BAB III UNSUR-UNSUR METODIS UMUM PENELITIAN FILSAFAT PENDAHULUAN Bab III ini menguraikan pemikiran Bakker dan Charris (1990) tentang unsureunsur metodis umum penelitian filsafat. Dalam penelitian filsafat objek itu hanya dapat diselidiki dengan metode hermeneutika, yaitu metode interpretasi. Hermeneutika itu bersifat umum, juga dipergunakan untuk semua ilmu sosial/human. Ada 10 unsurunsur metodis umum bagi penelitian filsafat yaitu; 1) interpretasi, 2) induksi dan deduksi, 3) Koherensi intern, 4) Holistika, 5) Kesinambungan historis, 6) Idealisasi, 7) Komparasi, 8) Heuristika, 9) Bahasa inklusif atau analogal, 10) Deskripsi. Bab III ini memperdalam dan memperluas wawasan mahasiswa dalam melakukan penelitian filsafat, sehingga dengan bekal ini para mahasiswa mampu melakukan berbagai model penelitian filsafat seperti; penelitian historis tentang tokoh, naskah, atau buku; penelitian mengenai suatu konsep sepanjang sejarah; penelitian komparatif penelitian pandangan filosofis di lapangan; penelitian sistematis-refleksif; penelitian mengenai masalah aktual, penelitian mengenai teori ilmiah dan mengetahui kesulitankesulitan yang dihadapi oleh masing-masing model. SEPULUH UNSUR METODIS PENELITIAN FILSAFAT 3.1. Interpretasi Menurut Aristoteles (384-322 SM) the appearance of impersonal authority- a echanical brain always giving the same questions. But the real man was not like that (The Ethics of Aristotle, translated by J.A.K Thomson, London 1961). Dalam penelitian filsafat manusialah sebagai subjek yang ingin mengetahui segala sesuatu yang ada di dalam dan di luar dirinya. Perbedaannya dengan penelitian ilmu adalah dan objek formal yang khas bagi filsafat, dengan sifat-sifatnya sebagaimana disebut dalarn bab II, membawa konsekuensi bagi metode penelitian di bidang filsafat. Objek itu hanya dapat diselidiki dengan metode Hermeneutika, yaitu metode interpretasi. Tentu muncul dalam pikiran kita apakah metode interpretasi tersebut dapat dipertanggungjawabkan, karena setiap orang sepanjang sejarah memiliki persepsi yang berbeda terhadap suatu fakta sejarah, maupun suatu teks. Dengan demikian besar kemunkinan akan terjadi kesalahan tafsir maupun subjektivitas dalam penelitian filsafat. Persoalannya adalah bagaimana objektivitas dan intersubjektivitas dalam hermeneutika tersebut dapat ditelusuri dan dipertanggungjawabkan. Untuk itu marilah
kita ikuti dulu apakah yang dimaksud dengan metode hermeneutika tersebut? Sejauh manakah metode eneutika tersebut dapat dipergunakan dalam penelitian fisafat? Secara etilogis, kata hermeneutik berasal dan bahasa Yunani hermeneuein yang menafsirkan. Maka kata benda hermeneia secara harfiah dapat diartikan sebagai penafsiran atau interpretasi. Istilah Yunani ini mengingatkan kita pada tokoh mitologi yang bernama Hermes, yaitu seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan Yupiter kepada manusia. Hermes digambarkan sebagai seseorang yang mempunyai kaki bersayap, dan lebih banyak dikenal dengan sebutan Mercurius dalam bahasa latin. Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia. Oleh karena itu, fungsi Hermes adalah penting sebab bila terjadi kesalah-pahaman tentang pesan dewa-dewa, akibatnya akan fatal bagi seluruh umat manusia. Hermes harus mampu menginterpretasikan atau menyadur sebuah pesan ke dalam
bahasa
yang
dipergunakan oleh pendengrnya. Sejak saat itu Hermes menjadi simbol seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi tertentu. Berhasil-tidaknya misi itu sepenuhnya tergantung pada cara bagaimana pesan itu dianggap benar. Persoalannya adalah bagaimana pesan itu dianggap benar? Apakah semua orang
bisa menerima kebenaran
itu atau langsung saja mempercayainya?
Hermeneutik pada akhimya diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Batasan umum ini selalu dianggap benar, baik hermeneutik dalam pandangan kiasik maupun dalam pandangan modern (Richard E. Palmer, 1963: dikutip dan E. Maryono 1993: 23-24). Menurut Bakker dan Charris (1990) dalam pelaksanaan segala macam penelitian seorang peneliti akan berhadapan dengan kenyataan. Dalam kenyataan itu dapat dibedakan beberapa aspek. Bisa berbentuk fakta, yaitu suatu perbuatan atau kejadian (dari kata latin facere, artinya membuat atau berbuat). Bisa berbentuk data, yaitu pemberian, dalam wujud hal atau peristiwa yang disajikan dasar keterangan selanjutnya (dari kata latin dare, artinya memberi). Mungkin juga kenyataan berbetuk gejala, yaitu yang nampak sebagai tanda adanya peristiwa atau kejadian. Ketiga aspek tersebut akan mendapat titik berat yang berbeda menurut masing-masing disiplin ilmu. Dalam penelitian filsafat kita dihadapkan kepada pikiran manusia dan tindakannya yang sulit diramalkan. Pikiran dan tindakannya diekspresikan melalui simbol-simbol, kata, bahasanya, kebudayaannya, kepercayaan dan agamanya.
Menurut Ogden dan Richard: The symbol (i.e. words or expresion) the thought or interpretation, and the referent (or that refered to), (we get from words to things inderectly by way of thought). Thought
Symbol (words)
Referent
Dalam penelitian filsafat, si peneliti pertama dan terutama berhadapan dengan manusia hidup, dengan tingkah lakunya, agamanya, kebudayaannya, bahasanya, struktur sosialnya, kebaikan dan dosanya. Saya lihat, saya dengar, atau saya merabaraba suatu fakta, namun fakta itu diketahui tidak hanya fisik: kulit, besar, sehat. Fakta itu saya tangkap sebagai suatu ekspresi manusia, entah dalam pribadi manusia sendiri (bahasa, tarian, deklamasi, kesopanan) atau dalam salah satu produk (puisi, sistem hukum, karya seni, alat, struktur sosial). Bagi peneliti filsafat sebuah fakta atau peristiwa tidak hanya dilihat sebagai suatu benda mati saja tetapi merupakan suatu nilai yang tersembnyi yang perlu diungkapkan. Peneliti filsafat tidak hanya membaca yang tertulis dalam kejadian sejarah, atau dokumen, arsip-arsip tetapi bertanya lebih lanjut dan menafsirkan peristiwa-peristiwa tersebut sesuai dengan makna yang terkandung didalamnya. Bakker dan Charris (1990) mengatakan di dalam ekspresi itu dibaca dan ditangkap arti, nilai, maksud human. Oleh seorang filsuf tidak hanya dipahami segi biologis atau ekonomis semata-mata melainkan nilai estetis (estetika), sosial (filsafat social), religius (filsafat agama), etis (filsafat moral). Menurut Bertens (1981:225) ahli filsafat berusaha mencai hakikatnya. Sejak Dilthey macam pengertian itu disebut verstehen, artinya memahami. Persoalan-persoalan hakikat (fundamental) apakah yang diteliti oleh filsafat? The Liang Gie (1979) berpendapat bahwa filsafat adalah suatu rangkaian aktivitas dari budi manusia. Yang dimaksud dengan budi manusia ialah diri atau pelaku yang mencerap, mengingat, membayangkan, merasakan, mencipta, menalar, berkemauan, dan aktivitas sejenis, serta fungsional bertalian dengan suatu organisme jasmaniah perseorangan. Budi manusia itu ditantang oleh sekumpulan pertanyaan yang dapat disebut persoalan filsafati sebagai bahan masuk sehingga melakukan rangkaian aktivitas untuk menjawab pertanyaan tersebut. Tanpa input persoalan filsafati budi
manusia takkan melakukan kegiatan yang merupakan filsafat. Suatu persoalan filsafati pada pokoknya adalah pertanyaan mengenai sesuatu pada taraf keumuman yang tertinggi (tidak mengenai misalnya meja atau kursi melainkan tentang materi seumumnya), menyangkut persoalan arti, nilai, dasar atau asas (misalnya arti perkataan dari arti, nilai dari pengalaman kenikmatan, dasar dari kebenaran sesuatu atau asas dari tindakan baik), serta bercorak mencengangkan (sulitnya bahan pembuktian atau tata cara penyelesaian yang pasti) dan implikatif (yakni jawabannya mengandung simpulan berganda atau akibat lebih jauh yang perlu perenungan selanjutnya). Berdasarkan sesuatu pertanyaan yang ciri-cirinya demikian itu, budi manusia melakukan analisa, pemahaman, deskripsi, penilaian, penafsiran, dan perekaan yang mengarah pada kejelasan, kecerahan, keterangan, pembenaran, pengertian, dan penyatupaduan. Ke-enam aktiva budi itu sebagai suatu kebulatan dapatlah dianggap sebagai proses konversi yang berusaha mengubah persoalan-persoalan filsafati menjadi hasil keluar yang dapat berupa kearifan hidup, pandangan dunia, sistem pemikiran, keyakinan dasar atau kebenaran filsafati. Output dari budi ini terutama kearifan (wisdom), umurnnya juga disebut filsafat yang kiranya lebih jelas dicakup dengan istilah pengetahuan filsafati. Dalam kepustakaan Barat memang filsafat masih dikenal sebagai cinta akan kearifan. Untuk menyelesaikan pensoalan-pensoalan filsafati, seseorang filsuf memakai sesuatu prosedur tertentu yang kini dikenal sebagai metode filsafat. Metode filsafat itu cukup
banyak
ragamnya
sesuai
dengan
pendapat
berbagai
filsuf
yang
mengemukakannya. Sokrates menggunakan tata cara yang kini disebut the Socratic method of analysis dengan bertanya dan membagi-bagi sehingga intisari persoalan tercapai. Plato, Aristoteles, filsuf-filsuf Abad Tengah memakai metode sintetik dengan menunjukkan hubungan sebab akibat antara pikiran dengan peradaban. Rene Decartes memperkenalkan metode kritik yang meliputi suatu analisa mengenai persyaratan dan batas-batas dari pengetahuan. George Wilhelm Friedrich Hegel menerapkan metode dialektik dalam seluruh filsafatnya yang berlangsung dengan tesa, antitesa, dan sintesa. Masih ada pelbagai metode lainnya dari filsuf-filsuf yang terkenal seperti misalnya Hensri Bergson (intuitive method), Edmund Husserl (the method of phenomenological description), William James (the pragmatic method), Bertrand Russell (the method of logical atomism), dan Gilbert Ryle (the method of philosophial analysis).
Kini, dan kapanpun perenungan kembali tujuan hidup adalah persoalan filsafat sepanjang masa setelah orang terkesima oleh peristiwa yang menimpa dirinya meskipun dunia teknologi modern telah dicapainya. Manusia perlu merenungkan kembali tentang masa depannya yang ingin dicapainya. Oleh karena itu penelitian filsafat sangat penting artinya dewasa ini, setelah ilmu pengetahuan terbentur oleh keterbatasannya. Persolannya seringkali dipertanyakan darimana dan bagaimana filsafat diteliti? Apakah dimulai dari fakta kongkrit (induksi) atau dari pikiran-pikiran (deduksi). 3.2. Induksi dan Deduksi Induksi dimaksudkan untuk mengenali secara kongkrit objek yang diselidiki dengan cara memilah-milahkan (analisis) menjadi fakta-fakta, yang lalu ditangkap dengan intuisi. Meski demikian, intuisiatas fakta ini bukan lantas tergantung subjektivitas peneliti, melainkan tetap objektif terhadap hal/masalah yang diteliti. Juga bukan bersifat pragmatis dan abstrak, dalam arti bertumpu pada kecenderungan mendapatkan manfaat praktis individu dan tidak berhubungan dengan kenyataan kongkrit. Dengan induksi universalitas kemanusiaan akan tertangkap singularitasnya, yakni berupa fakta-fakta kasuistik. Konsekuensinya nilai universal yang sifafnya hakiki berlaku untuk semuanya. Proses demikian dinamakan generalisasi atau transendental. Dari generalisasi hasil induksi tersebut kemudian dideduksikan pada sifat-sifat khusus, meski tetap merupakan pengertian umum. Dan yang umum ini akan kembali digunakan untuk melihat yang individual, selanjutnya secara reflektif generalisasi dilihat kesesuaiannya dengan kenyataan real. Antara induksi dan deduksi sesungguhnya bukan soal yang satu mendahului yang lain. Artinya, induksi ditempuh sebagai satu tahap khusus untuk merangkai sebab deduksi atau sebaliknya, deduksi ditetapkan untuk melihat fakta singular. Tetapi keduanya saling memperkaya dalam lingkaran hermeneutik, berkesinambungan dan induksi ke deduksi, kembali ke induksi lagi dan seterusnya. 3.3. Koherensi Intern Hakikat objek yang transsendental tadi memiliki banyak unsur. Misalnya hakikat manusia dengan berbagai unsur di dalamnya. Karena itu, menangkap secara utuh jelas tidak dapat dilakukan secara parsial, melainkan harus dipahami sebagai keseluruhan dalam struktur internal atau relasi internal. Menangkap keutuhan unsurunsur struktural ini akan memperjelas hakikat objek. Demikian pula, unsur-unsur ini
lebih dikenali dalam relasinya dengan yang lain. Hakikat manusia misalnya, menjadi jelas ketika dihubungkan dengan soal nafsu, kebebasan, orang sekitar dan sebagainya. 3.4. Holistika Langkah lanjut dari koherensi intern adalah tinjauan terhadap objek yang diteliti haruslah dalam hubungannya dengan seluruh kenyataan, dalam korelasi dan komunikasi
dengan
Iingkungannya.
Pembingkaian
demikian
penting
untuk
mendapatkan gambaran utuh tentang objek yakni harus dalam kesinambungan dengan satu totalitas. Dalam ilmu-ilmu yang bersentuhan dengan manusia seperti ilmu kesehatan, pendekatan holistik dewasa ini terhadap masalah pencegahan maupun pengobatan terhadap penderita berbagai macam penyakit mulai menjadi perhatian di kalangan medis maupun pemegang kebijakan. 3.5. Kesinambungan Historis Objek yang diteliti harus ditempatkan dalam konteks jaman atau sejarah yang melatarbelakangi. Terlebih bila objek penelitian berupa manusia atau tokoh dengan sistem pemikirannya. Dengan mengaitkan historis objek, pemahaman lebih utuh akan terungkap. Kesinambungan sejarah juga berarti bahwa hakikat objek yang diteliti ternyata berlaku untuk jaman dulu dan tidak jarang berlaku pula untuk masa kini, bahkan masa mendatang, setidaknya, universalitas hakikat objek yang kita dapatkan untuk mengatisipasi masa mendatang. 3.6. Idealisasi Penelitian filsafat dimaksudkan terutama untuk memahami kenyataan secara lebih dalam. Oleh karena itu, penelitian diusahakan untuk merekonstruksi gambaran yang murni yang dapat menjelaskan ciri khas yang berlaku pada hakikat objek yang diteliti. isainva. Frans Magnis mengungkap hakikat manusia Jawa dalam penelitian tentang etika Jawa. Atau Max Weber yang menempuh langkah idealisasi untuk menggambarkan kebangkitan kapitalisme Eropa sebagai eksplitasi etos kerja Kristiani. 3.7. Komparasi Komparasi atau perbandingan, ditempuh untuk mencari persamaan dan perbedaan yang maksudnya untuk mendapat gambaran mengenai hakikat objek menjadi lebih jelas. Komparasi dapat dilakukan antara tokoh atau antar naskah.
Komparasi dapat ditempuh antara objek yang dekat atau yang jauh, yang lemah dengan yang kuat. 3.8. Heuristika Meskipun jawaban penelitian filsafat tidak bersifat final. Bahkan awal sebuah persoalan lagi, namun setidaknya hams dapat menyuguhkan suatu pemecahan masalah, sekalipun untuk sementara Heuristika-lah metode untuk menemukan jalan baru pemecahan masalah dimaksud. Meskipun sebagai logika kreativitas ia tak dapat dihafal, namun tidak lalu berarti bersifat irasional dan emosional. Untuk heruistika harus berdasar kaidah yang jelas, yakni menempuh perumusan secara sistematis, menyelidiki asumsi dasar, mencari alternatif, selalu konsisten, dan peka terhadap berbagai masalah. Heuristika merupakan hasil penemuan spontan dan pengalaman manusia, aku menemukan sesuatu yang selama ini tidak menjadi perhatian orang. 3.9. Bahasa Inklusif atau Analogal Sebagaimana disebutkan di muka bahwa penelitian filsafat meliputi seluruh aktivitas budi manusia lengkap dengan berbagai unsurnya, arti dan maksud ekspresi kemanusiaan, maka bahasa, kata dan konsep yang digunakan haruslah bersifat inklusif, yaitu meliputi kata dan konsep lain. 3.10. Deskripsi Umumnya sebuah kegiatan penelitian yang harus dijabarkan untuk diketahui, hasil penelitian filsafat juga harus dieksplisitkan, dipaparkan atau dideskripsikan. Dengan demikan, atas hasil penelitian dapat dilakukan suatu evaluasi kritis untuk ditindaklanjuti. Dan pada tahap berikutnya hasil deskripsi ini memerlukan pemikiran refleksi dan budi manusia. Latihan 1. Terangkan perbedaan antara filsafat dengan penelitian filsafat. 2. Jelaskan cara pengumpulan data dalam penelitian filsafat. 3. Apa perbedaan antara deskripsi dengan interpretasi. 4. Sebutkan unsur-unsur penting dalam penelitian filsafat. 5. Apa yang dimaksud dengan berpikir secara refleksif.
PENUTUP Rangkuman Filsafat adalah kegiatan refleksif. Filsafat memang juga kegiatan akal budi, tetapi lebih merupakan perenungan dan suatu tahap lebih lanjut dari kegiatan rasional umum. Yang direfleksikan pada prinsipnya adalah apa saja, tanpa terbatas pada bidang atau tema tertentu. Tujuannya adalah untuk mempermudah kebenaran yang mendasar, menemukan makna, inti dan segala inti. Oleh karena itu filsafat merupakan eksplisitasi tentang hakiki realitas yang ada dalam kehidupan manusia; dapat meliputi hakikat manusia itu sendiri hakikat semesta, bahkan hakikat Tuhan, baik menurut segi struktural maupun segi normatifnya. Filsafat menguraikan dan merumuskan hakikat realitas secara sistimatis-modis. Karena itu juga filsafat merupakan ilmu pengetahuan, filsafat mempelajari semua objek. Filsafat mempelajari semua bidang dan semua dimensi yang diteliti oleh ilmu-ilmu lain, dan membuat bidang-bidang itu semua menjadi objek langsung penelitiannya. Semua bidang itu dipelajari oleh filsafat menurut sebab-sebab yang mendasar, dan dalam hal inilah terletak objek formal filsafat. Manusia sebagai objek formal memiliki beberapa sifat dasariah. Sifat-sifat dasariah itu menyebabkan kekhususan metodologi penelitian dalam filsafat. Hal ini membawa konsekuensi-konsekuensi bagi filsafat dalam metodologi penelitiannya. Objek itu diselidiki dengan metode hermenutika, metode interpretasi yang memuat banyak unsur dan langkah, merupakan unsur-unsur metodis umum penelitian filsafat, yaitu 1) interpretasi, 2) induksi dan deduksi, 3) koherensi intern, 4) holistika, 5) kesinambungan historis, 6) idealisme, 7) komparasi, heuristika, 9) bahasa inklusif atau analogal, dan 10) deskripsi. Tes formatif 1. Sebutkan unsur-unsur metodis umum bagi penelitian filsafat. 2. Terangkan asal mula kata hermenutika. 3. Terangkan mengapa interpretasi digunakan dalam penelitian filsafat. Kunci jawaban test formatif bab III 1. Interpretasi, induksi dan deduksi, koherensi intern, holistika, kesinambungan historis, idealisasi, komparasi, heuristika, bahasa inklusif, atau analogal, deskripsi. 2. Kata
hermenutik
berasal dari
bahasa
Yunani hermeneuen
yang
berarti
menafsirkan. Maka kata benda hermeneia secara harfiah dapat diartikan sebagai ‘penafsiran’ atau interpretasi.
3. Manusia sebagai objek formal filsafat sangat kompleks. Dan justru seluruh pemikiran filsafat sendiri merupakan bukti dan saksi akan kompleksitas hidup manusia. Maka sesungguhnya interpretasi merupakan upaya penting untuk menyingkap kebenaran. Pada dasarnya interpretasi berarti, bahwa tercapai pemahaman benar mengenai ekspresi manusiawi yang dipelajari. Daftar Pustaka Bakker, A dan Charris, A Zubair. 1990. Metodologi Penelitian Filsalat. Kanisius. Yogyakarta. Thomson, J. A. K. 1964. “The Ethics of Aristotle”. Penguin Books. London. The Liang Gie. 1978. ‘Penelitian dalam Bidang Filsafat” dalam Dari Administrasi ke Filsafat; Suatu Kumpulan Karangan Lagi. Karya Kencana. Yogyakarta.