BAB III PEMANFAATAN SISTEM GPS CORS DALAM RANGKA PENGUKURAN BIDANG TANAH Keberadaan sistem GPS CORS memberikan banyak manfaat dalam rangka pengukuran bidang tanah terkait dengan pengadaan titik-titik dasar yang dijadikan sebagai acuan bagi pengukuran batas-batas bidang tanah. Pemanfaatannya ini ditinjau dari berbagai aspek, yaitu cakupan pengukuran, aspek ekonomi dan biaya pengadaan yang harus dikeluarkan, dan aspek teknis pengukuran. Selanjutnya dilakukan perbandingan mengenai kerangka klasik orde 2, 3, dan 4 dengan kerangka CORS dengan parameter aspek-aspek tersebut. 3.1
Cakupan CORS Dalam pengukuran dan pemetaan bidang tanah dengan menggunakan CORS
sebagai referensi, yang dijadikan sebagai titik acuan bukanlah titik dasar orde 2, 3, atau 4 seperti pada metode klasik, melainkan stasiun CORS yang dipasang secara permanen dan stabil serta dikontrol koordinatnya secara kontinyu setiap hari. CORS didirikan dengan cakupan yang bervariasi bahkan bisa mencapai lebih dari 100 km dengan akurasi dalam level cm untuk cakupan global, sehingga mampu menjangkau daerah-daerah pelosok yang pada awalnya sulit dijangkau dengan titik orde 3 atau 4, atau bahkan belum ada titik dasar di daerah tersebut. Di Amerika CORS dibangun dengan cakupan pengukuran yang bervariasi, mulai dari 100 km, 200 km, sampai 400 km, sedangkan di Moldova cakupan pengukuran CORS adalah 70 km [Chiriac, 2006]. Sampai saat ini belum ada aturan baku mengenai radius cakupan CORS ke titik-titik pengukuran. Hal ini tergantung pada kebijakan dan kesepekatan masingmasing pihak pengelola sistem. Cakupan yang dapat diartikan sebagai jarak dari stasiun CORS ke titik-titik batas bidang tanah ini dapat mempengaruhi ketelitian posisi yang dihasilkan, selain tergantung juga dari metode penentuan posisi yang dilakukan dan perangkat lunak yang digunakan dalam pengolahan data.
Saat ini di Indonesia telah dibangun stasiun-stasiun Continuous GPS (CGPS) permanen di Pulau Jawa Barat dan Bali oleh Bakosurtanal. Awalnya titik-titik ini dibangun sebagai bagian dari Tsunami Early Warning System yang dipadukan dengan sistem lain untuk dapat mendeteksi pergerakan kecil gelombang yang diakibatkan tsunami. Sebaran titik-titik CGPS ini dapat dilihat pada Gambar 3.1. Konsep CGPS ini telah dikembangkan sejak tahun 1996 dan baru direalisasikan sejak tahun 2005, dengan pemasangan ± 22 stasiun CGPS di Jawa Barat dan Bali. Ke depannya diharapkan stasiun-stasiun CGPS ini dapat dimanfaatkan tidak hanya oleh Bakosurtanal tetapi oleh pihak dan instansi lain yang berkepentingan.
CLGI CTCN
CSBK N CPSR L
BAKO
CUJK
CLDO
CLBG
CPTN CTVI CSGT CUJG CPMK
05.12.07
Gambar 3.1 Sebaran jaring CGPS Real Time di Jawa Barat (courtesy of Cecep Subarya, Bakosurtanal, 2008) Dari Gambar 3.1 diatas, selanjutnya dilakukan proses buffering untuk melihat apakah sebaran titik-titik CGPS yang ada dapat memenuhi cakupan untuk seluruh Pulau Jawa, sehingga besar kemungkinan titik-titik ini dapat dimanfaatkan dalam
pengukuran bidang tanah. Proses buffering adalah proses membentuk suatu area baru dengan jarak tertentu dari suatu titik pusat[Prahasta,2002]. Titik pusat yang dimaksud disini adalah titik-titik tempat berdirinya stasiun CGPS. Radius yang dibuffer dari titik-titik CGPS ini adalah sejauh 50 km yang didasarkan pada variasi cakupan CORS di Amerika dimana jarak minimumnya adalah 100 km. Dengan jarak kurang dari 100 km, diharapkan ketelitian yang dihasilkan lebih baik dan berkualitas, sehingga dipilih cakupan 50 km. Berikut visualisasi cakupan CGPS 50 km dalam Gambar 3.2.
Gambar 3.2 Jaring CGPS Real Time di Jawa Barat dengan cakupan 50 km Untuk seluruh wilayah Indonesia yang belum terdapat jaringan CGPS seperti yang telah dibangun oleh Bakosurtanal, dapat dilakukan perkiraan mengenai jumlah titik kerangka CORS yang harus dibangun mencakup seluruh wilayah Indonesia. Dengan mempertimbangkan luas wilayah daratan non-hutan Indonesia sebesar 95 juta ha, dibuat beberapa alternatif cakupan, mulai dari 50 km, 75 km, sampai 100 km yang digambarkan pada Tabel 3.1. Ketiga alternatif cakupan ini ditentukan berdasarkan jarak yang memenuhi syarat untuk melakukan pengukuran metode diferensial dengan hasil yang memiliki kualitas baik.
Tabel 3.1 Cakupan dan jumlah titik kerangka CORS untuk seluruh wilayah Indonesia Cakupan
Jumlah
100 km
= 95 juta ha / (100 x 100) km2 = 95 titik kerangka CORS
75 km
= 95 juta ha / (75 x 75 ) km2 = 168,9 ≈ 169 titik kerangka CORS
50 km
= 95 juta ha / (50 x 50 ) km2 = 380 titik kerangka CORS
Seperti telah diulas sebelumnya, tidak hanya kerangka CORS yang dapat dijadikan sebagai referensi dalam pengukuran bidang tanah di Indonesia. Keberadaan stasiun-stasiun IGS sebenarnya dapat juga dijadikan sebagai referensi dalam pengukuran batas bidang tanah di Indonesia. Cakupan IGS sangat luas dan bervariasi, bisa mencapai beberapa ratus kilometer jika dibandingkan dengan cakupan dari kerangka CORS. Namun, dalam pengikatan ke titik IGS banyak hal yang harus diperhatikan, terutama kemampuan sumber daya manusia dalam mengelola dan mengolah data hasil ukuran. Karena pengukuran yang dilakukan merupakan penentuan posisi yang bersifat teliti, maka diperlukan kemampuan menganalisis dan menentukan strategi dalam pengolahan agar data yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik. 3.2
Aspek Ekonomi dan Biaya Pengadaan Biaya yang dibutuhkan dalam pengadaan dan pembangunan titik kerangka
CORS merupakan biaya yang dihitung dan disesuaikan dengan jumlah perkiraan titik kerangka CORS untuk seluruh wilayah Indonesia tanpa menghitung sebaran jaring CGPS di Jawa Barat dan Bali.
Untuk pengadaan satu titik stasiun CORS diasumsikan membutuhkan biaya sekitar 30-50 ribu USD3 yang setara dengan 300-500 juta rupiah. Biaya ini kemudian dikalikan dengan jumlah titik kerangka yang akan dibangun di Indonesia sesuai dengan jumlah yang telah dihitung untuk cakupan yang berbeda. Berikut rincian hitungan biaya pengadaan stasiun CORS yang harus dibangun di Indonesia : • Cakupan 100 km Biaya yang diperlukan
= 95 titik kerangka CORS = 95 x Rp 500.000.000,= Rp 47.500.000.000,-
• Cakupan 75 km Biaya yang diperlukan
= 169 titik kerangka CORS = 169 x Rp 500.000.000,= Rp 84.500.000.000,-
• Cakupan 50 km Biaya yang diperlukan
= 380 titik kerangka CORS = 380 x Rp 500.000.000,= Rp 190.000.000.000,-
Biaya yang dihitung dalam penelitian ini adalah biaya pengadaan dan instalasi perangkat CORS. Untuk menjadi suatu sistem yang baik dan menghasilkan kualitas baik, perangkat yang digunakan harus baik, mulai dari perangkat keras hingga perangkat lunak pengolah datanya.
3.3
Aspek Waktu Target BPN saat ini adalah ingin dapat memetakan dan mendaftar seluruh
bidang tanah di Indonesia dalam waktu 18 tahun, dalam hal ini mendaftar 50 juta bidang tanah yang belum bersertifikat. Jika BPN bersungguh-sungguh dalam mencapai target tersebut maka jumlah bidang tanah yang harus didaftar selama satu tahun dapat dihitung sebagai berikut:
3
Rizos C. et al [2003]
•
Bidang tanah yang belum terdaftar
= 50 juta bidang
•
Waktu yang ditargetkan
= 18 tahun
•
Jumlah bidang tanah yang harus didaftar per tahun : = 50 juta / 18 tahun = 2.777.777,77 ≈ 3 juta bidang tanah
Dalam satu tahun BPN harus dapat mengukur dan mendaftar minimal 3 juta bidang tanah jika target sertifikasi 18 tahun ingin tercapai. Dengan melakukan pengukuran 3 juta bidang tanah setiap tahunnya di seluruh wilayah Indonesia, 50 juta bidang tanah yang belum terdaftar saat ini dapat diterbitkan sertifikatnya dan menjadi suatu objek bidang tanah yang memiliki kekuatan hukum dan sah di mata negara.
3.4
Pengukuran Teknis Lapangan Untuk melihat dan mengetahui secara langsung pemanfaatan CORS dalam
pengukuran batas bidang tanah dilakukan kegiatan pengukuran titik-titik batas persil dengan daerah studi kasus yaitu Lapangan Brigif 15 Kujang Cimahi. Daerah ini berupa lapangan terbuka dan dianggap sebagai daerah yang relatif datar dan ideal untuk melakukan pengukuran batas bidang tanah dengan receiver GPS yang diikatkan ke CORS karena memiliki jarak pandang yang cukup terbuka dengan langit. Jarak antara stasiun ke titik-titik pengukuran adalah 9 km, termasuk ke dalam jarak pendek untuk pengukuran dengan stasiun tetap. Pengukuran yang dilakukan dalam penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 3.3. Prosedur yang dilakukan dan spesifikasi alat yang digunakan dalam pengukuran diferensial titik batas bidang tanah ini yaitu : •
Satu buah receiver ditempatkan di titik persil pertama sebagai rover receiver.
•
Stasiun CORS ITB dianggap sebagai titik ikat atau base receiver.
•
Dilakukan pengukuran titik batas selama 15-30 menit untuk setiap titik.
•
Receiver yang ditempatkan pada stasiun CORS ITB adalah receiver GPS tipe Geodetik L1/L2 GPS & Glonass, merk Leica tipe GRX1200 (REC); Leiat504 (ANT)
•
Receiver yang digunakan sebagai rover di lapangan adalah receiver GPS tipe geodetik Trimble 4000 SSi.
•
Koordinat titik kerangka CORS ITB yang digunakan dianggap fix, dengan nilai koordinat :
L (Lintang)
=
6° 53’ 9.498793” S
B (Bujur)
= 107° 36’ 43.224928”
Pengukuran yang dilakukan di Lapangan Brigif Cimahi ini dilakukan untuk menentukan posisi tujuh buah titik yang dianggap sebagai batas-batas bidang tanah suatu persil. Ketujuh titik ini kemudian dibagi menjadi dua bagian, persil besar dan persil kecil yang masing-masing diukur jarak horisontalnya antar titik dengan menggunakan pita ukur.
Gambar 3.3 Teknis pengukuran bidang tanah di Lapangan Brigif Bidang tanah yang diukur dibagi menjadi dua bagian, persil besar dan kecil, serta diukur jarak antar titik masing-masing ditunjukkan pada Gambar 3.4. Data hasil ukuran pengukuran kedua bagian persil tersebut kemudian diolah dengan
menggunakan perangkat lunak ilmiah Bernese 5.0. Pengolahan data dilakukan dengan strategi untuk pengolahan data baseline pendek.
d1
1
2
d8
5
d5
d6
d4
d2
d11
d7
4 4
6
d12
d10
d9
7
3
d3
II I Gambar 3.4 Pembagian persil dan pengukuran jarak antar titik Hasil pengolahan data yang berupa nilai koordinat tiga dimensi ditunjukkan pada Tabel 3.2. Tabel 3.2 Hasil pengolahan data dalam koordinat geosentrik
Titik
X (m)
Y (m)
Z (m)
1
-1907402,637
6039024,336
-760424,443
2
-1907428,959
6039014,686
-760435,471
3
-1907416,466
6039015,233
-760461,398
4
-1907390,224
6039024,637
-760451,517
5
-1907396,834
6039024,741
-760434,720
6
-1907408,988
6039019,739
-760444,625
7
-1907402,750
6039019,411
-760458,244
3.5
Perbandingan Kerangka Klasik dengan CORS Dengan melihat berbagai keuntungan yang diperoleh dari penggunaan CORS
dalam pengukuran kadaster khususnya sebagai titik dasar dalam penentuan posisi batas bidang tanah dibandingkan dengan pengukuran batas bidang tanah dengan menggunakan titik dasar teknik berorde, diperoleh beberapa perbedaan antara pengukuran bidang tanah dengan kerangka klasik dengan pengukuran bidang tanah dengan CORS sebagai titik acuan. Perbedaan ini dilihat dari beberapa parameter yang dibutuhkan dalam suatu pengukuran bidang tanah, diantaranya cakupan, akurasi yang dihasilkan, biaya yang dibutuhkan, dan referensi yang digunakan. Pada Tabel 3.3 ditunjukkan perbandingan antara kerangka klasik berorde dengan titik stasiun CORS ditinjau dari parameter-parameter yang telah diuraikan diatas.
Tabel 3.3 Perbandingan Kerangka Klasik dengan CORS Parameter Cakupan
Kerangka Klasik
Kerangka CORS
Orde 2 = 10 km
Bervariasi, bahkan bisa
Orde 3 = 2 km
mencapai lebih dari 100 km.
Orde 4 = 150-200 m
Dalam contoh ini diambil alternatif cakupan sejauh 50 km, 75 km, dan 100 km.
Akurasi
Karena merupakan
Titik kerangka CORS
densifikasi dari titik orde-
memiliki akurasi mencapai
orde sebelumnya, akurasi
nilai millimeter dan bersifat
yang dimiliki tidak
homogen.
homogen. Referensi
Jumlah yang diperlukan untuk
Mengacu pada Datum
Kerangka referensi yang
Geodesi Nasional
terintegrasi dengan kerangka
(DGN)’95
global, ITRF
95 juta ha / (200 x 200) m2
Cakupan 50 km = 380 titik
= 23.750.000 titik
Cakupan 75 km = 169 titik Cakupan 100 km = 95 titik
seluruh wilayah Indonesia Biaya pengadaan
Rp 1.500.000,-
500 juta rupiah
per buah Biaya untuk pengadaan titik di seluruh wilayah Indonesia
= 23.750.000 x 1.500.000,= 35,625 trilyun
untuk 380 titik = 190 milyar untuk 169 titik= 84,5 milyar untuk 95 titik = 47,5 milyar