BAB III PROFIL ABAH M. SAIFUL ANWAR ZUHRI ROSYID DAN PONDOK PESANTREN AZ-ZUHRI KETILENG SEMARANG
3.1 Profil Abah M. Saiful Anwar Zuhri Rosyid
3.1.1 Latar Belakang Keluarga Abah adalah putra kedua dari tujuh bersaudara, yang dilahirkan pada tanggal 6 juni 1950 di Sokaraja tengah, Banyumas, Jawa Tengah, dari pasangan Mudatsir Zuhri dan Sukarni. Dalam silsilah keluarga besar Abahf disebutkan bahwa Ayahandanya adalah adik kandung Prof. KH. Saifuddin Zuhri. Prof. KH. Saifuddin Zuhri adalah mantan Menteri Agama semasa Presiden Soekarno berkuasa. Walaupun Abah mempunyai nasab mulia, namun beliau tidak begitu suka bila ada orang yang mengagungkan dan mengunggulkan nasabnya. Seringkali beliau menegaskan : “ Adab lebih utama daripada nasab dan jangan pernah katakan ini lho nenek moyangku tapi katakan ‘inilah aku’ !!!”. Ayahandanya selain seorang priyayi juga kyai, yakni KH. Mudatsir Zuhri, walaupun miskin tapi terkenal kejujurannya dalam menunaikan tugas sebagai pegawai negeri sipil. Priyayi merupakan golongan yang agak tinggi kedudukannya sedang kyai ialah sebutan ‘alim ‘ulama’. Ayahandanya selalu mengingatkan agar eling pedangane, eling purwaduksine, (ingat dapur kita , ingat dari mana kita berasal) karena dengan begitu akan mencegah untuk bersikap arogan, sombong dan manja.
47
Sedangkan Ibundanya Sukarni, sosok istri yang patuh dan figur yang amat memperhatikan pendidikan putra-putrinya, pandai berbahasa asing seperti bahasa Belanda, Jepang dan Padang. Melalui Ibu, beliau belajar segala sesuatu tentang kewanitaan. Tidak mengherankan, bila beliau paham betul tentang menyulam, menjahit, sanggul hingga memasak, bahkan tata cara makan dengan berbagai macam sendok, garpu dan pisau - yang pada waktu itu hanya orang kaya dan orang yang suka meniru kehidupan ala Belanda saja yang memahaminya. Ibundanya juga pernah bekerja menjadi maklar di pegadaian. Karena etos kerjanya yang tinggi menjadikannya sukses. Bila lapar, Ibunda membeli rujak didepan pegadaian, rujak yang dalam wadah templong/pincukan, disisiri pelan-pelan (Wawancara dengan Abah, 7 juni 2006). Abah kecil
sering sekali berantem. Waktu beliau masih duduk di
sekolah S.R.I (setingkat SD), waktu itu ada pementasan drama oleh Pak Guru yaitu KH. Ahmarun , Abah diberi peran sebagai penjual kulit kelapa sedangkan seorang murid yang lain diberi peran menjadi pedagang salak. Saat pementasan, teman Abah yang berperan sebagai penjual salak berteriak-teriak menawarkan dagangannya, “salak, salak…!!”.Abah kecil yang berjualan disebelahnya tak mau kalah dalam menawarkan dagangannya, “sepet, sepet….!!”. “Salak ,… salak!!”, “sepet….,sepet!!”, tentu saja si bakul salak marah pada penjual sepet. Maka terjadilah keributan di panggung pementasan. Keributan yang disangka para penonton hanyalah skenario belaka, ternyata menjadi keributan yang sesungguhnya.
48
Kejadian lainnya adalah saat Abah kecil berantem dengan teman sekelas sekaligus kakak kandungnya yang bernama Anwar Haryono. Perkelahian sengit yang membuat nekat Abah kecil menancapkan sebatang pensil ditubuh lawan. Ibu Yusriah , wali kelasnya tentu saja mendengar kejadian itu, setelah jam pelajaran dibubarkan , Abah kecil diomeli habis-habisan. Hingga Abah kecil menangis. Karena malu, saat menangispun harus menutupi muka dengan kedua lengannya sambil berjalan menuju rumah. Masih dengan menutupi muka, sampailah Abah di depan pagar rumah Babah Hong Jan yang dikenal sebagai pagar tembok tertinggi yang ada dikampungnya. Tembok inilah yang dijadikan Abah kecil sebagai tempat merambat dengan muka masih ditutupi lengannya, namun ketika teringat bahwa mbah Darmo dikenal sebagai tempat angker dan ada penunggunya bernama “Kuda Semberani” Abah kecil langsung berlari kencang. ”Ono opo Pung?” (ada apa pung?) Nyai Mahrawi yang melihat Abah kecil lari ingin tahu mengapa. Abah kecil mulai masuk sekolah MI Maarif yang pada tahun 1955 pada awal perintisannya masih bernama SRI (Sekolah Rakyat Islam. Pendiri SRI itu adalah KH.Mudatsir Zuhri (Ayah kandungnya) dan KH.Muharir. Abah kecil mulai masuk sekolah pada tahun1955 bersama kakaknya yang bernama Anwar Haryono. Itupun sebenarnya sudah termasuk ketinggalan, karena pada jaman dulu seorang bocah baru diperkenankan sekolah bila tangan yang dilingkarkan kepalanya sudah bisa menyentuh telinga.
49
Beranjak dewasa, Abah muda sudah mulai berperan di dalam kehidupan bermasyarakat. Diantaranya, beliau membentuk grup drum band yang bernama “Al-irsyad” yang selalu menjadi perhatian setiap kali ada festival. Berita tentang gebrakan Abah muda membuat grup drum band cepat menyebar dan menjadi inspirasi para remaja lain untuk menirunya. Abah muda juga pernah menjadi wali dari ayahnya sendiri yaitu setelah Ibunda Sukarni wafat, sebagai seorang putra, tentu beliau rindu akan kehadiran seorang Ibu. Disamping itu, sebagai seorang lelaki yang menginjak dewasa, beliau tanggap dan paham betul perasaan ayahnya yang tentu saja membutuhkan pendamping untuk berbagi suka dan duka. Berbekal alasan tersebut, beliau memberanikan diri matur pada Ayahanda untuk meminta ijin akan mencarikan pendamping hidup bagi ayahnya yang sedang menduda. Kalimat berkesan yang dijadikan pembuka dialog dengan ayahnya adalah : “Maaf, Ayah ! Kali ini saya akan berbicara bukan sebagai anak kepada orang tuanya, tetapi saya ingin berbicara sebagai sesama lelaki dewasa,…”. Ayahanda tentu saja kaget dengan pernyataan putranya, dan akhirnya ayahnya mengijinkan putranya. Dengan ijin dan restu Ayah, Abah muda berangkat menemui seorang wanita yang dulu pada angkatan tahun 1950 merupakan kekasih ayahanda di waktu muda menjadi aktivis fatayat NU. Wanita tersebut tak lain adalah Ibu Hj.Baqiyah yang dulu sampai sekarang bertempat tinggal di Wonosobo merupakan sosok wanita yang gemi, nastiti, ngati-ngati dan amat pandai menyulam. Masih banyak peran penting dalam masa remajanya bagi kehidupan keluarga dan masyarakat sekitarnya.
50
Setelah menikah Abah bersama istri tercinta hijrah ke Semarang tepatnya pada tahun 1971. Bersama Ibu Nyai, beliau mengontrak pada Bapak Saman dijalan Badak semarang. Kamar kontakan relatif sempit suasana natural lebi terasa karena kamar kontrakan yang ditempatiya dekat kandang ayam. Abah juga pernah bersama Istri waktu itu tidur dipos ronda. Bapak Murtadi, Bapak
Munawir dan Bapak Juwahir adalah saksi bahwa Abah
bersama Istri waktu itu tidur di pos ronda tersebut. Setahun kemudian, yaitu di tahun 1972 barulah Abah aktif bekerja Depag propinsi Jawa Tengah. Setelah berapa tahun tinggal di Semarang, pada tahun 1979 Abah menempati rumah di Perumahan Ketileng tepatnya di Jl. Ketileng Indah III/6 Sendang Mulyo Semarang. Pada masa itu, daerah Ketileng dan sekitarnya termasuk daerah yang tergolong gersang dan rawan yang dalam analisis beliau dikarenakan masyarakatnya jauh dari sentuhan nilai-nilai agama. Walaupun Abah mengaku bahwa pada itu masih “ummi” atau masih dangkal pengetahuan tentang agama, namun beliau berusaha membentengi diri dan keluarga dengan syariat Islam. Melihat kenyataan dan kondisi masyarakat tempat tinggal beliau tersebut, sebagai seorang muslim yang punya tanggung jawab dan kewajiban untuk berdakwah, maka beliau memulai dakwahnya di lingkungan sendiri. Dengan penuh kesabaran dan keuletan beliau juga memulai dakwahnya di kampung Ketileng, kita bisa bertanya pada warga asli Ketileng tentang bagaimana kesabaran dan sikap tanpa pamrih yang dicontohkan beliau, kita bisa bertanya pada mereka tentang kesabaran
51
dan ketekunan dalam mengajak mengumpulkan bocah-bocah angon yang dekil dan kotor untuk mengaji. Jangankan hafal surat al fatihah, membaca alif, ba’, ta’ saja mereka belum ada yang bisa, belum lagi beliau harus menunggu saat ada bocah yang berteriak, “Mengko disik, Pak Saiful..! Wedhusku kesrimpet.” Terbayang seberapa besar kesabaran dan kerja keras yang dikerahkan beliau untuk menancapkan aqidah atau anak seusia mereka. Waktu itu mana ada yang mau mendekati bocah lusuh, dekil, dan mambu manuk itu, mana ada yang sudi mengurusi mereka Wawancara dengan Abah, 8 juni 2006). Sebelumnya tidak ada gambaran maupun angan-angan dalam benak beliau untuk memiliki santri, apalagi merintis berdirinya pondok pesantren, namun karena minat masyarakat untuk mengikuti pengajian kian bertambah, barulah dirasa akan pentingnya untuk mendirikan sebuah pondok pesantren. Usaha dan kerja keras beliau untuk mendirikan sebuah pondok pesantren kini sudah terlaksana, walaupun perjuangan beliau disertai berbagai rintangan, cemoohan dan ancaman.
3.1.2 Pemikiran-Pemikiran Beberapa pemikiran-pemikiran Abah, antar lain : •
Menurut Abah, seorang pemimpin harus mempunyai empat kriteria yang merupakan sifat wajib Rasul, meskipun masih jauh dari sifat wajib Rasul, setidaknya seorang pemimpin sudah berupaya untuk mendekatinya. Sifat pemimpin itu antara lain:
52
− Shiddiq
: jujur
− Amanah
: dapat dipercaya
− Tabligh
: menyampaikan
− Fathonah : cerdas •
Dalam hal ikhtiar, Abah berpendapat modal bukanlah hal yang utama. Tapi yang penting adalah punya bekal ilmu dan ketrampilan. Kalau kita bermodal harta kita akan hancur. Sedangkan kalau dengan ilmu maka kita akan dijaga. Sesuai hadits Nabi SAW : “Kamu menjaga harta dan ilmu menjaga kamu”
• Bagi Abah, semua orang layak di hormati apapun latar belakangnya. Beliau dalam ceramahnya pernah mengatakan: “Mungkin kalian (semua) bisa berkhidmah (mengabdi, menghormati) pada Abah disebabkan (kalian memandang) Abah adalah (sosok) orang pandai , kaya, ‘alim,…tapi ingatlah kalau Abah (waktu itu) mampu berkhidmah pada Dini yang bindeng (berbicara sengau), pada Sukinah si lonthe (pramuria/wts) dengklan (cacat kakinya), dan pada seorang sinden. Mencintai, menghormati, bahkan berkhidmah (mengabdi) pada orang yang kita pandang ‘diatas’ segala-galanya dari kita ; lebih kaya, lebih tinggi pangkatnya, lebih ‘alim dari kita mungkin adalah suatu kewajaran dan keharusan. Lain halnya bila yang kita hadapi adalah orang yang kita anggap lebih rendah dari kita baik dari strata sosial ekonomi dan kealimannya, masihkah kita bersedia mendekatinya ?. Masihkah kita sudi mengasihi atau bahkan mau menghormatinya ?. hanya dengan landasan mencintai dan membenci karena Allah Ta’Alla saja yang menjadikan seseorang mau mencintai orang cacat, miskin bahkan WTS( Wanita Tuna Susila). Kecintaan terhadap orang yang dianggap ahli maksiat dan banyak dosa, sebut saja wanita tuna susila, preman atau koruptor, bukan berarti kita membenarkan perbuatan mereka, cinta kita sebatas karena mereka hamba Allah Azza Wajalla yang mungkin dengan kehendaknya mereka mendapat hidayah untuk kembali kejalan yang benar”.
53
•
Abah berpikir bagaimana orang sukses tanpa dholim. Beliau berpedoman pada filsafat jawa, “ojo maculi sawahe liyan”. Apalah arti kesuksesan jika kita berada diatas penderitaan orang lain, maka sia-sialah pekerjaannya.
•
Dalam kesehariannya Abah menerapkan pola hidup sama
rendah
menurut beliau, semua orang pasti punya kelebihan. Karena manusia dihadapan Allah adalah sama sedangkan yang membedakan adalah takwanya. Sesuai dengan dalil qur’an sebagai berikut: “Sesungguhnya ketaqwaannya” •
yang
paling
mulia
disisi
Allah
adalah
Abah menekankan pentingnya ethos kerja dengan orientasi kerja bukan orientasi hasil. Karena ethos kerja amat mulia. Islam menganjurkan umatnya agar kerja keras. Sesuai hadits Nabi Muhammad SAW : “Bekerjalah, maka sesugguhnya Allah melihat kerjamu” Demikian juga sabda Nabi SAW tentang sikap Islam terhadap kerja, seperti : “Seseorang diantara kamu yang mengambil tali untuk bekerja mencari kayu lebih utama daripada minta-minta kepada orang lain baik mereka mau memberi atau menolaknya”
•
Dalam hal
kemandirian, Abah memberikan keteladanan. Abah tidak
pernah minta sumbangan materi semisal dalam hal membangun pondok pesantren. Beliau mempunyai prinsip “mintalah kepada Allah, jangan minta kepada manusia, karena akan hina. Jika tidak dikasih pasti akan kecewa. Sedangkan jika kita minta kepada Allah, dikasih maupun tidak dikasih kita akan mulia dan selalu mengandung hikmah didalamnya.”
54
•
Abah mengharamkan kepada santri hidup bersama orang tua atau mertua dalam satu rumah setelah menikah, agar tidak terjadi campur tangan pihak ketiga dan agar terjadi pendewasaan dalam pembentukan kepribadian.
•
Mentradisikan berpikir ilmiah dan mengkontekstualkan al-qur’an dalam setiap ceramahnya
•
Orang Islam dipertanyakan keIslamannya jika tidak kaya Sesuai hadits Nabi SAW yang berbunyi : “Hampir-hampir kefakiran adalah dekat dengan kekafiran”(Wawancara dengan Abah, 17 juni 2006)
•
Tanggapan Abah terhadap musibah nasional. “Menghadapi musibah dan berbagai bencana, tidak ada upaya lain kecuali umat Islam harus back to basic,kembali kepada fungsi dan peranan masing-masing. Menurut beliau , pantas Allah menimpakkan bala sebagai peringatan, karena manusia mulai lupa pada Tuhannya,bersamaan itu kemaksiatan merajalela. Beliau juga mengkritik perilaku sejumlah ulama’ yang lupa pada tugas utamanya, yaitu menjaga dan memberikan pencerahan kepada umat. Karena ulama’ telah keluar dari sarangnya, menangani tugas-tugas diluarbidangnya maka umat menjadi korban.Ulama’ kembalilah kepada status dan fungsinya” (Wawancara dengan Abah, 17 juni 2006).
3.2 Pondok Pesantren Az-Zuhri Ketileng Semarang 3.2.1 Sejarah Singkat Pondok Pesantren Az-Zuhri Ketileng Semarang Ketileng dan sekitarnya pada waktu itu dikenal sebagai dukuh yang masyarakatnya masih diwarnai dengan kegiatan-kegiatan berbau mistik yang berpeluang menimbulkan syirik dan merupakan tempat untuk membagi-bagi hasil curiannya. Konon nama “Sendangmulyo” yang sekarang menjadi nama sebuah kelurahan berasal dari nama “Sendang” (sumber mata air) yang
55
dikeramatkan oleh warga Ketileng. Sendang tersebut dipercaya ada penunggunya yaitu “Danyang” yang berwujud seorang wanita cantik jelita. Masyarakat percaya bila sendang tersebut tidak diberi sesaji / persembahan di waktu-waktu tertentu, maka dan yang tersebut akan murka pada seluruh warga desa. Kegiatan-kegiatan yang menimbulkan kemusyrikan tersebut masih berlangsung hingga awal tahun 1979, tahun di mana Abah M. Saiful Anwar Zuhri Rosyid mulai bermukim sebuah kompleks perumahan Ketileng Indah, Sendangmulyo Semarang. Sedangkan di Perumahan Ketileng Indah juga ada kebiasaan yang juga bertentangan dengan agama Islam. Setiap tanggal satu Syura (Muharram) selalu mengadakan tanggapan ronggeng. Seperti sudah menjadi tradisi, setiap ada pertunjukan ronggeng tersebut para lelaki menenggak minuman keras hingga mabuk dan ada juga yang ikut menari. Adapun kondisi geografis desa Ketileng pada waktu itu masih tergolong tandus. Amat jarang bisa ditemui pepohonan. Sedangkan warganya masih banyak yang menyatukan bangunan kandang binatang piaraan dengan ruangan utama yang dijadikan tempat tidur. Tingkat pendidikan warganya juga masih tergolong rendah. Warga yang lulus SD saja masih bisa dihitung dengan jari. Melihat kenyataan dan kondisi masyarakat yang menjadi pilihan tempat hijrah beliau tersebut, munculah niat untuk membangun kembali tradisi yang sesuai syariat Islam. Sebagai seorang Muslim bertanggung jawab yang mempunyai kewajiban untuk berdakwah, maka beliau, Abah M. Saiful
56
Anwar Zuhri Rosyid memulai dakwahnya di lingkungan keluarga sendiri. Dalam dakwahnya di lingkungan keluarga sendiri, beliau tak punya gambaran atau angan-angan sekalipun untuk memiliki santri. Malah beliau pernah mengatakan, waktu itu sebenarnya beliau sangat “ummi” (belum mengetahui Islam secara mendalam) dalam hal agama. Pendidikan dan pendalaman Agama Islam yang beliau terapkan pada istri dan putra-putri beliau sendiri tersebut bukan berarti tak ada keberanian untuk berdakwah langsung pada masyarakatnya, namun hanya sebagai strategi untuk menguasai medan dakwah saja. Strategi tersebut cukup berhasil, karena pada kenyataannya pengajian yang berlangsung di lingkungan keluarga tersebut diketahui oleh tetangga sekitar hingga warga desa Gendong (+ 2 km arah selatan desa Ketileng) dan menjadikan para tetangga tertarik yang pada akhirnya mengikutkan putraputrinya untuk mengaji pada Abah. Pada awalnya beberapa pemuda dari desa Gendong (+ 2 km arah selatan dari Ketileng) yang mendengarnya langsung tertarik dan mengikuti pengajian beliau. Santri Abah yang pertama di antaranya adalah Bukhori, Nur Salimi, Khoiron dan Madrofah. Setelah ikutnya ke empat anak ini, yang mengaji semakin bertambah hingga mencapai 150-an orang. Mereka kebanyakan warga desa Gendong dan Pedurungan. Dengan semakin bertambahnya peserta pengajian tersebut tentu saja dibutuhkan fasilitas dan sarana pendukung bagi kelancaran kelangsungan pengajian, muncullah prakarsa untuk mendirikan sebuah pondok pesantren di
57
Ketileng untuk menampung pemuda-pemuda yang haus ilmu itu. Niat tersebut menjadi isu sentral pada rapat baik tingkat RT maupun RW di Ketileng. Namun hanya sebatas pembicaraan yang sulit terealisasikan. Pengajian yang dirintis Abah pada perkembangan selanjutnya bukan hanya membimbing anak-anak dan pemuda saja di kediaman beliau sendiri. Pengajian tersebut kemudian menambah pada pengajian bapak-bapak maupun ibu-ibu yang dilaksanakan secara bergiliran di rumah warga yang beragama Islam. Karena penduduk di perumahan Ketileng yang notabene merupakan warga pendatang yang berasal dari luar Semarang. Informasi bahwa di Ketileng terdapat majlis pengajian tersebar luas dalam waktu relatif singkat. Pada tahap selanjutnya, Abah beserta tokoh masyarakat Ketileng membentuk LAM (Lembaga Amalan Muslim) pada tanggal 13 April awal tahun 80-an sebagai wahana dakwah umat Islam di Ketileng. LAM waktu itu tentu saja sangat mengharapkan sebuah masjid sebagai pusat pelaksanaan ibadah bagi umat Islam. Mungkin sudah menjadi suratan, rencana pembangunan masjid yang menjadi idaman warga Ketileng akhirnya menemukan peluang lewat perantara Bapak Hendro (Wawancara dengan Abah, 1 juni 2006). Bapak Hendro yang pada waktu itu kakinya patah akibat kecelakaan mobil, setelah sembuh lewat perantara “pijatan” Abah yang didampingi Ustadz Sholah, Bapak Nur, dan Bapak Mulyadi, pada akhirnya bersedia mewakafkan sebidang tanah sebagai ungkapan terimakasih untuk dijadikan
58
lahan pendirian Masjid. Maka mulailah proyek pembangunan Masjid yang kemudian hari diberi nama “Al-Maghfur”. Pada masa selanjutnya, Abah merasa kecewa karena masjid tersebut di akta notariskan sebagai yayasan. Bila sebuah yayasan kemudian mendirikan Masjid itu merupakan kewajaran, namun bila Masjid yang kemudian dijadikan sebuah yayasan merupakan sebuah kedholiman. Dalam mendirikan pondok pesantren tidak sedikit tantangn, cemoohan, hinaan dan rintangan yang beliau hadapi dari warga Ketileng sendiri. Dari masalah status tanah yang akan dijadikan kompleks Pondok Pesantren hingga rintangan yang tidak kasat mata berupa gangguan secara metafisika karena menurut penuturan para sesepuh warga, area yang sekarang menjadi kompleks asrama santri merupakan “kerajaan” para dedemit desa. Akan tetapi dengan tekad yang pantang menyerah Abah mulai merintis berdirinya pondok pesantren Az-Zuhri. Boleh dikata beliau bermukim di Ketileng ibarat “kleyang kabur kanginan”, berjuang sendiri tanpa rekan yang mau menemani. Semua orang, baik secara individu maupun golongan banyak yang menentang maupun menghalangi langkah Abah yang hendak merintis berdirinya sebuah Pondok Pesantren di Ketileng. Karena segala sesuatunya pasti ada taksis, tokoh-tokoh Kristen, Muhammadiyah, maupun NU masyarakat Ketileng yang menentang bagi beliau dianggap sebagai ujian untuk tetap meneruskan majlis pengajian. Bermula dari sebuah kehendak, niat Abah untuk mendirikan sebuah Pesantren tersebut akhirnya mendapat respon dari warga Ketileng hingga
59
muncul ke permukaan musyawarah RT, walaupun sebatas bahasan yang menyentuh masalah teknis namun tidak bersifat praktis. Musyawarah itupun berlanjut hingga tingkat RW, namun tidak sedikit orang yang bisa diibaratkan sebagai “pengamat bola” yang enggan menjadi pelaksana. Tanggap akan hal tersebut, Abah mengambil sikap untuk ‘uzlah” (mengasingkan diri) menghindari khlayak ramai sesuai dasar hadits yang menerangkan bahwa tatkala umat sudah sulit diajak menuju kebaikan maka beruzlahlah. Sedangkan dasar yang melatarbelakangi Abah medirikan Pondok Pesantren Az-Zuhri yaitu Al-Qur’an surat At-Taubat ayat 122 yang artinya : “Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah 122). Pondok Pesantren Az-Zuhri secara resmi didirikan pada tahun 1989, lokasi yang menjadi tempat “peletakan batu pertama” yang kini menjadi asrama santri putri di atas sebidang tanah di depan kediaman Abah sendiri di Perumahan Ketileng Indah tepatnya tanggal 1 Juli 1989. Sedangkan nama Az-Zuhri tercatat dalam akta notaris bernomor 9 sebagai sebuah Yayasan Pondok Pesantren tepat pada tanggal 11 September 1989. Pondok ini didirikan dari sebuah bangunan dengan luas 10 meter persegi, bangunan ini terbagi atas satu petak bangunan yang di dalamnya dibagi atas empat ruangan yaitu untuk tidur santri, satu ruangan untuk shalat berjamaah dan untuk mengaji, satu ruangan untuk kamar mandi dan satu
60
ruangan untuk dapur. Pada saat itu santri yang mengaji hanya beberapa orang santri putra. Asrama tersebut pada mulanya hanya dihuni santri putra. Dengan bertambah waktu, ada santri yang hendak bermukim. Karena adanya santri putri inilah pengasuh pondok pesantren Az-Zuhri berencana membangun kembali sebuah asrama yang nantinya dihuni oleh santri putra, sedangkan santri putri menempati asrama yang sebelumnya dipakai santri putra. Tanah wakaf dari seorang sesepuh dan tokoh masyarakat Ketileng bernama H. Kasipin Jarimin (H. Shodiq) yang berlokasi di Jl. Ketileng Raya No. 13 A ini kemudian dibangun komplek asrama Pondok Putra dengan bentuk letter “L” terdiri dari 5 gota’an (kamar) untuk santri putra dan satu gota’an sebagai kantor, satu gota’an lagi dijadikan sebagai kamar pengurus. Berbeda dengan lokasi asrama santri putri yang sangat dekat dengan kediaman Abah, lokasi kompleks asrama santri putra ini berjarak kurang lebih 500 m dari kediaman Mudir ‘Aam PP Az-Zuhri, Abah M. Saiful Anwar Zuhri Rosyid. Pembangunan Masjid di PP Az-Zuhri sebagai pusat kegiatan ibadah umat Islam akhirnya terwujud dengan perantara dari wakaf H. Hidayat yang merupakan tokoh masyarakat desa Gendong. Pendirian gedung TPQ yang berada di sebelah selatan asrama santri putra menempati satu area dengan RA Az-Zuhri yang berada di lantai bawah dan TPQ Az-Zuhri di lantai atas. Dalam pembangunannya, semua dikerjakan para santri sendiri yang waktu itu ditukangi oleh santri yang bernama Masrun, dan dibantu oleh santri-santri
61
lainnya. Berkat didikan beliau sekarang Masrun telah menjadi seorang kontraktor dan pemborong yang sukses. Pada waktu itu Abah menginginkan santri yang mengaji pada beliau tidak perlu banyak-banyak, perintisan awal Pondok Pesantren ditempati 24 santri putra dan 12 santri putri. Konsep Abah dalam membimbing santri pernah beliau tuturkan, “Santriku bodho-bodho tapi nduweni Akhlakul Karimah” (santriku bodoh tapi punya akhlakul karimah). Konsep demikian pada kenyataannya memberi kesadaran pada kita bahwa hanya orang yang merasa bodoh yang akan terus mencari ilmu, dan hanya orang berilmu yang bisa memiliki “akhlakul karimah.” Kehadiran Pondok Pesantren Az-Zuhri semakin mewarnai kehidupan di masyarakat Ketileng dan sekitarnya. Pada perjalanannya, Abah M. Saiful Anwar Zuhri Rosyid pendiri sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren Az-Zuhri mulai melebarkan kawasan dakwahnya. Seringkali beliau memberi ceramahceramah agama di daerah Pedurungan, Sambiroto, Kedungmundu, Salak Utama, Rogojembangan, Rumpun Diponegoro, Sinar Waluyo, Medoho, Karangayu, dan Krobokan. Daerah-daerah tersebut secara rutinitas mendapat binaan dan bimbingan beliau, daerah binaan tersebut adakalanya masyarakat sekitarnya masih sangat buta sama sekali tentang Islam perlu bimbingan tentang Syari’at Islam yang benar. Adapula yang di daerah tersebut belum ditemukan sebuah tempat ibadah untuk berjama’ah sehingga beliaupun harus terjun langsung dalam perintisan dan pendirian Musholla ataupun Masjid di daerah tersebut.
62
Dalam perkembangannya, karena keterbatasan fisik, seringkali beliau mengutus seorang santri untuk melanjutkan misi dakwahnya dalam memberi bimbingan dan dukungan pada daerah tersebut. Bahkan menginjak tahun berikutnya daerah binaan tersebut melebar pada daerah di luar kota Semarang, seperti Jepara, Demak, Grobogan dan lain sebagainya (Wawancara dengan Abah, 3 juni 2006). Sulit dipungkiri bahwa kehadiran Pondok Pesantren Az-Zuhri mempunyai pengaruh positif bagi masyarakat yang melingkupi berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Bila Ketileng dulu dikenal sebagai “daerah rawan” kini masyarakat sekitar berdatangan yang berpotensi menambah kemakmuran. Bila Ketileng dahulu daerah yang gersang, sekarang tanahnya mulai mampu memberikan kehidupan pada tanaman. Desa Ketileng yang pada mulanya merupakan kawasan yang dipenuhi kegiatan kemusyrikan kini berganti pada semakin maraknya kegiatan-kegiatan yang bernafaskan Islam. Dampak lainnya juga menyentuh aspek perekonomian dan pendidikan masyarakatnya yang semakin menunjukkan peningkatan dengan ditandai semakin bertambahnya lembaga pendidikan formal di sekitar wilayah Ketileng, juga munculnya toserba-toserba yang menyediakan kebutuhan sehari-hari warganya. Fasilitas pelayanan kesehatan juga semakin berkwalitas dengan adanya sebuah Rumah Sakit Negeri di kawasan ini
63
3.2.2 Lokasi Pondok Pesantren Az-Zuhri Ketileng, Lokasi Pengasuh Pondok Pesantren Az-Zuhri terletak di dukuh Ketileng, tepatnya di desa Sendang Mulyo kecamatan Tembalang kodya Semarang propinsi Jawa Tengah (tempat dilakukannya penelitian). Tempat tinggal ini berjarak kurang lebih (15) lima belas kilometer dari Simpang Lima Semarang. Secara geografis letak pondok pesantren ini cukup strategis karena terletak tepat di jalan Ketileng Raya 13 A. kelurahan Sendang Mulyo merupakan sebagian wilayah kecamatan Tembalang. Ketileng merupakan salah satu dukuh yang berada di kelurahan Sendang Mulyo. Dukuh Ketileng mempunyai luas tanah ± 6 hektar. Dukuh Ketileng, sekalipun hanya sebuah pedukuhan tetapi tergolong sebagai dukuh yang ramai. Ada tiga faktor penyebab, yang ketiganya saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Faktor pertama adanya sekolahsekolah disekitar dukuh Ketileng dai Tk Pertiwi, RA Az-Zuhri, SDN Sendang Mulyo I dan II, MI Taufiqiyyah, MTs Negeri 1, SMP Negeri 29, SMP&SMEA
Purnama,
SMP&
SMK
Sepuluh
November,
SMP
Cokroaminoto, SMIP Tjendekia Puruhita, SPK. Faktor kedua, banyak pedagang kaki lima dan toko di sepanjang jalan Ketileng. Faktor ketiga,komplek pendidikan pondok pesantren Az-Zuhri dan beberapa pendidikan Al-Qur’an yang berada di sekitarnya. Dengan adanya ketiga faktor itu, maka muncul beberapa fasilitas yang mendukung keramaian dukuh Ketileng, seperti misalnya masuknya PLN, TELKOM, PDAM, Hydrant umum, dan empat buah took bangunan,
64
beberapa toserba, serta kios-kios yang menyediakan sembako, benar-benar telah mengubah dukuh Ketileng menjadi sebuah dukuh yang ramai. Lalu lintas angkutan umum yang melewati dukuh Ketileng terbagi menjadi empat jalur yaitu jalur Ketileng-Pedurungan, jalur Klipang-PRPP, Sendang MulyoTerboyo, dan Terboyo-RS Elisabeth. Dengan adanya jalur-jalur ini maka kita tidak kesulitan untuk mendapatkan transportasi darat untuk menuju ke desa Ketileng. Beliau mempunyai pondok pesantren Az-Zuhri berdiri dibawah yayasan Az-Zuhri dengan akta Notaris No. 9 tanggal 11-9-1989. yayasan ini mempunyai tanah sekitar 2 hektar yang terbagi kedalam tiga lokasi terpisah yaitu lokasi pertama terletak di jalan Ketileng Raya 13 A yang dibangun untuk santri putra I terditi RA dan TPQ, masjid yang bentuk bangunannya adalah berlantai tiga. Lokasi keduia untuk komplek pesantren putra II yang terdiri dari bangunan dua, aula besar, serta bilik-bilik santri. Lokasi ketiga terletak dekat dengan rumah bangunan berlantai dua yang ditempati untuk santri putrid dan aula besar pertemuan dan kegiatan pondok pesantren. Lokasi pertama yang terletak di jalan Raya Ketileng ini terdapat masjid besar dengan model bangunan yang sangat mengesankan yaitu adanya ukiran-ukiran klasik, bentuk jendela dan pintu serta ornamen-ornamen yang terdapat pada kayu penyangga, serta mimbar mirhob yang menunjukkan bahwa masjid dibangun oleh orang-orang yang mengetahui tentang seni. Sejak awal berdirinya hingga sekarang masjid ini digunakan sebagai pusat pembelajaran dan acara-acara seremonial pondok pesantren.
65
Masjid ini terletak sangat strategis karena berada ditengah-tengah komplek pesantren tepat di depan pintu gerbang sebelah timur dan berhadapan dengan tempat parkir sehingga dari arah masjid inilah Badan Pengurus Santri (BPS) mempertahankan kantornya di depan masjid. Disebelah timur masjid terdapat bilik-bilik santri atau asrama pemberian dari Bapak Wali Kota Soetrisno Soeharto dengan gedung berlantai tiga. Samping selatan gedung lantai tiga santri-santri ini terdapat gedung sekolah Rohatul Athfal (TK) Az-Zuhri berlantai dua yang berdiri tahun 1990. Sedangkan bagian belakang RA terdapat ruangan perpustakaan yang memiliki 150 judul buku yang terdiri dari buku-buku umum, agama, hokum, filsafat, kitab-kitab Islam Klasik. Perpustakaan juga mempunyai koleksi fandel-fandel penghargaan, dokumen naskah pendirian pesantren Az-Zuhri, paper, skripsi hasil survei mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi. Pondok pesantren Az-Zuhri juga mempunyai koperasi yang terletak bersebelahan dengan perpustakaan, dan kantor pondok pesantren Az-Zuhri. Koperasi ini dimanfaatkan bukan hanya untuk santri saja tetapi juga untuk masyarakat sekitar. Koperasi ini menyediakan sembako dan kebutuhan lainnya seperti busan amuslim, kitab-kitab klasik, peralatan tulis, alat-alat kosmetik dan bermacam-macam barang kebutuhan lain. Dibawah bangunan koperasi terdapat tempat wudlu putra. Sebelah selatan masjid terdapat dua kamar tamu, tempat kamar santri dan empat kamar mandi dengan satu sumur. Sumur ini dipercayai oleh masyarakat umum mempunyai kelebihan tersendiri yaitu untuk digunakan
66
sebagai obat berbagai macam penyakit. Selama penelitian berlangsung peneliti sudah melihat banyak santri maupun masyarakat umum mengembil air untuk dibawa pulang maupun diminum langsung tanpa dimasak terlebih dahulu. Belakang masjid yang terpisah dengan tanah pekarangan milik masyarakat adalah lokasi kedua yang merupakan asrama santri laki-laki dua yang terdapat aula besar yang diberi nama Al-Baqri, kemudian asrama santri yang berjumlah lima kamar dengan satu kamar, dua kamar mandi dan satu bak air untuk wudlu. Depan kamar terdapat taman yang indah dengan dihiasi bunga-bunga alami serta kolam ikan yang luas 3x8 m. sebelah utara terdapat lapangan olah raga yaitu tempat para santri latihan pencak silat, tenis meja, dan bulu tangkis. Sedang disebelah timur asrama terdapat gedung berlantai dua yang ditempati Gus Novi (sebutan putra Kyai) yang telah berkeluarga, untuk mengawasi kegiatan para santri putra. Yang terdiri atas satu sumur, dua kamar mandi, dapur dan garasi.
3.2.3 Karakteristik dan Kegiatan Santri Menurut observasi peneliti, pondok pesantren Az-Zuhri santrinya dapat di klasifikasikan ke dalam dua karakteristik yaitu: a. Santri belajar di pesantren dan sekolah formal. Banyak diantara para santri sekolah maupun kuliah di lembaga formal yang ada disekitar pondok pesantren Az-Zuhri. Pondok peantren AzZuhri tidak menyelenggarakan pendidikan formal seperti halnya pondok
67
pesantren lainnya, salah satu alasannya adalah karena telah banyaknya sekolahan yangada di sekeliling pondok pesantren dari SD sampai dengan Akademi. Hal ini merupakan lahan da’wah bagi santri yang belajar di sekolahan tersebut mengajak temannya untuk belajar agama di pondok pesantren. b. Santri yang hanya belajar di pesantren saja. Santri – santri yang hanya belajar di pesantren saja mendapatkan beberapa jenis ketrampilan, yang dengan ketrampilan tersebut diharapkan para santri dapat hidup mandiri setelah terjun di masyarakat. Seperti tradisi pesantren pada umumnya, dalam pondok pesantren AzZuhri juga terdapat apa yang dinamakan santri mukim dan santri kalong. Santri
mukim
sendiri
berasal
dari
daerah
Semarang,
Demak,
Jepara,Purwodadi, Sokaraja, Banyumas, bahkan sampai ada yang berasal dari Papua. Santri yang bermukim berusia 12 tahun sampai 35 tahun yang berpendidikan formal dari mulai SD sampai perguruan tinggi dan dari berbagai macam latar belakang dan status sosial yang berbeda. Jumlah santrinya sebanyak 100 orang santri yang terdiri dari 63 santriwan dan 42 santriwati. Keseratus santri antara santriwan dan santriwati mempunyai struktur organisasi yang terpisah. Sedangkan santri kalong tersebar di beberapa daerah sekitar Semarang antara lain Ketileng, Pedurungan, Tembalang, Kedungmundu, Ngalian dan lain sebagainya Adapun data kegiatan pondok pesantren Az-Zuhri dalam belajar kitab Islam klasik yang dilakukan santri secara rutin tiap hari sebagai berikut:
68
1. Sesudah sholat subuh adalah mengkaji kitab “Tafsir Jalalain”. 2. Ketika waktu Dhuha adalah mengkaji kitab “Irsyad Al- Ibad” 3. Sesudah sholat Dhuhur adalah mengkaji kitab “bulugh Al- Marom” 4. Sesudah sholat Asyar adalah mengkaji kitab “Fath Al- Mu’in” 5. Sesudah sholat Isya’ adalah mengkaji kitab “Durrotul Al- Nasihin” 6. Ketika jam 01.30 WIB diadakan “Mujahadah” atau Dzikir malam Sedangkan kegiatan santri setiap minggunya antara lain setiapi malam kamis dilaksanakan pengajian rutin yang didatangi dari santri-santri kalongdilingkungan desa Ketileng sendiri maupun dari berbagai daerah yang ada di kota Semarang yang disampaikan secara bandongan. Sedang kitab yang dikaji adalah tafsir Juz ‘Amma dan kitab Sullam Safinah. Setiap malam Jum’atnya juga diadakan jamaah Mujahadah yang diadakan setelah sholat Isya’ sampai jam 03.00 WIB. Mujahadah ini juga diikuti oleh santri dari berbagai daerah di kota Semarang. Sedangkan malam Jum’at Kliwon merupakan malam untuk berkumpulnya para jamaah Mujahadah dari luar kota Semarang diantaranya dari kabupaten Semarang, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Jepara, Kabupaten Demak, dan Kabupaten Grobogan. Setiap malam Ahad diadakan latihan Khitobah untuk melatih kemahiran santri dalam berpidato dan bertausiah didepan jamaah. Hari Minggu pagi, setelah sholat Subuh, para santri berlatih pencak silat sampai pukul 08.00 WIB. Setelah selesai berlatih mereka bekerja bakti membersihkan lingkungan pondok pesantren dan sekitarnya.pada sore harinya santri berlatih rebana.