82
BAB IV ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN SAYYID QUTHUB TENTANG KONSEP ALTERNATIF DI DALAM POLIGAMI
A. Analisis Terhadap Pandangan Sayyid Quthub Tentang Poligami dan Rukhsahnya Sayyid Quthub memandang Islam adalah way of life (jalan hidup) yang komprehansif. Islam adalah ruh kehidupan, yang mengatur sekaligus memberikan solusi atas problem sosial kemasyarakatan. Al-Qur`an dalam tataran umat Islam, dianggap sebagai acuan pertama dalam pengambilan hukum, maupun mengatur pola hidup masyarakat. Karena telah dianggap sebagai prinsip utama dalam agama Islam, maka sudah menjadi sebuah keharusan, jika al-Qur`an dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada. Berdasar atas asumsi itulah, Sayyid Quthub mencoba melakukan pendekatan baru dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an, agar dapat menjawab segala macam bentuk permasalahan. Adapun pemikiran beliau yang sangat mendasar adalah keharusan kembali kepada Allah dan kepada tatanan kehidupan yang telah digambarkan-Nya dalam al-Quran, jika manusia menginginkan sebuah kebahagiaan, kesejahteraan, keharmonisan dan keadilan dalam mengarungi kehidupan dunia ini.1 Tidak dapat dipungkiri bahwa al-Qur`an telah diturunkan sejak berabad abad lamanya ,di zaman Rasulullah dan menggambarkan tentang kejadian
1
Muhamad Misbah, Metode Penafsiran Sayyid Qutub, (Mesir:www.mediamuslim. net), 6 Juli, 2011, 10.0WIB, hal.6
83
masa itu dan sebelumnya. Sebagaimana yang terkandung dalam Qashash alQur`an. Namun ajaran - ajaran yang terkandung didalam al-Qur`an adalah ajaran yang relevan yang dapat diterapkan di segala tempat dan zaman. Maka tidak salah jika kejadian - kejadian masa turunnya al-Qur`an dianggap sebagai cetak biru perjalanan sejarah umat manusia pada fase berikutnya. Dan tidak heran jika penafsiran - penafsiran yang telah diusahakan oleh ulama klasik perlu disesuaikan kembali dalam masa sekarang.2 Berangkat dari itu, Sayyid Quthub mencoba membuat terobosan terbaru dalam menafsirkan al-Qur`an yang berangkat dari realita masyarakat dan kemudian meluruskan apa yang dianggap tidak benar, yang terjadi dalam realita tersebut. Termasuk dalam menafsirkan tentang ayat poligami. Dimana tidak sedikit orang keliru memahami praktik poligami Nabi saw, termasuk kaum muslimin itu sendiri. Ada anggapan bahwa melakukan poligami dengan tujuan sebagaimana yang dilakukan oleh banyak orang, yakni untuk memenuhi tuntutan biologis atau hanya demi memuaskan hasrat seksualnya semata. Maka kenyataan ini pulalah yang berkembang di tengah masyarakat. Poligami banyak dipraktikan demi kebutuhan biologis semata dengan menjadikan praktek poligami Nabi saw, sebagai dalil pembenaran bagi kebolehan poligami di kalangan masyarakat Muslim. Dan Praktik poligami yang tidak bertanggung jawabpun
kemudian
tumbuh
subur,
kesengsaraan bagi kaum perempuan.
2
Ibid, hal.7
sehingga
banyak
menimbulkan
84
Di sisi lain Tidak sedikit pula kelompok yang mengecam dan menutup rapat praktik poligami sebagai wujud penolakannya, mereka seringkali mendampingkan beberapa ayat - ayat al-Qur’an sebagai dalil pembantah ayatayat tentang poligami guna menguatkan ego dan pembenaran atas pikirannya.3 Dalam hal ini tentu ironis ketika hukum-hukum yang ditetapkan Allah dengan segala keteraturannya justru dijadikan alat guna memenuhi tujuan dan kepentingan sesaat, dengan mengatas namakan ijtihad sebagai pelindungnya. Pandangan yang demikian tentu perlu diluruskan. karena merupakan sebuah pemahaman yang dangkal di tengah semakin modernnya pemikiran manusia. Berkenaan dengan ini sayyid Quthub menyatakan: Poligami yang disertai kehati-hatian perlu dibahas lebih jelas dan pasti tentang kondisi riil yang melingkupinya serta dijelaskan tentang manfaat dan maslahatnya pada zaman dimana manusia berlagak sok pandai terhadap Tuhan yang telah menciptakan mereka. Dan mereka mengklaim dirinya tahu tentang kehidupan manusia beserta fitrah dan kemaslahatannya melebihi pengetahuan sang Khaliq yang Maha suci. Dalam hal ini mereka mengemukakan pendapatnya seakan kondisi-kondisi dan hal-hal vital yang dibutuhkan manusia itu baru dan hanya terjadi saat ini. Sedang mereka mengetahui dan mengerti persoalannya tanpa ada perhitungan dan peraturan dari Allah swt pada waktu Allah mensyari’atkan atauran-aturan ini. Ini adalah anggapan yang penuh dengan kebodohan, dan kebutaan dan kesombongan serta ketidaksopanan, kekufuran, dan kesesatan, akan tetapi pandangan ini dilontarkan juga dan tidak ada orang yang menyanggah orang-orang jahil buta keluhurannya sombong, congkak, kufur, dan sesat ini Mereka menyombongi Allah, syari’atnya, keluhurannya, dan Manhajnya dengan merasa aman, tenang, dan berhasil juga dengan mendapatkan upah dari pihak-pihak yang berkepentingan untuk melakukan tipu daya terhadap agama Islam.4
3
Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama Dan Jender, 1999), hal. 27 4 Sayyid Qutub, Tafsir Fi Zhilail Qur’an, Jilid,4, penj. As’ad Yasin, (Jakarta: Gema Insani), 1992, hal.
85
Adalah jelas sayyid Quthub memandang orang-orang yang menyebutkan poligami sebagai sebuah keharaman atau sebaliknya memandang poligami sebagai media yang memberikan kebebasan dalam menyalurkan pelampiasan hawa nafsu seseorang adalah pandangan orang-orang yang tidak mengerti akan kesucian syari’at Islam. Orang-orang yang demikian dipandang kufur karena telah dengan tegas mengingkari serta mendustakan ayat - ayat Allah. Al-Qur’an ayat 3 Surat An-Nisa’ sebagai suatu ayat yang selalu dijadikan pembenaran bagi kebolehan berpoligami dikalangan sebagian umat manusia pada prinsipnya mengandung pengertian tentang perlindungan terhadap anak yatim. Secara tekstual ayat tersebut berbunyi:
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hakhak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.5 Sayyid Quthub berpendapat bahwa didalam Surat An-Nisa ayat 3 diatas menyebutkan perlunya berbuat adil terhadap anak yatim, serta kebolehan untuk
5
Departemen Agama, Al-Qur’an Terjemah, (Bandung: Al-Hikmah, 2010), hal. 77
86
menikahi wanita lain dua, tiga sampai empat. Pendapat Sayyid Quthub ini disandarkan pada sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Aisyah.
حَدََثَنَاَعَبَدََالَعََزيَزََبَنََعَبَدََﷲَحَدََثَنَاَابَرهَيَمََبَنََسَعَدََ٬عَنََ الزبَيَرَََ، صَىالﺢَبَنََكَيَسَانَ٬٬عَنََبَنََشَهَابََقَالََ:اَخَبََرنََعََرَوةََبَنََ َ أنَّهََسَأَلََعَائَشَةََعَنََقَ َولََﷲَتَعَلَىَ ﴿َ:وإنََحَفَتَمََأََلََتَقَسَطَوَفََ الَيَتَامَى﴾َفَقَالَتَََ:يَبَنََاَخَتََهَذَهََالَيَتَيمَةََتَكَ َونََفََحَجَرََ َوليَهَاَ تَشَركَهََفََمَالَهََ َويَعَجَبَهََمَالَ َاوجَالَاَفيََريَدََ َولَيَهَاَأَنََيَتََزََّوجَهَاَبَغَيََأَنََ يَقَسَطََفََصَدَاقَهَاَفَيَعَطَيَهَاَمَثَلََمَاَيَعَطَيَهَاَغَيََرهََفَنَهََواَعَنََأَنََ صدَاقََ هنَفََ ََّ يَنَكَحَوَهَ ََّنَإَلََاَنََيَقَسَطَواَلَ ََّنَ َويَبَلَغَواَلَ ََّنَأَعَلَىَسَنَتَ ََّ فَأَمََروَأَنََيَنَكَحَواَمَاطَابََلَمََمَنََالنَسَا ِ٬ءَسََواهَ ََّنَقَالََعََرَوةََ؛ََقَالَتََ ؛َوإَ ََّنَاَلَنَّاسََاَسَتَفَتَوَََرسَولَﷲَصَمَبَعَدَهَذَهََاآليَةََفَاَنََزلََ عَائىَشَةََ َ
87
َََ َوقَ َولَهَََﷲ:َََقَالَتََعَائَشَة٧٢١َ﴾َ﴿ويَسَتَفَتَ َونكَفََالنَسَاء َ َ:ﷲ َََرغَبَةََأَحَد٧٢١َ﴾﴿وتََزغَبَونََأَنََتَنَكَحََوهَ ََّن َ َ:َتَعَلَىَفََآيَةََاَخََرى َََفَنهََواَأَن:ََكَمََعَنََيَتيَمَةََحَيََتَكَونََقَلَيَلَتََاَلَالََواَلَمَالََقَالَت ََََإَََّلبَالَقَسَط،ََوَاَعمنَََرغَبَوَفََمَالَهََوجَلهََفََيَتَامَىَالنَسَاء ََّ َيَنَكَح ََمَنََاَجَلَََرغَبَتَهَمََعَنَهَ ََّنَاَذَاَكَ ََّنَقليﻼتََمَلََ َولَمَالََاحلدث َ٢٤٤٢ََطرفهَف٤٧١٤ Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibn Abdillah ia berkata: telah menghabarkan kepada kami Ibrahim bin Sa’din, dari Shalikh bin Kais, dari Ibnu Syihab, berkata: telah menghabarkan kepadaku bahwa Urwah Ibnu Zubair pernah bertanya kepada Aisyah r.a. tentang Firman Allah yang artinya “jika kamu tidak dapat berlaku adil terhadap hak - hak wanita (yatim bila kamu menikahinya)...” maka Aisyah berkata: “Wahai anak saudara perempuanku, anak yatim ini berada dalam pemeliharaan walinya. Ia campurkan hartanya dengan harta walinya, lalu si wali itu tertarik kepada harta dan kecantikannya, kemudian si wali itu hendak menikahinya dengan memberikan maskawin tidak sesuai dengan kebanyakan orang - orang lain. Karena itu mereka dilarang menikahi yatim - yatim itu kecuali dengan berlaku adil kepadanya, dengan memberikan maskawin sebagaimana yang berlaku. Serta diperintahkanlah dengan menikahi wanita lain”. Urwah mengatakan bahwa Aisyah berkata: “Orang-orang meminta fatwa kepada rosulullah saw
88
sesudah turunya ayat ini, lalu allah menurunkan ayat 127 Surat An-Nisa’ “ Mereka meminta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al-Qur’an (juga menfatwakan) tentang wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ungin menikahi mereka ...Aisyah berkata: “ Firman Allah dalam ayat yang terakhir ini “sedang kamu ingin menikahi mereka ialah salah seorang dari kamu terhadap wanita yatim yang hartanya sedikit ialah dan tidak seberapa cantik. Maka mereka dilarang menikahi wanita-wanita yang mereka inginkan harta dan kecantikannya, kecuali dengan adil. Karena biasanya mereka benci kepada wanita-wanita yatim yang tidak memiliki harta yang banyak dan tidak cantik.”.6 Menurut pandangan Sayyid Quthub Hadist Aisyah ini menggambarkan salah satu sisi kehidupan dan tradisi yang dominan di kalangan masyarakat jahiliyah. kemudian masih berlaku di kalangan masyarakat muslim sehingga datanglah al-Qur’an menghapusnya dengan pengarahan - pengarahannya yang tinggi dan diserahkannya urusan ini kepada hati nurani, dengan mengatakan “Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak - hak wanita yatim ( bila kamu menikahinya)..” maka ini adalah keprihatinan, ketakwaan dan takut kepada Allah yang menggetarkan hati si wali apabila ia tidak dapat berlaku adil terhadap wanita yang ada dalam pemeliharaannya. Selain itu Sayyid Quthub juga menjelaskan bahwa Ayat ini bersifat mutlak tidak membatasi tempat - tempat keadilan, maka yang dituntut olehnya adalah keadilan dalam semua bentuknya dan dengan segala pengertiannya. Dalam hal ini baik yang khusus berkenaan dengan masalah maskawin maupun yang berhubungan dengan urusan lain. Seperti jika menikahinya karena
6
Bukhari Muslim, Matan Shahih Bukhari, jilid III, Bab Surat An-Nisa’ayat 4,Nomor 4574 (Beirut: 1995) hal. 119
89
menginginkan hartanya bukan karena cinta kepadanya dan bukan karena hendak mempergaulinya. Atau pernikahan karena perbedaan usia yang jauh diantara mereka, yang sekiranya jauh dijalankan kehidupan berumah tangga secara konsisten, dengan tidak memelihara keinginan di dalam melaksanakan pernikahan ini yakni suatu keinginan yang kadang - kadang tidak dikemukakan secara terus terang, karena malu atau khawatir hartanya lenyap bila si-wanita itu tidak mengikuti kehendaknya dan persoalan lain yang dikhawatirkan dapat menghalangi terwujudnya keadilan.7 Al-Qur’an menjadikan hati nurani sebagai penjaga dan takwa sebagai pengawas. Artinya dengan ketakwaan seseorang dapat menghindarkan diri dari perbuatan tidak adil karena Allah melihatnya, sebagaimana dinyatakan dengan jelas dalam firman Allah
Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanyaAllah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[264], dan (peliharalah)
7
Sayyid Qutub, Ibid, hal. 114
90
hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.8 .Maka kemudian Allah menawarkan kebijaksanaan ketika para wali tidak dapat berlaku adil terhadap wanita-wanita yatim yang berada dalam pemeliharaannya, (kalau mereka menikahinya). Maka disana terdapat pilihan untuk menikahi wanita - wanita lain. Dan dengan jalan ini sesungguhnya mereka dapat terbebas dari kesamaran dan anggapan - anggapan negatif dari orang lain. Jika dicermati apa yang diuraikan Sayyid Quhtub di atas secara impilisit dapat dikatakan bahwa pada prinsipnya ayat tersebut berisi penegasan agar berlaku adil terhadap anak-anak yatim. Dan tidak berbuat aniaya terhadap pribadi anak yatim itu sendiri.
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap perempuan yatim (dan kamu percaya diri mampu berlaku adil dengan wanitawanita lain selain yatim) maka nikahilah (apa yang kamu senangi sesuai dengan selera kamu dan halal) dari wanita-wanita yang lain itu kalau perlu kamu menggabungkan dalam saat yang sama) dua, tiga atau empat lalu jika kamu tidak dapat berbuat adil maka nikahilah seorang saja yakni yang demikian( menikahi seorang wanita selain yatim yang mengakibatkan ketidakadilan) dan mencukupkan satu orang istri adalah lebih dekat dari tidak berbuat 8
Departemen Agama, Al-Qur’an Terjemah, Op.Cit, hal.77
91
aniaya (yakni yang demikian adalah lebih mengantarkan manusia kepada keadilan serta lebih meringankan pula atas tanggung jawab yang harus ditanggung).9 Ayat di atas menggunakan تفسطوdan تعدلوyang keduanya diterjemahkan adil sebagian kecil ulama menyamakannya dan sebagian kecil membedakannya dengan mengatakan “tuqsithu” adalah berlaku adil antara dua orang atau lebih dan keadilan yang menjadikan keduanya senang sedang adil adalah berlaku baik terhadap orang lain maupun diri sendiri.10 Dapatlah dimengerti bahwa dalam menerangkan ayat tersebut pertama Sayyid Quthub menerangkan tentang hal berbuat adil kepada anak-anak yatim dan kaum perempuan, kemudian pembicaraan berikutnya secara tidak langsung Sayyid Quthub dalam pembahasannya juga menyinggung pada persoalan poligami. Tentu
saja
disinggungnya
persoalan
poligami
dalam
konteks
pembicaraan anak yatim bukan tanpa alasan. Hal itu memberikan pengertian bahwa persoalan poligami identik dengan persoalan anak yatim. Hal ini tidak lain karena dalam dua persoalan tersebut terkandung persoalan yang sangat mendasar yaitu “persoalan ketidak adilan terhadap anak yatim”. karena mereka tidak terlindungi sementara dalam poligami yang menjadi korban ketidakadilan adalah perempuan. Maka tidak heran ketika Al-Qur’an juga menempatkan
9
M. Quraishihab, Tafsir AlMisbah, Juz 2,Jakarta: Lentera Hati, 2002, hal. 338 Ibid.
10
92
kaum anak-anak dan perempuan sebagai kelompok yang dilemahkan karena hak-hak mereka tidak dilindungi.11 Sekedar sebagai penguat atas pandangan Sayyid Quthub tersebut diatas menarik untuk melirik pandangan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang juga merupakan guru sekaligus orang yang sangat mempengaruhi corak penafsiran Sayyid Quthub Rasyid Ridha sebagaimana diungkapkan oleh Musdah Mulia menafsirkan ada dua kalimat kunci dalam menafsirkan ayat poligami ini yaitu,
ََّفإن َحفتم َال
َ ت قسطMaksud dari dua kalimat itu adalah hendaknya kalian berlaku adil dan bersikap hati-hati terhadap perempuan sebagiamana terhadap anak yatim. Sebab perlakuan tidak adil terhadap kedua kelompok tersebut akan merusak tatanan sosial yang dapat membawa kemurkaan tuhan.12 Dalam teks lain Musdah Mulia menjelaskan bahwa Muhammad Abduh menegaskan ayat tentang kebolehan beristeri lebih dari satu diungkapkan dalam konteks pemeliharaan anak yatim dan larangan memakan hartanya walaupun melalui hubungan perkawinan. Oleh karena itu jika kamu merasa khawatir tidak akan dapat menghindari dari memakan harta istri yang yatim tersebut, maka kamu harus membatalkan niat melakukan perkawinan dengannya, karena Allah telah memberikan jalan keluar bagimu, dengan 11
Syaikh Ali Ahmad Jurjawi, Hikmatut Tasyri Wa Falsafatuhu, (Hikmah di Balik Hukum Islam), Penj. Erta Mahyudin, dan Mahfud Lukman, (Jakarta: Mustaqim, 2003), hal. 23 12 Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, Loc.Cit, hal. 28
93
dibolehkannya kamu mengawini wanita-wanita lain sampai batas empat orang.13 Muhammad Abduh menjelaskan ayat tentang kebolehan berisitri lebih dari satu diungkapkan dalam konteks pemeliharaan anak yatim dan larangan memakan hartanya walaupun melalui hubungan perkawinan. Oleh karena itu, jika kamu merasa khawatir tidak akan dapat menghindari dari memakan harta istri yang yatim tersebut, maka kamu harus membatalkan niat melakukan perkawinan dengannnya, karena Allah telah memberikan jalan keluar bagimu, dengan dibolehkannya kamu mengawini wanita-wanita lain sampai empat orang. Muhamad Abduh juga menambahkan jika ayat diatas diamati dapat ditarik kesimpulan bahwa poligami merupakan persoalan yang sangat pelik dan berat. Tampaknya poligami hanya dibolehkan bagi orang yang sangat membutuhkan dengan syarat meyakini kemampuan dirinya berlaku adil serta aman dari perbuatan dosa. Namun demikian poligami menurut Muhamad Abduh juga mempunyai dampak yang juga membahayakan karena dapat dipastikan akan sulit bagi seseorang untuk membina ketenangan suatu keluarga yang di dalamnya terdiri dari istri-istri karena kebanyakan dari rumah tangga yang mempunyai istri banyak tanpa disadari suami dan para istri sendiri yang memberi andil dalam kehancuran rumah tangga tersebut. Karena ketidak adilan yang dilakukan suami dapat menimbulkan kecemburuan terhadap istri-istri dan anak-anak kemudian persoalan individu tersebut akan meluas kedalam 13
Ibid, hal. 29
94
lingkungan keluarga, dari keluarga merebak kemasyarakat dan pada gilirannya akan mempengaruhi ketentraman negara.14 Apa yang dikatakan Muhammad Abduh ada benarnya karena di dalam ayat 3 dari surat An-Nisa’ paling tidak terdapat dua ide mendasar: pertama, kebolehan berpoligami itu merupakan solusi dari problema sosial yang hidup di tengah masyarakat. Dimana problema tersebut telah berakar di kalangan mereka demikian adat - istiadat yang telah membudaya secara turun temurun tidak dihapuskan secara total. melainkan diperbaharui dan di ataur sedemikian rupa sehingga sejalan dengan harkat dan martabat manusia, dengan pola renovasi serupa itu, maka praktik - praktik yang tidak manusiawi terhadap kaum wanita dapat dihentikan atau ditekan dengan tingkat serendah-rendahnya. Sehingga mereka dapat merasakan suasana dan iklim rumah tangga yang relatif lebih bersahabat, bila dibandingkan suami harus bersenang-senang dengan wanita-wanita tuna susila. Kedua anjuran poligami bukan merupakan perintah mutlak melainkan kondisional atau dalam bahasa
Muhamad Abduh
disebutkan:
قمسالةَتعدَالزوجات Artinya:“Permaslahan bersistri lebih dari satu tidak merupakan hukum primer”.15
14
Syaikh Ahmad Al-Jurjawi, Terjemahan Hikmatut Tasyri’ Wa Falsafatuhu jilid II, penj Erta Mahyudin, dkk,(Jakarta: Mustaqim, 2003. Hal. 55 15 Nasarudin baidan, Tafsir bi Ra’yi, Yogyakarta: 1999, hal. 105
95
Berangkat dari pemikiran seperti yang digambarkan diatas maka dapat dipahami bahwa sejatinya pada asasnya perkawinan di dalam Islam merupakan perkawinan monogami, meski juga bukan tidak mungkin untuk membuka pintu poligami untuk juga dijalankan pada kondisi tertentu karena pada dasarnya poligami hanya pintu darurat yang dilakukan dengan syarat yang amat berat. Hal ini sejalan dengan apa yang dituliskan M. Quraishihab dalam tafsirn AlMisbah “Ayat ini (al-Nisa’:3) tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya. Ia hanya berbicara tentang bolehnya poligami dan itupun merupakan pintu darurat kecil yang amat diperlukan dan dengan syarat yang tidak ringan.16 Demikian halnya dengan Sayyid Quthub yang memandang
ayat ini
sebagai ayat untuk bersikap adil terhadap anak-anak yatim dan kebolehan dalam menikahi wanita lain ketika dibutuhkan atau dikhawatirkan tidak mampu berlaku adil terhadap anak-anak yatim tersebut. Maka dengan memperhatikan pemikiran serta pandangan Sayyid Quthub tentang poligami nampak jelas sekali terbukti apa yang telah dikatakan sayyid Quthub betapa hanya orang bodoh serta tidak mau mengerti akan syari’at Islam orang-orang yang mencela dan memojokan keberadaan sistem poligami di dalam ajaran Islam. Sayyid Quthub melalui penafsirannya tersebut secara terperinci menjawab segala kegelisahan umat dalam memandang problem poligami. Dan dengan penjelasan tentang penafsiran Sayyid Quthub di atas dapat diketahui
16
M.Quraisyihab, Tafsir al-Misbah,juz 2, Loc.cit.
96
bahwa dalam term pemikiran Sayyid Quthub poligami di pandang sebagai kebolehan. Namun demikian kebolehan di dalam poligami merupakan kebolehan yang di dasarkan adanya syarat yang adil. Sebagai sebuah hukum mubah yang di dasarkan pada dalil-dalil hukum yang kuat. maka poligami bukan merupakan anjuran atau perintah yang mengikat. Poligami dalam pandangan Sayyid Quthub hendaknya dijalankan dengan tujuan untuk kemaslahatan bukan untuk kesenangan semata tanpa adanya kesadaran diri akan rasa khawatir untuk berbuat adil. Kiranya pemikiran sayyid Quthub ini dapat diterima dengan mata hati yang terbuka maka kita akan sadar bahwa pada dasarnya di dalam syari’at tentang poligami terkandung nilai-nilai ajaran yang luhur di dalam membangun etika berelasi di dalam berumah tangga. Seperti halnya kewajiban berbuat adil terhadap anak yatim, sikap jujur terhadap istri dan rasa kasih sayang terhadap sesama namun demikian pandangan Sayyid Quthub tentang poligami juga diharapkan mampu memberikan gambaran kepada umat muslim bahwa permanensi kebolehan poligami ini bukanlah sebuah kebolehan yang dapat dilakukan
dengan
bebas
tetapi
dalam
pelaksanaannya
juga
harus
memperhatikan syarat-syarat yang ditetapkan oleh agama. B. Analisis Terhadap Argumentasi Sayyid Quthub Tentang Alternatif di dalam Poligami. Fenomena poligami adalah fenomena umum yang diterima oleh banyak suku, bangsa, tanpa adanya batas dan persyaratan kemudian Al-Qur’an datang
97
untuk membatasinya sampai empat dan menetapkan persyaratan adil sebagaimana di jelaskan dalam ayat 3 surat an-Nisa’, dan menjadikannya sebagai penyelesaian problem yang dialami masyarakat yang tidak berkaitan dengan halal haram dan seolah menyerahkan kepada masyarakat kapan harus melaksanakannya dan kapan harus meninggalkannya.17 Adanya hak opsi atau pilihan untuk meninggalkan atau melaksanakan dalam suatu keadaan tertentu ini di dalam Islam merupakan sebuah keringanan yang sejalan dengan prinsip dan tujuan hukum Islam dalam rangka pemeliharaan dan pemenuhan terhadap segala kebutuhan yang bersifat hajiyat. Pemenuhan dan peneliharaan kebutuhan yang bersifat hajiyyat dalam term fiqih dimaksudkan agar perwujudan dan perlindungan hal-hal yang diperlukan dalam kelestarian hak dasar manusia yang menyangkut perlindungan (agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta) dapat terpenuhi dibawah batas kepentingan dharuriyat. Yang mana tidak terpenuhinya kebutuhan hajiyat maka akan membawa kesempitan baik di dalam usaha perwujudan maupun pelaksanaan pemenuhan akan kebutuhan dasar tesebut. 18 Alternatif di dalam poligami menjadi sebuah keharusan untuk dilaksanakan manakala kebutuhan mendesak serta adanya keyakinan untuk berbuat adil terhadap istri-istri, namun demikian ia juga bisa ditinggalkan ketika timbul rasa kekhawatiran akan berbuat aniaya terhadap anak yatim. Sayyid Quthub berpendapat bahwa Islam memberikan alternatif di dalam poligami tidak lain karena Islam senantiasa memberikan keleluasaan untuk 17 18
M.Qurais Shihab,Ibid, hal. 342 Zainudin Ali, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 12
98
menciptakan suasana yang kondusif bagi pemeliharaan ahlak dan kebersihan masyarakat serta guna memudahkan manusia dalam menyelesaikan problem di dalam rumah tangganya.19 Pembahasan masalah alternatif di dalam poligami secara spesifik telah disinggung di dalam Al-Qur’an sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hakhak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.20 Sayyid Quthub Berpendapat bahwa maksud ayat ini mengandung pengertian diberikannya alternatif untuk berpoligami disertai dengan sikap kehati - hatian rasa kehawatiran untuk tidak dapat berlaku adil. Selain itu ayat ini juga mengandung maksud mencukupkan untuk monogami atau menikah dengan seorang wanita saja atau seorang budak belian saja. Kemudian menurut Sayyid Quthub dalam memahami kebolehan berpoligami yang disertai dengan sikap kehati - hatian ini (sebagaimana 19 20
Sayyid Qutub, Tafsir Fi Zhilail Qur’an, Jilid,4, penj. As’ad Yasin,116 Departemen Agama, Al-Qur’an Terjemah, Loc.Cit, hal. 77
99
ditetapkan oleh agama Islam) perlu dimengerti kondisi riil yang melingkupi ketika disyari’atkannya ayat tersebut. Dalam Sunah Abu Dawud diriwayatkan:
َعنَق يسَبنَاحلارثَقالَاسلمتَوعنديََثانَنسوة ََاخت رَمن ه َّنَارَبعا:َفأن يتَالنَِّبَصَمَفذكرتَذلكَلهَاف قال Artinya: “Dari Qais bin Harist ia berkata :”Aku masuk Islam sedang aku memiliki delapan istri, lalu aku menghadap Nabi saw, kemudian kuterangkan kepadanya hal itu lalu ia bersabda: “pilihlah empat diantara mereka”.21 Syaikh Faishal bin Abdul Azizi Al-Mubarak, menjelaskan maksud perkataan “pilihlah empat diantara mereka” jumhur ulama menjadikan dalil sebagai larangan berpoligami lebih dari empat orang.22 Penjelasan yang terperinci berkenaan dengan maksud hadist di atas diuraiakan oleh Syaikh Imam Al-Qurtubi dalam tafsir al-Qurtubi di mana dijelaskan bahwa Qais Al-Harist memiliki delapan istri dari perempuanperempuan meredeka dan tatkala turun ayat ini Rasulallah memerintahkannya untuk mencerai empat istrinya demikian juga sebagaimana yang ia katakan tentang Qaist bin Al-Harist yang berkaitan dengan Harist bin Qaist Asadi sebagaimana yang disebutkan oleh Abu Dawud dan Muhammad bin Al-Hasan, bahwa ia adalah Harist bin Qais. Kisah ini sangat dikenal dikalangan fuqaha.
21
Syaikh Faishal bin Abdul Azizi Al-Mubarak, Terjemahan Nailul Authar, penj. Muamal Hamidy,dkk.( Surabaya: PT Bina Ilmu, tt.), nomor hadist 1374, hal. 2201 22 Ibid, hal. 2202
100
Sedangkan pembolehan kepada Nabi menikahi lebih dari empat merupakan kekhususan untuk Nabi Saw.23 Sementara diriwayat lain disebutkan Imam Syafi’i meriwayatkan dalam musnadnya bahwa ia telah diberi tahu oleh orang yang mendengar Ibnu Abi Ziyad berkata’ “Aku diberitahu oleh Abdul Majid dari Ibnu Sahl bin Abdurahman, dari Auf bin Al-harist, dari Naufal bin Muawiyah ad-Dailani dia berkata
َاسلمتَ وس ََّل َم اَخَت رَأربعاَأيَّت ه َّنَشىَِٔتَوفارقَاَلَخر َوعنديََخسَنسوةَف قالرسولَﷲَعليه
Artinya: Aku masuk Islam sedang aku mempunyai lima orang istri, lalu Rasulullah saw bersabda kepadaku “pilihlah empat orang diantara mereka yang kamu sukai, dan ceraiakan yang lain. 24 Imam Syafi’i menceritakan dalam tafsirnya bahwa maksud Firman Allah Surat an-Nisa’ ayat 3 untuk menjawab peristiwa Ghilan dimana bahwasanya Ghilan bin Salamah telah memeluk Islam sedang dia mempunyai sembilan Orang Istri yang dikawininya pada zaman Jahiliyah dan semuanya memeluk agama Islam bersama - sama dengan dia, dan kemudain Nabi memerintahkan
23
Syaikh Imam Al-Qurtubi,Tafsir Al-Qurtubi, pen. Ahmad Rajali, )Jakarta: Pustaka Mizan, 2008(, hal.45 24 Imam Syafi’i, Tafsir Imam Syafi’i, ( Jakarta: PT Niaga Swadaya, 2008), hal. 9
101
kepadanya supaya dipilihnya empat orang saja diantara mereka dan menceraikan yang lain.25 Dalam memahami hadist ini Imam Syafi’i memandang bahwa sesungguhnya Sunah Rosulullah menunjukan bahwa Allah telah membatasi pernikahan hanya dengan empat orang isteri dan mengharamkan tindakan suami yang memadu istri lebih dari empat orang isteri.26 Dengan mendasarkan riwayat yang dikemukakan Imam Syafi’i dan Abu Daud diatas kemudian Sayyid Quthub berpandangan bahwa asal mula turun ayat 3 QS An-Nisa’ tersebut tidak terlepas dari kondisi masyarakat ketika Islam datang dimana masyarakat pada masa itu ada beberapa orang laki - laki mempunyai sepuluh orang istri bahkan bisa lebih banyak daripada itu. Atau lebih sedikit dalam jumlah yang tidak terbatas, kemudian Islam mencukupkan dengan empat orang istri. Dan dengan syarat dapat berlaku adil. Jika tidak dapat adil maka Islam mencukupkan untuk menikah dengan seorang wanita atau budak belian yang dimilikinya.27 Selain itu Sayyid Quthub juga menegaskan bahwa dengan adanya batas maksimal (empat orang istri) yang tidak dapat dilanggar oleh seorang Muslim, Islam bukan berarti memberikan kebebasan melainkan untuk membatasi bukan pula untuk membiarkan kaum laki - laki memperturutkan hawa nafsunya tetapi
25
Sayikh Muhammd al Farran, Tafsir Imam Syafi’i , Jilid II, Jakarta Timur: PT Niaga Swaday, 2008, hal. 7 26 Ibid 27 Sayyid Qutub, Tafsir Fi Zhilaalil Qur’an , OP.Cit. hal. 115
102
untuk mengikat poligami ini dengan syarat adil. Jika tidak dapat berlaku adil maka alternatif itu tidak berlaku bagi seseorang.28 Menurut
pandangan
Sayyid
Quthub
alasan
Islam
memberikan
permanensi alternatif di dalam poligami yaitu karena Islam sesungguhnya merupakan peraturan bagi umat manusia dimana peraturan - peraturan Islam yang realistis dan positif sesuai dengan fitrah, kejadian, realitas kebutuhan kebutuhan, juga kondisi manusia yang berubah - ubah di daerah dan masa yang berbeda - beda dengan keadaan yang beragam. Islam sebagai peraturan yang memelihara ahlak manusia serta memelihara kebersihan masyarakat, tidak akan mentolelir kenyataan kenyataan yang merusak akhlak manusia ditengah deraan kebutuhan yang berbenturan dengan kenyataan itu sendiri. Maka Islam senantiasa memberikan keluwesan untuk menciptakan suasana yang kondusif bagi pemeliharaan ahlak dan kebersihan masyarakat itu sendiri, demi memberikan kemudahan bagi umatnya.29 Sehingga Sayyid Quthub memandang alternatif dalam poligami merupakan suatu jalan alternatif yang luar biasa dalam menunjang kebutuhan manusia untuk beberapa kondisi riil. Sayyid Quthub menetapkan tiga kondisi riil yang memungkinkan adanya alternatif di dalam poligami yaitu suatu kondisi yang tidak dapat terselesiakan hanya dengan menggoyahkan kedua bahu.
28 29
Ibid,hal. 116 Ibid, hal. 117
103
Dalam beberapa hal sayyid Quthub mengemukakan terdapat tiga solusi yang sering ditawarkan dalam memecahkan atas beberapa persoalan dalam masyarakat yang beraneka ragam baik dalam sejarah maupun kondisi sekarang. Pertama ketika jumlah wanita yang layak menikah jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah laki-laki yang layak menikah. Disisi lain ketentuan yang ada hanya membolehkan bahwa setiap orang hanya menikah dengan seorang. Dalam hal ini Sayyid Quthub melihat terdapat tiga langkah yang sering dilakukan dalam meyelesaikan permaslahan ini. 1. Setiap laki- laki yang sudah layak menikah, menikah dengan seorang atau lebih yang sudah matang, sementara disatu sisi seorang wanita atau lebih dengan kondisi riil yang ada sekarang menghabiskan waktunya dengan tidak pernah mengenal (menikah dengan laki-laki) 2. Setiap laki-laki yang sudah layak menikah dengan seorang wanita yang layak menikah sesuai dengan syara’ yang suci kemudian ia menyimpan seorang gundik atau lebih atau melakukan perzinaan dengan seorang wanita atau lebih dari wanita-wanita yang tidak mempunyai lelaki sebagai pasangan hidupnya (suami). Maka wanit-wanita itu mengenal laki-laki itu sebagai simpanan atau kekasih secara haram dalam kegelapan.30 3. Lelaki yang sudah layak nikah menikahi wanita lebih dari seorang dimana wanita itu wanita lain dapat dapat mengenal nikah dengan lelaki itu dengan pernukahan yang terhormat secara hukum syar’i secara transparan bukan sebagai simpanan dan kekasih gelap
30
Ibid, hal. 118
104
Alternatif yang pertama bertentangan dengan fitrah dan bertentangan dengan kemampuan yang bersangkutan dimana terdapat wanita-wanita yang selama hidupnya tidak pernah mengenal nikah dengan laki-laki. Kenyataan ini tidak dapat ditolak oleh pendapat oleh sebagian orang yang mengatakan seorang wanita tidak membutuhkan suami bila ia sudah sibuk dengan pekerjaan dan kariernya sebenarnya jauh lebih mendalam daripada anggapan mereka yang cuma tahu kulit luar persoalan saja karena menurut Sayyid Quthub Seribu macam pekerjaan tidak akan menghalangi kebutuhan fitriah didalam kehidupan alamiahnya baik yang berkenaan dengan kebutuhan fisik dan instingnya maupun tuntutan jiwa dan pikirannya semua itu tidak akan cukup untuk menentramkannya. Seorang laki-laki bisa saja bekerja tetapi tidak cukup baginya oleh karena itu ia berusaha untuk memperoleh ketentraman dan kesenangan dengan hidup dengan berkeluarga. Demikian juga dengan wanita.31 Alternatif kedua bertentangan dengan arahan Islam yang suci, tata kemasyarakatan Islam yang berwibawa dan kehormatan kemanusiaan wanita. Maka hanya dengan alternatif ketigalah yang kemudian dipilih Islam sebagai alternatif yang bersyarat untuk menghadapi realitas yang tidak dapat dipecahkan dengan menggoyahkan kedua pundak dan tidak dapat dipecahkan dengan kebohongan-kebohongan, Islam memilihnya sejalan dengan realitasnya yang positif didalam memecahkan persoalan manusia dengan fitrah dengan kondisi riil kehidupannya dengan memperhatikan ahlak yang suci dan masyarakat yang bersih bersama dengan manhajnya di dalam mengentaskan
31
Ibid, hal. 119
105
manusia dari pelacuran dan membawanya pada tempat yang lebih mulia dengan jalan yang lemah lembut dan realistis Kedua: Kita melihat masa subur seorang laki-laki hingga usia tujuh puluh tahun masa subur dalam kehidupan laki-laki yang tidak diimbangi masa subur kehidupan wanita. Tidak diragukan lagi bahwa tujuan diciptakannya jenis kelamin yang berbeda kemudian dipertemukannya (dalam pernikahan) adalah untuk mengembangkan kehidupan dengan menurunkan keturunan dan untuk memakmurkan bumi dengan perkembang biakannya. Oleh karena itu tidaklah cocok dengan aturan fitrah yang umum ini kalau kita halangi kehidupan dengan manusia dari mendayagunakan masa subur lakilaki itu. Akan tetapi sesuai dengan realitas fitriah ini hendaklah dibuat peraturan tasyr’i bagi semua lingkungan bagi semua masa dan keadaan bukan dengan penetapan perseorangan melainkan dengan jalan menciptakan aturan umum yang sejalan dengan realitas fitriah ini dan memberikan keluasan bagi kehidupan untuk memanfaatkanya manakala memerlukan. Disini terdapat kecocokan antara realitas fitrah dan arahan tasyri’ yang senantiasa mendapatkan perhatian dalam tasyri’ ilahi dengan tidak begitu memperhatikan undang-undang buatan manusia. Karena perhatian dan pandangan manusia yang terbatas tidak mampu menjangkau karena tidak mengaetahui situasi dan kondisi riil yang dekat dan jauh serta tidak dapat melihat semua sudut dan segi dan tidak dapat mengatasi semua kemungkinan Diantara hakekat kondisi riil yang telah dimaksud diatas adalah ketika suami ingin memenuhi tugas fitriahnya si istri tidak dapat memenuhi karena
106
usianya atau sakit. Disisi lain keduanya ingin tetap melestarikan kehidupan suami istri dan tidak ingin berpisah namun keumuman di masyarakat kita juga menjumpai tiga alternatif 1. Menahan dan menghalangi seorang yang hendak menunaikan kebutuhan fitrahnya dengan undang-undang dan kekuasaan kita katakan padanya “ini adalah suatu aib wahai saudaraku ini tidak sesuai dan tidak layak dengan seorang wanita yang disisimu serta tidak layak dengan kehormatannya 2. Kita beri kebebasan dengan lelaki untuk mengambil wanita idaman dan berzina dengan wanita manapun yang ia kehendaki 3. Memperbolehkan lelaki tersebut melakukan poligami sesuai dengan tuntunan keadaannya dan kita hindarkan laki-laki itu dari menceraikan istrinya yang pertama Maka alternatif ketigalah yang dipilih Islam karena alternatif poligami mampu memberikan pemenuhan kebutuhan fitri yang realistis dan sesuai dengan prinsip ahlak Islam memelihara keberadaan istri yang pertama dengan hak - haknya sebagai istri dan dapat mewujudkan keinginan kedua suami istri untuk
mengharmoniskan
dan
melestarikan
pergaulan
mereka
dan
mengabadikan kenangan dan sebutannya, juga memudahkan manusia untuk mencapai derajat yang lebih tinggi dengan jalan yang halal Ketiga ketika istri mandul dalam kasus ini hanya ada dua jalan 1. Menceraian istri dan menikah lagi dengan wanita lain sekiranya dapat memenuhi keinginannya untuk mendapatkan keturunan
107
2. Menikah lagi dengan wanita lain dan tetap dapat bergaul dengan istrinya yang pertama32 Alternatif yang pertama dipandang sebagai sebuah alternatif yang dapat dikecam oleh kebanyakan orang karena anjuran menikah lagi dengan alasan yang demikian hanya akan menghancurkan tanpa dapat diganti lagi sehingga hanya sedikit saja orang yang jelas mandul tidak mau menikah lagi karena banyak istri yang mandul yang senang dengan anak-anak kecil yang dibawa oleh istri lain dari suaminya Demikianlah jika kita merenungi hikmah adanya poligami. Maka rukhash ini
sesuai
dengan
fitrah
kehidupan
dan
menjaga
masyarakat
dari
kecenderungan dibawah tekanan kebutuhan-kebutuhan fitrah dan kebutuhan realistis yang bermacam-macam dan untuk terlepas dari titik kejenuhan. Ikatan syarat ini akan melindungi suami istri dari kehancuran dan melindungi istri dari penganiyaan dan kezaliman melindungi kehormatan dan harga diri wanita dari kehinaan karena tidak adanya perlindungan dan kehati-hatian dan menjamin keadilan di dalam menghadapi tuntutan kebutuhan vital. Seungguhnya orang yang mengetahui ruh Islam dan arahannya tidak akan mengatakan bahwa poligami itu sendiri adalah sebuah tuntutan disukai untuk dilakukan tanpa alasan pembenar yang yang berupa kebutuhan fitriah dan sosial tanpa motivasi keislaman, melainkan motivasi untuk bersenangsenang. Tidaklah demikian akan tetapi poligami dalam ajaran Islam merupakan kebutuhan yang mendesak bukan sesuatu yang dapat dilakukan untuk
32
Ibid, hal. 120
108
memperturutkan hawa nafsunya dengan tidak ada batasan yang disyaratkan Islam. Sehingga jika seseorang yang melakukan poligami dengan tujuan untuk kesenangan maka dengan sendiri rukhsah itu akan gugur Kemudian yang dimaksud keadilan yang dituntut ialah keadilan dalam muamalah nafkah, pergaulan dan berhubungan. Adapun keadilan dalam hati dan perasaan tidak seorangpun dituntut untuk melakukannya karena hal itu siudah diluar kehendak manusia keadilan inilah yang disinyalir allah dalam ayat lain
Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Keadilan yang dimaksud dalam ayat yang pertama adalah terlarangnya poligami bila dikhawatirkan keadilan itu tidak tereleasi adalah keadilan dalam muamalah, pemberian nafkah pergaulan, dan lurus dimana tidak seorangpun disekitar beliau dari mereka yang lebih diutamakan daripada yang lain, sebagaimana yang dilakukan nabi saw sebagai manusia yang paling tinggi kedudukannya. Yang tidak ada seorangpun yang ada disekitar beliau yang
109
mengetahui bahwa hati beliu sangat mencintai aisyah melebihi yang lain bahwa hati bukan dibawah kekuasaan pemiliknya tetapi berada diantara dua jari - jari jemari Allah yang membolak baliknya sesuai dengan kehendaknya. Berkenaan dengan ini Aisyah Ra berkata:
ََكانَرسولَﷲَص َّلَﷲَعليهَوسلمَيَقَسَمََفيعدَلوَيق َولَاللهم َهذَقسمىَفيماَاملكَفلَاتلمىنَفيماَمتلكَولَاملكَقالَاٮو داوديغىنَالقلٮَروهَابوداَوالنساٸ Aertinya: Rasulullah SAW selalu membagi giliran sesama istrinya dengan adil. Dan beliau pernah berdo’a ya allah ini bagianku yang dapat aku kerjakan. Karena itu janganlah engkau mencelakanku tentang apa yang engkau kuasai sedangkan aku tidak menguasainya. Abu Daud berkata yang dimaksud engkau kuasai tetapi aku tidak menguasai yaitu hati. Secara implisit hadist tersebut menjelaskan bahwa hadist tersebut menjadi penguat adanya wajib dalam melakukan pembagian yang adil terhadap istri-istrinya yang merdeka dan haram
bersikap berat sebelah dalam
menggaulinya yang bearti mengurangi haknya, tetapi tidak dilarang untuk lebih mencintai perempuan yang satu daripada yang lainnya, karena masalah cinta berada diluar kesanggupannya.33 Keharaman dalam memperlakukan pembagian yang adil tersebut dengan jelas dinyatakan dalam sebuah hadist :
َعنَاىبَهريرةَانَالنِبَملسو هيلع هللا ىلصَقالَمنَكانتَلهَامرامهنَفمالَا مَاحداةماَجاءَيومَالقيامة وشقههَماءل(رواهَابوداودَواترمذىَوالنساىءَوابنَحبان
33
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, Jakarta: Prenada Media, 2003, hal. 134
110
Artinya:Dari Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Nabi SAW bersabda: Barang siapa yang mempunyai dua orang isteri, lalu memberatkan kepada salah satunya, maka ia akan datang pada hari kiamat dengan bahunya miring Dari semua uraian diatas dapat dipahami bahwa pada dasarnya Sayyid Quthub memandang poligami sebagai alternatif bersyarat yang hanya boleh dilakukan bagi orang yang sadar akan dirinya mampu berbuat adil. Sehingga seorang yang tidak mampu berbuat adil rukhsah itu akan gugur dengan sendirinya. Jika diperhatikan dasar adanya pertimbangan alternatif disini menggunakan kaidah ushuliyah yaitu Sadz dzari’ah dan fath Dzari’ah. Sadz dzari’ah ( kadang-kadang dilarang ketika perbuatan tersebut dapat membawa kemafsadatan yang pasti meski pada dasarnya perbuatan tersebut boleh dilakukan) maka bila dikaitkan dengan persoalan poligami hal ini dapat kita lihat bahwa pada dasarnya poligami merupakan bentuk kebolehan bersyarat “ dapat berlaku adil” dan perkawinan tersebut juga dilakukan dengan maksud dan tujuan yang baik. Maka ketika seseorang tersebut tidak mampu berlaku adil atau tidak dapat memenuhi syarat yang ditentukan oleh nash maka dengan sendirinya poligami disini menjadi haram ( terlarang untuk dilakukan).34 karena bila dilakkan akan dapat menimbulkan kemafsadatan bagi perempuan dan anak-anaknya. Begitu juga dalam Fath Dhar’iah ( anjuran) poligami dalam keadaan tertentu bagi seseorang yang memenuhi syarat adil akan menjadi kewajiban bagi seseorang demi menghindarkannya dari kemafsadatan sebagai gambaran ketika istri mandul, jumlah laki-laki lebih sedikit dibanding jumlah wanita, atau
34
Ade Dedy Rohayana, Ilmu Ushul Fiqh, Pekalongan: STAIN Press, 2006, hal. 196
111
ketika masa subur suami meningkat disisi lain istri tidak dapat menjalankan kewajibannya ( memenuhi kebutuhan fitrah suami) maka poligami sangat dianjurkan bahkan bisa menjadi kewajiban demi menjauhi perzinaan dan menyelamatkan rumah tangga. Karena cara poligami yang demikian akan mampu membawa keuntungan bagi wanita yaitu memberikan perlindungan bagi kehormatan wanita dari kemungkinan pelacuran. Jika diperhatikan metode penafsiran yang digunakan Sayyid Quthub dalam menafsirkan ayat-ayat poligami yaitu dengan metode tahlili artinya seorang penafsir menggunakan kandungan ayat dari berbagai aspek yang ada dan menjelaskan ayat per ayat dalam setiap surat dengan urutan musyhaf . Menurut Issa Bolluta seperti yang dikutip oleh Antony H. Jons, pendekatan Sayyid Quthub dalam menghampiri Al-Qur’an adalah pendekatan tashwir (deskriptif) yaitu suatu penghampiran yang berusaha menampilkan pesan AlQur’an sebagai gambaran pesan yang hadir yang hidup dan konkrit dan sehingga dapat menimbulkan pemehaman yang actual bagi pembacanya dan member dorongan yang kuat untuk berbuat. Oleh karena itu menurut Sayyid Quthub qashash yang terdapat dalam Al-Qur’an merupakan penuturan drama kehidupan yang senantiasa terjadi dalam perjalanan kehidupan manusia. Ajaran-ajaran yang terkandung cerita tidak akan pernah kering dari relevansi makna untuk dapat diambil sebagai tuntunan hidup manusia. Dengan demikian segala pesan yang terdapat dalam Al-Qur’an relevan untuk dibawa pada zaman sekarang. Termasuk dalam upaya menjawab segala problem di dalam persoalan poligami.
112