57
BAB IV DAMPAK REFORMASI GEREJA TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL DAN AGAMA MASYARAKAT INGGRIS PADA MASA PEMERINTAHAN RATU ELIZABETH I (1558-1603)
Pada bab ini akan dikaji mengenai beberapa aspek penting yang berkaitan dengan skripsi yang berjudul “Dampak Reformasi Gereja Terhadap Kehidupan Sosial Dan Agama Masyarakat Inggris Pada Masa Pemerintahan Ratu Elizabeth I (1558-1603)”. Adapun sistematika dalam bab ini dibagi ke dalam beberapa sub judul, diantaranya dampak reformasi gereja terhadap kehidupan sosial dan agama masyarakat Inggris pada masa pemerintahan Ratu Elizabeth I tahun 1558-1603, dampak reformasi gereja terhadap kebijakan yang diambil Ratu Elizabeth I dalam bidang sosial dan agama, dan dampak kebijakan Ratu Elizabeth I itu sendiri terhadap kondisi sosial dan agama masyarakat Inggris. Sumber-sumber untuk mengkaji permasalahan diatas diperoleh melalui studi literatur. Paparan mengenai aspek-aspek penting tersebut serta keterkaitannya dengan Dampak Reformasi Gereja Terhadap Kehidupan Sosial dan Agama Masyarakat Inggris Pada Masa Pemerintahan Ratu Elizabeth I (1558-1603), akan diuraikan sebagai berikut :
57
58
A. Dampak Reformasi Gereja Terhadap Kehidupan Sosial dan Agama Masyarakat Inggris Pada Masa Pemerintahan Ratu Elizabeth I Tahun 1558-1603 a. Riwayat Singkat Ratu Elizabeth I (1558-1603) Di sepanjang sejarah Inggris, adalah Ratu Elizabeth I yang umumnya dianggap raja yang paling terkemuka. Empat puluh lima tahun pemerintahannya merupakan masa kemakmuran ekonomi, berkembangnya kesusastraan, dan munculnya Inggris jadi kekuatan armada laut nomor satu di atas samudera. Tatkala Inggris tak lagi punya rajaraja yang menonjol, muncullah Elizabeth yang mengangkat Inggris ke zaman keemasan (Hart, 1997 : 471). Elizabeth adalah anak perempuan Raja Henry VIII dari istri keduanya, Anne Boleyn. Ia dilahirkan pada tanggal 7 September 1533 di Greenwich. Kelahirannya kemungkinan besar memberikan kekecewaan pada kehidupan ayahnya. Raja Henry VIII menginginkan seorang anak laki-laki sebagai pewaris untuk keberhasilannya, karena sebelumnya dia sudah mempunyai seorang putri bernama Mary dari istri pertamanya, Catherine of Aragon (http://www.elizabethi.org). Henry VIII tidak bercerai dengan Catherine, dan mengubah agama negara, hanya untuk memiliki Elizabeth, seorang anak perempuan. Akibatnya pada awal kehidupan Elizabeth dipenuhi masalah. Ibunya gagal memberikan Raja seorang anak laki-laki dan dijatuhi hukuman mati atas tuduhan melakukan incest pada tanggal 19 Mei 1536. Perkawinan Anne dengan Raja kemudian dinyatakan batal, dan Elizabeth, seperti saudara tirinya Mary dinyatakan tidak sah.
59
Setelah Anne Boleyn dihukum mati, raja kemudian menikah lagi dengan Jane Seymour yang berhasil memberinya putra, yang dinamai Edward. Elizabeth baru berusia 4 tahun ketika putra mahkota itu lahir. Edward dibaptis dalam sebuah upacara yang meriah, dimana Elizabeth masih diberi kehormatan untuk memegang jubah baptis Edward. Segera setelah Edward dibaptis, Elizabeth diasingkan dari Istana, sedangkan saudara tirinya, Mary, diizinkan untuk tetap tinggal di istana. Raja juga mengeluarkan akta yang menyatakan bahwa Elizabeth diakui sebagai pewaris tahta yang terakhir setelah Edward dan Mary (Davis, 1984: 44). Elizabeth dibesarkan oleh seorang pengasuh di sebuah rumah yang terletak di wilayah pedesaan, sekitar 150 mil dari istana. Ia hanya menerima sedikit kasih sayang dan materi dari ayahnya. Pengasuh Elizabeth sering mengajukan surat permohonan untuk meminta uang dan pakaian bagi Elizabeth kepada raja. Dalam surat tersebut dikatakan bahwa Elizabeth tidak mempunyai gaun, kirtle, maupun pakaian dalam. Akan tetapi nampaknya raja tidak mempedulikan kebutuhan-kebutuhan Elizabeth dan membuang suratnya begitu saja (Davis, 1984: 45). Pada tahun 1543, ketika Elizabeth berusia 10 tahun, raja Henry menikah lagi untuk yang ke-enam kalinya dengan seorang wanita bernama Catherine Parr. Atas permohonan permaisuru terakhir ini, Elizabeth diperbolehkan untuk kembali tinggal di istana. Elizabeth merasa senang dapat kembali berkumpul bersama keluarganya, apalagi Catherine Parr berusaha untuk menjadi ibu tiri yang baik dan penuh kasih sayang. Elizabeth juga sangat memuja dan mencintai ayahnya, walaupun kadang raja bertindak kasar padanya (Davis, 1984: 46).
60
Dalam bidang pendidikian nasib Elizabeth lebih beruntung. Dia diajar oleh guru yang terkenal seperti William Grindal dan Roger Ascham. Sejak usia dini telah jelas terlihat bahwa Elizabeth merupakan anak yang berbakat. Dia memiliki bakat khusus dalam bidang bahasa, sehingga saat dewasa ia bisa menguasai empat bahasa selain bahasa Inggris dengan baik, seperti Latin, Flam, Yunani dan Perancis. Ia juga mempelajari sejarah, geografi, bahkan arsitektur. Kecintaan Elizabeth pada belajar menyebabkan ia keranjingan membaca. Hal itu pula yang menyebabkan dia menjadi salah satu penguasa Inggris yang paling cerdas dan berpengetahuan luas (Davis, 1984: 46). Elizabeth menyukai semua jenis olahraga, khususnya menunggang kuda, Ia juga suka berburu, Hawking, dan pertandingan laki-laki diatas kuda dengan tombak atau kontes olahraga lainnya. Dia mencintai musik, tari, pawai, opera, bahkan juga ia dapat memainkan kecapi dengan terampil (http://www.elizabethi.org). Masa remaja Elizabeth tidak lebih mudah dari masa kanak-kanaknya. Ketika raja masih hidup, Elizabeth aman dari politik opportunists, tetapi ketika raja meninggal pada Januari 1547, dan pangeran Edward pewarisnya masih terlalu muda, Elizabeth mendapat banyak sorotan dari orang-orang yang menganggapnya sebagai pion politik karena posisinya sebgaia ahli waris. Edward yang masih berusia 9 tahun masih belum mampu untuk memerintah, sehingga tampuk pemerintahan dipegang oleh suatu dewan perwakilan (Concil of Regency) yang secara berturut-turut dipimpin oleh paman raja, Edward Seymour (Duke of Northumberland), dan Dudley (Duke of Somerset), yang masing-masing bergelar
61
Lord Protector. Keduanya merupakan orang-orang yang dekat dengan Elizabeth. Edward Seymour merupakan suami dari ibu tirinya yang terakhir, Catherin Parr. Edward Seymour juga merupakan salah satu orang yang berniat menikahi Elizabeth pada saat usianya masih 12 tahun. Sama halnya dengan Seymour, Robert Dudley juga merupakan orang yang dekat dengan Elizabeth. Ia menjalin persahaban dengan Elizabeth selama hampir 30 tahun, bahkan ia hampir menjadi suami ratu (http://en.wikipedia.org/wiki/ Elizabeth_I_of_England). Masa pemerintahan Edrward VI tidak lama, ia meninggal pada usia 15 tahun akibat penyakit paru-paru. Keadaan ini dimanfaatkan oleh Duke of Northumberland dengan menempatkan menantunya sendiri, Lady Jane Grey sebagai pengganti Edward. Padahal, seharusnya Mary lah yang menjadi pewaris tahta. Masa pemerintahan Lady Jane ini hanya bertahan 9 hari. Semua golongan yang ada di Inggris, bahkan kaum Protestan yang sangat diharapkan dukungannnya menentang pengangkatan ratu baru tersebut. Mereka mengetahui tujuan licik di balik pengangkatan Lady Jane Grey, dan mendukung pengangkatan Mary sebagai Ratu Inggris. Duke of Northumberland dihukum mati, dan demikian juga dengan Lady Jane yang menjadi korban ambisi mertuanya (Samekto, 1982: 121). Ratu Mary I memerintah selama lima tahun sesudah itu dan mendukung supremasi
kepausan
dan
pengokohan
kembali
Katolik
Romawi.
Selama
pemerintahannya kaum Protestan Inggris diburu dan ditindas, bahkan sekitar tiga ratus pemeluknya dihukum mati. Hal ini menyebabkan ratu dapat julukan "the blood Mary". Mary berkeyakinan bahwa Inggris harus berhubungan erat dengan Spanyol, maka untuk
62
mewujudkannya ia menikah dengan Raja Philip II dari Spanyol. Keputusannya ini menuai pertentangan dari banyak orang, dan menyebabkan terjadinya pemberontakan yang dipimpin oleh Thomas Wyatt, seorang putra penyair Wyatt yang ternama (Samekto, 1982: 123). Pemberontakan yang terjadi pada masa pemerintahannya menyudutkan Elizabeth. Posisinya sebagai saudara tiri ratu dan seorang Protestan, menyebabkan ia dituduh berkomplot dengan Thomas Wyatt dan orang-orangnya untuk merampas takhta. Mary berfikir jika sesuatu terjadi pada pemerinthannya maka Elizabeth lah yang paling diuntungkan, karena ia bisa menjadi ratu baru di Inggris menggantikan posisinya. Elizabeth ditangkap dan ditahan di Menara London, walaupun tidak ada sedikutpun bukti yang memberatkannya. Elizabeth menjadi tawanan di Menara London selama dua bulan kemudian dibuang ke Woodstock Manor di Oxfordshire, di mana dia dijaga sebagai seorang tahanan selama 1 tahun. Di Oxfordshire ia ditempatkan dalam sebuah rumah yang tidak layak huni, bahkan di malam hari Elizabeth dan pelayannya harus tidur di gerbang rumah. Atas perintah suami ratu, Philip dari Spanyol, ia diizinkan untuk kembali ke rumahnya semasa kecil di Hatfield Hertfordshire (Davis, 1984: 48). Elizabeth kembali ke London setelah Mary meninggal dalam sakitnya. Rakyat Inggris dengan bersemangat menyambut kedatangan Elizabeth yang diharapkan dapat membawa kedamaian. Mereka sudah muak dengan penindasan yang dilakukan Mary dan menginginkan faham Protestan, karena tampaknya faham ini dapat mewujudkan kebebasan dari kesewenangan.
63
Elizabeth akhirnya berhasil takhta pada 17 November 1558, pada usia 25 tahun. Kemenangannnya ini dikumandangkan di kota London dalam pesta penobatan yang meriah. Dia diterima dengan sangat baik oleh warga kota dan disambut serta arakarakan. Sikap Elizabeth yang ramah dan terbuka membuatnya mudah disayangi oleh para penonton yang hadir saat itu. Elizabeth I hadir dalam jubah kebesarannya, yang dipola dengan mawar dan dihiasi dengan mantel yang terbuat dari bulu hewan. Rambutnya digerai, sebagai tradisi pada penobatan seorang ratu, dan juga sebagai simbol keperawanan. Seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini :
(http://en.wikipedia.org/wiki/ Elizabeth_I_of_England). Pada tanggal 20 November 1558, Elizabeth menyatakan kesungguhannya pada dewan dan bangsawan lainnya yang telah datang ke Hatfield untuk bersumpah setia
64
pada negara. Pidatonya pertamanya berisi tentang ungkapan dua tubuh yaitu tubuh alami dan tubuh politik: “My lords, the law of nature moves me to sorrow for my sister; the burden that is fallen upon me makes me amazed, and yet, considering I am God's creature, ordained to obey His appointment, I will thereto yield, desiring from the bottom of my heart that I may have assistance of His grace to be the minister of His heavenly will in this office now committed to me. And as I am but one body naturally considered, though by His permission a body politic to govern, so shall I desire you all to be assistant to me, that I with my ruling and you with your service may make a good account to Almighty God and leave some comfort to our posterity on earth. I mean to direct all my actions by good advice and counsel.” (http://en.wikipedia.org/wiki/ Elizabeth_I_of_England). Ini merupakan anugerah yang luar biasa bagi anak perempuan yang tidak diinginkan dan menghabiskan hidupnya dalam bayangan pengadilan, penolakan dan dilupakan. Tahun-tahun setelah kematian ayahnya merupakan masa yang sulit bagi Elizabeth. Ia harus bersikap tenang dan hati-hati, akan tetapi sekarang berbeda, dia adalah Ratu Elizabeth yang telah ditentukan untuk menikmati kebebasan baru dan hidup dalam kehidupan yang utuh. Elizabeth adalah seorang Protestan yang berkomitmen. Setiap hari ia sering menghabiskan waktu untuk berdoa dan membaca perjanjian lama juga perjanjian baru. Dia menyukai lilin dan salib dengan patung Yesus di kapel pribadinya, ia juga menyukai musik gereja, dan menikmati lebih banyak gaya peribadatan tradisional yang bertolak belakang dengan gaya peribadatan Protestan. Kebijakan keagamaan Elizabeth
65
dapat dikatakan sangat toleran untuk saat itu. Dia sungguh-sunguh mempercayai imannya, akan tetapi ia juga yakin akan perlunya toleransi agama, dan menganggap bahwa Katolik dan Protestan merupakan dua agama yang sama. Elizabeth memandang bahwa selama ini orang-orang yang berselisih karena agama hanyalah berselisih karena hal yang sepele. Maka tak heran jika para sejarawan sulit untuk mnegetahui persis apa kepercayaan atau agama yang dianut Elizabeth (http://www.elizabethi.org). Sejak awal masa pemerintahan Elizabeth, pertanyaan yang berkembang adalah dengan siapa dia menikah. Meskipun demikian, dia tidak pernah menikah, dan alasannya berbuat demikian tidaklah jelas. Para ahli sejarah berspekulasi keengganan Elizabeth untuk menikah disebabkan pernikahan yang dilakukan ayahnya, Raja Henry VIII. Sejak dini Elizabeth telah melihat pergantian ibu tirinya secara berturut-turut. Mereka adalah Jane Seymour yang meninggal saat melahirkan anak laki-laki untuk raja, Edward; Anne dari Cleves yang bercerai; Catherine Howard yang dipenggal; dan akhirnya Catherine Parr. Mungkin juga nasib tragis dari Anne Boleyn dan Catherine Howard mempengaruhi ketakutannya pada pernikahan, atau ada alasan lain dari ratu untuk mempertahankan status singelnya , seperti takut anak, yang diklaim sejumlah perempuan di masa ini (http://en.wikipedia.org/wiki/ Elizabeth_I_of_England). Elizabeth tidak membutuhkan lelaki untuk membantunya dalam pemerintahan. Dia seringkali menerima tawaran untuk menikah, tapi hanya serius memperhatikan tiga atau empat orang peminang dalam beberapa waktu saja. Seperti misalnya Robert Dudley, teman masa kecil yang paling dekat dengannya. Selama tahun 1559,
66
persahabatan Elizabeth dengan Dudley yang sudah menikah terlihat berubah menjadi cinta. Dalam hal ini Heater menyatakan : “During 1559, Elizabeth's friendship with the married Dudley seems to have turned to love. Rumour spread through the court that she was sleeping with him; William Cecil, Elizabeth's most trusted advisor, made clear his disapproval. When Dudley's wife, Amy Robsart, was found dead in 1560, under ambiguous circumstances, a great scandal arose”(Heater, 2007: 8). Pada satu waktu, Elizabeth secara serius ingin menikah dengan Dudley, tetapi setelah beberapa bulan, dia meletakkan tanggung jawabnya diatas perasaannya dan memutuskan untuk membatalkan pernikahan tersebut. Dudley dijadikannya bangsawan Leicester dan dilantik menjadi dewan penasehat, dipertahankan di tempat spesial di hatinya, dan cintanya tersimpan manis dalam persahabatan yang spesial juga kekal. Setelah skandal Dudley, Elizabeth tetap menyimpan pertanyaan tentang pernikahannya dengan terbuka, tetapi seringkali hanya sebagai sebuah strategi diplomatik. Dia rupanya memikirkan pernikahan tidak lebih dari tanggung jawabnya dibandingkan dengan pilihan hidup pribadinya. Parlemen berkali-kali memberikan petisi padanya untuk menikah, tetapi dia selalu mengelak. Pada tahun 1563, dia mengatakan sebuah sajak kekaisaran: “Jika aku mengikuti kesukaan alamiku, adalah ini: aku lebih suka menjadi wanita miskin yang sendiri, daripada menjadi ratu yang menikah” (http://www.elizabethi.org). Pada tahun yang sama, Elizabeth terjangkit penyakit cacar yang menular, rangkaian pertanyaan menjadi isu yang panas. Parlemen membujuk sang ratu untuk menikah atau melantik ahli waris, untuk mencegah peperangan sipil jika ia meninggal. Elizabeth tetap menolak untuk melakukannya, dia mengutarakan pada duta besar
67
Prancis bahwa jika ia dapat mencari jalan untuk menyelesaikan pergantian jabatan tanpa menikah,
maka
dia
akan
melakukannya
(http://en.wikipedia.org/wiki/
Elizabeth_I_of_England). Sikap diam Elizabeth ini memperkuat keamanan politiknya sendiri. Dia tahu bahwa jika dia menunjuk ahli waris, maka calon penggantinya itu akan segera menjadi rivalnya. Status Elizabeth yang tidak menikah menginspirasi para wanita yang tergabung dalam komunitas virginitas. Dalam puisi dan lukisan, Elizabeth digambarkan sebagai sebuah kesucian. Para penulis sajak mengangkat tema keperawanan Elizabeth dalam sebuah ikonografi yang mengagungkan Elizabeth. Ia digambarkan sebagai seorang ratu yang telah menikah dengan kerajaan dan rakyatnya. Sesuai dengan apa yang sering diucapkan Elizabeth bahwa “semua suamiku, adalah pendudukku yang baik” (http://en.wikipedia.org/wiki/ Elizabeth_I_of_England). Pada masa pemerintahan Elizabeth masalah keagamaan merupakan masalah paling rumit selain peperangan melawan Perancis, hubungan tegang dengan Skotlandia dan Spanyol, serta kondisi moneter pemerintah. Untuk mengatasi permasalah ini, tak lama sesudah naik tahta, Elizabeth membuat undang-undang tentang "Supremasi dan Persamaan" yang disahkan tahun 1559, dan menetapkan Anglikan sebagai agama resmi Inggris. Ini memuaskan pihak kaum Protestan moderat, tetapi kaum Puritan menghendaki perubahan yang lebih drastis. Meskipun menghadapi oposisi kaum Puritan di satu pihak dan kaum Katolik di lain pihak, selama masa pemerintahannya tetap bertahan memantapkan kompromi yang tertera dalam undang-undang tahun 1559.
68
Situasi keagamaan menjadi ruwet dengan keadaan yang berkaitan dengan Ratu Mary dari Skotlandia. Mary Stuart adalah seorang Katolik yang merasa tidak senang dengan kemenangan Protestan di negerinya, dan kedudukannya sebagai ratu Skotlandia. Ia bercita-cita untuk menggantikan saudara sepupunya, Elizabeth I sebagai ratu Inggris. Ia memiliki harapan untuk merealisasikan cita-citanya ini karena para penguasa Katolik di daratan Eropa memilihnya sebagai calon penguasa di Inggris yang dapat mengembalikan negeri itu ke pangkuan Gereja Katolik Roma. Begitupun dengan kaum Katolik Inggris, mereka mendukung cita-cita ini. Akan tetapi belum sempat ia mewujudkan cita-citanya tersebut, ratu ini terlibat dalam berbagai skandal percintaan sehingga ia dipaksa turun tahta oleh hamba-hambanya, baik Protestan maupun Katolik. Tampuk kekuasaan Skotlandia kemudian jatuh ke tangan putranya, James VI. Mary terpaksa meninggalkan Skotlandia dan melarikan diri ke Inggris meminta suaka kepada Elizabeth (Samekto, 1982: 129). Selama Mary Stuart berdiam di Inggris, ia dijadiakn titik pusat komplotankomplotan yang bertujuan menempatkannya di tahta Inggris sesudah Elizabeth berhasil digulingkan. Dengan dukungan paus, Spanyol, dan kaum Jesuit, orang-orang Katolik Inggris yang extrim mengadakan serangkaian komplotan untuk menggulingkan Elizabeth melalui pembunuhan, pemberontakan, dan serbuan dari luar negeri. Terhitung ada empat pemberontakan yang terjadi pada masa pemerintahan Elizabeth yang semua buktinya mengarah pada Mary Stuart. Parlemen sudah lama mengajukan petisi agar Mary di hikum mati, tetapi Elizabeth menunda-nunda pelaksanaan hukuman mati tersebut sampai tahun 1587. Maksud penundaan ini adalah untuk mencegah jangan
69
sampai Raja Philip dari Spanyol mendaratkan pasukan-pasukannya sementara Inggris belum benar-benar kuat. Hal ini terbukti karena segera sesudah hukman mati terhadap Mary dilaksanakan, Raja Philip merencanakan serangan besar-besaran terhadap Inggris (Samekto, 1982: 129). Ketagangan antara Spanyol dan Inggris telah berlangsung cukup lama. Tindakan penjelajah-penjelajah Inggris yang kerap menggempur kapal-kapal Spanyol dan mengambil alih jalur pelayaran laut, merupakan faktor pemicunya. Raja Philip II dari Spanyol menganggap hal tersebut tidak bisa ditolelir dan akhirnya pada tahun 1588, ia memutuskan untuk menyerang Inggris. Spanyol mengirimkan armada tangguhnya yang terdiri dari 130 kapal perang, yang berlayar menuju kerajaan Ratu Elizabeth. Tujuan Philip sederhana saja, ia ingin menghancurkan kekuatan-kekuatan Elizabeth, memproklamasikan dirinya sebagai raja, kemudian membina kembali Gereja Katolik Inggris. Ia merasa bahwa dirinya
merupakan suami Ratu Mary yang telah wafat,
sehingga memiliki hak untuk melakukan itu semua (Davis, 1984: 56). Ketika Elizabeth mengetahui maksud dan tujuan Philip, maka dengan cepat ia mempersiapkan kekuatannya. Inggris mempunyai angkatan laut yang kuat dan berpengalaman, akan tetapi jumlahnya hanya setengah dari kekuatan armada Spanyol. Elizabeth tidak menjadi kecil hati dengan keadaan tersebut. Ia yakin akan kesanggupan negaranya untuk mempertahankan diri dari serangan Spanyol. Keyakinan Elizabeth itu terbukti. Inggris dapat memukul mundur kekuatan Spanyol dan mendapatkan kemenangan. Dengan kalahnya armada Spanyol, maka kerajaan Inggris memantapkan
70
dirinya menjadi kekuatan laut yang terbesar dan menaikan posisinya sebagai ‘Mistress of the Seas’(Davis, 1984: 59). Tahun-tahun terakhir pemerintahan Elizabeth merupakan masa keemasan bagi Inggris. Tahun-tahun itu adalah tahun-tahun penjajahan, penemuan, perdagangan, perluasan wilayah, dan kemakmuran. Sementara para petualang berani mengarungi lautan mencari pulau-pulau baru dan jalan laut yang baru, para pedagang Inggris membentuk perseroan-perseroan dagang seperti East India Company yang memberi banyak keuntungan. Penjelajahan pantai Amerika Utara dan Amerika Selatan dilakukan untuk mendirikan koloni-koloni Inggris di dunia baru tersebut. Salah satu diantaranya adalah koloni-koloni yang didirikan oleh Sir Walter Raleigh di bagian timur Amerika Serikat. Raleigh menamakan koloni itu “Virginia” sebagai bentuk penghormatan kepada Ratu Elizabeth yang memiliki sebutan “Queen of Virgin” atau “Ratu Perawan” (Samekto, 1982: 137). Zaman keemasan dalam sejarah Inggris juga merupakan zaman kegeniusan dan kreativitas. Masa ini ditandai dengan pencapaian karya sarjana-sarjana besar, para musisi, para penyair, dan para dramawan. Edmund Spenser, Francis Bacon, Christopher Marlowe, dan Ben Johnson merupakan beberapa diantara pengarang terkemuka yang hidup pada zaman Elizabeth. Pada zaman itu hidup juga seorang dramawan yang paling terkenal di seluruh dunia, William Shakespeare. Tahun-tahun keemasan bagi Inggris merupakan tahun-tahun yang penuh kesunyian bagi Ratu. Elizabeth tidak lagi mempunyai sahabat atau kekasih seperti Robert Dudley atau penasehat setia seperti William Cecil. Ia mulai menyadari usianya
71
tidak muda lagi dan kecantikannya mulai memudar. Elizabeth mulai mencoba menutupi ketuannya dengan memakai wig merah yang mencolok dan bedak tebal dengan bahan kimia berbahaya. Ketika menyadari usahanya tersebut sia-sia, ia memerintahkan agar semua cermin yang ada di istananya dipindahkan (http://en.wikipedia.org/wiki/ Elizabeth_I_of_England). Kecantikannya yang mulai memudar tidak menyebabkan ia kekurangan penggemar. Salah satu penggemar yang berhasil memikat hatinya adalah Robert Devereux, seorang pangeran Essex yang berusia 21 tahun. Devereux sangat tampan, menarik, berani, dan memiliki banyak hal lainnya yang membuat ratu tergila-gila padanya. Devereux bisa membuat ratu merasa muda kembali (Davis, 1984: 61). Ketertarikan Elizabeth terhadap Devereux tidak lantas membuatnya bersedia menikah dengan pangeran tampan tersebut. Devereux sangat kecewa melihat kenyataan penolakan ratu untuk menjadi pengantinnya. Ia kemudian bersumpah untuk menggulingkan Elizabeth dan merebut singgasananya. Sumpahnya tersebut ia penuhi pada tahun 1601 dengan melakukan pemberontakan. Upayanya tersebut berhasil digagalkan, dan Devereux dipenjarakan di Menara London untuk kemudian dihukum penggal.dengan demikian berakhirlah kisah romansa terakhir Ratu Elizabeth (Davis, 1984: 62). Pada bulan Januari 1603, dua tahun setelah Devereux di hukum mati, Elizabeth jatuh sakit. Ia mengalami demam parah yang membuatnya sadar bahwa usianya tidak akan lama lagi. Menyadari keadaannya, Elizabeth kemudian meyelesaikan tugas terakhirnya, yaitu menunjuk pewaris tahtanya. Ia memutuskan untuk memilih James
72
Stuart, putra Mary Stuart yang di jatuhi hukum penggal olehnya (Davis, 1984: 63). Hal ini dilakukan atas pertimbangan bahwa selain James masih merupakan kerabatnya, ia juga seorang Protestan. Elizabeth tidak ingin Inggris kembali menjadi kerajaan Katolik sepeninggalannya. Ratu Elizabeth yang telah menyadari ajalnya hampir tiba, meminta pendeta Canterbury untuk mempersiapkan kematiannya.akhirnya pada tanggal 24 maret 1603, Elizabeth Tudor meninggal dunia dalam tidurnya. Ratu berumur 69 tahun itu, telah memerintah Inggris selama 45 tahun. Ia menjadi tokoh legendaris dalam zamannya. Ratu yang dicintai oleh Inggris dan disegani oleh dunia. Periode pemerintahannya yang dikenal sebagai “Zaman Elizabeth” merupakan salah satu periode yang paling gemilang dalam sejarah Inggris.
b. Latar Belakang Reformasi Gereja di Inggris Abad pertengahan merupakan abad kebangkitan religi di Eropa. Masa ini diawali dengan runtuhnya Romawi Barat dan diakhiri dengan munculnya semangat Renaissance di Italia. Keruntuhan Romawi Barat akibat serangan bangsa-bangsa dari utara ini menyebabkan hukum dan tata tertib yang telah dibangun selama ini hilang digantikan peraturan negara-negara kecil yang tumbuh di atas reruntuhan Romawi. Untungnya kebudayaan yang juga telah dibangun tidak lantas musnah seiring hilangnya hukum dan tata tertib Romawi. Kebudayaan ini tetap bertahan dibawah asuhan agama Nasrani dengan perantara gereja.
73
Berkat organisasi yang baik, Gereja Roma dapat mempertahankan diri dari keruntuhan dan kemudian berperan aktif sebagai pusat kebudayaan Eropa di abad pertengahan. Dari Roma, ilmu pengetahuan dan peradaban Romawi yang masih tersisa disebarkan sampai ke Irlandia dan Skandinavia dibawah asuhan bihara dan sekolah katherdal. Sekolah-sekolah yang semula hanya merupakan pusat kebudayaan kecilkecilan ini lama kelamaan berkembang menjadi universitas atau sekolah tinggi seperti Universitas Bologna, Padua, Montpelier, Paris dan Oxford. Hal ini terus berlangsung hingga akhir abad pertengahan. Peradaban yang sangat dipengaruhi kaum agama ini lama-kelamaan memiliki watak tersendiri sesuai dengan mentalitet yang ada di dalam gereja, yaitu mentalitet yang yang tidak bercorak duniawi, melainkan corak yang lebih mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan akhirat. Sehingga sebagai konsekuensinya ilmu pengetahuan yang telah berkembang pada zaman klasik dipinggirkan dan dianggap sebagai ilmu sihir yang hanya akan mengalihkan perhatian manusia dari ketuhanan. Ilmu pengetahuan dan kesenian yang ada hanya dimanfaatkan untuk kepentingan religi saja. Pada saat itu sebagian besar masyarakat baik itu golongan bangsawan maupun rakyat jelata tidak dapat membaca dan menulis. Pengajaran hanya diberikan di dalam sekolah bihara atau sekolah gereja, dan itu pun hanya untuk mereka yang kelak akan menjadi pendeta. Ketidakmampuan masyarakat dalam membaca dan menulis terutama untuk membaca alkitab yang memang dilarang menjadikan gereja memiliki otoritas
74
sebagai penafsir yang paling absah dari firman-firman tuhan dalam kaitannya dengan struktur mekanisme kehidupan masyarakat, termasuk negara di dunia ini. Pemahaman manusia tentang fenomena alam dan struktur sosial yang melingkupinya sebagai kehendak tuhan harus mendapat restu dan justifikasi dari gereja. Sehingga hal ini menjadikan gereja pada abad pertengahan memiliki hak istimewa sebagai institusi suci yang juga memiliki misi menebus dosa manusia dan penyelamat kehidupan baik di dunia, maupun di akhirat. Kekuasaan gereja ini semakin lama semakin meluas dan mulai merambah pada dunia politik dan pemerintahan. Pada tahun 1073 Paus Gregory VII mulai menciptakan struktur yang baru untuk gereja, dimana Paus dan gereja akan memerintah atas segala kerajaan dunia. Oleh karena itu tak heran jika pada abad pertengahan sering terjadi peperangan yang hebat karena paus menuntut agar raja-raja Nasrani mengakui kekuasaannya sebagai kekuasaan tertinggi. Penyimpangan yang dilakukan pihak gereja bukan hanya itu. Selama berabadabad gereja dan lembaga kepausan telah melakukan berbagai penyimpangan keagamaan. Penyimpangan ini terjadi dalam berbagai bentuk. Ada pemuka agama yang berperilaku amoral menyangkut hubungan dengan wanita. Selain itu banyak diantara mereka yang memperoleh posisi sosial keagamaan melalui cara yang tidak etis dan amoral. Dalam hal ini Suhelmi mengatakan : “Mereka tak segan-segan menyogok petinggi gereja untuk berkuasa, misalnya yang terjadi dalam kasus Paus Leo X. Paus Katolik ini memperoleh sejumlah $ 5.250.000 per tahun dari hasil penjualan jabatan-jabatan gerejani.” (Suhelmi, 2004:145)
75
Perilaku gereja yang dianggap tidak bermoral mulai memunculkan sikap kritis terhadap aneka penyimpangan yang dilakukannya. Gerakan ini lah
yang disebut
reformasi gereja. Salah seorang tokoh penting dalam reformasi gereja ini adalah Martin Luther (1483-1546). Pada tahun 1517 Martin Luther mengemukakan pokok-pokok pikiran sebagai kritikan terhadap gereja meliputi 95 dalil yang kemudian ditempel di pintu gereja Wittenberg. Pendapatnya antara lain: Amal baik yang tidak keluar dari hati yang murni tidak akan diterima Tuhan, hanya orang yang percaya kepada Yesus Kristuslah yang dapat diterima Tuhan, tiap orang dapat langsung berhubungan dengan tuhan tanpa perantara gereja, tiap orang yang menyesali kesalahannya akan terlepas dari hukuman sehingga tidak diperlukan adanya surat pengampunan dosa, dan gereja merupakan perkumpulan orang percaya dan Yesuslah kepalanya sehingga kedudukan paus selaku pimpinan agama tidak dapat diterimanya. Selain mengutamakan ajaran di atas, pada masa pembuangannya Martin Luther juga menterjemahkan Kitab Injil dari bahasa Latin ke bahasa Jerman sehingga banyak orang dapat memahami isi kitab suci. Gerakan reformasi ini merupakan tahap lanjutan dari gerakan Renaissance di Italia. Meskipun demikian, terdapat perbedaan ciri fundamental antara keduanya. Gerakan Renaissance melahirkan prinsip nikmat hidup, manusia pada hakikatnya baik, percaya pada akal dan toleransi. Sedangkan gerakan reformasi, menekankan prinsip bahwa akhirat dan kehidupan spiritual lebih penting dari kehidupan dunia, manuasia pada dasarnya corrupt dan rusak moralnya, percaya pada keimanan dan konformitas (Edward M. Burns dan Phillip Lee R. 1964:57).
76
Gerakan reformasi gereja memberikan dampak yang sangat luas terhadap sejarah pemikiran sosial, keagamaan, dan politik di Eropa. Selain itu reformasi gereja juga memicu perang agama di negara-negara Eropa serta timbulnya perpecahan agama menjadi sekte-sekte kecil, seperti Lutheranisme, Calvinisme, Anglicanisme, dan sektesekte lain (Gay, 1984: 36) Gerakan pembaharuan ini menyebar hampir ke seluruh Eropa, termasuk termasuk di Inggris. Hal ini sangat menarik untuk dibahas, karena selama hampir seribu tahun Inggris merupakan negara yang taat pada Gereja Katolik, namun
pada
kenyataannya pengaruh arus reformasi tak dapat dihindarkan. Di Inggris muncul berbagai upaya untuk mereformasi keadaan waktu itu. Upaya ini pertama kali muncul di Inggris pada abad ke-15 oleh seorang guru besar Unuversitas Oxford, bernama John Wiycliffe. Ia adalah orang pertama di Inggris yang merumuskan dan mengemukakan teori dasar bagi penolakan terhadap paus. Ia juga menunjukan kelemahan-kelemahan dalam tubuh Gereja Roma yang menurut pendapatnya sebagaian besar bersumber pada kekayaan dan kekuasaan duniawai yang dimiliki banyak rokhaniawan waktu itu. Cara menghilangkan kelemahan-kelemahan itu ialah kembali ke cara hidup yang lebih sederhana dan ke ajaran para imam Kristen yang sebenarnya. Selanjutnya ia menolak dogma mengenai transubstansiasi, dan menolak pula kebiasaan-kebiasaan keagamaan waktu itu seperti memuja orang-orang suci serta peninggalan-peninggalan suci. Wycliffe juga tidak yakin akan kewenangan para rokhaniawan untuk melebur dosa serta fungsi mereka sebagai perantara antara manusia dan tuhan. Ia menyatakan
77
bahwa siapapun pasti akan dihukum karena dosanya dan diberkahi berkat amalannya, dan ia mengajarkan agar manusia berhubungan langsung dengan tuhan, tanpa perantara, karena setiap umat adalah sederajat di hadapan tuhan. Wycliffe berpendapat bahwa Kitab Injil-lah yang merupakan patokan agama Kristen, dan bukannya hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan Gereja Roma. Maka Kitab Injil harus benar-benar difahami oleh sebanyak mungkin umat Kristen. Berdasarkan pemikiran tersbut Wycliffe menterjemahkannya dan menghasilkan terjemahan Kitab Injil pertama yang lengkap dalam bahasa Inggris. Perlu diketahui bahwa sampai abad ke-15, Gereja Roma tidak membenarkan dimilikinya terjemahan kitab suci oleh sembarang orang, dan hanya membenarkan pemilikan yang disertai izin khusus, dan ini pun hanya terbatas pada kalangan tertentu, misalnya para Biarawati. Selain Kitab Injil dalam bahasa Inggris, Wycliffe juga menghendaki agar upacaraupacara keagamaan dilakukan dalam bahasa Inggris. semuanya ini mempunyai arti besar tidak saja bagi agama Kristen di Inggris, tetapi juga bagi pertumbuhan bahasa pribumi negeri itu. Gerkan Wycliffe adalah gerakan yang berakar pada universitas Oxford. Banyak diantara para pengajar serta mahasiswanya menjadi pengikut Wycliffe atau setidaknya setuju dengan sebagian besar ajaran yang dikemukakannya. Tetapi pada tahun 1282, Edward III melarang gerakan itu dan mengsir pengiku-pengikutnya dari Oxford. Pembersihan ini dilakukan berulang-ulang dan diteruskan semasa pemerintahan Henry IV, sehingga akhirnya berhasil diputuskanlah akar intelektuil gerakan itu yang tertanam dalam universitas ternama itu (Samekto, 1982: 85). Setelah kematiannya pada tahun
78
1384, pengikutnya, dikenal sebagai Lollards (istilah yang berarti orang yang suka beromong kosong), terus membaca tulisannya, tetapi mereka, pada umumnya, dianiaya, dan
tidak
dapat
mengembangkan
ajaran
lebih
lanjut
(http://id.wikipedia.org/wiki/Anglikan). Ajaran Wycliffe terus menyebar, dan sifatnya yang demokratis memberikan sumbangsih besar bagi proses kebangkitan golongan bawah. Bagi golongan bangsawan ajaran Wycliffe ini memiliki pengaruh walau hanya sebagaian kecil. Mereka pernah mengajukan usul dalam parlemen agar harta benda milik gereja disita oleh pemerintah kerajaan dan dipindah-tangankan kepada golongannya (Samekto, 1982: 85). Tindakan-tindakan pemberantasan terhadap kaum Lollards terus dilakukan, lebih-lebih semasa pemerintahan Henry IV dan Henry V yang mengharapkan bantuan gereja untuk dapat mempertahankan tahtanya. Namun gerakan Wycliffe hidup terus sebagai gerakan bawah tanah di desa-desa dan kota-kota di seluruh Inggris, bahkan gerakan ini tampak meningkat di sekitar pergantian abad ke-15 dan abad ke-16. Di banyak tempat di seluruh negeri, kaum pengikut Wycliffe sering berkumpul secara rahasia untuk membaca kitab Injil serta karya-karya keagamaan lainnya dalam bahasa Inggris untuk saling memperkuat iman masing-masing. Ajaran-ajaran Wycliffe secara prinsip sejalan dengan protestanisme yang dikumandangkan oleh Martin Luther, sehingga ketika arus reformasi menerjang Inggris banyak diantara rakyar jelata yang sudah siap menerimanya. Akhirnya dalam abad ke16 gerakan ini bersatu dengan gelombang reformasi yang waktu itu mulai melanda seluruh Eropa Barat (Samekto, 1982: 109).
79
Kondisi seperti itu diperkuat dengan adanya peningkatan kegairahan di kalangan intelektuil akibat mulai membaiknya keamanan dan ketertiban serta akibat masuknya pengaruh Renaissance menjelang akhir abad 15. Para sarjana Inggris yang pulang dari Italia membawa serta minat baru pada kesusastraan Yunani klasik, tata bahasa Latin, dan ilmu kedokteran. Maka mulai tersingkaplah bagi banyak kaum intelektuil Inggris suatu cakrawala mental baru yang jauh lebih luas dari pada alam fikiran Abad Pertengahan yang mereka kenal selama ini dibatasi dengan ketat oleh ketentuanketentuan gereja dan tradisi. Tersingkapnya cakrawala baru ini menimbulkan kelegaan dan rasa gairah, seiring dengan itu mulai terungkap juga dunia fisik dengan lautanlautan serta benua-benua yang tidak tercantum dalam peta abad pertengahan menimbulkan perasaan-perasaan serupa dan juga rangsangan untuk menjelajah dan untuk mengetahui lebih banyak (Samekto, 1982: 109). Tetapi Renaissaince di Inggris, seperti juga di negara-negara Eropa barat sebelah utara lainnya, agak berlainan sifatnya dengan Renaissance di Italia. Kalau di negeri selatan itu Renaissance bersifat artisik, ilmiah, dan religius, karena yang menjadi objek perhatian bukan saja karya klasik, seni, dan ilmu pengetahuan, melainkan juga karyakarya para pemuka Kristen yang awal mula. Para tokoh Renaissance Inggris seperti Colet, Thomas More, dan Erasmus juga mempelajari Kitab Perjanjian Baru dan Kitab Perjanjian Lama, masing-masing dalam bentuk dan bahasanya yang asli, yaitu bahasa Yunani dan Ibrani. Sesudah mempelajari kitab-kitab suci dan karya-karya Kristen lainnya secara ilmiah dan mendalam, para tokoh itu melancarkan kritik-kritik tajam atas nama agama, moralitas, dan ilmu. Kritik ditujukan terhadap praktek-praktek serta cara
80
hidup bermewah-mewah di kalangan banyak rokhaniawan waktu itu, terhadap kebiasaan-kebiasaan seperti memuja patung-patung dan peninggalan-peninggalan suci, terhadap pungutan wajib, dan lain sebagainya yang semuanya dirasakan bertentangan dengan ajaran-ajaran Kristen asli. Dengan demikian, walaupun melalui jalan lain, mereka sampai juga pada kesimpulan-kesimpulan yang sudah lama menjadi keyakinan Wiycliffe serta pengikut-pengikutnya. Pengaruh para tokoh Renaissance itu meluas di kalangan intelektuil Inggris terutama di Oxford, Cambridge, dan London. Gerakan-gerakan diatas tidak akan mematangkan suasana bagi tercetusnya revolusi keagamaan, jika tidak dibantu unsur-unsur lainnya yang tidak kalah penting, yaitu
perasaan-perasaan
anti-klerikalisme
dan
nasionalisme.
Sebagai
akibat
pertumbuhan masyarakat dan sebagai akibat kelemahan-kelemahan manusiawi yang melekat pada sebagian kaum rokhaniawan, gereja telah kehilangan kepemimpinannya dalam bidang intelektuil dan sampai tingkat tertentu juga di bidang moril. Walaupun begitu, para rokhaniawan masih memiliki hak-hak istimewa, kekuasaan, serta kekayaan materil seperti pada waktu kepemimpinan itu masih dipegangya. Keadaan ini menimbulkan rasa tidak senang diantara banyak orang Inggris dari segala lapisan terhadap para rokhaniawan, dan membuat mereka lebih mudah terpengaruh oleh ajaranajaran baru. Perasaan tidak senang terhadap Gereja Roma juga ditimbulkan oleh nasionalisme yang sudah tertanam dalam diri kebanyakan orang Inggris. Mereka tidak lagi dapat menerima begitu saja campur tangan kekuasaan orang luar, dalam hal ini paus, dalam urusan-urusan dalam negeri Inggris. Mereka juga tidak lagi bersedia tunduk pada kekuasaan ekstranasional yang dalam keputusan-keputusannya sering dipengaruhi
81
oleh pertimbangan-pertimbangan yang tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingankepentingan Inggris. Sementara suasana keagamaan di Inggris seperti yang dilukiskan diatas, pada tahun 1517 muncul gerakan protestan di Wittenberg, Jerman, yang dipimpin oleh Martin Luther. Pengaruh gerakan ini tidak lama kemudian terasa juga di Inggris, walaupun dilarang oleh pemerintahdan Gereja di negeri itu. Karena persamaan azasazas yang diperjuangkan kaum Lollards segera terserap oleh gerakan baru ini. Di kalangan intelektuil terdapat dua macam reaksi: sejumlah diantaranya, terutama kaum mudanya, dengan penuh semangat menggabungkan diri dengan gerakan itu; sedangkan sejumlah lainnya, terlebih-lebih di antara golongan tua yang dahulu membawa pengaruh Renaissance ke Inggris, mundur kearah agama ortodoks. Misalnya, Erasmus cemas terhadap protestanisme, dan Thomas more malahan menentangnya. Para intelektuil Oxford pada umumnya bersikap ragu-ragu, sebaliknya para cendekiawan Cambridge dengan aktif mendukung pergerakan baru itu. Berbeda dengan proses yang terjadi di Jerman di mana gerakan reformasi dilakukan oleh orang gereja sendiri, maka di Inggris pihak pemimpin sekuler lah yang melakukannya. Disini kita lihat suatu manifestasi penting dari taraf yang telah dicapai bangsa Inggris dalam proses perubahan sprituil. Para rokhaniawan Inggris sudah kehilangan kepemimpinan, bahkan dalam bidangnya sendiri, dan kepemimpinan itu telah dimbil alih oleh pihak sekuler secara kolektif, yaitu pemerintah, dan kemudian secara individual, yang berarti bahwa setiap individu bertanggung jawab langsung
82
kepada tuhan, tanpa perantara, mengenai segala perbuatannya termasuk keyakinannya (Samekto, 1982: 112). Henry VIII sesungguhnya adalah penganut setia agama Kristen Katolik Roma. Tidak sedikit diantara kaum Lollards yang dihukum mati olehnya, dan tatkala protestanisme mulai bergerak di Jerman, ia menulis suatu sanggahan terhadap Luther, sehingga ia oleh Paus diberi gelar Fidea Defensor, atau pelindung agama. Tetapi sebaliknya ia mempunyai hubungan erat dengan para cendekiawan Renaissance Inggris, seperti Colet dan Thomas More, sehingga ia bukannya tidak menyadari kelemahankelemahan yang terdapat pada Gereja Roma waktu itu. Secara doktriner ia tetap penganut Kristen Katolik, ia hanya berselisih dengan paus bukan dengan doktrin Katolik (Samekto, 1982: 112). Henry VIII menjadi Raja Inggris pada tahun 1509. Ia hidup sezaman dengan Martin Luther yang mengumandangkan ajaran Lutheranisme. Henry melihat pembaharuan terhadap gereja seperti yang telah dilakukan oleh Luther dapat memberikan keuntungan bagi Inggris, karena pada saat itu kekuasaan gereja telah benar-benar menyimpang dari ketentuannya. Dalam hal ini Edith Simon mengatakan : “Walaupun tidak memiliki wilayah pasti, gereja pada zaman Luther merupakan sebuah negara. Rajanya adalah Sri Paus, pangeran-pangerannya adalah para pejabat tinggi kegrejaan dan rakyatnya seluruh umat Kristen di barat. Gereja juga memiliki dewan ekumenis sebagai persidangan legislatif, hukum gereja sebagai undang-undang dasar dan Kuria sebagai lembaga pengadilan serta keuangannya. Gereja juga berperang, membuat perjanjian dan memungut pajak.” (Simon, 1986: 35.)
83
Tak heran jika saat itu banyak keluhan yang ditujukan pada gereja terutama masalah kekayaan yang dimilikinya. Setiap tahun gereja menuntut upeti dari para raja, meminta bayaran dari para uskup yang diangkat, memungut pajak untuk pembangunan gereja, untuk peperangan, dan pelaksanaan berbagai pekerjaan lain. Salah satu sumber pemasukan gereja yang sangat menguntungkan tapi juga menimbulkan sengketa besar adalah penjualan indulgensia atau surat pengampunan dosa. Indulgensia dapat menghapus hukuman akibat dosa yang dilakukan, dan sebagai imbalannya orang tersebut harus memberikan sumbangan kepada gereja. Masalah indulgensia ini sangat merisaukan, apalagi setelah adanya indilgensia Santo Petrus pada permulaan tahun 1500. Saat itu Paus Julius II memerintahkan untuk membangun sebuah sebuah basilica baru diatas makam Santo Petrus di Vatikan. Untuk membiayai pembangunan tersebut, ia mengeluarkan pernyataan yang berisi bahwa indulgensia akan diberikan kepada siapa saja yang menyumbang untuk pembangunan tersebut. Para pengkhotbah pun berkampanye di seluruh Eropa agar banyak orang yang menyumbang proyek pembangunan tersebut. Mereka juga menyerukan bahwa surat ini dapat menjamin pembelinya masuk surga dan bahkan hal ini berlaku bagi keluarganya yang telah meninggal dunia. Semakin besar uang yang dibayarkan untuk membeli suratsurat pengampunan itu, akan semakin besar pula dosa yang diampuni tuhan (John Louis B, 1966: 263). Masyarakat yang memiliki kepercayaan yang begitu kuat kepada gereja mempercayai hal tersebut, sehingga penjualan indulgensia secara besar-besaran ini mendapat sambutan hangat dari mereka.
84
Penjualan indulgensia secara masal ini mengalirkan dana yang luar biasa besarnya ke Gereja Roma. Hal ini mendapat protes dari raja-raja Eropa termasuk Henry VIII. Ia mengatakan bahwa perekonomian nasional mereka tidak akan dapat bertahan jika uang mereka terus mengalir ke Roma. Untuk menyiasati hal tersebut, Paus Leo X mengizinkan Inggris dan beberapa kerajaan untuk memasukan sebagian hasil dari penjualan indulgensia ke perbendaharaan kerajaan. Dari sini dapat terlihat bahwa penjualan indulgensia ini hanya merupakan taktik Gereja Roma untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari rakyat. Kekuasaan paus yang terlalu besar membuat Henry VIII tidak nyaman. Ia menganggap paus terlalu ikut campur dalam masalah kerajaan bahkan masalah pribadinya. Pada tahun 1502, kakaknya, Arthur, meninggal dunia. Ayah mereka, Henry VII, memutuskan bahwa Henry harus menikahi janda Arthur, Catherine dari Aragon. Henry dan orang-orang lain berpendapat bahwa pernikahan tersebut dilarang menurut Imamat 18 dan 20. Namun, paus mengijinkannya dan mereka menikah sesudah Henry VIII menjadi Raja. Hingga tahun 1514 mereka belum mendapat anak, dan Henry meminta paus agar membatalkan pernikahan itu, namun paus tetap menolak untuk membatalkan perkawinan itu. Akhirnya mereka dikaruniai seorang anak perempuan, Mary, yang lahir pada tahun 1516. Namun demikian sampai pertengahan tahun 1520-an mereka masih belum mendapatkan anak laki-laki. Henry mulai khawatir kalua-kalau dinasti Tudor akan berakhir karena tidak adanya seorang putera. Hingga saat itu tahta Inggris belum pernah diduduki oleh seorang ratu, walaupun hal itu tidak dilarang,
85
namun ada kekhawatiran jika hal yang belum lazim ini akan menimbulkan perang saudara atau pengambil alihan kekuasaan oleh suami ratu. Henry mulai mencari cara mengakhiri perkawinannya dengan Catherine karena pada saat itu dia sudah jatuh cinta pada Anne Boleyn. Upaya ini mulai dilakukan pada tahun 1520, saat itu ia mengutus Thomas Kardinal Wosley yang memegang jabatan uskup agung York, kanselir, dan wakil Paus di Inggris untuk mengusahakan surat pembatalan pernikahanya dengan Catherin. Akan tetapi paus tidak menyetujui pembatalan tersebut, sehingga akhirnya Henry mengutus Thomas Cranmer seorang Uskup Agung Centerbury yang baru untuk menyatakan memutuskan untuk memisahkan diri dari Gereja Roma dan mengumandangkan suatu agama baru yang disebut Anglikan, dimana yang menjadi kepala agama bukan lagi Paus melainkan Raja. Pemutusan hubungan dengan Roma ini dilakukan oleh Henry VIII secara berangsur-angsur, dan dalam proses ini dibantu oleh parlemen. Dewan ini dan sebagian besar bangsa Inggris mendukung keputusan Henry untuk berpisah dari Roma, walaupun masalah perceraian yang menjadi sebab langsung perpisahan ini kurang mereka sukai. Kepada kaum rokhaniawan Inggris, Henry pada tahun 1530 hanya memberi dua pilihan, yaitu mengakui raja sebagai pimpinan tertinggi Gereja Inggris atau menjalani hukuman berat. Sebagaian kecil, termasuk Thomas More, memilih menjalani hukuman mati, dan sebagian besar lainnya memilih tunduk pada kehendak Henry sehingga kekacauan dapat dihindarkan (Samekto, 1982: 114). Selama revolusi keagamaan itu berlangsung, parlemen memperoleh arti dan posisi yang semakin penting karena sejak permulaan dewan itu diikut sertakan dalam
86
segala pengambilan keputusan. Pada saat itu dibentuk parlemen reformasi yang bersidang selama 7 tahun untuk mensahkan tidak kurang dari 137 undang-undang, 32 diantaranya khusus mengenai gereja. Undang-undang yang terpenting adalah Supremacy Act yang disahkan pada tahun 1534, yang secara resmi menyatakan kemerdekaan Gereja Inggris dengan raja sebagai pimpinannya yang tertinggi. Dengan demikian terbukti bahwa parlemen memiliki wewenang yang ruang lingkupnya meliputi semua segi kehidupan bangsa, termasuk agama, dan karenannya dapat membuat undang-undang apapun yang berlaku dalam batas-batas kerajaan. Pada tahun 1536 dan 1539, parlemen mensahkan undang-undang yang membubarkan semua biara di Inggris yang dianggap sebagai sarang takhayul dan merupakan tempat praktek-praktek penyimpangan ajaran Kristen, serta menyita semua harta miliknya. Dalam hal ini Berenson menyatakan : “Henry VIII confiscated all Church lands, and had the monasteries destroyed. Church land were sold to English merchants and farmers. The wreckage of the monasteries was used to build gracios homes for th new occupants of these lands. The King made enormous profit from all this, and of course those who bought these lands from The King became very wealthy and loyal subject” (Berenson, 1967: 3). Alasan Henry melakukan hal tersebut selain untuk mengisi kas kerajaan, juga untuk menghilangkan rasa iri dari kaum bangsawan, para penguasa tanah, dan orang kaya lainnya terhadap biara-biara yang menguasai 1/5 dari tanah-tanah garapan Inggris. dalam hal ini Berenson menyatakan : “In England, the Chruch owned one-sixth of the land. Besides the many Churches, it established large religious houses called monasteries where monks lived, prayed, and study. The peasants lived on these land owned by monastery, for which they paid rent” (Berenson, 1967: 3).
87
Sebagian besar tanah-tanah biara yang disita oleh Henry itu segera dijual kepada pejabat negara, kaum bangsawan, dan orang-orang dari golongan menengah. Dengan demikian maka kas negara terisi, dan para pembeli yang umumnya orang-orang berpengaruh semakin merasa berkepentingan untuk mempertahankan reformasi. Mereka berfikir jika Katolik kembali berkuasa di Inggris, maka sudah pasti tanah-tanah tersebut akan dirampas kembali dari tangan mereka. Disamping itu Henry juga melakukan beberapa perubahan lain, diantaranya kebaktian yang semula menggunakan bahsa Latin kini dirubah ke dalam bahasa Inggris. Pada 1544 Litany (ibadah doa) merupakan ibadah pertama yang memakai bahasa Inggris. Sebelumnya, dalam
semua kebaktian dipakai bahasa Latin, yang tidak
dipahami oleh sebagian besar orang. Pada tahun 1537 pemerintah memerintahkan agar ada Alkitab bahasa Latin dan Alkitab bahasa Inggris di setiap gereja wilayah. Pada tahun 1539 the Great Bible (Alkitab Besar) diterbitkan di dalam bahasa Inggris. Alkitab tersebut sudah disunting oleh Miles Coverdale dan berdasarkan terjemahan sebelumnya termasuk terjemahan William Tyndale. Pada masa pemerintahan Raja Henry, dikeluarkan
perintah agar semua patung
dan tempat keramat di gereja-gereja harus dimusnahkan. Perintah itu dikaitkan dengan cara baru penomoran Sepuluh Perintah Allah. Sebelum Reformasi, perintah tentang patung-patung merupakan bagian dari perintah pertama dan tidak dianggap sangat penting. Sekarang hal ini dipandang sebagai hukum yang berdiri sendiri.
88
Perdebatan teologis besar yang lain adalah tentang Misa (istilah Perjamuan Kudus di Gereja Katolik Roma). Ajaran Katolik tentang transubstantiation menyatakan bahwa pada waktu Misa, hakikat roti dan anggur menjelma menjadi tubuh dan darah Kristus yang sesungguhnya. Pada masa pemerintahan Henry, Cranmer mengatakan bahwa ajaran ini tidak benar. Dia menentang ide bahwa Kristus dikorbankan lagi setiap kali ada Misa. Dia juga menentang ide bahwa pengorbanan Kristus pada Misa ini dapat menolong orang-orang yang sudah meninggal dunia. Bahkan Cranmer mempercayai kehadiran sesungguhnya dari Kristus di dalam Perjamuan Kudus,
pandangan ini
serupa dengan pandangan Luther (maksudnya, tubuh dan darah Kristus hadir sungguhsungguh dalam Perjamuan Tuhan, tetapi roti dan anggur tidak berubah). Kelak dia berubah pikiran lagi dan menyatakan bahwa tubuh Kristus ada di dalam surga dan bahwa kita menerima dan memakan Kristus di dalam hati saja dengan iman. Reformasi gereja yang dilakukan oleh Henry membawa dampak yang besar bagi kehidupan masyarakat Inggris. Saat itu sebagian besar masyarakat Inggris termasuk raja belum memiliki pendirian yang konsisten, dan masih menganut faham yang berubahrubah antara Katolik dan Protestan. Raja dan rakyatnya belum menyadari sepenuhnya bahwa jalan yang mereka tempuh pasti akan menjurus ke Protestanisme. Henry berpendirian bahwa ia hanya berselisih dengan paus bukan dengan doktrin-doktrin Katolik, ia hanya mengganti pimpinan tertinggi Gereja yang tadinya di bawah kekuasaan paus, menjadi di bawah kekuasaan raja. Ketidakpastian dalam soal agama memang masih dirasakan oleh bangsa Inggris pada masa awal reformasi. Namun satu
89
hal yang sudah menjadi kenyataan, yaitu supremasi negara terhadap gereja. Inilah salah satu batu fondasi yang diletakan Henry VIII bagi Inggris zaman modern.
c. Dampak Reformasi Gereja Terhadap Kehidupan Sosial Masyarakat Inggris Pada Masa Pemerintahan Ratu Elizabeth I Reformasi gereja yang terjadi di Inggris pada masa pemerintahan Raja Henry VIII, memberikan dampak yang berkepanjangan hingga masih terasa samai masa pemerintahan Ratu Elizaebth I. Setelah resmi berpisah dari Roma, Inggris menjadi kaya karena tanah-tanah yang semula dikuasai gereja kini menjadi milik raja.
Tanah
tersebut kemudian dijual kepada para bangsawan. Raja mendapatkan keuntungan yang sangat besar dari semua itu dan tentu saja mereka yang membeli tanah dari raja menjadi sangat kaya karena mereka bisa menggunakan sebagaian besar dari lahan tersebut untuk membiakan dan menggembalakan kambing yang menghasilkan wol. Saat itu wol merupakan barang berharga di Inggris, karena pakaian yang tebuat dari bahan wol memiliki nilai jual yang sangat tinggi. Pendapatan yang di dapat Inggris dari export wol ini sangat besar (Berenson, 1967: 3) Disamping memberikan dampak yang positif, kebijakan tersebut juga mengakibatkan hal-hal negatif, yaitu banyaknya petani yang kehilangan mata pencahariaannya. Jumlah penganggur yang menggelandang semakin meningkat sehingga pemerintah kerajaan harus turun tangan mengambil alih masalah pengurusan orang-orang miskin dari tangan pemerintah kota yang kewalahan. Sesungguhnya sebelum reformasi terjadi masalah pengurusan orang-orang miskin merupakan
90
kewajiban gereja, hanya saja setelah reformasi gereja-gereja tersebut dibubarkan sehingga masalah pemeliharaan sosial menjadi tanggungjawab kerajaan. Masalah kemiskinan ini tidak bisa diatasi dengan cepat dan masih terasa sampai pada masa pemerintahan Ratu Elizabeth I, apalagi pada masa pemerintahan Elizabeth pendapatan Inggris sebagian besar digunkan untuk membiayai peperangan melawan Spanyol (Berenson, 1967: 3) Kas negara yang kosong tidak bisa terselamatkan akibat indistri kecil yang ada di Inggris juga tidak berjalan dengan baik. Sebelumnya masalah pembinaan industri rumah tangga menjadi tanggung jawab gereja, akan tetapi setelah gereja-gereja tersebut di bubarkan, masalah ini menjadi tanggung jawab pemerintah. Pemerintah yang terlalu sibuk mengurusi masalah keagamaan dan masalah lainnya kurang memperhatikan kondisi industri kecil ini, sehingga banyak diantaranya yang gulung tikar serta menimbulkan semakin banyaknya jumlah pengangguran dan kemiskinan. Setelah reformasi gereja, pendidikan masyarakat Inggris juga menjadi terbengkalai. Pendidikan yang belum merata diperparah dengan banyaknya anak yang putus sekolah. Sebelumnya para remaja ini mendapatkan pendidikan dan pelatiahan di biara-biara, akan tetapi setelah reformasi gereja, biara-biara tersebut dibubarkan sehingga mereka tidak memiliki lagi tempat untuk belajar. Anak-anak yang tidak terdidik dan tidak terlatih ini memiliki kesulitan untuk mendapat pekerjaan, yang otomatis meningkatkan jumlah pengangguran dan kemisikinan di Inggris. Pecahnya hubungan Inggris dengan Roma ternyata memberikan dampak yang sangat besar terhadap kondisi keamanan Inggris. Masyarakat Inggris harus dilanda
91
kecemasan akibat serangan yang dilakukan Spanyol terhadap Inggris. Hubungan antara Inggris telah terjalin sejak lama dan dipererat dengan pernikahan Ratu Mary dengan Raja Phillip II. Beberapa waktu setelah Mary Tudor wafat, Phillip suaminya sudah mengalihkan perhatian pada Elizabeth yang kemudian dinobatkan menjadi ratu Inggris. Philip berharap bisa menikahi Elizabeth sehingga hubungannya dengan Inggris tidak terputus. Dalam hal ini Greaves menyatakan : King Philip understanding of the death of Queen Mary his wife, fearing lest he should lose the strength and title of the kingdom of England, which were to him of specuall use, and that the kingdoms of England, Ireland, and Scotland, would by Mary Queen of Scot, bee annexed unto France, dealt seriously with Queen Elizabeth by mean of the count of Feria, (whom he had sent to visit both his sick wife, and her), about marriage to be contracted with her, promising to procure a speciall dispensation from the bishop of Rome( Greaves, 1974: 6) Philip tidak punya pilihan lagi selain berusaha menikahi Elizabeth, karena satusatunya ahli waris lain yaitu Mary Stuart sudah menikah dengan raja Perancis. Hal ini menguntungakan Elizabeth yang mana semasa pemerintahannya terdapat persaingan tajam antara Spanyol dan Perancis. Spanyol tidak menghendaki jika Perancis mendominasi Inggris, sebaliknya Perancis menentang jika Spanyol menguasai Inggris. Elizabeth memanfaatkan keadaan ini dengan mahir, sehingga selama kira-kira 20 tahun pertama dari pemerintahannya Inggris terhindar dari serangan-serangan kedua negara kuat tersebut, dan berhasil memperkuat diri. Suatu keuntungan tambahan bagi Elizabeth ialah
bahwa
kedua
negara
tersebut
masing-masing
sibuk
dengan
masalah
pemberontakan. Spanyol harus menumpas pemberontakan di negeri Belanda, sedangkan Perancis menghadapi pemberontakan kaum Protestan Perancis yang disebut kaum Huguenots. Elizabeth membantu kaum pemberontak itu dengan uang dan pasukan,
92
sehingga Spanyol dan Prancis tetap sibuk dibuatnya dan terpaksa menunda rencanarencana mereka terhadap Inggris (Samekto, 1982: 130). Hubungan antara Inggris dan Spanyol berkembang sedemikian rupa sehingga perang langsung antara kedua negara itu sulit dihindarkan. Salah satu sebab menggawatnya hubungan ini adalah persaingan di lautan dan di benua Amerika, Afrika, dan Asia. Perlu diketahui bahwa pada tahun 1494, paus menjatahkan daerah-daerah baru di luar Eropa kepada Spanyol dan Portugal dengan satu garis lurus yang ditarik dari Greenland ke selatan melintasi sebagian Brazil. Kesepakatan ini ditetapkan melalui sebuah perjanjian yang disebut perjanjian Tordesillas. Wilayah sebelah barat, yang meliputi hampir seluruh wilayah Amerika Utara dan Amerika Selatan, diberikan kepada Spanyol. Sedangkan wilayah sebelah Timur, yang meliputi sebagian Brazil, Afrika dan Asia, diberikan kepada Portugal (Samekto, 1982: 131).. Pada tahun 1850, tatkala Portugal ditaklukan oleh Spanyol, seluruh dunia, kecuali Eropa, menjadi milik Spanyol. Negara tersebut memegang teguh haknya dan melarang negara-negara lain untuk menjalin hubungan dagang dengan daerah-daerah baru itu ataupun menggunakan jalur-jalur pelayaran yang menuju ke daerah-daerah itu. Inggris dan negara-negara Protestan lainnya, tentu saja tidak mengakui hak ini. Mereka juga ingin menikmati keuntungan-keuntungan materil yang dapat diperoleh dari daerahdaerah baru itu, dan bagi mereka perjanjian Tordesillas tidak berlaku karena yang memberikan hak kepada Spanyol ataupun Porugal adalah paus yang tidak lagi memiliki daya ikat dengan mereka. Sehingga, walaupun ada larangan-larangan dari pihak Spanyol, para pelaut dan pedagang Inggris tetap mendatangi benua Amerika dan Afrika,
93
serta menembus monopoli perdagangan Spanyol. Bahkan para pelaut ulung seperti John Hawkins, Francis Drake, Martin Frobisher, dan Richard Grenville, sering membajak kapal-kapal Spanyol, terutama yang mengangkut emas dan perak, di Samudera Atlantik dan di lautan-lautan sekitar Amerika Selatan (Samekto, 1982: 132). Elizabeth sebenarnya mengetahui apa yang dilakukan para pelaut dan pedagang Inggris terhadap Spanyol ini, akan tetapi ia tidak mengambil tindakan apapun terhadap mereka, bahkan ia merestuinya. Elizabeth berpendirian bahwa apapun atau siapapun yang merugikan Spanyol, akan menguntungkan Inggris. Selain itu, pemerintahan Elizabeth yang selalu kekurangan uang, tentu menyambut baik setiap pendapatan tambahan, walaupun berupa hasil bajakan. Dukungan Elizabeth terhadap kaum petualang ini memuncak pada penganugerahan gelar kebangsawanan kepada yang terulung diantara mereka, yaitu Francis Drake, setelah ia kembali dari ekspedisi pembajakan selama tiga tahun yang membawanya keliling dunia. Tindakan Elizabeth ini dirasakan oleh Philip sebagai tantangan langsung terhadap Spanyol. Pada pertengahan tahun 1588, Philip memberangkatkan armada besar yang terdiri dari 130 kapal menuju Inggris. Dalam keadaan gawat ini, seluruh bangsa Inggris, bahkan yang beragama Katolik, bersatu dan berdiri di belakang ratunya. Menjelang akhir bulan Juli, Armada besar itu sudah tampak di Selat Channel, dan segera disergap oleh angkatan laut Inggris dengan kapal-kapalnya yang lebih lincah dan modern dengan pelaut-pelaut yang ulung dan lebih berpengalaman dalam taktik perang laut modern. Setelah hampir bertempur selama 10 hari, armada Spanyol kewalahan dan bermaksud kembali ke pangkalan dengan menempuh jalan melalui utara mengitari kepulauan
94
Britania. Ketika sampai di lautan utara yang tekenal ganas, armada Spanyol diserang badai dahsyat sehingga banyak di antara kapal-kapalnya musnah ditelan ombak.armada besar itu lumpuh sama sekali, dan hanya tinggal dua pertiganya saja yang selamat sampai di pangkalan tanpa mendapat hasil apapun (Davis, 1984: 59). Dana yang dikeluarkan pemerintah untuk membiayai perang ini tidaklah sedikit. Elizabeth harus membangun armada perkapalan yang tangguh untuk menghadapi serangan ini, belum lagi pemerintah harus memperbaiki kerusakan dan korban yang jatuh selama peperangan terjadi. Walupun kerusakan Inggris tidak separah yang dialami Spanyol, tetap saja butuh dana yang banyak untuk ini. Sehingga perang ini memperburuk kondisi keuangan Inggris yang sedang berada pada tahap krisis. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada reformasi yang dilakukan oleh Raja Henry VIII lebih banyak memberikan dampak negatif yang berkepanjangan terhadap kehidupan sosial masyarakat Inggris. Dampak ini masih dirasakan oleh masyarakat Inggris hingga 28 tahun ke depan, yaitu pada masa pemerintahan Ratu Elizabeth I. Bahkan bisa dikatakan pada masa pemerintahan Ratu Elizabeth I ini masalah sosial yang timbul akibat reformasi gereja berada pada puncaknya. d. Dampak Reformasi Gereja Terhadap Kehidupan Agama Masyarakat Inggris Pada Masa Pemerintahan Ratu Elizabeth I Setelah Inggris meresmikan Anglikan sebagai agama negara, secara otomatis kehidupan beragama masyarakat Inggris mengalami perubahan yang drastis. Pemimpin gereja bukan lagi paus melainkan raja, dan semua rakyat Inggris harus mematuhinya. Siapapun yang melanggarnya, baik itu Katolik maupun Protestan , maka ia akan dibakar
95
hidup-hidup. Sebagaian besar kaum rokhaniawan Inggris tunduk pada putusan tersebut, dan mereka tetap pada fungsi serta posisinya dalam hierarki kegerejaan tanpa perubahan apapun, kecuali bahwa pucuk pimpinannya bukan lagi paus, melainkan raja. Bagi para rokhaniawan hal ini tidak terlalu sulit karena banyak diantaranya yang menjabat sebagai pejabat kerajaan atau anggota parlemen, sehingga sudah terbiasa berada di bawah kekuasaan raja. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di kalangan masyarakat umum. Rakyat sebagian besar masih merasa kebingungan dengan faham yang mereka anut, secara doktrin mereka masih Katolik, akan tetapi secara praktik mereka melakukan tata cara peribadatan Protestan. Pemujaan terhadap patung-patung serta peninggalan-peninggalan suci dan hal-hal yang berbau takhayul lainnya dilarang. Dalam semua kebaktian gereja bahasa Latin diganti dengan bahasa Inggris. Kitab Injil yang sudah diterjemahkan oleh Tyndale dan Coverdale tidak saja bebas beredar, bahkan diperintahkan untuk disediakan di setiap gereja. Dengan dengan demikian maka makin banyak orang dapat memahami serta menghayati agamanya, sehingga reformasi memperoleh landasan yang makin kuat (Samekto, 1982: 125). Pada tahun 1536 Dewan Kerajaan Inggris (Convocation), yang beranggotakan para rokhaniawan, mencoba menjuruskan doktrin-doktrin kearah Protestanisme dengan antara lain menyatakan bahwa kitab Injil merupakan satu-satunya otoritas dalam bidang keagamaan. Tetapi Henry tidak menyukai perubahan ini ini, dan mewajibkan semua hambanya untuk kembali ke praktek serta doktrin Katolik, termasuk antara lain pengakuan dosa dan Komuni Suci. Sehingga agama yang ada saat itu bukan Kristen
96
Protestan karena doktrin-doktrinnya masih Katolik, dan bukan juga Kristen Katolik karena pimpinan tertinggi dipegang oleh raja bukan Paus. Kondisi keagamaan yang samar-samar ini menimbulkan ketidak puasan dari kalangan Katolik militan dan Protestan radikal yang memuncak pada masa pemerintahan Ratu Elizabeth I. Di kalangan Katolik militan, rasa tidak puas berubah menjadi kejengkelan sesudah ternyata bahwa Elizabeth tidak mengambil tindakan keras terhadap umat Katolik selama mereka tidak mengganggu kemanan. Tidak adanya tindakan-tindakan keras ini menyulitkan mereka dalam mencari alasan untuk memberontak. Keadaan ini berubah tatkala pada tahun 1570 paus menyatakan membuang Elizabeth I dari Gereja Katolik dan membebaskan orang-orang Inggris dari kewajiban untuk setia kepada ratu. Pada waktu itu ada dua seminari khusus untuk orang-orang Katolik Inggris didirikan di daratan Eropa, dan pada tahun 1580 lebih dari 100 rokhaniawan Katolik Inggris keluaran seminari itu kembali ke negerinya dan mencoba mengobarkan perlawanan terhadap Elizabeth . Gereja Katolik mulai melancarkan gerakan kontara reformasi yang bertujuan memperkuat serta mempertegas doktrin-doktrin serta praktek-praktek Katolik, dan merebut kembali umat Katolik yang telah menjadi Protestan. Selain itu perlawanan kaum rokhaniawan ini disebabkan karena pada masa pemerintahan Ratu Mary sebagian besar kaum rokhaniawan yang condong kepada Protestan telah dibunuh, sehingga yang tersisa hanyalah mereka-mereka yang condong ke Katolik. Dalam hal ini Trevelyan menyatakan : “The Jesuit mission was hard at work in the houses of the unfortunate gentry of the old religion, distraught between the claims of the two rival loyalties. Fear
97
brooded over the land, Men waited, expecting every day to hear of Spanish invasion, Roman Catholic rebellion, the assassination of the Queen. The Jesuits flitted about in disguise, hiding in 'priest holes' in the thickness of manor-house walls, pursued by justices of the Peace, occasionally caught and executed “(Trevelyan, 1949: 37). Sementara kaum Katolik berusaha menumbangkan Gereja Anglikan dari luar, sekelompok kaum Protestan extrim mencoba merongrongnya dari dalam. Kelompok ini dinamakan kaum Puritan, karena mereka bertujuan memurnikan (purify) Gereja Anglikan dari sisa-sisa kebiasaan Gereja Katolik. Puritan adalah gerakan untuk memimpin kekristenan kembali kepada Alkitab dan kehidupan yang kudus sebagai bukti dari pertobatan yang sejati. Bangkit dan bertumbuhnya Puritan paling sedikit disebabkan oleh tiga kebutuhan utama pada zaman itu, yaitu: (1) Perlunya khotbah yang alkitabiah dan pengajaran kebenaran; (2) perlunya kesucian personal yang menekankan pekerjaan Roh Kudus dalam iman dan kehidupan orang beriman; dan (3) pembaharuan tatacara dan pemerintahan gereja menurut Alkitab. Gerakan ini tidak menyukai hirarki keuskupan yang merupakan warisan dari gereja lama, dan menginginkan sistem presbyter seperti yang diberlakukan di kalangan pengikut Calvin. Dalam sistem ini pengelolaan gereja terletak di tanagn dewan-dewan yang masing-masing beranggotakan para pendeta dan para tetua (presbyter) yang dipilih oleh umat. Banyak diantara para anggota Majelis Rendah yang bersimpati kepada gerakan Puritan ini, dan mereka mencoba memperjuangkan perubahan doktrin serta organisasi Gereja Anglikan melalui parlemen. Perjuangan anggota Majelis Rendah ini mendapat tentangan dari Ratu Elizabeth yang menyatakan bahwa masalah keagamaan bukan merupakan wewenang parlemen ataupaun majelis, melainkan sepenuhnya
98
wewenang ratu. Kegagalan di parlemen ini membuat kaum puritan merubah cara perjuangannya dengan mengadakan pertemuan-pertemuan umat, perang pamplet, dan membentuk prebyster pada tingkat Parish (Gereja wilayah) yang diharapkan dapat mengarah ke tingkat nasional. Disamping kaum Puritan, masih terdapat kelompokkelompok radikal lainnya yang membentuk organisasi-organisasi keagamaan di luar Gereja Anglikan. Kelompok – kelompok ini disebut kaum Separatis. Mereka menginginkan otonomi bagi kelompok-kelompok umat dan pemisahan gereja dari negara (Samekto, 1982: 126). Selain itu peperangan yang terjadi antara Spanyol dan Inggris juga merupakan suatu bentuk dampak reformasi gereja terhadap kondisi keagamaan masyarakat Inggris. Raja Spanyol, Philip II yakin bahwa dirinya diwajibkan oleh tuhan untuk memulihkan Gereja Katolik Roma di antara bangsa-bangsa yang telah menjadi Protestan. Di antara pemimpin-pemimpin Protestan yang paling terkemuka dan paling membandel, hanya Elizabeth I yang masih hidup. William of Orange dari Belanda dan Laksamana Coligny, pemimpin kaum Hugenots Perancis, sudah berhasil dibunuh. Maka penyingkiran Elizabeth dianggap sangat penting, sebab kalau ia berhasil disingkirkan niscaya efeknya akan sangat besar bagi kaum Protestan di Eropa pada umumnya. Philip mendukung dibentuknya komplotan-komplotan yang bertugas menggulingkan pemerintahan Ratu Elizabeth untuk digantikan dengan Mary Stuart dari Skotlandia. Upaya Philip ini tidak pernah berhasil, bahkan Mary Stuart ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Oleh karena itu Philip segera merancanakan penyerangan terhadap Inggris yang diwujudakan pada tahun 1588.
99
B. Dampak Reformasi Gereja Terhadap Kebijakan yang Diambil Ratu Elizabeth I dalam Bidang Sosial dan Agama a. Dalam bidang Sosial Ketika Elizabeth naik tahta pada tahun 1558, ia mendapati kondisi sosial masyaraka Inggris yang buruk. Pengangguran merajalela, kemiskinan meningkat, dan pendidikan tidak merata. Selain itu peperangan dengan Spanyol menghabiskan dana yang tidak sedikit sehingga membuat kas negara kosong yang berujung pada krisis moneter. Kondisi yang seperti ini menuntut Elizabeth untuk mengambil kebijakankebijakan yang tepat. Peraturan dan kebijaksanaan yang diambil oleh Elizabeth bertumpu pada teori peraturan pemerintah untuk memelihara keharmonisan, keseimbangan, dan berdasar pada kenyataan. Ia menyukai persamaan dan kesetaraan di kalangan rakyatnya, sehingga baginya kapitalisme merupakan momok bagi kehidupan masyarakat. Pandangan ekonomi Elizabeth, pada dasarnya adalah pandangan ekonomi abad pertengahan Abad Pertengahan yang menentang persaingan ekonomi yang tajam dalam masyarakat dan memberikan keleluasaan kepada pemerintah untuk mengatur jalannya perekonomian dengan ketat guna mencapai kehidupan yang adil bagi semua. Untuk mewujudkannya Elizabeth membentuk Dewan Keadilan dan Kesejahteraan yang bertugas menjamin keadilan dan kesejahteraan masyarakat Inggris pada umunya (Smith, 1983: 174) . Untuk menyelesaikan masalah kemiskinan, parlemen mengambil langkah dengan mensahkan Undang-Undang Kemiskinan (Poor Law). Ini merupakan undang-
100
undang pertama yang mengurusi masalah kesejahteraan sosial. Menurut undang-undang ini, masalah pemberantasan kemiskinan menjadi tanggung jawab Parish (Gereja Wilayah) yang merupakan satuan administrasi pemerintah setempat yang berada di bawah Kabupaten. Setiap Parish mengangkat 4 petugas yang berkewajiban memungut pajak dari orang-orang kaya, guna dimanfaatkan bagi pembangunan rumah-rumah kerja. Rumah-rumah kerja ini nantinya menjadi tempat bagi para penganggur untuk memperoleh pekerjaan dan mendapat sedikit upah (Samekto, 1982: 136). Dalam pelaksanaannya, dibentuk Privy Council yang bertugas mengawasi upah dan kondisi kerja serta menyalurkan tenaga kerja untuk mengurangi resiko kekurangan tenaga kerja pada berbagai industri yang ada. Selain itu mereka juga menolong veteranveteran perang yang terluka, memberlakukan peraturan-peraturan tentang kesehatan dan kebersihan, dan melindungi pedagang-pedagang serta pengrajin-pengrajin kecil (Smith, 1983: 175). Pada masa Elizabeth, kesejahteraan rakyat miskin benar-benar menjadi tanggung jawab penguasa. Di saat terjadi musim paceklik, Dewan keadilan dan kesejahteraan diperintahkan untuk membeli gandum dan menjualnya di bawah harga dalam rangka menghindari kelaparan. Selama masa ekonomi sulit, mereka juga diperintahkan untuk menghimbau para majikan dan bangsawan untuk tidak melakukan pemecatan kepada para pekerjanya guna menekan angka pengangguran. Disamping
orang-orang
miskin,
pemerintaha
zaman
Elizabeth
juga
memperahatikan para pengagguran yang jumlahnya terus meningkat setiap waktu. Untuk mengatasi masalah ini, parlemen mensahkan Act of Artificers (Undang-Undang
101
Latihan Kerja) yang mengatur latihan bagi calon-calon ahli dalam bidang-bidang keterampilan tertentu. Selama latihan para peserta ini memperoleh pendidikan dan pelatihan teknis dalam disiplin sosial di bawah bimbingan Master Craftsmen. Mereka bisa memilih sendiri bidang apa yang akan mereka ambil, apakah agrikultur atau industri. Dengan adanya undang-undang ini tidak hanya masalah pengangguran yang teratasi, melainkan para remaja yang kehilangan biara tempat mereka belajar bisa mendapatkan pendidikan kembali di sanggar latihan ini (Samekto, 1982: 136). Undang-undang ini diberlakukan pada tahun 1563. Menurut undang-undang ini semua warga negara, baik laki-laki ataupun perempuan, memiliki tugas sosial dan moral, untuk bekerja keras. Masa pendidikan selama 7 bulan
disyaratkan untuk
siapapun yang ikut serta dalam bidang perdagangan maupun agrikultur. Hari kerja ditentukan selama 12 jam. Selama musim panas dan hanya siang hari selama musim dingin. Mereka yang telah menempuh pendidikan hingga tuntas akan dipekerjakan di tempat-tempat para tuan tanah atau di industri-industri besar (Smith, 1983: 176). Dalam pelaksanaanya, Dewan Keadilan dan Kesejahteraan yang bertugas memeriksa dan mengatur kondisi serta upah para pekerja. Jika mereka melakukan kesalahan atau keteledoran selama bekerja, maka majikan mereka bisa melakukan pemutusan hubungan kerja. Sebaliknya, jika terdapat majikan atau tuan tanah yang bertindak sewenang-wenang pada pekerja, maka Dewan Keadilan dan Kesejahteraan akan mengusut kasus tersebut dan menyelesaikannya dengan mengutamakan kearifan dan keadilan tentunya.
102
Untuk mengatasi kondisi keuangan Inggris yang memburuk akibat peperangan melawan Spanyol, Ratu Elizabeth mengambil beberapa kebijakan yang berhasil membawa Inggris keluar dari krisis moneter. Tidak lama setelah berhasil mengalahkan Spanyol, Ratu Elizabeth segera membangun armada perkapalan baru untuk melakukan perdagangan lintas benua. Pembangunan armada perkapalan baru ini memakan biaya yang tidak sedikit. Dalam hal ini Berenson menyatakan : “It was costly to build a ship, abaout £ 45 or 90 dollars a ton. The avarge merchant vessel was about 300 tons. One pound in Queen Elizabeth’s day would be equal to about £ 50 or 100 dollars today.” (Berenson, 1967: 39) Selain pembuatan kapalnya yang memakan banyak biaya, perdagangan lintas benua ini juga memiliki resiko yang besar. Rute pelayaran yang harus di tempuh sangat lama ditambah adanya ancaman dari para bajak laut yang siap menggagalkan perdagangan ini. Dengan kapal sederhana yang berkecepatan rendah ini untuk mencapai wilayah India saja diperlukan waktu sekitar 3 tahun. Elizabeth tidak gentar menghadapi resiko ini, ia yakin akan kemampuan para pelaut dan pedagang Inggris, sehingga tanpa ragu-ragu ia segera memberangkatkan kapal-kapal tersebut untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari daerah-daerah baru. Untuk melindungi usaha-usaha nasional ini dan memperbesar surplus neraca perdagangan, parlemen mensahkan beberapa Undangundang perdagangan. Dalam perdagangan lintas benua ini, para pedagang Inggris membentuk kongsikongsi dagang yang bertujuan mengurangi resiko atau kerugian yang mungkin terjadi, karena dalam kongsi dagang ini modal, keuntungan dan kerugian menjadi tanggungan bersama.
Selain itu dibentuknya kongsi dagang ini bertujuan untuk mengatasi
103
persaiangan anatar sesama pedagang Inggris. Kongsi dagang ini oleh Ratu Elizaberh I diberi kewenangan tidak hanya untuk berdagang di negeri-negeri jauh, tetapi juga mempunyai wewenang militer dan diplomatik. Kongsi-kongsi itu antara lain ialah : Levant Company (1592), dan East India Company (1600). Kebijakan-kebijakan Elizabeth inilah yang nantinya bisa membawa Inggris keluar dari situasi sulit dan mencapai zaman keemasan (Berenson, 1967: 39).
b. Dalam bidang Agama Ketika menjadi Ratu pada November 1558, Elizabeth sangat yakin bahwa ia akan mengembalikan iman Protestan di Inggris. Elizabeth telah menyaksikan sendiri kegagalan Mary dalam usahanya memulihkan Gereja Katolik di Inggris, dan ia pun selalu ingat bahwa ia lahir dari suatu pernikahan yang tidak diakui sah oleh Gereja Roma. Penganiayaan Mary atas kaum Protestan telah menyebabkan banyak kerusakan pada berdirinya Katolik di Inggris, dan jumlah Protestan di negara itu terus meningkat. Maka dapat difahami bahwa ia tidak melanjutkan usaha-usaha Mary, melainkan mencoba
mencapai
kompromi
antara
Katolikisme
dan
Protestanisme,
yang
sesungguhnya merupakan cara pemecahan satu-satunya pada masa itu. Baginya tidak sulit untuk menerima kompromi macam apapun asal keserasian di antara hambahambanya dapat dipulihkan. Elizabeth bukan seorang yang fanatik dalam masalah agama. Dia sungguh-sunguh mempercayai imannya, akan tetapi ia juga yakin akan perlunya toleransi agama, dan menganggap bahwa Katolik dan Protestan merupakan dua agama yang sama.
104
Elizabeth memandang bahwa selama ini orang-orang yang berselisih karena agama hanyalah berselisih karena hal yang sepele. Ratu berpendirian bahwa kesatuan gereja mutlak bagi kesatuan nasional. Oleh karena itu ia tidak pernah menyukai golongan-golongan
yang
berusaha
menumbangkan
Gereja
Anglikan
karena
menginginkan gereja yang lebih Katolik atau yang lebih Protestan. Elizabeth mengambil tindakan keras bagi kelompok-kelompok Katolik militan, Puritan, atau Separatis, sehingga banyak diantara mereka yang melarikan diri ke luar negeri. Dalam mengusahakan pemecahan masalah keagamaan ini Elizabeth selalu mengikut sertakan parlemen. Maka pada tahun 1559, parlemen mensahkan undangundang yang meniadakan kekuasaan paus di Inggris, membentuk gereja nasional atau juga disebut Gereja Anglikan dengan monark Inggris sebagai pimpinan tertinggi dengan hirarki pejabat-pejabat gereja yang bertanggungjawab kepada monark. Book of Comon Prayer diwajibkan sebagai satu-satunya penuntun kebaktian yang sah, dan memberikan monopoli kepada rokhaniawan Gereja Anglikan untuk mengadakan upacara-upacara keagamaan. Undang-undang ini merupakan perwujudan kehendak Elizabeth dan parlemen, terutama Majelis Rendah-nya. Hal ini berbeda dengan apa yang diinginkan Majelis Tinggi, para uskup menentang segala rencana keputusan parlemen, akan tetapi mereka kalah suara. Selain itu, di luar parlemen, Dewan Kegerejaan di Centerbury berusaha menegaskan kembali supremasi paus dan doktrin transubstansiasi, namun keputusan dan protes mereka tidak dihiraukan parlemen. Sehingga tidak ada pilihan lain bagi kaum rokhaniawan Inggris kecuali tunduk pada keputusan-keputusan parlemen. Selain itu, hampir semua umat Kristen Inggris menyetujui keputusan-
105
keputusan parlemen, walaupun dewan ini merupakan suatu lembaga awam. Jadi inisiatif di bidang keagamaan masih tetap datang dari luar gereja, dari pihak awam, hal mana yang merupakan ciri khas reformasi Inggris (Samekto, 1982: 125). Selama masa pemerintahannya, Elizabeth mengutamakan perdamaian dan stabilitas di dunia, hanya saja Elizabeth kurang beruntung karena saat itu begitu banyak orang sejamannya yang tidak setuju akan adanya toleransi agama, sehingga ia dipaksa oleh keadaan untuk melakukan sebuah tindakan keras terhadap Katolik. Sikap toleransi terhadap Katolik, dan juga penolakan untuk melakukan perubahan pada gereja ia tetapkan pada tahun 1559 dalam "The Elizabeth Religious Settlemen". Peraturan ini terdiri dari dua undang-undang, yaitu The Act Of Supremacy (undang-undang kekuasaan tertinggi),
dan
The
Act
Of
Uniformity
(undang-undang
persamaan)
(http://www.elizabethi.org). The Act Of Supremacy (undang-undang kekuasaan tertinggi), merupakan undang-undang yang memberi Elizabeth dasar untuk melakukan kontrol terhadap Gereja Inggris. Selama masa pemerintahan Henry VIII dan Edward, raja merupakan "Kepala Gereja” di Inggris, tetapi di bawah Elizabeth hal ini diubah, Raja kini menjadi "Gubernur Agung Gereja” di Inggris. Perubahan ini dibuat untuk memenuhi tuntutan umat Katolik yang tidak dapat menerima raja sebagai Kepala Gereja, karena bagi mereka yang seharusnya menjadi kepala gereja adalah paus. Selain itu, aturan tersebut dibuat karena Elizabeth adalah seorang wanita, dan pada abad keenambelas, perempuan tidak boleh lebih tinggi derajatnya dari laki-laki dalam bidang kerohanian (http://www.elizabethi.org).
106
Undang-undang ini juga mengharuskan para pendeta melakukan sumpah setia terhadap ratu, dan jika mereka tidak lakukan, maka mereka akan kehilangan jabatannya. Didirikan sebuah Komisi Tinggi yang bertugas mengatur jalannya sumpah tersebut. Adapun isi sumpah yang wajib diucapkan para pendeta tersebut adalah sebagai berikut : “I ……. do utterly testify and declare in my conscience, That the Queen's Highness is the only Supream Governor of this Realm, and of all other her Highness Dominions and Countries, as well in all Spiritual or Ecclesiastical Things or Causes, as Temporal; and that no foreign Prince, Person, Prelate State or Potentate, hath or ought to have any Jurisdiction, Power, Superiority, Preheminence, or Authority Ecclesiastical or Spiritual, within this Realm; and therefore I do utterly renounce and forsake all foreign Jurisdictions, Powers, Superiorities and Authorities, and do promote, that from henceforth I shall bear faith and true Allegiance to the Queen’s Highness, her Heirs and lawful Successors, and to my Power shall assist and defend all Jurisdictions, Preheminences, Privileges and Authorities granted or belonging to the Queen’s Highness, her Heirs and Successors, or united and annexed to the Imperial Crown of this Realm. So help me God, and by the Contents of this Book.” (http://www.elizabethi.org).
The Act Of Uniformity (Undang-Undang Persamaan), merupakan undangundang yang mengatur peribadatan di Gereja Elizabeth. Aturan tersebut antara lain, buku doa dari Edward VI disusun menjadi satu, dan digunakan di setiap gereja di muka bumi. Gereja wajib hadir pada hari Minggu dan hari kudus, jika ada yang berhalangan hadir maka wajib membayar denda sebesar 12 pence. Uang yang dikumpulkan dari hasil denda tersebut akan diberikan kepada masyarakat miskin. Doa-doa dalam perjamuan menjadi samar-samar sehingga baik umat Katolik maupun Protestan dapat ikut serta dalam perjamuan, selain itu perhiasan dan jubah Gereja tetap dipertahankan karena hal tersebut telah sebelum reformasi pada tahun kedua masa pemerintahan Raja Edward (http://www.elizabethi.org).
107
Untuk meloloskan The Act Of Uniformity di parlemen nampaknya lebih sulit dari pada meloloskan The Act Of Supremacy. Hal ini dikarenakan banyaknya jumlah parlemen,
yang
masih
Katolik
dan
menentang
rancangan
undang-undang
tersebit,walaupun pada akhirnya berhasil lolos melalui proses voting dengan selisih hasil tiga angka, yang mana setuju jumlah setuju ada 21 angka dan tidak setuju 18 angka. Peraturan keagamaan ini mulai dilaksanakan pada musim panas 1559 (http://www.elizabethi.org).
C.
Dampak Kebijakan Ratu Elizabeth I (1558-1603) Terhadap Kehidupan Sosial dan Agama Masyarakat Inggris a. Kehidupan Sosial Di bawah pemerintahan Elizabeth, Inggris tumbuh menjadi negara yang paling
kuat dan paling kaya. Hal utama yang dilakuan oleh Elizabeth untuk bisa sampai ke tahap ini adalah dengan mengambil kebijakan-kebijakan yang tepat, baik dalam bidang sosial maupun agama. Kebijakan dan aturan-aturan yang dikeluarkannya ini tidak hanya berhasil membawa Inggris dari keterpurukan tapi juga merupakan aturan-aturan yang paling dihargai sepanjang masa. Pada masa pemerintahan Elizabeth kehidupan sosial masyarakat Inggris berangsur membaik. Undang-undang Kemiskinan (Poor Law) dan Undang-undang Latihan Kerja (Act of Artifecers) yang ditetapkan Elizabeth, telah berhasil mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran
yang merajalela di Inggris. Meningkatnya
108
kesejahteraan masyarakat Inggris ini terlihat dari pertumbuhan jumlah penduduk dan kegairahan masyarakat Inggris saat itu, terutama yang berada di kota London. Pada masa Elizabeth, sedikit saja kota di dunia ini yang dapat menandingi ukuran, pengaruh atau kegairahan kota London. Menurut peta tahun 1574, London dipenuhi oleh jaringan jalan yang berkelok-kelok dan rumah setengah kayu. Di sana sini tampak menara gereja, puri dan rumah baru orang kaya. Bagaikan magnet, London menyedot para pendatang yang terdiri dari orang Inggris yang berambisi dari pedesaan, pelarian Protestan dari daratan Eropa, dan pedagang yang mencari pusat perdagangan yang bebas dari peperangan Eropa. Hal tersebut Selama pemerintahan Elizabeth, jumlah penduduk mengalami perkembangan dari 100.000 jiwa menjadi 250.000 jiwa. Kota amat padat sehingga pada tahun 1598 seorang pengunjung dari kota kecil mengeluh tentang kacaunya gedung yang “amat banyak, merepotkan dan semerawut seperti kota Babil”. Di tengah segala pertumbuhan dan gejolak ini mekarlah suatu semangat baru, yakni semangat ingin tahu. Penduduk kota London yang dapat membaca memadati kios buku di halaman Gereja St. Paul untuk mencari soneta mesra Italia, novel Perancis serta kisah Raleigh tentang koloni Roanoke yang bernasib sial (Simon, 1986: 91). Pada masa pemerintahan Elizabeth magnetisme dan keberanian manusia tampak tak terbatas, dimana kemiskinan dan penderitaan hidup bukan menyebabkan kesedihan tetapi menumbuhkan ketetapan hati untuk mencapai semua hal yang ada dalam ilmu pengetahuan, ilmu pelayaran dan daya tahan, filosofi, dan bahkan dalam kesucian dan kebaikan. Dalam hal ini, smith menyatakan :
109
No one has explained what trick of sociological legerdemain produced the magic of William Shakespeare,s plays, the intellectual daring of Bacon, or insatiable dream that led Sir Walter Raleigh (1552-1618) at the age of fortytwo to seek the legendary land of El Dorado. What created the dynamic selfconfidence that induced Drake, Gilbert, and Granville to risk their lives for God and queen? Sir Humprey Gilbert (1539-1583) was last seen returning home from hid ill-satrref effort to colonieze Newfoundland (Smith, 1983:179). Dari sana kita bisa lihat bahwa kegairahan dan keberanian manusia pada zaman Elizabeth telah membawa Inggris ke abad penjelajahan dan penemuan. Pelaut-pelaut besar seperti Hawkin, Drake, dan Raleigh melakukan penjelajahan ke dunia-dunia baru. Mereka melakukan eksplorasi di kawasan Amerika untuk mendirikan koloni-koloni baru. Diantaranya adalah koloni-koloni yang didirikan oleh Sir Walter Raleigh di bagian timur Amerika Serikat. Raleigh menamakan koloni itu “Virginia” sebagai bentuk penghormatan kepada Ratu Elizabeth yang memiliki sebutan “Queen of Virgin” atau “Ratu Perawan”. Selain itu terdapat juga penemuan-penemuan yang tak kalah penting, seperti yaitu John Cabot yang menemukan Newfoundland yang memberikan dasar bagi tuntutan Inggris atas Amerika Utara, dan Martin Frobisher yang mengeksplorasi Kanada timur-laut (Davis, 1984: 56). . Penemuan-penemuan daerah baru ini memberikan pengaruh yang besar bagi kemajuan perdagangan Inggris. Daerah-daerah yang ditemukan ini dijadikan sebagai tempat pemasaran baru, sehingga memperbesar jumlah export Inggris. Dengan diperolehnya daerah-daerah pemasaran baru, maka perdagangan inggris dengan dunia luar menjadi semakin meningkat. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa perdagangan lintas benua yang dilakukan kerajaan Inggris memiliki resiko dan modal awal yang besar, sehingga untuk meringankannya maka dibentuklah kongsi-kongsi
110
dagang yang mendapat izin dari Ratu Elizabeth tidak hanya untuk berdagang di negeri lain juga memiliki wewenang militer dan diplomatik. Izin pemerintah tentang pemberian hak monopoli kepada kongsi dagang merupakan dasar dari kebijakan ekonomi dinasti Tudor. Secara teori dengan memberikan izin kepada kongsi dagang untuk melakukan monopoli perdagangan pembentukan akan mendatangkan pajak besar bagi raja, dan menyelamatkan produsen maupun konsumen dari kompetisi yang kejam. Semua jenis barang kecuali bahan-bahan pokok seperti daging dan roti diberi izin sebagai barang komoditi monopoli perdagangan . Pada dasarnya terdapat dua tipe perusahaan yaitu perusahaan pengatur dan kongsi dagang. Perusahaan pengatur tertua adalah The Merchant Adventurers, pertama dikelola pada awal abad ke 15, disewa tahun 1505 oleh Henry VIII, dan disewa ulang tahun 1564. Seorang gubernur dan 24 asistennya mengontrol perusahaan itu, yang memiliki kantor pusat di London dan cabang-cabangnya di kota-kota provinsi seperti New Castle, Hull, York, dan Exeter. Selama tahun 1600 mungkin dua sampai tiga ribu pedagang bergabung menjadi anggota perusahaan ini. Untuk menjadi anggota, masingmasing harus membayar uang pendaftaran sebanyak 200 poundsterling. Tiap-tiap anggota bebas untuk menjual atau membeli komoditas dagang dengan aturan-aturan yang ditentukan oleh perusahaan (Smith, 1983: 177). Selain perusahaan pengatur ada juga yang disebut kongsi dagang. Kongsi dagang ini merupakan perusahaan yang tiap pedagangnya membeli saham serta menyerahkan pembelian dan penjualan kepada lembaga-lembaga resmi. Perusahaan
111
Muscovy termasuk ke dalam tipe perusahaan seperti ini dan telah disewa tahun 1553 oleh pemerintahan Czars. Tiap pedagang yang berniat menjadi anggota harus membayar uang pendaftaran sebesar 25 poundsterling. Kongsi dagang terbesar dari semuanya adalah East India Company yang didirikan tahun 1599 dan terdiri dari 24 direktur dan 218 pedagang yang membayar biaya pendaftaran 50 poundsterling. Perusahaan ini didirikan dengan sebuah ungkapan “England was the mistress of the ocean, her navies putting girdle roun about world” (http://www.elizabethi.org). Keuntungan yang diperoleh dari monopoli perdagangan ini sangat fantastis. Perusahaan Muscovy mendapat 90 persen keuntungan saham pada tahun 1611. Perusahaan East India Company memperoleh 500 persen pada investasinya tahun 1607. Asset-aset perusahaan meningkat nilainya dari 60.000 pounds, naik hingga 370.000 pounds pada tahun 1660. Bangsawan tinggi Salisbury mendapat keuntungan 7000 pounds pertahun pada tahun 1622 dari monopoloi suteranya, dan bangsawan tinggi Suffolk mendapatkan 500 pounds dari monopoli sabun (http://www.elizabethi.org). Dengan demikian dapat dipastikan bahwa kebijakan Ratu Elizabet I untuk melakukan perdagangan lintas benua dan memberikan izin pada monopoli perdagangan telah memberikan keuntungan yang sangat besar bagi kerajaan. Kondisi perekonomian Inggris perlahan membaik dan akhirnya Inggris bisa terbebas dari krisis moneter yang selama ini melandanya. Sama halnya dengan kondisi perdagangan Inggris, kondisi intelektualiatas dan artistik juga mengalami kemajuan. Renaissance dan reformasi memberikan rangsangan
112
bagi kegiatan-kegiatan kebudayaan. Dalam bidang kesusastraan kita dapat menemukan tokoh drama terbesar dalam bidang dunia sastra, yaitu William Shakespeare. Shakespeare telah menciptakan 38 drama, 154 soneta, dan 4 sajak yang terkenal ke seluruh penjuru dunia. Ia menawarkan sesuatu yang lebih dari sekedar tulisan abad 16 yang terbatas; ia menyuarakan pemikiran yang telah terbukti bertahan untuk semua manusia dan sepanjang zaman (Samekto, 1998: 45). Selain Shakespeare kita juga menjumpai seorang politikus handal yang tulisantulisannya memberikan sumbangsih pada ilmu pengetahuan saat ini, ia adalah Francis Bacon. Karangan bacon yang berjudul Advancement of Learning Dan Novum Organum bukan hanya bentuk kritik terhadap pendidikan abad pertengahan, melainkan juga suatu dorongan bagi terjadinya revolusi intelektual di dunia barat. Buku ini pada dasarnya merupakan pernyataan pengukuhan untuk penerimaan metode
empiris dalam
penelitian. Menurut Bacon, metode Aristoteles yang bertumpu pada logika deduktif tidak layak lagi untuk digunakan. Karena itu diperlukan metode baru dalam penelitian , yaitu metode induktif. Berdasarkan metode ini, Ilmu pengetahuan bukanlah suatu titik akhir dimana kita bisa mengambil keputusan di dalamnya, tapi ilmu pengetahuan adalah sesuatu titik tolak yang akan kita gunakan untuk sampai ke tujuan. Untuk memahami dunia ini, pertama orang mesti melakukan pengamatan dengan cara mengumpulkan fakta-fakta dan
kemudian mengambil kesimpulan dari fakta-fakta
tersebut dengan cara argumentasi induktif yang logis (Smith, 1983: 179) . Memang kesusastraan mengalami zaman keemasan dengan tokoh sastra yang jumlahnya ratusan, begitu pula seni musik dan seni arsitektur. Akan tetapi pada masa
113
itu yang berpengaruh penting di kalangan masyarakat adalah kitab injil dalam bahasa Inggris, karena saat itu Kitab Injil merupakan satu-satunya bahan bacaan bagi sebagian besar masyarakat. Kitab suci dibaca dan dipelajari secara cermat bukan saja karena orang yakin bahwa yang dihadapinya adalah sabda tuhan, melainkan juga karena gagasan-gagasan serta cerita-cerita di dalamnya memiliki hikmah dan menarik, sehingga menambah pengetahuan serta memperluas pandangan mentalnya. Maka tidak mengherankan bahwa Kitab Injil mewarnai fikiran serta bahasa orang Inggris di zaman itu dan di masa-masa sesudahnya. Kesustaraan Inggris tidak akan mengalami perkembangan yang pesat jika tidak dibarengi perkembangan intelektualtas masyarakat Inggris. Suatu karya sastra atau tulisan tidak akan berarti apa-apa jika sebagian besar masyarakatnya tidak bisa membaca. Perkembangan intelektualitas Inggris ini merupaka dampak dari membaiknya kondisi keuangan Inggris. Dengan membaiknya kondisi keuangan Inggris, pemerintah memiliki dana untuk pembangunan pendidikan. Pemerintah memberikan bantuan dengan menyumbangkan sejumlah dana. Antara 1560 sampai 1640, sejumlah 293.000 pounds telah diberikan untuk pendidikan di sekolah tata bahasa, dan di awal abad ke-17 sejumlah 142 sekolah baru telah didirikan. Di tahun 1630 sebagian besar kota dagang di Inggris telah mempunyai sekolah bahasa sendiri dan hampir 50 persen dari gereja-gereja dari daerah-daerah yang kaya telah memiliki sekolah, baik itu sekolah bahasa,maupun sekolah-sekolah kejuruan. Universitas Oxford dan Cambridge juga turut merespon permintaan terhadap lulusan-lulusan baru. Dengan meluluskan sekitar 800 murid di tahun 1560 dan 1200 murid di tahun 1630 (http://www.elizabethi.org).
114
Tujuan dari faham pendidikan utama Tudor adalah untuk membentuk siswa menjadi seorang yang beragama baik, tidak berperilaku dan berpandangan menyimpang, serta membuat dia berkelakuan baik. Indoktrinasi sosial dan keagamaan, merupakan tujuan dari setiap guru di sekolah-sekolah pada saat itu. Guru-guru memberikan pandangan kepada siswa bahwa apa yang mereka pelajari di sekolah adalah semata-mata ditujukan untuk kepentingan tuhan dan kerajaan. Bantuan yang diberikan pemerintah ini menyebabkan terjadinya peningkatan hebat dalam pendidikan. Pada tahun 1640 hampir 100 persen golongan bangsawan, 50 persen pegawai rendahan, 10 persen pedagang dan 0 persen buruh tani menguasai huruf dan dapat membaca. Dalam hal ini Smith mengatakan : “ The educated Englismen was no longer a cleric; he was a J.P., an M.P., a merchant, or a landed country gentleman who possessed, for the firs time, the portentous ability to express his religious opinions and economic and political grievances in a fashion that helped to convert political factions held together by patronage into political parties held together by ideas. He could now speak in generalized constitutional, religious, and philosophical term. Lower down the social hierarchy the expansion of education was equally portentous of chance.” (Smith, 1983 : 182) Dengan demikian dapat kita lihat bahwa kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Elizabeth untuk memperbaiki kehidupan sosial masyarakat bisa dikatakan berhasil. Krisis moneter yang melanda Inggris berhasil diatasi dengan melakukan perdagangan monopoli lintas benua yang memberikan keuntungan sangat besar bagi kerajaan. Berkat kondisi keuangan yang membaik, pemerintah tidak hanya berhasil membereskan masalah kemiskinan dan pengangguran tapi juga pemerintah bisa membangun bidangbidang lain seperti pendidikan. Kemajuan dalam bidang pendidikan ini memberikan dampak besar bagi kemajuan sastra dan kebudayaan Inggris. Sehingga tidak salah jika
115
masa pemerintahan Elizabeth selama 45 tahun ini , disebut sebagai masa keemasan kerajaan Inggris.
b.
Kehidupan Agama Tidak berbeda jauh dengan apa yang terjadi pada kehidupan sosial, kehidupan
beragama masyarakat Inggris juga mengalami perbaikan berkat kebijakan-kebijakan Ratu Elizabeth. Pemecahan masalah keagamaan yang diprakarsai oleh Elizabeth I terbukti merupakan kebijaksanaan yang tepat, karena akhirnya pertentangan keagamaan menjadi reda dan Gereja Anglikan yang dihasilkan ternyata bisa bertahan sampai sekarang, walaupun telah jauh lebih toleran, dan merupakan salah satu dari sejumlah lembaga hasil kompromi khas Inggris yang telah memberikan sahamnya bagi pembentukan jiwa Inggris modern. Elizabeth beusaha mewujudkan persatuan antara Katolik dan Protestan dalam sebuah Gereja Nasional, Gereja Anglikan. Elizabeth tidak ingin mengambil tindakan yang terlalu keras terhadap umat Katolik Inggris. Ia hanya memungut pajak yang lebih besar dari mereka. Pada tahun 1559, ditetapkan denda sebesar 12 pence bagi mereka yang tidak pergi ke gereja, dan denda 100 pence bagi mereka yang melakukan misa. Sedangkan bagi pendeta Katolik yang menolak melakukan sumpah supremasi, maka ia akan kehilangan jabatanya (http://www.elizabethi.org). Elizabeth membebaskan rakyatnya untuk beragama sesuai keinginan mereka, asalkan mereka tetap setia kepadanya dan tidak berusaha menentang apa yang telah ditetapkannya. Elizabeth hanya melakukan tindakan keras kepada kaum Katolik militan
116
yang berupaya melakukan pemberontakan. Peraturan keagamaan Elizabeth juga mencoba mengakomodasikan unsur-unsur Katolik sehingga mereka bisa datang ke Gereja Anglikan tanpa perasaan bersalah karena telah menghianati iman. Toleransi yang Elizabeth berikan telah membuat umat Katolik mencaintainya sebagi ratu. Ketika tahun 1570 Paus Pius V mengucilkan dan memerintahkannya turun tahta; dan di tahun 1580 Paus Gregory XIII mengeluarkan pengumuman bahwa tidaklah berdosa membunuh Elizabeth, umat Katolik merasakan kebimbangan yang luar biasa. Di satu sisi mereka mencintai Elizabeth sebagai ratu dan di sisi lain mereka tidak bisa menolak perintah Paus yang mereka percayai sebagai wakil Allah di muka bumi. Banyak diantara kaum Katolik Inggris yang mungkin tidak pernah berhenti dilema, mengabaikan, atau tetap setia kepada keduanya, memisahkan kesetiaan rohani dan sekuler mereka. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam bidang keagamaan telah tercapai pemecahan tanpa menimbulkan perang saudara atau pemberontakan yang berarti. Gereja Anglikan yang merupakan Gereja Nasional di bawah pimpinan kerajaan sudah tampak bentuknya. Gereja ini terpisah untuk selamanya dari Gereja Katolik Roma, dilengkapi dengan liturgi yang seragam seperti yang tercantum dalam Book of Common Prayer, dan dengan keyakinan keagamaan yang bersifat Protestan, namun cukup longgar sehingga dapat mencakup bagian terbesar bangsa Inggris yang masih mememluk berbagai kepercayaan. Jadi yang sudah tercapai adalah kesatua lembaga, bukan kesatuan keyakinan. Keyakinan-keyakinan tersebut suatu saat mengalami kristalisasi, seperti yang sudah mulai tampak bahkan semasa pemerintahan Elizabeth,
117
sehingga pertentangan-pertentangan dapat dielakan dan konflik-konflik itu dapat dinetralisir.