BAB III PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU PENCURIAN BENDA-BENDA SAKRAL DALAM PRAKTEK PERADILAN DI BALI 1. Delik Adat dalam Hukum Adat di Bali Setiap manusia mempunyai apa yang dinamakan prilaku, yakni suatu totalitas dan gerak motoris, persepsi dan fungsi kognitif dari manusia. Salah satu unsur drin prilaku itu adalah apa yang disebut gerak sosial, yang pada hakikatnya merupakan sistem yang mencakup hierarki pengaturan.79 Prihal perilaku manusia itu, secara analitis akan dapat dibedakan antara perilaku belaka dengan perilaku etis.80 Di dalam perilaku sosial terlibat perilaku beberapa pihak yang kemudian mungkin pula terjadi proses saling mempengaruhi. Interaksi sosial antar pribadipribadi kadang-kadang disebut juga sebagai hubungan interpersonal. Intinya adalah adanya hubungan antara manusia dengan manusia yang didasarkan atas kebutuhankebutuhan tertentu. Kebutuhan interpersonal, yakni kebutuhan untuk mengadakan hubungan dengan orang lain, yang apabila tidak terlaksana akan menghasilkan gangguan atau keadaan yang tidak menyenangkan bagi pribadi yang bersangkutan.81 Walaupun kebutuhan-kebuthan interpersonal tersebut menghasilkan perilaku yang beranekaragam tetapi pada dasarnya manusia mempunyai hasrat untuk hidup secara 79
Soerjono Soekanto dan Solen B. Taneko 1983. Hukum Adat Indonesia, Yakarta : Rajawali, hal. 74 – 75. Talcott Parson juga mengemukakan bahwa gerak sosial (social action) terikat oleh 4 (empat) syarat, yaitu : pertama, diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu; kedua, terjadi pada situasi tertentu; ketiga, diatur dalam kaidah-kaidah tertentu; dan keempat, terdorong oleh motivasimotivasi tertentu. Lebih jauh lihat Ibid, hal 6. 80 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto 1983. Prihal Kaidah Hukum, Bandung : Almni, hal 24 -25 81 Ibid., hal 76.
62
teratur. Untuk tercapainya keteraturan tersebut, di dalam pergaulan hidup diperlukan suatu pedoman atau patokan yang akan memberikan wadah bagi aneka pandangan mengenai keteraturan yang semula merupakan pandangan pribadi. Pedoman atau patokan tersebut lazim disebut norma atan kaidah. Norma atau kaidah yang menjadi pedoman hubungan antar pribadi, dibedakan antara norma atau kaidah kesopanan dengan hukum.82 Norma hukum menetapkan pola hubungan-hubungan antara manusia dan juga merumuskan nilai-nilai yang diterima oleh masyarakat ke dalam pola-pola tertentu,83 sehingga ada batasan-batasan yang jelas tentang pola-pola perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai yang telah diterima oleh masyarakat yang bersangkutan. Hubungan di sini mengandung makna tentang kontak secara timbal balik atau inter-stimulasi dan respon individu-individu dan kelompok Dalam interaksi sosial yang berlangsung ddemikian., selalu terjadi empat kemungkinan yang merupakan bentuk interaksi sosial itu sendiri, yaitu: 1. Kooperasi atau kerjasama, dimana antar hubungan individu dalam pergaulan terjalin kerjasama yang baik, sehingga segala sesuatunya berlangsung secara harmonis, serasi dan tidak ada ketegangan-ketegangan berarti. 2. Kompetisi atau persaingan, dimana antar unsur-unsur dalam pergaulan hidup, antara kekuatan yang satu dengan kekuatan yang lain sudah mulai ada perasaan ingin unggul. Apabila hal ini berlangsung secara sehat, tentu tidak akan terjadi ketegangan-ketegangaa Namun apabila sebaliknya, akan dapat menimbulkan ketegangan. 82
Ibid., hal 76 - 77 J.H.A. Logeman mengemukakan bahwa caída hukum dalam kenyataannya terwujud dalam keputusan hukum, dimana kaidah hukum tersebut terwujud dalam pergaulan manusia. Lihat Ibid., hal 90. Demikian pula Timascheff menulis, bahwa umumnya norma-norma hukum secara nyata akan menentukan perilaku manusia di dalam masyarakat. Dasar dari sudut undang-undang atau aturan hukum adalah asumsi bahwa ada hubungan antara tingkah laku yang menjelma ke dalam bentuk hukum dengan tingkah laku nyata individu. Lebih jauh lihat David M Scheff 1987. ”Hukum Sebagai Suatu Fenomena” dalam Adam Podgorecki dan Christopher J. Whelan (Ed.) Pendekatan Sosiologis terhadap Hukum (Sociological Approach to Law) terj. Widianingsih, Jakarta : Bina Aksara, hal. 253 83
63
3. Konflik atau pertikaian, dimana dalam masyarakat terjadi pertentangan antara kekuatan sosial tertentu dengan yang lain, sampai menimbulkan keteganganketegangan sosial. 4. Akomodasi atau terjadinya penyelesaian kembali, sehingga keadaan tegang akan menjadi reda karena ditangani oleh unsur-unsur pergaulan hidup sehingga masyarakat akan tertib kembali.84 Fenomena sebagai empat kemungkinan yang terjadi dalam interaksi sosial, akan tejadi pada masyarakat manapun, termasuk masyarakat hukum adat di Bali. Pada suatu saat terjadi kerukunan di antara sesama warga, dalam arti terjadinya hubungan timbal balik yang harmonis di antara para individu, dan pada saat yang lain terjadi ketegangan-ketegangan sosial akibat tindakan seseorang ataupun sekelompok orang. Ketegangan-ketegangan ini akan dapat dipulihkan kembali, apabila telah diupayakan penyelesaiannya, dengan dijatuhkannya upaya pemulihan, dan upaya tersebut dipenuhi oleh pelanggarnya. Menurut hukum adat, perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan peraturan hukum adat, merupakan perbuatan ‘illegal’ dan hukum adat mengenal ikhtiar-ikhtiar untuk memperbaiki hukum (rechtsherstel) jika hukum itu dilanggar.85 Perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan peraturan hukum adat inilah lazim disebut ‘delik hukum adat’ Ter Haar menulis bahwa, yang dianggap sebagai suatu pelanggaran (delik) adalah: setiap gangguan segi satu (eenzijdig) terhadap keseimbangan dan setiap penubrukan dari segi satu pada barang-barang kehidupannya materiil dan immateriil orang seorang, atau daripada orang-orang banyak yang merupakan satu kesatuan (segerombolan); tindakan ddemikian itu menimbulkan suatu reaksi yang sifatnya dan besar kecilnya ditetapkan oleh hukum adat, ialah reaksi adat (adatreactie), karena reaksi mana, keseimbangan dapat dan harus 84
Soedjono 1977. Pokok-pokok Sosiologi Hukum Sebagai Penunjang Studi Hukum, Bandung : Alumni, hal. 93 - 94 85 Soepomo 1983. Bab-bab tentang Hukum Adat, Jakarta : Pradnya Paramita, hal. 60
64
dipulihkan kembali (kebanyakan dengan jalan pembayaran pelanggaran berupa barang-barang atau uang).86 Selanjutnya oleh Ter Haar dijelaskan pula, bahwa kata pelanggaran (delik) itu bermaksud perbuatan segi satu yang oleh pihak lain tidak dibenarkan secara terangterangan atau diam-diam
menuju ke arah gangguan keseimbangan (evenwichts
verstoring).87 Jadi menurut pengertian Ter Haar di atas, untuk dapat disebut delik, perbuatan tersebut harus mengakibatkan kegoncangan dalam neraca keseimbangan masyarakat. Keseimbangan dimaksud tidak saja terhadap sesuatu yang berwujud nyata tetapi juga terhadap perbuatan yang tidak betwujud. Di sisi lain Bushar Muhammad memberikan batasan delik hukum adat sebagai: “suatu perbuatan sepihak dari seseorang atau sekumpulan orang, mengancam atau menyingung atau mengganggu keseimbangan dan kehidupan persekutuan, bersifat materiil atau immateniil, terhadap orang seseorang atau terhadap masyarakat berupa kesatuan. Tindakan yang demikian mengakibatkan suatu reaksi adat”.88 Sedangkan Soepomo, tidak mengemukakan suatu batasan tentang delik adat. Hanya saja dijelaskan bahwa juga di dalam sistem hukum adat segala perbuatan yang bertentangan dengan peraturan hukum adat merupakan perbuatan illegal dan hukum adat mengenal pula ikhtiar-ikhtiar
untuk memperbaiki hukum jika hukum itu
diperkosa”.89 Dari paparan tentang batasan-batasan delik adat tersebut maka konsep delik adat yang dipakai dalam tulisan ini adalah: tindakan yang melanggar rasa keadilan 86
Ter Haar 1978. Azas-azas dan Susunan Hukum Adat (Beginselen en Stelsel van Het Adatrecht) terj. Kng. Soebakti Poesponoto, Jakarta : Pradnya Paramita, hal 226 87 Ibid. hal. 27 88 Bushar Muhammad 1983. Pokok-pokok Hukum Adat, Jakarta : Pradnya Paramita, hal. 67 89 Soepomo 1983. op.cit. hal. 91
65
dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat sehingga mengakibatkan terganggunya ketenteraman serta keseimbangan masyarakat Untuk memulihkan kembali gangguan ketenteraman serta keseimbangan tersebut, diperlukan adanya reaksi adat. Dalam masyarakat hukum adat di Bali, perbuatan yang dianggap bertentangan dengan norma-nonna hukum adat, yakni apabila perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang termuat dalam awig-awig ataupun perbuatan tersebut tidak selaras dengan keselamatan masyarakat, keselamatan suatu golongan, ataupun keselamatan sesama anggota dalam lingkungan masyarakat hukum adat yang bersangkutan Pada prinsipnya kelahiran delik adat itu menurut Soepomo adalah serupa dengan lahirnya tiap-tiap peraturan hukum yang tidak tertulis. Suatu peraturan mengenai tingkah laku manusia pada suatu waktu mendapat sifat hukum pada waktu petugas hukum yang bersangkutan mempertahankannya terhadap orang yang yang melanggar peraturan itu, atau pada waktu petugas hukum bertindak untuk mencegah pelanggaran peraturan itu.90 Selanjutnya dijelaskan pula. bahwa alam pikiran tradisional Indonesia itu bersifat ‘kosmis’ yang melihat segala-galanya sebagai suatu kesatuan (totalitas). Dalam alam pikiran yang tradisional ini, organisasi masyarakat ditujukan kepada pemeliharaan perimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib, antara golongan manusia seluruhnya dengan individu, antara teman persekutuan dan masyarakat. Segala perbuatan yang mengganggu perimbangan tersebut merupakan pelanggaran hukum dan petugas hukum wajib mengambil tindakan.
90
Soepomo 1983. op.cit. hal. 111 – 112
66
Delik adat, dapat timbul, berkembang dan selanjutnya lenyap dengan timbulnya peraturan-peraturan baru, sedangkan peraturan yang baru itupun akan berkembang pula, yang kemudian akan lenyap dengan adanya perubahan perasaan keadilan dalam masyarakat. Demikianlah seterusnya. dari waktu ke waktu perubahan tersebut akan bergulir mengikuti dinamika masyarakat. Demikian pula delik adat., lahir berkembang dan kemudian lenyap dengan sendirinya, dalam arti perbuatanpetbuatan yang semula dipandang sebagai pelanggaran lambat laun dapat saja tidak dipandang demikian. Semua ini berjalan mengikuti perkembangan rasa keadilan dalam masyarakat yang bersangkutan. Perasaan keadilan inipun pada hakikatnya berkembang mengikuti perkembangan dan pertumbuhan hidup masyarakat yang selalu dipengaruhi faktor-faktor di luarnya. Dalam masyarakat hukum adat di Bali, ada berbagai perbuatan yang dianggap sebagai delik hukum adat di samping ada pula pelanggaran-pelanggaran yang sifatnya ringan. Perbuatan-perbuatan tersebut apabila diklasifikasikan termasuk ke dalam : 1. Delik terhadap harta benda 2. delik terhadap kepentingan orang banyak 3. delik terhadap kehormatan seseorang 4. delik terhadap kesusilaan. Pencurian benda-benda sakral, termasuk dalam delik terhadap harta kekayaan. Benda-benda sakral termasuk harta benda, (harta benda yang dimaksudkan di sini adalah benda-benda yang berwujud dan diberikan makna tertentu , sehingga menurut kepercayaan masyarakat, benda tersebut mempunyai
nilai materiil maupun
immateriil). Benda-benda sakral dimaksud, antara lain pencurian benda-benda yang
67
dipergunakan sebagai sarana atau prasarana upacara keagamaan dan umummya dikeramatkan di tempat-tempat suci (pura’). Perbuatan ini oleh masyarakat adat di Bali, dianggap sebagai perbuatan yang berakibat tercemarnya (‘leteh’), baik terhadap tempat kejadian maupun benda tersebut. Perbuatan semacam ini dianggap sebagai suatu pelecehan terhadap kehidupan beragama umat Hindu, karena benda-benda yang disucikan tersebut (umumnya dalam bentuk ‘pretima’) merupakan sarana dalam pelaksanaan upacara-upacara keagamaan yang oleh umat Hindu diyakini mempunyai kekuatan gaib. Pencurian pretima umumnya tidak saja mengakibatkan kerugian materiil tetapi juga kerugian immateriil yang berakibat terhadap gangguan keseimbaagan magis. Untuk mengembalikan keseimbanan tersebut, menurut keyakinan masyarakat diperlukan ritual-ritual keagamaan (misalnya upacara pecaruan” atau penyucian). Demikian kuatnya kepercayaan masyarakat adat di Bali yang meyakini bahwa pencurian benda-benda tersebut dapat mengakibatkan terganggunya keseimbangan magis, maka di dalam kasus-kasus demikian apabila pelakunya tidak tertangkap ataupun bukan warga adat setempat, maka terhadap tempat kejadian tetap dibuatkan upacara pembersihan. Di dalam beberapa pustaka tentang hukum adat Bali banyak disebutkan bahwa hukum adat di Bali , banyak diwarnai oleh unsur agama khususnya agama Hindu. Hal ini kiranya dapat dipahami, misalnya seperti apa yang dikemukakan Hazairin, pulau Bali karena terisolasi dalam jangka waktu yang cukup lama dari pengaruh-pengaruh luar, maka perkembangan agama Hindu dan Budha begitu mendalam dan bahkan merembet ke dalam adat dengan begitu hebatnya, sehingga
68
antara adat dan agama Hindu di Bali merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan lagi. Demikian juga Soekanto menulis, bahwa desa adat di Bali adalah persekutuan hukum territorial , dimana warga desa bersama-sama mempunyai kewajiban dan bersama-sama mempunyai kemauan untuk membersihkan wilayah desa bagi keperluan-keperluan berhubung dengan agama. Hal ini berarti bahwa dalam kehidupan dan tata pikir serta pola tingkah laku masyarakat adat di Bali selalu berkait dengan kepercayaannya terhadap agama, yaitu agama Hindu. Dari kenyataan ini, tidaklah berkelebihan apabila dikatakan bahwa hukum adat di Bali sebenarnya juga bersumber dari kitab “Weda” sebagai kitab suci agama Hindu.91 2. Penyelesaian delik Adat, Dari Peradilan Adat ke Peradilan Formal Proses penyelesaian pemenuhan kewajiban adat di sini dimaksudkan proses penyelesaian yang dilakukan oleh masyarakat hukum adat di mana hukum adat itu berlaku. Untuk memperoleh suatu gambaran yang relatif lebih lengkap, ada baiknya dikemukakan terlebih dahulu kekuasaan kehakiman yang dilaksanakan badan peradilan. Dalam bagian ini akan dipaparkan kekuasaan kehakiman pada masa penjajahan Belanda maupun Jepang, sehingga kita memperoleh suatu gambaran tentang posisi peradilan adat dalam penyelesaian kasus-kasus adat pada masa yang lalu. Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, merupakan landasan bagi terbentuknya sistem (tata) hukum baru, yakni sistem hukum Indonesia. Dengan sistem hukum baru itulah bangsa Indonesia bertekad untuk 91
Dikutip dari Tjokorda Raka Dherana 1994. ”Pengenalan Bahan-bahan Hukum Adat Bali dalam Menunjang Pembinaan Hukum Nasional” dalam Kertha Patrika Edisi Khusus dalam rangka Lustrum VI FH UNUD, Denpasar : Fakultas Hukum UNUD, hal 32
69
mengganti sistem hukum kolonial dengan sistem hukum nasional. Ini merupakan suatu konsekuensi bagi suatu negara merdeka yang bebas dan berhak untuk mengatur sendiri tata negara dan tata hukumnya.92 Proklamasi kemerdekaan tersebut disusul dengan disahkan berlakunya Undang-Undang Dasar yang rancangannya berasal dari karya BPUPKI yang berupa rancangan Mukadimah dan Rancangan Batang Tubuh UUD, yang diterima PPKI setelah melalui beberapa pembahasan. Undang-Undang Dasar yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 tersebut dikenal dengan sebutan Undang-Undang Dasar 1945. Berkenaan
dengan
kekuasaan
kehakiman
(Pasal
24
UUD
1945),
pengembangannya setelah proklamasi kemerdekaan, kebijakan yang ditempuh didasarkan atas prinsip “unifikasi” sebagai lawan dan prinsip “pluralistis” yang diterapkan pada masa pemerintahan kolonial.93 Pluralisme di bidang hukum pada masa pemerintahan penjajah Belanda yang benlanjut pada masa pendudukan bala tentara Jepang, konsekuensinya juga pluralisme di bidang kekuasaan kehakiman. Dalam garis besarnya kekuasaan kehakiman pada masa penjajahan Belanda dilaksanakan oleh 4 badan peradilan, yaitu: 1.
Peradilan Gubernemen (Gouvernement Rechtpraak) yang
membawahi seluruh wilayah Hindia Belanda.
92
Juniarto 1968. Negara Hukum, Yogyakarta : Yayasan Badan
Penerbit Gadjah Mada,
hal. 49 93
Daniel S. Lev 1990. Hukum dan Politik di Indonesia, dalam Kesinambungan dan Peru bahan, Jakarta: LP3ES, hal. 246
70
2.
Peradilan
Adat
atau
Peradilan
Pribumi
(Inheemsche
Rechtspraak) yang hanya terdapat di daerah-daerah seberang yang bersifat langsung (adininsitratif). 3.
Peradilan Swapraja (Zelfbestuurs Rechtpraak), terdapat di
daerah-daerah yang otonom, kecuali Paku Alaman dan Pontianak. 4.
Peradilan Desa (Dorps Rechtspraak) untuk bentuk peradilan
ini, di samping ada yang berdiri sendiri, ada juga yang merupakan bagian dari peradilan gubernemen, peradilan swapraja maupun peradilan adat. A. Peradilan Gubernemen (Gouvernement Rechtspraak) : Peradilan Gubernemen terdiri atas 2 bagian, yakni peradilan sipil dan peradilan militer, Peradilan sipil terdiri atas 4 kamar (kamer), yaitu: 1. Landgerecht (untuk semua golongan); 2. Inlandsche Rechtspraak (peradilan pribumi). Untuk daerah Jawa dan Madura peradilan bawahan berupa districtsgereeht dan regentschapsgerecht. Di atas tingkat kedua peradilan tersebut adalah peradilan landraad. Sedangkan untuk daerah seberang ( di luar Jawa dan Madura), peradilan bawahan adalah negorijrechtbank, distrietsgerecht / districtsraad dan magistraatsgerecht. Sama halnya dengan daerah Jawa dan Madura peradilan atasan dan semua peradilan tersebut adalah peradilan landraad. 3. Europeesche Rechtspraak (peradilan Eropah) yang pada pninsipnya berlaku untuk golongan Eropah. Bentuk peradilan ini mengenal tingkatan, yakni : peradilan dalam tingkat pertama adalah residentiegerecht, tingkat banding adalah Raad van Justitie dan tingkat kasasi yaitu Hoogerechtshof van Nederlandsch Indie. 4. Peradilan Agama, yang khusus mengadili perkara-perkara bagi mereka yang beragama islam. Jenis peradilan ini antara lain terdapat di Jawa dan Madura, berupa Priesteraad dan Hof voor Islandsche Zaken; di Afdelingen Banjarmasin dan Hoeloe Soengai, berupa Kadi dan Opperkadi; di daerahdaerah lain seperti Palembang, Jambi, Pontianak, Ternate, Ambon, Makasar dan Bontain. 94
94
Koemiatmanto Soetoprawiro 1994. Pemerintahan dan Peradilan di Indonesia, Asal-Usul dan Perkembangannya, Bandung : Citra Aditya Bakti, hal. 113-114
71
Peradilan militer terdiri dari Krijgsraad, Zeekrijraad dan Hoog Militer Gerechtshof. Krijgsraad mempunyai kewenangan untuk mengadili tentara Belanda yang berpangkat kapten ke bawah. Peradilan ini terdapat di Cimahi, Padang dan Makassar. Zeekrijgsraad, pada prinsipnya sama dengan Krijgsraad, hanya saja penyelenggaraannya dilaksanakan di atas kapal perang. Hoog Militer Gerechtshof, merupakan badan peradilan militer tertinggi dan berkedudukan di Batavia. Kewenangan peradilan militer ini adalah memeriksa dalam tingkat banding putusan Krijgsraad dan Zeekerijgraad dan juga merupakan badan peradilan dalam tingkat pertama dan tertinggi dari tentara Belanda dengan pangkat perwira.95 B. Peradilan Adat atau Peradilan Pribumi (Inheemsche Rechtspraak) : Menurut Pasal 130 Indische Staatsregeling, di mana sepanjang rakyat Indonesia tidak dibiarkan mempunyai peradilan sendiri, maka di Indonesia dilakukan peradilan atas nama raja. Hal ini berarti behwa di samping pengadilan-pengadilan yang diadakan oleh negara, diakui pula adanya pengadilan-pengadilan asli96. Pada awalnya, peradilan adat hanya terdapat di daerah-daerah langsung (adiministratif). Untuk daerah-daerah seberang (di luar Jawa dan Madura) rencananya peradilan ini akan dihapus untuk kemudian diintegrasikan ke dalam peradilan Gubernemen. Namun adanya perubahan sikap pemerintah Belanda pada tahun 1928, telah menghasilkan Staatblad 1932 No. 80, yang mengatur tentang susunan, kedudukan, kekuasaan mengadili, hukum materiil dan hukum acara badan peradilan adat, di mana di dalam Pasal 1 ditetapkan bahwa untuk daerah-daerah seberang bentuk peradilan 95
96
hal. 73
Ibid.,hal. 124- 128 Tresna 1978. Peradilan
di Indonesia
Dari Abad Ke Abad, Jakarta: Pradnya Paramita,
72
tersebut tetap diakui keberadaannya. Staatblad 1932 No. 80 memberikan kewenangan yang sangat besar kepada Residen, oleh karena pejabat ini bukan saja berwenang mengangkat hakim, tetapi juga mempunyai kewenangan untuk menetapkan batasbatas kewenangan mengadili untuk masing-masing hakim dan peradilan tersebut di atas.97 Selanjutnya, dalam Pasal 3 Staatblad tersebut ditentukan pula bahwa kekuasaan mengadili dari peradilan adat, dilakukan oleh: 1. hakim-hakim daerah kesatuan hukum; 2. hakim-hakim agama; dan 3. lain-lain majelis pengadilan dan hakim.98 Pada umumnya, peradilan adat ini terdiri dan 3 tingkatan pengadilan, yaitu: 1. Pengadilan tingkat desa (Rapat); 2. pengadilan tingkat rendah (kleine rapat); dan 3. pengadilan tingkat tinggi (groote rapat) Pengadilan desa (rapat) dan pengadilan rendah (kleine rapat) pada prinsipnya mempunyai kedudukan yang sama. Pengadilan desa hanyalah boleh mengadili urusan-urusan kecil yang dilakukan oleh anggota persekutuan adat setempat. Sedangkan kleine rapat mengadili urusan-urusan kecil yang dilakukan orang pribumi yang bukan penduduk setempat. Pengadilan tingkat tinggi (Goote Rapat) merupakan peradilan tingkat banding bagi kedua jenis badan peradilan tersebut, atau menjadi peradilan tingkat pertama bila di desa yang bersangkutan tidak terdapat peradilan desa ataupun pengadilan tingkat rendah. Satu hal yang perlu dicatat, bahwa untuk
97 98
Ibid., hal.75 Koemiatmanto Soetoprawiro 1994. Loc.cit
73
putusan-putusan peradilan adat, adalah kekuasaan residen yang dapat membatalkan serta memerintahkan pemeriksaan kembali oleh hakim yang ditunjuk. Berdasarkan Staatblad 1932 No. 80 yurisdiksi peradilan adat diatur sebagai berikut: 1. pengadilan adat berwenang mengadili perkara yang terjadi di wilayah kekuasaan badan peradilan adat; 2. semua orang pribumi, dari manapun asalnya dapat menjadi terdakwa ataupun tergugat; dan 3. semua golongan penduduk dapat menjadi penggugat. Pengadilan adat antara lain terdapat di wilayah : 1. Onderafdeeling Padanglawas, afdeelingen Batakianden dan Nias kecuali Batoe-Eilanden (Residentie Tapanuli); 2. onderafdeeling Mentawai-Eilanden dan Distrik Kerinci (Residentie Sumatra’s Westkust); 3. residentie Bengkoelen, kecuali ibu kotanya; 4. residentie Palembang, kecuali ibu kotanya; 5. bekas kesultanan Riau-Lingga (residentie Riow en onderhoogrigheden); 6. onderafdeelingen Boven-Mahakam dan Pasir (residentie zuider en ooster afdeeling van Borneo); 7. bekas kerajaan Gorontalo (residentie Manado); 8. Adatgemeenschappen Gantarang-Adatinggi, Kidnang, laikang, Wanora Waroe (residentie Celebes en onderhoorigheden); 9. Taoen, Nila en Seroea-Eilanden : Laboeha, Obi, Kekik en Lawineilanden (residentie Moluken); 10. afdeeling Groot-Aceh dan onderafdeeling Singkep (residentie Atjeh en onderhoorigheden); 11. onderafdeelingen Boven-Kapoeas, Seinitoe dan distrik Pinohianden serta Meliaoe (residentie westerafdeeling van Borneo); dan 12. afdeeling Lombok (residentie Bali en Lombok).99 C. Peradilan Swapraja :
99
Koerniatmanto, op.cit, hal. 114 -117
74
Bentuk peradilan ini ada 2 macam, yaitu peradilan swapraja untuk daerah seberang dan peradilan swapraja di daerah vorstenlanden. Peradilan swapraja diselenggarakan atas nama kepala swapraja. Keberadaan peradilan swapaja, diakui oleh pemerintah Hindia Belanda dengan Zelfbestuursregelen 1938. 1. Peradilan Swapraja Daerah Seberang: Pengadilan swapraja di daerah-daerah seberang yang berpemerintahan sendiri diatur di dalam perjanjian raja-raja di daerah swapraja dengan pemerintah Hindia Belanda dengan apa yang dinamakan “Korte Verklaring”.100 Paling akhir, pemerintah Hindia
Belanda
telah
menetapkan
peraturan
tentang
daerah-daerah
yang
berpemerintahan sendiri dengan surat keputusan Gubernur Jenderal (G.G.) tanggal 14 September 1938 No.29 yang dimuat dalam S. 1938 No. 529 (penjelasan di dalam Bijblad 14099) yang disebut “Zelfbetuursregelen 1938”. Peraturan ini menggantikan Zelfbestuursregelen 1927 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1939. Isinya adalah, menentukan, hak, wewenang dan kewajiban pemerintah Hindia Belanda dengan daerah-daerah di luar Jawa yang mempunyai pemerintahan sendiri, yang hubungannya dengan pemerintah Hindia Belanda diatur dalam “Korte Verklaring” atau perjanjian lain. Sepanjang mengenai kekuasaan pengadilan, hakim-hakim dan daerah yang mempunyai
pemerintahan
sendiri tersebut ditetapkan
di dalam Pasal 12
Zelfbestuursregelen 1938, sebagai berikut : (1) sepanjang tidak ditetapkan lain di dalam peraturan ini, maka warga daerah-daerah swapraja termasuk kekuasaan pengadilan dan daerah-daerah 100
Tresna op.cit., hal. 83
75
itu. Jika terdiri lebih dari satu swapraja, akan diadakan pengadilan bersama, dan warga dari daerah masing-masing swapraja masuk kekuasaan pengadilan bersama. (2) kecuali jika ditentukan lain secara nyata di dalam atau atas berdasarkan peraturan ini, maka warga dari daerah swapraja diadili oleh hakim swapraja, baik sebagai terdakwa maupun sebagai tergugat. Hakim daerah swapraja juga mengadili : 1. tuntutan pidana terhadap orang-orang yang bukan warga daerah swapraja di dalam perkara-perkara yang termasuk wewenangnya, jika pada waktu melakukan perbuatan yang bersangkutan menjadi warga daerah swapraja tersebut. 2. gugatan untuk perkara perdata terhadap orang-orang yang bukan warga daerah swapraja: a. Jika orang tersebut waktu diajukan tuntutan terhadapnya menjadi warga daerah tersebut; dan b. tentang tanah, rumah dan tanaman yang dikuasasi dengan hak-hak Indonesia.101 Di dalam ayat (3) dimuat beberapa perkecualian kekuasaan mengadili hakimhakim swapraja, yang menyangkut masalah perselisihan kewenangan mengadili di antara hakim-hakim swapraja dengan hakim-hakim indonesia lainnya, akan diputus menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Sama halnya dengan pengadilan adat, kekuasaan residen sangatlah besar, karena, baik susunan, kewenangan mengadili, maupun hukum acaranya ditentukan oleh residen dengan bantuan pemerintah swapraja. Di samping itu, residen mempunyai kewenangan untuk menetapkan (dengan persetujuan pemerintah swapaja) hakim swapraja yang mana yang akan dibantu oleh seorang pegawai negeri yang ditunjuk oleh residen sebagai penasehat. Kewenangan residen yang cukup besar juga nampak dari perannya dalam melakukan pengawasan terhadap putusan-putusan 101
Tresna. Op.cit., hal. 84
76
pengadilan swapraja, bahkan di dalam hal-hal tertentu residen dapat pula menguatkan, merubah dan membatalkan putusan pengadilan swapraja. 2. Peradilan Swapraja di Vorstenlanden Berdasarkan Rijksblad 1927 No. 35 peradilan swapraja di Jawa dan Madura terdapat di kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Sedangkan untuk kasunanan Soerakarta Hadiningrat berdasar atas Rijksblad 1930 No.6 serta di Kadipaten Mangkunegaran berdasar atas Rijksblad 1917 No. 22. Peradilan swapraja di kesultanan Ngayogyakarta, meliputi: 1. Pengadilan Surambi : Pengadilan surambi merupakan peradilan agama yang diketuai oleh seorang penghulu hakim (hoofpenghoeloe) sebagai hakim tunggal. Pengadilan ini mempunyai kewenangan untuk mengadili perkara nikah, talak dan rujuk serta waris bagi kerabat sultan serta rapak (permohonan cerai oleh istri bagi semua kaula. Banding atas putusan pengadilan surambi, dapat dimintakan pada patih dan selanjutnya pada sultan. 2. Pengadilan Keraton Daerah Dalem : Pengadilan ini adalah pengadilan majelis, yang terdiri dan seorang ketua dan dua orang anggota serta dibantu oleh seorang panitera ditambah jaksa dan seorang penghulu. Semua pejabat tersebut diangkat oleh sultan. Ketua pengadilan biasanya dijabat oleh Pangeran Pati (putra mahkota) atau Pangeran Ngabehi (putra sulung dari istri selir) atau pangeran yang ditunjuk oleh sultan. Kewenangan pengadilan ini adalah untuk memeriksa dan mengadili perkara pidana yang sejenis dengan perkara pidana yang ditangani oleh landsgerecht. Untuk perkara perdata, pengadilan ini berwenang untuk mengadili semua perkara yang tidak ditangani oleh pengadilan surambi atau sultan sendiri. Banding atas putusan pengadilan ini dapat dimintakan pada sultan. 3. Pengadilan oleh Sultan : Bentuk pengadilan ini adalah untuk mengadili perkara pidana yang pelakunya adalah pangeran pati dan keluarganya, para istri sultan. Sedangkan untuk perkara perdata, kewenangan sultan adalah untuk mengadili perkara-perkara yang tidak termasuk kewenangan pengadilan Surambi. Pengadilan ini adalah pengadilan untuk tingkat pertama dan terakhir untuk semua jenis perkara yang disebutkan di atas.102 102
Tresna. Op.cit., hal. 118
77
Peradilan swapraja di Kasunanan Soerakarta Hadiningrat, antara lain meliputi: a. Pengadilan Pradata : jenis pengadilan ini dilakukan oleh seorang hakim tunggal dan seorang panitera. Kewenangan pengadilan pradata ini adalah sama dengan landsgerecht. b. Pengadilan Surambi : pengadilan ini pada hakikatnya merupakan peradilan agama yang dilaksanakan oleh seorang wedana yogaswara (pejabat agama kasunanan Surakarta) sebagai hakim tunggal. Kewenangan pengadilan ini adalah mengadili perkara-perkara yang berhubungan dengan nikah, talak, rujuk dan masalah-masalah waris. Banding atas putusan pengadilan surambi, dapat dimohonkan pada pengadilan pradata gede. c. Pengadilan Pradata Gede : Pengadilan ini memeriksa perkara dengan hakim majelis, yang susunan keanggotaannya terdiri dari seorang ketua dan dua orang hakim anggota. Di samping itu, dilengkapi pula dengan seorang jaksa dan seorang penghulu yang kesemuanya diangkat oleh patih. Jenis pengadilan ini merupakan pengadilan yang tertinggi. Kewenangan pengadilan ini di samping untuk memeriksa perkara perdata, juga memeriksa perkara pidana.103 Peradilan Swapraja di Kadipaten Mangkoenegaran, terdiri dari : 1. Pengadilan Surambi : untuk jenis pengadilan ini, pada prinsipnya sama dengan pengadilan surambi yang ada di kasultanan Yogyakarta dan kasunanan Surakarta. Pengadilan Surambi di kadipaten Mangkunegaran, merupakan peradilan agama dengan sistem majelis. Bertindak sebagai hakim ketua adalah penghulu hakim dengan dibantu oleh beberapa orang katib sebagai hakim anggota. Kewenangan pengadilan ini adalah memeriksa dan memutus perkara-perkara yang berkait dengan nikah, talak, rujuk dan juga masalahmasalah waris. Banding atas pengadilan surambi ini dapat dimohonkan pada pengadilan pradata. 2. Pengadilan Pradata : pengadilan ini juga merupakan pengadilan dengan sistem majelis. Bertindak selaku ketua majelis adalah patih dengan dibantu sejumlah anggota, ditambah seorang jaksa dan penghulu, namun untuk perkara pidana yang sumir, pengadilan ini mengadili dengan hakim tunggal. Pengadilan ini mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan mengadili semua perkara perdata dan pidana yang tidak menjadi kewenangan pengadilan Surambi104 D. Peradilan Desa: 103 104
Tresna. Op.cit., hal 119 - 120 Tresna. Op.cit., hal. 121 - 122
78
Ada dua jenis peradilan desa, yaitu peradilan desa yang merupakan bagian dari badan peradilan gubernemen dan peradilan desa yang berdiri sendiri. Peradilan yang berdiri sendiri ini keberadaannya diakui oleh pemerintah Belanda lewat Rechtterlijk Organisatie (R.O.). Di dalam hubungan organisasi pemerintahan Hindia Belanda, desa diakui sebagai suatu kesatuan hukum yang berdasar pada adat, meskipun di dalam peraturan tentang rumah tangga desa yang dikeluarkan oleh Gubernemen Hindia Belanda dan tahun 1906, yaitu yang disebut “Inlandsche Gemeenteordonantie” tidak disebutkan bahwa di tingkat desa dilakukan peradilan menurut adat setempat, tetapi hal ini bukanlah berarti peradilan itu tidak ada. Pada tahun 1935 pemerintah Hindia Belanda menyadari pentingnya hakim-hakim desa yang kemudian mengakui secara resmi hakim-hakim desa tersebut dengan menyisipkan Pasal 3 a dengan S 1935 No. 102 ke dalam R.O.105 Pasal 3 R.O. menetapkan bahwa untuk perkara-perkara yang menurut hukum adat masuk kekuasaan hakim-hakim desa, tetap diadili oleh hakim-hakim desa, yang mengadili berdasarkan hukum adat. Namun demikian, hakim desa tidak diperkenankan menjatuhkan hukuman, sehingga hakim desa hanya berperan sebagai hakim perdamaian. Putusan hakim perdamaian desa, paling jauh berupa permintaan maaf, perdamaian, pengembalian keseimbangan dan lain secara garis besarnya diuraikan kekuasaan kehakiman pada masa pendudukan bala tentara Jepang di Indonesia. Segera setelah pulau Jawa diduduki dan dikuasasi sepenuhnya oleh bala tentara Jepang, maka dikeluarkanlah undang-undang bala tentara Jepang tanggal 8 105
Tresna., op.cit, hal 72
79
Maret 1942 No.1, yang di dalam undang-undang tersebut ditentukan, bahwa untuk sementara semua peraturan dan perundang-undangan yang berasal dan pemerintahan Belanda dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan peraturanperaturan bala tentara Jepang.106 Pada awalnya pembentukan peradilan oleh bala tentara Jepang lebih banyak dimaksudkan untuk melindungi kepentingan militer, sehingga dibentuklah apa yang disebut Gunrikutaigi, yang pembentukannya didasarkan atas Osamu Gunrei No. 2 Tabun 1942. Gunrikutaigi berwenang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana yang dikualifisir sebagai kejahatan yang bersifat mengganggu, melawan serta menghalang-halangi tentara Jepang. Pidana yang dapat dijatuhkan oleh Gunrikutaigi ini meliputi pidana : penjara, pembuangan, pidana denda dan pidana adat. Di samping itu, Osamu Gunrei juga membenarkan penjatuhan pidana komulatif.107 Selain peradilan yang dibentuk dengan tujuan untuk melindungi kepentingan militer jepang, dengan Osamu Gunrei No.2 Tahun 1942 (yang kemudian dirubah dengan UU No. 34 Tahun 1942) dibentuklah Gunsei Hoin (Pengadilan Pemerintah Balatentara). Kedua undang-undang tersebut menjadi dasar bagi pembentukan organisasi peradilan di Jawa dan Madura. Pada prinsipnya organisasi dan struktur badan peradilan sama dengan organisasi dan struktur badan peradilan sebelumnya (masa Hindia Belanda) dengan perubahan-perubahan seperlunya. Perubahan-perubahan tersebut mempunyai arti yang sangat penting, karena : 1) dihapuskannya perbedaan peradilan gubernemen dengan peradilan Bumi Putra; 2) hakim untuk golongan Eropah dihapuskan; 3) hakim 106
Tresna., op.cit , hal 85 Lebih jauh lihat , Sudikno Mertokusumo 1984. Sejarah Peradilan dan Perundangundangan Di Indonesia Sejak 1942 dan Apakah Kemanfaatannya Bagi Kita Bangsa Indonesia, Yogyakarta : Liberty, hal. 11 - 13 107
80
untuk golongan Bumi Putra kekuasaannya diperluas sehingga meliputi semua golongan; 4) penghapusan kewenangan mengadili dalam tingkat pertama dari Raad van Justitie dan Hooggerchtshof; 5)penghapusan pengadilan Residentiegerecht; 6) perubahan istilah-istilah badan peradilan, seperti Landraad menjadi Tihoo Hooin (pengadilan negeri), Landgerecht menjadi Keizai Hooin (pengadilan kepolisian), Regentschapsgerecht menjadi Gun Hooin (pengadilan kewedanaan), Hoof voor Islandsche Zaken menjadi Kaikyoo Kootoo Hoin (Mahkamah Islam Tinggi), Priesterraad menjadi Sooryoo Hooin (rapat agama). Untuk daerah-daerah luar Jawa dan Madura, hal tersebut baru diberlakukan dua tahun setelah berlakunya UU No.14 Tahun 1942 dengan peraturan pelaksanaan berupa Timo Seirei Otsu No. 40 Tahun 1943 yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januani 1944.108 E. Kekuasaan Peradilan Masa Kemerdekaan Kebijakan pemerintah pasca proklamasi untuk melakukan unifikasi di bidang hukum dan juga menyangkut masalah kekuasan kehakiman ditindaklanjuti dengan disahkannya Undang-undang tentang kekuasaan kehakiman, yang semenjak proklamasi kemerdekaan, sampai saat ini telah diundangkan sebanyak 4 (empat) undang-undang, yaitu: 1.
Undang-undang No. 19 Tahun 1948;
2.
Undang-undang No.19 Tahun 1964;
3.
Undang-undang No.14 tahun 1970; dan
4.
Undang-undang No. 35 Tahun 1999.
108
Ibid., hal 14-20
81
5.
Undang-undang No. 4 Tahun 2004.
6.
Undang-undang No 48 Tahun 2009
Diundangkannya UU No.14 Tahun 1970 tidak dapat dilepaskan dengan tekad orde baru untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, yang diawali langkah melakukan legislatif review, dengan dikeluarkannya 4 produk perundangundangan, yakni: a.
UU No.25 Tahun 1968, tentang pernyataan tidak berlakunya berbagai
Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden; b.
UU No.5 Tahun 1969, tentang pemyataan berbagai Penetapan
Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-undang; c.
UU No.69 Tahun 1969, tentang pernyataan tidak berlakunya Undang-
undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; dan d.
UU No.7 Tahun 1969, tentang Penetapan Berbagai Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang menjadi Undang-undang. UU No. 6 Tahun 1969 menyatakan tidak berlakunya UU No. 19 Tahun 1964, karena secara jelas UU No.6 Tahun 1969 materi muatannya bertentangan UUD 1945,
dengan
tetapi saat tidak berlakunya ditetapkan
pada saat Undangundang yang menggantikannya mulai berlaku.109 Untuk keperluan inilah kemudian diundangkan UU No. 14 Tahun 1970, tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Jenis-jenis kekuasaan kehakiman di dalam UU No.14 Tahun
109
Lebih jauh, lihat Z. Asikin Kusumah Atmadja1980. “Politik Hukum Nasional” dalam Abdul H.Nusantara dan Nasroen Yasabari (ed.) Beberapa Pemikiran Pembangunan Hukum di Indonesia, Bandung: Alumni, hal. 26 dan 27
82
1970 ditentukan dalam Pasal 10 yang menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh: a.
Peradilan Umum.
b.
Peradilan Agama.
c.
Peradilan Militer.
d.
Peradilan Tata Usaha Negara.
Peradilan Umum, pengaturannya lebih jauh dapat dilihat di dalam UU No.2 Tahun 1986, yang sekaligus mencabut UU No.13 Tahun 1965 tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung. Di dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 1986, ditentukan bahwa, kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum dilaksanakan oleh pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Masing-masing badan peradilan tersebut berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kotamadya dan ibu kota propinsi (Pasal 4). Pengadilan negeri merupakan peradilan tingkat pertama dan pengadilan tinggi merupakan peradilan tingkat banding (Pasal 6). Tidak dimasukkannya mahkamah agung dalam lingkup peradilan umum, sebagai akibat mahkamah agung bukan hanya merupakan pengadilan tingkat kasasi bagi peradilan umum, tetapi juga bagi pengadilan agama, militer dan tata usaha negara. Peradilan agama merupakan badan peradilan khusus bagi mereka yang memeluk agama Islam. Keberadaan pengadilan agama ini diatur di dalam UU No. 7 Tahun 1989. Kekuasaan kehakiman pada peradilan agama dilaksanakan oleh pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama, yang masing-masing berkedudukan di ibu kota kabupaten ataupun kotamadya dan ibu kota propinsi (Pasal 3 dan Pasal 4).
83
Untuk peradilan militer, pengaturannya tertuang di dalam UU No. 31 Tahun 1997. Peradilan militer merupakan peradilan khusus, yang mempunyai kewenangan untuk mengadili perkara pidana militer dan tata usaha militer. Subyek hukum yang dapat diadili dalam perkara pidana militer antara lain: a.
prajurit,
b.
mereka yang berdasarkan undang-undang dapat dipersamakan dengan
prajurit; c.
anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang
dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan undang-undang; d.
mereka-mereka yang tidak termasuk huruf a, b dan c, tetapi
berdasarkan keputusan panglima dengan persetujuan menteri kehakiman harus diadili oleh suatu pengadilan di lingkungan peradilan militer. Di samping hal tersebut, di dalam ketentuan Pasal 9 ayat (3) UU No.31 Tahun 1997 juga ditentukan bahwa peradilan militer berwenang menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana atas perimintaan pihak yang dirugikan, yang sekaligus memutusnya dalam satu putusan. Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan militer, antara lain dilakukan oleh: 1.
Pengadilan Militer.
2.
Pengadilan Tinggi Militer.
3.
Pengadilan Militer Utama.
4.
Pengadilan Militer Pertempuran.
Pengadilan militer merupakan pengadilan tingkat pertama bagi prajurit yang berpangkat kapten ke bawah. Sedangkan pengadilan tinggi militer merupakan
84
pengadilan tingkat banding untuk pengadilan militer dan juga merupakan pengadilan yang memeriksa dalam tingkat pertama bagi prajurit dengan pangkat mayor ke atas. Pengadilan militer utama, merupakan pengadilan banding atas pengadilan militer tinggi yang telah memutus pada tingkat pertama perkara pidana militer dan perkara tata usaha angkatan bersenjata (Pasal 40, Pasal 41 dan Pasal 42 UU No. 31 Tahun 1997). Masing-masing badan peradilan ini, untuk pengadilan militer dan pengadilan tinggi militer, tempat kedudukannya diatur dengan Keputusan Panglima, sedangkan untuk pengadilan militer utama berkedudukan di ibu kota negara (Pasal 14). Untuk bentuk pengadilan militer pertempuran, kedudukannya tidak tetap, tetapi mengikuti gerak pasukan yang sedang melakukan tugas operasi (pertempuran). Pengadilan militer pertempuran, berwenang memeriksa dan memutus perkara pidana militer dalam tingkat pertama dan terakhir, yang terdakwanya adalah prajurit-prajurit yang terlibat tugas operasi (pertempuran), demikian Pasal 45 dan Pasal 46 UU No. 31 Tahun 1997. Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) keberadaannya diatur dengan UU No.5 Tahun 1986 . Peradilan ini merupakan peradilan khusus (Pasal 4), karena merupakan salah satu pelaksana kekuasaaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa tata usaha negara. Pelaksanaan kekuasaan kehakiman dalam lingkup peradilan tata usaha negara, antara lain dilaksanakan oleh: a.
Pengadilan Tata Usaha Negara.
b.
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Pengadilan tata usaha negara merupakan pengadilan tingkat pertama, sedangkan pengadilan tinggi tata usaha negara merupakan pengadilan tingkat
85
banding. Sedangkan dalam tingkat kasasi adalah mahkamah agung (Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 8 UU No. 5 Tahun 1986). Sebagaimana telah saya kemukakan, bahwa pada masa pemerintahan Belanda, peradilan desa diatur di dalam Pasal 3 a R.O. Di dalam ketentuan tersebut ditentukan: 1.
perkara-perkara yang menurut hukum adat termasuk kekuasaan hakim-
hakim dan daerah hukum kecil-kecil (hakim desa) tetap diadili oleh hakimhakim tersebut. 2.
ketentuan pada ayat di muka tidak mengurangi sedikitpun hak yang
berperkara untuk mengajukan perkaranya kepada hakim-hakim gubernemen dan hakim-hakim swapraja. 3.
hakim-hakim desa dalam mengadili perkara menurut hukum adat
mereka, tidak boleh menjatuhkan hukuman. Berlakunya R.O. sampai berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1950 LN. 1950 No. 3 tentang Susunan dan Kekuasaan Mahkamah Agung masih dipersoalkan, karena di satu pihak menganggap Bab V R.O. telah hapus dengan berlakunya Undang-undang Mahkamah Agung tersebut. Di pihak lain, berpandangan bahwa sebagian ketentuan R.O. masih tetap berlaku, khususnya ketentuan yang tidak diatur oleh Undang-undang Mahkamah Agung, seperti misalnya Pasal 180 dan 181. Pasal ini mengatur kekuasaan Procuceur General (Jaksa Agung) sebagai kepala polisi kehakiman dan kepala polisi preventif. Hal yang lebih mendasar adalah keberadaan hakim perdamaian desa itu sendiri. Berbeda halnya dengan peradilan Gubernemen dan peradilan Swapraja (yang untuk daerah Bali dikenal dengan nama “pengadilan Kerta atau Raad Kerta”), dengan berlakunya Undang-undang No.1 Drt Tahun 1951,
86
telah dinyatakan dihapus. Penghapusan Pengadilan Kerta di Bali dilakukan dengan Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. 4/8/16, tanggal 9 Maret 1952 yang dinyatakan mulai berlaku sejak tanggal 26 Maret 1952. Setelah keluarnya Undang-undang No. 1 Drt Tahun 1951 tentang Tindakantindakan Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaaan dan Acara Peradilan Sipil, R.O. masih disebut sebagai dasar hukum hakim perdamaian desa (Pasal 3 a R.O.). Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa di dalam Undangundang No. 1 Drt Tahun 1951 terkandung 4 hal, yaitu: 1.
penghapusan beberapa peradilan yang tidak sesuai lagi dengan suasana
negara kesatuan; 2.
penghapusan secara berangsur-angsur peradilan swapraja di daerah-
daerah tertentu dan semua peradilan adat; 3.
pelanjutan peradilan agama dan peradilan desa; dan
4.
pembentukan pengadilan-pengadilan negeri dan kejaksaaan di tempat-
tempat, dimana dihapuskan Langerecht atau pengadilan negara serta pembentukan
Pengadilan
Tinggi
Makassar
dan
pemindahan
tempat
kedudukan pengadilan Tinggi Yogya dan Bukit Tinggi masing-masing ke Surabaya dan Medan.110 Menurut Pasal 3 ayat (3) Undang-undang No. 1 Drt Tahun 1951 maka penghapusan pengadilan-pengadilan tersebut dalam ayat (1) UU ini tidak sedikitpun mengurangi hak dan kekuasaan yang selama ini diberikan kepada hakim perdamaian desa sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 3 a R.O., tetapi di dalam 110
Sudikno Mertokusumo., op.cit., hal. 14
87
penjelasan pasal tersebut kita dapati penjelasan bahwa dalam seluruh daerah Indonesia segala pengadilan adalah pengadilan negara yang memutus perkara-perkara perdata maupun pidana” Apabila penjelasan pasal ini kita hubungkan dengan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (3), maka jelas bertentangan. Terhadap permasalahan ini Sudikno Mertokusumo mengemukakan: ”karena inti dari suatu Undang-undang atau peraturan hukum itu tidak lain adalah bunyi dari pasal-pasalnya dan bukan penjelasannya, maka kita berpegangan pada bunyi Pasal 1 ayat (3) Undang-undang No. 1 Drt Tahun 1951, sehingga dengan demikian berdasarkan pasal tersebut hakim perdamaian desa atau pengadilan desa (dorpsrechtters) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 a R.O. di bawah Pemerintahan Republik Indonesia Kesatuan tetap dipertahankan”.111 Lebih jauh Sudikno juga mengemukakan : “akan tetapi mengingat hakim desa ataupun hakim perdamaian desa atau yang sering disebut sebagai peradilan desa bukanlah peradilan dalam arti sesungguhnya, maka peradilan desa dapatlah dianggap tidak termasuk dalam ketentuan Undang-undang No. 1 Drt Tahun 1951 tersebut dan oleh karena itu dapat dianggap tetap dipertahankan”.112 Di dalam Undang-undang No.14 Tahun 1970, khususnya Pasal 10 ayat (1) disebutkan bahwa, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan: a) Peradilan Umum; b) Peradilan Agama;
111 112
Sudikno Mertokusumo., op.cit , hal.117 Sudikno Mertokusumo., loc.cit
88
c) Peradilan Militer; dan d) Peradilan Tata Usaha Negara. Selanjutnya dalam penjelasan pasalnya didapat penjelasan bahwa, Undangundang ini membedakan antara empat lingkungan peradilan yang masing-masing mempunyai lingkungan wewenang mengadili tertentu dan meliputi badan-badan peradilan tingkat pertama dan peradilan tingkat banding. Peradilan agama, militer dan tata usaha negara merupakan peradilan khusus, karena mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu. Sedangkan peradilan umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai baik perdata, maupun perkara pidana. Perbedaan
dalam
empat
lingkungan
peradilan
ini,
tidak
menutup
kemungkinan adanya pengkhusussan (difrensiasi/spesialisasi) dalam masing-masing lingkungan, misalnya dalam peradilan umum dapat diadakan pengkhususan berupa pengadilan lalu lintas, pengadilan anak, pengadilan ekonomi dan sebagainya dengan undang-undang. Selanjutnya di dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) ditentukan bahwa semua peradilan di Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan undangundang. Pasal ini dimaksudkan, untuk menghindarkan adanya peradilan selain peradilan negara. Apabila ketentuan-ketentuan tersebut kita amati secara baik, maka ketentuan tersebut tidak menutup kemungkinan adanya penyelesaian perkara lewat “perdamaian” seperti misalnya perwasitan ataupun arbitrase. Bahwasanya peradilan ditetapkan dengan undang-undang, adalah untuk menjaga agar jangan sampai terbentuknya peradilan selain yang dimaksudkan oleh Undang-undang No. 14 Tahun 1970.
89
Dari pemaparan tersebut di atas, dapatlah dikatakan bahwa, walaupun Pasal 10 ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tidak menyebutkan adanya peradilan desa, tetapi karena peradilan tersebut bukan peradilan dalam arti yang sesungguhnya dan peradilan desa tersebut menyelesaikan sengketa adat dengan mendasarkan diri atas perdamaian sebagaimana dimungkinkan oleh ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undangundang No. 14 Tahun 1970, maka peradilan desa tersebut masih mungkin untuk dipertahankan keberadaannya. Demikian juga halnya kedudukan R.O. setelah diundangkannya Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tidak menimbulkan permasalahan karena di dalam undang-undang ini tidak disinggung tentang R.O. Hanya saja ditentukan bahwa dengan diberlakukannya KUHAP ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang hukum acara pidana dinyatakan dicabut. Bertolak dari kerangka pikir tersebut dihubungkan dengan ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun 1970 yang tidak menyebutkan adanya peradilan desa, tetapi karena peradilan tersebut bukan peradilan dalam arti yang sesungguhnya, dan peradilan desa tersebut menyelesaikan sengketa adat dengan mendasarkan diri atas perdamaian sebagaimana dimungkinkan oleh ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun 1970, maka peradilan desa tersebut masih mungkin untuk dipertahankan keberadaannya. Hanya saja putusan yang diambil haruslah tetap berpedoman pada ketentuan Pasal 3 a R.O. yang tidak memperkenankan hakim desa untuk menjatuhkan hukuman. 3.
Delik Adat Pencurian Benda-benda Sakral dalam Putusan Hakim
Pengadilan Negeri di Bali
90
Dari penelitian yang dilakukan terhadap dokumen berupa putusan pengadilan negeri di Bali, ditemukan putusan-putusan tentang pemidanaan delik adat pencurian benda-benda sakral sebagai berikut : a.
Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No. 88/P.N. Dps/K.S./1981,
tanggal 8 Juni 1981 dalam
kasus pencurian “pretima” di Pura Agung
Jagatnatha, Denpasar. Kasus posisi : Bahwa terdakwa Jumadi lahir dan bertempat tinggal di Jalan Thamrin Gang I No.376 Probolinggo telah mengambil dengan cara membongkar barangbarang berupa : lempengan-lempengan perunggu dalam bentuk “pretima” di Pura Agung Jagatnata, Desa Adat Denpasar, Kota Denpasar Pertimbangan hakim : Dengan mempertimbangkan unsur-unsur yang termuat dalam ketentuan Pasal 363 ayat (1) ke 3 KUHP dan pemeriksaan di persidangan, berdasarkan bukti yang sah dan meyakinkan, pengadilan berkesimpulan bahwa tertuduh telah terbukti bersalah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya dan oleh karenanya ia harus dihukum. Putusan hakim : −
−
Berdasar fakta-fakta dan hasil pemeriksaan di persidangan, berdasarkan bukti yang sah dan meyakinkan, pengadilan berkesimpulan bahwa tertuduh telah terbukti bersalah melakukan perbuatan yang dituduhkan oleh jaksa penuntut umum, melanggar Pasal 363 ayat (1) ke 3 KUHP dan oleh karenanya ia harus dihukum.
−
menghukum ia oleh karena itu dengan hukuman penjara selama 4 (empat) tahun, dengan potongan selama ia berada dalam tahanan.
−
menentukan biaya perkara ini dipikul oleh negara.
b. Putusan Pengadilan Negeri Gianyar No. 5/Pid/S/1987/PN.Gir., tanggal 26 Februari 1987 dalam kasus pencurian benda-benda suci keagamaan dalam
91
bentuk “pependeman” yang terjadi di Banjar Manukaya Anyar, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar. Kasus Posisi : -
Bahwa terdakwa I Made Rateng dan I Wayan Serinu, secara berturutturut, pada tanggal 16, 17 dan 18 Nopember 1986 bertempat di Pura Puseh Desa Adat Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, pada malam hari dengan cara “pelinggih”
mengambil
barang-barang
membongkar beberapa berupa
uang
kepeng
“pependeman” yang ditanam di “pelinggih-pelinggih” Pura Puseh. -
Akibat perbuatan tertuduh Desa Adat Manukaya menderita kerugian sebesar Rp. 7.523.240,- dengan rincian : Rp.7.000.000,- untuk biaya upacara, dan Rp.523.240,- untuk membuat kembali pependeman.
Pertimbangan hakim : −
Dengan mempertimbangkan unsur-unsur yang termuat dalam ketentuan Pasal 362 KUHP, Pasal 363 ayat (1) ke 4 dan ke 5 KUHP, bahwa unsurunsur seluruh dakwaan atas diri para terdakwa adalah : Pasal 362 KUHP : 1) mengambil; 2) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain; dan 3) dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum. Pasal 363 ayat (1) ke 4 : −
Dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu.
Pasal 363 ayat (1) ke 5 :
92
−
untuk masuk ke tempat kelakukan kejahatan untuk sampai pada barang yang diambilnya, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu, atau memakai jabatan palsu.
−
Menimbang bahwa karena para terdakwa terbukti melakukan lebih dari satu tindak pidana yang diancam dengan pidana yang sejenis maka pengadilan perlu memperhatikan ketentuan Pasal 65 KUHP.
−
Berdasarkan hasil pemeriksaan di persidangan, berdasarkan bukti yang sah dan meyakinkan, pengadilan berkesimpulan bahwa masing-masing terdakwa telah terbukti bersalah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya dan oleh karenanya ia harus dihukum.
Putusan hakim : −
menghukum terdakwa I, yaitu I Made Rateng dengan hukuman penjara selama 1 tahun 6 bulan dan menghukum terdakwa II, yaitu I Wayan Serinu selama 1 tahun.
−
membebankan kepada masing-masing terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.1000,-
c.
Putusan Pengadilan Negeri Klungkung No. 10 /PN.KLK / PID ./ TOL
/ ’79, tanggal 29 Januari 1980 dalam kasus pencurian benda-benda suci keagamaan di Pura Dalem Sulang, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung. Kasus Posisi : Bahwa, terdakwa (I Nyoman Londen) pada suatu hari dalam bulan Juni 1978 sekitar pukul 02.00 WIB., atau setidak-tidaknya dalam bulan Juni 1978 saat matahari terbenam hingga terbit bertempat di Pura Dalem Sulang, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung atau setidak-tidaknya di suatu tempat yang termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Klungkung, dengan cara memanjat tembok pura dan merusak tiang (“tugeh piasan” = bahasa Bali), mengambil barang-barang berupa :
93
−
1 (satu) buah patung singa warna kuning.
−
1 (satu) buah genta (“bajra” = bahasa Bali)
−
1 (satu) buah tapel
−
2 (dua) buah tapel kecil yang keningnya dihiasi dengan permata berbentuk “brahma”, “wisnu” yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, yang dalam hal ini kepunyaan warga pura desa Sulang, perbuatan mana terdakwa lakukan dengan maksud untuk dimiliki dengan melawan hukum, dengan menjualnya kepada saksi I Nyoman Sardan alias Pan Damping dengan harga keseluruhan Rp.50.000,- atau setidak-tidaknya lebih dari Rp.250,-
Pertimbangan hakim : −
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang kesemuanya didasarkan atas pemeriksaan persidangan, berdasarkan bukti yang sah dan meyakinkan, pengadilan berkesimpulan bahwa tertuduh telah terbukti bersalah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya dan oleh karenanya ia harus dihukum.
Putusan hakim : menyatakan bahwa perbuatan tertuduh I Nyoman Londen sebagaimana dituduhkan telah terbukti secara sah dan meyakinkan; − menetapkan bahwa tertuduh I Nyoman Londen bersalah melakukan perbuatan pidana sebagaimana di atas dan dihukum pidana dalam Pasal 363 ayat (1) ke 3 dan ke 5; −
−
menghukum tertuduh oleh karena itu dengan hukuman penjara selama 6 (enam) bulan;
−
menghukum tertuduh untuk membayar biaya perkara, sebesar Rp.100,-
94
d.
Putusan Pengadilan Negeri Gianyar No. 177/Pid.B/2006/PN.GIR,
tanggal 13 November 2006 dalam kasus pencurian benda-benda suci keagamaan di Pura Banjar Tebongkang Desa Singakerta Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar. Kasus Posisi : -
Bahwa terdakwa I Nengah Wanti, tempat tanggal lahir, Buleleng tahun 1966 jenis kelamin laki-laki, Kebangsaan Indonesia, Pekerjaan Buruh, Alamat tempat tinggal Banjar Gereteg (Gempong) Desa Sambirenteng, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng. Bersama-sama dengan I Gede Mardika alias Mangku, tempat dan tanggal lahir Karangasem, 31 Desember 1956, agama Hindu, Jenis kelamin laki-laki, Kebangsaan Indonesia, Pekerjaan tidak ada, Alamat tempat tingla Banjar Kelodan Desa Datah, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem atau di Jalan Pungutan No. 22 A Sanur, Denpasar.
-
Bahwa terdakwa pada hari selasa tanggal 6 Juni 2006 bertempat di Pura Tebongkang desa Singakerta Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar secara bersama-sama telahmengambil barang-barang berupa : 3 (tiga) ikat uan kepeng dan 6 (enam) tangkai bunga emas yang seluruhnya kepunyaan masyarakat tebongkang dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, dengan cara merusak, memotong dan memanjat dengan memakai anak tangga palsu.
-
Akibat perbuatan terdakwa masyarakat adat Banjar Tebongkang desa Singakerta Kecamatan
Ubud, Kabupaten Gianyar,
mengalami
95
kerugian sebesar Rp. 400.000,- (empat ratus ribu rupiah) dan terganggunya kesakralan pura/kesucian pura. -
Terdakwa melanggar Pasal 363 ayat (1) ke 4 dan 5 KUHP.
Pertimbangan hakim : −
Dengan mempertimbangkan unsur-unsur yang termuat dalam ketentuan Pasal 363 ayat (1) ke 4 dan ke 5 KUHP, bahwa unsur-unsur seluruh dakwaan atas diri para terdakwa adalah : Pasal 363 ayat (1) ke 4 : −
Dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu.
Pasal 363 ayat (1) ke 5 : −
untuk masuk ke tempat kelakukan kejahatan untuk sampai pada barang yang diambilnya, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu, atau memakai jabatan palsu.
−
Berdasarkan hasil pemeriksaan di persidangan, berdasarkan bukti yang sah dan meyakinkan, pengadilan berkesimpulan bahwa masing-masing terdakwa telah terbukti bersalah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya dan oleh karenanya ia harus dihukum.
Putusan hakim : menyatakan bahwa perbuatan terdakwa I Nengah Wanti dan I Gede Mardika Alias Mangku sebagaimana dituduhkan telah terbukti secara sah dan meyakinkan; − menetapkan bahwa terdakwa I Nengah Wanti dan I Gede Mardika Alias Mangku terbukti secara sah bersalah melakukan perbuatan pidana sebagaimana di atas dan dihukum pidana dalam Pasal 363 ayat (1) ke 4 dan ke 5; −
−
menghukum tertuduh oleh karena itu dengan hukuman penjara selama 5 (lima) tahun;
menghukum tertuduh untuk membayar biaya perkara, sebesar Rp.1000,- (seribu rupiah). −
96
e.
Putusan Pengadilan Negeri Gianyar No. 178/Pid.B/2006/PN.Gir.
tanggal 13 November 2006 dalam kasus pencurian benda-benda sakral / benda-benda suci keagamaan di Pura Pasek Gelgel, Banjar Sakih, Desa Guwang, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar Kasus Posisi : -
Bahwa terdakwa Gede Mardika alias Mangku, tempat dan tanggal lahir Karangasem, 31 Desember 1956, agama Hindu, Jenis kelamin laki-laki, Kebangsaan Indonesia, Pekerjaan tidak ada, Alamat tempat tinggal Banjar Kelodan Desa Datah, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem atau di Jalan Pungutan No. 22 A Sanur, Denpasar dan I Nengah Wanti, tempat tanggal lahir, Buleleng tahun 1966 jenis kelamin laki-laki, Kebangsaan Indonesia, Pekerjaan Buruh, Alamat tempat tinggal Banjar Gereteg (Gempong) Desa Sambirenteng, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, secara bersama-sama telah melakukan pencurian benda-benda sakral / benda-benda suci keagamaan di Pura Pasek Gelgel, Banjar Sakih, Desa Guwang, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar.
-
Bahwa terdakwa pada hari yang tidak dapat diingat yaitu di bulan Maret Tahun 2006 sekira pukul 02.30 bertempat di Pura Pasek Gelgel, Banjar Sakih, Desa Guwang, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar secara bersama-sama telah mengambil barang-barang berupa : 1 (satu) ikat uang kepeng dan 8 (delapan) bancang tangkai bunga emas seluruhnya kepunyaan masyarakat Banjar Sakih, Desa Guwang,
97
Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar
dengan maksud untuk
dimiliki secara melawan hukum, dengan cara merusak, memotong dan memanjat degong penyimpanan benda-benda tersebut. -
Akibat perbuatan terdakwa masyarakat adat Banjar Sakih, Desa Guwang, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, mengalami kerugian sebesar Rp. 8.000.000,- (delapan juta rupiah).
-
Terdakwa melanggar Pasal 363 ayat (1) ke 4 dan 5 KUHP.
Pertimbangan hakim : −
Dengan mempertimbangkan unsur-unsur yang termuat dalam ketentuan Pasal 363 ayat (1) ke 4 dan ke 5 KUHP, bahwa unsur-unsur seluruh dakwaan atas diri para terdakwa adalah : Pasal 363 ayat (1) ke 4 : Dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu. Pasal 363 ayat (1) ke 5 : −
−
untuk masuk ke tempat kelakukan kejahatan untuk sampai pada barang yang diambilnya, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu, atau memakai jabatan palsu.
−
Berdasarkan hasil pemeriksaan di persidangan, berdasarkan bukti yang sah dan meyakinkan, pengadilan berkesimpulan bahwa masing-masing terdakwa telah terbukti bersalah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya dan oleh karenanya ia harus dihukum.
Bahwa, walaupun yang dicuri oleh terdakwa bukan dalam bentuk pretima, arca ataupun prelingga, tetapi perbuatan terdakwa merupakan suatu bentuk pelecehan dan menurunkan kesucian pura yang dikeramatkan oleh umat Hindu. Putusan hakim : −
menyatakan bahwa perbuatan terdakwa I Gede Mardika Alias Mangku dan I Nengah Wanti sebagaimana dituduhkan telah terbukti secara sah dan meyakinkan;
98
menetapkan bahwa terdakwa I Nengah Wanti dan I Gede Mardika Alias Mangku terbukti secara sah bersalah melakukan perbuatan pidana sebagaimana di atas dan dihukum pidana dalam Pasal 363 ayat (1) ke 4 dan ke 5; − menghukum terdakwa oleh karena itu dengan hukuman penjara selama 5 (lima) tahun; − menghukum terdakwa untuk membayar biaya perkara, sebesar Rp.1000, (seribu rupiah). −
f.
Putusan Pengadilan Negeri Amlapura No. 135/Pid.B/2006/PN.AP,
tanggal 16 November 2006 dalam kasus pencurian benda-benda suci keagamaan di di Pura Dadia Ngis Abang, di Pura Sengkidu, di Pura Ulakan, di Pura Desa Manggis, di Pura Gelumpang, di Pura Jeruk Manis Kabupaten Karangasem. Kasus Posisi : -
Bahwa terdakwa I Gede Suardika alias Tuna, tempat dan tanggal lahir Datah Karangasen tahun 1962, jenis kelamin laki-laki, kebangsaan Indonesia, agama Hindu, tempat tinggal BTN Taman Asri Subagan Blok E No. 46 Kelurahan Subagan, Kecamatan dan Kabupatem Karangasem dan I Nengah Dana alias Ngilis, tempat dan tanggal lahir Datah Karangasem tahun 1965, jenis kelamin laki-laki, kebangsaan Indonesia, agama Hindu, tempat tinggal Desa Datah Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem, pada hari tanggal dan bulan yang sudah tidak dapat diingat lagi dengan pasti dalam tahun 2005 dan tahun 2006 atau setidak-tidaknya masih dalam tahun 2006, bertempat di Pura Dadia Ngis Abang, di Pura Sengkidu, di Pura Ulakan, di Pura Desa Manggis, di Pura Gelumpang, di Pura Jeruk Manis Kabupaten
99
Karangasem, atau setidak-tidaknya di tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Amlapura, secara bersama-sama melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan sendiri-sendiri telah mengambil sesuatu barang yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum. -
Perbuatan terdakwa dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut : a. bahwa pada waktu dan tempat tersebut di atas, setelah terdakwa I Gede Suardika alias Tuna diantar oleh Kadek Arsana (disidangkan dalam perkara lain) dengan menggunakan sepeda motor Yamaha Mio, terdakwa Nengah Dana alias Ngilis diantar oleh Gede Sardiasa alias Murka (disidangkan dalam perkara lain) dengan menggunakan sepeda motor Suzuki Satria diturunkan di dekat kuburan Ngis desa Abang. Selanjutnya terdakwa menuju pura dadia yang ada di desa Ngis Abang, kemudian mengambil 2 (dua) pucuk bunga emas. Setelah itu, mereka secara bersama-sama memasuki pura dadia lainnya yang letaknya berdekatan, dan di tempat itu mengambil 3 (tiga) pererai emas yang tersimpan di tempat penyimpanan, dengan cara mencongkel gembok tempat penyimpanan pererai emas. b. Berselang beberapa hari kemudian terdakwa melaklukan pencurian pretima lagi di Pura Sengkidu dan Pura Ulakan, dengan cara-cara, bahwa setelah terdakwa diantar Gede Supartama alias
100
Jering, Kadek Kurtiyasa dan I Gede Sardiasa alias Murka dengan menggunakan mobil Suzuki Jimny diturunkan di dekat jembatan desa Sengkidu, selanjutnya terdakwa berjalan menuju Pura Sengkidu, dan di tempat penyimpanan pretima yang pada saat itu terkunci, mereka berhasil mengambil setelah mencongkel dengan linggis gembok tempat penyimpanan, barang (pretima) berupa pererai emas sebanyak 23 (dua puluh tiga) buah, 70 (tujuhpuluh) pucuk bunga emaas, 1 (satu) tanduk kerbau yang ujungnya berisi emas dan perhiasan emas Selanjutnya mereka pergi ke Pura Ulakan dan di tempat penyimpanan pretima ia mengambil 2 (dua) pucuk bunga emas. c. Bahwa berselang beberapa hari kemudian terdakwa melakukan pencurian lagi di Pura Desa Manggis sebanyak 2 (dua) kali. Di Pura Desa manggis mereka berhasil mengambil pretima berupa 6 (lima) lembar emas pipih. Selanjutnya mereka pergi ke Pura Desa yang kedua, dan di tempat penyimpanan pretima mereka mengambil pretima berupa 6 (enam) pucuk bunga emas. Keenam pucuk bunga emas tersebut diambil di dalam kotak penyimpanan yang terbuat dari besi yang digembok. Untuk bisa mengambil barang-barang tersebut, dilakukan dengan cara menggunting gembok dengan gunting baja yang telah dipersiapkan dari rumah terdakwa.
101
d. Selang beberapa hari kemudian, terdakwa secara bersama-sama kembali melakukan pencurian di Pura Gelumbang Jeruk Manis. Dari tempat penyimpanan (gedong penyimpenan) yang pada saat itu terkunci. Terdakwa berhasil mengambil 2 (dua) pucuk bunga emas,
setelah
terdakwa
menggunting
gembok
gedong
penyimpenan dengan gunting baja yang tgelah dipersiapkan dari rumah. e. Bahwa semua barang-barang yang dicuri oleh terdakwa, telah dijual kepada Ketut Lasmini alias Ibu Tinggen dan uangnya telah terdakwa bagi-bagi untuk keprluan hidup sehari-hari. Pertimbangan hakim : −
Dengan mempertimbangkan unsur-unsur yang termuat dalam ketentuan Pasal 363 ayat (1) ke 4 dan ke 5 KUHP jo. Pasal 65 KUHP bahwa unsurunsur seluruh dakwaan atas diri para terdakwa adalah : Pasal 363 ayat (1) ke 4 : −
Dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu.
Pasal 363 ayat (1) ke 5 : −
untuk masuk ke tempat kelakukan kejahatan untuk sampai pada barang yang diambilnya, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu, atau memakai jabatan palsu.
−
Berdasarkan hasil pemeriksaan di persidangan, berdasarkan bukti yang sah dan meyakinkan, pengadilan berkesimpulan bahwa masing-masing terdakwa telah terbukti bersalah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya dan oleh karenanya ia harus dihukum.
102
−
Bahwa berdasarkan fakta di persidangan serta alat bukti dan keterangan saksi, terdakwa secara sah sebagaimana dituduhkan telah terbukti secara sah dan meyakinkan;
Putusan hakim : menyatakan bahwa perbuatan terdakwa I Gede Suardika alias Tuna dan I Nengah Dana alias Ngilis sebagaimana dituduhkan telah terbukti secara sah dan meyakinkan; − menetapkan bahwa terdakwa I Nengah Wanti dan I Gede Mardika Alias Mangku terbukti secara sah bersalah melakukan perbuatan pidana sebagaimana di atas dan dihukum pidana dalam Pasal 363 ayat (1) ke 4 dan ke 5; jo Pasal 65 KUHP, pencurian dengan pemberatan. − menghukum terdakwa oleh karena itu dengan hukuman penjara selama 5 (lima) tahun; − menghukum terdakwa untuk membayar biaya perkara, sebesar Rp.1000, (seribu rupiah). −
Dari kasus-kasus pencurian benda-benda sakral
yang dipaparkan di atas
nampak jelas bahwa putusan didasarkan atas ketentuan hukum tertulis (KUHP), yaitu : Pasal 362 dan Pasal 363 ayat (1) ke 4 dan ke 5 KUHP. Dalam putusanputusan pengadilan negeri tentang pencurian benda-benda sakral, hakim sudah sepantasnya
mendasarkan
putusannya
pada
ketentuan
KUHP.
Namun
permasalahannya, karena perbuatan pencurian benda-benda sakral tersebut di samping mengakibatkan kerugian materiil, juga kerugian immateriil, sehingga masih memerlukan bentuk pemidanaan di luar ketentuan Pasal 10 KUHP. Walaupun jenis pidana yang dijatuhkan oleh hakim tetap berpedoman pada ketentuan Pasal 10 KUHP, namun hakim mempertimbangkan perbuatan tersebut sebagai unsur-unsur yang memberatkan. Dalam kasus tersebut di atas antara lain disebutkan : 1. Putusan Pengadilan Negeri Gianyar No. 5/Pid/S/1987/PN.Gir., tanggal 26 Februari 1987 dalam kasus pencurian benda-benda suci keagamaan dalam
103
bentuk “pependeman” yang terjadi di Banjar Manukaya Anyar, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Daerah Tingkat II Gianyar, disebutkan hal-hal yang memberatkan : a) Para terdakwa melakukan kejahatan di pura yang merupakan tempat suci bagi penganut agama Hindu. b) Khusus untuk terdakwa I Made Rateng, terdakwa adalah bekas “pemangku” yang tentunya daripadanya dapat diharapkan untuk mengontrol segala tindakannya yang umum disebut dalam ajaran agama Hindu, dengan “Tri Kaya Parisuda” (berpikir yang baik, bericara yang baik dan berbuat yang baik) 2. Putusan Pengadilan Negeri Klungkung No. 10 /PN.KLK / PID ./ TOL / ’79, tanggal 29 Januari 1980 dalam kasus pencurian benda-benda suci keagamaan di Pura Dalem Sulang, Kecamatan Dawan, Kabupaten Daerah Tingkat
II
Klungkung,
dalam
mempertimbangkan
hal-hal
yang
memberatkan disebutkan : −
tertuduh sebagai pemeluk agama Hindu, seharusnya mengetahui dan wajib menghormati barang-barang yang berada dalam pura.
3. Putusan Pengadilan Negeri Gianyar No. 177/Pid.B/2006/PN.GIR, tanggal 13 November 2006 dalam kasus pencurian benda-benda suci keagamaan di Pura Banjar Tebongkang desa Singakerta Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar. disebutkan :
Dalam mempertimbangkan
hal-hal yang
memberatkan
104
-
perbuatan para terdakwa mengakibatkan ternodanya kesucian pura tersebut.
-
Perbuatan terdakwa dapat meresahkan masyarakat.
4. Putusan Pengadilan Negeri Gianyar No. 178/Pid.B/2006/PN.Gir. tanggal 13 November 2006 dalam kasus pencurian benda-benda sakral / bendabenda suci keagamaan di Pura Pasek Gelgel, Banjar Sakih, Desa Guwang, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar. Dalam mempertimbangkan halhal yang memberatkan disebutkan : -
perbuatan terdakwa merugikan orang lain, baik moril maupun materiil.
-
Perbuatan para terdakwa dapat menimbulkan keresahan.
-
Perbutan terdakwa membuat nama baikl umat beragama Hindu tercoreng.
5. Putusan Pengadilan Negeri Amlapura No. 135/Pid.B/2006/PN.AP, tanggal 16 November 2006 dalam kasus pencurian benda-benda suci keagamaan di di Pura Dadia Ngis Abang, di Pura Sengkidu, di Pura Ulakan, di Pura Desa Manggis, di Pura Gelumpang, di Pura Jeruk Manis Kabupaten Karangasem. Dalam mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan disebutkan : -
perbuatan para terdakwa sangat meresahkan masyarakat sekitar khususnya dan kabupaten Karangasem pada umumnya.
Dengan demikian, hukum adat pidana dapat pula menjadi sumber hukum, yaitu sumber hukum yang positif dan juga sumber hukum yang negatif, dalam artian ketentuan-ketentuan hukum adat pidana dapat dipertimbangkan untuk menjadi alasan
105
pembenar, alasan untuk memperingan pidana dan juga alasan untuk memperberat pidana. Dari putusan-putusan hakim yang berhubungan dengan pencurian bendabenda
sakral
adalah
putusan
Pengadilan
Negeri
Amlapura
Nomor
136/Pid.B/2006/PN.AP. tanggal 16 Nopember 2006 dalam kasus Tindak Pidana Penadahan dengan terdakwa Ni Ketut Lasmini alias Bu Tinggen alias I Remping. Dalam kasus tersebut terdakwa Ni Ketut Lasmini alias Bu Tinggen alias I Remping berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, keterangan saksi dan barang bukti terdakwa Ni Ketut Lasmini alias Bu Tinggen alias I Remping terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penadahan barang-barang berupa pretima (sarana dan prasarana upacara keagamaan) dari I Gede Suardika alias Tuna dan I Nengah Dana alias Ngilis. Dala putusan hakim, pada bagian :”hal-hal yang memberatkan” disebutkan : 1. perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat, khususnya umat Hindu. 2. perbuatan terdakwa menyimpangi nilai-nilai budaya yang luhur. 3. perbuatan terdakwa membuat kebiasaan melakukan penadahan pretima yang diyakini merupakan benda suci bagi umat Hindu. Dari beberapa kasus delik adat yang telah diputus oleh hakim pengadilan negeri yang dikemukakan di atas, sangat menarik untuk dikemukakan, bagimanakah tindakantindakan yang diambil oleh “krama” desa adat. Sebagaimana telah dipaparkan di atas, bahwa dalam lingkungan desa adat di Bali telah melembaga dengan kokohnya suatu keyakinan bahwa terjadinya pelanggaran norma adat yang belum terselesaikan menurut ketentuan hukum adat
106
yang berlaku, akan dapat menimbulkan gangguan yang menyebabkan menderitanya ‘krama adat’. Hal demikian akan memerlukan suatu langkah-langkah pemulihan, dengan
membebankan
suatu
kewajiban
bagi
pelanggarnya
penyelenggaraan ritual-ritual adat tertentu yang bertujuan untuk
dalam
bentuk
memulihkan
ketidakseimbangan masyarakat dari perasaan kotor (“leteh”). Untuk memperoleh suatu gambaran yang relatif lengkap, berikut akan dikemukakan upaya-upaya yang ditempuh oleh krama adat. 1. Dalam
kasus
“Pependeman”
pencurian
sarana
upacara
keagamaan
dalam
bentuk
yang terjadi di Banjar Manukaya Anyar, Kecamatan
Tampaksiring, Kabupaten daerah Tingkat II Gianyar yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri Gianyar dengan putusannya No. 5/Pid/S/1987/PN.Gir., tanggal 26 Februari 1987. Krama desa adat tetap membebankan kewajiban adat untuk melakukan upacara “mecaru manca sata” kepada pelakunya (I Nengah Serinu dan I Made Rateng). 2. Dalam kasus pencurian sarana upacara keagamaan dalam bentuk “pretima” yang terjadi yang terjadi di Pura Desa Sulang , Kecamatan Dawan, Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung.
yang telah diputus oleh
Pengadilan Negeri Klungkung No. 10 /PN.KLK / PID ./ TOL / ’79, tanggal 29 Januari 1980. Krama desa adat membebankan upacara “pecaruan desa” dengan maksud untuk mengembalikan kesucian desa adat. Dalam kasus di atas, kebetulan pelaku adalah warga masyarakat adat setempat, sehingga desa adat dengan berdasarkan otonominya dapat menjatuhkan sanksi adat. Dalam kasus lain, seperti :
107
1. Putusan Pengadilan Negeri Gianyar No. 177/Pid.B/2006/PN.GIR, tanggal 13 November 2006 dalam kasus pencurian benda-benda suci keagamaan di Pura Banjar Tebongkang desa Singakerta Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar. 2. Putusan Pengadilan Negeri Gianyar No. 178/Pid.B/2006/PN.Gir. tanggal 13 November 2006 dalam kasus pencurian benda-benda sakral / benda-benda suci keagamaan di Pura Pasek Gelgel, Banjar Sakih, Desa Guwang, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar. 3. Putusan Pengadilan Negeri Amlapura No. 135/Pid.B/2006/PN.AP, tanggal 16 November 2006 dalam kasus pencurian benda-benda suci keagamaan di di Pura Dadia Ngis Abang, di Pura Sengkidu, di Pura Ulakan, di Pura Desa Manggis, di Pura Gelumpang, di Pura Jeruk Manis Kabupaten Karangasem. Pelakunya bukanlah warga masyarakat adat setempat, sehingga berdasarkan kewenangan desa adat terhadapnay tidak dapat dijatuhi sanksi adat, sehingga warga desa adat melakukan sendiri upaya pemulihan terhadap ternodanya kesucian pura. Hal ini menunjukkan bahwa penyelesaian kasus-kasus delik adat lewat mekanisme proses peradilan pidana, menurut pandangan masyarakat (“krama”) desa adat di Bali, belum menyelesaikan permasalahannya secara tuntas. Pemidanaan yang didasarkan atas ketentuan Pasal 10 KUHP bukan sarana yang dapat mengembalikan keseimbangan sebagai akibat adanya pelanggaran norma adat. Keinginan masyarakat adat untuk adanya penjatuhan sanksi adat, tidak dapat dilepaskan dengan konsep pemikiran bahwa konsep ‘penghukuman’ dalam hukum adat di Bali, berangkat dari falsafah yang berbeda dengan konsep pemidanaan dalam KUHP. Konsep penghukuman dalam hukum adat berangkat dari adanya keseimbangan/harmony
108
antara dunia nyata dengan dunia gaib sedangkan pemidanaan berangkat dari konsep pembalasan dan rehabilitasi. Dari pembahasan dalam Bab ini dapat disimpulkan bahwa : dalam pemidanaan pencurian benda-benda sakral oleh hakim pengadilan negeri di Bali, putusan hakim didasarkan pada ketentuan Pasal 363 dan 363 KUHP tentang pencurian biasa dan pencurian dengan pemberatan.Walaupun ada ketentuan yang memberikan kewenangan kepada hakim untuk menjatuhkan sanksi adat sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU No. 1 Drt Tahun 1951, dan juga kewajiban bagi hakim untuk menggali dan mengikuti perasaan keadilan dalam masyarakat, tetapi ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b. UU No. 1 Drt Tahun 1951 terbatas pada delik adat yang belum diatur atau tidak mempunyai padanan dalam KUHP. Untuk delik-delik umum (yang telah diatur dalam KUHP) seperti pencurian benda-benda sakral, walaupun menurut pandangan masyarakat adat merupakan delik adat yang memerlukan suatu penjatuhan sanksi adat, hakim di dalam memutus perkara akan mencari dasar hukum pada ketentuan KUHP. Namun demikian, dalam putusan hakim pengadilan negeri di Bali dalam kasus pencurian benda-benda sakral, hakim mempertimbangkan sebagai hal-hal yang memberatkan. Dalam hal ini, jelas delik adat (pencurian benda-benda sakral) telah dipertimbangkan sebagai sumber hukum dalam pengertian yang negatif.
109