BAB III PENERAPAN KEADILAN SEBAGAI NILAI DASAR DALAM KEHIDUPAN KELUARGA KRISTIANI Dalam penulisan bab ini, penulis hendak menjabarkan gambaran umum lokasi penelitian di jemaat GPIB Immanuel Semarang sebagai tempat penulis melakukan proses pengambilan data, dan juga penulis hendak memaparkan hasil dari apa yang sudah di dapat dalam penelitian, yakni tentang penerapan nilai keadilan sebagai nilai dasar dalam kehidupan keluarga Kristiani. 3. 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 3. 1. 1. Keadaan Geografis Kota Semarang Kota Semarang merupakan Ibukota propinsi Jawa Tengah yang terletak di bagian Utara Jawa Tengah.Posisi geografi Kota Semarang terletak di pantai Utara Jawa Tengah, tepatnya pada garis 6º, 5' - 7º, 10' Lintang Selatan dan 110º, 35' Bujur Timur. Kota Semarang merupakan kota yang cukup besar dengan jumlah penduduk 1.433.699 jiwa, dan kepadatan penduduk 3.744 jiwa/km2. Kota Semarang dapat dikatakan sebagai pusat pemerintahan, perdagangan, kegiatan industri, transportasi, pendidikan, pariwisata dan lingkungan pemukiman.Kota ini terletak sekitar 466 km sebelah Timur Jakarta, atau 312 km sebelah Barat Surabaya, atau 624 km sebalah Barat Daya Banjarmasin (via udara). Letak geografi Kota Semarang ini dalam koridor pembangunan Jawa Tengah dan merupakan simpul empat pintu gerbang, yakni koridor pantai Utara, koridor Selatan ke arah kota-kota dinamis seperti Kabupaten Magelang, Surakarta yang dikenal dengan
43
koridor Merapi-Merbabu, koridor Timur ke arah Kabupaten Demak/Grobogan dan Barat menuju Kabupaten Kendal. Dalam perkembangan dan pertumbuhan Jawa Tengah, Semarang sangat berperan, terutama dengan adanya pelabuhan, jaringan transport darat (jalur kereta api dan jalan) serta transport udara yang merupakan potensi bagi simpul transport Regional Jawa Tengah dan kota transit Regional Jawa Tengah. Posisi lain yang tak kalah pentingnya adalah kekuatan hubungan dengan luar Jawa, secara langsung sebagai pusat wilayah nasional bagian tengah. Kota Semarang memiliki batas wilayah sebagai berikut: -
Sebelah Barat berbatasan langsung dengan Kabupaten Kendal
-
Sebelah Timur berbatasan langsung dengan Kabupaten Demak
-
Sebelah Selatan berbatasan langsung dengan Kabupaten Semarang
-
Sebelah Utara berbatasan langsung dengan Laut Jawa Kota Semarang yang memiliki slogan sebagai Kota ATLAS (Aman, Tertib,
Lancar, Asri dan Sehat) di mana Kota ini terdiri atas daerah dataran rendah dan dataran tinggi.Daerah dataran rendah di Kota Semarang tidaklah terlalu luas, yakni sekitar 4 kilometer dari garis pantai, dataran rendah ini dikenal dengan sebutan kota bawah. Namun kawasan kota bawah seringkali dilanda banjir di sejumlah tempat, banjir ini disebabkan oleh luapan air laut (air rob atau air pasang) dan juga jika hujan turun dengan lebat. Oleh sebab itu masyarakat kota Semarang pun mau tidak mau harus menerima bahwa banjir merupakan masalah utama yang selalu dihadapi di kota Semarang. Sedangkan di sebelah Selatan merupakan dataran tinggi, yang dikenal dengan sebutan kota atas, di antaranya meliputi Kecamatan Candi, Mijen, Gunungpati, 44
Tembalang dan Banyumanik. Pusat pertumbuhan di kota atas merupakan pusat aktivitas dan aglomerasi penduduk yang pada akhirnya muncul menjadi kota kecil baru, seperti halnya di Semarang bagian atas di mana perkembangan sangat mencolok di daerah Banyumanik sebagai pusat aktivitas dan aglomerasi penduduk yang pada akhirnya menjadikan daerah ini cukup padat. Fasilitas umum dan sosial yang mendukung aktivitas penduduk
dalam
bekerja
maupun
sebagai
tempat
tinggal
juga
telah
terpenuhi.Banyumanik saat ini menjadi pusat pertumbuhan baru di Semarang bagian atas, dikarenakan munculnya aglomerasi perumahan di daerah ini.Dahulunya Banyumanik hanya merupakan daerah sepi dan hanya sebagai tempat tinggal penduduk Semarang yang bekerja di Semarang bawah (hanya sebagai dormitory town).Namun saat ini daerah ini menjadi pusat aktivitas dan pertumbuhan baru di Kota Semarang, dengan dukungan infrastruktur jalan dan aksessibilitas yang terjangkau.Fasilitas perdagangan dan perumahan baru banyak bermunculan di daerah ini, dan juga fasilitas pendidikan baik negeri maupun swasta. Cepatnya pertumbuhan di daerah ini dikarenakan kondisi lahan di Semarang bawah sering terkena bencana rob atau banjir.1
Gambar 3. 1. Peta Jawa Tengah
1
http://id.wikipedia.org/wiki/Kota Semarang, diakses hari Kamis, 20 September 2011, pukul 17.36 WIB.
45
3. 1. 2. Demografi Meski berada di pulau Jawa, Kota Semarang tidak memiliki wajah homogenitas yang sangat kental.Memang secara demografi mayoritas penduduknya ber-etnis Jawa, tetapi terdapat sejumlah suku dari berbagai wilayah di Indonesia. Varian ini menunjukkan wajah demografi kota Semarang yang cukup heterogen. Hetoreginatas tersebut adalah konsekuensi dari dijadikannya Semarang sebagai salah satu pusat perdagangan dan industri pada zaman kolonial Belanda. Jumlah Penduduk Kota Semarang pada tahun 2006 (data terbaru dari BPS) sebesar 1.434.025 jiwa.Dengan jumlah tersebut Kota Semarang termasuk 5 besar Kabupaten/Kota yang memiliki jumlah penduduk terbesar di Jawa Tengah.Jumlah penduduk pada tahun 2006 tersebut terdiri dari 711.761 penduduk laki-laki dan 722.264 penduduk perempuan. Kecamatan yang paling padat penduduknya adalah Kecamatan Semarang Selatan sebesar 14.470 orang per km2, sedangkan yang paling kecil adalah Kecamatan Mijen sebesar 786 orang per km2. Jumlah usia produktif cukup besar, mencapai 69.30% dari jumlah penduduk. Ini menunjukkan potensi tenaga kerja dan segi kuantitas amat besar, sehingga kebutuhan tenaga kerja bagi mereka yang tertarik menanamkan investasinya di sini tidak menjadi masalah lagi.Belum lagi penduduk dari daerah hinterlandnya. Sementara itu jika kita lihat mata pencaharian penduduk tersebut tersebar pada pegawai negeri, sektor industri, ABRI, petani, buruh tani, pengusaha; pedagang, angkutan dan selebihnya pensiunan. Dari aspek pendidikan dapat kita lihat, bahwa rata-rata anak usia sekolah di Kota Semarang dapat melanjutkan hingga batas wajar sembilan tahun, bahkan tidak sedikit yang lulus SLTA dan Sarjana. Meskipun masih ada sebagian yang 46
tidak mengenyam pendidikan formal, namun demikian dapat dicatat bahwa sejak tahun 2003 penduduk Kota Semarang telah bebas dari 3 buta (buta aksara, buta angka dan buta pengetahuan dasar). Dengan komposisi struktur pendidikan demikian ini cukup mendukung perkembangan Kota Semarang, apalagi peningkatan kualitas penduduk yang selalu mendapat prioritas utama didalam upaya peningkatan kesejahteraan.Tingkat kepadatan penduduk memang belum merata. Penduduk lebih tersentral di pusat kota. Pertumbuhan penduduk rata-rata 1,43%/tahun. Ini berarti laju pertumbuhan penduduk dapat ditekan, setidaknya terkendali dan kesejahteraan umum segera terealisasi.Sebuah komunitas Pecinan dibangun oleh Pemerintah Kolonial Belanda hanya beberapa ratus meter dari GPIB Immanuel Semarang. Demikian juga komunitas Arab yang ditempatkan di sekitar wilayah pelabuhan.Selain Cina dan Arab, terdapat kelompok-kelompok Maluku, Minahasa, Timor, dan Batak yang dijadikan sebagai pegawai-pegawai pemerintah kolonial Belanda.Empat kelompok yang terakhir inilah yang menjadi tulang punggung GPIB Immanuel Semarang.2 3. 1. 3. Gambaran Umum Jemaat GPIB Immanuel, Semarang Salah satu daya tarik Kota Semarang adalah kawasan Kota Lama. Sebuah kawasan yang letaknya tidak jauh dari jantung Kota Semarang, yang merupakan peninggalan atau warisan pemerintahan Kolonial Belanda, keberadaannya dahulu sebagai pusat kegiatan perdagangan, sekaligus merupakan pusat kegiatan City Center dari Kota Semarang. Kota Lama yang cukup luas ini terletak tidak jauh dari pasar Johar, yakni pasar tradisional terbesar di Kota Semarang. Kawasan Kota Lama didirikan dengan 2
Arsip Laporan Vikariat Jemaat Immanuel Semarang tahun 2008.
47
bangunan yang memiliki arsitektur Kolonial yang spesifik, yang kaya akan urban heritage bisa dijadikan sebagai salah satu aset wisata budaya. Gereja Blenduk adalah salah satu bangunan kuno yang berdiri megah di antara bangunan arsitektur kolonial lainnya, bahkan sering dijuluki sebagai Tetengger atau Land Mark dari Kota Lama.Tidak salah lagi jikalau Gereja Blenduk mempunyai daya tarik baik dari segi sejarah maupun dari segi arsitektur bangunan yang unik dan anggun. Gereja Blenduk, atau lebih di kenal dengan sebutan GPIB Immanuel adalah gereja yang dibangun pada tahun 1753 oleh pemerintah Kolonial Belanda (sudah berusia 250 tahun). Hingga saat ini Gereja Blenduk sudah mengalami perubahan bentuk beberapa kali.Pada awalnya gereja yang dibangun tahun 1753 ini berbentuk rumah panggung Jawa, dengan atap yang sesuai dengan arsitektur Jawa, yaitu atap tajuk.Pada tahun 1787 rumah panggung tersebut mengalami perombakan total.Tujuh tahun berikutnya tepat pada tahun 1794, diadakan perubahan kembali berdasarkan bentuk dan ukurannya. Selanjutnya pada tahun 1894-1895, gereja ini direnovasi oleh HPA De Wilde dan W. Westmaas dengan pembaharuan bentuk, namun tidak mengubah desain secara keseluruhan sehingga dijumpai Gereja Blenduk seperti bentuknya yang sekarang ini, yaitu dengan dua buah menara jam Lonceng dan atap kubah. Saat ini gedung Gereja Blenduk berfungsi sebagai rumah ibadah jemaat Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) “Immanuel” Semarang. Dari segi arsitektur, Gereja Blenduk dibangun dua setengah abad yang lalu, desainnya yang bergaya Pseudo Barouque, gaya arsitektur Eropa dari abad 17-19 M justru tampil kontras, bentuknya pun lebih menonjol dibandingkan bangunan bersejarah disekitarnya. Lokasi bangunan ini berada di Jalan Letjend Suprapto No. 32 Kota Lama Semarang dan bernama Gereja GPIB jemaat Immanuel.Bangunan Gereja Blenduk memiliki keistimewaan yang unik, yaitu memiliki denah Octagonal (segi delapan 48
beraturan) dengan ruang induk terletak di pusat, sehingga dapat dikatakan bangunan memusat dengan model atap berbentuk kubah atau blenduk.Luas bangunan gereja sekitar 400 meter persegi, bangunan gereja terdiri dari bangunan induk dan empat sayap bangunan.Ruang gereja terdiri dari ruang jemaat sebagai ruangan utama dan ruang konsistori.Atap bangunan yang berbentuk kubah ini serupa dengan kubah bangunan di Eropa pada abad ke 17-18 Masehi, mempunyai desain unik seperti kubah St. Paul’s karya Sir Christopher Wren (1675-1710 AD).Bentuk kubah seperti cembung kebawah inilah yang pada saat ini menjadi sangat populer, kemudian menjadi sebutan “Blenduk”. Beberapa bagian bangunan memiliki arsitektur yang khas dan hanya terdapat satu, karena dibuat secara spesifik khusus pada masanya, sehingga dapat dikatakan sebagai prasasti antara lain: -
Tangga melingkar, sebuah tangga yang digunakan untuk menuju bagian tempat alat-alat musik. Tangga yang terbuat dari besi tempa berukir, pada anak tangga terdapat tulisan dalam Bahasa Belanda yang berbunyi “Plettriji Den Haag”. Kemungkinan besar adalah label merk dari perusahaan pembuatnya, sayang pada label ini tidak tercantum tahun pembuatannya.
-
Mimbar Gereja Blenduk memiliki keistimewaan konstruksi yang langka. Mimbar ini berposisi mengambang dari lantai, dan hanya disangga oleh tiang penyangga yang berbentuk segi delapan beraturan (Octagonal) berfungsi sebagai penyangga tunggal mimbar tersebut.
-
Orgel, sebuah alat musik dengan bentuk yang sangat indah yang memiliki asal suara berasal dari resonansi pipa-pipa oleh pompa udara, dibuat oleh P. Farwangler dan Hummer, merupakan orgel yang sangat antik, dan keberadaannya
49
hanya terdapat dua di Indonesia, salah satunya terdapat di Gereja GPIB Immanuel Gambir, Jakarta. -
Lonceng Gereja, sebanyak tiga buah yang memiliki tiga ukuran berbeda (dua diantaranya hilang), pada tubuh lonceng terdapat logo perusahaan bertuliskan J.W. Stiegler-Semarang Anno 1703.
-
Interior berupa mebel asli yang saat ini masih dipertahankan bentuk dan kondisi fisiknya. Seperangkat karya peninggalan masa lampau yang sangat indah, antara lain: lampu gantung pada langit-langit kubah, bangku Jemaat dan Majelis yang berbahan dari kayu jati, kaca jendela mosaik dengan desain ornamen kuno.3 Kini gereja tua ini merupakan bagian dari GPIB (Gereja Protestan di Indonesia
Bagian Barat) dan juga salah satu dari empat gereja GPIB yang terdapat di kota Semarang (GPIB Efatha, GPIB Sion, GPIB Filadelfia, GPIB Immanuel). Sebagai sebuah bangunan tua, Gereja Blenduk sangat membutuhkan upaya pelestarian yang sungguhsungguh. Disadari bahwa upaya pelestarian membutuhkan dana yang tidak sedikit, oleh karena itu untuk mewujudkan pelestarian ini tentu sangat memerlukan kepedulian dari berbagai pihak.
Gambar 3. 2. Gereja Blenduk pada Era Kolonial 3
Data lampiran pembinaan Majelis Jemaat periode 2012-2017.
50
Luas wilayah pelayanan GPIB Immanuel Semarang kurang lebih 354 Km2. Wilayah jemaat induk sebesar 251 Km2 sementara Pos Pelayanan dan Kesaksian (Pos Pelkes) Dempelrejo, 103 Km2. Wilayah Jemaat induk terbentar dari Genuk di wilayah Timur, Mangkang di Barat, sedangkan di wilayah Selatan berbatasan dengan GPIB Effata di daerah Candi, wilayah Utara langsung berbatasan dengan Pantai Utara Jawa. Daerah yang cukup luas ini terbagi dalam empat (4) Sektor pelayanan (lihat Peta) dan satu Pos Pelkes.Masing-masing Sektor dilayani oleh 4-11 Penatua/Diaken.Sedangkan Pos Pelkes Dempelrejo dilayani oleh 4 Penatua/Diaken.
Sektor Pelayanan II
Sektor Pelayanan III
GPIB Immanuel Semarang
Sektor Pelayanan IV
Sektor Pelayanan 1 I
Tabel 3. 1. Peta Wilayah Pelayanan GPIB Immanuel Semarang Pendudukan Kota Semarang adalah pendudukan kota yang jenis pekerjaannya sangat variatif. Mulai dari pegawai negeri sampai pengemudi becak.Hal ini tergambar pula dalam “wajah” anggota jemaat GPIB Immanuel yang varian.Meskipun dimasukan dalam kategori jemaat besar, GPIB Immanuel Semarang bukan merupakan gereja yang 51
besar secara kuantitas. Jumlah Kepala Keluarga hanya 237 KK. Total jiwa, baik yang dewasa maupun anak-akan adalah 718 jiwa. No
Sektor
Kepala Keluarga
1.
Sektor Pelayanan I
63 KK
2.
Sektor Pelayanan II
39 KK
3.
Sektor Pelayanan III
63 KK
4.
Sektor Pelayanan IV
51 KK
5.
Pospelkes Dempelrejo
21 KK
Total
237 KK
Tabel 3. 2. Jumlah Kepala Keluarga Per-Sektor
Sebagai jemaat di wilayah kota tua, anggota jemaat GPIB Immanuel didominasi oleh orang tua atau keluarga di atas 50 tahun. Sebagai konsekuensi pegembangan, keluarga-keluarga muda lebih memilih membangun rumah di wilayah Selatan yang jarak tempuhnya antara 30-45 menit dari GPIB Immanuel Semarang.
350 300
SD
250
SMP
200
SMA
150
SMK
100
S1
50
S2
0 1st Qtr
Tabel 3.3. Tingkat Pendidikan Warga Jemaat Salah satu hal yang menarik adalah hampir 40% keluarga GPIB Immanuel Semarang adalah hasil konversi ke dalam Kekristenan karena perkawinan.Beberapa di 52
antara mereka terpilih sebagai Majelis Jemaat, bahkan Pelaksana Harian Majelis Jemaat (PHMJ). Struktur organisasi GPIB Immanuel Semarang periode 2007-2012 adalah sebagai berikut : Ketua Majelis Jemaat : Pdt. Parlindungan Lumban Gaol, S. Th Ketua I
: Pnt. Korlina Nainggolan, SE
Ketua II
: Pnt. Drs. Bharoto, M. Si
Ketua III
: Pnt. Anthony Masihoroe
Ketua IV
: Dkn. Ny. Melly Herawati
Sekretaris
: Dkn. Ny. Endang S. I. Busasa
Sekretaris I
: Pnt. Dra. Ch. Jetty Sukardja-Sijoen
Bendahara
: Dkn. Ny. Kartini Manorek, SE
Bendahara I
: Dkn. Martha Inneke Sipasulta, SE
3. 1. 4. Sistem Kepemimpinan Jemaat Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) menganut sistem Presbiterial Sinodal. Sesuai dengan Peraturan Pokok GPIB No 1 Pasal 10 dan sesuai dengan Peraturan Pelaksanaan Majelis Jemaat GPIB Jemaat Immanuel Semarang Nomor 1 Pasal 6, Pimpinan Jemaat sepenuhnya berada ditangan Majelis Jemaat. Kepemimpinan bersifat kolektif,
pengambilan
keputusan
dilaksanakan
secara
mufakat.Kepemimpinan bersifat melayani bukan untuk dilayani. 53
musyawarah
untuk
Adapun sistem kepemimpinan di GPIB Jemaat Immanuel Semarang dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Majelis Jemaat Sesuai dengan Peraturan Pokok GPIB Nomor 1 Tahun 1996 Pasal 8,
dan
Peraturan Pelaksanaan Majelis Jemaat GPIB Jemaat Immanuel Nomor 3 pasal 1, Majelis Jemaat adalah pemimpin dan pembina jemaat yang mempunyai tanggung jawab yang penting dalam kehidupan berjemaat. Atau dengan kata lain Majelis Jemaat adalah pimpinan GPIB di tingkat jemaat. Majelis Jemaat terdiri atas para pendeta yang ditempatkan oleh Majelis Sinode di jemaat, dan para penatua dan diaken yang dipilih oleh warga sidi jemaat menurut Peraturan Pemilihan Penatua dan Diaken serta ditetapkan oleh Majelis Sinode. Jumlah anggota Majelis Jemaat ditentukan oleh Majelis Jemaat menurut kebutuhan jemaat sesuai dengan Peraturan Pemilihan Penatua dan Diaken. Masa tugas anggota Majelis Jemaat ditetapkan selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali. Majelis Jemaat diwakili oleh Ketua Majelis Jemaat dan Sekretaris Majelis Jemaat. 2. Pelaksana Harian Majelis Jemaat Sesuai dengan Peraturan Pokok GPIB Nomor 1 Pasal 12 dan Peraturan Pelaksanaan Majelis Jemaat GPIB Jemaat Immanuel Nomor 4 pasal 1, Pengurus Harian Majelis Jemaat disingkat PHMJ adalah wadah Majelis Jemaat yang bertugas mengelola kegiatan Majelis Jemaat sehari-hari dibidang Persekutuan, Pelayanan dan Kesaksian. PHMJ bertanggung jawab kepada Sidang Majelis Jemaat, PHMJ bertanggung jawab dalam semua kegiatan kedalam dan jeluar jemaat.PHMJ dipilih dari dan oleh anggota Majelis Jemaat melalui Sidang Majelis Jemaat, kecuali Ketua Majelis Jemaat yang adalah pendeta yang ditetapkan oleh Majelis Sinode.PHMJ terdiri dari sekurang-kurangnya 54
seorang Ketua, seorang Sekretaris, dan seorang Bendahara.Ketua Majelis Jemaat adalah Ketua PHMJ. Pelaksana Harian Majelis Jemaat terdiri dari : - Ketua
:
Seorang
Pendeta/
Ketua
Majelis
Jemaat,
membidangi
ImanAjaran Ibadah (IAI), Gereja dan Masyarakat (GERMAS), dan Umum. - Ketua Bidang I
:
Seorang Pendeta jemaat/
Penatua/
Diaken,
membidangi
Pelayanan Kesaksian dan Lingkungan Hidup. - Ketua Bidang II
: Seorang Pendeta jemaat/ Organisasi
dan
Penatua/
Komunikasi
Diaken,
(ORKOM),
membidangi
Penelitian
dan
Pengembangan (LITBANG), Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Insani (PPSDI), dan Pendidikan. - Ketua Bidang III
: Seorang Pendeta jemaat/ Penatua/ Diaken, membidangi Bidang Pelayanan Kategorial (BPK).
- Ketua Bidang IV
: Seorang Penatua/ Diaken, membidangi Daya dan Dana.
- Sekretaris I
: Seorang Penatua/ Diaken, membidangi distribusi informasi dan admintrasi serta pengintegrasian kesekretariatan lainnya.
- Sekretaris II
: Seorang
Penatua/
Diaken,
membidangi
pengarsipan
dan
kesekretariatan lainnya. - Bendahara I
: Seorang Penatua/ Diaken, membidangi pengelolaan anggaran dan keuangan.
55
- Bendahara II
: Seorang Penatua/ Diaken, membidangi perbendaharaan dan pembukuan.
3. Sidang Majelis Jemaat Sesuai dengan Peraturan Pokok GPIB Nomor 1 Pasal 15 dan Peraturan Pelaksanaan Majelis Jemaat GPIB Jemaat Immanuel Nomor 2, Sidang Majelis Jemaat adalah pertemuan dan persekutuan anggota Majelis Jemaat untuk membicarakan, membahas dan memutuskan hal-hal yang berhubungan dengan pelayanan dan kebutuhan jemaat dalam terang firman Allah. Sidang Majelis Jemaat diadakan sekali setiap triwulan dan wajib dihadiri setiap anggota Majelis Jemaat.Sidang Istimewa Majelis jemaat dapat diadakan sewaktu-waktu bila dianggap perlu dan wajib dihadiri setiap anggota Majelis Jemaat.Undangan dan lampiran materi Sidang Majelis Jemaat disampaikan selambatlambatnya 2 (dua) hari sebelum Sidang Majelis Jemaat. Peserta Sidang Majelis Jemaat adalah : a.
Pendeta / Ketua Majelis Jemaat
b.
Penatua dan Diaken Dalam pembahasan hal-hal tertentu, Pelaksana Harian Majelis Jemaat dapat
mengundang pengurus BPMJ, anggota BPPJ, para pendeta pelayanan umum yang berdomisili di wilayah GPIB Jemaat Immanuel, dan undangan lainnya yang dianggap perlu untuk menghadiri Sidang Majelis Jemaat dan kehadirannya adalah sebagai peninjau / undangan khusus.
56
4. Badan-badan Pembantu Majelis Jemaat Berdasarkan Peraturan Pokok GPIB Nomor 1 Pasal 16, dan Peraturan Pelaksanaan Majelis Jemaat GPIB Jemaat Immanuel Nomor 5 Pasal 1, Badan Pembantu Majelis Jemaat disingkat BPMJ, dalam penyelenggaraan pelayanan terhadap Jemaat dan demi tercapainya pelayanan secara menyeluruh dan merata, maka Majelis Jemaat dibantu oleh Badan-badan Pembantu Majelis Jemaat. Tugas dan tanggung jawab BPMJ adalah membantu Majelis Jemaat dalam memikirkan penjabaran kebijaksanaan dan perencanaan kegiatan menurut bidangnya meliputi: Bidang Pelayanan Kategorial (BPK) -
Komisi-Komisi
-
Panitia-Panitia
-
Yayasan-Yayasan Yang disebut sebagai perangkat BPMJ sesuai dengan Peraturan Pokok Majelis
Jemaat GPIB Jemaat Immanuel Nomor 5 adalah: Bidang Pelayanan Kategorial : -
Pelayanan Anak (PA)
-
Pelayanan Teruna (PT)
-
Gerakan Pemuda (GP)
-
Persekutuan Kaum Perempuan (PKP)
-
Persekutuan Kaum Bapak (PKB)
Komisi: -
Komisi Pelayanan dan Kesaksian
-
Komisi Diakonia 57
-
Komisi Paduan Suara dan Musik Gerejawi
-
Komisi Pembinaan dan Pendidikan
-
Komisi Penelitian, Perencanaan dan Pengembangan
-
Komisi Dana dan Daya mencakup Urusan Pembangunan, Urusan Pendanaan dan Urusan Rumah Tangga
-
Komisi Persekutuan Doa
Panitia Adalah Badan yang membantu Majelis Jemaat GPIB Immanuel untuk melaksanakan kegiatan jemaat.Panitia-panitia dibentuk sesuai dengan kebutuhan dan dalam batas-batas kegiatan pelayanan tertentu. Dalam penatalayanan yang dilakukan di GPIB Jemaat Immanuel, semua bentuk pelayanan dilaksanakan sesuai dengan sistem kepemimpinan yang berlaku.Dengan sistem kepemimpinan yang ada GPIB Jemaat Immanuel telah mampu melaksanakan pelayanan dan kesaksian di tengah-tengah di jemaat dengan baik. Selain Majelis Jemaat, Pelaksana Harian Majelis Jemaat, Sidang Majelis Jemaat, dan Badan Pelaksana Majelis jemaat sebagai suatu kepemimpinan struktural di GPIB Jemaat Immanuel, ada pula komponenkomponen lain yang menjadi alat kelengkapan organisasi untuk menunjang pelayanan jemaat yaitu : 5. Badan Pemeriksa Perbendaharaan Jemaat Sesuai dengan Peraturan Pokok GPIB Nomor 1 Pasal 18, dan Peraturan Pelaksanaan Majelis Jemaat GPIB Jemaat Immanuel Nomor 7 Pasal 1, Badan Pemeriksa Perbendaharaan Jemaat disingkat BPPJ adalah suatu badan otonom yang bertanggung jawab kepada sidang Majelis jemaat dan berdomisili ditempat kedudukan Majelis Jemaat 58
GPIB Immanuel Semarang. Anggota Badan Pemeriksa Perbendaharaan Jemaat dipilih dari antara warga sidi jemaat yang terdaftar, dengan persyaratan yang sama dengan pemilihan anggota Majelis Jemaat. 6.Pegawai/Karyawan Kantor Majelis Jemaat GPIB Immanuel Semarang Sesuai dengan Peraturan Pokok GPIB Nomor 1 Pasal 19, dan Peraturan Pelaksanaan
Majelis
Jemaat
GPIB
Jemaat
Immanuel
Nomor
8
Pasal
1,
Pegawai/Karyawan adalah tenaga yang bekerja didalam lingkungan Kantor Majelis Jemaat setelah melalui proses penerimaan pegawai yang berlaku sesuai Tata Gereja GPIB. Pegawai/karyawan kantor Majelis Jemaat GPIB Immanuel Semarang terdiri dari: Pegawai Tetap
: yang diangkat dengan Surat Keputusan Majelis Jemaat GPIB Immanuel Semarang.
Pegawai Tidak Tetap
: yang ditetapkan oleh Majelis Jemaat berdasarkan Perjanjian Kerja untuk masa tugas tertentu.
Gambar 3. 3. Eksterior Gereja Blenduk Pada Saat Ini
59
Gambar 3. 4. Interior Bangunan Gereja Blenduk
Gambar 3. 5. Mimbar Dalam Gereja Blenduk
Komentar Peneliti: Gambar 3. 3 di atas merupakan bangunan Gereja Blenduk yang berdiri pada saat ini di Jalan Letjend Suprapto No. 32 Kota Lama Semarang, bangunan ini sudah beberapa kali mengalami renovasi baik itu tembok warna gedung yang dahulu berwarna krem sekarang diubah menjadi putih, menara jam bagian kanan gambar, kanopi gereja juga beberapa tempat yang ada disekitarnya. Gambar 3. 4. Merupakan gambar foto untuk bagian dalam dari bangunan gereja Blenduk. Sisi bangunan yang indah dan klasik dapat dilihat pada gambar foto ini. Selain 60
itu juga nampak mimbar gereja yang tepat berada di arah depan, dan disamping kanan mimbar merupakan tempat majelis bertugas pada hari Minggu, sedangkan disamping kiri mimbar dilihat dari foto merupakan tempat untuk paduan suara, baik paduan suara jemaat, PKB, PKP, Sektor, Gerakan Pemuda, Persekutuan Taruna, Persekutuan Anak, maupun paduan suara tamu dari gereja lain. Bagian kanan atas dapat dilihat orgel yakni sebuah alat musik dengan bentuk indah yang memiliki asal suara berasal dari resonansi pipa-pipa oleh pompa udara, ini merupakan orgel yang sangat antik, dan keberadaannya hanya terdapat dua di Indonesia, salah satunya terdapat di Gereja GPIB Immanuel Gambir, Jakarta.Namun sayang orgel yang terdapat di GPIB Immanuel Semarang, sudah tidak berfungsi lagi. 3. 2. Persepsi Keluarga Kristen di Jemaat GPIB Immanuel, Semarang Tentang Nilai Keadilan 3. 2. 1. Pentingnya Peran Orang Tua Memberi Contoh Dalam Penerapan Nilai Keadilan
Dalam kehidupan berjemaattidak dapat dipungkiri bahwa keluarga merupakan komponen utama yang terdapat didalamnya. Sebagai unsur penting dalam kehidupan berjemaat, keluarga Kristen di sini merupakan tempat utama dalam pembentukan karakter pribadi seseorang yang dimulai sejak usia dini. Dalam kehidupan keluarga terdapat satu bentuk peran dan fungsi yang tentu harus dilakukan oleh suatu keluarga.Tugas dan tanggung jawab yang dipegang oleh orang tua inilah yang menjadi dasar dalam kehidupan keluarga. Dari orang tualah diwariskan segala ilmu, nilai hidup, keterampilan, dan kecerdasan yang diajarkan kepada anak-anak agar mereka dapat bertumbuh menjadi orang dewasa yang takut akan Tuhan. Sebagai pemberian Tuhan yang tidak ternilai harganya keluarga Kristenlah yang memegang peranan penting dalam pendidikan agama Kristen, bahkan lebih penting pula dari segala jalan lain yang dipakai gereja untuk pendidikan itu.
Pendidikan agama merupakan satu hal yang menjadi dasar dalam 61
kehidupan saat ini, oleh karena itu pokok-pokok besar dari kepercayaan Kristen sebaiknya mulai dipelajari dan dikenal justru di dalam lingkungan keluarga Kristen. Mendidik dalam arti mengajarkan kepada anak-anak untuk dapat hidup sebagaimana orang Kristen merupakan hal pokok dan penting untuk dilakukan dalam kehidupan keluarga, dengan sendirinya hal ini akan dialami oleh anak-anak dalam hubungan rumah tangga.Hal ini disamakan karena manusia merupakan suatu makhluk yang senantiasa belajar dari hal-hal baru disekitarnya, maka disitulah pendidikan itu ada. Ada berbagai cara yang dapat dilakukan oleh orang tua untuk mendidik dan mengajar anak-anak dalam kehidupan keluarga, namun jauh dari pada segala teori-teori yang ada dalam dunia pendidikan dapat dilihat bahwa peran orang tualah yang paling penting dalam memberikan teladan ditengah kehidupan keluarga dan merupakan suatu hal yang tidak dapat diduakan. Ini terjadi karena setiap tutur kata, tindakan, perbuatan yang ditunjukan oleh orang tua merupakan satu bentuk gambaran yang pada akhirnya akan menjadi teladan dan contoh bagi anak-anak mereka. Apa yang sudah mereka lakukan, apa yang sudah mereka perbuat terlebih apa yang sudah mereka tunjukkan itulah yang akan menentukan seorang anak untuk dapat menjadikan orang tuanya sebagai contoh dalam kehidupannya kelak. Hal ini merupakan satu bentuk proses sosialisasi yang tidak disengaja dilakukan dalam kehidupan keluarga, oleh karena ini terjadi dengan sendirinya tanpa disadari oleh orang tua maupun anak.
Berdasarkan hasil pengamatan partisipatif yang sudah dilakukan oleh penulis ketika turun langsung dalam kehidupan keluarga di Jemaat GPIB Immanuel, Semarang. Maka diperoleh beberapa informasi menarik yang membawa pada suatu pemahaman, bahwa apa yang sudah diperbuat dan dilakukan oleh orang tua itu dapat menjadi teladan 62
dan contoh bagi anak-anak mereka dalam kehidupan keluarga. Seperti halnya nilai-nilai Kristiani, terlebih khusus nilai keadilan yang terdapat dalam kehidupan keluarga.Teladan yang sudah diberikan oleh orang tua inilah pada akhirnya membawa pemahaman baru dalam kehidupan keluarga, terlebih dalam diri anak-anak ketika melihat dan mencontoh sikap, perilaku, dan tutur kata yang sudah ditunjukkan oleh orang tua mereka. Bagaimana cara agar nilai keadilan sebagai nilai dasar dalam keluarga ini diwujudnyatakan dan diterapkan dalam kehidupan keluarga mereka,di sini cara untuk dapat menerapkan nilai keadilan dalam keluarga adalah melalui contoh yang diperlihatkan oleh orang tua kepada anak-anaknya, ataupun terhadap sesama anggota keluarga.
Dalam hasil wawancara menurut pendapat salah satu orang tuayaitu saudara CT, ia mengemukakan bahwa: “Dalam keluarga pengertian-pengertian yang sudah diberikan, komunikasi antar anggota keluarga, bagaimana mengajarkannya di sini melalui contoh diri kita sendiri sebagai orang tua kepada anak-anak.”4 Begitu pula halnya dengan saudari MIS sebagai seorang anak yang menuturkan demikian: “Menurut saya tanggung jawab sebagai orang tua sangat penting, dan semuanya berasal dari orang tua, orang tua tetap sebagai patokan. Yang jelas orang tua memegang peranan penting dalam menerapkan nilai-nilai keadilan, kembali lagi dalam hubungan keluarga. Bagaimana orang tua dapat memberikan contoh, karena apa yang aku lihat, aku rasakan, yang aku lakukan ya itu dari orang tua, buah tidak jatuh jauh dari pohonnya. Seperti itu menurut saya.”5
4
Hasil Wawancara dengan saudara CT (Jemaat GPIB Immanuel Semarang), 07/09/12, pukul 15.10-15-55 WIB. 5 Hasil Wawancara dengan saudari MIS (Majelis Jemaat GPIB Immanuel Semarang), 07/09/12, pukul 15.10-15-55 WIB.
63
Gambar 3. 6. Saudari MIS berpendapat orang tua sebagai contoh dalam keluarga
Komentar Peneliti: Dalam gambar foto di atas dapat dilihat saudari IMS sedang memberi penjelasan tentang pentingnya peran orang tua memberikan contoh dalam penerapan nilai keadilan. Mengenai penerapan nilai keadilan dan pentingnya pendidikan dalam kehidupan keluarga, saudari KS sebagai orang tua, mengatakan: “Keadilan sebagai satu bentuk keseimbangan yang ada dalam kehidupan keluarga diterapkan melalui teladan yang diberikan orangtua, doa sebagai suatu usaha dalam menerapkan keadilan, juga pengertian dan kepekaan dalam pribadi masingmasing anggota keluarga terlebih dalam hal mengkomunikasikan keadilan tersebut.”6 Menanggapi penerapan keadilan dalam kehidupan keluarga, saudari IMS sebagai orang tua mengungkapkan:
6
Hasil Wawancara dengan saudari KS (Majelis Jemaat GPIB Immanuel Semarang), 08/09/12, pukul 20.3021.20 WIB.
64
“Pendidikan Agama Kristen dalam keluarga harus diterapkan dengan tanggung jawab mendidik sebagai bentuk terimakasih dan ucapan syukur kepada Tuhan terlebih ketika menerapkan nilai keadilan di dalam hubungan keluarga.”7 Ada pun saudara WP sebagai orang tua yang mengatakan: “Pendidikan dalam keluarga tentu sangat penting karena didalamnya terdapat belajar mengajar baik melalui tingkah laku, perkataan, sikap, tindakan.”8
Lain hal dengan yang diutarakan oleh saudari IMS dan saudara WP, saudari ACH sebagai orang tua berpendapat lain dalam hal ini, ia mengatakan: “Pendidikan dalam keluarga sangat penting agar anak-anak dapat hidup dengan baik, sebagai dasar dari keluarga, dan ini sebagai tugas penting yang harus diperhatikan oleh orang tua dengan interaksi dan komunikasi didalamnya.”9 Menanggapi pertanyaan mengenai pemahaman dan penerapan pendidikan dalam mewujudnyatakan nilai keadilan saudari MS sebagai seorang anak mengutarakan dengan memberi suatu contoh: “Menurut saya pendidikan dalam keluarga sangat penting, soalnya ini merupakan proses awal kita belajar akan segala sesuatu hal. Contohnya kalau orang tua kita tingkah lakunya tidak baik, itulah yang pada akhirnya akan dicontoh oleh kita sebagai anak-anak kelak. Orang tuaku saja sudah berbuat tidak baik, jadi ya buat apa aku harus berbuat baik atau pun orang tua dalam keluarga yang sering berkelahi, ini kan satu bentuk contoh yang diperlihatkan, di mana saya sebagai anak-anak ya belajar, meniru apa yang sudah orang tua saya tunjukan.”10 Pengertian-pengertian yang sudah diberikan oleh orang tua di sini merupakan suatu bentuk proses pendidikan dalam memberi pengajaran kepada anak-anak melalui
7
Hasil Wawancara dengan saudari IMS (Jemaat GPIB Immanuel Semarang), 15/09/12, pukul 13.30-14.05 WIB. 8 Hasil Wawancara dengan saudara WP (Jemaat GPIB Immanuel Semarang), 04/09/12, pukul 16.30-17.15 WIB. 9 Hasil Wawancara dengan saudara ACH (Jemaat GPIB Immanuel Semarang), 07/09/12, pukul 14.10-14.50 WIB. 10 Hasil Wawancara dengan saudari MS (jemaat GPIB Immanuel Semarang), 27/10/12, pukul 20.30-20.45 WIB.
65
contoh yang sudah ditunjukan dalam diri mereka. Hal ini merupakan salah satu ungkapan yang menjadi informasi penting bagi penulis dalam memperoleh suatu pemahaman tentang bagaimana nilai keadilan diterapkan dalam kehidupan keluarga. Dari apa yang sudah dicontohkan inilah seseorang dalam lingkup keluarga mampu melihat juga meniru apa yang menjadi teladan bagi diri mereka, khususnya pribadi anak-anak dalam melihat orang tua mereka. Suatu penerapan berupa contoh dan teladan inilah yang disadari dan dilakukan dalam kehidupan keluarga oleh para orang tua pada umumnya di lingkup Jemaat Immanuel, Semarang.Mulai dari kehidupan keluarga semua itu diprioritaskan agar pada nantinya ketika menghadapi kehidupan yang lebih luas baik dalam jemaat, dalam pekerjaan, dalam masyarakat, itulah yang akan menjadi bekal bagi anak-anak dalam kehidupan mereka. Pendidikan sebagai satu hal yang melekat dalam kehidupan keluarga tentunya harus mendapatkan perhatian selain contoh dan teladan yang sudah diberikan oleh orang tua dalam menerapkan nilai keadilan, oleh karena pendidikan merupakan bentuk pengajaran yang dilakukan dalam kehidupan keluarga. Tidak hanya kepada anakanak melainkan orang tua juga belajar dari apa yang dijumpai dalam kehidupan keluarga tersebut. Bertolak dari ringkasan wawancara di atas, penulis mencoba melakukan analisa terhadap teori pendidikan yang dipaparkan oleh Cremin yang mengemukakan bahwa: “Pendidikan sebagai usaha yang sadar dimana terdapat kesengajaan, sistematis dan berkesinambungan untuk mewariskan, membangkitkan atau memperoleh baik pengetahuan, sikap, nilai, keterampilan atau kepekaan, maupun hasil apa pun dari usaha tersebut.” Beranjak dari pendapat Cremin, Whitehead berpendapat bahwa:
66
“Pendidikan sebagai bimbingan kepada individu menuju pemahaman dari seni kehidupan yakni, pencapaian paling lengkap dari berbagai aktifitas yang menyatakan potensi dari makhluk hidup berhadapan dengan lingkungan aktual.”11 Penulis sependapat dengan teori di atas oleh sebab apa yang menjadi tujuan dalam pendidikan, itu juga merupakan dasar dalam pelaksanaan pendidikan agama Kristen dalam keluarga Kristiani sebagai persekutuan Kristen dan komunitas Kristen. Berdasarkan analisa yang sudah dilakukan oleh penulis, dapat dipahami bahwa pendidikan merupakan hal penting dalam kehidupan keluarga yang di dalamnya anakanak maupun pribadi dalam keluarga tersebut memperoleh pengetahuan, pemahaman, sikap, nilai dari kehidupan yang sudah diwariskan untuk pembentukan kepribadian dan karakter terlebih menjadi bekal dalam kehidupan di masa mendatang. Dari sinilah penulis memperoleh suatu pemahaman berdasarkan analisa hasil wawancara dan teori yang memperkuat bahwa, nilai keadilan yang ada dalam kehidupan keluarga Kristen diterapkan melalui pendidikan yang sudah diterima dalam diri seseorang, juga melalui contoh dan teladan yang ditunjukan oleh orang tua dengan mensosialisasikannya dalam kehidupan keluarga terlebih kepada anak-anak mereka yang dilakukan secara sadar dan disengaja. Sama halnya dengan ungkapan Suharti: “Orang tua dalam sebuah keluarga haruslah memiliki keutamaan dalam hak dan kewajiban untuk mendidik anak-anak. Arti kata mendidik adalah membantu dengan sengaja dari pertumbuhan anak dalam mencapai kedewasaan.”12 Kedewasaan yang dimaksudkan di sini adalah kedewasaan baik jasmani maupun rohani dalam keluarga tersebut sebagai persekutuan Kristiani yang beriman.
11
Dalam Daniel Nuhamara, Pembimbing PAK, (Bandung: Jurnal Info Media, 2007), hal 16. R. I. Suharti C. Cara Mendidik Anak Dalam Keluarga Kristen, (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1990), hal 5.
12
67
Selain hal di atas penulis juga berpendapat bahwa dalam menerapkan nilai keadilan di kehidupan keluarga, juga dibutuhkan satu bentuk proses penyesuaian diri di dalamnya. Bertolak dari teori proses sosialisasi dalam pendidikan agama Kristen yang dipaparkan oleh Groome, penulis di sini mencoba melakukan analisa dalam karakteristik cara menerapkan nilai keadilan, di mana orang tua melalui contoh dalam dirinya berusaha untuk menerapkannya dalam kehidupan keluarga. Hal inilah yang juga dikemukakan oleh Groome, sosialisasi sebagai proses dalam membentuk identitas manusia dalamnya harus mendapatkan perhatian yang utama dan proses ini harus terjadi secara sadar dan sengaja.13
Penulis setuju dengan proses sosialisasi sebagai suatu proses dalam menerapkan nilai keadilan. Menurut penulis, contoh yang sudah diberikan oleh orang tua merupakan satu bentuk usaha secara sadar dan disengaja untuk dapat menerapkan nilai keadilan dalam kehidupan keluarga. Usaha secara sadar dan sistematis inilah yang pada akhirnya akan membuahkan hasil, di mana anak-anak belajar melalui contoh yang sudah diberikan dan kemudian mereka memahami juga melakukannya dalam kehidupan mereka. Keluarga Kristen yang sadar akan tugas dan tanggung jawab mendidik tentu akan melakukannya dalam kehidupan keluarga mereka, oleh karena pendidikan di sini menjadi suatu hal yang penting dalam kehidupan keluarga. Oleh sebab itu orang tua mempunyai tugas penting yang seharusnya dapat membimbing anak-anak mereka dengan baik. Orang tua sebagai pendidik dalam keluarga tentu juga ikut belajar dan mengembangkan diri melalui pengalaman yang sudah dimiliki. Peran orang tua sebagai pendidik utama dalam keluarga ini hendaknya dilaksanakan sebagai tanggung jawab kepada Tuhan. Menurut
13
Dalam N. K. Atmadja Hadinoto, Dialog Dan Edukasi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), hal 186-189.
68
penulis, dengan motivasi seperti ini orang tua seharusnya dapat menjalankan peran seutuhnya sebagai pendidik dan peserta didik, terutama ketika menerapkan nilai keadilan dalam contoh yang sudah diperlihatkan.
Gambar 3. 7. Ibadah Persekutuan Anak yang dilakukan di ruang Pastori
Komentar Peneliti: Gambar ini merupakan bentuk Persekutuan Anak yang dilakukan di Rumah Pastori gereja pada hari Minggu 07 September 2012. Dalam gambar foto di atas dapat dilihat beberapa ibu dan bapak ikut menemani anakanak mereka dalam ibadah Persekutuan Anak. Namun penulis berpendapat lain dalam hal ini, penulis lebih melihat bahwa peran pendampingan yang dilakukan orang tua di sini sangatlah kurang maksimal, ini dikarenakan para orang tua yang terkadang hanya duduk-duduk saja ataupun sibuk bermain handphone maupun berbicara dengan orang tua yang lain dari pada lebih mengarahkan anak-anak mereka dalam ibadah. Akibatnya anak-anak pun ada yang ngobrol sendiri dengan 69
temannya, bahkan ada yang berlarian bersama temannya di saat ibadah Persekutuan Anak berlangsung. Penulis juga melihat bahwa kurangnya jumlah guru pengajar, ketrampilan yang di miliki dan persiapan yang mereka lakukan sebelum mengajar di Persekutuan Anak. Guru-guru pengajar dalam hal ini banyak didominasi oleh anggota gerakan pemuda yang ikut serta dalam ibadah persekutuan anak setiap hari Minggu pukul 09.00 WIB-selesai.
3.2. 2. Keadilan Sebagai Nilai Yang Sudah Dilakukan Namun Belum Maksimal Keadilan sebagai nilai dasar dalam kehidupan keluarga Kristen rupanya perlu mendapat perhatian lebih agar dalam hubungan keluarga, terlebih antara relasi sesama anggota keluarga senantiasa merasakan adanya keseimbangan antara satu dengan lainnya.Keseimbangan di sini dalam artian agar dalam keluarga tersebut selalu dijumpai satu bentuk sifat adil di dalamnya.Sebagai konsep yang menunjuk pada suatu relasi, relasi yang mencakup keseluruhan hidup antara Allah, manusia dan seluruh ciptaan-Nya.Relasi di sini bukan saja secara tehnis-mekanis, tetapi relasi juga sebagai nilai, makna yang harus dihargai, dihormati dan diakui.14Dari relasi inilah orang dapat mengetahui dan mengenal bahwa ada nilai yang substansial dan patut dihargai karena memberi pemaknaan pada kehidupan. Selain relasi, keadilan juga berhubungan erat dengan tingkah laku yang dapat diterima dalam sebuah keluarga, yang menjamin rasa percaya satu sama lain dan tidak dapat dinilai dengan materi tetapi dengan hati nurani manusia.15 Sangat
14
Al. Andang L. Binawan, Keadilan sosial Upaya Mencari Makna Kesejahteraan Bersama di Indonesia, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2004), hal 237. 15 Ibid hal 237.
70
jelas dipahami bahwa keadilan merupakansatu bentuk kehidupan bersama yang seimbang dalam kepelbagaian antara satu dengan yang lain. Dalam hasil wawancara menurut pendapat salah satu anggota jemaat yakni saudari MSS sebagai orang tua, yang menuturkan: “Menurut saya keadilan merupakansuatu sikap yang tidak membeda-bedakan atau dalamnya tidak ada satu bentuk pilih kasih.”16 Begitu pula dengan pendapat saudara CT sebagai orang tua yang mengatakan: “Bagi saya keadilan sebagai bentuk sifat tidak pilih kasih, semuanya harus sama dan harus seimbang.”17 Lain hal dengan pendapat yang sudah diungkapkan oleh saudari MSS dan saudara CT sebagai orang tua. Saudari MS sebagai seorang anak mengutarakan dengan memberikan contoh bahwa: “Keadilan di sini harus sama rata dari apa yang diperoleh dan harus sesuai dengan porsi dan kebutuhan masing-masing, sebagai contoh yang ada dalam keluarga “kalau mama bawa makanan dari luar untuk dimakan bersama-sama dirumah, di sini mama selalu membagi rata makanan itu, jadi ya tidak ada yang dapat banyak dan tidak ada yang sedikit porsinya.Jadi adil di sini harus sama rata sesuai dengan porsi masing-masing dan ini pun sudah diterapkan dalam keluarga mulai dari contoh yang diberikan oleh orang tua, karena mereka kan orang yang paling dekat dengan kita.”18 Gambar 3. 8. Wawancara saudari MS dan MPS dalam hubungan kakak beradik
16
Hasil Wawancara dengan saudari MSS (Jemaat GPIB Immanuel Semarang), 08/09/12, pukul 18.30-19.00 WIB. 17 Hasil Wawancara dengan saudari CT (Jemaat GPIB Immanuel Semarang), 07/09/12, pukul 15.1015.55WIB. 18 Hasil Wawancara dengan saudari MS (Jemaat GPIB Immanuel Semarang), 27/10/12, pukul 20.30-20.45 WIB.
71
Komentar Peneliti: Dalam gambar foto di atas saudari MS dan saudara MPS merupakan kakak beradik dalam satu keluarga di Jemaat Immanuel, Semarang. keduanya memberi penjelasan tentang pentingnya peran orang tua memberikan contoh dalam penerapan nilai keadilan yang harus sama rata dari apa yang diperoleh dan harus sesuai dengan porsi dan kebutuhan masing-masing pribadi. Demikianlah dapat dimengerti bahwa dalam kehidupan suatu keluarga harus terdapat keseimbangan maupun relasi yang harmonis di dalamnya agar setiap pribadi anggota keluarga turut merasakan kesamaan sesuai dengan hak yang dimilikinya, begitu pula dalam hubungan antar anggota keluarga sebagai persekutuan yang dikuduskan oleh cinta kasih Kristus.Apabila hal ini sudah ada dan terdapat dalam kehidupan keluarga, maka dapat dikatakan bahwa keluarga tersebut sudah menjalankan fungsi-fungsi yang terdapat dalam kehidupan keluarga dengan baik.Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa tugas dan tanggung jawab orang tua sebagai guru utama dalam mengajar dan mendidik di sini merupakan suatu hal yang sering kali tidak disadari dengan baik oleh para orang tua.Dapat dilihat bahwa, masih banyak kehidupan keluarga Kristen yang ada pada saat ini kurang menunjukan diri mereka sebagai pribadi Kristen yang senantiasa melakukan ajaran Kristiani dalam kehidupannya.Keadilan sebagai salah satu nilai yang terdapat dalam kehidupan manusia merupakan nilai yang mungkin kurang mendapatkan perhatian 72
yang lebih dilingkup keluarga. Keadilan sebagai satu bentuk kehidupan bersama dalam kepelbagaian antara satu dengan yang lain di lingkup keluarga tentu harus dapat dilakukan secara seimbang oleh sebab hal ini merupakan prinsip dasar yang berasal dari Allah, di mana keadilan dapat dipahami sebagai cara Allah berada dan bertindak. Keadilan ilahi yang berasal dari Allah menyuguhkan kita cita-cita untuk dapat melakukan sesuatu yang lebih, dengan kata lain keadilan ilahi adalah keadilan yang tanpa takaran, yakni keadilan yang berkemurahan hati dan keadilan yang berlimpah dan dianugerahkan Allah sebagai sesuatu yang harus dilakukan. Pada proses pengumpulan data berdasar hasil pengamatan partisipatif yang sudah dilakukan penulis ketika turun langsung dalam proses penelitian di GPIB Jemaat Immanuel Semarang, maka diperoleh beberapa informasi menarik yang membawa suatu pemahaman bahwa keadilan di sini sebagai nilai yang sudah dilakukan dalam kehidupan keluarga Kristen di Jemaat Immanuel. Namun dari apa yang sudah mereka lakukan dan terapkan dalam kehidupan keluarga rupanya belum dilakukan sepenuhnya dengan maksimal. Ini dapat dimengerti, bahwa nilai keadilan dalam kehidupan keluarga merupakan nilai yang kadangkala kurang mendapatkan perhatian lebih dalam hubungan keluarga di mana jemaat berpendapat keadilan dalam keluarga sebagai sifat yang tidak pilih kasih terhadap anak-anak, tidak ada saling membeda-bedakan antara satu dengan yang lain, melainkan harus sama dan seimbang dalam perlakuannya. Apabila berbicara tentang keadilan dalam keluarga pastilah sedapat dan sebisa mungkin hal ini diwujudnyatakan, namun keadilan di sini juga harus melihat bagaimana porsi dan kebutuhan yang diberikan dalam kehidupan keluarga.Seperti yang dituturkan oleh saudari E sebagai orang tua, menurutnya: 73
“Keadilan itu sudah dilakukan dalam kehidupan keluarga, tapi di sini porsi seseorang itu berbeda-beda.bukan berarti kalau keadilan itu harus sama terus tidak begitu juga. Tidak ada yang merasa dirugikan atau dilebihkan, melainkan keadilan di sini tetap diterapkan dengan pengertian tadi, agar antara hubungan keluarga merasa saling diperhatikan.Kembali lagi kepada porsi atau kebutuhannya masingmasing dan juga pengertian yang diberikan di sini sangatlah penting”.19 Berdasarkan pemahaman seperti ini, jelas bahwa nilai keadilan dalam keluarga tentu harus diterapkan.Tetapi juga perlu melihat berbagai aspek di dalamnya dan mempertimbangkannya sesuai dengan porsi dan kebutuhan yang diberikan agar dalam hubungan anggota keluarga tidak terkesan pilih kasih atau berat sebelah, melainkan semuanya adil dan sesuai dengan porsinya masing-masing.Bagaimana caranya agar antara anak-anak maupun orang tua tidak ada perasaan iri, cemburu, atau sifat lebih dipentingkan. Seperti yang dituturkan oleh saudara FO sebagai orang tua, menurutnya: “Keadilan itu sudah diterapkan dalam kehidupan keluarga, namun kadang-kadang tidak 100% (seratus persen) hal ini diterapkan, kita kan juga harus melihat kemampuan, situasi, kondisi, dan yang penting kita harus melihat keadaan yang ada pada saat itu.”20 Keadilan yang bersifat relatif sebagai suatu nilai yang sudah dilakukan, walaupun belum sepenuhnya diterapkandalam kehidupan jemaat Immanuel Semarang tentu juga harus mempertimbangkannya dengan pengertian, pengarahan dan contoh yang sudah diberikan oleh orang tua untuk dapat mengatur dan mengkoordinasikan segala sesuatu yang dibutuhkan sesuai dengan situasi, keadaan dan kemampuan yang diberikan dengan baik agar tidak terkesan lebih berpihak kepada satu hal.
19
Hasil Wawancara dengan saudari E (Majelis Jemaat GPIB Immanuel Semarang), 14/09/12, pukul 14.0014.25 WIB. 20 Hasil Wawancara dengan saudara FO (Jemaat GPIB Immanuel Semarang), 07/09/2012, pukul 14.1014.50 WIB.
74
Dalam hasil wawancara menurut pendapat saudaraPL sebagai seorang pendeta sekaligus orang tua, ia mengemukakan bahwa: “Keadilan sebagai kebenaran yang berasal dari Tuhan yang dalamnya harusterdapat keseimbangan baik dalam perlakuan, perhatian, pekerjaaan, keluarga dan gereja.Dapat dikatakan Keadilan bersifat relatif, oleh sebabnya memberlakukan keadilan harus tepat sesuai dengan waktu dan akal budi yang sudah Tuhan berikan.”21 Demikian halnya yang juga diungkapkan oleh saudari RG sebagai orang tua yang mengutarakan: “Keadilan diterapkan melalui pengarahan yang diberikan oleh orang tua dengan penuh tanggung jawab juga dalam doa.”22
Berdasarkan hasil wawancara yang sudah diperoleh dapat diringkas bahwa, satu bentuk pengertian dan pengarahan yang diberikan oleh orang tua merupakan tugastanggung
jawabuntuk
dapat
memberlakukan
keadilan
dalam
kehidupan
keluarga,walaupun hal ini belum diperhatikan dan diterapkan sepenuhnya. Akan tetapi keadilan di sini selalu diusahakan dan sudah dilakukan agar sedapat mungkin hadir ditengah kehidupan keluarga, baik kesesama anggota keluarga maupun ketika ada dalam kehidupan yang lebih luas.Berdasar ringkasan wawancara diatas, penulis di sini mencoba melakukan analisa terhadap teori Keadilan menurut Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, di mana keadilan menurut Perjanjian Lama merupakan perwujudan dari Allah sendiri melalui perbuatan kasih dan tindakan penyelamatan terhadap mereka yang miskin, lemah, tertindas dan menderita. Dapat dipahami bahwa Allah dalam cinta dan belas kasihnya yang telah menyelamatkan semua orang tanpa terkecuali melalui Tuhan Yesus Kristus yang melebihi arti umum keadilan dalam pemahaman sehari-hari (memberi orang apa 21
Hasil Wawancara dengan saudara PL (Ketua Majelis Jemaat GPIB Immanuel Semarang), 16/09/2012, pukul 19.00-20.45 WIB. 22 Hasil Wawancara dengan saudari RG (Jemaat GPIB Immanuel Semarang), 08/09/2012, pukul 18.3019.00 WIB.
75
yang menjadi haknya, menghukum orang setimpal dengan kesalahannya). Sedangkan dalam Perjanjian Baru “Keadilan Allah”Dikaiosune,23 itu adalah “Kuasa Allah yang menyelamatkan”. Berdasarkan hal ini, kebenaran Allah dapat dipahami sebagai keadilan yang membenarkan semua orang berdosa.24 Dari analisa hasil wawancara yang sudah dilakukan, penulis hendak memperkuat hasil wawancara dengan teori keadilan yang dipaparkan menurut Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dengan membawa suatu pemahaman bahwa keadilan sebagai kebenaran Allah yang membenarkan semua orang berdosa juga sebagai kuasa Allah yang menyelamatkan hanya diwujudkan oleh Allah sendiri dan ini harus diterapkan dalam kehidupan keluarga sesuai dengan waktu dan akal budi yang sudah Tuhan karuniakan, agar keadilan seluruhnya tetap dirasakan dan dimaksimalkan penerapannya dalam kehidupan keluarga. 3. 2. 3. Penerapan Keadilan Dalam Keluarga PerluDikelola
Keluarga Kristen yang dapat dipahami sebagai bentuk dari gereja kecil atau gereja rumah tangga memiliki pengertian bahwa keluarga sebagai persekutuan kecil dalam ikatan rumah tangga harus mampu memperlihatkan satu bentuk kehidupan yang saling mengembangkan,
memelihara
dan
mencintai
dalam
hubungan
antar
anggota
keluarga.Oleh sebab itu, anggapan keluarga sebagai gereja mini atau gereja rumah tangga di sini pun mendapatkan respon positif dari pemahaman jemaat Immanuel. Jemaat sependapat akan hal ini karena mereka menganggap bahwa keluarga Kristen seharusnya mampu mencerminkan kehidupan yang sesuai dengan ajaran Kristiani di mana Allah selalu bertindak dalam perbuatan kasih setia-Nya.
23 24
LAI menerjemahkan Dikaiosune itu dengan “kebenaran”. Lihat Roma 3:21-31;4:5.
76
Seperti yang dituturkan dalam hasil wawancara oleh saudari RG sebagai orang tua: “Menurut saya didalam keluarga, persekutuan antara suami, isteri, dan anak-anak itu suatu wujud persekutuan kecil di mana keluarga itu disebut gereja mini, dan setiap orang yang dalam hal ini keluarga dan anggota keluarga melakukan persekutuan, dalam artian persekutuan kecil yang dilakukan oleh keluarga selain daripada persekutuan yang ada dalam gereja.”25
Anggapan Jemaat yang memandang keluarga sebagai gereja mini atau gereja rumah tangga yang dalamnya terdapat persekutuan kecil antara setiap anggota keluarga tentu harus memiliki hubungan kasih di dalamnya. Merespon hal ini pun, setiap jemaat memiliki pemahaman yang beragam pula. Seperti yang diutarakan oleh saudari SS sebagai orang tua, yang mengutarakan:
“Kalau menurut saya anggapan ini benar, karena di dalam keluarga
ada persekutuan kecil, yang di dalamnya kita bersama-sama berdoa, kita bersamasama bersekutu dalam ibadah kecil, kita juga sudah diberi buku tuntunan renungan harian, jadi bisa digunakan sebagai makanan rohani sehari-hari dalam keluarga dalam persekutuan kecil antara orang tua dan anak. Jadi memang benar kalau keluarga itu sebagai gereja kecil.”26 Adapun yang dikemukakan oleh saudara R sebagai seorang anak mengemukakan pendapatnya bahwa: “Keluarga Kristen merupakan persekutuan yang mampu hidup sejalan pada firman Tuhan sebagai bagian dari gereja.”27
25
Hasil Wawancara dengan saudari RG (Jemaat GPIB Immanuel Semarang), 08/09/12, pukul 18.30-19.00 WIB. 26 Hasil Wawancara dengan saudari MSS (Jemaat GPIB Immanuel Semarang), 08/09/12, pukul 18.30-19.00 WIB. 27 Hasil Wawancara dengan saudari R (Jemaat GPIB Immanuel Semarang), 08/09/12, pukul 18.30-19.00 WIB.
77
Lain daripada pemahaman di atas saudari ISM sebagai orang tua yang berpendapat bahwa: “Keluarga sebagai cerminan dari gereja kecil istilahnya seperti wadah yang telah disatukan Tuhan, dua orang yang sudah disatukan Tuhan, di mana keluarga merupakan tempat untuk berkomunikasi, pertamanya berkomunikasi dengan Tuhan, dapat dikatakan sebagai tempat untuk menyalurkan segala sesuatu dengan apa yang telah disatukan Tuhan, didalamnya terdapat ayah, ibu anak.”28 Demikian halnya yang diutarakan AH sebagai seorang anak dalam hasil wawancara yang berpendapat bahwa: “Kalau menurut saya memang benar ada pemahaman bahwa keluarga itu sebagai gereja mini. Tetapi saya beranggapan selain gereja mini keluarga itu menurut saya ibaratnya seperti tubuh yang terdiri dari anggota tubuh yang lain, tangan, kaki, mata, hidung, mulut, semuanya harus bekerja bersama-sama. Apabila tidak ada kerja sama mungkin dapat dikatakan keluarga tersebut tidak akan harmonis dalam kehidupan berkeluarga dan tidak bisa dikatakan sebagai keluarga.”29
Gambar 3. 10. Saudari AH mengibaratkan keluarga sebagai kesatuan tubuh manusia
Komentar Peneliti: Dalam gambar foto di atas saudari AH mengutarakan pemahaman keluarga sebagai gereja kecil ibaratnya tubuh yang terdiri dari tangan, kaki, kepala, mata, telinga, hidung yang dapat bekerja sama, sama halnya dalam 28
Hasil Wawancara dengan saudari ISM (Jemaat GPIB Immanuel, Semarang), 08/09/12, pukul 08/09/12, pukul 18.30-19.00 WIB. 29 Hasil Wawancara dengan saudari AH (Jemaat GPIB Immanuel Semarang), 26/10/12, pukul 19.20-19.33 WIB.
78
penerapan nilai keadilan di keluarga membutuhkan satu bentuk kerjasama untuk mewujudnyatakannya. Begitu pula dengan saudari MSS sebagai orang tua yang menuturkan: “Keluarga Kristen seharusnya terdapat persekutuan didalamnya yang saling melengkapi satusama lain, saling menguatkan. Jadi harus ada hubungan yang erat, terlebih selalu mengandalkan Tuhan dalam kehidupan keluarga. Peran serta orang tua di sini tetap sangat penting, bagaimana orang tua peduli terhadap pertumbuhan anak-anak, itu semua sangat penting, begitu juga saat dalam keluarga, agarpada nantinya anak-anakakan lebih mengenal Tuhan sebagai keluarga Kristen yang baik dan takut akan Tuhan.”30 Dari wawancara yang sudah dilakukan, maka dapat diringkas bahwa keluarga sebagai bagian dari gereja yang dalamnya terdapat ayah, ibu dan anak di mana keluarga digambarkan sebagai gereja mini, gereja kecil ataupun suatu wadah yang dapat diibaratkan seperti tubuh yang terdiri dari organ-organ tubuh lainnya dan dalamnya terdapat hubungan persekutuan antara ayah, ibu, anak-anak, baik ketika bersama-sama beribadah dan bersama-sama berdoa sebagai bentuk persekutuan kecil dalam kehidupan rumah tangga.
Berdasar pada ringkasan wawancara di atas penulis mencoba melakukan analisa terhadap teori gereja yang dipaparkan oleh Bonhoeffer, di mana ia mendefinisikan: “Gereja sebagai bentuk persekutuan antar pribadi, yakni persekutuan yang dibangun oleh kasih agape dengan menekankan wujud relasi aku-engkau bukan lagi hubungan yang bersifat menuntut tetapi memberi.”31 Penulis setuju akan hal ini, jadi hubungan yang terdapat dalam kehidupan keluarga Kristen sebagai bentuk dari gereja kecil di sini merupakan hubungan kasih antar pribadi anggota keluarga yang senantiasa memberi, baik itu waktu, perhatian, cinta, kasih 30
Hasil Wawancara dengan saudari MSS (Jemaat GPIB Immanuel Semarang), 08/09/12, pukul 18.30-19.00 WIB. 31 Dalam Yusak B. Setyawan, Hand-outs Eklesiologi Fakultas Teologi UKSW.
79
sayang dan lain sebagainya. Kata “gereja”yang menurut kata Yunani Kyriake Oikia, yang berarti “keluarga Allah”, dapat dipahami bahwa gereja digambarkan sebagai keluarga Allah yang memiliki segi umum dalam dimensi kesatuan, persekutuan, cinta kasih dan komunitas dalam kehidupan keluarga.32Adapun ikatan antara gereja dan keluarga Kristen dengan membentuk keluarga sebagai gereja rumah tangga. Dalam gereja rumah tangga, hendaknya orangtua dengan perkataan maupun teladan menjadi pewarta iman pertama bagi anak-anaknya.
Berdasarkan pada hal inilah yang kemudian membawa satu
pemahaman bahwa dalam kehidupan keluarga Kristiani sebagai bentuk persekutuan kecil dalamnya terdapat nilai-nilai Kristen yangharus diterapkan dan diwujudnyatakan dalam kehidupan keluarga. Dalam pembahasan ini penulis akan mencoba menjabarkan tentang bagaimana nilai keadilan sebagai salah satu nilai Kristiani yang perlu dikelola dengan baik dalam kehidupan keluarga. Nilai keadilan yang sangat relatif di siniharus mendapatkan satu bentuk perhatian dalam keluarga, khususnya peranan orang tua dalam mendidik anak-anak, memberikan contoh, dan mengajarkannya kepada anak-anak. Dalam kehidupan keluarga Kristen pada saat ini terkadang seseorang tidak mampu untuk membagi waktu dengan baik dalam dirinya.Ini juga dapat dilihat dalam hubungan antar anggota keluarga di mana masalah utama yang seringkali muncul dalam kehidupan keluarga adalah masalah ruang dan waktu. Terkadang orang tua yang masih sibuk dengan pekerjaannya atau dengan urusan yang lain, sehingga keluarganya menjadi kurang diperhatikan, ataupun sebaliknya. Ada juga yang lebih mengutamakan keluarga dan pekerjaan, namun pada akhirnya tidak memperhatikan kehidupan berjemaat (di gereja), begitu juga sebaliknya.Hal-hal seperti inilah yang sangat disayangkan apabila terjadi
32
Maurice Eminyan, SJ, Teologi Keluarga, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hal 207.
80
dalam kehidupan keluarga Kristen, karena seseorang dalam keluarga belum mampu mengatur dan mengelola antara pekerjaan, keluarga, dan waktu untuk Tuhan dengan baik.
Sama halnya dengan nilai keadilan yang dimaksudkan oleh penulis di sini juga memiliki gambarannya seperti yang terdapat di atas. Bagaimana cara agar nilai keadilan ini dapat diterapkan dan diberlakukan terlebih dalam hubungan relasi antara sesama anggota keluarga agar semuanya mampu diatur dengan baik dan maksimal (seimbang). Tentu sangat dibutuhkan perhatian dan kesadaran diri yang tinggi untuk mengelola keadilan dalam kehidupan keluarga.Peran yang dipegang oleh orang tua merupakan suatu hal yang tidak dapat tergantikan oleh siapapun. Bagaimana harus bertindak, dan berperilaku secara adil dan tidak berat sebelah tentu harus dapat diatur sedemikian rupa baiknya. Sangatlah dibutuhkan pengelolaan yang baik agar dalam kehidupan keluarga di sini dapat dijumpai suatu keseimbangan, dalam artian tidak berat sebelah. Karena jika terjadi ketidakseimbangan maka dapat dikatakan dalam kehidupan keluarga Kristen, terlebih dalam menerapkan nilai keadilan akan dijumpai perasaan iri hati, cemburu, pilih kasih, oleh karena apa yang didapatkannya tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi.
Seperti yang diungkapkan dalam wawancara oleh saudariESI sebagai orang tua, menurutnya: “Keadilan di sini jangan sampai menimbulkan kecemburuan sosial, jangan membeda-bedakan dalam perlakuan. Tidak hanya adil dalam perkataan saja, tetapi dalam perlakuan juga harus ditampakkan.”33
33
Hasil Wawancara dengan saudari ESI, (Majelis Jemaat GPIB Immanuel Semarang), 14/09/12, pukul 14.00-14.25 WIB.
81
Inilah yang diperoleh penulis ketika melakukan wawancara dengan beberapa keluarga Kristen di jemaat Immanuel mengenai nilai keadilan yang diterapkan dan yang harus diatur dengan baik.
Demikian halnya dalam hasil wawancara yang diutarakansaudariKN sebagai orang tua, ia berpendapat bahwa: “Keadilan di sini tetap saya lakukan dalam kehidupan keluarga, jadi di sini saya selalu mengkonfirmasikannya dahulu kepada anak-anak, baik kepada kakaknya atau pun kepada adiknya, maupun kepada suami. Dalam artian di sini saya sebisa mungkin memberikan pengertian dan harus menerangkannya kepada anak-anak saya agar keadilan di sini tetap ada dalam keluarga.Paling tidak komunikasi di sini selalu ada dalam keluarga, bagaimana kita mengkomunikasikannya kepada anakanak, dan suami dalam kehidupan keluarga, sebagai keluarga Kristus.”34 Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan partisipatif yang sudah dilakukan oleh penulis, maka diperoleh informasi menarik tentang bagaimana cara di dalam mengelola dan menerapkan keadilan dalam kehidupan keluarga diperlukan satu bentuk komunikasi. Bagaimana setiap anggota keluarga dapat saling berkomunikasi satu sama lain didalamnya agar memperoleh hasil yang maksimal, atau dalam artian tidak merugikan pihak lain. Bersamaan dengan ringkasan wawancara diatas penulis hendak melakukan analisa berdasar pada teori sosialisasi yang dipaparkan oleh Zande yang mengatakan: “Sosialisasi adalah proses interaksi sosial melalui mana kita mengenal cara berpikir, berperasaan dan berperilaku sehingga dapat berperan efektif pada suatu kelompok dalam masyarakat.”35 Penulis sependapat akan hal ini di mana komunikasi sebagai satu bentuk proses interaksi sosial inilah yang merupakan suatu cara di dalam kehidupan keluarga untuk 34
Hasil Wawancara dengan saudari KN, (Majelis Jemaat GPIB Immanuel Semarang), 08/09/12, pukul 20.30-21.20 WIB. 35 Dalam T. O. Ihromi, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), hal 30.
82
menerapkan nilai keadilan yang masih perlu untuk dikelola dengan baik agar dalam hubungan anggota keluarga merasakan adanya kesamaan dan keutuhan sebagai persekutuan kecil yang sudah dikuduskan Allah. Sosialisasi merupakan proses yang dialami oleh individu sebagai makhluk sosial sepanjang kehidupannya, di mana interaksi merupakan kunci bagi berlangsungnya proses sosialisasi. Oleh sebab itu diperlukan agen sosialisasi, yakni orang-orang disekitar individu tersebut yang mentransmisikan nilai-nilai atau norma-norma tertentu baik secara langsung maupun tidak langsung.Disinilah peran utama orang tua dari keluarga untuk dapat membentuk kepribadian anak dalam dunia yang lebih luas.Dalam kehidupan keluarga perlu juga memperhatikan bahwa konflik yang terjadi dalam suatu keluarga merupakan suatu hal yang dapat membawa pengaruh positif maupun negatif didalamnya, oleh karena itu konflik yang terdapat dalam kehidupan keluarga
merupakan
suatu
akibat
yang
wajar
dan
alamiah
dari
terjadinya
interaksi.Berdasarkan hal inilah penulis beranggapan;“diperlukan juga suatu pendekatan untuk memahami keluarga”. Pendekatan konflik sebagai salah satu pendekatan untuk memahami suatu keluarga mengasumsikan bahwa manajemen konflik, penghindaran dan penyelesaian konflik adalah proses yang normal dan berkelanjutan dalam sistem keluarga, karena setiap anggota keluarga menyandang atau menduduki kedudukan dan status yang berbeda, hal mana merupakan konsekuensi dari jenis kelamin dan umur yang berbeda, maka keluarga itu mewujudkan suatu sistem yang hirarkis. Ini menghasilkan suatu sistem yang tidak sama, ketidaksamaan yang melekat pada sistem keluarga inilah yang merupakan dasar dari konflik. Berdasarkan hal ini, penulis berangkat dari mengemukakan pendapatnya bahwa:
83
pemahaman Groome yang
“Sosialisasi Kristen sangatlah penting dalam membentuk identitas manusia Kristen, hanya melalui identitas Kristen itulah iman Kristen dimungkinkan bertumbuh.Selain itu Groome juga memandang hubungan dialektis persekutuan Kristen dengan konteks sosial, dan hubungan dialektis persekutuan dengan anggota-anggotanya harus diberi perhatian yang utama.”36 Menurut penulis, hubungan dialektis itu harus diusahakan secara sengaja dan tidak boleh dibiarkan berlangsung sendiri, ini berarti dituntut kesadaran dan kegiatan kritis dari persekutuan. Dari analisa hasil wawancara yang sudah dilakukan, penulis hendak memperkuat hasil wawancara dengan teori sosialisasi yang diungkapkan oleh Groome dengan memberikan suatu pemahaman bahwa keadilan dalam kehidupan keluarga Kristen masih harus dikelola kembali dengan baik di mana interaksi dan komunikasi dalam kehidupan keluarga perlu mendapatkan sorotan utama dalam menerapkan nilai keadilan. Interaksi dan komunikasi dalam kehidupan keluarga sangatlah dibutuhkan untuk dapat memahami satu sama lain.Hubungan dialektis dalam persekutuan keluarga haruslah mendapat perhatian agar didalamnya dijumpai satu bentuk keluarga sebagai bagian dari gereja dengan menekankan hubungan horisontal dan vertikal bersama Tuhan Yesus Kristus dan ke sesama anggota keluarga.
Gambar 3. 11. Wawancara Focus Group Discusion dengan beberapa anggota Persekutuan Kaum Bapak
36
Dalam N. K. Atmadja Hadinoto, Dialog Dan Edukasi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), hal 186-189.
84
Komentar Peneliti: Dalam gambar foto di atas dapat dilihat bahwa beberapa anggota Persekutuan Kaum Bapak mengutarakan pendapat mereka mengenai nilai keadilan yang diterapkan dalam kehidupan keluarga mereka, namun dari apa yang sudah mereka katakan tidak sepenuhnya keadilan itu diterapkan, karena dalam penerepannya juga harus memperhatikan berbagai macam hal yang perlu dipertimbangkan dengan baik agar keadilan tetap dirasakan. Dari gambar di atas pun dapat dilihat bahwa situasi yang ada pada saat itu bukanlah situasi wawancara yang dilakukan dengan formal, namun situasi yang santai di mana ada beberapa yang mengutarakan pendapatnya sambil menghisap rokok atau pun semabari menikmati secakir teh.
3. 2. 4. Nilai Keadilan Dalam Keluarga Adalah Prinsip Hakiki
Keluarga Kristen sebagai suatu bentuk persekutuan kecil dalam kehidupan jemaat tentunya sangat perlu memperhatikan nilai-nilai kehidupan yang harus dipelajari, terlebih dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai persekutuan yang telah dikuduskan oleh Tuhan Yesus Kristus, setiap keluarga Kristen yang ada pada era globalisasi saat ini perlu untuk menyadari akan adanya tugas dan tanggung jawab sepenuhnya sebagai keluarga Allah. Namun seringkali hal ini jarang ditampakkan dalam kehidupan keluarga Kristen yang ada pada saat ini. Kurangnya kesadaran dalam diri seseorang sebagai pribadi Kristen yang seharusnya hidup sesuai dengan apa yang sudah Tuhan ajarkan dan 85
perintahkan, sehingga banyak dijumpai orang-orang Kristen yang memiliki kerenggangan relasi dalam hubungan sesama anggota keluarga, begitu pula relasinya dengan Tuhan. Ini disebabkan oleh sifat manusia yang cenderung mementingkan hal-hal duniawi daripada mementingkan apa yang harus diperbuat dan dilakukan sebagai pribadi Kristen yang takut akan Tuhan. Ada begitu banyak nilai-nilai kehidupan yang belum dapat dipahami dan dilakukan oleh seseorang pada jaman sekarang.Padahal ini merupakan kewajiban yang tidak boleh diremehkan begitu saja. Dapat kita lihat dalam kesadaran akan nilainilai Kristiani yang ada dalam kehidupan keluarga ternyata masih sangat kurang diperhatikan dengan baik. Nilai-nilai seperti keutuhan, keadilan,
kedamaian,
kebahagiaan, kesempurnaan, kebebasan sebagaimana yang terdapat dalam Kerajaan Allah inilah yang seharusnya mampu dihadirkan ditengah kehidupan keluarga Kristen pada saat ini, agar dalam keluarga selalu dijumpai sukacita oleh karena anugerah Allah dalam diri manusia. Oleh sebab itu setiap keluarga Kristenhendaknya mempunyai tugas perutusan untuk menjaga, menyatakan dan menyampaikan cinta kasih sebagai pencerminan hidup dari partisipasi nyata dalam kasih Allah kepada sesama manusia dan kasih Kristus kepada gereja.37Keluarga yang didasarkan dan dijiwai oleh cinta kasih, merupakan persekutuan antar pribadi anggota keluarga. Disinilah cinta kasih orang tua sebagai unsur paling mendasar yang akan terpenuhi dalam tugas mendidik itu bila menggenapi dan menyempurnakan pelayanannyapada kehidupan keluarga. Selain sebagai sumber cinta kasih orang tua juga merupakan asas penjiwa dan merupakan kaidah atau norma yang mengilhami dan membimbing seluruh kegiatan konkret pendidikan, ini merupakan suatu hal yang paling berharga. Seperti halnya yang diungkapkan dalam hasil wawancara oleh saudari SP sebagai orang tua yang menuturkan: “Keluarga sebagai 37
A. Widyamartaya, Keluarga Kristiani dalam Dunia Modern, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hal 40.
86
persekutuan kecil yang didalamnya terdapat bapak, ibu dan anak yang hidup berkumpul bersama dalam satu rumah.”38
Demikian juga pendapat yang diutarakan oleh saudari LLW sebagai orang tua, yang mengutarakan: “Keluarga yang didalamnya terdapat bapak, ibu, dan anak harus terdapat hubungan timbal balik.”39 Berbeda dengan saudari SP dan LLW, MS sebagai seorang anak berpendapat bahwa: “Keluarga itu kalau menurut saya pribadi, adalah tempat kita belajar tentang segala hal, belajar untuk mengenal pribadi masing-masing yang didalamnya terdapat kakak, adik, papah, mamah. Jadi keluarga tempat kita mengenal karakter.Kalau dari sisi rohani ya tempat di mana kita mengenal persekutuan di mana orang tua sebagai contoh dalam keluarga.orang tua dalam keluarga selalu mengajarkan dan memperkenalkan kita kepada hal-hal yang ada disekitar kita.”40 Keluarga yang di dalamnya terdapat bapak, ibu, dan anak dalam satu hubungan rumah tangga inilah yang seharusnya terdapat persekutuan antar pribadi anggota keluarga yang di dalamnya telah dikuduskan oleh cinta kasih Allah. Keluarga sebagai suatu persekutuan yang telah diikat dalam hubungan pernikahan, seperti yang dituturkan dalam wawancara oleh saudari RG sebagai orang tua yang menuturkan: “Keluarga itu sekumpulan individu yang telah dipersatukan, di mana hubungan pria dan wanita yang sudah disatukan dalam satu persekutuan.Keluarga sebagai dua individu yang sudah disahkan dalam catatan sipil, seperti halnya persekutuan yang disatukan dengan Kristus.”41
38
Hasil Wawancara dengan saudari SP, (Jemaat GPIB Immanuel Semarang), 04/09/12, pukul 16.30-17.15 WIB. 39 Hasil Wawancara dengan saudari LLW, (Jemaat GPIB Immanuel Semarang), 15/09/12, pukul 16.1516.35 WIB. 40 Hasil Wawancara dengan saudara MS (Jemaat GPIB Immanuel Semarang), 27/10/12, pukul 20.30-20.45 WIB. 41 Hasil Wawancara dengan saudari RG (Jemaat GPIB Immanuel Semarang), 08/09/12, pukul 18.30-19.00 WIB.
87
Lain halnya dengan pendapat di atas, adapun saudara FRS sebagai seorang anak yang berpendapat bahwa: “Dalam keluarga, seharusnya kita mampu memahami satu sama lain disaat suka maupun duka.”42 Gambar 3. 12. Wawancara terhadap saudara FRS yang mengungkapkan keadilan diperoleh melalui pengajaran maupun pengalaman yang ada
Komentar Peneliti: Dalam gambar foto di atas saudara FRS mengungkapkan bahwa keadilan dalam keluarga sudah ada dan diperoleh dari pengajaran orang tua ataupun dari pengalaman-pengalaman yang ada kita bisa belajar agar keadilan dalam keluarga bisa dijaga. Terlebih dalam komunikasi dan adanya sifat saling mengalah.Namun dari wawancara tersebut penulis melihat bahwa FRS sangat kaku di dalam mengutarakan pendapatnya. Penulis dalam hal ini lebih memusatkan perhatiannya pada nilai keadilan sebagai nilai dasar dalam kehidupan keluarga, namun juga tetap memperhatikan nilai-nilai kehidupan dalam ajaran Kristen yang lain sebagai nilai-nilai yang turut berpengaruh dalam kehidupan keluarga. Keadilan sebagai nilai dan konsep dasar dalam kehidupan keluarga tentu memiliki peranan yang sangat penting. Apabila keadilan di sini tidak diwujudnyatakan dalam kehidupan keluarga maka dapat dikatakan keluarga tersebut
42
Hasil Wawancara dengan saudara FRS (Jemaat GPIB Immanuel Semarang), 27/10/12, pukul 19.40-19.55 WIB.
88
belum sadar akan rasa keadilan sejati antar sesama anggota keluarga, dan tidak dipungkiri juga bahwa ketidakseimbangan pun pasti akan dijumpai dalam kehidupan keluarga tersebut. Inilah yang sangat disayangkan apabila dalam keluarga timbul rasa iri, cemburu, dengki oleh karena satu pribadi dalam keluarga merasakan sifat tidak adil, baik itu yang dapat dilihat dalam relasi, perhatian, waktu maupun porsinya. Oleh sebab itu, penulis berpendapat bahwa keadilan sebagai hal yang mungkin biasa-biasa saja, akan menjadi luar biasa apabila dalam prakteknya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan dan dapat dikatakan
juga bisa menghancurkan hubungan dalam kehidupan keluarga tersebut.
Setelah penulis melakukan pengamatan parsitipatif begitu pula dalam hasil wawancara kepada beberapa individu dalam kehidupan keluarga Kristen di Jemaat GPIB Immanuel, Semarang, maka penulis memperoleh informasi menarik yang membawa pada suatu pemahaman bahwa keadilan sebagai nilai dasar dalam kehidupan keluarga seharusnya sedapat mungkin dan sebisa mungkin diterapkan dalam kehidupan keluarga.
Demikian halnya dengan hasil wawancara yang diutarakan oleh saudara FO sebagai orang tua yang mengutarakan: “Keadilan dalam keluarga tentunya sedapat mungkin pasti kita lakukan, mana yang adil dan sama rata, agar tidak ada yang dirugikan atau merasa diduakan.”43 Adapun saudari SP sebagai orang tua yang mengatakan: “Keadilan dalam keluarga yakni keadilan dalam hal perhatian, waktu, pekerjaan semuanya harus seimbang dan sedapat mungkin ditampakkan dalam keluarga.”44
43
Hasil Wawancara dengan saudara FO (Jemaat GPIB Immanuel Semarang), 07/09/12, pukul 14.10-14.50 WIB. 44 Hasil Wawancara dengan saudari SP (Jemaat GPIB Immanuel Semarang), 04/09/12, pukul 16.30-17.15 WIB.
89
Lain halnya dengan saudari RG sebagai orang tua yang mengatakan: “Keadilan sudah diterapkan dalam kehidupan keluarga, terlebih dalam hubungan sesama anggota keluarga. agar terdapat hubungan yang selaras dan seimbang. Dengan tetap berpegang pada firman Tuhan dalam menerapkannya.”45 Dari wawancara yang sudah dilakukan maka dapat diringkas bahwa, keluarga sebagai kelompok kecil dalam masyarakat yang telah dipersatukan dan disahkan oleh catatan sipil dalam satu perkawinan dan kemudian menjadi satu keluarga yang memiliki ikatan darah dan juga telah dipersatukan Tuhan dalam pemberkatan nikah harus mampu saling memahami dan mengerti akan setiap karakter dalam diri anggota keluarga agar dapat mengenal dan mengerti pribadi satu sama lain. Berdasarkan hal ini penulis melakukan
analisa
terhadap
teori
keluarga
yang
juga
dipaparkan
oleh
Tjandrarini:“Keluarga sebagai kelompok sosial yang terdiri atas dua orang atau lebih yang memiliki ikatan darah, perkawinan atau adopsi.”46 Selain Tjandrarini, Freud juga berpendapat:
“Keluarga
itu
terbentuk
karena
adanya
perkawinan
pria
dan
wanita.”Anggapan ini pun tidak jauh berbeda seperti yang diungkapkan oleh Bogardus bahwa: “Keluarga adalah kelompok terkecil yang biasanya terdiri dari seorang ayah dengan seorang ibu serta satu atau lebih anak-anak yang olehnya ada keseimbangan, keselarasan kasih sayang dan tanggung jawab serta anak menjadi orang yang berkepribadian dan berkecenderungan untuk bermasyarakat.”47 Berdasarkan hasil wawancara dan analisa yang dilakukan oleh penulis, maka dapat dipahami keluarga adalah suatu ikatan persekutuan hidup yang timbul akibat
45
Hasil Wawancara dengan saudari RG (Jemaat GPIB Immanuel Semarang), 08/09/2012, pukul 18.3019.00 WIB. 46 Kristiana Tjandrarini, Bimbingan Konseling Keluarga, (Salatiga: Widya Sari Press, 2004), hal 7. 47
http://ichwanmuis.com/2010/07/definisi-bentukfungsi-serta-pendekatan-keluarga/diakses pada 11-07-2012, 10.43 WIB. 90
adanya perkawinan (suami-isteri), sehingga atas dasar ikatan cinta kasih suami isteri itu muncul relasi antara orang tua dan anak-anaknya yang merupakan ikatan darah.Ikatan perkawinan dalam keluarga merupakan persekutuan yang indah.Oleh karena itu Rasul Paulus memberikan makna Teologis yang mendalam dengan menggambarkan persekutuan antara Kristus dengan jemaat-Nya, seperti halnya relasi antara mempelai laki-laki dan wanita, suatu rahasia besar.48 Sama halnya dengan keadilan sebagai nilai dasar dalam kehidupan keluarga Kristiani, walaupun sebagai suatu hal yang terkadang sulit untuk dihadirkan ditengah keluarga, namun dengan adanya usaha dan kesadaran diri hal ini sedapat mungkin harus diperlihatkan dan diwujudnyatakan. Melalui pemahaman inilah penulis melakukan analisa untuk memperkuat hasil wawancara terhadap pendapat yang diungkapkan oleh Sutarno: “Untuk itu keadilan sedapat mungkin ditanamkan dan dihidupkan dalam keluarga, agar setiap keluarga Kristen benar-benar memahami arti keadilan yang diterapkan atau di praktikkan dalam kehidupan nyata sehari-hari.”49 Penulis sependapat akan hal ini, oleh karena keadilan sebagai nilai dasar dalam kehidupan keluarga sangat membawa pengaruh besar di dalamnya. Apabila tidak terdapat keadilan dalam kehidupan keluarga, maka dapat dibayangkan hubungan dalam keluarga akan dijumpai suatu kerenggangan dan kurangnya keharmonisan antar pribadi anggota keluarga. Adapun teori sosialiasi yang dikaitkan oleh penulis dalam menerapkan nilai keadilan di keluarga sebagaimana yang diungkapkan oleh Groome, yakni: “Hubungan
48
Walter Trobisch, I Married You (terj. Hadiwinoto dan Susiloradeyo, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1973), hal 156. 49 Sutarno, Di Dalam Dunia Tetapi Tidak Dari Dunia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hal 166.
91
dialektis persekutuan Kristen dengan konteks sosial, dan hubungan dialektis persekutuan dengan anggota-anggotanya harus diberi perhatian yang utama.”50 Hubungan
dialektis dalam kehidupan keluarga itu harus diusahakan secara
sengaja dan tidak boleh dibiarkan berlangsung sendiri, ini berarti dituntut kesadaran dan kegiatan kritis dari persekutuan keluarga. Keluarga Kristen yang di dalamnya terdapat komunikasi, interaksi dan hubungan dialektis sesama anggota keluarga tentu akan dapat menerapkan nilai keadilan dan mewujudkannya sebagai satu bentuk nilai hakiki dalam kehidupan keluarga. Berdasar pada hal inilah yang menjadi pemahaman dari penulis bahwa kehidupan keluarga Kristen di Jemaat Immanuel, Semarang tentunya harus dan sudah mempunyai satu bentuk hubungan yang harmonis di dalamnya. Tentang bagaimana caranya, dengan menerapakan nilai-nilai yang sudah ditetapkan oleh Allah sendiri. Begitu juga dalam hal menerapkan nilai keadilan sebagai prinsip dasar dalam kehidupan keluarga Kristen, ini sebabnya dibutuhkan satu bentuk kesadaran akan rasa keadilan yang tinggi dalam diri setiap pribadi anggota keluarga. Terlebih peranan yang dipegang orang tua dalam tugas mendidik anak-anak mulai dari usia dini, agar mereka terbiasa untuk menerapkan nilai keadilan dan nilai-nilai Kristiani lainnya dalam kehidupan di masa mendatang. Apabila keluarga Kristen mampu menghadirkan makna keadilan dalam hubungan rumah tangga, maka dapat dikatakan keluarga tersebut telah menjalankan fungsi sebagai garam dan terang, sehingga setiap anggota keluarga maupun mereka yang berada disekitar keluarga akan melihat perbuatan-perbuatan baik dan secara langsung maupun tidak langsung akan memuliakan nama Bapa di sorga.51 Dengan memberlakukan keadilan sebagai nilai yang berasal dari Allah, ini memiliki arti bahwa seseorang percaya dengan penuh ungkapan syukur akan perlindungan, penyelamatan dan berkat-berkat 50 51
Dalam N. K. Atmadja Hadinoto, Dialog Dan Edukasi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), hal 186-189. Lihat Matius 5:13-16.
92
Allah dalam kehidupannya, terlebih berupaya dengan sungguh-sungguh untuk dapat hidup menurut hukum-hukum Allah sebagai wujud ketaatan kepada-Nya dan usaha untuk menyaksikan dan memberitakan keadilan kepada sesama dalam lingkup kehidupan keluarga bahkan dalam kehidupan yang lebih luas.
Gambar 3.13. Ibadah Hari Minggu yang dilakukan di Gedung Gereja
Komentar Peneliti: Gambar di atas merupakan bentuk ibadah Hari Minggu di gedung gereja pada tanggal 14 Oktober 2012. Dalam foto ini, kehadiran jemaat yang ada pada saat itu cukup banyak dan juga diisi oleh tamu-tamu jemaat yang hadir dalam ibadah. Dalam foto di atas juga terlihat saudara PL sebagai Ketua Majelis Jemaat GPIB Immanuel Semarang sedang memimpin jalannya ibadah. Penulis berpendapat kehadiran jemaat pada hari Minggu cukup banyak, dibandingkan dengan kehadiran jemaat yang ada di tingkat sektor maupun PKB (Persekutuan Kaum Bapak) dan PKP (Persekutuan Kaum Perempuan). 3. 3. Rangkuman Sebagai satu kesatuan sosial yang terikat oleh hubungan darah, keluarga merupakan wadah utama dalam proses pembentukan identitas diri seseorang. Dalamnya 93
terdapat fungsi-fungsi, peran yang dijalankan oleh setiap anggota keluarga, di mana tugas dan tanggung jawab orang tualah yang memiliki inti terpenting dalam hal mengajar, mendidik, memperkenalkan, membina serta mengarahkan anak-anak mulai sejak usia dini agar mereka dapat bertumbuh dan berkembang menjadi seseorang yang bernilai ketika berada ditengah kehidupan yang lebih luas. Keluarga Kristen sebagai persekutuan hidup yang telah dikuduskan oleh berkat anugerah Allah tentunya harus mampu hidup sebagai persekutuan kecil yang penuh dengan cinta kasih.Cinta kasih yang diperlihatkan dalam relasi antara hubungan anggota keluarga inilah sebagai landasan hidup dalam satu ikatan pernikahan yang sudah dikuduskan oleh Allah.Oleh sebab itu, dalam kehidupan keluarga sangat diperlukan satu bentuk perhatian yang diberikan kepada sesama anggota keluarga, agar setiap anggota keluarga yang terdapat didalamnya merasakan suatu keharmonisan dalam hidup berumah tangga. Namun tidak dapat dipungkiri, bahwa dalam kehidupan keluarga interaksi dan komunikasi di sini merupakan hal yang sangat dibutuhkan sebagai proses pemahaman diri dari masing-masing anggota keluarga. Adanya konflik dalam kehidupan keluarga pun merupakan satu bentuk pembelajaran untuk dapat saling memahami, mengerti dan lebih mengenal satu sama lain. Tidak dapat dipungkiri bahwa konflik yang hadir dalam kehidupan keluarga pun akan terus membentuk keluarga tersebut untuk menjadi keluarga yang kuat dan belajar dari pengalaman yang sudah diterima dalam kehidupan keluarga. Dalam kehidupan keluarga, dapat diasumsikan bahwa manajemen konflik, penghindaran dan penyelesaian konflik adalah proses yang normal dan berkelanjutan dalam sistem keluarga, karena setiap anggota keluarga menyandang atau menduduki kedudukan dan status yang berbeda. Hal mana merupakan konsekuensi dari jenis kelamin dan umur yang berbeda, maka keluarga itu mewujudkan suatu sistem yang hirarkis. Ini pada akhirnya menghasilkan suatu sistem yang tidak sama 94
atau asimetri yang permanen, ketidaksamaan yang melekat pada sistem keluarga inilah yang merupakan dasar dari konflik. Konflik yang terjadi dalam kehidupan keluarga di sini merupakan suatu hal yang dianggap dapat membawa pengaruh positif maupun negatif.Oleh karena itu konflik merupakan suatu akibat yang wajar dan alamiah dari terjadinya interaksi. Kehidupan keluarga Kristen yang terdapat di Jemaat GPIB Immanuel Semarang, adalah kehidupan keluarga yang seharusnya mampu untuk menghayati dan melakukan nilai-nilai Kristiani dalam kehidupan mereka. Sebagai citra dari keluarga Allah, seharusnya seseorang sadar akan tugas dan tanggung jawab yang penting dalam kehidupan berjemaat. Melihat kehidupan keluarga Kristen yang terdapat di Jemaat GPIB Immanuel Semarang, penulis hendak berpendapat bahwa setiap anggota jemaat maupun keluarga-keluarga Kristen yang terdapat di dalamnya sudah memiliki kesadaran diri untuk hadir dan mengikuti setiap peribadahan yang ada.Namun, itu tidak sepenuhnya nampak
dalam
diri
setiap
anggota
jemaat
maupun
pribadi-pribadi
dalam
keluarga.Kesadaran diri sebagai pribadi dan keluarga Kristen yang mungkin belum dapat dikatakan sepenuhnya ada dalam diri anggota jemaat, oleh karena berbagai macam faktor yang kurang mereka pertimbangkan dengan baik.Disinilah penulis mendapatkan suatu pemahaman, bahwa nilai-nilai Kristiani merupakan nilai yang penting dalam kehidupan saat ini, begitu juga dalam kehidupan berjemaat terlebih dalam keluarga.Nilai-nilai yang seharusnya dapat dihayati dengan baik untuk dilakukan inilah yang rupanya kurang mendapatkan perhatian khusus dari kesadaran diri masing-masing anggota jemaat.Begitu pula dengan nilai keadilan sebagai salah satu ajaran Kristiani dan sebagai nilai dasar dalam kehidupan keluarga.Nilai keadilan yang bersifat relatif inilah terkadang dianggap 95
enteng dan kurang diperhatikan dengan baik. Oleh sebab itu, penulis beranggapan bahwa nilai keadilan dalam kehidupan keluarga merupakan nilai utama dan nilai yang tidak kalah pentingnya dengan nilai-nilai Kristiani yang lain dan juga harus diterapkan dalam hubungan sesama anggota keluarga. Dalam hasil pengamatan partisipatif yang sudah dilakukan oleh penulis di kehidupan Jemaat Immanuel Semarang, begitu pun dalam hasil wawancara di sini penulis memperoleh beberapa informasi menarik yang membawa suatu pemahaman bahwa nilai keadilan menurut mereka adalah sebagai suatu hal yang sama rata, tidak pilih kasih dan seimbang dengan porsi dan kebutuhan setiap pribadi anggota keluarga didalamnya. Hal ini merupakan suatu hal yang penerapannya dicontohkan oleh orang tua dalam keluarga, ini merupakan satu bentuk usaha agar keadilan di sini sedapat mungkin ditanamkan dan dilakukan oleh setiap anggota keluarga.Jadi, orang tua dalam hal ini memegang peranan penting dalam kehidupan keluarga sebagai teladan dalam memberi contoh kepada anakanak mereka. Namun juga perlu diperhatikan bahwa keadilan dalam keluarga juga harus sesuai dengan porsi dan kebutuhan yang ada dari masing-masing anggota keluarga, dengan kata lain keadilan di sini harus dapat dikelola dengan baik agar tidak ada satu bentuk ketidakseimbangan dalam hubungan sesama anggota didalamnya. Nilai keadilan sebagai prinsip dasar dalam kehidupan keluarga di Jemaat Immanuel Semarang sudah mereka lakukan dan terapkan ditengah keluarga, namun hal inilah yang belum dapat mereka lakukan dengan maksimal dan belum disadari dengan baik dalam menerapkan dan mewujudnyatakan keadilan pada kehidupan keluarga. Penulis menganggap bahwa keadilan dalam kehidupan keluarga di Jemaat Immanuel masih perlu mendapatkan perhatian yang lebih, sekalipun keadilan bersifat relatif baik dalam keluarga, pekerjaan 96
maupun kehidupan berjemaat, namun perlu untuk diingat bahwa keadilan harus tetap dihayati dan diterapkan dengan baik agar dalamnya setiap anggota keluarga menjumpai satu bentuk relasi dalam persekutuan keluarga yang penuh akan cinta kasih Allah. Apa yang adil dalam hubungan keluarga maka disitulah yang benar dihadapan Allah, dengan tidak berat sebelah melainkan semuanya merasakan keseimbangan satu dengan yang lain, dengan demikian keluarga tersebut dapat dikatakan telah menjalankan fungsi dan peran serta tugas dan tanggung jawab sebagai citra keluarga Allah.
97