua indikator tersebut bersifat progresif. Artinya perilaku tersebut berkembang semakin kompleks antara satu jenjang kelas dengan jenjang kelas diatasnya. Guru memiliki kebebasan dalam menentukan berapa lama suatu perilaku harus dikembangkan sebelum ditingkatkan ke perilaku-perilaku yang lebih kompleks.
82
5. Pembelajaran menggunakan pendekatan proses belajar aktif yang berpusat pada anak, dilakukan melalui berbagai kegiatan di kelas, didalam dan luar lingkungan sekolah, serta di masyarakat. 6. Program dan kegiatan pembinaan pendidikan karakter bangsa di sekolah dikembangkan dengan upaya pengkondisian atau perencanaan sejak awal tahun pelajaran, dan dimasukkan dalam kalender pendidikan sekolah sehingga peserta didik memiliki kesempatan untuk memunculkan perilaku yang menunjukkan nilai karakter dan budaya bangsa. 7. Pembelajaran pendidikan karakter di kelas dikembangkan melalui kegiatan belajar dengan cara pengintegrasian kedalam mata pelajaran serta dituangkan dalam Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dengan penggunaan metode among. 8. Pembelajaran pendidikan karakter di masyarakat dikembangkan dengan melakukan kunjungan ke tempat-tempat yang dirasa dapat menumbuhkan rasa cinta tanah air, pengabdian masyarakat, bakti sosial, dan sebagainya. 9. Penilaian pendidikan karakter bangsa dilakukan secara terus menerus oleh guru dengan mengacu pada indikator pencapaian nilai-nilai budaya dan karakter bangsa seperti berikut: a. Melalui pengamatan guru ketika seorang peserta didik melakukan suatu tindakan didalam kelas, di sekolah, dan di lingkungan masyarakat sekitar. b. Model anecdotal record, yakni catatan yang dibuat oleh guru ketika melihat adanya perilaku yang berkenaan dengan nilai pendidikan karakter yang dikembangkan.
83
c. Memberikan tugas yang berisikan suatu persoalan atau kejadian yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan perkembangan kemampuan dan nilai yang dimiliki. 10. Dari hasil pengamatan, catatan guru, tugas yang diberikan, laporan dan sebagainya, guru dapat memberikan kesimpulan dan pertimbangan yang dinyatakan dalam kategori atau kode-kode kualitatif, maksudnya adalah: Kategori
Arti
Makna Apabila peserta didik belum memperlihatkan
BT
Belum Terlihat
tanda-tanda awal perilaku yang dinyatakan dalam indikator. Apabila
MT
Mulai Terlihat
peserta
didik
sudah
mulai
memperlihatkan tanda-tanda awal perilaku yang dinyatakan dalam indikator tetapi belum konsisten. Apabila peserta didik sudah memperlihatkan
MB
Mulai Berkembang
berbagai tanda perilaku yang dinyatakan dalam indikator dan mulai konsisten. Apabila
MK
Membudaya
peserta
didik
terus
menerus
memperlihatkan perilaku yang dinyatakan dalam indikator secara konsisten.
Sesuai hasil penilaian terhadap perkembangan karakter peserta didik, maka selanjutnya tugas guru yang sebelumnya bertindak sebagai evaluator berubah menjadi seorang korektor dan motivator. Guru akan memberikan koreksi berupa pendampingan, bimbingan atau tuntunan kepada peserta didik yang belum mampu mencapai indikator. Bentuk tindakan dan perhatian kepada masing-masing anak
84
tidaklah sama, memiliki intensitas yang berbeda, karena disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan kemampuannya. Jelaslah ini sebagai bentuk pengamalan konsep dasar pendidikan dari Ki Hadjar Dewantara yang selalu menjunjung tinggi setiap bentuk dan tahapan perkembangan jiwa kodrati anak dalam suasana kemerdekaan dan kemanusiaan, seperti terungkap dalam kutipan berikut: “Mengenali sifat-kodrati dengan sifat kebudayaan pendidikan itu perlu, karena kadang-kadang terdapat kesalahan-kesalahan dalam manusia melakukan usaha kebudayaan yakni menyalahi kodrat hidup manusia hingga tersesat lakunya. Untuk memperbaikinya perlulah dalam melakukan segala usaha pendidikan manusia selalu mengingati tuntutan kodrat” (Sumber : ceramah Ki Hadjar Dewantara pada Rapat Besar Umum Taman Siswa 1950) “Tumbuh dan berkembangnya anak menurut kodrat (natuurlijkegroei) itu perlu sekali untuk segala kemajuan (evolutie) dan harus dimerdekakan seluasnya. Maka dari itu, pendidikan yang beralaskan syarat paksaan dan hukuman ketertiban, dianggap memperkosa hidup kebatinan anak. Pemeliharaan dan perhatian merupakan alat pendidikan untuk mendapat tumbuhnya hidup anak lahir dan batin menurut kodratnya sendiri”. (Sumber: Wasita Jilid I No. 2 Edisi Oktober 1928).
Ki Hadjar Dewantara dan SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa sama-sama menggunakan pendekatan humano holistic, yakni bahwa pendidikan karakter harus dapat membantu pembangunan kepribadian manusia seutuhnya, dalam arti bahwa semua potensi dan kemampuan manusia dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Pertumbuhan jasmaniah dan perkembangan kejiwaan diupayakan selaras dan harmonis agar dapat mewujudkan perilaku baik dan nyata, sehingga tercapailah kebahagiaan, keselamatan hidup manusia dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara di NKRI maupun kancah global.
85